Ceritasilat Novel Online

Gadis Buronan 2

Pendekar Pulau Neraka 12 Gadis Buronan Bagian 2


Praba menghunjamkan pedangnya ke arah dada si Muka
Mayat "Mampus kau! Hiyaaat..!"
Cleb! "Aaakh...!" si Muka Mayat menjerit keras melengking.
Darah langsung muncrat begitu pedang Ki Praba ditarik keluar. Dan laki-laki
setengah baya itu belum juga puas meskipun lawannya sudah menggelepar meregang
nyawa Maka dibabatkan pedangnya ke arah leher, hingga kepala si Muka Mayat terpisah
dari tubuhnya. 'Tamat riwayatmu, Muka Mayat!" desis Ki Praba diiringi desahan napas panjang.
Ki Praba memasukkan kembali pedangnya ke dalam
sarungnya di punggung. Kakinya melangkah menghampiri Jantar, yang sudah berdiri
tegak mengatur jalan napasnya.
Sebentar mereka saling berpandangan, kemudian melangkah menuju ke Desa
Pekacangan yang tidak berapa jauh lagi.
Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi.
Tapi tiba-tiba saja Jantar berhenti melangkah, lalu menatap tajam pada Ki Praba.
Dan Ki Praba juga menghentikan langkahnya. Agak heran juga laki-laki setengah
baya ketika melihat tatapan mata yang begitu tajam menusuk.
"Ada apa, Jantar?" tanya Ki Praba.
"Benarkah yang dikatakan si Muka Mayat tadi, Ki?" Jantar balik bertanya.
Suaranya datar, bernada minta penjelasan.
"Kata-kata yang mana?"
'Tentang Rara Wanti. Benarkah dia bukan anakmu?"
"Ha ha ha...!" Ki Praba tertawa terbahak-bahak.
"Benar Rara Wanti bukan anakmu, Ki?" tanya Jantar mengulangi pertanyaan. Ada
sedikit tekanan pada nada suara pemuda itu.
'Tidak usah kau hiraukan, Jantar. Rara Wanti itu anakku,"
jelas Ki Praba seraya menepuk bahu kanan pemuda itu.
'Tapi kenapa kau akan membunuhnya?" tanya Jantar meminta penjelasan.
"Bagiku seorang pengkhianat harus dibunuh, tidak peduli apakah anak atau bukan!"
tegas jawaban Ki Praba.
Jantar terdiam. Jawaban tegas itu membuatnya teringat peristiwa beberapa tahun
yang laki. Ki Praba memenggal istri ketiganya tanpa bergeming sedikit pun.
Padahal hanya karena istri ketiganya berbicara berdua dengan seorang lelaki di
tegalan. Bahkan tega-teganya Ki Praba memancung kepalanya di atas tonggak bambu
selama tujuh hari. Katanya, itu sebagai peringatan bagi yang lain agar berpikir
dua kali kalau ingin mengkhianatinya. Tapi, benarkah Rara Wanti berkhianat"
Jantar sendiri tak mengerti. Masalahnya hanya sepele. Rara Wanti kabur dari
rumah karena tak ingin terus-menerus dijadikan barang pajangan untuk pertarungan
yang selalu di ngkari Ki Praba. Sudah beberapa kali Ki Praba mengadakan adu
kepandaian jago-jago rimba persilatan, yang berhadiah seribu keping uang emas
ditambah boleh memboyong Rara Wanti. Hadiah yang menggiurkan, tapi Ki Praba tak
pernah menepatinya Tentu saja hai ini membuat mereka yang sudah menang jadi
sakit hati, termasuk si Muka Mayat tadi. Juga, Ki Sampar Watu dan Kebo Ireng.
Mereka berusaha untuk
mengambil Rara Wanti dan membunuh Ki Praba, tapi selalu gagal. Hingga sekarang
ini, Rara Wanti jadi seorang gadis buronan.
"Ayo, jalan lagi," ajak Ki Praba Jantar kembali melangkah meskipun jawaban yang
diberikan Ki Praba belum memuaskan hatinya.
Tapi hal itu tidak berani ditanyakannya lagi. Masalahnya, sedikit saja Ki Praba
merasa tersinggung, kepala Jantar bisa terpisah seketika.
"Jantar, bagaimana kalau kutawarkan Rara Wanti untukmu?" ujar Ki Praba setelah lama terdiam.
"Ah, Ki Praba bergurau," desah Jantar tidak percaya.
"Syaratnya hanya satu. Itu pun kalau kau terima, Jantar,"
kata Ki Praba lagi.
"Rara Wanti terlalu cantik untukku, Ki Lagi pula dia tidak bakal mau."
"Semua bisa diatur, Jantar. Aku hanya menginginkan agar kau membunuh laki-laki
yang sekarang bersamanya. Hanya itu," tegas Ki Praba lagi.
"Lalu, bagaimana kalau Rara Wanti menolak?"
"Paksa!', "Apa...?"
"Ha ha ha...!" Ki Praba tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Jantar yang
memerah tersipu malu.
Bicara Ki Praba memang selalu blak-blakan. Bahkan terlalu gamblang, tidak
mempedulikan perasaan orang lain. Meskipun usianya sudah cukup, tapi Jantar
belum pernah sekali pun bergaul dengan seorang gadis. Apalagi untuk memaksakan
kehendaknya pada wanita. Memang diam-diam Jantar selalu mengimpikan bisa
menyunting Rara Wanti. Bahkan sering juga mengintip gadis itu jika mandi di
sungai, atau berganti pakaian di kamarnya. Tapi hanya segitu saja keberaniannya.
Tidak lebih! Jika sekarang mendapat tawaran demikian, maka Jantar merasakan seperti mendapat
durian runtuh. Sudah lama di nginkan tawaran seperti itu Dan secara jujur
hatinya selalu berdebar jika ada seorang jago yang seharusnya berhak
memboyong Rara Wanti. Tapi akhirnya dia selalu dapat menarik napas lega, karena
sampai saat ini belum ada seorang laki-laki pun yang dapat memboyong Rara Wanti.
Hanya saja gadis itu kini bersama laki-laki lain. Dan itu pun setelah Rara Wanti
menjadi gadis buronan secara terbuka.
"Bagaimana, Jantar. Kau terima?" desak Ki Praba.
"Sulit untuk menjawabnya, Ki!" Jantar masih merendahkan diri.
"Tidfek perlu dijawab. Asal kau tunjukkan keinginanmu, aku sudah bisa mengerti.
Pokoknya, bunuhlah laki-laki itu, kemudian kau boyong putriku. Kemudian kita
bisa kembali ke Desa Munding, dan menguasai desa itu selamanya. Ha ha ha...!"
Jantar hanya tersenyum dikulum. Meskipun senang, tapi hati kecilnya masih
diliputi keraguaa Bukan satu atau dua tahun bersama Ki Praba. Tentu sudah kenal
betul wataknya.
Bisa saja dia bertarung mati-matian, tapi hati kecilnya melarang untuk lebih
banyak lagi mengharap. Tidak akan mungkin Rara Wanti bisa didapat kecuali dibawa
pergi, dan bersama-sama menjadi buronan Ki Praba. Itu pun kalau Rara Wanti mau.
Sulit bagi Jantar untuk bisa bergembira dulu sekarang ini.
*** Sementara itu, tidak jauh dari Desa Pekacangan, Bayu
Hanggara tengah disibuki tingkah Rara Wanti yang selalu membuntuti dan ingin
ikut bersamanya. Bukannya tidak melihat kecantikan dan kemolekan gadis itu, tapi
Bayu tahu kalau ada seorang pemuda yang lebih berhak terhadap Rara Wanti. Dan
hal ini sudah diutarakan pada Nyai Supit untuk mengembalikan Rara Wanti pada
Awijaya. "Ini kan jalan ke Desa Munding...," gumam Rara Wanti begitu mengenali jalan yang
ditempuhnya. "Memang," sahut Bayu kalem.
"Mau apa ke sana?" Rara Wanti membeliak, dan langsung berhenti melangkah.
"Aku ada janji dengan seseorang di sana," sahut Bayu masih tetap kelem.
"Janji sama siapa?" tanya Rara Wanti. Nada suaranya sedikit ditekan.
"Teman," sahut Bayu singkat, seraya kembali melangkah.
"Wanita?" tebak Rara Wanti kembali berjalan di samping Pendekar Pulau Neraka
itu. "He-eh."
"Cantik?"
Bayu tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja. Dari nada suaranya, Bayu sudah
bisa menebak apa yang diingini gadis ini. Tapi justru itulah yang tidak di
nginkannya. Bayu selalu menjaga jarak, meskipun beberapa kali sikap Rara Wanti
seperti sengaja memancingnya.
"Cantik mana dia denganku?"
Terkejut juga Bayu mendengar pertanyaan itu, sehingga langsung berhenti
melangkah. Ditatapnya dalam-dalam bola mata yang bulat, bening dan indah itu.
Rara Wanti bukannya memalingkan muka, tapi malah membalasnya dengan tajam pula.
Sepertinya gadis ini sudah nekad, sehingga tidak bisa lagi memendam terus
perasaannya pada pendekar muda yang tampan dan sangat tinggi kepandaiannya ini.
Memang sudah menjadi wataknya bahwa Rara Wanti selalu mengagumi
pemuda yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Terlebih lagi pemuda itu berwajah
tampan dan tegap berisi.
"Sudah sore, sebaiknya kita cari tempat bermalam," kata Bayu tidak ingin
melanjutkan. "Kau belum menjawab pertanyaanku, Kakang," desak Rara Wanti.
"Nanti juga kau akan tahu...," ucapan Bayu terputus.
Telinga Pendekar Pulau Neraka yang tajam dan terlatih, tiba-tiba mendengar
langkah kaki yang halus, tidak beberapa jauh dari tempat ini Tanpa membuangbuang waktu lagi, Bayu menarik tangan Rara Wanti, dan langsung melompat tinggi
ke atas. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Pendekar Pulau Neraka itu hinggap
bersama Rara Wanti di atas dahan yang tinggi.
"Ada apa?" bisik Rara Wanti.
"Ssst...!" Bayu menutup bibir gadis itu dengan jari telunjuknya.
Rara Wanti malah memegang jari itu dan menciumnya
lembut. Sejenak Bayu menatap, kemudian menarik tangannya tanpa membuat hati
gadis itu tersinggung. Dan belum lagi Rara Wanti mengucapkan sesuatu, terlihat
dua orang laki-laki berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Hampir saja Rara Wanti memekik begitu mengenali dua orang yang berjalan di bawah
pohon ini. Untung saja Bayu cepat-cepat membekap mulutnya. Dua orang laki-laki
itu terus saja berjalan cepat tanpa ada suara sedikit pun yang ditimbulkannya.
