Ceritasilat Novel Online

Pusaka Bukit Cangak 3

Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak Bagian 3


dikerjakan Pendekar Perisai Naga untuknya, Kini gadis itu tak lagi merasakan
rasa nyeri pada kedua tumitnya sebab usapan telapak
tangan Pendekar Perisai Naga. Gagar Mayang merasakan hawa dingin menyusup ke
tumitnya ketika anak
muda itu mengusapkan telapak tangannya. Racun
yang ditularkan oleh tumit Ki Tunggui Wulung sedikit
demi sedikit tersedot oleh telapak tangan anak muda
yang berpakaian serba putih dan berikat kepala kulit
ular sanca itu.
Dan, Gagar Mayang menyesal tidak sempat
mengamati cambuk yang melingkari pinggang anak
muda itu. Konon cambuk yang terbuat dari kulit ular
sanca itulah yang menyebabkan pemiliknya dijuluki
Pendekar Perisai Naga. Jika cambuk itu berputar mengelilingi badan pemiliknya
maka tak akan ada serangan lawan yang bisa menembus badan Pendekar Perisai Naga!
Tak jauh dari tempat gadis itu merenungrenung, Joko Sungsang pun tengah
memikirkan kejadian yang baru saja dialaminya. Sejak melihat warna
pakaian yang dikenakan Gagar Mayang, hati Joko
Sungsang mulai resah. Warna pakaian itu sama-sama
berpakaian serba jingga. Bahkan kain yang membebat
pinggul mereka pun hampir sama. Agaknya hanya senjata mereka yang membedakan
mana Endang Cantikawerdi dan mana Gagar Mayang. Tentu saja jika dilihat di bawah
keremangan bulan. Sebab, Joko Sungsang yakin wajah mereka berdua tidak mungkin
sama. Kalaupun ada persamaan, yakin sama-sama cantik.
Kembali Joko Sungsang menelan ludah seperti
yang dilakukannya ketika harus memegangi pergelangan kaki Gagar Mayang yang
mulus itu. la harus mencengkeram pergelangan kaki gadis itu sebab ia harus
mengerahkan tenaga dalam untuk menyedot racun
yang teronggok dalam tumit gadis itu. Cengkeraman
pada pergelangan kaki inilah yang bisa mencegah agar
darah dalam tubuh gadis itu tidak ikut tersedot.
Sewaktu ia menolong membebaskan gadis itu
dari serangan racun inilah bayangan Endang Cantikawerdi semakin nyata di pelupuk
matanya. Joko Sungsang sendiri tidak menyangka bakal terlena dalam
menghadapi sikap Endang Cantikawerdi yang manja
itu. Beberapa hari dalam gemblengan Joko Sungsang,
gadis itu sudah kehilangan rasa canggungnya. Tak ada
lagi rasa rendah diri yang semula membatasi keakraban antara gadis itu dengan
Joko Sungsang. Hingga
kemudian tak sungkan-sungkan lagi gadis itu menyandarkan tubuhnya ke dada Joko Sungsang yang
bidang itu. Dan, darah Joko Sungsang pun bergolak sewaktu hidungnya mencium bau harum rambut
Endang Cantikawerdi. Terlebih sewaktu tanpa sengaja
lengan Joko Sungsang menyenggol bukit dada gadis
itu. Maka ketika gadis itu menengadahkan mukanya
dengan bibir setengah terbuka, tak ada keinginan lain
dalam diri Joko Sungsang kecuali mencium gadis yang
telah pasrah dalam dekapannya itu.
Dari semula Joko Sungsang sudah mengira
bahwa Endang Cantikawerdi bukanlah Sekar Arum
yang jinak-jinak merpati. Endang Cantikawerdi adalah
bara yang tersekap dalam rumput kering. Bertahuntahun Joko Sungsang menyertai
Sekar Arum, tetapi
belum sekali pun ia bisa merengkuh tubuh mungil gadis itu. Padahal ia tahu gadis
itu mencintainya dan ia
pun mencintai gadis itu. Namun, bersama Endang
Cantikawerdi meski hanya beberapa kali bertemu, tibatiba saja terjadi keakraban
yang tidak semestinya mereka lakukan.
Membanding-bandingkan Endang Cantikawerdi
dengan Sekar Arum membuat Joko Sungsang sadar
dari keterlenaannya. Maka segera ia melepaskan pelukannya seraya berkata, "Oh,
maaf, maaf!"
Terbelalak mata Endang Cantikawerdi. Sama
sekali tak diduganya bahwa Joko Sungsang menghentikan begitu saja cumbuannya.
Bahkan anak muda itu
menjauh dari tempatnya semula duduk.
''Kenapa harus minta maaf?" tanya gadis itu
sambil merapikan pakaiannya yang hampir saja melorot dari bahunya yang langsat.
'Tidak, tidak. Kita tidak boleh melakukannya,
Cantika. Tidak. Maaf, maaf," jawab Joko Sungsang
tanpa berani menatap wajah gadis di sampingnya.
''Tetapi...?" Gadis itu tidak meneruskan ucapannya sebab seketika itu juga ia
sadari siapa dirinya
bagi Pendekar Perisai Naga. Dan, ia pun ingat bahwa
masih ada Sekar Arum di antara mereka berdua.
Ya, tentu saja gadis itu yang membuatnya menolakku, pikir gadis itu sambil
menggigit bibirnya
kuat-kuat. Kemarahan seketika membeludak dalam
dadanya. la marah sebab merasa dikalahkan oleh gadis bertombak pendek itu! Hanya
karena kau murid
orang sesat, pikir Endang Cantikawerdi lagi.
''Kita teruskan latihan kita" Jurus-jurusmu sudah hampir sempurna. Beberapa kali
lagi latihan, kukira kau akan menguasai seluruhnya jurus-jurus dari
Padepokan Jurang Jero, Cantika," kata Joko Sungsang
mengalihkan pembicaraan.
Akan tetapi, Endang Cantikawerdi seolah tidak
mendengar ucapan anak muda itu. Gadis itu menundukkan kepala dalam-dalam. Bahkan
samar-samar terdengar isak tangis gadis itu.
"Bukankah aku sudah minta maaf, Cantika?"
kata Joko Sungsang dalam kebingungannya menghadapi gadis itu. Betapa tidak
bingung! Ia tidak mungkin
meneruskan cumbuannya terhadap gadis itu jika pada
akhirnya ia harus mengecewakannya. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia tidak mencintai
gadis itu. Baginya,
cinta hanyalah tersedia bagi gadis yang kelak diharapkan menjadi ibu dari anakanaknya. Kalaupun ia
tadi mencumbu gadis itu, semata-mata karena ia lelaki
normal. Ia terangsang menerima sentuhan kulit gadis
itu, mencium bau harum rambut gadis itu, melihat bibir setengah terbuka yang
berwarna merah, dan melihat lereng bukit kembar di dada gadis itu.
"Aku yang seharusnya minta maaf. Aku yang
tidak tahu diri," kata Endang Cantikawerdi sebelum
melesat pergi. 'Tunggu, Cantika!" teriak Joko Sungsang. Namun, dalam sekejap bayangan gadis itu
lenyap dari pandang matanya. Sebenarnya, bukan tidak mungkin
baginya untuk mengejar gadis itu. Namun, Joko Sungsang pun ingat bahwa mengejar
gadis itu sama halnya
menambah pukulan batin bagi gadis itu sendiri.
Berhari-hari Joko Sungsang mencoba menghilangkan bayangan Endang Cantikawerdi
dari benaknya. Ia berusaha menggantikan bayangan gadis berpakaian serba jingga
itu dengan bayangan gadis yang
berpakaian serba putih. Akan, tetapi, ketika usahanya
itu hampir berhasil, tiba-tiba saja ia harus bertemu
dengan Gagar Mayang yang juga berpakaian serba
jingga. Bukan saja ingatan terhadap Endang Cantikawerdi yang mengajak Joko Sungsang agar
segera meninggalkan Gagar Mayang. Melainkan juga karena ia
sudah berjanji dalam hati untuk tidak akrab dengan
gadis mana pun kecuali dengan Sekar Arum.
