Ceritasilat Novel Online

Cinta Memendam Dendam 1

Pedang Siluman Darah 16 Cinta Memendam Dendam Bagian 1


CINTA MEMENDAM DENDAM
Oleh Sandro S. Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam episode: Cinta Memendam Dendam
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 CINTA, suatu ungkapan yang indah. Cinta terlahir
sejak jaman dahulu, sejak manusia belum mengenal
tulisan maupun bahasa. Dulu walau hanya dengan
isyarat, namun tetap saja dinamakan cinta. Bagi mereka yang tengah menyanyikan alunan cinta, merasakan indahnya dunia. Lupa akan semua yang bakal terjadi, lupa akan kenyataan hidup. Walaupun segalanya akan berubah, tapi dengan
cinta segalanya menjadi indah. Itulah Cinta, yang datang membuat hati senang
dan lupa akan segalanya. Yang pergi menjadikan luka yang tiada dapat terobati.
Kadang cinta mampu membuat orang gila, merana bahkan trauma. Dikopi, khusus untuk Ninie bagaimana dengan Kak Erwannya..."
Dua muda mudi tengah duduk-duduk di tepi telaga, keduanya nampak mesra. Sekali-kali keduanya saling lempar senyum, atau
saling cubit-mencubit. Gelak tawa pun membahana, saat salah seorang dari
keduanya mengucapkan kata-kata yang mungkin bagi seorangnya lagi dianggap lucu.
"Kakang, apakah kita akan selalu begini terus menerus?"
"Maksudmu, Dinda?" tanya si pemuda yang bernama Warakas sembari memandang pada
si gadis yang bernama Sulastri. Keduanya sudah hampir tiga bulan
menjalin cinta, lewat pandangan pertama yang mungkin tak akan pernah terjadi lagi.
"Apakah kita akan selalu begini?" kembali Sulastri bertanya.
Warakas terdiam hening nan bisu, ia belum memikirkan akan apa yang dinamakan perkawinan. Lagi
pula, bukankah ia baru mengenal Sulastri tiga bulan yang lalu" "Ah, kesusu anak
ini," gumam hati Warakas, "Apakah dikira untuk perkawinan cuma kawin sa-ja" Kalau kawin saja sih, aku
mau. Tapi membentuk
sebuah keluarga, aku belum siap lahir maupun batin."
"Bagaimana, Kakang" Kenapa kau tercenung diam?" "Ah, ti-tidak," jawab Warakas terbata karena tersentak oleh pertanyaan
Sulastri yang tiba-tiba. "Sulastri, untuk membentuk sebuah perkawinan kita perlu
adanya modal yang kuat. Bukan hanya siap mental,
namun kita harus siap segalanya. Apalagi aku belum
mempunyai pekerjaan tetap. Apakah kita akan menuruni orang tua kita yang menjadi petani" Ah, aku tak sanggup untuk itu,
Sulastri" Aku telah dididik oleh guru segala macam ilmu, apakah aku hanya
menyerah pada nasib" Aku ingin kita nantinya kaya, dan hidup serba cukup. Cukup sandang
pangan, cukup segalanya. Kau harus sabar, Sulastri."
Sulastri yang gadis lugu, seketika manggutmanggut dengan hati senang demi mendengar segala
cita-cita kekasihnya. Entahlah, mengapa Sulastri
mempercayai segala omongan Warakas. Padahal ia belum tahu siapa sebenarnya Warakas, lalu dengan
maksud apa pemuda gagah itu mendekatinya. Padahal
banyak gadis-gadis di kampung Sulastri yang tertarik pada Warakas, namun Warakas
kenapa memilih dirinya yang bodoh dan anak orang tak mampu" Banyak
anak Lurah atau para pamong praja yang menyukainya, tapi kenapa Warakas memilih Sulastri" Kalau ingat itu semua Sulastri
hanya dapat tersenyum, senyum polos dari seorang gadis desa yang lugu.
Mungkin karena Sulastri merupakan gadis desa
yang masih polos dan lugu itulah, yang membuat Warakas memilihnya. Mungkinkah ada maksud lain di
hati Warakas pada Sulastri" Entah, yang tahu pasti
adalah Warakas sendiri sebagai pelaku utama dalam
jalinan cinta yang keduanya bina.
Awal pertemuan cinta mereka awali dengan pandangan pertama yang indah, yang mampu mengguratkan sebuah catatan tersendiri di hati insan Tuhan itu. Waktu itu Warakas
datang ke kampung Dukuh
Gempol dengan tujuan menemui pamannya yang menjadi seorang guru ngaji.
Sulastri yang juga mengaji di tempat Kyai Safei,
tiba-tiba hatinya menjadi gundah manakala mengadu
pandang dengan Warakas. Mata keduanya beradu,
seakan ingin mengulur benang-benang yang telah mereka rajut. Dan tanpa malu-malu, Warakas malam itu
juga menawarkan jasa pada Sulastri untuk mengantarkan ke rumah.
"Aku antar, ya?"
"Ah tak usah, aku berani kok," jawab Sulastri sembari tersenyum ramah. Senyumnya
itulah yang membuat jantung Warakas seketika berdegup dengan
kencang. Perasaannya tak menentu, bergelut dengan
segala macam kalimat.
"Tapi bolehkan kalau aku mengenalmu?" tanya Warakas kemudian.
Sulastri hanya terdiam, matanya berkaca-kaca.
Tiba-tiba mulut Sulastri yang mungil berseru pada temannya, "Hamidah, ayo kita
bareng berjalan!"
Tersentak Warakas mendengar seruan Sulastri,
yang dirasa telah mengacuhkannya. Hati Warakas seketika bergumul dengan rasa, dan berkata dengan keluh. "Hem, rupanya dia belum kenal siapa aku. Nanti kaulah yang akan mengejarngejar aku." Dengan hati masih dipenuhi seribu macam perasaan Warakas akhirnya
berlalu kembali ke rumah pamannya, tak hiraukan lagi pada segala gelap malam yang menyelubungi bumi. Malam itu Warakas tak dapat tidur, bayangan wajah Sulastri terus menggayut dalam benaknya. Perasaan untuk menaklukkan Sulastri terus meledak-ledak di dalam hatinya, seperti
bara api yang tak mau padam begitu lupa. Entahlah, sepertinya dalam hati Warakas
hanya ada satu wajah, Sulastri,
"Aku harus dapat! Ya, aku harus dapat menaklukkannya!" desah Warakas dalam hati. Matanya yang sedari tadi diajak tidur, tak
juga mau terpejam. Perasaan kecewa karena ditolak mengantar Sulastri ke rumah,
menjadikan Warakas bagaikan ditantang.
Seperti halnya Warakas, saat itu juga Sulastri pun
merasakan hal yang serupa. Perasaan bersalah telah
menolak Warakas untuk mengantarnya, seperti menjelajahi hati. Entahlah, mengapa Warakas yang baru ia kenal begitu menggurat hati"
Sulastri sebenarnya pun menaruh hati pada Warakas (Seperti Mbak Ninie yang
juga waktu itu menaruh hati pada Kak Erwan Tanjung), namun karena merasa orang tak punya dan bodoh menjadikan Sulastri menekan sedapat mungkin
perasaannya. "Apakah mungkin, aku yang bodoh dan miskin ini menerima cinta Warakas yang
pintar dan keturunan
orang berada" Apakah nantinya aku tidak dijadikan
sebagai budaknya, bukan sebagai istri?"
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menjadikan
Sulastri terus menekan gejolak jiwanya. Belum juga
masalah keluarga, apakah mungkin orang tua Warakas akan mau menerimanya" Ya, memang biasanya
orang akan melakukan penyeleksian yang ketat pada
segala yang bakal menjadi milik diri atau anggota dirinya.
Seperti halnya Warakas, Sulastri pun malam itu
tak dapat memejamkan mata barang sekejappun.
Bayangan Wakaras, bayangan keadaan diri, juga
bayangan keluarga Warakas yang Santri. Ah, semuanya seperti memaksa hati Sulastri untuk berpikir dan berpikir sebelum menerima
cinta Warakas. "Ooh, adakah cinta harus mengenal kelas" Adakah aku dilahirkan sesuai dengan kodratku" Kenapa
aku tak menjadi anak orang berada seperti Warakas,
sehingga aku dapat mendampinginya" Oh... Warakas,
mungkinkah kita akan dapat menyatu...?" keluh Sulastri penuh kebimbangan.
Malam itu pun, dilalui Sulastri dan Warakas dengan segala macam pikiran (Layaknya seperti Mbak Ninie pada waktu itu. Bukan begitu, Mbak Ninie" Aku ki-ra kau pun begitu saat itu.
Tidur tak nyenyak, makan tak enak. Pokoknya ingat Kakak Erwan Tanjung, he,
he!). Kadang Sulastri atau Warakas tersenyum geli
sembari gelengkan kepala, entah apa yang keduanya
pikirkan. Malam pun berlanjut, membawa hening dan
sunyi. Ketika lamat-lamat terdengar kokok sang ayam, keduanya baru dapat
tertidur. Hal itu menjadikan keduanya lupa sholat Subuh. Pada waktu Kyai Safei
membangunkan kemenakannya, mata Kyai Syafei seketika terbelalak. Bagaimana mungkin, sang kemenakan masih tertidur padahal hari telah pagi.
"Warakas! Warakas, bangunlah hari sudah pagi.
Apakah kau tidak sholat Subuh?" tanya Kyai Safei membangunkan Warakas. Warakas
sesaat menggeliat,
lalu bangun dengan terlebih dahulu mengucak-ucak
matanya yang masih terasa ngantuk.
"Astagfirullah! Warakas, kau...!" seru Kyai Safei kaget, menjadikan Warakas
celigukan bagai orang ke-bingungan seraya bertanya tak mengerti.
"Ada apa, Paman?"
"Kau ngompol...?" tanya Kyai Safei kembali, matanya membelalak kaget tak
percaya. "Kau...."
"Ah...." Warakas tersentak, serta merta menutupkan tangannya ke bawah. Dengan terbata-bata Warakas segera mengatakan apa yang menjadikan dirinya bisa begitu. "Ma... maaf,
Paman. A... aku..."
"Ah, sudahlah. Ayo kau mandi besar, sana!"