Bayu baru melepaskan bekapannya setelah kedua orang itu tidak terlihat lagi.
"Ayah..., mau apa dia?" tanya Rara Wanti untuk dirinya sendiri.
"Arahnya ke Desa Pekacangan," kata Bayu.
"Ayah pasti ke rumah Paman Praraga. Celaka, Bayu!"
sentak Rara Wanti langsung pucat wajahnya.
"Kenapa?" Bayu menatap dalam-dalam bola mata gadis itu.
"Paman Praraga sangat tinggi ilmunya, dan kejam sekali.
Dia satu-satunya kerabat Ayah yang tidak pernah menyukaiku," jelas Rara Wanti singkat
"Hm..., Pasti ada sebabnya, bukan?" gumam Bayu.
"Ya. Aku telah menolak pinangan anaknya."
"Kenapa?"
"Aku tidak suka terhadap laki-laki lemah. Sekali pukul saja pasti sudah mampus.
Dia kutu buku, lebih senang mempelajari ilmu sastra dari pada ilmu olah
kanuragan. Lagaknya saja seperti perempuan!" terdengar sengit nada suara Rara
Wanti. "Tidak kusangka! Ternyata begitu banyak laki-laki yang menyukaimu, Rara Wanti,"
ujar Bayu tersenyum tipis.
"Huh! Aku benci mereka semua. Hanya melihati dari kecantikan saja. Mereka
memilikiku bukan karena cinta dan kasih sayang, tapi karena napsu. Aku tidak
suka laki-laki seperti itu."
'Tapi masih ada yang mengharapkanmu bukan karena
napsu, tapi didasarkan pada cinta yang tulus dan mumi,"
potong Bayu cepat.
Rara Wanti menatap dalam-dalam pemuda itu. Tanpa
berkata apa-apa lagi, dia melompat turun. Gerakannya sungguh ringan dan indah.
Jelas, gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Bayu bergegas
mengikuti, dan menjejak tanah hampir berbarengan dengan gadis itu.
"Aku berharap orang itu juga memiliki kepandaian yang sangat tinggi Bukan hanya
cinta yang kubutuhkan, tapi perlindungan dari seorang laki-laki jantan,
pemberani, dan berkepandaian tinggi," mantap kata-kata Rara Wanti.
"Kalau ternyata tidak ada laki-laki seperti harapanmu?"
Bayu coba ingin tahu.
"Lebih baik tidak kawin."
"Ha ha ha...!" Pendekar Pulau Neraka tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa tertawa?" rungut Rara Wanti mem-berengut
"Aku tidak yakin kalau kau berkata sungguh-sungguh, Rara," sahut Bayu masih
tersenyum. "Aku serius!"
'Tidak ada di dunia ini yang memiliki kepandaian tinggi dan tidak terkalahkan.
Gunung yang begitu tinggi, tapi masih ada yang lebih tinggi lagi. Begitu juga
kepandaian manusia. Tidak ada orang yang lebih tinggi dan sempurna segalagalanya Walaupun hanya sekecil biji sawi, pasti ada kekurangannya.
Begitu juga kau, Rara Wanti. Kau cantik, menarik, dan selalu menggairahkan.
Bahkan juga cerdas, berani, tangkas, dan berkemampuan tinggi. Tapi di balik
kesempurnaannya pasti ada kekurangan yang mungkin saja tidak kau sadari.
Termasuk juga aku," kata Bayu.
"Huh! Filsafat lagi. Aku bosan mendengar segala macam filsafat!" dengus Rara
Wanti. "Bukannya Filsafat, tapi untuk cermin kehidupan."
Rara Wanti mengangkat bahunya, kemudian me-langkah
kembali. Pendekar Pulau Neraka mengikuti berjalan di samping gadis itu. Tak ada
kata-kata lagi yang terucap. Tapi di dalam hati Rara Wanti, semakin mekar rasa
kagumnya pada Bayu Hanggara. Dia me mang tidak pernah menyukai kata-kata
filsafat kehidupan. Tapi setiap kali Bayu yang mengucapkan! selalu menyentuh
sanubarinya. Dan setiap kali itu pula rasa kagumnya bertambah. Rara Wanti tidak
dapat mengelak kalau sudah jatuh hati pada Pendekar Pula! Neraka ini.
*** Malam sudah larut, jatuh ke dalam pelukan bumi.
Kegelapan menyelimuti sebagian permukaan bumi Bulan
bersinar penuh cahayanya begitu lembut, mencoba menghalau kegelapan.
Bintang-bintang
bergemerlapan menambah semaraknya angkasa yang kelam menghitam. Bayu duduk memeluk lutut menghadapi api
unggun kecil di bawah
sebatang pohon beringin. Di sampingnya duduk Rara Wanti.
Kebisuan menyelimuti mereka berdua. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
Sesekali Rara Wanti melirik pemuda tampan di sampingnya. Pelahan gadis itu
menggeser tubuhnya agar lebih merapat lagil Semakin rapat, semakin berkurang
jarak di antara mereka. Bayu menoleh begitu merasakan sentuhan kulit yang halus
lembut pada tangannya.
"Dingin, ya...," desah Rara
Wanti seraya memandangi wajah Pendekar Pulau Neraka
"Hhh...!"
Bayu hanya menghembuskan napas panjang. Bayu hanya diam saja saat
Rara Wanti menjatuhkan kepala
di bahunya. Bahkan tangan
gadis itu melingkar memeluknya
erat Darah dalam tubuh Pendekar Pulau Neraka itu serasa lebih cepat mengalir.
Bahkan jantungnya juga berdetak kencang tidak menentu.
Bayu menggeser duduknya, lalu mengangkal kepala gadis itu dengan jari menopang


Pendekar Pulau Neraka 12 Gadis Buronan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dagu yang runcing.
"Kenapa" Kau tidak suka aku sedikit bermanja"' lembut suara Rara Wanti.
Bayu tidak bisa menjawab. Secara jujur, hatinya memang tertarik melihat
kecantikan gadis ini. Tapi mengingat ada seorang pemuda yang begitu
mencintainya, dan rela
berkorban apa saja untuk memperoleh cintanya kembali, Bayu
harus bisa menekan segala perasaannya sendiri. Selama beberapa kali ke Desa
Munding, dia tahu semua yang terjadi dari Nyai Supit Wanita gemuk yang begitu
ramah dan mengetahui semua yang terjadi di desa itu.
Bayu mempercayai wanita itu, karena selalu berterus terang dan menjawab semua
pertanyaannya apa adanya.
Terlebih lagi setelah menyangkut persoalan yang melibatkan Rara Wanti. Bayu pun
tahu hubungan yang pernah terjadi antara Rara Wanti dengan Awijaya. Dia juga
sudah tahu pemuda itu, meskipun belum pernah bertegur sapa. Pernah sekali Bayu
mencoba mempertemukan keduanya, tapi gagal.
Masalahnya Rara Wanti tidak ingin menemuinya, bahkan kelihatan membencinya.
Pendekar Pulau Neraka itu tersentak kaget ketika tiba-tiba dirasakan satu
kecupan lembut mendarat di bibirnya. Dan lebih kaget lagi begitu menyadari kalau
Rara Wanti sudah melingkarkan
tangannya ke leher. Bayu berusaha melapaskannya, tapi pelukan gadis itu demikian kuat Bahkan kini mulut mereka
sudah menyatu rapat
"Rara...," desah Bayu begitu Rara Wanti melepaskan mulutnya dari bibir pemuda
itu. "Kenapa" Kau belum pernah bercinta?" tetap lembut nada suara Rara Wanti.
"Bukan. Bukan itu masalahnya," bantah Bayu dengan nada tegas.
"Lalu" Apa aku tidak pantas bercinta denganmu?" Rara Wanti semakin berani.
Memang tidak bisa lagi ditahan geloranya yang mengaduk-aduk seluruh rongga
dadanya. Untuk sesaat Bayu tidak bisa menjawab. Ditelan ludahnya untuk membasahi
kerongkongannya yang kering mendadak.
Dipandanginya wajah yang begitu dekat Sedemikian dekatnya, sehingga desah napas
Rara Wanti terasa hangat menerpa kulit wajah Pendekar Pulau Neraka.
Rara Wanti menggerakkan tubuhnya sedikit. Entah
disengaja atau tidak, belahan baju pada bagian dadanya sedikit terbuka. Tentu
saja dua buah tonjolan yang ranum terbalut kulit putih sedikit tampak oleh mata
telanjang. Bayu tidak bisa mencegah matanya untuk melirik ke arah
pemandangan indah itu. Dadanya semakin keras berdebar.
Beberapa kali ditelan ludahnya untuk membasahi tenggorokan yang terasa semakin
kering kerontang.
"Peluk aku, Kakang. Cumbulah sepuasmu...,! desah Rara Wanti agak tertahan
suaranya. Bayu jadi serba salah. Pikirannya kacau tidak menentu. Ada dua kutub yang saling
bertentangan, dan begitu kuat menarik dirinya. Pendekar Pulau Neraka itu tidak
mampu lagi menolak saat jari-jari tangan yang lentik dan halus menggerayangi
tubuhnya. Dan pertahanan Bayu semakin rapuh begitu Rara Wanti secara sengaja
menyingkap pahanya.
"Ah...," Bayu mendesah panjang melihat sebentuk daging putih yang mulus dan
indah tanpa cacat, Tangannya tak mungkin bisa ditahan lagi.
Rara Wanti mendesis lirih merasakan halusnya belaian tangan Pendekar Pulau
Neraka pada bagian pahanya yang gempal. Semakin lama jari-jari tangan itu
semakin merayap naik. Hilang sudah pertahanan Baya Dibaringkan tubuh Rara Wanti
dengan lembut, dan melumat bibir gadis itu disertai gairah yang menggelegak
dalam dada. Rara Wanti merintih, desis, dan menggeliat-geliatkan tubuhnya.
"Oh..., Kakang...," desis Rara Wanti lirih.
*** 6 Bayu menggelinjang bangun ketika merasakan kehangatan pada tubuh yang tersiram
sinar matahari pagi. Bergegas dia bangkit duduk, dan merapihkan pakaiannya.
Pendekar Pulau Neraka itu menarik napas panjang. Tatapannya langsung tertuju
pada Rara Wanti yang tengah duduk, memanggang seekor ikan yang cukup besar.
Gadis itu tersenyum manis.
"Kau tidur nyenyak sekali," ujar Rara Wanti lembut
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja.
"Kenapa" Kok murung begitu?"
"Tidak apa-apa," sahut Bayu seraya bangkit berdiri.
Digerak-gerakkan tubuhnya untuk melemaskan otot-otot yang kaku.