'Tetapi, di manakah sekarang ini Sekar Arum
berada?" tanya Joko Sungsang kepada dirinya sendiri.
*** Matahari telah mengintip di ufuk Timur. Embun di dedaunan mulai mencair oleh
kehangatan udara pagi. Para petani mulai berjalan beriringan di pematang sawah
untuk kemudian turun dan bergulat dengan lumpur. Sesekali saja mereka
mendongakkan kepala dan tanpa sengaja mata mereka menangkap Puncak Gunung Bromo
yang masih berselimutkan kabut
tebal. Dan, melihat puncak gunung itu, mereka lantas
saja ingat kemalangan yang siap menerkam nasib mereka.
Semenjak Ki Tunggui Wulung dan anak buahnya menghuni Lereng Gunung Bromo,
penduduk di sekitar lereng gunung itu merasakan kesengsaraan
yang melebihi kesengsaraan sebelumnya. Para petani
miskin yang sering tertimpa musibah bencana alam itu
harus menyerahkan sebagian hasil panen mereka kepada Ki Tunggui Wulung Maka
kelaparan semakin
mengancam penghuni lereng gunung itu.
Cerita ini langsung didengar oleh Gagar Mayang
begitu gadis itu tiba di salah satu desa di lereng gunung itu. Semangat gadis
itu untuk mendapatkan,
kembali Ki Sumping Sedapur semakin menyala-nyala,
la yakin, dengan Ki Sumping Sedapur di tangan maka
Ki Tunggui Wulung akan semakin pongah dan sewenang-wenang. Hanya Gagar Mayang
yang mendengar cerita dari Eyang Kuranda Geni tentang pengaruh keris
pusaka itu terhadap orang yang menyimpannya.
''Memang sulit dipercaya. Tetapi, ini nyatanyata terjadi, Megatruh. Barangsiapa
menguasai keris
itu akan semakin mendapatkan kemajuan dalam usahanya sehari-hari. Kemajuan dalam
segala hal, menyangkut kemajuan perilaku orang itu sendiri. Jika
orang itu pada dasarnya jahat, maka ia akan semakin
jahat. Sebaliknya, jika orang itu berjalan di jalan yang
lurus, maka ia akan semakin mulia. Contoh yang sekarang ini bisa kau lihat
adalah yang terjadi pada diri
Langendriya. Karena ia mendapatkan keris itu dengan
jalan mencuri, karena itu pula keinginannya untuk
mencuri semakin menjadi-jadi. Ia sudah mulai berpikir
untuk mencuri kedudukan adipati di Kadipaten Banyuasin. "
Gagar Mayang manggut manggut kecil mengingat penjelasan Eyang Kuranda Geni perihal pengaruh
Ki Sumping Sedapur terhadap orang yang menyimpan.
Sekarang keris pusaka itu berada di tangan Ki Tunggui
Wulung yang lebih jahat jika dibandingkan dengan Ki
Langendriya. ''Langendriya sendiri tidak pernah membayangkan bahwa keluarnya Ki Sumping
Sedapur dari Bukit
Cangak berarti akan menggegerkan rimba persilatan.
Orang-orang baik dari golongan lurus maupun golongan sesat akan bertemu untuk
memperebutkan keris
pusaka itu. Orang-orang yang tidak berdosalah yang
akan menjadi korban dari perebutan keris pusaka itu.
Karena itu, sebelum keris itu lolos dari tangan Langendriya, kau harus bisa
membawa kembali ke Bukit Cangak sini. Kalau sampai keris itu jatuh ke tangan
orang lain lagi, sudah pasti musuh yang kau hadapi akan
semakin banyak. Dan, kau harus tahu bahwa masih
banyak orang sesat yang berilmu demit yang tentunya
tidak mudah untuk kau taklukkan. Hati-hatilah. Kalau
memang keris Itu telanjur jatuh ke tangan orang sakti,
sebaiknya kau kembali ke Bukit Cangak. Biarlah keris
itu musnah asalkan kau selamat," pesan Eyang Kuranda Geni kembali terngiang di
telinga Gagar Mayang.
'Tidak. Aku harus mendapatkan keris pusaka
itu walau apa pun yang terjadi!" kata hati Gagar
Mayang sembari meneruskan langkah.
Gadis itu memang tidak merasa getar menghadapi Ki Tunggui Wulung. Kalaupun ia
pernah hampir celaka berhadapan dengan orang sesat itu, la merasa
karena ia kurang waspada. la masih beranggapan
bahwa ilmu silat Ki Tunggui Wulung sejajar dengan ilmu silat Ki Langendriya.
Sikap meremehkan inilah
yang membuatnya hampir celaka.
Langkah Gagar Mayang terhenti. Ia menajamkan pendengarannya. Samar-samar tertangkap oleh telinga suara senjata beradu.
Sepagi ini sudah ada perkelahian di lereng gunung ini" Maka gadis itu secepatnya
menyelinap ke rerimbunan semak-semak. Dengan
langkah mengendap-endap ia mendekati arah datangnya suara. Dan, sewaktu ia
menemukan sumber suara
itu, matanya terbelalak memandangi apa yang nampak
di depan matanya.
Gagar Mayang mengusap usap pelupuk matanya. Sulit dipercaya jika nyatanya ada
seorang gadis berpakaian serba jingga, persis pakaian yang sedang
dikenakannya. Bahkan kain lereng yang membebat
pinggul gadis itu pun hampir sama dengan kain lereng
yang membebat pinggulku, pikir Gagar Mayang.
Gadis berpakaian serba jingga dan bersenjata
toya itu tengah sibuk menghadapi keroyokan tiga
orang lelaki anak buah Ki Tunggui Wulung. Dua orang
lelaki yang lain nampak tidak lagi berdaya. Mereka
berdua tertatih-tatih berusaha bangkit. Tangan kanan
mereka menekap dada sebab baru saja toya di tangan
gadis itu menyodok dada mereka berdua.
Melihat dua orang temannya roboh, tiga orang
lelaki itu semakin berang. Sementara ketiganya mengurai cambuk berduri yang
terbuat dari pohon gadung
Lalu, secara serempak pula ketiga cabuk itu mengurung tubuh gadis berpakaian
serba jingga itu.
''Terimalah ajalmu, betina liar!" seru salah seorang dari ketiga lelaki itu.
Gadis itu tersenyum. Menghadap ketika cambuk yang meledak-ledak membisingkan
telinga itu, gadis berpakaian serba jingga itu memutar toya dewondarunya di atas
kepala. ''Sekali lagi kuperingatkan bahwa aku tidak
pernah berurusan dengan guru kalian yang bernama
Ki Tunggui Wulung! Aku datang ke sini tanpa ku sengaja! Aku tidak tahu-menahu
tentang keris pusaka
yang kalian maksudkan! Bukankan lebih baik kalian
memanggil guru kalian mumpung kalian masih bernapas?" kata gadis itu.
'Gagar Mayang, lupakan keinginanmu untuk
mendapatkan kembali keris pusaka itu! Lebih baik kau
berdoa agar nyawamu tidak terdampar di neraka!" sahut lelaki yang agaknya
menjadi pimpinan mereka berlima.
Tahulah kini Gagar Mayang apa yang tengah
terjadi di depan matanya. Rupanya anak buah Ki
Tunggui Wulung mengira gadis itulah yang bernama
Gagar Mayang. Hanya karena gadis itu berpakaian
serba jingga. "Sudah kukatakan bahwa namaku bukan Gagar Mayang!" kata gadis bertoya itu sambil
menyongsong lilitan ketiga cambuk itu dengan juluran toya dewon-darunya.
''Srettt! Srettt! Srettt!"
Susul-menyusul cambuk berduri itu melilit toya
berwarna merah kecoklat-coklatan itu. Ketiga pemilik
cambuk itu tertawa. Mereka menganggap bahwa lawan
telah mereka kuasai. Mereka yakin bahwa toya itu
bakal terenggut dari tangan gadis itu.


Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun, yang terjadi sungguh di luar dugaan
ketiga lelaki itu. Tentu saja ketiga orang lelaki yang belum berpengalaman di
rimba persilatan itu tidak mengira maksud gadis itu menjulurkan toyanya. Tak
terpikirkan oleh mereka bertiga bahwa gadis itu sengaja
mengumpankan toyanya agar dibelit oleh ketiga cambuk berduri Itu. Mereka bertiga
tidak akan menyangka
bahwa lilitan cambuk-cambuk itu akan menguntungkan lawan.
