Ceritasilat Novel Online

Raja Iblis Dari Utara 2

Pendekar Naga Putih 07 Raja Iblis Dari Utara Bagian 2


tua itu semakin bernafsu.
Ranjalu, Guntara, dan sembilan orang lainnya pun tak mau kalah. Sinar-sinar
pedang mereka berkilatan menimbulkan angin berkesiutan yang menyambar-nyambar
ganas. Pedang-pedang mereka tak ubahnya seperti tangan-tangan malaikat maut yang
siap mencabut nyawa Panji setiap saat.
Bret! "Akh...!"
Sebuah tusukan pedang lawan hampir
melukai tubuh Panji. Untunglah serangan itu sempat dielakkan, sehingga ujung
senjata itu hanya merobek baju pada bagian lambungnya. Pemuda itu melenting ke
udara dan bersalto beberapa kali menjauhi lawan-lawannya.
"Berhenti!" teriak Panji keras.
Suaranya menggelegar bagai ledakan petir di angkasa. Sepasang bola mata anak
muda itu mencorong tajam, hingga sempat
membuat lawan-lawannya tergetar mundur.
Luar biasa sekali perbawa yang keluar dari sepasang matanya. "Jangan paksa aku
melakukan kekerasan!" ancam Panji meskipun dirinya masih tetap berada dalam
kepungan dua belas orang laki-laki gagah itu.
Pendekar Naga Putih mengedarkan
pandangannya bagaikan mata seekor naga yang sedang marah! Beberapa saat lamanya
kedua belas orang itu saling berpandangan ragu. Mereka memang harus mengakui
kelihaian pemuda itu. Sampai sekian jauh mereka melancarkan serangan-serangan
yang mematikan, namun hanya berhasil merobek baju pemuda itu. Padahal Pendekar
Naga Putih sama sekali belum membalas serangan mereka. Diam-diam mereka merasa
ngeri, kalau saja Panji membalas, dapat
dipastikan mereka tidak mungkin dapat bertahan lebih dari dua puluh jurus.
"Jadi kau menyerah, Pendekar Naga Putih?" tanya Guntara yang tubuhnya menjadi
panas dingin ketika tatapan Panji terarah padanya.
"Tidak! Aku hanya tidak ingin kalian menyerangku lagi. Tunjukkan padaku
kediaman Raja Iblis dari Utara. Biar aku sendiri yang akan mendatanginya," sahut
Panji tanpa melepaskan kewaspadaannya.
"Huh! Tidak bisa, pendekar sombong!
Ayo, kawan-kawan. Tunggu apa lagi"
Serang...!" teriak Ki Karmapala langsung melesat membabatkan pedangnya.
Begitu melihat Pendekar Pedang Sakti sudah menyerang, yang lain pun serentak
mengikuti. Panji segera memusatkan
perhatian menghadapi serangan tokoh-tokoh itu.
"Hm...!"
Pendekar Naga Putih menggeram murka.
Sesaat kemudian dia mulai mengempos tenaga dalamnya. Tiupan angin dingin yang
menusuk tulang sum-sum berhembus keras memenuhi daerah di sekitarnya. Tak lama
kemudian, terdengar suara berkerotokan ketika 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' mulai
mengalir deras melalui tangannya. Selapis kabut putih keperakan bersinar
menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Heaaah...!"
Wusss...! Blarrr! Debu mengepul tinggi ketika pukulan jarak jauh yang dilontarkan Panji
menghantam tanah berbatu. Untunglah empat pendekar yang tengah menerjangnya dari
depan sempat menghindar. Kalau tidak, tubuh mereka tentu sudah bergelimpangan
tanpa nyawa! Setelah melepaskan pukulan itu, tubuh
Panji melambung ke atas dan berputar bagaikan gasing. Beberapa saat kemudian,
tubuhnya meluruk ke arah lawan-lawannya sambil melontarkan serangan.
Delapan laki-laki gagah itu berjumpalitan sambil bergulingan menghina dari serangan Panji yang datang bagai air
bah. Setelah berhasil menyelamatkan diri, mereka bergegas bangkit dan bersiap
menghadapi Pendekar Naga Putih kembali.
"Hei, ke mana pemuda itu?" seru Ranjalu heran ketika tidak menemukan Panji di
tempat itu. Ranjalu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Namun, Panji benarbenar telah lenyap bagai ditelan bumi.
Rupanya pada saat-saat lawannya sibuk menghindari serangannya yang laksana angin
topan tadi, diam-diam Panji
langsung melesat meninggalkan arena pertarungan. Dia merasa tidak ada gunanya
meladeni tokoh-tokoh persilatan yang sudah gelap mata itu. Satu-satunya jalan
terbaik menurut pemuda itu adalah
menghindari mereka.
"Benar-benar pemuda hebat! Seusia itu dia sudah mampu mengekang amarahnya.
Benar-benar seorang pendekar sejati!"
puji Ranjalu tulus.
"Huh! Dia tak lebih dari seorang pengecut bagi-ku!" tiba-tiba terdengar suara
ketus penuh kebencian. Kata-kata
kasar itu terlontar dari mulut Ki
Karmapala. Sepertinya dia tidak senang kawan-kawannya memuji-muji pendekar muda
itu. Karena sesungguhnya laki-laki
setengah baya ini adalah salah seorang pendekar yang telah menyimpang dan
bergabung dengan Raja Iblis dari Utara.
Itulah sebabnya mengapa ia begitu
membenci Panji.
"Kukira, ia bukan takut menghadapi kita, Ki. Mungkin ia tidak ingin salah
seorang di antara kita menjadi korban pukulannya," ujar Guntara mencoba
membantah ucapan Pendekar Pedang Sakti. Dalam hati kecilnya, ia menyetujui
langkah yang diambil Pendekar Naga Putih.
"Ahhh, sudahlah! Lebih baik sekarang kita kejar pendekar pengecut itu, ayo!"
sahut Ki Karmapala tak senang. Selesai berkata demikian, laki-laki setengah baya
itu segera melesat mengejar Pendekar Naga Putih.
"Heran! Mengapa Ki Karmapala begitu membenci Pendekar Naga Putih?" desah Ranjalu
tak habis mengerti.
"Entahlah, Kakang" Pasti ada
sebabnya," sahut Guntara sambil menghela napas berat.
"Sudahlah. Lebih baik kita segera menyusulnya," usul yang lain sambil bersiapsiap hendak menyusul Pendekar Pedang Sakti.
"Eh, bagaimana dengan wanita-wanita yang diculik perampok itu" Apa tidak
sebaiknya kita mengantarkan mereka kepada keluarganya terlebih dahulu?" tibatiba salah seorang di antaranya mengingatkan kalau pekerjaan mereka belum
selesai. "Hm..., mengapa kita sampai
melupakannya" Kalau begitu kita berbagi tugas. Aku dan kedua orang saudaraku
akan mengantarkan wanita-wanita desa itu.
Sedangkan kalian menyusul Pendekar Pedang Sakti. Bagaimana?" Ranjalu
mengusulkan. "Kalau begitu, baiklah. Nah! Selamat berpisah, Sahabat. Mudah-mudahan kita dapat
berjumpa lagi nanti," ujar Salah seorang menyetujui usul Ranjalu. Maka
berpisahlah para tokoh persilatan itu dengan mengemban tugas masing-masing.
*** Panji terus berlari menghindari dua belas orang tokoh persilatan yang hendak
menangkapnya. Dikerahkannya ilmu 'Lari Terbang di Atas Angin', sehingga tubuhnya
hanya nampak bagaikan sebuah bayangan samar yang meluncur cepat melintasi
keremangan hutan.
Setelah merasa yakin dirinya tidak
akan terkejar, pemuda itu segera
menghentikan larinya. Panji mengusap peluh yang membasahi keningnya dengan
punggung tangan. Belum lagi sempat
menarik napas lega, tiba-tiba beberapa langkah kaki menuju ke arahnya. Secepat
kilat pemuda itu melompat ke atas sebuah cabang pohon yang agak tinggi.
Dari tempat persembunyian, dilihatnya tujuh orang laki-laki gagah yang
mengenakan pakaian warna-warni tengah melangkah tergesa-gesa. Gagang pedang yang
menyembul di punggung orang-orang itu terhias ronce-ronce yang sama dengan warna
pakaian mereka. Hiasan itu membuat penampilan ketujuh orang itu semakin gagah
dan berwibawa. Ketujuh orang laki-laki gagah itu
ternyata adalah murid-murid Dewa Gunung Kebat. Rupanya dalam usaha mencari
pembunuh guru mereka, tujuh orang pendekar itu telah menemukan titik terang.
Semua itu terungkap jelas dari pembicaraan mereka.
"Kakang, apakah kau yakin kalau kepala rampok itu tidak berbohong?" tanya adik
seperguruan Bandawa yang bertubuh gemuk dan berwajah bulat. Sepertinya ia belum
merasa yakin sepenuhnya atas
penjelasan kepala rampok yang disebutnya tadi.
"Aku yakin, Adi Gumadi. Orang yang sudah tak berdaya seperti dia pastilah akan
berkata jujur. Tokoh-tokoh sesat macam dia lebih mementingkan
keselamatannya sendiri daripada keselamatan orang lain," jawab Bandawa
meyakinkan adik seperguruannya yang bernama Gumadi itu.
"Kakang, menurutmu apakah tidak mungkin kalau Raja Iblis dari Utara mempunyai
pengikut setia yang menjaga tempat tinggalnya?" adik seperguruannya yang lain
latah bertanya.
"Kalau memang Raja Iblis dari Utara itu mempunyai pengikut, apakah kau merasa
gentar, Adi?" ujar Bandawa balik bertanya. Sambil berkata demikian, wajah adik
seperguruannya itu ditatapnya lekat-lekat. Seolah-olah dia ingin mengetahui apa
yang tergambar di wajah sang adik.
Merasa kalau Bandawa meragukan
keberaniannya, orang itu membalas tatapan kakak seperguruannya itu. Seolah-olah
ingin menunjukkan kalau ia sama sekali tidak merasa gentar. Tidak seperti dugaan
kakak seperguruannya.
"Aku sama sekali tidak merasa gentar, Kakang. Hanya saja kalau Raja Iblis dari
Utara itu mempunyai pengikut, kita harus lebih berhati-hati. Apabila dugaanku
ini benar, maka kita tidak boleh memasuki tempat iblis itu secara terangterangan,"
sahut adiknya tegas.
Mendengar penjelasan adiknya, Bandawa tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu orang
itu. Nampaknya ia gembira
mendengar ucapan yang penuh semangat dan
perhitungan itu.
"Hm.,., kita lihat saja nanti. Apakah kita harus datang secara terang-terangan
atau secara sembunyi-sembunyi," ujar Bandawa sambil mengalihkan pandangannya
memandang cakrawala.