"Kau kecewa semalam, Kakang?" pelan suara Rara Wanti Bayu tidak menyahuti, lalu
kembali duduk dan bersandar pada pohon beringin yang menaunginya dari sengatan
matahari. Dipandanginya gadis cantik tidak jauh di depannya.
Saat itu, Rara Wanti juga tengah menatap dengan sinar mata redup. Bayu menarik
napas panjang, seakan-akan ingin melonggarkan rongga dadanya.
Apa yang terjadi semalam, memang tidak pernah diduga sama sekali sebelumnya.
Sukar bagi Bayu untuk bisa
memahami. Desahan dan rintihan lirih Rara Wanti dalam pelukannya memang mampu
membangkitkan gairahnya
sebagai seorang laki-laki normal. Tapi yang sulit dimengerti, ternyata Rara
Wanti sudah.... Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dicobanya untuk melupakan
semua yang telah terjadi semalam.
"Ada apa, Kakang" Kenapa wajahmu murung begitu?"
tanya Rara Wanti seraya mendekati. Gadis itu duduk di depan Bayu, dan tidak lagi
mempedulikan ikan bakarnya.
"Seharusnya kau berterus terang semalam, Rara," desah Bayu menyesali.
"Kau menyesal karena aku sudah...."
"Tidak," potong Bayu cepat
"Lalu?"
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang. Sukar sekali lidahnya diajak berterus
terang. Rasanya tidak tega membuat hari gadis itu terluka.
"Aku tahu, kau menyesal kerena aku sudah tidak gadis lagi.
Iya, kan?" tebak Rara Wanti langsung. Ringan dan tidak ada nada bersalah pada
suaranya. "Kenapa sampai kau lakukan itu?" tanya Bayu pelan.
"Karena aku mencintainya. Aku tidak ingin ada laki-laki lain yang tidak kucintai
menjamah tubuhku! Yang penting aku rela melakukan untuknya. Jadi kalau sekarang
ini ada laki-laki lain yang menjamah tubuhku, aku tidak menyesal lagi. Karena
semua sudah kuserahkan padanya," tenang sekali kata-kata Rara Wanti.
"Kau mencintainya, tapi kenapa tidak menemui nya?" tanya Bayu ingin tahu.
"Dulu aku memang mencintainya, tapi sekarang tidak! Dia telah membuatku kecewa.
Tidak kusangkal kalau dia seperti laki-laki lain yang punya hati kecili dan
berjiwa kerdil. Merasa puas setelah merenggut dari menghirup manisnya madu, tapi
tidak lagi peduli dengan sepahnya. Aku dicampakkannya begitu saja bagai sampah
kotor tak berguna!" agak keras suara Rara Wanti.
"Kau yakin penilaianmu itu benar?"
"Yakin sekali! Tiga tahun kutunggu, tapi dia menghilang begitu saja Pertamanya
saja manis, berani berkorban
meskipun nyawa taruhannya. Ternyata dia hanya seorang pengecut yang tidak bisa
lepas dari lindungan ketiak ibunya!"
"Mungkin dia punya pertimbangan lain," Bayu terus memancing perasaan gadis ini.
"Pertimbangan.. " Pertimbangan apa" Dia lari bersama ibu dan
adiknya Padahal, ayahnya setengah mati mempertahankan nyawa dari orang-orang bayaran ayahku Seharusnya
dia membela, meskipun hanya memiliki kepandaian sedikit Aku lebih senang melihatnya mati membela hak dan kehormatan
orang tuanya, daripada ikut kabur mengungsi selama tiga tahun. Tanpa kabar,
tanpa berita sama sekali. Menghilang begitu saja. Tidak lagi menghiraukan diriku
yang terus-menerus menanti dan diliputi kecemasan, karena Ayah selalu
menjadikanku boneka pajangan dan piala
pertarungan. Kalau saja aku seorang wanita yang lemah, mungkin sudah dari dulu
bunuh diri. Tapi semua tidak kulakukan itu. Aku mau membalas perlakuan Ayah
padaku, meskipun aku tahu resikonya. Mari...!"
"Hm. Jadi itu sebabnya kau lari dari rumah?" Bayu mulai mengerti jelas
persoalannya sekarang.
"Masih banyak lagi. Tapi tidak bisa kuutarakan padamu, Kakang. Hanya satu yang
bisa kukatakan padamu, kalau aku ini sebenarnya bukan anak Ki Praba!"
"Oh...!" Bayu tersentak kaget.
"Sudah kuduga, kau pasti tidak percaya."
"Bagaimana kau bisa memastikan semua itu, Rara?" tanya Bayu ingin tahu.
"Banyak yang berkata seperti itu padaku. Salah seorang yang bisa kupercaya hanya
Nyai Supit. Meskipun suaminya mati dibunuh orang bayaran Ayah, tapi hatinya
tetap bersih. Tidak tersimpan dendam di harinya. Dialah yang menceritakan semua tentang
diriku. Dia tahu semuanya tentang diriku sejak
aku dilahirkan, lalu diambil Ki Praba, hingga sampai sekarang ini," jelas Rara
Wanti singkat. "Orang tuamu masih ada?" tanya Bayu.
"Hanya Ibu. Tapi aku juga tidak tahu di mani sekarang.
Ayah sudah meninggal sejak aku masih bayi Ki Praba jugalah yang membunuh. Sudah
lama Ki Praba menginginkan Ibu untuk jadi istrinya, sejak Ibu masih gadis. Tapi
Ibu memilih Ayah. Hal ini membuat Ki Praba tidak senang. Maka
dibunuhlah Ayah dan seluruh keluarga. Untungnya Ibu masih bisa menyelamatkan
diri bersama adik laki-lakinya, tapi tidak sempat membawaku. Ki Praba mengetahui
kalau aku bayi perempuan, lalu mengambil dan merawatku sampai besar...."
"Jadi Ki Praba itu masih dendam, dan ditumpahkan padamu. Begitu?" Bayu mulai
mengerti. "Benar semuanya harus kutanggung sendiri. Ki Praba selalu menambah ilmu dan
menyempurnakannya. Jago-jago rimba persilatan dianggap sebagai musuhnya. Dulu
sebelum memiliki ilmu olah kanuragan, semua orang yang punya selalu mencela dan
memandangnya rendah. Maka kini dilampiaskan dendam masa
mudanya dulu dengan mengundang jago-jago persilatan. Mereka diadu seperti ayam, dan aku sebagai taruhannya. Tapi semua
itu hanya akal liciknya saja. Ki Praba tidak pernah menyerahkan semua hadiah
yang dijanjikan, termasuk aku yang selalu dipertahankannya. Hatinya senang
sekali melihat orang-orang saling bunuh. Dia puas dapat mengadu orang-orang
berilmu. Dia gila, Kakang. Dia bukan lagi manusia waras."
"Aku tahu, Rara. Hanya saja yang tidak kumengerti, kenapa baru sekarang ini kau
memberontak" Kenapa tidak dari dulu saja?" tanya Baya
"Kau pikir mudah keluar dari sangkar emas itu" Ke mana saja aku pergi, selalu
diikuti tidak kurang dua puluh orang bersenjata lengkap."
"Lalu, bagaimana caranya bisa keluar tanpa diketahui?"
tanya Bayu lagi semakin ingin tahu.
"Dengan bantuan pelayanku. Dialah yang memberi jalan.
Aku menyamar menjadi dirinya, memakai pakaiannya,
menutupi kepala dan wajahku dengan kerudung. Aku bisa lolos tanpa mendapat
hambatan apa pun. Tapi kasihan, pelayan itu mari dipenggal lehernya. Memang hal
itu tidak kulihat, tapi semua orang berkata begitu. Dan aku hanya bisa melihat
mayatnya yang terpancang dengan kepala terpisah di tiang."
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang dan berat.
"Sekarang kau sudah tahu siapa dan bagaimana diriku sebenarnya. Aku tidak akan
marah atau tersinggung kalau kau membenciku.
Rasanya tidak ada salahnya jika aku menginginkan seorang laki-laki yang bisa menjadi pelindungku," kata Rara Wanti mengakhiri kisah hidupnya.
"Aku bisa mengerti, Rara," desah Bayu pelan.
'Terima kasih. Hanya kau satu-satunya laki-laki yang bersedia mengerti tentang
diriku," ujar Rara Wanti tersenyum tipis.
"Masih ada satu lagi."
"Oh...! Siapa?" Rara Wanti terkejut.
"Awijaya."
"Siapa..."!"
Sepanjang jalan Rara Wanti hanya membisu saja, meskipun Bayu sudah mengatakan
semua yang diketahuinya. Juga pertemuannya dengan Nyai Supit pun sudah
diceritakannya.
Juga semua cerita-cerita perempuan tua itu. Dia tahu tentang Awijaya juga dari
perempuan gemuk pemilik kedai dan rumah penginapan itu.
Bayu sendiri tidak bisa menebak, apa yang sedang terjadi dalam diri Rara Wanti
saat ini. Yang jelas, sekarang gadis itu hanya diam membisu seperti tidak
mendengar semua yang dikatakan Baya Ayunan kakinya pelahan, dan kepalanya selalu
tertunduk menekuri ujung jari kakinya di jalan setapak berumput kering.
"Bukan maksudku ingin mencampuri semua urusanmu, Rara. Terlebih lagi urusan
pribadimu. Aku hanya ingin mengatakan kalau, sebenarnya Awijaya selalu berjuang
untuk membebaskanmu dari cengkeraman Ki Praba. Dia sudah tahu semua tentang
dirimu, bahkan bertekad untuk mencari ibumu Selama Bga tahun ini diperdalam
kepandaiannya untuk menghadapi ayah angkatmu, dan membawamu pergi," kata Bayu
berusaha menyakinkan hati Rara Wanti.
"Kenapa kau katakan semua itu, Kakang?" tanya Rara Wanti seraya mengangkat
kepalanya, menatap jauh ke depan.
"Karena aku mengagumimu. Pokoknya aku tidak ingin kau merusak kekagumanku dengan
bersikap masa bodoh seperti itu," sahut Bayu mantap.
'Bukan karena kau iba padaku, Kakang?"
"Tidak! Aku tahu kau tidak suka dikasihani. Dan lagi aku memang tidak pernah
kasihan terhadap penderitaanmu
selama ini. Sama sekali tidak! Justru aku kagum akan ketabahanmu"
Rara Wanti menghentikan langkahnya. Diputar tubuhnya menghadap Pendekar Pulau
Neraka. Ditatapnya dalam-dalam wajah tampan di depannya, seakan-akan hendak
mencari sesuatu pada sorot mata yang selalu tajam itu.
"Kau berkata yang sebenarnya, Kakang?" pelan suara Rara Wanti.
