Ceritasilat Novel Online

Serigala Siluman 1

Pendekar Naga Putih 17 Serigala Siluman Bagian 1


Ebook by syauqy_arr
cer 1 Kotaraja Batu Jajar yang biasanya ramai, kini semakin bertambah ramai. Ini
terjadi sejak adanya pengumuman kalau Raja Agung Kandi Lajang membuka kesempatan
bagi para tokoh persilatan dan murid-murid perguruan terkemuka untuk menjadi
perwira kerajaan. Mereka berbondong-bondong mendatangi kotaraja, karena
kesempatan itu memang terbuka untuk umum. Jadi, tidak heran kalau hari itu
kotaraja tampak semakin ramai.
Tentu saja yang gembira pada saat-saat seperti itu adalah mereka-mereka yang
membuka usaha penginapan atau kedai makan. Dengan dibukanya kesempatan untuk
menjadi perwira kerajaan, berarti penginapan dan kedai makan sudah pasti akan
memperoleh keuntungan besar dan jauh lebih banyak dari biasanya.
"Silakan... silakan, Tuan-tuan...," sambut seorang pelayan kedai makan sambil
tak henti-hentinya mengumbar senyum.
Pelayan itu berdiri dekat pintu masuk. Bibirnya terus memasang senyum yang
menurutnya paling manis. Hal itu dilakukan untuk menarik pelanggan sebanyakbanyaknya. Para pelanggan yang tidak mendapat tempat di bawah, bisa di-tempatkan
di tingkat atas. Dan rumah makan yang dinding-dindingnya dari papan itu memang
menyediakan tempat dua tingkat.
"Wah! Rumah makanmu ramai sekali, Paman. Tentu kau akan untung besar hari ini,"
kata seorang pemuda tampan bertubuh sedang yang tahu-tahu sudah muncul di ambang
pintu kedai. Dia kemudian melenggang memasuki rumah makan itu.
Wajahnya yang halus dan putih dihiasi senyum manis dengan
sepasang mata berbinar. Pada bahu kanannya tampak sebuah buntalan pakaian. Dari
sini bisa ditebak kalau pemuda itu adalah seorang pendatang.
"Yah! Beginilah, Tuan Muda. Untunglah keramaian seperti ini hanya terjadi
setahun sekali. Kalau setiap hari, wah, bisa susah aku," sahut pelayan bertubuh
tinggi kurus itu sembari menyusut peluh dengan sehelai kain yang berbentuk
seperti saputangan. Kelihatan sekali kalau ia sangat kelelahan.
"Hei" Mengapa, Paman" Bukankah kalau ramai setiap hari kau akan cepat menjadi
kaya?" tanya pemuda berwajah tampan itu agak heran mendengar penuturan pelayan
itu. "Tentu saja, Tuan Muda. Kalau setiap hari ramai seperti ini, lalu kapan aku bisa
beristirahat dan berkumpul dengan anak istriku" Nah, bukankah itu susah
namanya?" jawab pelayan itu sambil terkekeh. Dipersilakannya pemuda tampan itu
untuk naik ke tingkat atas, karena ruangan bawah sudah tidak bisa menampung
pengunjung lagi.
Pemuda tampan itu tersenyum mendengar gurauan si pelayan bertubuh tinggi kurus
yang dikenal bernama Ki Diran.
Ia lalu melangkah menuju tempat yang ditunjukkan Ki Diran.
Langkahnya terlihat ringan menandakan kalau pemuda itu bukan orang lemah.
Mungkin ia seorang tokoh persilatan yang datang ke kotaraja untuk mengikuti atau
melihat-lihat pemilihan calon perwira kerajaan. Memang tidak sedikit di
antaranya yang hanya datang untuk menonton. Mereka adalah orang yang merasa
belum memiliki kepandaian cukup untuk mengikuti ujian itu.
Tidak lama setelah pemuda tampan itu duduk, datang seorang pemuda lain. Tubuhnya
lebih tinggi dan lebih tegap dari pemuda tampan itu. Dia mengenakan pakaian
berwarna biru cerah. Segera dihampiri kursi yang masih kosong, tempat pemuda
tampan tadi duduk menunggu pesanan.
"Bolehkah aku duduk di meja ini, Kisanak?" tegur pemuda
berpakaian biru cerah itu ramah dan sopan
"Oh, silakan," sahut pemuda tampan itu.
Setelah mempersilakan, diamatinya pemuda yang tengah menarik kursi itu, kemudian
kembali menunduk menekuri meja.
Pemuda berpakaian cerah itu segera memanggil pelayan anak buah Ki Diran. Pelayan
datang menghampiri dengan langkah terbungkuk-bungkuk penuh hormat. Lalu,
dipesannya beberapa makanan. Setelah pelayan itu pergi, pandangannya pun beralih
pada pemuda tampan yang telah lebih dulu duduk di situ. Diam-diam dikaguminya
juga wajah pemuda di hadapannya itu. Wajah yang halus dan tampan. Bahkan terlalu
tampan untuk wajah seorang pria. Hidungnya yang mancung dan bulu mata yang
lentik itu lebih tepat kalau untuk wanita.
"Hei, mengapa kau memandangiku begitu rupa" Apakah kau tidak mempunyai pekerjaan
lain?" ujar pemuda tampan itu setengah membentak. Mau tak mau beberapa orang
pengunjung menolehkan kepala dengan kening berkerut tak senang.
Pemuda berbaju biru cerah itu rupanya tak sadar kalau orang yang tengah
dinilainya telah mengangkat kepalanya.
Hingga perbuatannya tertangkap basah.
"Eh, oh..., maaf. Aku..., aku sedang melamun. Sama sekali aku tidak memandangimu
seperti yang kau sangka itu. Maaf kalau hal itu telah mengganggumu," ucap pemuda
berpakaian biru cerah itu tergagap.
Untunglah dia dapat berpikir cepat dan mengajukan alasan yang masuk akal,
sehingga tidak menjadi malu karenanya.
Si pemuda tampan hanya mendengus mendengar jawaban itu. Dia memang tidak bisa
berbuat apa-apa, karena pemuda berpakaian biru cerah itu terlihat seperti orang
yang tengah termenung. Jadi tidak ada alasan untuk marah-marah.
Kemudian kepalanya ditolehkan untuk melihat apakah
pesanannya sudah disiapkan.
"Hmh! Mengapa lama sekali mereka menyiapkan pesanan-ku?" keluh pemuda tampan
itu, lirih. Dia memang tengah berbicara pada dirinya sendiri.
"Sabarlah, Kisanak. Mungkin saat ini mereka tengah meng-antarkannya. Maklumlah
keadaan begini ramai. Jadi, jika terlambat sedikit, kita harus me-makluminya,"
sahut pemuda berpakaian biru cerah yang rupanya mendengar keluhan teman
semejanya itu. "Mmm... Kau pasti datang kemari karena tertarik dengan ujian
calon perwira itu, bukan" Bolehkah aku tahu namamu, Kisanak" Daripada kita duduk
melamun, bukankah ada baiknya kalau saling memperkenalkan diri?"
Pemuda tampan itu menatap kawan semejanya dalam-dalam. Ketika tidak melihat
adanya maksud-maksud tertentu di wajah orang itu, hatinya sedikit tenang.
"Jadi laki-laki jangan terlalu cerewet! Kalau ingin ber-kenalan, aku pun tidak
keberatan. Tapi kalau hendak bertanya, jangan nyerocos seperti itu! Bagaimana
aku bisa menjawabnya?"
dengus pemuda tampan itu. Meskipun demikian, jelas kalau dia bukan seorang
pemuda sombong. Hal itu terbukti dari sikapnya yang mau menerima perkenalan.
Pemuda berpakaian biru cerah itu tersenyum senang. Ia sama sekali tidak
tersinggung oleh kata-kata pemuda tampan yang terdengar agak ketus itu. Bahkan
sebaliknya malah semakin tertarik.
"Maafkan aku, Kisanak. Perkenalkan, namaku Balira.
Seorang pemuda gunung yang datang ingin menonton keramaian di sini. Siapakah
namamu, Kisanak?" tanya pemuda berpakaian biru cerah yang mengaku bernama Balira
tanpa meninggalkan senyumnya.