"Kalau menurutku, lebih baik lata tantang saja si Raja Iblis dari Utara.
Biasanya seorang datuk sesat seperti dia pasti terlalu sombong untuk melibatkan
pengikutnya menghadapi kita. Nah,
bukankah dengan demikian kita dapat tenang menghadapinya!" tiba-tiba salah
seorang adik seperguruan Bandawa yang lain memberikan usulnya.
"Nah, itu baru suatu usul yang jitu!"
sahut Bandawa sambil mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju.
"Ya, aku setuju," seru Gumadi cepat, diikuti teriakan-teriakan yang sama dari
saudara-saudaranya.
Panji yang ikut mendengar percakapan ketujuh orang pendekar itu berdebar
hatinya. Betapa tidak! Ia yang selama beberapa hari ini berusaha mencari tempat
kediaman si Raja Iblis dari Utara, belum juga berhasil. Kini malah tak disengaja
ia mendengar pembicaraan
tujuh orang pendekar yang hendak menyatroni kediaman iblis itu.
"Hm..., lebih baik mereka kuikuti
secara diam-diam," gumam Panji mengambil keputusan. Tadinya ia berniat untuk
menampakkan dirinya di hadapan ketujuh orang itu. Tapi begitu ia mengenali siapa
mereka, pemuda itu segera mengurungkan niatnya. Dia mengenali ketujuh orang ini
adalah murid-murid Dewa Gunung Kebat yang berjuluk Tujuh Pedang Pembelah
Samudra. Panji tidak menginginkan bentrok dengan mereka sebagaimana ia bentrok dengan
pendekar-pendekar lain yang pernah
ditemui sebelumnya. Itulah sebabnya mengapa ia mengambil keputusan untuk
mengikuti mereka secara sembunyi-sembunyi saja.
Sementara itu, ketujuh orang pendekar itu semakin mempercepat langkah mereka.
Bandawa yang mengenakan pakaian biru cerah berada paling depan. Laki-laki itu
tampaknya sudah mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya. Rupanya ia ingin cepat-cepat tiba di tempat tujuan.
Setelah beberapa waktu lamanya
berlari, akhirnya mereka tiba di kaki sebuah bukit yang berdiri kokoh
menyeramkan. Selimut kabut tebal tampak menutupi puncaknya. Pohon-pohon raksasa
yang berdiri berjajar bagaikan barisan pengawal, membuat suasana bukit itu
semakin angker dan menyeramkan.
"Hm..., benar-benar sebuah tempat yang sangat cocok untuk tempat tinggal
iblis biadab itu," gumam Gumadi sambil merayapi daerah sekitarnya penuh curiga
"Benar, ayo kita naik!" ajak Bandawa yang segera melesat mendaki lereng bukit
yang dipenuhi pohon-pohon dan batu-batu besar. Gerakan laki-laki gagah itu sigap
sekali, seolah-olah batu yang bertonjolan itu sama sekali tidak menyulitkannya.
Keenam orang adik seperguruannya pun melesat mengikuti Bandawa. Dalam waktu
singkat, mereka sudah tiba di lapangan rumput yang agak luas. Beberapa pohon
besar tampak mengelilingi sebuah bangunan kuno yang masih tampak tokoh dan kuat.
Tujuh Pedang Pembelah Samudra segera menyelinap di antara batang-batang pohon
besar yang terdapat di sekitar tempat itu. Sepasang bola mata Bandawa merayapi
daerah sekitar bangunan itu penuh
selidik. Setelah memastikan
kalau di depan mereka tidak terdapat penjaga, Bandawa dan adik-adiknya bergegas keluar
dari tempat persembunyiannya.
"Hei! Raja Iblis dari Utara!
Keluarlah kau! Kami murid-murid Dewa Gunung Kebat menantangmu mengadu
nyawa...!" Bandawa berteriak sambil mengerahkan tenaga dalamnya, suaranya
bergaung memenuhi puncak bukit itu.
Saat-saat yang mencekam, berlalu
penuh ketegangan. Ketujuh pendekar itu sudah mencabut pedangnya masing-masing.
Mereka sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Setelah agak lama menanti namun belum juga ada jawaban, Bandawa kembali bersiap
mengulang tantangannya. Tapi, sebelum Bandawa mengulang tantangannya, tiba-tiba
angin dingin bertiup keras disertai suara bergelak yang mengguncangkan isi dada
mereka. "Ha ha ha...! Ada tujuh ekor lalat datang hendak mengantar nyawa!" terdengar
suara serak menggelegar menggetarkan puncak bukit. Rupanya Raja Iblis dari Utara
sengaja mempertunjukkan tenaga dalamnya untuk menciutkan semangat lawan.
Panji yang bersembunyi di balik
semak-semak, merasa terkejut mendengar suara tawa Raja Iblis dari Utara. Dari
suaranya saja sudah dapat diduga kalau orang yang berjuluk Raja Iblis dari Utara
itu tentu memiliki tenaga dalam yang sukar diukur. Diam-diam ia
mengkhawatirkan keselamatan tujuh laki-laki gagah itu. Bahkan ia sendiri pun
meragukan kemampuannya bila harus
menandingi kekuatan tenaga dalam iblis itu. Panji kembali mengalihkan
pandangannya ke arah bangunan itu ketika dirasakannya tiupan angin yang semakin
keras. Sesosok tubuh tinggi besar berperut gendut, melesat melampaui tembok bangunan
itu. Gerakannya ringan sekali. Seolah-olah melompati tembok tinggi itu bukan
merupakan pekerjaan yang sulit baginya.
Jleg! Bumi di sekitar puncak bukit itu
bergetar ketika Raja Iblis dari Utara dengan sengaja menjejakkan kakinya kuatkuat ke tanah. Beberapa batang pohon yang berada di sekitarnya bergetar, bahkan
beberapa daunnya berguguran. Rupanya kakek tinggi besar yang menyeramkan itu
kembali ingin mempertunjukkan kekuatan tenaga dalamnya.
Bandawa dan adik-adik seperguruannya bergerak mundur sambil mengerahkan tenaga
dalamnya ketika merasakan sambaran angin keras mendorong tubuh mereka ke
belakang. Diam-diam mereka merasa kagum menyaksikan kekuatan yang dipertunjukkan si kakek.
"Hm..., pantas saja kalau Guru sampai tewas di tangan iblis ini. Rupanya
kepandaian yang dimilikinya sudah hampir mencapai taraf kesempurnaan," gumam
Bandawa kepada dirinya sendiri. Kecemasan mulai membayang pada wajahnya. Namun
Bandawa berusaha untuk menyembunyikannya.
Ia tidak ingin mematahkan semangat adik-adik seperguruannya.
"Ha ha ha...! Kalian tentulah yang berjuluk Tujuh Pedang Pembelah Samudra.


Pendekar Naga Putih 07 Raja Iblis Dari Utara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jadi kalian ingin menuntut balas atas kematian
guru kalian" Ha ha ha...!
Seharusnya kalian mencari Pendekar Naga Putih untuk minta pertanggungjawabannya
atas kematian guru kalian. Bukan padaku!"
seru Raja Iblis dari Utara sambil tertawa bergelak.
Tentu saja Panji terkejut di tempat persembunyiannya. Hampir saja ia tidak dapat
menahan dirinya. Dia bermaksud keluar dari tempat persembunyiannya untuk meminta
penjelasan dari Raja Iblis dari Utara. Tapi untunglah jawaban orang tertua dari
Tujuh Pedang Pembelah Samudra itu telah menahan langkah kakinya yang sudah siap
bergerak maju. "Ha ha ha..., jangan coba mengadu domba, Raja Iblis dari Utara! Meskipun kau
mengatakan Pendekar Naga Putih yang bertanggung jawab atas kematian guru kami,
tapi kami tahu kalau semua itu hanyalah siasat busukmu saja. Bukankah kau ingin
agar pendekar muda itu dimusuhi tokoh-tokoh golongan putih"! Kami
tidaklah sebodoh yang kau duga, kakek buruk!" jawab Bandawa yang membuat Raja
Iblis dari Utara menjadi terdiam beberapa saat. Kakek iblis itu sama sekali
tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Hal ini membuat kemarahannya
bangkit seketika.
"Hm..., kalau begitu mengapa kalian tidak segera bertindak" Apakah kalian hanya
pandai bicara saja?" Raja Iblis
dari Utara yang masih penasaran, kembali melontarkan ejekan yang memanaskan
perut. "Ayo, Kakang. Tunggu apa lagi?" ajak Gumadi. Setelah berkata demikian,
langsung saja disiapkannya sebuah
serangan. "Jangan gegabah, Adi Gumadi! Ingat!
Tidak boleh ada seorang pun yang boleh maju kecuali atas perintahku, mengerti!
Nah, sekarang marilah kita bersiap-siap membentuk barisan ilmu Tujuh Pedang
Membelah Samudra'," perintah Bandawa kepada adik-adik seperguruannya. Setelah
berkata demikian, murid tertua Dewa Gunung Kebat itu segera mengambil posisi
sebagaimana yang telah mereka latih bersama
Melihat kakak seperguruannya sudah mengambil
posisinya, maka yang lain
segera bergerak membentuk
lingkaran mengurung Raja Iblis dari Utara yang hanya tertawa-tawa saja.
6 "Ha ha ha...!" Raja Iblis dari Utara tertawa terbahak-bahak ketika tujuh orang
pendekar mengurungnya. Kepandaian yang dimilikinya membuat kakek iblis itu
menganggap enteng lawan-lawannya.
"Hiaaat...!"
Bandawa berteriak nyaring sebagai
isyarat kepada saudara-saudara sepergi-ruannya untuk memulai serangan. Orang
tertua dari Tujuh Pedang Pembelah Samudra itu melesat diiringi ayunan pedangnya
yang menimbulkan suara berdesing nyaring.
Senjatanya meluncur deras membabat lutut Raja Iblis dari Utara.
"Hm...!"
Wut! Pedang Bandawa mengenai angin kosong ketika Raja Iblis dari Utara mengangkat
kakinya. Begitu sambaran pedang itu lewat, kakek iblis itu langsung
melepaskan tendangan kilat ke kepala lawan. Bandawa segera melemparkan
tubuhnya menghindar ke samping.
Pada saat yang bersamaan, seorang
adik seperguruan Bandawa menyabetkan pedangnya ke leher si Raja Iblis dari
Utara. Kakek itu memiringkan kepalanya sambil menundukkan, jari-jari tangannya
mengancam tenggorokan orang itu. Untunglah orang itu segera mencondongkan
tubuhnya ke belakang. Sehingga serangan itu hanya mengenai angin kosong.
