Ceritasilat Novel Online

Putera Harimau 1

Pendekar Naga Putih 39 Putera Harimau Bagian 1


PUTRA HARIMAU Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Suhardi
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Putra Harimau 128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Malam baru saja berganti pagi. Cahaya kuning keemasan berpendar menghangatkan
bumi. Angin sejuk bersilir lembut mempermainkan pucuk-pucuk dedaunan di wilayah
Hutan Welang, sebuah hutan liar yang terletak di sebetah Barat Kadipaten Danau
Bulus. Pagi itu, empat sosok lelaki tegap berpakaian pemburu tampak bergerak menerobos
semak belukar. Pemandangan seperti itu tidaKiah aneh. Sebab, musim panas seperti
itu memang saat yang tepat untuk mencari binatang-binatang buruan. Apalagi,
Hutan Welang adalah daerah yang paling
banyak dihuni binatang buas, yang tentunya sangat disenangi para pemburu.
"Menjelang siang nanti, kita pasti sudah tiba di lembah. Saat sinar matahari
sedang terik-teriknya, banyak binatang yang berteduh. Hanya saja, harus hatihati, jangan sampai kedatangan kita tertangkap oleh penciuman mereka yang
tajam," lelaki terdepan mengingatkan ketiga kawannya.
Tubuh lelaki yang berbicara itu tinggi tegap dan kokoh, sangat cocok bagi
seorang pemburu. Belum lagi, bulu-bulu lebat menghiasi sebagian wajahnya. Maka
semakin angkerlah penampilan lelaki itu.
Orang kedua, bertubuh sedikit lebih pendek. Wajahnya persegi empat, dengan
sepasang mata kecil menjorok ke dalam. Namun, penampilan orang kedua ini tidak
kalah angkernya dengan sosok pertama. Dilihat dari gerak langkahnya, lelaki itui
tentu bukan orang sembarangan. Seperti juga orang pertama, dia tampaknya
memiliki kepandaian silat Lelaki ketiga dan keempat berperawakan lebih kurus.
Meskipun begitu, gerak-gerik keduanya tampak sigap. Jelas bahwa keempat orang
pemburu itu tidak dapat disamakan dengan pemburu-pemburu lainnya.
"Apa tidak sebaiknya kita mulai saja dari sini, Kakang"
Sepertinya di sekitar sini pun banyak terdapat binatang buruan," kata lelaki
kedua sambil memperlambat langkah dan menggerakkan tangan kanannya, menyibak
pohon yang menghalangi.
"Aku rasa pendapat Gantar ada benarnya, Kakang. Untuk apa jauh-jauh ke lembah,
kalau di sekitar sini saja kita sudah bisa mendapatkan binatang buruan?" timpal
orang ketiga yang bertubuh agak kurus, yang jelas sangat setuju dengan usul
rekannya yang dipanggil Gantar itu.
"Memang, di sini banyak binatang buruan. Tapi untuk mendapatkannya sangat sulit.
Kita harus bersusah-payah dulu menerobos semak belukar dan rawa-rawa. Lain
halnya di lembah sana. Mereka berteduh saling berkelompok. Lagi pula binatangnya
gemuk-gemuk," ungkap lelaki tinggi tegap yang tampaknya pemimpin dari kelompok
kecil pemburu itu.
Ketiga orang pemburu lainnya mengangguk-anggukkan kepala dengan wajah berseriseri. Mata ketiga orang itu berbinar membayangkan binatang buruan yang gemukgemuk. "Wah, kita bisa membawa hasil buruan yang hebat kali ini.
Dari mana Kakang tahu" Apakah Kakang sudah pernah ke sana?" tanya Gantar
penasaran. "Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan serombongan besar pemburu. Mereka
mendapatkan banyak binatang buruan.
Nah, dari merekalah aku mendapatkan keterangan tentang lembah di sebelah Barat
hutan ini. Oh ya, sebelum berpisah, pemimpin rombongan itu berpesan pula agar
aku menjauhi lembah itu. Katanya, meskipun di sana banyak binatang buruan,
bahayanya tidak sedikit. Tidak kurang dari delapan orang di antara mereka tewas
diterkam binatang buas. Juga, enam orang dari mereka mengalami luka yang cukup
parah," kata lelaki tinggi gagah itu.
"Kalau lembah itu banyak dihuni binatang buas, mengapa kau berniat hendak ke
sana, Kakang?" tanya Gantar lagi dengan wajah agak heran.
"Ha ha ha..., apa kau merasa takut, Adi Gantar" Rombongan yang kutemui itu
bukanlah orang-orang terlatih seperti kita.
Mereka sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Jadi wajar saja kalau mereka
menjadi sasaran empuk binatang-binatang buas itu. Lain halnya dengan kita.
Dengan kepandaian yang kita miliki, apa susahnya membela diri dari terkaman
binatang- binatang buas itu?" sahut lelaki tinggi gagah itu lagi sambil tertawa.
Gantar dan dua orang lainnya ikut tertawa dan mengangguk-angguk tanda mengerti.
Alasan yang dikemukakan pimpinan mereka memang tidak salah. Sebagai orang-orang
yang memiliki kepandaian silat, tentu saja mereka tidak perlu takut menghadapi
binatang buas. Keempat pemburu itu memang bukanlah orang
sembarangan. Mereka adalah murid-murid Perguruan Jari Besi, sebuah perguruan
yang sangat terkenal di kawasan Kadipaten Danau Bulus. Bahkan, Adipati Danau
Bulus sendiri sangat menaruh hormat kepada ketua perguruan itu.
Ada pun lelaki gagah yang memimpin tiga orang temannya dalam perburuan itu
adalah tokoh tingkat tiga di Perguruan Jari Besi. Namanya Maharya. Sedangkan
tiga orang lainnya merupakan tokoh tingkat empat, atau satu tingkat di bawah Ki
Maharya. Tingkatan-tingkatan itu tidak didapatkan dengan mudah.
Banyak ujian berat yang harus mereka hadapi, sebelum Ki Bonggala, Guru Besar
Perguruan Jari Besi, mengukuhkan mereka dalam tingkatan yang telah ditentukan.
Ki Bonggala sendiri bukanlah tokoh sembarangan. Lelaki gagah berusia sekitar
lima puluh tahun itu sangat dikenal di kalangan rimba persilatan. Pada masa
mudanya, Ki Bonggala banyak menghadapi pertarungan maut. Tidak sedikit tokoh
sesat yang tewas di tangannya. Sehingga, ia mendapat julukan Pendekar Tangan
Sakti. Setelah lelah berpetualang, sebuah perguruan pun didirikan oleh pendekar
gagah itu. Dan dilatihnya murid-murid untuk meneruskan ilmu-ilmu yang
dimilikinya. Sementara itu, keempat pemburu terus menerobos semak belukar menuju lembah
sebelah Barat Hutan Welang. Baru saja mereka memasuki sebuah tempat yang agak
lapang, tiba-tiba terdengar suara tawa yang mengejutkan.
"Hua ha ha...!"
Cepat-cepat keempat pemburu itu melompat mundur dalam keadaan siaga. Urat-urat
tubuh mereka tampak menegang, karena tenaga dalam mereka telah bergerak, siap
menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Ki Maharya, lelaki tinggi tegap berusia empat puluh tahun itu, mengedarkan
pandangannya ber keliling. Sebagai pemimpin kelompok kecil itu, tentu saja ia
merasa paling bertanggung jawab atas keselamatan mereka.
"Siapa kau" Tunjukkan dirimu...?" seru Ki Maharya sambil mengerahkan tenaga
dalam, sehingga suaranya menggema sampai beberapa tombak jauhnya.
Ki Maharya dan adik-adik seperguruannya tidak perlu menunggu lama. Baru saja
gema teriakan Ki Maharya lenyap, tampak sesosok tubuh gemuk dengan wajah
bercambang lebat, melangkah ringan menghampiri mereka.
"Hua ha ha...! Benar-benar gagah murid-murid Pendekar Tangan Sakti!
Mengagumkan..., mengagumkan...!"
Lelaki gemuk bercambang lebat itu berdecak-decak sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Ucapan yang keluar dari mulutnya memang bernada pujian, tapi jelas ada
kesan ejekan pada sepasang mata dan wajahnya.
"Maaf, Sahabat! Benar, kami adalah murid-murid Ki Bonggala. Tapi sayangnya kami
begitu bodoh, tidak mengenali siapa adanya sahabat yang gagah ini..," kata Ki
Maharya sambil membungkukkan badannya dengan sikap hormat.
Ketiga adik seperguruan Ki Maharya juga menunjukkan sikap hormat kepada lelaki
bercambang lebat itu. Ki Bonggala memang telah mengajarkan murid-muridnya untuk
tidak bersikap sombong, terlebih-lebih kepada orang yang sama sekali belum
dikenal. "Hua ha ha.... Bagus..., bagus...! Rupanya Pendekar Tangan Sakti telah berhasil
mendidik murid-muridnya dengan baik.
Benar-benar membuat aku terharu...," kata lelaki gemuk itu lagi dengan nada yang
tidak enak. "Maaf, kalau boleh kami yang bodoh ini ingin tahu, siapakah adanya sahabat yang
gagah ini" Dan, ada keperluan apakah menghadang perjalanan kami?" tanya Ki
Maharya dengan sikap yang mulai berubah.
Sorot mata Ki Maharya tidak lagi menyiratkan rasa hormat.
Jelas, dia mulai tidak suka dengan sikap sombong lelaki gemuk itu.
"Hua ha ha.... Baik, kalau kalian benar-benar ingin mengenalku. Orang menyebutku
si Elang Hitam. Guru kalian, Ki Bonggala, pasti telah mengenalku dengan baik.
Dan, aku ada di sini, jelas untuk membunuh kalian! Tapi, aku akan berbaik hati
dengan menyisakan salah satu dari kalian untuk menyampaikan pesanku kepada Ki
Bonggala. Bagaimana" Kalian pasti setuju dengan usulku ini."
Ucapan yang dikeluarkan lelaki bercambang lebat itu kelihatan enteng sekali,
seolah-olah nyawa manusia sama sekali tidak berharga baginya. Tentu saja hal ini
membuat Ki Maharya dan kawan-kawannya geram.
