Ceritasilat Novel Online

Kutukan Brahmana Loka Arya 1

Pedang Siluman Darah 10 Kutukan Brahmana Loka Arya Bagian 1


KUTUKAN BRAHMANA
LOKA ARYA Oleh Sandro S. Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam episode: Kutukan Brahmana Loka Arya
128 hal; 12 x 18 cm
1 Dari kejauhan tampak seorang lelaki tengah
memacu kuda. Di wajahnya tergambar suatu ketegangan. Sekali-kali tangannya mengibas kais, atau menepuk pantat kuda yang seketika itu lari kencang.
"Hia, hia, hia!"
Tubuh kurus itu terus terbawa oleh derap
langkah kaki kuda yang memacu. Tergoncang-goncang
dengan badan mengikuti gerakan sang kuda. Sesekali
lelaki itu menengok ke belakang, dan kembali digebahnya kuda yang ditumpangi.
Mulutnya tak hentihentinya berseru.
"Ayo lari Poleng! Jangan sampai iblis itu mengejar kita!"
Bagaikan mengerti saja, kuda itu makin mempercepat larinya. Sekali-kali kuda itu meringkik, lalu kembali lari dengan
kencangnya. Bila dilihat dari pakaian lelaki muda itu, jelas
bahwa ia adalah seorang Biksu. Dia adalah murid
Brahmana Loka Arya, seorang Brahmana sakti mandraguna. Tiga hari sudah Kidang Emas memacu kuda
untuk menyampaikan pusaka gurunya. Pada Adipati
Brebes. Namun jejaknya telah dikuntit oleh kakak seperguruannya yang hendak merebut pusaka tersebut
ketika baru saja ia hendak pergi.
Sebagai murid yang baik, jelas ia tak mau begitu saja melimpahkan tugas yang telah diperintahkan
gurunya. Hal ini menjadikan kakak seperguruannya
yang bernama Cipta Angkara gusar. Merasa secara
baik-baik tak memperoleh hasil, Cipta Angkara pun
akhirnya memakai jalan kekerasan. Ketika kakak beradik seperguruan itu tengah bertempur, sang guru
seketika itu datang.
"Murid murtad! Apa hakmu untuk meminta Pusaka Kyai Sangkar?"
"Guru...!"
"Jangan sebut lagi kata itu! Tak sudi aku mempunyai murid murtad sepertimu. Minggat dari sini, cepat!" membentak Brahmana
Loka Arya. Betapa tidak!
Murid yang sangat diagung-agungkan untuk kelak
menggantikannya, ternyata telah mencoreng arang di
wajahnya. Cipta Angkara tidak segera bangkit. Bahkan
dengan pasrah ia bersimpuh di kaki Brahmana Loka
Arya. Tak dirasa air mata Cipta Angkara meleleh,
membasahi kedua pipinya.
"Ampun, Guru. Ijinkanlah muridmu mengubah
langkah yang selama ini murid lakukan."
"Janjimu terlalu muluk, Cipta. Tapi tindakanmu, tak ubahnya tindakan syetan."
"Guru...!" memekik Cipta Angkara. "Kalau saja guru mengijinkan murid membawa
Kyai Sangkar...."
"Ah, sudahlah... Kidang, cepat kau bawa pusaka itu. Bupati Brebes telah menantimu!" berkata Brahmana Loka Arya pada Kidang
Emas, tanpa memperdulikan Cipta Angkara yang masih tersimpuh duduk. Mendengar ucapan gurunya, dengan segera Kidang Emas memacu kudanya pergi.
Entah apa yang telah terjadi, tiba-tiba Cipta
Angkara telah mengejarnya. Kejar mengejar antara kedua kakak beradik seperguruan itu terus terjadi.
"Serahkan pusaka itu padaku! Atau aku bunuh
kau, Kidang!"
"Tidak! Pusaka ini diamanatkan guru padaku
untuk menyampaikannya pada kanjeng Adipati
Brebes," menjawab Kidang Emas. Hal itu membuat Cipta Angkara seketika melototkan
matanya marah. Nafasnya memburu hingga hidungnya tampak kembang kempis. Tanpa diduga sebelumnya oleh Kidang
Emas, seketika Cipta Angkara melompat menyerangnya. "Kunyuk! Serahkan pusaka itu padaku!"
"Hem, jangan mimpi, Angkara."
"Bedebah! Akan aku buktikan bahwa aku akan
segera mengirimmu ke akherat, Hiat...!"
Cipta Angkara yang telah dirasuki keserakahan
bagaikan seekor macan ia menyerang. Terkamanterkamannya selalu mengarah pada tempat-tempat
yang mematikan. Namun begitu, Kidang Emas yang
membawa pusaka Kyai Sangkal tampak percaya diri.
Ditebaskan keris pusaka itu manakala Cipta Angkara
hendak merangseknya. Hawa panas yang keluar dari
keris, menjadikan Cipta Angkara harus menarik serangannya. Cipta Angkara tahu tuah keris itu, yang mampu menjadikan segalanya bisa berubah. Air laut akan
mengering bila keris Kyai Sangkar dicelupkan. Apalagi bila manusia yang terkena.
Luluh lantahlah tubuhnya, hangus bagaikan dipanggang.
"Suwe! Kalau begini caranya aku tak akan
mampu. Aku harus mencari siasat," berkata hati Cipta Angkara, yang kemudian
melentingkan tubuhnya ke
angkasa. Hal itu tidak disia-siakan oleh Kidang Emas yang segera memacu kudanya
kembali. "Bedebah! Jangan kabur kau, Kidang!" memaki Cipta Angkara kembali mengejarnya.
Namun dikarena-kan ia hanya berlari, Cipta Angkara pun akhirnya ter-tinggal
jauh. Walau begitu, Cipta Angkara yang telah dirasuki oleh nafsu serakah tak mau
tinggal diam. Dia terus mengejar meski harus mengeluarkan tenaganya
untuk berlari. Tekadnya untuk dapat merampas pusaka Kyai Sangkar, menjadikannya bagai tak kenal lelah.
Ketika malam telah tiba, Cipta Angkara yang telah memasuki perkampungan berusaha mencari kuda.
Dicurinya seekor kuda milik salah seorang saudagar
hingga seketika mengundang warga memburunya.
"Maling...! Maliiingg...!"
"Edan! Mereka meneriaki maling,"
Dihentikan kudanya dan menghadang warga
yang mengejar. Warga yang merasa buruannya berhenti, dengan segera mengepungnya.
"Ternyata ini orangnya yang selalu mengganggu
kampung kita," berkata ketua kampung, yang menjadikan semua warganya geram. Maka
bagaikan diko- mando saja, seluruh warga seketika menyerbu Cipta
Angkara. "Edan! Kalian telah salah sangka. Aku bukan
maling, aku hanya ingin meminjam kuda sebentar."
"Bohong! Mana mungkin kami mau percaya!
Kalau kau bukan maling, kenapa kau mencuri kuda
milik salah seorang penduduk" Jangan banyak berdalih, menyerahlah!"
"Bedebah! Rupanya kalian mencari mati. Kalian
jangan menyesal kalau tahu siapa aku," menggeretak Cipta Angkara marah.
"Jangan banyak bacot! Kau harus bertanggung
jawab atas perbuatanmu!"
Seketika itu semua warga berkelebat menyerang Cipta Angkara, yang dengan gesit mengelakkan
setiap babatan golok. Kaki dan tangannya bergerak cepat, menghantam dan
menendang musuh-musuhnya
yang datang hendak menyerang. Tak ketinggalan kuda
yang ditumpanginya, turut serta melakukan perlawanan. Korban demi korban berjatuhan, manakala
tangan dan kaki Cipta Angkara beraksi. Namun bagaikan tak mengenal takut, warga desa itu terus merangsek. Hal itu menjadikan Cipta Angkara harus kembali
berpikir. Walau ia seorang murid dari Brahmana Loka
Arya yang terkenal sakti, namun menghadapi keroyokan ratusan orang bersenjata ia keder juga. Apalagi ia sendiri tak memakai
senjata barang sebatang tangkai-pun. "Sia-sia kalau aku teruskan melayani
mereka. Bukannya aku takut kalah, namun waktuku begitu
mendesak. Aku harus segera meninggalkan tempat
ini," berkata hatinya membatin. Dengan segera, dihen-takkannya tali kekang kuda.
Seketika kuda yang ditumpanginya pun meringkik.
"Hia...!"
Berbareng dengan pekikkan Cipta Angkara, kuda yang ditumpanginya seketika mengangkat kedua
kaki depannya. Bagaikan terbang, kuda itu melompat
meninggalkan semua warga yang hanya terbengong
tanpa dapat mencegah. Cipta Angkara dan kuda curiannya segera menerobos kegelapan malam, menjadikan semua warga hanya terlolong bisu. Tanpa dapat
berbuat apa- apa, warga desa itu pun kembali ke tempat di mana
teman-temannya mati.
* * * Dipacunya kuda terus berlari menerobos malam, meninggalkan desa Bandar Rejo. Cipta Angkara
sesekali menyeka keringatnya yang tampak terus mengalir. Ringkikkan kudanya, menjadikan Cipta Angkara
seketika merinding bulu tengkuknya. Matanya nanar
memandang ke muka. Gelap terpampang melebar dan
hanya pohon-pohon jati yang tampak menghitam. Pohon-pohon jati itu, seperti berjalan.
"Weeerrr...!"
Angin bertiup dengan kencangnya, menerpa tubuh Cipta Angkara yang makin merinding. "Hem, sepertinya ada sesuatu yang tak
beres," membatin Cipta Angkara.
Dengan perasaan agak sedikit takut, Cipta
Angkara memperlambat langkah kudanya. Matanya tajam mengawasi sekeliling. Tangannya telah terkepal,
siap untuk menghantamkan pukulan jarak jauhnya.
"Hua, ha, ha.... Hua ha, ha!"
Tersentak Cipta Angkara hampir terjatuh dari
kudanya demi mendengar gelak tawa yang merindingkan bulu kuduk. Namun sebagai seorang lelaki yang
memiliki kepandaian, serta merta Cipta Angkara membentak. "Siapa, Kau!"
Tak ada jawaban yang keluar, hanya angin malam yang berlalu dan kembali menepiskan rambutnya
yang gondrong. Demi tak terdengar jawaban, maka untuk kedua kalinya ia membentak. "Siapa kau! Kalau kau manusia, tunjukkan batang
hidungmu! Tapi kalau
kau iblis, jangan ganggu aku!"
