Ceritasilat Novel Online

Pusaka Bernoda Darah 1

Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah Bagian 1


Serial Pendekar Naga Putih
PUSAKA BERNODA DARAH
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
128 hal ; 12 x 18 cm
1 "Heaaat..!"
Suasana pagi yang bening dan sunyi, tiba-tiba saja pecah oleh teriakan-teriakan
nyaring mem-bahana. Beberapa ekor burung yang bertengger di atas dahan serentak
beterbangan karena terkejut mendengar teriakan itu.
Tampak sesosok tubuh tegap berloncatan sam-bil sesekali melontarkan pukulan dan
tendangan. Suara sambaran angin tajam yang mengiringi se-tiap pukulan dan
tendangannya menandakan kalau tenaga dalam sosok tubuh itu sangat tinggi.
"Yeaaa...!"
Wut! Wut..! Kembali sosok tubuh itu berteriak nyaring. Dibarengi teriakannya, tubuhnya
melesat ke depan. Jari-jari tangannya
tampak bergetar ketika melaku-kan tusukan pada sebatang pohon.
Crab! Crab! Hebat sekali. Jari-jari tangan yang kelihatan lunak itu ternyata mampu menembus
batang pohon yang besarnya dua kali pelukan orang dewasa. Benar-benar sebuah
kekuatan tenaga dalam yang dahsyat.
Secepat jari-jari tangannya menusuk ke batang pohon, secepat itu pula sosok
tubuh itu menarik pulang lengannya.
Tubuhnya melambung ke udara. Setelah beberapa kali berputaran di udara, kedua
kakinya melayang turun ke atas permukaan tanah tanpa menimbulkan suara sedikit
pun. Ternyata bukan hanya tenaga dalamnya saja yang hebat!
Bahkan ilmu meringankan tubuhnya pun tidak bisa dipandang rendah!
"Bagus, Sanjaya...!"
Terdengar suara pujian dari mulut seorang ka-kek tua yang tengah duduk bersila
di atas sebuah batu yang cukup besar.
Kakek itu tersenyum puas sambil mengelus elus jenggotnya yang panjang.
"Terima kasih, Eyang. Tapi, sepertinya ilmu pu-kulanku belum sehebat yang Eyang
contohkan," ujar sosok tubuh yang dipanggil Sanjaya itu me-rendah.
Sosok tubuh itu ternyata seorang pemuda yang kira-kira berusia dua puluh tahun.
Wajahnya me-nyiratkan kejantanan, karena kelihatan kokoh dan keras. Ditambah
lagi bentuk tubuhnya yang tinggi tegap. Benar-benar seorang pemuda yang menarik.
"Hm.... Kau terlalu merendahkan dirimu, San-jaya. Ilmu pukulan yang kau
tunjukkan tadi jelas sudah sangat baik. Nah,
sekarang tunjukkanlah ilmu pedang yang telah kau pelajari itu!"
Perintah si kakek yang berjuluk Dewa Jubah Putih itu, lembut.
Setelah berkata demikian, Dewa Jubah Putih melemparkan sebatang pedang ke arah
Sanjaya yang memang muridnya.
Lemparan pedang yang dilakukan kakek itu bu-kanlah sekadar lemparan biasa. Kalau
orang yang menerima lemparan itu tidak memiliki kepandaian yang cukup, pasti
akan termakan oleh mata pedang yang meluncur pesat bagaikan anak panah lepas
dari busur. "Hiaaat..!"
Sanjaya berseru keras sambil menjejakkan ka-kinya ke atas tanah. Tubuh pemuda
itu melenting ke atas disertai putaran indah. Sambil berputaran, diulurkan
tangannya menangkap gagang pedang yang berada beberapa jengkal di bawah
tubuhnya. Singngng! Singngng...!
Begitu gagang pedang tergenggam erat di tangan pemuda itu, segera diputar pedang
itu dengan pengerahan tenaga dalam. Seluruh badan pedang sudah tak tampak lagi.
Kini yang terlihat hanyalah sinar putih yang membungkus seluruh tubuhnya.
Sanjaya terus melompat dan berputar dengan gerakan yang cepat dan kuat. Kalau
dilihat dari ge-rakannya, tampak jelas kalau ilmu pedang yang di-mainkannya
terpusat pada kekuatan tenaga. Mes-kipun demikian, bukan berarti kalau ilmu
pedang yang dimainkan pemuda itu tidak mempunyai unsur keluwesan dan kelincahan.
Kedua unsur itu pun te-tap terlihat Hanya saja keluwesan dan kelincahan-nya
sekadar pelengkap dan tidak terlalu dipusatkan.
Wet! Wet...! Pemuda tinggi tegap itu menutup gerakannya dengan ujung pedang melintang didepan
mata. Ta-ngan kirinya terjulur ke depan bagaikan orang yang tengah menyembah.
Sedangkan kuda-kudanya membentuk kuda-kuda rajawali, yaitu kaki kiri ber-ada
didepan dalam keadaan jinjit.
"Ha ha ha...! Bagus..., bagus...! Kau hanya perlu sedikit penyempurnaan lagi,
Muridku. Setelah itu, silakan terjun ke dunia ramai untuk meluaskan pe-ngalaman.
Karena biarpun memiliki kepandaian tinggi, jika tanpa pengalaman kau akan dapat
di-robohkan oleh orang yang berkepandaian berada di bawahmu," jelas Dewa Jubah
Putih. "Ah! Rasanya, aku sudah tidak sabar lagi untuk turun gunung, Eyang. Kapankah
kira-kira keingi-nanku itu bisa terlaksana, Eyang! Tapi.... Kalau aku pergi,
lalu bagaimana dengan Eyang?" Tanya San-jaya sambil menatap wajah gurunya yang
sudah berusia lanjut itu.
Pemuda itu berkata lirih setelah menyadari kalau Dewa Jubah Putih sudah sangat
tua. Dan hal itu membuatnya merasa berat untuk meninggalkan gurunya sendirian di
pertapaan yang sunyi dan jauh dari keramaian itu.
"Hm.... Kau tidak perlu merisaukan aku, San-jaya. Aku memang sudah bertekad
untuk meng-habiskan sisa hidupku di Puncak Gunung Kalaban ini. Kau harus
mempunyai jiwa kuat, Sanjaya. Se-tiap ada perjumpaan, pasti ada perpisahan,"
orang tua itu menghentikan kata-katanya sejenak untuk menarik napas dalam-dalam.
Sementara itu Sanjaya hanya mengangguk-anggukkan kepala saja. Pemuda itu memang
murid yang sangat berbaka.
"Nah, sekarang marilah kita berlatih untuk menyempurnakan ilmu-ilmu yang telah
kau pelajari. Ingat! Jangan kau anggap
aku sebagai gurumu. Tapi anggaplah aku sebagai musuhmu, mengerti?"
"Mengerti, Eyang," sahut Sanjaya sambil meng-anggukkan kepalanya.
"Bersiaplah!" ujar Dewa Jubah Putih dengan suara yang berwibawa.
Kemudian sepasang kaki kakek itu bergerak membentuk kuda-kuda silang dalam
posisi meren-dah. Tangan kanannya dengan telapak tangan ter-buka berada di atas
kepala. Sedangkan tangan kiri-nya juga dengan telapak tangan terbuka berada di bawah
pusat seperti tengah menekan bumi.
"Heaaat..!"
Kakek itu mulai membuka serangan dengan teriakan yang melengking. Tubuhnya
berkelebat cepat disertai tamparan-tamparan tangannya yang menimbulkan angin
berkesiutan. Bet! Bet! Bergegas Sanjaya menggeser kuda-kudanya sambil memiringkan kepala. Tamparan
kakek itu pun lewat setengah jengkal di atas kepalanya. Ke-mudian, jari-jari
tangannya bergerak cepat melaku-kan tusukan bertubi-tubi ke arah kedua lutut
guru-nya. Tentu saja Dewa Jubah Putih tidak ingin lutut-nya dijadikan sasaran jari-jari
tangan yang sekeras baja itu. Cepat digeser kedua kakinya bergantian menghindari
ancaman jari-jari tangan muridnya.
