Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat Bagian 3
rut berwarna kuning langsat yang dihiasi pusar mungil. Empu Wadas Gempal menelan ludahnya yang
tiba-tiba menyumpal tenggorokan. Kini tangannya
menjulur ke arah dada Endang Cantikawerdi Tali jing-ga yang tersimpul di dada
gadis itu pun ditariknya.
*** 7 Akan tetapi, ketika jari-jari tangannya hendak
menyingkapkan kain jingga penutup dada gadis itu,
satu ledakan cambuk mengharuskan Empu Wadas
Gempal membuang tubuhnya dari atas tubuh mangsanya. Tubuh itu bergulingan dari tubuh gadis yang
tak berdaya itu. Sengaja Joko Sungsang hanya meledakkan Perisai Naganya di dekat kuping sebelah kanan
Penguasa Hutan Ketapang itu. Pantang baginya membokong lawan. ' Kadal buntung! Jahanam keparat!" maki Empu Wadas Gempal setelah berdiri di atas kuda-kuda
kalanya. Dan, melihat siapa yang berjongkok di sisi tubuh gadis Itu, mata orang
sesat dari Hutan Ketapang ini menyala-nyala. Serta-merta ia mengembangkan
kesepuluh jari tangannya dan menerkam Joko Sungsang.
Sambil bergulingan menghindar Joko Sungsang
merengkuh tubuh Endang Cantikawerdi untuk kemudian melemparkan tubuh gadis itu ke tumpukan daun
kering. Sengaja ia tak membebaskan totokan di tubuh Endang Cantikawerdi agar
gadis itu nantinya tidak
mencampuri pertarungannya dengan Empu Wadas
Gempal. "Maaf, terpaksa untuk sementara kau jadi penonton saja!" seru Joko Sungsang sambil bersalto
bangkit. "Ha ha ha! Rupanya kau juga menghendaki tubuh mulus gadis itu, gembala kambing!" ejek Empu
Wadas Gempal. Tetapi, sebelum kau berangan-angan
menikmatinya, nyawamu akan kukirim ke neraka menemui muridku yang kau bunuh lima tahun yang lalu!" Joko Sungsang tidak menyahut. Ia berlagak sibuk merapikan lilitan Perisai
Naga di pinggangnya, la merasa belum membutuhkan cambuk itu. Agaknya ilmu
silat tangan kosong dari Padepokan Karang Bolong
perlu dipertunjukkan di depan mata Iblis Hutan Ketapang ini.
' Bocah pongah, kenapa kau simpan lagi cambuk kambingmu" Bukankah kau pikir batu akik di
ujung cambukmu itu bisa menghancurkan pelipisku?"
' Hancurkan pelipis itu dengan Perisai Naga-mu,
Pendekar Perisai Naga!" teriak Endang Cantikawerdi
dari tempatnya berbaring. Murid Perguruan Gunung
Sumbing ini ingin sekali melihat kehebatan Perisai Na-ga seperti yang pernah
diceritakan oleh gurunya. Baru mendengar ledakannya pun Iblis Hutan Ketapang itu
terbirit-birit menghindar, apalagi jika bola berduri di ujung cambuk itu mematuk
pelipisnya. Namun, harapan Endang Cantikawerdi tetap
saja terbatas pada harapan. Anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga itu
tetap membiarkan cambuknya melingkari pinggangnya, la hanya mengandalkan
kelincahannya menghindar ketika serangan-serangan
Empu Wadas Gempal mulai mengurungnya. Bahkan
kemudian ia berani membenturkan sisi telapak tangannya pada punggung tangan yang dialiri racun itu.
"Desss!"
Tubuh Joko Sungsang terpental satu tombak
ke belakang. Ia merasakan dorongan angin yang melebihi dorongan ombak Laut Selatan. Kalau saja ia tidak biasa menerima terjangan
ombak Laut Selatan, sudah
barang pasti tubuhnya akan terbanting ke tanah dan
tulang punggungnya akan luluh lantak. Secepatnya
Joko Sungsang mengalirkan tenaga murni untuk mencegah racun menjalari telapak tangannya.
Seperti halnya yang dialami Joko Sungsang,
tubuh Empu Wadas Gempal pun terdorong mundur.
Tokoh hitam dari Hutan Ketapang ini diam-diam mengagumi ilmu pukulan yang dilancarkan lawan. Dan,
rasanya ia pernah mendengar kehebatan ilmu pukulan
ini. Yang pasti ini bukan ilmu pukulan tangan kosong dari Padepokan Jurang Jero.
Belum pernah ia merasakan berbenturan tangan dengan Wiku Jaladari hingga
terdorong tiga langkah ke belakang seperti sekarang ini.
' Pantas saja muridku mati di tanganmu, gembala kerbau! Rupanya kau mewarisi pula ilmu setan
dari Pesisir Laut Selatan!" Tiba-tiba Empu Wadas
Gempal ingat seseorang yang sudah lama tidak dijumpainya. Siapa lagi kalau bukan Ki Sempani, orang sakti dari Pesisir Laut
Selatan. "Mari, kita adu cakar iblismu dengan ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan', Wadas Gempal!" Joko
Sungsang menyilangkan tangan kirinya ke depan dada, kaki kanannya dilipat ke depan, dan tangan kanannya dilipat ke belakang dengan tinju persis berada di bawah ketiak.
"Ho ho ho! Rupanya cambuk kambingmu sudah
tidak manjur lagi makanya kau berguru lagi, Anak
Demang!" Berkata begini Empu Wadas Gempal mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan.
"Wusss!"
Joko Sungsang terpaksa melenting ke udara
untuk menghindari sambaran angin yang menerjang
sekujur tubuhnya. Ketika turun, tumit kanannya
menghunjam ke arah tengkuk lawan. Namun, dengan
jari-jari tangan kanannya, Empu Wadas Gempal menyongsong hunjaman tumit itu.
"Desss!"
Secepat kilat Joko Sungsang membelokkan
arah tumit kanannya, kemudian dengan sisi telapak
kaki kanannya pula ia menendang bahu lawan. Tubuh
Empu Wadas Gempal bergulingan di tanah. Di luar
dugaan Joko Sungsang jika Iblis Hutan Ketapang itu masih mampu bersalto dan
berdiri di atas kuda-kudanya.
"Ha ha ha! Lumayan juga ilmu silat tangan kosong dari Pantai Selatan! Kalau saja bukan aku yang menerima tendanganmu,
rontoklah isi dada ini!" Empu Wadas Gempal menyingsingkan lengan jubahnya, dan
lagi-lagi ia menyerang dengan jurus 'Angin Puyuh Menabrak Gunung'. Hanya saja,
kali ini angin itu hanya mengarah ke lutut Joko Sungsang.
Meski belum pernah mengalami menerima serangan semacam ini, Joko Sungsang merasa pasti
bahwa ini hanyalah serangan tipuan. Maka ia pun berjumpalitan di udara sambil
menunggu serangan susulan dari lawan. Dan, serangan susulan yang merupakan serangan inti itu terlampau cepat datangnya sehingga Joko Sungsang tak sempat lagi mengelakkannya. Benturan keempat tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam itu tak
terelakkan lagi.
"Desss! Desss!"
Tubuh Joko Sungsang melayang turun dan terguling-guling di tanah. Sementara itu, Empu Wadas
Gempal masih mampu turun dengan kaki dalam posisi-kuda-kuda. Namun, kedua telapak tangannya tak
mampu lagi mengembangkan kesepuluh jarinya. Ilmu
'Pukulan Ombak Laut Selatan' telah meremukkan tulang yang menghidupkan kesepuluh jari maut itu.
Joko Sungsang bersalto bangkit, untuk kemudian mengatur kuda-kuda. Akan tetapi, ia merasakan
seribu jarum menusuk-nusuk sisi kedua belah telapak tangannya. Inilah akibat
dari cakaran jari-jari Empu Wadas Gempal yang mengandung racun laba-laba hitam
dari Hutan Ketapang.