'Tentu," sahut Bayu mantap.
"Sungguh?"
Bayu mengangguk pasti. "Oh, Kakang...."
Bayu jadi gelagapan begitu tiba-tiba Rara Wanti
memeluknya erat-erat. Ragu-ragu Bayu membalas pelukan itu.
Entah kenapa, mendadak saja dirasakan dadanya jadi longgar.
Harinya terasa lapang, bagal tersiram setetes air yang begitu menyejukkan. Tapi,
semua yang dirasakan itu hanya sesaat, karena tiba tiba saja terdengar suara
bentakan keras mengejutkan! "
Rara...! Keparat..!"
Rara Wanti langsung melepaskan pelukannya, lalu berbalik ke arah datangnya suara
bentakan tadi Tampak di situ berdiri seorang pemuda berwajah penuh luka dan
berewokan. Bajunya merah muda dengan sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Bayu juga
mengarahkan pandangannya ke sana, dan langsung mengenali pemuda itu.
"Kakang Awijaya...," desis Rara Wanti bergetar.
Rara Wanti jadi serba salah. Sebentar ditatapnya Awijaya, dan sebentar beralih


Pendekar Pulau Neraka 12 Gadis Buronan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada Pendekar Pulau Neraka. Entah kenapa, tiba-tiba. Sudah jelas kalau pemuda
itu tadi melihatnya tengah berpelukan.
"Kakang, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Rara Wanti memecah kebisuan yang
terjadi beberapa saat lamanya.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu, Rara!"
dingin nada suara Awijaya.
"Aku... aku tidak melakukan apa-apa," bergeta dan tergagap kata-kata Rara Wanti.
"Kau pikir mataku buta! Aku belum buta, Rara Aku belum tuli! Aku tahu semua yang
kau lakukan bersama keparat penculik itu!" Awijaya menuding Pendekar Pulau
Neraka. "Kau salah sangka. Aku tidak menculik Rara Wanti, Kisanak," sergah Bayu berusaha
tenang. "Diam! A ku tidak bicara denganmu!" bentak Awijaya kasar.
Bayu langsung diam, tapi tatapan matanya tajam menusuk.
"Sabar, Kakang. Akan kujelaskan semuanya padamu," kata Rara Wanti buru-buru.
"Tida ada yang perlu dijelaskan lagi, Rara. Menyesal aku bersusah payah, jauhjauh datang ke sini untuk menerima kekecewaan. Seharusnya aku tahu, kalau kau
memang bukan seorang gadis.... Ah! Keparat kau, Rara!" geram Awijaya.
"Kakang...!" sentak Rara Wanti memerah wajahnya.
Rara Wanti yang sudah mulai menyadari kekeliruannya tadi, dan mencoba untuk
bersikap sabar dan lunak, menjadi berang mendapat perkataan kasar itu. Wajahnya
merah padam, gerahamnya bergemelutuk menahan amarah. Tapi gadis itu masih
berusaha untuk tetap tenang. Semua kata-kata dan nasehat Pendekar Pulau Neraka
sudah merasuk dalam hatinya. Yang jelas, dia ingin menjadi seorang wanita yang
tabah, tenang, dan berpikiran luas.
"Minggir kau Rara! Aku sudah bersumpah
untuk memenggal siapa saja yang berada di belakangmu Termasuk kau, Pendekar Pulau
Neraka keparat!" keras dan lantang suara Awijaya.
Setelah berkata demikian, Awijaya langsung melompat secepat anak panah terlepas
dari busurnya! Tangan kirinya mendorong tubuh Rara Wanti, sedangkan tangan
kanannya melepaskan pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah Pendekar Pulau
Neraka "Ah...!" Rara Wanti terperanjat tubuhnya terdorong sejauh tiga batang tombak ke
belakang. Pada saat yang sama, Bayu Hanggara terkesiap. Kelihatannya sulit untuk
menghindari terjangan yang cepat dan tidak terduga itu. Pukulan yang keras
bertenaga dalam tinggi telak menghantam dadanya.
"Akh!" Bayu memekik tertahan. Tubuhnya terlontar cukup jauh.
Tiga batang pohon kontan tumbang terlanda tubuh
Pendekar Pulau Neraka itu. Namun dengan cepat Bayu
melompat bangkit berdiri. Bibirnya meringis merasakan nyeri pada tulang-tulang
rongga dadanya Tampak dari sudut bibirnya mengalir darah kental. Bayu menggerakgerakkan tangannya di depan dada untuk menyalurkan hawa murni agar rasa nyeri
yang menyesakkan dadanya terusir.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras, Awijaya sudah kembali I menerjang selagi Bayu berusaha
memulihkan kondisi tubuhnya. Meskipun rasa nyeri masih menghinggapi dadanya,
tapi Bayu cepat-cepat berkelit. Dibanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan
beberapa kail Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri, langsung
bersiap menghadapi serangan berikutnya.
Dan memang, Awijaya begitu cepat berbalik. Bahkan kini langsung menyerang
kembali dengan dahsyatnya. Setiap lontaran pukulannya mengandung tenaga dalam
yang cukup tinggi dan sangat berbahaya. Bayu harus sedikit berhati-hati.
Sudah dirasakan betapa hebatnya tenaga dalam yang dimiliki Awijaya, meskipun
masih kalah jauh bila dibandingkan dengannya. Kalau saja pukulan tadi mengenai
orang yang berkepandaian setingkat Awijaya, pati sudah tidak bisa bangun lagi.
Tapi untuk Pendekar Pulau Neraka, pukulan itu hanya mengakibatkan nyeri dan
sesak sebentar. Karena, secara naluriah tenaga dalam dan hawa mumi Pendekar
Pulau Neraka langsung bekerja begitu menerima hentakan tenaga dalam dari luar
tubuh. Meskipun tidak secara penuh kerjanya, tapi itu sudah membantu menjaga
perlindungan diri.
Pertarungan terus berlanjut semakin sengit. Namun dapat dilihat kalau Pendekar
Pulau Neraka hanya berkelit tidak membalas sama sekali. Sementara di tempat
lain, tampak Rara Wanti menyaksikan disertai perasaan cemas. Dia tidak
menginginkan salah satu dari kedua pemuda itu ada yang cedera.
*** 7 "Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Awijaya menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil berteriak
keras menggelegar. Tampak kedua telapak tangan pemuda berbaju merah muda itu
berwarna merah membara bagai terbakar.
"Hap!"
Secepat kilat Bayu menyatukan tangannya dalam jarinya terkepal rapat. Semua
tangannya menyatu rapat, sehingga kedua siku bertemu, ditekuk ke atas di depan
mukanya. Kedua kakinya terpentang lebar agak tertekuk. Kini dinantikan serangan
Awijaya yangl sudah meluncur deras dengan kedua tangan terbuka lebar ke depan.
"Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
"Glarrr...!"
Ledakan keras menggelegar terjadi begitu telapak tangan Awijaya membentur kedua
tangan Pendekar Pulau Neraka yang menyatu rapat di depan mukanya. Tampak tubuh
Awijaya terpental jauh hingga lima batang tombak. Dua pohon dan sebongkah batu
besar hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya.
Sementara itu Bayu masih tetap pada tempatnya, tidak bergeming sedikit pun.
Pelahan-lahan diturunkan tangannya, dan dirapatkan kakinya kembali. Matanya
lurus menatap Awijaya yang masih menggeletak di atas reruntuhan bebatuan yang
hancur terlanda tubuhnya.
"Kakang...!" jerit Rara Wanti langsung menghambur menghampiri Awijaya.
"Oh, Hughk...!"
Awijaya mengeluh pendek, kemudian berdahak memuntahkan darah kental. Rara Wanti menghambur
menubruk dan memeluk tubuh pemuda itu. Diangkat dan disandarkan tubuh pemuda itu
ke tubuhnya. Darah di mulut Awijaya dihapus dengan jari-jarinya yang lentik dan
halus. Sementara Bayu hanya memandangi saja, lalu pelahan-lahan melangkah menghampiri.
"Kakang...," rintih Rara Wanti lirih.
Bagaimanapun bencinya gadis itu pada Awijaya yang telah dianggap mengecewakan
dirinya, tapi benih cinta masih juga tertinggal di dalam hatinya. Tanpa dapat
dicegah lagi, Rara Wanti menitikkan air mata melihat keadaan Awijaya yang begitu
lemah. Napasnya tersengal pelahan, dan sinar matanya redup. Hampir tidak
bercahaya. Diangkat kepalanya, dan ditatapnya wajah cantik yang sudah dipenuhi
air mata itu. Sementara Bayu sudah berlutut di depan Rara Wanti.
"Rara...," lemah suara Awyaya.
"Oh.... Kenapa kau lakukan itu, Kakang" Aku mencintaimu, dan selalu mengharapkan
dirimu. Seharusnya kau dengarkan semua penjelasanku dulu," ratap Rara Wanti
menyesali. "Maafkan aku, Rara. Aku.... Hoekh...!"
"Kakang...!"
Rara Wanti menjerit, mengguncang-guncangkan tubuh
Awijaya yang sudah diam dengan kepala terkulai setelah memuntahkan darah kental.
Bayu segera meletakkan jari tangannya di leher dekat rahang pemuda berbaju merah
muda itu. "Hanya pingsan," ujar Bayu pelan.
"Oh, Kakang...," rintih Rara Wanti memeluk dan menciumi wajah Awijaya disertai
linangan air mata seperti tanggul jebol.
"Sudah, Rara. Biarkan dia berbaring. Aku akan menyadarkannya," bujuk Bayu lembut.
"Tolong sembuhkan, aku mencintainya. Jangan biarkan dia mati...," rintih Rara
Wanti seraya meijatap Baya
"Tenanglah. Akan kucoba menyembuhkannya," sahut Baya Rara Wanti melepaskan
pelukannya pada tubuh yang diam tak
bergerak-gerak lagi Bayu mengangkatnya, dan memindahkannya ke tempat yang teduh dan cukup nyaman.
Dibaringkan Awijaya di bawah pohon beringin. Sebentar jari-jari tangannya
bergerak lincah menotok beberapa bagian jalan darah di tubuh pemuda berbaju
merah muda itu.
Selagi Pendekar Pulau Neraka mencoba menyadarkan dan menyembuhkan luka dalam
Awijaya, Rara Wanti hanya duduk memandangi. Disusut air matanya dengan ujung
bajunya. Sesekali masih terdengar suara isaknya yang tertahan. Agak lama juga Bayu
menyadarkan Awijaya dari ketidaksadarannya.