"Dengar, Orang Hutan!" ujar Gantar yang tidak dapat menahan kemarahannya, sambil
melangkah maju dan menudingkan telunjuk ke wajah lelaki bercambang lebat itu.
"Siapa pun kau. Elang Hitam, Elang Belang, atau Elang Burik
sekalipun, kami murid-murid Ki Bonggala tidak takut mengha-dapimu! Kehadiranmu
di tempat ini jelas menunjukkan sifat pengecut! Sebab, kalau kau seorang
pemberani, tentunya kau akan langsung datang mencari guru. Bukan menghadang kami
di tempat ini."
Ucapan Gantar jelas semata-mata dimaksudkan untuk menghina dan menggertak lawan.
Gertakan itu diharapkannya dapat mengurungkan niat si Elang Hitam. Bagaimanapun,
tujuan mereka ke hutan ini adalah untuk berburu, bukan berkelahi. Cerdik juga
tampaknya lelaki bertubuh gempal itu.
"Perbuatanku boleh saja kau anggap pengecut, tapi ini adalah siasat cerdik.
Dengan membunuh tiga orang dari kalian, aku telah membuat Ki Bonggala penasaran
dan sakit hati. Nah, bukankah itu namanya cerdik?" sahut si Elang Hitam yang
sekali tidak tampak terpengaruh dimaki sebagai pengecut itu.
"Kalau begitu, mengapa harus banyak bacot lagi" Lakukan saja niatmu. Kami siap
membuktikan, apakah kepandaianmu juga sehebat ucapanmu!" bentak Ki Maharya
sambil mencabut pedang di pinggangnya.
Gantar dan dua temannya pun berjaga-jaga dengan senjata masing-masing. Keempat
murid Ki Bonggala itu tampak siap menghadapi Elang Hitam.
"Bagus..., bagus..., itu baru namanya lelaki gagah.... Hua ha ha...."
Tawa Elang Hitam terdengar berkepanjangan. Dia kemudian melangkah maju
menghampiri keempat lawannya. Dan sebagai murid pendekar yang terlatih baik,
tentu saja keempat lawannya itu tidak memerlukan perintah pemimpinnya. Mereka
segera menyebar dan mengurung Elang Hitam yang terus saja tertawa-tawa itu.
Tampaknya Elang Hitam tidak ingin
mendahului pengeroyoknya, ia hanya berdiri tegak di tengah arena dengan sikap
sombong. "Heaaat...!"
Ki Maharya yang berada di sebelah kanan Elang Hitam berseru nyaring membuka
serangan. Pedang lelaki tinggi gagah itu berkelebatan, menimbulkan pendaran
sinar yang menyilaukan. Gerakan yang mengandung tenaga dalam kuat itu
menunjukkan bahwa Ki Maharya tidak memandang rendah lawannya.
Pada saat yang hampir bersamaan, Gantar dan kawan-kawannya pun berseru nyaring,
sambil melesat dengan putaran senjatanya. Sebentar saja suasana hutan yang sunyi
itu pun berubah bising oleh suara senjata yang mengaung-ngaung tajam.
"Hmh...!"
Elang Hitam hanya mendengus kasar meliha gerakan para pengeroyoknya. Dengan
gerakan yang jauh lebih ringan dan mantap, tubuhnya ditarik ke belakang saat
tebasan pedang Ki Maharya tiba. Kemudian badannya berputar ke kiri menghindar
sambaran pedang di tangan Gantar. Sedangkan dua serangan lainnya dielakkan
dengan melenting ke atas. Dan, langsung dikirimkan hantaman dua buah telapak
tangannya ke arah punggung dua orang murid Perguruan Jari Besi.
Wukkk! Wukkk! "Aihhh...!?"
Kedua orang murid itu terkejut bukan main. Serangan balasan yang cepat dan tak
terduga itu membuat mereka harus menggulingkan tubuh dan menjauhi Elang Hitam.
Untunglah saat itu Ki Maharya telah melesat dengan babatan senjatanya. Sehingga,
Elang Hitam yang berniat mengejar dua orang lawannya itu terpaksa menarik
kembali kedua tangannya.
Dan, tubuhnya diputar dengan kekuatan pinggang.
Bettt...! Tebasan pedang Ki Maharya berdesing tajam di atas kepala Elang Hitam. Kalau saja
gerakan Ki Maharya lebih cepat sedikit, dapat dipastikan leher lelaki gemuk
bercambang lebat itu akan putus. Apa boleh buat, gerakan Elang Hitam masih jauh
lebih cepat dari sambaran pedang Ki Maharya. Serangan lelaki gagah itu pun hanya
menyambar angin kosong. Kemudian....
"Makan olehmu!" teriak Elang Hitam, disertai lontaran kaki kanan dalam gerak
menyamping, yang langsung mengancam pelipis Ki Maharya.
Plak! "Aaakh...!"
Ki Maharya mengeluh pendek. Meskipun berhasil menangkis tendangan lawan dengan
tangan kirinya, tubuh lelaki gagah itu tak urung terhuyung dengan wajah
menyeringai. Dia tampak kesakitan memegangi tangan kirinya yang tadi terbentur
kaki lawan dengan keras.
Elang Hitam tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Cepat-cepat
tubuhnya melesat dengan cengkeraman-cengkeraman sepasang cakarnya yang bergerak
dari bawah ke atas mengancam dada dan lambung Ki Maharya.
"Yeaaat...!"
Namun, pada saat yang gawat itu, Gantar datang dengan sambaran senjatanya.
Tindakan lelaki bertubuh gempal itu
memang tepat sekali. Kalau tidak, Ki Maharya pasti akan tersambar cakar lawan
yang keras bagai besi itu.
Hebatnya Elang Hitam tidak kehilangan akal. Dengan putaran tangan yang cepat,
gerakannya berubah mengancam Gantar. Dengan sebuah liukan tubuh yang
mengejutkan, sepasang cakar itu bergerak susul-menyusul mengincar tubuh Ganta.
Dan.... Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
Gantar memekik kesakitan ketika cakar tangan Elang Hitam merobek lambung dan
lehernya. Darah segar langsung mengalir. Cakar sekeras besi itu merenggut kulit
berikut daging di tubuh Gantar. Dan selagi tubuh lelaki gempal itu terhuyunghuyung, menyusullah sebuah gedoran keras menghajar dadanya.
Blakkk! "Aaargh...!"
Terdengar jerit melengking tinggi. Tubuh Gantar terpental sejauh satu setengah
tombak dan langsung melanggar sebatang pohon di belakangnya. Tanpa ampun, tubuh
itu melorot jatuh dan tidak bergerak lagi. Dari mulutnya mengalir darah segar.
Gantar tewas seketika itu juga.
"Adi Gantar...!"
Ki Maharya berteriak kalap melihat adegan itu. Dengan kemarahan yang meluapluap, lelaki gagah itu segera menerjang lawannya dengan tebasan pedangnya yang
bergulung-gulung.
Bettt! Bettt..!
"Hiaaah...!"
Elang Hitam membentak nyaring disertai lentingan tubuh ke udara. Terjangan Ki
Maharya dihindarinya dengan mudah. Dan setelah berputar beberapa kali, lelaki
gemuk itu kemudian mendarat di belakang dua orang adik seperguruan Ki Maharya
lainnya. Kreppp! Kreppp!
Cepat bagai kilat, cengkeraman Elang Hitam langsung mencekal leher kedua orang
itu. Salah satu dari keduanya dilemparkan dengan sentakan tenaga dalam,
sedangkan yang seorang lagi langsung diremas hancur tulang lehernya.
"Iblisss...!"
Makin kalap Ki Maharya menyaksikan kejadian yang menimpa adik-adik
seperguruannya. Suaranya kini terdengar lebih berupa bisikan ketimbang desis
kemarahan. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatinya.
"Hua ha ha.... Ambillah tubuh busuk ini. Aku tidak membutuhkannya...," teriak
Elang Hitam sambil melemparkan mayat lawan yang tulang lehernya telah diremas
hancur itu. Ki Maharya tertegun sejenak melihat mayat adik seperguruannya melayang cepat ke


Pendekar Naga Putih 39 Putera Harimau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arahnya. Segera diputuskannya untuk menghindar. Malang Elang Hitam rupanya telah
memperhitungkan gerakan lelaki gagah itu.
Tepat pada saat tubuh Ki Maharya bergerak k kiri, Elang Hitam melesat bagai
kilat dengan cengkeraman mautnya.
Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
Ki Maharya memekik kesakitan! Tubuh tinggi tegap itu terdorong sejauh satu
tombak ke belakang. Belum lagi disadari
keadaannya, sebuah tendangan kilat telah menerpa dada kirinya tanpa ampun.
Desss...! "Hugkh...!"
Darah segar menyemprot dari mulut Ki Maharya. Tubuhnya pun terlempar deras.
Bruggg! Lelaki gagah murid Ki Bonggala itu meregang menahan sakit.
Dan, sebelum bergerak mencoba bangkit, telapak kaki lawan langsung menjejak
perut Ki Maharya.
Tanpa ampun, satu nyawa lepas lagi di tangan Elang Hitam yang memiliki kekejaman
luar biasa itu. Sekarang tinggal satu orang murid Ki Bonggala yang masih hidup.
Ia masih terduduk kesakitan dengan noda darah memenuhi pakaiannya.
"Serahkan surat ini kepada gurumu...," ujar Elang Hitam seraya melemparkan
gulungan surat kepada murid bertubuh kurus yang sengaja tidak dibunuhnya itu.
Setelah berkata demikian. Elang Hitam langsung melesat dan lenyap di kelebatan
pohon. 2 Ki Bonggala, Kutunggu kau di lembah sebelah Barat Hutan Welang.
Kematian saudara seperguruanku harus kau bayar mahal!
Elang Hitam "Hhh...."
Lelaki gagah dengan sorot mata penuh perbawa kuat itu menarik napasnya dalamdalam, kemudian dihembuskannya kuat-kuat. Diremasnya hingga hancur kulit kayu
yang baru saja selesai dibacanya. Terdengar tarikan napas panjang saat ia
bangkit dari kursi.