Sebelum ketiga lelaki itu menyentakkan cambuk mereka, gadis itu menggenjotkan
kakinya ke tanah, dan tubuhnya melenting ke udara dengan gerakan salto. Inilah
salah satu jurus yang baru saja dipelajarinya dari Joko Sungsang.
''Desss! Desss!"
Dua orang lelaki terhuyung-huyung sebab baru
saja sisi kedua telapak kaki gadis itu menyambar pelipis mereka. Begitu mereka
melepaskan pegangan pada
gagang cambuk, mereka pun tersungkur seraya memuntahkan darah segar.
''Masih kuberi kau waktu untuk enyah dari hadapanku. Pergilah sebelum toyaku ini
meremukkan kepalamu!" kata gadis itu kepada satu-satunya lawan
yang masih tersisa.
Lelaki itu tak mempedulikan ancaman lawan. Ia
bahkan nekad menyentakkan cambuknya yang masih
melilit toya merah kecoklat-coklatan itu. Akan tetap,
bersamaan dengan sentakan itu, gadis berpakaian serba jingga itu membuang
tubuhnya ke bawah dengan
kedua tumit mengarah ke lutut lelaki itu. Sejengkal lagi kedua tumit gadis itu
menghancurkan kedua lutut
lelaki itu, tiba-tiba ada angin yang menyambar tubuh
keduanya. Tubuh lelaki itu terbang terbawa angin sementara tubuh gadis itu
terhempas ke tanah. Namun,
dengan bersitelekan toyanya, gadis itu berhasil membebaskan diri dari hempasan
angin itu. ''Dasar orang sesat! Tak berani berlaku jantan!"
teriak Gagar Mayang sambil melompat keluar dari
tempat persembunyiannya.
Gadis bertoya itu, yang tak lain adalah Endang
Cantikawerdi, terbelalak memandangi gadis yang berpakaian serba jingga, yang tak
beda sedikit pun dengan pakaian yang dikenakannya. Dan, sebelum ia lebih
cermat mengamati gadis itu, tiba-tiba saja seorang kakek-kakek melompat turun
dari sebuah pohon sambil
tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku sudah menyangka, engkaulah yang pantas menjadi pembokong, Ki Tunggui
Wulung!" sergah
Gagar Mayang. Lalu, kata gadis itu kepada Endang
Cantikawerdi, "Maaf, kau terpaksa menjadi korban
pengeroyokan sebab pakaian kita serupa. Akulah sebenarnya yang mereka
kehendaki."
Kini barulah Endah Cantikawerdi mengerti kenapa kelima lelaki itu tiba-tiba saja
mengurungnya dan
ingin membunuhnya.
''Jadi, engkaulah yang bernama Gagar Mayang?" tanya Endang Cantikawerdi.
"He he he! Agaknya kerbau-kerbau dungu itu
salah seruduk!" kata Ki Tunggul Wulung sambil memandangi Gagar Mayang dan Endang
Cantikawerdi bergantian. ''Tetapi, tidak berarti kau boleh lolos dari
tanganku, Bocah Denok! Kau telah merobohkan murid-muridku. Kau harus menebus
dengan kecantikanmu!" Mata Ki Tunggui Wulung memandang rakus ke
arah dada Endang Cantikawerdi.
'Tunggui Wulung!" sergah Gagar Mayang mendahului Endang Cantikawerdi. ''Urusanmu
bukan dengan siapa-siapa! Perkara keris pusaka itu...!"
''Biarlah jika kakek jompo ini ingin meringkusku," tukas Endang Cantikawerdi.
''Kisanak, maafkan aku jika aku telah mendatangkan kesulitan bagimu. Tetapi,
izinkan aku menyelesaikan masalahku dengan tua bangka ini," kata Gagar Mayang
sambil membungkuk hormat ke arah Endang Cantikawerdi.
Melihat sikap Gagar Mayang yang penuh rasa
hormat, Endang Cantikawerdi terpaksa harus melapangkan dada, la sadar bahwa ia memang tidak punya
urusan dengan Ki Tunggui Wulung. Kalau saja ia tidak
pernah berguru kepada Pendekar Perisai Naga, sudah
barang pasti ia akan gusar melihat kemunculan Gagar
Mayang, la akan beranggapan bahwa gadis itu telah
lancang, berani mengambil alih musuhnya. Akan tetapi, Endang Cantikawerdi yang
sekarang ini bukanlah
Endang Cantikawerdi yang baru saja turun dari Padepokan Gunung Sumbing. Endang
Cantikawerdi yang
sekarang ini adalah seorang gadis yang telah mewarisi
ilmu silat dari Padepokan Jurang Jero. Ia adalah seorang pendekar yang mulai
tahu membedakan mana
yang benar dan mana yang salah, mana yang lurus
dan mana yang sesat, serta bisa membedakan mana
urusan pribadi dan mana yang disebut campur tangan.
''Baiklah. Sebaiknya aku memang jadi penonton," kata Endang Cantikawerdi pada
akhirnya. "Ho ho ho! Kenapa tidak kau bantu temanmu"
Tidakkah lebih baik kalian berdua membujukku agar
aku memaafkan kalian?" sahut Ki Tunggui Wulung.
''Tunggui Wulung, kau memang pernah hampir
mencelakakanku. Tetapi, jangan kau kira itu terjadi
karena ilmu silatmu tak tertandingi olehku. Nah, sekaranglah saatnya menentukan
siapa yang paling pantas
mendapatkan Ki Sumbing Sedapur. Bersiaplah, Tunggui Wulung!" secepat kilat
seruling bambu wulung
yang tadi terselip di pinggang gadis itu pindah ke tangan kanan gadis itu.
''Sejak tadi aku sudah siap untuk mendengarkan alunan serulingmu, bocah bengal!"
kata Ki Tunggui Wulung seraya menyingsingkan lengan jubahnya.
Sambil berteriak melengking, Gagar Mayang
menerjang lawan dengan sodokan seruling bambu wulungnya ke arah dada.
''Wusss!" Sebelum seruling bambu wulung itu menyentuh dada W Tunggui Wulung, sambaran
angin panas membuat Gagar Mayang harus membatalkan serangannya dan menggantikannya dengan
putaran untuk menepis angin yang menyambar perutnya.
Seperti membentur baling-baling baja, angin
yang berasal dari telapak tangan Ki Tunggui Wulung
berbalik arah. ''Bagus!" seru Ki Tunggui Wulung. ''Tetapi, cobalah ini kau tangkis dengan
putaran serulingmu!"
''Wusss! Wusss! Wusss!"
Susul-menyusul angin menyambar dari telapak
tangan kanan dan kiri Ki Tunggui Wulung. Dan, serangan ini ternyata memang bukan
hanya gerakan sambal. Tubuh Gagar Mayang terdorong mundur beberapa langkah. Angin yang datang
dari telapak tangan
lawan ternyata tak mampu dibendungnya. Angin panas itu menyambar kedua kaki
Gagar Mayang sehingga itu merasa sepasang kakinya terbakar.
Secepatnya Gagar Mayang mengerahkan tenaga
mumi untuk mengatasi rasa sakit yang menyerang kulit sepasang kakinya. Setelah
itu, kembali ia memutar
serulingnya. Kali ini suara bersuitan keluar dari ketujuh lubang seruling itu.
Ki Tunggui Wulung mengernyitkan dahi, la pernah mendengar suara bersuitan yang
sama. Dan sama-sama menyakitkan telinga.
"Aji Guntur Warayang," desis orang tua itu. Lalu, ia melihat sisa anak buahnya
yang masih hidup
berkelojotan sambil menekap telinga.
Endang Cantikawerdi segera mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi telinganya
dari serangan suara yang menyakitkan itu. Bersyukurlah ia telah
berlatih jurus penangkal suara ini bersama Joko
Sungsang. Dari Joko Sungsang, ia belajar banyak dari
apa yang belum pernah diajarkan oleh Cekel Janaloka.
