Pendekar Naga Putih 38 Tewasnya Raja Racun Merah Bagian 2
dapat dimainkan oleh tiga orang secara kompak dan saling melindungi.
"Hm...," Aryani bergumam sambil tetap berdiri tanpa bergeming sedikit pun. Gadis
cantik itu terlihat mulai merenggangkan kedua kakinya membentuk kuda-kuda.
Sepasang tangannya tampak meliuk ke atas kepalanya. Dari getaran-getaran dan
juga bau wangi yang ditebarkannya, jelas kalau gadis cantik itu menggunakan ilmu
andalannya guna menghadapi Ki Panjarasa dan dua orang muridnya.
"Haiiit..!"
Mendadak! Gumang yang berada di depannya berteriak nyaring disertai dengan
lompatan panjang ke arah Aryani.
Tongkat Baja di tangan lelaki gemuk itu berputaran sehingga menimbulkan suara
mengaung ribut!
Cepat Aryani melompat ke samping, mengelakkan terjangan tongkat baja yang lurus
mengancamnya. Kening gadis cantik itu baru berkerut ketika menyadari kalau
gerakan Gumang hanya sekadar tipuan dan bukan penyerangan sungguh-sungguh!
Karena serangan itu belum mencapai tubuhnya, Gumang kembali berseru nyaring, dan
tubuh lelaki gemuk itu telah melambung melewati kepala lawannya! Sayang
kesadaran gadis cantik itu sedikit terlambat! Selagi ia tertegun dengan gerakan
tipu Gumang, Jarinta yang berada di sebelah kirinya tahu-tahu telah membabatkan
tongkat bajanya dan mengancam kedua kaki gadis cantik itu! Aryani langsung
melesat ke depan menghindari serangan itu!
Baru saja kedua kaki Aryani menjejak tanah, terdengar sebuah desingan nyaring
yang nyaris menulikan telinganya.
Gadis cantik itu sempat terkejut melihat datangnya ujung tongkat baja yang siap
menghunjam batok kepalanya!
"Haiiit..!"
Sambil memekik nyaring, Aryani melompat dan memutar tubuhnya! Lagi-lagi serangan
yang dilancarkan Ki Panjarasa itu hanyalah sebuah tipuan, dan bukan serangan
sungguh-sungguh! Sehingga....
Bukkk! "Aaakh...!?"
Aryani yang baru saja hendak menjejak tanah, memekik kesakitan! Sebuah kibasan
tongkat yang cukup keras, menghantam telak punggungnya! Karuan saja tubuh gadis
itu terjerunuk ke depan! Meskipun ia telah melindungi tubuhnya dengan tenaga
sakti, tetap saja gadis itu meringis menahan rasa nyeri yang menggigit
punggungnya! "Setan...!" Aryani menyumpah sambil menatap tajam lelaki gemuk yang telah
menyarangkan pukulan tongkatnya di punggung gadis itu. Orang itu tak lain adalah
Gumang, lelaki yang pertama kali membuka serangan!
Gadis cantik keturunan datuk sesat itu tidak sempat berpikir panjang. Pada saat
bersamaan, ketiga orang lawannya telah menerjang secara berbarengan! Karuan saja
Aryani mengerutkan keningnya. Karena cara kerja lawan-lawannya telah berubah
sama sekali! "Kurang ajar...!" lagi-lagi Aryani mengumpat kesal. Gadis cantik keturunan datuk
sesat itu benar-benar dibuat jengkel oleh lawan-lawannya.
Kali ini Aryani mengambil sikap nekat! Karena ia tidak tahu apakah serangan itu
sungguhan atau sekadar tipuan, maka
gadis itu mengambil sikap menanti! Kedua kakinya dibuka sedikit dengan kedua
tangan menyilang di depan dada. Aryani siap menyambut datangnya ketiga batang
tombak baja lawan!
Lagi-lagi gadis cantik itu terpaksa harus menelan kejengkelannya. Hatinya yang
sudah tegang menanti datangnya serangan tongkat lawan, berubah menjadi jengkel!
Betapa tidak, pada saat ketiga batang tongkat itu tinggal beberapa jengkal lagi
dari tubuhnya, tahu-tahu saja ketiga lawannya berteriak secara bersamaan.
Berbarengan dengan itu, Ki Panjarasa, Jarinta, dan Gumbang tiba-tiba saja
tubuhnya melenting ke udara berpencaran! Serangan mereka ternyata hanya sebuah
tipuan untuk membuat lawan terombang-ambing perasaannya.
"Yeaaah...!"
Belum lagi ketegangan di hati Aryani lenyap, tiba tiba Ki Panjarasa berseru
nyaring sambil menusukkan ujung tongkatnya ke tubuh gadis cantik itu! Serangan
yang jelas mengandalkan kekuatan penuh itu, ternyata sebuah serangan yang
mematikan, dan sepertinya memang bukan sebuah tipuan!
Menyadari gerakan ketiga orang pengeroyoknya memiliki banyak tipuan yang tidak
diketahui, maka Aryani mengambil keputusan untuk tetap tenang. Ia bertekad tidak
akan menghindar serangan lawan sebelum mengancamnya. Tekad itu membuat Aryani
tidak berusaha menghindari, gempuran tongkat baja Ki Panjarasa! Meski serangan
itu terlihat sungguh-sungguh, gadis itu tidak mempedulikannya. Ia tidak mau
terkecoh untuk kesekian kalinya!
Sayang perkiraan Aryani meleset. Ujung tongkat baja Ki Panjarasa meluncur deras
mengancam tubuhnya. Gadis itu
tidak berusaha untuk menghindar. Ia menanti hingga ujung tongkat lawan benarbenar dekat dengan tubuhnya!
Wuuuk! "Hihh...!"
Aryani sempat memekik kaget ketika ujung tongkat itu, ternyata benar-benar akan
menghantam tubuhnya! Cepat gadis cantik itu berkelit memiringkan tubuhnya,
sehingga serangan Ki Panjarasa lewat setengah jengkal di depan tubuh gadis
cantik itu! Langsung saja Aryani menggerakkan tangannya dari atas ke bawah
dengan maksud untuk merebut tongkat itu dari tangan lawan! Sambil berbuat
demikian, ia merendahkan kuda-kudanya, dan mengirimkan tebasan tangan kiri ke
leher lawannya!
Bettt! Tebasan tangan kiri dan cengkeraman Aryani pada tongkat lawan, mengenai angin
kosong! Karena secara tak terduga, Ki Panjarasa membungkuk dengan kuda-kuda yang
sangat rendah! Dan, lelaki gagah itu menyusulinya dengan menyontekkan ujung
tongkatnya dan mengancam dagu gadis cantik itu! Karuan saja serangan itu membuat
Aryani terkejut!
Cepat ia melempar tubuhnya ke belakang menghindari hantaman tongkat pada
dagunya! Tapi, gadis cantik itu terpaksa harus menelan pil pahit untuk kedua kalinya!
Pada saat tubuhnya terlontar ke belakang, tahu-tahu saja sebatang tongkat yang
berada di tangan Jarinta, telah menghajar punggungnya dengan keras!
Buggg! "Aaakh...!"
Aryani memekik kesakitan! Hantaman keras itu membuat tubuhnya meluncur tidak
terkendali! Sehingga, tubuh gadis cantik itu terbanting di atas tanah!
"Bangsat! Setan Keparat...!" Aryani memaki kalang kabut.
Gadis cantik itu menyusut sudut bibirnya yang tampak mengalirkan darah! Jelas
hantaman tongkat baja Jarinta telah membuat tubuh gadis cantik itu mengalami
luka dalam. Meskipun tidak terlalu parah, tapi cukup membuat Aryani mati kutu
oleh ketiga orang tokoh Perguruan Tongkat Baja itu.
Dengan sepasang mata berkilat tajam, Aryani bangkit berdiri.
Sikap gadis cantik itu tak ubahnya seperti binatang buas yang terluka! Kikitan
nafsu membunuh terlihat jelas pada sinar matanya.
"Meskipun aku harus mati, tapi kalian semua tidak akan kubiarkan hidup!" ujar
Aryani sambil melesat menerjang Gumang, lawan yang terdekat dengannya.
"Yeaaat..!"
Sayang Aryani lebih banyak mempergunakan kemarahannya dalam menghadapi ilmu
tongkat gabungan itu. Kalau saja ia mencoba untuk berpikiran jernih dan mau
memecahkan kelemahan ilmu lawan, rasanya tidak terlalu suit. Karena dara cantik
itu miskin pengalaman, tidak mengherankan bila ia mempergunakan kemarahan dan
emosinya dalam melayani keroyokan lawan. Tentu saja tindakan itu tidak
menguntungkan dirinya. Malah sebaliknya, ia sendiri yang akan menderita kerugian
dengan tindakan emosinya!
Aryani menerjang kalang kabut bagaikan kerasukan setan.
Beberapa kali hantaman tongkat lawan tidak lagi dirasakannya.
Ia hanya berpikir, bila ia harus tewas, paling tidak ia mesti membawa salah
seorang dari lawannya ke alam kematian!
Tekad itu pula yang membuatnya tidak mempedulikan hantaman tongkat baja lawan
pada tubuhnya. Malang sekali nasib keturunan Raja Racun Merah itu.
Tubuhnya jungkir balik dipermainkan Ki Panjarasa dan kedua orang muridnya! Wajah
cantik itu pun berubah pucat dan kebiruan karena terlalu banyak pukulan yang
harus diterima!
Tapi dengan gigih Aryani melakukan perlawanan mati-matian demi membela nama
ayahnya! "Haiiit..!"
Desss...! Aryani kembali memekik kesakitan ketika sebuah hantaman tongkat lawan kembali
menyengat tubuhnya! Darah segar meleleh membasahi pakaiannya! Tapi, gadis cantik
itu memaksa bangkit untuk melakukan perlawanan!
Bresssh...! Putri Raja Racun Merah menggulingkan tubuhnya menjauhi ujung tongkat yang
mengincarnya! Sehingga, hantaman tongkat baja Gumang menghantam tanah, tempat di
mana Aryani semula berada! Untunglah gadis cantik itu lebih dahulu menghindar!
Kalau tidak, mungkin batok kepalanya terkena hantaman ujung tongkat lawannya.
"Hiaaah...!"