Angin malam kembali bertiup, kali ini agak
kencang. Bersama dengan tiupan angin, saat itu juga
berdiri di hadapan Cipta Angkara sesosok tubuh tinggi besar. Tak jelas Cipta
Angkara melihat wajah orang itu, yang tertutup oleh gelapnya malam.
Tampak lelaki tinggi besar itu berjalan menghampirinya. Mulut lelaki itu menyeringai hingga tampaklah gigi-giginya yang tajam meruncing. Bergidik ju-ga Cipta Angkara
melihatnya hingga keringat dingin
pun keluar membasahi tubuh. Tengah Cipta Angkara
tercekam dalam ketakutan, tiba-tiba lelaki tinggi besar itu berkata dengan suara
yang besar pula.
"Anak muda. Jangan kau takut padaku, karena
aku sebenarnya hendak bermaksud baik padamu.
Hem, bukankah kau murid Brahmana Loka Arya?"
"Benar. Siapa kau" Mengapa kau mengetahui
kedatanganku?" bertanya Cipta Angkara. Rasa takutnya sedikit demi sedikit
hilang, manakala menatap ma-ta lelaki di hadapannya. Kembali lelaki di
hadapannya tertawa bergelak-gelak mendengar ucapannya.
"Hua, ha, ha.,.! Cipta Angkara, ketahuilah bahwa sejak lama aku menguntit mu. Kaulah orang yang
pantas menjadi abdi setiaku. Sifatmu, adalah sifat
keangkaramurkaan. Hal itu merupakan sebagian dari
sifatku. Maka jangan kaget kalau aku menyukaimu
dan bermaksud mengangkatmu sebagai titisanku."
"Hai, siapakah orang ini" Sepertinya ia telah
mengetahui segala yang ada pada diriku?" bertanya hati Cipta Angkara. Belum
habis rasa tak mengerti di hati Cipta Angkara, lelaki itu kembali tertawa dan
berkata: "Hua, ha, ha... Cipta Angkara, ketahuilah bahwa aku memang mengetahui
apa saja yang selama ini
kau lakukan. Karena sifatmu seperti itu hingga aku
kembali bangkit sesuai janjiku pada gurumu."
"Siapa kau sebenarnya, Ki Sanak?"
"Aku" Akulah Raja Siluman Kerta Ganda
Mayit." Tersentak Cipta Angkara demi mendengar lelaki itu menyebutkan namanya.
Karena saking kagetnya,
tanpa sadar Cipta Angkara berseru. "Kerta Ganda Mayit! Jadi kau...?"
"Ya, akulah raja siluman yang pernah gurumu
ceritakan."
"Apa maksudmu menghadangku?"
"Hua, ha, ha!!! Aku ingin mengangkatmu sebagai muridku. Aku akan menitis padamu. Dengan cara
itu, aku akan dapat melaksanakan cita-citaku untuk
menghancurkan umat manusia. Lima puluhan tahun
sudah aku menanti. Lima puluh tahun aku harus bersabar menunggu salah seorang murid Brahmana Loka
Arya untuk membalas kekalahanku lima puluh tahun
yang silam."
Mengerut alis mata Cipta Angkara mendengar
penuturan Raja Siluman Kerta Ganda Mayit. Ia tak
mengerti maksud ucapan itu. Maka dengan agak sedikit berani Cipta Angkara pun bertanya.
"Kenapa kau menunggu salah seorang murid
guruku" Kenapa pula kau hendak menitis padaku?"
"Hua, ha, ha. Ketahuilah, bahwa kami yaitu


Pedang Siluman Darah 10 Kutukan Brahmana Loka Arya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku dan gurumu telah mengadakan janji manakala
kami bertempur. Gurumu yang memang orang bijak,
telah dapat mengalahkanku lima puluh tahun yang lalu. Lima puluh tahun yang lalu, akulah pendekar yang paling tinggi ilmunya di
antara deretan tokoh persilatan. Namun karena aku merupakan tokoh sesat, akhirnya aku dimusuhi oleh semua tokoh persilatan termasuk Begawan Wungkal Gunung. Mereka berusaha
melenyapkan aku dari dunia. Namun usaha mereka
mengalami kesia-siaan karena aku tak dapat mati.
Hampir saja para tokoh persilatan putus asa kalau sa-ja tidak datang seorang
pendekar muda dari wetan
bernama Loka Arya yang menyanggupi untuk menyingkirkan aku dari dunia. Kami pun bertempur
hingga sampai tujuh hari tujuh malam...."
"Ah!" memekik Cipta Angkara demi mendengar ucapan Kerta Ganda Mayit, membuat
Kerta Ganda Mayit seketika menghentikan ceritanya dan memandang pada Cipta Angkara dengan alis mata mengerut.
"Kenapa, Cipta?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya heran, apakah kalian bertempur begitu lama tak capai?"
"Ya, karena kami berdua sama-sama sakti
hingga sukar bagi kami untuk dapat menjatuhkan lawan. Namun ketika hari menginjak kedelapan, aku tak
sanggup lagi mengimbangi ilmu-ilmunya. Saat itu juga aku mengakui kekalahanku.
Kukatakan padanya bahwa aku tak akan menampakkan diri lagi di dunia. Tapi
sebelum aku kembali ke dunia, aku sempat berjanji
dengannya. Adapun isi perjanjiannya sebagai berikut.
"Mulai hari itu, aku tak akan mengganggu dunia lagi.
Aku boleh muncul kembali setelah ada salah satu muridnya yang murtad."
"Lalu ke mana saja kau selama lima puluh tahun?" "Selama lima puluh tahun aku bersemadi meminta pada Yang Widi agar dapat
menemukan orang
yang nantinya dapat aku titisi. Dan ternyata hari ini aku menemukanmu. Rupanya
Yang Widi masih memberikan kesempatan padaku untuk yang terakhir."
"Yang terakhir?" bertanya Cipta Angkara seraya mengerutkan keningnya. Ia tak
mengerti mengapa Kerta Ganda Mayit berkata begitu" Setahunya, Siluman
tak pernah akan mati sebelum akhir jaman. Tapi kenapa Kerta Ganda Mayit mengatakan yang terakhir"
"Ya, yang terakhir. Sebab dalam dunia Siluman
tak boleh mengalami kegagalan berturut-turut," jawab Kerta Ganda Mayit. Namun
jawaban Kerta Ganda
Mayit sepertinya belum juga dimengerti Cipta Angkara yang kembali bertanya.
"Maksudmu terakhir bagaimana?"
"Bila untuk kedua kalinya aku gagal, maka aku
tak akan pernah menginjakkan dunia manusia lagi,"
berkata Kerta Ganda Mayit menerangkan.
"Bukankah kau seorang raja?" kembali Cipta Angkara bertanya. Tertawa bergelakgelak Kerta Ganda Mayit mendengar pertanyaan Cipta Angkara, lalu
ucapnya kemudian:
"Di alam siluman semuanya sama, tidak seperti
manusia. Di sana raja sama dengan rakyat bila hal itu memang mengenai tugas.
Biarpun raja, bila ia gagal
dua kali maka ia tak akan dapat diberikan kepercayaan lagi. Hai, hari menjelang pagi. Maukah kau
menjadi abdiku" Ketahuilah, kau akan sakti mandraguna bila aku sudah menitis pada tubuhmu. Tidakkah
kau ingin merajai dunia persilatan?"
Sesaat Cipta Angkara terdiam mendengar penuturan Kerta Ganda Mayit. Matanya memandang tajam,
pikirannya berpikir keras.
"Haruskah aku menerima?" bisik hatinya.
"Baiklah. Aku menerima," akhirnya Cipta Angkara pun berkata, yang membuat Kerta
Ganda Mayit seketika tertawa bergelak-gelak.
"Hua, ha, ha...! Bagus, bagus. Nah, bersiaplah!"
Habis berkata begitu, tiba-tiba tubuh Kerta
Ganda Mayit seketika lenyap. Tubuh itu berubah menjadi seberkas sinar. Sinar berwarna merah itu, seketika meloncat masuk ke tubuh
Cipta Angkara. Rasa panas
seketika menggelegar di tubuh Cipta Angkara hingga
iapun seketika memekik bagaikan dibeset kulitnya.
"Aaaaahhhh.... Tobat!"
Memekik Cipta Angkara bersamaan dengan lenyapnya Kerta Ganda Mayit yang masuk ke tubuhnya.
Seketika itu pula Cipta Angkara pingsan. Tubuhnya
nampak bersinar merah, membara bagaikan api. Sementara kuda yang ditumpanginya, seketika ambruk
ke tanah dengan tubuh mengering. Darah kuda itu, telah terhisap habis.
*** 2 Cipta Angkara menggeliat bangun setelah pingsan beberapa lama. Dirasakan olehnya perasaan lain
yang kini bergayut di benaknya. Perasaan itu seperti menyuruhnya, mendesaknya
untuk berbuat sesuatu.
"Aku harus segera mendapatkan Keris Pusaka
Kyai Sangkar," berkata Cipta Angkara dalam hati. Ma-ka dengan segera Cipta
Angkara berkelebat, pergi meninggalkan hutan itu.
Tersentak kaget Cipta Angkara, manakala merasakan tubuhnya enteng. Larinya begitu cepat laksana angin. Tenaganya besar bagaikan tenaga gajah seratus. "Hai, kenapa aku dapat berbuat begini?" Terheran-heran Cipta Angkara
melihat perubahan pada dirinya. Dihentikan larinya, ia tercenung diam. Manakala ia tengah terdiam penuh
ketidak mengertian. Terdengar suara Kerta Ganda Mayit berkata: "Jangan kaget,
Cipta! Dengan menyatunya aku dengan dirimu, maka
kau akan dapat melakukan semuanya. Rentangkan
kedua tanganmu."
Cipta Angkara menurut merentangkan kedua
tangannya. "Hantamkan tangan kananmu ke batu besar
itu!" Kembali Cipta Angkara menurut. Dihantamkannya tangan kanan ke muka, pada batu besar yang
berjarak sekitar 10 tombak.
"Hiaat...!"
"Duar...!" Seketika terdengar ledakan dahsyat, bersamaan dengan runtuhnya batu
itu. Batu itu hancur berantakan, berhamburan menjadi tepung. Makin
tak mengerti saja Cipta Angkara melihat kejadian itu.
Namun belum sempat semuanya terjawab, terdengar
suara Kerta Ganda Mayit kembali berkata.
"Nah, masihkah kau kurang yakin?"
"Aku yakin."