Maka kini ia tidak harus terlongo-longo mengikuti jalannya pertarungan Ki
Tunggui Wulung melawan Gagar Mayang. Bahkan setelah pertarungan melewati puluhan
jurus, Endang Cantikawerdi bisa melihat bahwa
Gagar Mayang mulai kuwalahan menghadapi serangan
lawan. Terlebih sewaktu Ki Tunggui Wulung mulai menyerang dengan trisulanya.
''Sekarang tak ada lagi setan yang bisa menolongmu dari kematian, gadis bengal!"
seru Ki Tunggui
Wulung seraya mengkombinasikan serangan trisula
dengan angin panas dari telapak tangan kirinya.
Melihat trisula itu mengarah ke lehernya, Gagar
Mayang merunduk sambil memutar serulingnya untuk
menangkis angin panas yang menerpa dadanya. Namun, tiba-tiba trisula itu menukik
ke arah bahunya.
''Trakkk! Wusss!"
Gagar Mayang berhasil menahan trisula itu
dengan serulingnya. Akan tetapi, sekali lagi angin panas itu menerpa kakinya.
Tak pelak lagi, kuda-kuda
gadis itu goyah. Dan, dorongan trisula yang begitu
kuat membuat tubuh gadis itu terhempas ke tanah.
Pada saat itulah tumit kanan Ki Tunggui Wulung meluncur deras ke arah dada gadis
itu. ''Wuttt! Wuttt! Wuttt!"
Putaran toya dewondaru Endang Cantikawerdi
memaksa Ki Tunggui Wulung harus membuang tubuhnya ke belakang.
''Bedebah! Berani kau mencampuri urusan kami!" Kini trisula di tangan Ki Tunggui
Wulung meluncur deras ke dada Endang Cantikawerdi. Dan, pada
saat yang sama kaki orang tua itu menyapu kaki kanan gadis itu.
"Trakkk! Trakkk! Dukkk!"
Di luar dugaan Ki Tunggui Wulung toya lawan
masih mampu menjangkau kaki kanannya. Terlebih
lagi gadis itu mampu menahan tenaga dalam yang disalurkannya lewat trisula.
Tidak seharusnya tangan gadis itu mampu menukikkan toyanya ke bawah setelah
menangkis tusukan trisula.
''Keparat! Benar-benar tidak bisa kuampuni
kau, sundel bolong!" geram Ki Tunggui Wulung setelah
mampu mengatasi rasa nyeri yang menusuk-nusuk tulang keringnya.
"Aku memang tidak butuh pengampunanmu,
kakek bento!" jawab Endang Cantikawerdi.
''Singngng!"
Sebatang paku beracun menyambar ke arah
leher Endang Cantikawerdi. Namun, sebagai bekas
murid tokoh sesat, gadis itu sudah menduga akan
munculnya senjata rahasia dalam pertarungan itu.
Maka dengan tenang gadis itu menjejakkan kakinya ke
tanah dan tubuhnya berjumpalitan di udara.
"Tibalah ajalmu, Perempuan Laknat!" Berkata
begini, Ki Tunggui Wulung menyusul ke udara sambil
menusukkan trisulanya.
"Trakkk! Trakkk! Bukkk!"
Serangan trisula itu memang berhasil ditepis
oleh Endang Cantikawerdi di depan toyanya, tetapi satu tendangan lawan berhasil
masuk ke pinggangnya.
Tubuh gadis itu terpental.
Gagar Mayang memekik kecil seraya melompat
memburu Ki Tunggui Wulung yang telah siap mengirimkan serangan susulan kepada
Endang Cantikawerdi.
''Hancurlah kepalamu, kakek sesat!" teriak Gagar Mayang untuk mancing lawan agar
membalik langkah. Ki Tunggui Wulung bukanlah anak kemarin
sore yang mudah terpancing oleh segala jenis tipuan.
Lagi pula, sejak semula ia sudah mengira bahwa kedua
gadis belia itu akan saling membantu satu sama lain.
Oleh sebab itu, tanpa mengalihkan perhatian, Ki Tunggui Wulung mengibaskan
jubahnya untuk menangkis
serangan seruling bambu wulung yang mengarah ke
kepalanya.. Maut mengancam Endang Cantikawerdi. Begitu
tubuhnya terbanting ke tanah, satu hunjaman trisula
mengancam dadanya. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menangkis trisula itu
dengan toyanya. Akan
tetapi, pada saat yang kritis ini ia ingat sesuatu yang
sudah lama tidak dipergunakannya. Maka dengan sisa
tenaga yang dimilikinya, Endang Cantikawerdi bergulingan ke samping kiri sambil
menaburkan pasir beracun yang masih tersisa di balik kain lerengnya.
''Demit tetekan!" lenguh Ki Tunggui Wulung seraya melompat mundur. Ia merasakan
sejuta jarum beracun menancap di matanya.
Dan, pada saat orang sesat dari Gunung Bromo
ini melangkah mundur, Gagar Mayang telah siap menjemput dengan totokan
serulingnya ke arah punggung.
''Aaakhggg!" Sekali lagi Ki Tunggui Wulung melenguh, dan kemudian tubuhnya
melorot dan terbaring
lemas. *** 6 Endang Cantikawerdi mengerang sambil menekap pinggang kanannya. Tendangan tumit
Ki Tunggui Wulung seolah menghancurkan seluruh isi perutnya.
Dan, rasa sakit ini semakin menjadi-jadi sewaktu racun yang berasal dari tumit
lawan mulai menyerang.
"Aku akan berusaha menyedot racun itu," kata
Gagar Mayang seraya memeriksa warna biru di pinggang gadis yang baru saja
dikenalnya ini.
''Racun" Maksudmu, tendangan itu mengandung racun?" tanya Endang Cantikawerdi
kaget. "Ya. Aku pun pernah berbenturan tumit dengan
kakek edan itu. Syukurlah muncul Pendekar Perisai
Naga menolongku. Darinyalah aku tahu bagaimana cara mengatasi racun itu...."
''Pendekar Perisai Naga?" tukas Endang Cantikawerdi dengan mulut ternganga dan
mata terbelalak.
"Kau sudah pernah bertemu dengannya?"
Endang Cantikawerdi tak menjawab. Ingatan
atas pertemuan terakhir kalinya dengan Pendekar Perisai Naga membuat gadis itu
tak mendengar pertanyaan Gagar Mayang.
"Kau mengenalnya?" kejar Gagar Mayang.
''Ya. Tapi, sudah lama sekali aku tidak mendengar beritanya."
"Aku sudah menyangka bahwa aku telah lebih
dulu mengenalnya. Mungkin juga kalian bersahabat."
''Dari mana kau bisa menduga begitu?"
''Tahan napasmu. Aku akan mulai menyedot
racun itu," sahut Gagar Mayang sebelum kemudian
menempelkan telapak tangannya ke pinggang Endang
Cantikawerdi yang membiru.


Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara Gagar Mayang mengatasi racun
yang mengeram di pinggang Endang Cantikawerdi, Ki
Tunggui Wulung berusaha sekuat tenaga membebaskan diri dari totokan seruling
bambu wulung yang
membuatnya lemas tak bertenaga. Namun, karena ia
pun harus menahan rasa nyeri di matanya, usaha untuk membebaskan diri dari
totokan itu tak mendatangkan hasil. Malahan ia merasa serangan pasir beracun di
matanya semakin menjadi-jadi, la mencoba
mengerahkan tenaga murni untuk mengatasi racun di
matanya. Namun, usaha itu justru memperburuk keadaan.
"Kau akan segera mampus jika kau berusaha
melawan racun pasir itu dengan tenaga murni, Tunggui Wulung," kata Endang
Cantikawerdi setelah terbebas dari maut yang mengancam pinggangnya.
"Dan, kau akan semakin kehilangan tenaga untuk usahamu membebaskan totokan
serulingku, kakek
sesat!" timpal Gagar Mayang.
''Kenapa tidak kaubunuh sekalian aku?" kata
Ki Tunggui Wulung.
