Ceritasilat Novel Online

Putera Harimau 2

Pendekar Naga Putih 39 Putera Harimau Bagian 2


Wanara. "Hiaaahhh...!"
Whuuut! Cengkeraman Elang Hitam meluruk cepat mengancam kedua lambung Wanara. Serangkum
angin berkesiutan menyertai datangnya cengkeraman hebat itu. Jelas tenaga yang
dikerahkan Elang Hitam cukup kuat dan bisa membahayakan lawan.
"Heeearkhhh...!"
Wanara berseru keras. Dilambungkan tubuhnya ke depan dan terus diputarnya dengan
kepala di bawah. Sepasang tangannya dengan telapak terbuka bergerak cepat siap menghajar
kedua telinga Elang Hitam.
"Bagus...!" ujar Elang Hitam melihat tindakan cepat Wanara.
Sambil melontarkan pujian, lelaki gemuk itu merendahkan kuda-kudanya. Kemudian
dia melejit balik dengan sebuah tendangan keras mengarah perut Wanara.
Plakkk! Plakkk!
"Uhhh...!"
Tendangan kilat yang tak terduga itu berhasil ditepiskan Wanara, meskipun untuk
itu ia harus menderita rasa nyeri pada telapak tangannya. Tubuhnya melejit
kembali ke udara dengan menggunakan tenaga benturan itu, lalu meluruk turun
dengan kaki di atas tanah.
"Yeaaattt..!"
Elang Hitam sepertinya tidak mau memberikan kesempatan bagi Wanara untuk menarik
napas lega. Dengan disertai teriakan nyaring, tokoh sesat itu kembali meluncur
menerjang Wanara. Sepasang tangannya yang berbentuk cakar elang bergerai cepat
susul-menyusul, mengarah bagian-bagian terlemah di tubuh pemuda itu.
Bettt! Bettt! Bettt!
"Haittt..!"
Dengan loncatan-loncatan ringan, Wanara bergerak ke arah kiri dan kanan
menghindari sambaran cakar Elang Hitam!
Gerakan pemuda itu sangat gesit, sehingga Elang Hitam sempat kebingungan
mengejar sasarannya.
Setelah melewati dua puluh lima jurus, Elang Hitam semakin menambah kekuatan dan
kecepatan serangan-serangannya.
Tentu saja gempuran-gempuran hebat itu membuat Wanara terdesak hebat. Hingga,
pada jurus yang ketiga puluh, pemuda itu tidak sanggup lagi bertahan. Akibatnya,
sebuah pukulan telapak tangan Elang Hitam telak menghajar tubuhnya.
Bukkk! "Aaakhhh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Wanara terlempar deras dan terbanting ke atas
tanah berumput. Meskipun pemuda itu dapat bangkit lagi dengan sigapnya, dari
raut wajahnya tergambar bahwa ia cukup merasakan kerasnya pukulan lawan.
Cairan merah tampak membasahi sudut kiri bibirnya.
"Cukup, Wanara...!"
Elang Hitam berseru mencegah ketika dilihatnya Wanara masih hendak melanjutkan
pertarungan. Lelaki bercambang lebat itu melangkah ke arah pemuda tampan itu
dengan senyum lebar yang menandakan kepuasan hatinya.
"Gu-ru... hebat se-ka-li...," puji Wanara dengan suara terpatah-patah, tapi
terdengar jelas dan bisa dimengerti oleh Elang Hitam.
"Kau pun hebat, Wanara. Kemajuan yang kau peroleh pesat sekali. Kalau saja ada
orang yang mendidikmu lebih pandai dari aku, mungkin saat ini aku sudah tidak
mampu lagi berhadapan denganmu," ujar Elang Hitam dengan wajah berseri.
Kemajuan yang diperoleh pemuda itu tentu saja mendatangkan keuntungan yang
menggembirakan bagi Elang Hitam. Sebab, pemuda itu jelas dapat menjadi seorang
pembantu yang sangat baik baginya. Jika ditekankan bahwa ia adalah orang satusatunya yang terbaik bagi Wanara, kemungkinan pemuda itu untuk berkhianat sangat
kecil. "Be-tul-kah... itu..., Gu-ru...," tegas Wanara, seolah-olah belum percaya akan
kemampuan yang kini dimilikinya.
"Tentu saja betul. Apa aku pernah berbohong padamu...?"
kata Elang Hitam. "Sekarang sudah saatnya kita keluar dari Hutan Jembalang ini.
Kau masih ingat bukan, cerita yang pernah kusampaikan padamu beberapa hari
lalu...?" "Ten-tang... mu-suh be-sar Gu-ru...," sahut Wanara setelah mengingat beberapa
saat lamanya. "Benar. Untuk itulah kita harus keluar dari hutan ini. Selain itu, aku pun ingin
meminta bantuan dari beberapa rekan segolongan. Sebab, selain kejam, musuhku itu
memiliki ilmu tinggi, ia juga mempunyai seorang pembantu yang sangat hebat..."
Elang Hitam mulai menanamkan bibit kebencian di hati Wanara terhadap musuhnya.
Sehingga, pemuda polos itu menjadi geram terhadap orang yang dianggapnya jahat
itu. Sedangkan Elang Hitam dirasakannya sangat baik terhadapnya.
"Kalau begitu, ayolah ki-ta ca-ri orang ja-hat itu, Gu-ru...,"
sahut Wanara dengan tatapan mata berkilat yang menggambarkan kebencian terhadap
musuh besar gurunya itu.
"Ayolah. Tapi sebelumnya kita harus mencari seorang guru yang pandai untuk
menambah ilmu-ilmu yang telah kau miliki,"
ujar Elang Hitam seraya mengajak Wanara meninggalkan Hutan Jembalang.
*** Rambahan sinar matahari pagi semakin meluas ke seluruh permukaan bumi.
Kehangatannya menjalar menguapkan lapisan embun di pucuk-pucuk dedaunan. Semilir
angin pagi yang lembut terasa bagai elusan tangan gadis jelita yang menimbulkan
kesegaran dan kenikmatan.
Saat itu, dua sosok tubuh tampak bergerak perlahan melewati batas Desa Babakan.
Nama desa itu tertulis pada tiang batu setinggi bahu yang terpancang di pinggir
jalan. Angin pagi yang lembut sesekali menyibakkan rambut kedua sosok itu. Namun,
keduanya sama sekali tidak peduli. Mereka
terus saja melangkah lambat menyusuri jalan lebar memasuki Desa Babakan.
Tidak lama kemudian, tibalah keduanya di mulut desa.
Beberapa penduduk desa yang berpapasan dengan mereka melemparkan pandang penuh
kekaguman terhadap sosok ramping yang berpakaian serba hijau. Sosok ramping itu
adalah orang yang sangat jelita dan mempesona. Beberapa lelaki muda melemparkan
pandangan penuh iri kepada pemuda berjubah putih yang berjalan bersamanya.
Pemuda dan gadis itu tetap tidak peduli. Keduanya terus melangkah menyusuri
jalan utama Desa Babakan. Mereka baru berhenti saat melihat sebuah kedai makan
yang agak sepi.
"Kita singgah sebentar di kedai ini, Kakang...," kata gadis jelita berpakaian
serba hijau itu. Suaranya demikian bening dan memikat.
Sosok pemuda berjubah putih yang tampan itu hanya mengangguk seraya tersenyum.
Kemudian keduanya bergerak memasuki kedai makan di tepi jalan utama desa itu.
Tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya, pemuda tampan berjubah putih itu
melambaikan tangan kepada seorang lelaki setengah baya yang berpakaian pelayan.
Segera saja pelayan itu bergerak menghampiri.
Tapi baru beberapa langkah pelayan itu melangkahkan kakinya, mendadak sebuah
lengan kekar berbulu lebat menghalangi jalannya. Lelaki setengah baya itu pun
menghentikan langkahnya dan menatap si empunya lengan dengan tatapan takuttakut. "Kembalilah. Biar aku saja yang melayani keperluan dua orang asing itu...."
Terdengar suara berat dan parau dari si empunya lengan kekar berbulu itu.
Wajahnya yang bercambang lebat dengan sepasang mata yang lebar tampak menakutkan
sekali. Sehingga, tanpa membantah lagi pelayan itu bergerak mundur.
"Baik., baik.., Tuan...," ujar pelayan itu terbata-bata.
Pada wajah tua si pelayan terbayang kecemasan yang tidak bisa disembunyikan.
Tampaknya lelaki kekar menyeramkan itu sudah dikenalnya.
Lelaki kekar bercambang lebat dengan mata besar itu menghampiri meja pemuda
berjubah putih, seraya memilin-milin kumisnya yang lebat. Sedangkan matanya tak
pernah lepas dari raut wajah jelita gadis di samping pemuda itu.
"Hm , kalian tentu bukan orang Desa Babakan ini. Dari mana asal kalian dan ada
keperluan apa singgah di desa kami ini...?"
tanya lelaki bercambang bauk itu sambil menaikkan kakinya ke atas kursi.
Sikapnya jelas menggambarkan kesombongan.
Pemuda tampan berjubah putih itu tersenyum sabar.
Disentuhnya lengan gadis jelita di sampingnya ketika dilihatnya si gadis hendak
bangkit. Kemudian ditatapnya wajah bengis di depannya setelah gadis jelita itu
menuruti isyaratnya.
"Kami memang bukan warga Desa Babakan ini, Kisanak.
Kami hanyalah dua orang pengembara yang kehausan dan hendak melepaskan lelah di
desa ini. Maafkanlah apabila kedatangan kami tidak berkenan di hati Kisanak..,"
ujar pemuda tampan berjubah putih itu dengan nada halus dan sabar.