Belum lagi Raja Iblis dari Utara
sempat bernapas lega, serangan yang lainnya meluruk ke perutnya yang gendut.
Kakek itu cepat-cepat mengibaskan tangannya menghalau serangan itu. Pada saat
yang bersamaan, serangan dari belakang telah meluncur datang!
"Bangsat!" Raja Iblis dari Utara mengumpat kasar. Ia yang semula terlalu
memandang remeh lawan-lawannya, kini terpaksa harus kalang-kabut menghindari.
Serangan Tujuh Pedang Pembelah Samudra yang bagai gelombang samudra itu benarbenar telah membuatnya repot.
Raja Iblis dari Utara yang bernama
asli Reksa Pati itu melempar tubuhnya ke belakang sambil mengatur kuda-kudanya.
Wajahnya memerah karena amarahnya sudah bergejolak memenuhi rongga dadanya.
Sambil menggeram marah, mulai dipersiapkan serangannya.
Sebenarnya kepandaian tujuh orang
pendekar itu jauh di bawah kepandaian Raja Iblis dari Utara. Namun karena kakek
iblis itu terlalu menganggap enteng lawannya, akhirnya
dia sendirilah yang
dibuat kelabakan. Padahal, kalau saja Reksa Pati bersikap tenang, belum tentu
dia akan menjadi kerepotan seperti itu.
Tujuh Pedang Pembelah Samudra kembali mengatur serangan sesuai dengan posisinya
masing-masing. Serangan mereka pada gebrakan pertama tadi benar-benar telah
membangkitkan rasa kepercayaan diri dan keberanian mereka.
"Hati-hati, jangan merasa bangga dulu. Iblis itu belum mengeluarkan
seluruh kepandaiannya!" teriak Bandawa mengingatkan adik seperguruannya agar
kewaspadaan mereka tetap terjaga.
"Jangan khawatir, Kakang. Kami akan tetap waspada," sahut salah seorang adik
seperguruannya.
"Hm...! Jangan merasa sombong dulu, lalat-lalat busuk! Sebentar lagi kalian akan
segera merasakan kelihaian Raja Iblis dari Utara yang sesungguhnya!" ujar Reksa
Pati geram. Sinar matanya mencorong tajam, penuh nafsu membunuh.
Dua orang adik seperguruan Bandawa
tersentak mundur ketika tatapan Raja Iblis dari Utara menghunjam mereka. Tubuh
dua orang itu bergetar sesaat bagaikan tersengat ratusan lebah berbisa.
"Pusatkan pikiran kalian! Jangan lihat matanya!" Bandawa memperingatkan dua
orang adiknya. Untunglah keduanya cepat menundukkan kepalanya. Sesaat kemudian,
mereka sudah terbebas dari pengaruh si Raja Iblis dari Utara. Kini keduanya
kembali memusatkan perhatian pada permainan ilmu 'Tujuh Pedang
Membelah Samudra'.
"Haaat...!"
Kali ini Gumadi membuka serangan
lebih dulu. Sinar pedangnya bergulung-gulung
bagaikan deburan gelombang ombak di lautan. Sesekali ujung pedangnya
menyambar mengancam tubuh lawan.
Pada saat yang hampir bersamaan,
saudara-saudaranya juga meluncur ke arah Raja Iblis dari Utara. Serangan mereka
yang saling susul-menyusul dan sating melindungi itu memang merupakan sebuah
gaya serangan yang membuat lemah
pertahanan lawan.
"Ha ha ha...," Reksa Pati kembali bergelak. Kali ,ini rupanya ia sudah
mempersiapkan diri untuk menghadapi gempuran ketujuh orang pendekar itu.
Wurrr! Werrr...!
Angin dingin bertiup keras ketika
Raja Iblis dari Utara memutar-mutar kedua tangannya. Akibatnya daerah di sekitar
arena pertarungan bagaikan dilanda angin topan. Pohon-pohon berderak ribut
hendak tumbang. Batu-batu sebesar kepalan
tangan, beterbangan bagai dilemparkan tangan-tangan yang tak kelihatan.
"Heaaah...!"
Raja Iblis dari Utara membentak
menggelegar. Tiba-tiba tangan kanannya terulur ke arah Gumadi yang tengah
meluncur ke arahnya. Serangkum angin tajam berdesir menyertai uluran tangan si
kakek iblis. Benar-benar sebuah serangan maut!
Gumadi yang berlindung di balik
gulungan sinar pedangnya, menjadi gugup.
Di depannya secara tiba-tiba saja telah menanti beberapa pasang tangan yang
tengah terulur ke arahnya. Segera disabetkan pedangnya untuk menghalau puluhan tangan yang tiba-tiba berubah hendak
mencengkeramnya.
Wut! Wut! Bukan main terkejutnya hati Gumadi
ketika mendapat kenyataan tangan-tangan yang ditebasnya sama sekali tidak
terputus. Apalagi sampai mengeluarkan darah! Pedangnya seolah-olah hanya
menebas angin. Kini wajahnya mendadak menjadi pucat! Namun sebelum sempat
dikuasai perasaannya, tahu-tahu tubuhnya bagaikan dihantam palu godam yang
berat. Desss! "Ugh...!"
Tubuh Gumadi terlempar keras. Darah segar menyembur dari mulutnya hingga
memercik ke mana-mana. Terdengar suara berdebuk keras ketika orang kedua dari
Tujuh Pedang Pembelah Samudra itu
terbanting ke tanah. Gumadi berusaha untuk merangkak bangkit.
Namun isi dadanya terasa remuk! Dia hanya dapat rebah sambil menyeringai menahan sakit.
Sesaat setelah tubuh Gumadi
terpental, serangan yang lainnya telah tiba. Seberkas sinar yang bagaikan sebuah
lorong, meluncur seolah-olah hendak menelan tubuh Raja Iblis dari Utara.
Dalam lorong sinar pedang itu terdapat daya sedot yang cukup kuat, hingga
mengibarkan baju kakek iblis itu.
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara menggeram
gusar. Secepat kilat kakek tinggi besar itu melempar kakinya ke atas seraya
memutar tubuhnya setengah lingkaran.
Selagi masih berada di udara, sepasang tangannya didorongkan ke depan. Sesaat
kemudian telapak tangan itu sudah
dikembangkan ke kiri dan kanan. Gerakan yang dilakukan kakek iblis itu cepat
luar biasa sehingga mengaburkan pandangan lawannya. Hingga....
Plak! Buk! "Aaakh...!"
Entah dengan cara bagaimana, tahutahu saja sepasang telapak tangan Raja Iblis dari Utara telah menampar pelipis
dan lambung lawan. Orang itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental beberapa
tombak ke belakang disertai darah segera yang muncrat dari mulutnya. Luka yang
dialaminya lebih parah daripada Gumadi.
Setelah berkelojotan sekejap, napas orang itu terlepas dari raganya dengan
tengkorak kepala retak!
Melihat kejadian yang sama sekali di luar dugaannya itu, Bandawa cepat
memerintahkan adik-adik seperguruannya mundur.
Gumadi yang semula masih mencoba
untuk bangkit, tak lama kemudian juga tewas. Pukulan Raja Iblis dari Utara yang
mengenai dadanya, telah mematahkan
tulang-tulang dadanya hingga menusuk jantung. Dalam segebrakan saja, ilmu
'Perogoh Sukma' yang dimainkan Reksa Pati telah menelan dua korban dalam waktu
yang hampir bersamaan.
Bandawa berdiri pucat diapit empat
orang adik seperguruannya. Sepasang
matanya menyiratkan api dendam yang berkobar-kobar. Beberapa saat setelah dapat
menenangkan hatinya, segera
ditolehkan kepalanya ke arah adik-adik seperguruannya.
"Kalau ada di antara kalian yang ingin hidup, pergilah! Tinggalkan tempat celaka
ini. Biar aku yang menghadapi iblis biadab ini," ujar Bandawa kepada empat orang
adik seperguruannya yang masih tersisa. Suaranya terdengar parau dan tersendat.
Sebenarnya ucapan Bandawa lebih tepat sebagai sebuah erangan
daripada ucapan.
"Kakang! Apakah kau pikir kami ini adalah anjing-anjing pengecut! Tidak, Kakang.
Kami lebih suka mari daripada hidup terhina!" jawab salah seorang adik
seperguruannya yang
disambut anggukan
ketiga saudaranya.
"Kalau begitu, mari kita hadapi iblis ini bersama-sama!" ucap Bandawa sambil
menggerakkan pedangnya. Tekadnya sudah bulat! Ia tak takut menghadapi maut!
Kali ini lima orang pendekar itu
tidak lagi membentuk lingkaran untuk mengurung lawan. Dengan tewasnya dua orang
saudara mereka, maka barisan 'Tujuh Pedang Membelah Samudra' tidak lagi dapat
mereka mainkan. Kini mereka menyerang dengan mengandalkan jurus-jurus tunggal
yang dimilikinya.
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara kembali
menggeram. Wajahnya yang kemerahan
semakin bertambah angker. Diiringi gelak tawanya, si kakek iblis itu melangkah
maju mendekati lawan-lawannya. Kedua telapak tangannya yang terbuka, diputarputar di depan dada. Sesekali kedua telapak tangan yang terbuka itu
mengembang ke kin dan kanan.
"Hah...!"
Tiba-tiba kakek tinggi besar yang
sudah haus darah itu melompat menerjang lima orang lawannya. Serangkum angin
panas yang menyesakkan dada bertiup keras, hingga membuat kuda-kuda lima
pendekar itu hampir goyah.
Kelima pendekar bergerak cepat
memutar pedang masing-masing untuk
melindungi tubuh mereka. Usaha mereka ternyata tidak sia-sia. Kini angin keras
yang menyesakkan dada itu tak lagi mereka rasakan. Lalu bagaikan dikomando,
kelima pendekar itu bergerak berbarengan sambil
mengayunkan pedangnya ke arah lawan.
Raja Iblis dan Utara yang hasrat
membunuhnya sudah memuncak, tidak tinggal diam. Tubuhnya yang tinggi besar
melompat memapak kelima batang pedang lawan.
Selagi tubuhnya melayang di udara, kedua tangannya segera didorongkan ke depan
dengan jari-jari terbuka
Belum lagi serangan Raja Iblis dan
Utara tiba, sesosok bayangan putih
melesat memapak dorongan telapak
tangannya. Dan....
Blarrr! "Aaakh...!"
Baik tubuh Raja Iblis dari Utara
maupun sosok bayangan putih itu sama-sama terlempar ke belakang. Suara
menggelegar laksana ledakan petir, mengiringi
benturan tadi. Tanah di sekitar arena pertarungan itu bagaikan diguncang gempa.