'Tanganmu keracunan, Pendekar Perisai Naga!
Bebaskan totokan keparat di tubuhku ini biar aku am-bilkan penawar racun
untukmu!" teriak Endang Cantikawerdi dari tempatnya berbaring.
Mendengar teriakan gadis itu, semangat Joko
Sungsang bangkit kembali. Seganas apapun racun laba-laba hitam itu, ia masih tetap punya waktu untuk menyudahi pertarungan hidup
dan mati itu. ' Untuk mempercepat sekaratmu, terimalah
hunjaman kedua siku tanganku, gembala sapi!" ujar
Empu Wadas Gempal seraya melipat kedua tangannya,
merapatkan kedua siku tangan itu, dan berputarlah
tubuhnya yang gemuk itu.
Tak ada jalan lain bagi Joko Sungsang untuk
menghadapi jurus 'Bidadari Mengurai Benang Kusut'
ini kecuali dengan Perisai Naga nya. Sigap ia mengurai Perisai Naga dari
pinggangnya, dan meraung-raung bo-la berduri di ujung cambuk itu. Ketika putaran
tubuh Empu Wadas Gempal yang menyerupai putaran roda
bertombak itu menerjangnya, Joko Sungsang melecutkan Perisai Naga-nya dengan jurus 'Mematuk Elang Dalam Mega'.
Tarrr! Tarrr! Tasss!
Pada lecutan yang ketiga, bola berduri di ujung
Perisai Naga mematuk dahi Empu Wadas Gempal Putaran tubuh Iblis Hutan Ketapang ini tak lagi terarah.
Dan, sewaktu putaran itu melambat, Perisai Naga telah siap membelit kedua lutut
yang merapat menjadi satu itu. Maka dengan sekali hentak, tubuh orang sesat dari
Hutan Ketapang itu terpelanting dan akhirnya terbanting di tanah.
' Cepat bebaskan totokan keparat ini kalau kau
tidak ingin terbunuh oleh racun itu, Pendekar Perisai Naga!" Sekali lagi Endang
Cantikawerdi mengingatkan.
Joko Sungsang melompat ke sisi gadis itu,
membalikkan tubuh gadis itu, dan membebaskan
keempat totokan jalan darah pada tubuh gadis dari
Perguruan Gunung Sumbing ini.
*** Endang Cantikawerdi mengeluarkan serbuk anti racun dari balik kain lerengnya. Ramuan khusus
yang dibuat deh Cekel Janaloka ini memang mampu
melawan segala jenis racun binatang.
Joko Sungsang tak bisa lagi memikirkan siapakah gadis yang berusaha menolongnya ini. Tak lagi
terpikir olehnya bahwa gadis murid tokoh sesat ini justru bisa mempercepat
kematiannya dengan racun
yang lebih ganas lagi. Racun laba-laba hitam dari Hutan Ketapang itu membuat
kepalanya berputar. Kesadarannya mulai mengambang. Wajah gadis yang berada di hadapannya nampak kabur. Pakaian berwarna
jingga yang dikenakan gadis itu berubah menjadi hitam. Pepohonan di sekitarnya pun berwarna hitam.
Dan, akhirnya gelap menyelimuti segalanya.
Endang Cantikawerdi cepat-cepat menaburkan
serbuk anti racun pada luka-luka yang menganga pada sisi telapak tangan anak
muda yang baru saja dikenalnya ini. Sudah ada gambaran dalam benaknya bahwa
anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga ini
akan mengalami hilang ingatan. Meskipun demikian,
diam-diam ia memuji daya tahan anak muda murid
Wiku Jaladri ini. Dengan racun laba-laba hitam yang mulai menyerang aliran darah
di tubuhnya, ia masih
mampu memainkan jurus andalan Perisai Naga-nya.
' Perempuan jalang berotak kotor!" Tiba-tiba
muncul bayangan serba putih dan langsung menyerang Endang Cantikawerdi.
"Trang! Trang! Trang!"
Sambil bergulingan di tanah, Endang Cantikawerdi memutar toya dewondaru-nya untuk melindungi
tubuhnya dari hunjaman tombak pendek bermata dua
di tangan Sekar Arum.
' Betina liar tak punya otak! Kau pikir apa yang
aku lakukan terhadap temanmu ini?" Mata Endang
Cantikawerdi berapi-api menatap Sekar Arum.
"Apa lagi yang kau lakukan kalau bukan hendak berbuat mesum, perempuan sesat!" sahut Sekar
Arum. Ia tetap yakin bahwa gadis murid Cekel Janalo-ka ini hendak melampiaskan
nafsu binatangnya kepada Joko Sungsang yang tidak berdaya itu.
' Mulutmu memang pantas dihancurkan dengan
ujung toya ini, ular betina!" kata Endang Cantikawerdi seraya menyabetkan ujung
toyanya ke mulut Sekar
Arum. Namun, gadis dari Padepokan Karang Bolong
ini sudah meramalkan akan datangnya serangan. Betapapun sabetan toya itu sulit diikuti mata, dengan mudah Sekar Arum membebaskan
mulutnya dari ancaman toya Dewondaru itu. Dengan merundukkan kepala, Sekar Arum maju selangkah sambil memutar kaki kanannya. Tendangan baling-baling yang mengarah
ke betisnya ini memaksa Endang Cantikawerdi harus
mengubah arah senjatanya. Kini toya berwarna merah-kecoklat-coklatan itu berkelebat membabat kaki
Sekar Arum. "Trang!"
Sekar Arum menyambut serangan lawan dengan putaran tombak pendeknya. Endang Cantikawerdi
melompat mundur. Matanya liar menatap Sekar Arum.
Ini adalah perkelahian mereka untuk yang kedua kalinya. Pada perkelahian pertama kemarin, Endang Cantikawerdi merasa telah memaafkan gadis teman Pendekar Perisai Naga ini. Kalau saja bukan Pendekar Perisai Naga yang
melerai mereka kemarin, tidak akan ia meninggalkan begitu saja lawannya. Namun,
kali ini agaknya tak diperlukan lagi sikap bersahabat.
Sikap mengalah hanya akan membuat gadis bertombak pendek itu semakin besar kepala. Lagi pula, Endang Cantikawerdi merasa sangat tersinggung mendengar tuduhan Sekar Arum pada awal pertemuan mereka tadi. Padahal, ia telah berbuat baik dengan memberikan obat pemunah racun
kepada Pendekar Perisai
Naga. Tetapi apa balasan gadis temannya itu" Tuduhan yang begitu menyalatkan! la merasa dituduh hendak memperkosa Pendekar Perisai Naga yang sedang
tidak berdaya"
' Perempuan keparat! Lancang mulut! Terimalah
jurus 'Toya Sakti Pengusir Malaikat' jika kau merasa sakti dan berhati suci!"
seru Endang Cantikawerdi seraya membuka jurus andalan toya dewondarunya.
' Sejak tadi aku siap menghadapi tongkat pengusir anjingmu itu, perempuan jalang! Tetapi, sayangnya aku bukan anjing yang
dengan mudah bisa kau
usir!" sahut Sekar Arum. Dan, melihat lawan telah
mengeluarkan jurus andalannya, ia pun bersiap-siap
dengan jurus 'Memancing Mangsa Keluar Sarang'.
"Arum, tunggu!" Suara Joko Sungsang menga
Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
getkan mereka berdua. Masih dengan langkah limbung, anak muda ini mendekati 'Sekar Arum dan Endang Cantikawerdi.
' Biarkan aku habisi riwayat iblis betina ini! Kalau tidak, bumi ini akan semakin dikotori oleh tingkahnya yang menjijikkan!"
kata Sekar Arum.