"Jadi Ki Maharya dan dua orang temanmu yang lain telah tewas di tangan Elang
Hitam?" ujar lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu. Nada suaranya
terdengar berat dan dalam, sehingga menambah kewibawaannya.
Lelaki gagah itu lak lain adalah Ki Bonggala, yang dikenal dengan julukan
Pendekar Tangan Sakti. Pagi itu dia kedatangan salah seorang muridnya. Murid
bertubuh kurus itu melaporkan segala kejadian yang dialami bersama kawankawannya ketika berburu. Disampaikannya pula surat dari kulit kayu, yang
dikirimkan oleh Elang Hitam.
"Benar, Guru. Bukan maksudku untuk mencari selamat sendiri. Tapi lelaki gemuk
yang mengaku berjuluk Elang Hitam itu memang berkata bahwa ia akan melepaskan
salah seorang dari kami untuk menyampaikan pesannya," sahut lelaki kurus yang
bersimpuh beberapa langkah di depan Ki Bonggala.
Pakaian lelaki kurus itu dipenuhi noda darah. Bahkan, pada sudut bibir masih
tersisa bekas-bekas darah.
"Hm..., bukan salahmu, Girja. Aku pun tidak menyalahkanmu. Jangan kau siksa
dirimu dengan rasa bersalah itu hanya akan membuat jiwamu tertekan," jelas
Pendekar Tangan Sakti.
"Baik, Guru. Terima kasih...," ujar lelaki yang dipanggil Girja itu dengan
kepala tertunduk, tidak berani menatap wajah Pendekar Tangan Sakti.
"Hm..., kau beristirahatlah. Obati luka-lukamu...," ujar Ki Bonggala sambil
kembali menghempaskan tubuhnya ke kursi.
Untuk kesekian kalinya, terdengar helaan napas panjang yang berat. Sekilas
tampak sinar kedukaan membayang di wajah ki Bonggala.
Girja pun beranjak meninggalkan ruang pertemuan itu. Di hadapan Ki Bonggala kini
bersimpuh tiga murid utama Perguruan Jari Besi yang turut mendengarkan
pembicaraan antara guru dan murid tadi.
"Guru...," kata salah seorang dari ketiga murid utama itu sambil menatap wajah
gurunya. "Hm...."
Murid utama yang usianya hanya lebih muda lima tahun dibanding gurunya itu
terlihat merapatkan telapak tangannya ketika mendengar gumaman Ki Bonggala.
Tersirat gambaran keengganan pada wajah murid utama itu. Untuk beberapa saat dia
terbungkam, seoalah olah tengah mencari kata-kata yang tepat untuk disampaikan
pada saat seperti itu. Suasana hening sejenak.
"Ada apa, Lunggara" Kenapa kau malah diam" Kalau ada sesuatu yang ingin kau
tanyakan, tanyakanlah...," ujar Ki Bonggala, menutup keheningan itu.
"Kalau boleh, kami murid-muridmu yang bodoh ini ingin mengetahui, ada apakah
sebenarnya, Guru. Andai saja kami bisa meringankan persoalan yang sedang Guru
hadapi, kami siap membantu semampu kami, Guru...."
Akhirnya Lunggara mengutarakan juga apa yang menjadi beban pikirannya. Lelaki
berwajah bulat telur dengan jenggot lebat menghias dagunya itu merasa ikut
bertanggung jawab atas persoalan yang mengganggu pikiran gurunya.
"Sebelum aku menjelaskan persoalan ini kepada kalian bertiga, ada baiknya kalian
mengetahui sedikit masa laluku,"
desah Ki Bonggala sambil menatap wajah ketiga orang murid utamanya dengan sorot
mata tajam. Lelaki gagah itu ingin tahu, adakah gambaran keberatan pada wajah-wajah
muridnya. Lega hati Ki Bonggala ketika tidak menemukan apa yang dikhawatirkannya
itu. "Kami siap mendengarkan, Guru...."
Lunggara dan dua murid utama lainnya segera menyahuti dengan suara mantap.
Ketiga orang murid itu sangat ingin membantu memecahkan persoalan yang saat ini
menjadi beban gurunya.
"Dua puluh tahun yang silam, saat aku pindah dari kotaraja ke tempat terpencil
ini, ada suatu keajaiban yang tidak bisa kulupakan seumur hidup. Saat itu aku
telah menikah dan mempunyai seorang putra yang belum lama lahir dari rahim
istriku. Rupanya, bibit-bibit permusuhan yang semasa muda kutanamkan secara
tidak langsung terhadap tokoh-tokoh golongan hitam telah menjadi bencana bagi
keluargaku. Seorang tokoh sesat berjuluk Telapak Tangan Setan menghadang perjalananku, ia
bersekongkol dengan tokoh-tokoh sesat lainnya yang pernah kukalahkan semasa aku
masih berpetualang di rimba persilatan. Sayang, meskipun aku berhasil
membinasakan mereka, istri dan anakku lenyap saat keributan terjadi. Berbulanbulan aku menjelajahi seluruh wilayah Gunung Kendal dan Hutan Bajang. Tapi,
pencarianku sia-sia. Istri dan putraku bagaikan lenyap ditelan bumi. Karena
putus asa, kuputuskan untuk menetap di Desa Welang ini dan mengambil murid-murid
untuk menemaniku"
Ki Bonggala menarik napas panjang sambil tengadah menatap langit melalui jendela
yang terbuka. Tampak lelaki gagah itu mengerjap-ngerjapkan matanya, ia terhanyut
dalam kesedihan mengenang masa lalunya.
Mendengar penuturan gurunya, ketiga murid utama itu menundukkan kepala dalamdalam. Mereka pun ikut merasakan kesedihan yang dialami gurunya semasa mereka
belum menjadi murid lelaki gagah itu.
"Maaf, Guru...," ujar salah seorang dari ketiga murid utama itu.
Murid yang rambutnya digelung ke atas dan berusia sekitar tiga puluh tahun itu
tampaknya ingin bertanya kepada Ki Bonggala. Ia kelihatan belum mengerti
sepenuhnya kaitan antara cerita lelaki gagah itu dan surat yang baru diterima
tadi. "Hm..., ketahuilah, Samija... Orang yang mengirimkan surat kepadaku, yaitu si
Elang Hitam, adalah salah satu tokoh sesat yang kepandaiannya sangat tinggi.
Tingkat kepandaiannya hampir dapat disejajarkan dengan datuk-datuk sesat pada
masa sekarang. Dan, Elang Hitam merupakan kakak seperguruan dari Telapak Tangan
Setan. Rupanya ia telah lama mendendam kepadaku, yang telah membunuh adik
seperguruannya. Sehingga, ia mengirimkan surat tantangan kepadaku," jawab Ki
Bonggala menjelaskan hubungan ceritanya dengan surat kulit kayu yang telah
diremas hancur tadi.
"Lalu, apa yang akan Guru lakukan" Apakah Guru menerima tantangan itu?" tanya
Lunggara yang tampak khawatir akan keselamatan gurunya.
"Hm..., apa kau kira gurumu ini seorang pengecut, Lunggara" Tentu saja tantangan
itu akan kuterima. Jangankan hanya seorang Elang Hitam, berpuluh orang
sepertinya pun, kalau memang harus dihadapi, tidak akan membuatku mundur meski
selangkah...," sahut Ki Bonggala sambil mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat,
hingga terdengar suara berkerotokan.
"Lalu, apa yang dapat kami bantu, Guru...?" tanya murid yang dipanggil Samija,
dengan wajah agak bingung.
"Tentu saja aku mengharapkan bantuan kalian bertiga. Tapi aku ragu, apakah
kalian sanggup...," desah Ki Bonggala sambil menatap wajah ketiga orang murid
utamanya itu lekat-lekat.
Ada bayang kecerdikan pada sorot mata lelaki gagah ini.
Tampaknya Ki Bonggala memancing tanggapan ketiga lelaki di hadapannya itu.
"Tentu saja kami sanggup, Guru. Bahkan nyawa pun siap kami korbankan jika
perlu...," jawab Lunggara dengan lantang dan gagah.
Sorot mata lelaki berusia empat puluh lima tahun itu memancarkan semangat.
Tampaknya kesetiaan Lunggara memang tidak diragukan lagi.
"Bagaimana dengan yang lain" Tugas yang kuberikan kepada kalian ini tidak mudah,
meskipun juga tidak terlalu sukar. Tapi yang jelas tugas ini sangat memerlukan
keberanian yang besar...."
Kembali terdengar ucapan Ki Bonggala bernada meragukan kesanggupan murid-murid
utamanya. Sehingga, ketiga orang murid utama itu kelihatan berusaha menunjukkan
perasaan dan kesetiaan mereka dengan penuh semangat.
"Kami siap, Guru. Seberat apa pun tugas yang Guru berikan, kami akan berusaha
menjalankan sebaik-baiknya!" jawab Samija dengan sorot mata berapi-api.
"Baiklah. Aku harus pergi. Dan, harus ada orang yang menggantikanku menjaga dan
mengawasi perguruan ini selama aku pergi. Karena kalian telah berjanji akan
membantuku sebaik-baiknya, kuserahkan tugas ini kepada kalian bertiga...,"
kata Ki Bonggala sambil tersenyum tipis.
Lelaki gagah itu tampak senang dapat menjebak murid-murid utamanya itu. Hal ini
dilakukan karena ia tidak ingin melibatkan orang lain lagi dalam persoalan
dendam mendendam yang tak ada habis-habisnya itu.
"Ahhh..."!"
Tentu saja ucapan Ki Bonggala membuat Lunggara dan kedua orang saudara
seperguruannya terkejut. Mereka yang semula sudah membayangkan akan menemani
Pendekar Tangan Sakti menghadapi Elang Hitam itu tidak menyangka akan mendapat
tugas yang sama sekali di luar perkiraan. Tapi, karena janji telah terucap,
tugas itu tidak dapat ditolak lagi.
"Tugas ini bukan tidak berarti apa-apa, Murid-muridku.
Bahkan tugas yang kuserahkan kepada kalian ini jauh lebih berat ketimbang kalian
ikut berhadapan dengan Elang Hitam.
Tapi, aku yakin kalian akan dapat melaksanakan tugas ini dengan baik dan dapat
saling bantu satu sama lain," ujar Ki Bonggala melanjutkan ucapannya ketika
melihat kekecewaan tergambar jelas di wajah ketiga orang murid utamanya itu.