Senyum si pemuda tampak mengiringi setiap kalimat yang terlontar dari mulutnya.
Jelas semua itu menandakan bahwa ia sama sekali tidak menginginkan keributan.
"Hm..., sayang sekali gadis jelita seperti Nisanak ini tidak diberikan kehidupan
yang layak. Nisanak, daripada kau mengikuti pemuda gembel ini, apakah tidak
sebaiknya kau menjadi istriku" Ikutlah bersamaku. Kau akan kuberikan rumah yang
megah dan kehidupan yang jauh lebih ketimbang yang diberikan pemuda ini
kepadamu. Ayolah...," kata lelaki bercambang lebat itu sambil mengulurkan
tangannya hendak mencekal lengan halus gadis jelita yang berpakaian serba hijau
itu. Namun, sebelum pemuda berjubah putih itu sempat mencegah, tiba-tiba gadis cantik
berpakaian serba hijau itu menggerakkan tangannya dengan kecepatan kilat.
Akibatnya.... Plakkk! "Aaughhh...!"
Lelaki bercambang lebat itu menjerit keras tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya
langsung terjengkang hingga menimpa meja di belakangnya. Tanpa ampun lagi, meja
itu pun berderak patah karena tak sanggup menahan berat tubuh lelaki kasar itu.
"Kurang ajar...!"
Lelaki berwajah bengis itu memaki kalang-kabut dan menyumpah-nyumpah kotor.
Dihapusnya cairan merah yang membasahi sudut bibirnya. Pada bagian kiri wajah
orang itu tampak tergambar lalas bekas jari-jari tangan mungil yang membentuk
guratan-guratan merah. Lelaki bercambang lebat itu telah terkena tamparan keras
yang entah kapan datangnya.
"Sabar, Kisanak..," bujuk pemuda berjubah putih itu seraya bangkit, mencoba
menghindari keributan.
Tapi, ucapan pemuda tampan ini dianggap sebagai suatu penghinaan oleh lelaki
bengis itu. Ia menduga, pemuda itulah
yang telah menamparnya. Segera saja diayunkan lengannya yang besar dan berhulu
itu ke wajah si pemuda tampan.
Whuuut! Untunglah pemuda tampan berjubah putih itu telah lebih dulu menundukkan
kepalanya. Sehingga, selamatlah ia dari ancaman jari-jari tang yang besar dan
kasar itu. "Bedebah...!"
Elakan pemuda itu ibarat minyak yang disiramkan ke api yang berkobar. Dengan
kemarahan memuncak, lelaki bercambang bauk itu kembali menerjang. Kali ini bukan
hanya tamparan yang digunakan. Tendangan dan pukulan pun bergerak susul-menyusul
mengincar wajah dan tubuh pemuda itu.
Meskipun demikian, pemuda berjubah putih itu sama sekali tidak gugup. Dengan
gerakan tubuh yang indah, setiap pukulan dan tendangan lawan dapat dihindarinya.
Sehingga, beberapa meja dan kursi pun patah berantakan terkena terjangan lelaki
bengis itu. Suasana kedai menjadi hiruk-pikuk.
Sadar bahwa jika tingkah lelaki bengis itu dibiarkan berlarut-larut, kedai makan
ini bisa hancur berantakan. Pemuda berjubah putih itu segera melesat keluar.
Gerakannya itu diikuti pula oleh gadis jelita berbaju hijau.
"Keparat! Hendak lari ke mana kau. Pengecut..!" teriak lelaki bercambang lebat
itu sambil bergegas menyusul kedua orang lawannya keluar kedai.
Empat pengunjung lain yang tampaknya kawan dari lelaki bengis itu ikut pula
melompat keluar dari kedai dengan senjata terhunus. Mereka bermaksud mengeroyok
kedua pendatang baru itu.
6 Pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba hijau itu berdiri
tegak di samping halaman kedai. Dugaan lelaki bangis bercambang lebat itu
ternyata salah. Terbukti, kedua orang pendatang itu sama sekali tidak melarikan
diri. "Hm..., pantas kalian berdua demikian sombong. Rupanya kalian memiliki
kepandaian juga...," geram lelaki berwajah bengis itu sambil mencabut pedang
dari pinggangnya.
Sikap lelaki gemuk itu jelas bukanlah sekedar gertakan.
Sehingga, pemuda berjubah putih itu sempat berkerut keningnya.
"Kisanak, persoalan diantara kita hanya sepele. Mengapa harus dibesar-besarkan"
Kalau memang kau menganggap kami berdua salah, baiklah aku mohon maaf, dan harap
kesalahpahaman ini tidak dilanjutkan...," bujuk pemuda tampan berjubah putih itu
dengan halus. Jelas, keributan sama sekali tidak diinginkannya.
"Sudahlah, Kakang. Percuma kau membujuk mereka. Orang-orang sombong seperti itu
harus diberi pelajaran, biar lain kali tidak lagi bertindak kurang ajar...,"
selak gadis jelita di samping pemuda tampan itu. Kakinya yang mungil dan ramping
sudah melangkah, siap meladeni telaki bercambang lebat dan kawan-kawannya itu.
"Benar apa yang dikatakan gadis jelita itu, Pemuda Pengecut. Tapi, kalau kau
memang ingin minta ampun, ayo, bersujudlah, minta ampun dari ku!" kata lelaki
bercambang lebat itu dengan sombong.
"Nah, kau dengar sendiri, bukan" Kakang mau mengikuti kemauan orang kasar itu?"
sindir gadis jelita itu dengan wajah yang berubah gelap, setelah mendengar
permintaan yang melewati batas itu.
"Ayo kepung mereka! Bunuh pemuda itu! Gadis jelita ini biar menjadi
bagianku...!" perintah lelaki bercambang lebat itu kepada kawan-kawannya.
Keempat lelaki yang telah menghunus senjata itu pun langsung mengepung.
"Yeaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu, keempat lelaki kasar itu segera melesat dengan
tebasan senjatanya. Mereka tampak sungguh-sungguh. Hal itu pun sudah diketahui
oleh pemuda tampan berjubah putih itu. Segera tubuhnya digeser untuk menghindari
sebuah sambaran senjata yang mengancam lambung kanannya.
"Hm...."
Sambil bergumam, pemuda tampan itu melesat ke belakang sejauh dua tombak. Para
pengeroyoknya menjadi kaget melihat kecepatan gerak itu.
"Kisanak. Sebaiknya sudahi saja permain konyol ini sebelum kalian menyesal...,"
kata pemuda itu untuk kesekian kalinya.
Ucapannya kali ini bernada mengancam.
"Tidak perlu banyak bacot! Hadapi senjata kami...!"
Orang-orang kasar itu sama sekali tidak peduli. Mereka kembali menerjang dengan
sambaran senjata yang berkeredep menyilaukan mata.
Kali ini wajah keempat lelaki kasar itu terlihat berseri. Sebab, pemuda tampan
itu sama sekali tidak menunjukkan usaha
untuk menghindar sambaran senjata-senjata mereka. Keempat orang itu menduga, si
pemuda telah menjadi kaku tubuhnya karena rasa takut. Empat bilah senjata pun
meluruk deras. Pemuda itu terlihat pasrah Tapi...
Wuttt! Trakkk! Trakkk!
"Augkh...!"
"Akh...!"
Apa yang terjadi kemudian benar-benar tidak pernah terbetik dalam pikiran
keempat lelaki kasar itu. Saat mata pedang mereka menghantam tubuh yang
terselimut lapisan kabut bersinar putih keperakan itu terdengar suara berpatahan
yang disusul runtuhnya senjata mereka ke tanah dalam keadaan terbelah. Tubuh
keempatnya kemudian terpental ke belakang bagai dilempar tangan-tangan raksasa.
Keempat lelaki kasar itu pun menjerit keras.
Demikian pula halnya yang dialami lelaki bercambang lebat itu. Lelaki yang
begitu bernafsu melawan gadis jelita berpakaian serba hijau itu harus menerima
kenyataan yang tidak pernah dibayangkannya. Dalam sepuluh jurus saja, tubuhnya
terpental akibat tendangan keras yang telak menghajar dadanya. Darah segar pun
menghambur dari mulut dan jatuh membasahi tanah merah.
"Ugh..."
Lelaki kekar bercambang lebat itu mengeluh kesakitan. Dia berusaha bangkit, tapi
tendangan keras yang diterimanya bagai meremukkan tulang-tulang dadanya.
Sehingga, untuk kesekian kalinya lelaki itu terjatuh dan kini tidak mampu
berdiri lagi. Empat lelaki kasar lainnya beringsut menghampiri lelaki bercambang lebat yang
menjadi pemimpinnya itu.
Pemuda tampan berjubah putih dan gadis berpakaian serba hijau itu melangkah


Pendekar Naga Putih 39 Putera Harimau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lambat menghampiri lawan-lawannya yang sudah tidak berdaya. Kelima orang lelaki
kasar itu pun bertambah takut.
"Ampun kami, Tuan Pendekar.... Jangan bunuh kami...,"
ratap kelima lelaki kasar itu sambil menyembah-nyembah.
"Hm..., pergilah kalian sebelum pikiranku berubah...," kata gadis jelita itu
dengan nada yang datar dan dingin. Rasa kesal sesungguhnya belum lenyap di hati
si gadis jika teringat kekurangajaran lelaki bercambang lebat itu. Sikap sabar
pemuda tampan itulah yang membuatnya tidak berani menyakiti lawan-lawannya lebih
jauh. Tanpa banyak cakap lagi, kelima orang itu bergerak bangkit, kemudian tertatihtatih meninggalkan tempat itu.
"Hm..., ada-ada saja.... Lenyap sudah selera makanku.
