Ceritasilat Novel Online

Pedang Setan Dewa Ruci 1

Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci Bagian 1


PEDANG SETAN DEWA RUCI Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Pedang Setan Dewa Ruci
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Hari belum begitu malam ketika keributan itu
terjadi di rumah Juragan Suminta. Teriakan keras dan jerit kesakitan mulai mewarnai keadaan di sekitar rumah mewah dengan
pekarangan luas
itu. Suara-suara pertarungan itu kemudian disusul dengan kegaduhan yang semakin memuncak. Api mulai menjalar menimbulkan asap hitam yang membumbung ke angkasa. Ada
jerit tangis saling bersahutan, lalu... terdengar teriakan kematian!
Dari arah belakang terdengar derap kaki kuda
berlari kencang. Seorang laki-laki setengah baya melarikan kudanya dengan
tergesa-gesa. Sesekali terlihat dia melirik ke belakang. Wajahnya cemas, seperti
mengkhawatirkan sesuatu. Di punggungnya tergembok sebuah bungkusan berukuran
agak besar dengan lobang udara kecil di sela-sela sisi-sisinya. Namun apabila
diperhatikan dengan seksama, akan terlihat bahwa bungkusan itu ternyata kain
panjang yang dilipat sedemikian rupa.
Dan di dalamnya terlihat seorang bayi berusia sekitar lima bulan yang diselimuti
kain tebal. "Jangan biarkan dia kabur! Lekas kejar! Tangkap dia dan bunuh mereka...!" Seorang laki-laki berteriak di antara hiruk-pikuk
pertarungan di halaman rumah Juragan Suminta.
"Heaaa...!"
Lima orang laki-laki berwajah kasar serentak
melompat ke punggung kuda masing-masing dan
mengejar laki-laki setengah baya yang meloloskan diri dari pintu belakang gedung
itu. Merasa bahwa pelariannya ternyata diketahui
oleh orang-orang itu, lelaki setengah baya itu tampak lebih cemas lagi wajahnya.
Dia memacu kudanya sambil berteriak-teriak kencang.
"Hiyaaa...! Heaaa...!"
"Kurang ajar! Akan kulumatkan kepalanya...!"
geram salah seorang di antara para pengejar itu.
Wajahnya berkerut menahan geram. Kedua biji
matanya itu bagai hampir meloncat keluar, jadi lebih mengerikan manakala sedang
marah seperti itu.
"Sudah, jangan banyak ribut! Kalian menyebar
ke sana, dan kami terus mengejar dari sini!" sergah laki-laki bertubuh besar
yang mengenakan
ikat kepala merah.
Bersama dengan seorang kawannya, dia terus
mengejar laki-laki setengah baya itu. Sementara tiga orang lainnya memotong
jalan melewati hutan kecil yang ada disebelah kiri jalan mereka, yang nantinya
akan tembus ke jalan yang akan
dilalui oleh laki-laki setengah baya yang sedang mereka kejar.
Laki-laki setengah baya mulai kelihatan gelisah. Berkali-kali dia menoleh ke belakang. Para pengejarnya semakin memperpendek
jarak saja. Meski dia memacu kudanya dengan kencang,
namun hewan itu seperti terbatas kemampuan larinya. Dia mengeluh pelan, dan merasa tidak berapa lama lagi tentu dia akan
terkejar. "Maafkan paman, Ayu. Paman akan berusaha
melindungimu walau dengan taruhan nyawa sekalipun. Tidak akan paman biarkan mereka merenggut nyawamu begitu saja...." Lirih terdengar suara laki-laki itu sambil
menoleh ke arah bayi di punggungnya.
Bayi itu seperti mengerti apa yang tengah terjadi pada mereka, hanya diam saja. Sama sekali tidak menangis!
"Yeaaa...!"
"Ohhh...!" laki-laki setengah baya terkejut. Tiga orang penunggang kuda telah
menghadang di depannya. Buru-buru dia menarik tali kekang kudanya. Namun hewan yang telah lelah itu malah
meringkik keras seraya mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi.
"Hup!" Dengan sigap dia melompat dan menjejakkan kedua kakinya ke tanah dengan mulus.
"Wandira, berhenti kau! Jangan harap kau bisa
selamat dari kami!" bentak salah seorang di antara penghadangnya itu. Kemudian
melompat dari kudanya dan menghadang laki-laki setengah baya yang dipanggil Wandira itu dengan
sorot mata buas. "Hua ha ha...!" Kau kira bisa menyelamatkan
diri dari kami"!"
Ki Wandira kembali terkejut. Dua orang penunggang kuda yang tadi mengejarnya di belakang, kini ikut mengepungnya juga. Dia bersiaga akan segala kemungkinan yang
akan terjadi. Sorot matanya tajam mengawasi mereka satu persatu. Laki-laki bertubuh besar dan memakai ikat kepala merah, yang agaknya
pemimpin keempat
kawannya itu, melompat turun dari punggung
kudanya dan melangkah pelan mendekati Ki
Wandira. Pada jarak lima langkah dia berhenti, lalu sambil bertolak pinggang,
wajahnya menyeringai buas. Tangan kanannya mengelus-elus gagang golok yang terselip di pinggang kiri. Sementara tangan kirinya memilinmilin ujung kumisnya yang tebal.
"Hari ini keluarga Suminta dan keturunannya
akan musnah dari dunia ini, dan tidak ada seorang pun yang mampu menghalanginya!" dengus
laki-laki itu sinis.
"Keparat kau, Suteja! Kau boleh berkata semaumu, tapi jangan harap aku akan menyerah
begitu saja padamu!" dengus Ki Wandira tidak kalah menggertak.
"Ha ha ha...! Tua bangka, Wandira. Apa yang
akan bisa kau andalkan untuk menghadapi kami
berlima!" Majikan dan centeng-centengnya yang
berilmu tangguh telah tewas. Kau cuma tukang
kebun yang lemah. Apa yang bisa kau andalkan
untuk melindungi putri majikanmu itu" Menyerahlah agar kami bisa meringankan hukumanmu.
Mengingat kau cuma seorang tukang kebun, siapa tahu ketua kami bisa mengampuni jiwamu!"
"Terkutuk kau, Suteja! Sampai kapan pun aku
tidak akan menyerah dan membiarkan kalian
menyembelih bayi yang tidak berdosa ini!"
"Huh, keras kepala! Kalau begitu kau boleh
mampus sekarang juga! Ayo, rencah dia!" teriak Suteja seraya memberi isyarat
pada keempat kawannya untuk menyerang Ki Wandira.
"Yeaaa...!"
*** Ki Wandira mendengus sinis. Melihat kelimanya maju bersamaan dengan senjata terhunus,
dia menggertak rahang, tubuhnya berkelit ke
samping dengan sedikit membungkuk ketika satu
tebasan menghajar ke arah dada kirinya. Kemudian dengan enteng tubuhnya melompat ke atas
sambil mengayunkan satu tendangan ke arah lawan yang terdekat setelah mengelak dari dua tebasan yang menyusul.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Tukang kebun sial! Ternyata kau memiliki kemampuan juga! Bagus. Aku ingin lihat, sampai di mana kebisaanmu!" dengus Suteja
seraya menghindar ke samping dari tendangan itu.
Wut! Plak! Dengan gemas tubuhnya melenting ke atas.
Goloknya menyambar ke leher lawan. Tubuh Ki
Wandira merungkel menghindari serangan itu,
dan tangan kirinya berputar menghantam tengkuk lawan. Suteja dengan spontan menangkis. Ki Wandira terkejut. Wajahnya
berkerut menahan
sakit akibat benturan itu. Namun dia masih
mampu melompat ke samping seraya mengibaskan tangan kanan untuk menghindari kepalan
tangan salah seorang lawan.
Begkh! "Akh!"
Laki-laki setengah baya itu mengeluh kesakitan ketika salah seorang
pengeroyoknya dengan tiba-tiba berhasil menyarangkan hantaman kepalan
tangan kanannya ke pinggang. Ki Wandira terhuyung-huyung beberapa langkah. Namun begitu
tubuhnya masih mampu menghindar dari tebasan seorang pengeroyoknya yang lain.
"Uts!"
"Mampus...!" gumam Suteja seraya melompat
ke arah lawan dengan mengayunkan satu tendangan keras ke arah lambung.
Ki Wandira terkejut. Tubuhnya melompat ke
belakang. Namun dengan gemas ujung golok Suteja menyambar. Serangan itu memang telah direncanakan untuk mengecoh lawan. Ki Wandira
terkejut dan tidak sempat mengelak. Orang tua
itu menjerit kesakitan.
Cras! "Aaaakh...!"
Salah seorang pengeroyoknya lagi berhasil
menghantam perutnya yang tengah terluka parah
itu dengan satu tendangan keras. Ki Wandira
memekik kesakitan ketika tubuhnya terjungkal.
Namun dengan kekuatan tenaga, orang tua itu
berusaha jatuh dalam keadaan tengkurap agar
bayi di punggungnya tidak tertindih tubuhnya.
"Setan! Masih alot juga rupanya kau...!" maki
salah seorang yang langsung mengayun goloknya
ke punggung lawan.
"Ohhh...!"
"Ki Wandira terkejut dan berusaha mempertahankan nyawa si bayi dengan mengibaskan sebelah kakinya untuk menghantam perut lawan. Tapi.... Cras! "Aaakh...!"
Kembali orang tua itu terpekik. Senjata lawan
dengan cepat berbalik dan menyambar kakinya
hingga putus. Darah mengucur deras sebatas lutut Orang tua itu berusaha bangkit dengan langkah terpincang-pincang. Pada saat
itu dua orang lawannya kembali mengayunkan golok dengan
wajah beringas dan siap menghabisi nyawa orang tua itu bersama bayi dalam
gendongannya. "Mampus kau, Wandira...!"
"Yeaaah...!"
Ki Wandira terkesiap. Dia berusaha melompat
untuk menghindari serangan lawan. Namun
ujung salah satu senjata lawan cepat menyambar pahanya. Orang tua itu kembali
menjerit. Dan kembali berteriak kesakitan ketika dia berhasil menghindari
sabetan senjata lawan yang kedua,
namun ujung kaki lawannya itu menghantam telak ke arah dadanya.
Bagai kawanan serigala kelaparan, Suteja dan
dua orang kawannya menerkam tubuh Ki Wandira yang terjungkal tak berdaya. Ketiga senjata
mereka siap menghabisi nyawa Ki Wandira.
Orang tua itu mengeluh pelan. Wajahnya berkerut menahan sakit dan sepasang matanya terpejam pasrah. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk menyelamatkan bayi yang dilindunginya mati-matian itu. Hati dan bibirnya tiada henti berdoa.
"Ki Suminta, maafkan aku yang tidak berguna.
Aku tak mampu menyelamatkan keturunanmu
satu-satunya..." keluhnya pelan di dalam hati.
"Yeaaah...!"
Klap! Klap...! "Aaakh...!"
Pada saat yang kritis bagi Ki Wandira, mendadak melesat bayangan putih menghadang serangan Suteja dan kedua kawan-kawannya. Mereka
tersentak kaget, namun tak mampu berbuat apaapa. Kedua kawannya cuma mampu melihat tiga
buah golok yang malang jauh, dan jeritan panjang! Suteja dan kedua kawannya terjungkal tujuh
langkah dengan napas memburu. Ketiganya merasa dadanya perih ketika satu pukulan keras
yang amat cepat menghantam. Dengan gusar lakilaki bertubuh besar itu bangkit dan memandang
seorang laki-laki tua berjubah putih dengan jenggot panjang yang berdiri gagah
di depan mereka.
"Orang tua terkutuk, siapa kau"! Berani mati
mencampuri urusan kami!" geram Suteja memaki.
*** Orang tua yang kelihatannya berwajah ramah
dan berkulit bersih itu tersenyum kecil seraya memandang ke arah mereka.
Sikapnya tenang
dan percaya diri. Rambutnya yang panjang dan
telah memutih, dibiarkan lepas begitu saja. Kedua tangannya bersedekap ke dada,
dan bola matanya lurus memandang ke arah Suteja tanpa mau peduli pada dua orang
anak buah Suteja yang bersiap di belakangnya untuk menyergap.
"Apakah setan telah menguasai hatimu sehingga kau tega membunuh seorang bayi yang tak


Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdosa?" tanya si orang tua itu pelan.
"Orang tua, lebih baik lekas kau menyingkir
dari tempat ini kalau tak ingin celaka!" sahut Suteja membentak garang.
"Baiklah, aku akan pergi dari sini. Dan tentu
saja aku tidak ingin celaka..." sahut si orang tua seraya melangkah pelan
mendekati Kr Wandira.
"Hentikan langkahmu, orang tua!" bentak Suteja merah. Laki-laki itu menjadi kalap karena orang tua
itu meremehkan kata-katanya. Dan sama sekali
tidak menganggap dirinya sebagai ancaman di
tempat itu dengan mendatangi Ki Wandira yang
tengah sekarat.
Tapi orang tua itu sama sekali tidak memperdulikan bentakan Suteja. Dia berjongkok pelahan dan meraih bayi dalam gendongan
Ki Wandira dengan hati-hati sekali.
"Hm, bayi mungil yang cantik. Kau seharusnya
tidak melihat kekejaman orang-orang ini. Tapi
agaknya telah ditakdirkan bahwa kelak kau menjadi anak yang tabah..." gumam si orang tua seraya tersenyum kecil menimangnimang jabang bayi itu. "Ki sanak, tolong selamatkan bayi ini. Dia putri satu-satunya majikanku... Ju...
juragan Suminta.
Namanya... Ayu Laksmini...," kata Ki Wandira
dengan suara terbata-bata.
"Tenangkan dirimu, sobat..," Si orang tua itu berusaha menghentikan pendarahan
di tubuh Ki Wandira untuk menghentikan rasa sakit yang dideritanya. "Percuma sobat. Aku... aku merasa ajalku sudah dekat Te... terima kasih atas kesedianmu melindungi dan merawat bayi
ini...," sahut Ki Wandira seraya tersenyum lega.
Ki Wandira menarik nafas panjang. Wajahnya
berkerut menahan rasa sakit. Terlihat tubuhnya mengejang sesaat, sebelum diam
tak bergerak lagi untuk selamanya. Nyawanya melayang dari tubuhnya.
"Tenangkan hatimu di alam sana, sobat. Tentu
saja aku akan merawat dan melindungi bayi ini
dari siapa pun yang mencoba mengganggunya.
Telah lama sekali aku tidak mempunyai cucu. Ha-ri ini dialah cucuku...!" sahut
si orang tua seraya mengusap wajah Ki Wandira.
Kemudian dia bangkit dengan tenang dan memandang kelima orang lawan-lawannya yang siap
menyerangnya. Orang tua itu tersenyum kecil dan sama sekali tidak menganggap
bahwa kelima orang itu merupakan hantu yang menakutkan
baginya. "Orang tua, serahkan bayi itu! Ini peringatan
terakhir bagimu! Kalau kau masih berkeras juga maka nasibmu akan sama dengan Ki
Wandira!" bentak salah seorang anak buah Suteja.
"Hm, bayi ini sekarang adalah cucuku, dan tidak seorang pun kuperkenankan merebutnya dari
tanganku...," sahut si orang tua itu dengan sikap tenang.
"Bebedah! Kalau begitu kau mencari mampus!
Baiklah kalau memang itu maumu!" bentak Suteja seraya memberi isyarat pada anak buahnya.
Kelima orang itu segera memutar golok di tangan dan melangkah mengelilingi orang tua itu
dengan sorot mata setajam mata elang. Bagaimanapun mereka patut berhati-hati. Dengan sekali gebrak orang tua itu mampu
menjatuhkan Suteja
dan kedua kawannya. Itu saja sudah cukup
membuktikan bahwa si orang tua memiliki kemampuan yang hebat dan tidak bisa dianggap enteng. "Yeaaah...!"
Wut! Wut! Dengan mengerahkan seluruh kecepatan, mereka bergerak. Kelima senjata lawan menyambar
ke seluruh bagian tubuh orang tua itu.
"Dasar manusia-manusia durjana! Tidak cukupkah bagi kalian nyawa beberapa orang yang
telah kalian bantai. Dan kini seorang bayi yang tidak berdosa hendak kalian
renggut pula dari
tanganku. Huh, jangan salahkan aku jika bertindak keras terhadap kalian!" dengus
orang tua itu geram.
Dengan tangan kiri menggendong bayi, gerakan
orang tua itu sama sekali tidak terhalangi ketika tubuhnya melompat ke atas
menghindari sambaran senjata lawan. Kemudian dia membuat gerakan salto beberapa kali. Kedua kakinya bergerak cepat menyambar dua pergelangan
tangan lawan. Tak! Tak! "Aaakh!"
Kedua orang itu menjerit kesakitan. Golok dalam genggaman mereka terlepas dari pergelangan tangannya patah. Namun orang tua
itu agaknya tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya merunduk ketika dua sabetan lain menyambar. Kemudian bergerak ke atas sambil mengayunkan sebelah kaki dengan gerakan ke atas sambil mengayunkan sebelah kaki dengan gerakan menyapu
dari kiri ke kanan.
Duk! Begkh! "Aaakh!"
Dua orang lawan kembali menjerit kesakitan
ketika dada mereka seperti dihantam benda keras. Keduanya terjungkal ke belakang.
Suteja terkejut bukan main. Kini dia tinggal
sendiri berhadapan dengan orang itu.
"Keparat! Jangan kau kira aku takut padamu!
Yeaaah...!" Suteja geram bukan main mendengar
kata-kata si orang tua. Di hadapannya hal itu merupakan penghinaan. Dan di depan
anak buah- nya, mana mungkin dia menunjukkan kepengecutannya. Maka tanpa pikir panjang lagi, Suteja melompat menyerang lawan dengan
senjata terhunus.
"Hup!"
Dengan gerakan gesit dan manis, orang tua itu
merundukkan kepala lalu melompat ke samping
menghindari tebasan senjata lawan.
Suteja geram bukan main melihat lawan mampu menghindari setiap serangan dengan gerakan
gesit. Tapi lebih kaget lagi dia manakala merasakan satu hajaran telak
menghantam dagu ketika
orang tua itu melompat ke atas.
Tak! "Aaakh...!"
Tubuh Suteja terjerembab ke belakang sambil
memuntahkan darah segar dari mulut Tiga buah
giginya tanggal, dan golok di tangannya terlepas dari genggaman.
"Kurang ajar...!" Suteja menggeram sambil meludah. Dia segera bangkit dengan wajah gusar
dan siap menyerang lawan kembali. Namun orang
tua itu telah lenyap dari tempat itu. Dia memandang ke sekeliling tempat.
"Kemana dia"! Ke mana orang tua keparat
itu"!" bentaknya geram pada keempat kawannya.
Keempat orang kawannya diam tak menjawab.
Mereka memang tidak mengetahui, bagaimana
caranya si orang tua menghilang dari tempat itu.
"Dasar kantong-kantong nasi pengecut! Kenapa
kalian diam saja dan bukannya membantu aku
menghajarnya"!" maki Suteja seraya menghardik
geram. Keempat kawannya cuma kembali diam seraya
menundukkan kepala. Wajah mereka beberapa
kali berkerut menahan rasa sakit. Kemudian pelahan-lahan melompat ke punggung kuda ketika
Suteja yang lebih dulu melompat ke punggung
kudanya, berlalu dari tempat itu!
*** 2 Laki-laki bertubuh besar yang mengenakan
ikat kepala warna hitam dan lebar itu berdiri tegak sambil tersenyum lebar.
Pedang besar di tangan kanannya yang berlumur darah dibersihkannya dengan menggosok-gosokkan pada baju salah
seorang mayat yang tergeletak di dekatnya. Beberapa orang kawan-kawannya yang
berjumlah le- bih dari lima belas orang tampak mondar-mandir di seluruh pekarangan dan di
dalam gedung besar itu seperti hendak memastikan bahwa tidak seorang pun
penghuninya yang selamat
"Semuanya sudah mampus!" desis salah seorang yang mendekati lelaki bertubuh besar seraya menyarungkan kembali golok ke
pinggangnya. "Bagaimana dengan Suteja dan kawankawannya?" tanya lelaki bertubuh besar itu dengan suara serak.
"Dia pasti sedang membereskan sisanya..."
"Hm, seluruh keturunan si Suminta harus binasa! Begitu yang diperintahkan Ki Kartawijaya.
Kalau saja ada yang hidup, maka kalian semua
akan menanggung akibatnya!"
"Saat ini mereka tentu telah dibereskan Ki Suteja," sahut laki-laki itu meyakinkan.
"Hm, mudah-mudahan saja benar apa yang
kau katakan..."
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki
Jambrong Suta?" tanya anak buahnya itu.
"Siapkan yang lain. Kita akan berangkat sekarang juga ke markas!" perintah laki-laki bertubuh besar itu dengan suara keras.
"Apakah kita tidak menunggu Ki Suteja dan
yang lainnya?"
"Tidak perlu. Begitu mereka telah menyelesaikan urusannya, mereka pasti akan kembali ke
markas!" "Baiklah...!" sahut anak buahnya seraya mengangguk pelan dan berteriak pada yang lainnya.
Sebentar saja mereka telah melompat ke punggung kuda masing-masing dan meninggalkan
tempat itu sambil memacu kuda-kuda dengan
kencang. Namun baru saja berada di pintu gerbang depan, sekonyong-konyong melesat sebuah
bayangan menghadang mereka. Serentak Ki Jambrong Suta menghentikan lari kuda sehingga hewan itu meringkik keras. Demikian pula dengan
para anak buahnya.
"Kurang ajar! Siapa yang berani menghalangi
jalanku"!" bentak Ki Jambrong Suta geram.
Beberapa orang anak buahnya sudah langsung
melompat dan berdiri tegak dengan sikap waspada mengepung seorang laki-laki tua yang tengah menggendong seorang bayi. Orang
tua itu tenang sekali sikapnya dan sama sekali tak merasa takut melihat lawanlawannya siap hendak menghabi-sinya.
Melihat keadaan itu Ki Jambrong Suta menjadi
curiga. "Kalau bukan orang gila yang ingin mampus, pastilah orang tua ini
memiliki nyawa seri-bu," pikirnya. Dia memberi isyarat pada anak
buahnya untuk tidak menyerang si orang tua dulu. "Ki sanak, apa maksudmu menghadang perjalanan kami?" tanya Ki Jambrong Suta dengan nada suara ditekan sedemikian rupa, mungkin untuk menunjukkan kewibawaannya di hadapan
orang tua itu. "Kaukah yang memimpin rombongan ini?"
tanya si orang tua tidak menghiraukan pertanyaan Ki Jambrong Suta.
Mendengar itu saja rasanya amarah Ki Jambrong Suta hendak naik ke ubun-ubun. Orang
tua itu sama sekali tidak memandang sebelah
mata padanya. Dia tak peduli dengan pertanyaanya, dan malah balik mengajukan pertanyaan sendiri. Namun memandang sorot mata si
orang tua yang tajam dan menyilaukan matanya,
sadarlah Ki Jambrong Suta bahwa dia tengah
berhadapan dengan seorang tokoh yang memiliki
kepandaian tinggi dan sulit diukur sampai di mana tingkat kepandaiannya. Untuk itu dia harus
hati-hati dan tidak bisa bertindak gegabah.
"Benar, akulah yang memimpin rombongan
ini. Namaku Ki Jambrong Suta. Siapakah engkau, Ki sanak...?"
"Apa hubunganmu dengan Nini Widyadara?"
tanya si orang tua itu sama sekali tidak mempedulikan niat baiknya untuk beramah
tamah. Na- mun dia berusaha menekan amarahnya dan menyahut tenang. "Hm, agaknya kau mengenal sesepuh kami juga. Beliau adalah istri guru kami..."
"Kartawijaya..."!"
"Kau pun mengenalnya?" Ki Jambrong Suta
mulai berhati-hati begitu mengetahui bahwa
orang tua di depannya ini mengetahui kedua sesepuh di perguruannya itu. Boleh jadi dia kawan baik gurunya. Untuk itu dia tak
berani bersikap gegabah lagi.
"Ki sanak, siapakah kau sebenarnya" Kau begitu mengenal kedua sesepuh kami. Pastilah kau
amat dekat dengan mereka..."
"Ha ha ha ha...! Katakan pada mereka bahwa
suatu saat kelak aku akan mengambil milikku
yang telah mereka perdayai. Saat itu aku tidak bi-sa memastikan apakah akan
mengampuni mereka atau tidak!"
Ki Jambrong Suta tersentak kaget. Orang tua
berjanggut panjang dan telah memutih itu tertawa lebar. Kemudian melesat ke atas
dan menapak dengan enteng pada sebuah cabang pohon sebelum dia dan anak buahnya sempat menyadari hal
itu. "Orang tua sinting! Siapa kau sebenarnya dan
apa urusanmu dengan kedua guru kami"!" bentak Ki Jambrong Suta seraya melemparkan goloknya ke arah melesatnya bayangan si orang tua.


Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun senjatanya itu hanya menancap di batang pohon, sedangkan si orang tua telah lenyap dari tempat itu. Suara tawanya
masih terdengar nyaring yang diikuti gema suaranya.
"Katakan pada kedua tikus licik itu, Dewa Ruci akan meminta kembali benda
miliknya yang telah mereka renggut..!"
Dan kemudian suara itu menghilang. Ki Jambrong Suta dan anak buahnya kembali terpaku.
"Dewa Ruci...?" tanyanya bingung pada diri
sendiri. Dia mencoba mengingat-ingat di mana pernah
mendengar nama itu.
"Astaga! Dewa Ruci! Dia... dia saudara seperguruan Ki Kartawijaya. Pantas saja
kepandaiannya demikian hebat!" desis Ki Jambrong Suta begitu mengingat siapa
orang tua itu sebenarnya.
Anak buahnya pun terkesima. Kalau saja orang
tua itu sempat marah dan menghajar mereka,
niscaya tidak seorang pun di antara mereka yang bisa selamat.
"Lekas kita kembali dan kabarkan hal ini pada
ketua!" teriak Ki Jambrong Suta memberi perintah pada anak buahnya.
Tidak berapa lama kemudian mereka telah meninggalkan tempat itu sambil memacu kencang
kudanya. *** Orang tua bertubuh kurus itu tampak merah
menahan marah begitu mendengar laporan anak
buahnya. Dipandanginya mereka satu-persatu
kemudian terdengar suaranya yang lantang.
"Ke arah mana dia pergi?"
"Eh... kami... kami tidak mengetahuinya,
Eyang," sahut Ki Jambrong Suta sambil menundukkan wajahnya.
"Tolol! Apa kau tidak bisa memperkirakan ke
mana dia pergi"!"
"Sabarlah, Kakang. Kau tidak bisa menyalahkan mereka begitu saja. Kepandaian Kakang Dewa Ruci memang sulit diukur. Apalagi setelah sekian tahun berlalu...," ujar
seorang wanita tua berambut panjang yang duduk di samping laki-laki tua itu.
Laki-laki tua itu mendengus geram.
"Apakah orang tua itu berbahaya bagi kita,
Eyang" Bukankah beliau kakak seperguruan
Eyang..."!" tanya Ki Jambrong Suta dengan dahi berkerut.
"Huh, tahu apa kau dengan segala urusanku!"
dengus orang tua itu sinis.
Ki Jambrong Suta terdiam. Wajahnya di tundukkan dalam-dalam.
"Ki Jambrong Suta, urusanmu telah selesai.
Pergilah keluar...," kata wanita tua yang berada di
depannya dengan nada ramah.
"Baiklah, Eyang...," sahut Ki Jambrong Suta
seraya memberi hormat dan berlalu dari ruang
itu. Laki-laki tua bertubuh kurus itu sesungguhnya
bernama Ki Kartawijaya, dan wanita di sebelahnya adalah Nini Widyadara. Kedua orang tua itu amat disegani di kalangan dunia
persilatan karena kepandaian mereka yang hebat. Dan untuk
saat ini Perguruan Camar Hitam yang mereka
pimpin, merupakan salah satu dari sekian banyak perguruan silat yang amat
menonjol dan amat
disegani. Sebenarnya Ki Kartawijaya tidak turun tangan
langsung memimpin Perguruan Camar Hitam setelah putranya dewasa. Beliau menyerahkan tampuk kepemimpinannya ketangan Ki Dewantara,
putra tertuanya. Pemuda yang berusia sekitar tiga puluh tahun lebih itu pun tak
kalah hebat kepandaiannya dibanding dengan orangtuanya.
Hari ini tidak seperti biasanya bagi mereka.
Terlebih bagi suami istri yang telah berusia lanjut itu. Berita yang dibawa oleh
Ki Jambrong Suta
memang amat mengagetkan mereka. Dari mana
Ki Dewa Ruci mengetahui bahwa Ki Jambrong Suta muridnya"
"Tak aneh, Kakang. Melihat dari gerakangerakan ilmu silatnya saja dia sudah bisa mene-baknya.
Tidak ada orang lain yang menjadi murid eyang
selain kita bertiga...," jelas Nini Widyadara.
"Hm, kenapa dia tidak langsung menuju ke sini" Dia pasti mempunyai rencana lain...," gumam Ki Kartawijaya dengan nada
bertanya-tanya.
"Kenapa Ayah dan Ibu kelihatan khawatir dengan kemunculan orang tua bernama Dewa Ruci
itu?" tanya Ki Dewantara yang sejak tadi diam sa-ja mendengar percakapan mereka.
Ki Kartawijaya memandangnya sekilas, kemudian berpaling seperti tidak ingin menjawab pertanyaan putranya itu.
"Ayahanda, jika ada sesuatu yang membebani
pikiran Ayahanda tentang orang tua itu, serahkan saja pada ananda. Biar Ananda
yang akan mengurus erang tua itu..."
"Apa yang bisa kau urus?" tanya Ki Kartawijaya tersenyum kecut.
"Ayah menghendaki apa dari orang tua itu?"
sahut Ki Dewantara mantap dengan pertanyaan
yang meyakinkan orangtuanya itu.
"Apakah jika ayahanda menginginkan kematiannya kau mampu mengurusnya?" tanya Ki Kartawijaya kembali tersenyum getir.
"Kalau memang Ayah menghendaki demikian,
serahkan saja urusannya pada ananda," sahut Ki Dewantara mantap.
"Ki Dewantara, anakku. Kau tidak tahu orang
macam apa yang sedang kita bicarakan ini. Bukan hanya namanya saja yang berawal dewa, tapi kepandaiannya pun hampir menyamai
nama itu. Tidak ada seorang pun yang mampu mengimbangi kepandaiannya. Kau akan sia-sia untuk melawannya. Apalagi mencoba membunuhnya," jelas
Nini Widyadara dengan suara Junak.
"Ibu, apakah Ibu tidak percaya dengan kemampuan ananda?"
"Siapakah yang meragukan kemampuanmu"
untuk saat ini segala kepandaian ibu dan ayahandamu telah engkau kuasai."
"Lalu kenapa Ibu masih meragukan ananda"
Kalau memang Ki Dewa Ruci itu saudara seperguruan Ayahanda dan Ibu, tentu kepandaiannya sebanding pula. Dan kenapa ananda tidak mampu
melawannya?" tanya Ki Dewantara dengan wajah
kurang puas. "Apa yang kau katakan memang benar. Tapi
ada satu yang belum kau ketahui bahwa Ki Dewa
Ruci itu bukan hanya berguru pada satu orang.
Tapi dia seorang petualang yang memiliki banyak guru. Kepandaiannya beraneka
ragam dan sulit
diukur," jelas Nini Widyadara.
"Tapi bukan berarti ananda tidak mampu
menghadapinya, bukan" Percayalah, ananda tak
takut melawannya bila memang Ayahanda dan
Ibu begitu mengkhawatirkan orang tua itu," sahut Ki Dewantara kembali dengan
nada mantap. "Sudahlah, lebih baik kau urus muridmuridmu. Biar persoalan yang satu ini kami yang urus,"
kata Ki Kartawijaya dengan suara tegas.
"Tapi, Ayahanda..."
"Jangan membantah! Apa yang bisa kau lakukan" Apa kau ingin mengantar nyawa secara percuma" Sudah, pergilah sana!" bentak Ki Kartawijaya dengan nada lebih tinggi.
Ki Dewantara sebenarnya ingin membantah.
Tapi mendengar suara ayahnya yang mulai bernada keras, dia tidak berani buka mulut lagi.
Meski hatinya sedikit tidak enak ditinggalkannya juga ruangan itu setelah
menjura hormat.
Nini Widyadara menoleh kepada suaminya
sambil menghela napas pendek.
"Tidak baik kau berkata keras begitu padanya.
Bukankah dia bermaksud baik..?"
"Huh, jangan kau selalu mengajarinya berlemah-lembut. Dia anak laki-laki, dan seorang laki-laki patut mendapat perlakuan
keras." "Dan selama ini semakin kau kerasi mereka
akan semaian membantah. Apakah itu ada manfaatnya bagi mereka?"
"Dan mereka pun mendapat pelajaran akibat
membantah perkataanku. Itu menjadi pengalaman berharga bagi mereka."
"Dalam hal ini, mereka mengetahui bahwa kau
melarang ikut campur. Apakah kau yakin mereka
akan mematuhinya" Bagaimana bila Ki Dewantara dengan diam-diam melanggar laranganmu dan
mencari Kakang Ki Dewa Ruci untuk menantangnya bertarung" Kakang Ki Dewa Ruci memang
penyabar. Tapi kalau Ki Dewantara terus memaksanya, dia akan terbunuh. Apakah hal seperti itu yang kau katakan pengalaman
berharga bagi mereka"
"Ah, sudahlah. Jangan urusi soal itu," sergah
Ki Kartawijaya kesal.
*** Nini Widyadara terdiam beberapa saat lamanya. Demikian pula halnya dengan Ki Kartawijaya. Apa yang dikatakan istrinya memang ada
benarnya. Tapi tentu saja dia tidak bisa mengawasi anaknya itu setiap hari.
Meski perguruan itu dipegang oleh Ki Dewantara, namun dalam pelak-sanaannya dia
sering mewakilkan pada dua orang adiknya, yaitu Ki Ganggapura dan Ki Soma Jagat
Sedangkan Ki Dewantara sendiri lebih sering ber-kelana seorang diri. Tidak
seorang pun mengetahui apa yang dilakukannya di luar sana.
"Kakang, apakah kau begitu mengkhawatirkan
kedatangan Kakang Ki Dewa Ruci ke tempat
ini...?" tanya Nini Widyadara pelan.
"Huh, apa yang kutakutkan darinya?" sahut Ki
Kartawijaya sambil mencibir.
"Kalau begitu, kenapa Kakang begitu kelihatan
cemas mendengar berita kedatangannya" Belum
tentu dia akan datang ke sini...."
"Cepat atau lambat dia pasti akan datang ke
sini untuk menagih benda miliknya, dan kita harus siap
mempertanggungjawabkannya."
Nini Widyadara mendesah pelan.
"Aku sendiri tidak mengetahui di mana benda
itu berada sekarang ini."
"Itu salahmu sendiri. Kenapa kau tidak menyembunyikannnya dengan rapi saat pertarungan
tempo hari," sentak Ki Kartawijaya dengan nada
kesal. "Siapa yang mengira bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang hebat dan mampu merampas Pedang Setan itu dari tanganku," sahut Nini Widyadara tak senang merasa
disalahkan. Kedua orangtua itu kembali terdiam setelah
saling menyalahkan. Kemudian terlihat Ki Kartawijaya menghela napas panjang
seraya mengge- lengkan kepalanya pelan.
"Maafkan aku, Nini. Tidak seharusnya aku menyalahkanmu. Pemuda itu memang memiliki kepandaian yang hebat..."
Mendengar nada suara suaminya mulai lunak
dengan perasaan penyesalan, kekesalan di hati
wanita tua itu pun mereda. Dia memegang tangan Ki Kartawijaya dan meremasnya
pelan seraya tersenyum kecil.
"Sudahlah. Yang telah terjadi tidak mungkin
kembali lagi. Kita memang bersalah, dan sudah
sepatutnya mendapat hukuman akibat kesalahan
kita sendiri..."
"Tapi..."
"Apakah kau masih merasa tinggi hati untuk
meminta maaf pada Kakang Ki Dewa Ruci?" potong Nini Widyadara cepat.
"Entahlah...," sahut Ki Kartawijaya lemah.
"Kakang, kita sudah tua. Lupakanlah pertikaian kalian di masa lalu. Lagi pula, tidakkah engkah merasakan bahwa Kakang Ki
Dewa Ruci telah banyak mengalah pada persoalan ini" Kau merebut aku darinya, tapi dia
malah menghindar
pergi dan meninggalkan kita begitu saja tanpa
membuat perhitungan denganmu. Lalu kita mencuri senjata pusakanya, dan baginya itu adalah perbuatan yang di luar batas.
Apalagi ketika senjata itu kita pergunakan untuk berbuat sewenang-wenang. Tentu saja dia tidak suka dan menjadi marah. Tapi dia memberi
kesempatan padamu untuk mengembalikan senjata itu karena kau
berdalih hendak meminjamnya. Tapi ketika waktu itu habis, kita malah kabur
darinya. Bukankah
sudah sepatutnya kalau dia merasa jengkel dan
mendendam pada kita?"
"Lalu maksudmu kita harus meminta maaf dan
membiarkannya memenggal leher kita berdua?"
tanya Ki Kartawijaya dengan nada tak senang.
"Bukan begitu maksudku. Tapi masih ada jalan
lain yang lebih baik dan kurasa dia pun mau
mengampuni kesalahan kita."
"Apa itu?"
"Bagaimana kalau kita cari pedang itu" Selama
ini hidupku hanya kucurahkan untuk mencari
pedang itu, tapi sampai kini si keparat itu tidak muncul batang hidungnya.
Kalaupun kita berhasil menemukan si keparat itu, belum tentu kita mampu
mengalahkannya. Apalagi setelah dia bersembunyi sekian tahun lamanya. Tentu dia
ten- gah mempelajari ilmu silat yang berada dalam pedang itu. Dan tidak bisa di
pungkiri, bagaimana kehebatan si keparat itu kalau dia muncul kembali.
"Tapi bagaimanapun caranya, kita harus menemukan pedang itu dan menyerahkannya kembali pada Kakang Ki Dewa Ruci. Dan dalam hal
ini, tidak ada salahnya kalau kita melibatkan murid-murid Perguruan Camar Hitam
untuk menca-

Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rinya, atau mencari berita tentang si keparat itu."
Ki Kartawijaya berpikir beberapa saat lamanya.
Bagaimana, Kakang...?" tanya Nini Widyadara.
"Yah, kurasa usulmu itu memang tidak ada salahnya kalau kuturuti...," sahut laki-laki tua itu pelan.
"Syukurlah kalau memang Kakang menyetujuinya. " "Tapi bagaimana kalau dia datang ke tempat
ini sebelum kita menemukan pedang itu" Dan
seandainya dia masih tetap tidak percaya kalau kita akan berusaha menemukan
benda miliknya itu, dia tentu akan mengamuk sejadinya."
"Biarlah nanti aku yang akan menghadapinya.
Aku yakin Kakang Ki Dewa Ruci tidak akan bertindak sembrono."
"Terserahlah kalau memang begitu rencanamu..." "Nah, ada baiknya rencana ini kita bicarakan
dengan si Ki Dewantara. Agar dia bisa mengerti.
Kalaupun kelak dia harus tewas ditangan si pencuri pedang itu, aku malah akan
merasa bangga karena dia tewas dalam menunaikan tugas dari
darma bakti yang benar. Dan bukan kematian
yang sia-sia dibandingkan bila dia tewas di tangan Kakang Ki Dewa Ruci."
"Kalau begitu, panggillah dia segera. Anak itu
kadang keras kepala dan merasa mampu memikul semua tanggung jawab. Jangan sampai dia
lebih dahulu memutuskan pergi dan bertarung
sia-sia," kata Ki Kartawijaya.
Nini Widyadara segera turun dari kursinya dan
beranjak dari ruangan itu. Ki Kartawijaya menghela napas panjang, seraya
menggelengkan kepalanya. *** 3 Sang Surya terus bersinar dan bersembunyi di
balik gelap malam ketika pucuk-pucuk pohon
membuat tunas baru. Telur-telur burung mulai
menetas dan menjadi dewasa. Ranting-ranting
pohon telah menjadi cabang yang kokoh dan kuat Demikian pula dengan tunas-tunas
muda yang kini telah berdiri tegak bersama bergulirnya sang Waktu. Dan tidak terasa
bergulir hari demi hari menjadi bulan, kemudian terus bergulir ke tahun.
Enam belas tahun telah berlalu sejak kejadian itu! Banyak perubahan yang
terjadi. Dan juga banyak yang kini tinggal sejarah, atau masih berlanjut
menjalani sisa garis hidupnya.
Dataran tinggi di Bukit Warimun Giri yang senantiasa berselimut kabut kelihatan tenang seperti menyimpan rahasia yang tersembunyi. Jarang sekali ada manusia yang berani mendekatinya, karena daerah perbukitan itu seringkali
menjebak penglihatan. Kabut tebal yang menghalangi itu seringkali menjebak penglihatan. Kabut tebal yang menghalangi
menyesatkan mereka
yang mencoba mendaki. Dan tidak jarang akhirnya terperosok ke dalam jurang-jurang yang banyak terdapat di sekitar tempat ini. Apalagi mencoba mengetahui rahasia apa yang
ada di balik kabut tebal sepanjang musim itu.
Meskipun begitu ternyata ada juga seorang tokoh yang mampu mendiami daerah berkabut di
Bukit Warimun Giri itu. Bahkan tokoh tua yang
namanya pernah menggetarkan rimba persilatan
di jamannya itu telah bercokol lama sekali di
tempat itu, bersama dengan seorang murid tunggalnya. Seorang dara jelita berusia sekitar enam belas tahun.
"Yeaaah...!"
Pagi yang gelap dipecahkan oleh suara teriakan membahana. Sebuah bayangan
melesat dengan cepat Gerakannya ringan sekali bagai seekor wa-let Bayangan putih itu bergulunggulung sambil sesekali melenting ke sana kemari. Dan ketika beberapa pohon
dilewati, akan terlihat daun-daunnya jatuh berguguran bersama dengan ranting-ranting, dalam keadaan terpotong!
"Ayu, tahan setanganku...!" satu suara berteriak nyaring yang diikuti melesatnya sesosok tubuh. Bayangan pertama langsung
melesat mema- paki. "Yeaaah...!"
Tring...! Terdengar beberapa kali suara berdenting nyaring dari beradunya dua senjata tajam yang bergerak cepat Kemudian terasa angin
bersiur kencang dan tajam seperti sabetan senjata rahasia yang jumlahnya amat
banyak. Kejadian itu berlangsung lebih kurang sekejapan saja, dan baru selesai ketika masing-masing membentak nyaring. Dua sosok
bayangan itu melenting saling berjauhan, kemudian hinggap dengan ringan di
tanah. Pada jarak sepuluh langkah, terlihat bayangan pertama tadi adalah seorang
gadis berparas rupawan memakai baju serba putih dengan rambut panjang diikat ekor kuda agak ke atas, lalu diikat pula dengan
sehelai pita putih terbuat dari sutera halus seperti bahan pakaian-nya. Tangan
kanannya menggenggam sebatang
pedang kecil yang disilangkan di dadanya. Sementara bayangan kedua adalah
seorang laki-laki
yang telah berusia lanjut dengan rambut panjang telah memutih. Demikian pula
dengan jenggotnya.
Di tangan kanan laki-laki itu pun tergenggam sebatang pedang berukuran agak
besar. "Bagus, Ayu. Gerakanmu sudah lumayan cepat, dan tenaga dalammu pun sudah sempurna.
Kalau ada kekurangan pada dirimu adalah kau
butuh pengalaman untuk bertarung. Namun harus diingat, bahwa semua jurus-jurus tipuan
yang telah aku ajarkan hendaknya menjadi tameng yang berguna bagimu...!"
"Terima kasih, Eyang..." sahut si gadis yang dipanggil Ayu itu seraya
merangkapkan sebelah
tangan ke dada dan tubuh sedikit dibungkukkan
dengan sikap hormat
"Kemarilah Ayu, ada yang hendak kubicarakan
denganmu...!"
Gadis itu mendekat dan mengikuti langkah si
orang tua ke sebuah pondok kecil yang tak jauh dari tempat mereka berlatih tadi.
Kemudian duduk di hadapan orang tua yang bersila di balebale pondok itu.
Dipandanginya beberapa saat gadis itu, kemudian tersenyum pelan seraya menepuk-nepuk sebelah pundaknya.
"Apakah gerangan yang hendak Eyang bicarakan padaku...?"
"Telah enam belas tahun kau berada di tempat
ini, dan kurasa telah tiba saatnya kau menjalani tugasmu. Ayu..."
"Apakah Eyang yakin bahwa aku mampu memikul tanggung jawab besar itu?" tanya si gadis dengan nada tak yakin.
Orang tua yang bernama Ki Dewa Ruci itu tersenyum halus, "Apakah kau tidak yakin dengan
kemampuanmu?"
"Eyang sering bercerita bahwa di dunia luar
sana banyak kejadian yang tiada terduga. Bagaimana mungkin Eyang bisa meyakinkan
bahwa aku mampu memikul tanggung jawab dalam tugas mulia ini?"
"Keyakinan itu adanya di hati, dan keberhasilan itu tergantung dari kerja keras yang pantang menyerah. Kalau bekerja membabi
buta, maka hasilnya akan kacau-balau. Tapi kau telah mempunyai bekal, dan itu cukup bagimu, sehingga dalam masa remajamu ini kau sudah
harus berpikir cermat dan tepat untuk cepat mengetahui setiap gejala yang akan
mencelakakanmu sehingga kau
langsung bisa bertindak untuk menyelamatkan
diri. Nah, yakinlah dengan semua bekal yang kau miliki, dan gunakan akalmu untuk
melindungi nyawamu..." jelas Ki Dewa Ruci memberi wejangan kembali. Si gadis yang bernama Ayu Laksmini mengangguk pelan. Wajahnya kemudian kembali tegak seraya memandang orang tua itu dengan perasaan
sedih. "Eyang, aku telah menganggapmu sebagai kakekku sendiri yang amat kusayangi...," ucapnya lirih.
"He, jangan bersedih! Apa kau kira ini perpisahan bagi kita" Tidak! Bila Tuhan
Yang Maha Esa berkenan memperpanjang umur kita, tentu saja
kita akan bertemu kembali. Dan tentu saja aku
senang bisa bertemu dengan cucuku tersayang.
Nah, berangkatlah sekarang juga!"
Ayu Laksmini terharu, kemudian berlutut di
depan orang tua itu. Tangan kasar Ki Dewa Ruci menyapu air mata yang menetes di
wajah gadis muda yang cantik itu. Kemudian tersenyum kecil.
Ayu Laksmini berdiri tegak, lalu kembali menjura hormat Ki Dewa Ruci mengangguk seraya
tersenyum dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Aku pamit, Eyang...," kata gadis itu lalu berbalik dan melangkah pelan meninggalkan tempat
itu. Ki Dewa Ruci memandangnya sekilas, kemudian kembali ke pondoknya seperti tidak ada kejadian apa-apa.
*** Siang hari ini matahari bersinar tidak terlalu garang. Seorang pemuda berwajah
tampan namun terlintas kesan keras dari raut wajahnya itu, berjalan dengan
tenang seraya sesekali menepuk-nepuk monyet kecil berbulu hitam yang berada di
pundak kirinya. Pemuda yang mengenakan baju
dari kulit harimau itu seperti tidak mempedulikan ketika beberapa pasang mata
mengintainya dari
balik semak-semak di sepanjang jalan yang dila-luinya.
"Nguk..! Nguk..!" Monyet kecil itu melompatlompat dipunggungnya sambil berteriak dengan
suara keras. Sebelah tangannya menunjuknunjuk ke satu arah.
"Tenang saja, Sobat Aku juga tahu apa yang
kau maksud. Tapi selama mereka tidak mengganggu kita, biarkan saja mereka menguntit," sahut pemuda itu seperti mengerti
apa yang dimaksud oleh monyet berbulu hitam itu.
Pemuda yang tidak lain dari Bayu Hanggara itu
masih tenang-tenang saja berjalan. Namun demikian pendengarannya yang tajam terus mengikuti perkembangan beberapa orang yang
sejak tadi masih tenis mengintainya.
Dia masih belum bisa menduga apa yang mereka kehendaki darinya. Tapi sejauh mereka tidak apa-apa, maka dia pun tidak
ingin bertindak Tapi di suatu tempat yang agak sepi, tiba-tiba saja melesat
beberapa sosok tubuh menghadang perjalanannya. Bayu tersenyum kecil.
"Berhenti...!" teriak salah seorang dari mereka seraya mencabut golok dengan
sikap mengancam.
Bayu menghitung. Jumlah mereka hanya berlima, dan rata-rata memiliki wajah yang tidak
bersahabat Apalagi kelimanya telah bersiap dengan golok di tangan masing-masing.
Yang mem- bentaknya tadi agaknya pemimpin empat orang
kawannya yang lain. Tubuhnya agak pendek dan
dahinya lebar. Usianya sekitar tiga puluh tahun.
Orang itu maju dua langkah seraya mendengus
sinis. "Siapa kau dan apa yang kau bawa?" bentak
orang itu kembali.
"Aku cuma seorang pengembara, dan kalian bisa melihat apa yang kubawa. Sebaliknya, siapakah kalian dan apa yang kalian inginkan dariku...?" tanya Bayu tenang balik bertanya.
"Apa yang kau ketahui tentang Pedang Setan
Dewa Ruci?" tanya orang itu kembali masih dengan nada tinggi dengan sorot mata menyelidik
"Pedang Setan Dewa Ruci" Hm, baru sekali ini
kudengar nama itu...," kata Bayu setengah bergumam. "Ki Wongso, kukira dia pasti berbohong. Aku
yakin bahwa pemuda inilah yang belakangan sering membuat onar dan memiliki pedang itu," bisik salah seorang kawannya.
Laki-laki yang dipanggil Ki Wongso oleh anak
buahnya itu kembali mendengus ke arah Pendekar Pulau Neraka dengan wajah sinis.
"Huh, lebih baik kau mengaku saja dan serahkan pedang itu pada kami. Kalau tidak, kau akan menyesal sendiri nantinya,"
lanjut Ki Wongso
dengan nada geram mengancam.
Bayu tersenyum kecil.
"Ki sanak, aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Seolah-olah kau menuduhku mencuri
sesuatu darimu, dan kau memaksa aku untuk
mengembalikannya. Tapi mungkin telingamu tuli
dan sekarang kutegaskan kembali bahwa aku tidak tahu-menahu apa yang kau bicarakan. Dan
aku sama sekali tidak pernah berurusan denganmu, apalagi sampai mencuri barang milikmu!"
Setelah berkata tegas begitu, Bayu segera berpaling dan bermaksud melangkah untuk meninggalkan mereka begitu saja. Tapi mendengar jawaban pemuda itu, dan melihat
sikapnya yang sangat menyepelekan mereka, tentu saja membuat Ki Wongso dan kawan-kawannya menjadi
geram. Salah seorang anak buahnya sudah langsung melompat menyerang sambil memaki geram.
"Keparat! Kau pikir sedang bicara dengan siapa?" "Hup!"
Dengan gerakan gesit pemuda itu menundukkan kepala, sehingga senjata lawan luput dari sasaran. Tapi hal itu tidak membuatnya merasa jera melainkan kembali menyerang
sambil membalikkan tubuh membabat bagian leher hingga ke
pinggang Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaat..!"
Bayu melompat dengan ringan ke atas sambil


Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat gerakan salto yang indah. Namun belum lagi kedua kakinya menyentuh tanah, mendadak satu sabetan lawan telah mengejar hendak memapas kedua kakinya. Tapi
dengan gerakan gesit Bayu menekuk kedua kakinya, dan dengan
gerakan menyilang yang sulit diikuti oleh mata lawan, tiba-tiba saja kedua ujung
kakinya menghajar pergelangan tangan lawan hingga goloknya terlepas dari
genggaman. Sementara ujung kaki
yang sebelah lagi menghantam dada, dan membuat lawan terjungkal sambil menjerit keras.
"Aaakh...!"
"Kurang ajar! Hajar dia sampai mampus...!" geram Ki Wongso memberi perintah pada anak
buahnya begitu melihat salah seorang dari mere-ka dapat dipecundangi oleh lawan
dengan mudah. Tanpa membuang waktu lagi, keempatnya menyambar Pendekar Pulau Neraka dengan senjata
terhunus. Bayu hanya tersenyum kecil sambil
melepaskan Tiren dari pangkuannya. Monyet kecil itu melompat cepat dan
berjumpalitan sambil berteriak-teriak keras menepuk-nepuk kedua tangannya seperti memberi semangat pada sahabatnya itu untuk menghajar lawan-lawannya.
Dan apa yang ada di benak Bayu agaknya memang demikian. Sejak tadi dia memang sudah tidak sabar melihat sikap mereka. Namun begitu
masih berusaha untuk menghindarkan diri. Tapi
begitu melihat mereka yang tetap penasaran dan bermaksud mencelakainya, tentu
saja kemara-hannya bangkit dan kejengkelannya memuncak
untuk memberi pelajaran pada mereka. Dan itulah yang tengah dikerjakannya saat ini.
Tanpa sungkan-sungkan lagi dia meladeni mereka dengan gerakan gesit Dua buah serangan ke arah bagian bawah, dapat
dihindarinya dengan
gerakan manis. Namun senjata Ki Wongso dengan
cepat menyambar tengkuknya. Bayu menengadahkan kepala ke belakang dan tangan kirinya
menghantam pergelangan tangan lawan.
Tak! Begkh! "Aaakh...!"
Ki Wongso menjerit kesakitan. Golok dalam
genggamannya terlepas ketika pergelangan tangannya terkilir dihantam lawan. Pada saat yang nyaris bersamaan, kaki kiri Bayu
berbalik menghantam perut lawan yang mencoba membopongnya dari belakang. Lalu ketika tubuhnya bergerak ke atas, kedua kakinya kembali
menyambar wajah Ki Wongso dan bagian dada seorang lawannya yang lain ketika
hendak menyambar pinggang
Pendekar Pulau Neraka. Tiga orang itu terjungkal kesakitan.
Dua orang lawannya menyerang dengan raguragu. Tapi Bayu betul-betul tidak memberi kesempatan pada mereka. Tubuhnya bergerak mendahului salah seorang lawan yang sedang mengayunkan goloknya. Sementara dari arah yang
berlawanan, lawannya yang lain juga mencoba
membokongnya dari belakang.
"Yeaaa...!"
Begkh! Desss! "Aaakh...!"
*** Tubuh Pendekar Pulau Neraka berjumpalitan
ke atas untuk menghindari sabetan senjata lawan. Lalu dengan cepat ujung kaki kanannya
menghantam ke arah dada. Bertumpu pada tendangan itu, tubuhnya kembali melesat ke atas seraya menghindari serangan dari
belakang dan ujung kaki kirinya tepat menghantam dahi lawan yang seorang lagi. Kedua orang
itu menjerit kesakitan ketika tubuh mereka terjembab ke belakang. "Nguk! Nguk! Keaaakh...!"
Monyet kecil itu melompat-lompat kegirangan
sambil berteriak-teriak keras. Dia berlari-lari kedi mengelilingi kelima lawan
sahabatnya itu sambil menjulurkan lidah lalu dengan gesit melompat ke pangkuan
Pendekar Pulau Neraka sambil menepuk-nepuk tangan.
"Kurang ajar! Kau akan mampus, keparat!"
maki Ki Wongso geram seraya bangkit dan bersiap hendak menghajar lawan.
Demikian juga halnya dengan keempat kawannya. Meski menahan rasa sakit, mereka masih tetap belum merasa jera dan malah
tampak sema- kin garang. "Sial! Akan kucincang tubuh kalian berdua!"
ujar seseorang mengumpat
"Huh, jangan lagi diberi kesempatan!" timpal
yang lainnya dengan nada bernafsu untuk cepatcepat menghabisi Bayu. Namun baru saja mereka
hendak menyerang Bayu, mendadak terdengar
suara halus menahan.
"Paman Wongso, menepilah dan suruh pamanpaman yang lain untuk segera minggir. Pemuda
ini bukan lawan kalian. Biar aku yang menghadapinya...!"
"Heh"!" Mereka serentak kaget dan menoleh.
Seorang gadis berbaju hijau dan berparas cantik telah berdiri tidak jauh dari
mereka. Gadis yang memiliki ikat pinggang berupa selendang berwarna kuning itu
terlihat menggenggam sebatang pedang di tangan kirinya.
Melihat si gadis, tampaknya kelima orang itu
menaruh rasa hormat yang mendalam.
"Ah, kami kira siapa... ternyata Ni Padmi Ningsih..."
Gadis berusia sekitar tujuh atau delapan belas tahun itu melangkah mendekati
Bayu, kemudian memandangnya tajam untuk beberapa saat lamanya. "Ni, sebaiknya biar kami yang mengurus si keparat satu ini..."
"Jangan khawatir, Paman Wongso. Aku tidak
akan melukainya, lagi pula aku sudah melihat
bagaimana kalian dengan mudah dapat dijatuhkannya. Pemuda itu bukan tandingan kalian. Biarlah aku coba bermain-main dengannya. Siapa
tahu dia bisa sedikit lunak..." potong gadis itu yang dipanggil Ni Padmi Ningsih
sebelum kata-kata Ki Wongso selesai.
Setelah berkata demikian, Ni Padmi Ningsih
kembali maju beberapa langkah mendekati Pendekar Pulau Neraka. Kemudian seraya tersenyum
kecil, dia berkata pelan.
"Ki sanak, siapakah kau sebenarnya...?"
Bayu tersenyum kecil karena merasa lucu melihat sikap gadis itu yang merasa yakin mampu
menundukkannya.
"Aku telah katakan siapa aku, dan kali ini
keinginanku adalah pergi dari tempat ini. Nah, kalau kalian memang mau berbaik
hati, menepilah dan biarkan aku pergi...," kata Bayu tenang.
"Boleh saja. Silakan...," kata Ni Padmi Ningsih seraya menepi ke kiri.
"Ni Padmi..."!" Ki Wongso terkejut melihat apa yang dilakukan gadis itu. Dengan
seenaknya dia hendak melepaskan buruan mereka"
"Terima kasih...," lanjut Bayu sambil melangkah pendek. "Maksudku boleh saja kau pergi, tapi tidak boleh dari lima langkah...," sahut Ni Padmi Ningsih seraya melompat ke arah lawan
ketika Bayu telah berjarak tujuh langkah darinya.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Tubuh Bayu berputar menghindari serangan
lawan, kemudian dengan sedikit menunduk ketika satu tendangan menghajar kepalanya, dia melepaskan Tiren dari gendongan.
Namun serangan gadis itu kemudian terlihat
lebih gencar dan dahsyat Untuk sejenak Bayu
merasa kaget, namun dia tidak bisa berlaku lengah. Gadis itu agaknya tidak
segan-segan membuktikan kata-katanya untuk menundukkan dirinya. Bayu bertindak hati-hati ketika tubuh Ni Padmi Ningsih melayang ke arahnya. Kepalanya sedikit ditundukkan, kemudian tubuhnya
melesat ke atas ketika lawan menyapu bagian bawah tubuhnya dan diikuti dengan hantaman kepalan tangan bertenaga kuat ke arah dada.
Begitu mengetahui serangannya luput, tubuh Ni Padmi Ningsih bergerak mengejar
lawan tanpa sungkan-sungkan lagi, langsung mencabut pedangnya.
Sriiing! "Yeaaa...!"
"Uhhh...!"
Semula Bayu tidak begitu khawatir, namun ketika mengetahui permainan pedang lawan yang
lihai bukan main, dia sedikit mengeluh. Tubuhnya bergerak cepat untuk menghindari setiap
sambaran pedang lawan.
"Huh, terimalah jurus ampuhku ini! Hiyaaat..!"
geram Ni Padmi Ningsih ketika seranganserangannya belum juga ada yang mengenai lawan. Dia merubah jurus. Tubuhnya sesekali berputar bagai gangsing, namun mampu bergerak cepat bagai angin lesus yang menyerang
lawan ke mana saja bergerak menghindar. Kadang-kadang pula
mengepung dalam empat penjuru, membuat Bayu
merasa sulit untuk menghindar. Seperti yang terjadi saat ini.
*** 4 "Hiyaaat...!" Bayu membentak nyaring. Tubuhnya berkelebat ke atas sambil berputar-putar dan meliuk-liuk menghindari
kepungan serangan lawan.
Bet! "Uhhh...!"
Nyaris ujung pedang lawan menyambar tengkuknya kalau saja dia tidak cepat menggulung
tubuh. Sebelah kakinya mencoba menghantam
pergelangan tangan lawan. Namun lengan gadis
itu lebih cepat meliuk menyambar pinggangnya.
Padahal saat itu Bayu baru saja menjejakkan sebelah kakinya ke tanah. Tidak ayal
lagi, tubuhnya kembali melenting menghindari serangan lawan.
Cras! Wut! Senjata lawan menyambar dengan cepat ketika
Pendekar Pulau Neraka memancingnya ke arah
sebuah batang pohon, lalu kembali melompat
menghindari. Cabang pohon sebesar paha itu putus dihantam pedang si gadis. Namun begitu Pendekar Pulau Neraka mempunyai
kesempatan un- tuk balas menyerang lawan.
Plak! Tres! Des! "Uhhh...!"
Tendangan yang dilakukan Bayu dari arah
samping dengan cepat ditangkis lawan dengan ki-basan tangannya. Pada saat itu
juga dia men- gayunkan tangan kanannya ke arah leher si gadis. Ni Padmi Ningsih terpaksa menangkis sambil berputar untuk melindungi bagian
dadanya yang kemungkinan bisa dihajar lawan. Namun Cakra
Maut yang berada di pergelangan tangannya luput dari perhatian lawan dan menghantam pedangnya hingga terpental. Dua buah jari tangan kanannya menyambar kedua biji
mata lawan. Ni Padmi Ningsih terkesiap dan cepat mundur ke belakang seraya mendongakkan kepala.
Saat itu ju-ga tendangan Bayu menghantam dengan telak ke
perutnya. Gadis itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terjajar beberapa langkah dalam
keadaan sempoyongan.
"Nguk! Kaaakh...!" Tiren bersorak kegirangan
sambil menjerit keras begitu melihat lawan Pendekar Pulau Neraka terhuyunghuyung. Kedua tangannya bertepuk dan wajahnya berkerut mengejek gadis itu.
"Itu pelajaran bagi kalian untuk tidak berbuat gegabah...," dengus Bayu dingin.
"Kurang ajar! Kau kira bisa berbuat seenakmu
saja" Huh! Kau harus mampus di tanganku!" balas salah seorang anak buah Ki Wongso dengan
amarah yang meluap dan langsung menyerang
Pendekar Pulau Neraka dengan senjata terhunus.
"Huh, keras kepala!" Bayu menggeram.
Tubuhnya berkelit ke belakang, kemudian berbalik sambil melompat ke atas menghindari sabetan golok lawan. Ujung kaki
kirinya mencoba
menghantam wajah laki-laki itu, namun dengan
gesit lawan bergerak ke samping. Justru pada
saat itulah tendangan kaki kanan Bayu melesat
ke arah dada tanpa bisa dihindari.
Duk! Kraaak! "Aaa...!"
Orang itu memekik sekeras mungkin. Tendangan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka terasa keras bukan main hingga membuat tulang rusuknya berderak, patah. Bahkan dada bagian kirinya melesak ke dalam dan membuat jantungnya
pecah. Nyawa laki-laki itu seketika melayang meninggalkan tubuhnya yang
bersimbah darah.
"Keparat! Kau akan membayar nyawanya...!"
geram Ki Wongso melihat kematian salah seorang anak buahnya itu.
Ketiga anak buahnya pun serentak melompat
dengan amarah yang meluap-luap.
Bayu mendengus sinis. Matanya memandang
mereka dengan tajam.
"Huh, kalau kalian ingin mampus, majulah
bersama-sama!"
"Setan! Yeaaa...!"
Dengan serentak mereka melompat bersamaan
dari segala arah mengepung lawan. Sepertinya
kali ini mereka tidak ingin memberi sedikit pun kesempatan pada pemuda itu untuk


Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meloloskan diri. "Hup!"
"Yeaaa...!"
Melihat dirinya terkepung sedemikian rupa,
Bayu tersenyum sinis. Dia tegak berdiri, lalu melompat cepat mendahului
menyerang lawan dengan gerakan yang sulit diikuti oleh mata biasa. Ki Wongso dan anak buahnya
terkesiap. Mereka
menyambar Pendekar Pulau Neraka dengan senjata terhunus pada setiap kelebatan tubuhnya.
Namun dengan tiba-tiba terasa sesuatu benda keras menimpa tubuh tiga orang di
antara mereka. Plak! Duk! "Aaakh...!"
Tiga orang itu terjungkal sambil menjerit setinggi langit. Dua orang terlihat dadanya remuk dan menggelepar-gelepar beberapa
saat sebelum nyawanya lepas dari tubuh. Yang seorang lagi
muntah darah dan berusaha bangkit dengan
sempoyongan, tapi kemudian rubuh lagi dengan
napas tercekat "Aku tidak bermusuhan dengan kalian, tapi kalianlah yang mencari gara-gara. Hari ini jika kalian merasa tidak senang, boleh
memperpanjang urusan denganku. Jangan katakan Pendekar Pulau Neraka takut menghadapai tikus-tikus busuk seperti kalian!" seru Bayu geram
seraya menyambar Tiren dan melompat ke salah satu cabang pohon dan melesat dari
tempat itu dengan cepat
Ni Padmi Ningsih dan Ki Wongso hanya bisa
terpaku dengan wajah geram.
"Keparat! Dia tentu tidak akan lepas dari tangan kita!" geram Ki Wongso.
"Lebih baik laporkan hal ini pada ayah," sahut Ni Padmi Ningsih kesal seraya
melesat meninggalkan tempat itu.
Ki Wongso menyusul setelah membopong
keempat kawannya yang tergeletak tidak berdaya.
*** Ki Dewantara terkejut setengah mati melihat
apa yang terjadi dengan ketiga muridnya yang tewas, dan seorang luka parah. Ki
Wongso hanya menunduk dalam-dalam melihat kemarahan gurunya itu. "Kau tahu siapa Pendekar Pulau Neraka itu"!"
hardik Ki Dewantara garang.
"Ampun Guru, hamba... hamba baru mengetahuinya belakangan...."
"Seharusnya kau mengetahui bahwa bukan
Pendekar semacam dia yang kau tuduh dengan
membabi buta."
"Tapi... tapi Guru, ciri-ciri pemuda itu mirip dengannya..."
"Tolol! Apakah kau tidak bisa membedakan di
antara mereka berdua"! Kau katakan, kau pernah melihat pemuda itu. Sekarang
bagaimana mungkin kau tidak bisa membedakannya?"
"Ketika itu hamba hanya melihatnya sekilas saja, Guru..."
"Sudah, jangan banyak bicara! Sekarang kebumikan mereka dengan layak!"
"Tapi Guru, apakah... apakah kita tidak membuat perhitungan dengannya" Dia telah menewaskan tiga orang murid Perguruan ini...."
"Tutup mulutmu! Biar ini menjadi urusanku.
Nah, pergilah kau sekarang!"
"Baiklah, Guru...," sahut Ki Wongso seraya beranjak dari ruangan itu setelah menjura hormat Ki Dewantara menghela napas
panjang sambil menggeleng lemah. Ni Padmi Ningsih yang sejak
tadi diam, hanya menundukkan kepala dengan
wajah yang cemberut Beberapa kali dia memandang wajah ayahandanya itu, lalu mengalihkan
perhatian. "Apa yang kau lakukan tadi" Tidak tahukah
kau sedang berhadapan dengan siapa" Bukannya
ayah menyuruhmu untuk tidak keluar dari rumah. Masih untung kau bisa selamat berhadapan
dengannya. Bagaimana kalau kau sampai tewas
seperti mereka"!" tegur Ki Dewantara marah.
"Aku... aku sekadar membantu pekerjaan mereka, Ayah..."
"Dengan mengorbankan nyawamu?"
"Kematian Paman Ganggapura amat menyakitkan hatiku..."
"Itu urusan perguruan dan kau tidak boleh
ikut campur!"
"Tapi aku ingin menangkap pemuda itu hiduphidup untuk kita adili di perguruan ini...!"
"Padmi, jangan membantah. Kau tidak tahu
bagaimana keadaan di luar sana. Kau bisa celaka kalau bertindak gegabah!"
Ni Padmi Ningsih tertunduk dengan wajah semakin cemberut kesal mendengar bentakan ayahandanya itu. Ki Dewantara menghela napas panjang. Dipandanginya putri satu-satunya itu dengan seksama, kemudian menggeleng pelan.
"Hhh... masih untung kau bisa selamat, Anakku. Pendekar Pulau Neraka seorang tokoh yang
belakangan ini namanya sangat terkenal karena
kepandaiannya yang hebat. Ayah sendiri belum
pernah bentrok dengannya, tapi dari berita yang sering ayah dengar, dia seorang
tokoh pembasmi kejahatan. Namun begitu tindakannya amat sadis dan tidak kenal
ampun terhadap lawan-lawannya.
Rata-rata semua binasa di tangannya...."
"Apakah Ayah akan mendiamkan saja peristiwa
ini...?" Ki Dewantara kembali menghela napas panjang. "Aku bukannya tidak sakit hati mendengar berita ini, tapi membuat urusan pada saat keadaan kita genting begini, tentu akan
membuat suasana menjadi runyam. Pemuda yang bernama Ki Buyut
Kelana itu saja sudah amat merepotkan dengan
ulahnya membantai murid-murid Perguruan Camar Hitam yang berkeliaran mencari benda pusaka yang berada di tangannya itu. Dan kita sama-sama mengetahui bahwa pamanmu, Ki
Gangga- pura, telah tewas di tangannya," sahut Ki Dewantara dengan suara lirih.
"Jadi Ayah betul-betul tidak ingin membuat
perhitungan dengan pemuda yang menamakan
dirinya Pendekar Pulau Neraka itu"!" sentak Ni Padmi Ningsih dengan nada kesal.
"Tentu saja. Tapi tidak sekarang...."
"Lalu kapan?"
"Setelah urusan kita selesai dengan pemuda
bernama Ki Buyut Kelana itu," sahut Ki Dewanta-ra menegaskan.
"Huh, ternyata Ayah yang kubanggabanggakan sejak dulu tak lebih dari seorang pengecut! Menghadapai kedua pemuda
tak tahu diri itu saja sudah mundur. Kalau memang Ayah tak
mampu, biar aku sendiri yang akan menghajar
mereka berdua!" seru Ni Padmi Ningsih seraya
berlalu dari ruangan itu.
"Padmi! Padmi...! Hentikan niatmu itu...!" teriak Ki Dewantara berusaha mencegah niat putrinya itu. Namun gadis itu telah berlari cepat, dan pergi dari Perguruan Camar Hitam dengan
mengerah- kan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai taraf sempurna.
"Anak keras kepala! Dia akan celaka sendiri...!"
umpat Ki Dewantara kesal.
Laki-laki itu kemudian memanggil beberapa
orang murid utamanya. Dua orang segera tergopoh-gopoh menemuinya. Masing-masing berusia
sekitar tiga puluh tahun dengan memiliki tubuh tegap.
"Ada keperluan apa memanggil kami, Guru...?"
tanya salah seorang di antara mereka.
"Ni Padmi Ningsih kabur. Dia bermaksud hendak mencari pemuda bernama Ki Buyut Kelana
dan Pendekar Pulau Neraka. Kalian kejar dia dan lindungi dari segala bahaya. Dan
bawa dia segera pulang!"
"Pendekar Pulau Neraka" Apakah... apakah dia
ikut pula terlibat dalam persoalan kita, Guru?"
tanya muridnya dengan wajah heran dan dahi
berkerut. "Laksanakan saja perintahku, dan jangan banyak tanya!" sentak Ki Dewantara.
"Baik, Guru. Kami berangkat sekarang!" seru
keduanya segera berlalu dari tempat itu.
Ki Dewantara kembali menarik napas panjang
sambil menggeleng lemah. Bola matanya menatap
ke arah dua orang muridnya itu sampai mereka
menghilang di balik pintu gerbang depan.
"Mudah-mudahan kau selamat, Anakku...," bisiknya seraya berdoa di hati.
*** Ki Dewantara baru saja membalikkan tubuh
untuk kembali ke ruangannya ketika itu terdengar jeritan kesakitan dari arah gerbang depan.
Buru-buru dia berbalik dan melihat beberapa
orang muridnya tewas bermandikan darah.
Tiga orang murid Perguruan Camar Hitam terlihat mengepung seorang tamu yang tidak diundang itu, namun dengan sekali sentak mereka tewas bersimbah darah. Bukan main
terkejutnya Ki Dewantara. Dia segera melompat dan menghadang serangan lawan
sambil membentak nyaring.
"Ni sanak, hentikan perbuatanmu!"
Sosok tubuh itu menghentikan aksinya. Dia
memandang ke arah Ki Dewantara dengan sorot
mata tajam menusuk. Ujung pedang ditangannya
yang masih berlumuran darah, ditudingkan ke
wajah lawan. "Siapa kau...?"
Ki Dewantara sebenarnya merasa tersinggung
dan terhina melihat pedakuan itu. Dia mencoba
tersenyum dan menaksir, gadis ini tentu berusia sekitar enam belas tahun. Tapi
sepak terjangnya amat ganas, dan yang jelas dia memiliki kepandaian yang tidak
rendah. Sebab, kalau tidak dia tak akan mungkin mampu menghabisi lawan secepat
tadi. "Ni sanak, namaku Dewantara. Aku adalah ketua perguruan ini. Adakah sesuatu yang membuat kau begitu membenci kami sehingga datang
dengan tiba-tiba dan membuat kekacauan?"
tanya Ki Dewantara dengan suara yang dibuat sedemikian ramah dan menekan hawa amarah di
hatinya. Gadis berparas cantik dan mengenakan pakaian serba putih itu melirik sejenak ke sekeliling tempat itu. Puluhan murid
Perguruan Camar Hitam telah mengurungnya rapat-rapat dan siap
menghajarnya dengan sekali isyarat Kemudian
dia meluruskan pandangan ke depan, ke arah Ki
Dewantara seraya menurunkan pedangnya. Wajahnya terlihat sinis.
"Aku, Ayu Laksmini, murid tunggal Eyang Dewa Ruci. Membawa pesan dari beliau agar Ki Kartawijaya dan Nini Widyadara
menyerahkan Pedang Setan yang dipinjamnya puluhan tahun lalu," sahut gadis itu tegas.
"Apa" Kau... kau utusan Ki Dewa Ruci..."!" Ki
Dewantara sedikit terkejut.
Sama sekali tidak pernah dibayangkan olehnya
bahwa hari ini dia bertemu dengan murid Ki Dewa Ruci, orang yang belasan tahun lalu pernah
dicari-carinya untuk membuat perhitungan. Kalau saja pertemuan kali ini terjadi belasan tahun lalu, mungkin dia akan merasa
senang dan langsung akan menghajar gadis ini dan memaksanya
untuk menunjukkan tempat persembunyian gurunya. Tapi waktu telah banyak berubah. Juga
termasuk perubahan sikapnya untuk tidak terbawa hawa nafsu yang membabi buta.
Ki Dewantara tersenyum dan berusaha bersikap ramah. Bagaimana pun dia menyadari bahwa
gadis di depannya ini adalah masih terhitung
saudara seperguruan juga dengannya.
"Adik Ayu, bagaimana kalau kita berbicara di
dalam" Bukankah dengan begitu akan lebih baik
dan terlihat sopan sebagaimana layaknya dua
orang yang bersaudara?"
"Ki Dewantara, tidak usah berbasa-basi. Kau
sudah tahu jelas apa maksud kedatanganku ke
sini. Serahkan Pedang Setan itu padaku dan aku akan segera pergi dari tempat
ini!" seru gadis itu dengan wajah garang.
"Adik Ayu, kalau memang demikian keinginanmu, tidak apa. Tapi sungguh sangat disesalkan. Pedang itu saat ini tak ada pada kami, tapi telah diambil seseorang puluhan
tahun lalu. Saat ini berada di tangan seorang pemuda bernama Ki Buyut Kelana.
Kami sedang berusaha keras untuk merebutnya kembali dan bermaksud menyerahkannya pada Eyang Dewa Ruci...," sahut Ki
Dewantara dengan suara pelan menjelaskan.
"Aku tidak peduli apa jawabanmu. Yang jelas
aku datang ke sini dan harus membawa pedang
itu kembali ke tangan Eyang Dewa Ruci," dengus Ayu Laksmini.
"Guru, kalau memang dia tak bisa diajak berbaik-baik, buat apa Guru meladeninya lagi" Sudah jelas dia memang ingin mencari keributan,"
sela salah seorang murid Perguruan Camar Hitam. "Betul, Guru. Tidak sepatutnya Guru bersikap
ramah begitu. Kita sudah menunjukkan itikad
baik kita, namun ternyata dia tak mau menerima.
Guru tak pantas masih bersikap sabar terus," sahut yang lainnya.
Ki Dewantara bermaksud hendak meredakan


Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amarah murid-muridnya, tapi gadis itu telah lebih dulu menudingkan ujung
pedangnya ke arah murid-murid Perguruan Camar Hitam seraya mendengus geram. "Hei, monyet-monyet keparat! Kalian kira bisa
berbuat seenaknya padaku" Huh, siapa yang mau
mampus majulah cepat!"
"Sial!" seru beberapa orang di antara muridmurid perguruan itu seraya mencabut golok dan
hendak menyerang gadis itu dengan wajah garang. "Diam! Hentikan perbuatan kalian...!" bentak
Ki Dewantara garang.
Tapi agaknya bentakan itu bukannya meredakan ketegangan. Murid-muridnya memang menahan sabar mendengar bentakan gurunya itu, namun tubuh Ayu Laksmini telah melesat sambil
menghunuskan pedang ke arah beberapa orang
murid perguruan itu dan menyerang dengan ganas. Tentu saja hal itu membuat mereka kelabakan. "Yeaaa...!"
Trak! Bret! Crasss! "Aaakh...!"
Diserang begitu rupa tentu saja beberapa orang murid Perguruan Camar Hitam
kalang kabut menyelamatkan diri. Beberapa orang berhasil menangkis, namun lima orang langsung tewas sambil menjerit keras disambar pedang si gadis. Tubuh mereka ambruk bersimbah darah
dengan sayatan lebar di bagian dada.
"Kurang ajar! Hajar dia...!" teriak murid-murid perguruan itu dengan amarah yang
meluap-luap. Dan bagai air bah yang meluap, serentak mereka menyerang gadis itu dengan senjata terhunus. Melihat hal itu Ayu Laksmini bukannya menjadi gentar. Dengan bersemangat tubuhnya melompati seraya membuat gerakan indah meliuk-liuk
menyambuti serangan-serangan lawan. Pedangnya berkelebat ke sana kemari dan sulit diikuti pandangan mata biasa.
"Hiyaaat..!"
Trang! Tring! Brettt! Crasss! "Aaakh...!"
*** 5 Ki Dewantara agaknya tak tahu harus berbuat
apa. Untuk mencegah perbuatan murid-muridnya
pun rasanya dia tak mampu. Selain mereka yang
sudah terbakar amarah melihat kelakuan gadis
itu, hati kecilnya pun merasa tak suka melihat
sepak terjang si gadis. Terlebih-lebih saat itu ketika dilihatnya gadis itu
betul-betul melakukan
pembantaian hebat
Kepandaian Ayu Laksmini memang hebat dan
sama sekali bukan tandingan murid-muridnya.
Apa yang pernah didengarnya tentang kehebatan Eyang Dewa Ruci memang bukan omong
kosong belaka. Dengan kepandaiannya itu muridmuridnya sama sekali tak mampu melawan si gadis. Tak bisa dibayangkan bagaimana bila Eyang Dewa Ruci sendiri yang turun
tangan saat ini.
Dan keterkejutan Ki Dewantara agaknya tak
berlanjut lama. Dia tak tega melihat muridmuridnya yang tewas secara percuma tanpa bisa
melakukan perlawanan berarti. Maka dengan hati terpaksa dia melompat menahan
serangan si gadis seraya membentak nyaring.
"Adik Ayu, hentikan pembantaianmu...!"
"Yeaaa...!"
Mendengar bentakan itu bukannya si gadis
menghentikan serangan, pedangnya malah langsung berputar menyambar tubuh Ki Dewantara
yang berkelebat menghadang serangannya. Ki
Dewantara agaknya sudah menduga hal itu dan
bersiap dengan pedang terhunus menyambut serangan lawan. Sring! Tring! Trang! Ketika kedua senjata mereka beradu, laki-laki
itu merasa terkejut Tangannya kesemutan hebat
dan sedikit nyeri. Kalau saja tadi melihat permainan pedang si gadis dia sudah terkagum-kagum,
maka ketika saat itu berhadapan langsung dia bi-sa merasakan kehebatan ilmu
pedang lawan. Ujung pedang itu menyambar-nyambar tenggorokan dan dadanya dengan kecepatan yang bukan
main hebatnya. Wuuut! "Uhhh...!"
"Hiyaaat...!"
Ketika ujung senjata lawan menyambar perutnya, dengan cepat Ki Dewantara bergerak ke
samping seraya menangkis.
Trang! Ayu Laksmini memutar pedang sedemikian rupa dan menyambar leher lawan. Ki Dewantara
kembali bergerak ke samping sambil melompat
ketika senjata lawan membabat pinggangnya. Ayu Laksmini menyusul dengan satu
tendangan kaki kirinya yang menyilang ke arah dada lawan.
"Hiiih!"
"Uts!"
Ki Dewantara terkejut, namun masih sempat
mengayunkan pedang. Ayu Laksmini menarik
tendangannya dan menekuk kaki. Dengan bertumpu pada sebelah kaki, tubuhnya melesat ke
atas dengan pedang berputar-putar menyambar
bagian kepala. Ki Dewantara menjatuhkan tubuh, dan terus bergulingan untuk
kemudian melenting ke atas menjauhi lawan. Tapi saat itu juga ujung pedang lawan
berkelebat menyambar ke arah leher. Ki Dewantara terkejut setengah mati. Dia
berusaha melompat ke samping namun akibatnya
ujung pedang lawan menyambar dadanya.
Crasss! "Akh...!"
Ki Dewantara bergulingan untuk menghindari
serangan lawan berikutnya sambil menahan rasa
Pedang Pembunuh Naga 12 Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 40

Cari Blog Ini