Tiba-tiba kakek itu melompat ke atas dan ber-putar sekaligus mengirimkan sebuah
tendangan yang mengancam punggung Sanjaya.
Zebbb! "Aaah...!"
Sanjaya yang sama sekali tidak menduga gera-kan gurunya, serapat terkejut.
Cepat-cepat dilempar tubuhnya, bergulingan menyelamatkan diri dari ten-dangan
yang amat kuat itu.
Dengan sebuah gerakan yang tak terduga, tubuh pemuda itu melenting bangkit dan
langsung meluruk deras ke arah gurunya. Sepasang tangannya terjulur kedepan
meng-ancam tenggorokan si kakek.
Dewa Jubah Putih terkejut melihat kegesitan muridnya.
Bergegas diangkat kedua tangannya, me-mapak tusukan jari-jari tangan muridnya
yang diga-bungkan itu.
Plak! Plak! "Uhhh...!"
Terdengar ledakan yang cukup keras ketika se-pasang tangan mereka saling
bertumbukan. Tubuh keduanya terpental balik dengan keras. Keduanya cepat
melakukan beberapa kali putaran salto di udara, sebelum mendaratkan kakinya di
atas tanah. "Uhukkk... Uhukkk...!" kakek itu terbatuk-batuk sambil menekap dadanya.
"Eyang.... Kau..., kau terluka?" Tanya Sanjaya khawatir ketika melihat gurunya
terbatuk-batuk sambil menekap dada.
Cepat pemuda itu bangkit, lalu meng-hampirinya.
"Aku tidak apa-apa, Muridku. Ternyata latihan-mu selama ini tidak sia-sia. Ilmu
yang kau miliki sekarang, rasanya sudah cukup untuk bekalmu ter-jun ke dunia
ramai Tapi Ingat! Jangan sekali-kali merasa takabur dengan kepandaian yang kau
miliki itu. Karena, di dunia ini sangat banyak orang sakti. Oleh karenanya, kau
harus berhati-hati membawa dirimu," ujar
Dewa Jubah Putih. Mulutnya masih meringis menahan sakit, akibat waktu latihan
tadi dadanya terpukul oleh Sanjaya.
"Baik, Eyang. Segala nasihat Eyang akan selalu kuingat,"
sahut pemuda itu sambil mengikuti lang-kah kaki gurunya.
Wajah pemuda itu nampak berseri karena se-bentar lagi akan segera terjun ke
dunia ramai. Na-mun di balik itu, hatinya juga cemas terhadap ke-adaan gurunya.
"Duduklah, Sanjaya. Ada sesuatu yang ingin ku-ceritakan padamu. Sebenarnya, hal
ini akan ku-katakan apabila kau telah kembali dari pengemba-raanmu. Tapi aku
mempunyai firasat yang tidak baik Sehingga kuputuskan untuk menceritakannya
kepadamu hari ini juga," jelas Dewa Jubah Putih.
Kakek tua itu menatap wajah muridnya lekat-Iekat Sesaat kemudian, sepasang mata
tua itu ber-alih ke arah langit yang biru dan nampak jernih itu.
"Apakah yang ingin Eyang sampaikan?" Tanya Sanjaya.
Hatinya mendadak berdebar mendengar ucapan gurunya yang masih mengandung tekateki itu. "Muridku Sebenarnya aku masih menyimpan sebuah kitab dan sebuah senjata pusaka.
Kitab itu berisikan ilmu menggunakan senjata pusaka itu. Kedua buah pusaka itu
diberikan guruku secara turun-temurun. Namun sayang, sampai saat ini belum ada
seorang pun dari keturunannya yang mampu mempelajari isi kitab itu secara
sempurna, termasuk aku.
Karena di antara semua keturunan belum ada seorang pun yang memiliki bakat yang
baik. Ketika aku mengambilmu sebagai murid, ba-kat untuk mempelajari ilmu
tersebut sudah dapat kulihat. Walaupun kau masih harus meluaskan pengalamanmu,
tapi aku tetap akan menyerahkan kedua buah pusaka itu kepadamu. Karena, aku
merasa ada sesuatu yang akan terjadi."
Kakek tua itu kembali menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya kuatkuat Seolah-olah dia ingin melepaskan ganjalan yang se-lama ini menyesakkan
dadanya. Sanjaya hanya terdiam menanti kelanjutan ce-rita gurunya.
Pemuda itu sama sekali tidak ber-usaha mendesak orang tua itu agar cepat-cepat
me-nyerahkan kedua pusaka yang disebutkan tadi. Memang, dia bukan jenis orang
yang serakah atau-pun berambisi untuk hal-hal seperti itu.
"Perlu juga kau ketahui, Muridku. Aku masih mempunyai beberapa orang adik dan
seorang kakak seperguruan. Sengaja aku menyembunyikan diri di tempat ini karena
untuk menghindari mereka. Se-lama ini aku memang masih selamat dari penge-jaran.
Tapi siapa tahu suatu hari nanti mereka akhirnya akan mengetahui tempat
persembunyian-ku ini"
Kakek itu sebentar menghentikan ceritanya. Matanya terus menerawang jauh,
membayangkan saat-saat dikejar-kejar oleh saudara seperguruan-nya.
"Dan sebelum mereka sempat mengetahuinya, aku ingin menyerahkan kedua pusaka itu
kepada-mu. Terserah kau, apakah ingin dibawa dalam perantauanmu atau ingin
disembunyikan di satu tempat. Karena, firasatku mengatakan kalau tempat ini
sudah tidak aman untuk menyembunyikan kedua pusaka itu. Kalau mereka datang
setelah kau pergi sambil membawa dua pusaka itu, maka kedua pusaka itu akan
selamat. Karena mereka tidak mengetahui kalau aku mempunyai seorang murid. Nah!
Bersediakah kau menerima kedua pusaka itu dengan menanggung segala akibatnya?"
Tanya sang Guru menutup ceritanya.
"Eyang. Apapun yang diperintahkan akan ku-jalankan meskipun harus berkorban
nyawa karena-nya. Dan rasanya semua itu masih belum cukup untuk membalas budi
Eyang yang telah bertumpuk-tumpuk," sahut Sanjaya, menekan keharuan dalam hatinya.
"Hm.... Kalau kesediaanmu menerima kedua pusaka itu hanya karena budi, aku tidak
suka, San-jaya," tegas Dewa Jubah Putih sambil mengerutkan keningnya dalamdalam. Dari nada suaranya, jelas sekali kalau dia merasa tak senang dengan
jawaban muridnya.
"Maafkan aku, Eyang," ucap Sanjaya lirih dan mengandung penyesalan yang dalam.
"Jangan sekali-kali kau libatkan dirimu dengan persoalan hutang budi, Muridku.
Karena hal itu ke-lak akan mendatangkan celaka. Kedua pusaka itu kuserahkan
kepadamu dengan tujuan agar kau da-pat melanjutkan pengorbanan pendahulu-pendahulu kita dalam menentang segala bentuk kejaha-tan. Jelasnya, aku tidak ingin
ilmu-ilmu perguruan yang telah turun temurun ini akan lenyap karena tak ada yang
bisa mempelajarinya. Tapi ingat, aku tidak memaksamu untuk menerimanya begitu
saja, Sanjaya. Kalau tidak sudi menerimanya, katakana-lah! Jangan ragu-ragu."
"Aku bersedia menerimanya, Eyang. Dan aku pun berjanji untuk mempelajarinya
dengan sung-guh-sungguh!" jawab Sanjaya mantap. Sedikit pun tidak terlihat
keraguan dalam nada suaranya.
"Hm.... Kalau kau bersedia menerimanya, mari-lah kutunjukkan kedua pusaka
warisan perguruan kita itu," ajak Dewa Jubah Putih sambil bangkit dari duduknya
dan melangkah meninggalkan tempat itu.
Tanpa berkata sepatah pun, Sanjaya bergegas mengikuti gurunya yang berjalan
memasuki hutan yang cukup lebat Saat itu matahari sudah semakin naik tinggi.