"Kau salah sangka, Arum. Dia baru saja memberiku obat penangkal racun. Karena aku memang sudah tidak berdaya lagi, terpaksa ia membubuhkan obat itu ke luka luka di telapak
tanganku...."
"Dia tidak membutuhkan penjelasan! Sejak
kemarin dia memang ingin menanam permusuhan
denganku, Pendekar Perisai Naga!" tukas Endang Cantikawerdi sigap.
' Mana mungkin murid tokoh sesat berbuat kebajikan" ' bantah Sekar Arum.
' Arum, lihatlah mayat siapa yang tergeletak di
belakangmu."
Sekar Arum malas-malasan menoleh. Akan tetapi, matanya lantas membelalak begitu melihat mayat siapa yang menggeletak
dengan dahi pecah itu.
' Penguasa Hutan Ketapang...?" desis Sekar
Arum "Ya. Dari jari-jari mautnyalah aku terkena racun laba-laba hitam dari Hutan
Ketapang Tetapi, syukurlah ada yang berbudi baik memberikan obat pemunahnya. Jadi, yang baru saja kau lihat bukan seperti yang kau bayangkan, Arum,"
jelas Joko Sungsang.
Semburat merah mewarnai seluas pipi Sekar
Arum. Rasa malu membuat gadis itu bungkam. Bahkan untuk berdiam diri di depan Joko Sungsang dan
Endang Cantikawerdi pun ia tak lagi mempunyai keberanian. Maka Sekar Arum membalikkan badan dan
meloncat pergi meninggalkan mereka berdua.
:"Arum!" Joko Sungsang hanya bisa mencegah
dengan suaranya. Ia bimbang. Untuk meninggalkan
gadis murid Cekel Janaloka ini begitu saja, rasanya sangatlah tidak sopan. Gadis
itu telah menyelamatkan jiwanya. Ucapan terima kasih pun belum terlontarkan dari
mulutnya. Tetapi untuk membiarkan Sekar Arum
pergi untuk yang kedua kalinya, rasanya terlalu masa bodoh terhadap adik
seperguruan yang harus diawa-sinya. Lebih dari itu, sesungguhnya ia merasa sedih
ji-ka harus berjauhan dengan gadis yang telah merebut
hatinya itu. ' Pergilah menyusul dia. Biarkan aku meneruskan perjalananku," kata Endang Cantikawerdi.
"Terima kasih atas budi baikmu menyelamatkan nyawaku dan racun itu. Dan, sekali lagi aku
ingin tahu dengan siapa aku sekarang ini berhadapan,'
ucap Joko Sungsang.
'Namaku memang tidak ada artinya jika dibandingkan dengan namamu yang kesohor, Pendekar Perisai Naga...."
' Panggil saja aku 'Joko'. Joko Sungsang, itulah
namaku sejak aku dilahirkan di bumi ini," tukas Joko Sungsang merasa risi
menerima julukan Pendekar Perisai Naga. Selain itu, ia juga sedang bersiasat
agar gadis itu mau menyebutkan namanya
' Aku lahir di kaki gunung. Anak gadis yang lahir di kaki gunung biasanya dinamai Endang. Aku Endang Cantikawerdi," kata gadis itu setelah sejenak dilanda keraguan.
"Aku akan selalu mengingat namamu, Endang
Cantikawerdi. Dan, sekali lagi aku mengucapkan teri-ma kasih atas pertolonganmu.
" "Kau lebih dulu menolongku, Joko. Tanpa pertolonganmu maka aku tidak mungkin bisa menolongmu Terima kasih. Maaf, aku harus pergi, dan kau juga harus mengejar gadis
temanmu itu "
*** 8 Joko Sungsang semakin yakin bahwa Endang
Cantikawerdi bukan murid yang tepat bagi Cekel Janaloka yang berilmu sesat.
Meski gadis itu menguasai il-mu sesat dari Perguruan Gunung Sumbing, tetap saja
ia tak mau sembarangan mengumbar kekejaman. Terbukti dua kali ia membiarkan Sekar Arum lolos dari
Jurus mautnya. Ia juga tahu membalas budi orang
yang belum dikenalnya. Kalau saja ia memang menjiwai ilmu sesat, tak akan ia mau memberikan obat pemunah racun bagi siapa saja yang beraliran lurus.
Tidak berarti Joko Sungsang meremehkan ilmu
silat Sekar Arum. Hanya saja, jika dibandingkan dengan ilmu silat Endang
Cantikawerdi, apa yang didapatkan Sekar Arum dari Padepokan Karang Bolong belum bisa disejajarkan dengan ilmu silat dari Perguruan Gunung Sumbing itu.
Betapapun Sekar Arum tangkas
menggunakan tombak pendeknya, belum tentu ia
mampu menghadapi jurus 'Toya Sakti Pengusir Malaikat. Apalagi jika jurus itu digabung dengan senjata rahasia yang berupa pasir
beracun dari Gunung Sumbing itu. Joko Sungsang sendiri melihat betapa cepatnya tangan gadis itu
menyebarkan pasir beracunnya ke tubuh Empu Wadas Gempal. Andai saja bukan Empu
Wadas Gempal yang diserang dengan senjata rahasia
itu, belum tentu mampu mencampakkan pasir beracun itu ke tanah.
Benar-benar Joko Sungsang ingin mengetahui
lebih jauh lagi siapa sesungguhnya Endang Cantikawerdi itu. Melihat usia gadis Itu, rasanya memang ada kemungkinan ia tidak tahu
ilmu silat yang diwarisinya adalah ilmu sesat. Ilmu silat Perguruan Gunung
Sumbing hanya layak dimiliki oleh golongan hitam
yang selalu menebarkan kejahatan di sana-sini. Sungguh amat disayangkan jika
ilmu sesat dari Perguruan Gunung Sumbing telanjur meracuni gadis macam Endang
Cantikawerdi. ' Selain membasmi kejahatan, membela kebenaran, dari melindungi orang-orang yang tertindas, tugas-mu juga meluruskan segala
sesuatu yang menyimpang, Joko. Kalau kau melihat orang yang bersalah dan tidak menyadari tindakannya yang salah, tugasmulah mengingatkannya. " Terngiang kembali di telinga Joko Sungsang sebagian
dari pesan serta nasihat Wiku Jaladri.
Maka Joko Sungsang kembali memutuskan untuk membuntuti ke mana gadis bertoya itu pergi Akan halnya tugas untuk mengawasi
Sekar Arum, agaknya
tidak harus diutamakan lagi. Setelah Empu Wadas
Gempal tewas, bahaya besar bagi gadis lewatlah sudah. Sebaliknya, jika ia membiarkan Endang Cantikawerdi lebih lama lagi, ilmu sesat gadis itu akan semakin menjerumuskan gadis itu
sendiri. Meski punya julukan Pendekar Perisai Naga,
meski lawan dan kawan segan mendengar julukan itu,
tetap saja Joko Sungsang masih 'ingusan' di dunia
persilatan. Kurangnya pengalaman di dunia persilatan membuatnya kurang tahu
persis tokoh-tokoh jahat
mana yang harus diperhitungkannya. Baik dari Wiku
Jaladri maupun Ki Sempani, ia telah mendengar banyak nama tokoh sesat dari golongan hitam yang berusaha merajai dunia persilatan
Akan tetapi, ia kurang memperhitungkan bahwa tokoh-tokoh sesat yang diceritakan
gurunya tadi kapan saja bisa muncul dan
mengancam siapa saja yang mereka anggap sebagai
pihak lawan. Seperti halnya tokoh sesat dari Kaki Gunung
Merapi, yang lebih dikenal sebagai Orang Sesat Berse-lendang Mayat alias Ki
Danyang Bagaspati ini. Menurut penuturan Ki Sempani, orang sesat dari Kaki Gunung Merapi ini sudah tewas tertelan ombak Laut Selatan. Akan tetapi, tidak seharusnya Joko Sungsang
menganggap Ki Danyang Bagaspati sudah lenyap dari
muka bumi. Banyak tokoh-tokoh dari dunia persilatan yang dikabarkan tewas,
ternyata muncul kembali dengan ilmu silat yang lebih tinggi lagi. Tak jauh
berbeda dengan yang dialami oleh Wiku Jaladri sendiri. Orang sakti yang melahirkan
julukan Pendekar Perisai Naga ini pernah dikabarkan tewas ditelan kedalaman
Jurang Jero. Tetapi, toh akhirnya muncul lagi dan menggem-parkan dunia peralatan
dengan jurus-jurus Perisai Naganya yang diperdalam selama puluhan tahun di Padepokan Jurang Jero.