Belum lagi Aryani sempat bangkit tegak, sebuah ujung tongkat lain datang
mengancam tubuhnya! Melihat serangan yang datang demikian cepat dan kuat itu,
sepertinya sulit bagi Aryani untuk menghindarkan diri! Apalagi keadaan tubuhnya
sudah mulai lemah!
Wuuuk! Gadis cantik itu terpaksa menanti datangnya maut dengan tatapan tajam! Kedua
kakinya yang terasa lemah dan sukar untuk digerakkan membuatnya terpaksa
mengangkat tangan guna melindungi kepalanya dari hantaman maut lawan!
Ki Panjarasa yang merasa yakin sasarannya tidak akan selamat, semakin menambah
kekuatan pada ujung tongkatnya.
Sehingga suara mengaung yang ditimbulkannya semakin ribut!
"Tahan...!"
Pada saat yang benar-benar berbahaya itu, riba-tiba terdengar sebuah bentakan
keras yang mengguntur!
Berbarengan dengan terdengarnya seruan keras itu, sesosok tubuh berkelebat
bagaikan kikitan sinar yang langsung memapaki luncuran ujung tongkat Ki
Panjarasa! *** Plakkk...! Terdengar sebuah benturan keras yang memekakkan telinga!
Berbarengan dengan itu, tampak tubuh Ki Panjarasa terpental bagai dilemparkan
tangan raksasa yang tak tampak!
"Aaakh...!?"
Ki Panjarasa memekik kaget! Di balik rasa terkejutnya, ada rasa keheranan
menyelinap di lubuk hatinya. Meskipun jelas-jelas tubuhnya terpental, tapi sama
sekali tidak merasakan adanya kenyerian pada lengannya yang memegang tongkat!
Padahal, menurut dugaannya, paling tidak ia pasti akan menderita luka dalam
akibat benturan keras itu! Ternyata ia hanya terlempar sejauh satu setengah
tombak, dengan tubuh terasa ringan bagaikan tidak berbeban!
"Aryani, kau... bagaimana dengan lukamu...?" sesosok tubuh terbungkus jubah
putih tampak tengah merunduk dan mencoba untuk menarik bangkit tubuh Aryani.
Pancaran kabut bersinar putih keperakan tampak masih tersisa pada tubuhnya.
"Kakang Panji...!?" bibir mungil yang dipenuhi noda darah itu berdesis perlahan
dan hampir tidak terdengar. Ada genangan air mata tampak di mata indah itu.
Jelas Aryani merasa terharu dengan kehadiran pemuda tampan berjubah putih itu.
Gadis itu sadar kalau pemuda itu telah menyelamatkan nyawanya kembali.
"Benar, kami yang datang, Aryani...," terdengar suara halus yang merdu.
Berbarengan dengan itu, seorang dara jelita melangkah menghampiri Panji dan
Aryani. Siapa lagi gadis jelita berpakaian serba hijau itu kalau bukan Kenanga.
"Ah, aku selalu saja membuat kalian repot..," desis gadis cantik itu sambil
berusaha berdiri tegak dipapah oleh pemuda tampan berjubah putih itu.
"Sudah tahu begitu, mengapa kau lari dari kami..." Dasar kau saja yang
bendel...," sahut gadis jelita berpakaian serba hijau itu sambil mengulur
tangannya dan menggantikan Panji memapah tubuh Aryani. Aryani sendiri sama
sekali tidak marah dengan ucapan gadis cantik itu. Karena, ia tahu meski ucapan
itu agak ketus, tapi Kenanga tidak benar-benar marah kepadanya.
"Maafkan aku, Kakang. Aku tidak mau melibatkan kalian dalam urusanku ini...,"
sahut Aryani dengan tatapan mohon pengertian dari gadis jelita itu. Tampak
Aryani merasa menyesal dengan apa yang telah diperbuatnya terhadap pasangan
pendekar yang sangat baik terhadap dirinya.
"Hm..., nyatanya kami terlibat juga, bukan...?" balas Kenanga tersenyum
menggoda. Aryani hanya menarik napas mendengar ucapan Kenanga.
Gadis cantik itu merasa terharu bukan main atas kebaikan pasangan pendekar
terkenal itu. Padahal, mereka baru kenal beberapa hari. Tapi, pasangan pendekar
itu telah banyak melepas budi kepadanya. Dua kali nyawanya diselamatkan dari
kematian. Dan itu bukan jasa yang kecil menurut pikiran Aryani.
Dalam hati, ia berjanji akan membalas jasa pasangan pendekar itu, meski ia tidak
tahu bagaimana caranya.
Kenanga yang membawa Aryani ke tempat yang aman, segera mengobati luka-luka yang
dialami gadis keturunan daruk sesat itu. Sepertinya gadis jelita itu percaya
sepenuhnya bahwa Panji atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih,
dapat menyelesaikan persoalannya dengan baik. Pikiran itu yang membuatnya tenang
dalam melakukan pengobatan terhadap Aryani.
6 Jarinta dan Gumang merapat mendekati Ki Panjarasa. Dua orang murid utama Ketua
Perguruan. Tongkat Baja itu benar-benar terkejut melihat guru mereka terpental.
Kendati mereka tidak tahu penyebabnya, namun jelas semua itu terjadi karena
kemunculan pemuda tampan berjubah putih itu. Mereka menduga pasti dikarenakan
tindakan pemuda berjubah putih itu. Maka, Jarinta dan Gumang mendekati gurunya,
dan siap membantu.
Ki Panjarasa sendiri sempat tertegun menatap pemuda berjubah putih itu. Setelah
meneliti beberapa saat lamanya, ia teringat dengan lelaki gagah itu, seorang
pendekar muda yang pada masa itu sangat terkenal di kalangan rimba persilatan.
Melihat ciri-ciri pemuda di depannya, Ki Panjarasa mulai dapat menebak siapa
sesungguhnya pemuda gagah dan tampan itu.
"Kisanak, bukankah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tanya Ki Panjarasa
melangkah maju beberapa tindak mendekati Panji. Jarinta dan Gumang tetap
mengiringi guru mereka dengan sikap slap untuk bertarung.
"Begitulah, orang-orang persilatan menyebutku, Paman.
Maaf, kalau aku telah membuat Paman terkejut..," jawab Panji dengan wajah yang
tetap tenang dan penuh senyum.
"Hm..., tahukah kau, siapa gadis cantik yang kau selamatkan itu" Dia adalah
putri seorang datuk sesat berhati iblis yang berjuluk Raja Racun Merah!
Serahkanlah dia kepada kami...,"
lanjut Ki Panjarasa dengan tekanan nada agak berat dan setengah memaksa.
"Aku tahu, Paman. Bahkan sebelumnya aku telah mengenal gadis yang bernama Aryani
itu. Sayang tuduhan Paman keliru.
Aryani tidaklah sejahat yang Paman kira. Bahkan ayahnya pun telah sadar akan
kesesatannya. Itulah sebabnya aku berani menyelamatkan gadis itu," jawab Panji
tetap tenang dan tidak terpancing oleh nada ucapan lawannya.
"Kau tahu, Pendekar Naga Putih. Raja iblis itu kini telah mengutus muridmuridnya untuk membuat kekejaman. Salah satunya yang menjadi sasaran adalah
keluarga dan seluruh murid-murid perguruanku. Semuanya dibantai habis secara
keji dan biadab! Nah, apakah perbuatan pengikut iblis-iblis itu harus kubiarkan
berkeliaran begitu saja" Salahkah kalau aku berniat untuk menawan gadis itu,
agar ayahnya datang mencariku?"
nada ucapan Ki Panjarasa mulai meninggi karena terbawa emosi dan dendam.
"Tapi, semua itu belum tentu benar, Paman. Siapa tahu ada orang-orang yang
sengaja menyebarkan fitnah keji kepada Raja Racun Merah. Pikirkanlah tindakan
Paman, jangan sampai menyesal dikemudian hari," jelas Panji mencoba mengingatkan
lelaki gagah itu kalau-kalau tindakannya akan disesali kemudian hari.
"Hm..., aku tidak perlu dengan khotbahmu, Pendekar Naga Putih. Meskipun kau
seorang pendekar besar yang diagung-agungkan orang banyak, tapi Ki Panjarasa
tidak gentar! Karena aku yakin kebenaran berada dipihakku!" tukas Ki Panjarasa
dengan nada yang semakin keras.
"Tapi, Paman...."
"Cukup!" bentak Ki Panjarasa memotong ucapan Panji,
"Sekarang boleh kau putuskan! Di pihak mana kau sebenarnya berdiri!"
"Maaf, aku terpaksa harus membelanya, sebelum semua persoalan ini jelas. Dan,
aku...." "Sambut pukulanku...!" Ki Panjarasa yang tidak mau mendengar alasan Pendekar
Naga Putih lagi, membentak nyaring dengan dibarengi lesatan tubuhnya. Tongkat
Pendekar Naga Putih 38 Tewasnya Raja Racun Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baja di tangannya berputaran menimbulkan deruan angin keras!
Bettt! Bettt! Dua kali sabetan tongkat baja itu berhasil dihindari Panji dengan melempar
tubuhnya ke belakang. Tapi, Ki Panjarasa tidak memberi kesempatan kepada pemuda
tampan itu untuk berbicara lebih jauh lagi! Tongkat baja di tangannya terus
menyambar-nyambar mengincar tubuh Pendekar Naga Putih!
Panji, untuk kesekian kalinya, terpaksa bentrok dengan tokoh-tokoh segolongan
dalam membela Aryani. Dan, ia sama sekali tidak berusaha membalas serangan Ki
Panjarasa. Meskipun Ketua Perguruan Tongkat Baja itu menyerangnya dengan gencar. Pemuda itu
hanya mengelak, dan menghindari sambaran tongkat baja yang mengancam tubuhnya
itu! "Heaaat..!"
"Yeaaat..!"
Jarinta dan Gumang yang melihat guru mereka telah bertarung dengan pemuda yang
berjuluk Pendekar Naga Putih itu, segera memasuki arena pertempuran dan langsung
membantu gurunya!
Masuknya kedua orang murid utama lelaki gagah itu ke dalam pertarungan, tentu
saja membuat Panji sedikit sibuk!
Pemuda tampan itu terpaksa melakukan lompatan panjang jauh ke belakang dan
berputaran beberapa kali di udara, sebelum menjejakkan kakinya di atas tanah.
Tapi, baru saja Panji menjejakkan kakinya di tanah, sambaran tongkat baja di
tangan Ki Panjarasa kembali mengancam tubuhnya! Ketika pemuda itu melesat ke
samping kanan untuk menghindari sabetan tongkat lelaki gagah itu, ujung tongkat
Gumang datang mengancam pelipisnya!
"Hebat..!" mau tidak mau Panji terpaksa memuji kekompakan ketiga orang lelaki
gagah itu. Ujung tongkat baja di tangan lelaki gemuk itu ditepiskan Panji dengan
menggunakan telapak tangannya!
Plakkk! "Uhhh...!"
Gumang mengeluh pendek ketika tubuhnya terjajar mundur akibat tangkisan, yang
kelihatan pelan dan sembarangan itu!
Lelaki gemuk itu terlihat agak menyeringai, sambil memijat lengan kanannya yang
terasa linu! Ia pun sadar kalau tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Naga Putih
memang sukar untuk diukur!
Wuuuk! Cepat bagai kilat, Pendekar Naga Putih berbalik ketika telinganya menangkap
desir angin tajam dari belakangnya.
Kening pemuda itu agak berkerut melihat datangnya serangan tongkat dari lelaki
kurus yang tak lain Jarinta. Namun, pemuda itu cepat menggeser juga tubuhnya,
meski ia agak ragu melihat serangan lawan. Karena ketajaman matanya, pemuda
tampan itu dapat menebak serangan tongkat baja Jarinta seperti sebuah gerak
tipu, dan bukan serangan sungguhan!
Dugaan Panji memang tidak meleset! Secara mendadak, Jarinta menarik pulang
serangan tongkatnya, dan langsung melempar tubuh ke samping, lalu berjumpalitan
beberapa kali! Belum lagi Panji sempat berpikir melihat tongkat lelaki kurus itu, yang
menurutnya sangat aneh, tiba-tiba saja dari tempat di mana tadi serangan lelaki
kurus itu datang, telah muncul ujung tongkat baja lain yang meluncur deras ke
arah tenggorokannya! Barulah Panji sadar kalau ketiga orang lelaki gagah itu
telah mempergunakan ilmu tongkat gabungan untuk menundukkannya!
"Sayang mereka terlalu cepat mengambil keputusan...,"
gumam Pendekar Naga Putih menyayangkan betapa ilmu tongkat yang hebat itu harus
digunakan kepada orang yang salah.
Panji yang telah berpengalaman dalam menghadapi pertempuran, segera dapat
melihat inti dari ilmu tongkat gabungan lawannya. Tanpa ragu-ragu lagi, pemuda
itu segera melambung tinggi melampui tubuh Ki Panjarasa yang menyerangnya.
Dengan demikian, tindakan pemuda itu berarti telah membuat ilmu tongkat gabungan
lawannya mati, dan tidak dapat berkembang. Dan, itu satu-satunya kelemahan yang
terdapat pada ilmu tongkat gabungan yang mengikuti gerak lawan secara
berlawanan. Jarinta dan Gumang yang melihat tindakan Pendekar Naga Putih, tentu saja menjadi
terkejut. Mereka yang siap menyerang apabila Panji mengelak atau memapaki
serangan gurunya, kini hanya bisa berdiri bingung! Karena saat itu lawan yang
hendak mereka serang jauh berada di belakang mereka.
Sehingga, baik Jarinta maupun Gumang tidak dapat berbuat apa-apa.
"Kurang ajar! Pendekar Naga Putih rupanya telah mengetahui kelemahan kita...,"
desis Ki Panjarasa yang diam-diam menjadi kagum melihat ketelitian pemuda itu
dalam memecahkan kelemahan ilmu tongkat gabungannya.
Ketiga orang itu kembali berlompatan mengepung Pendekar Naga Putih. Tongkat di
tangan mereka berputar menimbulkan deruan angin yang tajam. Melihat dari
sikapnya, jelas Ki Panjarasa dan murid-muridnya hendak bertarung sampai titik
darah yang penghabisan!
Panji yang tidak ingin keliru dalam menghadapi masalah.
Segera mengambil keputusan untuk tidak melayani lawannya.
Pemuda tampan itu segera mengedipkan sebelah matanya ke arah Kenanga yang tidak
jauh di samping kanannya.
Kenanga yang mengerti isyarat Panji segera mengangkat Aryani. Kemudian, gadis
jelita itu bergegas meninggalkan tempat itu dengan membawa putri Raja Racun
Merah. Setelah melihat tubuh Kenanga dan Aryani lenyap di balik kelebatan pepohonan,
Panji segera mengeluarkan ilmu tenaga dalamnya. Sedetik kemudian, pemuda itu
melontarkan pukulan jarak jauhnya ke arah sebatang pohon besar!
Wuuus.... Duaaarrr...! Terdengar suara bergemuruh ketika pohon besar yang berada dekat arena
pertarungan roboh dengan suara hiruk-pikuk! Sehingga, dalam sekejap saja,
suasana menjadi gaduh!
Bersamaan dengan itu, tubuh Pendekar Naga Putih melesat secepat kilat
meninggalkan arena pertarungan!
"Setan...!" Ki Panjarasa hanya bisa menyumpah-nyumpah, ketika suasana kembali
tenang, sosok pemuda tampan itu ternyata telah lenyap tanpa bekas. Lelaki gagah
itu hanya dapat menarik napas jengkel. Karena ia sendiri tidak sempat melihat ke
mana perginya Pendekar Naga Putih!
"Licik...!" Gumang yang juga merasa penasaran mendesis dengan geramnya.
"Kita harus mengejar gadis jelita itu dan menangkapnya, Guru. Kalau perlu kita
mengadu nyawa dengan Pendekar Naga Putih yang sombong itu!" ujar Jarinta dengan
tidak kalah geramnya.
"Tentu. Setelah menguburkan mayat Sungkana, dan mengobati Purgawa, kita akan
cari mereka sampai dapat! Biar ia berada di ujung dunia sekali pun, aku akan
tetap mengejarnya!" sahut Ki Panjarasa berapi-api.
Setelah berkata demikian, lelaki gagah itu memerintahkan kedua orang muridnya
untuk menguburkan mayat Sungkana.
Sedang ia sendiri sudah menghampiri Purgawa. Ki Panjarasa berniat hendak
mencarikan orang pandai untuk menyembuhkan luka-luka di tubuh Purgawa.
Tidak berapa lama kemudian, terlihat keempat sosok tubuh itu bergerak
meninggalkan desa. Purgawa yang masih lemah, dipapah oleh Jarinta dan Gumang.
*** Sosok berjubah putih itu terus bergerak meninggalkan desa.
Jubahnya yang panjang berkibaran, karena sosok itu bergerak cepat dengan kaki
yang laksana tak menginjak bumi.
Langkahnya baru melambat setelah cukup jauh meninggalkan desa, tempat di mana ia
semula singgah.
"Itu Kakang Panji...!" seru seorang data jelita berpakaian serba hijau menunjuk
ke arah sosok berjubah putih, yang saat itu tengah menghampirinya.
Tidak salah apa yang dikatakan gadis jelita itu. Sosok berjubah putih, yang baru
saja meninggalkan lawannya,
memang Panji. Pemuda itu tersenyum kepada dua orang data yang tengah menantinya.
"Apakah mereka mengejar kita, Kakang...?" tanya data jelita berpakaian serba
hijau itu, dan bergerak bangkit menyambut kedatangan Panji. Sedang dara cantik
berpakaian kuning cerah di sebelahnya, tampak hanya terduduk menatap pemuda
tampan itu. "Syukurlah mereka dapat kukelabui. Untuk sementara ini aku kira kita aman. Sebab
mereka tidak mengejarku," sahut Panji mengulurkan tangannya merengkuh tubuh dara
jelita yang tidak lain Kenanga. Kemudian keduanya berjalan menghampiri gadis
berpakaian kuning, Aryani.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang" Kita harus mencari
penyelesaian dari masalah ini. Kalau tidak, semua tokoh persilatan golongan
putih akan tetap memusuhi kita. Ini akan menyulitkan langkah kita, Kakang...,"
ujar Kenanga meminta pertimbangan sambil menatap wajah kekasihnya.
Masalah yang mereka hadapi kini memang makin pelik dan berbahaya. Kalau sampai
apa yang dikhawatirkan gadis jelita itu menjadi kenyataan, langkah mereka
selanjutnya pasti tidak akan aman.
"Ya. Sedang kunci semua masalah ini hanya terletak pada Raja Racun Merah.
Sepertinya kita harus mencari datuk itu lebih dahulu. Dari tokoh itu, mungkin
kita dapat menemukan jawaban terhadap masalah pelik ini," sahut Panji disertai
dengan helaan napas yang berat. Kemudian pemuda tampan itu mengalihkan
pandangannya ke arah Aryani, yang saat itu tengah duduk menanti kedatangan
keduanya. Panji dan Kenanga menghempaskan tubuhnya di samping gadis cantik itu. Aryani
terlihat masih agak pucat wajahnya.
Gerak-geriknya nampak agak lemah. Jelas kalau kesehatan gadis itu belum pulih
sepenuhnya. "Bagaimana keadaanmu, Aryani...?" tanya Panji sambil menatap wajah cantik yang
agak pucat itu.
"Sudah agak baikan, Kakang. Terima kasih atas pertolongan kalian berdua. Entah
bagaimana aku harus membalas budi kalian yang begitu besar kepadaku...?" desah
Aryani dengan nada suara yang terdengar lemah.
Panji menghela napas ketika mendengar nada kesedihan dalam ucapan Aryani. Pemuda
tampan itu bukan tidak tahu apa yang membuat putri datuk sesat itu berduka.
Persoalan-persoalan yang dihadapinya membuat Aryani menjadi terpukul.
Karena ke manapun langkahnya terayun, di situ ia pasti akan bertemu dengan
orang-orang yang memusuhi ayahnya.
"Sabarlah, Aryani. Tidak ada satu persoalan di dunia ini yang tidak mempunyai
jawaban. Apa yang kau temui selama ini memang sangat menyakitkan hati. Tapi,
kita tidak boleh menyerah dalam menghadapinya. Satu yang harus kita jaga,
hindari pertempuran sebisa mungkin selama persoalan ini belum terjawab. Sebab
kita tidak tahu, siapa yang bersalah sebenarnya dalam masalah ini. Aku percaya
kau tidak jahat.
Tapi, aku juga yakin orang-orang yang bertempur dan melukaimu itu, juga belum
tentu jahat. Mereka mempunyai alasan yang kuat untuk berbuat itu," tutur Panji
mencoba menghibur Aryani agar gadis cantik itu tidak tenggelam dalam
kedukaannya. "Aku sebenarnya tidak terlalu menyalahkan mereka, Kakang.
Tapi, hinaan-hinaan mereka terhadap ayahku, membuat aku lupa diri, dan tidak
bisa menahan emosi. Ah... mengapa sulit sekali untuk berbuat kebaikan" Apakah
diriku memang sudah ditakdirkan untuk menjadi orang jahat" Tidak bisakah mereka
menerimaku sebagai mana adanya, tanpa mengaitkan dengan nama kotor ayahku?"
desah Aryani sambil menghembuskan napas berat. Wajah cantik yang agak pucat itu
semakin nampak gambaran kedukaannya.
"Satu-satunya jalan untuk menemukan kunci dari semua masalah ini, hanyalah
ayahmu. Kita harus menemui beliau secepatnya, Aryani. Aku khawatir kalau kita
sampai keduluan oleh tokoh-tokoh persilatan yang mamusuhi dan dendam terhadap
ayahmu. Kalau hal itu sampai terjadi, semakin sulitlah bagi kita untuk
menyelesaikannya," jelas Pendekar Naga Putih memberikan usul.
Mendengar ucapan pemuda tampan itu, Aryani menoleh, dan menatap Panji penuh
selidik. Dirayapinya wajah tampan itu dengan tatapan mata tajam. Kemudian,
ditatapnya tepat di kedua bola mata pemuda itu. Sepertinya gadis cantik itu
ingin mengetahui maksud Panji menemui ayahnya. Ada kilatan kecurigaan dalam
tatapan mata putri datuk sesat itu.
Panji hanya tersenyum melihat gadis cantik itu memandangnya penuh curiga. Pemuda
itu maklum, setelah apa yang selama ini dialami Aryani, membuat gadis cantik itu
mudah curiga. Apalagi kalau hal itu menyangkut ayahnya.
"Apa maksud Kakang hendak menemui ayahku..." Apa kau juga tidak percaya kalau
ayahku itu telah bertobat, dan meninggalkan segala kesesatannya selama ini...?"
tanya Aryani ragu-ragu. Sambil tetap tidak melepaskan pandangannya dari wajah
pendekar muda yang tampan itu.
"Hm... kau lupa apa yang baru saja kukatakan kepadamu, Aryani. Kita harus
menghadapi persoalan ini dengan kesabaran.
Ingatlah! Satu-satunya kunci dari masalah ini adalah ayahmu.
Dan, aku ingin menemui beliau bukan sebagai musuh. Tapi sebagai seorang manusia
yang ingin mencari kebenaran. Aku
harap kau tidak keberatan apabila mengantarkan kami berdua kepada beliau," sahut
Panji tetap dengan nada tenang. Pemuda tampan itu sama sekali tidak tersinggung
dengan tuduhan Aryani, meskipun tidak secara berterus-terang itu.
"Aryani, Kakang Panji ingin membantumu untuk membersihkan nama Raja Racun Merah.
Untuk itu, kita harus bertemu langsung dengan ayahmu. Kecurigaanmu itu sama
sekali tidak berdasar. Pikirkanlah baik-baik tanpa rasa curiga.
Kalau Kakang Panji hendak berbuat jahat, mengapa ia harus menyelamatkanmu dengan
risiko dimusuhi orang-orang segolongan" Kita harus menemui ayahmu, Aryani.
Beliaulah yang dapat menjawab semua masalah yang kita hadapi ini,"
Kenanga yang semenjak tadi hanya mendengarkan, terpaksa ikut angkat bicara.
Aryani termenung sejenak setelah mendengar ucapan Kenanga. Ia menyadari
kebenaran ucapan gadis jelita itu.
Untuk apa ia diselamatkan berkali-kali, kalau Pendekar Naga Putih ingin
mencelakakannya" Ucapan Kenanga terus terngiang-ngiang dalam pikirannya.
"Baiklah," jawab Aryani kemudian, "Aku akan membawa kalian menemui ayahku Mudahmudahan itu merupakan jaian terbaik untuk menyelesaikan semua persoalan ini,"
desah Aryani penuh harap. Setelah berkata demikian, gadis cantik itu bangkit
dari duduknya. "Syukurlah kalau kau telah menyadarinya...," gumam Kenanga dengan wajah cerah.
Gadis jelita itu segera bangkit dakuti Panji.
Ketiganya segera berangkat mengikuti Aryani untuk menemui Raja Racun Merah.
datuk sesat yang kini menjadi pusat perhatian tokoh-tokoh persilatan golongan
putih! 7 Gunung Kalang berdiri kokoh bagaikan sosok raksasa penyangga langit. Puncaknya
yang tinggi menjulang, pagi itu tampak diselimuti kabut tebal. Bila orang
memandangnya dari kaki gunung, puncak itu laksana menembus langit.
Pagi itu, udara pegunungan yang sejuk menyapu lembut wajah tiga orang muda yang
tengah bergerak menyeberangi sebuah aliran sungai. Setelah tiba di seberang
sungai, ketiganya tampak berhenti sejenak memandang puncak Gunung Kalang yang
tinggi menjulang.
"Di puncak itukah tempat ayahmu mengasingkan diri, Aryani," tanya sosok pemuda
tampan berjubah putih sambil menoleh ke arah dara cantik berpakaian kuning
cerah. Ketiga orang muda itu rupanya Paji, Kenanga, dan Aryani.
Kedatangan mereka ke Gunung Kalang untuk menemui Raja Racun Merah, tokoh sesat
yang menggemparkan itu.
"Bukan, Kakang. Beliau mendirikan tempat peristirahatan di salah satu lembahnya.
Sedang puncak itu sendiri menurut ayah belum pernah dijamah manusia. Entah benar
atau tidak keterangan ayahku itu. Tapi, melihat ketinggian puncak itu yang
bagaikan menembus langit, sepertinya benar keterangan ayahku," sahut Aryani
sambil menengadahkan kepalanya menatap puncak.
"Hm..., sebuah tempat yang tenang dan damai. Benar-benar cocok sebagai tempat
untuk mengasingkan diri...," Kenanga, dara jelita berpakaian serba hijau itu
berdesah perlahan.
Matanya yang bulat dan indah itu, tampak berpendar
memancarkan kebahagiaan. Sehingga, Panji yang sempat mendengar gumaman
kekasihnya sejenak tertegun.
Ditatapnya wajah gadis jelita yang tampak demikian terhanyut oleh keindahan
suasana Gunung Kalang. Sejenak hati pemuda itu tergetar, seolah-olah ia mengerti
ke mana arah ucapan kekasihnya yang lirih itu.
Aryani sendiri seperti sadar akan suasana hati pasangan pendekar itu. Ia
melangkah perlahan mendahului mereka.
Gadis cantik itu mengerti dan tidak mengganggunya.
Panji berdesah perlahan agar tidak sampai terdengar oleh Kenanga, yang terlihat
seperti terpaku dengan ketenangan dan ketenteraman alam Gunung Kalang itu.
Perlahan pemuda tampan itu melingkarkan tangannya dan merengkuh tubuh
kekasihnya.
Pendekar Naga Putih 38 Tewasnya Raja Racun Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suatu saat kelak, kita akan mencari tempat yang tenang dan tenteram seperti
ini, Kenanga...," bisik Panji merapatkan tubuh gadis jelita itu ke tubuhnya. Ada
nada keharuan dan iba dalam ucapan Pendekar Naga Putih kali ini.
Kenanga agak tersentak bagaikan direnggut dari alam mimpi yang indah. Gadis
jelita itu baru menyadari ucapannya saat mendengar bisikan Panji di telingnya.
Ada sorot sesal di mata dara jelita itu.
"Hhh... maafkan aku, Kakang. Bukan maksudku untuk menyinggung perasaanmu. Aku...
begitu terpengaruh dengan suasana alam yang menimbulkan ketenteraman dan
kedamaian. Suasana alam Gunung Kalang membuat tubuhku terasa lelah dan ingin
segera meninggalkan kehidupan yang keras selama ini kita jalani...," ucap
Kenanga berdesah penuh sesal.
"Kau tidak salah, Kenanga. Perjalanan kita selama ini memang selalu diwarnai
oleh petualangan dan kekerasan.
Wajar bila kau merasa lelah setelah merasakan betapa indahnya hidup dalam alam
yang tenteram dan damai. Seperti yang kukatakan tadi, suatu hari kelak, kita
pasti akan tinggal di tempat seperti ini...," sahut Panji lembut. Dikecupnya
kening dara jelita itu dengan sepenuh perasaannya.
"Ahhh, mengapa kita harus melupakan tujuan kedatangan kita ke tempat ini"
Ayolah, Kakang. Lupakan saja apa yang aku ucapkan tadi..," sambil berkata
demikian, Kenanga melangkah menyusul Aryani yang telah lebih dulu mendaki lereng
gunung. Panji menghembuskan napas berat seraya melangkah menyusul kekasihnya dan Aryani.
Diam-diam pemuda tampan itu berjanji dalam hatinya untuk mengabulkan keinginan
kekasihnya bila sang waktu menginginkan mereka.
*** "Ayah...!"
Aryani berteriak dengan penuh kegembiraan, ketika ia tiba di dekat sebuah pondok
sederhana. Disertai luapan kegembiraannya, gadis cantik itu berlari dan bergegas
membuka pintu pondok.
Panji dan Kenanga yang tidak jauh berada di belakang gadis cantik itu tersenyum
melihat kegembiran Aryani. Keduanya saling berpandangan dan melangkah menyusul
Aryani menuju pondok.
Belum lagi Panji dan Kenanga menyentuh pintu pondok, Aryani telah melompat
keluar dan hampir bertubrukan dengan
pasangan pendekar itu. Untung saja Panji dan Kenanga telah melompat ke samping,
Sehingga, benturan itu bisa dielakkan.
"Ada apa, Aryani...?" tegur Kenanga yang merasa hatinya tidak enak melihat wajah
gadis yang tampak tegang!
"Ayah tidak ada di dalam pondok. Ini aneh! Padahal, ayah biasanya pasti tahu
bila ada orang yang datang berkunjung ke lembah ini...," sahut Aryani yang
segera melesat meninggalkan pasangan pendekar itu. Maksudnya tentu saja hendak
mencari ayahnya.
"Aryani! Tenanglah! Jangan berpikiran yang tidak-tidak...!"
Panji berseru mengingatkan karena sosok gadis itu telah cukup jauh meninggalkan
mereka. Sehingga, pemuda tampan itu berniat untuk menanti Aryani di depan
pondok. Tidak berapa lama kemudian, gadis cantik berpakaian kuning cerah itu sudah
kembali dengan napas agak memburu. Wajah cantik itu terlihat agak pucat, dengan
lelehan keringat yang turun membasahi pipinya.
"Pasti ada sesuatu yang telah terjadi dengan ayah! Tidak biasanya beliau
meninggalkan lembah sepagi ini!" dengan napas terengah-engah, Aryani
mengutarakan kekhawatirannya kepada Panji dan Kenanga.
"Hm..., kalau begitu, kita berpencar. Apabila ada yang menemukannya salah satu
dari kita, cepatlah beri isyarat dengan siulan," sahut Panji mengusulkan. Tanpa
banyak cakap lagi, kedua gadis itu pun mengangguk setuju. Sebentar kemudian,
ketiga orang muda itu telah berpencar untuk mencari Raja Racun Merah.
Panji bergerak ke sebelah Barat Lembah Gunung Kalang.
Sambil menyusuri daerah yang ditumbuhi pepohonan lebat,
pemuda itu mengedarkan pandangannya, dan juga meningkatkan ketajaman
pendengarannya.
"Suiiit...!"
Setelah memasuki wilayah itu agak lama, tiba-tiba Panji menangkap suara siulan
yang berasal sebelah Timur. Panji tahu kalau siulan itu berasal dari Kenanga.
Sebab kekasihnya itulah yang berada di sebelah Timur. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, pemuda tampan itu segera melesat dengan pengerahan seluruh ilmu larinya.
"Kau menemukan sesuatu, Kenanga...?" tanya Panji dalam jarak sekitar dua tombak
lebih. Dilihatnya gadis jelita itu tengah berdiri tegak mengawasi sekitarnya.
"Aku menemukan sesuatu yang mungkin bisa kita jadikan sebagai petunjuk,
Kakang...," jawab Kenanga ketika Panji telah berada di dekatnya.
"Apa yang kalian dapatkan..." Di mana ayahku...?" belum lagi Panji sempat
meneliti apa yang ditemukan Kenanga, tiba-tiba terdengar suara Aryani. Keduanya
berdiri tegak menanti kedatangan gadis cantik itu.
"Kami hanya menemukan sesuatu yang mungkin saja bisa dijadikan sebagai
petunjuk...," sahut Kenanga ketika gadis itu telah tiba di dekat mereka.
"Mari kita periksa...," ajak Panji yang segera meneliti seperti jejak-jejak yang
terdapat di daerah itu. Kemudian terus menyusuri ke lereng sebelah bawah.
"Jejak-jejak itu lenyap di sini, Kakang...," Kenanga berkata dengan nada kecewa
ketika jejak-jejak itu lenyap di kaki Gunung Kalang sebelah Timur.
"Hm..., jelas mereka menyeberangi sungai ini..," duga Paji, karena jejak-jejak
itu memang lenyap di tepi aliran sungai yang membentang. "Berpencarlah, mudahmudahan kita bisa menemukan petunjuk lain di tempat ini...," usul Panji lagi.
Untuk kedua kalinya, ketiga orang muda itu kembali berpencar untuk mencari
petunjuk lain. Karena petunjuk pertama jelas sudah tidak mungkin untuk diikuti.
Panji yang kembali menyusuri lereng gunung, tersentak saat mendengar teriakan
pilu yang berasal dari arah kanannya.
Cepat pemuda itu melesat ke tempat asal suara jeritan yang ia tahu pasti berasal
dari Aryani. "Aryani, ada apa...!?" seru Paji ketika dalam jarak kira-kira empat tombak
lebih, tampak gadis cantik itu tengah membungkuk memeluk dan menangisi sesosok
tubuh berpakaian merah darah yang tak bergerak-gerak.
"Raja Racun Merah...!?" desah Panji ketika melihat sosok berpakaian merah darah
yang terbujur kaku. Noda-noda darah yang mengotori pakaian dan sebagian
wajahnya, jelas menandakan bahwa orang tua itu tewas dalam sebuah pertarungan
sengit! Kenanga tiba setelah Panji melempar pandangannya karena tidak sanggup melihat
kesedihan Aryani. Tangisan gadis cantik itu terdengar sangat memilukan,
mengingatkan dia akan ayahnya yang juga telah tiada.
"Menurutmu, siapakah pembunuh Raja Racun Merah itu, Kakang?" tanya Kenanga
berbisik lirih di telinga Panji.
"Entahlah, aku tidak bisa memastikannya. Yang jelas, Raja Racun Merah tewas
karena pukulan-pukulan yang mengandung kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi.
Hhh..., persoalan ini jelas semakin bertambah rumit..," desah Panji menghela
napas berat. Karena kunci satu-satunya dari jawaban masalah mereka, ternyata telah
tewas secara misterius!
"Sudahlah, Aryani, sebaiknya kita bawa mayat ayahmu ke lembah. Biar lembah itu
menjadi tempat beristirahat untuk selamanya," bujuk Panji berusaha untuk
menghibur gadis cantik yang bemasib malang itu.
"Ayah...," desis Aryani dengan bibir bergetar, "Aku bersumpah untuk membalas
kematian ini! Akan kuhirup darahnya, dan akan kukunyah jantung manusia keji yang
telah membunuhmu!" geram Aryani dengan wajah bersimbah air mata. Jelas sekali
kalau gadis cantik itu merasa sangat terpukul dengan kematian ayahnya. Karena
hanya orang tua itulah satu-satunya tempat ia mengadu di dunia selama ini.
"Aryani, kami berdua berjanji akan membantu untuk mencari pembunuh ayahmu.
Kasihan beliau di tempat yang sedingin dan kotor ini, apakah tidak sebaiknya
kita kuburkan di lembah?"
Kenanga ikut membujuk sambil membelai punggung gadis malang itu dengan lembut.
Kemudian diajaknya bangkit dan membimbing gadis itu mendaki lereng gunung.
Tanpa banyak cakap lagi, Panji segera mengangkat mayat Raja Racun Merah untuk
dibawanya ke puncak. Tidak ada bau busuk yang menyebar dari tubuh mayat
menandakan Raja Racun Merah belum lama tewas.
Dengan sebuah upacara sederhana, ketiga orang muda itu memakamkan Raja Racun
Merah. Usai melakukan penguburan, Panji dan Kenanga meninggalkan Aryani yang
masih bersimpuh di tanah makam itu. Pasangan pendekar itu berniat menanti Aryani
di pondok. Mereka sengaja tidak ingin mengganggu, dan membiarkan gadis itu
menumpahkan kesedihannya di depan makam ayahnya.
*** Setelah menemani Aryani selama tiga hari di lembah Gunung Kalang, Panji dan
Kenanga mengajak gadis itu untuk mencari pembunuh orang tuanya.
"Cukup sudah air matamu, Aryani. Tidak baik terbenam dalam kesedihan yang
berlarut-larut. Air matamu tidak akan bisa mengembalikan ayahmu ke dunia ini.
Satu yang harus kau ingat. Kalau kau yakin akan ketulusan hati ayahmu untuk
meninggalkan dunia sesat, lanjutkanlah. Agar arwah beliau tenang di alam sana,"
nasihat Panji sebelum mereka meninggalkan Lembah Gunung Kalang.
"Aku harus membalas kematian ayahl Akan kucari pembunuh keji itu biar ke ujung
dunia sekali pun!" geram Aryani dengan wajah kaku. Sorot mata gadis cantik itu
tampak dingin dan menggetarkan. Kematian ayahnya telah menimbulkan dendam
membara dalam hati gadis cantik itu. Jelas saat itu tidak mungkin untuk
menjejalinya dengan segala macam nasihat.
Panji yang sadar akan hal itu, hanya mendiamkan saja. Karena ia pun pernah
merasakan hal yang serupa.
Dengan mengandalkan kepandaiannya, ketiga orang muda itu segera meninggalkan
Gunung Kalang. Ilmu lari ketiganya yang tinggi, membuat perjalanan tidak terlalu
sulit. Menjelang siang, mereka telah memasuki sebuah desa yang terlihat cukup
ramai. Baru saja mereka menjejakkan kaki di mulut desa itu, Aryani yang berjalan di
sebelah depan, tiba-tiba menggeram marah!
Sebelum Panji sempat mencegah, tubuh gadis cantik berpakaian kuning cerah itu
telah melesat meninggalkan keduanya.
"Jahanam! Pasti kaulah manusia keji itu...!" terdengar suara Aryani membentak
marah! Sambil berkata demikian gadis cantik itu langsung saja melontarkan
serangan kilat yang mematikan ke arah sosok tinggi tegap yang tengah berjalan di
samping seorang wanita bertubuh ramping padat.
Wuuut..! Serangkum angin keras berbau harum menebar ketika telapak tangan Aryani
terlontar mengancam punggung sosok bertubuh tegap itu!
"Aryani, tahan...!"
Panji yang merasa terkejut melihat serangan mematikan yang dilontarkan Aryani
berseru mencegahnya! Sayang teriakan pemuda tampan itu sia-sia saja. Saat itu
pukulan Aryani sudah tiba dengan derasnya!
Sosok tubuh tegap itu cepat berbalik dengan gerakan kilat.
Terdengar suara mendengus kasar dari mulutnya. Tanpa berusaha untuk mengenal,
lelaki bertubuh tegap itu mengangkat tangan kanannya memapaki pukulan Aryani!
Dan.... Plakkk! "Aiiih...!?"
Gerakan yang kelihatannya perlahan dari lelaki tegap itu, ternyata berakibat
mengejutkan! Tubuh Aryani terpental balik seiring dengan suara benturan yang
memekakkan telinga! Jelas lelaki tinggi tegap yang diserang Aryani itu bukan
orang sembarangan!
Tanpa berpildr panjang lagi, Panji segera melesat dan menangkap tubuh gadis
cantik itu. Sehingga, tubuh Aryani tidak sampai terbanting ke tanah!
"Aryani, kau tidak apa-apa...?" tanya Panji cemas. Kemudian, dilepaskannya tubuh
Aryani, dibantunya gadis itu berdiri.
