Ceritasilat Novel Online

Iblis Cebol 1

Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol Bagian 1


IBLIS CEBOL Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Iblis Cebol 128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Ki Kalawungu sejak tadi mondar-mandir dengan wajah gelisah di ruangan utama perguruannya yang cukup besar dan megah. Sesekali matanya menatap lurus ke depan, seperti hendak
menembus batas cakrawala. Lalu kembali dia
menghela napas pendek, dan duduk di kursinya.
Tidak lama kemudian, laki-laki berusia sekitar li-ma puluh tahun itu bangkit dan
melangkah mon- dar-mandir lagi.
Sementara itu beberapa muridnya memperhatikan dengan wajah bingung. Mereka tidak tahu, apa yang harus dilakukan untuk
menenangkan kegelisahan laki-laki yang menjadi guru mereka.
Mereka juga tidak mengerti, apa yang menyebabkan kegelisahan Ki Kalawungu.
"Keparat!" Ki Kalawungu mendesis geram seraya mengepalkan tangan.
Kata-kata seperti itu entah yang keberapa kali
terdengar. Semua membisu, seperti tadi. Namun
seorang murid utama agaknya merasa tidak enak
hati kalau hanya diam diri. Maka dia memberanikan diri untuk mendekat.
"Guru, tidakkah lebih baik kalau kita bersikap
tenang menunggunya...?"
Ki Kalawungu melirik ke arah murid tertuanya,
lalu menghela napas.
"Bagaimana aku bisa tenang, Danang?"
"Kita akan menghadapinya, sampai titik darah
terakhir...," sahut murid utama yang dipanggil
Danang, pelan. Ki Kalawungu memalingkan mukanya, lalu
menatap tajam sepasang mata Danang Prakoso.
"Danang! Apakah kau kira gurumu ini takut
menghadapinya...?" tegur Ki Kalawungu.
"Kenapa Guru berpikiran demikian" Kami semua tahu, Guru bukanlah seorang pengecut."
Ki Kalawungu menghela napas untuk yang kesekian kalinya,
"Kalau saja kutahu keberadaannya, niscaya
aku yang akan datang kepadanya. Dadaku terasa
sesak mendengar sepak terjangnya yang bengis
serta biadab. Dan aku merasa tertantang mendengar kesombongannya yang ingin menghancurkan perguruan ini serta seluruh perguruan silat di muka bumi!" kata laki-laki
setengah baya itu.
Ki Kalawungu lalu mengeluarkan selembar kulit kambing dari balik bajunya. Kemudian dibacanya tulisan yang tertera sambil tersenyum
mengejek. Danang Prakoso tahu sudah berapa kali gurunya telah membaca surat tantangan yang berada di tangannya. Namun setiap kali gurunya
membaca, hanya kernyitan di dahi yang muncul.
"Siapa sebenarnya Iblis Cebol keparat ini"!" desis Ki Kalawungu seraya melipat
surat itu, dan menyimpannya kembali ke balik bajunya.
"Dengar dengar dia bukan manusia, Guru...."
"Bukan manusia katamu?" Ki Kalawungu dengan dahi berkerut.
"Entahlah. Aku sendiri belum pernah melihatnya. Tapi kata orang-orang, kepandaiannya hebat bahkan kebal terhadap senjata
tajam," desah Danang Prakoso. tertunduk lesu.
"Hm.... Apakah dengan begitu dia bisa bertindak seenaknya membantai semua tokoh persilatan?" dengus Ki Kalawungu, dengan wajah kelam.
Murid tertua Ki Kalawungu itu terdiam. Kepalanya lalu menunduk menekuri tanah.
Ki Kalawungu menghela napas pendek.
"Danang, ambilkan keris pusakaku...," ujar
orang tua itu. "Baik, Guru...," sahut Danang Prakoso.
Laki-laki berusia lima puluh tahun itu bergerak cepat menghampiri salah seorang
murid lain yang sejak tadi menggenggam sebuah keris terbungkus
kain merah. Setelah mengambil keris itu, Danang Prakoso kembali menyerahkan pada
gurunya. Ki Kalawungu mengamat-amati sesaat bungkusan kain merah itu, lalu membukanya pelanpelan. Sementara, Danang Prakoso mengambil
kain merah yang membungkusnya, dan menyerahkan pada murid yang tadi memegang senjata
pusaka Ki Kalawungu.
"Keris ini bukan sekadar barang peninggalan
turun-temurun. Tapi, juga lambang kejayaan Perguruan Jalak Sampurno. Dan kita wajib mempertahankannya mati-matian...," gumam Ki Kalawungu. Danang Prakoso membungkuk hormat begitu
gurunya mengacungkan senjata pusaka itu. Demikian juga semua murid Perguruan Jalak Sampurno. Ketika Ki Kalawungu menyelipkan keris
itu ke pinggang, barulah mereka mengangkat kepala kembali. Orang tua itu memandang seksama
pada seluruh muridnya.
"Murid-muridku! Hari ini, seperti yang telah di-janjikan lewat surat
tantangannya, Iblis Cebol
akan datang bersama kesombongannya untuk
menghancurkan kita. Bahkan belakangan ini telah banyak perguruan silat serta tokoh-tokoh
berkepandaian tinggi yang binasa di tangannya.
Ini membuktikan kalau orang itu memiliki kesaktian hebat. Dan aku telah bertekad untuk menghadapinya sampai titik darah yang penghabisan.
Namun begitu, tidak menghalangi kalian untuk
mundur jika ada yang takut Silakan mundur dan
pergilah dari tempat ini untuk menyelamatkan di-ri, selagi masih ada
kesempatan...!" kata Ki Kalawungu, datar. Namun suaranya cukup terdengar
oleh seluruh muridnya.
"Guru! Kami akan tetap setia mendampingimu
untuk menghadapi Iblis Cebol...!" sahut muridmurid Perguruan Jalak Sampurno serentak dengan suara lantang.
Ki Kalawungu tersenyum haru mendengar jawaban murid-muridnya. Namun baru saja hendak
melanjutkan kata-katanya....
"Ha ha ha...! Sekumpulan tikus hendak mencoba mengaum menanti kehadiran seekor harimau liar...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar,
memenuhi tempat ini.
"Hei"!"
*** Mereka yang berada di tempat itu terkejut kaget Bahkan sebagian menutup kedua telinga dengan tubuh gemetar hebat, akibat pengerahan tenaga dalam kuat yang disalurkan lewat suara tawa itu. Tak lama kemudian, sesosok tubuh kecil melesat ringan, dan mendarat tepat di hadapan Ki Kalawungu pada jarak tujuh langkah.
Sehingga se- mua yang ada di situ bisa melihat sosok bertubuh kecil dengan kepala botak
berukuran besar. Kedua tangannya sebatas siku terlihat bersisik bagai ular
dengan kuku-kuku panjang. Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat dari baja
yang amat keras sepanjang lebih kurang sepuluh
jengkal. Sepasang matanya yang bulat lebar memandang tajam kepada Ki Kalawungu.
"Hei, Monyet Tua! Kaukah yang bernama Ki Kalawungu..."!" bentak laki-laki bertubuh cebol itu,
"Kurang ajar...!" bentak Danang Prakoso garang. Laki-laki berbadan kekar ini sudah hendak
mencabut keris di pinggang, untuk menyerang laki-laki botak yang baru datang.
"Danang! Tenanglah dulu. Tidak baik bersikap
begitu pada tamu kita...."
Untung saja Ki Kalawungu sudah keburu mencegah. Langsung gerakannya terhenti.
"Tapi, Guru...!"
Danang Prakoso hendak membantah, namun
Ki Kalawungu telah memberi isyarat lewat lambaian tangannya. Terpaksa dia berdiam diri dengan menahan amarah menggelegak.
Ki Kalawungu memandang tajam ke arah lakilaki cebol berusia sekitar empat puluh tahun di hadapannya.
"Kisanak! Kaukah yang berjuluk Iblis Cebol"
Kalau benar, memang akulah orang yang kau cari. Aku Kalawungu, Ketua Perguruan Jalak Sampurno...," kata laki-laki setengah baya itu, datar.
"Hm.... Ternyata kau tidak salah mengenali
orang. Nah! Maksud kedatanganku sudah kau ketahui. Maka, cabutlah senjatamu dan hadapi aku.
Kau boleh pilih. Satu lawan satu, atau sekaligus minta bantuan pada muridmuridmu untuk men-geroyokku...!" lantang suara laki-laki kecil yang berjuluk
Iblis Cebol bernada jumawa.
Ki Kalawungu tersenyum halus seraya melangkah mendekati. "Untuk menghadapimu, rasanya tenaga mereka
belum perlu kugunakan...," balas Ki Kalawungu
sambil melangkah pelan. Kakinya kemudian berhenti tepat pada saat jarak mereka terpaut empat langkah.
"Ha ha ha...! Kau kira aku butuh segala ocehanmu" Menghadapiku seorang diri atau mengeroyokku, sama saja. Kalian semua akan mampus
di tanganku!" kata Iblis Cebol, makin jumawa.
"Kisanak! Tidak usah banyak bicara. Majulah...!" sahut Ki Kalawungu mendengus tajam.
Agaknya orang tua ini geram juga mendengar
kesombongan manusia cebol di depannya.
"Huh! Jaga seranganku!" dengus Iblis Cebol.
Tiba-tiba saja tongkat di tangan Iblis Cebol te-rayun menghajar batok kepala Ki
Kalawungu. Se- dangkan orang tua pemimpin Perguruan Jalak
Sampurno itu terkesiap, sama sekali tidak menduga serangan dengan gerakan secepat itu. Namun sebagai tokoh yang telah banyak pengalaman dalam dunia persilatan, tentu saja dia tidak akan lengah begitu saja. Dengan
gerakan tidak kalah gesit, dia melompat ke samping disertai putaran tubuh. "Hiiih!"
Dan tiba-tiba kaki kanan Ki Kalawungu mencoba menyambar batok kepala laki-laki cebol yang setinggi dada.
Namun dengan tangkas Iblis Cebol menangkis
dengan tangannya.
Plakkk! "Uhhh...!"
Ki Kalawungu mengeluh tertahan begitu kakinya terpapak tangan. Meski telah mengerahkan
tenaga dalam kuat, namun kakinya seperti menghajar tembok baja yang keras bukan main.
"Yeaaah...!"
Ki Kalawungu langsung melompat ke samping,
ketika tongkat di tangan Iblis Cebol menyambar
kepala. Dan belum juga dia bersiaga, pinggangnya telah terancam oleh hantaman
tongkat yang cepat, sulit ditangkap mata biasa.
"Hup!"
Orang tua itu jadi melompat ke sana kemari,
menghindari kejaran tongkat lawan yang mengikuti setiap gerakannya. Rasanya gempuran lakilaki cebol itu dilakukan dengan pengerahan tena-ga dalam hebat sekali. Rambut
dan pakaiannya sampai berkibar-kibar, di hantam angin serangan yang kuat dan tajam.
"Yeaaah...!