"Hm.... Namamu cukup gagah. Cocok dengan wajah dan penampilanmu," puji pemuda
tampan itu. Tanpa perasaan canggung, diamatinya wajah Balira dengan
sikap lucu. Dan memang, cara pemuda itu memperhatikan Balira, persis seperti
seorang pembeli yang teliti. Hingga mau tidak mau, Balira jadi tersenyum lebar.
"Namaku Lunjita. Kedatanganku kemari juga sama sepertimu," lanjut pemuda tampan
yang ternyata bernama Lunjita.
Setelah saling memperkenalkan nama, kedua pemuda itu pun asyik bercerita
sehingga sampai terlupa dengan pesanannya.
Mereka baru teringat ketika seorang pelayan datang mem-bawakan makanan yang
dipesan tadi. Dan tanpa banyak cakap lagi, mereka bergegas menyantap makanan
yang terhidang di atas meja.
*** Balira dan Lunjita kini terlihat melangkah keluar dari rumah makan itu. Mereka
melangkah bersisian menyusuri jalan yang masih terlihat ramai.
"Kita harus mencari tempat bermalam," kata Balira ketika keduanya melewati pasar
yang sudah mulai sepi. Memang, saat itu hari sudah menjelang sore.
"Ya. Kita harus cepat-cepat, Kakang Balira," sahut Lunjita seraya menatap wajah
pemuda yang usianya dua tahun lebih tua darinya. Setelah mereka saling
menceritakan riwayat masing-masing meskipun serba singkat, baru diketahui kalau
Balira lebih tua daripada Lunjita.
"Ayolah! Bisa-bisa kita tidur di emperan kedai kalau sampai tidak mendapatkan
tempat bermalam. Maklumlah saat ini kotaraja banyak didatangi orang dari segala
penjuru. Dan sudah pasti penginapan-penginapan di sini akan diserbu mereka,"
keluh Balira agak khawatir.
Dua orang pemuda yang terlihat sudah akrab itu kemudian berkeliling mencari
penginapan yang masih kosong. Namun setiap kali memasuki rumah penginapan,
selalu saja ditolak.
Karena hampir semua penginapan sudah penuh.
"Celaka! Sebentar lagi hari mulai gelap. Bisa-bisa kita tidur di emperan kedai
seperti katamu tadi, Kakang," keluh Lunjita.
Pemuda itu benar-benar kesal, karena sampai kakinya lelah, belum juga
mendapatkan tempat menginap.
"Sabarlah, Adi Lunjita. Ayo kita coba di rumah penginapan itu. Siapa tahu nasib
kita sedang baik," ajak Balira menghibur hati kawannya yang jelas-jelas mulai
kesal. Sambil berkata demikian, disambarnya tangan Lunjita.
Kemudian diseretnya tubuh pemuda itu ke rumah penginapan yang dimaksud.
"Iiih! Apa-apaan sih, kau ini! Mengapa pakai pegang-pegang tangan seperti ini!
Kau pikir aku pacarmu, ya"!" bentak Lunjita sambil menyentakkan tangannya dengan
gerakan kasar. Wajah pemuda tampan itu nampak merah. Bahkan sepasang matanya mengeluarkan sinar
berkilat, seperti tidak suka.
"Eh"!"
Balira tersentak kaget dan menolehkan kepalanya dengan wajah ketololan. Wajah
kawannya itu dipandangi dengan kening berkerut. Pemuda itu semakin terkejut
melihat sinar kemarahan yang terpancar dari sepasang mata Lunjita. Dia benarbenar heran dan tak mengerti, mengapa kawannya sampai sedemikian marahnya.
Padahal, hanya karena tangannya dipegang! Benar-benar aneh pemuda yang satu ini!
Balira yang sepertinya sudah mulai dapat meraba sikap sahabat barunya itu,
tersenyum kecut.
"Maafkan aku, Adi Lunjita. Mengapa baru begitu saja, kau harus marah-marah dan
seperti hendak menelanku hidup-hidup" Aku sama sekali tidak bermaksud apa-apa.
Dan lagi, apa sih anehnya" Kita kan sama-sama laki-laki. Tidak ada salahnya,
bukan?" tanya pemuda gagah itu dengan suara halus. Meskipun dalam nada suaranya
jelas terkandung rasa keheranan yang amat besar, tapi berusaha disembunyikannya.
"Bagimu memang tidak apa-apa! Tapi aku sama sekali tidak suka! Sekali lagi kau
berbuat seperti itu, terpaksa kau akan ku-tinggalkan dan aku akan mencari
penginapan lain!" sahut Lunjita.
Suara pemuda itu benar-benar ketus, disertai kemarahan yang masih tersisa.
Setelah berkata demikian, kakinya bergegas melangkah menuju rumah penginapan
yang hanya beberapa langkah di depan mereka.
Mendengar ucapan sahabatnya yang baginya terdengar aneh itu, Balira hanya dapat
menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum sabar. Benar-benar seorang pemuda aneh
dan galak! Kemudian Balira melangkahkan kakinya menyusul Lunjita yang sudah lebih dulu
memasuki rumah penginapan.
*** Balira mempercepat langkahnya ketika mendengar suara-suara bentakan orang yang
bertengkar mulut. Dan pemuda gagah bertubuh tegap itu menjadi terkejut ketika
melihat Lunjita tengah mencekal leher baju seorang yang berpakaian pelayan.
Tangan kanannya sudah terangkat siap meninju wajah pelayan setengah baya yang
menjadi gemetar dan pucat.
"Tahan, Adi Lunjita!" cegah Balira sambil berlari mendekati mereka.
Tangan kanan pemuda tegap itu sudah siap hendak menangkap lengan Lunjita. Namun
begitu teringat akan peristiwa yang dialami ketika memegang tangan sahabatnya,
tangannya segera ditarik kembali. Akhirnya Balira hanya berdiri di samping
Lunjita dan membujuknya untuk bersabar.
"Huh! Siapa yang tidak menjadi marah"! Sudah lelah kakiku mengelilingi kotaraja
ini untuk mencari penginapan yang masih kosong. Eh, pemilik rumah penginapan
butut ini seenak perutnya saja memasang harga. Masih untung aku tidak langsung
memukul dan melemparkan tubuh gendutnya keluar!" Lunjita bersungut-sungut dan
menyumpah-nyumpah lelaki gendut pemilik rumah makan itu.
Si pemilik rumah makan menarik napas lega setelah leher bajunya dilepaskan
Lunjita. Lelaki setengah baya itu memandang Balira, dengan sinar mata penuh
ucapan terima kasih.
"Maafkan kelakuan sahabatku itu, Paman. Kami memang sangat membutuhkan tempat
menginap. Dan seperti yang dikatakan sahabatku tadi, kami sudah berkeliling
sampai lelah namun belum juga mendapatkannya. Jadi wajarlah kalau ia marah-marah
mendengar harga sewa yang menurut kami sangat mahal itu. Tolonglah, Paman. Kami
benar-benar sangat membutuhkan tempat beristirahat," pinta Balira, sopan dan
ramah. Sehingga si pemilik kedai merasa suka dengan pemuda gagah yang ramah itu.
"Jangan lupa! Satu kamar dengan dua tempat tidur!" timpal Lunjita bernada agak
mengancam, sambil bertolak pinggang.
Matanya menatap tajam si pemilik rumah penginapan yang wajahnya sudah menjadi
pucat kembali. "Tapi... Tapi..., Tuan Muda... Kami..."
"Turuti saja kata-kataku atau rumah penginapan ini akan kuratakan dengan tanah!"
ancam Lunjita memotong ucapan lelaki setengah baya yang menjadi gemetar
ketakutan. "Baik... Baik, Tuan Muda...," kata pemilik rumah penginapan itu menganggukangguk seperti burung pelatuk.
Setelah berkata demikian, diajaknya kedua orang tamunya itu ke dalam. Balira dan
Lunjita bergegas mengikuti.
"Tidak semestinya kau menakut-nakuti orang tua itu, Lunjita. Setidaknya, jangan
mencari keributan di kotaraja ini.
Bisa-bisa kita akan mendapat kesulitan nanti," Balira kembali menasihati
sahabatnya ketika mereka melangkah di belakang si pemilik penginapan.