Sungguh luar biasa akibat benturan dua gelombang tenaga dahsyat itu!
Bandawa dan empat orang kawannya
sadar kalau mereka baru saja terlepas dari maut. Dengan wajah yang masih
memucat, kelima orang itu menatap pemuda berpakaian putih yang tengah bertatapan
dengan Raja Iblis dari Utara. Selapis kabut bersinar putih keperakan tampak
menyelimuti sosok berpakaian putih itu.
"Pendekar Naga Putih...!" seru Bandawa dan empat orang adik
seperguruannya hampir bersamaan. Hati mereka merasa heran bercampur girang.
Sosok berpakaian serba putih itu
memang Panji adanya. Tadinya pendekar muda ini tidak mau turun tangan membantu
Bandawa dan adik-adik seperguruannya.
Tapi melihat mereka terdesak, mau tak mau Panji tak bisa tinggal diam.
"Ha ha ha..., itukah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang kau banggakan?" ujar Raja
Iblis dari Utara penuh kagum.
Sebagai seorang datuk persilatan yang berpengalaman, ia tahu kalau ilmu 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan' benar-benar sebuah ilmu yang langka. Ilmu yang jarang ada
duanya di dunia persilatan. Dan kalau pemuda itu telah dapat menyempurnakannya,
ia menjadi ragu kalau dapat
menandinginya. "Hm..., Raja Iblis dari Utara. Kini aku sudah berada di hadapanmu. Marilah kita
selesaikan urusan kita," ucap Panji dingin. Sama sekali tidak dipedulikan ucapan
lawannya. Panji yang sempat
tergetar akibat pertemuan tenaga dalam tadi, dapat meraba kalau tenaga sakti
lawan tidak berada di bawahnya. Kenyataan ini membuat Pendekar Naga Putih


Pendekar Naga Putih 07 Raja Iblis Dari Utara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semakin berhati-hati terhadap
lawannya yang terkenal kejam itu. 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' terus bergolak melindungi
dirinya. "Ha ha ha..., jangan merasa takabur
dengan nama besarmu Pendekar Naga Putih.
Orang lain boleh takut melihat ilmu-ilmu mukjizatmu. Tapi Raja Iblis dari Utara
tidak gentar! Nama besarmu akan kuhapus dari dunia persilatan hari ini!" sahut
Raja Iblis dari Utara seraya tertawa terbahak-bahak. Jelas sekali kalau kakek
ini merasa yakin dapat menundukkan
pendekar muda yang tersohor itu. Apa yang diucapkan
Reksa Pati bukannya tidak beralasan. Di antara datuk-datuk kaum sesat pada masa itu, Raja Iblis dari Utara
inilah yang memiliki kepandaian tertinggi.
"Kalau begitu, mengapa kau tidak cepat bertindak, Raja Iblis dari Utara?"
tanya Panji seraya tersenyum sabar. Dia tetap berusaha tenang. Kemarahannya
ditekan agar tidak terpancing ucapan Reksa Pati.
"Ha ha ha..., rupanya kau sudah tidak sabar, Pendekar Naga Putih" Baiklah!
Bersiaplah menahan beberapa jurusku!"
setelah berkata demikian, Raja Iblis dari Utara menyilangkan kedua tangannya di
depan dada. Jari-jarinya yang terbuka tampak bergetar ketika dialiri tenaga
sakti. Melihat lawannya sudah bersiap
menyerang, Panji segera menyedot napas dalam-dalam. Tidak tanggung-tanggung
lagi, pemuda itu telah mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya. Dia sadar
sepenuhnya kalau orang yang dihadapinya kali ini adalah seorang tokoh sesat yang
maha sakti. Dia tidak ingin mendapat celaka akibat kelalaiannya.
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara mendengus
kasar. Kedua tangannya yang semula
menyilang di depan dada, pelahan
terangkat ke atas kepalanya. Kedua
kakinya membentuk kuda-kuda.
"Heaaa...!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring,
Reksa Pati meluncur ke arah Panji. Kedua kakinya diseret maju hingga
meninggalkan guratan yang cukup dalam di tanah.
Sepasang tangannya bergerak cepat melakukan tamparan-tamparan yang menimbulkan
suara mencicit tajam.
"Haaat...!"
Panji pun tidak ingin ketinggalan.
Diiringi teriakan panjang, pemuda itu melesat menghampiri lawan. Jari-jari
tangannya yang sudah membentuk cakar naga bergerak bersilangan. Suara berciutan
membelah udara mengiringi gerakan
tangannya. Sesaat kemudian, kedua orang sakti
itu sudah terlibat dalam sebuah
pertempuran sengit! Reksa Pati dan Panji saling serang dengan ganasnya.
Sambaran-sambaran telapak tangan Raja Iblis dari
Utara menderu-deru mengancam tubuh Panji.
Sesekali telapak tangan yang berisi tenaga dalam tinggi itu membentuk totokan
yang mencicit dan mematuk-matuk buas. Mau tak mau Panji harus meningkatkan
kewaspadaannya kalau tidak ingin terpagut jari-jari tangan yang membawa hawa
maut itu. Cakar naga Panji pun tidak bisa
dianggap remeh. Jari-jari tangannya yang sekeras baja berciutan di sekeliling
tubuh lawannya. Reksa Pati mau tidak mau harus berhati-hati menghadapi serangan
yang dilontarkan pemuda itu. Sekali saja ia lengah, maka cakar naga itu tidak
akan segan-segan mengorek isi perutnya!
Pada jurus yang ketiga puluh satu,
sebuah hantaman telapak tangan Reksa Pati meluncur deras mengancam pelipis
Panji. Kecepatannya yang melebihi sambaran kilat itu benar-benar membuat pemuda itu
terkejut. Cepat-cepat tangannya bergerak memapak serangan tersebut.
Plak! "Uhhh...!"
Terdengar suara ledakan nyaring
ketika telapak tangan yang berisi tenaga sakti tingkat tinggi itu bertemu di
udara. Tubuh Panji terdorong mundur sampai dua tombak. Lengan kanannya yang
digunakan untuk menangkis, terasa ngilu ke pangkalnya. Bergegas Panji menarik
napas dalam-dalam untuk menahan debaran dalam rongga dadanya.
Sedangkan Raja Iblis dari Utara
tertawa bergelak-gelak penuh kegembiraan.
Meskipun tubuhnya sempat terdorong juga, namun dia benar-benar merasa puas.
Sudah belasan tahun ia tidak pernah menemukan tandingan yang memuaskan hatinya.
Ternyata baru beberapa bulan saja
meninggalkan kediamannya di Utara, kakek ini telah dua kali menemui lawan yang
benar-benar membuatnya gembira. Kedua orang itu adalah Dewa Gunung Kebat dan
Pendekar Naga Putih yang kini berada di hadapannya.
"Ha ha ha..., aku tahu sekarang!
Rupanya kau adalah murid si tua bangka Tirta Yasa yang berjuluk Malaikat Petir
itu. Hebat.. hebat! Tak kusangka si tua bangka keparat itu mempunyai pewaris
yang sangat berbakat" ucap Reksa Pati yang membuat Panji terkejut
"Hm..., dari mana kau dapat menerka begitu, Orang Tua?" tanya pemuda itu heran.
Sepengetahuannya, selama bertahun-tahun melakukan pengembaraan, baru kali inilah
ada orang yang mengetahui kalau dirinya adalah murid Malaikat Petir.
"Ha ha ha..., tak perlu heran, Anak Muda. Dari dasar-dasar ilmu silatmu, aku
sudah menduga kalau kau adalah pewaris ilmu si tua bangka itu. He! Di mana
sekarang gurumu bersembunyi?" bentak Raja Iblis dari Utara kasar.
"Hm..., apakah kau mencariku hanya untuk diajak bicara" Mengapa tidak
dilanjutkan saja pertarungan kita?" sahut Panji yang tidak ingin membicarakan
soal gurunya. Memang, Eyang Tirta Yasa
berpesan agar ia tidak menceritakan perihal dirinya kepada siapa pun.
"Ha ha ha..., aku memang ingin melanjutkan pertarungan ini. Tapi tidak
sekarang!" ujar Raja Iblis dari Utara yang membuat Panji dan lima orang
pendekar lainnya tersentak kaget. Bagaimana mereka tidak menjadi kaget" Bukankah
selama ini kakek itu melakukan pembunuhan-pembunuhan hanya untuk mencari
Pendekar Naga Putih" Dan mengapa sekarang pada saat pendekar yang dicari-carinya
itu berada di hadapannya, malah tidak ingin dibunuhnya"
"Apa maksudmu, Raja Iblis dari Utara?" tanya Panji seraya mengerutkan dahi. Ia
benar-benar tidak mengerti apa yang diinginkan kakek itu.
"Dengarlah baik-baik, Pendekar Naga Putih! Aku tidak puas kalau kematianmu tidak
disaksikan oleh tokoh-tokoh
persilatan dari segala penjuru. Nah, aku menantangmu untuk melanjutkan
pertarungan kita pada bulan dua hari ketujuh di Lembah Biru. Sekarang kau dan
lima ekor lalat kotor itu boleh pergi! Ha ha
ha...!" diiringi suara gelak tawa yang berkepanjangan, tubuh Raja Iblis dari
Utara lenyap dari tempat itu.
Tinggal Panji termenung memikirkan
ucapan Raja Iblis dari Utara tadi. Tapi sebuah tepukan pada bahunya telah
menyadarkan pemuda itu dari lamunannya.
Kiranya orang itu adalah Bandawa, orang tertua dari Tujuh Pedang Pembelah
Samudra yang baru saja diselamatkan Panji.
"Sudahlah, Kisanak. Kalau kakek iblis itu sudah membuat keputusan, siapa yang
dapat menentangnya. Mari kita tinggalkan tempat ini," ajak Bandawa kepada Panji.
Dengan membawa mayat dua orang
saudaranya, enam orang pendekar itu bergegas menuruni lereng bukit
7 Berita tentang pertarungan antara
Raja Iblis dari Utara dan Pendekar Naga Putih cepat menyebar ke seluruh penjuru.
Pertarungan yang akan berlangsung pada bulan dua hari ketujuh di Lembah Biru
itu, benar-benar menggemparkan rimba persilatan!
Hampir seluruh tokoh-tokoh persilatan baik dari golongan putih maupun golongan
hitam, berdatangan menuju Lembah Biru.
Mereka ingin menyaksikan pertarungan yang
sangat jarang terjadi pada masa itu. Di mana dua orang tokoh sakti dari aliran
yang berbeda akan mempertunjukkan ilmu-ilmu tingkat tinggi yang jarang ada
duanya di dunia persilatan.