Sebaiknya kita teruskan saja perjalanan kita, Kakang. Rupanya penduduk di sini
tidak ramah kalau menyambut orang asing."
Gadis jelita itu melangkah menuju perbatasan desa sebelah Barat. Sedangkan
pemuda tampan berjubah putih itu tidak berkata apa-apa. Ia mengayunkan
langkahnya mengikuti gadis itu.
*** "Tuan Pendekar..., tunggu...!"
Gadis jelita dan pemuda tampan berjubah putih itu menahan langkah ketika
terdengar ada yang memanggil dari belakang.
Kening keduanya berkerut. Tampak seorang lelaki setengah baya tengah berlari
mengejar mereka.
"Tu... an Pendekar..., jangan pergi...," ujar lelaki setengah baya itu dengan
suara terputus-putus. Dengus napasnya yang memburu membuatnya tidak bisa berkata
dengan baik. "Tenanglah, Paman. Mari duduk;ah...," sapa pemuda tampan berjubah putih itu.
Ketiganya kemudian duduk di sebuah batu besar.
"Nah, sekarang ceritakanlah, apa yang ingin Paman sampaikan kepada kami. Mungkin
kami bisa memberikan bantuan...," tanya gadis jelita berpakaian hijau itu dengan
lembut. Seulas senyum manis tersungging di bibirnya, membentuk dua lesung pipit
yang makin membuatnya memikat.
"Aku melihat saat Tuan berdua bertarung melawan lima orang lelaki kasar dan
jahat itu. Ketahuilah, Tuan Pendekar!
Mereka sama sekali bukan warga Desa Babakan. Mereka adalah perampok-perampok
yang menguasai desa. Sedangkan pemimpin mereka hanya datang setiap tiga bulan
sekali, untuk mengambil upeti dan perempuan-perempuan muda di desa kami. Hal ini
sudah berlangsung hampir tiga tahun. Melihat Tuan berdua dapat mengalahkan
kelima perampok itu tanpa kesulitan, langsung saja aku mengejar dan memohon
bantuan...," kata lelaki setengah baya itu. Ditatapnya wajah kedua pendekar muda
itu berganti-ganti. Ada sinar kecemasan dalam mata tua itu, tampaknya dia takut
kalau pasangan pendekar itu akan menolak permintaannya.
"Hm..., mengapa kepala desamu tidak mengusir mereka...?"
tanya dara jelita berpakaian serba hijau itu sambil lalu.
"Itulah celakanya. Kepala desa kami, yang semula sangat memperhatikan penduduk,
kini malah membantu para perampok itu untuk mengumpulkan segala sesuatu yang
mereka perlukan. Tapi hal itu bisa dimaklumi. Sebab, rumah
kepala desa itu sendiri dijaga ketat oleh beberapa perampok.
Sehingga, apabila sang Kepala Desa berbuat macam-macam, keluarganya pasti akan
dibantai habis. Mungkin itulah alasannya mengapa Ki Danggala tidak berani
mengambil tindakan," jelas lelaki setengah baya itu.
Pasangan pendekar muda itu hanya mengangguk-angguk mendengar keterangan lelaki
setengah baya itu. Sehingga lagi-lagi lelaki itu cemas takut permintaannya
ditolak. "Bagaimana, Tuan Pendekar..." Apakah Tuan Pendekar bersedia menolong penduduk
Desa Babakan yang telah lama menderita ini...?" tanyanya sambil menatap wajah
pasangan pendekar muda itu berganti-ganti.
"Mengapa tidak, Paman. Sekarang juga, marilah kita berangkat ke rumah Ki
Danggala...," sahut pemuda berjubah putih itu sambil tersenyum.
"Jadi..., Tuan berdua bersedia...?" tanya lelaki setengah baya itu, meragukan
pendengarannya sendiri.
"Hm..., apakah selama ini ada orang yang menolak ketika Paman meminta
bantuan...?" selidik pemuda berjubah putih itu.
"Hampir semua orang gagah yang kutemui menolak untuk menolong kami. Penolakan
itu dikatakan setelah aku memberi tahu siapa pemimpin gerombolan perampok
itu..,. Mungkin..., mungkin Tuan berdua pun akan menolak apabila aku menyebutkan nama tokoh mengerikan itu...," kata lelaki tua itu, cemas.
"Paman..., siapa pun adanya orang yang menguasai Desa Babakan, kami berdua sama
sekali tidak merasa gentar. Dan, keputusan kami untuk membantu pun tidak
berubah, meski Raja Neraka sekalipun yang harus kami lawan...," tegas gadis
jelita berpakaian serba hijau itu. Ucapan ini tentu saja membuat wajah lelaki
itu kembali cerah.
"Tokoh sesat itu berjuluk Jari Pencabut Nyawa. Menurut keterangan orang-orang
gagah yang menolak membantu kami, tokoh itu sangat tinggi kepandaiannya. Dan...,
hanya satu orang yang mungkin bisa menaklukkan tokoh sesat itu.
Sayangnya aku tidak tahu di mana pendekar besar itu berada.
Tapi, melihat bagaimana Tuan berdua menjatuhkan perampok-perampok tadi, rasanya
kalian berdua pun memiliki kesaktian yang tinggi...," ujar lelaki setengah baya
itu. Wajah lelaki tua itu tampak keheranan. Sebab, raut wajah pasangan pendekar itu
dilihatnya sama sekali tidak berubah, meskipun telah disebutkannya tadi julukan
seram yang banyak disegani tokoh-tokoh persilatan itu. Lelaki tua itu pun
mengambil kesimpulan, pasangan pendekar muda itu pasti belum pernah mengenal
keganasan Jari Pencabut Nyawa.
"Hm..., Paman tahu, siapa satu-satunya orang yang bisa menaklukkan tokoh sesat
itu...?" tanya si gadis jelita.
Gadis ini tampaknya penasaran mendengar cerita lelaki tua itu bahwa hanya ada
satu orang yang mampu mengalahkan si Jari Pencabut Nyawa. Sebab, hal ini berarti
bahwa dia dan pemuda itu tidak akan sanggup menghadapi tokoh sesat itu.
"Hm..., kalau tidak salah, orang-orang gagah memberikan julukan Pendekar Naga
Putih kepada tokoh pendekar yang sangat dikagumi itu. Apakah, Nisanak pernah
mendengarnya?"
Lelaki setengah baya itu malah balik bertanya. Namun, bukan main herannya ketika
menyaksikan dara cantik itu malah tertawa terpingkal-pingkal mendengar julukan
Pendekar Naga Putih.
"Hi hi hi.... Kalau cuma seorang Pendekar Naga Putih, untuk apa Paman harus
bersusah-payah mencarinya. Tahukan Paman kalau pendekar terkenal itu telah
bertekuk lutut kepadaku"
Hm..., kalau saja ia tahu aku berada di tempat ini, tentu ia akan lari terbiritbirit menyambutku...."
Dara jelita itu menyombongkan dirinya sambil melirik pemuda berjubah putih di
sampingnya. Sedangkan telaki setengah baya itu membelalak pucat. Sebab, apa yang
kali ini didengarnya bertentangan dengan keterangan orang-orang gagah selama
ini. "Benarkah itu, Nisanak...?" tanya lelaki setengah baya itu dengan wajah
ketololan. Tampaknya ia belum bisa menerima perkataan dara cantik itu.
"Tentu saja benar. Paman. Untuk apa aku harus berbohong.
Kalau kau masih tidak percaya, tanyakan saja pada kawanku ini...," sahut dara
jelita itu sambil melirik ke arah pemuda berjubah putih di sebelahnya.
"Benarkah perkataan Nisanak ini, Tuan Pendekar...?" tanya lelaki setengah baya
itu yang tampak masih tidak percaya.
"Benar, Paman. Maka sebaiknya kita segera menuju ke rumah Ki Danggala.
Percayalah! Jari Pencabut Nyawa tidak akan berkutik menghadapi kawanku ini...,"
ucap pemuda tampan berjubah putih itu sambil tersenyum.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi...?"
Lelaki setengah baya itu bukan main gembiranya. Sebab, orang yang kali ini
dimintai bantuannya ternyata jauh lebih hebat daripada Pendekar Naga Putih yang
selama ini diagung-agungkan itu. Tentu saja hal ini sama sekati tidak pernah
dibayangkannya.
*** "Inilah kediaman kepala desa kami, Tuan Pendekar. Biasanya halaman depannya
selalu dijaga dua orang anggota perampok.
Aneh, mengapa kali ini tampak sepi...?" desis lelaki setengah itu.
"Hm..., mungkin mereka mengira desa benar-benar telah tunduk di bawah kekuasaan
mereka. Mereka mungkin berpikir, tidak ada lagi yang berani berbuat macam-macam.
Sehingga, mereka tidak begitu ketat lagi melakukan pengawasan...,"
sahut pemuda berjubah putih itu sambil mengedarkan pandangan berkeliling.
Tanpa banyak cakap lagi, pemuda berjubah putih itu segera memasuki halaman rumah
besar itu, kemudian terus bergerak ke arah pintu ruang depan yang tampak
tertutup rapat.
"Ki Danggala...! Kami sahabatmu datang berkunjung!
Keluarlah, sambut kedatangan kami...!" teriak pemuda itu seraya mengerahkan
tenaga dalamnya, sehingga suaranya mengaung memenuhi setiap penjuru rumah.
Tidak lama kemudian, muncul empat telaki bertampang kasar dari balik pintu.
Setelah menatap ke arah pemuda tampan itu sejenak, keempatnya menuruni tangga.