Pemuda bertubuh tegap itu merendahkan suaranya agar tidak terdengar orang lain.
Karena saat itu mereka tengah melewati lorong yang di kiri-kanannya merupakan
kamar tempat tamu menginap.
"Huh! Orang serakah seperti dia itu, harus diberi pelajaran sekali-kali. Enak
saja memasang harga sewa semaunya. Apa dikiranya kita anak hartawan yang hendak
pelesir?" Lunjita yang masih belum merasa puas itu mengomel menyatakan
kedongkolan hatinya.
"Hhh..., sudahlah. Yang penting kita harus berhati-hati dan jangan memancing
keributan. Karena pada waktu-waktu seperti ini, di kotaraja berkumpul tokoh
persilatan dari berbagai aliran. Dan aku yakin, kepandaian mereka pasti sangat
tinggi. Belum lagi tokoh-tokoh kerajaan yang kabarnya banyak memiliki tokoh
sakti yang berkepandaian hebat. Dan kalau kita membuat keributan di kotaraja
ini, bukankah sama artinya mengusik harimau sedang tidur?" bisik Balira lagi
menasihati sahabatnya.
"Kau takut dengan tokoh persilatan yang saat ini berkumpul di kotaraja" Dan kau
juga takut mendengar kesaktian tokoh-tokoh istana" Kalau begitu, mengapa datang
ke kotaraja ini, Kakang?" tanya Lunjita.
Pemuda tampan itu menatap wajah sahabatnya yang diam-diam sangat dikaguminya
karena memiliki sikap tenang dan penuh kesabaran. Tentu saja pandangan yang
penuh selidik itu membuat Balira mau tak mau menolehkan kepalanya dan tersenyum
sabar. "Hm.... Kau salah, Adi. Kata-kataku itu sama sekali tidak berarti aku takut Tapi
sikap hati-hati dan menjaga kelakuan adalah lebih bijaksana. Dan hal itulah yang
selalu kulakukan setiap kali berkunjung ke suatu tempat," sahut Balira
mengemukakan alasannya.
"Hah! Ucapanmu seperti seorang kakek-kakek saja, Kakang.
Mendengar kata-katamu, rasanya seperti tengah berjalan bersama guruku," ujar
Lunjita seraya tersenyum menggoda.
"Silakan... silakan, Tuan-tuan Muda," pemilik penginapan segera mempersilakan
kedua orang tamunya untuk memasuki kamar yang disediakan. Setelah itu, dia pamit
untuk kembali ke ruang depan.
"Terima kasih, Paman," Balira mengangguk ramah kepada pemilik penginapan itu.
Lalu keduanya bergegas memasuki kamar untuk beristirahat
*** "Auuungngng...!"
Lolongan serigala terdengar melengking memecah keheningan malam. Lolongan itu
benar-benar mendirikan bulu roma. Apalagi ditambah angin dingin yang berhembus
menggigit kulit, menyambut lolongan yang memilukan itu.
Balira yang tengah tidur telentang, tersentak bangkit.
Nalurinya sebagai seorang tokoh persilatan menangkap suatu keganjilan dari


Pendekar Naga Putih 17 Serigala Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lolongan serigala itu. Pemuda gagah itu duduk bersila, lalu me-mejamkan matanya
rapat-rapat. Sepertinya, dia ingin menangkap lebih jelas lagi, dari mana asal
suara itu. "Aneh! Padahal wilayah Kotaraja Batu Jajar cukup jauh dari hutan" Mengapa
lolongan serigala itu sampai terdengar kemari?" desah Lunjita.
Ternyata pemuda tampan itu juga sudah bangkit duduk di atas pembaringannya. Dan
dia rupanya merasa terganggu oleh lolongan yang melengking itu. Kepalanya
ditolehkan ke arah Balira yang bersemadi dalam keremangan kamar penginapan.
"Kakang, apakah kau juga mendengar lolongan itu?" bisik Lunjita yang tidak bisa
menahan rasa herannya. Pemuda tampan berwatak aneh itu sepertinya juga menangkap
sesuatu yang ganjil.
"Ya. Aku juga mendengarnya, Adi," sahut Balira juga dengan suara berbisik.
Pemuda gagah itu membuka mata, kemudian menolehkan kepalanya ke arah sahabatnya
yang saat itu juga tengah menatapnya.
Belum lagi mereka sempat mengutarakan perasaan masing-masing atas keganjilan
itu, tiba-tiba terdengar suara ribut yang membuat keduanya mencelat bangkit dari
atas pembaringan.
Bagaikan telah bersepakat, mereka segera melesat melalui jendela kamar
penginapan. Begitu tiba di luar, mereka langsung melompat naik ke atas atap penginapan.
Begitu ringannya mereka melompat, sehingga tidak terdengar suara sedikit pun.
Jelas, ilmu meringankan tubuh mereka telah mencapai taraf tinggi. Mereka
kemudian berdiri tegak sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu. Dan
mereka memang yakin kalau suara ribut tadi berasal dari sekitar penginapan itu.
Dan bukan tidak mungkin kalau suara itu berasal dari salah satu, atau beberapa
kamar di penginapan ini.
"Hei, tunggu...!" teriak Lunjita.
Sepasang mata Lunjita sempat melihat empat sosok bayangan berkelebat menuju
perbatasan kotaraja. Maka pemuda itu bergegas mengejarnya. Pemuda tampan itu
juga sudah menghunus pedang yang memang sengaja dibawa ketika keluar dari kamar
penginapan. Balira pun tidak mau ketinggalan. Tubuhnya langsung melesat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh mengejar keempat sosok bayangan hitam itu. Pemuda gagah itu
sempat terkejut ketika mendapat kenyataan kalau keempat sosok bayangan hitam itu
ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Sehingga ia dan
sahabatnya harus mengerahkan seluruh tenaga agar bisa mengejar.
Setelah cukup lama mengejar, Balira dan Lunjita mampu
memperpendek jarak dengan empat bayangan itu. Begitu melewati tembok kotaraja
sebelah Timur, mereka melambung tinggi, lalu melakukan beberapa kali salto di
udara melewati atas kepala keempat sosok bayangan hitam itu. Kemudian kaki
mereka mendarat ringan, menghadang jalan orang-orang yang dicurigai itu.
"Siapa kalian"! Dan mengapa kalian melarikan diri seperti pencuri"!" bentak
Lunjita dengan sepasang mata mengancam.
Tangan kiri pemuda itu bertolak pinggang. Sedangkan tangan kanannya yang
memegang pedang yang ditudingkan ke muka empat sosok berpakaian serba hitam.
Kening pemuda tampan itu berkerut ketika melihat wajah keempat orang yang
tertutup kain hitam. Sehingga yang tampak hanya matanya saja.
Tentu saja hal itu membuat kecurigaan Lunjita semakin kuat.
Keempat orang berpakaian serba hitam itu saling ber-pandangan satu sama lain,
seperti tengah berembuk. Sesaat kemudian, salah seorang dari mereka tampak
menganggukkan kepalanya.
Cring! Cring...!
Tanpa banyak bicara lagi, keempat orang berpakaian serba hitam yang juga
mengenakan kerudung hitam itu mencabut senjata.
"Yeaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, salah seorang yang berada paling depan langsung
melompat dan menyabetkan pedang mengancam Lunjita. Dan memang, pemuda tampan
itulah yang paling dekat dengan sasaran.
Wuuut! Sambaran angin pedang menderu tajam menandakan kalau itu digerakkan oleh tenaga
dalam tingkat tinggi. Namun Lujinta sama sekali tidak merasa gentar. Dengan
gerakan yang hampir tidak terlihat mata, pedang yang tergenggam di tangan pemuda
itu diangkat untuk memapak senjata lawan.
Trangngng! Bunga api seketika memercik menerangi sekitarnya akibat benturan dua batang
senjata yang dikerahkan lewat tenaga dalam tinggi. Sosok berpakaian serba hitam
itu terpekik kaget ketika merasakan tangannya seperti kesemutan akibat benturan
itu. Tubuhnya terjajar mundur sejauh empat langkah.
"Keparat!" maki Lunjita yang juga terjajar mundur sejauh dua langkah.