Pengalaman malang-melintang di dunia persilatan, sayangnya belum dimiliki oleh Joko Sungsang. Ia memang lebih banyak
bersembunyi di Padepokan Jurang Jero, dan lima tahun ia berada dalam gemblengan
Ki Sempani di Padepokan Karang Bolong. Tidak meng-herankan jika ia mudah
beranggapan bahwa tewasnya
Empu Wadas Gempal berarti musnahnya bahaya besar
bagi Sekar Arum.
Maka Joko Sungsang sangatlah kaget begitu
mendengar kabar tentang kemunculan Ki Danyang
Bagaspati dari penduduk Desa Gedong Tengen.
' Apakah saya tidak salah dengar?" tanya Joko
Sungsang kurang yakin.
' Betul, Kisanak. Siapa lagi yang memakai kain
kafan sebagai senjata kalau bukan Ki Danyang Bagaspati?" 'Tetapi, lima tahun yang lalu ombak Laut Selatan telah menewaskannya."
"Apa Kisanak melihat mayatnya?"
' Memang tidak."
' Sebelum kita melihat mayatnya, sebaiknya
jangan percaya begitu saja kabar tentang tewasnya
orang-orang sakti. Banyak orang sakti yang dikabarkan tewas, tetapi nyatanya masih hidup. Seperti umpamanya kabar tentang tewasnya Pendekar Perisai Naga puluhan tahun yang lalu. Kisanak pernah mendengarnya?" "Ya, ya! Saya memang pernah mendengar," sahut Joko Sungsang sebelum menutup Perisai Naga di
pinggangnya dengan lengan bajunya. la bersyukur lelaki di depannya ini belum mengenal macam mana
senjata yang disebut Perisai Naga. Kalaupun lelaki itu melihat, pastilah ia
menganggap cambuk di pinggang
Joko Sungsang itu hanyalah Perisai Naga tiruan. Salah-salah malah menuduh Joko Sungsang mencuri
cambuk itu! ' Sebaiknya Kisanak jangan sampai mencampuri urusan Ki Danyang Bagaspati. Sudah banyak anak
muda yang tewas di tangannya. Mereka yang baru belajar ilmu silat sehari-dua hari, tetapi mereka sudah berani mencampuri urusan
orang sakti macam Ki Danyang Bagaspati."
Joko Sungsang hanya mengangguk dalamdalam. ''Seperti yang terjadi siang tadi di mulut desa ini," lanjut lelaki
berpakaian petani itu.
"Ada apa siang tadi, Ki?" tanya Joko Sungsang
menyahut cepat ' Seorang gadis mencoba membela penduduk
desa ini yang hampir dibunuh Ki Danyang Bagaspati."
' Seorang gadis" Bagaimana ciri-ciri gadis itu,
Ki" Maksud saya pakaian gadis itu, mungkin senjatanya?" "Pakaiannya putih putih, senjatanya tombak
pendek..?"
' Boleh saya tahu di mana gadis itu sekarang,
Ki?" tukas Joko Sungsang was-was.
' Nasib baik masih melindungi gadis itu! Ada seseorang yang menyelamatkannya. Tetapi, hampir semua penduduk desa yang melihat perkelahian itu tidak bisa menerangkan bagaimana ujud pendekar yang
menyelamatkan gadis itu. Kejadiannya begitu cepat
berlalu. Orang sakti itu hanya seperti bayangan. Maksud saya, hanya merupakan
bayangan berwarna putih,
dan lalu hilang di balik rumah penduduk desa."
' Mungkinkah Ki Sempani yang menyelamatkan
Sekar Arum?" tanya Joko Sungsang kepada dirinya
sendiri. 'Tapi, bagaimana jika yang membawa lari Sekar Arum tadi tokoh jahat
lainnya?" Maka bergegas Joko Sungsang meninggalkan
Desa Gedong Tengen. Ia harus mendapat keterangan
yang lebih jelas tentang siapa yang telah menyelamatkan Sekar Arum dari ancaman Ki Danyang Bagaspati! *** Endang Cantikawerdi benar-benar tidak memahami perasaannya sendiri. Perasaan aneh yang
seumur hidupnya baru dialaminya sekarang ini. Kenapa ia merasa berat hati meninggalkan anak muda yang bergelar Pendekar Perisai
Naga itu" Kenapa sosok anak muda itu terus melintas-lintas di pelupuk matanya"
Kenapa pula ia membenci gadis bertombak pendek itu"
Hanya karena gadis itu lebih dekat dengan Pendekar
Perisai Naga" Karena Pendekar Perisai Naga telah menyelamatkan nyawanyakah"
Atau, karena anak muda
itu ilmu silatnya lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu silat yang dimilikinya"
Padahal, sudah seharusnya ia marah melihat
Pendekar Perisai Naga membunuh Empu Wadas Gempal. Seharusnya ia merasa bahwa musuh besarnya telah direbut oleh anak muda murid Wiku Jaladri itu.
Atau, setidaknya ia harus malu sebab musuh besarnya tewas bukan oleh tangannya
sendiri. Maka sudah selayaknya jika ia melupakan anak muda yang telah
mempermalukannya itu!
Endang Cantikawerdi menyabetkan toya dewondarunya ke batu sebesar kepala kerbau yang
menghadang langkahnya. Batu yang tak aus oleh kikisan arus sungai itu hancur berkeping-keping. Maka
perasaan gadis itu sedikit lega. Seolah ia telah membuang perasaan aneh dalam
dadanya lewat sabetan
toyanya. Dan, andai saja ia menjumpai lawan, ia ingin menjadikan kepala lawannya
senasib dengan batu itu.
Tetapi, siapakah lawan yang harus dicarinya" Adakah musuh bebuyutan bagi
dirinya" Pernahkah ia menanam permusuhan dengan seseorang" Atau, mungkin
seseorang itulah yang menanam permusuhan dengannya" Keinginannya membunuh makhluk hidup yang
tidak disenanginya tiba-tiba meracuni hati gadis murid Perguruan Gunung Sumbing
itu. Matanya liar menatap
sekeliling. Dan, ketika pandang mata itu membentur
pada sesuatu yang bergerak melata ke arahnya, gadis itu melompat dan menusukkan
ujung toya dewondarunya ke kepala ular sanca yang malang itu.
' Sekalipun kau keluarkan jurus andalan toyamu, ia tak akan mungkin melawanmu, gadis kejam!"
teriak seseorang mengejutkan gadis itu.
Endang Cantikawerdi menoleh ke arah datangnya suara. Di sana, di atas sebongkah batu cadas,
berdiri seorang lelaki dengan wajah separuh tertutup.
Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rambutnya yang panjang tergerai melewati bahu, berkibar-kibar tertiup angin.
' Manusia licik! Memang kau yang sebenarnya
hendak aku bunuh!" sergah Endang Cantikawerdi seraya melayang ke arah lelaki itu sambil mengirimkan serangan.
Namun, dengan tenangnya lelaki berkedok separuh wajah itu menarik kaki kanannya ke belakang,
dan lewatlah ujung toya gadis itu sejengkal di depan matanya.
' Katakan apa sebenarnya maumu mengikutiku
terus!" hardik Endang Cantikawerdi sambil bersiap
menyerang lagi.