"Hm..., siapa kau, Anak Muda" Ada keperluan apa kau ingin bertemu dengan Ki
Danggala?" tegur lelaki gemuk yang dadanya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Di tangan
kanannya tampak sebuah gada yang dipenuhi duri-duri runcing.
"Aku Panji, sahabat lama Ki Danggala. Secara kebetulan aku singgah di desa ini.
Jadi, sekalian saja aku mengunjunginya.
Apakah kau salah seorang pengawalnya?" tanya si pemuda tampan, berpura-pura
bodoh. Saat itu juga, gadis berbaju hijau dan lelaki setengah baya sudah menghilang ke
dalam bangunan.
"Ki Danggala tidak berada di tempat, ia sudah lama pergi.
Harap kau kembali saja lain kali..., tukas lelaki gemuk yang menggenggam gada
itu. "Hm..., kalau begitu, biarlah kutunggu saja sini...," ucap pemuda tampan bernama
Panji sambil melangkah menuju ruang depan. Tentu tindakannya ini membuat keempat
lelaki kasar marah.
"Tunggu...!"
Bentakan menggelegar keluar dari mulut lelaki gemuk bersenjata gada itu.
Sedangkan kawannya sudah bergerak mengepung.
"Sudah, tidak perlu banyak tanya lagi. Hajar saja pemuda kurang ajar itu,
Bungkarasa! Kalau dibiarkan, dia bisa bertingkah!" kata salah seeorang dari
ketiga lelaki kasar itu dengan nada bengis.
"Hei, mengapa kau berkata demikian kasar terhadap sahabat majikanmu" Apakah kau
tidak takut kalau aku nanti mengadukannya kepada Ki Danggala?" tegur Panji
berpura-pura menakut-nakuti.
"Bedebah! Siapa takut kepada tua bangka Danggala itu! Kau, pemuda kurang ajar,
rasakan kerasnya kepalanku ini...!" geram lelaki tinggi berwajah pucat seperti
mayat. Lelaki itu siap melontarkan pukulannya.
"Tunggu...!" cegah Panji sambil mengulurkan lengannya dengan telapak terbuka.
Maksudnya tentu saja untuk mencegah lawannya menerjang.
"Hm..., kalau kau takut, pergilah. Kami tidak punya waktu mengurusi pemuda
ingusan sepertimu...!" hardik lelaki kurus pucat itu dengan mata melotot. Tampak
ia merasa jengkel terhadap Panji.
"Hm..., baiklah...."
Panji melemparkan senyumnya kepada keempat orang kasar itu. Kemudian dia
bergerak malas-malasan menuju pintu keluar.
7 Bungkarasa dan ketiga orang kawannya tertegun sejenak.
Mereka sama-sama mengerutkan kening melihat pemuda itu melangkah malas-malasan
menuju pintu keluar. Merasa dipermainkan, kemarahan Bungkarasa dan kawankawannya bangkit seketika.
"Setan! Apa sebenarnya yang di nginkan muda sinting ini...!"
Salah seorang yang bertubuh kurus dan bermuka pucat menggeram jengkel. Jelas ia
merasa tidak suka dengan sikap pemuda itu. Begitu ucapannya selesai, lelaki
kurus itu langsung melesat dengan sisi telapak tangan mengancam leher Panji.
Whuuut! Tampaknya serangan yang dilancarkan lelaki kurus bermuka pucat itu bukan sekadar
peringatan. Terbukti sambaran angin pukulannya demikian tajam. Lelaki kurus itu
rupanya ingin cepat menghajar Panji dengan pukulan mautnya.
Namun, apa yang terjadi benar-benar mengejutkan. Dengan gerakan yang cepat dan
sulit ditangkap, tiba-tiba pemuda
berjubah putih itu berbalik. Tubuhnya digeser ke samping.
Berbarengan dengan gerakan itu, tangan kanannya diayunkan dengan kecepatan
kilat. Dan.... Bukkk! "Uuugh...!"
Darah segar menyembur dari mulut lelaki kurus itu, begitu hantaman lengan kanan
lawan telak mendarat di perutnya.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kurus itu langsung terlempar deras ke belakang.
"Adi Gurinta...!" seru Bungkarasa dengan wajah tegang.
Cepat-cepat tubuhnya melesat ke depan dan mengulurkan kedua tangannya untuk
menangkap tubuh kawannya yang bernama Gurinta itu.
Bukan main marahnya hati Bungkarasa. Sebab, Gurinta telah jatuh pingsan akibat
pukulan yang dideritanya. Jelas, pukulan pemuda berjubah putih itu sangat hebat.
Tapi, rasa terkejut dan kemarahan yang bercampur menjadi satu di hati Bungkarasa
dan juga kedua orang lelaki kasar lainnya, serentak berubah menjadi rasa gentar.
Sebab, sosok pemuda tampan yang semula hendak mereka jadikan sasaran kemarahan
itu ternyata telah terlapisi kabut bersinar putih keperakan. Ketiganya pun
langsung bergerak mundur dengan hati kecut.
"Pendekar Naga Putih...!?"
Bungkarasa dan dua orang kawannya melangkah mundur.
Setelah mengetahui siapa sesungguhnya pemuda berjubah putih itu, rasa takut di
hari mereka tidak bisa disembunyikan lagi.
"Bagaimana ini, Kakang...?" tanya salah seorang lelaki kasar itu kepada
Bungkarasa. Wajah kasar itu telah berubah menjadi pucat. Bahkan, nada suaranya
menjadi kering. Sehingga, pertannyaan yang keluar dari mulutnya lebih mirip
bisikan. "Terpaksa kita harus memanggil kawan-kawan yang lain...,"
sahut Bungkarasa dengan suara parau karena hatinya pun tengah dilanda
ketegangan. "Suuuiiit..!"
Tanpa banyak cakap, Bungkarasa langsung mengeluarkan suitan nyaring yang
berkepanjangan.
Suitan panjang itu rupanya panggilan bagi kawanan perampok lainnya. Terbukti,
dalam waktu yang tidak terlalu lama, terdengarlah suara berderap riuh. Lalu,
muncul kawanan perampok yang segera mengurung Pendekar Naga Putih.
"Hm...."
Panji bergumam tak jelas. Kini sadarlah pemuda itu, mengapa Desa Babakan bisa
jatuh ke tangan perampok.
Melihat jumlah mereka yang puluhan itu, Panji pun maklum apabila penduduk desa
itu tidak berkutik.
"Serbuuu..! Bunuh pemuda itu...!"
Bungkarasa langsung memberi perintah. Dan, puluhan lelaki bertampang kasar pun
segera melunak ke arah Pendekar Naga Putih disertai teriakan-teriakan ribut.
"Heaaah...!"
Pendekar Naga Putih menanti hingga para pengeroyoknya datang mendekat. Begitu
jarak di antara mereka tinggal setengah tombak, pemuda itu tiba-tiba
mengeluarkan bentakan nyaring yang mengejutkan. Sepasang tangannya mengibas ke
kiri-kanan dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya.
Akibatnya sangat hebat. Belasan anggota perampok terdepan langsung menjerit
ngeri. Sambaran hawa dingin bagai badai salju membuat mereka berpentalan ke
segala arah. "Gila...!?"
Bungkarasa memaki kalap. Hati lelaki gemuk itu semakin gentar. Dalam satu
gebrakan saja belasan anak buahnya telah dibuat porak-poranda oleh pendekar muda
itu. Dua orang lelaki kasar yang berada di kiri-kanan Bungkarasa sudah bergerak
hendak meninggalkan tempat itu. Keberanian mereka langsung lenyap melihat sepak
terjang pemuda tampan yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu. Tampaknya kedua
orang itu mengambil keputusan untuk mencari selamat sendiri.
"Hendak ke mana kalian...?"
Bungkarasa, yang melihat kedua kawannya hendak melarikan diri, segera saja
menegur. Tapi tegurannya sama sekali tidak dipedulikan. Malah Bungkarasa sendiri
bergegas mengikuti kedua orang kawannya itu untuk melarikan diri.
"Hm..., hendak lari ke mana kalian, Pengecut-pengecut Busuk..."!" bentak Panji.
Wajah Bungkarasa dan kedua perampok lainnya tentu saja menjadi pucat. Belum lagi


Pendekar Naga Putih 39 Putera Harimau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka sempat berpikir, tiba-tiba sesosok bayangan putih telah berkelebat
melewati kepala mereka dan langsung berdiri menghadang jalan ketiga perampok
itu. Lenyaplah keberanian dan kekejaman ketiga perampok yang selama ini bertindak
kasar dan tidak mengenal ampun itu.
Serentak mereka melompat mundur dengan wajah pucat dan tubuh gemetar.
Bungkarasa menoleh ke belakang. Hati lelaki kasar itu semakin ciut melihat tubuh
anak buahnya telah bergeletakan tak berdaya. Jelas semua itu akibat ulah
Pendekar Naga Putih yang kini berdiri menghadang dan mengancamnya.
"Bangsat keparat! Siapa yang berani mengacau di tempat ini..."!"
Pada saat Bungkarasa dan dua orang perampok itu tidak tahu harus berbuat apaapa, tiba-tiba terdengar seman nyaring yang membuat wajah ketiganya rampak
berseri. Jelas, Bungkarasa dan kedua kawannya mengenal baik seruan itu.
Wajah Bungkarasa dan dua orang kawannya semakin cerah.
Ketiganya menarik napas lega ketika melihat sesosok tubuh tinggi besar berkepala
botak. Bahkan, kehadiran sosok itu masih disusul dengan tiga sosok lainnya.
"Pendekar Naga Putih...!" Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?"
tegur sosok bertubuh hitam kekar itu.
"Benar, akulah Pendekar Naga Putih. Dan kau gembong perampok yang berjuluk Jari
Pencabut Nyawa itu, bukan?" ujar Panji balik bertanya.