Pemuda tampan itu terkejut juga ketika merasa-kan tangannya bergetar. Mendapat
kenyataan kalau tenaganya hanya menang sedikit dari orang itu, Lunjita menjadi
marah! Cepat-cepat pedangnya diputar hingga membentuk gulungan sinar putih yang
bergerak cepat turun naik.
Belum lagi Lunjita sempat menerjang lawannya, sosok berpakaian hitam lainnya
lagi sudah menusukkan pedang ke lambung pemuda itu. Bergegas tubuhnya
dimiringkan sambil menggeser kaki kanan ke samping. Langsung dilancarkannya
serangan balasan.
Terjadilah pertarungan seru antara Lunjita yang dikeroyok dua orang berseragam
hitam itu. Terpaksa seluruh kepandaiannya harus dikerahkan untuk menghadapi
kedua orang lawannya. Pemuda tampan yang berwatak keras itu meng-andalkan
kelebihannya dalam hal kecepatan. Tubuhnya ber-kelebatan cepat disertai sambaran
pedang yang membuat kedua lawan harus menguras tenaga menghadapinya.
Balira yang juga berhadapan dengan dua orang berseragam hitam lainnya, sudah
mengeluarkan senjata dalam menghadapi keroyokan itu. Tiga batang tongkat pendek
yang digabungkan sehingga berbentuk ruyung itu menyambar-nyambar mem-bendung
serangan lawan-lawannya. Gerakannya yang mantap dan mengandung kekuatan hebat,
ternyata mampu membuat kedua orang pengeroyok itu sibuk dan tidak berani
bertindak ceroboh. Maka meskipun pertarungan sudah melewati dua
puluh jurus, kedua orang lawan masih juga belum mampu mendesaknya.
"Heaaat..!"
Wuuuk! Wuuuk! Sambil membentak keras, ruyung di tangan Balira meluncur cepat menyambar salah
seorang lawan. Orang itu menarik mundur kaki depannya, lalu mendoyongkan
tubuhnya ke belakang. Namun jurus-jurus serangan yang dilancarkan pemuda gagah
itu ternyata memiliki perubahan-perubahan yang tak terduga. Dan tahu-tahu saja,
ruyung di tangan pemuda itu berputar dan menyambar kaki lawannya.
"Akh...!"
Bukan main terperanjatnya orang itu. Cepat-cepat tubuhnya dilempar ke belakang
untuk menyelamatkan kakinya dari hantaman ruyung lawan. Orang itu bersalto
sebanyak tiga kali sebelum mendarat di atas tanah.
Sedangkan saat itu, Balira yang sudah menarik pulang senjatanya bergegas
menggulingkan tubuhnya ke samping.
Karena pada saat yang hampir bersamaan, pedang lawan yang lain sudah meluncur ke
arah dada. Sambil bergulingan, pemuda gagah itu melancarkan serangan balasan
dengan lontaran ujung ruyungnya, menotok dada kiri lawan.
Bugkh! "Aaakh...!"
Orang itu menjerit kesakitan ketika dada kirinya terhantam ujung ruyung lawan.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terjengkang ke belakang dan roboh dalam
keadaan tertotok kaku.
Balira yang semula hendak mengejar, terpaksa menunda gerakannya. Karena saat
itu, teriakan sahabatnya terdengar.
Pemuda tinggi tegap itu terkejut ketika melihat tubuh sahabatnya terlempar ke
belakang dengan derasnya.
"Adi Lunjita...!"
Tanpa mempedulikan lawan-lawannya, Balira segera melesat ke arah tubuh
sahabatnya yang terkapar tak bergerak.
Bukan main cemasnya hati pemuda itu melihat keadaan sahabatnya. Maka terpaksa
ketika orang-orang berpakaian serba hitam melarikan diri, dia tidak berusaha
dikejar. Mereka kabur sambil memondong salah seorang yang tertotok lumpuh oleh
Balira. "Adi Lunjita...!" seru Balira sambil berjongkok dan memeriksa tubuh sahabatnya.
Pemuda gagah itu menarik napas lega ketika mendapati sahabatnya masih bernapas.
Rupanya Lunjita langsung pingsan begitu terkena tendangan salah seorang lawan
yang sangat keras. Pada bagian atas dadanya pun terlihat luka yang agak panjang.
Sepertinya pemuda tampan itu juga telah terkena sambaran pedang.
Karena cuaca di tempat itu agak gelap, dan Balira juga tidak bisa melihat jelas
luka sahabatnya, maka tubuh sahabatnya segera diangkat. Tubuh Lunjita kemudian
dibawa ke tempat yang agak terang. Pemuda berwajah gagah itu kembali melompati
tembok dan memasuki kotaraja. Direbahkannya tubuh Lunjita di bawah sebatang obor
yang tertancap di dinding.
Balira meloloskan sabuk yang melilit pinggang sahabatnya.
Lalu, dibersihkannya darah yang terdapat di sekitar luka bacokan pedang pada
tubuh Lunjita. Untunglah luka itu tidak terlalu dalam, sehingga Lunjita tidak
sampai tewas karenanya.
Pemuda gagah itu menyingkap baju bagian atas sahabatnya untuk membersihkan luka.
Namun matanya menjadi terbelalak ketika melihat buah dada ranum milik seorang
gadis remaja yang menyembul dari balik pakaian sahabatnya itu. Sungguh tidak
disangka kalau Lunjita ternyata adalah seorang gadis!
Balira langsung terpaku bagai patung! Cepat-cepat ditutupnya kembali pakaian
sahabatnya, ketika dia tersadar dari rasa
kagetnya. "Ahhh.... Pantas saja sikapnya demikian aneh! Rupanya ia adalah seorang wanita!
Aku baru mengerti sekarang, mengapa Lunjita begitu marah ketika tangannya
kupegang sewaktu hendak memasuki tempat penginapan." gumam Balira sambil
beranjak bangkit dari duduknya, lalu berdiri mematung memandangi cakrawala yang
pekat. Setelah merenung dan menimbang-nimbang sebentar, akhirnya Balira memutuskan
untuk segera kembali ke penginapan. Dipondongnya tubuh sahabatnya yang ternyata
seorang gadis dengan tangan yang agak gemetar. Meskipun usianya lebih dari dua
puluh satu tahun, namun baru kali inilah Balira berdekatan, bahkan sampai
membopong tubuh seorang gadis. Tentu saja hal itu menimbulkan perasaan lain,
sehingga membuat tubuhnya panas dingin. Apalagi ketika merasakan betapa lembut
dan hangatnya tubuh gadis yang berada dalam pondongannya itu. Semakin kacaulah
pikiran Balira.
"Hhh...."
Pemuda gagah bertubuh tinggi tegap itu menghembuskan napas kuat-kuat sambil
menggelengkan kepala mengusir bayangan yang mengganggu. Sambil menekan debaran
dalam dada, tubuh Balira segera berkelebat untuk kembali ke penginapan.
*** "Hei" Apa yang telah tejadi di tempat itu?" gumam Balira ketika melihat rumah
penginapan tempatnya bermalam tampak terang benderang oleh puluhan batang obor.
Karena merasa curiga, maka tubuh Lunjita disembunyikannya di tempat yang agak
gelap dan tersamar. Kemudian, Balira bergegas menghampiri rumah penginapan itu
untuk mencari tahu, apa yang terjadi di sini sehingga rumah penginapan itu
dipenuhi orang.
"Semua tamu yang menginap di tempat ini, harap kembali ke kamar masing-masing!
Tidak ada seorang pun yang boleh meninggalkan tempat ini sebelum diperiksa
terlebih dahulu!"
teriak seorang laki-laki gagah berusia empat puluh tahun. Laki-laki yang
mengenakan pakaian perwira itu lalu memerintahkan agar para bawahannya menyebar
dan menjaga di sekitar rumah penginapan itu.
Balira yang mendengar ucapan perwira itu menjadi terkejut.
Didekatinya salah seorang yang berada di tempat itu.
"Apakah yang terjadi di tempat ini, Kisanak" Mengapa banyak sekali prajurit
kerajaan yang berjaga-jaga?" tanya pemuda gagah itu dengan suara rendah.