''Bunuh" Kau pikir aku tidak menghendaki keris itu lagi" Kau akan kusiksa sampai
kau mengaku di mana kau sembunyikan keris itu, Kek!" sahut Gagar
Mayang. "He he he.... Sampai kau pancung leherku pun
aku tidak akan pernah menyebutkan di mana keris itu
kusimpan, bocah tolol!"
Gagar Mayang menghela napas. Memang, sesungguhnya tak ada pikiran untuk menyiksa
lawan yang sudah tidak berdaya. Tanpa disiksa pun Ki Tunggui Wulung akan mati oleh
jalaran racun di matanya.
Dari keterangan Endang Cantikawerdi, ia tahu betapa
ganas racun pasir kepundan Gunung Sumbing.
Gagar Mayang menoleh kepada Endang Cantikawerdi. Akan tetapi, ia tak menemukan
sosok gadis yang terbungkus pakaian serba jingga itu.
''Kenapa dia harus pergi diam-diam?" tanya hati
gadis itu sambil tetap mengedarkan pandang matanya.
Sudah pasti gadis itu tidak mengerti kenapa
Endang Cantikawerdi harus secepatnya pergi meninggalkan tempat itu. Gagar Mayang
tidak bisa merasakan
betapa hancur hati Endang Cantikawerdi sewaktu
mendengar nama Pendekar Perisai Naga disebut-sebut
deh gadis yang baru saja dikenalnya itu.
Rasa cemburu memang begitu mudah meracuni
hati seorang gadis macam Endang Cantikawerdi. Kecemburuannya terhadap Sekar Arum
semakin hari semakin menggunung. Kini masih ditambah lagi kecemburuan baru. Ya, lelaki mana
yang tidak tergiur
melihat kecantikan Gagar Mayang! Selain cantik, gadis
itu juga memiliki ilmu silat yang mumpuni. Masih ditambah lagi kecantikan yang
terpancar dari hati Bukit
Cangak itu. la bahkan lebih cantik jika dibandingkan
dengan Sekar Arum, pikir Endang Cantikawerdi sambil
mengayun langkah.
Tidak boleh tidak bekas. murid Cekel Janaloka
itu lantas membandingkan dirinya dengan Gagar
Mayang maupun Sekar Arum. Pikirnya, aku hanyalah
bekas murid orang sesat. Tak seperti Sekar Arum
maupun Gagar Mayang. Aku bahkan tidak memiliki
ilmu silat yang layak untuk dibandingkan dengan mereka berdua. Kalau akhirnya
aku menjadi murid Pendekar Perisai Naga, itu kudapatkan atas dasar belas
kasihan. Bukan atas dasar cinta!
Sementara Endang Cantikawerdi berjalan menjauhi tempat itu, Gagar Mayang masih
saja kebingungan menghadapi Ki Tunggui Wulung. Orang tua itu tetap tak mau
mengaku di mana ia menyembunyikan Ki
Sumping Sedapur sekalipun sejuta ancaman dilontarkan oleh gadis yang menawannya.
''Baiklah. Kalau begitu, bukan saja kau yang
mengalami siksaan, melainkan juga seluruh penghuni
Perguruan Gunung Bromo akan ku basmi! Selamat
tinggal, kakek bebal. Semoga tubuhmu habis dicabikcabik binatang malam!" setelah
sekali lagi menotok jalan darah di tubuh Ki Tunggui Wulung, gadis itu pun
melesat pergi menuju Perguruan Gunung Bromo.
Totokan jalan darah susulan ini membuat Ki
Tunggui Wulung benar-benar tak berkutik. Tubuhnya
kejang dan jalaran racun yang berasal dari kedua matanya semakin merajalela.
*** Gagar Mayang mendongakkan mukanya. Tanpa
terasa matahari telah condong ke bumi belahan Barat
Cukup lama juga pertarungan mereka bertiga tadi berlangsung. Sewaktu ia melihat
gadis berpakaian serba
jingga itu berkelahi melawan anak buah Ki Tunggui
Wulung, matahari baru sepenggalah tingginya.
Maka gadis itu mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya untuk segera bisa mencapai Perguruan Gunung Bromo. Seperti anak panah,
tubuh gadis itu berkelebat di antara kerimbunan hutan pinus. Tak lagi
nampak sosok seorang gadis cantik-belia. Yang nampak hanyalah bayangan berwarna
jingga yang melesat
di sela-sela pepohonan.
Mendekati gua tempat Ki Tunggui Wulung dan
anak buahnya tinggal, Gagar Mayang mengendapendap, menyelinap dari balik pohon
yang satu ke balik
pohon yang lain. Sewaktu ia mencoba menajamkan
pendengarannya, tak sepatah kata pun suara manusia
ia tangkap. Gua itu sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. ''Mungkin memang sudah tidak tersisa lagi
anak buah Ki Tunggui Wulung," kata gadis itu kepada
dirinya sendiri. Lalu, dengan sekali lompat, ia telah
berdiri di mulut gua. Sejenak ia berdiri di situ, tetap
saja tak ada reaksi dari dalam gua. Akan tetapi, tibatiba terdengar erangan
halus dari dalam gua itu.
Bergegas Gagar Mayang menyelinap masuk. Kini nampaklah pemandangan yang tak
diduga-duganya.
Sembilan orang anak buah Ki Tunggui Wulung bergelimpangan tak bernyawa. Hanya
seorang yang masih
kuat bertahan. Gagar Mayang menghampiri lelaki yang
tengah sekarat itu.
''Siapa yang membunuh teman-temanmu?"
tanya gadis itu.
''Air... air...," rintih lelaki itu.
''Katakan dulu, siapa yang melakukan ini semua?" tukas Gagar Mayang.
Lelaki itu menggeleng. Rupanya inilah gerak terakhir leher lelaki itu sebelum
nyawanya melayang. Lelaki itu tewas sebelum menjawab pertanyaan Gagar
Mayang. Gadis itu tahu apa yang harus dilakukan jika
nyatanya tak seorang pun bisa dimintai keterangan. Ia
memeriksa satu per satu mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam gua itu. Ia
pastikan, dengan mengetahui jenis senjata yang digunakan untuk menyudahi
orang-orang ini maka akan diketahui pula siapa pemilik senjata itu.
Akan tetapi, tak segores pun luka bisa ditemukan pada sepuluh mayat itu. Ilmu
demit, pikir Gagar
Mayang sambil menarik napas panjang. Manusia macam apa yang bisa membunuh tanpa
menimbulkan luka sedikit pun" Kalaupun mereka ini mati karena pukulan dalam, toh mereka akan mengeluarkan darah
dari mulut, hidung, atau pun telinga.
Gagar Mayang memeras ingatannya. Barangkali
saja ada cerita dari Eyang Kuranda Geni yang terlupakannya. Beberapa orang tokoh
sakti dari rimba persilatan pernah disebut-sebut oleh Eyang Kuranda Geni.
Namun, tak seorang pun dari mereka yang bisa membunuh lawan tanpa meninggalkan
jejak. Mungkinkah Pendekar Perisai Naga yang melakukan ini semua" Yah, hanya Pendekar
Perisai Naga yang belum disebutkan oleh Eyang Kuranda Geni. Tetapi, bukankah anak muda itu
memiliki senjata cambuk kulit ulat yang kesohor" Dan, mustahil cambuk
itu bisa membunuh tanpa meninggalkan bekas!
Akhirnya, Gagar Mayang pun tidak percaya
bahwa yang membunuh sepuluh anak buah Ki Tunggui Wulung adalah Pendekar Perisai
Naga. Apalagi ia
pernah mendengar cerita tentang akibat dari belitan
cambuk yang terkenal dengan sebutan Perisai Naga
itu. Cambuk itu akan menyayat kulit korban dan meninggalkan bekas membiru di
sekitar sayatan. Itulah
ciri khas jejak cambuk kulit ular yang dihiasi bola berduri pada ujungnya!
''Sudah jelas bahwa Ki Sumping Sedapur telah
jatuh ke tangan orang sakti yang berilmu demit!" bisik
hati Gagar Mayang sebelum memutuskan pergi meninggalkan Perguruan Gunung Bromo.
Meski sesungguhnya ia merasa malu kembali ke Bukit Cangak, tetap saja ia
memaksakan diri harus kembali ke hadapan Eyang Kuranda Geni.