"Baiklah, Guru. Kami berjanji akan melaksanakan tugas ini sebaik-baiknya. Semoga
kami tidak mengecewakan harapan Guru...," ucap Lunggara sambil merapatkan kedua
telapak tangannya dan menghormat, yang diikuti pula oleh dua oran murid utama
lainnya. "Kalau begitu, aku pergi dulu. Apabila ada murid yang bertanya, katakanlah bahwa
aku tengah bersemadi dan tidak boleh diganggu. Mudah-mudahan kita dapat berjumpa
lagi, Murid-muridku..."
Setelah berpesan demikian, tubuh Ki Bonggala melesat dan langsung lenyap di
balik tembok samping bangunan utama Perguruan Jari Besi.
"Selamat jalan, Guru..," desis ketiga murid utama itu sambil bersujud menghadap
ke arah lenyapnya tubuh Ki Bonggala.
*** Sosok tubuh tinggi gagah melesat menerobos semak belukar Hutan Welang.
Gerakannya demikian ringan dan gesit. Jalan-jalan yang biasanya sangat sulit
dilalui orang lain sama sekali tidak menjadi halangan bagi sosok gagah itu.
Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, telah dimasukinya Hutan Welang
sebelah Barat. Saat tiba di sebuah dataran yang agak tinggi, sosok tegap itu menghentikan
langkahnya. Sepasang matanya yang tajam merayapi lembah yang kini terbentang di
hadapannya Tanpa peduli sengatan terik matahari dan hembusan angin panas, lelaki
gagah itu bergerak turun memasuki lembah.
"Hiaaah...!"
Begitu hampir tiba di dasar lembah, lelaki gagah itu berseru perlahan. Seketika
itu juga, tubuhnya melenting dan berputar beberapa kali, lalu dipijakkan kakinya
di atas tanah berumput segar.
Setelah memperhatikan suasana lembah sesaat, kakinya pun melangkah perlahan.
Puluhan ekor binatang yang tengah berteduh dari sengatan matahari langsung
berlarian menyebar.
Kehadiran lelaki gagah ini tampaknya telah mengganggu ketenangan binatangbinatang itu. "Grauuung...!"
Terdengar raungan marah belasan ekor binatang buas yang merasa terganggu oleh
kehadiran lelaki gagah itu. Beberapa di antaranya bergerak meninggalkan tempat
itu. Sedangkan lima ekor singa jantan mengaum dan menghampiri sosok lelaki gagah
itu dengan menunjukkan taring-taringnya yang runcing.
"Hm.... Pantas Elang Hitam memilih tempat ini sebagai arena pertarungan. Rupanya
ia hendak menggunakan binatang-binatang buas ini untuk mempelajari gerakangerakanku. Benar-benar licik iblis itu...," gumam lelaki gagah yang tak lain dari Ki
Bonggala itu, dengan nada agak jengkel.
Sadar bahwa mungkin lawan telah memperhatikannya, KI Konggala berjaga-jaga
dengan pedang tergenggam erat di tangan kanan.
Sring...! Secercah sinar putih berkeredep ketika pedang Ki Bonggala keluar dari sarungnya.
Desingannya yang tajam membuat lima ekor singa jantan tadi bergerak mundur
sambil meraung keras.
"Kau lihat dan pelajarilah gerakanku, Elang Hitam. Kau pikir aku orang bodoh
yang bisa kau kelabui begitu saja...," gumam Ki Bonggala yang sengaja
menggunakan senjatanya untuk menghadapi lima ekor singa jantan itu.
Ki Bonggala tentu tidak mau dibodohi lawannya. Dengan menggunakan senjata, ia
bisa menyembunyikan ilmu silat yang dikuasainya. Sehingga, ia tidak perlu
khawatir biarpun
gerakannya diperhatikan oleh lawannya, yang diyakininya tengah bersembunyi tidak
jauh dari tempat itu.
"Grauugh...!"
Cwiiit... cwiiit...!
Ki Bonggala mengibaskan pedangnya bersilangan saat kelima ekor singa jantan itu
bergerak mendekatinya. Binatang-binatang buas itu pun kembali bergerak mundur
sambil menunjukkan taringnya. Jelas, mereka gentar melihat desingan tajam yang
ditimbulkan pedang Ki Bonggala.
Rupanya selain gentar, binatang-binatang buas itu juga merasa penasaran. Dua di
antaranya melompat cepat dengan terkaman maut, disertai numan keras bagai hendak
meruntuhkan dinding lembah.
"Hm..."
Pendekar Tangan Sakti hanya bergumam pelan. Tubuhnya dilesatkan ke samping kiri
dengan kibasan pedangnya yang cepat dan hampir tak dapat dilihat.
Brettt! Brettt!
"Auuurgh...!"
Dua ekor singa jantan itu meraung kesakitan saat pedang Ki Bonggala melukai
bagian tubuh singa-singa itu. Belum lagi dua ekor singa jantan itu membalikkan
tubuh. Pendekar Tangan Sakti telah melesat dengan tendangan kilat.
Buggg! Desss...!
Binatang-binatang itu meraung kesakitan. Tubuh keduanya terpental hingga satu
tombak jauhnya, kemudian terus berlari masuk ke hutan sambil mengaum lirih.
Kedua binatang buas itu tampak gentar melihat kehebatan calon korbannya.
Cepat bagai kilat, Ki Bonggala membalikkan tubuhnya menghadapi tiga ekor singa
jantan lainnya. Tapi, binatang-binatang itu sama sekali tidak menunjukkan tandatanda akan menyerang. Ketiganya malah bergerak mundur sambil menunjukkar
taringnya yang runcing, lalu berbalik dan melarika diri ke dalam hutan.
Ki Ronggala tersenyum melihat tingkah binatang binatang buas itu. Pandangannya
diedarkan ke sekeliling lembah, seolah-olah mencari tempat persembunyian Elang
Hitam. "Elang Hitam, ini aku sudah datang! Apakal kau masih tetap hendak menyembunyikan
dirimu...?" seru Ki Bonggala nyaring dengan pengerahan tenaga saktinya, sehingga
gemanya berpantulan di dinding tebing.
Agak lama Ki Bonggala menanti jawaban. Dan setelah kesabarannya hampir habis,


Pendekar Naga Putih 39 Putera Harimau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampak sesosok bayangan berkelebat dari sebelah kirinya dengar tawa
berkepanjangan.
"Hua ha ha...!"
Dengan sikap yang tetap tenang, Ki Bonggak menggeser kakinya beberapa langkah ke
samping kanan. Disarungkan kembali senjatanya, kemudian diselipkannya di
pinggang kanan. Tampaknya lelaki gagah itu ingin menghadapi lawannya dengrn
tangan kosong. Memang, keistimewaan ilmu silatnya terletak pada tangan kosong.
Itulah sebabnya mengapa Ki Bonggala dijuluki sebagai Pendekar Tangan Sakti.
"Pantas saja adik seperguruanku sampai tewas di tanganmu, Ki Bonggala. Ternyata
kau benar-benar gagah. Kau patut menjadi seorang pendekar yang disegani...,"
puji lelaki gemuk bercambang lebat itu.
Sambil berkata demikian, kakinya melangkah mengitari Ki Bonggala. Sikapnya
terlihat sombong, seolah-olah ia yakin akan dapat mengalahkan Pendekar Tangan
Sakti yang terkenal itu.
"Kau mengundangku untuk menuntut balas kematian saudara seperguruanmu, ataukah
hanya untuk berbicara..."
Kalau kau mengundangku hanya untuk meladeni
pembicaraanmu yang tak berguna itu, sebaiknya aku pergi saja...," sahut Ki
Bonggala sambil menunjukkan sikap bersiap-siap meninggalkan lembah itu.
Elang Hitam tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Ki Bonggala. Sebentar
kemudian, ditatapnya sosok lelaki gagah itu, bagai sedang menilai suatu benda
yang ingin dibelinya. Hal itu tentunya sengaja dilakukan Elang Hitam untuk
memancing kemarahan lawan. Apabila pancingannya berhasil, akan lebih mudah bagi
Elang Hitam untuk menundukkan lawannya. Sebab, bila seseorang menyerang atau
bertempur dalam keadaan marah, biasanya kewaspadaannya akan berkurang.
Namun, pancingan tokoh sesat itu tidak berhasil. Ki Bonggala tetap saja tenang.
Laki-laki gagah itu sadar betul lawan sengaja memancing kemarahannya.
3 Sikap tidak peduli Ki Bonggala membuat wajah Elang Hitam berubah gelap. Sorot
matanya berkilat tajam menggambarkan kejengkelan hatinya. Tampaknya tokoh sesat
itu termakan pancingannya sendiri.
"Apakah bicaramu sudah selesai, Elang Hitam...?" ujar Ki Bonggala seraya
tersenyum tipis.
Tokoh itu kemudian melipat kedua tangannya di depan dada.
Tentu saja sikap Pendekar Tangan Sakti itu membuat Elang Hitam semakin bertambah
jengkel. "Sudah! Dan sekarang bersiaplah! Akan kucabut nyawamu!"
Sambil membentak marah, Elang Hitam melompat dengan disertai sambaran cakarnya
yang menderu-deru.
Wettt... Wettt...!
"Haiiit...!"
Rupanya sikap tidak peduli Ki Bonggala bukan berarti ia tidak waspada. Begitu
cakar elang lawan akan menyambar tubuhnya, lelaki gagah itu bertindak sigap
dengan melakukan lompatan pendek ke belakang. Saat berikutnya, Ki Bonggala
melontarkan sebuah tendangan lurus dengan kecepata kilat.
Zebbb! Tendangan lurus yang mengancam perut Elang Hitam ternyata mengenai angin kosong.
Lelaki gemuk bercambang lebat itu telah menarik tubuhnya mundur sebanyak dua
tindak. Ki Bonggala sendiri ternyata telah menduga gerakan lawannya. Lelaki gagah yang
terkenal berjuluk Pendekar Tangan Sakti itu masih melanjutkan serangannya dengan
serangkaian tendangan yang berputar-putar dan menimbulkan angin menderu-deru.
