Ceritasilat Novel Online

Rahasia Suling Kematian 1

Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian Bagian 1


RAHASIA SULING KEMATIAN
Oleh Sandro S. Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam episode: Rahasia Suling Kematian
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara tiupan seruling, iramanya begitu mendayudayu sepertinya mengajak para pendengarnya untuk mengupas kepedihan. Entah karena apa, setiap seruling itu ditiup maka akan terjadi sebuah petaka bagi yang mendengarnya.
Petaka itu adalah, kematian bagi para pendengarnya. Karena
hal tersebut, sehingga orang-orang persilatan menamakannya Seruling Kematian.
Sejauh ini, semua tokoh-tokoh persilatan
belum ada yang mengetahui siapa adanya peniup
seruling tersebut. Juga para tokoh persilatan diajukan pada pertanyaan gerangan apa yang menyebabkan orang tersebut meniup seruling?"
Dari kejauhan nampak serombongan orang
berjalan menapaki kaki mereka pada jalan setapak di sisi gunung. Di sebelah mereka berjalan,
nampak jurang yang menganga. Sebelah lagi, bukit-bukit batu cadas menjulang dengan angkuhnya. Bila dilihat dari pakaian yang mereka kenakan, jelas mereka adalah orang-orang keraton.
Paling depan, berjalan seorang lelaki tinggi besar dengan cambang bawuk yang
menutupi mukanya. Di sisinya berjalan dua orang lelaki lain.
Seperti orang yang di tengah, dua lelaki yang berjalan di kanan kiri orang
tersebut juga mempunyai wajah yang beringas dengan kumis melintang lebat. Berjalan di belakang ketiga orang tersebut, empat orang bertelanjang dada dengan tubuh kekar. Di atas pundak mereka, tertandu sebuah bangunan yang berbentuk rumah. Di belakangnya lagi, seratus orang lelaki lain yang berpakaian prajurit. Di tangan keseratus orang itu
tergenggam tombak dan pedang serta senjata
lainnya. Mata mereka garang, menyorot tajam ke
muka. Kala mereka tengah berjalan, tiba-tiba
orang yang berjalan paling depan yang di tengah
berseru: "Para prajurit! Kalian bersiaplah, sebab sebentar lagi kita akan
memasuki perbatasan Kurawan!"
"Ada gerangan apa memangnya di perbatasan Kurawan, Kakang?"
"Adik Wong... Apakah adik Wong belum
mengerti?" balik bertanya lelaki yang berjalan di tengah.
"Sungguh aku belum tahu, Kakang Ranesa," jawab Wong dengan mata menyimpit, makin sempit. Ranesa sesaat terdiam
memandangkan matanya ke depan lurus-lurus, lalu dengan setengah
berbisik Ranesa berkata. "Di daerah perbatasan Kurawan, banyak sekali para begal
yang ganas dan liar."
"Hem, kalau begitu kita mesti hati-hati,
Kakang." "Bukan hanya hati-hati, Adik Wong. Kita
juga harus siap tempur. Biasanya mereka tak
akan memperdulikan siapa adanya kita. Bagi mereka, uang dan harta kita saja yang penting. Sedangkan nyawa kita, dianggapnya tak berharga
sama sekali."
"Hem, apakah mereka umumnya mempunyai ilmu yang tinggi, Kakang?"
"Biasanya mereka memang berilmu tinggi,"
jawab Ranesa. "Kabarnya, mereka adalah orang-orang bekas prajurit Mataram. Jadi
mereka mahir dalam segala siasat perang."
"Hem, sungguh bukan begal sembarangan
kalau begitu."
"Itulah, mengapa aku beritahukan pada
para prajurit agar bersiap-siap."
Perlahan-lahan mereka melangkah, seakan
kaki-kaki mereka ada yang membebani. Wajah
para prajurit seketika tegang, bagaikan melihat
hantu saja. Mata mereka melotot tak berkedip,
memandang ke muka dengan tangan siap senjata
"Wahai para prajurit...! Apakah kalian telah siaga"!"
Kembali terdengar seruan Ranesa memberi
perintah. "Siaga, Panglima...." jawab seluruh prajurit.
"Ada apa, Ranesa...?" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita bertanya. Suara
itu berasal dari dalam tandu yang berada di atas pundak keempat orang yang bertelanjang dada.
"Ampun, Tuan Putri. Hamba hanya memperingatkan pada para prajurit agar bersiap-siap,"
jawab Ranesa sembari menyatukan tangannya ke
dada, dan membongkokkan tubuhnya ke muka.
"Kenapa mesti begitu, Ranesa?"
"Entahlah, Tuan Putri."
"Ya sudahlah, kita berdo'a saja agar semuanya selamat. Usahakan jangan mencari-cari perselisihan dahulu. Kalau kita yang diserang, apa
boleh buat. Sudahlah, kita berangkat!"
"Prajurit... Serang lagi...!"
Mendengar seruan Ranesa, keseratus prajurit itu segera kembali melangkah setelah sesaat berhenti. Langkah demi langkah
mereka tapaki, tak ada gangguan setapak pun. Mereka agak tenang ketika telah memasuki Alas Mentaok, namun mereka terus siap siaga untuk menghadapi
hal-hal yang tidak mereka inginkan. Dan mana
kala mereka menjejaki kaki-kaki mereka di tengah hutan, tiba-tiba terdengar oleh mereka suara
raungan keras dan rintihan menyayat membuat
bulu kuduk keseratus prajurit itu merinding berdiri. Ranesa dan dua orang wakilnya nampak siaga, menghunus pedang yang berada di pundaknya. "Siaplah kalian, nampaknya mereka mulai datang!" seru Ranesa kembali
memperingatkan pada semua prajurit. "Adik Wong, rupanya kita akan menghadapi para rampok itu.
Apakah kau telah siap?"
"Aku telah sedia, walaupun nyawaku untuk taruhannya," jawab Wong dengan penuh kewaspadaan. "Percuma aku menjadi murid Kok
Siang Bun kalau harus takut menghadapi krocokroco bekas Mataram."
"Aku mengerti," gumam Ranesa datar. "Bagaimana denganmu, Adik San" Apakah kau
juga telah siap?"
"Hua, ha, ha... dengan pedang pusaka Naga Krida, pantang bagiku untuk takut pada siapapun. Apalagi pada kroco-kroco tentara Mataram," jawab San Ing dengan angkuhnya, menandakan bahwa pendekar dari Cina itu seakan menyepelekan siapa adanya bekas prajurit-prajurit
Mataram. "Aku percaya pada kalian. Aku yakin, baginda raja mengambil diri kalian sebagai pengawal khusus ada sebabnya. Bukan
begitu adik Wong,
dan adik San?"
Wong dan San Ing tersenyum mengangguk.
Memang kedua pengawal Cina itu diutus
oleh raja mereka Nancu untuk mengiringi keberangkatan putrinya, Nancin Cu yang hendak menemui seorang raja di wilayah Mataram. Raja
muda yang bergelar Prabu Amangkurat, adalah
orang yang menjadi sahabat Nancin Cu. Persahabatan mereka telah terjalin sejak Amangkurat
bertandang ke negeri Cina tiga tahun yang lalu.
Sejak pertemuan itu Nancin Cu seakan tak dapat
melupakan wajah Amangkurat yang tampan. Bila
tidur ia selalu gelisah, makan pun tak enak rasanya. Hanya bayangan wajah Amangkurat saja
yang selalu melekat di kelopak matanya. Rasa
rindu yang mendayu-dayu itulah, yang menjadikan Kaisar Nancu akhirnya mengirim utusan pada kerajaan Mataram khususnya pada Amangkurat sebagai rajanya. Dulu memang Amangkurat
belum menduduki kursi singgasana raja. Dulu ia
adalah orang buronan mana kala kerajaan Mataram dipimpin oleh Raja Rakai Pikatan. Mana kala
Rakai Pikatan telah wafat, maka Amangkuratlah
yang segera menggeser kedudukan itu. Ia menobatkan dirinya menjadi raja Mataram.
Ternyata utusan yang dikirim oleh Kaisar
Nancu mendapat tanggapan yang positif dari
Amangkurat yang waktu itu memang mengharapkan bantuan dari kerajaan Cina tersebut untuk menuju kedudukannya yang sekarang. Karena mendengar laporan utusannya yang mengatakan bahwa Amangkurat menerima pinangannya,
Kaisar Nancu pun mengutus putrinya yang dikawal oleh seratus orang prajurit pilihan dan tiga orang pendekar menuju ke
pulau Jawa. Para prajurit pengawal putri raja Nancin
Cu, terus melangkah setapak demi setapak. Walau mereka nampak tenang, namun di hati mereka terbersit rasa was-was juga. Mereka tidak seperti dua orang pimpinannya yang sombong, sebab mereka telah mendengar persis siapa-siapa
adanya prajurit-prajurit Mataram yang terkenal
ganas dan beringas tanpa kenal takut untuk mati.
Sudah banyak contoh yang menguatkan. Telah
banyak prajurit-prajurit kerajaan Mongol yang binasa manakala hendak melakukan infansi ke Pulau Jawa. Mereka juga mengenal nama-nama
yang sering menjadi momok, seperti Walet Ireng,
Sumara Kerta, Kuda Maesan, Burit Geger, serta
tokoh wanita muda yang setiap tindakannya selalu diluar dugaan bergelar Dewi Bayang Seda. Mereka tergabung dalam Panca Leluhur Sakti, yang
merupakan gabungan tokoh-tokoh pemberontak
Mataram. Sebenarnya Amangkurat telah beberapa
kali memperingatkan pada rekan-rekannya yang
tergabung dalam Panca Leluhur Sakti untuk
menghentikan sepak terjang mereka, dan memintanya untuk terus membantu kedudukannya sebagai raja. Namun mereka seperti tak menggubrisnya, bahkan dengan berani-berani mereka
menentang. Hanya karena mereka me-lihat Eyang
Sindu Lelana, menjadikan mereka enggan untuk
memusuhi Amangkurat. Ditambah lagi karena
mereka telah terikat janji untuk tidak saling menjatuhkan.
* * * Tengah mereka melangkah, tiba-tiba dari
balik semak-semak dan atas pohon berloncatan
orang-orang bertopeng menghadang langkah mereka. Seketika mereka tersentak mundur, mata
mereka tajam mengawasi gerak gerik orang-orang
yang baru datang.
"Siapa kalian!" bentak Ranesa.