Dan setelah Awijaya membuka matanya, baru Pendekar Pulau Neraka itu mencoba
menyembuhkan luka dalam pemuda itu
"Hoehk...!" lagi-lagi Awijaya memuntahkan darah kental, dan kali ini berwarna
kehitaman. Dua kali Awijaya memuntahkan darah kental; Dan pada muntahan yang ketiga,
kembali jatuh pingsan. Bayu
menyadarkan kembali dengan memberikan rangsangan pada urat-urat syarafnya.
Awijaya kembali sadar, belum bisa bergerak. Hanya matanya saja yang redup
memandangi wajah Rara Wanti dan Bayu secara bergantian. Sedikit pun tak terucap
kata, meskipun bibirnya bergetar.
"Kakang...," lirih suara Rara Wanti. Gadis itu menyeka darah yang masih melekat
di sekitar bibir Awijaya. Rara Wanti berusaha tersenyum, meskipun terasa hambar
dan bergetar. Pelahan-lahan tangan Awijaya terangkat, dan membelai pipi gadis itu.
"Oh...," Rara Wanti mendesah lirih. Gadis itu mendekati tangan itu dan
menciuminya. Pelahan sekali Awijaya
tersenyum. Matanya sebentar terpejam, kemudian kembali terbuka. Langsung
ditatapnya Bayu yang duduk bersila di samping kanannya! Pendekar Pulau Neraka
itu tersenyum dan menepuk punggung tangan Awijaya.
"Bersemadilah dengan berbaring," ujar Bayu lembut.
Awijaya tidak menyahuti, namun sinar matanya begitu banyak menyiratkan kata-kata
Bayu beranjak! bangkit berdiri dan melangkah menjauh, sengaja memberi kesempatan
pada Rara Wanti untuk berdua saja dengan kekasihnya.
*** Suatu suara mendesing
membangunkan Bayu dari
semadinya Pendekar Pulau Neraka itu menarik kepalanya ke belakang, maka sebatang
ranting kering melesat cepat di depan mukanya. Belum lagi Bayu menarik pulang
kepalanya, tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh.
"He he he...!"
Bayu kontan melompat berdiri. Sempat diliriknya ke arah Awijaya yang sudah bisa
duduk bersemadi di dampingi Rara Wanti. Gadis itu juga tampak terkejut, dan
menatap Pendekar Pulau Neraka. Suara tawa terkekeh masih juga terdengar
menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru.
"Hm...," Bayu menggumam pelahan.
Pendekar Pulau Neraka itu menggerakkan tangannya,
memberi isyarat agar Rara Wanti jangan bergerak. Gadis itu tidak jadi bangkit.
Sebentar ditatapnya Awijaya yang masih saja duduk bersemadi sambil memejamkan
mata. Raut wajah pemuda itu sudah kelihatan segar kembali, dan napasnya pun
sudah teratur baik. Rara Wanti kembali mengarahkan
pandangannya pada Pendekar Pulau Neraka. Seketika dia terkejut, karena tahu-tahu
di depan Bayu sudah berdiri
seorang laki-laki bertubuh gemuk bulat pendek bagai bola.
Kepalanya kecil gundul. Dia mengenakan jubah berwarna biru gelap yang hampir
menutupi seluruh tubuhnya. Rara Wanti kenai betul orang bulat seperti bola itu
Dia adalah Kebo Ireng.
Kulitnya memang hitam hangus seperti kayu terbakar jadi arang.
"Sungguh beruntung kau bisa memboyong Rara Wanti, anak muda," ucap Kebo Ireng
disertai tawanya yang terkekeh.
"Hm...," Bayu hanya menggumam tidak jelas.
'Tapi sayang, gadis itu sudah jadi milikku. Akulah yang pertama kafi
memenangkannya jauh sebelummu, anak muda,"
lanjut Kebo Ireng.
"Rara Wanti bukan milikku, juga bukan milikmu. Dia sudah punya calon suami!"
tegas Bayu. "He he he...! Siapa pun calon suaminya, harus berhadapan denganku dulu. Dia
sudah dipertaruhkan, dan akulah
pemenangnya!" sambut Kebo Ireng.
Merah padam wajah Rara Wanti. Kata-kata Kebo Ireng
sungguh merendahkan martabatnya sebagai seorang wanita.
Kalau saja Bayu tidak cepat-cepat memberi isyarat, pasti Rara Wanti sudah
melompat menerjang laki-laki gemuk bulat dan pendek bagai bola itu.
"Kisanak, calon suami Rara Wanti sedang sakit Jika tidak keberatan, aku akan
mewakilinya," kata Bayu tegas.
"He he he.... Kau terlalu muda untuk menandingiku, bocah," Kebo Ireng
meremehkan. "Dan kau terlalu jelek untuk Rara Wanti!" balas Bayu dingin.
"He he he.... Berani juga umbar bacot di depanku, bocah!"
agak memerah wajah Kebo Ireng.
"Mengapa tidak" Memecahkan kepalamu yang gundul saja aku berani!" tantang Bayu.
"Edaan.. phuih!" Kebo Ireng menyemburkan ludahnya.
"Bagaimana" Kau berani menghadapiku" Kalau tidak, lebih baik angkat kaki saja
sebelum kugantung," Bayu memanasi
"Bocah edan!" dengus Kebo Ireng menggeram. "Terima ini!
Hiyaaat..!"
Kebo Ireng langsung mengebutkan tangan kanannya ke
depan. Seketika dari balik lengan bajunya, meluncur beberapa benda kecil
berwarna hitam pekat.
"Hait...!"
Bayu segera memiringkan tubuhnya ke samping, dan
menariknya ke belakang. Lalu
cepat diangkat tangan
kanannya ke atas, sejajar kepala.
Slap! Slap...! Kebo Ireng membeliak melihat jarum-jarum hitamnya
menempel pada Cakra yang berada di pergelangan tangan kanan
pemuda itu. Dan belum lagi hilang dari keterkejutannya, mendadak saja Bayu mengibaskan tangan kanannya.
"Nih, kukembalikan barangmu!"
Wut! "Hup...!"
Kebo Ireng berlompatan menghindari jarum-ja-rumnya
sendiri yang berbalik arah menyerangnya. Senjata-senjata kecil hitam pekat itu
meluncur deras bagai kilat, melewati tubuh gemuk cebol yang berjumpalitan
menghindarinya. Dan begitu kakinya menjejak tanah, Bayu sudah melompat cepat
sambil melepaskan pukulan keras bertenaga dalam sempurna.


Pendekar Pulau Neraka 12 Gadis Buronan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kadal! Hih...!"
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Kebo Ireng. Segera diangkat tangannya untuk
menerima pukulan Pendekar Pulau Neraka itu. Tak dapat dihindari lagi, dua tangan
beradu.keras sehingga menimbulkan ledakan keras menggelagar.
"Akh...!" Kebo Ireng memekik tertahan.
Tubuh yang gemuk cebol seperti bola itu terpental sejauh satu batang tombak.
Sedangkan Bayu mendarat di bekas tempat Kebo Ireng berdiri tadi. Pendekar Pulau
Neraka itu melipat tangannya di depan dada.
"Bagaimana, Cebol?" ejek Bayu disertai senyuman sinis.
"Huh!" Kebo Ireng mendengus berat Sebentar digerak-gerakkan tangannya di depan
dada. Kemudian sambil
berteriak keras, Kebo Ireng melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Kali ini
laki-laki gemuk pendek itu tidak lagi memandang enteng pada anak
muda lawannya ini.
Pertarungannya kini pun mempergunakan jurus-jurus yang aneh, tapi sangat dahsyat
dan mengandung tenaga dalam tinggi. Namun Pendekar Pulau Neraka hanya
melayaninya dengan tenang.
Beberapa kali serangan balik Bayu Hanggara membuat
Kebo Ireng harus berjumpalitan dan bergelimpangan di tanah untuk menghindarinya.
Bahkan tidak jarang dia memekik keras menerima pukulan atau tendangan yang keras
bertenaga dalam tinggi. Walaupun Bayu mengerahkan tenaga dalamnya tidak penuh
tapi sudah membuat Kebo Ireng
kerepotan setengah mati
Jurus demi jurus dilalui cepat Dan Kebo Ireng menyadari kalau tidak mungkin
dapat mengungguli pemuda itu. Hingga pada satu kesempatan, laki-laki bulat
pendek itu melompat mundur. Tampak seluruh wajahnya memerah bersimbah
keringat. Napasnya mendengus-dengus bagai kuda baru saja habis dipacu cepat.
"Kenapa berhenti?" tegur Bayu diiringi senyum lebar. Dilipat tangannya di depan
dada. "Anak muda, siapa namamu?" Kebo Ireng malah balik bertanya.
"Bayu. Tapi aku lebih dikenal dengan nama Pendekar Pulau Neraka," sahut Bayu
kalem. "Pendekar Pulau Neraka...!" sentak Kebo Ireng membeliak matanya.
"Kenapa" Kau seperti melihat hantu saja."
"Kisanak, sebaiknya persoalan ini dilupakan saja. Aku mohon diri," ujar Kebo
Ireng seraya membungkukkan badannya.
Bayu jadi keheranan, tapi membalas juga penghormatan Kebo Ireng dengan
membungkuk sedikit.
'Tunggu...!" cegah Bayu begitu Kebo Ireng ber-balik.
Laki-laki cebol seperti bola itu memutar tubuhnya kembali
"Rasanya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Kisanak.
Akan kukatakan pada yang lain untuk tidak mengganggu Rara Wanti lagi. Aku
mengaku kalah, dan berjanji akan menghadapi siapa saja yang mencoba mengganggu
Rara Wanti. Saat itu juga dia menjadi anak angkatku," jelas Kebo Ireng tegas
sebelum Bayu mengucapkan sesuatu.
Dan belum juga Bayu membuka suaranya, laki-laki gemuk cebol itu sudah melesat
cepat. Begitu cepatnya, tahu-tahu sudah lenyap dari pandangan mata., Bayu
menarik napas panjang, lalu menoleh begituJ mendengar suara langkah kaki
menghampiri. Tampak Rara Wanti berjalan tergesa-gesa mendekati.
"Jangan katakan apa-apa. Kau sudah dengar semua kata-katanya tadi," kata Bayu
mendahului. "Tapi bukan hanya dia yang berusaha merebutku, Kakang,"
ada nada kecemasan dalam suara Rara Wanti.
"Mudah-mudahan saja janjinya ditepati," katai Bayu.
"Aku tidak percaya, Kakang. Bisa saja dia gentar begitu mengetahui namamu, tapi
akan datang lagi untuk merebutku setelah kau tidak ada. Dia itu licik dan kejam,
Kakang." "Janji seorang tokoh persilatan harus dipegang kuat. Dia tidak akan mendapatkan
tempat dalam dunia persilatan jika melanggar janjinya sendiri. Aku percaya
dengan kata-katanya tadi."