Boleh dikatakan, tidak ada seorang
pun tokoh persilatan yang rela melewatkan kesempatan itu. Baik pendekar-pendekar
ternama maupun orang-orang yang hanya memiliki ilmu pas-pasan. Semuanya ingin
menimba pengalaman dari kedua tokoh sakti yang sudah pasti akan mengeluarkan
ilmu-ilmu tingginya.
Beberapa hari sebelum waktu yang
ditentukan tiba, desa-desa yang berada di sekitar Lembah Biru sudah banyak
dikunjungi orang.
"Wah...! Pertarungan itu pasti akan seru sekali. Ini
benar-benar sebuah
tontonan yang sangat menarik," ujar seorang berkepala botak kepada teman
seperjalanannya. Wajah orang itu kelihatan berseri-seri. Sepertinya ia lupa
bahwa pertarungan itu adalah sebuah pertarungan antara hidup dan mati.
''Tentu saja akan ramai dan seru! Eh, menurutmu siapakah yang akan menang?"
tanya temannya juga gembira.
"Apakah kau ingin mengajak bertaruh?"
tanya orang itu lagi. Rupanya orang berkepala botak itu termasuk orang yang
gemar berjudi. Tak mengherankan kalau ia
selalu menggunakan setiap kesempatan atau apa saja untuk berjudi.
"Huh! Dasar otak judi!" bentak temannya yang mengenakan ikat kepala hitam sambil
mencibir. "Eh, memangnya apa yang hendak kau pertaruhkan?" biarpun semula
mencemooh, tapi akhirnya ia
tertarik juga pada usul kawannya.
Salah seorang dari tiga laki-laki
yang berjalan di belakangnya melangkah maju. Wajahnya yang bulat menjadi merah
ketika mendengar perkataan kedua orang di depannya.
"Hei! Manusia pemadatan! Apakah tidak ada pikiran lain dalam otak kalian selain
judi?" bentak laki-laki yang ternyata adalah Guntara sambil menuding ke arah dua
laki-laki yang hendak bertaruh itu.
Tentu saja dua orang itu menjadi
marah mendengar teguran Guntara yang terdengar kasar dan menyakitkan itu.
Keduanya menggeram penuh kemarahan.
"He, muka bakpau! Apa pedulimu dengan urusan kami" Kalau kau tidak suka
mendengarnya, ya sudah! Urus saja wajahmu yang seperti bakpau itu!" bentak orang
yang berkepala botak tak mau kalah
gertak. Sambil berkata demikian, tangannya
meraba gagang golok yang tersembul di balik bajunya.
"Keparat! Kau kira aku takut melihat
golok dapurmu!" sahut Guntara yang merasa tersinggung karena digertak lawan
bicaranya itu. Tangan kanannya tahu-tahu sudah terulur menjambret leher baju
orang itu. Krep! "Hekh...!"
Entah karena gerakan tangan Guntara yang terlalu cepat, atau memang orang
berkepala botak tidak memiliki kepandaian, tahu-tahu tubuh orang itu sudah
terangkat. Sepasang tangan Guntara telah mencekik lehernya.
"Hm..., tikus busuk! Rupanya kau mau bertingkah di hadapanku!" geram Guntara
yang sudah siap meremukkan batang leher orang berkepala botak itu.
"Adik Guntara, tahan!" tiba-tiba saja kakak seperguruannya yang bernama Ranjalu
sudah berdiri di samping Guntara. Tangan Ranjalu segera mencekal tangan adik
seperguruannya. "Sabarlah, jangan turuti emosimu."
Guntara berpaling sejenak memandang wajah kakak seperguruannya. Sinar matanya
yang semula tajam, pelahan kembali
lembut. Jari-jari tangannya mengendur.
Tubuh orang berkepala botak itu lalu didorongnya hingga terjerembab di tanah.
"Hm..., kali ini kau kuampuni. Tapi ingat! Sekali lagi kau membicarakan soal
perjudian di depanku, akan kuremukkan
batok kepalamu!" ancam Guntara bengis.
Setelah berkata demikian, ia pun berlalu meninggalkan Ranjalu yang hanya
memandang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tinggallah si botak dan kawannya
terpaku dengan wajah pucat. Keduanya hanya dapat memandangi punggung ketiga
tokoh persilatan yang telah melanjutkan perjalanannya.
"Untunglah orang itu dapat dijinakkan kawannya. Kalau tidak, kepala botakmu
pasti sudah diremukkan orang galak itu,"
ujar kawan si botak seraya menarik napas lega.
"Ah, sudahlah!" sahut laki-laki yang berkepala botak sambil menggerakkan
tangannya seperti orang mengusir lalat yang mengganggunya. Tanpa banyak cakap
lagi, ia pun segera melanjutkan
perjalanannya. *** Tepat pada hari yang ditentukan Raja Iblis dari Utara, Lembah Biru telah
dipenuhi tokoh-tokoh rimba
persilatan dari berbagai aliran. Bahkan ada beberapa dl antara mereka yang memasang tendatenda darurat. Di tengah hamparan padang rumput yang cukup luas, tampak seorang pemuda tampan
berpakaian serba putih tengah duduk
bersila. Rambutnya yang panjang,
dibiarkan berkibaran tertiup angin sore.
Kedua matanya terpejam rapat. Sepertinya ia tengah bersemadi.
Pemuda tampan itu tak lain adalah
Panji atau lebih terkenal berjuluk
Pendekar Naga Putih yang tengah menanti kehadiran Raja Iblis dari Utara. Pemuda
itu telah datang lebih awal dari
lawannya. Tekadnya sudah bulat untuk menghadapi pertarungan mati-matian demi
menegakkan kebenaran.
Beberapa belas tombak di belakang
Pendekar Naga Putih, tampak Ranjalu dan dua orang adik seperguruannya tengah
memperhatikan pendekar muda itu. Tiga tokoh persilatan itu duduk di dahan pohon
yang cukup besar. Lima tombak di samping kiri mereka, tampak Bandawa dan empat
orang adik seperguruannya.
Selain kedelapan orang tokoh
persilatan itu, masih terdapat puluhan tokoh persilatan lainnya. Rupanya tokohtokoh golongan putih itu sengaja
mengambil tempat di belakang Panji.
Sepertinya tokoh-tokoh itu siap membantu pendekar muda itu apabila lawan bermain
curang. Sedangkan belasan tombak di depan
Pendekar Naga Putih, tampak para tokoh golongan sesat. Puluhan tokoh sesat itu
pun bergerombol memperhatikan Pendekar
Naga Putih yang tengah bersemadi.
Setelah beberapa saat lamanya para
tokoh persilatan itu menanti dengan penuh ketegangan, tiba-tiba terdengar suara
tawa yang menggema ke seluruh lembah.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa yang berkepanjangan dan
mengandung tenaga dalam yang sangat tinggi itu, terus bergema hingga
menimbulkan ketegangan di hati para tokoh rimba persilatan yang berkumpul di
tempat itu. Sehingga untuk beberapa saat lamanya keadaan di sekitar Lembah Biru
terasa mencekam.
Belum lagi gema suara tawa itu
lenyap, tampak sesosok tubuh tinggi besar berkelebat diiringi hawa dingin
menusuk. Tokoh tinggi besar itu berhenti agak jauh dari tempat Panji bersemadi. Sengaja


Pendekar Naga Putih 07 Raja Iblis Dari Utara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dijejakkan kakinya kuat-kuat hingga menimbulkan getaran yang membuat tanah di
sekitarnya bagai dilanda gempa.
"Raja Iblis dari Utara...!" beberapa tokoh golongan putih di belakang Panji,
berbisik gentar. Wajah mereka mendadak pucat.
Cepat-cepat mereka mengerahkan
tenaga dalam untuk meredam isi dada yang terguncang akibat hentakan kaki Raja
Iblis dari Utara itu.
Hal yang sama juga dialami para tokoh golongan sesat. Namun tak lama kemudian
wajah mereka berubah berseri-seri
menyambut kehadiran datuk mereka.
Lain halnya dengan Panji. Begitu
didengarnya suara tawa iblis itu,
tubuhnya segera melompat bangkit. Dengan sedikit mengerahkan tenaga sakti, ia
tidak terpengaruh oleh pertunjukan tenaga dalam si Raja Iblis dari Utara tadi.
"Ha ha ha..., rupanya kau sudah datang lebih dulu dariku, Pendekar Naga Putih!"
ujar Raja Iblis dari Utara seraya bergelak.
"Hm...," Panji hanya bergumam tak jelas. Sama sekali tidak ditanggapi ucapan
calon lawannya. Hanya sepasang matanya saja yang mencorong tajam menatap lekat
wajah kakek iblis itu.
Raja Iblis dari Utara kembali
bergelak. Sama sekali tidak dipedulikan, apakah ucapannya dijawab
atau tidak. Tanpa mempedulikan Pendekar Naga Putih yang berdiri beberapa tombak di
hadapannya, diedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu.
"Ha ha ha..., sudah banyak juga tokoh-tokoh yang hadir di tempat ini.
Rupanya mereka tertarik ingin menyaksikan bagaimana pendekar yang mereka
banggakan jatuh di bawah telapak kaki Raja Iblis dari Utara," ujar Reksa Pati,
sengaja mengerahkan tenaga dalam agar suaranya dapat didengar oleh semua yang
hadir di situ. "Hm..., Raja Iblis dari Utara! Apakah kedatanganmu kemari hanya untuk
berkhotbah!" Panji yang sudah merasa tak sabar itu menegur lawannya.
"Sabarlah, Pendekar Naga Putih. Hari ini kematian pasti akan segera
menjemputmu. Nikmatilah dulu keindahan Lembah Biru ini, agar kau dapat lebih
tenang apabila harus meninggalkannya
nanti," sahut Raja Iblis dari Utara yang sama sekali tidak terpengaruh ejekan
pemuda itu. "Hm..., kalau kau memang sudah tak sabar, tak apalah! Hayo kita
mulai!" "Baiklah! Lihat serangan...!" seru Panji yang segera melesat, melancarkan sebuah
serangan yang menimbulkan suara mencicit tajam. Angin dingin berhembus keras
hingga terasa sampai ke tulang sum-sum.
Wut! "Hm...!"
Raja Iblis dari Utara mendengus kasar seraya memiringkan tubuhnya ke kiri hingga
serangan Panji luput.
Begitu serangan Pendekar Naga Putih itu lewat, secepat kilat kakinya mencelat
menghantam lambung lawannya.
Wuttt! Dukkk! "Uhhh...!"
Keduanya terjajar mundur hingga
beberapa tombak ke belakang. Panji
meringis menahan sakit pada lengannya.
Meskipun berhasil ditangkisnya tendangan lawan, namun tulang lengannya terasa
nyeri dan linu. Cepat-cepat dikempos seluruh tenaga saktinya untuk mengurangi
rasa sakit di lengannya.