"Bagus! Sekarang juga kau harus menurut padaku. Kau harus dapat mengambil Keris Kyai Sangkar,
juga Tombak Inti Jagad. Bila dua benda itu telah kau kuasai, maka kau akan
menjadi orang tak tertandingi
di dunia ini. Lakukankah! Kejar adik seperguruanmu."
"Apakah kau tahu di mana adik seperguruanku
berada?" "Dia berada di wilayah Tegal. Cepat kejar dia,
jangan sampai dia menjumpai Bupati Brebes!"
"Baiklah. Aku akan melaksanakan semua yang
kau maui."
Habis berkata begitu, dengan segera Cipta
Angkara kembali berkelebat. Langkahnya lebar-lebar
hingga dalam beberapa saat saja, ia telah jauh meninggalkan hutan itu.
* * * Tak terasa Cipta Angkara berlari, ia telah sampai perbatasan Tegal. Hari telah menjelang siang hing-ga matahari begitu
panasnya menerpa bumi. Cipta
Angkara segera memperlambat larinya dan mencari
sebuah kedai karena perutnya telah bernyanyi, meminta untuk diisi.
"Hem, tak terasa aku telah berlari jauh. Setengah hari telah aku lewati untuk berlari." kata Kerta,
"Aku akan menemukan Kidang Emas di kota ini.... Hai, bukankah itu kuda
tunggangannya" Ya, itu memang
kuda tunggangannya. Aku akan pura-pura tak tahu.
Aku akan masuk ke kedai itu untuk mengisi perutku,"
bergumam Cipta Angkara dalam hati, yang kemudian
berjalan mendekati kedai.
Pengunjung kedai nampak banyak hingga tempat duduk pun habis terisi. Sesaat Cipta Angkara melemparkan pandangannya ke sekeliling. Matanya seketika tertuju pada salah seorang yang duduk di ujung
membelakanginya.
"Hem, jangan harap kau bisa lolos dari tanganku," bergumam hati Cipta Angkara, demi dilihatnya Kidang Emas yang tengah
menyantap makan tak tahu
kedatangannya. Cipta Angkara segera memesan makan
dengan suara pelan. Maksudnya agar kedatangannya
tidak diketahui Oleh Kidang Emas.
Cipta Angkara menyantap makanannya dengan
mata sekali-kali menengok ke arah Kidang Emas. Namun betapa tersentaknya Cipta Angkara, manakala dilihatnya Kidang Emas tak ada lagi di tempatnya. Bergegas ia membayar makanannya, lalu dengan segera
Cipta Angkara pun berkelebat pergi.
"Itu dia....'" berseru Cipta Angkara dalam hati.
Dilihat olehnya Kidang Emas tengah memacu kudanya. Maka dengan segera Cipta Angkara mempercepat larinya. Bagaikan kibasan angin, secepat itu pula Cipta Angkara berlari.
Angin lariannya, menjadikan
daun-daun kering beterbangan.
"Berhenti!" teriak Cipta Angkara yang tiba-tiba telah berdiri di hadapan Kidang
Emas. Kidang Emas
tersentak sesaat demi dilihatnya Cipta Angkara telah
berdiri menghadangnya.
Namun bagaikan tak perduli, Kidang Emas terus menghentakkan kudanya. Dicobanya untuk menerjang Cipta Angkara yang berdiri. Namun belum juga hal itu terjadi, kuda yang
ditumpanginya seketika meringkik dan bagai ketakutan mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi. Beruntung Kidang Emas waspada.
Ia segera melompat turun. Sementara kudanya, dilihatnya telah mati.
"Hem, ilmu apa yang ia gunakan" Tak kusangka, kalau dia mempunyai ilmu yang begitu tinggi. Heh, bukankah guru tak pernah
mengajari ilmu semacam
itu" Dari mana ia memperoleh ilmu itu?" bertanya Kidang Emas dalam hati. Matanya
menatap tajam, melawan pandangan Cipta Angkara yang tersenyum. "Apa maumu, Iblis!"
"Aku menginginkan apa yang kau bawa."
"Huh, jangan kira aku akan memberikannya."
"Kita buktikan. Bila kau tak mau memberikannya, maka aku yang akan mengambilnya dari tanganmu." Habis berkata begitu, Cipta Angkara tiba-tiba berteriak. Tubuhnya melompat
tinggi, lalu berdiri di hadapan Kidang Emas. Senyumnya mengembang sinis,
sepertinya memendam kebencian.
Tersentak Kidang Emas melompat mundur. Ditatapnya lekat bekas kakak seperguruannya. Tangannya seketika meraba gagang Kyai Sangkar, siap untuk
menghadapi segalanya.
"Kidang Emas, berikan senjata itu padaku!"
"Tidak! Ini bukan hakmu. Ini milik kanjeng
Adipati Brebes!"
"Heh, rupanya kau keras kepala, Kidang Emas!
Jangan salahkan aku," menggeretak Cipta Angkara
marah. Tangannya seketika menyatu, lalu dengan didahului pekikkan Cipta Angkara berkelebat menyerang. "Kau seperti si tua bangka itu. Kau harus ku-singkirkan dari muka bumi
ini." "Jangan sombong, Cipta," berkata Kidang Emas seraya mengelakkan serangan Cipta
Angkara. Dengan
keris Kyai Sangkar di tangan Kidang Emas berusaha
mematahkan setiap serangan. Namun Cipta Angkara
yang telah menyatu dengan Kerta Ganda Mayit, sepertinya tenang saja menghadapi senjata sakti itu. Tubuhnya bagai belut, licin hingga selalu lolos dari serangan Kidang Emas. Hal itu
menjadikan Kidang Emas
makin kalap. Maka dengan penuh emosi, Kidang Emas
makin menambah daya serangannya.
"Keluarkan seluruh kepandaianmu, Kidang! Keluarkan apa yang kau peroleh dari si tua bangkotan
itu. Ha, ha, ha.... Jangan harap kau bakalan mampu
menandingiku."
"Sombong!" mendengus Kidang Emas dan terus menyerang.
"Aku tidak sombong seperti gurumu, Kidang.
Akan aku buktikan bahwa aku akan segera menjatuhkanmu." Bareng dengan habisnya suara itu, secepat kilat
Cipta Angkara berkelebat. Tangannya yang membara
bagai bara api, berkelebat mengarah pada Kidang
Emas. Saat itu juga, terdengar pekikkan Kidang Emas.
Tubuhnya seketika memerah, bagaikan terbakar.
Cipta Angkara tersenyum sinis melihat adik seperguruannya telah dapat dikalahkan. Dengan bergerak cepat laksana angin, Cipta Angkara segera merebut keris Kyai Sangkar dari
tangan Kidang Emas yang tengah sekarat. Lalu dengan tanpa mengenal belas kasihan, kembali dihantamnya tubuh Kidang Emas.
Untuk kedua kalinya Kidang Emas memekik
panjang. Tubuhnya ambruk hangus bagaikan arang.
Setelah sesaat memandangi tubuh Kidang Emas, dengan segera Cipta Angkara pun berkelebat pergi.
* * * "Murid durhaka! Murid sesat! Bahaya, bahaya!
Sungguh bahaya bila terjadi. Ah, mengapa siluman itu kembali muncul?" bertanya
Brahmana Loka Arya pada diri sendiri. Brahmana Loka sebagai seorang Wiku
yang sakti mandra guna, tampak telah mengetahui apa
yang telah terjadi. Naluri batinnya, mengatakan bahwa muridnya yang diberi
amanat telah mati di tangan Cipta Angkara. Wajah Brahmana Loka nampak pucat. Mulutnya tampak komat-kamit seperti berdo'a. Ya, dia
memang telah berdo'a untuk kematian seorang muridnya yang patuh. Dia juga berdo'a untuk muridnya yang telah murtad, yang kini
telah bersekutu dengan musuhnya.
"Tak kusangka, kalau akhirnya aku memelihara
anak singa," mengeluh Brahmana Loka. "Tapi memang itu sudah kodrat Yang Widi.


Pedang Siluman Darah 10 Kutukan Brahmana Loka Arya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ah, mungkin umurku sudah harus berakhir."
"Longkat...!!" berseru Brahmana Loka memanggil salah seorang cantriknya.
"Saya, Wiku?" menjawab Longkat dan segera
berlari menghadap.
"Perintahkan pada teman-temanmu untuk
mengungsi."
"Mengungsi, Wiku?" bertanya Cantrik Longkat tak mengerti.
"Ya, mengungsi."
"Untuk apa, Wiku" Bukankah di sini tenang?"
"Memang saat ini tenang. Tapi sesaat lagi di sini akan berubah menjadi ajang
angkara murka," menje-laskan Brahmana Loka. Tersentak Longkat melototkan
mata demi mendengar penuturan Brahmana Loka. Melihat hal itu, Brahmana Loka tersenyum sepertinya
hendak memberi semangat pada cantriknya dan katanya kemudian: "Longkat...."
"Ya, Wiku!"
"Bukannya aku tidak suka kalian bersamaku.
Tapi...." "Tapi kenapa, Wiku?" bertanya Longkat seraya mengerutkan alis matanya
demi mendengar ucapan
Brahmana Loka yang diputus. Sesaat Brahmana Loka
terdiam. Matanya memandang Longkat dengan pandangan sayu. Hatinya bergetar, manakala melihat wajah Longkat. Dua puluh lima tahun mereka bersatu.
Dua puluh lima tahun pula Longkat, Tenggiri, Sanur,
Lomber, dan Angsono mengabdikan diri padanya. Kini
semuanya hendak berakhir, hanya karena seorang
muridnya yang durhaka. Tak disadarinya, air matanya
pun menetes. Melihat Wikunya menangis, Longkat pun seketika menderai air mata. Tengah keduanya menangis,
keempat cantrik lainnya datang. Mereka sesaat menatap pada keduanya tak mengerti. Baru mereka turut
menangis manakala Longkat bercerita pada mereka.
"Kita akan berpisah dengan sang Wiku, Kawan." "Apa..." Kita akan berpisah dengan sang Wiku?"
bertanya keempat cantrik lainnya bareng. Seperti mereka terkejut. "Benarkah, Wiku?"
Brahmana Loka hanya mengangguk. Namun
hal itu telah cukup menjadi jawaban bagi mereka yang
spontanitas mengencangkan tangisnya.
"Jangan tinggalkan kami, Wiku. Jangan...!"
"Aku bukan bermaksud meninggalkan kalian
untuk pergi."
"Tapi, kenapa Wiku mengatakan hendak menyuruh kami pergi?"
"Para cantrikku" Ketahuilah oleh kalian, bahwa
aku tak ingin kalian terbawa bencana yang bakal melanda padepokan ini. Aku ingin, kalian dapat hidup terus...." "Tidak, Wiku.
Apapun yang terjadi, kami ikut,"
berkata Angsono dengan mata berlinang linang.
"Benar, Wiku," sambung Tenggiri.
"Ijinkanlah kami selalu bersama Wiku," tambah Sanur. "Apakah gerangan yang bakal
terjadi hingga Wiku begitu cemas?" bertanya Lomber yang tampak agak tenang
dibanding dengan keempat teman-temannya.
Sesaat Brahmana Loka terdiam. Matanya terpejam rapat, sepertinya tengah meditasi. Tangannya menyatu di depan dada, lalu dengan suara serak ia berka-ta.
"Longkat, Lomber, Tenggiri, Sanur, dan kau
Angsono. Ketahuilah oleh kalian, bahwa sesaat lagi
akan datang petaka. Petaka yang bakal menjadikan
sebuah catatan kehidupan. Petaka yang diibaratkan
dengan pepatah Air Susu Dibalas Air Tuba."
"Ah, Wiku menuduh kami tidak setia," memotong Lomber. Ia menyangka ucapan Wiku tertuju pada
mereka. Brahmana Loka tersenyum dalam diam. Digelengkan kepalanya, lalu kembali ia berkata.
"Bukan pada kalian ucapan itu kutujukan."
"Lalu pada siapakah, Wiku?" bertanya Angsono.
"Masihkah kalian mengingat seorang muridku?"
"Maksud Wiku, Cipta Angkara?"
"Benar jawabanmu, Tenggiri. Dialah yang aku
maksud." "Maksud, Wiku?" bertanya Longkat belum mengerti. "Dia telah membalas air susu
dengan air tuba.
Dia telah membunuh adik seperguruannya, Kidang
Emas, hanya karena keserakahan. Dia juga telah bersekutu dengan siluman Kerta Ganda Mayit, musuhku.
Nah, mungkin dengan keterangan ini kalian telah
mengerti maksudku."
"Kami mengerti, Wiku," menjawab mereka serempak. "Tapi kami ingin mati bersama Wiku," lanjut Longkat.
"Benar. Aku juga, Wiku," lanjut Tegiri.
"Aku juga!"
"Aku juga! Biar kami bersama-sama sehidup
dan semati, Wiku."
Trenyuh hati Brahmana Loka mendengar kesaksian kelima cantriknya. Maka untuk kedua kalinya
Brahmana Loka pun kembali menangis. Ia menangis
bukan sedih, namun menangis karena rasa haru. Melihat Wikunya kembali menangis, kelima cantrik itu
pun turut menangis pula.
"Jangan kalian sia-sia mengikutiku, Para Cantrik." "Tapi kami tak dapat berpisah denganmu, Wi-ku," berkata Angsono sambil
menyeka air mata. "Biar-kanlah kami ikut denganmu. Kami telah rela, Wiku."
"Aku tahu. Aku mengerti perasaan kalian. Tapi
dengarlah, bahwa kalian masih dibutuhkan oleh yang
lainnya. Nanti bila aku benar telah mati, carilah oleh
kalian seorang pendekar muda...."
"Untuk apa, Wiku?"
"Dengar dulu ucapanku, Tenggiri."
"Baik, Wiku," jawab Tenggiri seraya menunduk.
"Bila kalian telah menemukan pendekar muda
itu, katakan padanya bahwa kalian ingin mengabdi
padanya. Niscaya ia akan mau menerima kalian. Dia
seorang pendekar aneh. Dengan segala sifatnya, dia
bernama Jaka. Karena sifatnya yang konyol, dia lebih dikenal dengan sebutan Jaka
Ndableg. Hanya dialah
yang kelak mampu mengalahkan murid durhaka itu.
Percayalah, dia akan dengan senang hati menerima kalian. Mengabdilah dengan sepenuh hati, seperti padaku. Kalian mengerti, Cantrik?"
"Mengerti, Wiku. Namun bolehkah kami tahu
apa yang bakal terjadi hingga Wiku menyimpulkan begitu?" bertanya Longkat. Tersenyum Brahmana Loka mendengar pertanyaan Longkat.
Diangguk-anggukkan
kepalanya, seperti memahami apa yang terkuak di hati cantriknya. Lalu dengan
seperti bergumam pada diri
sendiri, Brahmana Loka berkata:
"Takdir, Jodoh, Rizki, dan maut adalah kuasaNya. Tak akan ada seorang pun yang sanggup menentangnya. Tak akan ada yang terlepas dari tangan-Nya.
Aku hanyalah manusia, yang hanya bisa berusaha.
Takdirku hanya sampai hari ini."
Terbelalak mata kelima cantriknya mendengar
ucapan Brahmana Loka. Sesaat kelimanya saling pandang, kemudian serentak kelimanya bersujud di kaki
Brahmana Loka sembari menangis.
"Duh, Wiku Agung. Sungguh kami sangat bahagia menjadi abdimu selama ini. Segala yang telah
Wiku berikan pada kami, akan kami amalkan kelak."
"Apakah Wiku tidak lebih baik pergi?"
"Percuma, Angsono. Ke mana langkah kaki, kalau ajal pasti terpaut juga. Begitu juga dengan kejadian yang bakal terjadi atas
diriku. Sudah menjadi kodrat-Nya, kalau aku harus mati di tangan muridku
sendiri. Jagad Dewa Batara, semoga kalian mengampuni segala
perbuatannya," mendesah Brahmana Loka sembari
menyapu mukanya dengan tangan. "Nah, pergilah kalian. Bawalah Tombak Inti Jagad
dan serahkan pada
pendekar muda itu, sebab dialah yang berjodoh. Laksanakan segera!"
"Baik, Wiku. Segala apa yang terucap oleh Wiku
adalah suatu kebahagiaan bagi kami. Ijinkanlah kami
pergi," berkata Angsono mewakili keempat cantrik lainnya,
"Ya, pergilah! Do'a dan puji aku ucapkan menyertai kalian."
"Terimakasih, Wiku."
"Angsono, jaga baik-baik tombak Inti Jagad itu.
Jangan sekali-kali kau berikan pada orang lain. Beri-kanlah tombak itu pada
pendekar muda itu. Apabila
tombak itu berada di tangan orang-orang sesat, niscaya dunia akan hancur. Tombak itu pula yang dapat
menandingi keris Kyai Sangkar. Nah, pergilah"
Dengan mata menangis, kelima cantrik itupun
pergi meninggalkan Brahmana Loka. Dilambaikan tangannya lemas, sepertinya tak ingin perpisahan itu terjadi. Seperti kelima
cantriknya, Brahmana Loka pun
menangis. Ditatapnya kepergian kelima cantriknya
yang telah dua puluh lima tahun menjadi abdinya.
"Kalian orang-orang baik. Kalian orang-orang
jujur. Kelak kalian akan memperoleh ganjarannya,"
berkata Brahmana Loka setelah dilihatnya kelima cantrik itu telah hilang dari pandangan. Lalu dengan segera Brahmana Loka
berkelebat, masuk ke dalam kamarnya. Di situ ia segera melakukan meditasi, sepertinya telah siap menghadapi segalanya.
* * * Tengah kusuk Brahmana Loka bersemedi, seketika terdengar suara tawa bergelak. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh
berkelebat dengan cepat dan langsung mengobrak-abrik pesanggrahannya.
Brahmana Loka tampak tenang, sepertinya ia
telah mengetahui sebelumnya. Perlahan matanya dibuka. Ditatapnya dengan tajam orang yang kini berdiri di hadapannya dengan
angkuh. "Hem, sudah kuduga kalau kau pasti datang,"
berkata Brahmana Loka pelan. Ia segera bangkit dari
duduknya, berdiri berhadapan dengan pemuda di hadapannya. "Hua, ha, ha.... Loka Arya, selamat berjumpa.
Bagaimana kabarmu?" bertanya pemuda yang berdiri di hadapannya. Sosok pemuda itu
memang Cipta Angkara, muridnya. Namun nalurinya, mengatakan bahwa
yang bicara bukanlah muridnya yang durhaka. Nalurinya mengatakan bahwa orang yang berdiri di hadapannya tak lain Siluman Kerta Ganda Mayit.
"Ganda Mayit, apa perlumu muncul kembali?"
"Hua, ha, ha.... Loka Arya, lima puluh tahun
aku menanti-nanti kesempatan seperti ini. Lima puluh tahun aku tersiksa didera
oleh perjanjian kita. Kini apa yang telah kita janjikan telah terjadi. Salah
seorang muridmu telah membantuku."
"Jadi kau ingin menuntut?"
"Ya.... Bukan itu saja maksudku. Aku akan
kembali membuat semua manusia bertekuk lutut padaku. Akulah raja mereka! Akulah yang paling tersakti
di dunia persilatan."
"Jangan harap, Ganda Mayit!"
"Akan aku buktikan, Loka Arya!"
Brahmana Loka Arya tersenyum mendengar
ucapan Kerta Ganda Mayit. Sepertinya ia tak gentar
menghadapi siluman yang telah menyatu dalam tubuh
muridnya. Lalu dengan masih tersenyum, Brahmana
Loka kembali berkata:
"Ganda Mayit, buanglah semua impianmu.
Kembalilah pada asalmu."
"Hem, rupanya kau masih sombong seperti dulu, Loka."
"Bukan aku sombong. Tapi ketahuilah olehmu.
bahwa kau tak akan mampu meluluskan cita-citamu."
"Bedebah! Rupanya kau masih banyak omong.
Akan aku buktikan, bahwa aku lain dengan lima puluh
tahun yang silam, Loka. Bersiaplah, hiat...!"
Amarah Kerta Ganda Mayit tak dapat ditahan
lagi. Ia merasa tak perlu banyak kata dengan Brahmana Loka yang ia tahu bukan tokoh sembarangan.
Diserang dengan begitu tiba-tiba, Brahmana
Loka segera berkelit menghindar. Dengan cepat Brahmana Loka segera balik menyerang. Pertarungan ulang
lima puluh tahun silam, kini kembali terjadi.
"Suiitttt... Duar!"
Terdengar ledakan dahsyat, manakala tangan
Cipta Angkara berkiblat. Sebenarnya tujuan serangan
itu pada Brahmana Loka. Namun bagaikan burung walet, Brahmana Loka segera menghindar.
Walau begitu, tak urung rumahnyalah yang
termakan. Rumah yang sekaligus pesanggrahan seketika hancur terbakar.
"Edan! Ilmunya makin gila," mengeluh Brahmana Loka dalam hati melihat apa yang terjadi. Dilontarkan tubuhnya ke udara, keluar dari kobaran api
yang melalap pesanggrahannya.
"Jangan lari, Loka!"
"Aku tidak lari! Aku menunggumu di luar!"
Mendengar jawaban Loka Arya, seketika Kerta
Ganda Mayit segera berkelebat keluar. Di luar Loka
Arya telah berdiri, menunggu kedatangannya dengan
mata memandang tajam.
"Kita lanjutkan, Loka."
"Baik. Apa maumu, aku penuhi."
Habis keduanya berkata, kembali keduanya segera saling serang. Pekikan-pekikan keduanya membahana, memecahkan sore itu. Jurus demi jurus mereka lalui dengan tanpa disadari. Walau usia Brahmana Loka sudah tua, namun gerakan-gerakannya masih
tampak gesit. Gerakan mengelak dan menyerang masih
lincah. Tangannya bergerak cepat, menyambarnyambar ke kepala lawan.
"Percuma kau datang ke dunia manusia, Ganda
Mayit! Kau akan mengalami kegagalan seperti dulu.
Jangan bermimpi, kalau kau akan mampu menjadikan


Pedang Siluman Darah 10 Kutukan Brahmana Loka Arya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dunia ini ajang Iblis."
"Akan aku buktikan, Loka! Akan aku buktikan!"
Brahmana Loka tersenyum mendengar ucapan
Ganda Mayit, lalu katanya kemudian.
"Walau kau dapat mengalahkanku. Masih banyak orang-orang yang melebihi aku. Masih banyak
orang-orang yang dapat mengalahkanmu, Ganda
Mayit." "Huh, akan aku lumatkan mereka! Akan aku buktikan, Loka!"
"Hua, ha, ha... Kau bermimpi! Kau bermimpi!"
"Bedebah! Kau rupanya ingin menurunkan semangatku. Terimalah kebinasaanmu, Loka. Hiat...!"
Kembali keduanya bergerak cepat. Kini bukan
saja jurus-jurus silat yang mereka keluarkan, tapi
ajian-ajian yang mereka miliki juga di keluarkan.
Tempat yang mereka gunakan untuk berlaga
bagai diguncang gempa. Pohon-pohon banyak yang roboh terhantam ajian mereka. Batu-batu berhamburan,
tersapu setiap kibasan tangan mereka. Tak terhitung
berapa jurus mereka keluarkan. Yang jelas mereka telah bertempur sehari semalam.
* * * Kita tinggalkan dulu Brahmana Loka yang tengah bertempur dengan Ganda Mayit yang telah mencapai sehari semalam. Kita tengok kembali kelima cantrik yang tengah pergi,
meninggalkan pesanggrahan mereka.
"Ke mana kita harus mencari pendekar muda
itu?" tanya Longkat pada keempat temannya.
"Entahlah, yang pasti kita harus mencarinya
untuk menyerahkan tombak pusaka ini. Juga kita harus mengabdikan diri padanya." menjawab Anggsono.
"Tapi firasatku mengatakan bahwa Wika dalam
bahaya. Apakah kita tidak bermaksud menolongnya?"
tanya Sanur. "Ah, bukankah Wiku telah menyuruh kita jangan sekali-kali kembali ke sana?" balik bertanya Angsono. "Benar. Tapi aku tak
enak, aku ingin kembali."
"Jangan, Sanur! Kau akan mendapat murka
Wiku," mencegah Longkat.
"Benar, Sanur. Jangan kau melanggar," lanjut Tenggiri.
"Aku bukan ingin melanggar. Aku hanya ingin
melihat apa yang tengah terjadi di sana."
"Sama, Sanur. Setiap penentangan ucapan Wiku, berarti suatu pelanggaran. Ah, sudahlah jangan
pikirkan itu. Ayo kita lanjutkan perjalanan kita," memberi tahu Angsono.
Maka tanpa banyak kata lagi, kelima cantrik itu
pun kembali meneruskan perjalanannya. Dilintasi hutan rimba, lembah dan ngarai. Dengan tanpa mengenal
lelah kelima cantrik itu terus melangkah. Hanya satu tujuan mereka, yaitu
mencari pendekar muda yang
bernama Jaka Ndableg.
* * * Pertarungan Brahmana Loka dengan Ganda
Mayit masih terus berlangsung. Sudah tiga hari lamanya mereka bertarung, namun sepertinya tak bakal
ada yang kalah. Kesenjaan usia tak menjadikan Brahmana Loka mudah dijatuhkan. Bahkan dengan gesit,
ia mengelak dan membalas menyerang.
"Rupanya kau kedot juga, Loka!"
"Hem... sebenarnya bukan hal itu. Aku hanya
ingin menyadarkan kau, bahwa di dunia manusia masih banyak orang yang ilmunya jauh lebih tinggi."
"Jangan banyak omong! Hari ini adalah akhir
dari kehidupanmu, Loka! Bersiaplah!"
Habis berkata begitu, Ganda Mayit segera melipatgandakan serangannya. Segera ajian yang ia miliki, dijadikannya menjadi satu.
Lalu dengan didahului pekikkan, Ganda Mayit menghantamkan ajiannya.
"Aji Pegat Nyawa, hiat...!"
"Duar! Duuuaaar! Duaaarr...!"
Ganda Mayit nampak menyunggingkan senyum, menyangka kalau Brahmana Loka telah mati.
Namun betapa alang kepalang kagetnya Ganda Mayit
melihat apa yang terjadi. Ternyata Brahmana Loka bukannya binasa, malah kini telah bertengger di atas sebuah cabang pohon dengan
tersenyum. "Kurang asem! Turun kau, Loka!"
"Tak semudah itu, Ganda Mayit."
Bedebah! Akan aku lumatkan tubuhmu!"
"Lakukan bila kau mampu. Keluarkan segala
ajianmu. Aku tak akan gentar, Ganda Mayit."
"Bedebah! Jangan sombong, Mat...!"
Dihantamnya pohon tempat Brahmana Loka
bertengger. Seketika pohon itu hancur berantakan.
Namun Brahmana Loka seperti tak mengalami sesuatu. Ia kini pindah di cabang pohon yang lainnya masih dengan uraian senyum
sembari berkata:
"Adakah yang lebih dari itu, Ganda Mayit?"
"Kunyuk!"
"Kenapa, Ganda Mayit" Apakah kau mengaku
kalah?" "Jangan harap, Loka!" menjawab Ganda Mayit mendengus marah.
"Kenapa kau terdiam, Ganda Mayit" Ayo, keluarkan segala ilmu yang kau miliki." mengejek Brahmana Loka. Hal itu menjadikan
Ganda Mayit makin marah.
Nafasnya memburu, matanya menyorot tajam penuh
permusuhan, lalu katanya:
"Mungkin aku tak dapat mengalahkanmu. Tapi
aku akan memperalat muridmu ini. Ketahuilah olehmu, Loka. Muridmulah yang akan membinasakanmu."
Tersentak Brahmana Loka mendengar ucapan
Ganda Mayit. Sesaat ia terdiam mematung, memandang pada tubuh murid durhaka. Angannya melayang
jauh, sepertinya tengah mengingat sesuatu.
"Hem, apakah benar wangsit itu" Apakah memang aku harus mati di tangan muridku?" bertanya hati Brahmana Loka.
Dari tubuh Cipta Angkara, keluar asap tebal
bergulung-gulung mengangkasa. Perlahan-lahan asap
itu membentuk ujud, ujud asli Ganda Mayit. Sesaat
tubuh Cipta Angkara terdiam, lalu matanya perlahan
membuka. Ditatapnya Ganda Mayit yang berdiri di sisinya dan bertanya.
"Ada apa, Ganda Mayit" Kenapa kau memanggilku?" "Bunuh orang tua yang nangkring itu!"
Ditunjukknya Loka Arya yang tampak terbelalak. Sesaat Cipta Angkara ragu, diam hanya memandang. Hal ini menjadikan Ganda Mayit mengerutkan
alis matanya dan kembali memerintah.
"Kenapa kau diam, Cipta! Bunuh orang tua itu.
Bunuh!" "Tapi, dia guruku."
"Dia bukan gurumu. Dia musuhmu, Cipta."
"Aku gurumu, Cipta. Kalau kau melakukannya,
kau kualat."
"Jangan hiraukan ucapannya, Cipta. Apakah
kau tak ingin menjadi orang sakti" Bunuh dia!"
"Aku tak mampu, Ganda Mayit."
"Bodoh! Bukankah kau memiliki keris Kyai
Sangkar?" "Kenapa tidak kau saja, Ganda!" memekik Cipta Angkara.
"Aku tak mampu memegang keris itu."
"Cipta! Apakah kau benar-benar ingin murtad
dan durhaka?" bertanya Brahmana Loka, ia ingin menyadarkan Cipta Angkara. Namun
ternyata dugaannya
meleset. Cipta Angkara yang telah dipengaruhi oleh
Ganda Mayit tak menggubrisnya. Malah dengan membentak Cipta Angkara berkata:
"Serahkan tombak Inti Jagad padaku, maka
kau akan selamat."
"Jangan bermimpi, Anak sundel!"
"Jadi kau lebih memilih mati, Tua bangka?"
"Dia bukan gurumu. Bukan?" berkata Ganda
Mayit memanas-manasi:
"Anak sundel, pusaka itu bukan hakmu, serahkan padaku."
"Syetan alas! Jangan kau bermimpi, tua bangka!" memaki Cipta Angkara tak dapat membendung
kemarahannya. Tubuhnya seketika berkelebat, terbang
ke atas cabang. Melihat Cipta Angkara menyerang,
dengan segera Brahmana Loka segera lemparkan tubuh ke belakang. Lalu dengan gaya akrobat, Brahmana
Loka berjumpalitan di udara sesaat sebelum akhirnya
kembali duduk di cabang pohon lainnya.
"Bedebah! Rupanya kau menganggap aku kroco, Tua Bangka!"
Brahmana Loka tak berkata sepatahpun. Keringatnya tampak mengalir deras. Ditatapnya keris
Kyai Sangkar yang tergenggam di tangan Cipta Angkara. "Mungkin ajalku hampir tiba," batin Brahmana Loka. "Serang dengan kerismu,
Cipta!" "Hiaaaaatttt...!"
Cipta Angkara kembali berkelebat. Tubuhnya
lurus melayang bagaikan terbang. Keris pusaka Kyai
Sangkar, menjurus lurus ke dada Brahmana Loka
yang telah berdiri di atas cabang.
Tubuh Cipta Angkara bagaikan ada yang mendorong, laju dengan derasnya. Membeliak mata Brahmana Loka sesaat, sebelum akhirnya memekik. Keris
di tangan Cipta Angkara, tembus melobangi dadanya.
Tubuh Brahmana Loka melayang ke bawah dengan darah menyembur dari dadanya.
"Kau.... Kau, murid durhaka. Kau telah mengotori tanganmu dengan darahku, darah gurumu. Kelak
kau akan mati dengan tragis. Tubuhmu, kelak akan
hancur." "Persetan dengan ucapanmu, Tua Bangka!"
Ditendangnya tubuh Brahmana Loka, setelah
mencabut kerisnya. Lalu dengan gelak tawa berkepanjangan, Cipta Angkara berlalu masuk ke pesanggrahan. Diobrak-abrik seluruh pesanggrahan untuk mencari pusaka Tombak Inti Jagad, tapi tak ditemukannya. Maka dengan penuh amarah, dihantamnya pesanggrahan itu hingga runtuh menjadi puing-puing.
"Sudahlah, Cipta. Jangan kau takut dengan
ucapan tua bangka itu. Percayalah, kaulah yang akan
merajai semua persilatan. Kau akan menjadi orang
nomor satu. Hua, ha, ha...."
Tubuh Ganda Mayit kembali lenyap, masuk ke
tubuh Cipta Angkara. Mata Cipta Angkara yang tadinya sayu mengingat ucapan gurunya, berubah membara bagaikan mengandung api.
"Akulah penguasa dunia persilatan! Akulah
orang tersakti di dunia persilatan! Hua, ha, ha...!"
Dengan berkelebat cepat bagaikan seekor srigala, Cipta Angkara pergi
meninggalkan pesanggrahan. Ia pergi
dengan membawa ambisi untuk menguasai dunia.
*** 3 Pada sebuah dangau seorang pemuda tengah
duduk sambil bernyanyi-nyanyi. Kadang kala tangannya menarik-narik ujung tali yang direntangkan pada
sebuah hantu sawah, untuk mengusir burung-burung
yang hendak memakan padi.
Seorang lelaki lain tampak datang menuju ke
tempat pemuda itu. Lelaki itu tersenyum, saat melihat pemuda yang berada di atas
dangau. Dengan langkah
dipercepat, lelaki yang baru datang dengan membawa
bungkusan makanan berseru.
"Jaka...! Aku bawakan makanan untukmu, kau
telah lapar bukan?"
Pemuda yang tak lain memang Jaka atau si
Pendekar Pedang Siluman tersenyum dan dengan berteriak Jaka berkata: "Benar...! Kau membawakan aku makanan, Dulah...?"
Dulah mengangguk mengiyakan, membuat Jaka segera turun dari dangau memapakinya. Dengan
bercanda ria, keduanya kembali menuju dangau untuk
makan siang. Lahap sekali Dulah makan, membuat Jaka
membelalakkan mata. Dengan nada bercanda, Jaka
pun berkata pada Dulah: "Lah... kalau orang sekampung ini seperti kamu, aku rasa
dalam sebulan hasil
panen akan habis."
"Kenapa begitu...?" bertanya Dulah tak mengerti sembari menyipitkan matanya.
Jaka tersenyum, sebelum akhirnya berkata
kembali: "Betapa tidak! Kalau seluruh warga kampung ini rakus sepertimu, mana
mungkin hasil panen tersi-sa" Paling-paling untuk makan saja tak cukup."
Dulah bukannya marah, malah tertawa ngakak
mendengar omongan Jaka. Dengan masih menyantap
makanannya, Dulah berkata membela diri. "Tapi....
Bukankah dengan banyak makan akan menambah tenaga untuk bekerja" Buktinya aku...."
Jaka menganggukkan kepalanya.
"Memang benar apa yang dikatakan Dulah.
Buktinya Dulah bekerja sangat giat dan rajin, sepertinya tak mengenal lelah. Membajak sawah, menanami, menyiangi, dan lain-lainnya. Semuanya dikerjakan Dulah tanpa mengeluh."
berkata hati Jaka.
"Lah.... Sudah satu bulan aku di sini."
"Ya. Kenapa...?" tanya Dulah yang masih menyantap makanannya dengan lahap.
Jaka tak segera berkata. Sesaat ditatapnya langit di ujung kulon yang tampak berwarna cerah. Lalu
dengan sekali menghempaskan nafas, Jaka pun segera
melanjutkan ucapannya:
"Sebenarnya, aku di sini tengah mencari seseorang, yang telah membuat keonaran di wilayah kulon
sana. Dia bernama Kowara, atau bergelar Setan Tengkorak." Mendengar Jaka tengah mencari seseorang dari dunia persilatan. Seketika
Dulah tersentak kaget,
hingga makanan yang masih dalam mulutnya tersemprot ke luar, menjadikannya tersendak dan terbatukbatuk. Melihat hal itu Jaka tersenyum dan segera
mengambilkan air yang segera disambut Dulah.


Pedang Siluman Darah 10 Kutukan Brahmana Loka Arya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau.... Kau...?" berkata Dulah terbata-bata sembari mengurutkan lehernya yang
terasa sakit akibat nasi belum ketelan masuk, menjadikan Jaka makin melebarkan senyumnya.
"Makanya. Kalau sedang makan, jangan ngomong dulu. Pamali, kata orang tua."
Dulah hanya menyengir. Dan setelah dapat
menenangkan keadaan, Dulah pun segera meneruskan
ucapannya: "Kau ternyata seorang pendekar, Jaka?"
"Ah.... Kau terlalu melebihkan, dalam menilaiku. Aku tak ubahnya seperti kamu, yang dapat sakit
atau sedih dan bingung," menjawab Jaka merendah.
Dulah tak mau percaya begitu saja. Namun ketika ia hendak berkata lagi, Jaka telah mendahuluinya.
"Sudahlah, jangan terlalu kau pikirkan tentang siapa aku ini. Yang pasti, aku
suka bergaul dan berteman
dengan kamu. Mengenai orang yang sedang aku buru,
aku mendapatkan berita bahwa orang itu kini berada
di wilayah ini."
"Kenapa kau tak mengatakannya dari dulu,
bahwa kau seorang pendekar?" tanya Dulah. Dengan mata tak berkedip, Dulah pun
memperhatikan Jaka
dari ujung rambut sampai ujung kaki. Di hatinya
menggumam, "Memang Jaka seorang pendekar. Dilihat dari pakaiannya. Itu suatu
bukti bahwa ia seorang
pendekar. Ah.... Kenapa aku tak memperhatikannya
dari semula...?"
Jaka kembali menggelengkan kepala, demi
mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Dulah.
Maka dengan memegang pundak Dulah, Jaka pun
berkata: "Dulah.... Pendekar sejati, adalah pantang baginya memamerkan diri. Ia lebih suka diam dalam kedamaian, daripada terkenal tapi selalu diburu dan banyak musuhnya di mana-mana.
Aku bukanlah seorang
pendekar. Sebab kalau aku seorang pendekar, pasti
aku telah menemukan orang yang aku cari. Sedangkan
kini, nyatanya aku tak lebih dari seorang petani macammu. Bukan begitu, Dulah...?"
Dulah hanya terdiam. Hatinya selalu ragu, untuk mempercayai omongan Jaka. Yang menurutnya,
adalah seorang pendekar sejati.
"Hidup seperti diriku tak pernah menetap pada
sebuah kampung, apakah kau akan kuat" Biasanya
orang yang hidup menetap, akan merasa sungkan bila
harus berjalan-jalan tak tentu arah."
"Tapi aku sanggup, Jaka. Aku kuat melakukan
perjalanan sejauh apapun?" berkata Dulah penuh semangat, seakan ingin meyakinkan
pada Jaka agar mengijinkan dirinya ikut serta.
Untuk kesekian kalinya Jaka menarik nafas
panjang, sebelum akhirnya kembali berkata sambil
tersenyum. "Ah.... Aku senang mendengarnya, Dulah. Tapi
sungguh aku sangat menyesal, karena aku tak mungkin dapat mengajakmu pergi bersamaku."
Mendengar ucapan Jaka, seketika di wajah Dulah tergambar rasa kecewa, Jaka yang melihatnya merasa iba. Maka dengan mencoba menghibur Jaka pun
berkata kembali: "Ku harap kau tidak kecewa. Aku yakin bila umur kita panjang,
kita akan dapat bertemu
lagi. Bukan begitu, Dulah,..?"
Dulah sesaat tercenung, diresapinya ucapan
Jaka. Perlahan ditatapnya wajah Jaka yang di bibirnya terurai senyuman.
Tanpa disadari oleh Jaka, dengan seketika Dulah memeluk tubuhnya hingga Jaka terdorong ke belakang. Lalu dengan penuh rasa persaudaraan keduanya
tertawa bergelak-gelak.
Ketika sore tiba, dengan beriringan keduanya
segera pulang ke desa, di mana Dulah dan keluarganya tinggal. * * * Malam begitu mencekam. Bulan di angkasa lamat-lamat tertutup oleh awan hitam. Angin malam
berhembus dengan cepatnya. Menjadikan hawa dingin
yang mendirikan bulu kuduk.
Di ruang depan, tampak Dulah dan keluarganya tengah duduk-duduk sembari bercengkrama. Di
situ pula tampak Jaka turut serta. Tampak keluarga
Dulah sangat senang dengan kehadiran Jaka di rumah
mereka, yang secara langsung telah memperingan beban Dulah sebagai anak lelakinya.
"Jaka.... Emak dengar kau tengah memburu
seorang tokoh persilatan, apa benar?" bertanya Emak Dulah ketika mereka ngobrol.
Ditanya seperti itu, sesaat Jaka tak mampu
menjawab. Ia hanya tertunduk memandang pada lantai yang masih asli dari tanah. Dihempaskan nafasnya sesaat sebelum akhirnya ia
mengangguk "Rupanya kau seorang pendekar, Anakku?"
tanya ayah Dulah setelah melihat Jaka mengangguk.
Pertanyaan itu membuat Jaka tersentak, dan seketika
menatap pada Dulah.
Melihat Jaka terdiam, ayah Dulah kembali meneruskan ucapannya: "Sungguh sebuah kehormatan
bagi kami, sebab ternyata nak Jaka sudi bertandang di gubug ini."
"Benar, Nak Jaka. Betapa pun kami akan merasa tentram dan bahagia bila nak Jaka akan lebih la-ma tinggal di rumah ini,"
menambahkan Emak Dulah, membuat Jaka seketika makin mendalamkan tundu-kan
mukanya karena haru.
Sesaat setelah menghela nafas, Jaka pun berkata pelan dan tenang. "Emak dan Bapak, juga Dulah.
Sebenarnya aku pun ingin lebih lama tinggal di sini.
Tapi bila orang yang sedang aku cari telah aku dapati, maka aku pun harus
pergi." "Kenapa begitu?" bertanya Emak Dulah terbelalak kaget dengan rasa tak mengerti.
Hingga membuat Jaka kembali terdiam sebelum kembali berkata.
"Emak.... Sudah menjadi tugasku, harus menumpas kejahatan yang ada di dunia ini. Walau nyawa
sebagai taruhannya."
Terbelalak semua mata yang ada di ruangan
itu, demi mendengar penerangan Jaka. Dalam hati mereka bergumam rasa kagum. Tanpa sadar dari mulut
mereka keluar desahan panjang. "Oh...!"
"Itulah, Emak dan Bapak. Mengapa aku tak
berkenan menerima Dulah ikut bersamaku. Aku takut
Dulah akan menderita."
Sedang mereka asyik bercengkerama, tiba-tiba
terdengar bunyi kentongan tanda bahaya bergema. Sesaat keempat orang yang tengah bercakap-cakap itu
saling pandang bertanya-tanya.
Setelah menyarankan agar keluarga Dulah tetap di rumah, Jaka segera berkelebat pergi. Kepergian Jaka yang begitu cepatnya
bak angin, menjadikan semua yang ada di ruangan itu membelalakkan mata
dengan mulut terbuka bengong.
Jaka terus berlari menuju asal suara kentongan itu. Ia segera mendapati orang yang menabuhnya
dan segera ditanyainya.
"Bapak, ada apakah gerangan?"
"Penculikan seorang gadis," menjawab orang penabuh kentongan. Orang itu terus
memukul kentongan hingga yang lainnya pun turut membunyikannya.
"Di mana penculikan itu, Pak?" kembali Jaka bertanya.
Tanpa bicara sepatahpun, bapak tua penabuh
kentongan itu menunjuk arah dengan telunjuknya.
Setelah mendapat petunjuk dari bapak tua itu,
dengan cepat Jaka segera berlari menuju ke arah tersebut. Dengan ajian Angin Puyuh maka tanpa mengalami kesulitan, Jaka Ndableg dapat segera menyusul
begal-begal itu.
"Berhenti...!!" membentak Jaka setelah dapat menghadang lari ketiga begal itu,
yang tampak tersentak melihat kedatangan Jaka Ndableg.
Setelah tahu siapa orang yang menghadangnya,
yang ternyata hanyalah seorang anak muda dan sendirian pula. Maka tertawa bergelak-gelaklah ketiga begal itu.
"Anak muda, lancang benar kau! Berani kau
menghadang kami, Tiga Begal Dari Susukan yang sudah kesohor," berkata salah seorang dari ketiga begal itu dengan sombongnya.
Jaka tampak tenang. Perlahan, tanpa rasa takut dihampirinya ketiga begal itu. Lalu dengan bibir mengurai senyum, Jaka
berkata: "Hai begal-begal kecoa. Apa kalian merasa paling tinggi ilmunya di jagat raya ini, hingga tindakan kalian begitu telengas dan
biadab. Hai, begal-begal kecoa busuk, mungkin orang lain akan takut padamu.
Tapi aku, tidak! Serahkan gadis itu padaku, atau kalian akan direncah oleh penduduk desa ini."
Mendengar ucapan Jaka yang dianggap mereka
hanya untuk menakut-nakuti. Maka ketiga begal itu
kembali bergelak tawa. Begal yang membopong tubuh
gadis dengan mendengus berkata:
"Slompret! Apa kau kira kami takut dengan ancamanmu, Anak muda! Panggil seluruh warga desa ini
untuk menangkap kami. Ha... ha...."
Jaka sesaat mendenguskan nafasnya. Matanya
dengan liar dan tajam memperhatikan ketiga begal itu.
Maka dengan kembali tertawa bergelak-gelak yang
membikin ketiga begal itu tersentak kaget dan segera menutupi telinga mereka
karena tawa Jaka kali ini di-barengi dengan ajian Pekik Prahara, berkata:
"Begal-begal kecoa busuk! Jangan kalian takabur! Kalian boleh bergembira karena warga desa tak
berani menghadapi kalian. Tapi kini, kalian akan sege-ra merasakan sakitnya
disiksa oleh warga desa. Nah,
bersiaplah!"
"Slompret! Jangan kira kami takut padamu,
anak muda. Jangan banyak bacot, ayo tangkap kami
atau kau akan menjadi bubur blohok oleh kami." kembali berkata Begal yang
menggendong tubuh gadis di
pundaknya dengan penuh amarah.
"Serang!" Kembali begal itu berseru mengoman-dokan pada kedua rekannya, yang
seketika itu juga
maju menyerang cepat dengan jurus-jurus yang langsung mematikan.
Jaka yang sudah menduga sebelumnya, dengan
bersuit nyaring segera melompat mengelak. Hingga kedua begal itu mendapatkan angin belaka, hal itu membuat keduanya makin marah dan segera meningkatkan
serangannya. Sejauh itu, Jaka belum berniat untuk membalik menyerang. Ia ingin mengukur sampai di mana
tingkat ilmu begal-begal itu. Maka dengan mengelak
dan terus mengelak Jaka mengimbangi serangan keduanya. Perkelahian satu lawan dua pun berjalan dengan serunya. Tubuh mereka berkelebat dengan cepatnya. Jurus demi jurus mereka lalui, tampak tak ada
yang bakal menang. Tapi...! Secepat kilat Jaka melentingkan tubuhnya tinggi, lalu setelah mencapai ketinggian hampir sepuluh tombak
segera menukik. Dan...!
"Tok! Dug.... Dug!" Tanpa dapat dielakan ataupun dicegah oleh kedua begal yang
mengeroyoknya, Jaka telah menghantamkan pukulan totokannya pada
keduanya. Seketika keduanya terkulai dan terjatuh ke tanah dengan tubuh lemas. Melihat kedua temannya roboh, pucat pasilah wajah begal yang memanggul tubuh
gadis culikannya.
Jaka tersenyum sinis. Dengan perlahan dihampirinya begal yang masih berdiri dengan memanggul
tubuh gadis culikan itu.
Sebelum Jaka sampai, dengan segera dilemparkannya tubuh gadis itu. Lalu dengan penuh ketakutan
begal itu berlari.
Belum juga ia berlari jauh, tiba-tiba Jaka telah
berdiri menghadang di muka. Maka makin takut sajalah begal itu. Tubuhnya seketika menggigil, dan ambruk bersujud di hadapan Jaka.
"Kenapa kau sepengecut ini" Mana nama besarmu?" bertanya Jaka dengan nada sengau, membuat begal itu makin mendalamkan
sujudnya seraya berkata dengan terbata-bata:
"Ampun... Ampunilah nyawaku, Anak muda.
Aku... aku hanya diperintah. Jangan bunuh aku."
"Bangunlah.... Katakan siapa yang menyuruhmu" Dan di mana orang yang menyuruhmu itu berada?" bertanya Jaka setelah mendengar ucapan begal itu.
Dengan perasaan takut, sang begal pun segera
menurut bangun dan berdiri di hadapan Jaka. Lalu
dengan terlebih dahulu menengok ke kanan dan ke kiri, sepertinya ada yang ditakutinya, begal itupun berkata: "Aku disuruh oleh.... Oleh Ko.... Kowara atau Setan Tengkorak yang
bersarang di Bukit Perawan..."
"Di mana letak Bukit Perawan?" bertanya kembali Jaka meminta penjelasan. Dari
belakang terdengar orang-orang kampung berseru, membuat Jaka segera
memalingkan mukanya untuk melihat apa yang tengah
terjadi. Hal itu membuat kesempatan bagi si begal untuk melarikan diri. Jaka
tersentak dan berusaha mengejar begal itu, namun ternyata begal itu telah berlalu dengan cepatnya.
"Sialan! Licik benar. Tapi awas, kalau aku bertemu lagi." menggerutu Jaka penuh kekesalan merasa telah dipermainkan oleh si
begal. Maka dengan kesal di hatinya, Jaka segera kembali ke tempat di mana warga
kampung berkerumun.
Warga kampung tengah menghajar habishabisan kedua begal yang sudah tak berdaya itu. Sementara yang lainnya segera mengurus gadis yang masih dalam keadaan pingsan.
Melihat kedatangan Jaka dengan segera semua
warga kampung yang sedari tadi mengeroyok kedua
begal, berpaling memperhatikan Jaka dengan penuh
rasa hormat. "Saudara-saudara. Janganlah kalian main hakim sendiri, sebab hal itu akan merugikan sepihak. Bi-arkanlah pengurus kampung
ini yang akan menghu

Pedang Siluman Darah 10 Kutukan Brahmana Loka Arya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kum mereka." berkata Jaka.
Semua orang yang di situ segera menepi, membiarkan Jaka menemui kedua begal yang masih tertotok itu. Dengan segera Jaka membebaskan totokan pada kedua begal itu, yang seketika pulih seperti sediakala. Maka dengan diarak oleh warga kampung, begalbegal itu digiring menuju ke balai desa.
Ketika mereka berjalan menuju ke balai desa.
Jaka segera berkelebat kembali menuju ke rumah keluarga Dulah yang tampak masih menanti Jaka dengan perasaan was-was.
Melihat kedatangan Jaka seketika di wajah keluarga Dulah terbersit rasa gembira. Hingga tak dirasa dari mulut Dulah
membersit kata-kata: "Wah.... Aku rasa kau telah berhasil menangkap begal-begal
itu, bukan begitu?"
Mendengar ucapan Dulah, Jaka hanya tersenyum menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dulah.... Dulah. Bukan aku yang menangkap,
tapi orang-orang
kampunglah yang menangkapnya," berkata Jaka mengelak. Tapi Dulah yang memang
kagum pada Jaka dan
telah tahu siapa Jaka adanya tak mau percaya begitu
saja. Maka seketika itu, Dulah pun berkelebat menuju ke balai desa tanpa dapat
dicegah oleh Jaka yang
hanya dapat terbengang-bengong.
Tak berapa lama antaranya, Dulah telah kembali dengan wajah berseri-seri. Emak dan Bapaknya
saling pandang tak mengerti seraya bertanya.
"Kenapa kau, Lah" Kok dari balai desa cengarcengir kaya orang kesambat setan?" bertanya Bapaknya. Namun Dulah tak
menggubrisnya, bahkan dengan segera ditariknya tangan Jaka yang masih berdiri terpaku.
"Nah, kau telah berbohong. Ternyata memang
kaulah yang telah menangkap kedua dari tiga begal
itu. Dan kata orang-orang kau berilmu aneh, apa benar?" cerocos Dulah membuat Jaka geleng-geleng kepala dan memandang pada kedua
orang tua Dulah
yang tersenyum senang.
"Dulah, mana ada orang berilmu aneh?" berka-ta Jaka hendak mengelak kembali.
Namun Dulah yang
telah mendengar langsung dari orang-orang kampung
tak mau percaya begitu saja. Dengan menggeleng kepala, Dulah kembali berkata.
"Ada.... Buktinya kau dapat melumpuhkan kedua begal itu. Apakah itu bukan bukti" Mengaku
dong?" Jaka terdiam sesaat. Lalu setelah menarik napas dalam-dalam. Jaka
menceritakan apa yang telah
diceritakan orang kampung pada Dulah. Tentang ilmu
totok, yang dapat melumpuhkan orang.
"Oh...! Kalau begitu, aku pun bisa. Beginikah...?" Maka dengan gaya kekonyolannya, Dulah pun beraksi dengan jurus-jurus
karyanya sendiri. Kedua
orang tuanya dan Jaka seketika tertawa bergelakgelak, demi melihat tingkah laku Dulah.
"Ini jurus, Kera Makan Roti. Hiat...!"
Kembali Dulah berjumpalitan dan melompatlompat memperagakan jurus-jurus ciptaannya. Hingga
saking asyiknya, Dulah sampai tak melihat meja di depannya. Dan ketika kakinya
hendak mengait.
"Aduh...!" Dulah menjerit kesakitan, kala kakinya beradu dengan kaki meja.
Bagaikan ayam dipotong, Dulah pun berguling-guling menahan sakit yang
teramat sangat.
Melihat hal itu, kembali Jaka dan kedua orang
tua Dulah tertawa tergelak-gelak. Tinggal Dulah yang menggerutu sambil menahan
sakit. Malam kian larut. Mungkin tak lama antaranya
pagi akan datang. Sesosok tubuh berkelebat pergi meninggalkan rumah keluarga Dulah.
Tubuh itu ternyata Jaka adanya dengan cepat
berlari ke arah Selatan di mana terletak Bukit Perawan, tempat bersembunyinya Kowara atau Iblis Tengkorak. "Kowara! Keluar kau!" berseru Jaka memanggil nama orang yang sudah sekian
lama diburunya, orang
yang telah membuat keonaran di desa Sindang Gempol. "Kowara! Apa kau telah tuli"!" Kembali Jaka berteriak, setelah sekian lama
menunggu jawaban dari orang dipanggilnya tak kunjung datang.
Masih juga tak ada jawaban. Hal ini membuat
Jaka kesal. Maka dengan tanpa sabar, Jaka segera
menerobos masuk pada sebuah goa.
"Tak ada! Ke mana perginya iblis itu" Hai! Jangan-jangan ia telah diberitahu oleh anak buahnya."
Sedang Jaka membatin, tiba-tiba matanya menangkap
sebuah bayangan berkelebat dari samping goa. Dengan
segera Jaka pun berlari keluar memburunya.
"Itu dia! Mau lari ke mana, Kau!" berseru Jaka dengan kesal. Dengan mengerahkan
aji Angin Puyuh
terus memburu Kowara.
"Berhenti!" membentak Jaka setelah dapat
menghadang Kowara yang tampak tersentak surut.
"Kau...?"
"Ya, aku. Selamat berjumpa kembali, Kowara.
Hari ini juga aku hendak meringkusmu untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu di wilayah kulon."
Mendengar ucapan Jaka bagaikan tanpa rasa
takut Kowara atau Iblis Tengkorak tertawa bergelakgelak. Lalu dengan congkaknya berkata: "Anak muda!
Percuma kau ingin menjadi pahlawan kesiangan. Ha...
ha...!" "Sombong! Mari kita buktikan. Hiat...!" Seketika tubuh Jaka berkelebat
dengan cepatnya, menyerang
Kowara yang segera mengelak.
Keduanya pun segera terlibat perkelahian. Jurus demi jurus mereka keluarkan. Hampir empat puluh jurus sudah berlalu. Namun tampak keduanya
sama-sama tangguh dan seimbang.
"Anak muda! Terimalah kematianmu. Hiat...!"
Kowara atau Tengkorak Iblis berkelebat dengan cepatnya, membentuk sebuah lingkaran. Dari sinar-sinar
yang keluar membersit bau busuk yang menyesakkan
pernapasan. Itulah ajian Racun Tengkorak Darah. Sebuah ajian yang dapat membunuh musuhnya perlahan, dengan menyumbat pernapasan.
Jaka tersentak, kala merasakan adanya hawa
aneh yang bergerak menyerangnya. Dengan seketika
Jaka pun melentingkan tubuhnya ke udara. Dan dengan menutup jalan darahnya Jaka segera menukik.
Saat itu juga, tampak dari tangan Jaka larikan warna merah. Itulah aji Getih
Sakti. Kali ini Kowara yang tersentak kaget. Ia bermaksud mengeluarkannya, namun sinar merah itu telah mendahuluinya. Hingga...!
Wussttt...! "Aaahhh...!"
Seketika terdengar jeritan Kowara sesaat, sebelum tubuhnya hancur menjadi debu. Setelah melihat
Kowara telah mati, Jaka segera berlalu pergi, kembali ke rumah keluarga Dulah.
Pagi telah datang, kala Jaka meminta ijin pada
keluarga Dulah untuk kembali meneruskan pengembaraannya. Dengan perasaan berat, keluarga Dulah
pun terpaksa melepas kepergian Jaka dari rumah mereka. *** 4 Di depan empat makam gurunya tampak Jaka
bersimpuh. Di sampingnya duduk seorang gadis yang
tak lain Sri Ratih. Seperti Jaka, Ratih pun tengah
mengheningkan cipta berdo'a.
"Guru sekalian, semoga kalian tentram di alam
sana." "Kakang Jaka...."
"Ada apa, Ratih?"
"Ada orang datang ke mari, Kakang."
Jaka segera menengok ke samping kanannya.
Tampak lima orang berjalan menuju ke arahnya.
"Siapakah mereka?" bertanya Jaka sepertinya pada diri sendiri.
"Entahlah, Kakang. Aku sendiri tak mengenal
mereka." "Tapi dilihat dari tingkah mereka, sepertinya
mereka bukan orang jahat." kembali Jaka berkata.
"Sampurasun...!" menyapa salah seorang dari kelimanya.
"Rampes...!" menjawab Jaka dan Ratih bareng.
"Kalau boleh kami bertanya di manakah kami
bisa menemukan pendekar muda bernama Jaka Ndableg?" bertanya Angsono, menjadikan Jaka dan Ratih sesaat saling pandang.
Kemudian Jaka sejenak memandang pada kelimanya bergantian.
"Adakah keperluan penting hingga kalian mencariku?" "Jadi, jadi tuankah orangnya?"
Terbelalak kelimanya mendengar jawaban Jaka
sampai-sampai kelimanya melototkan mata dan bareng
bertanya. Jaka tersenyum mengangguk.
"Ya, akulah orangnya yang kalian can. Ada
apakah?" "Ampun, tuan pendekar. Kami adalah para cantrik Brahmana Loka. Kami diberi amanat oleh beliau
untuk menyerahkan benda ini."
Disodorkan tombak Inti Jagat oleh Angsono pada Jaka. Sesaat Jaka terdiam tak segera menerimanya.
Kembali dipandangi kelima cantrik itu, seperti bimbang. "Apakah kau tak salah alamat, Cantrik?"
"Tidak, Tuan Pendekar," menjawab Angsono.
"Benar Tuan Pendekar. Kami juga disuruh
mengabdikan diri pada tuan," menambah Longkat.
"Ah, apa kalian tidak main-main?" kembali Ja-ka bertanya sepertinya ia belum
yakin. Dipandangi Ratih yang memandang ke arahnya juga dengan bibir tersenyum. "Bagaimana, Ratih?"
"Kalau memang itu suatu amanat. Terimalah,
Kakang." "Baiklah. Aku terima semuanya."
"Maksud tuan pendekar?" tanya Angsono belum mengerti.
"Loh, bukankah kalian ingin ikut denganku?"
balik bertanya Jaka, menjadikan kelima cantrik sesaat mengerutkan alis matanya.
Lalu bagaikan dipimpin,
kelima cantrik itu segera jatuhkan diri bersujud.
"Terimakasih, Tuan. Terimakasih," ucap mereka bersamaan.
"Ah, tak usahlah kalian menyembah-nyembah
seperti itu."
Mendengar ucapan Jaka, kelima cantrik itu segera bangun. Tuan Pendekar, hidup dan mati kami sepenuhnya untuk mengabdi pada tuan."
"Hai, apakah kalian sedang mengigau?"
"Tidak! Kami tidak mengigo, Tuan," menjawab Angsono.
Jaka hanya garuk-garuk kepala, lalu katanya
kemudian. "Wah, aku bukan raja. Aku tak berani menerima pengorbanan kalian tanpa aku dapat membantu.
Apa yang harus aku lakukan untuk kalian semua?"
"Tanpa apa pun yang kami minta," menjawab
Tenggiri. Terbelalak mata Jaka sampai melotot mendengar ucapan Tenggiri. Hal itu menjadikan kelima cantrik kembali bertanya.
"Kenapa tuan pendekar?"
"Tidak apa-apa. Baiklah, aku terima pengabdian kalian."
Mendengar ucapan Jaka, bagaikan seorang
anak kecil yang diberi permen kelima cantrik itu tersenyum bahagia. Sementara
Jaka hanya mampu mengulum senyum memandangi kelimanya yang tampak berangkulan. Diliriknya Ratih yang juga tertawa geli.
"Eh, apakah kalian sudah makan?"
"Belum, Tuan pendekar!" menjawab kelimanya serempak.
"Wah! Ratih, kau sudah masak?"
"Sudah, Kakang Jaka."
"Nah para cantrik, kalian makanlah dulu. Ratih, ajak mereka makan."
"Baik, Kakang Jaka." menjawab. Ratih. "Mari, Paman-paman sekalian." ajak Ratih
Makam Bunga Mawar 24 Dewi Ular 77 Bulan Berdarah Pendekar Mata Keranjang 6

Cari Blog Ini