Elang Hitam pun kelabakan menghindari tendangan yang laksana kitiran itu.
"Heaaat...!"
Saat Elang Hitam tengah kerepotan menghindari serangkaian tendangan maut itu,
tiba-tiba saja Ki Bonggala menghentikan serangan kakinya secara mendadak.
Disertai lengkingan
nyaring yang mengejutkan, tiba-tiba tubuh lelaki gagah itu melejit ke udara.
Dan, tangan kanannya lalu terlontar dengan cepat melakukan tebasan. Serangan ini
benar-benar berbahaya.
Sadar kalau serangan kilat itu sangat sulit dielakkan, Elang Hitam terpaksa
menyambut dengan mengulurkan tangan kirinya dalam keadaan agak bengkok, ia
bermaksud menyambut tebasan sisi telapak tangan lawan dengan lengan tangannya.
Plak...! Terdengar suara benturan keras. Dua buah lengan yang dialiri tenaga dalam kuat
itu berbenturan, di udara. Seruan-seruan tertahan terdengar dari mulut kedua
tokoh yang saling menggebrak itu. Keduanya sama-sama terkejut merasakan kekuatan
tenaga sakti lawannya.
Ki Bonggala yang terpental balik segera melakukan beberapa kali putaran di udara
sebelum menjejak tanah. Sedangkan lawannya yang tergempur serangannya pun segera
memutar kaki depan setengah lingkaran, dan langsung kembali memasang kuda-kuda.
"Benar-benar mengagumkan! Aku gembira menemui tandingan yang lihai sepertimu,
Pendekar Tangan Sakti...,"
desis Elang Hitam dengan napas terengah-engah.
"Hm.... Kau pun hebat. Elang Hitam. Sayang kepandaian sehebat itu kau gunakan
untuk kejahatan...," ucap Ki Bonggala, dengan napas yang juga agak memburu.
Elang Hitam kini tidak lagi bersuara. Tokoh sesat itu bergerak dengan langkahlangkah pendek. Kedua tangannya yang membentuk cakar elang, dikibas-kibaskan
dengan keras. Tidak salah lagi, dalam penyerangan kali ini, Elang Hitam
bersiap-siap mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Semua itu terbukti dari suara
kibasan tangannya yan menderu tajam.
Pendekar Tangan Sakti tampaknya cukup menyadari kekuatan tenaga dalam lawannya.
Terbukti tokoh itu langsung merendahkan tubuhnya dengan kedudukan bagai orang
menunggang kuda. Sepasang tangannya dengan telapak tangan terbuka, berputaran
menyambar-nyambar dan menimbulkan deru angin yang kuat. Kakinya bergerak dalan
bentuk kuda-kuda yang kokoh bagaikan batu karang. Ki Bonggala tampak siap
mengimbangi permainan lawannya.
"Yeaaah...!"
Dibarengi bentakan nyaring yang memekakkan telinga, Elang Hitam mulai menerjang
dengan jurus-jurus cakar elangnya.
Tubuhnya bergerak ringan bagaikan seekor burung elang yang beterbangan mengincar
mangsa. Sepasang tangannya yang bagai cakar elang menyambar-nyambar dengan
ganas. Ki Bonggala tetap mengimbangi permainan keras lawan dengan ilmu-ilmu tangan
kosongnya yang sangat terkenal dalam rimba persilatan. Gerakan tangannya yang
selalu berubah bentuk benar-benar membuat lawannya kebingungan.
Pertarungan pun semakin bertambah seru. Kedua tokoh itu saling menerjang dengan
ilmu andalan masing-masing.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Pada jurus-jurus awal, tampak Ki Bonggala masih
sanggup mengimbangi, bahkan membalas serangan lawannya. Tapi, ketika pertarungan
meningkat hingga jurus keempat puluh lima, tampak Elang Hitam masih lebih tinggi
kepandaiannya daripada Ki Bonggala.
Kini, tokoh sesat itu menggempur lawannya habis-habisan.
Sehingga, Ki Bonggala kini tampak dalam keadaan terdesak hebat.
Wuttt..! "Ahhh...!?"
Sebuah tamparan cakar lawan nyaris merobek wajah Ki Bonggala. Untunglah tokoh
sakti itu masih sempat memiringkan kepalanya. Sehingga jemari sekeras baja itu
lewat setengah jengkal di samping wajahnya.
Tapi, Ki Bonggala belum bisa menarik napas lega. Sebab, tangan kiri lawan
langsung menyusul dengan tajam. Kali ini cengkeraman maut itu bergerak dari
bawah ke atas. Hendak merobek perut Pendekar Tangan Sakti.
Karena tidak ada waktu lagi untuk menghindar, Ki Bonggala nekat mengangkat
tangan kanannya dan menekan ke bawah sambil menarik kaki kanannya ke belakang.
Dukkk! "Uuuhhh...!"
Ki Bonggala mengeluh pendek. Tangkisannya ternyata membuat tubuhnya terpental
sejauh satu tombak ke belakang.
Kali ini nyata bahwa tenaga dalam lawannya masih jauh lebih kuat daripada tenaga
dalamnya. Dan sebelum tokoh sakti itu sempat memasang kembali kuda-kudanya,
sebua tendangan keras telak menghajar bagian kiri dadanya.
Buggg! "Hugkh...!"
Tak ayal lagi, tubuh lelaki gagah itu pun terjungkal deras ke belakang, lalu
terbanting ke atas tanah. Semburan darah segar langsung membasahi tanah
berumput. Meskipun demikian, Ki Bonggala masih bisa mencelat bangkit. Dia
kembali siap menghadapi lawannya.
Elang Hitam hanya tertawa melihat kekuatan lawannya. Dan tiba-tiba tubuh lelaki
bercambang lebat itu melenting ke atas dan berputar bagai kitiran.
Plakkk! Brettt...!
Tubuh Ki Bonggala melintir akibat tamparan keras pada wajahnya. Lelaki tegap itu
terbanting ke atas tanah untuk kedua kalinya. Dan, sebelum sempat bergerak
bangkit. Elang Hitam melesat dengan cengkeraman mautnya.
"Yeaaat...!"
Ki Bonggala yang sudah tidak mampu lagi berkelit itu hanya memandang terbelalak.
Lelaki gagah itu sama sekali tidak berkedip menunggu maut yang siap
menjemputnya. "Haiiit...!"
Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring membeset udara.
Sesosok bayangan tinggi kurus melesat memotong serangan Elang Hitam.
Akibatnya.... Plakkk! Bukkk! Desss!
"Aaakh...!"
Hebat dan cepat sekali gerakan tangan sosok tinggi kurus itu. Bukan saja
serangan Elang Hitam dapat ditangkisnya. Tapi, dua hantamannya pun bersarang
telak di dada dan lambung tokoh sesat itu. Akibatnya, tubuh lelaki gemuk itu
terjengkang dan mulutnya memuntahkan darah segar.
Bruggg! Tanpa ampun lagi, tubuh Elang Hitam terbanting keras di atas tanah berumput.
Namun meskipun kedua kakinya agak goyah, lelaki gemuk bercambang lebat itu masih
dapat bergerak bangkit dengan sigapnya.
"Setan keparat...!" maki Elang Hitam dengi sorot mata yang memancarkan kemarahan
yang amat sangat.
Sementara itu, sosok tubuh tinggi kurus telah berdiri tegak menghadapi Elang
Hitam. Tatapan matanya yang terlindung di balik alis tebal putih berjuntai itu
jelas menandakan bahwa lelaki itu telah berusia lanjut. Usianya tampak lebih
dari tujuh puluh tahun. Kulit wajahnya pun telah dipenuhi keriput.
"Guru...!?" Ki Bonggala berseru lirih, agak tertahan.
Lelaki gagah yang tengah terluka itu agak terkejut ketika mengenali siapa
sesungguhnya sosok tinggi kurus itu.
"Dewa Langit..!?" desis Elang Hitam yang juga terkejut.
Tanpa banyak cakap lagi, lelaki gemuk itu pun melesat pergi meninggalkan
lawannya. Jelas, hatinya gentar terhadap laki-laki tua yang disebut dengan
julukan Dewa Langit itu.
"Tunggulah pembalasanku, Ki Bonggala, Dewa Langit...!"
Suara Elang Hitam terdengar dari kejauhan. Sosok bayangannya sendiri sudah tidak
terlihat lagi, lenyap ditelan kerimbunan pepohonan hutan.
Perginya Elang Hitam menandakan kecerdikan otaknya.
Sebab, laki-laki tua tinggi kurus yang disebut sebagai Dewa Langit itu bukan
tandingannya. Guru Ki Bonggala itu adalah seorang tokoh sakti yang sangat
terkenal dalam dunia persilatan. Entah bagaimana tokoh sakti yang telah mengasingkan diri itu tiba-tiba muncul menyelamatkan muridnya pada saat yang tepat.
"Guru..., syukurlah kedatanganmu sangat tepat. Terlambat sedikit saja, rasanya
Guru hanya akan mendapatkan mayatku di tempat ini...," ucap Ki Bonggala setelah
luka dalamnya diobati Dewa Langit.
"Hm.... Sesungguhnya aku memang ingin mengunjungimu, dan lewat lembah inilah
jalan terdekat ke tempatmu. Kau tentunya sudah mempunyai keturunan yang dapat
mewarisi ilmu-ilmuku. Aku sudah sangat tua, Bonggala. Meskipun kau telah
mewarisi ilmu-ilmuku, ada beberapa ilmu yang tidak cocok denganmu karena bakat
silatmu tidak begitu bagus. Jadi, kedatanganku ini adalah untuk mendidik
putramu. Tentunya dia sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat perguruan kita. Aku
tinggal menambah dan mematangkannya saja," jelas Dewa Langit.
"Hhh..."
Kening Dewa Langit berkerut melihat wajah murung dan helaan napas berat
muridnya. Ditatapnya wajah lelaki gagah itu penuh selidik.
"Ada apa, Bonggala..." Kau tidak suka putramu menjadi muridku?" tanya Dewa
Langit tanpa melepaskan pandangan matanya dari wajah Ki Bonggala.