"Hem, kiranya keroco-keroco macam ini
yang sering membuat kelusuhan," dengus Wong
seraya menghunus pedangnya. "Apa keperluan
kalian menghadang kami, hah!"
"Hua, ha, ha... kaliankah yang hendak
menghadap Raja Amangkurat?" tanya seorang
berkedok yang berdiri paling muka di antara dua
puluh lima orang berkedok lainnya, mungkin dialah ketua mereka. "Serahkan apa yang kalian bawa pada kami, dan minggatlah
kalian dari sini.
Biar kami yang akan memberikannya pada baginda Amangkurat."
Terbelalak mata Ranesa, Wang, juga yang
lainnya mendengar permintaan ketua orang berkedok itu. Apalagi Nancin Cu yang berada di dalam tandu, hatinya seketika dag dig dug tak karuan. Nancin Cu nampak gelisah, takut kalaukalau para prajuritnya akan mengalami kekalahan. "Oh Dewa Nancing, apakah para prajuritku akan dapat mengatasi semua ini?"
tanya hati Nancin Cu bimbang. "Bagaimana kalau para prajuritku mengalami kekalahan"
Bagaimana dengan
nasibku..?"
Tengah Nancin Cu gelisah hatinya, terdengar suara Ranesa kembali membentak. "Apakah
kalian tak tahu aturan! Atau barang kali kalian
memang sengaja mencari gara-gara, hah!"
Dibentak oleh Ranesa begitu rupa tidak
menjadikan ketua orang-orang berkedok itu takut, bahkan setelah saling pandang dengan anak
buahnya ia gelak tawa sembari balas membentak. "Kalianlah yang tak tahu sopan santun.
Kalian telah datang jauh-jauh, namun kalian tak
menghiraukan kami yang menguasai daerah ini.


Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perlu kalian ketahui, siapa saja yang memasuki
daerahku harus meninggalkan apa saja yang dibawa termasuk nyawa. Tapi kalian aku beri keringanan, kalian hanya cukup meninggalkan apa
kalian bawa. Bukankah kami telah memberikan
kebebasan pada kalian untuk hidup?"
"Bedebah! Kalian sangat meremehkan kami!" bentak Ranesa marah, merasa dirinya diremehkan begitu rupa. Ranesa yang
telah kondang nama besarnya di negeri Cina, seakan tak dapat
lagi membendung amarahnya demi direndahkan
begitu rupa. "Dengar oleh kalian. Lebih baik kami meninggalkan nyawa daripada
kami harus meninggalkan apa yang kalian minta."
"Bedebah! Kalian orang-orang Cina berani
lancang di daerah kekuasaan kami. Hem, jangan
harap kalian akan mampu mempertahankan segalanya. Tadi kami memberi keringanan pada kalian, namun ternyata kalian seakan menolaknya.
Hem, jangan harap kalian akan kami ampun lagi."
"Sudahlah, Kakang. Percuma kita bersitegang dengan mereka, yang tak mempunyai pengetahuan. Mereka orang-orang dungu, yang biasa
hidup di hutan."
"Setan! Rupanya memang anjing-anjing Cina banyak bacot!" bentak ketua orang-orang berkedok marah, demi mendengar ucapan
Wang yang sangat merendahkannya. "Anak-anak, serbu dan habisi mereka...!"
Seketika tanpa membuang waktu lagi kedua puluh lima orang berkedok itu serentak berkelebat mengepung mereka. Senjata golok dan
tombak siap di tangan masing-masing. Begitu juga dengan para prajurit kerajaan Cina, serempak
mereka pun menyiapkan senjata masing-masing.
"Bagaimana" Apakah kalian masih bersitegang mempertahankan apa yang kalian bawa?"
"Hem, sudah aku katakan, lebih baik kami
meninggalkan nyawa daripada kami harus menuruti perintahmu!" bentak Ranesa marah.
"Bagus kalau itu yang kalian ingini, serang...!" Serentak kedua puluh lima orang berkedok
itu berkelebat menyerang para prajurit Cina. Serta merta Ranesa pun segera berseru: "Prajurit, serang...!"
Pertarungan antara dua kelompok itu pun
tak dapat dihindari. Kedua kelompok itu, bagaikan singa-singa kelaparan menyerang membabi buta. Walau jumlah prajurit kerajaan Cina lebih banyak ketimbang penyamun, namun karena
di hati mereka tertekan keragu-raguan menjadikan mereka bertempur dengan beban. Mereka seperti menghadapi senjata saja layaknya, sehingga
serangan-serangan mereka tak pernah memenuhi
sasarannya. Bahkan para begal itulah yang makin
mengganas. Merasa musuh ketakutan, para begal
makin meningkatkan kenekadannya.
Melihat hal itu, serta merta keempat orang
yang menandu putri Nancin Cu segera membawa
sang putri pergi menyelamatkan diri. Mereka merasa khawatir kalau-kalau sang putri akan mengalami musibah. Keempat prajurit penandu itu,
merupakan prajurit-prajurit yang setia pada Putri Nancin Cu yang sengaja dibawa
oleh Putri Nancin
Cu untuk menemaninya.
Melihat keempat prajurit pengusung itu
melarikan diri dengan asungannya, serta merta
ketua orang-orang berkedok berkelebat mengejar.
Namun belum juga ketua orang berkedok itu jauh
Ranesa telah pula mengejarnya. Dengan menggunakan Hin-Kang atau ilmu meringankan tubuhnya Ranesa secepat kilat berlari dan tahutahu telah menghadang pimpinan orang-orang
berkedok. "Bedebah! Rupanya kau ingin mati!" bentak ketua orang berkedok jengkel merasa
niatnya untuk mengejar terhalangi.
Ranesa tersenyum sunggingkan bibir demi
mendengar bentakan pimpinan orang-orang berkedok. Setelah sesaat mengurai senyum, Ranesa
dengan nada datar berkata: "Aku tak mencari ma-ti, karena aku ingin hidup.
Kaulah yang mencari
mati, sebab kaulah yang telah membuat segalanya. Apa perlumu menghadang langkah kami"
Apakah kau tak takut bila hal perbuatanmu diketahui oleh baginda Amangkurat?"
Lelaki pimpinan orang-orang berkedok itu
tersenyum sinis, manakala mendengar Ranesa
menyebut nama Amangkurat. Sepertinya nama
Amangkurat bagi lelaki berkedok itu tak ada artinya, lalu dengan suara lantang lelaki berkedok itu kembali berkata setengah
membentak. "Kalau kau memang ingin memanggil
Amangkurat. Panggillah! Aku tak akan mundur
menghadapinya. Hua, ha, ha.... Amangkurat tak
lebihnya orang-orang sepertiku. Kalau Amangkurat melihat hal ini, pasti dia akan membantuku."
"Sombong!"
"Hua, ha, ha... Kau tak percaya?" Lelaki berkedok itu kembali sunggingkan senyum
mengejek. "Kalau kau mendengar siapa adanya kami, niscaya kau dan para
prajuritmu akan lari ter-kencing-kencing."
"Hem, mungkin hanya orang bodoh saja
yang mau digertak oleh manusia macammu. Tapi
aku, tidak," jawab Ranesa sengit. "Aku tak akan takut tentang siapa adanya
kalian, sebab aku merasa benar. Kebenaran selalu dalam lindungan
Yang Jagad Wenang."
"Bedebah! Jangan menyesal nantinya,'
menggertak pimpinan orang berkedok marah.
"Jangan lengah, hiat...!"
Melihat musuhnya berkelebat menyerang,
dengan segera Ranesa pun tak mau tinggal diam.
Seketika Ranesa menggerang bagaikan seekor harimau, lalu dengan melompat bagaikan terbang
Ranesa berkelebat memapakinya. Tanpa ayal lagi
pertarungan dua pimpinan itu pun seketika berjalan. Keduanya nampak penuh antusias untuk saling menjatuhkan, sehingga kedua pimpinan itu
tanpa segan-segan segera mengeluarkan jurusjurus yang sangat diandalkan.
Jurus demi jurus terus terlalui, sepertinya
kedua pimpinan itu tak mengenal lelah. Dari jurus yang ringan, berubah menjadi jurus-jurus
yang berat, yang mengarah pada mati hidupnya
mereka. Namun begitu, keduanya nampak samasama tangguh dan sama-sama gesit bagaikan dua
kekuatan yang tengah bertarung. Memang keduanya merupakan dua kekuatan. Yang satu menggunakan kekuatan Naga Api, sementara yang
lainnya menggunakan Garuda Sakti. Maka mereka pun kini benar-benar telah meniru gerakangerakan kedua hewan perkasa. Sang Naga Api
yang penjelmaan dari Ranesa, nampak mengganas dengan semburan-semburan api dari mulutnya. Sementara sang Garuda yang merupakan
penjelmaan dari pimpinan orang-orang berkedok
yang tak lain Begal Sulasa nampak dengan gesit
mengelakkan serangan dan dengan gesit mengelakkan serangan pula membalas menyerang
dengan kepakan sayapnya yang menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat.
Di pihak lain, nampak para prajurit kerajaan Cina yang kini dipimpin oleh dua tokoh utama yaitu San Ing dan Wang masih terus berusaha
membendung serangan-serangan anggota begal
berkedok yang nampaknya terus mengganas. Sepertinya para begal itu tak kenal takut, walau
menghadapi dua tokoh yang sudah terkenal di
daratan Cina. Bahkan mereka nampaknya makin
lama makin mengganas. Melihat hal itu, maka para prajurit kerajaan Cinalah yang nampak keteter.
Mereka seakan dibayang-bayangi oleh ketakutan,
sehingga cara berperang mereka pun ngawur. Hal
itu menjadikan para begal makin bernafsu saja
untuk membunuh. Dan memang benar, mereka
kini dengan garang meng-hunjamkan senjata mereka. Korban berjatuhan dari pihak kerajaan Cina, menjadikan para prajurit lainnya makin lama
makin bertambah susut semangatnya. Tanpa ampun lagi, mereka pun seketika menjadi bulanbulanan para begal. Maka dalam sekejap saja,
mayat bergelimpangan dari pihak kerajaan Cina.
Sebaliknya dari para begal, makin menjadi-jadi
keganasannya. Mereka bagaikan burung-burung
nazar yang tak pernah kenyang.
Di pihak lainnya pertarungan antara dua
orang pimpinan itu masih berjalan. Keduanya kini
benar-benar menguras segala ilmu yang mereka
miliki. Namun demikian, pertarungan mereka sepertinya tak akan berhenti. Kelebatan-kelebatan
tubuh keduanya begitu cepat, menjadikan tubuh
mereka bagaikan menghilang tertutup oleh warna-warna pakaian yang mereka kenakan. Namun
seperti pepatah, siapa yang lengah dialah yang
akan binasa. Rupanya pepatah itu pula yang telah menentukan pertarungan mereka. Manaka-la
Ranesa lengah, dengan segera pimpinan begal
berkedok itu hantamkan ajiannya. Tak ayal lagi,
Ranesa pun seketika melengkingkan jeritan manakala ajian itu menghantam telak tubuhnya.
Tubuh Ranesa seketika membiru, beku bagaikan
tertimpa salju yang berjuta-juta kati. Tubuh itu
mati dengan menyedihkan, beku bagaikan di es.
Ya, Ranesa memang mati beku, terhantam ajian
Topan Salju yang dilontarkan oleh pimpinan begal
berkedok. Setelah melihat musuhnya mati, dengan
segera pimpinan begal berkedok itu pun berkelebat pergi setelah terlebih dahulu menendang tubuh Ranesa hingga melayang bagaikan terbang
dan ambruk kembali ke bawah jurang. Dengan
meninggalkan gelak tawa, pimpinan begal itu
kembali melesat untuk mengejar keempat orang
penandu yang membawa apa yang mereka pertahankan. 2 Keempat prajurit yang menandu putri Nancin Cu nampak masih berlari dengan menandu.
Wajah mereka begitu tegang, sepertinya ada rasa
ketakutan yang amat sangat. Ya, mereka memang
ketakutan setengah mati. Bukannya mereka takut
mati, namun lebih dari itu yang mereka takuti.
Ketakutan mereka adalah keganasan para begalbegal, apabila mereka tahu siapa adanya putri
Nancin Cu. "Kenapa kalian tidak menuju ke Kerajaan
Mataram saja?" tanya Nancin Cu pada keempat
pengusungnya. "Ke manakah tujuan arah yang harus kami
tempuh, Tuan Putri?"
"Teruslah ke Selatan di sanalah kerajaan
Mataram." "Ah, tidak mungkin, Tuan Putri," keluh mereka serentak, menjadikan Nancin Cu
seketika membuka tirai penutup tandunya. Mata Nancin
Cu yang lentik, ditambah dengan wajahnya yang
cantik jelita menjadikan anggun. Mata lentik itu
memandang lepas ke muka, yang terpapar hamparan rumput-rumput ilalang menghijau. Melihat
hal itu, seketika hatinya bergumam.
"Hem, memang patut keempat pengawalku
takut. Mereka rupanya sungkan menerobos ilalang yang tinggi. Mereka mungkin menduga-duga
kalau-kalau di ilalang itu juga akan ada bahaya."
"Tak adakah jalan lain...?" tanya Putri Nancin Cu seperti pada diri sendiri,
sementara ma- tanya masih terus memandang ke muka.
"Tak ada, Tuan Putri," jawab penandu di muka sebelah kanan.
"Kami rasa, memang tak ada," menambah
yang sebelah kiri. "Jalan lain satu-satunya, sekarang telah dijadikan
pertempuran antara para
prajurit dengan para gerombolan begal itu."
"Jadi tak ada jalan lain?"
"Benar, Tuan Putri."
"Kalau begitu, tak apalah menempuh jalan
lewat ilalang itu."
"Ah...." kembali keempat orang itu mendesah. "Kenapa" Apakah kalian takut...?"
"Bukannya kami takut mati, Tuan Putri,"
jawab orang yang di depan sebelah kiri. "Bagi kami, keselamatan Tuan Putri lebih utama daripada
nyawa kami yang tiada guna."
Tercenung masgul putri Nancin Cu mendengarnya. Hatinya bergetar, air matanya seketika menetes deras bagaikan membuang kepedihan
yang tengah dideritanya. Memang benar apa yang
dikatakan keempat penandunya yang setia. Mereka memang sangat mengkuatirkan dirinya, daripada memikirkan diri mereka. Hal itulah yang
menjadikan Putri Nancin Cu merasa sedih. Kini ia
terlunta-lunta di pulau Jawa, tanpa mengerti apa
yang bakal terjadi. Semua salahnya sendiri. Ya,
semua salahnya sendiri, mengapa ingin menemui
Amangkurat yang harus menempuh berbagai tantangan" Bila ingat itu semua, seketika hati Nanci Cu jadi kesal, marah pada


Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Amangkurat. Bagaimana mungkin tidak marah, mereka datang jauhjauh tapi nyatanya dari pihak Amangkurat tak
ada seorang pun yang menjemput mereka. Sepertinya segala kejadian itu memang disengaja.
"Ah, Amangkurat... Kenapa ia tak menyambut kedatanganku?" keluh hati Nancin Cu.
"Apakah memang sengaja Amangkurat hendak
mencelakai diriku?"
Tengah putri Nancin Cu melamun, tiba-tiba
penandu yang berada di belakang berteriak.
"Awas! Orang berkedok itu mengejar kita.
Ayo lari...!"
Dengan segera mereka pun berlari kembali.
Mereka tak menghiraukan lagi ilalang yang terpapar meninggi di depannya. Dengan segala kenekadan mereka pun menerobos rumput ilalang.
Namun seketika mereka tersentak kaget, manakala dengan tiba-tiba seseorang berkelebat menerobos masuk ke tandu. Belum juga keempat penandu itu hilang dari rasa kagetnya, orang tersebut telah kembali berkelebat keluar dengan membopong tubuh Putri Nancin Cu yang terkulai. Rupanya Nancin Cu telah tertotok. Keempat orang
penandu itu segera bermaksud mengejar, ketika
tiba-tiba orang tersebut mengibaskan tangannya.
Dari kibasan tangan berhamburan ratusan jarum-jarum mendesing-desing mengarah ke arah
mereka. "Awas Jarum...!" pekik salah seorang dari keempatnya.
Seketika mereka berhamburan, jumpalitan
berusaha mengelakkan serangan jarum-jarum beracun itu. Namun tak urung salah seorang dari
mereka terkena. Orang itu menjerit sesaat, berguling-guling merambah ilalang dan akhirnya terkulai. Ketiga temannya seketika tersentak, manakala melihat apa yang dialami oleh rekannya. Tubuh temannya membiru, lalu dari tusukan jarumjarum itu makin lama makin membesar. Dari sebesar jagung, membentuk sebesar kepalan tangan. Setelah benjolan-benjolan itu besar sebesar kepalan tangan, berjolan itu
pun akhirnya pecah.
Dan kembali ketiga orang itu terbelalak kaget, ketika dilihat apa yang keluar
dari pecahan benjolan tersebut. Ketiganya seketika melompat bagaikan
terpental, manakala ketiganya melihat binatangbinatang yang menjijikkan keluar dari benjolan-benjolan yang pecah. Binatangbinatang tersebut,
tak lain dari kelabang yang berwarna ungu. Itulah racun Kelabang Ungu.
"Awas...! Kalian jangan mendekatinya!" terdengar seruan seseorang, manakala
ketiganya tengah dilanda kekagetan. "Kalau kalian mendekat, niscaya tubuh kalian pun akan
terkena. Ke- labang itu sangat ganas bila mencium bau manusia!" Ketika ketiga orang Cina itu menengok, seketika mereka tersentak kaget.
Ternyata orang yang memperingatkan mereka, tak lain daripada
pimpinan begal yang tadi mengejarnya. Wajah ketiga orang Cina itu seketika pucat ketakutan. Mereka kini hanya pasrah untuk apa yang akan
pimpinan begal itu lakukan.
"Heh, rupanya kalian," terbelalak pimpinan begal itu, manakala makin mendekati
ketiganya. "Di mana barang yang kau bawa itu?"
"Kami membawa putri Kerajaan kami yang
ingin menemui Raja Amangkurat."
"Di mana sekarang?"
Ketiga orang Cina itu seketika terdiam ditanya begitu. Mata mereka memandang pada
pimpinan begal dengan pandangan mata tak percaya, lalu salah seorang dari ketiganya kembali
berkata. "Apakah pencuri putri Nan bukan anggotamu?" "Hei, kau ngomong apa?" tanya pimpinan
begal itu kaget.
"Putri Nan telah diculik oleh seseorang,"
jawab orang Cina itu sembari menengok ke belakang. Namun ternyata orang yang tadi melemparkan jarum-jarum berbisa telah hilang dari pandangannya. "Heh, cepat benar orang itu menghilang." "Siapa yang kau maksud?"
tanya pimpinan begal itu kaget.
"Orang yang telah membunuh temanku ini
dengan apa yang kau sebut racun Kelabang Ungu," jawab yang ditanya, menjadikan pimpinan begal seketika kerutkan kening.
Setelah memandang pada ketiga orang Cina itu, pimpinan begal
segera berkelebat pergi meninggalkan ketiganya
yang terbengong-bengong tak mengerti.
Pertarungan antara prajurit-prajurit kerajaan Cina yang dipimpin oleh Wang dan San Ing
masih terus berlanjut, walau korban telah banyak
berjatuhan. San Ing dengan pedang Naganya terus mengamuk. Setiap kelebatan pedang di tangan San Ing selalu membawa korban bagi pihak
musuh. Kini pihak begal yang tadinya berjumlah
dua puluh lima tinggal lima orang. Sementara dari pihak prajurit kerajaan tinggal empat orang ditambah dua pimpinannya.
"Menyerahlah kalian.!" bentak Wang. Namun kelima orang begal itu sepertinya tak mendengar. Bahkan kelimanya nampak makin nekad
saja menyerang. Hal itu menjadikan Wang dan
San Ing makin marah saja. Pedang di tangan kedua pendekar Cina itu terus berkelebat men-cari
nyawa. Tak ayal lagi, dalam sekejap saja ke-lima
orang musuh-musuhnya habis terbabat oleh pedang mereka. Namun perjuangan mereka tak luput dari para prajurit-prajurit yang kini tiada sisa seorang pun. Seluruh
prajurit binasa.
Tertegun Wang dan San Ing melihat keseratus prajurit-prajurit mereka mati. Tak terasa
dari kelopak mata mereka meleleh air mata. Mereka menangis, menangisi para prajurit yang gugur demi membela kerajaan. Setelah sesaat hening membisu, kedua pendekar negeri Cina itu pun
segera berlalu meninggalkan para prajuritnya
yang telah gugur.
"Apakah kita akan kembali ke Cina?" tanya San Ing, manakala keduanya telah
berlalu jauh meninggalkan medan pertempuran sekaligus meninggalkan korban yang berjatuhan.
"Tidak! Kita harus mencari tuan Putri Nancin Cu dulu."
"Ke mana... ?"
"Bukankah kita punya kaki?" balik bertanya Wang. San Ing terdiam, merasakan ucapan Wang
memang ada benarnya. Bukankah kita punya kaki" Ya, lebih baik berjalan-jalan mencari Tuan Putrinya dari pada pulang dengan
tangan hampa. Mereka malu pada Kaisar Nan Cu, yang telah
mempercayai mereka untuk mengawal putrinya.
Mau ditaruh di mana muka mereka" Bagaimana
harus mempertanggungjawabkan pada rajanya"
"Baiklah, kita mencari tuan Putri," jawab San Ing menyetujui apa yang dikatakan
Wang. "Oh ya, di manakah Koko Ranesa?"
"Entahlah. Maka itu, marilah kita cari semuanya." Tanpa banyak berkata lagi, dua pendekar
negeri Cina itu pun segera melangkahkan kaki
mereka pergi. Tak lama kemudian setelah keduanya berjalan, tiba-tiba mata mereka melihat sosok tubuh terkapar. Segera kedua
pendekar Cina itu
berlari menghampiri. Mata keduanya seketika
membeliak, mulut mereka seketika berseru kaget
menyebut nama orang yang tergeletak. "Koko,
Ran...!" Kedua pendekar itu seketika menangis kembali, keduanya segera
mengangkat tubuh Ranesa yang telah mati. Air mata kedua pendekar
itu kembali meleleh, perih dan pedih terasa menyayat di hati keduanya.
"Koko Ran, mengapa kau tinggalkan kami?"
isak San Ing. "Siapakah yang telah berbuat semuanya
ini, Koko?" Wang pun ikut bertanya pada mayat Ranesa, yang hanya diam tanpa
dapat berkata-kata. "Jawab, Koko, Koko. Biar kami yang akan menuntut balas..."
Namun seperti semula, Ranesa yang telah
mati tak dapat menjawab. Tubuh itu telah kaku,
dingin bagaikan beku. Kedua pendekar negeri Cina itu terus menangis, sambil menggali Hang
yang akan dijadikan tempat terakhir bagi Ranesa.
Setelah dirasa cukup, kedua pendekar itu segera
menyemayamkan tubuh Ranesa. Keduanya kembali hening tanpa kata, menundukkan muka
memberikan penghormatan terakhir pada Ranesa.
"Kita cari orang yang telah membunuhnya,"
ajak Wang setelah sekian lama terdiam dalam
hening memberikan penghormatan terakhir. "Aku rasa, orang tersebut tak lain dari
pada pimpinan begal keparat itu."
"Memang benar! Ayo kita cari. Lebih baik
kita mati, daripada kita hidup terlunta-lunta di
daerah orang."
"Jangan putus asa, Saudara San. Kita tak
boleh berkata begitu, kita harus tegar menghadapi segala coba. Sebagai seorang pendekar, di mana saja tempatnya sama. Demi membela kebenaran dan keadilan, kita tak perlu memandang apa
saja, baik itu ras atau derajat."
San Ing kembali terdiam, kemudian kedua
pendekar Cina itu pun kembali berkelebat pergi
meninggalkan gundukan tanah merah baru di
mana Ranesa beristirahat untuk yang terakhir kalinya.... 3 Lelaki yang membopong tubuh putri Nancin Cu masih terus berlari dengan cepatnya, sepertinya tak ingin ada orang lain yang bakal merebut apa yang telah ia peroleh. Orang tersebut
bertampang kumal, dengan cambang lebat panjang mengurai dialah Datuk Raja Beracun. Datuk
Raja Beracun yang telah berlari sambil membopong tubuh Nancin Cu, nampak terus mempercepat larinya. Ia tak ingin ada orang yang mengejarnya untuk merebut Nancin Cu
dari tangannya.
Datuk Raja Beracun berharap impiannya untuk
menurunkan Raja-raja yang kelak berkuasa di
tanah Andalas akan menjadi kenyataan. Ia masih
teringat akan wangsit yang diturunkan untuk dirinya. Wangsit itu mengatakan, "Siapa yang dapat memperistri Putri Nancin Cu
maka dialah yang
kelak akan mempunyai keturunan raja-raja yang
nantinya menguasai tanah Andalas."
Tengah Datuk Raja Beracun lari, terdengar
teriakan seseorang yang mengundang perhatiannya. "Datuk Raja Beracun, tunggu...!"
Datuk Raja Beracun tak hiraukan seruan
itu, ia yang sudah menduga siapa adanya orang
yang berseru makin tak menghiraukan. Datuk
Raja Beracun yakin kalau orang-orang di pulau
Jawa pun telah mendengar adanya desas desus
siapa adanya putri Nancin Cu, orang yang kelak
dapat menurunkan raja-raja di Nusantara khususnya raja di pulau Andalas.
"Datuk Raja Beracun, tunggu...!" kembali orang tersebut berseru seraya
mempercepat larinya. Maka dalam sekejap saja, tubuh orang tersebut telah berkelebat cepat dan tiba-tiba telah
menghadang langkah sang Datuk. "Berhenti!"
Melihat orang itu menghadangnya, dengan
geram sang Datuk membentak: "Apa urusanmu,"
orang usil!"
Lelaki bercadar itu tersenyum mengejek,
dan berkata: "Datuk, rupanya kau pun menghen-daki gadis Cina itu. Hem, aku pun
jadi ingin me- rebutnya dari tanganmu."
"Bedebah! Jangan bermimpi."
"Kenapa tidak, Datuk..,!" tiba-tiba terdengar suara orang lain membentaknya,
menjadikan sang Datuk seketika tersentak kaget dan palingkan muka memandang ke asal suara tersebut.
"Rupanya kalian bersekongkol hendak merebut gadis ini. Hem, jangan kira kalian akan
mampu merebutnya, langkahi dulu mayatku."
"Begitu?" tanya orang yang baru datang
dengan sinis. Orang yang baru datang, ternyata
tak lain dari pada Begal Sulasa yang telah mengejar sang Datuk setelah mendengarkan keterangan
dari ketiga pengusung putri Nancin Cu. Seperti
Datuk Raja Beracun, kedua orang pengejarnya
pun telah mengerti siapa adanya putri Nancin Cu
yang menurut wangsit kelak akan menurunkan
raja-raja di pulau Andalas. Karena berpegangan
pada wangsit itulah, maka ketiga orang tersebut
segera memburunya. Kini putri tersebut berada di
tangan Datuk Raja Beracun, sehingga kedua
orang pengejar itu pun mau tak mau harus
menghadang Datuk Raja Beracun.
"Ya begitu, tak ada jalan lain," jawab sang
Datuk sinis. "Hem, kita bertiga," menggumam Begal Sulasa. "Tak apa. Yang penting adalah salah
seorang di antara kita harus dapat menjadi pemenangnya," orang bercadar menyarankan. "Bagaimana kalau kita langsung saling
serang?"

Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak mungkin. Pasti ada kecurangannya."
"Kau rupanya takut, Datuk?"
"Bedebah! Jangan kira aku takut menghadapi kalian berdua. Ayo kalian maju bareng mengeroyokku, Datu Raja Beracun tak akan mundur menghadapi kalian." Habis berkata begitu, serta merta sang Datuk kibaskan
tangannya. Dari
kibasan tangan, keluar ratusan jarum berwarna
ungu melesat ke arah kedua orang tersebut.
"Awas serangan!" pekik Begal Sulasa memperingatkan pada rekannya yang dengan
segera berkelebat mengibaskan lengan bajunya.
"Datuk Edan! Rupanya kau memang ingin
segera mampus!" bentak orang bercadar marah.
Napasnya mendengus bagaikan memendam kekesalan yang hendak ditumpahkan pada Datuk
Raja Beracun. "Terimalah pembalasan dariku.
Hiat...!" Segera orang bercadar itu hantamkan tangan kanannya ke arah Datuk Raja
Beracun. Sang Datuk terkesiap kaget, mana kala melihat
larikan sinar putih membersit dari telapak tangan orang bercadar.
"Ah, kaukah Rumajang?" Sang Datuk mengeluh seakan ada rasa takut terbersit pada mimik
mukanya. "Kenapa kau ikut campur dalam urusan ini, Rumajang!"
"Hua, ha, ha... Ternyata matamu belum begitu rabun, Datuk" Nah, bila kau telah tahu siapa aku, mestinya kau menyembah
dan dengan ikhlas
berikan gadis dalam boponganmu padaku."
"Enak saja kau ngomong! Aku yang capecape, mengapa kau yang baru datang tiba-tiba
menginginkan hasil jerih payahku?" ejek sang Datuk Beracun. "Walau pun namamu
sudah se- tinggi langit, namun aku Datuk Raja Beracun tak
akan gentar sedikit pun menghadapimu. Apalagi
menghadapi begal kere macam temanmu itu."
"Setan! Rupanya kau memang harus kuberi
hajaran!" bentak Begal Sulasa marah, ia merasa ucapan sang Datuk sangat
meremehkan dirinya.
Betapapun juga, Begal Sulasa merupakan anggota Panca Leluhur Sakti yang tak dapat dipan-dang
enteng. Maka mendengar ucapan sang Datuk, darah Begal Sulasa seketika mendidih. "Jangan
sombong, Datuk! Kalau kau memang jantan, maka hadapilah aku."
Sang Datuk yang memang telah siap-siap
akan menghadapi dua orang sekaligus dengan tak
mau kalah berkata lantang: "Majulah kalian berdua sekaligus, jangan tanggungtanggung biar aku dengan cepat membereskannya."
Tak dapat lagi dibayangkan kemarahan
dua tokoh dari pulau Jawa mendengar ejekan
sang Datuk. Serta merta keduanya berkelebat
menyerang sang Datuk. Serangan kedua orang
tokoh persilatan yang berbeda perguruan itu sepertinya kompak. Keduanya berganti-ganti menyerang sang Datuk. Namun begitu, sepertinya
sang Datuk bagaikan tak kerepotan secuilpun.
Bahkan dengan tubuh menggendong tubuh
orang, sang Datuk masih lincah berkelit dan kala
ada kesempatan balas menyerang. Jurus demi jurus terlalui oleh mereka dengan cepat. Ketiganya
seperti tak mengenai lelah, saling gempur dengan
jurus-jurus yang mereka miliki. Entah berapa puluh jurus yang mereka keluarkan, karena saking
cepatnya mereka bergerak sehingga tanpa sadar
mereka terus bertempur dengan terus saling
mendesak lawan-lawannya ke belakang.
"Cilaka!" Datuk Raja Beracun tersentak kaget, mana kala tubuhnya kini telah
sampai di tepi jurang terdesak oleh kedua lawannya yang nampak makin beringas
saja. "Kalau begini terus menerus, maka tidak mungkin tidak akulah yang
akan kalah oleh mereka. Aku harus mencari akal." Kedua orang penyerangnya tak memperhatikan gerak gerik sang Datuk, mereka terjebak
oleh serangan-serangan yang mereka lancarkan.
Melihat musuh-musuhnya terus mendesak ke
pinggir jurang, serta merta Datuk Raja Beracun
memekik keras. Lalu setelah berbuat begitu, tibatiba tubuh sang Datuk mencelat mana kala kedua
musuhnya bareng menyerangnya. Tanpa dapat
direm atau dihindari, tak ayal kedua orang bertutup muka itu meluncur deras ke bawah.
"Hua, ha, ha... Itulah untuk kalian. Selamat berpisah, dan bahagialah kalian di akherat
sana." Setelah sesaat memandang ke bawah jurang yang menelan dua tubuh musuhnya, Datuk
Raja Beracun dengan masih ganda tawa berkelebat meninggalkan tempat itu dengan masih membopong tubuh Nancin Cu. Nancin Cu walau dalam
keadaan tertotok, saat itu ternyata telah siuman
dari pingsannya, sehingga ia pun dapat menyaksikan betapa kedua orang bertopeng itu menemui
ajalnya dengan tragis. Mata Nancin Cu seketika
memejam rapat, tatkala melihat dua orang tersebut meluncur ke bawah.
"Siapa sebenarnya orang ini" Sungguh licik
dan berilmu tinggi, sehingga dua orang yang aku
tahu salah satunya Begal yang menghadang para
prajuritku dapat dengan mudah dijatuhkan," batin putri Nancin Cu dengan perasaan
was-was. Ia memang perlu mengalami kecemasan, sebab Datuk Raja Beracun merupakan orang baru dalam
penglihatannya. Setiap orang baru tentunya tak
dapat diterka pikiran dan perbuatannya.
"Anak manis, kau akan aku bawa ke pulau
tempatku tinggal. Di sana tak seperti di sini yang serba keras. He, he, he..."
Habis berkata begitu pada Nancin Cu yang masih tertotok dan berada
dalam bopongannya. Dengan meninggalkan gelak
tawa berkepanjangan Datuk Raja Beracun segera
berkelebat tinggalkan tempat itu, pergi.
* * * Selang tak begitu lama kemudian, nampak
dua orang dengan membawa senjata pedang di
pundaknya berjalan ke arah situ. Kedua orang
yang tidak lain Wang dan San Ing yang tengah
mencari tuan putri dan para musuhnya dengan
wajah setengah murung terus melangkah menuju
ke tempat tersebut. Sesaat keduanya berhenti,
berdiri dan memandang sekeliling tempat itu. Mata kedua pendekar Cina itu seketika membelalak,
mana kala melihat beberapa tapak kaki yang masih melekat jelas di tanah yang sedikit basah.
"Rupanya barusan ada yang bertempur di
sini, Saudara Wang."
"Ya, coba lihat bekas kaki-kaki ini. Bukankah ini menggambarkan bahwa seretan kaki
orang perang?" balik bertanya Wang, matanya
mengerut penuh ketidakmengertian. "Mungkin di jurang itu ada orang yang kalah."
San Ing dan Wang segera menelusuri jejakjejak kaki yang masih tergambar jelas menapak di
tanah. Mata mereka terus melekat pada jejakjejak tersebut. Tak lama kemudian keduanya terbawa oleh jejak kaki menuju ke jurang. Seketika
mata kedua pendekar Cina itu kembali menyipit,
tatkala dilihatnya jejak kaki itu hilang setelah berada di bibir jurang.
"Tak salah!" pekik Wang mengejutkan San Ing yang seketika menghampiri dan turut
memandang ke bawah jurang yang tajam, sehingga
hanya nampak gelap gulita.
"Memang benar, ternyata di bawah jurang
sana ada orang."
"Heh, benar!" Wang memekik manakala
menajamkan pendengarannya.
"Bagaimana, apakah perlu kita bantu?"
tanya San Ing, menjadikan Wang seketika mengerutkan kening. Bagaimana mungkin mereka akan
membantu" Bukankah jurang itu curam dan dalam" "Kau jangan bercanda, San" Mana mungkin kita dapat membantu mereka" Mereka yang
berilmu tinggi pun, aku rasa tak akan mampu
menundukkan jurang yang dalam dan curam ini,
apa-lagi kita?"
Terdiam San Ing demi mendengar pertanyaan Wang yang nadanya tak yakin. Memang
apa yang dikatakan Wang ada benarnya. Bagaimana mungkin mereka dapat membantu orangorang yang ada di dalam jurang yang dalam dan
curam" Sedangkan orang-orang yang berada di
dalam jurang adalah dua orang yang mempunyai
nama di dunia persilatan, ternyata mereka saja
tak mampu menolong diri mereka sendiri.
Tengah kedua pendekar Cina itu terdiam
tak mengerti harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar seruan dua orang dari bawah jurang yang tak
nampak orangnya. "Ki Sanak yang berada di atas, dapatkah Ki Sanak menolong
kami?" "Hai, ternyata di bawah bukannya hanya
seorang. Ternyata mereka berdua," gumam San
Ing sedikit kaget. Dipandangnya Wang yang juga
memandang ke arahnya. "Bagaimana, Saudara
Wang" Apakah kita akan menolong mereka?"
"Bagaimana caranya, Saudara San" Sedangkan kita tak dapat berbuat banyak," lenguh Wang putus asa. "Apakah kita akan
mengorban-kan diri kita untuk menolong orang yang belum
kita ketahui siapa adanya dan bagaimana sifat
mereka" Aku takut nanti kita sendiri yang mengalami kesusahan. Kau mesti ingat, ini wilayah
orang bukan wilayah kita. Kita belum tahu satu
persatu sifat orang-orang Nusantara ini. Bayangkan saja, baru saja kita dihadapkan pada kejadian yang bagi kita tak masuk di akal,"
"Woi... Kalian yang berada di atas, apakah
kalian tak mendengar seruan kami?" terdengar kembali seruan orang yang berada di
bawah, menjadikan kedua pendekar Cina yang masih terpaku tak mengerti seketika kembali saling pandang seolah-olah ingin mencari kepastian di antara mereka. Hati kedua pendekar Cina itu bimbang untuk berbuat. Keduanya masih terbayang kejadiankejadian yang baru saja keduanya alami, yang dirasa sangat menekan jiwa keduanya. Keduanya
tak ingin kejadian yang tak diinginkan terulang
untuk kedua kali. Korban telah banyak, apa
mungkin diri mereka harus menjadi korban pula"
"Ah, kenapa Ki Sanak berdua hanya diam..."!"
"Kami bingung harus bagaimana. Apakah
Ki Sanak yang berada di bawah dapat mencarikan
kami jalan" Kalau memang Ki Sanak mampu
mencarikan jalan, mungkin kami pun akan mampu untuk membantu Ki Sanak sekalian," jawab
San Ing dengan logat Cinanya yang masih kentara
menjadikan orang yang berada di bawah jurang
mengerutkan kening. Walau kekagetan orang
yang berada di bawah jurang tidak diketahui oleh
San Ing dan Wang yang berada di atas, namun
dari ucapan orang tersebut jelas menunjukkan
kekagetannya. "Ah, kiranya kalian pimpinan prajurit Cina." "Hai, kalian mengenal kami," tersentak Wong kaget demi mendengar ucapan
orang yang berada di bawah. "Apakah kalian orang-orang
yang telah mengeroyok dan membegal prajurit
kami?" Tak ada jawaban yang terdengar dari dasar jurang, menjadikan San Ing dan
Wang kerutkan kening saling pandang. Kedua pendekar Cina itu
kini mengetahui siapa adanya orang yang berada
di dasar jurang itu. Hati mereka seketika diliputi rasa dendam benci yang
teramat dalam. Maka
dengan tanpa bicara lagi, kedua orang pendekar
Cina itu pun berkelebat pergi tanpa menghiraukan seruan orang-orang yang berada di dasar jurang. 4 PULAU ANDALAS Datuk Raja Beracun yang telah menguasai
putri Nancin Cu dan membawanya ke pulau Andalas terus berusaha merayu putri tersebut agar
mau menjadi istrinya. Karena sesuai dengan
wangsit, bahwa siapa saja yang dapat memperistri
sang putri kelak keturunannya akan menjadi raja
penguasa tanah Andalas. Sudah beberapa kali
sang Datuk berusaha mempengaruhi sang putri.
Berbagai macam cara, atau ilmu hitam yang ia
miliki namun ternyata tak ada yang mempan sedikit pun. Karena telah berusaha sekian lama tak
mendapatkan hasil, sang Datuk hampir saja putus asa kalau saja pembantu setianya yang bernama Datuk Begugu, tidak kembali memberi semangat. "Jangan tuan putus asa dulu, sebab tidak
mungkin nantinya kalau tuanlah yang bakal
mendapatkan anugrah tersebut," kata Datuk Begugu memberi saran, manakala
didengarnya keluhan tuannya yang seperti putus asa.
"Tapi aku sudah berusaha, Begugu. Dan
nyatanya, ah... Semuanya hanya impian," keluh Datuk Raja Beracun. "Bukannya
sekali aku mencoba pengaruhi dia, tapi sepertinya tak ada yang
dapat menggoyahkan tekadnya. Apakah tidak le

Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bih baik aku perkosa saja?"
Tersentak kaget Datuk Begugu mendengar
ucapan tuannya. Ia tak menyangka kalau tuannya yang sangat kokoh dan ulet akan prustasi
menghadapi putri Cina tersebut. Memperkosa, berarti hubungan yang tidak selaras. Hal itu tidak
mungkin tidak akan menjadikan sebuah tekanan
jiwa, yang nantinya berkait dengan dendam.
"Ah, mengapa tuan begitu cepat putus
asa?" tanya Begugu tercenung. "Memperkosa itu tidak baik, Tuan."
"Alasannya...?"
"Maaf, hamba mungkin dalam hal ini terlalu lancang. Sekiranya hamba yang bodoh ini dianggap sok pintar, terlebih dahulu hamba kembali meminta maaf."
"Hem, katakanlah. Bagiku kau sama saja
dengan diriku. Kau adalah pembantuku yang setia, yang selalu memberikan saran yang baik. Kejayaanku sebagai datuk, tak luput dari saran
yang kau berikan. Nah, katakanlah jangan kau
ragu, Begugu."
Datuk Begugu sesaat terdiam, tundukan
kepala sembari menarik napas panjang. Sesaat
kemudian sang Datuk pun menengadahkan wajahnya, memandang pada tuannya yang nampak
menggurat rasa ketidak mengertian. Setelah kembali menunduk Datuk Begugu pun akhirnya
membuka suara berkata: "Menurut hamba yang
telah tua, perkosaan itu tidak baik bagi diri kita.
Pertama, kita akan menanggung beban mental
yang berat kalau-kalau sampai orang yang diperkosa nanti membalas dendam. Kedua, hubungan
kita dengan yang diperkosa akan menjadikan sebuah hubungan pertumpahan darah."
"Ah, apa mungkin nanti keturunanku berani melawanku?" Datuk Raja Beracun mengelak seakan tak yakin dengan segala
ucapan Datuk Begugu. "Tak akan anak berani dengan orang
tua." "Itu menurut pendapat tuan. Tapi perlu tuan ingat, bukankah anak akan
lebih dekat dengan sang ibu?"
Terangguk-angguk kepala Datuk Raja Beracun mendengar keterangan pembantunya. Dirasakannya segala petuah pembantunya memang
benar adanya. Tapi dirinya juga telah berusaha
sedini mungkin untuk dapat menggugah hati putri raja Cina, dan nyatanya segalanya mengalami
hasil nihil. Namun bila niatnya untuk memperkosa putri raja Cina itu dilakukan, ia juga takut kalau-kalau segala ucapan Begugu
akan menjadi kenyataan. Lama Datuk Raja Beracun terdiam
membisu, angannya melayang pada khayalan untuk dapat menjadikan dirinya orang yang terhormat. Orang yang menurunkan raja-raja di pulau
Andalas. Hatinya bimbang, takut kalau lama kelamaan akan ada orang lain yang berilmu lebih
tinggi darinya dapat merebut putri Nancin Cu.
Apakah tidak mungkin itu terjadi"
"Hem, sungguh aku terlalu penakut. Biarlah aku mati nantinya, asalkan margakulah yang
akan menjadikan namaku dihormati. Bukankah
margaku nanti yang menjadi raja" Persetan dengan segala balas dendam, bagiku yang utama aku
berhasil mendapatkan anak dari putri Nan yang
kelak akan menjadi raja," gumam hati Datuk Raja Beracun "Baiklah aku pura-pura
menuruti apa yang dikatakan oleh pembantuku."
"Memang benar apa yang kau katakan, Begugu. Kini aku sadar, bahwa semestinya aku tak
boleh melakukan itu. Apakah kau dapat membantuku mencarikan seorang dukun yang dapat
memikat putri Raja Cina itu, Begugu?" tanyanya kemudian.
Datuk Begugu kembali terdiam hening, pikirannya kini agak tenang. Sebenarnya di hati
Datuk Begugu ada rasa kasihan melihat Nancin
Cu. Putri raja Cina itu begitu mengibakan hatinya. Putri itu setiap hari-harinya hanya melamun dan menangis. Makanan yang dihidangkan
tak pernah disentuhnya, sehingga badannya kurus kering. Pernah Begugu mencoba bertanya bagaimana dengan diri putri tersebut. Jawabannya
sungguh mengejutkan, sang putri memilih lebih
baik mati daripada harus menjadi istri Datuk Raja Beracun yang jahat dan keji.
"Kenapa, Begugu" Kenapa kau terdiam melamun?" Tersentak Datuk Begugu dari lamunannya,
mana kala mendengar pertanyaan Datuk Raja Beracun yang secara tiba-tiba itu. Maka dengan gagap Datuk Begugu menjawab. "Am-ampun, hamba tengah berpikir bagaimana supaya segala-nya
dapat segera terselesaikan. Baiklah, hari ini juga
hamba akan berusaha kembali mencarikan seorang dukun pemikat."
"Hua, ha, ha... Bagus, bagus. Kalau kelak
aku mendapatkan putri tersebut, maka kau akan
aku beri hadiah yang cukup menarik. Kau akan
aku berikan separuh dari kekuasaanku. Dan kau
akan aku jadikan Raja Datuk Begugu, bagaimana?" "Terimakasih atas segala yang bakal tuan berikan. Tapi untuk sekarangsekarang ini, hamba lebih senang mengabdi pada tuan Datuk yang
terkenal sakti. Jiwa hamba tenang bila bersama
Datuk, sebab tuan Datuk sangat tinggi ilmunya,"
berkata Datuk Begugu dengan nada menyanjung,
menjadikan Datuk Raja Beracun kembali gelak
tawa senang. Saking senangnya sang Datuk,
sampai-sampai ia melupakan apa yang sebenarnya harus ia lakukan. Hari itu adalah hari Minggu Manis, kala biasanya Datuk Raja Beracun melakukan meditasi. Namun hari itu ia lupa. Hal ini akan menjadikan dirinya
berkurang ilmu yang
dimiliki. Bila sering melakukan kelalaian tidak
menjalankan nyepi, niscaya kemudaan sang Datuk akan pudar dan akan tampaklah wajahnya
yang asli. Tersentak Datuk Raja Beracun mana
kala mengingat itu, serta merta ia berlari tinggalkan pembantunya yang hanya
terbengong- bengong tak mengerti menuju ke kamar khususnya. Dengan napas memburu dan keringat dingin
bercucuran, Datuk Raja Beracun segera pusatkan
segalanya menuju satu titik temu. Setelah sesaat
hat itu dilakukan, dan keadaan menjadi hening,
terdengar sayup-sayup suara auman dahsyat memecah ruangan gelap itu.
"Auuuummm...."
"Guru, ampunilah kelalaian murid." Geme-taran Datuk Raja Beracun seperti
ketakutan. Wa- jahnya yang tampak biasanya sadis, kini berubah
pucat memutih bagaikan tak berdarah setetes
pun. "Ampunilah kelalaian murid, Guru," Kata-kata itu diulang, dan diulangnya
sampai beberapa
kali. Ketiga kata ulang berulang itu mencapai sepuluh kali, tampak sebuah bayangan keluar dari
balik dupa. Tubuh itu, jelas nampak sesosok tubuh harimau besar dan tinggi, tak lajim dengan
harimau biasa. Tubuh hari mau itu hampir sebesar kerbau, dengan mata lebar dan gigi-giginya
yang menyeringai menakutkan.
"Kenapa kau teledor, Senta! Aku lapar,
Senta! Aku lapar!" terdengar seruan harimau itu dengan mata menyorot merah
marah. Liurnya yang berbau menyengat terasa menusuk hidung,
menjadikan rasa mual. "Kau harus mencarikan
darah untukku, darah perawan."
"Apakah tidak bisa ditunda, Guru?" tanya Datuk Raja Beracun.
"Tidak! Sekarang lakukan!"
"Tapi hari masing siang, Guru?" keluh Datuk Raja Beracun. Namun bagaikan tak mau
per- duli Harimau Iblis itu menggeram, mengeluarkan
aumannya yang melengking dan mendirikan bulu
kuduk. "Jangan kau ingkar, Senta! Ingat perjanjian yang telah kita lakukan. Bukankah kau akan
memberikan padaku sebaskom darah bila hari
Minggu Manis" Kenapa kau lalai" Apakah darahmu yang akan aku minum, hah!"
"Ampun, Guru. Baiklah, murid akan mencarikannya. Murid minta, guru untuk bersabar
sesaat." "Aku tunggu sebelum matahari tenggelam,"
ucap harimau itu, sebelum pergi menghilang meninggalkan Datuk Beracun yang kembali tersadar.
Dengan mengatur napasnya sesaat dan mengucapkan mantra, Datuk Raja Beracun me-lakukan
pangling ujud, seketika ujud sang Datuk berubah
menjadi harimau hitam legam. Tanpa menunggununggu lagi, harimau jejadian sang Datuk mengaung lalu berkelebat pergi tinggalkan kamar tersebut lewat jendela.
* * * Harimau jejadian Datuk Raja Berbisa terus
menerobos hutan belantara, menuruni lembah
dan melompati sungai bagaikan terbang. Raungannya yang kencang, seketika menjadikan bulu
kuduk yang mendengarnya meremang berdiri.
Harimau itu dikenal oleh penduduk dengan sebutan Datuk Kumbang, yang keluar pada waktu
hari Minggu Manis belaka.
Tengah Datuk Raja Beracun mencari
mangsa yaitu darah gadis, di rumah tepatnya dikerangkeng yang digunakan untuk menyekap putri Nancin Cu seorang lelaki muda datang menemui gadis itu. Bila dilihat dari gerak-geriknya, jelas lelaki muda itu hampir
mirip dengan Datuk
Begugu tangan kanan Datuk Raja Berbisa. Namun kenapa tiba-tiba saja menjadi muda dan
tampan" Lalu siapakah anak muda itu sebenarnya" Pemuda itu, tak lain dari Amangkurat sendiri. Sengaja Amangkurat menyamar menjadi Datuk
Begugu agar supaya dirinya dapat menemui putri
Nancin Cu yang dibawa oleh Datuk Raja Berbisa.
Amangkurat tahu betapa ilmu Datuk Raja Berbisa
sangat tinggi, tak mungkin untuk melawannya.
Desas-desus bahwa akan datang di Nusantara
seorang wanita yang kelak melahirkan raja-raja di pulau Andalas memang sudah
tersebar sejak Amangkurat belum menjadi raja Mataram. Hal itu
setelah diketahui olehnya bahwa gadis itu putri
Raja Cina yaitu Nancin Cu, maka Amangkurat
pun segera menyelidikinya. Pantaslah kalau dulu
Amangkurat tak menampakkan diri.
Tersentak kaget Nancin Cu, mana kala melihat siapa adanya lelaki yang mendatanginya.
Wajah lelaki itu sangat mengingatkan Nancin Cu
pada seseorang yang ia kenal. Nancin Cu kerutkan kening mencoba mengingat-ingat. Lalu dengan nada heran bercampur tak mengerti Nancin
Cu bertanya: "Siapakah kau" Dilihat dari jalanmu, sepertinya engkau ini mirip dengan Datuk Begugu.
Apakah kau anaknya?"