Permainan tongkat Iblis Cebol memang bukan
main hebatnya. Meski Ki Kalawungu mampu
menghindarinya, namun bisa merasakan kalau
tidak akan lama lagi bisa dijatuhkan bila terus menggunakan tangan kosong.
Sedangkan saat ini
tak ada kesempatan sedikit pun baginya untuk
membuka jurus baru, karena Iblis Cebol terus
mengejarnya. Maka, sambil menggeram keras, dilepaskannya satu pukulan jarak jauh ke arah laki-laki bertubuh kerdil itu.
Iblis Cebol sama sekali tidak terkejut. Malah
tangannya bergerak cepat, memapak pukulan Ki
Kalawunggu. Plak! Wutt!" Kedua pukulan mereka beradu, menimbulkan
siur angin kencang. Bahkan tubuh Ki Kalawungu
sampai bergetar hebat, langsung terhuyunghuyung ke belakang terkena pukulannya yang
berbalik ke arahnya.
Pada saat tubuh Ki Kalawungu terhuyung

Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

huyung, tubuh kerdil Iblis Cebol melompat ke
arahnya dengan tongkat siap menghajar.
Namun Ki Kalawungu cepat memperbaiki keadaannya. Maka secepat itu pula, keris pusakanya dicabut, untuk menangkis senjata
tongkat laki-laki cebol itu.
"Hih!"
Trakkk! Kedua senjata mereka beradu. Namun wajah
orang tua itu jadi meringis menahan sakit. Keris di tangannya nyaris lepas,
saking kuat dan hebatnya hantaman tongkat lawan.
"Hmmm...!"
Iblis Cebol menggeram. Dan kembali tongkatnya melesat cepat, menghantam bagian bawah
tubuh lawan. "Uts!"
Ki Kalawungu terpaksa melompat ke atas. Dan
saat itulah Iblis Cebol tiba-tiba menyentakkan telapak tangan kirinya yang
terkembang. Maka seketika serangkum cahaya kelabu langsung melesat cepat, menyambar ke arah Ketua Perguruan
Jalak Sampurno diiringi desir angin kencang.
"Hiiih...!"
"Uts!"
"Yeaaah...!"
Ki Kalawungu menyadari kalau tidak mungkin
menghindar dari pukulan lawan. Karena di samping melepaskan pukulan jarak jauh, Iblis Cebol
telah menyiapkan serangan tongkatnya. Maka
sambil menggeretakkan rahang menahan geram,
Ki Kalawunggu memapak serangan Iblis Cebol
dengan pukulan jarak jauh pula.
Jdeeer...! "Aaakh...!"
*** Dua pukulan bertenaga dahsyat beradu. Ki Kalawungu kontan melenguh dan tubuhnya terjungkal ke belakang. Hantaman Iblis Cebol memang kuat sekali, sehingga kulit tangan orang tua itu sampai terkelupas. Bahkan
keris pusaka yang digenggamnya terlepas. Keseimbangan tubuh Ketua Perguruan
Jalak Sampurno itu menjadi kacau. Maka saat itulah cepat sekali ujung tongkat Iblis Cebol bergerak,
menghantam batok kepala
tanpa bisa dicegah.
Wuttt! Prakkk! "Aaakh...!"
Ki Kalawungu memekik nyaring begitu kepalanya terhantam tongkat Iblis Cebol! Tubuhnya
terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya
yang retak mengucurkan darah. Tak lama kemudian dia ambruk dan tidak bergerak lagi setelah menggelepar sesaat.
"Jahanam Keparat...!"
Semua murid Perguruan Jalak Sampurno tersentak kaget, melihat kejadian yang menimpa
guru mereka. Dan untuk sesaat mereka hanya
terkesima oleh kejadian yang demikian cepatnya.
Sementara, terlihat Danang Prakoso menggeram
dan langsung melompat menyerang Iblis Cebol.
"Kau harus menebus kematian guruku...!"
"Serang orang itu...!"
Melihat sikap murid tertua itu, yang lain serentak ikut menyerang Iblis Cebol.
Apalagi ketika saat itu terdengar suara nyaring yang memberi
perintah pada mereka.
"He he he...! Ayo ke sini cepat! Susullah guru
kalian di akherat!" tantang Iblis Cebol sambil tertawa keras.
"Yeaaah...!"
Beberapa serangan langsung meluncur datang,
mengancam Iblis Cebol.
"Huh!"
Namun tongkat di tangan Iblis Cebol sudah
berkelebat cepat, memapaki serangan-serangan
lawannya. Trakkk! Trakkk!
Begitu habis memapak, Iblis Cebol melanjuti
dengan kebutan-kebutan dahsyat. Akibatnya....
Prakkk! "Aaa...!"
Kini jerit kematian mulai mewarnai tempat itu.
Semua murid Perguruan Jalak Sampurno menyerang dengan semangat dan amarah menggebugebu. Namun, tongkat Iblis Cebol berkali-kali menyambar. Satu persatu korban
berjatuhan. Dan
darah pun mulai menggenangi sekitarnya.
"Setan...!"
Danang Prakoso menggeram. Dan seketika kerisnya menyambar wajah Iblis Cebol. Namun, laki-laki kerdil itu tentu saja tak tinggal diam.
Tongkatnya cepat digerakkan menyilang di depan
wajah. Trang! Benturan dua senjata terjadi, membuat keris di
tangan Danang Prakoso terpental jauh. Murid tertua Ki Kalawungu itu menggeram,
namun tak mampu berbuat apa-apa. Dan dia cepat melompat
ke samping sambil jungkir balik, ketika terjangan senjata Iblis Cebol kembali
datang. Dan untung
saja murid-murid lain kembali menyerang Iblis
Cebol. Padahal, keadaan Danang Prakoso sudah
terdesak hebat.
"Ha ha ha...! Ayo ke sini! Terimalah kematian
kalian! Heaaat...!"
Seketika Iblis Cebol bergerak cepat dengan kebutan-kebutan yang sulit diikuti pandangan mata biasa. Begitu cepatnya dia
bergerak, sehingga....
"Aaa...!"
Pekik kematian kembali menggema, disusul
oleh ambruknya beberapa sosok tubuh dengan
kepala remuk dihantam tongkat Iblis Cebol.
"Hi hi hi...! Ke sini, cepat! Ayo! Ayo...!"
"Kurang ajar...!"
Meski menyadari kalau perlawanan yang dilakukan tidak berarti banyak, namun murid-murid
Perguruan Jalak Sampurno sama sekali tidak
mengenal takut. Mereka terus bertarung gigih,
menahan gempuran-gempuran Iblis Cebol.
Demikian pula Danang Prakoso. Dengan sebuah golok yang diraih dari seorang murid lain, murid tertua ini cepat memapak
hantaman tongkat Iblis Cebol. Namun goloknya lagi-lagi terpental
jauh. Dan tubuhnya cepat melompat menghindari
kibasan tongkat laki-laki kerdil itu. Namun agaknya kali ini Iblis Cebol sama
sekali tidak mau
memberi kesempatan. Ujung tongkatnya cepat
berkelebatan menghantam tulang kering di kaki
kanan Danang Prakoso yang baru saja terangkat.
Trakkk! "Akh...!"
Danang Prakoso kontan memekik keras begitu
tulang kaki kanannya dihantam tongkat lawan
hingga remuk. Dia bermaksud bergulingan untuk
menyelamatkan diri dari kejaran tongkat lawan
selanjutnya, namun terlambat. Dan....
Prakkk! "Aaa...!"
Danang Prakoso kembali menjerit tertahan, ketika ujung tongkat Iblis Cebol menghantam kepalanya hingga remuk. Darah langsung muncratmuncrat dari batok kepala ketika tubuhnya ambruk ke tanah. Bukan main marahnya murid-murid Perguruan
Jalak Sampurno melihat kenyataan itu. Mereka
mengamuk sejadi-jadinya untuk membalas kematian guru dan saudara seperguruan mereka yang
lain. Namun Iblis Cebol agaknya memang bukan
tandingan mereka. Maka mudah saja dia membantai mereka satu persatu seperti menepuk lalat. Sementara itu di suatu sudut bangunan perguruan ini, terlihat seorang gadis
belia menjerit-jerit, sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan laki-laki bongkok berusia sekitar lima puluh tahun.
"Paman Sudira! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!
Biar kuhajar Iblis Cebol keparat itu...!" teriak gadis itu geram.
"Tenanglah, Andini! Tahahlah amarahmu. Dan,
berpikirlah dengan jernih. Kita pergi dari sini untuk menyelamatkan diri...,"
bujuk laki-laki bongkok yang dipanggil Paman Sudira.
"Tidak! Dia telah membunuh ayah. Dan Paman
Danang pun tewas di tangannya. Aku harus
membalas kematian mereka, agar arwah ayahku
tenang di alam sana. Lepaskan tanganku, Paman!
Lepaskaaan...!" teriak gadis bernama Andini.
"Andini! Kau bisa saja menuntut balas, tapi tidak sekarang. Itu sama artinya dengan bunuh diri. Kita akan mencari cara untuk mengalahkannya kelak. Ayo, ikut denganku. Dan, jangan siasiakan waktu...!" ujar Paman Sudira.
"Tidak! Tidaaak...!"
Andini mencoba berontak. Namun dengan sekali sentak, Paman Sudira langsung menotok gadis itu dan membopongnya. Seketika Andini dibawanya pergi dari tempat ini.
Ternyata walaupun dalam keadaan dikeroyok,
Iblis Cebol masih mampu memperhatikan sekitarnya. Maka ketika melihat ada yang hendak kabur, dia menggeram marah.
"Huh! Kalian bermimpi untuk kabur dari sini!"
dengus Iblis Cebol. Tangan kirinya yang terkembang cepat dihentakkan. Maka seketika segumpal
cahaya kelabu menghantam cepat ke arah Paman
Sudira yang tengah membopong tubuh Andini.
"Uts...!"
Tubuh Paman Sudira bergulingan, menghindari hantaman pukulan jarak jauh Iblis Cebol. Dan laki-laki kerdil itu bermaksud
melanjutkan serangannya. Namun....
"Hajar dia! Jangan sampai Ki Sudira dan Andini celaka! Seraaang...!"
Pada saat yang bersamaan, beberapa orang
murid Perguruan Jalak Sampurno serentak
menghalangi niatnya. Agaknya mereka menyadari, apa yang akan dilakukan Ki Sudira. Maka mereka bertekad untuk melindungi dengan pengorbanan nyawa. "Hiiih...! Rasakan kematian kalian, orang-orang bodoh! Mampus!" geram Iblis
Cebol garang seraya mengumbar serangannya.
Prak! Prakkk! "Aaa...!"
Jeritan panjang menyiratkan kematian yang
saling susul mengiringi ambruknya belasan murid Perguruan Jalak Sampurno yang
tersisa dengan kepala remuk. Darah muncrat menyiram bumi,
menebarkan bau anyir darah yang terbawa hembusan angin. Iblis Cebol betul-betul mengamuk
marah, dengan mengerahkan segenap kepandaiannya. Meskipun murid-murid perguruan itu mencoba
melawan sekuat tenaga, namun nyatanya usaha
mereka sama sekali sia-sia belaka. Dalam waktu
singkat saja, seluruhnya tumpas di tangan lelaki bertubuh kerdil itu.