Sinarnya pun telah merata ke seluruh permukaan bumi.
*** "Lihatlah bukit itu, Muridku. Di balik bukit itu-lah kedua benda pusaka warisan
leluhur perguruan kita tersimpan," jelas Dewa Jubah Putih sambil me-ngarahkan
jari telunjuknya ke arah sebuah bukit cadas yang terletak tidak jauh dari mulut
hutan. "Mengapa Eyang tidak menyembunyikannya di dalam pondok saja?" Tanya Sanjaya.
Pemuda itu merasa heran melihat tempat per-sembunyian kedua pusaka itu. Karena,
tempat itu cukup sulit untuk didatangi.
"Hm.... Aku tidak mengatakan kalau pusaka itu disimpan di atas puncak bukit,
Sanjaya. Aku hanya ingin mengatakan kalau aku menyembunyikannya di balik bukit.
Jadi kita tidak perlu mendaki bukit itu untuk mengambilnya," sahut Dewa Jubah
Putih seraya tersenyum mendengar perranyaan muridnya.
Karena, hal itu berarti orang tentu akan mengira kalau kedua benda pusaka itu
disembunyikan di puncak bukit.
Tanpa berkata-kata lagi, orang tua itu melesat cepat menuju ke balik bukit. Ilmu
meringankan tu-buhnya sudah demikian tinggi. Tidak heran kalau dalam sekejap
saja sudah bergerak jauh. Dan San-jaya tidak mau ketinggalan. Sekuat tenaga,
dikejar gurunya itu.
Setelah mengitari bukit kecil itu, tidak berapa lama kemudian mereka tiba
didepan sebuah mulut gua yang tidak terlalu besar.
Paling-paling hanya seukuran tubuh orang dewasa.
"Di situkah Eyang menyimpannya?" Tanya Sanjaya lagi sambil menunjuk mulut gua
kecil itu. Dewa Jubah Putih hanya tersenyum mendengar pertanyaan muridnya. Kemudian kakinya
melang-kah lambat-lambat ke arah mulut gua itu. Diangkat-nya sebuah batu sebesar
kepala kerbau yang berada satu tombak dari mulut gua. Setelah menggali bebe-rapa
saat dengan menggunakan tangannya, dia mengangkat keluar sebuah kotak yang
terbuat dari kayu jati.
Baru saja kakek itu hendak meletakkan kotak itu di atas tanah, tiba-tiba....
Slap! Dua bayangan berkelebat cepat menyambamya.
Berbarengan dengan itu, terdengar suara bentakan nyaring.
"Serahkan kotak itu kepadaku, Dewa Jubah Pu-tih!"
Kakek tua itu pun bergegas menarik kotak di tangannya ke belakang. Sehingga
terkaman dua so-sok tubuh itu hanya menyambar angin kosong.
Dewa Jubah Putih terus melempar tubuhnya berjumpalitan ke belakang. Manis sekali
kakinya menjejak tanah, bahkan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
"Sanjaya, lari...!" Teriak kakek itu yang segera melesat meninggalkan tempat


Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Dewa Jubah Putih melarikan diri bukan karena takut, melainkan tempat itu tidak
cocok untuk ber-tarung. Sedangkan kawan-kawan dua sosok baya-ngan tadi sudah
pula bermunculan dari balik se-mak-semak.
Tanpa membantah lagi, Sanjaya bergegas me-lompat mengikuti gurunya. Pemuda itu
sempat ter-tegun melihat kejadian yang tak disangka-sangka. Untunglah gurunya
sempat memperingatkan. Kalau tidak, mungkin Sanjaya masih tetap berdiri bingung di
tempatnya. "Hm.... Mau lari ke mana kau, Manusia Sera-kah"!" Bentak salah seorang, sambil
melesat menge-jar guru dan murid itu.
Sementara itu enam orang lainnya ikut pula ber-lompatan mengejar. Menilik
gerakan yang rata-rata gesit dan lincah, dapat dipasrJkan kalau orang-orang itu
bukanlah tokoh sembarangan.
Setelah agak lama berkejaran, mereka tiba ditempat yang agak lapang tempat
Sanjaya biasa berlatih ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya yang berjuluk Dewa Jubah
Putih. "Sanjaya, kau cepat pergi! Tinggalkan tempat ini Dan sembunyikanlah benda pusaka
ini!" Perintah Dewa Jubah Putih sambil menyerahkan kotak yang berisi benda-benda
pusaka warisan gurunya.
"Eyang! Mengapa tidak kita hadapi saja mereka. Bukankah kita belum tentu kalah?"
Bantah Sanjaya yang merasa terheran-heran melihat sikap gurunya yang tampak
begitu khawatir.
"Ah! Kau tidak tahu, Sanjaya. Mereka bukanlah orang sembarangan. Dan bukan tidak
mungkin ka-lau di antara mereka terdapat adik ataupun kakak seperguruanku yang
telah lama mencari-cari benda pusaka ini! Cepatlah sebelum mereka sampai melihatmu!" desak Dewa Jubah Putih sambil mendorong tubuh muridnya hingga jatuh
terguling-guling.
*** 2 "Heaaat..!"
Dua sosok tubuh yang baru tiba langsung me-lesat menerjang Sanjaya yang tengah
terguling-guling. Dua pasang tangan tampak terulur saling berebutan menyambar
benda di tangan pemuda itu.
Dewa Jubah Putih terkejut melihat keadaan ini. Cepat bagai kilat tubuhnya
melesat memapak gera-kan mereka. Sepasang tangannya bergerak berputa-ran dan
menyerang beberapa kali saling susul.
Plak! Plak! Plak!
"Aaah...!"
Ledakan keras terdengar begitu tiga pasang tangan bertemu, mengadu tenaga dalam
tingkat tinggi. Tubuh masing-masing terjajar mundur bagai dilontarkan oleh
tenaga kuat yang tak tampak oleh mata.
"Kakang Aji Barga...! Adi Bukaran...! Apa yang kalian lakukan"!" Seru Dewa Jubah
Putih ketika mengenali kedua orang itu.
Mereka tak lain adalah kakak dan adik sepergu-ruan laki-laki tua yang berjuluk
Dewa Jubah Putih. Kekhawatiran kakek itu memang beralasan. Dan fi-rasatnya
ternyata benar.
"Hm.... Adi Shindupala, mengapa kau masih ber-pura-pura bertanya. Kau pasti
sudah bisa menduga maksud kedatangan kami ke sini. Ayo! Serahkan ke-dua pusaka
itu kepadaku! Sudah terlalu lama kau menyimpannya. Apakah kau ingin mengangkangi
kedua pusaka perguruan kita itu sendirian"!"
Ben-tak orang yang bemama Aji Barga geram. Sepasang matanya merah, memancarkan
ancaman kematian.
"Benar, Kakang Shindupala. Sudah terlalu lama kedua pusaka warisan guru kita itu
berada di ta-nganmu. Dan sekarang kami datang untuk me-mintanya. Bukankah kedua
pusaka itu memang untuk kita bertiga" Nah! Sekarang, serahkanlah ke-pada kami.
Kelak kami akan mengembalikannya lagi kepadamu apabila sudah selesai
mempelajarinya," timpal orang yang bernama Bukaran. Laki-laki ini adik
seperguruan Dewa Jubah Putih.
"He he he...! Aku pun sudah tidak sabar lagi ingin segera melihat kedua pusaka
warisan guru kita itu. Harap kau berbaik hati untuk meminjam-kannya kepadaku
barang satu dua tahun, Kakang Shindupala," terdengar suara lain.
Rupanya di situ juga telah hadir sosok orang yang secara langsung mengaku
sebagai saudara se-perguruan mereka.
Orang itu melangkah lebar menghampiri ketiga orang saudara seperguruan yang
tengah bersitegang itu.
"Hm.... Adi Paksaka pun rupanya menginginkan juga benda itu," sindir Aji Barga.