"Kalau ingkar janji, bagaimana?"
"Aku yakin, Awijaya akan melindungimu," sahut Bayu.
"Tentu...!" tiba-tiba ada suara dari arah belakang.
"Kakang...!" desis Rara Wanti.
**** Rara Wanti bergegas menghampiri Awijaya yang sudah
selesai bersemadi, tapi masih tetap duduk bersila. Bayu juga melangkah
menghampiri, dan duduk bersila di depannya.
Sedangkan Rara Wanti berada di sisi Awijaya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Bayu.
'Terima kasih," ucap Awijaya. "Aku merasa malu pada diriku sendiri."
"Ah, sudahlah. Anggap saja itu hanya kejadian kecil," desah Bayu.
"Tapi sangat berharga bagiku. Merupakan satu pelajaran yang tidak pernah
kulupakan."
Bayu tersenyum meringis. Entah kenapa, dirasakan ada kelainan pada dirinya. Di
sini, dia rasanya benar-benar seorang pendekar. Tidak tega rasanya menjatuhkan
tangan kejam pada lawan. Bahkan selalu saja bisa ditahan
kesabarannya, meskipun darah sudah menggelegak mendidih.
Mungkin juga karena dirinya sudah banyak menerima
pelajaran dari beberapa tokoh golongan putih yang sempat ditemui, sehingga
membentuk pribadi baru dalam dirinya.
Atau mungkin juga karena pengaruh Rara Wanti. Entahlah!
Yang jelas Bayu merasa adanya keganjilan pada dirinya saat ini. Ya..., sejak
bertemu Rara Wanti tiga bulan yang lalu.
"Apa rencana kalian selanjutnya?" tanya Bayu.
Awijaya tidak langsung menjawab. Demikian pula Rara Wanti. Mereka malah saling
berpandangan, dan masing-masing melemparkan senyuman. Kemudian sama-sama
berpaling menatap Pendekar Pulau Neraka. Bayu merasakan adanya siratan lain dari
tatapan mata Rara Wanti, tapi sulit untuk mengartikannya.
"Mungkin aku akan berkelana mencari ibu kandung Rara Wanti Setelah itu, terserah
dia sendiri," kata Awijaya seraya melirik gadis di sampingnya.
"Kok, terserah aku sih...?" Rara Wanti merasa tidak enak.
Mereka tertawa lepas bergerai. Dan memang baru hari ini bisa tertawa begitu
lepas, setelah menghadapi berbagai macam peristiwa yang membuat otak terasa
kaku, dan otot mengejang. Mereka kemudian mengisi dengan pembicaraan ringan.
Sesekali terdengar tawa kalau ada hal-hal yang lucu.
Sementara hari terus merambat semakin tinggi. Dan siang pun berlalu, berganti
senja. Suasana mulai meremang. Sebentar lagi malam akan datang menjelang.
"Rara, bagaimana dengan ayah angkatmu?" tanya Bayu tiba-tiba
Rara Wanti tidak langsung menjawab, tapi malah menatap Awijaya yang juga
menatapnya. "Maaf, bukannya hendak mencampuri urusan pribadi kalian berdua. Masalahnya aku
banyak mendengar tentang Ki Praba.
Dan rasanya tidak mungkin membiarkan kalian berdua
menghadapinya. Menghindar pun rasanya tidak akan
membuat tenang. Ki Praba pasti akan mencari kalian sampai kapan pun. Terlebih
lagi kau sudah membakar tempat
tinggalnya, Awijaya," kata Bayu.
Awijaya memang sudah menceritakan semua peristiwa
yang dialami. Juga dikabarkannya tentang kematian Nyai Supit. Meskipun malam itu
gelap, tapi masih sempat melihat dan mengenali Jantar. Dia memang salah seorang
yang keluar cepat dari kamar Nyai Supit Hanya dua orang, dan yang pasti seorang
lagi adalah Ki Praba.
Dan belum sempat ada yang membuka suara lagi, tiba-tiba mereka dikejutkan suara
langkah dahsyat menggelegar. Bumi rasanya berguncang hebat. Ketiga anak muda itu
langsung melompat bangkit Belum lagi hilang rasa terkejut, mereka kembali
dikejutkan oleh munculnya puluhan anak panah dari segala penjuru.
"Awas panah...!" seru Bayu keras.
Ketiga anak muda itu berlompatan. Awijaya serta Rara Wanti langsung mencabut
pedangnya. Sedangkan Bayu hanya mengandalkan kelincahan dan kecepatan gerak
tubuh saja menghindari hujan panah itu.
Hanya sebentar memang hujan panah itu, tapi cukup
membuat repot juga. Mereka berdiri saling beradu punggung.
"Jangan berpisah dariku," bisik Bayu.
"Baik,' sahut Rara Wanti dan Awijaya berbarengan.
Bayu segera menggerak-gerakkan tangannya, lalu kakinya dibuka agar terpentang
lebar sedikit tertekuk. Kemudian, dihentakkan tangannya ke samping lebarlebar.
Tiba-tiba saja bertiup angin kencang, yang semakin lama semakin dahsyat.
Pohon-pohon mulai tercabut dan beterbangan. Batu-batu terangkat ke udara. Di
antara deru angin topan yang dahsyat itu, terdengar suara jeritan melengking
saling sahut Disusul beterbangannya tubuh-tubuh manusia.
Cukup lama juga Bayu mengerahkan ajiannya yang tidak pernah digunakan
sebelumnya. Aji 'Badai Dewa Murka', adalah ajian yang sangat dahsyat sehingga
bisa menimbulkan badai.
Tapi, di sekitar Pendekar Pulau Neraka itu berdiri, tidak terasa adanya angin
berhembus. Bahkan Rara Wanti dan Awijaya jadi keheranan sendiri. Tapi mereka
tidak berani bergerak, karena sudah dipesan sebelumnya.
"Hop!"
Bayu merapatkan tangannya di depan dada, maka seketika itu juga badai topan
berhenti. Sungguh dahsyat luar biasa akibat Aji 'Badai Dewa Murka' itu. Sekitar
tempat itu jadi berantakan
tidak karuan. Pohon-pohon besar kecil bertumbangan. Batu-batu berpindah tempat. Bahkan terlihat mayat-mayat
bergelimpangan dalam segala bentuk. Kebanyakan mereka tertimpa pohon dan bebatuan. Semua orang yang menyerang secara
gelap itu mari terhantam Aji
'Bada Dewa Murka'.
"Hhh...! Mereka tukang pukul Ayah," desah Wanti bergumam pelan. Begitu pelannya
hampir rida terdengar.
"Itu berarti dia memang benar-benar ingin memenggal kepalamu, Rara," kata
Awijaya. "Hhh...!" Rara Wanti menarik napas panjang.
"Kudengar, Ki Praba menyediakan seribu keping uang emas dan dirimu sendiri
sebagai hadian jika ada yang berhasil membawamu kepadanya," lanjut Awijaya.
"Hebat...!" desis Bayu bernada sinis.
"Dia memang gila!" dengus Rara Wanti. "Kalau saja aku mampu, sudah kubunuh dari
dulu!" "Selama Ki Praba masih hidup, ke mana pun kita pergi, tidak akan dapat tenang.
Memang benar katamu, Bayu. Apa pun yang terjadi,
harus kuhadapi!
Meskipun nyawa taruhannya!" tegas Awijaya mantap.
"Harus ada cara untuk menghadapinya," gumam Bayu pelahan, seperti untuk dirinya
sendiri. "Benar! Kau punya rencana, Bayu?" sambut Awijaya.
Bayu terdiam beberapa saat. Dipandangi Awijaya dalam-dalam.
Sementara Rara Wanti hanya diam saja memperhatikan. Agak lama juga Bayu hanya berdiam sambil terus menatap dalamdalam Awijaya. Sepertinya sedang mencari sesuatu dalam tatarannya itu.
"Kau tahu di mana Ki Praba sekarang berada, Awijaya?"
tanyanya Bayu. "Dia pasti ada di Desa Pekacangan, di rumah Paman Praraga," celetuk Rara Wanti.
'Temui dia. Katakan kalau kau tahu di mana Rara Wanti berada. Lalu, bawa dia ke
puncak Bukit Sidayu. Aku dan Rara Wanti akan menunggu di sana," ujar Bayu
mengemukakan rencananya.
"Mustahil! Ki Praba sudah mengenaliku!" dengus! Awijaya.
"Itu lebih bagus lagi!" seru Bayu gembira.
"Apanya yang bagus" Begitu aku muncul, dia pasti sudah lebih dulu menyerang!"
"Tidak! Asal saja kau berikan alasan yang kuat."
"Bagaimana caranya?" tanya Awijaya.
"Katakan kalau kau sudah bertemu Rara Wanti, dan akan mengajaknya pergi. Tapi
Rara Wanti membangkang, dan kau sempat bertarung denganku. Katakan saja kalau
aku menantangnya di Puncak Bukit Sidayu. Aku yakin, dia pasti datang," Bayu
mengemukakan rencananya.
"Lalu?" tanya Awijaya lagi.
"Dia pasti percaya kata-katamu, asal kau bisa bermimik marah dan sakit hati.
Wajahmu yang babak belur itu, sudah cukup memberi alasan kuat."
Awijaya meraba mukanya yang memang membiru pada
bagian mata kiri. Bibirnya yang pecah pun masih terasa nyeri.
Belum lagi pakaiannya kotor dan agak koyak.
"Di samping itu, mintalah hadiahnya yang seribu keping uang emas. Dengan hadiah
itu kalian bisa hidup tenang dan bisa mencari ibu kandungmu, Rara," lanjut Bayu.
"Ki Praba pasti tidak bakal menyediakan hadiah itu. Apalagi memberikannya
padaku!" ujar Awijaya yakin.
"Aku yakin pasti dia setuju. Bagaimana caranya, itu terserah padamu sendiri,"
sahut Bayu. "Baiklah, kapan aku mulai?"
"Sekarang juga!"
*** 9 Bayu berdiri tegak di tengah-tengah Puncak Bukit Sidayu.
Di sampingnya Rara Wanti kelihatan gelisah. Sebentar-sebentar dilayangkan
pandangannya ke arah kaki bukit. Dari situ memang terlihat jelas sungai yang
mengalir menuju Desa Pekacangan. Dari sanalah nanti Awijaya datang bersama Ki
Praba. "Kok lama, ya...?" gumam Rara Wanti semakin gelisah, karena tidak melihat tandatanda Awijaya bakal muncul.
"Sabar.... Dia pasti datang," kata Bayu mene nangkan.
"Kalau gagal?"
"Aku yakin tidak."