"Ketua, pemuda ini telah menghajar orang-orang kita.
Sebaiknya dibunuh saja pemuda keparat ini...," seru Bungkarasa, yang merasa lega
melihat kehadiran pemimpin besarnya.
"Hm...."
Lelaki kasar berkepala botak yang berjuluk Jari Pencabut Nyawa itu hanya
bergumam tak jelas. Sekilas terlihat ada sinar
kegentaran pada matanya. Namun, semua itu berusaha disembunyikannya dengan
memasang wajah keras.
Seorang lelaki gemuk bercambang lebat, salah satu dari tiga sosok tubuh yang
datang bersama Jari Pencabut Nyawa, bergerak menghampirinya. Kemudian lelaki
gemuk itu berdiri di sampingnya, dan berbisik dengan lirih.
"Tinggalkan saja pemuda itu. Kita masih mempunyai masalah yang lebih penting.
Kelak, setelah masalah penting itu selesai, baru kita kembali ke desa ini, dan
kita obrak-abrik seluruh tempat di desa ini...," bisik lelaki gemuk bercambang
lebat yan tak lain dari Elang Hitam.
Dua sosok lainnya ternyata adalah Iblis Penakluk Harimau dan Wanara. Rupanya
ketiga orang itu telah mendatangi Jari Pencabut Nyawa untuk diajak bergabung
dengan mereka. "Tapi, apakah tidak sebaiknya kita habisi pemuda ini dulu, baru kemudian kita
menghajar musuh besar kita...," bantah Jari Pencabut Nyawa.
"Jangan bodoh, Jari Pencabut Nyawa! Pemuda ini belum tentu mampu kita tundukkan.
Sedangkan musuh besar kita sudah pasti dapat kita taklukkan. Kalau kau
bersikeras hendak menghajar pemuda ini terlebih dahulu, bisa hilang kesempatan
kita untuk menghajar musuh besar yang telah membuat kita tersiksa dendam itu,"
balas Elang Hitam.
Setelah berpikir sejenak, Jari Pencabut Nyawa pun mengangguk-angguk setuju.
"Hm..., kali ini aku tidak mempunyai waktu mengurusimu.
Pendekar Naga Putih. Biarlah lain kali aku akan mencarimu...,"
seru Jari Pencabut Nyawa, sambil beranjak mengikuti Elang Hitam dan dua orang
kawannya. Diajaknya pula Bungkarasa dan dua orang temannya.
Panji berdiri tegak mengawasi kepergian gembong perampok dan kawannya itu.
Pemuda itu tidak berusaha mengejar. Sebab, niatnya memang bukan mencari musuh,
melainkan membebaskan penduduk Desa Babakan dari tekanan para perampok. Dan itu
sudah dilakukannya.
"Kau biarkan mereka pergi begitu saja, Kakang...?"
Tiba-tiba saja gadis jelita yang tak lain dari Kenanga muncul dan menegur pemuda
itu dengan kening berkerut. Gadis itu tampaknya tidak rela membiarkan gembong
perampok itu pergi.
"Hm..., tugas kita bukan untuk membunuh atau mencari musuh, Kenanga. Kewajiban
kita untuk membebaskan warga Desa Babakan sudah terlaksana. Jadi, untuk apa
mengejar lawan yang sudah jelas-jelas tidak ingin bertarung...?" sahut Panji
tersenyum melihat wajah kekasihnya.
"Jadi..., Tuan adalah Pendekar Naga Putih...?" tanya lelaki setengah baya yang
meminta pertolongan Panji dan Kenanga tadi sambil membelalakkan mata.
Suasana menjadi ramai ketika Ki Danggala beserta anggota keluarganya muncul.
Kepala desa berumur empat puluh tahun lebih itu menjabat tangan Panji erat-erat
sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih. Sehingga, pemuda itu risih.
"Tidak perlu dibesar-besarkan, Paman. Semua ini sudah menjadi kewajiban kita.
Jadi, apa yang saya lakukan ini memang telah menjadi tugas kita semua...," ujar
Panji. Ki Danggala terharu mendengar ucapan yang menandakan keluhuran budi itu.
Kemudian ia memerintahkan para pembantunya untuk menguburkan mereka yang tewas.
Sedangkan para perampok yang selamat dilepaskan setelah diberi peringatan agar
tidak melakukan kejahatan lagi.
Saat kesibukan itu terjadi, Panji segera mengajak Kenanga untuk menyelinap
secara diam-diam meninggalkan tempat itu.
Tinggallah Ki Danggala dan penduduk Desa Babakan yang kebingungan ketika mereka
tidak menjumpai lagi Pendekar Naga Putih, yang telah menyelamatkan desa itu dari
tekanan para perampok.
"Hm..., pendekar berbudi luhur seperti itulah yang diperlukan di dunia ini...,"
desah Ki Danggala.
"Ke mana tujuan kita, Kakang...?" tanya dara jelita berpakaian serba hijau itu
saat telah jauh meninggalkan Desa Babakan.
"Aku merasa curiga dengan Jari Pencabut Nyawa dan kawan-kawannya itu. Mereka
pergi karena harus menyelesaikan suatu urusan yang tampaknya jauh lebih penting
ketimbang meladeniku. Entah apa yang hendak mereka lakukan. Kenanga.
Yang jelas, pasti mereka hendak melakukan suatu kejahatan...," sahut pemuda
berjubah putih yang tidak lain dari Panji.
"Lalu, Kakang ingin mengikuti mereka...?" tanya Kenanga lagi.
"Ya. Sebab aku yakin ada kejahatan besar yang tengah mereka rencanakan...,"
jawab Panji sambil mengedarkan pandangan berkeliling.
"Tapi..., ke mana kita harus mencari mereka, Kakang...?"
"Entahlah. Yang pasti mereka bergerak menuju ke arah Barat"
"Kalau begitu, kita harus bergerak cepat, Kakang," sambut Kenanga seraya bersiap
mengerahkan ilmu lari cepatnya.
Panji tersenyum melihat semangat kekasihnya. Pemuda itu segera menyambar lengan
dara jelita itu sebelum sempat melesat ke depan. Tentu saja perbuatan pemuda itu
membuat langkah Kenanga tertahan.
"Ada apa lagi, Kakang...?"
"Sabarlah. Dugaanku belum pasti benar. Siapa tahu mereka mengambil arah lain.
Untuk itu harus teliti dan jangan terburu-buru...."
"Kalau begitu, apa yang akan Kakang lakukan untuk mencari jejak mereka..?"
Pendekar Naga Putih termenung sejenak. Cukup sulit baginya menentukan arah yang
harus mereka tempuh.
Akhirnya, karena tidak menemukan jalan lain, diputuskannya untuk menjelajahi
daerah sebelah Barat.
Tanpa banyak cakap, Kenanga pun mengikuti langkah kekasihnya. Kedua pendekar
muda itu bergerak mengerahkan ilmu lari cepat mereka menuju arah Barat.
Hari bergerak merambat sore. Sepasang pendekar muda itu terus saja berlari,
seolah-olah hendak berpacu dengan waktu.
Tapi, karena tempat yang mereka tuju memang sangat jauh, akhirnya Panji dan
Kenanga harus melewatkan malam di dalam sebuah hutan.
"Mengapa kita tidak terus saja dan mencari perkampungan untuk melewatkan malam,
Kakang?" tanya Kenanga ketika Panji mengajaknya beristirahat di hutan.
"Hm..., aku khawatir di depan sana tidak ada perkampungan. Lagi pula, selain
perjalanan di malam hari dapat menghambat gerakan kita, siapa tahu Jari Pencabut
Nyawa dan kawan-kawannya telah tahu bahwa kita mengejar mereka. Jika demikian,
kesulitan kita tentu semakin bertambah.
Bisa saja mereka memasang jebakan untuk menewaskan kita..," sahut Panji, yang
memang selalu berhati-hati dalam mengambil tindakan.
"Kakang takut..?" desak Kenanga dengan kening berkerut.
"Hm..., kau ini aneh, Kenanga. Ketahuilah, sikap hati-hati jauh lebih baik.
Kecerobohan hanya akan mendatangkan kerugian bagi kita. Jangan salah mengerti,
Kenanga. Perkataan takut dan hati-hati itu jauh sekali bedanya...," jelas Panji
tersenyum sambil membelai rambut gadis jelita itu.
Kenanga tidak banyak bertanya lagi. Dara jelita itu menjatuhkan tubuhnya ke
pelukan Pendekar Naga Putih. Panji mengecup lembut rambut kekasihnya. Ada rasa
kasihan terselip di hatinya melihat dara sejelita Kenanga harus menjalani
kehidupan sebagai seorang pengembara. Namun, pikiran itu dibuangnya jauh-jauh
ketika teringat bahwa gadis itu sama sekali tidak pernah mengeluh tentang apa
yang selama ini mereka jalani.
Malam kian larut. Hembusan angin terasa semakin dingin menggigit kulit. Panji
sama sekalih tidak bergerak. Pemuda itu membiarkan saja Kenanga terlena dalam
pelukannya. *** Sengatan sinar matahari pagi menerobos melalui dedaunan.
Kedua pendekar itu tersentak bangkit dari mimpinya. Setelah membersihkan tubuh
di sebuah sumber air yang mereka temui, pasangan pendekar itu pun kembali
bergerak melanjutkan perjalanan.
Sebagai tokoh-tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja tidak
sulit bagi Panji dan Kenanga untuk
mempercepat perjalanan. Dengan ilmu lari yang mereka miliki, tidak berapa lama
kemudian tibalah mereka di daerah Barat.