"Bukan begitu, Guru.... Tapi, istri dan putraku telah lenyap dua puluh tahun
yang lalu. Tampaknya mereka telah tewas. Itu kutekankan dalam hati, agar
kesedihan tidak selalu datang apabila aku teringat pada mereka...," jawab Ki
Bonggala dengan wajah gelap.
"Ahhh..., jadi kedatanganku sia-sia saja. Maafkan aku, Bonggala. Aku sama sekali
tidak tahu akan hal itu...," desah Dewa Langit yang merasa ikut prihatin dengan
nasib muridnya Itu. Bayangan kekecewaan tergambar jelas pada raut wajah keriput
itu. "Akulah yang seharusnya minta maaf. Guru. Aku tidak pernah mengunjungimu setelah
meninggalkan perguruan.
Bahkan ketika aku menikah, justru Gurulah yang
mengunjungiku. Aaah..., aku memang murid yang tidak tahu balas budi...," ujar Ki
Bonggala memaki dirinya sendiri.
"Sudahlah, Bonggala. Tidak ada gunanya kita saling menyalahkan. Biarlah,
meskipun putramu telah tiada, aku tinggal di tempatmu untuk beberapa waktu.
Sudah jauh sekali aku berjalan, tidak ada salahnya aku mampir di tempatmu,
bukan" Itu pun kalau kau tidak keberatan...," ujar Dewa Langit sambil tersenyum
tipis. "Ah, Guru membuatku malu saja. Tentu saja aku merasa gembira apabila Guru mau
tinggal bersamaku...," sahut Ki Bonggala dengan mata berbinar-binar.
"Yahhh..., siapa tahu saja ada di antara murid-muridmu yang memiliki bakat baik.
Eh..., kau tentu mempunyai murid, bukan?" tanya Dewa Langit.
"Muridku cukup banyak, Guru. Sayang, tidak ada seorang pun yang berbakat baik.
Jangankan untuk mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari guru. Ilmu-ilmuku saja tidak
dapat mereka warisi dengan baik. Aku benar-benar menyesal, Guru...," desah Ki
Donggala. Wajah Pendekar Tangan Sakti tampak murung, ia menyesali dirinya sendiri karena
tak dapat membantu gurunya mencari murid yang memiliki bakat baik. Memang, untuk
mendapatkan murid seperti yang diinginkan tokoh itu sulit sekali.
"Sudahlah, mari kita ke tempat tinggalmu...," tukas Dewa Langit memutuskan
pembicaraan mereka.
Kedua pendekar berlainan usia itu kemudian segera melangkahkan kakinya,
meninggalkan Lembah Hutan Welang.
4 Di wilayah Timur Kadipaten Danau Bulus terdapat hutan bernama Jembalang. Bagi
penduduk desa di sekitarnya, Hutan Jembalang dikenal sebagai hutan keramat.
Hutan lebat yang angker itu banyak dihuni binatang-binatang buas pada umumnya.
Sehingga, penduduk desa sekitar hutan itu menganggap binatang-binatang itu
sebagai dewa ataupun pelindung mereka.
Nama dan keangkeran Hutan Jembalang tidak hanya dikenal oleh penduduk setempat.
Tidak sedikit tokoh persilatan yang juga menganggap hutan itu sebagai tempat
keramat. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada orang yang berani mendatangi
atau mencoba menjelajahinya. Beberapa tokoh persilatan yang merasa penasaran
pernah mencoba menjelajahi hutan itu. Tapi, sejak tokoh-tokoh itu pergi, tak ada
seorang pun yang kembali. Sehingga, Hutan Jembalang semakin ditakuti.
Maka tidak seorang pun yang akan percaya apabila menyaksikan keanehan yang
terlihat di dalam Hutan Jembalang pada pagi itu. Sesosok
bayangan tubuh manusia tampak berlarian dengan cepatnya.
Dan, yang lebih mengherankan lagi, seekor harimau besar ikut berlari di belakang
sosok manusia itu.
Cukup lama kedua sosok makhluk itu saling berkejaran.
Setelah tiba di sebuah tepian sungai, barulah keduanya menghentikan langkah
mereka. Sosok bayangan manusja itu terlihat memiliki bentuk tubuh yang tinggi dan kokoh.
Guratan-guratan otot tubuhnya jelas membayangkan kekuatan yang hebat. Belum
lagi, bentuk raut wajahnya yang keras dan kokoh. Sungguh sebuah sosok manusia
yang melambangkan kejantanan dan keperkasaan.
Sayangnya, manusia yang tampak masih muda itu memiliki sepasang mata liar,
persis seperti mata binatang buas.
Sehingga, sosoknya yang tampan terlihat angker dan menakutkan.
"Grrrng,..!"
Setelah menatapi riak air sungai yang jernih itu sejenak, sosok yang jelas-jelas


Pendekar Naga Putih 39 Putera Harimau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menandakan manusia rimba itu meraung lirih. Kepalanya berputar menoleh ke
belakang. Di situ seekor harimau duduk memandangnya. Harimau muda yang besar itu
pun meraung menunjukkan taringnya yang runcing.
Sosok manusia rimba berusia sekitar dua puluh tahun itu tampak mengulas senyum.
Kemudian, ia melepaskan celana pendek dari kulit harimau yang dikenakannya.
Lalu, diterjunkan dirinya ke dalam air sungai. Rupanya raungan tadi sebagai
isyarat bahwa ia akan mandi.
Selama lelaki muda itu bermain di dalam sungai, harimau besar itu hanya duduk
memandanginya. Sesekali terdengar raungannya ketika pemuda itu menyiraminya
dengan air sungai. Sedangkan pemuda itu tertawa gembira melihat sahabatnya
jengkel. Belum lagi pemuda itu merasa puas bermain-main di dalam air, tiba-tiba terdengar
raungan keras bagai hendak menggetarkan seluruh isi hutan. Jelas suara itu
merupakan raung kesakitan seekor harimau.
"Grauuung...!"
Lelaki muda itu pun meraung, menjawab raungan keras yang didengarnya. Cepat
bagai kilat tubuhnya langsung melesat naik ke tepi sungai. Setelah mengenakan
celana kulit harimaunya, bergegas pemuda itu mengajak sahabatnya, si harima
besar, berlari menuju sumber suara kesakitan tadi.
Tidak lama kemudian, tibalah pemuda dan harimau besar itu di sebuah tempat yang
agak terbuka. Terdengar erangan keras dari kedua makhluk berlainan wujud itu.
Keduanya tampak marah menyaksikan pemandangan di depan mereka.
Belasan bangkai harimau bergeletakan saling tindih. Dan beberapa langkah di
depan bangkai-bangkai harimau itu, tampak belasan ekor harimau lain tengah
mengeroyok seorang lelaki bertubuh gemuk pendek. Meskipun dikeroyok belasan ekor
harimau besar, lelaki yang berusia sekitar enam puluh tahun itu sama sekali
tidak kelihatan gentar. Bahkan lelaki itu memperdengarkan suara kekehnya.
"Grauuurgh...!"
Empat ekor harimau besar yang muda dan kuat meraung sambil melompat. Cakar-cakar
yang runcing dan terlihat kokoh siap merejam tubuh lelaki gemuk pendek itu.
"He he he...! Hari ini nasib kalian pasti sedang sial. Aku, Iblis Penakluk
Harimau, akan menunjukkan pada orang-orang bahwa Hutan Jembalang tidak lagi
pantas ditakuti...," kata lelaki gemuk itu sambil merendahkan tubuhnya dan
mengangkat kedua telapak tangannya ke atas.
Buggg! Desss! Hebat dan tepat sekali
perhitungan lelaki gemuk
pendek itu. Hantaman
sepasang telapak tangannya
telak menghunjam tubuh dua
ekor harimau yang menerjang
dari kiri dan kanannya. Sehingga, kedua binatang buas
itu meraung dan terlempar
sejauh satu setengah tombak.
Tidak seorang pun akan
percaya menyaksikan
keanehan di Hutan
Jembalang pagi itu. Sesosok
tubuh manusia tampak
berlarian dengan cepat, diikuti seekor harimau besar yang berlari di
belakangnya. Cukup lama kedua sosok makhluk itu saling berkejaran, sampai
akhirnya tiba di tepi sungai.
Gerakannya ternyata belum selesai, ia masih melanjutkan dengan lentingan ke
udara dan putaran tubuh beberapa kali ke belakang. Sehingga, tubuh gemuk itu
melampaui seekor harimau yang menerjang dari belakang.
Dengan ringannya, tubuh gemuk pendek itu secara tak terduga mendarat di atas
punggung harimau. Tangan kanannya bergerak melakukan tamparan keras ke arah
kepala harimau yang berhasil ditungganginya.
Prakkk! Darah segar langsung muncrat begitu telapak tangan lelaki itu menghantam pecah
kepala harimau yang ditungganginya.
Kemudian, dengan kaki kanannya, ditendangnya perut harimau
yang menyerang dari depan saat harimau itu masih berada di udara.
Desss! "Grauuung...!"
Harimau jantan itu menggerang kesakitan. Tubuhnya yang besar langsung terlempar
hingga membentur sebatang pohon besar. Sambil menggeram marah dan menunjukkan
taringnya, harimau jantan itu kembali bangkit dan melangkah. Tapi harimau besar
itu agak ragu karena gentar menghadapi mangsanya kali ini.
Lelaki gemuk yang mengaku berjuluk Iblis Penakluk Harimau itu tiba-tiba
tersentak kaget. Baru saja ia melompat turun dari atas punggung harimau yang
terbanting ke tanah, terdengar raungan keras yang agak aneh.
"Hei...!"
Iblis Penakluk Harimau hampir tidak mempercayai pandangannya. Untuk beberapa
saat lamanya, lelaki gemuk itu hanya berdiri terpaku menatap sosok manusia
bertubuh kokoh yang matanya menyala penuh kebencian.
Ketika melihat sosok pemuda tampan bertubuh kokoh yang memancarkan kekuatan
hebat itu melangkah maju, Iblis Penakluk Harimau bergerak mundur. Memang,
langkah pemuda penghuni rimba itu tidak menunjukkan tanda-tanda hendak
menyerang. Dan lelaki gemuk itu sendiri bergerak mundur karena ingin mengetahui,
apa yang akan diperbuat pemuda itu.