Aji Barga memang orang tertua di antara ke-empat orang saudara seperguruan itu.
Walaupun usianya sudah lebih delapan puluh tahun, namun wajah dan tubuhnya masih
terlihat gagah dan kuat.
"Tentu saja, Kakang Aji Barga. Apakah kau pikir hanya kau saja yang ingin
mempelajari kitab pusaka peninggalan guru kita?" Sahut Palwaka sambil memperiihatkan senyum sinisnya.
Tidak berapa lama setelah kedatangan Palwaka, berturut-turut muncul delapan
orang lainnya. Na-mun kedelapan orang
yang baru datang itu berusia lebih muda dari keempat tokoh sakti itu. Usia mereka sekitar dua sampai tiga puluh tahun.
"Hm.... Siapa lagi mereka itu?" Tanya Ki Shindupala atau yang berjuluk Dewa
Jubah Putih dengan suara lirih, namun agak jelas terdengar.
. "Mereka adalah muridku, Adi Shindupala. Dan untuk kepentingan merekalah
sehingga aku datang ke sini.
Ketahuilah, Shindupala. Mereka bertiga ini-lah yang akan melanjutkan kejayaan
perguruan kita," sahut Aji Barga memperkenalkan tiga pemuda yang kini sudah
berdiri di belakangnya. Sementara lima orang lainnya agak ke belakang lagi.
Temyata lima orang muda itu adalah murid Ki Bukaran dan Ki Palwaka yang kemudian
sudah ber-diri di belakang gurunya masing-masing.
"Apakah kau tidak berniat memperkenalkan mu-ridmu itu, Shindupala" Ataukah
sengaja disembu-nyikan agar ia dapat mempelajari ilmu itu sendi-rian?" Sindir Ki
Bukaran dengan nada sinis.
"Ya. Anak ini memang muridku satu-satunya. Dan hanya dialah yang berhak untuk
mempelajari kitab pusaka peninggalan guru kita. Ingat, Kakang Aji Barga, Adi
Bukaran dan Adi Palwaka. Guru telah menyerahkan kedua pusaka ini hanya untukku.
Dan kalian masing-masing telah mendapatkan se-buah pusaka. Nah, mengapa sekarang
kalian men-jadi serakah?"
Ki Shindupala atau Dewa Jubah Putih berhenti sebentar.
Matanya merayapi kakak dan adik seper-guruannya dengan pandangan penuh
kekecewaan. "Apakah kalian tidak takut dikutuk arwah guru kita" Apa sebenarnya yang telah
terjadi pada kalian" Mengapa setelah guru meninggal lalu kalian ber-ubah menjadi
orang serakah dan selalu ingin me-miliki kepunyaan orang lain" Bukankah pusakapu-saka yang diberikan kepada kalian juga tidak kalah ampuhnya?" tegas Ki
Shindupala. Suaranya terde-ngar bergetar. Jelas sekali kalau orang tua yang berjuluk Dewa Jubah Putih itu merasa terpukul me-lihat sikap saudara-saudara
seperguruannya itu.
Ketiga orang itu terdiam ketika mendengar uca-pan Ki Shindupala yang terasa
menusuk hati. Un-tuk beberapa saat lamanya suasana jadi hening, tak ubahnya di
pekuburan. Tak seorang pun yang me-ngeluarkan kata-kata. Sehingga yang terdengar
hanya suara napas mereka.
Aji Barga orang tertua di antara keempat tokoh itu cepat menekan perasaannya.
Diakui kalau hati-nya sangat lemah.
Namun keinginannya untuk me-miliki kedua pusaka itu rupanya telah membuatnya
jadi gelap mata. Sehingga, dia berusaha melupakan hubungan saudara seperguruan
yang sangat erat itu. Setelah menarik napas berulang-ulang, Ki Aji Barga
mengangkat kepalanya.
"Dengar, Adi Shindupala. Kami tidak akan melu-pakan hubungan di antara kita. Dan
aku pun juga tidak melupakan jasa-jasa guru kepadakk. Tapi, sudikah kau
meminjamkan pusaka itu kepadaku barang satu dua tahun" Aku berjanji akan mengembalikannya setelah waktu yang ditentukan itu, Adi Shindupala. Apakah sikapku
yang demikian masih dikatakan jahat" Aku hanya ingin meminjam dan bukan
merampas!" tegas Ki Aji Barga.
Suara laki-laki tua itu lebih lembut dari semula. Wajahnya pun terlihat tidak
lagi tegang. Bahkan sepasang sinar matanya seperti memancarkan keha-ngatan dan
persaudaraaan. Tentu saja Ki Shindupala menjadi terkejut mendengar ucapan kakak seperguruannya
itu. Sejenak hatinya tersentuh mendengar kata-kata maupun sinar mata saudara
seperguruannya itu. Namun de-mikian Shindupala sadar kalau kakak seperguru-annya
itu tengah bersiasat dan berupaya membu-juknya dengan kata-kata manis. Karena,
di antara keempat orang saudara seperguruan itu hanya diri-nyalah yang memiliki
perasaan welas asih. Sedang-kan yang lainnya rata-rata memiliki sifat serakah
dan licik. Dan rupanya, Ki Aji Barga sengaja melon-tarkan bujukan yang dapat
melemahkan hatinya. Sebab, dia telah mengetahui segala sifat yang di-milikinya
itu. "Maaf, Kakang Aji Barga. Bukan maksudku un-tuk menyerakahi kedua pusaka itu
sendiri saja. Tapi, kita semua sama-sama tahu kalau aku telah bersumpah didepan
guru untuk menjaga kedua pusaka ini sampai akhir hayat. Dan kalian pun telah
pula mengetahui pesan guru sebelum beliau wafat.
Ingatkah kau, Adi Palwaka" Apa yang dikatakan guru?" jelas Ki Shindupala.
Dewa Jubah Putih mencoba menggugah kesa-daran saudara-saudara seperguruannya.
Sengaja melontarkan pertanyaan kepada Ki Palwaka, karena hanya adik
seperguruannya itulah yang paling dekat dengannya.
"Hhh.... Aku masih mengingatnya, Kakang Shindupala,"
sahut Ki Palwaka.
Laki-laki kurus adik seperguruan Ki Shindupala itu menundukkan wajahnya yang
agak pucat. Dia memang teringat akan wejangan dan nasihat guru-nya sebelum
meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Temyata ingatan itu membuatnya lemah
dan tak bersemangat. Justru memang hal itulah yang diharapkan Ki Shindupala.
Hanya dengan jalan
mengingatkan akan guru mereka, diharapkan dapat menyadarkan saudara-saudara
seperguruannya yang khilaf itu.
"Katakanlah. Apa yang dipesankan guru waktu itu, Adi Palwaka," pinta Ki
Shindupala dengan suara bergetar lembut Hingga seolah-olah suara itu mene-lusup
ke dalam relung hati dan menggetarkan jiwa.
"Yah.... Kita harus menjaga apa-apa yang telah diwariskan guru, dan tidak boleh
menyerahkan pemberian itu kepada orang lain. Meskipun, orang itu adalah saudara
seperguruan sendiri. Hanya ke-pada murid-murid yang berbakatlah warisan itu baru
bias diturunkan," Ki Palwaka menuturkan. Dia memang tidak bisa berbohong pada
yang lain. Apa-lagi untuk mengingkari pesan gurunya.
Setelah berkata demikian, kepala laki-laki kurus itu kembali tertunduk. Seolaholah wajahnya ingin disembunyikan karena merasa malu terhadap apa yang akan
dilakukannya tadi.
"Bodoh kau, Palwaka! Kata-kata itu hanya ber-laku selagi guru kita masih hidup.
Dan setelah beliau pergi, maka segala aturan aku yang menentu-kannya. Karena aku
adalah murid yang paling tua. Ingat itu!"
Ki Aji Barga yang rupanya tidak ingin mendengar kata-kata itu menjadi marah.
Bentakan itu dituju-kan jelas buat Ki Palwaka dengan penuh kegera-man. Wajahnya
tampak memerah menahan amarah yang meledak-ledak dalam dada.