"Aku berhak melarangmu duduk-duduk di
pinggir kali ini. Sebab, kali ini masih termasuk wilayah yang harus...."
' Jahanam keparat!" Kali ini Endang Cantikawerdi menyerang dengan pasir beracunnya, la memang
ingin agar lelaki itu secepatnya roboh.
' Hiyaaat!" seru lelaki itu sambil melenting ke
udara. Endang Cantikawerdi benar-benar tak ingin
melihat lelaki itu lebih lama lagi. Maka ia secepatnya menyusul ke udara sambilmenyabetkan toya dewondaru-nya ke arah tubuh yang tengah berjumpalitan
itu. "Desss! Desss!"
Lelaki itu, yang tak lain adalah Joko Sungsang,
terpaksa membenturkan kedua punggung tangannya
untuk menangkis serangan lawan. Dua tenaga dalam
yang berbenturan mengakibatkan tubuh mereka berdua mental berlawanan arah.
Endang Cantikawerdi merasakan nyeri yang
bukan kepalang menyerang telapak tangannya. Toya
yang dipegangnya seolah berbalik menyerang dirinya
sendiri. Di lain pihak, Joko Sungsang pun merasakan kedua punggung tangannya
ngilu bukan main: Rasanya toya dewondaru itu telah meremukkan tulangtulang tangannya. Bisa dibayangkan akibat dari benturan itu pada dirinya jika ia
tadi tidak mengaliri kedua tangannya dengan ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'.
Setelah berhasil mengatasi rasa nyeri di telapak tangan kanannya, Endang Cantikawerdi menatap
tajam sosok lelaki yang sudah bersiap lagi menunggu serangan. Tiba-tiba ia
merasa harus lebih berhati-hati menghadapi lawan yang tak dikenalnya ini. Dari
ujud badannya yang telanjang, jelas lelaki itu masih teramat muda. Dadanya yang
bidang belum sedikit pun menampakkan kerut-merut. Usia lelaki ini tak akan lebih
dari dua puluh lima tahun. Tetapi, tenaga dalamnya
begitu sempurna. Rasanya ia belum pernah bertemu
dengan lawan yang berani membenturkan anggota tubuhnya pada toya dewondaru.
' Kenapa diam saja, Perawan Gunung Sumbing?" usik Joko Sungsang begitu melihat gadis itu
hanya menatapnya tanpa usaha untuk menyerangnya
kembali. Endang Cantikawerdi tak mengacuhkan ucapan lelaki itu. Ia masih terus memeras otak, mengingat-ingat siapa kiranya
lelaki muda usia yang begitu sempurna tenaga dalamnya. Tak ada lagi, kecuali
Pendekar Perisai Naga!
"Aku sama sekali tidak mengira bahwa Pendekar Perisai Naga senang mempermainkan wanita!"
dengus Endang Cantikawerdi.
' Maafkan aku, Cantikawerdi," kata Joko Sungsang setelah membuka tutup wajahnya. "Aku hanya
ingin mengatakan kepadamu bahwa akulah yang mencegatmu di pinggiran Hutan Ketapang waktu itu. Tanpa bertingkah seperti tadi, mustahil kau akan mempercayai pengakuanku."
Endang Cantikawerdi menghela napas lega. Lega bahwa tebakannya ternyata tidak meleset. Tetapi, ia pun merasa malu sebab
begitu mudahnya ia diper-mainkan anak muda ini. Seharusnya, sudah sejak di
pinggiran Hutan Ketapang itu ia tahu siapa sebenarnya lelaki berkedok separuh wajah itu.
"Kau masih tetap ingin membunuhku?" Kembali Joko Sungsang yang membuka suara.
Endang Cantikawerdi menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Pertanyaan itu dirasakannya sebagai
ejekan. Bagaimana mungkin ia berani berangan-angan
membunuh Pendekar Perisai Naga yang dikaguminya!
Sejak pertemuan mereka di depan kedai minum itu,
Endang Cantikawerdi langsung memutuskan untuk tidak menanam permusuhan dengan Pendekar Perisai
Naga ini. Terlebih lagi setelah mereka bertemu kembali di Hutan Ketapang, dan
Pendekar Perisai Naga ini telah menyelamatkannya dari ancaman nafsu hewani Empu
Wadas Gempal. "Aku ingin membunuh lelaki yang berkedok,
bukan Pendekar Perisai Naga," jawab gadis itu sambil menahan senyum.
"Panggil aku Joko Sungsang saja. Julukan Pendekar Perisai Naga itu sebenarnya hanya pantas disandang oleh guruku," sahut Joko Sungsang.
"Para pendekar berlomba-lomba mengadu ilmu
untuk mencari nama besar. Tetapi, kau justru menolak." 'Apalah artinya nama besar jika ilmu yang kita miliki hanya sebesar biji
sawi?" ' Meskipun aku baru saja turun dari gunung,
tetapi aku percaya ilmu silatmu tidak ada yang bisa menandingi!"
' Meskipun kau baru saja turun gunung, tetapi
ilmu toyamu amat luar biasa!" Joko Sungsang tak mau kalah bicara.
"Ya, luar biasa. Tetapi, apalah artinya gebukan
toya ini jika berhadapan dengan ilmu 'Pukulan Ombak
Laut Selatan'" Tiba-tiba saja toya ini berubah menjadi sebatang lidi!"
' Baiklah. Bukan berarti aku membenarkan
ucapanmu. Hanya saja, aku memang tidak pandai bersilat lidah. Aku kalah." Joko Sungsang membungkukkan badannya sebagai penghormatan.
"Aku, bocah gunung yang tidak tahu diri inilah
yang lebih pantas mengaku kalah." Endang Cantikawerdi membalas penghormatan anak muda itu.
*** 9 Matahari telah melompat ke belahan bumi bagian Barat Sinarnya keperak-perakan dipantulkan oleh air kali yang bening itu.
Mata Endang Cantikawerdi
mengerjap-ngerjap memandangi bayangan matahari di
permukaan kali itu. Selama tinggal di Gunung Sumbing, hampir tak pernah ia menatap langsung bulatan
matahari. Maka mata indah itu agak kaget menerima
sergapan pantulan cahaya matahari yang berkilat tajam itu. Dalam pada itu, Joko Sungsang belum lagi menemukan kalimat untuk
mengisi kebisuan mereka
berdua. Entahlah, ia merasa tidak lagi pandai bicara berada di depan gadis
berpakaian serba jingga itu. Tidak seperti halnya jika berhadapan dengan Sekar
Arum. Barangkali karena Sekar Arum sudah dianggapnya sebagai saudara" Dan lagi, mereka berdua
memang satu perguruan. Sama-sama berguru kepada
Ki Sempani. ' Jadi, kenapa kau waktu itu mencegatku di
pinggiran Hutan Ketapang, Pendekar... eh, Joko Sung sang?" Suara Endang
Cantikawerdi memecah kehenin-gan. "Aku tidak ingin kau terlibat permusuhan dengan Penguasa Hutan Ketapang itu, Cantikawerdi."
' Karena ilmu silatku masih begitu rendahkah?"
' Jangan salah mengartikan. Maksudku, sebenarnya tak ada alasan bagimu untuk membalaskan
kematian gurumu. Gurumu tewas melawan Empu Wadas Gempal karena memang sudah dikehendakinya."
Mata Endang Cantikawerdi membulat Bulu mata-nya
yang indah itu hampir bersentuhan dengan alis matanya yang rimbun.
"Aku tidak mengerti maksudmu. Setahuku, tak
pernah guruku ingin mati di tangan Iblis Hutan Ketapang itu!" Agak meninggi
suara Endang Cantikawerdi.