Sedangkan Raja Iblis dari Utara,
meskipun sempat terjajar mundur akibat tangkisan lawannya, namun dia sama sekali
tidak menderita rasa nyeri. Dari sini sudah dapat disimpulkan kalau tenaga dalam
Reksa Pati masih lebih unggul dibanding Pendekar Naga Putih. Pantaslah kalau
Raja Iblis dari Utara itu merasa yakin dapat menundukkan lawannya.
"Ha ha ha..., bersiaplah, Pendekar Naga Putih! Sebentar lagi malaikat maut
datang menjemputmu!" ejek Raja Iblis dari Utara sombong.
Panji sama sekali tidak mempedulikan ucapan lawannya. Pemuda itu bergegas
mempersiapkan ilmu 'Naga Sakti'nya.
Selapis kabut bersinar putih keperakan berpendar-pendar mengelilingi sekujur
tubuhnya. Angin dingin semakin keras menyebar hingga beberapa tombak di
sekitar arena pertarungan.
Saat itu Raja Iblis dari Utara sudah melesat sambil melancarkan ilmu pukulan
'Perogoh Sukma'. Kedua tangannya
berputaran hingga menimbulkan deruan
angin keras. Sepasang tangannya terus diputar-putar hingga terlihat menjadi
berpuluh-puluh pasang banyaknya.
Wut! Wut! Dua buah pukulan yang dilontarkan
Raja Iblis dari Utara luput! Orang lain boleh tertipu pandangannya oleh
kecepatan tangan kakek tinggi besar itu. Tapi tidak bagi Panji! Matanya yang
telah terlatih baik, mampu membedakan mana tangan yang asli dan mana yang hanya
tipuan. Reksa Pati cepat menarik pulang kedua lengannya. Tapi sebelum sempat membangun
serangan kembali, tangan kanan Panji yang membentuk cakar naga sudah terulur ke
wajahnya. Serangkum angin dingin lebih dulu menyambar. Reksa Pati merasakan
wajahnya bagai dibenamkan dalam timbunan salju.
Namun, Raja Iblis dari Utara bukanlah tokoh kemarin sore. Hawa dingin yang dapat
membekukan wajahnya itu seketika buyar hanya dengan memperdengarkan
tawanya yang didorong oleh tenaga dalam.
Pada saat cakar naga Panji tiba, Reksa Pati hanya memiringkan kepalanya sedikit.
Serangan pemuda itu hanya mengenai tempat kosong. Tapi hal itu bukan berarti
ancaman bagi Reksa Pati telah lewat!
Karena pada saat itu juga tangan kiri Panji sudah datang menyusul. Raja Iblis
dari Utara terpaksa menggerakkan
tangannya menangkis.
Dukkk! "Ahhh...!"
Terdengar suara keras bagaikan dua
batang besi yang dibenturkan. Tubuh keduanya terdorong ke belakang diiringi
seruan tertahan. Cepat-cepat Panji
melempar tubuhnya ke belakang sambil bersalto beberapa kali untuk meredam daya
dorong yang kuat itu. Kedua kaki pemuda itu mendarat manis di
atas rumput. Meskipun tidak sampai terjatuh, namun tak urung isi dadanya terguncang. Dari
sela-sela bibir pemuda itu, mengalir darah segar.
Demikian pula halnya dengan Reksa
Pati. Tubuhnya yang tinggi besar itu terdorong limbung hingga beberapa tombak.
Namun kakek iblis itu cepat menghentakkan kakinya ke tanah hingga daya dorong
itu terhenti seketika. Wajah Raja Iblis dari Utara berkerut menahan rasa sakit
pada lengannya. Terlihat sinar berkilat di kedua matanya. Sepasang mata itu
menatap wajah lawannya penuh nafsu membunuh!
"Grrr...!" Raja Iblis dari Utara menggeram murka. Rupanya benturan itu juga
telah mengguncang bagian dalam dadanya. Hawa dingin yang merasuk ke dalam
tubuhnya telah membangkitkan
kemarahan di hatinya. Tiba-tiba kedua tangannya digerakkan membuka dan menutup
di depan dada. Sesaat kemudian, angin yang berhawa panas mulai menyebar di
sekitar arena pertarungan. Itulah ilmu
'Telapak Lidah Api' yang mulai dimainkan kakek iblis itu.
"Hiaaat...!"
Dibarengi teriakan yang mengguntur, Reksa Pati
kembali melangkah maju.
Sepasang tangannya meluncur dengan jari-jari terbuka. Telapak tangan yang
kemerahan bagaikan bara itu meluncur ke arah Panji. Serangkum angin panas
berhembus mengiringi pukulan yang
dilancarkannya.
Pertarungan pun kembali berlangsung sengit! Hawa panas dan hawa dingin
memenuhi sekitar arena pertarungan silih berganti. Kedua tokoh sakti itu saling
serang dengan dahsyatnya. Arena
pertarungan menjadi porak-poranda
bagaikan dilanda badai yang hebat!
Wusss! Blarrr! Krrrakkkh! Sebatang pohon sepelukan orang dewasa tumbang menimbulkan suara berderak hebat.
Pukulan jarak jauh yang dilontarkan Panji rupanya dapat dihindari Reksa Pati
hingga menghantam pohon yang berada tiga tombak di belakang tokoh sesat itu.
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara mendengus
kasar. Sepasang tangannya bergerak
melontarkan pukulan 'Telapak Lidah Api'.
Panji meliukkan tubuhnya ke kiri seraya merendahkan kuda-kudanya. Serangkum
angin panas lewat di sampingnya.
Blarrr! "Aaakh...!"
Tiga orang tokoh persilatan yang
berada lima tombak di belakang Panji menjerit memilukan. Tubuh mereka
terpental diterjang pukulan nyasar itu.
Tiga orang tokoh yang bernasib sial itu tewas seketika dengan dada hangus!
Belasan orang tokoh persilatan
golongan putih yang semula maju mendekat, serentak berlari mundur. Kematian tiga
orang yang bernasib malang itu seolah-olah memperingatkan kalau pertarungan itu
sangat berbahaya bagi keselamatan mereka.
Lengah sedikit saja bisa mengakibatkan nyawa mereka melayang.
"Keparat..!" maki Panji gusar.
Kematian tiga orang yang terkena pukulan nyasar itu membuat hatinya terbakar.
Kemarahan semakin memenuhi rongga
dadanya. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, Panji meluncur deras ke
arah Raja Iblis dari Utara. Jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' kini mulai
dimainkannya. "Hm...!"
Raja Iblis dari Utara mendengus
melihat sepasang cakar naga Panji
berputar mengancamnya. Pada saat sepasang cakar itu terulur ke dadanya, Reksa
Pati mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka. Raja Iblis dari
Utara mengerahkan tiga perempat tenaga saktinya memapak serangan pemuda itu.
Dan.... Blarrr! "Aaakh...!"
Hebat sekali akibat benturan yang
maha dahsyat itu! Tanah di sekitar tempat itu bergetar bagai dilanda gempa!
Akibat benturan dua gelombang tenaga sakti itu, tubuh Panji terpental bagai
sehelai daun kering yang diterbangkan angin.
Kraaakkk! Tubuh Panji yang meluncur deras,
menghantam sebatang pohon besar hingga tumbang! Tubuh pemuda itu terbanting
keras ke tanah hingga menimbulkan suara berdebuk.
"Huakkk...!"
Segumpal darah kental menyembur dari mulut Panji. Wajahnya pucat bagai mayat!
Sepasang tangannya menekap dada yang terasa nyeri laksana ditusuk ribuan jarum.
Rupanya benturan yang maha dahsyat itu telah mengakibatkan luka dalam di
dadanya. Sedangkan tubuh Raja Iblis dari Utara terlempar ke belakang sejauh empat
tombak. Cepat kakek tinggi besar itu melenting bangkit. Benturan hebat itu
tidak membuatnya terluka sedikit pun!
'Tenaga Inti Api' yang dikerahkan Raja Iblis dari Utara rupanya telah melindungi
seluruh tubuhnya. Hanya saja napasnya agak sedikit memburu.
"Ha ha ha..., hanya begitu sajakah kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
yang terkenal itu" Hayo, Pendekar Naga Putih! Bangkitlah! Jangan hanya duduk
seperti kakek-kakek jompo begitu!" Raja Iblis dari Utara tertawa mengejek Panji
yang masih terduduk lemah. Pelahan-lahan dilangkahkan kakinya menghampiri Panji
yang masih belum mampu berdiri.
Baru saja Raja Iblis dari Utara
melangkah sejauh delapan tindak, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan yang
disusul berkelebatnya sosok bayangan ramping yang langsung menyerangnya.
"Kakek iblis, rasakan tajamnya pedangku!" bentak sosok ramping itu marah.
"Hm..., pergilah!" bentak Reksa Pati sambil menggerakkan tangannya ke
belakang. Tahu-tahu sepasang kecer
bergerigi sudah tergenggam di tangannya.
Secepat diambilnya senjata itu, secepat itu pula digerakkan senjatanya menangkis
serangan orang itu.
Trang! "Ihhh...!"
8 Sosok ramping itu terdorong ke
belakang diiringi seruan kaget. Seruannya begitu nyaring dan merdu. Menilik dari
suaranya, sosok itu pastilah seorang wanita. Kini sosok ramping itu tersungkur
tidak jauh dari tempat Panji.
"Adik Kenanga...!" Panji berseru parau menyebut nama sosok yang terpisah hanya
dua tombak di samping kirinya. Rasa gembira dan cemas terbayang di wajahnya yang
pucat itu. Dengan susah payah Panji berusaha bangkit mendekati kekasihnya.
Sosok ramping tadi memang Kenanga. Ia yang ikut menyaksikan pertarungan itu
bergegas menyeruak di antara kerumunan tokoh-tokoh persilatan ketika melihat
tubuh Panji terduduk lemah. Tanpa
mempedulikan keselamatan dirinya sendiri, gadis itu langsung menyerang Raja
Iblis dari Utara yang tengah menghampiri Panji.
Kenanga menoleh ketika mendengar
panggilan Panji. Namun sinar matanya terlihat dingin dan tak berperasaan.
Rupanya gadis itu masih marah kepada pendekar muda itu (Baca serial Pendekar
Naga Putih dalam episode "Jari Maut Pencabut Nyawa").
Panji semakin terharu ketika melihat cairan merah mengalir dari sela-sela
bibir wanita yang dicintainya. Meskipun sinar mata Kenanga terlihat dingin,
namun Panji tahu kalau gadis itu masih
mencintainya. Kalau tidak, mengapa dia menolongnya.