Untuk kedua kalinya. Iblis Penakluk Harimau dibuat terheran-heran. Pemuda
bertubuh kokoh itu tampak menjatuhkan dirinya dan memeluk erat salah satu
bangkai harimau. Sesekali terdengar raungannya bernada pilu. Pemuda itu tengah
mena-ngisi seekor harimau betina yang besar dan jelas berusia tua.
"Aneh, mengapa pemuda itu menangis..." Apakah harimau betina yang paling besar
itu peliharaannya..." Ataukah memang harimau-harimau yang kubunuh itu
peliharaannya?" gumam Iblis Penakluk Harimau dengan berbagai pertanyaan
memusingkan kepalanya.
Tidak lama kemudian, pemuda bertubuh kokoh itu bangkit dengan gerakan perlahan.
Sepasang matanya mencorong tajam menatap wajah Iblis Penakluk Harimau. Dari
mulutnya terdengar erangan marah yang sambung-menyambung.
"Anak muda, siapakah kau" Apakah kau majikan hutan ini dan pemilik harimauharimau yang kubunuh itu...?" tanya Iblis Penakluk Harimau sambil merayapi sosok
tubuh kekar berotot di depannya itu.
Ada kilatan kekaguman yang tidak berusaha disembunyikan oleh lelaki gemuk itu.
Jelas memang sosok pemuda itu mendatangkan kekaguman yang tidak bisa
dipungkirinya. Tapi, pemuda itu sama sekali tidak menjawab. Ia menggeleng-gelengkan kepala
sambil menggeram marah. Iblis Penakluk Harimau pun heran melihat tingkah pemuda
itu. "Hei, Anak Muda! Apakah kau tuli. Atau kau bisu...?" bentak Iblis Penakluk
Harimau jengkel seraya melangkah maju menentang pandang pemuda itu dengan tidak
kalah tajamnya.
Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya.
Tampaknya dia tidak kuat melawan tatap mata Iblis Penakluk Harimau yang tajam
mencorong itu. Ketika untuk kesekian kalinya pemuda itu kembali menelengkan kepalanya dengan
sikap bingung, sadarlah Iblis Penakluk Harimau bahwa pemuda itu tidak bisa
berbicara sebagaimana layaknya manusia.
"Aneh.... Mungkinkah pemuda ini tinggal sejak kecil di dalam hutan" Apakah
harimau betina itu yang merawatnya" Lalu, dari mana sebenarnya asal pemuda ini"
Apa mungkin ia diculik dari desa oleh harimau-harimau itu...?"
Iblis Penakluk Harimau bertanya-tanya dalam hati. Peristiwa aneh memang sudah
sering terjadi dalam kalangan persilatan, namun apa yang disaksikannya saat ini
benar-benar sukar diterimanya.
Sementara itu, pemuda tampan bertubuh kokoh itu mulai melangkah ke depan. Seekor
harimau muda yang memiliki bentuk tubuh lebih besar daripada harimau-harimau
lainnya tampak mengikuti langkah pemuda itu sambil menunjukkan taring-taringnya
dengan sikap mengancam. Sembilan ekor harimau lainnya yang masih hidup ikut
mengiring dari belakang. Pemandangan ini jelas menandakan bahwa pemuda itu
adalah pemimpin harimau-harimau yang mengeroyok Iblis Penakluk Harimau.
"Hm,.., tidak salah lagi, pemuda ini anak didik induk harimau yang tadi kubunuh.
Bahkan, tampaknya ia sangat disegani harimau-harimau lainnya. Harimau-harimau
itu tentu menganggap pemuda ini sebagai pemimpinnya, benar-benar
menakjubkan...," desis Iblis Penakluk Harimau sambil berdecak kagum.
Iblis Penakluk Harimau bergerak ke samping saat rombongan harimau yang dipimpin
pemuda tampan itu semakin mendekat ke arahnya. Pikiran yang melintas di benaknya
membuat lelaki gemuk itu tersenyum licik. Ia ingin melihat, pemuda itu memiliki
ilmu silat atau hanya sekadar terlatih oleh keganasan alam hutan.
"Hm...., majulah kau, Putra Harimau. Aku ingin melihat, apakah indukmu telah
mendidikmu dengan baik...," tantang
Iblis Penakluk Harimau sambil menatap tajam pemuda yang kini sudah menghentikan
langkahnya itu.
Pemuda itu tampak merunduk, seperti siap menerkam Iblis Penakluk Harimau.
Sedangkan harimau-harimau di belakangnya bergerak menyebar. Lelaki gemuk itu
dikepung dari segala arah.
"Grrrhhh...!"
Pemuda bertubuh kokoh itu tampak menggeram lirih sambil menatap Iblis Penakluk
Harimau dengan sorot mata yang tajam. Tubuhnya bergerak ke kiri dan ke kanan,
mencari kesempatan baik untuk menerjang lawan.
*** "Grauuung...!"
Dibarengi sebuah bentakan keras yang nyaring, pemuda itu melesat sambil
merentangkan tangannya yang telah membentuk cakar harimau. Gerakannya ternyata
jauh lebih gesit daripada harimau biasa. Sehingga, Iblis Penakluk Harimau sempat
terbelalak kagum menyaksikannya.
Namun betapapun cepatnya, terkaman pemuda itu tidak mengenai sasaran. Iblis
Penakluk Harimau telah bergerak ke samping kanan sambil menepiskan cengkeraman
tangan kiri pemuda itu.
Plakkk! "Aaargh...!"
Terdengar pemuda itu meraung kesakitan ketika tepisan tangan Iblis Penakluk
Harimau mengenai lengan kirinya.
Meskipun demikian, tubuh pemuda itu tidak sampai terbanting di tanah. Sebab,
dengan sebuah gerakan ringan, tubuh pemuda
itu telah melenting dan jatuh dengan kedua tangan terlebih dahulu. Dia lalu
melejit bangkit sambil meraung marah.
Saat itu juga harimau jantan muda yang bertubuh besar dan kuat melesat untuk
menerkam Iblis Penakluk Harimau. Tapi, lelaki gemuk itu sama kali tidak gugup.
Dengan sebuah geseran yang indah, tangan kanannya bergerak dari samping
menghajar tubuh harimau muda itu.
Desss...! Harimau muda itu meraung keras. Tubuhnya terlempar hingga melanggar sebatang
pohon besar. Beberapa saat lamanya, harimau muda itu hanya mendekam sambil
mengaum lirih, ia tampak menderita akibat perbuatan Iblis Penakluk Harimau.
Keganasan Iblis Penakluk Harimau tidak sampai di situ saja.
Setelah menghajar harimau muda yang menerjangnya tadi, tubuh lelaki gemuk
bergerak cepat ke depan. Tiga ekor harimau yan tengah siap menerkam, langsung
berkelojotan dengan kepala pecah dihajar keras olehnya. Kemudian, dibagi-bagikan
tamparan mautnya ke arah harimau-harimau lainnya. Sehingga, dalam beberapa
gebrakan saja, habislah harimau yang mengeroyoknya, kecuali harimau muda yang
masih mendekam kesakitan dan pemuda tampan itu.
"He he he.... Rasanya sayang kalau aku membunuhmu, Putra Harimau. Lebih baik kau
kutangkap dan kulatih untuk mewarisi semua ilmuku. Kelak kau pasti akan
menggemparkan rimba persilatan...," gumam lelaki gemuk itu sambil melangkah maju
menghampiri kedua lawannya yang kini telah siap kembali memasang kuda-kuda itu.
Baru saja kedua belah pihak siap untuk saling menggempur, tiba-tiba terdengar
sebuah bentakan nyaring. Masing-masing pun menahan gerakannya.
"Tunggu...!"
Bentakan nyaring itu disusul berkelebatnya sesosok gemuk yang wajahnya
bercambang lebat. Lelaki itu melangkah ke arah Iblis Penakluk Harimau.
"Elang Hitam..." Mau apa kau datang ke tempat ini...?" tegur Iblis Penakluk
Harimau. Lelaki pendek gemuk itu tampak terganggu dengan kedatangan lelaki bercambang
lebat yang tidak lain dari Elang Hitam itu.
"Hm..., Iblis Penakluk Harimau, apakah kau tidak melihat kalung yang tergantung
di leher pemuda hutan itu..."
Perhatikanlah baik-baik. Kau pasti akan terkejut setelah mengetahuinya," ujar
Elang Hitam, agak pelan.
Iblis Penakluk Harimau berkerut keningnya. Meskipun demikian, ia menoleh juga ke
arah Putra Harimau itu.
Diperhatikannya kalung yang tergantung di leher pemuda itu.
"Hm...," gumam Iblis Penakluk Harimau dengan rona wajah berubah. Tampaknya ia
mengenali permata kalung berbentuk pipih yang terbuat dari perak itu.
"Kau pasti kenal, siapa pemilik kalung berlambang telapak tangan itu, bukan"
Nah, turutilah rencanaku...," ujar Elang Hitam dengan tatapan tajam.
"Hm..., kalau begitu, kau pasti sudah sejak tadi berada di tempat ini. Aku kira,
tidak mungkin kau sudi menginjakkan kaki di Hutan Jembalang ini tanpa suatu
maksud tertentu. Nah, jelaskanlah rencanamu itu padaku...," pinta Iblis Penakluk
Harimau dengan wajah sungguh-sungguh.
"Aku memang sedang mencarimu. Dari seorang muridmu, aku mendapat keterangan
bahwa kau hendak mendatangi
Hutan Jembalang ini karena tertarik dengan keangkerannya.
Itulah sebabnya aku datang ke hutan ini. Aku mengharapkan bantuanmu untuk suatu
urusan yang pasti kau sukai. Tentang urusan itu sendiri, nantilah aku jelaskan.
Yang penting sekarang, kau jangan membunuh pemuda itu Sebaiknya kita tawan saja.
Dia bisa dipergunakan untuk melawan musuh kita...," jelas Elang Hitam dengan
senyum tipis penuh rencana licik.
"Hm..., pemuda itu tentu memiliki perasaan yang tajam, sebagaimana binatang buas
lainnya. Sebaiknya kita mengatur siasat, agar ia mau mengikutimu dan membantumu
menghadapi musuh-musuh kita...," usul Iblis Penakluk Harimau yang tampak
memiliki otak lebih cerdik dibanding kawannya.