' Mereka yang berlomba mengadu kesaktian
demi mendapatkan sebutan 'paling sakti', tentunya
sudah didasari niat membunuh atau kesediaan dibunuh. Nah, siapa bisa menyalahkan pihak yang membunuh jika pertarungan itu sudah mereka sepakati
bersama" Lain halnya jika kematian seseorang tadi
disebabkan oleh kesewenang-wenangan orang lain.
Mungkin, untuk kejadian seperti inilah balas dendam perlu ditegakkan. Seperti
penyebab balas dendamku
terhadap Hantu Lereng Lawu lima tahun yang lalu, mi-salnya. Ayahku yang sama
sekali tidak pernah berurusan dengannya, tiba-tiba saja dibunuh. Tanpa ada
perlawanan sebab ayahku memang tidak memiliki ilmu silat secuil pun. Paham maksudku?"
' Bukan seperti itu nasihat yang pernah aku terima dari guruku," sahut Endang Cantikawerdi meskipun samar-samar ia bisa memahami maksud penuturan Joko Sungsang.
"Ya. Perbedaan antara nasihat yang kau terima
dari gurumu dengan nasihat yang aku terima dari guruku tentu ada. Bukan tidak mungkin berlawanan. Ya, karena memang kita berbeda
aliran. Tetapi, aku tidak percaya kau sengaja mempelajari aliran yang berbeda
dengan aliran yang aku pelajari, " Joko Sungsang menemukan kesempatan baik untuk
memancing pengakuan gadis itu.
' Maksudmu, ilmu silat yang aku pelajari termasuk aliran hitam?" tanya Endang Cantikawerdi agak
tersendat. "Aku tidak mengatakan begitu. Tetapi, bukan
rahasia lagi bahwa penduduk desa, juga orang-orang
yang telah lama malang-melintang di rimba persilatan mengatakan bahwa Cekel
Janaloka termasuk tokoh
sesat dari golongan hitam. Sekali lagi aku katakan
bahwa aku tak bermaksud menuduhmu berilmu sesat,
Cantikawerdi. "
"Bukankah aku murid salah seorang tokoh sesat seperti yang dikatakan orang banyak tadi"'
"Menurutku, ukuran sesat atau lurus tidak segampang yang kita ketahui. Bisa saja aku tersesat dan akhirnya aku menggunakan
ilmu silatku untuk menyebarkan kejahatan. Nah, apa bisa dikatakan bahwa
aku ini berilmu lurus" Padahal sudah jelas, guruku
dikenal sebagai pendekar dari golongan lurus. Sebaliknya, selama kau
mempergunakan ilmu silatmu untuk
kebajikan, hanya orang bodoh yang akan mengatakan
bahwa kau berilmu sesat. Ah maaf, agaknya aku terla-lu. .." "Aku paham," tukas
Endang Cantikawerdi.
"Dan, sebenarnya selama ini aku sendiri bingung memikirkan nasibku. Bagaimana aku bisa sampai tidak
menyadari telah berguru kepada tokoh sesat" Tetapi,
mana mungkin aku melupakan begitu saja ilmu silatku sedangkan aku merasakan kehebatan ilmu silatku" Pemikiran seperti ini yang membuatku tak
mempunyai keberanian untuk pulang menghadap kedua orang tua-ku... "
''Jadi?" tukas Joko Sungsang kaget. ''Maksudmu, kau takut jika kedua orang tuamu...?"
"Ya." Endang Cantikawerdi menyahut sigap.
' Kalau memang benar guruku dikenal orang banyak
sebagai orang sesat, sudah sepantasnya kedua orang
tuaku pun akan menuduhku berilmu sesat."
"Kau menjadi murid Cekel Janaloka tanpa sepengetahuan orang tuamu" Maksudku, tanpa izin mereka?" 'Justru merekalah yang menyerahkan aku kepada guruku. Tetapi, aku percaya mereka tidak tahu
bahwa orang sakti yang telah menyelamatkan kami sekeluarga waktu itu ternyata orang sesat."
"Aku percaya, kedua orang tuamu bisa memaklumi. Malahan, bukan tidak mungkin mereka hanya
bisa menyalahkan diri mereka sendiri. Tetapi, tentunya bukan itu yang kita
harapkan."
' Lalu, apa yang bisa aku lakukan?" tanya Endang Cantikawerdi semakin terbuka. Meski ia baru beberapa hari mengenal Pendekar
Perisai Naga ini, ia merasa tak perlu lagi menyembunyikan sesuatu di hadapan anak muda ini.
"Apa yang bisa kau lakukan" Temui kedua
orang tuamu, buktikan kepada mereka bahwa ilmu silatmu hanya akan kau pergunakan untuk berbuat kebajikan," jawab Joko Sungsang.
Endang Cantikawerdi tak ragu lagi untuk menentukan langkahnya. Lima tahun ia memendam kerinduan. Lima tahun lebih ia tidak melihat bagaimana
ujud kedua orang tuanya. Selama ini, ia hanya mendengar kabar tentang kesehatan ayah ibunya dari mulut Cekel Janaloka.
' Kita masih bisa bertemu lagi, Joko Sungsang?"
kata Endang Cantikawerdi sambil bersiap-siap meninggalkan pinggiran kali itu.
' Pasti! Kita mempunyai tugas yang sama, Cantikawerdi. Bertahun-tahun kita digembleng oleh guru kita hanya karena kita
diharapkan bisa menjadi pelin-dung bagi mereka yang lemah. Kita pasti bertemu
lagi, dan bukan sebagai lawan!"
"Kau sendiri hendak ke mana, Joko?"
"Aku harus kembali dulu ke Karang Bolong. Baru saja aku mendapat kabar bahwa Sekar Arum diselamatkan oleh seseorang...."
' Gadis temanmu itu?" tukas EndangCantikawerdi dengan harapan akan mendapatkan penjelasan, siapakah gadis itu sebenarnya bagi Pendekar Perisai Naga.
' Sekar Arum adalah adik seperguruanku. Sebenarnya ia lebih dulu berguru kepada Ki Sempani, tetapi sifat keras kepalanya
menghambat kemajuannya
belajar ilmu silat. Aku yang memintakan maaf jika kau merasa sakit hati melihat
ulahnya. "
"Kau merasa pasti yang menyelamatkannya itu
guru kalian?"
' Itulah yang ingin aku pastikan. Kalau memang
benar Ki Sempani yang menyelamatkannya, berarti sekarang juga Sekar Arum sudah berada kembali di Padepokan Karang Bolong."
"Aku berharap, memang begitulah yang terjadi."
' Kita saling berharap, saling memohon agar
Gusti Yang Maha asih senantiasa melindungi orangorang yang kita cintai."
"Dan, aku selalu berharap bahwa kita akan bertemu lagi."
' Begitu pula aku."
Dengan berat hati, Endang Cantikawerdi me
Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langkahkan kaki meninggalkan anak muda yang dikagumi-nya itu. Dan, dalam perjalanan menuju Desa Karangreja, ia mulai berandai-andai. "Ya, andaikata saja aku diperbolehkan
mempelajari ilmu silat Pendekar Perisai Naga, aku akan tinggalkan ilmu silat
yang kudapatkan dari Perguruan Gunung Sumbing!"
*** Rasa lega menyejukkan hati Joko Sungsang.
Lega bahwa ia telah berhasil menasehati Endang Cantikawerdi yang hampir saja terperosok ke dunia orang-orang sesat. Melangkahkan
kaki pun rasanya ringan
sekali. Tak ada lagi jalan simpang yang menghadangnya. Tak perlu bingung lagi ke mana ia harus melangkahkan kakinya. Ke mana lagi
kalau bukan ke Padepokan Karang Bolong!
Namun, baru beberapa tombak ia melangkah,
tiba-tiba ada angin kencang menerpanya. Ini jelas bukan angin yang ditimbulkan
oleh perjalanan alam semesta. Ini pastilah angin yang keluar dari tubuh seseorang untuk
mencelakakannya. Maka secepat kilat Joko Sungsang mengurai Perisai Naga dari
pinggangnya, melecutkan cambuk itu ke sebuah dahan besar, dan
tubuhnya pun bergelayutan sambil berpegangan pada
gagang Perisai Naga.