"Huh! Sayang masih ada yang tersisa! Tapi, suatu saat nanti mereka akan kutemukan! Mereka
seluruhnya harus musnah, tanpa sisa!" dengus
Iblis Cebol. Hatinya sedikit kesal, menyadari kalau laki-laki bongkok yang
diserangnya tadi berhasil kabur dari tempat itu.
Setelah meludah beberapa kali, tubuh Iblis Cebol melesat ringan dari tempat itu, lalu menghilang dalam sekejapan mata. Sinar
matahari tam- pak terhalang awan kelabu. Sementara di angkasa terlihat sekawanan burung pemakan bangkai
yang terbang berputar-putar, mengincar mayatmayat yang bergelimpangan menebarkan bau
anyir darah. *** 2 Siang hari, Desa Kandi tampak ramai oleh
orang-orang yang lalu-lalang silih berganti. Bahkan tidak jarang ada yang
menginap barang satu
atau dua malam. Desa ini memang tidak begitu
jauh dari ibukota kadipaten. Sehingga, tidak heran bila setiap hari keadaannya
ramai. Selain banyak dikunjungi pedagang, juga dikunjungi tokoh-tokoh persilatan. Seperti yang terlihat hari ini. Di dalam sebuah kedai yang
cukup ramai di desa ini, seorang pemuda tampan berbaju kulit
harimau tampak tengah duduk tenang menyantap hidangan di mejanya. Sementara seekor monyet kecil duduk di atas meja juga tengah melahap sesisir pisang. Sesekali tampak binatang itu menyeringai ke arah pemuda itu,
kemudian melirik sekitarnya. Sedangkan pemuda ini tersenyum
kecil, lalu memberi isyarat pada monyet itu untuk tidak membuat ulah. Rupanya,
binatang itu hendak melempar sebuah kulit pisang ke tengahtengah pengunjung lain.
"Jangan membuat mereka marah, Tiren...,"
"Kaaakh...!" monyet yang dipanggil Tiren menjerit pelan seraya menyeringai lebar.
Pemuda berbaju dari kulit harimau yang tak
lain Bayu alias Pendekar Pulau Neraka itu memandang ke sekeliling. Bayu melihat banyak di
antara pengunjung kedai adalah tokoh persilatan.
Sementara, sisanya adalah para pedagang yang
kebetulan lewat, atau hendak menjual barang dagangannya. Pendekar Pulau Neraka baru saja selesai meneguk araknya, ketika terdengar ringkik halus


Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua ekor kuda yang berhenti tepat di depan kedai itu. Begitu melompat turun, dua
penunggang ku-da itu melangkah ke dalam kedai. Mereka adalah
sepasang anak muda berusia sekitar dua puluh
tahun. Yang mengenakan rompi hitam adalah
pemuda berwajah kasar dengan sebuah codet di
pipi kirinya. Matanya yang menyorot tajam menyapu ke sekeliling ruangan kedai. Sesekali tangannya memegang gagang golok panjang yang terselip di pinggangnya.
Sementara, berjalan di sebelah pemuda itu
adalah seorang gadis berwajah cantik dengan ikat kepala berwarna kuning. Matanya
yang liar menyapu pengunjung kedai disertai senyum manisnya yang genit. Pakaiannya berwarna biru agak
ketat, dengan bagian perutnya dibiarkan terbuka.
Sehingga, pusarnya terlihat. Sepasang pedang
pendek tampak terselip di pinggangnya. Dengan
langkah tenang serta berkesan seenaknya, gadis
itu duduk di tengah-tengah ruangan kedai.
Sementara itu, semua pengunjung kedai melirik ke arah sepasang anak muda ini sambil tersenyum-senyum kecil menggoda.
Sedangkan pemuda yang mendampingi gadis itu tampak semakin
galak wajahnya. Agaknya, hatinya betul-betul tidak suka kalau gadis di
sampingnya menjadi pusat perhatian. Terlebih-lebih lagi, pandangan ma-ta para pengunjung kedai
seperti hendak menelanjangi pakaian ketat gadis itu.
"Tenanglah, Danu Wiryo. Tidakkah kau melihat
kalau mereka mengagumiku...?" kata gadis cantik ini, dengan mata sayu dan senyum
genitnya yang sangat memikat.
"Aku tidak suka pandangan mereka terhadapmu, Diah!" dengus pemuda yang dipanggil Danu
Wiryo kesal. "Kenapa?" tanya gadis yang dipanggil Diah.
"Mereka seperti ingin menelanmu!"
Gadis itu terkikik kecil, seraya tetap menyapu
sekitarnya dengan matanya.
"Sebaiknya tinggalkan saja tempat ini. Aku ingin muntah melihat tatapan mata mereka!" dengus Danu Wiryo lagi.
Diah Kemuning belum menghentikan ketawanya. Agaknya, gadis itu menikmati betul kejengkelan Danu Wiryo.
"Kau cemburu pada mereka?" ledek Diah Kemuning. Danu Wiryo hanya mendengus mendengar ledekan gadis ini.
"Kau lihat pemuda berbaju kulit harimau itu?"
tunjuk Diah Kemuning.
Danu Wiryo menoleh sekilas, kemudian kembali mendengus. "Huh! Apa kau kira dia punya kelebihan dibanding diriku?" kata Danu Wiryo.
"Hm.... Wajahnya tampan dan sama sekali tidak peduli dengan kehadiranku. Aku suka sekali
padanya," sahut Diah Kemuning seraya tersenyum genit. "Cukup Diah! Jangan coba-coba membakar
amarahku!" sentak Danu Wiryo, tiba-tiba.
"Hm, kau marah rupanya?" tanya gadis itu
mengejek. "Apa perlu kuhajar pemuda itu, agar kau mengetahuinya?" tantang Danu Wiryo.
Gadis itu tidak menyahut, tapi malah tersenyum kecil. Dan bagi Danu Wiryo, agaknya senyum itu ditafsirkan untuk memanasi hatinya
yang memang sudah kesal. Dia bermaksud akan
menghajar pemuda itu untuk membuktikan katakatanya di depan Diah Kemuning. Tapi belum juga dilakukannya, dua orang laki-laki yang masing-masing bertubuh gemuk dan bercambang
bauk tebal mendekati mereka sambil menyeringai
lebar. "Kutu Kupret! Minggir kau!" hardik salah seorang yang di pinggangnya terselip sebuah golok.
Bukan main geramnya Danu Wiryo, ketika
orang itu mengibaskan tangannya. Seketika ditangkapnya tangan orang itu, dan hendak dibantingnya ke meja. Namun belum lagi hal itu dilakukan, lutut kiri orang itu telah menghajar perutnya. Bukkk! "Uhhh...!"
Danu Wiryo terjajar ke belakang dengan tubuh
terlipat ke depan. Namun secepat kilat pemuda
itu menjaga keseimbangannya. Langsung dikerahkannya hawa murni untuk menghilangkan rasa mual pada perutnya.
"Keparat! Kubunuh kau, babi gemuk!" geram
pemuda itu seraya mencabut golok. Langsung
diserang orang bertubuh besar yang menghantamnya lagi. Namun sebelum laki-laki gemuk itu mencabut
senjatanya, kawannya yang bercambang bauk
langsung mencabut clurit panjang di pinggang.
Cepat ditangkisnya golok pemuda itu.
Trang! Benturan dua buah senjata terjadi. Danu Wiryo
kontan terjajar beberapa langkah. Dan belum lagi dia bersiap, senjata clurit
laki-laki bercambang bauk bergerak cepat ke arahnya. Untung saja
pemuda itu cepat menunduk dan melompat ke
meja, sehingga luput dari sasaran. Kemudian dibalasnya serangan itu dengan satu tendangan keras. "Hiiih!"
"Ust!"
Laki-laki bercambang bauk itu memiringkan
tubuhnya menghindari tendangan Danu Wiryo.
Dan seketika senjatanya disambarkan ke arah
pemuda itu. "Hup!"
Danu Wiryo cepat melompat ke belakang untuk
menghindari tebasan senjata lawan.
Brakkk! Meja yang tadi dipijak terbelah dua tak kuat
menanggung beban tenaga dalam Danu Wiryo.
Sementara Diah Kemuning yang sudah duduk di
kursi dekat meja itu pun melompat menghindarkan diri dari serangan laki-laki gemuk yang tiba-tiba juga meluncur ke arahnya.
"Hi hi hi...! Kenapa harus berkelahi di sini"
Ayo! Keluarlah dan bertarung di tempat yang lebih luas. Siapa di antara kita yang paling hebat, tentu akan mendapat hadiah
menarik dariku!"
*** "Diah, tutup mulutmu!" hardik Danu Wiryo geram mendengar ocehan gadis itu.
"Hei" Kenapa kau marah" Apa dikira aku milikmu" Aku bebas pergi dengan siapa saja. Dan
kalau perlu, tidur bersama mereka yang memiliki kepandaian hebat!" sahut Diah
Kemuning seraya
tersenyum genit bernada mengejek.
"Setaaan! Kalau begitu, kau saja yang mampus
lebih dulu!" geram Danu Wiryo.
Seketika dia melompat ke arah Diah sambil
mengayunkan goloknya. Namun belum lagi mampu menyentuh gadis itu, kedua orang bertubuh
gemuk dan bercambang bauk telah bergerak cepat seraya memapak senjata Danu Wiryo.
Trang! Terdengar benturan dua senjata yang cukup
keras. Bahkan masing-masing sampai terjajar beberapa langkah.
"Kau dengar katanya" Dia bukan milikmu! Karena setelah kau mampus, dia akan menjadi milik kami!" dengus laki-laki bertubuh
gemuk yang bersenjatakan golok.
"Keparat! Huh! Kalian akan mampus di tanganku!" dengus Danu Wiryo membentak geram.
Dan dengan kemarahan meluap-luap, dia langsung menyerang.
Dengan mengerahkan segenap kemampuan
yang dimiliki, dia mencoba menyerang kedua lawannya yang juga sangat bernafsu menghabisinya. Begitu mendapat kesempatan Danu Wiryo cepat melesat keluar. Tentu saja kedua orang lawannya tidak membiarkan begitu saja. Mereka terus mengejar. Sementara itu, Diah Kemuning masih memandangi mereka yang melesat keluar dengan sorot
mata penuh kesinisan.
"Hei, gadis molek! Kalau pemuda yang bersamamu kubunuh apakah kau sudi tidur denganku"!" kata seorang laki-laki kurus dengan kumis tipis memanjang ke bawah
bibirnya. Di punggungnya tampak terselip sebatang pedang panjang. Gadis itu memandang ke arahnya. Dibalasnya
senyum laki-laki itu dengan genit.
"Hi hi hi...! Kau boleh maju pada giliran berikutnya...," kata Diah Kemuning, enteng.