"Hm..., kalau tidak salah, kita telah cukup jauh memasuki wilayah Barat. Entah
di mana kita bisa menemukan Jari Pencabut Nyawa dan kawan-kawannya...," desah
Panji saat menyusuri daerah perbukitan.
Matahari saat itu sudah semakin tinggi. Sengatan sinarnya terasa panas menyengat
kulit. Namun, pasangan pendekar itu tetap melanjutkan perjalanan.
"Sebaiknya kira mengambil jalan lewat hutan itu saja, Kakang. Rasanya aku tidak
kuat dalam cuaca sepanas ini," ucap Kenanga, yang wajahnya bersimbah peluh.
Panji hanya menjawab dengan anggukan. Kemudian keduanya bergerak memasuki hutan
lebat. Terdengar helaan napas lega dara jelita itu ketika dirasakannya udara
segar di dalam hutan yang mereka lalui. Sengatan sinar matahari tidak lagi
terasa. Karena, rimbun dedaunan pohon-pohon besar di dalam hutan itu melindungi
mereka dari teriknya matahari.
Ketika keduanya semakin jauh merambah hutan, tiba-tiba Panji menahan langkahnya
sambil mencekal lengan kekasihnya.
Diletakkannya cepat-cepat jari telunjuknya di bibir saat Kenanga hendak
bersuara. Dengan langkah yang lebih hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, pasangan
pendekar muda itu kembali bergerak lambat-lambat Panji semakin mempertajam
indera pendengarannya.
Karena, sempat didengarnya sesuatu yang mencurigakan.
"Kakang, lihat.."!" seru Kenanga tiba-tiba sambil menutupi mulutnya. Gadis itu
sangat terkejut melihat pemandangan yang terpampang di depan matanya.
Panji pun sempat terkejut menyaksikan pemandangan yang ditunjuk kekasihnya. Di
depan mereka, kira-kira berjarak tiga tombak, tampak empat ekor harimau tengah
berebutan menyantap tubuh yang tak berdaya.
Tanpa banyak pikir, Panji segera melangkah maju dan mengibaskan tangannya,
mengusir harimau-harimau kelaparan itu. Dua di antaranya meraung marah dan
langsung melesat ke arah Panji. Namun, pemuda itu sama sekali tidak gentar.
Cepat-cepat tubuhnya bergerak maju di antara kedua binatang buas itu, lalu kedua
tangannya mengibas ke kiri dan ke kanan.
Buggg! Desss...!
Tanpa ampun lagi, kedua binatang itu meraung kesakitan, dan terlempar sejauh dua
tombak. Sang raja hutan itu langsung bangkit melarikan diri dengan langkah
tertatih-tatih. Jelas, mereka merasa gentar terhadap pemuda berjubah putih itu.
Dua binatang buas lainnya yang semula mendekam di dekat mayat langsung berlari
masuk ke dalam hutan begitu Panji mendekat. Sehingga, pemuda itu dapat leluasa
meneliti sosok yang sulit dikenali lagi itu.
"Hm..., dilihat dan tulang-tulangnya, jelas orang ini berusia lebih dari enam
puluh tahun., Selain itu, ia bukan orang sembarangan. Tulang-tulangnya demikian
kokoh. Semasa hidup ia pasti memiliki ilmu tenaga dalam yang cukup tinggi. Entah
siapa yang telah membunuhnya...?" desah Panji setelah meneliti sosok mayat
tinggi kurus itu.
Kenanga hanya terdiam tanpa berkeinginan menanggapi ucapan kekasihnya. Dara
jelita itu baru mengerutkan keningnya saat Panji menemukan tali-tali kokoh yang
melibat kedua lengan dan kaki laki-laki tua itu. Bahkan, beberapa senjata
rahasia tampak terbenam di dalam daging mayat itu.
"Benar-benar keji orang yang melakukan pembunuhan terhadap orang setua ini. Aku
mencium adanya racun pelumpuh syaraf yang tampak terhisap orang ini. Mungkin
racun-racun itulah yang membuatnya tidak berdaya. Jelas orang ini telah
terperangkap dalam jebakan licik," ujar Panji yang tampak marah terhadap
kelicikan si pembunuh.
"Siapa kira-kira pembunuh itu, Kakang...?" tanya Kenanga yang menjadi penasaran.
"Hm..., sepanjang pengetahuanku, tokoh sesat yang memiliki racun pelumpuh syaraf
hanyalah Jari Pencabut Nyawa. Jadi, kemungkinan besar rombongan yang tengah kita
kejar itulah yang melakukan pembunuhan keji ini," jelas Panji.
"Lalu, apakah Kakang tidak bisa mengenali siapa adanya mayat ini...?" tanya
Kenanga lagi, sambil mencoba mengenali wajah mayat yang telah rusak oleh kukukuku harimau itu.
"Entahlah. Wajahnya sangat sulit dikenali. Yang jelas, orang ini pasti tokoh
besar dalam rimba persilatan..." jawab Panji dengan wajah kecewa, karena tidak
dapat mengenali mayat itu dengan baik.
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang...?"
"Hm..., orang tua ini ada kemungkinan dipancing untuk masuk ke dalam hutan.
Kemudian ia dijebak secara licik.
Kejadiannya pasti malam tadi. Dan itu berarti tempat tinggalnya tidak jauh dari
daerah ini. Sebaiknya kita melakukan gerak cepat untuk melihat-lihat sekitar
daerah ini. Siapa tahu dengan begitu kita dapat menemukan Jari Pencabut Nyawa
dan kawan-kawannya. Ayolah...."
Panji kemudian melesat meninggalkan tempat itu. Tanpa banyak cakap, Kenanga pun
langsung mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, menyusul Panji.
8 Matahari siang sudah tepat berada di atas kepala. Saat itu serombongan orang
yang dipimpin lelaki gemuk bercambang lebat tiba di depan sebuah pintu gerbang
perguruan. Tanpa banyak cakap, lelaki gemuk itu langsung mendorongkan-sepasang
telapak tangannya ke depan.
"Hiaaah...!"
Brakkk...! Pintu gerbang Perguruan Jari Besi yang terbuat dari kayu tebal itu langsung
jebol terkena pukulan jarak jauh yang dilontarkan Elang Hitam.
Tentu saja suara hiruk-pikuk itu membuat murid-murid Perguruan Jari Besi
menghambur dengan senjata terhunus.
Namun, sebelum mereka tahu apa yang terjadi, tiba-tiba tujuh sosok tubuh telah
menerobos masuk dan langsung melontarkan pukulan-pukulan maut.
Terdengar jerit kematian susul-menyusul seiring dengan robohnya murid Perguruan
Jari Besi dalam keadaan tewas.
Tentu saja peristiwa ini membuat gempar seisi perguruan.
"Ki Bonggala! Keluarlah kau...! Aku, Elang Hitam datang untuk membuat
perhitungan!" teriak lelaki gemuk bercambang lebat itu menantang. Suaranya yang
dikirimkan dengan pengerahan tenaga dalam itu mengaung memenuhi seluruh bangunan
Perguruan Jari Besi.
Elang Hitam tidak perlu menunggu terlalu. Beberapa saat setelah gema suaranya
lenyap, empat sosok tubuh tegap
melesat keluar dari dalam bangunan. Mereka tidak lain dari Ki Bonggala beserta
tiga orang murid utamanya.
Bukan main marahnya Ki Bonggala melihat pemandangan yang terpampang di depan
matanya. Puluhan orang muridnya telah bergeletakan dengan tubuh bermandikan
darah. Mendidih darah tokoh itu menyaksikan kekejaman tamu-tamu tak diun-dang
itu. "Hua ha ha..! Hari ini adalah hari kematianmu, Bonggala.
Kau boleh berteriak sampai serak memanggil gurumu. Kakek renta yang berjuluk
Dewa Langit itu telah kami jebak ke dalam Hutan Welang semalam. Jadi, kau tidak
mempunyai kekuatan lagi sekarang. Hua ha ha...."
Tawa Elang Hitam terdengar berkepanjangan. Tokoh sesat berhati licik itu benarbenar merasa puas melihat wajah pucat lawannya.
"Iblis keji...!" maki Ki Bonggala yang tentu merasa terkejut mendengar
keterangan Elang Hitam.
Semalam, sesungguhnya Ki Bonggala memang sempat mendengar adanya suara-suara


Pendekar Naga Putih 39 Putera Harimau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencurigakan. Tapi, karena gurunya berpesan agar ia tetap tinggal, sementara
orang tua itu yang mengejar, terpaksa Ki Bonggala menyerahkan persoalan itu ke
tangan gurunya. Siapa sangka orang-orang yang menyelinap semalam itu adalah
Elang Hitam dan kawan-kawannya. Kini Ki Bonggala baru mengerti, mengapa gurunya
tidak kembali lagi sejak semalam. Kiranya Elang Hitam telah menjebak gurunya.
Lunggara, murid tertua Perguruan Jari Besi, segera melompat ke arah Elang Hitam.
Menyusul kemudian Samija dan seorang murid utama lainnya. Ki Bonggala sendiri
tidak sempat mencegah. Karena, pikiran orang tua itu tengah disibukkan oleh
kematian gurunya.
"Hua ha ha...!" Elang Hitam tertawa makin keras melihat majunya tiga orang murid
utama Ki Bonggala. Lelaki gemuk itu sama sekali tidak peduli. Sebab, Iblis
Penakluk Harimau dan tiga orang pembantu Jari Pencabut Nyawa telah menyambut
serangan ketiga murid itu. Sedangkan ia sendiri telah siap mencabut nyawa
Pendekar Tangan Sakti.