"Ha ha ha! Rupanya yang kucari selama ini hanyalah anak bau kencur!" ujar Ki Danyang Bagaspati
sambil melompat keluar dari persembunyiannya.
"Kau, Ki Danyang Bagaspati! Tidak kuduga
orang dari Gunung Merapi hanya pandai membokong!"
Joko Sungsang melayang turun, dan mendarat persis
di hadapan Ki Danyang Bagaspati.
' Hanya berani membokong" Ha ha ha! Kalau
memang aku berniat membokongmu, sejak kau duduk
berdua dengan gadismu tadi, pendekar ingusan!"
' Bagaspati, kau bilang mencariku" Apa kau tidak salah ucap?"
' Salah ucap" Ho ho! Aku memang sudah tua,
tetapi ingatanku lebih baik daripada ingatanmu, Anak Muda! Kau agaknya sudah
lupa dengan peristiwa di
halaman Kademangan Sanareja malam itu" Nah, sedangkan aku yang sudah tua masih ingat! Bagaimana
mungkin kau mengatakan aku salah ucap?"
' Karena aku membunuh Demang Kerpa" Kalau
begitu, kaulah yang memesan kain kafan itu!"
' Bagus! Dan, karena kau sudah mengerti penyebab kenapa aku mesti mencarimu, bersiaplah untuk menebus dosa-dosamu, Pendekar Perisai Naga!"
' Sebelum aku atau kau yang mati, akan sedikit
mengurangi dosa-dosamu jika kau mau mengatakan di
mana sekarang gadis bertombak pendek yang kau temui di Desa Gedong Tenge itu, Bagaspati! " Tiba-tiba Joko Sungsang ingat cerita
tentang perkelahian antara Sekat Arum dengan orang sesat dari Gunung Merapi
ini. "Ada sangkut paut apa kau dengan gadis itu"
Kau pikir kau terlalu gagah untuk dicintai gadis-gadis cantik?"
'Dia adik seperguruanku, Bagaspati!"
"Ho ho! Jadi, benar kau berguru kepada kepiting pantai itu?" tukas Ki Danyang Bagaspati dengan
mata berbinar-binar.
' Jangan gegabah memberikan julukan buat guruku, Bagaspati! Langkahi dulu mayatku sebelum kau
sebut-sebut nama guruku!
' Baiklah! Sebelum ku langkahi mayatmu, memang ada baiknya kau tahu bahwa gadis bertombak
pendek itu telah diselamatkan gurumu. Tetapi, sebelum malam nanti, mereka pun akan mengalami nasib
yang sama denganmu..."
"Lancang mulut!'' sergah Joko Sungsang sambil
melecutkan Perisai Naga ke mulut Ki Danyang Bagaspati. Brettt! Begitu cepat Ki Danyang Bagaspati menyambar
kain kafan yang mengikat kepalanya dan membentangkan gulungan kain itu untuk menangkis ujung Perisai Naga. 'Tariklah cambuk mu, dan jika aku maju selangkah saja, artinya kau bisa mengalahkanku, Anak
Muda!" tantang Ki Danyang Bagaspati sambil menahan
lilitan Perisai Naga pada kain kafannya.
Joko Sungsang mengerahkan tenaga dalamnya
untuk melawan tenaga dalam lawan. yang dialirkan
lewat kain kafannya. Kemudian ia mencoba menghentakkan Perisai Naga, tetapi tubuh orang tua dari Gunung Merapi itu sama sekali
tidak bergeming.
"Ha ha ha! Nama besar Pendekar Perisai Naga
ternyata hanya digembar-gemborkan oleh orang-orang
tolol! Omong kosong mereka!" ejek Ki Danyang Bagaspati. Kesempatan inilah yang memang ditunggutunggu Joko Sungsang. Pada saat la wan berbicara, ia melihat pertahanan lawan
sedikit kendur Maka ia
menjejakkan kedua kakinya ke tanah, dan sambil
menghentakkan Perisai Naga nya, ia bersalto ke udara.
Sewaktu turun, kedua tumitnya menerjang sepasang
bahu ki Danyang Bagaspati.
' Haladalah!" dengus Ki Danyang Bagaspati
sambil menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Terpaksa ia
melepaskan sebelah ujung kain kafannya agar bisa
membebaskan diri dari terjangan tumit lawan.
Begitu kedua tumitnya menyentuh tanah, Joko
Sung-sang kembali melentingkan tubuh ke udara. Sebab kain kafan di tangan Ki Danyang Bagaspati telah siap menyambar kedua
lututnya! Sambil melompat, dia pun melontarkan Perisai Naga-nya!
"Ha ha ha! Lumayan juga ilmu silatmu, Anak
Muda! Rasanya aku boleh percaya bahwa kaulah yang
merobohkan Demit Hutan Ketapang itu! Kalau benar
begitu, artinya dosamu tambah satu lagi! Kau telah
merebut calon korban Selendang Mayatku!"
"Tak akan ada dosa bagi pembunuh iblis penyebar maut macam kau, Bagaspati!" sahut Joko
Sungsang. "Terimalah pahala dariku kalau memang pahala yang kau harapkan, pendekar ingusan bau kencur!"
ujar Ki Danyang Bagaspati sebelum memilin-milin kain kafannya, dan kemudian
menyabetkannya ke kepala
Joko Sungsang. Joko Sungsang merunduk sembari merentangkan Perisai Naga-nya di atas kepala. Maka ketika kain ka~ fan itu berubah
haluan, menghantam ke arah bawah, kembali dua senjata itu bertemu. Hanya saja,
kali ini Perisai Naga lah yang terbelit kain kafan itu.
Namun, sebelum Ki Danyang Bagaspati menyentakkan kain kafannya, Joko Sungsang telah mendahului membabat sepasang kaki keriput itu dengan
balingan kaki kanannya.
Desss! Bukkk! Tubuh Ki Danyang Bagaspati terbanting ke tanah. Namun, bak seekor belalang, orang tua kurus
kering itu melenting dan kembali berdiri di atas kuda-kuda kakinya.
' Jahanam keparat! Jangan berpikir kau akan
bisa menyentuh kulitku lagi, anak setan!" maki Ki Danyang Bagaspati seraya
memutar senjatanya di samping badannya. Inilah jurus 'Selendang Mayat Penyapu Awan' yang diandaikan orang
sesat dari Gunung Merapi itu.
Dari mendengarkan suara berciutan yang ditimbulkan kain kafan itu, tahulah Joko Sungsang
bahwa lawannya telah melancarkan jurus andalannya.
Maka segera ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk
meredam suara aneh yang menyerang telinganya. la
yakin, suara itu akan mampu merobohkan lawan yang
hanya mengandalkan kekuatan jasmani. Orang-orang
dari golongan hitam memang berusaha menempuh segala -cara untuk bisa secepatnya membunuh lawan.
' Hiyaaat!" sambil berteriak lantang, Ki Danyang
Bagaspati menyabetkan kain kafannya dengan dahsyat-nya. Sabetan yang membentuk angka delapan ini
memaksa Joko Sungsang harus membuang tubuhnya
ke belakang, dan kemudian berjumpalitan ke udara
untuk balas menyerang. Namun, sewaktu ia melecutkan Perisai Naga ke arah kepala lawan, dengan ce-katan orang sesat dari
Gunung Merapi itu membentangkan kain kafannya di atas kepala. Untuk yang kesekian kalinya ujung Perisai
Naga terkait senjata lawan. Joko Sungsang mengerahkan tenaga dalamnya
untuk membebaskan Perisai Naga dari belitan kain kafan itu. Sambil menghentakkan
Perisai Naga, ia membuang tubuhnya ke bawah dan mengirimkan tendangan ke betis lawan.