"Benar! Aku setuju dengan Kakang Aji Barga. Sebagai orang tertua di antara kita,
maka dialah seka-rang yang berhak mengatur kita!" tegas Ki Bukaran mendukung
ucapan kakak seperguruan-nya itu.
"Jangan bodoh, Adi Bukaran! Bukankah pesan terakhir beliau menyuruh kita untuk
menempuh jalan masing-masing dan
mengamalkan apa-apa yang telah diterima dari beliau!" bantah Ki Shindu-pala
kembali, tetap berpegang ucapan terakhir gurunya. Dan itu memang satu-satunya
senjata yang paling ampuh untuk menundukkan hati saudara-saudara seperguruannya
itu. Sanjaya hanya terdiam tidak berusaha untuk mencampuri urusan itu. Karena, pemuda
itu me-mang tidak mengetahui persoalan yang tengah diperdebatkan gurunya dengan
saudara-saudara seperguruannya itu. Dia hanya dapat memandang dengan wajah
cemas. Sebab disadari kalau keselamatan dirinya serta gurunya tengah terancam!
Dan tentu saja hal itu membuatnya gelisah!
"Sudahlah! Kalau kau memang keras kepala mempertahankan dan menyerakahi pusaka
itu, ter-paksa jalan kekerasan yang akan kuambil!" Kembali Ki Aji Barga yang
sudah tidak dapat menahan ke-sabarannya. SeperHnya pertempuran berdarah an-tara
saudara seperguruan itu tak mungkin dapat dicegah lagi.
"Maaf, Kakang. Aku terpaksa harus melawanmu demi mempertahankan apa yang telah
menjadi hak-ku!" Sahut Ki Shindupala, dingin. Dia segera bersiap untuk
menghadapi serangan kakak seperguruan-nya. Dewa Jubah Putih telah bertekad untuk
mem-pertahankan pusaka peninggalan gurunya yang di-amanatkan kepadanya itu.
"Kalian rebutlah peti yang berada di tangan pemuda itu!"
Perintah Ki Aji Barga kepada tiga orang muridnya.
Setelah berkata demikian, kakek itu segera melesat ke arah Ki Shindupala.
"Heaaat..!"
Dibarengi sebuah bentakan menggeledek, Ki Aji Barga mulai membuka serangannya.
Wut! Wut! Sepasang tangan Ki Aji Barga bergerak cepat menimbulkan sambaran angin dahsyat.
Sepertinya dia sudah tidak memandang Ki Shindupala sebagai adik seperguruannya
lagi, melainkan sebagai musuh yang harus dimusnahkan!
Ki Shindupala atau yang lebih dikenal dalam dunia persilatan berjuluk Dewa Jubah
Putih ber-gegas menggeser tubuhnya sambil melontarkan se-rangan balasan yang
tidak kalah dahsyat. Sepasang tangannya dengan jari-jari terbuka melakukan tamparan dan bacokan susul-menyusul.
Bet! Bet..! Jari-jari tangan Dewa Jubah Putih menusuk dan membacok menimbulkan suara
meneieit tajam membelah udara.
Serangannya benar-benar dahsyat dan berbahaya. Bahkan bila dialiri tenaga dalam
kuat, sanggup menembus dan memecahkan batu sebesar perut kerbau bunting!
Ki Aji Barga tentu saja telah mengetahui akan kehebatan ilmu yang digunakan adik
seperguruan-nya, karena mereka memang seperguruan. Maka, biarpun Ki Shindupala
menerjang cepat dan ganas, lawannya tetap saja dapat mengelak. Ki Aji Barga
memang telah mengetahui arah sasaran pukulan adik seperguruannya itu. Hanya saja
yang perlu di-perhitungkan, kecepatan gerak lawan. Memang se-menjak muda, Ki
Shindupala memiliki kelebihan itu dibanding dengan saudara-saudaranya yang lain.
Itulah satu-sarunya keuntungan yang dimiliki Dewa Jubah Putih.
Pertarungan yang berlangsung antara dua orang saudara seperguruan berkepandaian
tinggi itu, be-nar-benar mengerikan. Sehingga di tempat pertem-puran tak ubahnya
seperti dilanda angin topan.
Pepohonan yang berada dekat kedua tokoh sake itu berderak-derak ribut
dipermainkan angin puku-lan masing-masing yang menyambar-nyambar. Bah-kan
beberapa di antaranya telah rebah akibat terlanggar pukulan nyasar.
Sehingga tempat kedua orang tokoh sakti itu bertarung bagai diamuk ribuan gajah
yang sedang marah.
Sementara itu, Sanjaya yang tengah menggen-dong erat peti berisi benda pusaka
peninggalan ka-kek gurunya, berusaha meloloskan diri dari serga-pan tiga orang
murid Ki Aji Barga.
Pemuda itu tentu saja menjadi kalang kabut, karena kepandaian tiga orang
pengeroyoknya boleh dibilang setingkat de-ngannya. Apalagi kini harus menghadapi
tiga orang sekaligus!
"He he he...! Lebih baik serahkan peti itu sebelum kami memutuskan untuk
membunuhmu. Pemuda Tolol! Aku berjanji akan membebaskan apabila kau mau
menyerahkan peti itu kepadaku," bujuk salah seorang dari pengeroyok itu. Sambil
berkata demikian, sepasang tangan dan kakinya terus saja melakukan seranganserangan gencar.
"Huh! Apakah kalian pikir aku takut mati"! Ja-ngan coba-coba membujukku. Karena
sampai mati pun peti ini tidak akan sudi kuserahkan kepada kalian!" Bentak
Sanjaya tanpa mengenal rasa takut sedikit pula.
"Bangsat, mampuslah!" Teriak salah seorang dari pengeroyok.
Belum juga hilang gema suaranya, dia melontarkan sebuah pukulan yang menimbulkan
deruan angin keras. Nampaknya orang itu ingin membunuh Sanjaya dengan sekali
pukul. Zebbb! "Aaah...!"
Sanjaya sebisanya menggeser tubuh untuk menghindari pukulan yang memankan itu.
Kemu-dian tubuhnya dilempar ke belakang, karena pada saat itu datang serangan
lainnya. Tubuh pemuda itu melambung dan bersalto beberapa kali di udara. Tapi, baru saja
kakinya mendarat di atas tanah, dua buah pukulan dan tendangan segera
menyambutnya. Cepat Sanjaya bergulingan ke kiri sambil tetap memegang erat peti
mati di tangannya.
"Heaaat..!"
Salah seorang murid Ki Aji Barga melompat tinggi, kemudian meluruk disertai


Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah pukulan yang siap meremukkan tubuh Sanjaya.
Brak! Sebatang pohon yang berada di belakang pemuda tinggi tegap itu kontan roboh
menimbulkan suara gemuruh.
Untunglah Sanjaya telah lebih da-hulu menggulingkan tubuhnya ke samping. Kalau
tidak, tentu tubuhnya yang terkena sasaran puku-lan lawan.
Cring! Sadar kalau tidak mungkin dapat menyelamat-kan diri dari ketiga orang itu,
Sanjaya mencabut senjatanya di pinggang.
Went! Went...! Pedang di tangan pemuda itu langsung berke-lebat membentuk segunduk sinar yang
menyelimuti tubuhnya.
Rupanya Sanjaya berniat membentuk benteng pertahanan untuk menghalau serangan
ke-tiga orang pengeroyoknya.
"Yeaaat..!"
Meskipun Sanjaya telah menggunakan pedang, namun ketiga orang pengeroyok itu
sama sekali tidak kelihatan gentar.
Salah seorang dari mereka kembali menerjang. Serangannya terlihat menderu-deru.
Bet! Bet..! Wut...! "Aaah...!"
Orang itu berseru kaget dan bergegas melempar tubuhnya ke belakang. Karena pada
saat melakukan serangan, tahu-tahu saja dari dalam gundukan si-nar putih itu
menyembul ujung-ujung pedang yang siap menghunjam tubuh. Tentu saja ia tidak
ingin tubuhnya dijadikan sasaran ujung-ujung pedang lawan. Maka tubuhnya segera
dilempar ke belakang.