Dengan tanpa banyak kata lagi Warakas segera
berlari ke belakang menuju sumur. Perasaan malunya, menjadikan Warakas melipir
berjalan meninggalkan
pamannya yang hanya geleng-geleng kepala. Dengan
tersenyum kecut, sang paman pun segera berlalu pergi. *** Sebagaimana kata pepatah, orang akan berusaha
mendapatkan apa yang belum ia dapatkan walau dengan pengorbanan yang besar. Seperti pepatah tersebut, Warakas pun tak mau mundur
begitu saja. Apalagi Sulastri telah mampu membuat ia terkencing dalam tidur, menjadikan Warakas mau tak mau terus berusaha mendapatkannya.
"Sulastri, terus terang aku...."
"Aku kenapa" Kenapa kau gugup?" tanya Sulastri pada Warakas, demi mendengar
ucapan Warakas yang
gugup yang saat itu kembali menghadangnya manakala Sulastri habis mengaji di Kyai Safei. "Bukankah kau laki-laki, kenapa mesti
gugup" Katakanlah!"
Mendengar ucapan Sulastri yang sepertinya mendorong, Warakas seketika tersenyum. Dan setelah terlebih dahulu menyeka keringat
yang ada di pelipis, Warakas pun berkata, walau masih tampak tersendat.
"Sulastri, aku... aku mencintaimu...."
"Ah!" tersentak Sulastri mendengar ucapan Warakas. Walau hati kecilnya
sebenarnya berkata, "Oh, mengapa aku miskin" Mengapa aku diciptakan untuk
menjadi orang miskin?"
"Kenapa, Sulastri" Apakah kau tak mau menerima cintaku?"
"Bu... bukan," jawab Sulastri tersentak dari lamunannya. Mata Sulastri berkacakaca, seakan ia ingin menangis. Ya, Sulastri ingin sekali menangis. Tapi tangis
apa" Apakah tangis bahagia" Atau barangkali tangis akibat luapan emosinya" "Aku
hanya kaget!"
"Kaget..." Kaget kenapa..;?" tanya Warakas masih belum mengerti, matanya
menyipit sempit memandang
pada Sulastri yang akhirnya tertunduk. Dan tiba-tiba dari mata Sulastri mengalir
air bening, meleleh membasahi pipi. "Kenapa kau menangis, Sulastri" Kau sedih?"
Sulastri gelengkan kepala, menjadikan Warakas terpaku tak tahu harus berbuat
apa. Keduanya hanya
terdiam membisu, tanpa kata tanpa reaksi. Warakas
masih terus terbawa oleh alunan kebisuan, dengan tatapan matanya memandang pada
mata Sulastri yang
menangis. "Ehm... ehm!"
Tersentak keduanya manakala mendengar suara
deheman. Seketika keduanya menengok ke arah suara
itu. Mata keduanya terbelalak, manakala tahu siapa
adanya yang datang.
"Paman...." desah Warakas.
"Guru...."
Kyai Safei tersenyum melihat murid dan kemenakannya kaget. Digelengkan kepala dengan senyum
yang masih terurai di bibir, lalu katanya kemudian,
"Sulastri, apakah kau tak pulang" Hari telah larut....
Warakas, antarkan dia!"
"Ti...." Sulastri hendak menolak, manakala dengan segera Kyai Safei memotongnya.
"Jangan menolak, Lastri! Hari telah begini larut, tak baik untuk seorang gadis."
"Benar apa yang diutarakan paman, memang tak
baik kalau seorang gadis malam-malam begini harus
berjalan sendirian. Percayalah padaku, aku dengan tulus mengantarmu,"
menambahkan Warakas, sementa-ra bibirnya masih terurai senyum.
Sulastri akhirnya hanya terdiam dan diam dengan
seribu macam perasaan yang ada di dalam hati. Kedua muda-mudi itu pun akhirnya
berjalan beriringan meninggalkan pondok Kyai Safei. Kyai Safei hanya mampu menggelengkan kepalanya melihat kemenakannya
yang nampak mempunyai hati dengan muridnya.
"Memang cocok mereka. Ah, apakah aku akan tega membiarkan hati mereka gundah?" keluh Kyai Safei dalam hati. "Biarlah! Kalau
memang jodoh, mau apa lagi?"
Kedua muda-mudi itu berjalan dalam diam, tanpa
ada yang berani untuk mendahului berkata. Hanya sekali-kali keduanya saling pandang, lalu bibir mereka pun tersenyum. Hingga
dengan pandang dan senyum
itulah, kedua muda mudi yang tengah dimabuk asmara mengutarakan apa yang terkandung dalam hati mereka. "Lastri...."
"Ya...." jawab Lastri setengah mendesah.
"Apakah kau tak suka denganku?" tanya Warakas kemudian, setelah untuk beberapa
lama hanya diam
dan diam. Mata Warakas yang tajam, menghunjam tajam pada mata Sulastri. Keduanya berhenti melang

Pedang Siluman Darah 16 Cinta Memendam Dendam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kah, saling pandang dan kaitkan hati. Tak terasa, tangan Warakas perlahan
menggenggam tangan Sulastri.
Mulanya Sulastri bermaksud menolak, namun ketika
ditatapnya mata Warakas yang seakan mengandung
harapan, Sulastri pun hanya diam. Tangan keduanya
saling remas, membuat sebuah keratan-keratan lembut yang menjalar hingga ke hati keduanya. (Bagaimana mbak Ninie, apa masih teringat kejadian begitu...
He... he... he... Becanda lho!. Keduanya lama diam, tangan mereka saling kait
dan mata mereka saling
pandang. Ah, mesranya cinta. Lama kejadian itu berjalan, sehingga tak terasa
waktu makin berlalu dengan cepat. Setelah dirasa telah begitu lama, Warakas pun
kembali mengajak Sulastri berjalan.
"Kau mau menerima cintaku, Lastri?" tanya Warakas. "Apakah perlu aku katakan
lagi, Kakang?"
"Ah, sungguh sejuk kedengarannya kau sebut
aku, Kakang!" ledek Warakas menjadikan Sulastri seketika memelototkan mata.
Melihat hat itu Warakas
bukannya takut, bahkan dengan lembut dipetiknya
mata Sulastri dengan jari telunjuk. Sulastri merengah, seperti merasakan
indahnya malam itu.
"Apakah pantas aku yang miskin ini untuk mencintaimu, Kakang?"
"Kenapa tidak, Lastri," jawab Warakas, menjadikan binar-binar kebahagiaan di
mata Sulastri. "Cinta tak mengenal miskin atau kaya, juga golongan atau segala
macam tetek bengek. Yang penting cinta, ya cin-ta." Sulastri tersenyum melebar
mendengar ucapan Warakas.
"Kenapa tersenyum?" Warakas menyipitkan mata demi melihat senyum manis Sulastri
yang menghias bibir. "Adakah yang lucu?"
"Ada! Dan memang ada," jawab Sulastri manja.
"Apa itu, Lastri?"
"Kau... Ya, kau lucu, Kakang."
Kedua muda mudi itu akhirnya kembali bergelak
tawa, saling gandeng tangan melangkah menuju ke
rumah Sulastri yang telah tampak di hadapan mereka.
Kini hati mereka berbunga, ya bunga cinta kasih yang
semestinya dialami oleh anak cucu Adam. Bukankah
cinta memang dicipta untuk kita" Bukankah cinta itu suci" Tapi kenapa masih
banyak orang yang menga-gungkan cinta akhirnya jatuh" Salah siapakah ini semua"
Apakah pelakunya" Atau alam cinta yang makin
lama makin membara" Entahlah, yang penting cinta
itu indah dan suci. Tapi kenapa kadang kala diwarnai oleh tuntutan-tuntutan
psikologi" Jangankan manusia, malaikat pun mungkin tak akan mampu untuk
menjawabnya. Ya, banyak gadis-gadis korban cinta.
Mulut yang mendayu dayu dengan segala rayuan, terkadang hilang manakala telah mencicipi keperawanan... Oh, apakah ini pertanda cinta telah pudar mak-nanya"
Ketika keduanya telah sampai di depan rumah Sulastri, Warakas kembali berkata. "Lastri, mungkin esok kita kan dapat bertemu
lagi?" "Kenapa tidak, Kakang," jawab Sulastri dengan senyum.
"Selamat malam, Lastri!"
"Malam, Kakang," jawab Sulastri.
Setelah untuk sesaat keduanya kembali saling
pandang, Sulastri akhirnya masuk ke dalam rumah setelah dilihatnya Warakas berlalu pergi kembali ke pondok pamannya. Kini hati
Sulastri berbunga, bunga
yang hanya tumbuh untuk sekali dan tak pernah akan
tumbuh lagi. Walaupun tumbuh, tentu bunga itu tak
akan seindah pertama.
Dengan senyum di bibir Sulastri melangkah perlahan, sehingga kedua orang tuanya hanya bengong
tak mengerti dengan tingkah laku anaknya.
Sulastri lupa mengucap salam, membuat kedua
orang tuanya makin membelalakkan mata kaget. Betapa tidak! Hari ini Sulastri jelas berbeda dengan hari-hari biasanya. Biasanya
Sulastri datang-datang mengucap salam, tapi kini" Sulastri nyelonong saja, tak hiraukan kedua orang tuanya
yang tengah bercakapcakap sambil menikmati kopi dan sepiring singkong
rebus. Ketika Sulastri hendak langsung masuk ke dalam kamar, sang ayah berseru memanggilnya. "Lastri...!"
Sulastri menghentikan langkahnya, mematung di
depan pintu kamarnya.
"Ya, Ayah?" jawabnya tanpa reaksi. "Kemarilah se-bentar!"
Dengan perasaan takut-takut Sulastri membalikkan tubuh, lalu melangkah dengan pelan menuju di
mana ayah dan ibunya tengah duduk. Mukanya tertunduk, seakan ada rasa takut yang amat sangat. Tangannya yang menggenggam AlQuran gemetaran, hampir tak kuasa memegang beban.
"Duduklah, Nak!"
Lega hati Sulastri mendengar ucapan ayahnya
yang melemah. Dengan pelan sekali Sulastri jatuhkan pantatnya di atas kursi
bamboo yang menghiasi ruangan itu.
"Ada apa Ayah?" tanyanya setelah duduk dengan muka menunduk.
"Kau lupa sesuatu, Anakku?"