Untuk beberapa saat lamanya, suasana menjadi hening.
Kedua tokoh sesat itu saling berbisik mengatur rencana.
Setelah mendapatkan kata sepakat, barulah keduanya menatap ke arah si pemuda dan
harimau muda itu.
Elang Hitam bergerak merenggang, menjauhi rekannya.
Sedangkan Iblis Penakluk Harimau melangkah maju menghadapi kedua lawannya.
"Grrrh...!"
Kedua makhluk berlainan wujud yang berkawan sejak kecil itu menggeram marah.
Keduanya berpencar, siap menghadapi gebrakan Iblis Penakluk Harimau.
"Yeaaah..!"
Disertai sebuah bentakan nyaring, tubuh lelaki gemuk pendek itu melesat
menerjang lawannya. Pertarungan pun kembali berlangsung sengit.
Iblis Penakluk Harimau bergerak cepat dengan lontaran pukulan-pukulannya.
Sehingga, kedua lawannya jatuh bangun dan semakin terdesak hebat.
Bukkk! Untuk kesekian kalinya, sebuah pukulan keras menghajar tubuh harimau muda itu
dengan telak. Tanpa ampun lagi, tubuh harimau jantan yang besar itu pun
terlempar deras, lalu terbanting hingga menimbulkan suara berdebuk nyaring.
"Hreeeaaagh...!"
Si pemuda tampan meraung murka. Cepat bagai kilat, tubuhnya melesat menolong
binatang yang menjadi sahabatnya itu. Sebab, saat itu Iblis Penakluk Harimau
telah siap melepaskan tamparannya untuk menghabisi nyawa harimau muda itu.
"Hmh...," gumam Iblis Penakluk Harimau perlahan, seraya mengubah tamparannya
menjadi sebuah tebasan yang mengancam lambung lawan.
Whuttt! Tebasan sisi telapak tangan Iblis Penakluk Harimau menderu mengincar lambung
pemuda itu. Namun, sebuah bayangan lain datang sambil mengayunkan tangannya
menyambut tebasan telapak tangan Iblis Penakluk Harimau itu. Dan....
Plakkk! Iblis Penakluk Harimau dan sosok bayangan yang menyambut pukulannya itu samasama terlempar ke belakang.
Jelas bahwa kekuatan tenaga dalam keduanya berimbang.
"Keparat...!" hardik Iblis Penakluk Harimau. "Mengapa kau ikut campur urusanku,
Elang Hitam?"
"Sebaiknya kau pergilah dari Hutan Jembalang ini, Iblis Penakluk Harimau. Kalau
tidak, terpaksa aku akan menamatkan riwayatmu," ujar sosok bayangan yang


Pendekar Naga Putih 39 Putera Harimau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menolong pemuda itu.
Namun jelas, pertengkaran keduanya hanyalah sebuah sandiwara untuk menarik
simpati Putra Harimau.
"Bangsat..!"
Sambil menghardik kasar, Iblis Penakluk Harimau melompat disertai tamparan keras
yang mengancam kepala lawan.
"Hmh...."
Elang Hitam mendengus. Tubuhnya direndahkan sambil melontarkan hantaman telapak
tangan ke arah tubuh lawan.
Dan.... Bukkk! "Akh...!"
Hantaman telapak tangan yang dilontarkan Elang Hitam telak mengenai sasaran.
Sehingga, tubuh lawannya terlempar mundur hingga satu tombak jauhnya.
"Pergilah...!" bentak Elang Hitam dengan sorot mata tajam, namun tampak sebelah
matanya mengerdip memberi isyarat.
Iblis Penakluk Harimau menggeram perlahan. Tubuhnya segera melesat meninggalkan
tempat itu. Namun, sempat dilontarkannya sebilah pisau kecil ke arah harimau
muda yang berada di samping Putra Harimau.
Siuuut.., cappp...!
Harimau muda yang tidak sempat menghindar itu meraung keras. Pisau kecil itu
telah menancap di antara kedua matanya.
Darah segar pun mengalir. Harimau besar itu menggelepar di atas tanah.
Elang Hitam bergegas menghambur ke tubuh harimau itu.
Sebelum Putra Harimau sempat menyadarinya, Iblis Penakluk Harimau telah
mendorong gagang pisau kecil yang masih tampak di kepala harimau itu hingga
melesak semakin dalam.
Jelas, kematian harimau muda itu ingin dipercepatnya.
"Hm..., sayang aku tidak berhasil menyelamatkannya.
Sahabat," desah Elang Hitam, berpura-pura menyesal.
Putra Harimau hanya menatap bingung, tidak mengerti, mengapa lelaki tinggi gemuk
bercambang lebat itu menolongnya. Pemuda itu hanya menggereng lirih, mirip
sebuah tangisan seorang anak yang ditinggalkan sahabat bermainnya.
Elang Hitam mengelus rambut pemuda itu dengan lembut.
Tampak lelaki gemuk berhati licik itu hendak menanamkan kesan baik pada pemuda
itu. "Sudahlah. Lebih baik kita kuburkan saja kawan-kawanmu yang telah tewas itu...,"
ujar Elang Hitam.
Tanpa banyak cakap lagi, Elang Hitam segera membuat lubang untuk menguburkan
mayat-mayat harimau yang berserakan itu. Sedangkan Putra Harimau hanya menatap
bingung. 46 Elang Hitam memandang sosok tegap berambut panjang yang tengah bersimpuh di
kuburan harimau- harimau itu.
Sesekali terdengar raungan lirih keluar dari kerongkongan
pemuda itu. Jelas sekali kalau pemuda itu tengah dilanda kesedihan yang dalam.
Namun, setelah menanti sekian lama, pemuda itu tidak juga bergerak bangkit Elang
Hitam menjadi tidak sabar.
Dilangkahkan kakinya mendekati pemuda itu. Ditepuknya bahu pemuda itu perlahan
sambil menghibur.
"Sudahlah, Anak Muda. Tidak baik membenamkan diri dalam kesedihan yang berlarutlarut. Sebaiknya segera kita tinggalkan tempat ini. Kau bersedia ikut bersamaku,
bukan...?" tanya Elang Hitam dengan kata-kata manis.
Pemuda putra harimau yang semenjak kecil hidup di dalam hutan itu sejenak
terpaku. Dipandanginya wajah Elang Hitam dengan raut bingung. Jelas ia tidak
mengerti ucapan-ucapan yang dikeluarkan Elang Hitam.
Elang Hitam terpaksa menggunakan gerakan tangan untuk berbicara kepada pemuda
itu. Tapi, ajakan lelaki bercambang lebat tampaknya tidak diterima si pemuda.
Terlihat ia menggeram-geram tidak senang.
"Hm...," gumam Elang Hitam sambil berpikir keras.
Sebenarnya bisa saja Elang Hitam memaksa, tapi pemuda itu kemungkinan tidak akan
menurut nantinya. Itulah yang membuat Elang Hitam harus menelan kedongkolan
hatinya, dengan mencoba terus bersikap baik kepada pemuda itu.
Kemudian Elang Hitam pun terpaksa mengikuti kemauan pemuda itu. Lelaki gemuk itu
sama sekali tidak membantah ketika si Putra Harimau mengajaknya tinggal di dalam
hutan. "Hm..., biarlah untuk beberapa hari ini aku menuruti kemauannya. Kelak bila
sudah menaruh kepercayaan kepadaku ia tentu tidak akan sulit lagi diatur," gumam
Elang Hitam sambil mengikuti langkah pemuda itu.
Beberapa hari lamanya, Elang Hitam mengikuti kemauan pemuda itu. Bahkan lelaki
gemuk bercambang lebat itu mulai mengajarkan bicara sedikit demi sedikit.
Sehingga, meskipun agak sulit, pemuda itu mulai dapat berbicara.
"Wa-na-ra...."
Pada hari ketiga, Elang Hitam mulai memberikan nama kepada pemuda itu.
Diucapkannya nama itu sambil menunjuk ke arah si Putra Harimau.
"Wa nara...," ucap pemuda itu tersendat-sendat meniru sambil menunjuk-nunjuk
dadanya sendiri.
"Bagus.... Mulai sekarang kau harus ingat baik-baik, namamu adalah Wanara.
Namamu Wa-nara...."
Elang Hitam bukan main gembiranya melihat putra harimau itu sudah makin mengerti
akan ucapan-ucapannya.
"Na-ma-ku... Wa-na-ra...," ulang pemuda itu seraya terkekeh gembira.
Jelas sekali kalau pemuda itu pun tidak kalah gembiranya dapat berkata-kata
seperti manusia pada umumnya. Dan setelah beberapa hari tinggal ditemani Elang
Hitam, pemuda itu mulai mengerti siapa sebenarnya dirinya, ia pun telah memahami
perbedaan antara manusia dan binatang.
Elang Hitam bukan hanya mengajarkan Wanara untuk berbicara. Tokoh sesat itu juga
mengajarkan dasar-dasar ilmu silat. Kegembiraan lelaki bercambang lebat itu kian
menjadi-jadi. Sebab, Wanara bukan hanya cerdik, tapi juga memiliki bakat yang
sangat besar dalam ilmu silat. Bahkan gerakan tubuhnya hampir menyamai Elang
Hitam. Hal ini tidak terlalu aneh. Wanara yang semenjak kecil hidup di dalam
hutan dan dididik oleh seekor induk harimau itu tentu saja memiliki kegesitan
dan kekuatan seperti halnya seekor harimau. Dalam
waktu beberapa hari saja, kepandaian pemuda bertubuh kuat itu telah maju pesat.
Pada pagi hari yang kesepuluh. Elang Hitam menatap penuh kagum ke arah Wanara
yang tengah berlatih ilmu silat.
Kelincahan pukulannya tampak sudah sedemikian mantap.
Sehingga, lelaki gemuk itu tersenyum-senyum penuh kepuasan.
Elang Hitam pun menjadi gatal-gatal tangannya.
"Wanara! Sambut seranganku...!" seru lelaki gemuk itu sambil meluruk ke arah
Pendekar Super Sakti 8 Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Senja Jatuh Di Pajajaran 6

Cari Blog Ini