"Setan...! Rupanya ilmu pedang si tolol ini hebat juga!" Puji orang itu sambil
mengumpat marah dan penasaran.
Dia sama sekali tidak menyangka kalau di dalam gundukan sinar putih itu
tersembunyi ancaman maut. Hal itu semakin membuatnya penasaran. Me-nurut
pikirannya, seharusnya kepandaian pemuda tinggi tegap itu masih di bawahnya.
Sebab pemuda itu adalah murid Ki Shindupala, yang berarti adik seperguruan Ki
Aji Barga, guru mereka. Tapi sayang dugaannya itu keliru. Biarpun guru pemuda
itu masih terhitung adik seperguruan Ki Aji Barga, na-mun kepandaian kedua guru
mereka boleh dibilang seimbang. Bahkan bisa jadi Ki Shindupala lebih unggul
daripada kakak seperguruannya.
Karena, Dewa Jubah Putih lebih tenang, lebih bersih hati dan tenaga batinnya.
"Sudahlah! Jangan hanya mengumpat saja bisa-mu, Adi Lebih baik cabut senjatamu
agar kita dapat meringkusnya lebih cepat'" usul saudara seper-guruannya yang
lebih tua beberapa tahun darinya.
"Baiklah, Kakang. Aku pun sudah tidak sabar ingin menghancurkan batok kepala
pemuda tolol itu!" Sahutnya sambil mencabut keluar pedang yang tergantung di
punggung. Cring! Cring! Cring!
Tiga batang pedang berdesingan ketika tercabut keluar dari sarungnya Dan tanpa
membuang-buang waktu lagi, ketiga orang itu pun segera melompat sambil
mengayunkan pedang.
"Heaaat..!"
Sanjaya semakin mempercepat putaran pedang-nya. Dan kini sinar putih itu semakin
melebar me-lindungi dirinya.
Rupanya ia benar-benar bertekad untuk mempertahankan peti itu sampai titik darah
yang penghabisan.
Wut! Wut..! Biar bagaimanapun rapatnya pertahanan pedang pemuda tinggi tegap itu, tetap saja
tak akan mampu untuk menghalau tiga batang pedang pengeroyok-nya. Memang, tenaga
dalam yang mereka miliki boleh dikatakan rata-rata seimbang. Dan kini San-jaya
terpaksa harus bergulingan untuk menyelamatkan diri dari tusukan tiga batang
pedang yang terus mencecarnya.
Memasuki jurus yang kelima puluh, Sanjaya tak dapat lagi menghindari sebuah
sabetan yang meng-ancam punggung, karena kedudukannya benar-benar tidak
menguntungkan. Wut..! Bret! "Aaah...!"
Tubuh tinggi tegap itu tedempar ke samping ke-tika ujung pedang salah seorang
pengeroyok ber-hasil melukai punggungnya Meskipun luka itu tidak begitu dalam,
namun cukup menimbulkan rasa perih. Darah segar pun mulai menetes membasahi rerumputan
hijau. "Huh! Sekarang terimalah kematianmu, Pemuda Tolol!"
Teriak salah seorang pengeroyok yang ber-nafsu sekali untuk melenyapkan nyawa
Sanjaya. Singngng! Tampak mata pedang lawan berkilatan tertimpa cahaya matahari. Sepertinya Sanjaya
sudah tidak mungkin lagi bisa menyelamatkan setembar nyawa-nya dari kematian!
*** Bret! "Aaargh...!"
Sanjaya menjerit kesakitan ketika ujung pedang itu membabat kulit perutnya.
Untung ia masih sempat sedikit berkelit, sehingga luka yang diderita tidak
terlalu parah. Begitu lolos dari kematian, pemuda tinggi tegap itu menggulingkan
tubuhnya menghindari bacokan lawan yang berikut.
"Sanjaya...!" sentak Ki Shindupala.
Laki-laki tua yang tengah bertempur sengit itu terpecah perhatiannya ketika
mendengar jeritan mu-ridnya. Mau tak mau Dewa Jubah Putih harus membayar mahal
akibat kekhawatiran pada murid-nya itu. Sebuah pukulan telapak tangan Ki Aji
Barga tak pelak lagi menghantam dadanya.
Desss! "Ugh...!"
Tubuh kurus itu terbanting keras beberapa tombak disertai semburan darah segar
dari mulut-nya. Namun Dewa Jubah Putih bergegas bangkit meskipun agak timbung.
Sambil menekap dadanya, tubuh laki-laki tua itu melesat ke arah muridnya yang
sedang bertarung.
"Jahanam kalian!" teriak kakek itu parau.
Meskipun telah menderita luka yang cukup parah namun Dewa Jubah Putih masih juga
ber-usaha untuk menyelamatkan muridnya. Tubuhnya terus meluncur dengan kedua
tangan terkembang ke kiri-kanan.
Desss! Desss! "Aaahk..!"
Dua orang pengeroyok yang siap merejam tubuh Sanjaya terlempar akibat hantaman
sisi telapak tangan Dewa Jubah Putih. Kedua orang itu ter-jungkal ke tanah.
Untung saja kakek itu dalam ke-adaan terluka sehingga tenaga pukulannya pun
tidak sekuat semula. Namun demikian, cukup mem-buat dua orang itu meringis
kesakitan. "Keparat kau, Shindupala! Kubunuh kau!" teriak Ki Aji Barga yang murka melihat
kedua orang mu-ridnya jatuh terjerembab akibat pukulan Ki Shindu-pala.
"Sanjaya, bagaimana keadaanmu?" Tanya Dewa Jubah Putih cemas.
"Aku... aku tidak apa-apa, Eyang. Hanya luka sedikit dan tidak terlalu
mengkhawatirkan," sahut Sanjaya sambil berusaha bangkit berdiri.
Dengan berpegangan pada pedang, pemuda itu bangkit dari duduknya. Sedangkan
tangan kirinya tetap mengempit peti yang berisikan kitab dan sen-jata pusaka
pemberian gurunya.
"Cepat tinggalkan tempat ini, Muridku. Blarlah Eyang yang akan mencegah mereka.
Jangan mem-bantah. Karena hanya kaulah satu-satunya yang akan meneruskan
kelanjutan perguruan kita," tegas Ki Shindupala yang tidak ingin dibantah
perintah-nya. Baru saja ucapannya selesai, sesosok bayangan melesat menerjang ke
arah mereka. "Heaaat..!"
Wut! Wut! Dewa Jubah Putih mendorong tubuh muridnya agar terhindar dari pukulan sosok
tubuh itu. Sedangkan dirinya sendiri bergegas melempar tubuh ke samping dan
terus bergulingan. Setelah terpisah agak jauh, tubuh kakek itu cepat melenting
bangkit. Tapi belum lagi sempat berdiri tegak, sebuah tenda-ngan keras telah
menghantam punggungnya.
Buk! "Huakkk...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ki Shindupala tersuruk kedepan. Darah segar
muncrat dari mulut-nya, sehingga luka yang dideritanya semakin ber-tambah parah.
"Uhhh...!" Sambil mengerang menahan sakit, kakek itu susah-payah berusaha
bangkit berdiri. Darah masih saja mengalir dari sudut bibimya.
"Eyang...!"
Melihat keadaan gurunya yang tampak terluka parah itu, Sanjaya tak sampai hati
meninggalkan-nya. Bergegas pemuda itu kembali dan membantu gurunya bangkit.
"Eyang.... Aku tidak bisa meninggalkanmu da-lam keadaan seperti ini. Aku tidak
bisa...!" Tegas pemuda tinggi tegap itu
dengan suara parau. San-jaya menarik napas berulang-ulang untuk mengusir rasa
sesak di dadanya.
"Sanjaya. Kalau kau memang ingin berbakti kepada gurumu ini, turutilah
perintahku. Pergilah! Tinggalkan tempat ini dan selamatkan pusaka yang
kuamanatkan kepadamu itu," ujar Ki Shindupala dengan suara terputus-putus. Wajah
kakek itu nampak semakin pucat, karena sudah cukup ba-nyak kehilangan darah.