"Hei" Apa aku pun bisa tidur denganmu kalau
mereka kubuat mampus?" timpal seorang lakilaki tua berkulit hitam dan berambut putih, dengan suara serak. Tampang orang
tua itu kasar, sehingga membuat ngeri orang-orang yang memandang ke arahnya.
"Semua mendapat kesempatan yang sama, asal
bersedia tunggu giliran...," sahut Diah Kemuning sambil mengumbar senyum
genitnya. Beberapa lelaki yang berada di kedai itu mengajukan tawaran yang sama, dan diladeni dengan
baik oleh gadis itu. Hidung mereka jadi kembang kempis dan mata mereka langsung
jelalatan menikmati tubuh gadis itu. Mereka membayangkan
keindahan tersendiri dalam benak, sehingga
membuat air liur meleleh.
Sementara itu, Bayu sama sekali tidak bergeming. Bahkan tidak peduli ketika sebagian besar
tokoh persilatan yang berada di dalam kedai ini berbondong-bondong keluar untuk
menunggu giliran menghajar salah seorang yang keluar sebagai pemenang, dari
pertarungan antara Danu
Wiryo dan kedua lawannya.
"Kaaakh...!"
Tiren berteriak pelan seraya menunjuk keluar.
Kedua kakinya melompat-lompat dengan kedua
tangan menepuk-nepuk. Lalu, mulutnya menyeringai lebar seperti mengejek pemuda itu. Sedangkan Bayu tersenyum tipis, melihat kelakuan
binatang peliharaannya.
"Hm.... Kau pun mengerti apa yang dipersoalkan" Dasar monyet genit!" rungut Bayu.
"Nguk! Nguk...! Keeeh...!"
Tiren kembali melompat-lompat, seraya menunjuk-nunjuk keluar. Lalu mulutnya menyeringai lebar. "Apa" Kau ingin agar aku ikut dalam pertarungan itu" Brengsek! Kau kira aku suka memperebutkan pepesan kosong!" ujar Bayu sinis.
Tiren melonjak-lonjak kegirangan ketika isyaratnya dimengerti pemuda itu. Tubuhnya bergulingan di meja makan sambil memegang perutnya
serta mencerecet beberapa kali seperti kegirangan. "Brengsek!" Bayu menggerutu kecil, kemudian
berdiri meninggalkan mejanya. Dan Tiren pun
melompat, lalu hinggap di pundak kanannya.
Monyet kecil berbulu hitam itu mengira Bayu
akan mengikuti apa yang diinginkannya. Namun
apa yang diduga ternyata melesat. Bayu malah
membayar makanan yang disantapnya pada pemilik kedai, kemudian berlalu dengan tenang meninggalkan kedai.
"Kaaakh...!"
Tiren kembali berteriak kesal, melihat Bayu
sama sekali tidak mempedulikan keramaian di
sekitarnya. Padahal, banyak penduduk desa dan
orang-orang yang kebetulan lewat, berkerumun
menonton pertarungan di depan kedai.
Dan ternyata teriakan Tiren mengundang perhatian Diah Kemuning yang tengah diperebutkan.
Dengan langkah gemulai dan senyum genit, dihampiri dan dihadangnya Pendekar Pulau Neraka. "Siapa namamu" Apakah kau tidak ingin
memperebutkan diriku?" tanya Diah Kemuning,
lembut. Bayu tersenyum kecil.
"Apakah kau seorang ratu yang amat berkuasa,
sehingga aku perlu susah payah memperebutkanmu" Maaf, masih banyak keperluan penting ketimbang memperebutkanmu!" dengus Bayu
keras sambil menuding gadis itu. Lalu, Bayu bergerak hendak melangkah.
"Jangan buru-buru pergi, Kakang...," cegah Diah Kemuning seraya mencekal pergelangan tangan Bayu. Tubuhnya cepat mendekap, dan sebelah tangannya mengusap pipi pemuda itu sambil
tersenyum genit menggoda.
"Jangan coba-coba menghalangi langkahku...!"
dengus Bayu seraya menepis tangan dan mendorong tubuh gadis itu agar menjauh.
Dengan langkah gusar, Pendekar Pulau Neraka


Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buru-buru melangkah. Namun gadis itu dengan
sigap kembali mencekal pergelangan tangannya.
"Tahukah kau, aku lebih menyukaimu ketimbang mereka" Ajaklah aku pergi bersamamu...."
"Jangan coba-coba merayu, Nisanak! Pergilah
bersama mereka!" sentak Bayu kembali menepis
lengan Diah Kemuning.
Pemuda itu baru saja hendak melangkah. Namun tiba-tiba seseorang menghadang langkahnya. Orang itu langsung memandang tajam Bayu,
kemudian melirik ke arah Diah Kemuning.
"Bila kuhajar pemuda ini sampai mampus,
apakah juga berarti kau milikku?" tanya orang
yang menghadang Bayu seraya menyeringai lebar.
"Cobalah kalau kau mampu. Aku akan memenuhi janjiku...," sahut Diah Kemuning tenang.
"He he he...! Kau dengar katanya, bocah" Dia
akan menjadi milikku dengan bayaran nyawamu.
Nah! Pertahankanlah selembar nyawamu!" dengus
laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, berbaju putih.
Sring! Laki-laki setengah baya itu sudah langsung
mencabut pedangnya.
"Kisanak! Minggirlah kau! Aku tidak ingin bertarung denganmu untuk memperebutkan seorang
perempuan rendah. Kau boleh mengambilnya, sesukamu. Dan kau tak perlu curiga kalau aku
akan merebutnya. Dia hanya pepesan kosong belaka!" ujar Bayu sinis.
"Huh! Suka atau tidak, kau adalah taruhan
bagiku untuk mendapatkannya. Nah, jaga dirimu
baik-baik. Lihat serangan!" dengus laki-laki itu, langsung membabatkan pedangnya
ke arah Bayu dari atas kepala hingga ke kaki.
"Uts!"
"Setan!" maki Pendekar Pulau Neraka geram
seraya bergerak ke samping. Sehingga, senjata la-ki-laki itu hanya menyambar
angin. Sementara itu, Tiren buru-buru melompat dari
pundak Pendekar Pulau Neraka dan hinggap di
atas atap kedai yang paling rendah. Itu dilakukan ketika mulai merasakan getaran
amarah di dada pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Kau yang menginginkannya. Dan kau pula
akan menanggung akibatnya!" desis Bayu geram,
seraya memasang kuda-kuda untuk menghadapi
serangan selanjutnya.
*** "Huh! Banyak omong! Jaga perutmu...!" geram
laki-laki bersenjata pedang itu, seraya menyambar perut Pendekar Pulau Neraka dengan ujung
pedangnya. Tubuh Pendekar Pulau Neraka cepat melenting
ke atas, menghindari sambaran ujung pedang laki-laki berbaju putih itu. Dan seketika ujung kaki kanannya melayang cepat ke
arah dagu. Laki-laki
setengah baya itu terkejut, namun cepat melompat ke samping. Lalu tubuhnya balas menerjang
ayunkan tendangan dengan kaki yang keras.
Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat menyelinap
ke samping, sehingga serangan laki-laki itu mengenai tempat kosong. Dan seketika
dengan gera- kan mengagumkan Pendekar Pulau Neraka melepaskan tendangan berputar ke arah dada. Begitu
cepat gerakannya sehingga....
Dukkk! "Aaakh...!"
Laki-laki itu menjerit keras begitu tendangan
kaki kanan Bayu menghantam dadanya dari arah
samping. Tubuhnya langsung terjungkal sambil
mendekap dadanya yang terasa sakit bukan
main. Dengan wajah gusar, dia berusaha bangkit.
"Keparat! Kubunuh kau! Yeaaah...!"
Pedang di tangan laki-laki berbaju putih itu
berkelebat cepat menyambar tubuh Pendekar Pulau Neraka seperti hendak mengiris-irisnya menjadi beberapa potong. Tubuh Pendekar Pulau Neraka seketika berkelebat cepat, menyelinap di antara sambaran senjata pedang
yang mengancam jiwanya. Lalu disertai bentakan nyaring, tangan kanannya memapak senjata lakilaki berbaju putih itu.
Trangngng! "Hei"!"
Orang itu kontan tersentak kaget, begitu tibatiba saja pedang di tangannya seperti menghantam benda keras. Bahkan senjata sampai terlepas
dari genggamannya dalam keadaan patah menjadi
dua bagian. Belum lagi disadari apa yang terjadi, satu hantaman keras tiba-tiba
mendarat di perutnya.
Begkh...! "Aaakh...!"
Laki-Laki berbaju putih itu memekik kesakitan.
Tubuhnya langsung terjungkal beberapa langkah
di tanah disertai darah segar. Isi perutnya seperti diaduk-aduk akibat hantaman
pukulan yang kuat. Beberapa kali dia berusaha bangkit. Namun, langkahnya limbung dan kembali ambruk
disertai muntahan darah segar.
Melihat keadaan itu, beberapa tokoh persilatan
yang sejak tadi melihat pertarungan Pendekar Pulau Neraka melawan laki-laki
berbaju putih itu
berdecak kagum. Bahkan mereka sampai bergidik
ngeri ketika memandang ke arah Pendekar Pulau
Neraka yang mendengus tajam. Agaknya salah
seorang penonton seperti mengenali pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hei" Bukankah pemuda itu Pendekar Pulau
Neraka"!"
"Ah! Apa benar"!" sahut yang lain.
"Benar! Aku pernah melihatnya beberapa kali!"
"He"!" tambah yang lain dengan wajah takjub.
"Hm.... Kabar tentang kehebatannya ternyata
bukan sekadar kabar burung. Ki Somad Paksi
adalah tokoh hebat. Namun dalam beberapa gebrakan saja, sudah tersungkur olehnya!" seru
orang lain sambil berdecak kagum.
Dalam keadaan begitu, mendadak terdengar jeritan panjang. Semua mata langsung mengalihkan perhatian ke arah datangnya suara. Mereka
melihat tubuh Danu Wiryo terkapar di tanah dalam keadaan terluka parah terkena senjata kedua lawannya. Darah bercampur debu
tampak mem-balur sekujur tubuhnya yang menggelepargelepar tanpa daya. Beberapa saat kemudian, tubuhnya diam tidak berkutik. Sementara kedua
orang lawannya bertolak pinggang, dengan wajah
pongah memperhatikan orang-orang di sekelilingnya. "Siapa lagi yang akan menantang Sepasang
Naga Bertaring"!" tanya laki-laki bertubuh gemuk yang bersenjatakan golok.
Tak lama tampak seorang maju ke muka.
Usianya sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya kurus, dengan rambut panjang digelung ke belakang. Tangan kanannya menggenggam sebatang
pedang yang warangkanya berukir indah. Lakilaki itu tersenyum sinis, seperti mengejek kedua orang berperut gendut yang
berjuluk Sepasang
Naga Bertaring.
"Hei, Sepasang Naga Bertaring yang kini telah
ompong! Apakah kalian akan memperebutkan
pepesan kosong"!" tegur laki-laki kurus itu lantang.