Sulastri mengerutkan kening mendengar ucapan
ayahnya. Setahunya ia tak lupa sesuatu apapun. Sega-la tugas rumah telah ia
kerjakan sebelum ia berangkat ngaji. "Apa yang telah aku lupakan?" tanya hatinya
bimbang. "Bukankah aku telah melakukannya semua"
Segala pekerjaan rumah telah aku bereskan. Lalu apa yang sebenar-nya dikatakan
ayah?" "Apakah Lastri telah lalai. Ayah?" tanya Sulastri dengan agak takut-takut,
menjadikan sang ayah tersenyum. Sulastri adalah anak mereka paling sulung.
Adiknya dua laki-laki semua, sehingga Sulastri benarbenar merupakan anak wanita satu-satunya. Pantaslah kalau segala kehendak-nya dituruti. Namun demikian, Sulastri tak menjadi gadis tak tahu aturan. Dia merupakan gadis paling
pendiam dan ramah serta tawakal.
"Benar, Anakku!"
"Tentang apakah, Ayah?" tanya Sulastri masih belum mengerti.
"Kau hari ini aneh," kata ayahnya seperti berkata pada dirinya sendiri,
menjadikan Sulastri terjengah makin tak mengerti. "Biasanya sepulang ngaji kau
mengucap salam, namun malam hari ini kau kayak ar-ca ngeloyor saja pergi."
"Ah...." Sulastri terjengah. Ia baru menyadari kalau tindakannya telah lali,
benar-benar lalai. "Semua gara-gara Warakas. Ya, gara-gara dia jadi aku melalaikan segala kebiasaanku," keluh Sulastri dalam hati.
"Tapi, Warakas... Oh, sungguh-sungguhkah aku akan dapat mengambil cintanya yang
suci dan murni" Ooh,
Warakas...."
"Kau melamun, Anakku" Kenapa?"
Tersentak Sulastri mendengar pertanyaan ayahnya. Segera ia betulkan duduknya, dengan serta merta dicobanya untuk membuang
gambaran kekagetannya
dengan senyum. "Ti... tidak, Ayah!"
"Ya, sudahlah. Sekarang kau tidurlah!" kata ayahnya nadanya memerintah.
"Terima kasih, Ayah. Assalamualaikum, Ayah, Ibu." "Waalaikum Salam, Anakku,"
jawab kedua orang tuanya bareng.
Kedua orang tua itu hanya saling pandang setelah
kepergian anaknya yang dirasa bertindak aneh hari
itu. Keduanya tak tahu kalau sang anak tengah merasakan apa yang dinamakan cinta. Oh... kalau saja mereka tahu, mungkin mereka pun
akan mendesah berat.
*** 2 Perjalanan cinta kadangkala tidak selamanya indah. Ada kalanya cinta menjadikan derita, namun ada kalanya cinta membuat orang
bahagia. Cinta yang se-sungguhnyalah yang menjadikan orang bahagia, dan
biasanya dikatakan cinta suci.
Perjalanan cinta Sulastri pun terus berlanjut. Dari bersembunyi-sembunyi, lama
kelamaan Warakas pun
memberanikan diri datang ke rumah Sulastri untuk
menemui kedua orang tua Sulastri. Seperti halnya malam itu manakala Sulastri
pulang dari ngaji, Warakas yang ingin menunjukkan pada kedua orang tua Sulastri
bahwa dirinya benar-benar bertanggung jawab datang menemui. Warakas malam itu
tak sendirian, namun ditemani oleh seorang teman dekatnya yang ia
kenal sejak berada di rumah pamannya, Kyai Safei.
Malam itu maksud Warakas ingin mengutarakan hal
yang ada di hatinya pada kedua orang tua Sulastri,
namun ternyata yang ada saat itu hanya ibu Sulastri.
"Benarkah nak Warakas ingin menjalin hubungan
dengan Sulastri, anakku?" tanya ibu Sulastri ingin meyakinkan, yang diangguki
oleh Warakas sembari
berkata: "Benar ibu. Saya sengaja datang ke mari semata-mata untuk mengutarakan maksud
hati saya."
"Ah, kenapa nak Warakas harus mencintai anakku?" tanya ibu Sulastri seakan tak yakin. "Nak Warakas tahu sendiri keadaan
keluarga Sulastri, miskin
dan bodoh. Apakah nantinya nak Warakas tidak menyesal mengambil Sulastri menjadi isteri?"
"Tidak, Ibu."
"Benar, Bibi," timpal teman Warakas. "Percayalah kalau temanku ini adalah benarbenar baik dan ingin mengambil isteri pada dik Sulastri. Bukankah bibi telah
mengetahui siapa adanya paman temanku ini?"
Wanita setengah baya itu untuk sesaat mendesah
panjang, hatinya seperti ingin melepaskan segala apa saja yang melekat. Mata
tuanya menatap pada Warakas, yang duduk di hadapannya dengan menundukkan
muka. Setelah sesaat menarik napas panjang, wanita
setengah baya itu kembali berkata:
"Aku tak melarang kalau nak Warakas memang
benar-benar ingin menjadikan anakku isteri. Tapi seperti yang aku katakan tadi,
apakah nak Warakas tidak malu mengambil isteri anak orang kere?"
Warakas terdiam bisu, seakan ucapan wanita setengah baya itu menghunjam legam di hatinya. Nada
ucapan wanita setengah baya itu, seakan menghentakkan perasaannya.
"Tidak, Ibu. Aku bermaksud mengambil Lastri
menjadi isteriku sekaligus aku ingin mengangkat mar-tabat keluarga ini."
"Benar, Bibi. Percayalah, bahwa temanku ini akan benar-benar menolong keluarga
bibi. Kalau memang
nanti dia berbuat yang tidak-tidak, maka akulah yang akan bertanggung jawab,"
kembali teman Warakas yang sudah dikenal oleh wanita setengah baya itu
menambahkan. Bahkan pemuda itu berani menjadikan
dirinya sebagai jaminan. Hal itu membuat hati Priyani, ibu Sulastri, terkesima.
Maka tanpa menimbang atau
memikirkan apa-apa yang nanti bakal terjadi, Priyani pun hanya dapat mendesah.
"Ah... aku sebagai orang tua tak dapat berkata
apa-apa, semuanya kembali terserah pada Lastri saja.
Kalau memang Lastri pun menerima cinta nak Warakas, ibu hanya dapat mendoakan semoga kalian akan
kekal selamanya. Bukan begitu, Nak Indra?"
"Benar, Bibi. Memang sebaiknya begitu," jawab Indra, matanya melirik pada
Warakas dengan bibir terurai senyum. "Nak Warakas, kini segala telah beres, maka
aku pesan padamu jangan sekali-kali kau membuat hal yang tidak-tidak. Baiklah,
Ibu, kami pamit undur...."
"Eh, bukankah kalian belum kami suguhi?"
"Ah, tak usahlah repot-repot," ucap Warakas dengan hormat.
Setelah kedua anak muda itu menyalami Priyani
dan Lastri, keduanya segera berlalu meninggalkan rumah itu. Keduanya hanya diam,
tanpa kata-kata yang
dapat dijadikan uraian bisunya malam.
*** Sejak saat itu hubungan Warakas dan Sulastri
pun tak sembunyi-sembunyi lagi. Pulang pergi mengaji Sulastri selalu ada yang
mendampingi. Keduanya
nampak rukun-rukun saja, mesra dan nampak harmonis. Karena keharmonisan merekalah, sampaisampai banyak orang yang tak suka. Biasanya mereka
kebanyakan gadis-gadis yang dulu menjadi teman Sulastri. Mereka yang mengejar-ngejar Warakas, ternyata Sulastri yang
mendapatkannya.
Ucapan sinis dan segala macam cemoohan yang
datangnya dari orang-orang yang tak senang silih berganti. Namun kedua remaja
yang sedang dimabuk asmara tak menggubrisnya. Bagi mereka, yang penting
cinta mereka berjalan sebagaimana mestinya. Apalah
artinya orang lain yang tidak menjalankan.
Namun sekuat-kuatnya hati manusia, akhirnya
terkena juga api kesal. Begitu juga dengan Sulastri, ia pun merasakan kekesalan
pada orang-orang yang
mencemoohnya. Pada suatu hari, Sulastri pun mengatakannya pada Warakas tentang orang-orang yang nadanya sinis pada hubungan keduanya.
"Kakang, aku tak kuat lagi mendengar ucapanucapan mereka."
"Kenapa, Lastri" Apakah yang telah mereka lakukan" Bukankah mereka hanya
memandang dan melihat saja" Kau tak usah memikirkan mereka, namun
pikirkanlah tentang hubungan kita."
"Tapi aku tak kuat, Kakang," menangis Sulastri dalam dekapan Warakas, sepertinya
di dada Warakas-lah segalanya akan menjadi tenang. Ditumpahkan segala suka duka yang ia alami, yang menurutnya tak
akan dapat orang lain untuk memecahkannya.
"Sudahlah, Lastri. Kau tak perlu menangis," ucap Warakas mencoba menghibur hati
sang kekasih. Dan
memang benar, Sulastri akhirnya diam dalam dekapan
tangan Warakas yang kokoh. Sulastri terlena oleh perasaannya yang kecewa pada
seluruh teman-temannya
yang kini menjauhi. Dan manakala untuk pertama kalinya bibir Warakas mencium bibirnya, Sulastri tak
mampu berkata-kata. Mulanya Sulastri terjengah bermaksud menolak, tapi ketika bibir Warakas makin dalam mengulum bibirnya, Sulastri akhirnya terdiam.
Bahkan Sulastri malah membalasnya dengan mesra.
(Semoga mbak Ninie ingat ini....).
"Lastri, aku ingin kita segera menikah."
"Itu yang kita inginkan, Kakang," desah Sulastri manja.
"Aku akan mencari kerja di kerajaan, Lastri."
Tersentak Sulastri mendengar ucapan Warakas,
sepertinya tersentak oleh ledakan halilintar saja sampai-sampai mata Sulastri terbelalak. Hati Sulastri seketika gundah gulana, takut
kalau-kalau Warakas
nanti akan melupakannya setelah di kerajaan.
"Kenapa, Lastri" Apakah kau tak percaya pada

Pedang Siluman Darah 16 Cinta Memendam Dendam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ku?" tanya Warakas demi melihat kekagetan Sulastri.