"Diakah musuh besarmu, Guru...?" tanya pemuda berambut panjang dan bertubuh
kekar yang berdiri di samping Elang Hitam. Pemuda yang menatap wajah Ki Bonggala
dengan tak berkedip itu tak lain dari Wanara, si Putra Harimau.
Sementara itu, Jari Pencabut Nyawa hanya berdiri tegak dengan sorot mata penuh
kebencian. Jelas, tokoh sesat itu pun menaruh dendam terhadap Ki Bonggala.
Karena, tokoh yang berjuluk Pendekar Tangan Sakti itu pernah mengobrak-abrik
gerombolannya pada waktu yang silam.
"Ayo, kita tangkap dia. Pendekar sombong itu tidak boleh mati tanpa disiksa.
Harus kita siksa dia sebelum dibunuh!"
teriak Elang Hitam. Kemudian lelaki gemuk itu langsung melesat menerjang dengan
cakar elangnya.
Ki Bonggala, yang sadar bahwa keadaannya benar-benar terancam, segera
mengeluarkan ilmu andalannya untuk menghadapi keroyokan Elang Hitam, Jari
Pencabut Nyawa, dan pemuda berambut panjang itu.
"Heaaat..!"
Whutttl Whuuut!
Elang Hitam langsung mengulurkan cakar-cakar mautnya mengancam tubuh lawan.
Demikian pula halnya dengan Jari Pencabut Nyawa. Tokoh sesat berkepala botak itu
mengirimkan serangan-serangan mautnya yang menimbulkan deruan angin tajam.
Sedangkan Wanara sejenak mengerutkan keningnya tanda tak senang. Pemuda yang
jujur itu sebenarnya merasa tidak suka mengeroyok seorang lawan. Tapi, karena
gurunya memerintah, pemuda itu tidak bisa berdiam diri saja. Maka, ia pun ikut
mengeroyok Ki Bonggala.
Keroyokan tiga orang lawan yang memiliki kepandaian tinggi itu tentu saja
membuat ki Bonggala kerepotan. Jangankan menghadapi keroyokan, melawan salah
satu dari mereka pun ia harus mengerahkan segenap kepandaiannya. Sebab, baik
Elang Hitam maupun Jari Pencabut Nyawa memiliki kepandaian yang hampir setingkat
dengannya. Apalagi kini ada pula pemuda gesit bertubuh kokoh itu. Ki Bonggala
harus mati-matian mempertahankan dirinya.
"Khreaaakh...!"
Pada suatu kesempatan, Wanara yang menggempur Ki Bonggala dari sebelah kiri,
berseru nyaring. Pemuda bertubuh kokoh itu melontarkan cengkeraman ke arah
lawannya. Meskipun dalam keadaan terdesak hebat, Ki Bonggala menunjukkan kebolehannya. Dua
buah cengkeraman yang mengancam perut dan lambungnya dapat dihindarinya dengan
menggeser tubuh ke samping. Namun, sepasang mara orang tua itu membelalak saat
melihat mata kalung yang tergantung di leher Wanara. Meskipun keterkejutan Ki
Bonggala hanya sekejap, jelas hal iIni sangat merugikan baginya. Akibatnya,
sebuah cakar Wanara berhasil merobek bahu kirinya.
Brettt! "Akh...!"
Ki Bonggala menjerit kesakitan. Tubuh orang tua itu melintir mengikuti arah
sambaran cakaran Wanara. Hal itu memang sengaja dilakukannya. Sebab dengan
demikian, Ki Bonggala
dapat menghindari cengkeraman selanjutnya yang masih ber-susulan.
Dengan sebuah lompatan panjang, Pendekar Tangan Sakti bergerak menjauhi lawanlawannya, kemudian berdiri tegak menatap mata kalung di dada Wanara. Tampaknya
ia sangat tertarik dengan kalung yang tergantung di leher pemuda itu.
"Sahabat muda, dari manakah kau mendapatkan kalung bergambar telapak tangan
itu..." Tolong katakan padaku...,"
tanya Ki Bonggala
Pertanyaan itu tentu saja membuat gerakan Wanara terhenti seketika. Perlahan
kepalanya tertunduk menatap kalung yang tergantung di lehernya.
"Aku tidak tahu. Kalung ini telah ada sejak aku kecil...,"
jawab Wanara jujur. Pemuda polos itu menjadi heran ketika melihat wajah Ki
Bonggala tampak pucat mendengar jawabannya. Sayang Elang Hitam dan Jari Pencabut
Nyawa tidak memberikan banyak kesempatan lagi kepada Pendekar Tangan Sakti.
Kedua tokoh sesat itu kembali menerjang lawannya dengan serangan-serangan maut.
Ki Bonggala yang tengah terhanyut pikirannya oleh jawaban polos Wanara tak
sempat menghindar. Akibatnya, dua pukulan lawan telak bersarang di dadanya.
Bukkk! Desss! "Uuugh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Bonggala terjengkang deras sejauh satu setengah
tombak, kemudian ia jatuh bergulingan sambil memuntahkan darah segar. Pendekar
Tangan Sakti terlihat menderita luka dalam yang cukup parah akibat hantaman pada
tubuhnya itu. "Lumpuhkan bangsat itu...!" seru Elang Hitam kepada Jari Pencabut Nyawa yang
jaraknya lebih dekat dengan Ki Bonggala. Lelaki gemuk bercambang lebat itu
sendiri sudah melompat dengan beberapa totokan mautnya.
Jari Pencabut Nyawa pun tidak mau membuang-buang waktu. Tanpa diperintah pun
sebenarnya ia memang hendak melumpuhkan Ki Bonggala secepatnya. Ucapan Elang
Hitam membuatnya bergerak semakin cepat untuk melumpuhkan Pendekar Tangan Sakti
yang makin terdesak itu.
"Hiaaat..!"
Dibarengi teriakan keras, tubuh lelaki kekar berkepala botak itu melesat cepat
melancar totokan pada bagian-bagian terlemah di tubuh lawannya yang tengah
berusaha bangkit itu.
"Yeaaat...!"
Mendadak, pada saat yang gawat, terdengar teriakan nyaring yang mengguntur.
Berbarengan dengan suara yang sangat keras itu, sesosok bayangan putih
berkelebat bagai kilatan cahaya. Dan, langsung disambutnya serangan Jari
Pencabut Nyawa dan Elang Hitam tadi. Akibatnya....
Plakkk! Tasss! Bukkk!
"Uuuhhh...!?"
"Aaakh...!"
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan oleh terjangan sosok bayangan putih
bersinar keperakan itu. Bukan saja serangan kedua tokoh sesat itu dapat
digagalkan. Telapak tangannya pun sempat mendarat di tubuh Elang Hitam. Hingga
tanpa ampun lagi, tubuh lelaki gemuk itu terjungkal mencium tanah. Tapi, karena
hantaman telapak tangan itu tidak terlalu keras, luka yang ditimbulkannya pun
tidak terlalu parah. Elang Hitam masih
bisa bangkit dengan
cepat sambil mengusap
lelehan darah di sudut
bibirnya. Hebat sekali akibat
yang ditimbulkan oleh
terjangan bayangan putih
bersinar keperakan itu.
Bukan saja serangan
kedua tokoh sesat itu
dapat digagalkan.
Telapak tangannya pun
sempat mendarat di
tubuh Elang Hitam,
hingga tubuh lelaki gemuk itu terjungkal mencium tanah!
Kehadiran sosok bayangan yang terselimut kabut putih keperakan itu ternyata
berbarengan dengan munculnya sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba
hijau. Dan, sosok tubuh ramping itu langsung menceburkan diri ke dalam kancah
pertempuran lain, tempat di mana Lunggara tengah berjuang keras menyelamatkan
nyawa. Di situ dua orang adik seperguruan Lunggara telah menggeletak mandi
darah. Kehadiran sosok tubuh terbungkus pakaian serba hijau itu benar-benar sangat
berarti bagi Lunggara. Ia dapat mengatur napasnya sambil menyaksikan sosok
ramping itu menggempur lawan-lawannya.
Sementara itu, Elang Hitam dan Jari Pencabut Nyawa tengah berdiri menatap sosok
bersinar putih keperakan yang telah menyelamatkan Ki Bonggala. Kedua tokoh sesat
itu tentu saja terkejut bukan main saat mengenali siapa penolong lawannya itu.
"Pendekar Naga Putih...!?"
Elang Hitam dan Jari Pencabut Nyawa berseru dengan wajah tegang. Sedangkan
Wanara hanya memandang bingung, karena ia memang tidak pernah mengenal julukan
Pendekar Naga Putih.
Lain lagi halnya dengan Ki Bonggala. Lelaki gagah yang dikenal berjuluk Pendekar
Tangan Sakti itu bergumam dengan wajah cerah. Sebab, tuan penolongnya dikenalnya
sebagai seorang pendekar besar yang telah mengguncangkan dunia persilatan pada
masa ini. Tentu saja kenyataan itu membuat Ki Bonggala dapat bernapas lega.
Bergegas lelaki gagah itu menghampiri penolongnya itu.
"Pendekar Naga Putih, kau tak ubahnya bagaikan malaikat yang turun dari langit.
Kedatanganmu sangat tepat dan memang kubutuhkan...," ucap Ki Bonggala sambil
membungkukkan tubuhnya, memberi hormat kepada pemuda tampan yang tak lain dari
Panji itu. Panji pun cepat membalas hormat orang tua itu. Namun, keduanya tidak dapat
melanjutkan pembicaraan. Karena, saat itu Elang Hitam dan Jari Pencabut Nyawa
telah melesat menerjang Pendekar Naga Putih. Tampaknya kedua tokoh sesat itu
sengaja mengambil kesempatan selagi Panji dan Ki Bonggala sedang berbicara.