Sepasang Naga Bertaring langsung menatap tajam seraya mendengus geram.
"Hm, Sanjung Tulang keparat! Apa maksud kata-katamu"!" hardik yang bertubuh gendut.
"Gadis itu telah pergi dengan seseorang...," ka-ta laki-laki kurus yang
dipanggil Sanjung Tulang.
"Apa"!"
Sepasang Naga Bertaring kontan terkejut dan
memandang ke sekeliling tempat itu. Namun mereka tidak menemukan gadis yang bertubuh
menggiurkan tadi.
"Keparat!" dengus Sepasang Naga Bertaring,
hampir berbarengan.
Sementara Ki Sanjung Tulang terkekeh.
"Ha ha ha...! Dasar naga bodoh! Kalian kira bisa dapatkan gadis molek itu" Dia telah pergi bersama seseorang yang agaknya
digila-gilainya...."
"Kurang ajar! Siapa orang yang digila-gilanya
itu?" sentak laki-laki gendut yang bersenjatakan golok dengan nada geram.
"Siapa lagi kalau bukan Pendekar Pulau Neraka...." "Setan! Awas dia! Akan kuremukkan tulangtulangnya!" dengus laki-laki bercambang bauk
yang bersenjata clurit, seraya memandang ke
arah kawannya. "Mari, Ruksa! Kita kejar mereka!"
"Benar, Rekso! Akan kuremukkan tubuh pemuda keparat itu. Dan, akan kukerjai perempuan
sial itu sampai mampus!" dengus laki-laki bersenjata golok yang bernama Ruksa.
Sepasang Naga Bertaring segera melesat dari
tempat itu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Sementara Ki Sanjung Tulang memandang mereka sambil tersenyum tipis, kemudian ikut berkelebat membayangi dengan gerakan
ringan. Orang-orang yang masih berkerumunan di
tempat itu berdecak kagum melihat cara tokohtokoh persilatan itu bergerak. Dalam sekejapan
mata saja, mereka telah jauh meninggalkan tempat itu, kemudian hilang dari jarak pandang. Mereka masih berkerumun beberapa
saat lamanya, sebelum kemudian bubar satu persatu.
*** 3 Bayu terus melesat cepat, jauh meninggalkan
kedai sementara Tiren mengamit lehernya eraterat ketika Bayu mengerahkan ilmu lari cepatnya.
Pendekar Pulau Neraka memang menggunakan
kesempatan itu pergi dari kedai, ketika orangorang berpaling darinya untuk mengalihkan perhatian pada suara jeritan. Tak heran kalau dia
kini telah melesat jauh meninggalkan kedai. Apalagi, ilmu meringankan tubuhnya
telah begitu tinggi. Sementara itu gadis berwajah cantik yang bernama Diah Kemuning ternyata tidak begitu mudah terpedaya. Sejak tadi, matanya tidak lepas
mengawasi Pendekar Pulau Neraka. Maka begitu
Bayu berlalu, langsung disusulnya. Dan ternyata ilmu larinya cukup lumayan untuk
mengimbangi Pendekar Pulau Neraka.
Semula Bayu tidak begitu memperhatikan, dan
terus saja berlari sampai jauh dari desa itu. Ketika dirasakannya sudah cukup
jauh, larinya dihentikan. Kini, kakinya melangkah tenang sambil mengatur jalan napasnya.
"Nguk! Nguk...!"
Tiren membuka matanya. Kemudian mulutnya
dibuka lebar-lebar seraya merentangkan tangannya. Dan matanya langsung menatap ke sekeliling.
Kemudian binatang itu berteriak-teriak kecil
kembali. "Puih! Hampir saja aku terjebak dalam urusan
yang tidak berguna...," dengus Bayu sambil bernapas lega. "Hi hi hi...! Pendekar gagah perkasa, kenapa la-ri dari urusan?"
Mendadak terdengar satu suara, membuat
Bayu seketika berpaling. Kini tampaklah sosok
tubuh ramping melayang turun dari satu cabang
pohon yang tidak jauh di sampingnya. Pemuda itu mendesah kesal, begitu
mengetahui siapa yang
muncul. Dia tak lain wanita genit yang tadi bera-da di kedai. Karena, justru
dialah pangkal persoa-lan sesungguhnya!
"Apa maksudmu mengikutiku ke sini"!" tanya
Bayu ketus. "Apakah tidak boleh?"
"Kembalilah kau ke sana! Mungkin mereka telah menyelesaikan urusannya untuk mendapatkanmu!"
"Huh! Siapa yang peduli dengan keledai-keledai
dungu itu!"
"Lalu, untuk apa kau mengikutiku?"
Gadis bernama Diah Kemuning itu melangkah
gemulai, mendekati Bayu seraya tersenyum genit.
"Tidak bisakah kau bicara sedikit lembut..."
Sayang sekali jika orang setampanmu ini mempunyai sifat kasar...," kata Diah Kemuning, agak manja.
"Bukan urusanmu! Pergilah kau. Kita tidak
punya urusan apa-apa!" dengus Bayu kesal seraya berbalik, membelakangi gadis itu. Lalu kakinya melangkah terburu-buru.
Namun baru saja melangkah tiga tindak, mendadak tubuh gadis itu telah melayang ringan dan mendarat tepat dekat di hadapan
Bayu. Dengan senyum genit, diusapnya pipi kiri pemuda itu disertai tatapan mata yang sayu.
"Kudengar kau Pendekar Pulau Neraka. Pendekar nomor wahid yang memiliki kepandaian tinggi. Tidakkah kau tertarik padaku" Akan kuberikan apa saja yang kumiliki untukmu asal kau
sudi menolongku...," Diah Kemuning.


Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak perlu berkata begitu! Jangankan
menolongmu, untuk mencampuri urusanmu saja
aku muak!" sentak Bayu seraya menepis tangan
gadis itu. "Jangan terburu-buru, Pendekar Pulau Neraka.
Tidakkah kau ingin mendengar ceritaku lebih dulu?" tanya Diah Kemuning. Kali ini sikapnya terlihat lebih wajar. Bahkan
cenderung bersungguhsungguh. Bayu mendengus kesal. Meski melihat kesungguhan dalam tatapannya, tapi Pendekar Pulau
Neraka tetap masih belum yakin kalau gadis itu
tidak akan menipu.
"Apa untungnya aku mendengar ceritamu?"
tanya Bayu, sinis.
"Kurasa tidak ada. Tapi ini bukan sekadar menyangkut diriku, melainkan orang banyak...."
"Tidak usah berbelit-belit. Katakan, apa yang
kau ingin ceritakan! Lalu, pergilah dari sini secepatnya!" sahut Bayu, tegas.
"Betulkah kau ingin mendengar ceritaku"!"
tanya Diah Kemuning menegaskan.
"Jangan bertele-tele! Cepat katakan...!"
"Baiklah. Tapi, sebelumnya aku akan memperkenalkan namaku.... Diah Kemuning...."
Bayu melotot garang.
"Aku tidak tanya namamu! Lekas ceritakan!
Atau, aku akan pergi dari sini"!" potong Pendekar Pulau Neraka kesal.
"Baiklah. Pernah mendengar orang yang berjuluk Iblis Cebol...?"
"Siapa orang itu?" tanya Bayu dengan berkerut
dahi heran. "Hm.... Sungguh kau tidak pernah mendengar
berita yang menggemparkan ini" Banyak sudah
tokoh persilatan yang tewas di tangan manusia
cebol itu. Bahkan lebih dari sepuluh perguruan
silat ternama hancur di tangannya...!" tutur Diah Kemuning.
Bayu mengangguk-angguk. "Hm, ya. Aku dengar soal itu. Jadi, Iblis Cebol pelakunya" Lalu, apa hubungannya denganmu?"
"Aku menginginkan kepala orang itu!" sahut
Diah Kemuning. Bayu tersentak kaget, kemudian tersenyum
sendiri seperti tidak percaya pada pendengarannya. Dipandanginya gadis itu
dengan seksama, la-lu kembali tersenyum.
"Itukah urusan yang kau katakan menyangkut
kepentingan orang banyak?" tanya Bayu.
"Itu pertolonganmu padaku. Sedangkan bagi
orang banyak, adalah kematiannya" sahut gadis
itu bersungguh-sungguh.
"Kenapa tidak kau sendiri saja yang melakukannya?" "Kalau aku mampu, tidak perlu minta pertolonganmu. "
"Kau takut mati" Lalu, mengapa begitu dendam padanya?"
"Ya! Aku memang takut mati, sebab belum
sempat membalas dendam pada manusia keparat
itu!" dengus Diah Kemuning dengan bola mata
berbinar tajam.
Bayu lalu melangkah tenang meninggalkan gadis itu. "Maaf. Aku tidak bisa membantumu. Kau boleh
cari orang lain saja...."
"Pendekar Pulau Neraka! Apakah kau takut untuk menghadapi manusia cebol itu"!" teriak Diah Kemuning kesal dengan nada
mengejek. Bayu tersenyum. Dan tanpa berpaling, kakinya
terus melanjutkan langkahnya.
"Ya! Aku takut berhadapan dengannya. Karena
kusadari, hal itu tidak ada gunanya," sahut Bayu tenang.
"Kalau begitu, aku akan memaksamu...!" desis
Diah Kemuning seraya mencabut pedang. Langsung diserang Pendekar Pulau Neraka dari belakang. "Yeaaaah...!"
*** "Hup! Uts...!"
Bayu mengelak ke samping, ketika merasakan
angin sambaran senjata Diah Kemuning. Namun
kedua ujung pedang gadis itu terus menyambarnya silih berganti. Serangannya amat teratur dan saling menyusul dalam waktu
cepat. "Gadis sial! Kau kira bisa membujukku dengan
cara begini"!" dengus Bayu kesal.
"Siapa yang akan membujukmu" Aku bahkan
akan memenggal kepalamu!" sahut gadis itu garang. "Edaaan...!"
Bayu kembali memaki ketika pedang gadis itu
nyaris menyambar tenggorokannya. Tubuhnya
melompat ke belakang, sambil jungkir balik. Namun, Diah Kemuning kembali melakukan serangan kilat "Yeaaah...!"
Pemuda berbaju kulit harimau itu berkali-kali
memaki kesal. Bayu merasa, tidak ada gunanya
meladeni gadis ini. Maka Pendekar Pulau Neraka
langsung balas menyerang, setelah menghindari
dua tebasan senjata yang terarah pada leher dan jantungnya. Tubuhnya melejit ke
samping, dan langsung melakukan sodokan keras lewat kepalan
tangan kirinya ke dada kiri gadis itu.
"Hiiih...!"
"Brengsek! Dasar lelaki cabul!" umpat Diah
Kemuning sambil menggeser tubuh ke kiri.
Namun serangan selanjutnya kembali datang.
Satu tendangan keras yang dilakukan pemuda itu
meluncur ke arahnya. Terpaksa dia melompat ke
belakang untuk menghindarinya.
Namun angin serangan Pendekar Pulau Neraka
yang kuat, cukup membuat tubuh gadis itu bergetar, dan kuda-kudanya menjadi limbung. Diah
Kemuning betul-betul tercekat kaget dan jantungnya berdetak lebih kencang. Tidak disangkanya kalau Pendekar Pulau Neraka memiliki tenaga dalam yang demikian hebat.
"Brengsek! Dasar edan! Kau hendak membunuhku, he"!" maki gadis itu kesal. "Heh"! Ke ma-na perginya dia?"
Diah Kemuning jadi celingukan sendiri dengan
hati bertambah kesal saja. Ternyata tahu-tahu
Pendekar Pulau Neraka telah hilang dari pandangan. Matanya langsung mencari-cari ke sekitar
tempat itu, namun Pendekar Pulau Neraka betulbetul tidak terlihat lagi batang hidungnya.
"Pendekar Pulau Neraka! Ke mana pun kau
pergi, akan kukejar...!" teriak gadis itu kesal seraya berlari cepat ke satu
arah. Ketika Diah Kemuning telah berlalu jauh, tibatiba sesosok tubuh meluruk turun dari cabang
atas sebuah pohon yang tidak begitu jauh. Pendekar Pulau Neraka tersenyum sambil menggeleng lemah. "Dasar gadis binal! Hanya menyusahkan saja...!" "Nguk! Nguk...!"
Tiren melompat-lompat sambil mencerecet ribut Agaknya monyet kecil itu kurang setuju dengan tindakan Bayu.
"Kita tidak boleh mempercayai orang seperti
tadi, Tiren. Dia banyak akalnya. Dan siapa tahu, apa yang dikatakannya itu tipu
muslihat...," jelas Bayu seperti mengerti bahasa monyet.
"Kaaakh!" Tiren menjerit keras seperti hendak
membantah ucapan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu hanya tersenyum kecil. Dan baru saja
kakinya melangkah dua tindak....
"Pendekar Pulau Neraka! Berhenti kau...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras. Dan tahutahu dua sosok tubuh besar telah menghadang
Pendekar Pulau Neraka. Bayu tercekat, dan terpaksa menghentikan langkahnya. Dipandanginya
mereka satu persatu, kemudian tersenyum kecil.
Kedua orang bertubuh besar itu tak lain dari Sepasang Naga Bertaring, yang tadi
bertarung di depan kedai.
"Huh! Bocah seperti ini mau bertingkah di depan Sepasang Naga Bertaring!" dengus orang yang bersenjata golok, dan bernama
Ruksa dengan wajah sinis.
"Apa yang kalian inginkan dariku?" tanya Bayu
tenang. "Serahkan gadis itu pada kami!" sentak orang
yang bersenjata clurit, yang bernama Rekso.
"Dia telah pergi...."
"Huh! Kau kira kami percaya begitu saja?" dengus Ruksa. "Aku tidak menyuruh kalian untuk percaya.
Tapi kalau kalian tidak ingin kehilangan dia, su-sullah ke arah sana!" tunjuk
Bayu ke arah Diah
Kemuning tadi berlalu.
"Kau apakan dia"!" tanya Rekso, geram.
Bayu memandang orang bersenjata clurit itu
dengan wajah tidak senang, karena sangat memandang remeh padanya. Demikian pula kawannya. Dan hal itu membuatnya semakin tidak menyukai mereka. "Kau pikir aku sudi melepaskan begitu saja"
Dia telah menawarkan dirinya. Dan, mana mungkin kusia-siakan begitu saja...," sahut Bayu seenaknya memanasi.
"Kurang ajar!" maki Ruksa, langsung mencabut
goloknya. "Sudah, Ruksa! Kita hajar saja bocah tak tahu
diri ini!" ujar Rekso.
"Huh! Tanganku memang sudah gatal, Rekso!"
desis Ruksa. Laki-laki itu segera melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Dan tindakannya diikuti
Rekso. Tampaknya, mereka begitu bernafsu
menghabisi Pendekar Pulau Neraka dalam waktu
singkat Sehingga tidak heran bila mereka langsung mengerahkan kemampuan pada tingkat tertinggi. Srakkk! "Yeaaah...!"
"Kaaakh...!"
Begitu melihat kedua orang itu menyerang, Tiren segera melompat dari pundak Pendekar Pulau
Neraka dan hinggap di cabang sebuah pohon yang
tidak begitu jauh dari tempat ini. Sedangkan
Bayu mendengus dingin. Dan tubuhnya segera
meliuk ke samping kiri dan kanan sambil membungkuk menghindari tebasan senjata Sepasang
Naga Bertaring.
"Hup, Uts...!"
"Hiyaaa...!"
Begitu terlepas dari serangan, Pendekar Pulau
Neraka balas menyerang. Ujung kaki kanannya
cepat menyodok ke dada Ruksa. Lalu, tubuhnya
berputar seraya menghantamkan kepalan tangan
ke muka Rekso. "Uts...!"
"Uh...!"
*** Sepasang Naga Bertaring tersentak kaget, melihat serangan Pendekar Pulau Neraka yang datangnya cepat luar biasa. Belum lagi angin serangan pemuda itu yang kuat bukan main. Tubuh
mereka bergerak berputar, untuk menghindari.
Lalu mereka kembali balas menyerang dengan geram. Wukkk! Bettt! Bayu melompat ke atas, lalu berputaran beberapa kali di udara. Sehingga, serangan Sepasang Naga Bertaring lewat di bawah
tubuhnya. Begitu
meluruk turun, kedua kaki Pendekar Pulau Neraka melepaskan hantaman ke muka lawanlawannya. Rekso dan Ruksa tersentak kaget Namun mereka masih sempat menangkis dengan
tangan kiri. Plak! Plak! "Uh...!"
Kedua orang itu mengeluh kesakitan ketika
tangan mereka menangkis tendangan Pendekar
Pulau Neraka. "Yeaaa...!"
Begitu mendarat di tanah. Bayu kembali memutar tubuhnya. Sebelah kakinya cepat diangkat, ketika tebasan clurit Rekso
meluncur datang. Sedangkan kepalanya cepat menunduk, menghindari tebasan golok Ruksa. Dan begitu tertebas, Pendekar Pulau Neraka cepat
mengibaskan tangannya ke arah dada Rekso.
"Uts!"
Rekso terkejut bukan main mendapat serangan
mendadak ini. Maka cepat dia melompat ke belakang. Namun, Pendekar Pulau Neraka terus mengejar dengan gerakan tangan yang indah, melepaskan pukulan-pukulan mautnya. Dalam beberapa jurus saja Pendekar Pulau Neraka bisa mengerti kalau kekuatan Sepasang Naga Bertaring berada pada kerjasama dalam
membangun serangan. Untuk itulah Pendekar Pulau Neraka terpaksa memojokkan salah seorang tanpa mengurangi
kewaspadaan terhadap serangan yang seorang lagi. "Hiiih!"


Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan gemas Rekso membabatkan cluritnya.
Namun tangkas sekali Bayu menangkis dengan
Cakra Maut di pergelangan tangan kanan.
Trakkk! "Hei"!"
Rekso terkejut bukan main, begitu habis menangkis. Karena bukan tangan pemuda itu yang
putus, melainkan cluritnya yang patah. Dan justru dalam keadaan demikian, dia membuat kesalahan besar. Maka kelengahan beberapa saat itu, digunakan Pendekar Pulau Neraka
dengan baik. Langsung dilepaskannya satu sodokan keras ke
dada Rekso. Begkh! "Aaakh...!"
Rekso menjerit keras begitu dadanya telak sekali menerima hantaman Pendekar Pulau Neraka.
Tubuhnya yang besar langsung terjungkal dan terus berguling-gulingan di tanah. Dari mulutnya
tampak meleleh darah kental.
"Hiyaaa...!"
Sementara itu, Ruksa membentak geram. Goloknya, cepat bergerak, menghantam batok kepala Pendekar Pulau Neraka dengan
cepat. Dan Pendekar Pulau Neraka segera berkelit ke kanan. La-lu langsung dia
balas menyerang dengan ayunan
kaki kanan ke pinggang. Melihat hal ini Ruksa
cepat menangkis serangan menekuk kaki kanannya. Plak! "Hiiih!"
Golok Ruksa kembali menyambar, begitu habis
menangkis. Namun, Pendekar Pulau Neraka telah
menyelinap ke belakang. Dan tahu-tahu, Bayu
melepaskan hantaman telak ke pinggang kiri
Ruksa. Duk! "Aaakh!"
Ruksa kontan menjerit keras. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung sambil memegangi pinggang kirinya yang terasa linu. Wajahnya kelam,
menahan amarah meluap-luap. Dan dia kembali
memasang kuda-kuda. Lalu langsung diserangnya Pendekar Pulau Neraka tanpa mempedulikan
rasa sakit yang diderita.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
Bayu mampu berkelit dengan mudah, kemudian melompat ke atas. Namun, Ruksa tangkas
sekali mengayunkan senjatanya ke arah Bayu.
Maka dengan cepat Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya.
Singngng! Cakra Maut di pergelangan tangan Pendekar
Pulau Neraka tiba-tiba melesat cepat, menimbulkan suara mendesing nyaring yang mengiringi cahaya putih keperakan. Ruksa tersentak kaget.
Namun, tidak ada waktu lagi baginya untuk mengelak. Senjata itu terus menderu ke lehernya.
Dan.... Cras! "Hokh!"
Orang bertubuh tinggi besar itu hanya mampu
memekik tertahan begitu lehernya dihantam senjata Pendekar Pulau Neraka hingga nyaris putus.
Tubuhnya terhuyung-huyung sesaat, kemudian
ambruk ke tanah. Dan darah segar mengucur deras dari luka di leher Ruksa.
"Keparat! Kau membunuh saudaraku! Kubunuh kau...! Kubunuh kau...!" sentak Rekso kalap.
Dengan menguatkan diri, Rekso melompat menerkam Pendekar Pulau Neraka yang tengah menangkap senjata Cakra Maut yang melesat kembali ke pergelangan tangannya.
Namun belum lagi Rekso sampai, mendadak
sesosok tubuh ramping melesat dan langsung
memapaki. Rekso terkejut. Bahkan dia tidak
sempat mengelak ketika dua buah senjata tajam
menyambar perut dan dadanya.
Cras! Brettt! "Aaa...!"
Terdengar jeritan keras ketika dua buah senjata menyayat dalam tubuh Rekso. Isi perutnya
sampai terburai keluar dan bagian dadanya pun
robek lebar dengan darah mengucur deras. Tubuhnya langsung ambruk ke tanah dan menggelepar-gelepar beberapa saat, sebelum nyawanya
melayang. Pendekar Pulau Neraka mendengus pelan ketika melihat siapa orang yang baru muncul, dan
langsung melenyapkan Rekso.
"Kau lagi! Dasar perempuan brengsek! Kenapa
kau kembali ke sini lagi?" kata Bayu, keras.
Orang yang baru muncul itu memang tak lain
dari Diah Kemuning. Sambil tersenyum kecil
mengejek, dihampirinya Pendekar Pulau Neraka.
"Hmmm.... Kau kira aku bisa ditipu begitu saja" Tidak mungkin kau bisa lolos begitu cepat dari pandanganku. Makanya aku
kembali lagi, karena
yakin kau pasti bersembunyi di dekat sini. Dan
ternyata, dugaanku benar...."
*** 4 "Huh!"
Bayu hanya mendengus pelan, kemudian melengos meninggalkan tempat itu.
"Kaaakh...!" jerit Tiren, nyaring.
Bayu kembali mendengus kesal ketika Diah
Kemuning kembali menyerang. Seketika terasa
serangkum angin yang mendesir ke arahnya.
"Uts...!"
Pendekar Pulau Neraka cepat bergerak ke
samping untuk menghindarinya.
"Aku akan membunuhmu sekarang juga!" dengus Diah Kemuning geram.
"Edaaan!" maki Bayu seraya melenting ke atas,
dan hinggap pada salah satu cabang pohon di dekatnya. Namun, Diah Kemuning terus mengejar
dengan babatan pedangnya.
"Hup!"
Trasss! Pras! Cabang pohon yang dipijak Bayu patah menjadi tiga bagian dipapas pedang gadis itu. Untung saja Pendekar Pulau Neraka ini
telah melesat ke cabang pohon yang lainnya. Sementara Diah Kemuning semakin
geram saja melihat seranganserangannya kembali gagal. Namun pemuda itu
terus dikejarnya.
"Cukup...!" bentak Bayu, geram.
Namun Diah Kemuning tidak mempedulikannya. Dia terus melesat dengan pedang terhunus.
Maka terpaksa Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya. Sehingga saat itu juga, cahaya putih keperakan dari
Cakra Maut di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka melesat
bagaikan kilat ke arah Diah Kemuning. Gadis itu tercekat, namun sudah terlambat
untuk menghindar. Terpaksa Cakra Maut dihantamnya dengan pedangnya. Trasss! Diah Kemuning terkesiap ketika pedangnya
terbabat putus, hingga tinggal gagangnya saja.
"Fuuuh...!"
Diah Kemuning menghela napas lega, begitu
mendarat di tanah. Nyaris jantungnya berhenti
berdenyut melihat keganasan senjata Pendekar
Pulau Neraka. "Hei"! Ke mana dia?" sentak gadis itu kesal.
Ternyata Bayu telah kembali lenyap dari tempat itu. Sengaja Pendekar Pulau Neraka tadi melepaskan Cakra Mautnya, untuk mengejutkan gadis itu. Dan ternyata, dugaannya benar. Diah
Kemuning tersentak kaget, melihat berdesingnya
Cakra Maut ke arahnya. Lalu ketika gadis itu terpana, buru-buru ditangkapnya
kembali Cakra Mautnya, dan kabur dari tempat itu setelah menyambar Tiren. Diah Kemuning baru menyadarinya belakangan, ketika tidak juga kunjung bertemu pemuda
itu. Sambil mengomel berkali-kali, dirayapinya seluruh daerah ini. Namun sampai
sekian lama, pemuda itu tidak terlihat juga batang hidungnya.
"Sial! Dia pasti telah kabur!" dengusnya kesal.
Berpikir begitu, Diah Kemuning segera berlalu
meninggalkan tempat ini. Yang dituju adalah arah yang diperkirakan arah
kepergian Pendekar Pulau Neraka.
*** Pantai Karang Alas terlihat angker. Gugusan
karang berbentuk bukit-bukit kecil, membentang
ke sepanjang pantai sebelah kanan. Sementara di sebelah kirinya, terlihat
rerimbunan pohon bakau dan pohon api-api. Debur ombak yang menggulung sesekali menghantam dinding karang.
Di puncak salah satu karang yang membukit,
tampak dua sosok tubuh tengah mematung beberapa saat, seraya memandang jauh ke depan.
Laut terlihat membiru dan cakrawala membatasi
pemandangan mereka. Burung-burung camar di
pantai terbang ke sana kemari dan sesekali melintas di atas kepala mereka.
"Paman, telah berapa lama kita berjalan...?"
tanya sosok bertubuh ramping berbaju serba putih. Rambutnya yang dikucir ke belakang, diikat pita warna merah muda terbuat
dari sutera halus.
Di pinggang kirinya terselip sebuah keris.
"Telah seminggu, Andini...," sahut sosok yang
satu lagi, dan ternyata seorang laki-laki berusia lebih dari lima puluh tahun.
Dia berada di samping sosok berbaju putih yang ternyata seorang
gadis bernama Andini.
Gadis putri Ketua Perguruan Jalak Sampurno
ini memang berhasil kabur bersama laki-laki
bongkok yang tak lain Paman Sudira. Tampak
tangan kanan Paman Sudira menggenggam sebuah tongkat yang menopang tubuhnya.
"Lalu apa yang akan kita kerjakan di tempat
ini?" tanya Andini.
"Bukankah kita akan menemui Resi Wangsa
Purbaya...?" Paman Sudira mengingatkan.
Andini menghela napas pendek.
"Sejak subuh tadi, kita berada di sini. Lalu, kapan orang tua itu akan ke
sini...?" "Sabarlah, Andini...."
Keduanya membisu untuk beberapa saat Andini lalu duduk di atas sebuah tonjolan karang besar seraya menyeka keringat yang
mulai mengu- cur di dahinya. Paman Sudira menghampiri dan
kembali mematung di dekatnya.
"Paman Sudira! Apakah benar orang tua yang
bernama Resi Wangsa Purbaya mempunyai sesuatu yang dapat diandalkan untuk mengalahkan
Iblis Cebol?" tanya Andini.
"Begitulah yang dikatakan beberapa orang. Resi Wangsa Purbaya memiliki sebuah pedang bernama Pedang Ular Mas. Menurut apa yang terdengar, pedang itulah yang mampu mengakhiri
Iblis Cebol...," jelas laki-laki bongkok itu.
"Paman! Kalau memang demikian, tentu akan
banyak orang ke sini untuk mendapatkan pedang
itu. Sebab, banyak sekali orang yang mendendam
pada Iblis Cebol!" sahut gadis berbaju serba putih itu dengan wajah tegang.
Paman Sudira terdiam beberapa saat, kemudian memandang Andini dengan wajah gelisah.
Kemudian terlihat kepalanya mengangguk pelan.
"Itulah yang kukhawatirkan. Tapi tidak mungkin resi itu sudi memberikan Pedang Ular Mas
kepada orang sembarangan. Paling tidak, dia
akan memilih orang yang tepat dan bisa dipercaya...," desah Paman Sudira.
"Paman, aku sangat mendendam pada manusia
yang bernama Iblis Cebol. Kalau dia tidak mati di tanganku, rasanya kehidupanku
selamanya tidak
akan tenang...!" desis Andini.
Paman Sudira menghela napas panjang, kemudian tersenyum kecil seperti hendak menghibur gadis itu. "Andini, kita hanya bisa berdoa semoga pedang
itu berjodoh dengan kita. Sebab, yang menginginkannya bukan hanya kita saja.
Lihatlah ke sekeliling kita...?" ujar Paman Sudira.
Gadis itu melirik, kemudian memandang dengan wajah berkerut. Ternyata, entah dari mana
datangnya beberapa orang tokoh persilatan telah berada di tempat itu. Dan
agaknya, mereka akan
terus berdatangan. Tidak terasa, gadis itu mendesah pelan, kemudian memandang
laki-laki di dekatnya dengan wajah kesal.
"Mengapa mereka mesti ke sini...?" tanya Andini. "Mereka mempunyai tujuan sama dengan kita,
Andini," jelas Paman Sudira.
"Apa yang dipikirkan gadis itu, sesungguhnya
juga telah dipikirkan Paman Sudira sejak tadi.
Dan kekhawatirannya adalah, jika terjadi perebutan untuk memiliki pedang itu di
antara mereka. "Bagaimana cara memperoleh pedang itu, Paman...?" tanya Andini memecah kesunyian.
"Hm.... Kita harus menemukan resi itu lebih


Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dulu...." "Tapi bagaimana caranya?" lanjut Andini.
"Entahlah.... Tapi menurut apa yang kudengar,
dia akan datang sendiri menemui kita...," desah laki-laki bongkok itu.
Belum lagi habis kata-kata yang diucapkan
Paman Sudira, mendadak bertiup angin kencang
di sekitar tempat itu. Laki-laki bongkok itu cepat melindungi Andini dengan
tubuhnya, untuk menahan hantaman angin kencang yang menerpa.
Demikian pula tokoh-tokoh persilatan lain yang
berada di tempat itu.
Tidak beberapa lama kemudian, angin kencang
mulai reda perlahan-lahan. Dan, semua mata
memandang ke arah bukit kecil yang tidak jauh
dari tempat mereka berkumpul. Bukit kecil itu
berupa sebuah karang yang tingginya lebih kurang dua tombak dengan ujung yang sedikit runcing. Di situ, berdiri sesosok tubuh berpakaian
serba putih dengan rambut digelung ke atas. Wajahnya bersih dan jenggotnya yang juga berwarna putih, memanjang hingga ke dada.
Tangan kirinya menggenggam sebatang pedang yang dibungkus
warangka indah berukir seekor ular berwarna
keemasan. "Resi Wangsa Purbaya...! "desis salah seorang
di antara mereka yang melihat orang tua itu.
Beberapa orang dari mereka tampak menjura,
seraya memberi salam hormat kepada orang tua
yang dipanggil Resi Wangsa Purbaya.
"Terimalah salam hormat kami, Kanjeng Resi...." "Terima kasih...."
Orang tua itu menganggukkan kepala sambil
tersenyum kecil.
"Kanjeng Resi, kedatangan kami ke tempatmu
ini...," kata salah seorang, namun tidak dilanjutkan. Karena, orang tua itu sudah memberi
isyarat dengan tangannya untuk memotong pembicaraan. "Aku mengerti apa yang kalian inginkan. Dan
Pedang Ular Mas di tanganku ini sesungguhnya
akan berada di tangan yang berhak, untuk kupinjamkan dalam membasmi keangkaramurkaan.
Tapi, anak-anakku semua. Apakah di antara kalian ada yang mampu memikul tanggung jawab
begitu berat?" tanya Resi Wangsa Purbaya.
"Kanjeng Resi! Semua telah mengetahui kalau
belakangan ini seorang tokoh sesat bernama Iblis Cebol tengah mengamuk dan
membantai tokoh-tokoh persilatan. Orang itu memiliki kepandaian hebat dan sulit
ditaklukkan. Oleh sebab itu, kedatangan kami ke sini untuk meminjam Pedang
Ular Mas milikmu, guna melenyapkan Iblis Cebol
itu!" sahut Paman Sudira angkat bicara.
Resi Wangsa Purbaya tersenyum arif seraya
memandang laki-laki tua bongkok itu.
"Kisanak! Kau yakin akan mampu mengalahkan Iblis Cebol dengan Pedang Ular Mas ini?"
"Kalau Kanjeng Resi berkenan meminjamkannya, tentu saja aku akan berupaya sekuat tenaga untuk melenyapkan Iblis Cebol
dengan bantuan pedang itu!" sahut Paman Sudira mantap.
"Setiap senjata adalah sebuah alat. Dan, bukan
benda maha keramat yang patut dipuja. Orang
yang lebih berkuasa adalah si pemakainya. Sebab, dia yang akan menentukan, bagaimana senjata itu bekerja. Nah! Satu syaratku pada kalian
semua, barang siapa yang mampu menarik pedang ini dari warangka, maka dialah yang akan
kupinjamkan Pedang Ular Mas ini. Dimulai dari
kau lebih dahulu!" kata Resi Wangsa Purbaya seraya menuding ke arah Paman Sudira.
Tubuh orang itu lalu melayang ringan, dan tahu-tahu telah berada di hadapan Ki Sudira.
"Silakan, Kisanak!" lanjut Resi Wangsa Purbaya
seraya mengulurkan gagang pedang dengan warangka tetap dalam genggaman tangan kiri.
"Maafkan kelancanganku, Kanjeng Resi...," sahut Paman Sudira seraya memberi hormat.
Tak lama, terlihat laki-laki bongkok itu memusatkan perhatiannya. Seketika dikerahkannya tenaga dalam pada telapak tangan kanan, lalu cepat menangkap gagang Pedang Ular Mas. Sebelumnya dia sudah berusaha menyentak gagang
pedang dengan kuat.
Tappp! "Heup!"
*** Bukan main terkejutnya Paman Sudira ketika
pedang itu sama sekali tidak mau lepas dari warangka. Kekuatannya langsung dilipatgandakan.
Namun sampai pada puncak tenaganya, gagang
pedang itu tidak tercabut juga. Keringat mulai
bercucuran dari dahi dan sekujur tubuhnya setelah beberapa saat berkutat menarik pedang. Dan
pada akhirnya, Paman Sudira kelelahan sendiri.
Napasnya megap-megap seperti hendak putus ketika mengakhiri permainan itu. Lalu, tarikannya dilepas.
"Kau telah gagal, Kisanak...," kata Resi Wangsa Purbaya tersenyum kecil.
Paman Sudira melangkah lesu, ketika seorang
kembali mencoba menarik pedang itu dari warangkanya. Namun seperti Paman Sudira, orang
itu pun mengalami kegagalan.
"Gila...!" desis orang itu seraya bersungutsungut Beberapa orang kembali berusaha mencoba.
Namun seperti yang lain, mereka pun gagal mencabut pedang itu.
"Pedang Ular Mas memang bukan senjata sembarangan...," desah seorang laki-laki bertubuh
kecil, setelah gagal mencabut pedang itu dari warangka.
"Tidak heran kalau senjata itu banyak diminati
orang...," sahut kawannya.
"Ah! Itu hanya tipu muslihat Resi Wangsa Purbaya agar pedang itu tidak dipinjamkannya!"
sanggah salah seorang dengan wajah licik dan
kesal. Agaknya, dia pun telah gagal mencabut pedang itu.
"Apa maksudmu?" tanya kawannya yang bermuka lebar dengan wajah bingung.
"Iya! Seperti kita tahu, Resi Wangsa Purbaya
adalah tokoh berkepandaian hebat. Tampaknya
pedang itu sengaja ditahan dengan tenaganya.
Mana mungkin kita bisa mengalahkan tenaganya
yang hebat luar biasa itu!"
Orang yang bermuka lebar itu hanya diam
membisu. Wajahnya menyiratkan antara rasa
percaya dan tidak mendengar keterangan kawannya. Sementara, orang terakhir telah mencoba pula.
Dan seperti yang lainnya, dia pun telah gagal. Re-si Wangsa Purbaya memandang
mereka sambil tersenyum kecil.
"Jika kalian tidak mampu mencabut pedang ini
dari warangkanya, bagaimana mungkin kalian
mampu mengalahkan Iblis Cebol" Seperti tadi telah kukatakan, pedang ini hanya senjata biasa.
Dan dia tidak akan berarti, jika pemiliknya hanya memiliki kepandaian rendah.
Meski salah seorang di antara kalian kupinjamkan untuk melawan Iblis Cebol,
niscaya tetap tidak akan mampu mengalahkannya...," jelas Resi Wangsa Purbaya.
Orang-orang yang berada di tempat itu terdiam
beberapa saat lamanya. Wajah Andini tampak lesu. Demikian pula Paman Sudira.
"Aku tidak tahu lagi, bagaimana caranya kita
bisa mengalahkan Iblis Cebol itu, Paman...," kata gadis itu lesu.
"Paman telah berusaha, Andini...."
Andini mengangguk lemah.
"Aku mengerti, Paman. Tapi dendam di hatiku
ini tidak akan bisa tuntas kalau Iblis Cebol masih berkeliaran...."
Pada saat itu mendadak melompat seorang
pemuda ke hadapan Resi Wangsa Purbaya. Kulitnya agak hitam. Tubuhnya yang tegap terbungkus
baju rompi coklat dari kulit rusa. Rambutnya
yang keriting diikat sehelai kain merah. Di punggungnya tersandang sepasang
golok panjang. "Orang tua, aku akan mencoba mencabut pedangmu...!" tantang pemuda itu dengan sikap penuh percaya diri.
"Hm, cobalah...," desah Resi Wangsa Purbaya
tenang, seraya mengulurkan pedangnya.
"Heup!"
Pemuda itu memusatkan perhatian seraya
mengerahkan tenaga dalamnya yang disalurkan
pada kedua belah telapak tangan.
"Yeaaah...!"
Dia membentak nyaring, lalu mengulurkan
tangannya untuk memegang gagang pedang itu.
Dan pemuda itu berusaha menarik gagang pedang sekuat tenaga. Wajahnya berkerut ketika
berkutat dengan Resi Wangsa Purbaya yang tengah memegang warangka Pedang Ular Mas dengan sikap tenang. Sama sekali tidak terlihat kalau orang tua itu tengah
mengerahkan tenaga. Wajahnya polos. Bahkan tetap tersenyum kecil.
"Setan!" maki pemuda itu.
Kembali pedang itu disentaknya dengan kuat
Namun, tetap tidak juga lolos dari warangkanya.
"Hiyaaa...!"
Pemuda itu membentak nyaring. Lalu telapak
tangan kirinya dihantamkan ke arah dada Resi
Wangsa Purbaya. Semua yang melihat kejadian
itu tersentak kaget Agaknya, pemuda itu sengaja dengan licik hendak membunuh
sang Resi dalam
keadaan demikian.
"Hup!"
Namun sigap sekali Resi Wangsa Purbaya memapak, serangan kedua telapak tangan mereka
beradu. Plakkk! Wusss! Bahkan serangkum angin kencang yang kuat
luar biasa tahu-tahu menghantam pemuda itu
tanpa bisa dielakkan lagi. Kontan tubuh pemuda
ini terjungkal ke belakang sambil memekik kesakitan. "Aaakh...! "
Sambil mengusap darah yang menetes di sela
bibirnya, pemuda itu berusaha bangkit dengan
wajah gusar. Namun, Resi Wangsa Purbaya telah
menuding ke arahnya dengan ujung gagang pedang dalam genggamannya.
"Anak Muda! Aku tidak menyuruhmu untuk
menyerangku, melainkan untuk mencabut pedang ini dari warangka. Jika niatmu memang buruk, lebih baik kau tinggalkan tempat ini...," ujar Resi Wangsa Purbaya.
"Keparat! Bagaimanapun caranya, aku harus
mendapatkan pedang itu...," maki pemuda itu seraya mencabut sepasang golok panjang di punggungnya. Dan dia langsung melompat menyerang
Resi Wangsa Purbaya kembali.
"Yeaaa...!"
"Anak bandel! Kau hanya menyusahkan dirimu
saja...," sahut Resi Wangsa Purbaya, pelan.
Seketika tangan kiri resi itu menghantam ke
depan. Dan dari telapaknya yang terbuka menderu serangkum angin kencang seperti tadi, langsung menghantam tubuh pemuda itu.
Debbb! "Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya, pemuda itu terjungkal ke
belakang. Dan kali ini keadaannya tampak parah.
Dari mulutnya menyembur darah kental berkalikali. Dia berusaha bangkit, namun langkahnya
terlihat limbung. Dipungutnya sepasang goloknya yang tadi terpental, kemudian
disarungkannya kembali. Sebentar dipandanginya orang tua itu
dengan sorot mata tajam penuh kebencian.
"Orang tua! Suatu saat, aku akan datang ke
sini lagi untuk mengambil pedang itu dari tanganmu. Hati-hatilah kau! Sebab, bukan tidak
mungkin aku akan mengambil nyawamu pula!"
dengus pemuda itu segera melesat pergi dari tempat itu.
Resi Wangsa Purbaya menghela napas panjang,
kemudian menggeleng lemah.
"Anak muda yang malang. Dia terlalu dipengaruhi nafsu angkaramurka dalam dadanya...."
Kemudian Resi Wangsa Purbaya memandang
ke arah yang lain.
"Nah! Karena tak ada seorang pun yang mampu melepaskan pedang ini dari warangkanya, maka kalian tidak memenuhi syarat untuk kupinjamkan pedang ini. Pulanglah kalian semua...,"
ujar orang tua itu, keras.
Tanpa banyak bicara, mereka meninggalkan
tempat itu satu persatu.
"Ayo, Andini...!" ajak Paman Sudira.
"Tidak, Paman. Aku akan tetap berada di tempat ini...," sahut gadis itu sambil menggeleng lemah.
"Percuma, Andini. Resi itu tidak akan meminjamkan pedangnya untuk kita...."
Andini diam saja tidak menjawab. Sementara
Paman Sudira menghela napas panjang. Dipandanginya dengan perasaan iba wajah gadis yang
muram itu. ***

Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

5 Berkali-kali Paman Sudira membujuk, namun
Andini tetap keras kepala.
"Paman Sudira! Tujuan kita hanya satu. Mendapatkan Pedang Ular Mas untuk membalas kematian ayah dan seluruh murid Perguruan Jalak
Sampurno. Kalau pedang itu tidak kuperoleh,
apalagi yang harus kita kerjakan" Lebih baik aku mati daripada hidup tidak mampu
membalas kematian mereka!" sahut gadis itu lantang.
"Tapi kita tidak bisa memaksakan Resi Wangsa
Purbaya untuk meminjamkan pedangnya...," tegas Paman Sudira.
"Setidaknya, pasti ada jalan lain agar dia sudi meminjamkan pedangnya...,"
sanggah Andini.
Paman Sudira kembali menghela napas sesak.
Lalu matanya merayapi ke sekeliling tempat itu.
Orang-orang yang tadi berkumpul telah menghilang satu persatu. Sementara Resi Wangsa Purbaya tampak masih berdiri tegak di tempatnya,
sambil memandang mereka. Kemudian terlihat
bibirnya tersenyum. Perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri.
"Kisanak! Apa lagi yang kau tunggu" Pulanglah
Patung Emas Kaki Tunggal 1 Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Durjana Berparas Dewa 1

Cari Blog Ini