Kedatangan kekasihnya
membangkitkan semangat Panji. Kini
Pendekar Naga Putih itu sudah berdiri sambil mencabut pedang yang melilit di
pinggangnya. Tanpa mempedulikan lukanya, dipalingkan wajahnya ke arah Raja Iblis
dari Utara. Saat itu Kenanga pun sudah bangkit
berdiri. Pedang hitamnya dilintangkan di depan dada. Sesekali terlihat seringai
di bibirnya. "Adik Kenanga, kau menyingkirlah!
Biar kuhadapi kakek iblis itu. Bukan aku tidak menghargai bantuanmu, Adik
Kenanga. Tapi aku tidak ingin dikatakan sebagai pengecut yang berlindung kepada seorang
wanita," pinta Panji lembut sambil menatap wajah kekasihnya penuh permo-honan.
Memaklumi ucapan Panji yang mengandung kebenaran itu, Kenanga bergegas mundur meskipun dengan hati berat.
Sekilas terlintas sinar kehangatan pada sepasang matanya ketika beradu pandang
dengan mata Panji.
Setelah Kenanga mundur, Panji
menggerakkan pedangnya hingga menimbulkan angin berkesiutan. Dengan jurus 'Naga
Api Meluruk ke Dalam Bumi', tubuh pemuda itu berputar terselimut gulungan sinar
pedang yang menyilaukan mata.
Raja Iblis dari Utara tertawa
tergelak seraya melesat menyambut
serangan Pendekar Naga Putih. Pertempuran pun kembali berlangsung sengit! Saat
itu malam telah menjelang. Para tokoh
persilatan yang menyaksikan pertarungan telah menyalakan puluhan batang obor.
Suasana lembah yang seharusnya gelap, kali ini menjadi terang benderang.
Pada jurus yang keempat puluh tujuh, Reksa Pati memperhebat serangannya.


Pendekar Naga Putih 07 Raja Iblis Dari Utara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepasang kecer bergeriginya berkelebatan di sekeliling tubuh lawannya. Panji
mulai terdesak hebat sehingga tidak mempunyai peluang lagi untuk balas
menyerang. Bret! Bret! "Aaakh...!"
Tepat memasuki jurus keempat puluh
delapan, Panji tak sempat lagi
menghindari dua buah sambaran kecer bergerigi lawan. Tubuh pemuda itu
terjajar mundur sejauh dua tombak. Pada bagian dada dan perutnya tampak luka
memanjang yang mengalirkan darah segar.
Untunglah lukanya tidak terlalu dalam.
Rupanya Panji masih sempat memiringkan tubuhnya sehingga serangan lawan tidak
terlalu telak mengenai tubuhnya.
Raja Iblis dari Utara tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi tubuh lawannya terhuyung, di-kirimkannya
sebuah tendangan ke dada pemuda itu.
Dan.... Bret! Bret! "Aaakh...!" Tepat memasuki jurus keempat puluh delapan, Panji tak sempat lagi
menghindari dua buah sambaran kecer Raja Iblis dari Utara. Pada bagian dada dan
perutnya tampak luka memanjang yang mengalirkan darah segar!
Desss! "Huakkk...!"
Tubuh Panji terlempar keras ke
belakang. Telapak kaki Reksa Pati yang besar dan mengandung tenaga dalam yang
amat kuat, telak menghantam dadanya.
Darah segar menyembur membasahi tanah berumput maupun pakaiannya. Pendekar Naga
Putih itu merintih menahan rasa sakit dan panas yang membakar dadanya. Lapisan
kabut putih keperakan yang selalu
menyelimuti tubuhnya, kini lenyap akibat luka-luka yang dideritanya.
"Kakang...!" Kenanga berlari menubruk tubuh Panji yang tengah berusaha duduk.
Dipeluknya pemuda yang dicintainya itu.
Kemarahan yang selama ini menguasai hatinya, luluh seketika melihat
kekasihnya berada dalam keadaan sekarat.
Dengan wajah bersimbah air mata, gadis jelita itu membelai-belai wajah
kekasihnya yang pucat bagai mayat.
"Ha ha ha.... Pendekar Naga Putih, apakah pada saat menjelang kematianmu kau
ingin berlindung di balik kehangatan tubuh seorang gadis?" Raja Iblis dari Utara
tertawa mengejek.
"Adik Kenanga. Kau... kau pergilah!
Pertarungan ini belum selesai. Aku... aku harus menepati janjiku untuk bertarung
melawan kakek iblis itu sampai salah seorang di antara kami tewas!" ujar Panji
tersendat. "Tidak, Kakang! Aku tidak peduli dengan anggapan tokoh-tokoh persilatan yang
mungkin akan mengejekmu. Aku akan tetap bersamamu hidup atau mati!" Kenanga
membantah keras. Sambil berkata demikian, gadis itu mencabut pedang hitamnya,
siap melindungi kekasihnya walau menghadapi raja maut sekali pun!
"Ha ha ha..., lihatlah! Seekor kijang muda yang mulus mencoba menggertak sang
harimau untuk melindungi pasangannya,"
seru Raja Iblis dari Utara sambil
mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Selintas terlihat sinar kebuasan dari sepasang matanya. Setelah berkata
demikian, dilangkahkan kakinya menghampiri sepasang kekasih yang siap menanti
maut itu. "Lihat pedang! Haiiit...!" teriak Kenanga melengking. Begitu si Raja Iblis dari
Utara semakin mendekat, gadis itu langsung menerjang. Pedang hitamnya menderu
tajam diiringi hawa maut.
Raja Iblis dari Utara yang sudah
menyimpan senjatanya, hanya tertawa bergelak melihat serangan Kenanga. Kakek
tinggi besar itu merendahkan kuda-kudanya sedikit disertai egosan tubuhnya.
Ketika pedang hitam itu lewat di atas kepalanya, tangan kanannya sudah terulur
menjambret bagian dada gadis itu.
Tentu saja Kenanga tidak sudi dadanya disentuh tangan kakek iblis itu. Cepat ia
melompat mundur sambil melepaskan sebuah tendangan ke arah lawan.
Buk! "Ihhh...!"
Tendangan Kenanga memang tepat
mengenai sasaran. Tapi alangkah terkejutnya gadis itu ketika merasakan telapak
kakinya bagai menghantam lempengan baja yang panas dan sangat kuat. Ternyata
bukan kakek itu yang terlempar, malah sebaliknya ia sendiri yang terdorong
hingga beberapa tombak jauhnya. Wajah gadis itu meringis menahan rasa nyeri dan
panas pada telapak kakinya.
Belum lagi Kenanga sempat memperbaiki kuda-kudanya, tahu-tahu tangan lawannya
sudah terulur ke arahnya. Dengan wajah pucat, gadis itu melempar tubuhnya ke
samping. Namun alangkah terkejutnya hati Kenanga ketika ia bangkit ternyata
tangan lawan sudah berada di depannya. Maka....
Bret! Bret! "Auw...!"
Kenanga yang tak sempat menghindar, menjerit tertahan ketika tahu-tahu saja
tangan kakek tinggi besar itu telah merobek baju bagian atasnya. Maka,
tampaklah sebagian kulit punggung dan dada yang putih mulus.
"Ha ha ha..., Pendekar Naga Putih.
Sebentar lagi kau akan menyaksikan betapa mulusnya tubuh bidadarimu ini," Raja
Iblis dari Utara bergelak bengis. Sepasang matanya menyorot liar ke arah tubuh
yang terbuka sebagian itu.
"Keparat kau, Raja Iblis dari Utara!
Lepaskan dia! Mari kita bertarung sampai seribu jurus!" Panji berteriak-teriak
parau. Pemuda itu mencoba bangkit dengan berpegangan pada sebuah batang pohon.
Namun kondisi tubuhnya memang sudah terlalu lemah. Setiap kali berusaha untuk
bangkit, setiap kali pula ia terjatuh kembali. Darah segar kembali menetes dari
sela-sela bibirnya. Panji menggigit bibirnya kuat-kuat karena tak sanggup
membayangkan penderitaan yang akan
dialami kekasihnya.
Saat itu Raja Iblis dari Utara sudah melompat kembali ke arah Kenanga.
Tangannya terulur ke arah gadis yang tengah sibuk menutupi bagian-bagian
tubuhnya yang terbuka. Kenanga memandang dengan penuh kengerian melihat kebuasan
yang terpancar dari sepasang mata kakek iblis itu.
Bret! Bret! "Aaauwww...!"
Kembali terdengar bunyi kain sobek
dan jerit kengerian. Kedua tangan Kenanga semakin sibuk menutupi tubuh bagian
atasnya yang sudah tidak terlindung lagi.
Kulit tubuhnya yang putih dan halus semakin membuat biji mata Reksa Pati hampir
keluar. Air liurnya menetes dari sela-sela bibirnya. Kakek itu benar-benar mirip
seekor binatang buas yang tengah kelaparan.
"Oh, jangan...! Jangaaan...!" Kenanga merintih lemah sambil mendekap dadanya
yang sudah tidak tertutup. Air mata mengalir membasahi pipinya yang halus.
Para tokoh-tokoh sesat tertawa
bergelak melihat pertunjukan yang
dianggap sangat menyenangkan itu. Sinar mata mereka menyorot penuh nafsu begitu
melihat tubuh indah yang terpampang di hadapannya.
"Keparat keji!" maki salah seorang dari kelompok tokoh golongan putih yang
berada di belakang Panji. Selesai berkata demikian, orang itu segera menerjang
Raja Iblis dari Utara sambil menyabetkan senjatanya. Perbuatan orang itu diikuti
pula oleh tiga orang lainnya.
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara berpaling
gusar! Secepat kilat tubuhnya berbalik menghadap para penyerang itu. Sepasang
tangannya segera didorongkan ke depan mengerahkan pukulan 'Telapak Lidah Api'.
Dan.... Darrr! "Aaa...!"
Pukulan maut yang dilancarkan Reksa Pati tepat mengenai keempat orang yang
tengah melompat ke arahnya. Tak pelak lagi, tubuh keempat orang itu pun
terpental diiringi jerit kematian yang menyayat. Mereka tewas seketika dengan
tubuh hangus. Menyaksikan kejadian itu, para tokoh lainnya bergerak mundur.. Kemurkaan Raja
Iblis dari Utara benar-benar telah
membuat hati mereka gentar. Kini tidak ada seorang pun yang berani mengikuti
jejak keempat tokoh yang bernasib malang itu.
Saat itu Panji yang menyaksikan
kekasihnya dihina di depan orang banyak, meraung keras. Kesedihan, kemarahan,
dan rasa penasaran berbaur menjadi satu. Rasa tak berdaya melihat orang yang
dicintainya tengah mengalami penderitaan yang lebih mengerikan daripada mati itu
benar-benar menyiksanya.