Namun, niat licik kedua tokoh sesat itu tidak membawa hasil seperti yang
diharapkan. Sebagai seorang pendekar yang telah berpengalaman, tentu saja Panji
tidak lagi memerlukan persiapan dalam menghadapi setiap gempuran lawan. Dengan
sebuah langkah panjang ke samping, serangan kedua lawan itu pun dapat
dihindarinya. Bahkan, sempat juga dilontarkannya serangkaian serangan balasan
yang sangat mengejutkan.
"Hiaaah...!"
Elang Hitam yang menjadi sasaran serangan balasan Panji berusaha menghindar
sebisa-bisanya. Lelaki bercambang lebat itu tunggang-langgang, kerepotan
menghadapi gempuran Pendekar Naga Pulih yang bagai gelombang lautan itu. Pada
saat yang berbahaya itu, Jari Pencabut Nyawa menyelamatkannya dengan jalan
menebarkan bubuk beracun ke arah Pendekar Naga Putih.
"Hm...."
Panji menggeram gusar melihat kekejian Jari Pencabut Nyawa. Kegusaran pemuda itu
berubah menjadi kemarahan manakala ia teringat akan mayat seorang kakek di Hutan
Welang. Sebab, bubuk yang digunakan untuk menyerang dirinya memiliki bau harum
yang sama dengan yang tercium olehnya pada mayat itu.
"Heaaah...!"
Sambil mengeluarkan bentakan keras, Pendekar Naga Putih mengibaskan lengannya ke
kiri dan ke kanan. Sehingga, racun pelumpuh syaraf itu pun bertebaran musnah
terbawa angin berhawa dingin yang keluar dari tangan pemuda itu. Kemudian,
dengan sebuah lompatan kilat, pemuda itu berbalik menggempur Jari Pencabut
Nyawa. Serangan yang dilancarkan Panji kali ini benar-benar hebat.
Tubuh pemuda itu meliuk-liuk turun-naik bagaikan seekor naga yang tengah bermain
di angkasa. Sepasang cakarnya menyambar susul-menyusul bagaikan tidak
berkesudahan. Sehingga, dalam jurus yang kelima puluh, Jari Pencabut Nyawa tidak sanggup lagi
membendung serangan-serangan Pendekar Naga Putih. Akibatnya, sebuah sambaran
cakar naga Panji merobek bahu kanan lelaki kekar berkepala botak itu.
Whuttt! Brettt!
"Akh...!"
Tokoh sesat gembong perampok itu menjerit kesakitan.
Bahkan, tubuhnya yang kekar sempat melintir akibat kuatnya tenaga sambaran cakar
lawannya itu. Belum lagi sempat disadari keadaannya, sebuah tendangan keras
telah membuat tubuhnya terjungkal dan jatuh berdebuk di atas tanah.
Elang Hitam tentu saja terkejut bukan main. Cepat-cepat tokoh bertubuh gemuk itu
melesat dengan cakar elangnya yang sambar-menyambar. Tapi kali ini Panji tidak
berniat main-main lagi. Dengan gerakan-gerakan tubuh yang manis, pemuda itu
terus menghindari setangan berantai lawannya. Kemudian, begitu melihat
pertahanan lawan terbuka, langsung saja dikirimkannya dua buah hantaman telapak
tangannya ke dada lawan.
Desss...! "Aaargh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Elang Hitam terlempar keras bagaikan selembar daun
kering, lalu meluncur membentur dinding kayu tebal di belakangnya. Kemalangan
rupanya masih terus membuntuti Elang Hitam. Saat terbentur pada kayu tebal yang
langsung patah itu, tubuh lelaki gemuk itu kembali terjatuh tepat di atas
patahan kayu bulat yang meruncing.
Karuan saja darah segar menyembur seiring jerit kematian Elang Hitam yang
tubuhnya telah terpaku potongan kayu itu.
Elang Hitam tewas secara menyedihkan.
"Pendekar Naga Putih, tahan...!"
Panji yang saat itu tengah siap bertempur melawan Wanara, si Putra Harimau,
menahan gerakannya. Seruan Ki Bonggala membuat Pendekar Naga Putih melompat
mundur, lalu menarik kembali serangannya terhadap pemuda bertubuh kokoh itu.
"Ada apa, Paman...?" tanya Panji sambil mengerutkan keningnya melihat tingkah
laku aneh Ki Bonggala. Tanpa menjawab pertanyaannya, orang tua itu melangkah ke
arah Wanara. "Anak muda, perlihatkanlah kalungmu. Lihatlah, aku pun memiliki kalung yang
serupa dengan milikmu. Dan, kalung yang kau kenakan itu adalah kalung milik
putraku yang kulekatkan di lehenya ketika bayi...," kata Ki Bonggala dengan
suara bergetar, berusaha menahan keharuan hatinya.
Wanara tentu saja bingung melihat kalung milik Ki Bonggala benar-benar serupa
dengan miliknya.
"Apa artinya ini, Orang Tua...?" tanya Wanara, sambil menatap wajah Ki Bonggala
dengan pandangan bodoh.
"Kalau memang kalung yang kau kenakan itu bukan pemberian orang lain, berarti
kau adalah putraku, Anak Muda...," ujar Ki Bonggala yang menjadi tegang, sambil
meneliti raut wajah Wanara.
"Aku..., putramu..." Lalu, di manakah Ibuku...?" tanya Wanara, yang tampak mulai
mengerti. "Akulah yang seharusnya bertanya demikian, Anakku. Tapi mungkin ibumu telah
tewas sewaktu membawamu lari dari kejaran penjahat-penjahat keji yang memburu
keluarga kita...,"
jelas Ki Bonggala. Tanpa sadar sepasang mata tuanya menjadi basah karena rasa
haru dan gembira bercampur-baur dalam hati.
"Ayah...!"
Tanpa ragu-ragu lagi, Wanara segera menghambur dan memeluk tubuh Ki Bonggala
erat-erat. Pertemuan yang tak disangka-sangka itu tentu saja membuat keduanya
langsung terhanyut dalam luapan rasa gembira.
Kesempatan itu rupanya tidak disia-siakan oleh Jari Pencabut Nyawa. Tokoh sesat
yang sejak tadi hanya berdiri bingung menyaksikan kejadian yang tak disangkasangka itu langsung mengirimkan serangan maut, saat Ki Bonggala dan Wanara
lengah. "Hiaaat...!"
Kedua orang ayah beranak itu baru tersadar ketika terdengar teriakan nyaring
yang mengejutkan. Untunglah Panji bertindak cepat. Dengan lentingan manis, tubuh
pemuda tampan itu berputar beberapa kali di udara, lalu didaratkan dua telapak
tangannya di tubuh Jari Pencabut Nyawa.
Desss..! "Huaaagkh...!"
Hantaman telak telapak tangan Panji membuat tubuh kekar berkepala botak itu
terhempas bagai selembar daun kering tertiup angin. Jari Pencabut Nyawa
terbanting keras di tanah disertai semburan darah segar dari mulutnya. Setelah
berkelojotan sesaat dengan tubuh menggigil kedinginan, tokoh sesat itu pun diam
tak berkutik lagi, tewas akibat pukulan keras yang dilandasi 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan'.
Ki Bonggala dan Wanara menghela napas lega. Untuk kedua kalinya orang tua itu
harus berterima kasih kepada Panji yang telah menyelamatkan nyawanya dan juga
nyawa putra yang baru dijumpainya setelah lenyap selama dua puluh tahun itu.


Pendekar Naga Putih 39 Putera Harimau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakang...," Kenanga, yang ternyata telah berhasil pula menundukkan Iblis
Penakluk Harimau dan murid-murid Jari Pencabut Nyawa, segera bergabung dengan
Panji. "Ah..., kalian berdua telah berjasa besar terhadapku. Entah bagaimana aku bisa
membalasnya...," desah Ki Bonggala sambil menatap pasangan pendekar itu dengan
penuh kagum. Hati
orang tua itu benar-benar bangga. Sebab, kaum persilatan golongan putih ternyata
telah memiliki seorang tokoh muda yang berkepandaian tinggi dan berbudi luhur.
"Tidak perlu dipikirkan, Paman. Semua itu memang merupakan kewajiban kita. Siapa
tahu kelak. Pamanlah yang menyelamatkan nyawa kami berdua. Dan, karena persoalan
di sini telah selesai, maaf kalau kami terpaksa harus pamit untuk melanjutkan
perjalanan."
Baru saja ucapan itu selesai. Panji telah berkelebat bersama Kenanga
meninggalkan tempat itu. Sekejap saja, bayangan kedua pendekar muda itu telah
lenyap di balik pagar kayu bulat yang mengelilingi Perguruan Jari Besi. Kini
tinggallah Ki Bonggala dan Wanara yang hanya bisa menggelengkan kepala, karena
tidak sempat mencegah kepergian kedua pendekar itu.
"Orang-orang berbudi luhur seperti itulah yang patut dijadikan contoh,
Anakku...," desah Ki Bonggala seraya menatap wajah putranya. Ada sinar
kebanggaan dalam tatapan orang tua itu. Sosok putranya begitu gagah di matanya.
Wanara hanya mengangguk sambil mengulas senyum tipis.
Pemuda itu masih merasa seperti bermimpi dapat bertemu dengan keluarganya,
meskipun hanya ayahnya yang masih ada.
Ki Bonggala mengajak putranya dan sisa-sisa murid perguruannya untuk
membersihkan halaman Perguruan Jari Besi. Angin sore bersilir lembut menjanjikan
ketenangan dan kedamaian bagi perguruan itu di kemudian hari.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Bagus Sajiwo 3 Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Dendam Empu Bharada 14

Cari Blog Ini