"Percayalah, aku hanya mencintaimu. Tak mungkin ada gadis lain yang bakal
menyinggahi hatiku," tam-bahnya mencoba menghibur hati Sulastri.
"Aku takut, Kakang!?"
"Takut kenapa, Lastri?"
"Aku takut kakang akan melupakanku. Bukankah
nanti di kerajaan banyak gadis-gadis yang melebihi diriku?"
Warakas tersenyum sembari gelengkan kepala
demi mendengar ucapan Sulastri. Makin dieratkan pelukannya, menjadikan napas Sulastri tersengal-sengal.
Lalu dengan kata-kata mesra yang membuai Sulastri,
Warakas pun kembali berkata: "Percayalah, Lastri.
Apapun kenyataannya yang bakal aku hadapi, hanya
kaulah yang nantinya mendampingi diriku."
"Benarkah itu, Kakang?" tanya Sulastri ingin kepastian.
Warakas hanya menganggukkan kepala disertai
dengan bibir terurai senyum. Kemudian kedua muda
mudi itu pun diam dengan bibir-bibir mereka saling
beradu. Tangan Warakas seketika tanpa dapat dicegah bergerak liar, menyusuri
lekuk demi lekuk tubuh Sulastri. Dan ketika tangan Warakas makin menggila, Sulastri yang ingat akan keadaan dirinya segera menyadarkan Warakas.
"Jangan, Kakang! Kita belum resmi...."
"Tapi...." tergagap Warakas tak mampu memben-dung gejolak nafsu yang telah
melonjak-lonjak di hatinya. "Aku ingin, Lastri."
"Tidak, Kakang! Ingat, kau kemenakan pak Kyai."
Terjengah Warakas demi mendengar ucapan Sulastri. Dengan tersentak kaget Warakas segera melepaskan tangannya dari tubuh Sulastri yang seketika
kembali tersenyum. Ditatapnya Sulastri lekat-lekat, seperti hendak menembus ke
hati. "Kita pulang, Kakang," pinta Sulastri. "Baiklah, Lastri, tapi aku minta kau
jangan ceritakan ini pada kedua orang tuamu."
Sulastri hanya menganggukkan kepala. Perasaannya gundah, antara harus menuruti apa kata Warakas
dengan perasaannya yang penuh ketakutan kalaukalau orang tuanya marah. Karena hatinya terjerat segala macam perasaan,
menjadikan Sulastri terdiam.
Begitu juga halnya Warakas, diam membisu.
Mungkin ia pun merasakan hal serupa, serba salah... Entahlah.
*** Dengan diiringi tatapan Mata Sulastri, Warakas
pun berangkat menuju ke kerajaan untuk mencari kerja. Memang tujuannya turun gunung setelah lama berguru adalah mengabdi pada kerajaan. Namun kini ia
terpikat pada seorang gadis, Sulastri, manakala ia
singgah di rumah pamannya, Kyai Safei....
Kini Sulastri sendiri, tanpa Warakas yang biasanya memberikan rasa manja, memberikan bungabunga cinta. Warakas pergi untuk mencari kerja di kerajaan. Siang malam Sulastri
berdoa semoga Warakas
dapat segera mendapatkan kerja dan diterima mengabdi di kerajaan.
Sebulan dua bulan berlalu sudah, Warakas telah
pergi ke kerajaan. Ketika menginjak bulan ketiga, Warakas mengirim surat melalui
utusannya pada Sulastri. Berbunga hati Sulastri mendapatkan surat dari
Warakas. Surat yang sangat dinanti-nantikan untuk
menghibur hatinya yang telah lama sunyi dan bisu.
Dengan segera Sulastri membuka lembaran daun
lontar yang berisi surat dari Warakas. Matanya berka-ca-kaca gembira, senyumnya
mengurai. Perlahan dengan hati berbunga-bunga Sulastri membaca bait demi
bait larikan isi surat itu.
Hati Sulastri bersorak girang manakala membaca
isi surat itu, yang mengabarkan tentang Warakas yang telah diterima sebagai
prajurit kepala di kerajaan. Ma-ka dengan bersorak girang Sulastri segera
menemui ibunya untuk memberitahukan hal surat Warakas tersebut. "Ibu, bacalah surat ini!"
"Dari siapakah, Lastri?" tanya sang ibu terheran-heran melihat tingkah anaknya.
Begitu juga dengan
ayahnya, merasa turut berbahagia. Dengan segera
sang ibu pun membaca isi surat itu setelah Sulastri memberitahukan bahwa surat
itu dari Warakas.
Menemui dinda Sulastri,
Dinda, kini kakang telah diterima sebagai prajurit kepala pada kerajaan. Kakang
senang sekali, semoga begitu juga halnya dengan dinda Sulastri dan keluarga.
Oh ya, Dinda, Kakang akan datang bulan depan. Ke-rinduan kakang pada dinda sudah
tak tertahankan la-gi. Tunggu kedatangan kakang, Dinda.
Salam untuk ayah dan ibu, juga kedua adikmu.
Dariku, Warakas Berseri-seri wajah keluarga Sulastri. Mereka merasakan bahwa Warakas memang benar-benar ingin
membantu keluarga mereka. Mereka meyakini bahwa
Warakas memang tak main-main dengan apa yang
pernah diucapkan bersama temannya, Indra. Yang lebih bahagia adalah Sulastri. Ia begitu senangnya karena sang kekasih akan datang
untuk mengisi kembali
hari-harinya yang indah walau hanya sesaat.
*** Dari kejauhan tampak tiga orang penunggang kuda berjalan dengan kencang, sepertinya si penunggang ingin segera sampai di
tempat tujuan. Paling depan
nampak seorang pimpinan prajurit, pakaiannya nampak indah dan mentereng. Wajahnya yang tampan,
menampakkan kewibawaan sempurna. Bila dilihat sepintas, maka nampaklah bahwa dia tak lain Warakas.
Sementara dua orang lainnya adalah dua anak buahnya yang sengaja dia bawa untuk menemani.
"Apakah kita masih jauh, Gusti?" tanya sang pen-gawal yang bernama Sastono.
"Tidak! Sebentar lagi kita bakal sampai pada tempat yang kita tuju," jawab
Warakas. "Lihat! Di depan sana sudah nampak pedukuan. Itulah pedukuan yang
kita tuju. Ayo, kita percepat kuda kita!"
"Daulat, Gusti."
Ketiganya segera memacu lari kuda mereka yang
memacu bagaikan kelebatan angin. Kuda-kuda itu bagai tak mengenal lelah, terus berlari membawa tubuh ketiga tuannya. Tak lama
kemudian, ketiganya pun telah sampai pada sebuah pedukuan. Warakas segera
menuju ke tempat Sulastri, sementara kedua anak
buahnya disuruhnya untuk sementara menetap di rumah sang paman.
"Kakang Warakas.... Kaukah, Kakang?" seru Sulastri girang, demi dilihatnya
Warakas datang. Betapa tak dapat terkendali rasa rindu yang selama ini terpendam. Maka tanpa malu-malu Sulastri pun segera
memeluk sang kekasih tercinta yang baru tiba. "Kau
nampaknya senang di kerajaan, sampai-sampai kau
gemuk, Kakang... !"
"Kau bisa saja, Dinda. Sungguh kakang sangat
rindu padamu."
"Aah... Kakang...." lenguh Sulastri manja. Tanpa sungkan lagi, direbahkan
kepalanya pada dada Warakas. Keduanya segera masuk ke dalam rumah. "Apakah
Kakang benar-benar masih mencintai ku?"
"Lastri.... Bagaimana mungkin aku tak menyintaimu," ucap Warakas membersitkan rasa yakin pada hati Sulastri. "Kalau aku tak
menyintaimu, apa mungkin aku datang dari kerajaan jauh-jauh begini. Untuk
apa...?" Sulastri seketika terdiam manja. Matanya memandang tak berkedip, memancar dengan penuh harap yang sangat dalam. Entah karena apa, tiba-tiba
hatinya cemburu. Ya, hatinya cemburu, takut kalaukalau Warakas di kerajaan mendapatkan gadis lain.
Gadis yang cantik dan kaya, yang sesuai dengan martabat Warakas sebagai seorang kepala pasukan.
"Aku takut, Kakang," lenguh Sulastri.
"Kenapa mesti takut?" tanya Warakas tak mengerti. Dibimbingnya Sulastri
melangkah, dan duduk berdampingan di kursi. "Apa yang kau takuti, Lastri?"
"Aku takut kehilangan dirimu, Kakang!"
"Ah, kenapa kau berpikiran begitu?" Warakas tersenyum. "Bukankah telah aku
katakan bahwa hanya kaulah yang aku cintai."
"Benarkah, Kakang?" tanya Sulastri ingin memas-tikan.
"Benar. Tak akan aku mencintai gadis lain selain dirimu."
Jawaban Warakas menjadikan Sulastri seakan
tentram hatinya. Ya, jawaban Warakas begitu meyakinkan, seakan-akan ingin menjadikan diri kekasihnya
mau menyerahkan segalanya. Dan memang kenyataannya begitu. Sungguh pun wanita tak tahu apa sebenarnya makna ucapan laki-laki, namun tetap saja
wanita selalu merasakan perasaan tersendiri bila mendengar janji-janji yang
muluk-muluk. (Bukan begitu
Ninie" Dulu juga mbak Ninie begitu dengan Kak Erwan). Bila sudah begitu, maka hanya ada satu pilihan
dalam hati wanita yaitu menyerahkan segenap jiwa
dan raga. *** Malam datang begitu cepatnya, seperti ingin mengulang kejadian-kejadian yang pernah terjadi pada malam-malam yang lalu. Malam
itu nampak dua anak
manusia berjalan menikmati indahnya purnama. Dua
remaja. Itu adalah Warakas dan Sulastri, entah keduanya hendak pergi ke mana.
Tak seperti biasa-biasanya, malam itu keduanya
hanya diam seribu bahasa. Tanpa kata yang terucap,
hanya sekali-kali mata keduanya saling pandang. Keduanya terus melangkah dalam gelapnya malam, menembus pohon-pohon yang berdiri bagaikan bayangbayang. Keduanya akhirnya berhenti pada sebuah
tempat, yang merupakan tempat indah bagi keduanya.