"Ha ha ha..., Pendekar Naga Putih!
Sebagai balasan atas arwah-arwah tiga orang muridku yang kau bunuh itu, maka
malam ini juga aku akan memberikan
tontonan yang sangat menarik untukmu,"
ujar Raja Iblis dari Utara sambil
melangkah mendekati Kenanga yang sudah setengah telanjang.
"Raja Iblis dari Utara! Mengapa tidak kau bunuh saja aku! Hei, kakek pengecut!
Kakek iblis! Hayo, bunuhlah aku! Jangan kau bawa-bawa gadis yang tak berdosa
itu!" Panji berteriak-teriak serak. Tidak dipedulikan lagi rasa sakit pada
kerongkongannya akibat teriakan itu.
"Ha ha ha...!" Raja Iblis dari Utara hanya tertawa tanpa mempedulikan teriakan
Panji. Terus saja dilangkahkan kakinya menghampiri Kenanga yang memandangnya
dengan wajah pucat.
Kenanga tak mampu lagi mengelak
ketika kakek tinggi besar itu
menubruknya. Gadis itu hanya bisa
menangis dan menjerit-jerit ketika kakek itu mulai merobek baju bagian bawahnya
sambil menciumi penuh kebuasan.
"Jangaaan...! Biadaaab...!" Panji berteriak-teriak sambil meremas-remas
rerumputan. Wajahnya menyeringai menahan rasa sakit yang menusuk hatinya.
Mendadak alam yang semula cerah
berubah gelap pekat! Angin dingin bertiup keras hingga membuat pepohonan di
tempat itu berderak-derak hendak roboh. Api-api obor yang semula menerangi
tempat itu langsung padam tertiup angin berhawa dingin.
Panji menengadahkan kepalanya ke atas memandang perubahan alam yang begitu tibatiba. Satu keanehan pun dialaminya!
Mula-mula sekujur tubuh pemuda itu
bergetar hebat! Pendekar Naga Putih itu
terbelalak ngeri ketika merasakan suatu tenaga dahsyat menerobos masuk ke dalam
tubuhnya. Hawa yang maha dahsyat itu terus bergolak dan menyatu dengan pusat
tenaga saktinya. Makin lama dirasakan tubuhnya semakin membengkak bagaikan
sebuah balon yang ditiup.
Pendekar Naga Putih semakin terbelalak ngeri. Dirasakan kerongkongannya bagaikan tersumbat oleh aliran hawa
mukjizat itu. "Heeeaaa...!!"
Tanpa sadar pemuda itu meraung
dahsyat! Dan, akibatnya sungguh
mengerikan sekali! Belasan tokoh persilatan yang berilmu pas-pasan terbanting
roboh dan tewas seketika! Dari mulut, hidung, dan telinga mereka mengalir darah
segar! Belasan tokoh lain yang memiliki
tenaga dalam lumayan tersentak mundur dengan wajah pucat! Mereka sama sekali
tidak menyangka kalau Pendekar Naga Putih bisa berbuat demikian. Para tokoh itu
hanya saling berpandangan tak mengerti.
Raja Iblis dari Utara pun terkejut
menyaksikan perubahan alam yang mendadak.
Perasaan terkejutnya semakin bertambah ketika melihat Pendekar Naga Putih yang
semula terduduk lemah itu, mendadak bangkit dengan tubuh bergetar, sepasang mata
Panji yang memerah saga itu
menyipit. Wajahnya terlihat begitu
menakutkan. Urat-urat wajahnya
bertonjolan keluar bagaikan hendak pecah!
"Gerhana bulan..."!" desis kakek iblis itu bercampur heran. Tapi sebagai tokoh
sakti yang telah berpengalaman, ia pun dapat mengerti apa sebenarnya yang tengah
dialami pemuda itu.
Munculnya gerhana bulan itulah
rupanya yang telah membuat Panji bangkit.
Inti kekuatan alam yang berada pada gerhana bulan telah merasuk ke dalam
tubuhnya. Kekuatan alam tadi telah
menyebabkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
yang dimilikinya menjadi berlipat ganda!
Bahkan melewati takaran!
Panji semakin ngeri ketika merasakan seluruh anggota tubuhnya bergerak-gerak
sendiri. Kedua kakinya terasa ringan bagaikan tidak menyentuh tanah. Rupanya
pemuda itu masih belum sadar kalau inti kekuatan gerhana bulan telah merasuki
tubuhnya. Sepasang mata Panji yang semerah
saga, tiba-tiba tertuju pada wajah brewok yang bertotol-totol hitam. Wajah Raja
Iblis dari Utara! Sejenak pemuda sakti ini
terlupa akan keadaan dirinya.
Kebencian dan kemurkaan menggelegak dalam dadanya. Tanpa disadari didorongkan
sepasang lengannya ke arah Raja Iblis dari Utara. Dan....
Blarrr! "Aaah...!"
Luar biasa sekali akibat dorongan
sepasang telapak tangan pemuda itu. Tanah di sekitar Lembah Biru bagaikan
digoncang oleh gempa yang dahsyat! Untunglah Raja Iblis dari Utara sempat
menghindar. Sehingga tanah bekas raja iblis itu berpijak, berlubang besar terhantam tenaga
yang terlontar dari sepasang tangan pemuda itu.
"Gila...!" pekik Raja Iblis dari Utara dengan wajah pucat Kakek tinggi besar itu
menggigit bibirnya.
Keberaniannya terbang ketika melihat akibat yang ditimbulkan pukulan Panji.
Kenanga pun merasa ngeri melihat
keadaan kekasihnya saat itu. Masih belum dimengerti, apa yang sebenarnya terjadi
pada diri Panji. Hatinya menjadi cemas.
Cepat gadis itu bersembunyi di balik sebatang pohon besar ketika melihat akibat
yang ditimbulkan pukulan kekasihnya itu. Firasatnya mengatakan kalau saat itu
Panji tengah dalam keadaan separuh sadar, sehingga bisa jadi pemuda itu tidak
mengenali dirinya.
"Heaaat...!"
Pendekar Naga Putih kembali berteriak mengguntur sambil mendorongkan kedua
telapak tangannya ke arah Raja Iblis dari Utara yang sudah mencabut sepasang
kecernya. Kakek iblis itu membentur-benturkan sepasang kecernya untuk
membuyarkan pengaruh teriakan yang menggelegar menyakitkan telinga. Namun
usahanya sia-sia. Tubuhnya terhuyung-huyung karena kekuatan teriakan yang
dikeluarkan Panji benar-benar luar biasa sekali. Kekuatan tenaga sakti Raja
Iblis dari Utara yang selama ini tidak ada tandingannya,
menjadi tidak ada artinya bila
dibandingkan kekuatan Panji saat ini.
Blarrr! "Uhhh...!"
Kraaakh...! Empat batang pohon sebesar dua
pelukan orang dewasa berderak roboh akibat hantaman Panji yang tidak mengenai
sasaran. Wajah Raja Iblis dari Utara semakin memucat. Kegentaran mulai
menguasai hatinya. Disadari kalau dirinya tidak akan mampu menandingi kekuatan
pemuda itu saat ini. Sepasang matanya mulai berkeliling mencari-cari jalan
keluar untuk melarikan diri.
"Yeaaa...!"
Wusss! Raja Iblis dari Utara kembali
melompat menghindari serangan Pendekar Naga Putih yang tidak mungkin dapat


Pendekar Naga Putih 07 Raja Iblis Dari Utara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dihalaunya. Pukulan bertenaga dahsyat itu kembali mengenai tempat kosong.
Namun selagi tubuh kakek iblis itu
melayang di udara, Panji sudah mulai dapat meraba apa yang tengah terjadi pada
dirinya. Kembali didorongkan telapak tangan kanannya ke arah kakek tinggi besar
itu. Desss! "Aaa...!"
Raja Iblis dari Utara terlempar deras bagai sehelai laun kering. Tubuhnya terus
menabrak dua batang pohon hingga tumbang seketika! Kakek iblis itu menjerit
menyayat. Darah segar menyembur deras dari mulutnya. Setelah berkelojotan
sesaat, tubuh kakek tinggi besar itu pun diam tak bergerak-gerak lagi. Raja
Iblis dari Utara tewas seketika dengan tulang dada remuk.
Meskipun lawannya telah tewas, namun Panji masih terus mengumbar pukulannya.
Tenaga sakti yang terus bergolak dalam tubuhnya masih belum dapat dikendalikan.
Para tokoh persilatan, baik golongan putih maupun hitam bergegas meninggalkan
tempat itu. Mereka tidak ingin menjadi sasaran pukulan maut yang dapat
mengantarkan mereka ke akherat! Daerah sekitar Lembah Biru itu pun seketika
menjadi porak-poranda bagaikan dilanda badai yang dahsyat!
"Hhh..., hhh...," setelah tenaganya terkuras habis, Panji jatuh berlutut di atas
rerumputan. Aliran tenaga sakti luar
biasa itu telah terhenti karena gerhana bulan telah lama usai. Peluh yang telah
bercampur darah, membasahi sekujur tubuh pemuda itu.
Tubuh Panji bergetar hebat karena
tiba-tiba saja hawa yang sangat dingin bergolak hebat dari bawah pusarnya.
Pemuda itu menggigil kedinginan. Giginya bergemeletuk menahankan rasa dingin
yang hebat. "Kakang Panji...!" tiba-tiba terdengar suara merdu memanggil namanya.
Kenanga berlari memburu tubuh kekasihnya yang masih berlutut di atas rerumputan.
Gadis yang kini telah berpakaian lengkap itu menubruk dan memeluk kekasihnya
penuh kecemasan. "Kakang, kenapa tubuhmu begini dingin?" tanya Kenanga cemas.
"Adik Kenanga..., aku..... Aku..., aaahhh...," Panji terkulai pingsan dalam
pelukan kekasihnya. Rupanya serangan hawa dingin akibat tenaga sakti yang
melewati takaran itu tak sanggup ditahannya.
"Ah, Kakang... kasihan sekali
kau...," rintih gadis itu terisak.
"Mudah-mudahan Eyang Wiku Ginting dapat menolongmu," ujar gadis itu lirih. Tanpa
banyak cakap lagi, Kenanga memondong tubuh pemuda pujaannya itu, dan bergegas
meninggalkan Lembah Biru.
Apakah yang akan terjadi pada diri
Pendekar Naga Putih" Dan siapa pula Eyang
Wiku Ginting yang disebut-sebut Kenanga"
Untuk mengetahui jawabannya, ikutilah kisah Pendekar Naga Putih selanjutnya
dalam episode "Penjagal Alam Akherat".
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Kemelut Di Majapahit 8 Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H Jago Jago Rogo Jembangan 2

Cari Blog Ini