"Hm.... Shindupala! Apakah kau masih bersi-keras hendak mempertahankan benda
itu" Ayo, serahkan padaku sebelum kesabaranku habis!" Ben-tak Ki Aji Barga yang
sudah berdiri tegak beberapa tombak di hadapan Dewa Jubah Putih.
Rupanya kakek Itulah yang telah melepaskan tendangan keras tadi.
Ki Shindupala memandangi sosok-sosok yang
mengelilinginya dan Sanjaya. Ketiga orang saudara seperguruan dan murid-muridnya
itu tampak te-ngah menatap penuh ancaman. Bergegas kakek itu mencabut pedang
yang tergantung di pinggangnya.
"Tidak! Aku akan mempertahankannya sampai tetes darah yang penghabisan!" Tegas
Ki Shindupala sambil melintangkan pedang didepan dada. Sedikit pun tidak
terlihat kegentaran dari pancaran mata-nya.
"Keras kepala!" Umpat Ki Aji Barga yang segera melompat sambil membacok dengan
stsi telapak tangan ke arah leher Ki Shindupala.
Kali ini bukan hanya Ki Aji Barga saja yang menerjang Dewa Jubah Putih. Tapi Ki
Bukaran dan Ki Palwaka beserta murid-muridnya pun ikut pula menyerbu. Rupanya,
nasihat yang diberikan Ki Shindupala terhadap Ki Palwaka tidak berarti samasekali. Buktinya, dia pun ikut menyerang.
"Lari, Sanjaya..," bisik Ki Shindupala seraya mendorong tubuh muridnya keluar
arena pertem-puran.
Sesaat kemudian, tubuhnya segera melesat di-sertai putaran pedangnya yang
bergulung-gulung menebarkan angin keras.
Bagaikan seekor harimau luka, Ki Shindupala mengamuk dengan hebatnya.
Wut! Wut..! Sambaran pedang yang bagaikan angin topan itu sempat membuat para pengeroyoknya
melompat mundur. Ki Shindupala benar-benar kalap, sehingga serangannya begitu
menggiriskan. Tanpa mempe-dulikan dirinya lagi, kakek itu terus saja menerjang
bertubi-tubi. Bret! Bret! "Aaahk...!"
Dua orang murid lawannya langsung terguling mandi darah tersambar pedang di
tangan Ki Shin-dupala. Dua orang itu kontan tewas seketika dengan leher hampir
putus! Bukan main marahnya Ki Bukaran dan Ki Aji Barga melihat murid mereka tewas
termakan amu-kan Dewa Jubah Putih.
Hampir meledak dada mereka menahankan kemarahan yang memuncak.
"Keparat, kubunuh kau...!" Pekik Ki Bukaran yang segera meloloskan pedangnya.
Dengan kemarahan yang meluap-luap, kakek yang berusia sekitar enam puluh lima
tahun itu menerjang dahsyat.
Ki Shindupala yang sudah tidak mempedulikan keselamatan dirinya, bergegas
memapak ayunan pedang adik seperguruannya. Seluruh sisa-sisa tena-ganya
dikerahkan untuk menyambut serangan itu.
Trang! Trang! "Aaah...!"
Bunga api memercik disertai dentang senjata beradu yang memekakkan telinga.
Tubuh Dewa Ju-bah Putih yang memang sudah sangat lemah ter-jajar mundur dan
jatuh terguling-guling. Saat itu dua orang murid yang ikut mengeroyoknya membabatkan pedang ke tubuh Ki Shindupala yang tengah bergulingan.
Crag! Crag! "Aaakh...!"
Meskipun keadaannya sudah sangat payah, namun kakek itu temyata masih mampu
melepaskan diri dari ancaman dua bilah senjata itu. Seketika tubuhnya melenting
ke atas. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat di-tolak. Pada saat tubuh Ki
Shindupala tengah me-ngapung di udara, Ki Aji Barga cepat bagai kilat melompat
menyusulinya disertai tebasan ke arah pinggang kakek itu. Berbarengan dengan
itu, Ki Bu-karan pun melesat sambil menusukkan pedangnya ke arah jantung Dewa
Jubah Putih. Desss! Crap! "Aaargh...!"
Darah segar kembali muncrat disertai jeritan yang menyayat keluar dari mulut Ki
Shindupala. Tubuhnya terbanfing keras di atas tanah berumput Dan selagi tubuhnya
menggelepar meregang nyawa, telapak kaki Ki Aji Barga mendarat di atas dadanya.
Krek! "Hukkk..!"
Ki Aji Barga baru mengangkat kakinya dari dada adik seperguruannya ketika yakin
kalau tubuh tua itu sudah tidak bergerak lagi.
"Rasakanlah akibat sikap kepala batumu itu, Shindupala!"
Desis Ki Aji Barga seraya menendang tubuh adik seperguruannya yang telah tewas
de-ngan dada remuk dan tubuh berlubang itu. "Biar-pun muridmu lari ke neraka,
aku akan tetap me-ngejarnya!"
Setelah berkata demikian, tubuh kakek itu melesat cepat mengejar Sanjaya yang
melarikan diri dengan membawa benda pusaka yang diperebutkan itu. Ilmu
meringankan tubuhnya memang telah mencapai taraf kesempurnaan. Tak heran dalam
sekejap saja, tubuhnya telah lenyap meninggalkan tempat itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, yang lain pun ikut pula mengejar. Hanya Ki
Palwaka yang tidak terlihat di antara mereka. Rupanya dia telah mengambil
kesempatan lebih dulu untuk mengejar Sanjaya.
Tinggallah kini mayat Ki Shindupala dan dua orang lainnya tergolek kaku. Angin
pegunungan bersilir lembut menebarkan bau anyir darah!
*** Sanjaya berlari terseok-seok menuruni Lereng Gunung Kalaban. Tangan kirinya
masih tetap me-ngempit peti yang berisi pusaka yang mulai bemoda darah. Pedang
di tangan kanannya masih tetap ter-genggam erat.
Dug! "Aaah...I"
Tubuh pemuda tinggi tegap itu jatuh terguling-guling ketika langkah kakinya yang
lelah itu ter-sandung sebuah batu yang menonjol menghalangi jalan. Darah pun
tampak mengalir membasahi pa-kaiannya. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat
luka-luka akibat batu-batu bertonjolan yang tertin-das tubuhnya selagi jatuh
bergulingan. Meskipun seluruh tubuhnya terasa amat sakit, namun pemuda itu terus berusaha
bertahan. Kedua tangannya menggapai-gapai mencari peti dan pe-dang yang terlepas
dari tangannya tadi. Setelah berhasil mendapatkan kedua benda itu, Sanjaya
bergegas bangkit dan kembali beriari menuruni lereng gunung.
"Eyang.... Ahhh...."
Sambil terus berlari tersaruk-saruk, mulutnya tak henti-hentinya memanggilmanggil gurunya. Suaranya demikian lirih dan menyayat. Meskipun berusaha untuk
tidak menangis, tak urung dua titik air bening mengalir dari sepasang matanya
yang memerah. Dengan menahan keharuan dan kesedihan, San-jaya terus saja berlari tanpa berani
berhenti sekejap pun. Rasa marah, dendam, kesedihan, dan pena-saran berbaur
menjadi satu dalam hatinya. Masih tergambar jelas di pelupuk matanya, betapa
orang tua yang telah mengasuh dan mendidiknya semen-jak kecil itu bertarung
mati-matian demi keselama-tan dirinya. Ingatan itu membuat kerongkongannya bagai
tersumbat. Seringai kesedihan tergambar di wajahnya mewakili perasaan hatinya
yang tersayat-sayat.
Setelah melewati aliran sungai yang memisah-kan Gunung Kalaban dengan dunia
luar. Sanjaya terus berlari memasuki


Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulut hutan yang terletak di sebelah Barat Kald Gunung Kalaban.