Wusss! Ki Danyang Bagaspati rupanya telah membaca
gerakan lawan. Oleh sebab itu, begitu Joko Sungsang menghentakkan cambuknya, Ki
Danyang Bagaspati
menggenjot tanah sembari mengirimkan angin dari
telapak tangannya.
Hampir saja tubuh Joko Sungsang terbentur
batu cadas kalau tidak secepatnya ia menghancurkan
batu cadas itu dengan bola berduri di ujung cambuknya. Begitu deras dorongan angin dari telapak tangan lawan sebab masih ditambah
lagi dengan tenaga luncuran tendangan Joko Sungsang sendiri.
Melihat batu cadas sebesar tubuh kerbau itu
hancur lebur, tersirap darah Ki Danyang Bagaspati.
Sungguh-sungguh ia tidak mengira bahwa bola berduri sebesar buah kecubung itu
ternyata mampu melebur
batu cadas sebesar itu. Namun demikian, ia tak mau
lagi memberikan kesempatan kepada lawan untuk bersiap diri. Oleh karenanya, secepatnya pula ia menye-rimpung kaki Joko Sungsang
dengan kain kafannya
begitu kaki anak muda itu menyentuh tanah.
Akan tetapi, pada saat yang sama cambuk d
tangan Joko Sungsang berputar memagari kedua kakinya. Srettt! Krekkk!
Kali ini perhitungan Joko Sungsang tidak meleset lagi. Bola berduri di ujung cambuknya bertemu
dengan kain kafan itu. Tak pernah terbayangkan oleh Ki Danyang Bagaspati bahwa
bola berduri itu berhasil merobek kain kafannya.
"Jahanam busuk! Kau robekkan kain kafanku?" dengus Ki Danyang Bagaspati setelah bersalto ke belakang untuk mengambil
jarak. ''Bukankah kain itu memang sudah rapuh dari
sananya, Bagaspati?" ejek Joko Sungsang.
' Jangan besar kepala, anak setan! Sekalipun
kau bisa membelah kain kafanku ini, tetap saja aku
bakal bisa memecahkan batok kepalamu!" Ki Danyang
Bagaspati menarik kain selempang di dadanya dan
menjadikannya sebagai senjata pengganti kain ikat kepalanya yang robek.
Serangan tokoh hitam dari Gunung Merapi itu
semakin ganas mengurung Joko Sungsang. Panjang
kain selempang itu dua kali lipat panjang kain kafan yang mengikat kepala. Sudah
barang pasti angin yang ditimbulkannya pun lebih kencang dibandingkan angin yang
menyembur dari ikat kepala itu.
Tak pelak lagi, Joko Sungsang semakin kehilangan ruang untuk menghindar. Ke mana pun ia melompat, ke situlah kain kafan itu memburunya. Berka-li-kali ia terpaksa bersalto
ke belakang untuk menghindari ganasnya terjangan senjata lawan. Melihat lawan
berkali-kali surut ke belakang inilah Ki Danyang Bagaspati merasa dirinya berada
di atas angin. Terlebih lagi ketika ia berhasil menggiring Joko Sungsang ke
tebing kali yang curam.
' Sekaranglah ajalmu tiba, pendekar bau kencur!" ujar Ki Danyang Bagaspati yang mengira lawan
tidak mungkin lagi menghindar mundur.
Sebenarnya tak ada masalah bagi Joko Sungsang menghadapi kecuraman tebing kali itu. Dibandingkan dengan kedalaman Jurang Jero, jelas tak ada seperlimanya. Namun, ia
tidak ingin meninggalkan lawannya. Untuk itulah ia harus menepis serangan lawan yang mengurungnya. Maka tak ada jalan lain baginya kecuali mengeluarkan ilmu 'Pukulan Ombak
Laut Selatan'. Sambil melecutkan Perisai Naga nya,
tumit Joko Sungsang melabrak perut Ki Danyang Bagaspati. Brettt! Desss!
Tubuh Ki Danyang Bagaspati terpelanting beberapa tombak ke belakang dan kemudian terbanting ke
tanah. Perut orang sesat dari Gunung Merapi ini menjadi sasaran empuk tumit Joko
Sungsang, sebab tangan kiri yang semestinya melindungi perut itu terpaksa memegangi ujung kain
kafan yang lain, untuk menahan lecutan Perisai Naga.
Ki Danyang Bagaspati tertatih-tatih bangun sebelum memuntahkan darah segar dari mulutnya. Namun begitu, tangan kanannya masih mampu memutar
kain kafannya untuk melindungi tubuhnya dari ancaman bola berduri yang mematuk dari segala arah.
Bahkan tangan kiri orang tua itu masih sempat menebarkan kerikil beracun.
Sring! Sring! Sring!
Melihat gerakan tangan kiri Ki Danyang Bagaspati, Joko Sungsang secepatnya memagari tubuhnya
dengan putaran Perisai Naga-nya. Sejak semula ia
memang sudah menebak bahwa di balik kain batik
kawung itu tersimpan senjata rahasia. Inilah kerikil beracun yang berasal dari
Kepundan Gunung Merapi!
Dan, luncuran senjata rahasia ini tentu saja lebih ganas jika dibandingkan
dengan luncuran senjata rahasia dari tangan Ki Demang Kerpa.
Diam-diam Joko Sungsang kagum melihat daya
tahan Ki Danyang Bagaspati ini. Meski perutnya telah terkena tendangan yang
dialiri ilmu 'Pukulan Ombak
Laut Selatan', tetap saja ia masih mampu bertahan.
'Tendanganmu memang menghancurkan isi perutku, Anak Muda! Tetapi, aku belum mau mati sebelum ku gantung lehermu dengan kain kafanku ini!"
ujar Ki Danyang Bagaspati sebelum menyerang membabi buta. Dan, hampir saja kain kafan itu berhasil melilit leher Joko Sungsang
kalau saja gagang Perisai Naga tidak menghalanginya.
Ketika kain kafan itu membelit gagang Perisai
Naga, saat itulah Joko Sungsang menyambitkan bola
berduri di ujung Perisai Naga-nya ke pelipis lawan.
Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meski Ki Danyang Bagaspati berhasil menghindari bola berduri itu, di luar dugaan
tendangan kaki kanan Joko Sungsang kembali bersarang di perutnya. Sambitan
bola berduri tadi memang hanya sebagai tipuan agar Ki Danyang Bagaspati lengah
melindungi perutnya.
Tghhh!" Ki Danyang Bagaspati melepaskan pegangan
pada kain kafannya. Ia surut beberapa langkah ke belakang sambil mendekap
perutnya dengan tangan kanannya. Sementara itu, tangan kirinya kembali menggenggam kerikil beracun dan siap disambitkan. Namun, dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, Perisai Naga meledak dan melilit
leher orang sesat dari Gunung Merapi itu.
Srettt! Darah menyembur dari leher Ki Danyang Bagaspati bersamaan dengan terjerembabnya tubuh kurus kering itu ke tanah. Duri-duri pada bola yang
menghiasi ujung Perisai Naga memotong urat-urat leh-er yang menyangga kepala Ki
Danyang Bagaspati.
' Anggap saja ini semua Balasan dari Sekar
Arum penghinaanmu di Desa Gedong Tengen, Bagaspati!" kata Joko Sungsang sambil menyimpan kembali
Perisai Naganya di pinggang.
Ketika Ki Danyang Bagaspati tengah sekarat
meregang maut, Joko Sungsang telah pergi meninggalkannya. Dia kembali melanjutkan pengembaraannya.
Melanjutkan tugas kependekarannya yang dinantinanti oleh rakyat banyak.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Avicke
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Pedang Angin Berbisik 28 Dewa Linglung 1 Raja Raja Gila Rahasia Istana Terlarang 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama