Ceritasilat Novel Online

Rahasia Pedang Siluman Darah 2

Pedang Siluman Darah 1 Rahasia Pedang Siluman Darah Bagian 2


kelewatan, Jaka!"
"Sudahlah, Ni! Bukankah tadi kau malah berebut mengakui dia sebagai muridmu?"
kata Ki Darsa menengahi.
Membuat Ni Rukmini tersenyum-senyum, dan kembali berkata:
"Weh, weh, weh. Benar katamu Ki Darsa."
"Nah, maka itu kau jangan terlalu menekannya, aku takut dia malah
bertambah-tambah ndablegnya yang akan membuat kita susah oleh tingkah
lakunya." Mendengar ucapan Ki Darsa, Ni
Rukmini pun akhirnya terdiam
membiarkan Jaka bicara ceplas-ceplos semaunya. Keempat gurunya hanya
menggeleng-gelengkan kepala
mendengarkan ucapan Jaka.
"Ni guru, apakah pantas muridmu ini menculik?" tanya Jaka pada Ni Rukmini yang
hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nah, kalau Ni Guru tak yakin maka
Jaka minta Ni guru mau mempercayai omongan Jaka."
"Terserah kamu saja, Anak
ndableg!" kata Ni Rukmini kesal dan gemas yang membuat Jaka tersenyum-senyum
sembari garuk-garuk kepala.
"Nah, Nona Ratih. Agar kau aman, maka lebih baik untuk sementara waktu
kau tinggalah dulu dengan kami di sini."
Tersentak kembali keempat gurunya mendengar ucapan Jaka yang tak mereka sangka.
Maka dengan memelototkan mata, Ki Bayong segera berkata pada Jaka:
"Jaka! Kalau kau menyuruh Nona Ratih tinggal di sini, aku takut kau nanti malas
berlatih. Kedua, nanti orang tuanya akan mencarinya."
"Ah Ki guru. Mana mungkin Jaka akan malas berlatih. Bukankah Jaka ingin menjadi
orang yang pintar"
Percayalah, kalau Jaka akan giat berlatih. Apalagi kini ada yang
menemani," kata Jaka beralasan hingga membuat ki Bayong makin melototkan matanya
terbelalak. Juga ketiga guru lainnya ikut tersentak dengan ucapan Jaka.
"Dasar ndableg! Baiklah, aku mengalah dengan alasanmu yang pertama.
Sekarang bagaimana kalau ayahnya mencari?" Ki Bayong akhirnya mengalah dan
menerima alasan Jaka yang pertama.
Mendengar pertanyaan gurunya,
Jaka hendak kembali membikin alasan seketika Ratih telah lebih dahulu
menjawabnya. "Orang tua saya tak akan mencari saya, Tuan guru."
Terbelalak keempat guru Jaka demi mendengar jawaban Ratih yang tak dinyananyana. Keempatnya terbengong
tak mengerti dan di hati mereka
seketika muncul pertanyaan. "Orang tua macam apa yang menjadi orang tua Ratih"
Hingga tak mengurusi anaknya?"
"Nona Ratih."
"Saya, Tuan guru," jawab Ratih mendengar namanya dipanggil oleh Ki Bayong.
"Nona bilang, orang tua nona tak akan mencari nona. Kami jadi tak percaya. Sebab
setahu kami, orang tua akan berusaha mencari anaknya yang tak diketemukannya. Bagaimana mungkin orang tua nona
bertindak begitu?"
tanya Ki Bayong sembari mengernyitkan alis matanya tak percaya pada jawaban
Ratih. Ditanya begitu, seketika Ratih
meneteskan air mata hingga makin membuat Ki Bayong dan ketiga guru Jaka lainnya
bingung bercampur iba
melihatnya. "Hai, kenapa kau menangis, nona?"
tanya Ni Rukmini heran, demi melihat Ratih rnenangis. "Adakah kami telah
membuatmu sedih?" lanjutnya bertanya.
"Tidak! Tuan-tuan guru tidak bersalah dan tidak membuat saya
bersedih. Saya hanya sedih karena mengingat nasib diri saya yang
menderita. Dari kecil saya tak bisa melihat orang tua lagi hingga saya diambil
anak oleh kedua orang tua saya yang sekarang. Mulanya saya merasa
senang, sebab dapat menerima kasih sayang. Namun ternyata mereka telah menjual
diri saya pada si Marsan tanpa persetujuan saya. Saya pun menolak karena saya
tak mencintainya. Hingga dengan marah kedua orang tua angkat saya membiarkan
Marsan berbuat seke-hendak hatinya pada saya. Karena dipaksa terus-menerus untuk
melayaninya, maka saya pun minggat.
Marsan yang merasa dikhianati,
bermaksud memperkosa saya. Sampai kalau tak ada tuan pendekar, tentu sudah
dirusak kehormatan saya oleh Marsan. Itulah, tuan guru, mengapa saya katakan
bahwa orang tua saya tak akan mencari saya dan kenapa saya menangis," kata Ratih
sembari mengusap air matanya.
Keempat guru Jaka dan Jaka tampak bersedih, turut terhanyut oleh cerita yang
dibeberkan Ratih. Maka dengan menghela nafas panjang, Ni Rukmini berkata:
"Sudahlah! Tak perlu kau
pikirkan. Kalau kau memang ingin bersama kami, maka kami pun akan menerimamu."
"Benar, nona. Kalau nona di sini, aku akan dapat teman yang dapat diajak ngobrol
dan bercanda. Bukan begitu, guru?" Menimpali Jaka, membuat gurunya mendelik.
"Dasar ndableg! Enak saja kau ngomong! Ayo Jaka, telah waktunya kau kembali
berlatih," kata Ki Darsa menyuruh Jaka untuk berlatih kembali.
"Huh, tak boleh orang enak
sedikit," omel Jaka, walau akhirnya menurut pergi menuju ke tempat
latihan hingga membuat keempat
gurunya hanya geleng kepala tak dapat berkata apa-apa lagi dan mengikuti Jaka
menuju ke tempat latihan.
* * * Geram hati ketua perserikatan
Pendekar Sakti mendengar laporan kedua sekutunya Ki Waspati dan Ki Rengkut yang
menceritakan tentang perkelahian mereka melawah Ki Prahista. Mereka juga
menceritakan tentang adanya tanda-tanda pemberontakan yang akan didalangi oleh
Ki prahista. "Bedebah! Rupanya Prahista musuh dalam selimut!" maki ketua Pendekar Sakti
setelah mendengar penuturan kedua sekutunya.
"Benar, Tetua. Saya melihat gejala-gejala itu. Coba Tetua ingat-ingat kembali
pada kejadian-kejadian yang telah dilakukan oleh Prahista.
Bukankah tindakannya bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh
persekutuan?" Kata Ki Rengkut yang menjadikan Tetua Perserikatan Pendekar
Sakti makin menggeram marah, hingga tampak lehernya menggembung menahan amarah
yang meledak-ledak di hatinya.
Setelah sesaat terdiam, ketua
Perserikatan Pendekar Sakti berkata:
"Benar! Aku ingat apa yang telah Prahista lakukan, yang semuanya
bertentangan dengan garis yang telah disepakati oleh seluruh anggota
perserikatan. Tindakan Prahista yang telengas, menjadikan nama kita
tercemar di muka tokoh-tokoh
persilatan yang memang membenci kita.
Khususnya golongan sesat yang
menganggap kita merupakan penghalang besar. Maka untuk segera mengakhiri sepak
terjang Prahista, aku
perintahkan pada kalian berdua untuk segera menghubungi anggota kita, Ki
Waspati." "Saya Tetua," jawab Ki Waspati..
"Aku perintahkan padamu, untuk menghubungi Ki Danur Wendo dan Ki Marta Pura
serta Nyi Longkat Sakti.
Dan Ki Rengkut."
"Saya, Tetua," jawab Ki Rengkut.
"Saya tugaskan untuk menghubungi Ki Bulukumba, Ki Bulu Sari, dan Nyi Keluwut.
Laksanakan segera! Aku minta, dalam tujuh hari kalian harus telah sampai ke sini
lagi!" kata Tetua Perserikatan Pendekar Sakti yang segera dilaksanakan oleh
kedua tangan kanannya.
Maka saat itu juga, kedua tokoh
persilatan yang menjadi anggota
perserikatan Pendekar Sakti segera berangkat menuju tujuan masing-masing.
Ketua perserikatan Pendekar Sakti tampak terduduk diam. Dalam pikirannya penuh
kemarahan yang melanda hatinya, demi mengingat segala tindakan yang telah
dilakukan oleh salah seorang anggotanya.
"Sungguh-sungguh telah mencoreng muka perserikatan Pendekar Sakti tindakan
Prahista. Kalau dibiarkan begitu saja, maka makin buruklah nama perserikatan.
Bukan saja golongan sesat yang memang membenci
perserikatan ini, juga mungkin
golongan lurus akan bereaksi pula.
Kalau sampai perserikatan jatuh ke tangan Prahista, tidak mungkin tidak
perserikatan akan berubah haluan. Dari aliran lurus menjadi aliran sesat.
Apapun yang terjadi, aku harus menangkap Parahista."
Tengah ketua perserikatan terdiam meiarnun, tiba-tiba ia tersentak kaget kala
sebatang tombak hampir saja merenggut nyawanya.
"Bedebah! Siapa yang berbuat lancang!" Dengan segera ketua perserikatan pun
berkelebat mengejar.
Namun sesampainya di luar tak
didapatinya seorang pun. Maka dengan
geram, iapun kembali masuk ke
tempatnya. Diambilnya batangan tombak yang
menancap tepat di sisi kiri atas kursi yang tadi didudukinya. Lalu dengan
segera, diambil dan dibacanya kertas yang melekat di batangan tombak itu.
"Tetua Perserikatan Pendekar sakti. Kalau kau ingin selamat dari kematian, maka
aku sarankan agar kau mau menyerahkan kekuasaanmu padaku.
Aku tunggu jawabanmu dalam dua pekan ini. Bila kau menolaknya, maka akupun tak
akan segan-segan untuk membunuhmu dan menghancurkan perserikatan yang kau
pimpin. Camkan itu!"
Geram hati ketua perserikatan
Pendekar Sakti. Maka dengan penuh kemarahan, diremasnya surat itu hingga luluh.
Hal itu membuat seorang gadis yang memperhatikannya segera bertanya ingin tahu.
"Ada apakah, ayah?"
Sesaat ketua Perserikatan
Pendekar Sakti terdiam, tak menjawab pertanyaan anaknya.
Wajah ketua Perserikatan Pendekar Sakti membara merah penuh amarah hingga makin
membuat sang anak sangat ingin tahu saja dan bertanya lagi.
"Ayah, apakah ayah marah pada Priyanti?"
"Tidak, anakku! Ayah tak marah pada Priyanti. Ayah baru saja menerima surat
ini," kata ketua Perserikatan Pendekar Sakti sambil menyerahkan surat yang lusuh
itu pada anaknya yang segera membacanya.
Terbelalak mata Priyanti setelah membaca isi surat itu. Lalu dengan segera
Priyanti pun bertanya lagi pada ayahnya.
"Apakah ayah takut?"
"Tidak!" jawab ketua Perserikatan Pendekar Sakti pendek
"Kalau tidak, kenapa ayah mesti bimbang" Apakah ayah tahu siapa yang telah
mengirim surat ini?" tanya kembali Priyanti setelah mendengar jawaban dari
ayahnya. Sesaat ketua Perserikatan
Pendekar Sakti menarik nafas panjang, sebelum ia kembali berkata menjawab
pertanyaan anaknya.
"Ayah tidak bimbang, ataupun takut. Ayah hanya sedang memikirkan bagaimana cara
yang terbaik untuk mengatasi semua ini. Sedangkan orang yang mengirim surat itu
tak lain dari anggota perserikatan sendiri."
"Siapakah itu, ayah?" kembali Priyanti bertanya sepertinya ingin membantu beban
ayahnya. Hal itu
membuat ketua Perserikatan kembali menghela nafas dan memandang sesaat
pada anaknya, sebelum akhirnya
menjawab pertanyaan anaknya.
"Orang itu adalah Ki Prahista, yang berambisi menggantikan kedudukan ayah dan
sekaligus mengubah tata cara serta garis yang telah ditentukan."
"Ah, kalau begitu tak boleh dibiarkan. Salah-salah, tujuan
perserikatan akan berubah dari aliran lurus menjadi aliran sesat. Kita harus
dapat mencegahnya, ayah! Walaupun kita harus mengorbankan nyawa kita," kata
Priyanti mengomentari jawaban ayahnya.
Untuk sesaat lamanya, kedua anak bapak itu terdiam tanpa kata. Keduanya tampak
seperti tengah berpikir sesuatu hingga mereka sepertinya terlelap hening.
Setelah lama terdiam, akhirnya
ketua Perserikatan Pendekar Sakti pun berkata kembali: "Sudahlah, jangan kita
pikirkan. Yang penting kita menunggu kedatangan anggota lainnya.
Seperti ki Danur Wendo, Ki Marta Pura, Nyi Longkat Sakti, Ki Bulukumba, Ki Bulu
Sari, dan Nyi Keluwut. Sebab mereka merupakan pelindung dan tokoh yang disegani
oleh anggota lainnya.
Apabila keenam tokoh itu telah datang, maka baru kita bicarakan lagi.
Sekarang kau pergilah ke tempat ibumu yang mungkin telah menyiapkan makan siang.
Bantulah ibumu."
"Baik, ayah. Priyanti akan segera membantu ibu," kata Priyanti yang segera pergi
meninggalkan ayahnya dan memandang kepergiannya dengan
pandangan bangga. Lalu dengan segera, ketua Perserikatan Pendekar Sakti pun
segera berlalu meninggalkan ruang pertemuan menuju ke dalam rumahnya.
* * * Di tempat lain, tampak seorang
lelaki tengah duduk di hadapan anak buahnya. Lelaki itu yang tak lain Ki
Prahista adanya tersenyum senang, demi mendengar laporan dari anak buahnya.
"Bagus! Kau telah menjalankan tugasnya dengan baik hingga ketua Perserikatan tak
akan menyangka kalau aku yang mengirim surat itu. Nanti kalau aku berhasil
mejadi ketua Perserikatan Pendekar Sakti, maka kalian akan menjadi orang-orang kaya seketika,
Ha.. ha... ha...!" kata Ki Prahista sembari tertawa-tawa,
mengkhayalkan apa yang bakal terjadi.
"Benar, Tetua! Tetualah yang pantas menduduki jabatan itu. Di samping Tetua
sakti, juga cerdas dan berwibawa. Tidak seperti Tetua
Perserikatan Pendekar Sakti sekarang yang bodoh dan pengecut. Bukan begitu,
Tetua?" Makin bertambah tinggi hati saja Prahista mendengar sanjungan yang diucapakan
oleh anak buahnya. Maka dengan bergelak tawa, ia pun kembali berkata:
"Benar katamu, Dursan! Memang akulah yang pantas menduduki tampuk kekuasaan
sebagai ketua Perserikatan Pendekar Sakti. Tidak seperti Danu Reksa yang
pengecut dan bodoh! Ha...
ha...!" Mendengar ketuanya tertawa,
seketika semua anak buah Prahista pun turut bergelak tawa, hingga dalam sekejap
ruangan balai itu pun gegap-gempita oleh gelak tawa mereka.
5 Perjalanan dari wilayah Kidul ke wilayah Lor cukup jauh. Hingga
memerlukan beberapa hari untuk
menempuhnya bila memakai kuda dan memerlukan waktu satu setengah bulan untuk
menempuhnya bila berjalan kaki.
Dari kejauhan, tampak dua orang
tua memacu kudanya dengan cepat
sepertinya mereka tengah memburu waktu. Hingga saking cepatnya langkah lari sang
kuda menjadikan bagai angin saja.
Kedua orang itu yang ternyata Ki Rengkut dan Ki Waspati terus menyais
kuda-kudanya menuruni lereng gunung dan menyeberangi sungai-sungai.
Sudah tiga hari keduanya menempuh perjalanan dalam usahanya menemui enam tokoh
persilatan sesepuh Perserikatan Pendekar Sakti.
Tiga hari mereka menempuh
perjalanan dari lereng gunung Slamet hingga sampai di Kadipaten Brebes.
Bagaikan tak mengenal lelah, keduanya terus memacu kudanya.
Ketika hari menjelang sore, kedua orang itu sampai ke tujuannya masing-masing.
Satu menuju ke arah Selatan, satunya lagi terus berjalan lurus.
Ki Rengkut segera menuju ke
kediaman Ki Bulukumba yang tak jauh dari tempatnya. Dengan menuntun
kudanya, Ki Rengkut pun berjalan ke Utara. Kira-kira lima ratus tombak, Ki
Rengkut segera menemukan rumah Ki Bulukumba.
"Sampurasun...!" sapa Ki Rengkut setelah menambatkan tali kudanya pada sebatang
pohon jambu yang tumbuh di halaman rumah Ki Bulukumba.
"Rampes...!" terdengar jawaban dari dalam rumah, suara seorang lelaki tua. Tak
lama Ki Rengkut menunggu, seorang lelaki tua nampak keluar dari gubuknya
memandang lekat pada Ki Rengkut dengan mata menyipit.


Pedang Siluman Darah 1 Rahasia Pedang Siluman Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapakah engkau, Ki Sanak?" tanya lelaki tua itu sepertinya lupa-lupa
ingat pada orang yang berdiri menjura di hadapannya.
"Hamba Rengkut, Ki Ageng!" jawab Ki Rengkut seraya menjura hormat.
Terkekeh orang tua renta itu,
demi mendengar nama orang di
hadapannya. Maka dengan segera, orang tua renta itupun mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Rengkut" Ya, ya, aku ingat!
Bukankah kau salah seorang anggota Perserikatan Pendekar Sakti yang diketuai
oleh si Danu Reksa?" tanya orang tua renta itu setelah mengetahui siapa yang
kini berdiri di hadapannya.
"Benar, Ki Ageng. Memang hamba Rengkut anggota Perserikatan Pendekar Sakti,"
Jawab Ki Rengkut hormat.
"Ada apakah hingga jauh-jauh kau datang ke mari?"
Ki Rengkut sesaat terdiam,
mengatur napasnya yang memburu karena capai telah menempuh perjalanan jauh.
Lalu dengan perlahan Ki Rengkutpun menceritakan apa yang tengah terjadi di
Perserikatan Pendekar Sakti.
Ki Bulukumba manggut-manggut
mendengarkannya sepertinya mengerti akan apa yang dialami oleh
Perserikatan Pendekar Sakti. Maka dengar masih manggut-manggut, Ki Bulukumbapun
berkata: "Jadi Perserikatan Pendekar Sakti, kini tengah mengalami kesulitan oleh tingkah
seorang anggotanya?"
"Benar, Ki Ageng!"
"Siapa nama orang itu, Rengkut?"
tanya kembali Ki Bulukumba, setelah mendengar jawaban Rengkut. Mata lelaki tua
renta itu nampak berapi-api, sepertinya turut kesal pada orang yang telah
membuat masalah di Perserikatan Pendekar Sakti.
"Orang itu, Ki Prahista adanya."
"Prahista! Kalau tidak salah ingat, apakah dia yang pernah membuat kerusuhan di
Perguruan Sangga Langit?"
"Benar, Ki Ageng. Memang dialah yang dimaksud," jawab Ki Rengkut yang menjadikan
Ki Bulukumba kembali
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Lalu apa yang menjadi pesan pemimpinmu?"
"Hamba disuruh memberikan kabar sekaligus mengundang Ki Ageng untuk datang ke
sana. Begitu pula dengan Ki Bulu Sari dan Nyi Keluwut yang akan segera hamba
kabari." Ki Rengkut menjelaskan apa yang telah diperintah ketuanya pada Ki
Bulukumba yang untuk kesekian kalinya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah, Rengkut. Aku akan segera ke sana," kata Ki Bulukumba yang menjadikan
Ki Rengkut hatinya senang. Maka dengan menjura hormat,
akhirnya Ki Rengkutpun mengucapkan terima kasih sebelum pergi
meninggalkan Ki Bulukumba untuk
menemui Ki Bulu Sari dan Nyi Keluwut.
Dengan diiringi padangan Ki
Bulukumba yang mengantarnya ke jalan setapak, Ki Rengkut pun segera menyais
kudanya yang melaju dengan cepatnya meninggalkan Ki Bulukumba untuk
menemui Ki Bulusari dan Nyi Keluwut.
* * * "Hiat...!" terdengar suara orang berteriak-teriak, memecahkan kesunyian pagi
buta itu. Seorang pemuda yang dikelilingi oleh empat orang tua, tengah
berjumpalitan di atas batu kali. Tubuh pemuda itu melenting tinggi dan hinggap
kembali tepat di atas batu kali yang runcing dan licin.
"Sekarang kau harus mampu
menghantam pohon asam di seberang kali ini dengan tubuh terbalik setelah
bersalto. Lakukan!" kata salah seorang gurunya memerintahkan pada pemuda itu
yang ternyata Jaka adanya.
Demi mendengar perintah gurunya, Ki Darsa, maka dengan segera Jakapun kembali
melentingkan tubuhnya ke angkasa. Dan ketika tubuhnya hendak turun kembali,
secepat itu pula Jaka menghantamkan pukulan jarak jauhnya
pada pohon asam besar yang berada di seberang sungai.
"Bledek Sewu! Hiat...!"
Bersamaan dengan habisnya suara Jaka, seketika terdengar ledakan yang disertai
dengan hancurnya pohon asam.
"Duar! Dum!"
"Bagus, bagus!" berseru girang keempat gurunya kala melihat hasil yang telah
dicapai oleh muridnya.
Sementara itu, Jaka tampak berdiri tegak di atas batu itu kembali.
"Bagaimana, Guru" Apakah masih kurang cukup?" tanya Jaka pada keempat gurunya
yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sudah cukup, Jaka. Tak sia-sia kami tiap hari menggemblengmu. Kini hasilnya
telah dapat diketahui," kata Ki Bayong dengan senyum kegembiraan yang terurai di
bibirnya. "Benar, Jaka. Kami merasa
bergembira, karena kalau tak ada kamu yang kami temukan di kawah Chandra Bilawa,
sudah pasti kami akan saling mengadu kesaktian untuk mengetahui siapa di antara
kami yang paling sakti. Namun rupanya Yang Maha Kuasa berkenan menyelamatkan
kami yang saat itu juga sepakat mengangkatmu sebagai murid. Waktu itu, kami
melihat kelainan di tubuhmu," kata Ni Rukmini menambahkan membuat Jaka seketika
bertanya. "Kelainan apakah yang dimaksud Ni guru?"
"Kau bisa mengetahuinya sendiri."
Jawaban Ni Rukmini yang tidak
terbuka menjadikan Jaka segera
mengerutkan keningnya tak mengerti dan kembali bertanya.
"Wah, sejak kapan Ni guru
mengajarkan padaku merahasiakan
sesuatu?" Terkekeh ketiga guru Jaka lainnya demi mendengar ucapan Jaka, sementara Ni
Rukmini seketika tersentak dan melototkan matanya, kesal melihat tingkah
muridnya yang ndableg. Maka dengan mendengus yang membuat Jaka tersenyum, Ni
Rukmini pun berkata:
"Dasar, Ndableg! Berani kau menggurui gurumu?"
"Wah, siapa yang berani
menggurui. Aku kan cuma bilang, sejak kapan Ni Guru mengajari aku rahasia"
Apakah itu salah, Ki Guru Barwa?"
"Benar ucapanmu, Jaka. Memang sepantasnyalah, kalau murid akan menanyakan
pelajaran yang belum ia ketahui. Contohnya Jaka, ia pun berhak menanyakan pada
gurunya, akan apa yang sekiranya belum pernah diajarkan padanya."
Merasa dibela, maka Jakapun makin konyol saja, hingga membuat Ni
Rukimini mau tak mau harus mengalah
dan menerangkan apa yang tadi ia rahasiakan.
"Baiklah! Percuma
saja aku meladeni kendableganmu yang hanya membuat aku marah. Dengar baik-baik!
Keanehan pada dirimu terletak pada tingkahmu yang ndableg dan kurang asem itu!"
Tertawalah Jaka seenaknya, demi
mendengar penuturan Ni gurunya. Hingga karena kencangnya tertawa menjadikan
daun-duan pepohonanan di sekitarnya seketika runtuh berguguran.
Terperanjat kaget keempat gurunya yang tak menyangka
ilmu tenaga dalam
muridnya telah mencapai puncak yang sempurna, bahkan mungkin melebihi mereka.
"Weh, weh, weh. Dasar, Ndableg!
Apakah kau tak berpikir, kalau tawamu yang jelek itu merusak lingkungan,
sekaligus dapat menghancurkan gendang telinga orang yang mendengarnya?" kata Ki
Darsa setelah hilang
keterkejutannya demi melihat kemajuan yang dicapai muridnya.
Dengan segera, Jakapun
menghentikan gelak tawanya.
"Dasar, Ndableg! Ayo kita pulang!
Kalau di sini terus, jangan-jangan makin kerasukan setan hingga bakal bertambah
ndablegnya," Ki Bayong segera mengajak Jaka pulang yang
segera dituruti Jaka dan ketiga
gurunya yang lain.
"Wah, aku kan belum mandi, Ki?"
kata Jaka beralasan agar supaya dapat meneruskan latihannya di sungai itu.
Namun tanpa kenal ampun Ki Bayong tak mau tahu. Maka dengan menggerutu yang
menjadikan keempat gurunya geleng kepala, Jakapun akhirnya menuruti mereka
pulang. * * * Di kediaman Danu Reksa, tampak
enam orang tua renta tengah duduk di hadapan Danu Reksa sendiri. Saat itu keenam
orang tua yang tak lain Ki Bulukumba, Ki Bulu Sari, Nyi Keluwut, dan tiga orang
lainnya tengah diundang Danu Reksa guna diminta sarannya sehubungan dengan
tingkah salah seorang anggota perserikatan yang bernama Ki Prahista.
"Bagaimana, menurut pendapat Ki Ageng dan Nyi Ageng?" tanya Danu Reksa meminta
saran pada para sesepuh itu.
Sesaat keenam orang tua itu
terdiam hingga akhirnya Ki Bulukumba berkata mewakili kelima temannya:
"Menurut hematku, lebih baik orang yang bersangkutan dipanggil!"
"Benar, apa yang dikatakan Ki Bulukumba," menambahkan Nyi Keluwut,
menjadikan Danu Reksa mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah kalau menurut Ki Ageng dan Nyi Ageng begitu, maka kami akan segera
memanggilnya. Ki Sampar Angin, panggil
segera Ki Prahista untuk
datang ke mari!"
Mendengar perintah pemimpinnya
maka dengan terlebih dahulu menjura, Ki Sampar Angin segera pergi untuk
memanggil Ki Prahista.
Sepeninggalnya Ki Sampar Angin,
kembali merekapun terlibat pembicaraan yang tampaknya sangat serius hingga tak
ada gelak tawa. Yang ada hanya muka-muka kelam mengukir wajah mereka.
Tak berapa lama antaranya, tampak Ki Sampar Angin telah kembali diikuti oleh Ki
Prahista yang tampak agak terkejut melihat kehadiran keenam tokoh utama
persilatan. Maka dengan menjura hormat pada Ki Danu Reksa, Ki Prahistapun
memberi salam pada keenam tokoh persilatan yang sangat kondang dan disegani itu.
"Duduklah, Prahista. Kami ingin bicara denganmu," kata Ki Bulukumba, selaku
orang yang paling tertua di antara kelima tokoh lainnya yang ada di situ.
Dengan tanpa banyak kata, Ki
Prahista pun segera mengambil duduk di antara merexa. Lalu dengan nada
menghormat, Ki Prahista bertanya
sepertinya ia tak mengetahui
sesungguhnya pada kedatangan keenam tokoh Perserikatan Pendekar Sakti.
"Ki Ageng, ada apakah gerangan hingga Ki Ageng memanggilku?"
Ki Bulukumba tampak menganggukanggukkan kepala sembari memandang pada Prahista, sebelum akhirnya
menjawab pertanyaan yang dilontarkan Prahista.
"Prahista, aku mendengar desas desus bahwa kau berupaya memisahkan diri dari
perserikatan. Apakah desas desus itu benar?"
Mendengar pertanyaan yang
dilontarkan Ki Bulukumba, seketika Prahista terlonjak kaget. Hampir saja ia
berdiri dari duduknya kalau ia tak segera ingat dengan siapa ia kini berhadapan.
"Kenapa, Prahista" Sepertinya kau terkejut," tanya Ki Bulukumba kembali melihat
keterkejutan Ki Prahista.
"Maaf, Ki Ageng. Keterkejutan saya karena saya sungguh tak menyangka kalau akan
diberi pertanyaan seperti itu. Kalau benar saya hendak keluar dari perserikatan,
untuk apa setiap bulan saya selalu menyokong dana perserikatan?" jawab Ki
Prahista mengelak membuat Ki Bulukumba
mengangguk-anggukkan kepala. Lalu setelah terdiam sesaat, Ki Bulukumba pun
kembali berkata:
"Lalu, mengapa tindakanmu
sepertinya menyimpang dari garis yang telah ditetapkan oleh perserikatan?"
Untuk yang kedua kalinya Ki
Prahista tersentak, demi mendengar ucapan Ki Bulukumba yang sepertinya telah
mengetahui segala-galanya.
Walaupun di bibirnya terurai senyum, namun di hati Ki Prahista membatin sengit
"Hem, aku rasa Ki Waspati telah menceritakan semuanya pada orang tua ini. Awas
Ki Waspati! Kalau nanti sampai masanya, tak akan kubiarkan kau hidup!"
"Kenapa, Ki Prahista?" ulang Ki Bulukumba bertanya demi tak ada
jawaban dari Ki Prahista. Tersentak Ki Prahista, lalu dengan tergagap iapun
berkata: "Maaf, Ki Ageng. Aku rasa
tindakanku selama ini tidak
bertentangan dengan perserikatan, karena menyangkut hak perseorangan.
Kalau menurut penglihatan tindakan saya salah, maka orang yang melihat itulah
yang tak mengerti hak pribadi."
"Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Namun kami tak menghendaki adanya
kerusuhan di perserikatan hanya karena masalah ini. Kau tentunya mengerti, Ki
Prahista!"
"Saya mengerti, Ki Ageng."
"Bagus! Untuk kali ini aku rasa aku dapat mengerti tindakanmu.
Sekarang, siapakah yang telah
mengirimkan tombak dengan surat ini?"
Diambilnya tombak dan surat yang ada di samping dirinya yang segera
ditunjukkan pada Ki Prahista yang tersentak kaget.
"Apakah kau mau mengelak lagi, Ki Prahista?" tanya Ki Bulukumba kembali yang
menjadikan merah padam muka Ki Prahista. Maka dengan segera, Ki Prahista tanpa
dapat dicegah berkelebat pergi meninggalkan
pertemuan itu. Hal itu menjadikan dugaan mereka makin kuat. Maka dengan segera,
semua yang hadir di situ mengejar Ki Prahista.
"Kejar sampai dapat! Tangkap hidup atau mati!" sera tetua Perserikatan Pendekar
Sakti yang segera dilaksanakan oleh anggota yang lainnya.
Kini terbuka sudah siapa yang
telah bermaksud memberontak pada Perserikatan Pendekar Sakti dan ingin
mengadakan kudeta untuk menggulingkan pemimpin perserikatan.
Prahista terus berlari, dikejar
oleh kedua orang anggota perserikatan.
Kejar mengejar itupun terus
berlangsung hingga sampai Ki Prahista menghilang di balik semak-semak.
"Sungguh sangat berbahaya orang itu kalau sampai tak tertangkap!
Apalah jadinya perserikatan. Ayo, kita kejar!" kata Ki Sapu Angin pada Ki
Waspati yang hanya mengangguk
membenarkan. Maka dengan segera kedua orang itupun terus berlari mem-buru Ki
Prahista yang telah lenyap entah ke mana.
Di lereng gunung Slamet, tepatnya di sebuah dataran yang agak rata, tampak lima
orang guru dan murid tengah bercakap-cakap. Kelima guru dan murid itu, tak lain
Jaka dan keempat gurunya.
Hari itu, keempat gurunya
bermaksud menurunkan ilmu pamungkas mereka pada Jaka. Kelimanya tengah duduk
bersila dan Jaka duduk di
tengah-tengah. "Jaka, sudah setahun lebih kau bersama kami. Segala ilmu kanuragan dan ilmu
kedigjayaan yang telah kami turunkan padamu hingga semuanya telah kau kuasai.
Hari ini, adalah hari terakhir kau bersama kami. Untuk itu, kami bermaksud
menurunkan ajian-ajian pamungkas yang ada pada diri kami.
Ajian pamungkas ini sangatlah
berbahaya jikalau dipergunakan untuk hal-hal yang jahat. Maka dari itu, kami
mohon kau melakukannya di jalan kebaikan. Kau sanggup?" tanya Ki Bayong mewakili
ketiga adik seperguruannya yang menganggukanggukkan kepalanya membenarkan.
"Akan saya ingat dan kerjakan apa yang menjadi petuah guru," jawab Jaka membuat
keempat gurunya itu tersenyum senang.
"Kalau begitu, bersiaplah kau untuk menerima ajian pamungkas yang akan segera


Pedang Siluman Darah 1 Rahasia Pedang Siluman Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami berikan!" Setelah berkata begitu, Ki Bayong segera memimpin ketiga adik
seperguruannya mengheningkan cipta untuk menenangkan seluruh pikirannya.
"Kau sudah siap, Jaka?" tanya Ki Bayong kembali setelah sesaat terdiam
mengheningkan cipta.
"Sudah, Ki Guru!" jawab Jaka sembari mengatur jalan pernapasannya agar mudah
dalam penyaluran tenaga yang akan dilakukan guru-gurunya pada tubuhnya.
"Pejamkan matamu, atur napasmu dan pusatkan pikiranmu!"
jaka segera menuruti apa yang
dikatakan Ki Bayong. Ia segera
memejamkan matanya serta memusatkan pikirannya.
Dengan bersama-sama, keempat
orang tua yang menjadi guru Jaka segera menempelakkan telapak tangannya dari
empat penjuru angin. Dari telapak tangan mereka, mengepul asap putih yang
disertai sinar yang berwarna-warni masuk ke tubuh Jaka. Keringat
keempat orang tua itu tampak
berjatuhan membasahi seluruh tubuh mereka.
Tak luput juga Jaka yang menerima penyaluran tenaga dalam yang disertai ajian
pamungkas dari keempat guru, nampak keringat membanjiri tubuhnya.
"Ajian Gatih Sakti!"
"Ajian Tapak Prahara!"
"Ajian Bledek Sewu!"
"Ajian Kalimu Sada!"
Berturut-turut keempat guru Jaka dari yang paling muda hingga Ki
Bayong, mengalirkan ajian-ajian yang dimiliki mereka pada tubuh Jaka.
Tak berapa lama antaranya,
keempat guru itu terpelanting ke belakang, pingsan. Sesaat Jaka
mengatur jalan darahnya sebelum
akhirnya ia segera menghampiri tubuh-tubuh gurunya yang pingsan.
"Kasihan mereka, karena sangat sayang padaku, mereka sampai menderita begini
rupa. Ah, betapa besar
pengorbanan keempat guruku. Dengan apa kelak akan kubayar?"
Dengan segera, Jala berlari
menuju ke gubug
di mana mereka tinggal. Ditemuinya Ratih yang tengah memasak nasi, yang tersentak kaget melihat
kedatangan Jaka.
"Ada apa, Kakang Jaka?" tanyanya seketika, demi melihat Jaka mencari-cari
sesuatu. "Aku mencari air," jawab Jaka singkat sembari mencari-cari kendi tempat air.
Mengerut kening Ratih melihat Jaka yang tampaknya tak
sabaran, lalu dengan membantu mencari, Ratihpun bertanya:
"Kakang, haus?"
"Tidak, Ratih. Aku mencari air untuk guru, di manakah air?"
"Ini, Kakang!" seru Ratih sembari menunjukkan tempat air yang segera diambil
Jaka. Dengan tanpa bicara lagi, Jaka pun segera berlari menuju ke tepi sungai di
mana keempat gurunya pingsan.
Terkejut Jaka saat itu kala melihat keempat gurunya telah terduduk bengong. Keempat guru itu bengong karena
mencari-cari Jaka yang
menghilang. Mereka menganggap ada orang yang telah menculik Jaka kala mereka
pingsan. "Dari mana kau, Jaka?" tanya K
Darsa sembari menggelengkan kepala, demi melihat Jaka datang dengan
membawa kendi. "Aku mengambil air untuk guru sekalian," jawab Jaka tenang hingga membuat
keempat gurunya kembali
bengong. Mereka tak menyangka kalau Jaka begitu tahan menerima empat ajian
sekaligus. Kalau orang lain niscaya akan pingsan lama, tapi bocah ndableg ini
nampaknya tak mengalami apa-apa.
"Weh, weh, weh. Baru kali ini aku melihat bocah ndableg yang mempunyai daya
tahan tubuh yang tinggi. Weh, weh, weh. Sungguh luar biasa! Kalau orang lain
akan pingsan beberapa hari, tapi si Ndableg tak apa-apa!" gumam Ni Rukmini
dengan hati bangga.
"Benar katamu, Nini. Bocah ini memang luar biasa daya tahan tubuhnya.
Jaka! Untuk apa kendi itu?" tanya Ki Barwa yang dijawab dengan senyum-senyum
oleh Jaka "Kan guru sekalian pingsan. Jadi saya bermaksud menyiram muka guru agar guru
sadar." Tersentak kaget keempat gurunya
hingga mata mereka melotot demi
mendengar penuturan murid-nya. Dengan geleng-geleng kepala, Ki Darsa kembali
berkata: "Dasar, Ndableg! Bukan begitu caranya menolong orang pingsan, Jaka.
Wah, wah, wah. Kalau benar-benar kau lakukan, sungguh kurang ajar!"
Jaka tersenyum-senyum mendengar
ucapan gurunya, yang membuat sang guru Ki Darsa hanya mampu geleng kepala.
Kemudian, Ki Darsa pun kembali
berkata: "Duduklah, Jaka. Kami ingin bicara denganmu."
Dengan menurut, Jaka pun segera
duduk bersila di hadapan keempat gurunya yang menghadap ke arahnya.
Sesaat kelima guru dan murid itu
terdiam, akhirnya Ki Bayong sebagai orang yang tertua di antara mereka berkata
memecahkan keheningan.
"Jaka, semua ilmu yang kami miliki telah seluruhnya kami turunkan padamu. Hingga
aku rasa, kau telah pantas untuk mencari kabar ayahmu.
Kalau kau ingin menemukan musuh
ayahmu, maka kami menyarankan kau pergilah ke arah Utara. Carilah olehmu sebuah
Perserikatan Pendekar Sakti, tanyakanlah pada tetuanya di mana kau dapat menemui
Ki Prahista."
"Tapi, Guru?"
"Ada apa lagi, Jaka?" tanya Ki Bayong, demi mendengar ucapan Jaka yang
memprotes. Dengan gaya orang bloon dan bibir menyungging senyum Jaka pun berkata
nyeplos. "Kalau Jaka pergi meninggalkan guru sekalian, apakah guru sekalian tidak sepi"
Aku takut nantinya guru-guru sekalian pada stress dan tegang tanpa ada yang
menghiburnya seperti Jaka."
"Ndableg! Apa kau kira kau dapat menyenangkan kami" Malah menjadikan kami
bingung dan tak mengerti akan segala tingkahmu yang kadangkala konyol dan anehaneh," kata Ki Bayong sembari geleng kepala mendengar ucapan muridnya.
"Ah, sudahlah. Yang penting kau dapat mengamalkan semua ilmu yang kami
turunkan padamu, maka hal itu telah membuat hati kami senang. Hari ini juga, kau
harus pergi meninggalkan kami untuk mencari musuh ayahmu
sekaligus mencari keberadaan ayahmu,"
kata Ki Bayong melanjutkan.
Maka dengan terlebih dahulu
menjura hormat setelah kelimanya kembali ke gubug, Jakapun segera meminta pamit
untuk melakukan
pengembaraannya guna mencari ayahnya.
"Hati-hati, dik Ratih. Guru-guruku galak dan sadis!" kata Jaka pada Ratih kata
mengantarnya ke
halaman yang membuat keempat gurunya melotot. Dengan tertawa bergelak-gelak,
Jakapun segera pergi
meninggalkan gubug yang telah setahun lamanya dihuni.
"Hati-hati, kang Jaka! Jangan sampai lupa dengan yang di sini, Kakang!" seru
Ratih kata Jaka telah berlari sembari menjawab seruannya:
"Ya! Aku akan sering datang menemui kalian,
sebab aku senang berkumpul dengan guru-guruku yang
aneh! Ha... ha... ha...!" Bergelak-gelak tawa Jaka yang berlari meninggalkan gubug
itu membuat keempat gurunya menggerutu sembari
geteng-geleng kepala. "Dasar, Ndableg!"
Mata keempat guru itu berkacakaca sepertinya berat untuk berpisah
dengan muridnya yang walaupun ndableg, namun dapat menghibur hati mereka yang
telah tua. Tak terasa, di pipi keempat orang tua itu menetes air mata, seakan haru
bercampur sedih ditinggalkan muridnya.
Sementara Jaka tampak terus berlari dan berlari dengan gelak tawa dan nyanyinyanyi. 6 Angin bertiup lembut ketika Jaka berjalan menyusuri hutan sambil
bernyanyi-nyanyi menghibur diri
sendiri. Suaranya yang sengau
sepertinya membuat penghuni hutan itu berterbangan ketakutan dan lari
tunggang langgang.
Kala ia tengah bernyanyi, tibatiba ia dikejutkan oleh bentakan seseosrang.
"Berhenti!"
Jaka segera menghentikan
langkahnya dan membalikkan tubuhnya memandang pada orang-orang yang
berdiri di hadapannya. Mata Jaka menyipit kala mengenali keenam orang yang
berdiri menghadap ke arahnya.
"Wah, wah, wah. Ada apakah
gerangan hingga kalian menghentikan langkahku?" bertanya Jaka semberi gelenggeleng kepala. "Jangan berpura-pura tak tahu, Anak edan! Di mana kau sembunyikan calon
istriku!" membentak Marsani membuat Jaka tertawa bergelak-gelak.
Maka dengan kembali geleng-geleng kepala, Jaka pun kembali berkata:
"Istrimu! Heh, sejak kapan kau punya istri, Marsan?"
Menggeretuk gigi-gigi Marsan
mendengar ucapan Jaka yang nadanya mengejek. Maka dengan penuh amarah Marsan
kembali membentak.
"Sompret! Di tanya malah balik bertanya. Apakah kau kira kau dapat selamat dari
kami"!'' "Keselamatanku hanya Yang Kuasa yang mengetahui, apa pedulimu?"
Geram keenam orang di hadapan
Jaka demi mendengar ucapan Jaka yang meremehkannya. Maka dengan terlebih dahulu
mendengus, keenam orang itupun segera berkelebat mengepung dan
menyerang Jaka.
"Tobat, Emak! Aku hendak
dikeroyok!" berseru Jaka, sepertinya ketakutan dan berusaha menghindari serangan
keenam orang yang
mengeroyoknya. Gedeg juga keenamnya melihat tingkah Jaka yang konyol dan membuat
kesal. "Monyet! Walaupun kau berteriak-berteriak sampai habis suaramu, tak akan emakmu
datang menolongmu!"
membentak salah saorang dari keenam
orang yang bergelar Lima Iblis Haus Darah yang kesal melihat tingkah laku Jaka.
"Waduh, Mak! Jaka mau dijitak!"
kembali Jaka berteriak-teriak, kala seseorang pengeroyoknya hendak
membokongnya dari belakang. Lalu dengan melentikkan tubuh ke angkasa, seketika
tangan Jaka telah menjitak kepala orang yang bermaksud membokongnya.
Jitakan Jaka yang disertai tenaga dalam menjadikan orang itu memekik kesakitan
sembari memegangi kepalanya.
Tertawa Jaka melihat orang itu yang berputar-putar sembari menjerit-jerit.
"Ha... ha... ha...! Lucu, lucu.
Kau seperti monyek dikeroyok semut rangrang, berputar-putar. Ha... ha...
ha...!" Geram kelima orang lainnya
mendengar ucapan Jaka yang sepertinya melihat kelucuan. Maka dengan segera
kelima orang yang lainnya berkelebat menyerang Jaka.
"Ampun, Kek! Jaka hendak
digebug!" kembali Jaka berteriak kala melihat kelima pengeroyoknya serentak
membabatkan golok mereka ke arahnya.
Dengan mengelak, Jaka pun
menghantamkan tangannya ke seorang yang mengeroyoknya. Seketika orang yang
terkena gebukan tangan Jaka
berguling-guling dengan tubuh bagaikan remuk tulang-tulangnya.
Terbelalak yang lainnya melihat
kedua temannya dapat dengan mudah dipermainkan oleh Jaka. Namun karena marah dan
penasaran, keempat orang lainnya pun segera menyerang kembali.
"Jangan berlagak kayak anak kecil. Monyet!" membentak orang yang paling tua di
antara keenam orang itu yang segera kembali menyerang Jaka.
"Tobat...! Jangak
galak-galak, Om!" berseru Jaka lagi, ketika orang itu membentak dan menyerangnya dengan
membabi buta. Lalu dengan
berjumpalitan bagaikan main-main, Jaka pun segera melancarkan serangan balik.
Dihantamkan tangannya ke arah muka orang itu yang dengan seketika
tersentak dan bermaksud mengelaknya.
Namun tak urung, tangan Jaka lebih cepat melaju menghantam telak muka orang itu
yang dengan seketika
menutupi mukanya dengan kedua
tangannya. Orang itu berguling-guling
sembari menutupi mukanya yang terasa sakit. Kembali Jaka tertawa bergelak-gelak
hingga tawanya seketika
memecahkan hutan itu.
Melihat ketiga orang saudaranya
terjatuh dengan tubuh mereka memar, ketiga orang lainnya seketika
terbelalak. Maka tanpa malu-malu,
ketiga orang yang masih berdiri itupun segera berlari meninggalkan Jaka yang tak
berkehendak mengejarnya.
"Wah, wah, wah. Macam-macam saja ke hidupan. Ah, jadi tertunda juga perjalananku
gara-gara orang-orang brengsek!" Maka dengan tak
memperdulikan ketiga orang yang
tergeletak Jaka segera pergi berlalu untuk melanjutkan perjalanannya.
Kala Jaka tengah melangkah
menyusuri jalan menuju ke arah kawah Chandra Bilawa. Tiba-tiba ia
dikejutkan oleh seorang yang
berkelebat melintasi dirinya.
Tersentak Jaka melihatnya, hingga iapun hanya dapat terbengong-bengong.
Belum juga hilang kekagetannya,
kembali berkelebat dua orang lari di sisinya searah dengan orang yang pertama
berlalu. Ketiga orang itu menuju ke kawah Chandra Bilawa.
Merasa penasaran, Jaka pun dengan segera berlari mengejar ketiga orang itu.
"Sepertinya, ketiga orang itu tengah menuju ke kawah Chandra Bilawa.
Hem, mungkin ada sesuatu yang hendak dikerjakan di sana," kata hati Jaka dan
dengan secepat angin berkelebat mengejar ketiga orang itu.
Benar juga apa yang menjadi
dugaannya. Ketiga orang itu memang
menuju ke kawah Chandra Bilawa.
Terdengar dua orang yang di belakang berseru.
"Ki Prahista, mau lari ke mana, kau?"
Tersentak Jaka demi mendengar
orang itu menyebut nama orang yang dikejarnya yang mengingatkan dirinya pada
orang yang tahu pasti keadaan ayahnya. Maka dengan makin mempercepat larinya,
Jaka pun segera menyusul ketiga orang di depannya.
Tersentak ketiga orang yang
tengah berlari kala ketika berkelebat sesosok tubuh telah mendahuluinya dan
berdiri tegak membelakangi kawah Chandra Bilawa.
"Siapa di antara Ki Sanak
sekaiian yang bernama Prahista?"
Tersenyum senang Prahista yang


Pedang Siluman Darah 1 Rahasia Pedang Siluman Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengira Jaka hendak membantunya. Maka dengan segera Prahista pun berkata.
"Aku! Akulah Prahista!"
Mendengar pengakuan orang yang
berlari di depan kedua orang lainnya, seketika Jaka tampak tersenyum. Lalu
dengan menjura terbalik yaitu kepala menghadap ke kawah sedang pantat menghadap
ke Prahista, Jaka pun
berkata: "Ki Prahista, terimalah salam hormat saya yang tak ternilai
tingginya atas segala jasa yang Ki Prahista berikan."
Terbelalak Ki Prahista demi
melihat tingkah laku pemuda di
hadapannya. Hatinya yang tadinya senang, seketika geram demi melihat perlakuan
pemuda itu yang kurang ajar memantatinya. Maka dengan menggeram, Ki Prahista pun
berkata membentak.
"Anak muda Sableng! Siapa namamu hingga kau berani kurang ajar padaku"
Apa perlumu menghadangku?"
"Ladalah! Dihormati, eh, malah marah-marah. Baiklah. Namaku Jaka Ndableg, aku
adalah anak Eka Bilawa.
Aku menghadangmu karena ingin
menanyakan perihal bapakku yang
menghilang tak tahu rimbanya sejak bertempur melawanmu. Kau dengar?"
Terbelalak mata Ki Prahista
setelah tahu siapa gerangan pemuda di hadapannya yang tak lain anak Eka Bilawa.
Hatinya seketika bergemuruh beraduk
antara rasa bersalah dan
kemarahan. "Kenapa kau terdiam, Ki Prahista!
Di manakah ayahku?"
Tiba-tiba, Ki Prahista yang dari tadi diam, tertawa bergelak-gelak dan dengan
sengaunya Ki Prahista pun berkata:
"Anak Ndableg! Ketahuilah! Ayahmu telah mati di kawah Chandra ini, hingga kawah
Chandra ini diberi nama Chandra Bilawa. Kalau kau ingin tahu,
maka kusarankan kau terjun saja ke kawah ini."
"Wah! Mana bisa aku terjun ke kawah ini, kalau tidak diberi tahu olehmu"
Bagaimana, Ki Prahista" Apakah kau mau membantuku mengantar ke dasar kawah ini?"
bertanya Jaka yang mengakibatkan ketiga orang di
hadapannya terbelalak, terlebih-lebih Ki Prahista yang merasa diejek. Maka
dengan terlebih dahulu membentak, Ki Prahista pun segera menyerang Jaka.
"Bujur buset! Kau tak memandang sebelah mata pun padaku. Maka
janganlah menyesal, bila aku nanti telengas dan mengantarmu untuk
menyusul ayahmu!"
"Ampun, Om!" berteriak Jaka ketika Ki Prahista menyerangnya. Hal itu makin
membuat dua orang yang menonton tersenyum-senyum geli melihat tingkahnya.
Kemarahan Ki Prahista tak dapat
dibendung lagi, hingga serangannya begitu mengganas dan membabi buta.
Namun bagaikan tengah hermain-main, Jaka menanggapinya sambil berteriak kala Ki
Prahista menyerangnya.
"Tolong, Emak!"
"Diam! Jangan kau panggil-panggil emakmu," maki Ki Prahista penuh amarah. Namun
begitu, Jaka malah bertambah konyol. Maka dengan segera, Jaka pun berkata
mengejek "Ingat ya, pada emakku. Kalau cintanya ditolak, kenapa kau membabi buta hendak
memperkosa emakku?"
Merah padam wajah Ki Prahista
mendengar ucapan Jaka yang telah membuka kartunya di depan kedua orang anggota
Perserikatan Pendekar Sakti.
Maka untuk menghilangkan rasa malunya, Ki Prahista pun segera membentak sembari
terus mencerca menyerang Jaka.
"Anak monyet! Siapa yang
mengatakannya padamu"!"
"Heh! Kau bilang aku anak monyet!
Kenapa dulu kau mengejar-ngejar
emakku, hingga kau hendak
memperkosanya karena ditolak cintamu?"
Ucapan Jaka terasa halilintar yang menyengat telinga Ki Prahista, hingga
seketika tersentak melototkan mata.
"Nah, kau diam. Berarti kau mengaku, bukan?"
Meledak amarah Ki Prahista
bagaikan bensin dibakar. Maka dengan segala kemarahannya menjadikan Ki Prahista
menggeretak. Tersentak Jaka dan kedua orang yang ada di situ, kala melihat apa
yang terjadi di
hadapannya. Tubuh Ki Prahista yang tengah
dilanda kemarahan berubah menjadi bersisik-sisik seperti ular. Namun
kenyataannya bukanlah sisik ular melainkan sisik-sisik buaya. Mulutnya
yang tadinya pendek seketika berubah perlahan-lahan menjadi moncong buaya.
"Ilmu Iblis! Rupanya Ki Prahista telah bersekutu dengan siluman buaya.
Pantas! Kalau ayah yang kata emak tokoh sakti dapat dikalahkannya. Hem, akan aku
lawan dengan ilmu-ilmu yang diwariskan guru-guruku," membatin Jaka melihat
kejadian aneh yang ada di hadapannya.
Tersentak Jaka sembari
menghindar, ketika tangan manusia buaya itu berkelebat hendak
menghantamnya. Dengan terlebih dahulu memekik, Jaka segera melancarkan ajianajian yang diberikan guru-gurunya.
Dari ajian Geledek Sewu sampai
ajian Jamus Kalima Sada dilancarkan Jaka untuk menghantam buaya jejadian itu.
Namun semuanya bagaikan tak ada artinya. Hingga karena tersentak, Jaka tak dapat
mengelakan hantaman ekor buaya itu yang menghantam tubuhnya.
Maka tak ayal lagi, tubuh Jaka pun terpental masuk ke kawah
Chandra Bilawa dengan suara lengkingannya yang panjang.
Melihat pemuda yang mempunyai
ilmu tinggi saja kalah oleh Ki
Prahista, maka kedua orang itupun dengan ketakutan segera berlari
meninggalkan buaya jejadian itu.
* * * Tubuh Jaka terus melayang ke
dalam kawah yang mendidih yang siap menjadikan tubuhnya menjadi bubur blohok.
Mata Jaka terpejam rapat-rapat sepertinya pasrah pada apa yang akan terjadi.
"Emak, aku sebentar lagi akan menyusul bapak. Kasihan emak yang sendirian." Tak
dirasakannya air matanya pun meleleh membasahi kedua pipinya. Sempat pula Jaka
berdo'a memohon ampun pada Yang Maha Kuasa sebelum tubuhnya dimakan lumpur panas
itu. Tengah Jaka menyerah pasrah
dengan tubuh melayang, tiba-tiba
berkelebat sesosok tubuh dari dalam kawah yang menjemputnya menangkap tubuh Jaka
dalam bopongannya.
Lama Jaka pingsan karena takut
dan ngeri. Ketika matanya terbuka kembali, Jaka terbengong-bengong dan bertanya
pada diri sendiri.
"Di manakah aku" Apakah aku tengah di surga" Ah, mana mungkin aku yang ndableg
ini masuk surga" Tapi, menurut cerita emak, neraka bukanlah seindah ini. Ah,
mungkin emak berbohong untuk menakut-nakuti aku agar tidak ndableg."
Tengah Jaka terbengong-bengong,
tampak seorang lelaki yang wajahnya
mirip dengannya, datang menghampiri hingga Jaka tersentak mundur sembari
bertanya: "Siapakah kau" Kenapa wajahmu sepertiku?"
Ditanya seperti itu oleh Jaka,
lelaki itu tersenyum dan terus
menghampiri Jaka yang terus menyurut mundur ketakutan.
"Kenapa kau takut, Anakku?" tanya lelaki yang berwajah seperti dia, dengan
menyebut anak membuat Jaka mengerutkan keningnya tak mengerti dan bertanya:
"Hai! Siapakah kau" Kenapa kau menyebutku anak?"
Kembali lelaki itu bersenyum,
sebelum akhirnya berkata lagi:
"Aku dengar ketika kau berkelahi dengan Prahista sebulan yang lalu, kau
menyebut-nyebut namaku sebagai
ayahmu." "Ah, kau berdusta! Mana mungkin ayahku masih hidup" Sedang ayahku telah tercebur
ke kawah Chandra Di Muka. Kau mungkin siluman yang ingin menggangguku atau
mungkin kau malaikat?"
Tertawa lelaki yang berdiri di
hadapan Jaka mendengar ucapannya yang menganggap dirinya Siluman atau
Malaikat. Dengan menggelengkan kepalanya, lelaki yang wajahnya mirip
dengannya menghampiri sembari kembali berbicara:
"Jaka, Anakku. Kalau kau tak percaya padaku bahwa aku ini ayahmu, baiklah, mari
ikut aku! Akan aku tunjukkan wajah ibumu di masa muda, mari!"
Dengan penuh kasih, digandengnya tangan Jaka yang menurut. Berdiri dan
mengikutinya walau dengan perasaan takut. Keduanya segera menuju ke sebuah
ruangan yang terbuai dari batu pualam yang memancarkan sinar
gemerlapan. "Itu, ibumu!" Lelaki itu menunjukkan lukisan yang terpahat di batu marmer yang
membuat Jaka tersentak melihatnya. Lukisan itu jelas wajah emaknya. Maka setelah menatap
sesaat pada wajah lelaki yang berdiri di sisinya, Jaka dengan segera bersimpun
duduk sembari menyembah pada lelaki itu.
"Ayah! Kenapa Ayah tak pernah datang menjenguk" Tidakkah ayah
kasihan pada emak?"
Tak kuasa lelaki itu menahan air matanya mendengar ratap tangis Jaka, hingga air
matanya pun seketika
meleleh membasahi kedua pipinya.
Dengan penuh kasih sayang, Eka Bilawa segera membangunkan tubuh anaknya berdiri.
"Bukan ayah tidak kasihan padamu, Nak. Ayah juga sangat rindu pada kalian. Tapi
dunia ayah sangat lain dengan duniamu dan emakmu. Kalau ayah keluar dari kawah
ini, maka ayah akan mati dalam tiga jam."
"Kenapa begitu, Ayah?" bertanya Jaka tak mengerti, mendengar ucapan ayahnya yang
dirasa aneh kedengarannya. Mengapa ayahnya akan mati bila menampakkan dirinya di dunia
bebas" Dengan berurai air mata, Eka
Bilawa pun akhirnya menceritakan mengapa dia tak dapat hidup di dunia bebas.
"Kala aku bertempur dengan
Prahista, ayah telah meminta bantuan pada siluman ular yang mau membantunya
dengan syarat ayah harus mau menjadi suaminya. Karena didorong
oleh keinginan untuk dapat mengalahkan Prahista, akhirnya ayahpun
menyanggupinya. Namun, ternyata
Prahista juga telah bersekongkol
mengabdi pada siluman buaya putih, hingga ayah akhirnya terlempar ke kawah ini
oleh hantaman ekornya.
Beruntung Siluman Darah menolong ayah hingga tubuh ayah tak hancur termakan
lumpur kawah ini. Sebagai balasannya, maka ayah tak akan dapat hidup di dunia
luar karena darah ayah telah diganti dengan darah siluman." Dengan
segera Eka Bilawa menggigit jari tangannya hingga berdarah.
Tersentak Jaka seketika kala
melihat wama darah yang menetes dari jari tangan ayahnya. Darah itu bukan
berwama merah seperti darah kebanyakan orang, namun berwarnaa hitam legam
bagaikan tir. "Itulah, Anakku. Kenapa ayah tak dapat menemui kalian," berkata Eka Bilawa
setelah menunjukkan warna darahnya pada Jaka.
"Kenapa ayah tidak membalas pada Prahista?"
Mendengar pertanyaan anaknya yang tiba-tiba, Eka Bilawa seketika
tertunduk dengan mata memandang ke bawah kaklnya kosong. Laiu setelah terdiam
sesaat, Eka Bilawa pun segera menerangkan pada anaknya.
"Sebenarnya ayah ingjn membalas.
Namun keadaan ayah tak akan dapat melakukannya. Bukankah kau telah mendengar
tadi, kalau ayah tak akan dapat hidup lama di dunia bebas?"
Tertunduk Jaka mendengar ucapan
ayahnya yang terasa menyimpan
kesedihan. Demi melihat anaknya
terdiam, maka Eka Bilawa pun kembali berkata:
"Anakku, sebagai penggantiku maka kaulah yang wajib menumpasnya Ayah merasa
takut kalau-kalau dunia akan hancur bila siluman itu terus
dibiarkan hidup sebab ia tak lebihnya iblis yang mempunyai ambisi besar untuk
merajai dunia persilatan."
"Tapi, ayah! Aku tak mampu
mengalahkannya. Telah kucurahkan dan kukeluarkan semua ajian serta ilmu yang aku
miliki, hasilnya aku sendiri yang kalah dan terjatuh ke kawah ini.
Sepertinya tubuh Ki Prahista tak mempan dengan segala ajianku," berkata Jaka
yang diangguki oleh ayahnya.
"Jangan putus asa, anakku. Aku akan memberimu sebuah pedang yang akan datang ke
tanganmu setelah kau
mengatakan "Dening Siluman Darah, datanglah" Dan pedang itupun akan hilang
dengan sendirinya jika telah kau pakai. Namun bila kau mengucapkan kata-kata itu
kembali, maka pedang itupun akan datang kembali. Anakku, ketahuilah, jika iblis
itu mati maka janganlah kau kaget bila ayah dan ibumu akan mati pula."
"Mengapa begitu, ayah?" tanya Jaka tak mengerti, demi mendengar ucapan ayahnya.
Sesaat Eka Bilawa terdiam tak
segera menjawab pertanyaan anaknya.
Dipandanginya Jaka dengan penuh rasa kasih sebelum ia kembali berkata: "Sudah
menjadi suratan, anakku."
Mendengar itu, Jaka seketika
meneteskan air matanya kembali.
Sepertinya ada rasa berat untuk
melakukannya, demi rasa sayangnya pada ayah dan emaknya. Maka dengan berurai air
mata, Jaka pun berkata:
"Lebih baik biarkan ia hidup saja."
"Jaka! Jangan kau berkata itu.
Kalau kau memang seorang pendekar, maka kau harus menumpasnya. Karena bila tidak
maka akan hancurlah dunia ini."
"Tapi dari pada ayah dan emak mati, apakah tidak lebih baik
dibiarkan saja ia hidup-hidup?" tanya Jaka sembari masih berderai air mata.
"Tidak, anakku! Ayah dan emakmu akan senang dan mati dengan tenang bila kau
mampu membinasakan iblis itu.
Ketahuilah, anakku. Walau ayah dan ibumu hidup, namun kami selalu dalam
kekuasaannya hingga kami menderita.
Untuk itulah, anakku. Jika kau sayang pada ayah dan emakmu, lakukanlah apa yang
Ayah pesankan. Hadapi iblis itu dengan Pedang Siluman Darah," kata Eka Bilawa
menjadikan Jaka hanya
tertunduk. "Nah, berangkatlah! Hadapilah iblis itu dengan hati tenang dan tabah. Sebutkan
apa yang Ayah ajarkan padamu, maka dalam seketika akan tergenggam di tanganmu
"Pedang Siluman Darah."
"Baiklah, Ayah. Aku minta doa restu Ayah," kata Jaka akhirnya hingga
membuat Eka Bilawa tersenyum senang.
Maka dengan diantar ayahnya, Jaka pun dapat kembali ke dunia bebas dan dengan
segera, Jaka menuju ke
Perserikatan Pendekar Sakti.
7 Prahista yang mendendam pada
Perserikatan Pendekar Sakti segera mengumpulkan teman-teman dan anak buahnya
untuk menggempur perserikatan itu.
Di tempat yang telah ditentukan, semuanya tampak telah berkumpul di bawah
pimpinan Ki Prahista yang tampak berdiri dengan gagahnya di atas bukit.
"Teman-teman. Hari ini juga kita akan menyerbu pusat Perserikatan Pendekar


Pedang Siluman Darah 1 Rahasia Pedang Siluman Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sakti. Kita akan menunjukkan pada mereka bahwa kita bukan orang-orang
sembarangan. Apakah kalian telah siap?"
"Siap...!" berseru yang hadir semua berbareng membuat Ki Prahista tersenyum
senang, lalu katanya
kemudian: "Kalau memang kalian telah siap.
Ayo sekarang kita berangkat. Kita serbu perserikatan Pendekar!"
Bagaikan iring-iringan semut,
mereka berjalan menyusuri hutan menuju lereng gunung Slamet sebelah Selatan
di mana Perserikatan Pendekar Sakti bermarkas.
Bagaikan suara air bah, langkahlangkah mereka menapak liar. Menginjak rumput dan tumbuhan kecil yang
seketika itu mati.
* * * Tersentak kaget anggota
Perserikatan Pendekar Sakti kala melihat iring-iringan yang jumlahnya ratusan
itu. Maka dengan ketakutan semua anggota perserikatan Pendekar itupun segera
melaporkan hal itu pada ketuanya.
"Siapkan prajurit anggota! Kita hadang mereka!"
berseru ketua perserikatan yang segera dijalankan oleh anggotanya. Tak lama antaranya
terkumpullah pasukan tandingan yang akan menghadang pasukan di bawah pimpinan Ki
Prahista. "Prahista keparat! Jangan kira akan semudah itu kau bermaksud
menggulingkan dan mengubah perserikatan. Ayo, kita hadang mereka dengan semangat di hati kita masing-masing
demi kebenaran dan keadilan."
Mendengar ucapan ketua
perserikatan, seketika semangat
anggota yang jumlahnya hanya kira-kira lima puluh orang itu bangkit. Maka dengan
segala keberanian, mereka pun
segera menghadang
pasukan yang dipimpin Ki Prahista.
Tanpa dapat dicegah, kedua
pasukan yang bertemu itupun seketika terlibat dalam pertempuran. Masing-masing
berusaha menghalau dan menjatuhkan lawan.
Korban demi korban berjatuhan di pihak Ki Prahista. Namun demikian, sepertinya
tak ada rasa takut di hati mereka. Dengan modal nekad anak buah Ki Prahista yang
banyak itu terus merangsek menyerang pasukan
persekutuan. "Danu Reksa, keluar kau!
Hadapilah aku!" berseru Ki Prahista sembari tangan dan kakinya berkelebat
menghantam. Setiap hantaman tangan dan kakinya menjadikan korban bagi pihak
persekutuan. Kini semangat pihak persekutuan
agak menyusut, demi melihat Ki
Prahista telah turun ke arena. Hal itu diketahui oleh anak buah Ki Prahista yang
dengan segera merangsek menyerang.
Danu Reksa yang melihat anak
buahnya terdesak segera berkelebat menghadang sepak terjang Ki Prahista.
Maka kedua orang tokoh persilatan itu kini berhadapan segelar sepapan.
"Rupanya memang kaulah orangnya, Ki Prahista! Hem, tak kusangka! Kalau dulu aku
mengerti maksud burukmu maka
sudah dari dulu kau telah
kulenyapkan."
Tertawa tergelak-gelak Ki
Prahista mendengar ucapan Danu Reksa.
Maka dengan bertolak pinggang sembari tertawa bergelak-gelak, Ki Prahista pun
berkata sombong:
"Danu Reksa, lebih baik kau mengalah dan menyerahkan tampuk
kepemimpinan padaku. Percuma saja kau hendak melawanku."
"Ciih! Sombong! Ayo kita
buktikan. Hiaat...!" Danu Reksa yang sudah dibakar amarah dengan segera
berkelebat menyerang Ki Prahista yang segera mengelaknya.
Tak ayal lagi, kedua tokoh
persilatan itu bertempur satu lawan satu. Keduanya sama-sama gesit,
keduanya sama-sama sakti dan keduanya sama-sama mendendam.
Di pihak lain, tampak pasukan
perserikatan yang terdiri dari orang-orang persilatan dapat dengan mudah
mendesak pasukan Prahista. Korban kembali berjatuhan di pihak Prahista yang
jumlahnya makin lama makin
menyusut. Waiaupun demikian, semangat
mereka tampak tak runtuh walau jumlah mereka semakin berkurang. Modal
kenekadan tak ada artinya bila tanpa dilandasi oteh pemikiran dan
kepandaian silat.
Tengah kedua tokoh persilatan itu bertarung, seorang pemuda tampak berdiri di
atas tembok menyaksikan pertarungan itu. Ia tak berusaha untuk membantu malah
tampak tertawa-tawa melihatnya.
Ketika melihat pemimpin
perserikatan terdesak, dengan segera pemuda yang sedari tadi menonton berkelebat
menghantam tubuh Ki
Prahista yang terguling-guling terkena tendangannya.
Belum juga Ki Prahista sadar, si pemuda telah berdiri dan memandang ke arahnya
sembari menyapa hormat, "Apa kabar Ki Prahista" Kita dipertemukan lagi, bukan?"
Tersentak Ki Prahista dan ketua
perserikatan yang melihat kedatangan pemuda itu. Ki Prahista yang telah
mengetahui siapa pemuda di depannya bukan alang kepalang kagetnya. Betapa tidak!
Pemuda yang berdiri di
hadapannya telah terjatuh ke dalam kawah Chandra Bilawa, mana mungkin dia kini
hidup lagi"
"Kau kaget melihat kedatanganku, Ki Prahista?" tanya pemuda yang tak lain Jaka
adanya, demi melihat Ki Prahista hanya terdiam bengong
memandangnya. "Siapa kau, Anak Muda?"
"Ki Prahista, sebulan yang lalu kita pernah bertemu di kawah Chandra
Bilawa. Dan dengan saat itu kau telah mengalahkan aku, bukan" Lupakah kau pada
kejadian itu?" berkata Jaka yang mengejutkan Prahista hingga tersurut mundur
dengan tergagap bicara.
"Kau... kau! Tentunya kau iblis!
Tak mungkin kau hidup lagi setelah terjatuh ke dalam kawah Chandra
Bilawa." "Ki Prahista, iblis atau manusia, aku rasa sama saja. Yang penting aku akan
mengakhiri langkah iblismu yang dapat menghancurkan dunia. Nah,
bersiaplah! Hiat..."
Prahista yang masih menganggap
enteng pemuda yang pernah
dikalahkannya segera memapaki serangan Jaka. Tak ayal lagi, keduanyapun segera
terlibat perkelahian.
"Ki Prahista! Demi nyawa ayah dan emakku juga demi nyawa keempat guruku yang kau
bunuh dengan keji kala aku di kawah Chandra Bilawa maka bersiaplah untuk mati!"
Amarah Jaka tak dapat dibendung
lagi hingga dengan membabi buta Jaka terus menyerang Ki Prahista. Ajian-ajian
yang dimiliki diumbar untuk menyerang Ki Prahista. Hingga orang yang terkena
ajian itu seketika
meregang nyawa.
Marah dan gusar Ki Prahista demi menyaksikan anak buahnya menjadi korban
samberan ajian yang dilancarkan
Jaka. Maka dengan amarah yang meluap-luap, Ki Prahista pun seketika berubah ujud
menjadi buaya Tersentak ketua perserikatan
Pendekar Sakti melihat apa yang
terjadi di hadapan matanya. Karena saking terkejutnya hingga tanpa sadar ia pun
memekik kaget. "Ilmu Iblis! Tak kusangka kalau Prahista telah
bersekutu dengan Siluman Buaya Putih "
Jika yang telah tahu kehebatan
Siluman Buaya Putih di hadapannya, dengan segera menyerangnya. Ajian Bledek Sewu
sampai ajian Kalimun Sada dilancarkannya. Namun seperti yang sudah-sudah, segala
ajian itu tak berarti apa-apa bagi Ki Prahista yang telah berubah menjadi buaya
putih. "Edan! Kalau begini caranya aku bisa mati kehabisan tenaga."
Ketika keputusasaan telah melanda hatinya, seketika Jaka kembali
teringat pada ayahnya
"Akan aku coba dengan apa yang dikatakan ayah. Semoga dengan pedang Siluman
Darah aku dapat
mengalahkannya. "Dening Dewi Ratu Siluman Darah, datanglah!" Seketika di tangan
Jaka telah tergenggam sebuah pedang yang bersinar memancarkan sinar merah
kekuning-kuningan.
Ki Prahista yang telah berubah
menjadi Buaya Putih, nampak tersentak kaget demi melihat pedang di tangan
Jaka yang memancarkan sinar merah kekuningan. Dari ujung pedang itu, menetes
darah merah membasahi batang pedang.
Ketika Ki Prahista tengah
tersentak, dengan segera Jaka
berkelebat cepat. Ditebaskan pedang di tangannya ke tubuh Ki Prahista yang
seketika itu menjerit. Tubuh Ki
Prahista seketika terbelah menjadi dua, ambruk ke tanah.
* * * Bersamaan dengan matinya Ki
Prahista, di kawah Chandra Bilawa terjadi suatu keanehan. Kawah Chandra Bilawa
seketika meledak, menyemburkan lahar panas ke angkasa.
Bebatuan yang ada di sekitar
kawah seketika runtuh dan menutupi kawah Chandra Bilawa hingga rata dengan
tanah. Seorang pemuda berlari-lari
dengan cepatnya menuju ke kawah
Chandra Bilawa yang meledak-ledak bagaikan mengamuk. Pemuda itu yang tak lain
Jaka Ndableg. Menangis sembari memandangi kawah Chandra Bilawa yang telah rata
dengan tanah. "Ayah...! Kenapa ayah harus begini" Betapa besar pengorbananmu, ayah," Jaka
menangis di depan bekas kawah Chandra Bilawa. Kembali ia
teringat apa yang telah diucapkan oleh ayahnya sebulan yang lalu.
Dari belakang para tokoh anggota Perserikatan Pendekar Sakti datang menghampiri.
Mereka segera turut bersimpuh, memanjatkan do'a untuk penghuni kawah Chandra
Bilawa Pedang Siluman Darah lenyap dari genggamannya. Pedang itu akan datang sendiri
bila Jaka menyebut "Dening Ratu Siluman Darah, Datanglah!" Maka tanpa dicari,
Pedang Siluman Darah pun akan datang sendiri dan telah berada di genggamannya.
Matahari telah memerah, berarti
hari telah senja. Dengan langkah gontai, Jaka meninggalkan kawah
Chandra Bilawa untuk meneruskan
pengembaraannya. Sepeninggal Jaka, orang-orang perserikatan Pendekar Sakti pun
satu per satu pergi. Pergi meninggalkan semua yang terjadi di kawah Chandra
Bilawa. SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Seruling Sakti 4 Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Rahasia Dewi Purbosari 1

Cari Blog Ini