Pemuda tinggi tegap yang telah lelah lahir dan batin itu terus saja menerobos
semak-semak. Sudah tidak dipedulikan lagi, apakah di hutan itu terdapat binatang
buas atau tidak. Saat itu yang ada dalam pikirannya hanyalah berlari dan berlari
sejauh-jauh-nya untuk menghindari kejaran orang-orang tamak itu.
Bruk! Kembali tubuh pemuda itu jauh tersuruk untuk yang kedua kalinya. Kali ini yang
menjadi penyebab adalah akar pohon besar yang menyembul di atas permukaan tanah.
"Hhh.... Hhh...."
Sanjaya tidak berusaha bangkit. Dibiarkan saja tubuhnya yang lelah itu rebah di
atas rerumputan tebal yang menghijau.
Dengan napasnya demikian keras tak ubahnya seekor kuda yang habis dipacu
kencang. Ketika bayangan gurunya melintas di pelupuk matanya, pemuda tinggi
tegap itu berusaha untuk bangkit. Setelah meletakkan peti dan pedang-nya di
bawah sebatang pohon, Sanjaya bergegas bersemadi untuk memulihkan kekuatannya.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana kau, Pemuda Tolol!" Tiba-tiba terdengar suara
yang membuat Sanjaya terlompat dari semadinya.
Sanjaya menatap tajam wajah kakek berusia enam puluh tahun yang tahu-tahu telah
berdiri be-berapa langkah di depannya. Pemuda itu terkejut begitu mengenali
kalau orang itu tak lain adalah Ki Palwaka, adik seperguruan gurunya yang juga
ikut memperebutkan benda pusaka yang kini dibawanya itu. Sepasang mata pemuda
itu merayapi sekeliling-nya, seolaholah ingin mencari yang lainnya. Hati-nya agak sedikit lega ketika tidak melihat
adanya orang lain di sekitar tempat itu.
"Ha ha ha.... Jangan khawatir, Anak Muda. Aku sengaja mendahului mereka yang
masih sibuk me-ngeroyok gurumu yang keras kepala itu. Ayo, serah-kan benda itu!"
Bentak Ki Palwaka sambil mengulur tangannya ke arah benda berbentuk peti yang
telah kembali dikempit pemuda itu.
Tentu saja Sanjaya tidak membiarkan benda itu terampas.
Maka cepat-cepat tangannya yang meng-genggam pedang itu digerakkan.
"Heaaah...!"
Wut! Wut! "Eh!"
Ki Palwaka cepat menarik pulang tangannya, karena tidak ingin tangannya putus
oleh tebasan pedang pemuda itu. Wajah kakek itu berubah merah karena kemarahan
yang amat sangat.
Begitu pedangnya tidak mengenai sasaran, Sanjaya bergegas melompat mundur.
Meskipun tenaga-nya belum benar-benar pulih, pemuda itu bertekad mempertahankan
benda warisan gurunya mati-matian. Pedangnya ditudingkan ke arah kakek itu
lurus-lurus. Sementara kedua kakinya terus me-langkah mundur perlahan-lahan.
"Hiaaat..!"
Diiringi teriakan nyaring, tubuh Ki Palwaka me-layang ke arah Sanjaya. Kedua
tangannya bergerak cepat melancarkan tamparan-tamparan yang me-nimbulkan suara
menderu keras. Wuk! Wuk...! Susah payah Sanjaya mengelakkan serangan laki-laki tua yang bertubi-tubi itu.
Tubuh pemuda itu berloncatan sambil sesekali membalas lewat tusukan dan tebasan
pedangnya. Namun apalah artinya perlawanan pemuda tinggi tegap yang masih lemah itu. Dalam
lima jurus saja, dia sudah dibuat tak berdaya, sehingga tak mampu lagi untuk
melindungi tubuhnya dari puku-lan-pukulan lawan.
Bugk! Desss! "Ughk...!"
Tubuh pemuda tinggi tegap itu terlempar keras ketika dua buah pukulan Ki Palwaka
singgah di lambung dan perutnya.
Seketika peti yang berada dalam kempitannya terlempar. Dan secepat kilat, Ki
Palwaka melesat menyambarnya. Dengan gerakan lambat, Sanjaya berusaha bangkit
berdiri. Di sudut bibirnya tampak cairan merah mengalir. Rupanya pukulan lawan
telah melukai bagian dalam tubuh-nya.
"Ha ha ha...! Akhirnya benda pusaka ini menjadi milikku juga!" Ki Palwaka
tertawa sambil meng-angkat peti yang telah berada di tangannya tinggi-tinggi.
Suara tawa itu mendadak terhenti, karena peti yang tengah diangkat di atas
kepalanya tahu-tahu saja telah direbut sesosok bayangan putih yang ber-kelebat
bagaikan bayangan hantu.
"Keparat! Siapa kau"! Cepat kembalikan peti milikku itu!"
bentak Ki Palwaka dengan suara meng-gelegar penuh kemarahan.
Dengan sepasang matanya yang mengancam, di-rayapinya sekujur tubuh pemuda
berjubah putih yang telah berdiri dalam jarak dua tombak di depan-nya.
Pemuda berjubah putih itu hanya memperlihat-kan senyumnya sebagai jawaban. Dan
tanpa mem-pedulikan kakek itu, ia pun melangkahkan kakinya mendekati Sanjaya.
"Apakah benda ini milikmu?" Tanya pemuda tampan berjubah putih itu kepada
Sanjaya. Meskipun mulutnya bertanya demikian, namun tangannya terulur menyerahkan peti
kepada pemu-da tinggi tegap itu.
Sanjaya memandang ragu ke arah pemuda tampan berjubah putih itu. Kemudian
pandang matanya berpindah pada seraut wajah jelita yang tadi meno-longnya
bangkit. Wajah murid Dewa Jubah Putih itu tampak memancarkan keheranan yang amat
sangat. Sepertinya masih belum bisa dipercaya kalau pemuda tampan berjubah putih
itu benar-benar me-nyerahkan petinya kembali.
Wajar kalau Sanjaya masih belum mempercayai apa yang dialaminya sekarang ini.
Sebab selama ini dia memang belum pernah bertemu orang lain selain gurunya.
Begitu gurunya mengizinkan untuk turun gunung, tiba-tiba datang orang-orang yang
menurut Ki Shindupala adalah saudara seperguruannya.
Tapi sikap mereka temyata sangat telengas dan ingin me-rebut benda yang menjadi
hak gurunya. Lalu, me-ngapa sekarang pemuda berjubah putih itu malah hendak
mengembalikan benda itu kepadanya" Mungkinkah pemuda itu adalah orang yang
disebut-sebut gurunya sebagai pendekar"
"Kisanak, apakah benda ini milikmu" Atau ben-da ini memang milik kakek itu?"
Kembali si pemuda berjubah putih melontarkan pertanyaan kepada Sanjaya.
Sanjaya tersentak dari lamunannya ketika mendengar pemuda berjubah putih itu
mengulang per-tanyaannya.
"Ya... Ya, benda itu memang kepunyaanku," Jawab Sanjaya cepat-cepat, bernada
gugup. Sambil berkata demikian, tangannya terulur menerima peti itu.
Pemuda tampan berjubah putih yang tak lain adalah Panji atau berjuluk Pendekar
Naga Putih itu bergegas menyerahkan peti ke tangan pemliknya. Sebenarnya Panji
memang mengetahui kalau peti itu milik pemuda yang kini terluka.
Pendekar Naga Pu-tih dan Kenanga memang telah sempat mendengar dan melihat
perdebatan yang terjadi antara pemuda itu dengan si kakek. Itulah sebabnya,
mengapa dapat dipastikan kalau peti itu adalah kepunyaan pemuda tinggi tegap
yang tubuhnya penuh luka itu.
Ki Palwaka yang sama sekali tidak dipandang sebelah mata oleh pemuda berjubah
putih itu, menjadi marah sekali. Gigi-geliginya terdengar bergemeretak pertanda
Rahasia 180 Patung Mas 10 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Sumpah Palapa 2

Cari Blog Ini