Malam merambah dengan dingin, menjadikan pori-pori tubuh seperti tersengat. Angin berhembus perlahan, namun menjadikan rasa
tersendiri di hati kedua insan itu.
"Sulastri...." Warakas membuka kata setelah sekian lama diam.
"Hem, ada apa, Kakang?" tanya Sulastri manja.
"Kau mencintai ku?"
"Apakah Kakang kurang yakin?"
Ditanya seperti itu, menjadikan Warakas terdiam.
Kakinya melangkah ke luar dari gubuk. Ditatapnya
rembulan yang sedang bergayut terang, sepertinya jadi saksi cinta keduanya.
Melihat Warakas berjalan ke
luar, Sulastri pun dengan segera mengikuti. Keduanya kembali hening dalam bisu,
hanya tatapan mata mereka yang berkata-kata.
"Apa yang kakang pikirkan?"
Warakas tersentak, memandang tajam pada Sulastri yang tersenyum manis. Melihat Sulastri tersenyum, seketika darah kelelakian Warakas bergemuruh
laksana badai. Perlahan tangan Warakas bereaksi, entah untuk apa. Tiba-tiba
saja, Warakas membimbing
tubuh Sulastri ke dalam. Direbahkan tubuh gadis itu di atas tumpukan jerami,
menjadikan Sulastri bingung. Namun kemudian Sulastri menyadari apa arti
semuanya. Tanpa banyak kata lagi, Sulastri akhirnya diam menerima segalanya.
Bahkan kini Sulastri yang
makin bereaksi. Matanya perlahan memejam, lalu
menjerit sesaat ketika Warakas menghentakkan segala nafsu yang menggebu pada
dirinya. "Aaah.... Kakang...!"
Hanya kata itu saja yang terucap dari lenguhan
mulut Sulastri yang akhirnya terkulai lemah.
Darah menetes dari apa yang selama ini dipertahankan, terkoyak-koyak oleh nafsu setan. Namun Sulastri tak menyesal sedikit pun, bahkan ia bangga. Ya, Sulastri bangga telah
mampu menunjukkan kese-tiaannya, walau kesetiaan itu bukan pada tempatnya.
"Kita pulang, Kakang," pinta Sulastri setelah sekian lama tercenung. Entah apa
yang tengah bergayut dalam pikirannya setelah kejadian itu. "Hari sudah malam,
aku takut ayah dan ibuku mencurigai apa
yang telah aku alami!"
"Baiklah, ayo kita pulang!"
"Kakang...."
"Hem, ada apa lagi, Lastri?"
"Apakah Kakang nanti mau bertanggung jawab"
Kapankah kita nikah, Kakang?" tanya Sulastri dengan mata berlinang, menjadikan
Warakas seketika terhe-nyak.
"Kau takut aku meninggalkanmu?" Sulastri hanya mengangguk mengiyakan. "Tak akan
lama lagi, kita akan nikah," menambahkan Warakas berkata, menjadikan Sulastri
seketika bagaikan mendengar seribu
macam kata-kata indah. Bahagia melantun di hatinya, kebahagiaan akan menjadi
seorang isteri dari orang
yang mempunyai kedudukan di istana. Keduanya dengan diam akhirnya berjalan pulang, merambah malam
yang makin sepi tertimpa oleh tiupan angin.
Esok telah tiba menyibakkan sinar mentari yang
indah. Dengan penuh linangan air mata, Sulastri melepaskan kepergian Warakas untuk menunaikan tugasnya kembali. Segala apa yang dialami oleh dirinya dengan Warakas dipendam
dalam-dalam. Tak seorang
pun yang berhak tahu, begitu juga keluarganya. Sampai-sampai manakala Sulastri mengigau dan ditanya
oleh sang ibu, bagaikan tak mengalami apa-apa, Sulastri berusaha menyembunyikan
apa sebenarnya yang
selalu membayang di lubuk hatinya.
"Kau mengigau dan merintih-rintih, Anakku?"
tanya sang ibu, setelah membangunkan Sulastri. "Kenapa, Anakku?"
Sulastri sesaat tercenung diam, tanpa dapat menjawab segala pertanyaan ibunya. Pikirannya kembali
melayang pada segala kejadian yang ia alami bersama Warakas kemarin malam.
Kejadian yang telah menjadikan dirinya tak dapat untuk melupakan. Kejadian
yang baru pernah dialaminya, selama ia menjadi seorang gadis. Kejadian itu pula menjadikan kehormatannya serta keperawanannya hilang. Sedangkan keperawanan merupakan nilai pokok yang semestinya dipertahankan sebagai seorang gadis. "Kenapa aku mesti memberikannya pada Warakas"
Kenapa aku tidak me-nolaknya?" keluh Sulastri dalam hati. "Ah, tidak! Kami
berbuat atas dasar suka sama suka. Aku rela kepera-wananku terenggut olehnya.
Dia aku cintai dan kasihi.
Oh... Warakas, semoga kau benar-benar mau mempertanggung-jawabkan segala apa yang telah kau lakukan padaku...!"
Melihat anaknya hanya terdiam, menjadikan sang
ibu untuk kedua kalinya bertanya. "Kenapa, Anakku"


Pedang Siluman Darah 16 Cinta Memendam Dendam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah kau dengan Warakas ada masalah?"
"Ti... tidak, Ibu!" jawab Sulastri tergagap. Hal itu menjadikan sang ibu tak mau
percaya begitu saja, lalu untuk kesekian kalinya sang ibu mendesah panjang
tak mengerti apa yang sebenarnya terpaut di hati anak gadisnya. Dalam hati sang
ibu menerka-nerka, apa
yang sebenarnya telah terjadi. Namun semua dibuangnya jauh-jauh, ia tak ingin hal itu benar-benar telah melanda anak gadisnya.
"Mungkinkah Warakas telah.... telah... Ah, tidak!
Betapa aku sebagai orang tua akan malu bila hal itu benar-benar terjadi. Anakku
dapat menjaga diri!" keluh sang ibu mencoba membuang segala perasaan yang
tak baik. Walau hatinya mengeluh, namun di bibir
sang ibu tergurat juga seulas senyum. Dan dengan suara lembut penuh kasih, sang
ibu pun berkata. "Kau sakit, Nak?"
Sulastri menggeleng lemah, menjadikan ibunya
hanya mengerutkan kening.
"Lalu kenapa dengan dirimu?"
"Aku tak apa-apa, Ibu," jawab Sulastri menutupi segala kegelisahan hatinya. "Aku
ngantuk, Ibu."
"Tidurlah kalau kau memang mengantuk," akhirnya sang ibu pun hanya mengalah diam. Perlahan ditinggalkan anaknya yang kembali tidur yang sebenarnya tidak tidur. Pikiran Sulastri malam itu benarbenar diisi dengan segala macam pertanyaan. Pertanyaan tentang dirinya, tentang orang tuanya yang di-takutinya, juga pertanyaan
bagaimana dengan Warakas selanjutnya. Sulastri hanya membisu, mata melelehkan air mata.
"Akankah aku mengatakannya terus terang pada
ibu?" tanya hati Sulastri bimbang. "Apakah nanti tidak mungkin ibu... Oh, tidak!
Aku tak mau kalau ibu yang menerimanya. Bagaimana dengan adik-adikku" Dia
masih butuh kasih sayang. Tuhan, ampunilah aku!
Sungguh aku adalah hambaMu yang tak menghargai
rahmatMu. Aku telah terbujuk oleh rayuan setan."
Malam itu dihabiskan Sulastri dengan menangis.
Ya, menangisi segala yang telah ia alami. Kegelisahannya timbul, mendera di
hatinya yang gundah. Baru
manakala ayam jantan berkokok, mata Sulastri akhirnya dapat terpejam, meskipun itu dipaksakan juga.
Untuk sesaat Sulastri dapat melupakan bayangbayang hidupnya. Dan ketika matanya kembali membuka, maka bayang-bayang hidupnya akan kembali
muncul menggoda, menyuruhnya untuk berpikir dan
berpikir. *** 3 Hari berulang menjadi minggu, demikian juga
halnya minggu yang berulang menjadi bulan. Tiga bulan sudah semenjak kejadian itu Warakas tak memberikan kabar apa-apa lagi pada Sulastri, hal itu menjadikan Sulastri seketika gundah. Rasa takut menyelimuti hatinya, apalagi kini ia telah terlambat datang bulan. Sebagaimana layaknya
seorang gadis, jelas ke-terlambatan datang bulan menjadikan suatu ketakutan yang teramat sangat.
Pagi itu manakala Sulastri hendak mencuci pakaian di sungai, dirasakan olehnya keganjilan pada dirinya. Perutnya terasa
mual-mual, lalu kemudian Sulastri pun muntah-muntah.
"Kenapa aku?" tanyanya pada diri sendiri.
Sulastri yang baru pertama kali mengalami kejadian yang aneh, menjadikannya bingung. Bingung harus berbuat apa. Dengan wajah pucat, Sulastri kembali pulang ke rumah. Hal itu
menjadikan kedua orang tuanya bertanya-tanya tak mengerti.
"Kenapa kau pulang lagi, Anakku?" tanya ibunya seraya kerutkan kening melihat
wajah Sulastri yang
pucat. "Kau sakit, Nak?"
Kebimbangan dan bingung terus melanda hati Sulastri, menjadikan Sulastri tercenung diam tanpa dapat berkata-kata. Ia bingung
harus menjawab apa atas
pertanyaan ibunya. Haruskah ia mengakui segala apa
yang dirasa" Ia takut untuk mengutarakan hal itu, sebab tidak mungkin tidak
ibunya akan kecewa. Apalagi bila ayahnya mendengar, apalah yang akan terjadi pada dirinya. "Ti... tidak, Ibu. Lastri hanya pening saja," jawab Lastri.
"Kau tadi tidak sarapan?" kembali ibunya bertanya.
Sulastri hanya mengangguk mengiyakan.
"Kalau memang kau sakit, istirahatlah...!"
Mendengar ucapan ibunya, Sulastri segera menurut. Dengan langkah terseret bagaikan berat, Sulastri melangkah menuju ke dalam
kamarnya. Direbahkan
tubuhnya, dengan segala pikiran yang belum ia kenali benar apa yang tengah ia
alami. "Inikah yang dinamakan hamil?" tanya Sulastri pada diri sendiri, seakan tak
percaya pada apa yang dirasa olehnya saat itu. "Tidak! Aku tidak mau hamil!"
Sulastri akhirnya menangis, dan menangis tak tahu
harus berbuat apa. Hal itu menjadikan sang ibu yang ada di luar tersentak kaget,
demi mendengar isak tangis anaknya. Serta merta sang ibu pun segera melangkah
masuk ke kamar Sulastri.
Terjengah Sulastri seketika, manakala dilihatnya
sang ibu tiba-tiba telah berdiri mematung di pintu kamar. Serta merta, Sulastri
pun memeluk ibunya dan
menangis sejadi-jadinya.
Mengerut mata sang ibu melihat hal itu. Ia tak
mengerti kenapa sang anak tiba-tiba menangis. Dengan perasaan tak mengerti, sang ibu pun bertanya.
"Kenapa kau menangis, Anakku?"
Ditanya seperti itu, menjadikan tangis Sulastri
makin mengencang. Makin membuat sang ibu tak
mengerti, yang kembali mengulang pertanyaan. "Sulastri, kenapa kau menangis"
Apakah kau... kau hamil?"
Terjengah seketika Sulastri mendengar pertanyaan
ibunya. Matanya yang menangis, seketika memandang
penuh rasa bersalah pada sang ibu. Mulutnya gemetaran, sepertinya hendak mengutarakan apa yang telah
terjadi. Dan memang benar, hati Sulastri yang sudah tak kuat dengan segala macam
kecamuk seketika menjerit. Jeritan itu bukan saja di dalam hati, namun lewat
mulutnya yang mungil. "Ibuuuuu...!"
"Lastri, Anakku. Benarkah akan apa yang ibu du-ga, Nak?"
Sulastri tak dapat menjawab, malah makin mengencangkan tangisnya yang menyayat. Perlahan-lahan
dari mulutnya yang sedari tadi terkunci, keluar satu
persatu kata-kata, "A... aku... aku hamil, Bu!"
Kedua ibu dan anak itu pun akhirnya saling tangis, seakan ingin mengeluarkan segala beban berat
yang ada di hati mereka. Penyesalan tiada guna, menjadikan manusia kadang
frustasi. Namun sebagai seorang ibu, Priyanti berusaha mau mengerti. Dengan penuh rasa kasih, dibelainya
rambut sang anak seraya
berkata. "Sudahlah, Anakku. Semua ini mungkin sudah digariskan oleh Gusti Allah. Terimalah dengan lapang
dada, jangan kau kecewa atas segalanya."
"Tidak, Bu. Lastri akan mencari kakang Warakas.
Lastri akan meminta tanggung jawabnya."
"Itu terserah padamu. Tapi ibu minta, janganlah kau bawa semuanya pada hidupmu.
Anggaplah semua
hanyalah mimpi. Juga ingat, jangan sampai ayahmu
tahu!" tutur Priyanti dengan rasa haru, yang diangguki oleh anaknya.
Tengah kedua anak dan ibu itu saling tangis, tibatiba sang ayah datang menemui mereka. Sang ayah
yang baru saja pulang dari sawah, seketika bertanya tak mengerti. Beruntung
Priyanti mau menutupi keadaan anaknya yang sesungguhnya.
"Kenapa anak kita, Bu?"
"Ti... tidak apa-apa. Ia hanya pusing karena tadi pagi berangkat nyuci tidak
sarapan dulu," jawab sang isteri menutupi. "Kok sudah pulang dari sawah, Pa?"
"Entahlah, Bu. Perasaanku tiba-tiba tak enak,"
jawab Ki Cokro yang mengejutkan sang isteri. Namun
mengingat suaminya galak, Priyanti pun dengan segera mengalihkan perhatian
suaminya dengan kembali bertanya.
"Bagaimana dengan jagung kita, Pak?"
"Alhamdulilah subur. Mungkin dalam bulan-bulan ini kita akan memetik buahnya,"
jawab Ki Cokro. "Tolong bikinkan aku kopi, Bu!"
Tanpa banyak bicara lagi Priyanti segera menuruti
apa yang diminta suaminya. Dengan segera ia pergi
berlalu menuju ke dapur untuk membuatkan kopi. Tak
lama kemudian, Priyanti pun telah kembali menemui
sang suami dengan segelas kopi dan sepiring nasi
lengkap dengan lauk pauknya.
"Anak kita tidak bareng makan?" tanya Ki Cokro.
"Dia sedang tak enak badan. Biarlah dia nanti
bersama adik-adiknya," jawab sang isteri menutupi.
Ya, memang begitulah kenyataan sebagai ibu. Ia walau sejahat apapun, tak akan
mau membuka rahasia
anaknya pada sang suami apalagi pada orang lain. Kedua suami isteri itu pun
akhirnya makan bersamasama. *** Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, Sulastri malam itu keluar meninggalkan rumah. Tujuannya hanya satu, menemui Warakas
di kerajaan untuk meminta pertanggungjawaban atas segala perbuatannya.
Dengan berjalan kaki, bagaikan tanpa merasa takut
sedikitpun Sulastri dengan segala tekadnya terus menyusuri jalan se-tapak yang
dapat dilewati. Manakala Sulastri tengah berjalan merambah malam, tiba-tiba
terdengar gemereseknya daun-daun kering terinjak.
Rasa takut seketika menjalari tubuhnya, menjadikan
Sulastri menghentikan langkahnya. Belum juga hilang rasa takutnya, tiba-tiba...
"Hua, ha, ha... anak manis, mau ke mana malammalam begini keluyuran?" terdengar suara orang bergelak tawa, makin menjadikan
bulu kuduk Sulastri
meremang. "Siapa kau"!" Sulastri mencoba memberanikan diri membentak. "Hua, ha, ha... Akulah penunggu daerah ini!" Bersamaan dengan habisnya ucapan
itu, sekonyongkonyong sesosok tubuh berkelebat dan tiba-tiba telah menotok jalan darahnya.
Sulastri terkulai lemas, tanpa dapat berkata-kata barang se-patah pun. Sulastri
mencoba berontak, namun ternyata bopongan orang
itu lebih kuat. Dibawanya tubuh Sulastri entah ke ma-na. Ketika dilihatnya ada
sebuah gubuk yang terpampang di depannya, orang yang membawa tubuh Sulastri segera menghentikan larinya. Dibawanya tubuh
kaku Sulastri masuk ke gubuk tersebut.
"Anak manis. Sungguh kebetulan sekali. Lama
aku tak merasakan enaknya mendekap tubuh seorang
gadis, eh malam ini akhirnya aku mendapatkannya juga," terkekeh lelaki berwajah rusak, menjadikan Sulastri seketika membeliak.
Rasa takut seketika menyeli-muti dirinya. Ingin Sulastri berteriak, tapi
mulutnya seakan susah untuk berkata-kata. Belum juga Sulastri hilang takutnya,
lelaki berwajah buruk itu telah mendekap tubuhnya. Tak dapat lagi Sulastri
berbuat apa-apa menghadapi laki-laki berwajah buruk yang bagaikan singa kelaparan menerkam dan menggeluti tubuhnya. Sulastri hanya dapat meregang lalu akhirnya pingsan.
Setelah dapat melampiaskan nafsunya, lelaki berwajah buruk itu segera pergi meninggalkan tubuh Sulastri yang masih tergeletak pingsan dengan meninggalkan gelak tawa berkepanjangan.
*** Ketika pagi telah datang, nampak seorang pemuda
berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Pemuda itu tak lain adalah Jaka Ndableg,
terus melangkahkan kakinya menikmati alam pagi yang sejuk dan indah. Manakala ia tengah asyik bernyanyi-nyanyi, tiba-tiba te-linganya menangkap desah
napas berat dari arah gubuk. Sesaat Jaka terdiam memusatkan pendengarannya, lalu setelah yakin bahwa memang di gubuk itu
ada seseorang, Jaka segera berkelebat memasuki gubuk tersebut. Dan betapa terkejutnya Jaka manakala
melihat apa yang ada di dalam gubuk. Saking terkejutnya, sampai-sampai Jaka mendesah.
"Ooh Gusti Allah, gerangan apa yang terjadi?"
Dihampirinya gadis itu, yang masih tergeletak
tanpa berkata. Diperiksa denyut nadi sang gadis, seketika Jaka tertawa sendiri
memikirkan ketololannya.
"Tolol aku, kenapa orang hidup aku periksa denyut nadinya?"
Jaka geleng-gelengkan kepala, sesaat ia memandangi tubuh sang gadis. Ia bingung harus berbuat apa terhadap gadis itu,
sehingga hanya diam saja sambil tercenung Jaka di situ.
"Ah, kenapa aku begini dungunya?" keluh Jaka dalam hati.
"Nona, kenapakah engkau?"
Gadis itu nampak memalingkan wajah menghadap
Jaka, lalu gadis itu menangis membuat Jaka tersentak bingung tak mengerti.
Spontan itu juga Jaka kembali bertanya. "Kenapa nona menangis?" Gadis itu masih
tetap diam tanpa bicara, sedang air matanya terus meleleh membasahi pipi. Hal
itu membuat Jaka serba salah tingkah. "Bagaimana gadis ini" Oh, barangkali ia
gagu," ucap Jaka setengah mengeluh dalam hati. Kemudian Jaka pun segera berkata
kembali dengan bahasa isyarat. Namun kembali gadis itu hanya geleng
kepala tak mengerti seraya menunjuk pada urat lehernya. Kini tahulah Jaka bahwa
gadis itu tengah dalam keadaan tertotok.
"Ooh, jadi kau tertotok," gumam Jaka setengah bertanya. "Maaf, Nona. Sungguh aku
tak mengerti. Baiklah akan aku bantu membuka totokan itu. Hoop...
ya!" "Tuk, tuk, tuk!"
Tiga kali Jaka menotok urat nadi si gadis yang seketika itu mengeluh. Tak lama kemudian, gadis itu
pun dapat berkata-kata. Namun gadis itu masih menangis. "Kenapa nona berada di sini?" tanya Jaka setelah membuka totokan pada leher si
gadis. "Namaku Sulastri. Aku... aku telah diperkosa oleh orang yang mukanya buruk,"
jawab Sulastri sambil terus menangis, menjadikan Jaka turut iba melihatnya.
Jaka juga seketika terperanjat kaget, manakala mendengar gadis itu menyebut nama lelaki bermuka buruk. Saking kagetnya Jaka mendengar gadis itu menyebut lelaki bermuka buruk, seketika Jaka memekik.
"Iblis Muka Bangkai! Heh, apakah nona tahu ke
mana ia pergi?"
Sulastri hanya menggeleng lemah.
"Sayang...!" keluh Jaka seakan berkata pada diri sendiri menjadikan Sulastri


Pedang Siluman Darah 16 Cinta Memendam Dendam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seketika hentikan tangisnya. Ditatapnya wajah Jaka lekat-lekat, sepertinya ingin
menanyakan tentang sesuatu. Dan memang benar.
Manakala Jaka tengah tercenung, gadis itu pun seketika bertanya. "Apakah tuan kenal dengan orang itu?"
"Ya, bukan saja kenal, tapi musuhku yang harus aku tangkap hidup atau mati!"
jawab Jaka seraya memandang pada wajah Sulastri.
"Oh..." lenguh Sulastri demi mendengar pengakuan Jaka. Ia mengira kalau Jaka
adalah teman si Iblis Muka Bangkai.
"Kenapa Nona melenguh?" tanya Jaka tak mengerti. "Aku kira... aku kira tuan adalah temannya iblis yang tuan tadi sebutkan!"
jawab Sulastri seraya menunduk. Sementara Jaka hanya mampu tersenyum seraya gelengkan kepala sembari bergumam.
"Nona, nona... apakah tampangku mirip hantu?"
Ditanya begitu rupa oleh Jaka, seketika Sulastri
yang menangis tersenyum walau senyumnya nampak
dipaksakan. Kelakuan Jaka yang lucu itulah, yang
mengakibatkan Sulastri tersenyum. Seketika hilang
segala perih di hatinya, terhibur oleh kelucuan Jaka yang seperti alami. Dan
memang benar Jaka melakukannya dari alam, bukan dibuat-buat. Itulah sebabnya dia
diberi julukan Jaka Ndableg.
"Kenapa Nona tersenyum-senyum" Apakah aku
lucu?" kembali Jaka bertanya.
Sulastri tersipu-sipu seraya mengusap air matanya. "Kau eh tuan lucu," ucap Sulastri terbata.
"Lucu..." Apanya yang lucu?" tanya Jaka tak mengerti. "Malah aku kira kaulah
yang lucu. Kau tadi hendak mengatakan kamu, kenapa mesti kau ganti dengan tuan" Apakah aku pantas menjadi seorang juragan atau tuan tanah" Tidak
bukan?" Sulastri seketika terdiam sembari lebarkan senyumnya. Tingkah laku Jaka dan segala ucapannya,
menjadikan Sulastri rasanya hilang segala beban hidup yang selama ini ia tanggung. Sulastri tundukkan muka malu, manakala Jaka
memandangnya. "Eh Nona, kau belum menjawab pertanyaanku.
Kenapa kau ada di sini" Lalu hendak ke manakah tujuanmu?" tanya Jaka tiba-tiba, menjadikan Sulastri tersentak kaget. "Mengapa kau
sampai bertemu dengan iblis itu?" tambah Jaka.
Sulastri masih menundukkan muka. Dan dengan
suara terbata-bata serta tangisnya meleleh lagi, Sulastri pun menceritakan apa
yang sebenarnya terjadi,
dari mana ia, serta hendak ke mana tujuannya.
"Begitulah, Tuan."
"Jangan panggil aku tuan. Panggil saja namaku
Jaka Ndableg!"
Kembali Sulastri tersenyum, kali ini tak dapat
menahan gelak tawanya hingga Sulastri pun seketika
tertawa terpingkal-pingkal demi mendengar nama pemuda itu. Hal itu menjadikan Jaka seketika kerutkan kening tak mengerti seraya
kembali bertanya. "Hei, mengapa engkau tertawa, Nona" Adakah kelucuan lagi
pada ucapanku?"
"Benar! Memang Tu... eh kau lucu, Jaka," jawab Sulastri masih terpingkalpingkal. "Lucunya?" tanya Jaka masih belum mengerti
"Kau pemuda tampan dan gagah, mengapa namanya mirip-mirip nama orang..."
"Orang apa?" tanya Jaka demi mendengar Sulastri berkata tak dilanjutkan. "Orang
gila maksudmu?"
Sulastri hanya menganggukkan kepala, menjadikan Jaka seketika ikut tertawa tergelak-gelak setelah mengerti. Maka kini
giliran Sulastrilah yang mengerutkan kening bingung. Bagaimana mungkin pemuda
ini malah tertawa disebut orang gila, bukankah orang lain akan marah-marah"
Belum juga Sulastri memahami apa yang tengah
diketawakan Jaka, tiba-tiba Jaka telah kembali berka-ta menerangkan apa yang
menjadikan dirinya tertawa.
"Memang nama julukanku lucu. Itu semua ada ceritanya tersendiri. Dulu manakala aku masih remaja, aku merupakan anak yang suka
ndableg, sampai-sampai emakku marah melihat tingkahku. Begitu pula
dengan teman-temanku. Karena aku ndableg, sehingga
mereka menyebutku dengan nama embel-embelan
Ndableg. Sedang namaku yang sebenarnya adalah Jaka Surya Kelana. Begitulah manusia, kadangkala nama julukan lebih terkenal daripada namanya yang asli.
Oh ya, Nona. Kalau boleh aku tahu, apa tujuan nona
hendak ke Kerajaan Panjang Sulara?"
"Aku hendak mencari kekasihku."
"Kekasihmu...?" tanya Jaka sedikit kaget.
"Ya, kekasihku yang telah menanam benih di perutku," jawab Sulastri menjadikan Jaka seketika be-liakkan mata kaget. Sampaisampai mata Jaka seketika melotot demi mendengar apa yang telah diucapkan
oleh Sulastri. Tak disadari oleh Jaka yang ndableg, li-dahnya seketika nyeletuk.
"Wah, kenapa nona sampai kecelakaan begitu rupa?" "Aku tidak kecelakaan, Jaka."
"Jadi..." Aku jadi tidak mengerti, Nona."
"Aku melakukannya atas dasar cinta kasih yang
tulus." "Oooh... begitu?" mendesah Jaka panjang, terheran-heran mendengar ucapan
Sulastri. "Kalau begitu nona korban dari kekurangpercayaan diri nona. Nona
serahkan segalanya demi cinta yang tiada bukti" Oh, sungguh kasihan...!"
Mendengar ucapan Jaka yang seakan mengibakan
dirinya, seketika Sulastri kembali menangis sesenggukan. Hatinya terasa perih
bila mengingat segalanya.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Jaka, bahwa
dia adalah korban dari kebodohannya sendiri.
"Ya, aku memang terlalu bodoh. Hanya karena
janji-janji muluk dan sanjungan yang berisi dusta aku jatuh," mengeluh Sulastri
dalam hati. Tangis Sulastri makin merembes deras, manakala kembali Jaka menyentuh dagunya dengan takut-takut seraya berkata.
"Sudahlah, Nona. Janganlah nona terlalu menyesali apa yang telah terjadi, toh semuanya belum jelas.
Apakah nona ingin aku temani ke Kerajaan Panjang
Sulara" Kebetulan, aku hendak menemui temanku
yang berada di sana."
Sulastri tak dapat berkata-kata, ia nampak masih
sedih mengingat keadaan dirinya. Belum juga ia mendapatkan kepastian dari Warakas, di tengah jalan ia telah diperkosa oleh Iblis
Muka Bangkai. Sungguh
menderitanya hidup Sulastri, ibarat habis jatuh tertimpa tangga.
"Sudahlah nona, aku harap nona mau tabah
menghadapinya. Kalau nanti memang kekasih nona
tak bertanggung jawab, nona bisa melakukan tindakan. Biarlah aku nanti akan membantumu mengadukan hal itu pada sang raja," kembali Jaka berkata menghibur, sehingga Sulastri
pun seketika menghentikan tangisnya.
"Benarkah kau hendak menolongku, Jaka?"
"Ya, kenapa" Apakah kau menyangka aku menolongmu karena atas dasar pamrih" Ooh, tidak, Nona.
Aku hanya ingin kau mau tabah menghadapi segalanya. Aku tak memerlukan pamrih darimu. Maaf, bukannya aku ingin merendahkanmu," jawab Jaka demi mendengar pertanyaan Sulastri.
"Ah, sudahlah. Mari kita ke kerajaan!"
"Apakah kau tak repot, Jaka" Bukankah kau hendak mengejar Iblis Muka Bangkai?" tanya Sulastri bermaksud mengingatkan Jaka,
namun Jaka seketika
tersenyum seraya berkata.
"Biarlah iblis itu untuk sementara aku umbar. Kalau memang nanti masanya tiba,
aku pun akan menghukum tindakannya yang telah membawa korban banyak termasuk dirimu."
"Jadi... jadi iblis itu suka memperkosa?" tanya Sulastri tersentak kaget.
Keringat dingin seketika bercucuran demi mengingat kejadian yang menimpa dirinya
tadi malam. "Mukanya sungguh mengerikan, Jaka!"
"Ya, karena itulah ia merasa terasing. Dan karena mukanya mengerikan dan berbau
busuk, dia memperkosa gadis-gadis," ucap Jaka menerangkan. "Ayolah, kita
berangkat ke kerajaan. Aku rasa hari masih pagi hingga kita sampai di sana tidak
terlalu kemalaman."
Kedua orang yang baru kenal itu pun akhirnya berangkat menuju ke kerajaan. Angin pagi berhembus
lambat, mengikuti langkah keduanya. Sinar matahari
masih belum begitu panas, apalagi ditambah dengan
kicau burung yang bernyanyi makin menjadikan hawa
sejuk bagi yang menikmatinya.
*** 4 Betapa luluh lantak hati Sulastri bagaikan dicabik-cabik dengan jarum seribu banyaknya setelah menerima apa yang dia alami. Ternyata Warakas yang di-tuju dan diharapkan mau
menerima dirinya sekaligus
mempertanggung-jawabkan segala yang telah dibuatnya, ternyata bertindak sebaliknya. Warakas kini telah bersanding dengan seorang
gadis dari keturunan nin-grat yang cantik rupawan.
"Siapa kau"!" tanya Warakas setengah membentak, manakala mendengar panggilan
Sulastri. "Aku ra-sa, aku tak mengenalmu. Pergilah! Jangan sampai aku menyuruh
prajurit-prajuritku untuk mengusir kalian!"
Sulastri hanya mampu menangis dan menangis
melihat perilaku Warakas yang tidak diduga-duganya.
Sementara Jaka yang mengantarkannya, seketika darahnya mendidih mendengar ucapan Warakas yang
sombong dan takabur. Maka dengan geramnya Jaka
pun tak mau kalah membentak.
"Warakas! Kau jangan sombong oleh kedudukanmu. Kalau kau memang melakukan segala perbuatan
biadab itu, hendaklah kau mau bertanggung-jawab
pada segalanya yang terjadi. Ternyata kau tak lebih seorang manusia berhati
binatang!"
"Bedebah! Berani lancang mulutmu, Anak muda!"
"Kenapa tidak, orang sombong! Bagiku, tak ada
yang perlu ditakuti kalau memang berada di pihak
yang benar," jawab Jaka kalem, menjadikan Warakas seketika itu naik darahnya.
Maka dengan terlebih dahulu menggeram Warakas kembali membentak seraya
berkelebat hendak menyerang Jaka.
"Anak edan! Kau rupanya memang perlu diajar ta-ta krama, hiat....!"
Melihat Warakas bermaksud menyerangnya, dengan cepat Jaka yang sudah muak melihat tingkah laku panglima prajurit itu segera
bersiap-siap. Hampir saja kedua orang muda itu hendak bertarung, manakala
dengan segera Sulastri mencegahnya dengan menjerit
karena marah. "Sudah! Kalau memang kau tak mengenali aku,
tak apa. Ingat Warakas, kelak aku akan menuntut
mu!" Habis berkata begitu, tanpa mempedulikan lagi pada Warakas yang tersentak
mundur karena kaget,
Sulastri segera berlari sambil menangis. Luka hatinya begitu mendalam,
sepertinya susah untuk menyem-buhkannya. Orang yang sangat dicintai dan diagungkan ternyata tak lebih dari seorang penipu macam Erwan yang tak berani
bertanggung jawab pada mbak
Ninie. Sambil terus menjerit-jerit, Sulastri terus berlari entah ke mana. Hal itu
menjadikan Jaka seketika tersentak dan melotot marah pada Warakas seraya membentak gusar. "Iblis kau, Warakas! Percuma kau menjadi panglima, kalau sifatmu tak lebih dari sifat iblis yang busuk. Kau tega
menelantarkan seorang gadis yang telah kau renggut keperawanannya. Benih itu
tumbuh, menjadikan beban baginya. Laki-laki macam apa kau, Warakas" Tak lebih hanya seorang buaya!"
"Diam!" bentak Warakas yang seketika tersentak dari lamunannya melamuni
kepergian Sulastri. "Apakah kau tak dapat diam, Anak edan!"
"Hem, percuma kau menyesal. Percuma, Warakas!" seru Jaka sinis menjadikan Warakas seketika menggeram marah mendengarnya.
Maka tak ayal lagi,
Warakas yang tengah bingung seketika menyerang Jaka dengan senjata pusakanya Kyai Lutung Gumilir, se-jenis tombak sakti yang
menjadi kebanggaan para prajurit, barang siapa yang memegang senjata tersebut,
maka dialah yang dapat menjadi panglima prajurit kerajaan.
Diserang begitu tiba-tiba oleh Warakas, dengan
segera Jaka pun berkelebat menghindar. Sekali-kali
kakinya melayang, menyodok ke perut Warakas. Namun dengan segera Warakas pun membalasnya dengan menusukkan tombak Kyai Lutung Gumilir. Hawa
dingin menggigil seketika keluar dari tombak itu. Jaka tersentak kaget dan
melompat mundur ketika merasakan hawa dingin yang melebihi hawa salju. Mata Jaka
seketika terbelalak, menjadikan Warakas yang sombong tertawa bergelak-gelak.
Dengan congkaknya Warakas seketika berseru lantang penuh ejekan.
"Anak edan! Aku harap kau menyerah dan jangan
banyak turut campur dengan urusanku!"
"Sombong kau, Warakas! Jangan harap aku mau
menyerah pada iblis macammu!" balik membentak Ja-ka dengan marahnya. Tak ayal
lagi, Warakas yang sudah di atas angin kembali berkelebat menyerang Jaka.
"Mampuslah kau, Anak Edan!" Ditusukkan senjata Kyai Lutung Gumilir ke arah Jaka,
yang seketika berkelit menyamping. Jaka segera balik menyerang
dengan ajian Getih Saktinya, teriaklah Warakas manakala tahu ilmu yang tengah
ditakuti oleh hampir seluruh kerabat istana tiba-tiba muncul menghadangnya.
Maka dengan wajah pucat pasi Warakas segera melemparkan tubuh ke samping menghindar. Tak ayal lagi, tembok rumahnya seketika membara.
Warakas hendak kembali menyerang Jaka, manakala terdengar seruan seseorang mencegahnya. Warakas pun mengurungkan niatnya, ia juga sebenarnya
telah jeri melihat ajian Getih Sakti yang telah menggemparkan dunia persilatan.
Beruntung ada orang
yang datang, kalau tidak...
"Hentikan, Warakas! Apakah kau tidak tahu siapa yang tengah kau hadapi?" seru
orang itu. "Percuma kau melawan pendekar muda itu. Jangankan dirimu,
kakek gurumu pun aku rasa tak akan mampu menghadapinya!"
"Paman Sodra Jumawa!" seru Warakas tersentak.
Sodra Jumawa segera menjura hormat pada Jaka,
sepertinya tak menghiraukan Warakas yang terheranheran melihat tingkah laku patih kerajaan. Hati Warakas seketika bertanya-tanya,
melihat apa yang dilakukan oleh Sodra Jumawa. "Hem, kenapa paman patih Sodra
Jumawa menghormatinya" Apakah pemuda itu
saudara sang raja?" tanya Warakas pada diri sendiri.
Tengah Warakas tak mengerti dengan apa yang
ada di hadapannya, tiba-tiba Sodra Jumawa berkata
setengah menyuruh. "Warakas, menghormatlah pa

Pedang Siluman Darah 16 Cinta Memendam Dendam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

danya. Kalau kau ingin tahu siapa adanya pemuda ini, dialah Jaka Ndableg si
Pendekar Pedang Siluman Darah!"
Terbelalak mata Warakas demi mengetahui siapa
adanya pemuda yang tadi dianggapnya pemuda gelandangan. Ia tak menyangka kalau Pendekar Pedang Siluman Darahlah yang tengah ia hadapi. "Pantas kalau ia memiliki ajian Getih
Sakti," gumam Warakas dalam hati. Rasa sesal telah berani lancang membentak dan
memaki-maki Pendekar Pedang Siluman Darah, menjadi-kan Warakas seketika bersujud
meminta ampun. "Ampuni segala tindakanku yang tak tahu sopan
santun, Tuan Pendekar!"
"Ah, sudahlah. Semua bagiku tak jadi apa. Sekarang yang penting kau harus mau
menerima gadis itu."
"Tapi...."
"Jangan kau ingkar janji, Warakas. Apakah kau
ingin aku mengatakannya pada patihmu ini tentang
segalanya?" potong Jaka dengan agak sedikit gusar demi mendengar Warakas hendak
kembali tak mengakui bahwa ia tak bertindak pada Sulastri. "Bagaimana, Warakas"
Kau tinggal pilih. Aku katakan semuanya
pada saudara Sodra Jumawa, atau kau mau mengakui
segalanya dan menyusul Sulastri?"
"Ba... baiklah, Tuan Pendekar. Aku akan menyusulnya." "Bagus! Sekarang susullah olehmu, mumpung Sulastri belum lama pergi."
Dengan tanpa banyak menentang lagi Warakas
pun segera menuruti apa yang dikatakan Jaka. Bergegas Warakas mengambil kuda dari kandangnya, lalu
setelah menghormat pada Jaka dan Patih Sodra Jumawa, Warakas pun segera hentakkan kudanya melaju untuk menyusul kepergian Sulastri.
Setelah kepergian Warakas menyusul Sulastri,
Sodra Jumawa segera mengajak Jaka untuk mampir
ke rumahnya. Maka kedua orang sahabat itu pun segera berlalu meninggalkan rumah Warakas menuju ke
rumah Sodra Jumawa.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan Warakas" Tadi kau menyebut-nyebut nama
seorang gadis, ada apakah dengan gadis itu sama Warakas?" tanya Sodra Jumawa sembari melangkah
pada Jaka yang hanya tersenyum-senyum.
"Biasa urusan anak muda. Mereka dulu pernah
menjalin cinta, dan... ya. itulah. Karena merasa cinta itu agung, sehingga si
gadis tak memikirkan apa yang bakal terjadi. Diserahkan segala yang ada pada
dirinya termasuk kehormatan yang seharusnya dijaga."
Terbelalak mata Sodra Jumawa mendengar penuturan Jaka Ndableg. Giginya seketika bergemerutuk
menahan marah. Bagaimana tidak, Warakas yang dianggapnya baik tata kramanya, ternyata telah berbuat yang menjijikkan.
"Kurang ajar, anak itu! Dia pantas dihukum!"
"Jangan, saudara Sodra. Bila itu terjadi, maka makin tak menentu tindakannya.
Biarlah Warakas
sendiri yang menyelesaikannya dengan Sulastri, toh
dia kini tengah mengejar dan mau mengakui segala
kesalahannya. Sebagai seorang pimpinan, kau tak per-lu terlalu keras pada
bawahan," cegah Jaka.
"Tapi dia sudah keterlaluan, saudara Jaka.
Bayangkan, bagaimana mungkin seorang pimpinan
prajurit mempunyai watak seperti itu" Jangan-jangan, seluruh gadis di kerajaan
ini akan habis olehnya."
Jaka tersenyum mendengar ucapan sahabatnya.
Ia memaklumi betapa Sodra Jumawa yang bijaksana
Pedang Langit Dan Golok Naga 20 Perguruan Sejati Karya Khu Lung Dendam Empu Bharada 41

Cari Blog Ini