Gagar Mayang terus melangkah memunggungi
matahari yang hampir melesak ke cakrawala. Sebentar
lagi gelap akan menyungkup lereng gunung itu. Tak
nampak lagi para petani yang pagi tadi bertebaran di
sawah-sawah. Padahal gadis itu ingin menanyai para
petani itu, barangkali saja salah seorang dari mereka
melihat orang asing yang melintasi persawahan itu.
Gagar Mayang akhirnya memutuskan untuk
mencari keterangan dari penduduk desa terdekat. Setidaknya, ia menghadap Eyang
Kuranda Geni sudah
dengan membawa sedikit keterangan tentang siapa
yang terakhir kali mencuri Ki Sumping Sedapur.
Di desa pertama yang ditemuinya, Gagar
Mayang gagal pula mendapatkan keterangan yang diperlukan. Lima orang penduduk
desa yang ditanyai
semuanya menggelengkan kepala dengan wajah memucat Dan, gadis itu pun tahu apa
yang sesungguhnya sedang terjadi di desa itu setelah itu bertemu dengan Jagabaya
di desa itu. ''Semenjak Ki Tunggui Wulung berdiam di Gunung Bromo, penduduk desa ini memilih
diam daripada memberikan keterangan kepada orang asing yang
mereka jumpai," kata Ki Jagabaya.
''Tetapi, tahukah Ki Jagabaya bahwa Ki Tunggui Wulung telah tewas?"
"Ah, mimpi pun saya tak pernah," bantah Ki
Jagabaya. ''Kecuali jika datang pendekar macam Pendekar Perisai Naga yang
kesohor itu."
''Baiklah kalau memang Ki Jagabaya tetap tidak
mempercayai saya. Saya pikir, lebih baik secepatnya
saya meninggalkan desa ini agar penduduk desa ini tidak tersiksa batin mereka,"
kata Gagar Mayang.
Pendekar Perisai Naga" Hm, penduduk desa ini
pun sudah mengenal nama besar Joko Sungsang. Artinya, jelas bukan Pendekar
Perisai Naga yang mencuri
Ki Sumping Sedapur dari perguruan Gunung Bromo,
pikir Gagar Mayang sambil meneruskan langkah.
Dugaan Gagar Mayang memang tak melesat sedikit pun. Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga
memang belum pernah menginjakkan kakinya di Lereng Gunung Bromo, apalagi mencuri
Ki Sumping Sedapur dari gua tempat tinggal Ki Tunggui Wulung. Sewaktu Joko
Sungsang menempuh perjalanan menuju
Lereng Gunung Bromo, langkahnya terhenti, di Desa
Kuwung. Darah anak muda itu mendidih begitu mendengar kabar bahwa seorang gadis
bertombak pendek
dan berpakaian serba putih roboh dalam pertarungan
melawan dua orang pengeroyoknya.
''Kisanak, aku akan berterima kasih sekali jika
Kisanak mau menunjukkan di mana gadis itu sekarang berada," kata Joko Sungsang
kepada salah seorang penduduk desa itu.
''Sebaiknya Kisanak tak usah ikut campur," kata lelaki yang berwajah culas itu.
"Aku tak akan ikut campur. Aku hanya ingin
tahu bagaimana nasib gadis itu selanjutnya," sahut
Joko Sungsang menahan marah.
''Nasib gadis itu" Tentu saja mampus...!"
''Srettt!"
Tak bisa diikuti mata ketika seutas cambuk tiba-tiba melilit leher lelaki
berwajah culas itu. Mata lelaki itu terbeliak sebab cambuk kulit ular itu seolah
membuntu jalan napasnya.
''Kalau sampai gadis itu mati, kaupun akan mati! Tahu?" hardik Joko Sungsang.
''Katakan, di mana
aku bisa menjumpai gadis itu, kalau kau memang masih sayang lehermu!"
"Di... di... di rumah Ki Jiwo...."
''Siapa itu Ki Jiwo?"
'Tuan.... Tuan terus saja berjalan, dan sebelum
tiba di luar desa, Tuan akan melihat kerumunan orang
banyak Di situlah gadis itu dan dua orang pengeroyok
itu berada...."
Seperti terbang, tubuh Joko Sungsang melesat
ke mulut Desa Kuwung. Dilewatinya kerumunan penduduk desa yang memadati halaman
rumah Ki Jiwo dengan satu loncatan. Dan, darah anak muda itu semakin membeludak memenuhi batok
kepala sewaktu dilihatnya tubuh Sekar Arum yang berlumuran darah
beku. Gadis itu terikat pada salah satu tiang pendopo
rumah itu. Satu ledakan cambuk membuat tali pengikat
pada tubuh Sekar Arum hancur berkeping-keping. Melihat apa yang terjadi di depan
mata mereka, penduduk desa yang berkerumun di halaman itu pun buyar.
"Setan belang! Kadal buntung! Berani kau
membebaskan gadis ingusan yang ingin jadi pahlawan
itu?" hardik Ki Langendriya yang tiba-tiba saja sudah
berdiri di belakang Joko Sungsang.
Joko Sungsang tak segera menoleh, la memanggul tubuh Sekar Arum setelah
memeriksa denyut
nadi di pergelangan tangan gadis itu.
"Hei, kunyuk budeg! Tidakkah kau mendengar
suaraku?" bentak Ki Langendriya bertambah berang.
''Kaukah yang menyiksa gadis ini?" tanya Joko
Sungsang setelah membalik langkah.
"Ha ha ha! Kalau iya, kau mau apa" Kau juga
mau berlagak jadi pahlawan" Tahukah kenapa gadis
malang itu kujadikan tontonan di desa ini" Karena dia
mencoba-coba melindungi calon istriku! Bukan itu saja. Bahkan ia mencoba
menjilati Adipati Sorengdriya...."
''Cukup!" sergah Joko Sungsang. ''Sekarang,
katakan siapa temanmu yang kau ajak mengeroyok
gadis ini!"
"Hei, sejak kapan kau menjadi majikanku" Tak
seorang pun boleh memerintahku menjawab pertanyaan selama aku masih bernapas! Ha
ha ha!" ''Baiklah. Bernapaslah sekarang!" secepat kilat
cambuk kulit ular itu melilit leher Ki Langendriya.
Akan tetapi, Ki Langendriya bukanlah penduduk desa pada umumnya, yang tidak
mampu membebaskan diri dari ancaman musuh. Maka dengan sigap


Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demang Desa Majamulya itu menghunus pedang dan
membabatkannya ke cambuk yang melilit lehernya.
''Tringngng!"
Terbeliak mata Ki Langendriya begitu melihat
kenyataan bahwa cambuk itu tak mempan dibabat
dengan pedangnya. Tentu saja Ki Langendriya tidak
akan menduga bahwa Joko Sungsang telah mengerahkan Jurus Naga Melilit Gunung
untuk menguasai leher
demang mata keranjang itu.
''Wungngng! Wungngng! Wungngng!"
Tiba-tiba saja Ki Langendriya memutar tangan
kanannya yang telah dilambari dengan jurus Tangan
Dewa Menggenggam Buih. Ya, hanya dengan jurus itu
Ki Langendriya merasa bisa menghancur-leburkan
cambuk yang melilit lehernya!
Melihat asap tipis mengepul dari sekujur tangan lawan, Joko Sungsang sigap
menarik pulang cambuk-nya. Kendatipun keinginan untuk membunuh
orang tua itu meletup-letup di dada, masih juga muncul keinginan untuk tahu
sejauh mana kemampuan
manusia yang telah merobohkan Sekar Arum ini.
Bukan karena ia meremehkan lawan jika Joko
Sungsang menghadapi Ki Langendriya masih tetap
dengan memanggul tubuh Sekar Arum. la tak tega lagi
melihat gadis yang dicintainya itu dengan keadaan
yang menyedihkan. Sampai kapan pun ia tak akan
menurunkan tubuh Sekar Arum dari bahunya sebelum
tiba di hadapan Ki Sempani di Padepokan Karang Bolong.
''Bocah Pongah, aku memang pernah mendengar nama besarmu! Tetapi, jangan kau
kira aku akan menyerah dalam genggaman sebelah tanganmu!" ujar
Ki Langendriya demi melihat lawan tetap menghadapinya sambil memanggul tubuh
gadis yang tak berdaya
itu. ''Lebih baik aku mati bersama gadis ini daripada aku harus menurunkan gadis ini,
iblis! " sahut Joko
Sungsang. ''Benar-benar gede kepala!" sungut Ki Langendriya. Kini ia bahkan melihat anak
muda itu menyimpan kembali cambuk kulit ularnya di pinggang. Maka
murid murtad dari Bukit Cangak ini pun menerjang
Joko Sungsang dengan Jurus Tangan Dewa Menggenggam Buih-nya. Sekalipun ia benci
mendengar cerita tentang Pendekar Perisai Naga ini, tetap saja hatinya
merasa tak gentar menghadapinya. Itulah kenapa ia
langsung melancarkan ajian pamungkas yang diandalkannya Apalagi, menurut
perkiraannya, dengan memanggul tubuh gadis itu, lawan tak akan bebas menghindar.
Padahal, untuk menangkis Jurus Tangan Dewa Menggenggam Buih sama halnya
menyerahkan anggota badannya agar hancur-luluh.
''Desss!" Dua punggung tangan yang sama-sama dilambari aji pamungkas bertemu Tubuh Ki
Langendriya terlempar deras, dan baru berhenti setelah tubuh itu
membentur sebuah pohon. Seolah terguncang gempa,
pohon itu pun tumbang.
Dalam pada itu, Joko Sungsang undur beberapa langkah. Rasa nyeri menyerang
punggung tangan
kanannya. Ia tidak bisa membayangkan akibatnya andai saja tangan itu tidak dilambarinya dengan Ilmu
Pukulan Ombak Laut Selatan! Secepatnya murid Wiku
Jaladri dan juga Murid Ki Sempati mengerahkan tenaga murni untuk mengatasi rasa
nyeri yang menyerang
punggung tangan kanannya.
Akan halnya Ki Langendriya" Demang Desa Majamulya ini tertatih-tatih bangkit
dari keterjerembabannya sambil mengurut-ngurut punggung tangannya. Kaget bukan
kepalang bekas murid Eyang Kuranda Geni ini menghadapi kenyataan yang ada. Dalam
angan pun ia tak pernah bertemu dengan lawan yang
berani menyongsong Jurus Tangan Dewa Menggenggam Buih yang diandalkannya. Bukan
saja berani menyongsong, malahan anak muda itu seakan tak merasakan akibat dari
benturan yang terjadi. Lebih dari itu,
Ki Langendriya merasa seolah baru saja membenturkan punggung tangannya ke gunung
batu. ''Keluarkan seluruh jurus yang kau punyai, iblis kejam!" kata Joko Sungsang
sambil maju beberapa
langkah. Lagi-lagi Ki Langendriya menerjang maju. Kini
bukan saja tangannya yang dilambari Jurus Tangan
Dewa Menggenggam Buih, melainkan juga sepasang
kakinya. Serangan kombinasi ini memaksa Joko Sungsang harus menghindar. Anak
muda yang bergelar
Pendekar Perisai Naga ini menggenjotkan kakinya ke
tanah dan tubuhnya melambung ke udara. Ketika sepasang kakinya kembali menjejak
tanah, cambuk ular
yang berhiaskan bola berduri pada ujungnya itu telah
tergenggam di tangan kirinya.
"Ya, memang sebaiknya kau gunakan senjata
andalanmu itu, gembala pongah!" ujar Ki Langendriya
seraya tertawa. Semangat tempur orang tua ini kian
membara sebab ia mengira lawan mulai bimbang
menghadapinya dengan tangan kosong. Artinya, lawan
merasa tak mungkin lagi menangkis serangannya dengan tangan kosongnya!
Benarkah Joko Sungsang merasa cemas menghadapi Jurus Tangan Dewa Menggenggam
Buih maka ia mengurai cambuk kulit ularnya" Tidak! Sekali pun
ia telah berguru kepada Ki Sempani, ia masih ingin
menjunjung tinggi ilmu silat yang didapatkannya dari
Wiku Jaladri. Hanya dengan permainan cambuk kulit
ular itulah maka ia bisa menunjukkan kepada lawan
betapa dahsyat jurus-jurus yang melambari cambuk
yang diberi nama Perisai Naga itu. Lain daripada itu,
Joko Sungsang juga tak lepas dari bakaran dendam, la
dendam sebab gadis yang dicintainya telah menjadi
bulan-bulanan iblis yang telah mengalahkannya. Ia tidak puas jika bisa
membalaskan rasa sakit yang diderita Sekar Arum. Betapa tidak adil jika Ki
Langendriya langsung roboh tanpa harus mengeluarkan darah sepercik pun!
"Kau perlu merasakan betapa sakitnya jika separuh dari darah yang mengalir di
tubuhmu meleleh
membasahi sekujur badanmu, iblis keparat!" geram
Joko Sungsang sambil melecutkan cambuknya ke arah
betis Ki Langendriya.
"Hup, hiyaaa!" seru Ki Langendriya sambil bersalto ke udara untuk menghindari
bola berduri yang
mematuk betisnya. Joko Sungsang memburu tubuh
yang berjumpalitan di udara itu dengan lecutan berikutnya, tetapi lawannya kali
ini ternyata benar-benar
gesit dalam menghindar. Untuk itu, terpaksalah Joko
Sungsang kembali menerapkan Jurus Naga Melilit Gunung. Kali ini lecutan
cambuknya terarah pada pinggang lawan.
"Srettt!"
Sebelum kaki Ki Langendriya berhasil menjejak
tanah, cambuk kulit ular itu lebih dulu melilit pinggangnya. Dan, sebelum demang
dari Desa Majamulya
itu mencoba menepiskannya lilitan, sigap Joko Sungsang menyentakkan cambuknya.
"Carasss!"
Bola berduri di ujung cambuk itu merobek
pinggang Ki Langendriya. Darah merembes membasahi
baju adik Adipati Sorengdriya itu.
"Bedebah! Rasakan pembalasanku!" teriak Ki
Langendriya seraya menerjang maju. Kembali kaki dan
tangan orang tua itu menyerang bersama.
Namun, kali ini Joko Sungsang tak perlu beranjak dari tanah yang dipijaknya.
Disambutnya serangan
itu dengan Jurus Mematuk Elang dalam Mega. Akibatnya, begitu tubuh Ki
Langendriya melayang di udara
maka bola berduri di ujung cambuk itu pun melabrak
pipi kanannya. "Crottt!"
Ki Langendriya menarik serangannya. Ia membuang tubuhnya ke belakang sambil
memegangi pipi kanannya yang robek hingga mulut. Dan, sebelum
Demang Desa Majamulya itu mencoba membalas,
kembali bola berduri di ujung cambuk kulit ular itu
melabrak bahu kirinya.
Untuk kedua kalinya Ki Langendriya membuang tubuhnya ke belakang, menjauhi
lecutanlecutan cambuk yang mengurungnya. Namun, kemarahan Joko Sungsang sudah
sampai pada puncaknya.
Tubuh anak muda itu bagaikan elang yang kelaparan.
Dan, jadilah Ki Langendriya seekor ayam yang tak lagi
berbulu. ''Cukup, Joko!" teriakan seseorang membuat
Joko Sungsang harus menghentikan dendam kesumatnya. Tanpa menoleh pun, Joko Sungsang tahu siapa
yang telah mengingatkannya agar tidak menuruti kobaran api di lekuk hatinya.
Maka Joko Sungsang
membalik badan seraya berjongkok.
''Maafkan saya, Kiai," ucap anak muda itu tanpa berani menatap Wiku Jaladri yang
berdiri di hadapannya.
'Tak perlu kau membuang-buang waktu hanya
untuk menuruti nafsu amarahmu. Pergilah sekarang
juga ke Karang Bolong. Gadis itu harus secepatnya
mendapat perawatan dari gurunya. Berikanlah kesempatan kepada Ki Langendriya
untuk kembali menjadi
orang baik-baik," kata Wiku Jaladri.
"Baik, Kiai," ucap Joko Sungsang sambil mengangguk dalam-dalam.
*** Matahari tinggal sepertiga lagi. Langit belahan
Barat berwarna jingga keemasan. Burung bangau terbang berbaris menghiasi
cakrawala. Dan, kelelawar
malang-melintang di atas persawahan.
Gagar Mayang menghentikan langkahnya yang
semula bergegas. Ada gerak mencurigakan melintas
tak jauh di depannya. Gerakan yang begitu gesit mesti
bayangan itu nampak memanggul sesuatu.
''Perampok!" seru Gagar Mayang dalam hati.
Kemudian ia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengejar bayangan di
depannya. Dan, betapa kaget gadis itu begitu melihat apa yang dipanggul
lelaki itu. Seorang gadis terkulai lemas di bahu lelaki
yang memanggulnya.
Joko Sungsang memperlambat langkahnya. la
mendengar langkah seseorang mengikutinya dari belakang. Langkah yang ringan.
Langkah seseorang yang
memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Kalau tidak, tidak akan ia bisa menjaga
jarak selama membuntuti.
Rasa penasaran membuat Joko Sungsang mendadak
membalik badan.
"Pendekar Perisai Naga?" ucap Gagar Mayang
begitu berhadapan dengan orang yang dibuntutinya.
Sejak pertama melihat bayangan serba putih itu, ia
memang sudah mencurigai bahwa yang dibuntutinya
adalah anak muda dari Padepokan Jurang Jero itu.
''Gagar Mayang?" sapa Joko Sungsang ragu.
Hatinya terkesiap sebab dalam keremangan senja itu
agak sulit membedakan antara Endang Cantikawerdi
dengan Gagar Mayang.
"Apa yang telah terjadi?" Gagar Mayang melompat maju dan meneliti gadis
berpakaian serba putih
yang tersampir di bahu Joko Sungsang.
''Korban kebiadapan Demang Langendriya."
''Bukankah dia gadis yang bertombak pendek
itu?" "Ya. Sekar Arum. Kalian pernah bertemu?"
"Ya. Aku melihatnya tengah bertarung melawan
Ki Langendriya di mulut Desa Majamulya. Bahkan aku
pernah berbicara banyak dengannya."
"Jadi, Sekar Arum memang pernah bentrok
dengan Ki Langendriya?"
''Kalau tidak, tak mungkin ia mengalami musibah seperti sekarang."
"Dan, kau tahu ada masalah apa di antara mereka berdua?" semakin bersemangat
Joko Sungsang bertanya. ''Itulah yang diceritakannya kepadaku sewaktu
kami bertemu di Desa Majamulya. Ia telah membunuh
orang kepercayaan Ki Langendriya."
Joko Sungsang menarik napas berat. Dari dulu
Sekar Arum memang terlalu gegabah, pikir anak muda
itu. ''Baiklah. Maaf, aku harus secepatnya membawa Sekar Arum ke Padepokan Karang
Bolong," kata
Joko Sungsang kemudian.
'Tunggu!" Gagar Mayang melompat dan menghadang langkah Joko Sungsang.
''Masih ada yang harus kita bicarakan?" tanya
Joko Sungsang. Sungguh, Gagar Mayang tidak mengerti kenapa
Pendekar Perisai Naga seolah selalu ingin menghindari
dirinya. "Sama sekali aku tidak menduga bahwa Sekar
Arum adalah sahabatmu...."
"Dia adik seperguruanku," tukas Joko Sungsang.
''Adik seperguruan" Bukankah Pendekar Perisai
Naga murid Wiku Jaladri dari Padepokan Jurang Jero?" mata gadis itu melebar.
"Joko Sungsang-lah yang seperguruan dengan
Sekar Arum."
Gagar Mayang tertawa lirih.
''Hanya itu yang ingin kau ketahui?" tanya Joko
Sungsang sambil kembali siap melangkah.
"Bukan! Maaf, aku terpaksa sedikit menghambat perjalananmu. Tetapi, ini penting
sekali buatku. Aku harus tahu siapa yang telah mencuri Ki Sumping
Sedapur dari Perguruan Gunung Bromo."
''Bukankah keris itu ada di tangan Ki Tunggui
Wulung?" "Ki Tunggui Wulung sudah tewas. Seorang gadis bersenjatakan toya kayu dewondaru
telah mem- bantuku menewaskannya."
''Endang Cantikawerdi, maksudmu?" darah Joko Sungsang berdesir.
"Aku tidak tahu siapa nama gadis itu. Tetapi, ia
mengaku mengenal Pendekar Perisai Naga. Gadis itu
berpakaian persis pakaian yang aku kenakan. Yang
pasti, karena pasir beracun yang dimiliki gadis itulah
kami berdua bisa melumpuhkan Ki Tunggui Wulung. "
Tertarik sekali sebenarnya Joko Sungsang mendengarkan cerita ini. Namun, ia


Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sadar bahwa harus secepatnya membawa Sekar Arum ke hadapan Ki Sempani.
"Bagaimana jika kita lebih dulu mengantarkan
Sekar Arum ke Padepokan Karang Bolong, barulah
nanti kita memburu keris pusaka itu," kata Joko
Sungsang setelah menemukan jalan tengahnya.
"Maaf, aku pun harus secepatnya kembali ke
Bukit Cangak. Hanya saja; aku memerlukan sedikit petunjuk. Aku kehilangan jejak
sebab pencuri keris pusaka itu sama sekali tidak meninggalkan jejak."
''Lalu, kenapa harus kau tanyakan kepadaku?"
''Sebagai pendekar besar yang telah lama malang-melintang di rimba persilatan,
aku yakin kau bisa
memberi ku petunjuk. Maksudku, pernahkah kau
mendengar cerita tentang tokoh sakti yang bisa membunuh tanpa meninggalkan
jejak" Sebab, aku tidak
tahu dengan apa orang sakti tersebut membunuh anak
buah Ki Tunggui Wulung. Tak sepercik darah pun tercecer di tempat itu. Sepuluh
orang anak buah Ki
Tunggui Wulung tewas tanpa luka segores pun di tubuh mereka."
''Sudah pasti mereka terkena pukulan dalam
sahut Joko Sungsang.
"Ya. Itu sudah pasti. Tetapi, adakah pukulan
yang tidak membekas pada kulit yang terkena pukulan" Adakah 'orang terkena pukulan dalam yang tidak
memuntahkan darah?"
Joko Sungsang manggut-manggut. Kemudian
katanya, ''Sebaiknya kita antarkan dulu Sekar Arum
ke Karang Bolong. Aku khawatir dia tidak bisa bertahan lebih lama. Terlalu
banyak darah yang terkuras
dari tubuhnya."
''Apakah berarti kau tahu siapa orang sakti
yang aku maksudkan?"
"Ya. Di kolong langit ini hanya ada satu orang
sakti yang bisa membunuh lawan tanpa lawan harus
mengeluarkan darah."
''Siapa?" kejar Gagar Mayang tak sabar.
"Ki Sempani."
"Ki Sempani" Aku pernah mendengar nama itu,
tetapi aku tidak ingat di mana aku bisa menjumpainya."
"Ikuti langkahku dan kau akan bertemu dengan
Ki Sempani. Dialah orang sakti yang sekarang sedang
aku tuju."
"Oh!" pekik Gagar Mayang dengan mata berbinar. ''Jadi, dia guru Sekar Arum?"
"Ya. Juga guruku," jawab Joko Sungsang bangga.
"Mungkinkah Ki Sempani ingin memiliki keris
itu. pula?" tanya gadis itu sambil membayangkan bagaimana nanti jika harus
bertarung melawan orang
sakti dari Padepokan Karang Bolong itu.
"Orang-orang dari golongan lurus selalu hidup
bahu-membahu. Aku yakin, Ki Sempani hanya ingin
membantu gurumu mendapatkan keris pusaka itu."
Gagar Mayang sangat gembira mendengar keterangan
Joko. Dia merasa sangat berterima kasih pada Ki Sempani, yang diam-diam telah
membantunya merebut keris pusaka itu.
Kini, dengan langkah riang dan gesit, Gagar
Mayang terus mengekor di belakang Pendekar Perisai
Naga. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Avicke
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Kisah Sepasang Rajawali 17 Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung Kuda Putih 2

Cari Blog Ini