"Hm.... Aku pun tidak mengetahuinya secara jelas. Apalagi tidak ada seorang pun
yang diperbolehkan masuk. Tapi, aku sempat mendengar dari seorang prajurit kalau
di dalam rumah penginapan ini telah terjadi pembunuhan. Delapan orang tokoh
persilatan yang menginap di tempat ini, kedapatan tewas dengan kepala terpisah
dari badan," jelas lelaki setengah baya itu. Wajahnya tampak membayangkan
perasaan ngeri.
"Hei" Siapa yang telah berbuat sedemikian kejam itu, Kisanak" Dan apakah
pembunuhnya telah diketahui?"
Meskipun Balira sudah mulai dapat menduga orang yang telah melakukan pembunuhan
biadab itu, namun berpura-pura tidak mengetahuinya.
"Entahlah! Tidak ada seorang pun yang melihatnya," jawab orang itu lagi sambil
menggelengkan kepala.
Pemuda gagah berusia dua puluh dua tahun yang telah memiliki banyak pengalaman
itu, segera memutar otaknya. Dia sadar kalau kembali ke kamar dan mengambil
buntalan pakaiannya, adalah perbuatan bodoh. Jelas hal itu bisa jadi akan
menambah kesulitan dan kemungkinan akan dicurigai sebagai pembunuh kedelapan
orang tokoh persilatan itu. Dan tentu saja hal ini sama sekali tidak
diinginkannya. Mendapat pikiran demikian, Balira segera mengurungkan niatnya untuk kembali ke
penginapan. Terpaksa buntalan pakaian miliknya dan milik sahabatnya harus
ditinggalkan di tempat itu. Lalu, Balira segera kembali ke tempat tubuh
sahabatnya disembunyikan.
"Maaf, Sahabatku. Aku terpaksa harus membawamu pergi meninggalkan kotaraja ini,"
gumam Balira sambil mengangkat tubuh sahabatnya ke atas pundak.
Setelah mengetahui kalau Lunjita ternyata adalah seorang gadis, pemuda gagah itu
menjadi canggung untuk menyebut nama sahabatnya itu. Makanya, ia hanya menyebut
dengan panggilan sahabat saja. Dan memang Balira tidak tahu nama sebenarnya dari
gadis yang mengaku bernama Lunjita itu.
Sambil memondong tubuh sahabatnya, Balira melesat meninggalkan tempat itu. Ia
terus berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh, meninggalkan kotaraja.
Pemuda gagah itu berlari melewati tempat dia tadi mengejar empat orang
berseragam hitam yang menurutnya adalah pembunuh delapan orang tokoh persilatan
di rumah penginapan tempatnya bermalam. Memang, untuk keluar melalui pintu
gerbang, sudah tidak mungkin. Balira memang tidak ingin mendapat pertanyaan
macam-macam dari penjaga pintu gerbang. Itulah sebabnya, mengapa ia mengambil
jalan yang bukan semestinya.
*** Saat itu sinar kemerahan sudah mulai muncul di kaki langit sebelah Timur. Kokok
ayam jantan terdengar bersahut-sahutan menyambut sang pagi yang mulai menjelang.
Balira terus berlari menjauhi kotaraja. Tidak lama kemudian pemuda itu
memperlambat langkahnya ketika di hadapannya terlihat sebuah anak sungai.
Bergegas diseberanginya sungai yang tidak terlalu lebar itu. Kedua kakinya
berkali-kali menotok batu-batu yang menonjol ke permukaan. Begitu sampai di seberang sungai,
diturunkan tubuh sahabatnya.
Pemuda gagah bertubuh tinggi tegap itu terkejut ketika melihat luka sahabatnya
tampak mulai membengkak. Sejenak ia berdiri karena tidak tahu harus berbuat apa.
Apalagi Balira sama sekali buta tentang ilmu pengobatan. Akhirnya, diputuskan
untuk menyadarkan sahabatnya saja. Siapa tahu sahabatnya itu mengetahui tentang
ilmu pengobatan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Balira segera me-mencet jalan darah yang
terletak di antara hidung dan mulut.
Tak berapa lama kemudian, terdengar keluhan lirih dari mulut Lunjita.
"Ohhh...!" Lunjita mengerang sambil memegang bahu kanannya yang terasa sakit
ketika hendak bangkit. Akibatnya, kepalanya kembali terkulai di atas tanah
berumput. "Jangan bergerak dulu, Adi... Lunjita," cegah Balira yang menjadi canggung untuk
menyebut nama sahabatnya itu setelah mengetahui rahasia yang tersembunyi di
balik baju Lunjita.
Namun Balira berusaha untuk bersikap wajar agar tidak menimbulkan kecurigaan.
"Di mana kita, Kakang?" tanya Lunjita ketika pandangan matanya sudah tidak kabur
lagi. Sambil bertanya demikian, pandangannya beredar ke sekitar tempat itu
dengan kening berkerut.
"Nantilah kalau kau sudah sehat, baru aku akan men-ceritakannya," sahut Balira
lembut. Nada suara pemuda itu terdengar agak bergetar. Memang, sejak mengetahui bahwa
sahabatnya itu adalah seorang gadis, ada suatu perasaan aneh yang dialaminya.
Dalam pandangannya, Lunjita bukan lagi seorang pemuda tampan yang berwatak aneh,
melainkan seorang gadis yang menimbulkan getaran aneh dalam dirinya. Pemuda yang
telah lama terjun ke dunia ramai itu pun sadar sepenuhnya kalau dirinya sudah
jatuh cinta kepada
'pemuda' sahabatnya itu. Namun hal itu berusaha disembunyikan. Kelak apabila
sahabatnya itu telah membuka rahasia tentang dirinya, barulah isi hatinya berani
diutarakan.

Pendekar Naga Putih 17 Serigala Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** 2 Sinar matahari pagi mulai menebar ke seluruh permukaan mayapada. Angin pagi
bertiup silir-silir membawa kesegaran.
Tampak Balira masih duduk menunggui Lunjita yang terlihat masih terbaring lemah.
Pemuda itu duduk bersandar pada sebatang pohon yang ada tidak jauh dari pinggir
sungai. "Uhhh.... Aku haus sekali, Kakang," rintih Lunjita dengan suara bergetar lemah.
Bibirnya tampak pucat dan tubuhnya menggigil bagaikan orang yang terserang
demam. Mendengar keluhan sahabatnya, Balira membuka mata yang semula terpejam. Dia
memang tengah melakukan semadi untuk memulihkan tubuhnya. Begitu matanya
terbuka, wajahnya terlihat khawatir. Terutama ketika melihat keadaan Lunjita
yang sepertinya semakin memburuk. Bergegas diraba kening sahabatnya dengan hati
cemas. Ia menjadi terkejut ketika merasakan tubuh sahabatnya panas.
"Sebentar, Adi Lunjita. Aku akan mencarikan air untukmu,"
sahut pemuda itu.
Balira bergegas bangkit menuju sungai yang tidak jauh dari tempat mereka.
Dipetiknya selembar daun yang akan digunakan untuk menampung air sungai yang
jernih itu. Sambil menyendok air sungai, otaknya berputar memikirkan keadaan
sahabatnya yang diduga telah terserang demam. Mungkinkah senjata yang digunakan
empat orang berseragam hitam itu mengandung racun" Kalau tidak, mengapa
sahabatnya terserang demam" Rasanya tidak mungkin kalau hanya karena luka yang
tidak terlalu parah, Lunjita sampai terserang demam. Pasti senjata orang-orang
itu mengandung racun meskipun bukan jenis yang mematikan.
Balira tersentak dari lamunannya ketika lapat-lapat mendengar suara erangan Lunjita. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu segera
melesat meninggalkan sungai
"Jahanam! Apa yang telah kalian lakukan"! Lepaskan dia!"
bentak Balira. Pemuda itu menjadi terkejut ketika melihat sahabatnya terguling akibat tendangan
yang cukup keras dari seorang laki-laki kurus bertampang licik. Dengan penuh
kemarahan, ia langsung melompat menerjang orang itu.
Wuuut! Balira semakin geram ketika tendangannya berhasil dielakkan orang itu. Tubuhnya
berputar cepat, diiringi sabetan kaki mengancam kuda-kuda lawan untuk
menjatuhkannya.