Amangkurat atau Datuk Begugu tersenyum
mendengar pertanyaan Nancin Cu. Amangkurat
perlahan makin mendekat, lalu dengan segera ia
pun membuka pintu kerangkeng setelah terlebih
dahulu mengawasi sekelilingnya. Dengan senyum
mengembang di bibir Amangkurat berkata pelan
setengah berbisik.
"Kau masih ingat aku, Nona Nan?"
"Hai, kau mengenal namaku?" desis Nancin Cu kaget. "Bukankah kau... kau," Nancin
Cu tak dapat meneruskan kata-katanya. Seketika hatinya berdegup kencang. Walau
matanya dapat dikibuli dengan topeng tua penutup wajah yang tiap
hari dipakai Amangkurat, namun gerak gerik dan
tutur kata Amangkurat jelas melekat dalam ingatannya. Kembali Nancin Cu mengingat-ingat kejadian di negerinya sana, mana kala untuk pertama kalinya Amangkurat memperkenalkan diri.
Suara Datuk Begugu memang persis dengan suara Amangkurat. "Apakah Amangkurat... Ah, tidak.
Walau mataku dapat kau dustai, namun kata hatiku tidak, Amangkurat. Kau adalah Amangkurat,
ya Amangkurat yang aku cintai," desis hatinya berbunga. Tak terasa air matanya
meleleh, menjadikan Datuk Begugu atau Amangkurat seketika
tak tahan dengan segera membelai pipi kuning
langsat itu. Hal ini menjadikan Nancin Cu tergetar, ia merasa tak ada perbedaan dengan apa
yang pernah ia alami mana kala kejadian serupa
di negerinya. Dengan terisak dan kata terbata
Nancin Cu mendesah. "Amangkurat, kaukah ini?"
Amangkurat hanya dapat mengangguk
tanpa dapat berkata apa-apa. Hatinya trenyuh
berbaur dengan rasa iba, melihat air mata meleleh di pipi sang kekasih. Dengan lembut, diusapnya air mata itu menggunakan telunjuknya.
"Kenapa kau tak menjemputku, Koko
Amangkurat" Kenapa?" desak Nancin Cu ingin
tahu apa sebabnya Amangkurat tak menjemput
kedatangan mereka. "Apakah memang kau sengaja bersekongkol dengan orang-orang itu?"
Ditanya begitu rupa, menjadikan Amangkurat susah untuk berkata-kata. Dihelanya napas


Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang-panjang, lalu dengan suara berat lirih setengah berbisik Amangkurat pun
berkata: "Nona Nan, memang aku sengaja memerintahkan pada
seluruh teman-temanku untuk pura-pura menyerangmu. Tapi perlu kau ketahui, bahwa panglima
perangmu yang mati itu adalah mata-mata Datuk
Raja Berbisa yang disuruh menjemputku dari negeri Cina."
Terbelalak seketika mata Nancin Cu kaget,
mana kala mendengar penuturan Amangkurat. Ia
tak menyangka, kalau ternyata kehadirannya di
pulau Jawa telah dikawal oleh seorang mata-mata
musuh. Walaupun akhirnya dirinya terperangkap
oleh Datuk Raja Berbisa, namun ia agak tenang
sedikit karena ternyata segala tindakan orangorang Mataram ada benarnya juga. Bayangkan
kalau tidak terjadi begitu, niscaya sudah sejak
awal dirinya terkena tipu muslihat Ranesa. Namun bagaimana pun Nancin Cu tak mau segera
meyakini apa yang dikatakan oleh Amangkurat.
"Ah, mana mungkin" Bukankah ayahanda
telah mengambilnya dengan bayaran yang mahal
serta seleksi yang ketat?" tanya Nancin Cu seakan tak yakin. "Bagaimana mungkin
hal itu dapat terjadi?" Amangkurat tersenyum, melihat Nancin Cu kini tidak
menangis lagi. Perlahan didekapnya tubuh Nancin Cu erat, menjadikan Nancin Cu
sea- kan tersengal untuk bernapas. Walau dadanya terasa sesak akibat desakan dada Amangkurat, tapi
Nancin Cu tersenyum juga. Dengan agak sedikit
manja diciumnya bibir Amangkurat. Darah
Amangkurat seketika tergetar hebat. Walaupun ia
tahu bahwa orang di hadapannya yang kini
menggurat bibirnya tak lain calon istri, tapi dia kini dalam kandang macan.
Kalau lengah sedikit
niscaya korbannya adalah nyawa.
Amangkurat mencoba bertahan dari amukan badai yang menerjan-nerjang di lubuk hatinya, namun ternyata badai itu lebih besar dan
lebih kuat menghantam. Tanpa ayal lagi, gelombang nafsu yang dilancarkan putri Nancin Cu seketika membobol benteng hati Amangkurat. Perlahan namun pasti, Amangkurat membimbing tubuh Nancin Cu ke luar dari ruang kerangkeng.
Tubuh putih mulus itu kini tak berbenang sehelai
pun, telanjang membugil. Sekejap saja, kedua
orang yang dilanda badai birahi itu akhirnya terlelap dalam hening dan lenguhan-lenguhan panjang yang mendayu. * * *
Betapa murkanya Datuk Raja Berbisa, mana kala melihat apa yang telah kedua orang itu
perbuat. Walau keduanya telah mengenakan pakaian masing-masing, namun Datuk Raja Berbisa
dapat menduga apa yang keduanya lakukan. Dari
keringatnya, jelas mereka habis melakukan apa
yang seharusnya tak perlu terjadi. Sang Datuk
yang saat itu membawa korban seorang gadis
dengan tubuh terkoyak-koyak matanya memandang penuh hawa membunuh pada keduanya.
Sesaat Datuk Raja Beracun menggeram marah,
mimik mukanya menandakan kekesalannya. Darah Datuk Raja Beracun sudah tak terbendung,
seakan hendak muncrat ke luar. Tapi seketika ia
ingat akan gurunya, serta merta dengan terlebih
dahulu membentak Datuk Raja Beracun pergi.
"Hem, aku tengah ada urusan dengan
guru. Kalau tidak, maka kalian akan aku cabikcabik seperti tubuh gadis ini!" geramnya marah, dengan tangan masih menyeret
tubuh gadis yang
koyak-koyak. "Tapi nanti pun akan kalian alami hal demikian!"
Habis berkata begitu Datuk Raja Beracun
segera kelebat pergi menuju ke ruang pemujaan.
Dicobanya untuk tenang melakukan meditasi
namun hatinya selalu gelisah dan bertanya-tanya
tentang siapa sebenarnya orang yang mengakuaku tangan kanannya.
"Memang aku mengenalnya baru beberapa
bulan belakangan ini. Dia mengaku bernama Datuk Begugu. Hem, apakah kiranya dia juga mempunyai maksud sepertiku" Ah, aku telah keduluan. Aku telah keduluan olehnya. Jadi aku tak
akan menjadi ayah dari raja-raja yang akan memimpin pulau Andalas. Aku akan membunuh mereka. Bedebah! Mereka seolah-olah saling menyintai. Datuk Begugu bajingan! Aku bunuh engkau!"
Hati Datuk Raja Beracun gundah gulana. Kesal,
marah, merasa ditipu mentah-mentah oleh orang
yang selama ini dijadikan tangan kanannya. Karena pikirannya tak tenang, menjadikan Datuk
Raja Beracun tak dapat segera menyambung kontak batinnya dengan sang Guru. Kembali dicobanya untuk tenang, namun bayangan kebencian
dan keputusasaan lebih melanda emosinya. Tibatiba dari arah depannya yang berdiri dupa melompat ke luar seekor harimau. Harimau itu yang
tak lain Siluman guru sang Datuk menggeram.
"Kenapa kau tidak segera menyajikan darah itu padaku" Apakah kau belum dapat?" tanya Siluman Harimau. Matanya bersinar
menyala, sepertinya memendam api, entah api apa.
"Ampun, Guru. Semuanya sudah saya sediakan." "Mana...?" tanya Siluman Harimau dengan mimik muka bersinar terang, tak kelabu
seperti semula. Datuk Raja Beracun dengan menunduk
hormat segera tunjukkan darah yang mengembang di dalam baskom. Dengan tertawa bergelakgelak layaknya manusia, Siluman Harimau itu
tanpa berkata lagi segera meminum darah itu
dengan lahapnya hingga dalam waktu singkat darah itu ludes terminum semua. Siluman Harimau
itu sesaat terduduk kekenyangan, wajahnya tak
seganas tadi. Kini wajah itu bukanlah wajah harimau yang menakutkan, tapi berubah perlahanlahan menjadi wajah manusia. Segera sang Datuk
menyembah. "Sudah siapkah kau menerima penambahan ilmu?"
"Sudah, Guru," jawab Datuk Raja Beracun.
"Tapi nampaknya pikiranmu tak tenang,
kenapa?" tanya Siluman Harimau penuh selidik, menjadikan Datuk Raja Beracun
seketika terjengah menundukkan kepala. "Hem, kau seperti
orang yang patah semangat. Apa pula yang tengah kau pikirkan" Adakah masalah yang sukar
untuk kau pecahkan" Atau barangkali ada musuh yang ilmunya melebihi ilmu yang kau miliki?"
Setelah lama terdiam dengan tundukkan
muka, Datuk Raja Beracun akhirnya ceritakan
apa yang sebenarnya dipikirkan. Ia memikirkan
tentang kegagalannya untuk menjadi ayah dari
calon raja-raja yang kelak menguasai pulau Andalas, sesuai dengan wangsit yang dia terima.
"Muridku, memang wangsit itu telah menyebar. Tidak kau saja yang menerimanya, namun hampir seluruh kerajaan di Nusantara ini
mendengarnya. Hanya satu orang yang beruntung
mendapatkan hati gadis itu, karena memang keduanya telah sekian lama bertemu."
"Siapakah orangnya, Guru?" tanya Datuk
Raja Beracun setelah tenang kembali dari keterkejutannya. Dalam hatinya seketika membersit
sumpah serapah pada Datuk Begugu tangan kanannya yang telah mendapatkan gadis itu. "Begugu bajingan! Aku akan
membunuhnya!"
"Kau sudah tekad hendak membunuh pemuda itu?"
"Ah, ternyata guru telah mengetahui keinginanku. Begitulah, Guru," jawab Datuk Raja Beracun setengah kaget, menjadikan
Siluman Hari- mau terkekeh gelengkan kepala.
"Memang itu yang harus kau lakukan sebagai pengikutku. Ketahuilah olehmu, bahwa pemuda itu tak lain dari pada turunan Penguasa
Laut Selatan. Dia adalah Amangkurat, raja dari
Mataram." "Apa...?" tersentak Datuk Raja Beracun kaget, manakala mengetahui siapa adanya
orang yang selama ini dikenalnya sebagai Datuk Begugu, "Jadi... jadi dia seorang Raja?"
"Ya, kenapa" Kau takut?"
"Tidak, Guru."
"Bagus! Memang kau tak perlu takut padanya. Di sini, Penguasa Laut Selatan tak akan dapat membantunya. Mumpung masih di sini, bertindaklah. Sebagai muridku, kau harus berani
pantang untuk mengenal takut. Percayalah, kau
tak akan mati sekarang. Sekarang ini tak ada seorang tokoh silat mana pun yang mampu mengalahkan dirimu, kecuali dia turunan siluman juga."
"Baiklah, Guru. Aku hendak membunuh
Amangkurat. Akan aku minum darahnya sebagai
tanda rasa kekecewaanku."
"Hem, bagus. Nah, lakukan apa yang menjadi tugasmu. Hua, ha, ha..." bergelak tawa Siluman Harimau mendengar
kesanggupan muridnya.
Maka setelah menerima sembah dari sang murid,
Siluman Harimau itu pun berkelebat pergi ke
alamnya kembali.
Asap dupa masih mengepul, menjadikan
ruangan itu seketika terpenuhi oleh gulungangulungan asap. Bersamaan makin menebalnya
asap dupa, seketika tubuh Datuk Raja Beracun
berubah perlahan menjadi seekor harimau yang
besar. Setelah mengaum sesaat dengan auman
yang memekakkan telinga, Siluman Harimau itu
berkelebat menerobos dari jendela keluar menembus sore hari yang agak gelap meremang.
* * * Lama harimau jejadian itu menunggu di
depan pintu rumahnya, namun ternyata orang
yang ditunggu-tunggunya belum juga muncul.
Tengah Datuk Raja Beracun yang telah menjelma
menjadi harimau jejadian itu menunggu kedatangan kedua orang yang ada di dalam rumahnya,
terdengar suara Siluman Harimau berkata.
"Muridku, dua orang yang kau tunggu sudah tak ada di tempatmu, mereka telah melarikan
diri sebelum kau keluar. Kini mereka tengah menuju ke arah Selatan. Mereka bermaksud menuju
ke pulau Jawa kembali."
Mendengar ucapan gurunya, tanpa banyak
kata lagi Datuk Raja Beracun yang telah menjadi
harimau segera berkelebat menuju ke arah Selatan. Larinya bagaikan kilat, seakan terbang. Pikirannya telah dirasuki hawa
kemarahan dan pembunuhan. Kekecewaan yang telah mengerak di
hatinya, seolah-olah menuntutnya untuk menghisap darah Amangkurat.
"Tak akan aku tenang bila belum menghisap darah Amangkurat sialan itu!"
Matanya yang tajam seketika memancarkan sinar bagaikan menerangi langkah larinya.
Tak lama harimau jejadian itu berlari, seketika
matanya memandang ke depan dengan beringas.
Tampak di depannya agak jauh berlari-lari dua
orang pemuda dan gadis.
"Hem, itu dia..." Harimau jejadian itu makin mempercepat langkahnya. Angin
desiran ke- lebatan larinya, menjadikan topan puting beliung
yang mampu menggoyangkan pepohonan. Hal itu
terasa oleh Amangkurat, yang seketika itu pula
palingkan muka ke belakang. Sesaat Amangkurat
tersentak kaget, darahnya seketika mendesir.
Amangkurat tahu kalau harimau itu tak lain dari
pada Datuk Raja Beracun.
"Hem, rupanya dia telah mengejar kami.
Aku harus menghadapinya. Mati atau pun hidup,
aku terpaksa menghadapi harimau itu," gumam
hati Amangkurat.
"Nancin Cu, kau menyingkirlah dulu."
"Kenapa, Kakang?"
"Kau pergilah lebih dahulu. Bila aku tak
menyusulmu, itu berarti aku telah binasa di tangan Datuk Raja Beracun itu."
Terkesiap Nancin Cu, mana kala melihat
seekor harimau besar berlari kencang menuju ke
arah mereka. Mata harimau itu sepertinya menyorotkan sinar merah membara bagaikan bola
api, menghunjam pada mata Nancin Cu.
"Menyingkirlah, Nancin."
"Tapi, kakang," Nancin Cu bermaksud menolak. Hatinya bimbang dan ragu untuk meninggalkan Amangkurat. Ia takut kalau-kalau Datuk
Iblis itu akan menjadikan tubuh Amangkurat terkoyak-koyak seperti gadis yang dibawanya.
"Aku katakan, menyingkirlah. Demi dirimu,
biarkan aku menghadapi iblis itu sendirian. Sedapatnyalah kau berlari menyelamatkan dirimu dan
anak kita nantinya," perintah Amangkurat. Sesaat Nancin Cu terdiam memandang
lekat pada Amangkurat seakan penuh kebimbangan.
Amangkurat yang mengerti, segera dengan lembut kecup kening kekasihnya seraya berbisik


Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lembut. "Pergilah, jangan sampai kita berdua mati.
Ingat, menurut wangsit kaulah orang yang akan
menurunkan anak raja-raja nantinya. Aku hanya
titip anakku yang telah kutanam di rahimmu."
"Dengan senang hati, Kanda."
"Nah, berangkatlah pergi. Aku hanya berdo'a semoga Datuk Iblis itu tak akan mencelakaimu." Setelah sesaat kembali memandang pada
Amangkurat, dengan hati setengah ragu Nancin
Cu pun berangkat pergi meninggalkan kekasihnya yang kini masih berdiri tegak menanti kedatangan Datuk Raja Beracun. Mata Amangkurat
tajam menantang sorot mata harimau jejadian
itu. Mulutnya terkunci rapat, sepertinya tak ingin mengucap kata sepatahpun.
Mana kala harimau
jejadian itu makin mendekat, Amangkurat segera
melangkah mendekati.
"Amangkurat, hari ini juga riwayatmu akan
habis!" seru Datuk Raja Beracun marah masih
dalam bentuk harimau. "Kau telah menggagalkan segala cita-citaku. Kau telah
menipuku mentah-mentah dengan pura-pura jadi pembantuku.
Hem, licik kau Amangkurat!"
"Datuk Raja Beracun, kau memang tak
berhak menjadi seorang ayah dari raja-raja yang
kelak memimpin di pulau Andalas ini, kenapa kau
mesti marah dan prustasi?" jawab Amangkurat
tenang. "Ketahuilah olehmu, bahwa Nancin Cu
memang sudah digariskan oleh Yang Wenang untukku bukan untukmu."
"Hem... Jangan banyak omong. Aku tak
akan tenang bila belum menghisap darahmu dan
darah kekasihmu itu, hiat...!"
Rupanya kemarahan Datuk Raja Beracun
tak terbendung lagi, sehingga tanpa banyak kata
lagi dia segera berkelebat menyerang Amangkurat. Sebagai salah seorang dari Panca Leluhur
Sakti, tidak menjadikan Amangkurat gentar diserang begitu rupa. Jiwa seorang pendekarnya
seperti tersenyum. Memang senyum bukan bahagia, namun senyum seakan dia dibangkitkan lagi
dari ketidurannya. Memang sejak menjadi raja,
Amangkurat telah melupakan dunia persilatan.
Amangkurat lebih banyak berkecimpung dalam
dunia ketatanegaraan. Walaupun demikian, bukan berarti Amangkurat hilang segalanya. Ilmunya sebagai ketua Panca Leluhur Sakti bukanlah ilmu yang ringan. Namun seperti kata pepatah, rejeki, maut, jodoh dan nasib bukan manusia yang menentukannya. Seperti juga pertarungan Amangkurat melawan Datuk Raja Berbisa. Walau sesakti apapun Amangkurat, tapi kalau
nasibnya sedang jelek maka bukan kemenangan
yang ia peroleh. Kelicikan Datuk Raja Beracun
rupanya memang tersohor. Maka dengan kelicikan itu pula, Datuk Raja Beracun menjatuhkan
Amangkurat yang merupakan salah seorang tokoh Panca Leluhur Sakti. Tubuh Amangkurat seketika melesat, jatuh ke bawah jurang mana kala
hendak menghindari serangan jarum-jarum beracun Kecubung Ungu yang di-lontarkan Datuk.
Datuk Raja Beracun sejenak terkesima melihat musuhnya yang hendak dihisap darahnya
tiba-tiba tanpa ia duga melayang ke bawah jurang. Gagallah cita-citanya untuk menghisap darah Amangkurat. Maka sebagai pelampiasan kemarahannya, ditendangnya batu besar yang seketika menggelinding jatuh ke bawah jurang dengan harapan tubuh Amangkurat tertindih batu
tersebut. Setelah sesaat memaku di tempatnya, Datuk Raja Beracun seketika teringat dengan Putri
Nancin Cu yang tadi berlari meninggalkan
Amangkurat. Segera Datuk Raja Beracun memburu pergi mencarinya. Namun sungguh mem-buat
sang Datuk terheran-heran, sebab tiba-tiba Nancin Cu telah lenyap menghilang. Merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Datuk Raja
Berbisa dengan penuh kekecewaan hancurkan
batu-batuan yang menutupi tempat-tempat yang
dianggapnya dapat untuk bersembunyi. Setelah
tak mendapatkan hasil, Datuk Raja Beracun
menggeram penuh kemarahan dan kekecewaan.
Suaranya seketika melengking bagaikan jeritan
histeris.... Di manakah Nancin Cu" Bagaimana pula
dengan nasib Amangkurat" Nah, ikuti terus kisah
ini pada bab selanjutnya.
5 DUA PULUH TAHUN setelah kejadian itu,
di sebuah lereng gunung Kerinci nampak seorang
pemuda bertubuh tegap dan dada berisi berteriak-teriak dengan tubuh sekali-kali berkelebatkelebat laksana burung elang. Gerakan pemuda
itu gesit, sekali-kali mencelat ke udara. Lalu menukik ke bawah dengan
lengkingan memekikkan.
Lengkingannya saja mampu meruntuhkan bebatuan, apa lagi tenaga anak muda tersebut, mungkin melebihi seribu ekor kuda jantan. Dan...
"Hiat...!"
"Bletar! Bletar! Bletar!"
"Duar, duar, duar!"
Kisah Si Pedang Kilat 1 Kampung Setan Karya Khulung Dewa Cadas Pangeran 1

Cari Blog Ini