"Lepaskan aku, Kakang Panji aku tidak apa-apa. Mati pun aku tidak takut demi
tenangnya arwah ayahku...!" Aryani meronta dari pelukan Pendekar Naga Putih.
Sehingga, Panji terpaksa melonggarkan pegangannya.
Begitu merasakan pegangan pada tubuhnya mengendur, Aryani kembali melesat ke
depan! Dengan sorot mata tajam, ditatapnya wajah lelaki gagah berusia sekitar
lima puluh tahun yang didampingi seorang wanita cantik berusia sekitar bga puluh
lima tahun lebih!
"Datuk Tangan Malaikat...!?" desis Panji dan Kenanga hampir bersamaan. Kedua
pendekar muda itu terkejut bukan main setelah mengetahui lelaki tinggi tegap
yang diserang Aryani.
"Hm..., kiranya kau, Gadis Liar! Aku memang telah lama mencarimu! Tak tahunya
kau malah datang mengantarkan nyawa!" geram lelaki gagah yang memang Ki Angga
Merta atau yang lebih dikenal sebagai Datuk Tangan Malaikat itu. Dan, tanpa
banyak cakap lagi, pendekar sakti itu segera saja melesat disertai dengan
cengkeraman mautnya!
Panji tentu saja terkejut setelah mengetahui lelaki tinggi tegap itu. Khawatir
akan keselamatan Aryani, pemuda tampan itu segera melesat untuk mencegah
serangan maut Datuk Tangan Malaikat.
Plakkk! Plakkk!
"Uhhh...!"
"Aaakh...!?"
Terdengar suara benturan keras sebanyak dua kali. Seiring dengan suara benturan
itu, tubuh keduanya terpental balik sejauh satu tombak lebih!
"Setan! Lagi-lagi kau mencampuri urusanku, Pendekar Naga Putih! Hm..., rupanya
kau memang perlu diajar adat!"
kemarahan Datuk Tangan Malaikat semakin menjadi-jadi setelah ia mengenali siapa
adanya orang yang berani menangkis serangannya itu. Maka dengan kemarahan yang
meledak-ledak, tokoh sakti itu segera menerjang Panji dengan serangan-serangan
mautnya! Wuuut! Wuuut! "Aiiih...!?"
Cepat Panji menggeser tubuhnya dengan langkah-langkah pendek untuk menghindari
serangkaian serangan lawannya.
Merasa tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara, terpaksa Panji melontarkan
serangan balasan agar ia tidak terlalu terdesak!
"Hiaaah...!"
Bettt! Bettt! Bettt!
Khawatir akan keselamatan Aryani, Pendekar Naga Putih segera melesat memapak
serangan maut Datuk Tangan Malaikat.
Plakkk! Plakkk!
Terdengar suara
benturan keras sebanyak dua kali,
ketika terjadi pertemuan dua tangan
yang sama-sama mengandung tenaga
dalam tinggi! Serangkaian pukulan yang dilontarkan Pendekar
Naga Putih membuat
Datuk Tangan Malaikat
melompat mundur
sejauh satu setengah
tombak. "Bagus...!" seru Datuk Tangan Malaikat mau tidak mau terpaksa memuji serangan
lawannya yang sempat membuatnya sibuk itu.
"Sabarlah, Ki. Semua ini hanya salah paham. Harap Ki Angga mau menerangkan, apa
yang Aki kerjakan di desa ini...?" tanya Panji berusaha untuk mencari tahu apa
yang dilakukan pendekar besar itu di desa dekat kaki Gunung Kalang. Diam-diam
hati pemuda itu cemas ketiga muncul dugaan dalam benaknya bahwa Ki Angga
Mertalah yang membunuh Raja Racun Merah. Kalau dugaannya benar, persoalan yang
dihadapinya semakin rumit.
"Hm..., kau sendiri, apa yang kau lakukan di tempat ini, Pendekar Naga Putih"
Mengapa kau mengurusi orang lain"
Tanyalah dirimu, apa yang kau kerjakan di desa ini?" hardik Datuk Tangan
Malaikat yang tentu saja merasa tidak senang mendengar pertanyaan pemuda itu,
yang berbau kecurigaan.
Panji tertegun demi mendengar ucapan Datuk Tangan Malaikat. Ucapan itu
menyadarkannya kalau tidak mempunyai hak untuk menanyakan hal itu. Sehingga,
beberapa saat lamanya pemuda itu hanya termangu tanpa kata.
"Untuk apa banyak bicara lagi dengan pendekar sombong itu, Kakang!" tukas Aryani
yang segera saja melangkah maju dan siap menerjang Datuk Tangan Malaikat.
Cepat Panji mencegah dan mencoba untuk menyabarkan Aryani. Pemuda tampan itu
ingin lebih dulu mengetahui secara jelas, apakah Ki Angga Merta sudah mengetahui
Pendekar Naga Putih 38 Tewasnya Raja Racun Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kematian Raja Racun Merah atau belum. Untuk itu ia harus menanyakannya kepada
lelaki gagah itu.
8 "Pendekar Naga Putih. Dua kali kau menentangku dan membela putri datuk sesat
keparat itu! Tapi, kali ini aku, Ki Angga Merta, tidak akan melepasmu begitu
saja seperti tempo hari. Bersiaplah! Kau harus kutindak sebelum tersesat lebih
jauh lagi...," ujar Ki Angga Merta yang segera membentuk kuda-kuda menunggang
kuda, dengan sepasang tangan mendorong ke langit. Tentu saja ucapan Datuk Tangan
Malaikat bukan hanya sekadar gertak samba! belaka.
"Tunggu, Ki! Sebelum kita bertarung, bolehkah aku mengajukan sebuah
pertanyaan...?" cegah Panji sebelum pendekar sakti itu bergerak menggebraknya.
"Hm..., cepatlah, sebelum kesabaranku habis...!" geram Datuk Tangan Malaikat
yang seperti memberikan peluang kepada pemuda itu sebelum dibinasakannya.
"Apakah kau sudah berjumpa dengan Raja Racun Merah dalam beberapa hari terakhir
ini..." Jawablah, Ki. Ini penting sekali artinya bagiku, dan juga bagi seluruh
tokoh persilatan yang mendendam terhadap Raja Racun Merah...," ujar Panji
menanti jawaban pendekar besar itu dengan sedikit tegang.
Karena jawaban Datuk Tangan Malaikat bisa mengungkapkan masalah yang tengah
melanda di kalangan persilatan.
"Kalau hanya itu yang ingin kau tanyakan, aku jawab tidak!
Justru kehadiranku di desa kaki Gunung Kalang ini hendak mencari datuk iblis
itu. Mengapa kau tanyakan itu, Pendekar Naga Putih?" Datuk Tangan Malaikat balik
bertanya dengan kening berkerut. Karena tokoh sakti itu belum bisa menebak apa
maksud pertanyaan Panji.
"Terima kasih, aku percaya terhadap jawaban seorang pendekar besar seperti
Tangan Malaikat. Ketahuilah, Ki. Aku baru saja kembali dari Gunung Kalang.
Beberapa hari yang lalu, kami bertiga menemukan mayat Raja Racun Merah. Itulah
sebabnya aku mengajukan pertanyaan yang mungkin kedengaran agak aneh," jelas
Panji setelah mendengar jawaban Datuk Tangan Malaikat.
"Bohong! Kau pendekar pengecut! Pendusta yang tidak berani
mempertanggungjawabkan perbuatanmu!" Aryani yang masih berduka karena kematian
ayahnya, membentak keras.
Sehingga, Panji terpaksa harus mencekal lengan gadis itu agar tidak membuat
keributan lagi.
"Kurang ajar kau, Perempuan Liar! Sebagai seorang pendekar, kehormatan lebih
penting daripada nyawa bagiku!
Lagipula, apa yang kutakutkan" Tak satu satu pun di muka bumi ini yang pantas
untuk membuat gentar Tangan Malaikat'"
hardik Ki Angga Merta yang menjadi merah wajahnya ketika mendengar makian
Aryani. Kalau saja Panji tidak segera mencegah Aryani, kemungkinan besar
pertempuran akan terjadi kembali. Untunglah pemuda tampan itu bertindak cepat.
"Tenanglah, Aryani. Aku percaya dengan apa yang dikatakan Datuk Tangan
Malaikat," ujar Panji menenangkan Aryani yang kembali terisak karena teringat
kematian ayahnya.
Datuk Tangan Malaikat pun bukan orang bodoh. Ia sadar bahwa apa yang diucapkan
Pendekar Naga Putih itu bukanlah suatu dusta yang dicari-cari. Dengan hati yang
mulai dingin, lelaki tinggi tegap itu melangkah maju mendekati Panji.
"Pendekar Naga Putih. Kalau memang benar apa yang kau katakan itu, berarti ada
orang ketiga yang memancing di air keruh. Mereka sengaja menimbulkan kericuhan
dengan maksud-maksud tertentu," ujar Datuk Tangan Malaikat
menghela napas berat. Sepertinya pendekar besar itu merasa kecewa, karena
perjalanan jauhnya sia-sia.
"Kalau boleh aku tahu, mengapa Aki hendak mencari Raja Racun Merah" Apa yang
membuat Aki begitu dendam kepadanya?" tanya Panji ingin mengetahui tujuan
pendekar itu secara jelas.
"Putraku diculik orang, saat ia minggat dari rumah.
Kemudian, datang suara tantangan dari Raja Racun Merah.
Datuk itu mengancam akan membunuh anakku apabila aku tidak memenuhi
tantangannya," jelas Ki Angga Merta yang mulai bingung, ke mana harus mencari
putranya yang diculik orang itu.
Mendengar penjelasan Ki Angga Merta, teringat Panji akan seorang pemuda yang
ditawan empat orang tokoh aneh (Untuk mengetahui tentang penculikan Puja Merta,
pembaca dapat mengikuti episode sebelumnya, yang berjudul "Keturunan Datuk-datuk
Persilatan").
"Jelas sekarang, siapa yang menjadi biang keladi dari semua persoalan ini.
Beberapa waktu yang lalu, aku pernah memergoki seorang kakek bertubuh cebol, dan
tiga orang lelaki kekar yang membawa seorang pemuda tampan. Sayang aku berhasil
dikelabuinya saat itu. Sehingga, mereka dapat lolos dengan membawa serta
putramu," jelas Panji kepada Ki Angga Merta dan istrinya.