Pemuda berwajah gagah itu ternyata memiliki perhitungan cermat. Karena begitu
tubuh lawan melompat menghindari sambaran kakinya, tangan kanannya meluncur
melakukan dorongan ke dada lawan.
Desss! "Hugkh...!
Tubuh orang bertubuh kurus itu langsung terjengkang akibat hantaman telapak
tangan yang dialiri tenaga dalam penuh. Balira sempat terkejut ketika orang itu
ternyata masih dapat melakukan salto beberapa kali hingga tubuhnya tidak sampai
terbanting di tanah. Namun demikian, tak luput dari sudut bibir lawan tampak
darah segar menetes dan membasahi pakaian.
Sebelum pemuda itu tersadar dari kekagumannya, saat itu sebuah serangan sisi
telapak tangan telah menghantam tubuhnya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Balira
terlempar sejauh dua tombak. Namun dia cepat melenting berdiri sambil meringis
menahan rasa nyeri di punggung yang terkena pukulan telak itu.
"Siapa kalian"! Apa yang kalian inginkan dari kami"!" tanya Balira.
Dia menjadi tegang melihat belasan orang laki-laki berwajah angker telah
mengepung tempat itu. Kekhawatiran semakin nampak di wajahnya, mengingat keadaan
sahabatnya yang tengah menderita sakit itu. Dengan sorot mata tajam, Balira
berdiri tegak di samping Lunjita. Kelihatannya, pemuda itu siap melindungi
sahabatnya dari ancaman belasan orang yang sama sekali tidak dikenalnya itu.
"Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Kisanak! Apakah kalian pikir setelah
melakukan pembunuhan terhadap delapan orang tokoh persilatan di penginapan itu
kalian akan dapat lolos"! Hmh! Jangan mimpi, Kisanak! Lebih baik kau dan kawanmu
itu menyerah untuk kemudian kuserahkan kepada prajurit kerajaan!" ujar orang
berwajah brewok dan memiliki codet di pipi kirinya, sambil meraba gagang pedang
yang menyembul di pinggang dengan sikap mengancam.
"Bangsat! Jaga mulutmu, Kisanak! Apa maksudmu melemparkan tuduhan keji kepada
kami" Kami sama sekali tidak melakukan apa-apa!" sahut Balira.
Pemuda gagah itu benar-benar menjadi terkejut mendengar tuduhan orang berwajah
brewok. Wajahnya yang dilanda ketegangan langsung berubah pucat. Otaknya
berputar mencari jawaban, apa yang menyebabkan orang itu menuduhnya telah
melakukan pembunuhan keji terhadap delapan tokoh persilatan.
"Ooohhh..."
Tiba-tiba terdengar erangan lirih yang keluar dari bibir pucat milik Lunjita.
Wajah tampan itu tampak semakin pucat dengan butir-butir keringat yang mengalir
deras. Tubuh gadis yang menyamar menjadi pemuda tampan itu bergerak-gerak
gelisah sambil sekali memperdengarkan erangan lirih dan rintih kesakitan.
"Adi Lunjita.... Kau..., kau... Apa yang kau rasakan" Bagaimana... keadaanmu?"
tanya Balira, cemas.
Pemuda itu membungkuk, memeriksa tubuh sahabatnya yang semakin panas. Dan hal
itu membuatnya makin khawatir dan bingung. Belum lagi penyakit sahabatnya itu
sembuh, kesulitan lain muncul. Membuat pikirannya semakin kalut.
"Nah! Lihatlah keadaan sahabatmu yang tengah sekarat itu.
Ia harus segera mendapatkan pertolongan dan perawatan secepatnya. Lebih baik,
menyerah saja. Kemudian akui segala perbuatanmu itu, sebelum keadaan kawanmu
semakin memburuk. Tidakkah kau merasa kasihan kepadanya?" ujar si brewok seraya
tersenyum penuh kemenangan. "Dan perlu kau ketahui, sahabatmu itu telah terkena
racun yang akan dapat menewaskannya dalam waktu dua hari."
"Keparat! Bagaimana kau bisa tahu tentang hal itu"!" bentak Balira tersentak
bangkit dan memandang tajam kepada orang itu.
"Hm.... Mudah saja bagiku untuk menebaknya. Lihatlah.
Bukankah wajahnya telah dijalari warna kehijauan?" sahut lelaki brewok itu lagi.
Balira tersentak kaget dan secepat kilat menoleh ke arah sahabatnya. Hatinya
benar-benar tercekat melihat kebenaran ucapan lelaki brewok yang kurang lebih
berusia empat puluh tahun itu.
"Sudahlah, Ki. Mengapa kita harus mengulur-ulur waktu"
Kalau memang tidak mau menyerah, bunuh saja. Lalu, mayat mereka kita bawa, dan
serahkan kepada para prajurit Kerajaan Batu Jajar. Kita bisa katakan kepada para
prajurit kalau mereka berdualah yang telah melakukan pembunuhan terhadap delapan
orang tokoh persilatan di penginapan itu," usul seorang pengikut si brewok yang
sudah tidak sabar mendengar percakapan itu.
"Benar, Ki. Dan lagi kalau mereka kita tangkap hidup-hidup, pasti akan membantah
tuduhan itu. Bahkan jangan-jangan malah melemparkan tuduhan kepada kita.
Bukankah hal itu malah akan menyulitkan?" timpal yang lainnya, membenarkan ucapan kawannya.
"Hm.... Benar juga ucapan kalian itu," gumam si brewok sambil mengusap-usap
dagunya dengan kening berkerut.
Rupanya hal itu baru disadarinya. "Kalau begitu, tunggu apa lagi" Bunuh kedua
orang pemuda itu!"
Mendengar perintah pemimpinnya, belasan orang laki-laki angker itu serentak
berlompatan mengurung Balira dan Lunjita.
Sementara pemuda itu segera mencabut ruyungnya. Dia telah bersiap mempertahankan
nyawa, dan nyawa sahabatnya.
"Heaaat..!"
Dibarengi teriakan nyaring, empat orang berseragam hitam yang berada di sebelah
kiri, melompat sambil mengayunkan pedang yang menderu tajam.
Trakkk! Trakkk!
Balira mengayun ruyungnya sekuat tenaga, untuk menangkis dua batang pedang yang
menyambar punggung dan lambung-nya. Dua orang penyerang itu langsung terjajar
mundur. Bahkan pedang mereka telah terpental akibat tangkisan itu.
Kemudian, Balira melompat ke samping menghindari dua batang senjata lainnya.
Sambil melompat, kaki kanannya melakukan tendangan hingga membuat salah seorang
lawan terjungkal ke belakang.
"Majulah kalian, Manusia-manusia Keparat! Jangan harap aku akan menyerah begitu
saja!" tantang Balira.
Sambil berkata demikian, Balira memutar ruyungnya hingga membentuk lingkaran
sinar merah yang melebar melindungi tubuhnya dan juga tubuh sahabatnya.
Sementara, pada saat itu Lunjita hanya dapat mengerang dan merintih kesakitan.
Belasan orang berseragam hitam itu sama sekali tidak mempedulikan kemarahan
Balira. Mereka kembali menerjang dan mengirimkan serangan-serangan maut yang
mematikan. Mau tak mau Balira menjadi sibuk dan terdesak hebat. Namun
sambil menggertakkan gigi, pemuda bertubuh tinggi tegap itu terus memberi
perlawanan. Segenap kemampuan yang dimilikinya, langsung dikerahkan.
Wuuuttt! Desss! Desss! "Aaakh...!"
Dua orang pengeroyok yang hendak membunuh Lunjita terpental bergulingan akibat
hantaman ruyung yang mengenai dada dan punggung mereka. Balira terus memutar
ruyungnya, mengamuk bagai harimau luka. Namun para pengoroyoknya itu bukanlah
orang lemah. Tidak heran meskipun pemuda gagah itu telah mengerahkan seluruh
kepandaian, tetap saja masih terdesak hebat
Bukkk! Brettt! "Aaakh...!"
Balira menjerit kesakitan ketika sebuah hantaman kaki salah seorang lawan
menghantam keras pinggulnya. Sebelum sempat memperbaiki keadaannya, sebuah
kilatan pedang menyambar tubuhnya. Untunglah badannya masih sempat dimiringkan,
sehingga hanya menyerempet bahu kanannya. Tubuh pemuda itu terhuyung sambil
mendekap lukanya yang mengucurkan darah segar.
"He he he.... Bersiaplah untuk melayat ke neraka, Kisanak!"
ejek salah seorang pengeroyoknya seraya terkekeh gembira.
Setelah berkata demikian, kembali diterjangnya Balira.
Sambaran pedang orang itu tampak mengarah leher Balira.
Wuuuttt! Sambaran pedang itu berhasil dielakkan Balira dengan merendahkan tubuh dan
menggeser kaki kanannya yang membentuk kuda-kuda serong. Kemudian tubuhnya
dilempar jauh ke belakang untuk menghindari sambaran pedang lain.
Baru saja kakinya menjejak tanah, sebatang pedang lain menusuk dengan kecepatan
tak terduga. Cepat pemuda itu
mengayunkan ruyungnya untuk menangkis senjata lawan.
Trakkk! Sambaran ruyung pemuda itu berhasil menggagalkan serangan itu. Namun, sebuah
tendangan yang datang dari samping kiri tak sempat dihindarinya lagi.
Bukkk! "Aaakh...!"
Tubuh Balira terlempar disertai jerit kesakitannya. Pemuda gagah itu bergulingan
sejauh empat batang tombak untuk menghindari serangan para pengeroyoknya yang
lain. Darah segar mulai menetes dari sudut bibirnya. Balira terhuyung limbung
karena luka-luka yang diderita. Bibirnya tampak digigit kuat-kuat, lalu kembali
ruyungnya diputar untuk melindungi tubuh.
Belasan orang pengeroyok itu kembali menerjang Balira dengan ganas dan tanpa
ampun. Karena terlalu bernafsu membunuh pemuda gagah yang telah terluka, belasan
orang pengeroyok itu sepertinya sudah melupakan Lunjita yang terbaring lemah
tanpa daya. Bukkk! Desss! Brettt!
''Aaakh...!"
Balira jatuh terguling-guling akibat tendangan dan pukulan lawan yang telak
mengenai tubuhnya. Sebuah sambaran golok lawan juga telah merobek paha kirinya,
meskipun tidak terlalu dalam. Balira masih juga berusaha bangkit walau
terpincang-pincang.
"Jangan bunuh dulu! Lebih baik dia kita siksa hingga mau mengakui perbuatannya!"
usul salah seorang pengeroyok yang sudah menyarungkan senjatanya.
Kawan-kawannya serentak mengangguk setuju dan ikut menyarungkan senjata.
Kemudian mereka kembali menerjang dengan tendangan dan pukulan ke seluruh tubuh
Balira. Namun, rupanya pemuda gagah itu masih juga mampu memberi perlawanan.
Salah seorang pengeroyok terguling roboh terkena hantaman ruyung pemuda gagah
itu. Namun pada saat itu juga, tubuh Balira terkena pukulan dan tendangan
beberapa orang lawan.
Plakkk! Desss! Bukkk!
Balira kembali jatuh terguling-guling akibat hantaman keras yang menghajar tubuh
dan wajahnya. Darah pun semakin banyak mengalir dari mulut dan wajahnya yang
telah biru lebam. Sebelum dapat bangkit, kembali para pengeroyok menghujani
tubuhnya dengan pukulan dan tendangan.
"Oooh...!" Balira merintih dan mengerang menahan rasa sakit dan nyeri di sekujur
tubuhnya. Kali ini pemuda itu tidak mampu lagi bangkit. Luka-luka yang dideritanya benarbenar sudah sedemikian parah. Juga keadaan tubuhnya telah sangat lemah, sehingga
Balira hanya dapat pasrah menanti ajal yang datang menjemput. Tubuhnya telentang
dengan napas tersengal. Keadaannya benar-benar sangat menyedihkan.
*** "Ha ha ha...! Bersiaplah menerima kematianmu, Anak Muda Sial!" ujar salah
seorang pengeroyok yang sudah mencabut pedangnya, siap dihunjamkan ke tubuh
Balira yang sudah tak berdaya. Namun, begitu pedang hampir menyentuh kaki
Balira, tiba-tiba....
Trang! "Aaakh...!"
Laki-laki berseragam hitam yang siap menghunjamkan pedang, tiba-tiba terpental
deras ke belakang. Pedangnya juga terlepas akibat hantaman sebuah kerikil
sebesar ibu jari.
Tampak sosok tubuh berjubah putih tahu-tahu sudah
melangkah tenang mendekati tempat itu. Sorot matanya begitu tajam dan
menggetarkan, sehingga membuat belasan orang lelaki berwajah angker yang siap
membunuh Balira langsung mundur. Langkah pemuda itu tampak tegap bagai langkah
seekor harimau jantan nan perkasa.
"Siapa kau, Kisanak...?" tanya salah seorang dari belasan laki-laki itu.
Suaranya agak bergetar karena pengaruh tatapan mata yang menggetarkan jantung.
Sedangkan yang lain hanya terpaku bagai patung.
Pemuda tampan yang mengenakan jubah putih sama sekali tidak menjawab. Bahkan
kakinya terus saja melangkah mendekati Balira yang tengah merintih menahan
sakit. Tanpa mempedulikan belasan orang itu, ia berjongkok dan memeriksa tubuh
Balira. Kemudian diberikannya beberapa totokan pada bagian tubuh pemuda gagah
yang tergolek tak berdaya akibat luka yang diderita.
"Luka-lukamu cukup parah, Kisanak. Sebaiknya telanlah obat ini agar kesehatanmu
cepat pulih," ujar pemuda tampan itu sambil menyerahkan sebutir obat pulung
berwarna putih seperti salju.
Balira memandangi penolongnya penuh rasa terima kasih.
Dan tanpa ragu-ragu lagi, segera ditelannya obat yang diberikan penolongnya itu.
Pemuda tinggi tegap berwajah gagah itu membelalak heran ketika merasakan adanya
hawa hangat yang berputar di sekitar pusarnya. Hatinya menjadi girang bukan
main, karena hawa yang berputar itu terasa nikmat dan menghilangkan segala rasa
nyeri akibat luka-lukanya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Dan kuharap kau juga sudi menolong
sahabatku yang tengah keracunan itu,"
ucap Balira lirih dan penuh permohonan.
Sambil berkata demikian, kepalanya menoleh ke tempat sahabatnya yang tengah
tergeletak tadi. Wajah Balira berubah cemas ketika tidak melihat sosok tubuh
Lunjita. "Jangan khawatir. Sahabatmu itu sudah berada di tempat aman. Marilah kita
melihatnya," ajak pemuda tampan berjubah putih itu.
Setelah berkata demikian, pemuda itu memapah bangkit tubuh Balira. Karena
biarpun luka-luka yang diderita pemuda gagah itu sudah tidak terasa nyeri, namun
masih belum mampu bangkit.
Pemuda tampan yang ternyata Panji atau berjuluk Pendekar Naga Putih itu bergerak
mendekati tubuh Lunjita yang terbaring ditemani seorang gadis jelita berpakaian
serba hijau. Gadis itu cantik sekali! Wajahnya yang putih dan jelita itu terhias senyum
manis, membuat orang tak akan pernah puas untuk memandanginya. Siapa lagi gadis
jelita itu kalau bukan Kenanga, yang sudah pasti datang bersama Panji. Baru
beberapa tindak Panji dan Balira melangkah, laki-laki brewok yang sejak tadi
hanya menonton pertarungan, berteriak nyaring mengejut-kan. Dan pada saat itu


Pendekar Naga Putih 17 Serigala Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga, tubuhnya melayang sambil melakukan dorongan dengan kedua telapak tangan ke
punggung Pendekar Naga Putih.
Wuuusss! Panji yang merasakan adanya terpaan angin tajam yang menuju punggungnya, cepat
mengibaskan tangan kanan tanpa menoleh sedikit pun. Sedangkan, tangan kirinya
tetap memapah Balira. Seketika....
*** 3 Bresss! "Aaakh...!
Tubuh lelaki brewok itu terpental balik ketika sepasang telapak tangannya terasa
bagai membentur dinding yang amat kokoh. Bahkan dapat menolak balik tenaganya.
Cepat-cepat tubuhnya dilempar ke belakang, lalu melakukan beberapa kali salto di
udara. Dan kini, kedua kakinya mendarat di atas tanah dengan selamat meskipun
agak terhuyung.
Terdengar helaan napasnya yang berat disertai dorongan sepasang tangan ke depan.
Laki-laki brewok itu berusaha menghilangkan rasa sesak di dada akibat kibasan
tangan Panji tadi. Setelah beberapa kali menyedot dan membuang napas disertai
gerakan tangan, dia berdiri tegak menatap punggung kedua orang pemuda yang
terpisah beberapa batang tombak di depannya. Si brewok tidak berani melancarkan
serangan lagi setelah merasakan akibat perbuatan curangnya itu.
Si brewok berdiri terpaku bagaikan orang yang tengah dilanda mimpi buruk. Benarbenar tidak disangka kejadian yang barusan dialaminya. Bagai-mana mungkin
kibasan tangan pemuda seusia itu dapat membuat dirinya terpental" Mungkinkah
pemuda berjubah putih itu memiliki tenaga dalam tinggi yang melebihi tenaga
dalamnya" "Nah! Sekarang beristirahatlah dulu, Kisanak. Hm....
Bagaimana keadaan orang itu, Kenanga?" kata Panji begitu tiba di dekat Lunjita
dan Kenanga. Kemudian Pendekar Naga Putih melangkah mendekati kekasihnya.
"Nampaknya masih bisa tertolong, Kakang. Meskipun racun yang merasuk di tubuhnya
termasuk ganas, namun daya kerjanya sangat lambat. Sehingga, sampai saat ini
belum terlalu membahayakan nyawanya," sahut Kenanga sambil memandang kekasihnya.
"Hm.... Kalau begitu, tunggulah di sini. Biar akan ku-selesaikan urusan ini
dengan mereka," desah Panji.
Pendekar Naga Putih kemudian segera membalikkan tubuhnya. Kini kakinya melangkah
mendekati lelaki brewok dan para pengikutnya. Mereka rupanya masih penasaran
terhadap pemuda berjubah putih itu.
Panji menghentikan langkahnya dalam jarak satu batang tombak. Kemudian,
pandangannya beredar menyapu wajah-wajah angker yang saat itu juga tengah
menatapnya. "Kisanak. Kalau boleh tahu, apakah yang telah menyebabkan kalian begitu tega
menyiksa kedua orang pemuda itu?" tanya Panji.
Suara Pendekar Naga Putih terdengar ramah dan nadanya bersahabat. Meskipun dapat
diduga kalau wajah mereka bukanlah wajah orang baik-baik, namun pemuda itu
berusaha untuk mengetahui duduk persoalannya secara jelas. Sebab hal itu sangat
berguna untuk dapat memutuskan sikap yang akan diambil nanti. Sepertinya, Panji
mencoba untuk menjadi penengah di antara kedua belah pihak. Dan kalau tadi
Pendekar Naga Putih telah bersikap membela kedua orang pemuda itu, hal itu
dikarenakan tidak sampai hati melihat Balira dikeroyok dan disiksa. Jadi, bukan
berarti kalau ia membela kedua pemuda itu sepenuhnya.
"Hm.... Ketahuilah, Kisanak. Kedua orang pemuda itu adalah pembunuh biadab. Dan
saat ini, mereka tengah dicari-cari prajurit Kerajaan Batu Jajar. Kedua orang
itu adalah buronan pemerintah! Jadi kalau kau membelanya, maka akan menjadi
buronan pemerintah juga! Kalau kau tidak ingin terlibat, serahkanlah kedua orang
pemuda itu. Kemudian, kami akan menyerahkannya kepada prajurit kerajaan," jelas
laki-laki brewok itu yang membuat kening Panji berkerut dalam.
"Betulkah ucapanmu itu, Kisanak" Apakah kau melihatnya dengan mata kepala
sendiri?" tanya Panji meminta ketegasan.
Memang Pendekar Naga Putih sebenarnya tidak yakin akan keterangan yang diberikan
lelaki brewok itu. Sebab kalau menilai penampilan kedua pemuda yang kini
bersamanya, penjelasan laki-laki itu benar-benar disangsikannya. Sepertinya,
Pendekar Naga Putih akan lebih percaya kalau belasan orang itulah yang telah
melakukan kejahatan. Karena dari lagak dan nada bicara, jelas kalau belasan
orang itu bukanlah dari golongan putih.
"Bangsat! Rupanya kau tidak mempercayai kata-kataku, Kisanak! Kalau kau ingin
bukti yang lebih jelas, tanyakanlah kepada pemilik rumah penginapan tempat
peristiwa itu terjadi.
Kedua orang pemuda itu pun menginap di sana. Dan mereka melarikan diri setelah
pembunuhan itu terjadi. Apakah semua bukti itu masih belum cukup?" bentak lelaki
brewok itu dengan wajah gelap karena amarahnya mulai terbakar.
"Bukan aku tidak mempercayai kata-katamu, Kisanak. Tapi aku tidak bisa mendengar
keterangan sepihak saja. Lebih baik kalian tunggu saja di sini. Aku akan mencoba
mengobati salah seorang pemuda yang tengah menderita keracunan itu. Dan setelah
mereka sembuh, kita bisa dengar keterangan mereka.
Bagaimana" Apakah kau setuju dengan usulku?" tanya Panji meminta pendapat dari
lelaki brewok berwajah codet itu.
"Tidak bisa! Kedua orang pemuda itu adalah iblis biadab yang sangat lihai. Kalau
mereka telah sembuh, pasti akan melarikan diri! Aku tidak bisa menerima usulmu
itu! Lebih baik kau tinggalkan saja tempat ini, dan jangan mencampuri urusan
kami. Biar kami yang akan menyelesaikannya sendiri! Kalau kau tidak mau
menyerahkan kedua pemuda itu, kami terpaksa merebut dengan jalan kekerasan!"
sergah si brewok yang tidak mau menerima usul Panji. Kemudian dia cepat mencabut
keluar pedang yang terselip di pinggang.
"Maaf, aku terpaksa membela mereka. Apa lagi, luka-luka mereka masih belum
sembuh. Sekali lagi aku mohon maaf,"
ucap Panji. Pendekar Naga Putih tetap bersikap tenang, meskipun belasan orang itu telah
berlompatan mengurungnya. Wajah tampan itu tetap tersenyum sabar dan sama sekali
tidak bergerak dari tempatnya. Bahkan pemuda itu tidak terlihat memasang kudakuda sebagaimana layaknya orang yang menghadapi sebuah pertempuran.
"Bangsat! Rupanya kau harus mampus seperti halnya yang akan dialami dua orang
pemuda pembunuh itu!" bentak si brewok menggeram penuh kegusaran. "Habisi pemuda
usilan itu!"
Tanpa diperintah dua kali, belasan orang lelaki berseragam hitam segera
berlompatan menerjang Panji. Senjata-senjata mereka berkelebat dan menyambarnyambar dengan ganasnya.
Wuuuttt! Wuuuttt..!
Panji menggeser tubuhnya ke kanan-kiri, menghindari sambaran senjata
pengeroyoknya. Kemudian tubuhnya ber-kelebatan dan menyelinap di antara belasan
senjata itu. Maka meskipun para pengeroyok-nya melancarkan serangan secara
bergelombang, namun sampai sepuluh jurus lebih belum satu pun senjata yang dapat
menyentuh tubuhnya. Jangankan melukai tubuh pendekar muda itu. Bahkan ujung
bajunya saja, tidak dapat tersentuh! Tentu saja hal itu membuat para
pengeroyoknya semakin gemas dan penasaran.
Laki-laki berwajah brewok yang merupakan pimpinan belasan orang berseragam itu
sudah pula ikut membantu. Tapi, tetap saja ia tidak mampu merubah keadaan.
Kelihatannya saja Panji terdesak hingga tidak mampu balas menyerang. Padahal
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 15 Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H Kaki Tiga Menjangan 29

Cari Blog Ini