Rara Wanti menatap dalam-dalam Pendekar Pulau Neraka itu. Pada saat yang sama,
Bayu juga memalingkan mukanya menatap gadis itu. Sesaat mereka tidak berbicara,
dan hanya saling tatap saja. Pelahan Rara Wanti mendekat, lalu melingkarkan
tangannya ke leher Bayu. Tubuh mereka
merapat. Tak ada jarak lagi yang merenggang. Wajah mereka begitu dekat, sehingga
terasa hangat desah napas masing-masing.
"Kakang, sebenarnya aku lebih suka bersamamu. Kau lebih segala-galanya daripada
Kakang Awijaya," kata Rara Wanti pelan.
"Awijaya orang yang bertanggung jawab, Rara. Aku yakin, kau akan hidup bahagia
di sampingnya."
"Hhh...! Seandainya ada waktu...," desah Rara Wanti.
"Jangan ulangi lagi, Rara. Padaku, atau pada siapa saja.
Kau akan menyesal nanti. Hargailah dirimu sendiri," ujar Bayu seraya melepaskan
pelukan gadis itu di lehernya.
"Hanya Kakang Awijaya dan kau saja yang bisa
menjamahku, Kakang. Aku janji. Kapan saja kau datang, aku
selalu menyediakan waktu untukmu, Kakang. Ini hanya untuk kita berdua."
Bayu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa" Aku mencintaimu, Kakang. Aku menyukaimu.
Meskipun sekarang ada Kakang Awijaya, tapi aku tetap mencintaimu. Separuh hatiku
milikmu, Kakang."
"Aku harap pikiranmu bisa berubah kelak," desah Bayu setengah bergumam.
Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mundur. Tapi tiba-tiba Rara Wanti menarik
tangan pemuda itu, dan memeluknya erat-erat. Bayu jadi gelagapan, karena cepat
sekali Rara Wanti sudah mengulum bibirnya penuh gairah yang menggelora.


Pendekar Pulau Neraka 12 Gadis Buronan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rara...," kata Bayu begitu bibirnya terlepas dari pagutan gadis itu. Tapi
pelukan Rara Wanti masih sulit dilepaskan.
"Kakang Awi tidak akan datang malam ini, Kakang.
Bersediakah kau memberiku untuk yang terakhir, Kakang?"
bujuk Rara Wanti sambil mendesah.
"Jangan sekarang,"
Bayu benar-benar kewalahan menghadapi gadis itu. Harus dicarinya jalan agar benar-benar terlepas dari
lingkaran jerat asmara Rara Wanti.
"Kapan?"
"Nanti, kalau semuanya sudah tenang,"
"Kau rela menyediakan waktu untukku, Kakang?"
"Tentu, kalau sudah tenang nanti." "Sungguh?"
Bayu terpaksa mengangguk. Untuk meyakinkan Rara
Wanti, dikecupnya bibir gadis itu. Rara Wanti tersenyum senang. Wajahnya kembali
cerah, dan melepaskan pelukannya pelahan-lahan. Bayu tersenyum getir, kemudian
melayangkan pandangannya ke arah kaki bukit yang dialiri sungai kecil jernih
menuju ke Desa Pekacangan.
Sementara malam semakin bertambah larut. Pantulan
cahaya bulan pada riak air sungai bagai untaian mutiara memanjang membelah hutan
yang cukup lebat Sungguh indah pemandangan dari puncak bukit ini. Dan Bayu
menikmati keindahan itu dengan benak dipenuhi berbagai pikiran. Ada sedikit
kecemasan karena Awijaya belum juga kembali.
Sementara Rara Wanti sudah tidak gelisah lagi. Hatinya merasa tenang meskipun
Awijaya tidak akan kembali lagi.
Apalagi setelah mendengar janji yang diucapkan Bayu tadi.
*** Semalaman penuh Bayu tidak memejamkan matanya.
Sedangkan Rara Wanti sempat tidur, meskipun hanya
sebentar saja. Pagi telah menyingsing, dan sinar matahari telah menghangatkan
Puncak Bukit Sidayu ini. Saat berdiri tegak sepanjang malam, tadi, Bayu
menyempatkan untuk bersemadi dan melatih pengembangan hawa mumi. Meskipun tidak
tidur, tapi rasanya sudah cukup. Bahkan berlebihan dalam menjaga kondisi
tubuhnya. "Hm...," Bayu menggumam kecil ketika pandangannya menangkap ada gerakan halus di
bawah sana. Pendekar Pulau Neraka itu menajamkan penglihatannya. Tampak gerakan
itu menuju puncak bukit ini. Begitu halus dan cepat, hampir tidak terlihat
Semakin lama gerakan itu semakin terlihat jelas. Bayu tersenyum ketika melihat
tiga orang bergerak mendaki bukit.
Dia hanya melirik sedikit saat menyadari Rara Wanti berdiri di sampingnya. Gadis
itu juga sudah tahu kedatangan tiga orang yang kini tengah mendaki bukit
"Mereka datang, Kakang," bisik Rara Wanti.
"Aku tahu. Biarkan saja sampai ke sini," sahut Bayu.
Tidak beberapa lama, tiga orang yang dilihatnya mendaki bukit telah tiba di
puncak. Tampak Awijaya berada di antara mereka. Pemuda itu langsung berjalan
cepat menghampiri
Rara Wanti yang berdiri di samping Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan dua orang lagi tidak lain dari Ki Praba dan Jantar.
Jelas sekali waja' Ki Praba memancarkan keberangan melihat Rara Wanti tampak
segar bersama seorang pemuda berbaju dari kulit harimau.
"Heh.... Kau rupanya yang membawa lari, anak muda," ujar Ki Praba sinis.
"Tidak salah. Tapi sekarang dia senang bersamaku," sahut Bayu kalem, namun
bernada tegas. "Bagus! Itu berarti kalian semua harus mati di sini!" dengus Ki Praba.
"Begitu mudah mengucapkan kata mati, tapi sukar melakukannya. Aku khawatir malah
kau yang dulu terbang ke neraka, Ki Praba," sambut Bayu memanasi.
"Ha ha ha...!" Ki Praba tertawa terbahak-bahak.
'Tertawalah sepuasnya sebelum terbang ke neraka!"
"Jantar!" Ki Praba menghentakkan tangannya.
"Hait...!" Jantar langsung melompat ke depan, membuka jurus serangan.
Bayu hanya tersenyum saja memperhatikan Jantar yang berpentilan membuka
kembangan jurus penyerangan. Dan tiba-tiba saja Jantar melompat cepat dibarengi
lontaran dua buah pisau kecil yang sangat tipis.
Pendekar Pulau Neraka yang sudah menyadari sebelumnya, segera mengegoskan
tubuhnya ke samping. Ditarik kakinya bergeser dua tindak. Cerat sekali
digerakkan tangan, dan ditangkap dua pisau yang dilepaskan Jantar. Secepat itu
pula dia melompat ke atas melewati kepala Jantar yang meluruk memberikan
serangan cepat.
Jantar terkejut, karena dua pukulannya hanya mengenai angin saja. Dan belum lagi
hilang keterkejutannya, tiba-tiba
saja dia terpekik Tubuhnya langsung tersuruk jatuh ke depan mencium tanah. Satu
pukulan keras tanpa pengerahan tenaga dalam dilepaskan Bayu pada punggung pemuda
itu. "Huh!" Jantar mendengus, langsung bergegas melompat bangkit berdiri.
"Kau perlu pisaumu" Nih! Kukembalikan!" sentak Bayu Cepat sekali Pendekar Pulau
Neraka itu melemparkan
pisau-pisau Jantar. Sesaat Jantar terkesiap, dan buru-buru melompat menghindari
sambitan pisaunya sendiri. Pisau itu menghunjam dalam di tanah, tepat di tempat
kaki Jantar tadi berpijak.
"Keparat! Hup, hiyaaa...!"
Jantar kembali melompat menerjang, dan kali ini tidak lagi menganggap remeh
lawannya. Serangannya cepat dan
dahsyat. Setiap pukulannya mengandun tenaga dalam cukup tinggi. Namun Pendekar
Pula Neraka tidak mudah dirobohkan begitu saja setia serangan yang datang,
dengan manis selalu bi dihindari. Bahkan serangan balasannya membuat Jantar
kelabakan. "Sudah cukup kita bermain! Bersiaplah...!" seru Bayu keras.
Setelah berkata demikian, Pendekar Pulau Nera langsung melompat ke atas, lalu
dengan cepat menukik turun di kuti hentakan tangan kanannya. Cakra Maut
berkelebat cepat mengarah ke bagian leher Jantar. Sesaat pemuda itu
terkesiap, lalu buru-buru menjatuhkan tubuhnya ke tanah, dan bergulingan
beberapa kali. Tapi begitu melompat bangkit, sa tendangan keras tidak bisa
dihindari lagi.
"Akh...!" Jantar memekik tertahan.
Tubuh pemuda itu langsung terdorong ke belakang. Dan belum lagi dapat menguasai
dirinya, mendadak saja secercah kilat keperakan menyamb cepat. Jantar tidak
mampu berkelit lagi. dan....
"Aaa...!" Jantar memekik keras melengking tinggi Tampak dadanya berlubang
tertembus Cakra Maut hingga tembus sampai ke punggung. Senjata bersegi enam itu
berputar balik, dan langsung menempel pada pergelangan tangan kanan Pendekar
Pulau Neraka. Sebentar Jantar masih mampu berdiri. Sesaat kemudian tubuhnya
limbung, dan ambruk menggelepar ke atas tanah. Darah bersimbah dari dadanya yang
berlubang. Hanya sebentar Jantar mampu bergerak, kemudian diam dengan nyawa
terbang dari tubuhnya. Bayu memutar tubuhnya menghadap Ki Praba yang
terlongong menyaksikan kematian Jantar begitu cepatnya.
Namun laki-laki setengah baya itu tidak bisa berlama-lama memandangi tubuh
pengawal pribadinya yang berlumuran darah segar. Ternyata Bayu Hanggara sudah
berteriak keras sambil mengebutkan senjata mautnya.
"Uts...!" Ki Praba mengegoskan kepalanya sedikit ke kanan, dan Cakra Maut itu
melesat lewat di samping kepalanya.
Tapi Cakra itu berputar balik. Mau tidak mau Ki Praba melompat ke samping. Bayu
mengangkat tangan kanannya ke atas, maka Cakra Maut kembali menempel di
rjergelangan tangannya. Serangan tadi memang sengaja tidak diarahkan ke
sasarannya secara langsung. Lemparan cakranya sengaja dimelencengkan hanya untuk
menggugah Ki Praba saja.
"Jangan berbangga dulu bisa mengalahkan Jantar, anak muda!" dengus Ki Praba.
"Sebentar lagi kau akan menyusul," balas Bayu dingin.
"Sombong! Hih...! Terima seranganku! Hiyaaa...!"
Ki Praba melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Namun
terjangan itu manis sekali mampu dihindari. Kembali Bayu harus bertarung melawan
Ki Praba. Kali ini Bayu menyadari kalau Praba jauh lebih tinggi tingkat
kepandaiannya dibaj ding Jantar. Dan Pendekar Pulau Neraka itu harus bersikap
hati-hati melayaninya.
Tidak mudah bagi Pendekar Pulau
Neraka untuk menjatuhkan Ki Praba. Laki-laki setengah tua itu memiliki tingkat kepandaian
yang tinggi juga. Jurus-jurusnya luar biasa, dan
tenaga dalamnya juga hampir mencapai taraf kesempurnaan. Jurus demi jurus berlalu cepat, tapi belum ada tanda-tanda
pertarungan bakal berakhir. Beberapa kali Bayu melepaskan senjatanya yang
terkenal maut itu, tapi Ki Praba mampu berkelit manis menghindarinya.
Pertarungan terus berlangsung semakin sengit Sementara di tempat lain, Awijaya
dan Rara Wanti menyaksikan dengan perasaan cemas. Hanya Awijaya yang kelihatan
sedikit tenang, karena telah sering mendengar kehebatan Pendekar Pulau Neraka.
Entah kenapa, hatinya begitu yakin kalau Bayu pasti dapat mengalahkan Ki Praba.
Tapi tidak demikian dengan Rara Wanti. Dia khawatir betul kalau Bayu akan tewas
di tangan ayah angkat yang sangat dibencinya. Rara Wanti lebih senang kalau Ki Praba yang tewas.
"Sebaiknya kau bantu dia, Kakang," kata Rara Wanti tidak bisa menyembunyikan
kecemasannya. "Tenang saja, Rara. Bayu pasti bisa mengatasi," sahut Awijaya.
"Tapi, sudah lebih dari dua puluh jurus...." Awijaya diam saja. Memang
pertarungan itu sudah memakan lebih dari dua puluh jurus, tapi belum ada yang
terdesak. Tapi memasuki jurus ke tiga puluh, kelihatan kalau Ki Praba mulai
kerepotan menghadapi serangan-serangan Pendekar Pulau Neraka. Dia sudah jatuh
bangun, dan bahkan beberapa kali menerima pukulan serta tendangan keras
bertenaga dalam tinggi. Tapi Ki Praba masih juga mampu bertahan, meskipun darah
sudah mengucur dari mulutnya.
Bagian pelipis telah sobek
mengeluarkan darah. Dan bahu kirinya juga sobek terkena sambaran Cakra Maut.
Keadan Ki Praba sudah tidak menguntungkan lagi.
Tubuhnya jadi bulan-bulanan Pendekar Pulau Neraka. Jatuh bangun tanpa mampu
membalas. Darah semakin banyak
membanjiri tubuhnya. Tapi Bayu tidak juga berhenti. Hingga pada pukulannya yang
terakhir.... "Akh...!" Ki Praba memekik keras tertahan. Pukulan yang keras
bertenaga dalam sangat tinggi itu tepat mengenai dada Ki Praba. Akibatnya, lakilaki setengah baya itu terpental jauh ke belakang. Sebuah pohon besar tumbang
terlanda tubuhnya. Ki Praba menggeliat-geliat berusaha bangun. Meskipun tubuhnya
sudah dipenuhi luka, tapi masih juga mampu berdiri. Dengan tubuh limbung, lakilaki setengah baya itu berjalan menghampiri Pendekar Pulau Neraka.
"Grrr...!" Ki Praba menggeram bagai seekor binatang buas.
Tatapan matanya begitu tajam menusuk. Langkahnya
terhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga batang tombak lagi di depan
Pendekar Pulau Neraka. Sesaat dia hanya diam saja menatap tajam, kemudian tibatiba sekali tangan kanannya bergerak mengibas ke samping. Dan puluhan jarum
berwarna keperakan melesat deras ke arah Rara Wanti dan Awijaya.
"Awas...!" seru Bayu keras.
Tapi Awijaya dan Rara Wanti hanya terbeliak terperangah.
Memang tidak disangka kalau Ki Praba akan berbuat curang begitu. Dan sebelum
kedua anak muda itu bisa melakukan sesuatu, secepat kilat Bayu mengibaskan
tangan kanannya.
Wut..l Cakra Maut melesat bagai kilat melebihi anak panah yang terlepas dari busurnya.
Senjata lingkaran bersegi enam berwarna keperakan itu meluncur memotong arah
jarum-jarum yang dilepaskan Ki Praba.
Sungguh tidak diduga sama sekali, jarum-jarum itu meluruk ke arah Cakra Maut,
dan menempel pada senjata itu. Bayu
menghentakkan tangannya ke atas, maka Cakra Maut melesat balik ke arahnya
setelah seluruh jarum keperakan melekat pada permukaan bagian atas senjata
bersergi enam Itu.
"Hap! Yaaah...!"
Secepat Cakra Maut melekat di pergelangan tangan,
secepat itu pula Pendekar Pulau Neraka mengibaskannya lagi.
Dan Cakra Maut kembali melesat cepat bagai kilat ke arah Ki Praba. Tampak,
jarum-jarum yang melekat di senjata itu rotok luruh ke tanah. Saat itu Ki Praba
sudah tidak bisa lagi bergerak cepat Maka tak pelak lagi, Cakra Maut menghunjam
dadanya hingga tembus ke punggung.
"Aaa...!" Ki Praba menjerit melengking tinggi.
"Hap!" Bayu mengangkat tangannya ke atas. Begitu senjata bersegi enam itu
melekat di pergelangan tangannya, dengan cepat Bayu melompat sambil
menghentakkan kakinya ke depan. Tendangan yang disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna itu tepat menghantam kepala Ki Praba. Kembali laki-laki tua itu
menjerit melengking. Hanya sesaat mampu berdiri, kemudian limbung, lalu ambruk
menggelepar di tanah.
Darah mengalir deras dari dada yang berlubang dan kepala hancur berantakan.
Bayu menarik napas panjang. Dia berdiri tegak memandangi mayat Ki Praba yang membujur kaku bersimbah darah. Sebentar
ditariknya napas panjang, kemudian berbalik memandang Awijaya dan Rara Wanti
yang masih berdiri di tempatnya. Kedua anak muda itu seperti terkesima melihat
kematian Ki Praba begitu tragis.
*** Bayu melangkah tegap menghampiri kedua anak muda
yang masih berdiri terpaku pada tempatnya. Rara Wanti terlebih dahulu yang
mengangkat wajahnya menatap
Pendekar Pulau Neraka itu. Entah apa yang ada di dalam sinar mata gadis itu.
Bayu sendri sukar untuk mengartikannya.
Pendekar Pulau Neraka itu berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal lima
langkah lagi di depan kedua anak muda itu.
"Aku rasa semuanya sudah selesai..," tegas Bayu pelan.
"Tunggu, kau akan ke mana?" tanya Awijaya mencegah kepergian Bayu.
Bayu hanya tersenyum saja, dan langsung berbalik dan melangkah pergi. Tapi baru
saja berjalan beberapa langkah, Rara Wanti mengejar, dan menghadangnya. Bayu
menoleh menatap Awijaya yang tetap berdiri di tempatnya.
"Kakang, kau tetap akan pergi juga...?" agak tertahan suara Rara Wanti
"Kau sudah menemukan laki-laki impianmu, Rara. Kuharap kau bahagia berada di
sampingnya," kata Bayu lembut.
"Tapi.... Kau akan kembali lagi, bukan?"
Bayu tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja.
Kemudian berbalik dan melangkah pergi. Sebentar ditatapnya Awijaya, dan
ditepuknya pundak pemuda berbaju merah muda itu.
Awijaya tidak bisa berkata-kata lagi, dan hanya memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka itu.
Ada sedikit penyesalan terselip di hatinya karena telah menyangka buruk pada
pendekar muda itu. Ternyata kabar cerita yang pernah di dengarnya tentang
Pendekar Pulau Neraka tidak semuanya benar. Buktinya Awijaya tidak melihat
kekejaman pada pendekar muda itu. Bahkan kata-katanya selalu lembut, dan segala


Pendekar Pulau Neraka 12 Gadis Buronan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tindakannya tenang. Hanya saja, Bayu memang tidak pernah mau berkompromi pada
setiap lawannya yang diyakini harus tewas di tangannya.
Bayu terus berjalan semakin jauh. Sementara Awijaya sudah berada di samping Rara
Wanti. Pemuda itu melingkarkan tangannya di pundak Rara Wanti. Gadis itu pun merebahkan kepala di
bahu pemuda di sampingnya Mereka memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka
dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di dalam dada.
"Ayo kita pergi, Rara," ajak Awijaya setelah tubuh Pendekar Pulau Neraka tidak
terlihat lagi. "Ke mana?" tanya Rara Wanti agak lesu.
Rara Wanti masih menatap ke arah kepergian Bayu,
meskipun Pendekar Pulau Neraka itu tidak terlihat lagi Gadis itu merasakan
sekeping hatinya terbawa pergi oleh Bayu Hanggara. Bagaimanapun juga tidak akan
bisa dilupakan pengalamannya bersama pemuda yang telah merenggut
sekeping hatinya. Pemuda yang telah memberikan kebahagiaan tersendiri.
"Kita cari dulu ibumu, baru menemui ibuku. Kita akan hidup bersama tanpa harus
bergelimang kekerasan dan darah lagi,"
jelas Awijaya lembut
Rara Wanti tidak menyahuti, membalikkan tubuh nya
menghadap pemuda itu. Mereka saling berpelukan, dan saling melempar pandang.
"Oh, Kakang...," desah Rara Wanti lirih. Awijaya semakin erat memeluk gadis itu.
Sebentar ditatap dalam-dalam bola mata yang bening indah depannya. Kemudian
pelahan-lahan sekali ditunduk kan kepalanya, dan sesaat bibir mereka sudah
menyatu rapat Erat sekali Awijaya mendekap tubuh ramping itu,
seakan-akan tidak
ingin melepaskannya kembali.
Sementara siang sudah beralih, menggulir menuju senja.
Matahari sudah semakin condong ke arah Barat Sinarnya yang redup memberikan
bayang-bayang bagi sepasang insan yang menyatu dalam raga dan jiwa di Puncak
Bukit Sidayu. SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Dewi KZ
Editor : Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Pendekar Sakti Suling Pualam 16 Gento Guyon 18 Iblis Edan Kisah Para Penggetar Langit 5

Cari Blog Ini