"Keparat! Kakek yang kau sebutkan tadi, pastilah datuk sesat wilayah Timur yang
berjuluk Bocah Iblis. Sedangkan ketiga orang lainnya pasti murid-muridnya yang
dijuluki sebagai Tiga Iblis Gundul! Sedangkan menurut dua orang muridku, orang
yang menyampaikan undangan kepadaku berjumlah tiga orang.
Jelas ketiga orang itu pasti suruhan Bocah Iblis! Jahanam! Aku
harus mencari keparat-keparat itu!" geram Datuk Tangan Malaikat sambil
mengepalkan tinjunya kuat-kuat.
"Semua persoalan sudah mulai jelas sekarang. Rupanya Datuk Timur yang mendengar
Raja Racun Merah telah sadar, tidak dapat menerimanya. Lalu, ia membuat rencana
dengan mengadakan kekacauan di mana-mana atas nama Raja Racun Merah. Dengan
demikian. Raja Racun Merah akan dimusuhi, dan mau tidak mau orang tua itu akan
kembali kepada kesesatannya," ujar Panji lagi yang mulai dapat menebak duduk
persoalannya. "Kalau begitu, siapa yang membunuh ayahku?" Aryani yang semakin bertambah
bingung itu mengeluh perlahan.
"Sudah pasti Bocah Iblis dan begundal-begundalnya.
Mungkin, setelah Raja Racun Merah dimusuhi golongan putih, Datuk Timur itu
datang untuk mengajaknya bergabung. Ketika Raja Racun Merah menolak, maka
dibunuhlah ayahmu itu.
Tentu jejak-jejak yang kita temukan adalah bekas para begundal Datuk Timur itu
lewat" jelas Panji lagi dengan cara merangkaikan urutan kejadian iru. Sehingga,
Datuk Tangan Malaikat sendiri merasa kagum atas daya pikir Pendekar Naga Putih.
Yang biarpun masih muda, tapi telah memiliki pandangan luas.
"Hm..., ke mana kita harus mencari mereka...?" desah Datuk Tangan Malaikat
sambil menatap Panji.
"Satu-satunya jalan, kita harus mencari gerombolan perampok Rambut Merah, yang
telah membantai habis keluarga dan murid Perguruan Tongkat Baja," sahut Panji
yang langsung saja teringat akan keterangan Ki Panjarasa, Ketua Perguruan
Tongkat Baja. "Kalau begitu, untuk apa membuang-buang waktu lagi...,"
gumam Datuk Tangan Malaikat yang seperti sudah tidak sabar untuk bertemu dengan
penculik putranya.
Setelah semuanya saling menyetujui, berangkatlah rombongan tokoh-tokoh
persilatan itu untuk mencari gerlombolan Rambut Merah!
*** Di tengah teriknya sengatan sinar matahari siang itu, tampak sesosok tubuh
terseok-seok menerobos rimbunan dedaunan lebat. Menilik dari langkahnya yang
tersaruk-saruk jatuh bangun, jelas orang itu mengalami sesuatu yang tidak beres.
"Ouh...!"
Untuk kesekian kalinya, lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu kembali
terjatuh menabrak sebatang pohon di depannya. Untunglah tangannya telah lebih
dahulu meraih batang pohon. Kalau tidak, mungkin kepalanya akan membentur batang
pohon besar itu.
Setelah melihat lebih dekat, nyatalah sosok lelaki gagah yang tengah menderita
luka-luka di sekujur tubuhnya. Noda darah tampak di beberapa bagian tubuhnya,
seperti tersayat senjata tajam. Meski demikian, lelaki itu tetap berusaha untuk
keluar dari dalam hutan.
Dengan langkah yang sempoyongan, dan berkat kekuatan hatinya, lelaki gagah itu
tiba di luar hutan. Tapi, karena kakinya sudah tidak kuat lagi menyangga
tubuhnya, orang itu ambruk ke tanah.
"Hei, lihat..!"
Terdengar sebuah seruan nyaring dari sebelah belakang lelaki gagah itu. Beberapa
saat kemudian, muncullah enam orang lelaki berpakaian serba merah, dengan
senjata di tangannya. Enam lelaki kasar itu langsung mengurung lelaki yang
tengah rebah itu.
'Tunggu apa lagi?" Penggal saja batang lehernya...," salah seorang yang bertubuh
jangkung berkata dengan nada bengis!
Usai berkata demikian, ia langsung saja mengayunkan pedangnya ke arah leher
lelaki yang sudah tidak berdaya itu.
Wuuut! Sinar pedang berkeredep menyilaukan mata, saat senjata itu terayun ke leher
calon korbannya!
Trangngng! "Aaakh...!"
Mendadak saja, pada saat yang mendebarkan itu, seberkas sinar hitam meluncur
datang, dan langsung menghantam pedang di tangan lelaki jangkung itu! Karuan
saja lelaki itu memekik kesakitan, dan terjengkang ke tanah!
Belum lagi keenam orang lelaki kasar itu menyadari apa yang terjadi dengan
kawannya, lima sosok bayangan berkelebat dan langsung mendaratkan kakinya di
dekat lelaki yang tengah sekarat itu.
"Aryani, jangan...!" terdengar salah seorang dari lima sosok tubuh itu berteriak
mencegah! Sayang seruannya terlambat!
Terdengarlah jeritan-jeritan kematian yang susul-menyusul.
Darah segar berhamburan membasahi bumi seiring dengan robohnya enam sosok tubuh
terbungkus pakaian merah itu.
Seorang gadis cantik berdiri tegak dengan sebuah pedang yang basah oleh darah
segar. Gadis itu tidak lain dari Aryani, yang
begitu tiba langsung saja merebut salah satu senjata dari tangan orang itu, dan
sekaligus menghabisi nyawa mereka.
"Maafkan aku, Kakang. Mereka adalah para pengikut murid-murid ayahku. Sepertinya
murid-murid ayahku memang telah menyimpang dari apa yang telah ditekankan ayah,
sebelum beliau mengundurkan diri dan dunia persilatan," jelas Aryani tertunduk
dengan wajah penuh sesal.
Panji hanya bisa menghela napas panjang. Pemuda itu segera memeriksa sosok
lelaki gagah yang ternyata adalah Purgawa. Panji mengenalinya ketika ia
bertarung dengan Ki Panjarasa sewaktu menyelamatkan Aryani.
"Kisanak, apa yang telah terjadi" Ke mana perginya Ki Panjarasa dan dua orang
muridnya?" tanya Paji yang segera menotok jalan darah di sekitar leher dan
punggung lelaki itu.
Karena pemuda itu melihat, nyawa Purgawa jelas tidak bisa ditolong lagi.
"Manusia-manusia keparat di dalam Hutan Damar, telah membunuh Ki Pan... jara...
sa, dan murid... muridnya...
ahhh...," setelah berkata demikian, Purgawa menghembuskan napasnya yang
penghabisan. Lelaki gagah itu tewas di atas pangkuan Pendekar Naga Putih.
"Hm..., rupanya di dalam Hutan Damar ini pengecut-pengecut itu bersembunyi...!"
desis Datuk Tangan Malaikat yang datang bersama Panji dan lainnya.
"Ki, tunggu...!" Panji berseru mencegah ketika melihat Ki Angga Merta sudah
hendak mendahului menuju hutan. Ketika Ki Angga Merta dan istrinya menahan
langkah, Panji segera mengutarakan rencananya. Kemudian, baru melepaskan Datuk
Tangan Malaikat dan istrinya mendahuluinya!
Setelah menguburkan mayat-mayat itu, barulah Panji mengajak Kenanga dan Aryani
untuk menyusul Datuk Tangan Malaikat dan istrinya.
Tidak sulit bagi Panji untuk menemukan tempat kediaman para perampok itu. Dengan
mengendap-endap, pemuda itu mengajak kedua rekannya untuk mendekat ke arah
bangunan yang cukup besar di tengah hutan lebat itu.
"Kita harus membuat keributan, agar kehadiran Datuk Tangan Malaikat dan istrinya
lolos dari pengawasan mereka,"
ujar Panji yang bersiap melompati pagar kayu di depannya.
"Memangnya ke mana pendekar itu pergi, Kakang?" tanya Kenanga yang tidak sempat
mendengar rencana Panji.
"Aku menyarankan agar mereka bergerak dari belakang, saat keributan terjadi di
sebelah luar. Ayolah...," ujar Panji yang segera melesat melewati pagar kayu
bulat itu. Tanpa banyak cakap, Kenanga dan Aryani bergegas menyusulnya.
*** "Hei, siapa itu..!?"
Terdengar teguran saat Panji dan dua orang dara cantik itu menjejakkan kakinya
di halaman dalam bangunan itu. Tanpa banyak ribut lagi, cepat Panji melesat dan
membungkam empat orang lelaki berpakaian merah yang memergokinya.
Empat orang lelaki kasar betpakaian merah itu, langsung roboh tak berkutik,
terkena hantaman kepalan Pendekar Naga Putih. Sayangnya, suara teriakan tadi
sempat terdengar oleh yang lain. Sehingga, dalam waktu singkat saja, Paji,
Kenanga, dan Aryani telah terkurung puluhan lelaki kasar betpakaian merah.
"Murid murtad!" Aryani memaki marah ketika melihat seorang lelaki berwajah
bengis yang diapit oleh dua orang lelaki lainnya.
"Ha ha ha...! Jangan marah adik manis. Lebih baik kau ikutlah bersamaku daripada
menyusul arwah ayahmu," sahut lelaki berwajah bengis yang tidak lain, Harimau
Cakar Setan. Sedang dua orang lainnya adalah Sepasang Kumbang Setan, juga murid-murid dari
Raja Racun Merah. Jelas mereka telah mengkhianati gurunya.
"Setan! Kaulah yang harus menyusulnya untuk dosa-dosamu yang telah melewati
takaran itu!" sambil membentak nyaring, Aryani langsung saja melesat dengan
lontaran pukulan beracunnya!
Buggg! Desss! "Aaa...!"
Harimau Cakar Setan dan Sepasang Kumbang Setan sudah melompat menghindari
serangan putri guru mereka itu.
Akibatnya, empat orang berseragam merah yang di kiri-kanan mereka, terpental
muntah darah terkena pukulan Aryani yang nyasar!
Aryani tidak peduli sama sekali dengan korban pukulannya.
Gadis itu terus mengejar ketiga orang murid ayahnya dengan lontaran pukulan
beracunnya. Pertarungan sengit pun tak bisa dihindarkan lagi!
Kenanga sendiri saat itu sudah mencabut keluar Pedang Sinar Bulannya. Kilatan
cahaya putih keperakan berkeredep menyambar-nyambar mencarl sasaran! Sebentar
saja, korban di pihak gerombolan orang-orang Rambut Merah itu
berjatuhan. Darah segar menggenang dan membanjiri halaman dalam bangunan besar
itu. "Heaaat..!"
Pada saat Pendekar Naga Putih tengah mengamuk membagi-bagi pukulan tendangannya,
terdengar seruan parau yang dibarengi melesatnya sesosok bayangan kecil!
Wuuut! Begitu tiba, sosok bayangan kecll itu langsung melpntarkan pukulan maut ke arah
Panji. "Bocah iblis...!" seru Panji begitu ia mengenali orang yang menyerangnya itu.
Cepat pemuda itu menggeser tubuhnya, dan langsung melontarkan pukulan balasan
yang tidak kalah cepat dan kuatnya!
Wuuuk! "Aiiih...!?"
Terkejut bukan main sosok tubuh kecil itu ketika melihat cahaya keperakan
meluncur mengancam tubuhnya! Cepat sosok bayangan yang tidak lain dari Datuk
Timur itu melesatkan tubuhnya dan terus berjumpalitan di udara.
Panji tidak sudi melepaskan lawannya begitu saja. Tokoh bertubuh kerdil yang
diduganya sebagai biang keladi semua kekacauan itu, dikejar dan dicecar dengan
pukulan-pukulan yang saling susul-menyusul, bagaikan gelombang lautan!
Sepertinya pemuda itu sengaja mengumbar pukulannya agar lawan tidak mempunyai
kesempatan untuk berbuat licik!
"Setan! Anjing Kurap! Monyet Kudisan!" Datuk bertubuh kerdil itu memaki kalang
kabut karena serangan Panji benar-benar membuatnya kelabakan! Sehingga, di satu
kesempatan, tokoh cebol itu terpaksa harus menerima sebuah hantaman keras di perutnya!
Desss! "Hukhhh...!"
Bagaikan sebuah bola, tubuh cebol itu terpental deras akibat hantaman telapak
tangan Panji yang menggedor telak perut datuk sesat itu! Namun, karena pukulan
itu tidak dilontarkan dengan tenaga yang kuat, maka tokoh cebol itu hanya
menderita luka ringan! Meski begitu, akibat pukulan itu membuat gerakannya
sedikit terganggu.
"Yeaaat...!"
Setelah dapat menenteramkan debaran dalam dadanya, Bocah Iblis itu berseru
parau, dan menerjang Panji dengan jurus-jurus yang membingungkan! Bahkan gerakan
itu masih diringi pula dengan menebar bubuk-bubuk beracun yang memabukkan!
Pendekar Naga Putih 38 Tewasnya Raja Racun Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm..., kali ini kau tidak bisa lagi mengecohku, Manusia Jahat! Petulanganmu
harus segera berakhir!" desis Parji yang segera memutar tangannya yang telah
membentuk cakar naga.
Detik berikutnya, tubuh Panji sudah melesat disertai dengan putaran tangannya
yang menimbulkan hawa dingin menggigit tulang!
Beberapa orang anggota gerombolan Rambut Merah yang berjarak satu tombak lebih
dari tempat Panji berdiri, langsung menggelepar dengan tubuh menggigil dan
berwarna kebiruan!
Mereka tewas karena tidak sanggup menahan serbuan hawa dingin yang luar biasa
itu! "Heaaat...!"
Disertai dengan suara teriakan mengguntur, tubuh Panji berkelebatan dengan
lontaran-lontaran pukulan yang menebarkan hawa dingin! Sehingga, tokoh bertubuh
cebol itu kembali dibuat kelabakan! Racun-racun yang ditebarkannya tidak lagi
mempunyai guna. Semuanya lenyap tersaput hawa dingin yang menyambar-nyambar
dengan cepat! "Kurang ajar! Setan! Gandaruwo!" kembali terdengar Bocah Iblis memaki kalang
kabut! Gerakan tokoh bertubuh kerdil itu tampak mulai kaku. Rupanya serbuan hawa
dingiri itu telah merasuk ke dalam tubuhnya. Sehingga gerakannya tidak lagi
lincah dan gesit seperti biasa!
Wuuut! Sebuah serbuan angin keras berhawa dingin, kembali mengancam dada Bocah Iblis! Datuk sesat wilayah Timur itu kaget! Sebisa mungkin, tokoh cebol itu
melemparkan tubuhnya ke samping, dan terus bergulingan menjauhkan diri!
Sayang Panji tidak sudi melepaskan lawannya begitu saja!
Dengan gerakan seperti sambaran kilat, tubuh pemuda tampan itu mencelat mengejar
lawannya! Baru saja tokoh bertubuh cebol itu bangkit, sebuah hantaman telak
menggedor dadanya!
Desss! "Aaakh...!"
Darah segar menyembur seiring tubuh cebol itu tersentak deras ke belakang! Kali
ini jelas pukulan Panji tidak akan membuat tokoh itu selamat!
Nasib malang rupanya masih terus menyertai Bocah Iblis.
Belum sempat tubuhnya menyentuh tanah, sebuah tebasan pedang dari sosok ramping
berpakaian kuning menyambutnya, dan langsung membabat putus leher datuk sesat
itu. Wuuut! Crakkk! Tanpa ampun lagi, kepala Bocah Iblis itu lepas dari tubuhnya! Darah segar
menyembur dari luka menganga pada leher Bocah Iblis!
"Aryani...!?" desis Panji agak terkejut melihat apa yang dilakukan dara cantik
keturunan datuk sesat itu. Ketika pemuda itu menoleh ke arah tempat pertarungan
Aryani, Panji melihat tiga sosok tubuh murid ayah gadis itu telah menggeletak
dengan kepala putus dari tubuhnya. Diam-diam pemuda itu bergidik menyaksikan
pembalasan dendam yang dilakukan Aryani.
Tewasnya datuk sesat dari Timur serta tiga pemimpin gerombolan Rambut Merah,
membuat sisa-sisa pengikut tokoh-tokoh sesat itu menjatuhkan dirinya, berlutut
sambil memohon ampun.
"Dengar! Kami akan mengampuni kalian, bila kalian mau berjanji untuk hidup
sebagai orang baik-baik. Jika kelak aku bertemu dengan salah seorang dari kalian
masih melakukan tindak kejahatan, terpaksa aku mencabut nyawa kalian!" ujar
Panji dengan suara tegas dan mengandung perbawa yang amat kuat. Sehingga, sisa
pengikut gerombolan Perampok Rambut Merah mengangguk-anggukkan kepala sambil
mengucapkan kata-kata.
"Kami berjanji... kami berjanji...."
Merasa yakin mereka tidak akan berani menyeleweng, Panji melepaskan sisa-sisa
gerombolan itu. Bagaikan dikomando, belasan orang berpakaian merah itu
menghambur meninggalkan Hutan Damar.
Baru saja sisa gerombolan perampok Rambut Merah yang telah diampuni meninggalkan
bangunan itu, muncullah Datuk
Tangan Malaikat bersama istri dan putranya yang dipapah oleh lelaki gagah itu.
"Ah, syukurlah putra Paman berhasil diketemukan dalam keadaan selamat," sambut
Panji yang merubah panggilannya terhadap pendekar sakti itu.
"Aku berhasil menemukan tempat putraku disekap. Untung kedatangan kita tidak
terlambat, Pendekar Naga Putih. Karena saat matahari terbit esok, putraku Puja
Mera akan mereka gantung di halaman depan ini. Dan, aku juga telah menemukan dan
menghukum Tiga Iblis Gundul yang mengirimkan surat tantangan atas nama Raja
Racun Merah," jelas Datuk Tangan Malaikat dengan tarikan napas penuh kelegaan.
"Hm..., apakah kau masih menyalahkan aku, Orang Tua?"
Aryani yang masih belum hilang jengkelnya terhadap Datuk Tangan Malaikat
langsung melontarkan ucapan bernada ketus.
Datuk Tangan Malaikat dan istrinya tersenyum menatap wajah gadis cantik itu.
Tidak nampak sinar kemarahan sedikit pun pada wajah suami istri pendekar besar
itu. Jelas mereka telah menyadari kesalahannya.
"Maafkan kami, Aryani. Pendekar Naga Putih ternyata jauh lebih bijaksana
daripada orang tua seperti aku. Kuharap kau mau memaafkan kesalahan kami," ucap
Datuk Tangan Malaikat dengan nada penuh sesal.
"Kami harus segera kembali. Puja Merta masih sangat lemah, akibat siksaan
manusia-manusia jahat itu. Kalau kau bersedia, aku ingin mengajakmu untuk
tinggal bersama kami, Aryani.
Tapi, semua itu terserah padamu, kami tidak memaksa. Bukan begitu, Kakang?" ujar
wanita cantik istri Ki Angga Merta sambil mengulurkan tangannya dan membelai
pangkal lengan Aryani.
Sehingga, gadis yang keras hati dan galak itu tertunduk menahan keharuan
hatinya. "Bukan aku menolak, Bibi. Tapi, berikanlah aku waktu untuk memikirkannya," ucap
Aryani dengan kepala tertunduk.
"Datanglah kapan kau suka. Pintu kami selalu terbuka untukmu," setelah berkata
demikian, Datuk Tangan Malaikat yang menimpali ucapan istrinya segera
berpamitan, dan melangkah meninggalkan tempat itu.
Tak lama setelah keluarga Datuk Tangan Malaikat pergi, Aryani pamit dengan Panji
dan Kenanga. Gadis cantik itu ingin melajutkan petualangannya untuk meluaskan
pengalamannya. "Ingat, jangan gunakan kekerasan hatimu dan kemarahan dalam menghadapi setiap
persoalan yang kau temukan," pesan Panji sebelum Aryani meninggalkan mereka.
Gadis cantik itu tersenyum menganggukkan kepalanya.
Kemudian melangkah perlahan meninggalkan Panji dan Kenanga yang melambaikan
tangannya, melepas kepergian gadis itu.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Cinta Sang Pendekar 2 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Anak Baru Gendenk 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama