Ceritasilat Novel Online

Ratu Lembah Mayat 2

Pendekar Pulau Neraka 26 Ratu Lembah Mayat Bagian 2


kebebasan yang dimilikinya
benar-benar musnah. Tak ada lagi ruang gerak bagi pemuda itu. Semua yang ada di
sekitamya seakan-akan menuding
RATU LEMBAH MAYAT
76 dan menclbir tajam. Pemuda belasan tahun itu meng-ayunkan kakinya
periahan-lahan sambil memperhatikan binatang-binatang di sekitamya. Setiap kali
melihat burung burung bercanda riang di atas dahan, bibimya selalu
menyunggingkan senyuman pahit Hatinya merasa iri melihat kegembiraan dan
kebebasan burung-burung itu.
"Hik hik hik..!"
"Oh..."!"
Parindra terperanjat setengah mati ketika tiba-tiba saja terdengar tawa terkikik
yang mendirikan bulu kuduk. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba
saja dari atas pepohonan
meluncur sebuah bayangan hitam, disusul enam orang gadis-gadis cantik bercawat
kulit kayu. Parindra ingin berlari, tapi enam orang gadis cantik bercawat itu sudah
beriompatan mengepungnya. Seluruh wajah pemuda itu jadi memucat Tubuhnya
bergetar, dengan keringat dingin
bercucuran deras dari pori-pori kulitnya.
Matanya menatap tajam pada wanita berjubah hitam dan berambut panjang teriap
hampir menutupi wajahnya. Parindra bergidik begitu melihat jelas wajah perempuan
berjubah hitam itu. Wajahnya begitu buruk, seperti tengkorak yang sudah terkubur
puluhan tahun. "Kau tidak bisa lolos dariku, Parindra," terasa dingin sekali nada suara wanita
berjubah hitam ini.
"Apa yang kau inginkan dariku...?"
tanya Parindra, bergetar.
"Pedang Cakar Naga," sahut wanita berjubah hitam itu, tetap dingin dan datar
suaranya. "Aku tidak tahu mengenai pedang itu,"
kata Parindra lagi.
"Hik hik hik..! Masa kau tidak tahu di mana pedang milik ayahmu" Tapi sudahlah,
yang penting sekarang di mana
kau sembunyikan mustika itu, Parindra..."
' "Aku..., aku tidak tahu!" semakin bergetar suara Parindra.
"Aku tidak ada waktu untuk
bermain-main, Parindra," desis wanita berjubah hitam itu dingin.
Parindra mengeluh dalam hari.
Hatinya berharap Pendekar Pulau Neraka muncul saat ini. Tapi yang diharapkan,
sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. Sementara empat orang gadis
cantik bercawat sudah bergerak
mendekatinya. Keringat yang mengucur di seluruh tubuhnya, semakin deras saja.
Maka, seluruh bajunya basah bagai tercebur ke dalam sungai.
"Jangan ganggu aku...! Aku tidak tahu apa-apa tentang mustika itu!" dengus
Parindra. "Kau memang keras kepala, Parindra.
Tidak ubahnya seperti ayahmu! Akan kau rasa kan akibat sikapmu yang keras
kepala!" desis wanita berjubah hitam itu, tetap dingin nada suaranya.
"Apa yang akan kalian lakukan...?"
Pertanyaan Parindra tak ada yang
menjawab. Dan tiba-tiba saja, dua orang gadis bercawat itu melompat menerkam
Parindra. Pemuda itu terpekik kaget tidak
menyangka. Dicobanya untuk berkelit, dengan melompat ke kanan beberapa langkah.
Tapi sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, tiba-tiba saja seorang gadis
bercawat sudah melesat cepat, dan memberi satu pukulan keras ke punggungnya.
"Akh...!" Parindra terpekik keras.
Pemuda belasan tahun itu tersuruk jatuh mencium tanah. Tubuhnya menggelimpang
beberapa kali, lalu cepat-cepat bangkit berdiri. Dan pada saat itu, satu
tendangan keras kembali bersarang di dadanya. Untuk kedua kalinya, Parindra
berteriak nyaring merasakan nyeri dan sesak pada dadanya.
Pemuda itu jatuh terguling di tanah berumput yang masih dibasahi embun.
Parindra mencoba bangkit berdiri.
Tapi sebelum berdiri tegak, satu pukulan keras sudah mendarat lagi di wajahnya.
Begitu keras pukulan itu, sehingga darah langsung muncrat keluar dari mulutnya.
Parindra memekik sekuat-kuatnya,
merasakan sakit yang amat sangat di wajahnya.
Selagi pemuda itu terhuyung-huyung, tiba-tiba saja salah seorang gadis bercawat
yang menyandang pedang di punggung sudah melesat cepat ke belakangnya. Tahutahu, tubuh Parindra sudah
diringkus, dan tangannya dipelintir ke belakang. Parindra berteriak kesakitan
dan meringis merasakan tangannya seperti patah dipelintir ke belakang
punggungnya. "Akh...!"
"Aku bisa mematahkan tanganmu dengan mudah, tahu..."!" bentak gadis bercawat itu
dingin. "Setan! Iblis kalian...!" maki Parindra. Tapi Parindra kembali terpekik keras
begitu gadis bercawat ini
menyentakkan tangannya ke belakang.
Sedangkan lima gadis lainnya hanya berdiri saja sambil menyaksikan
ketidakberdayaan pemuda ini.
Mereka berdiri berjajar di belakang wanita berjubah hitam yang terkekeh melihat
Parindra meringis kesakitan. Darah masih mengucur deras dari mulut dan
hidungnya. Meskipun dia anak seorang pendekar ternama, tapi kepandaian yang dimiliki
Parindra masih begitu rendah. Maka dengan mudah sekali dia dapat ditaklukkan.
"Siapkan tali...!" perintah wanita berjubah hitam itu dengan suara lantang
menggelegar. Dua orang gadis bercawat itu segera melepaskan tali dari serat sabut kelapa yang
melilit pinggangnya. Mereka segera membuat lingkaran dengan tali itu, dan
melemparkan ujung satunya ke atas dahan pohon yang cukup besar dan kuat. Gadis
yang meringkus Parindra kemudian
menyerahkan pemuda ini pada gadis satunya lagi yang memegang tambang lain.
Dengan cepat ditangkapnya tangan Parindra, dan membawanya ke belakang punggung.
Cekatan sekali kedua tangan anak muda itu diikat ke belakang. Parindra mencoba
memberontak, tapi usahanya hanya sia-sia saja, Dia berteriak-teriak, memaki, dan
mengumpat habis-habisan. Namun tak ada seorang pun yang mempedulikannya. Gadis
yang mengikat tangan Parindra kemudian mendorong pemuda itu sampai ke bawah
tambang yang siap menggantungnya.
"Setan! Iblis...! Lepaskan aku...!"
jerit Parindra terus memberontak
sebisanya. Tenaga Parindra memang cukup kuat, sehingga terpaksa harus dipegangi dua orang
gadis. Sementara seorang gadis lainnya mengalungkan tambang ke leher anak muda
belasan tahun ini. Parindra masih saja menggeliat, mencoba
memberontak. Tapi, kekuatannya
benar-benar tidak berarti dibandingkan gadis-gadis bercawat ini.
"Setan! Kubunuh kalian...!" maki Parindra berang.
"Hik hik hik...!" wanita berjubah hitam yang wajahnya seperti tengkorak itu
hanya tertawa saja mendengar makian Parindra.
Wanita berjubah hitam itu
menghentakkan tong-kajnya ke tanah tiga kali. Seketika dua orang gadis yang
memegangj ujung tambang langsung menarik tambang itu. Akibatnya lingkaran
tambang yang melilit di leher Parindra jadi menegang, mencekik leher anak muda
itu. Parindra mendelik dengan mulut ternganga.
Keringat semakin banyak bercucuran di sekujur tubuhnya.
"Lepaskan aku, Pengecut! Ayo, kita bertarung sampai mati...!" tantang Parindra
jadi kalap. "Hik hik hik...!"
*** Tantangan Parindra sama sekali tidak dihiraukan wanita berjubah hitam itu.
Salah seorang gadis yang menyandang pedang di punggung, menghampiri wanita
berjubah hitam itu. Mulutnya didekatkan ke telinga wanita itu.
"Ada apa, Andari?" tanya wanita berjubah hitam
"Apa tidak terburu-buru membunuhnya, Gusti Ratu?" suara wanita bercawat yang
dipanggil Andari itu pelan sekali, dan hampir tidak terdengar.
"Aku hanya ingin dia membuka mulut,"
sahut wanita berjubah hitam itu.
"Kukira Gusti Ratu ingin
membunuhnya."
"Kalau terpaksa."
"Tapi yang penting menemukan mustika itu dulu, Gusti Ratu. Karena benda itu
sangat penting bagi kesempurnaan ilmu yang Gusti Ratu miliki. Tanpa Mustika
Cakar Naga, tidak mungkin semua rencana besar kita bisa terlaksana," Andari
mengingatkan. "Mustika itu memang harus
kudapatkan, Andari. Benda itu lebih penting dari apa pun juga di dunia ini Sudah
lama aku menginginkannya. Dan sekarang, kesempatan itu terbuka lebar bagiku,
sebelum orang-orang persilatan mengetahuinya," tegas Ratu Lembah Mayat Andari
terdiam. "Sekarang, laksanakan perintahku.
Gantung dia, tapi jangan sampai mati Aku ingin dia membuka mulut dulu sebelum ke
neraka." "Baik, Gusti Ratu," sahut Andari.
Gadis berparas cantik yang hanya
memakai cawat dan penutup dada itu melangkah beberapa tindak ke depan. Lalu
diperintahkannya dua orang gadis yang memegangi
tambang untuk menggantung
Parindra. Mendengar perintah itu, kedua gadis bercawat langsung saja menarik
tambang. Akibatnya, Parindra tergantung beberapa jengkal dari tanah.
"Aaakh...!"
Parindra menggeliat-geliat. Kedua matanya mendelik lebar, dan napasnya mulai
tersengal. Mulut anak muda itu ternganga, dan lidahnya mulai menjulur ke luar.
Tubuhnya terus menggelepar, bergantung seperti ayam disembelih. Tapi begitu
pandangan Parindra mulai mengabur, tiba-tiba saja secercah cahaya kuning
keemasan melesat cepat bagai kilat menyambar tambang yang menggantung anak muda
belasan tahun itu.
Tasss! Bruk..! Seketika itu juga Parindra jatuh
terguling di tanah, ketika tambang yang menggantungnya putus tersambar benda
kuning keemasan tadi. Hal ini tentu saja membuat Ratu Lembah Mayat dan enam
orang gadis pengikutnya jadi terperanjat Terlebih lagi, dua gadis yang memegangj
ujung tambang. Mereka sampai terpental ke belakang sejauh beberapa langkah. Enam
orang gadis bercawat itu bergegas
berlompatan ke belakang Ratu Lembah Mayat Sedangkan Parindra sudah tergeletak
diam seperti mati.
"Setan belang...! Siapa yang berani main-main denganku..."! Keluar kau...!"
bentak Ratu Lembah Mayat geram.
"He he he...!"
"Heh..."!"
Bukan main terkejutnya Ratu Lembah Mayat ketika tiba-tiba melesat sebuah
bayangan dari bafik sebongkah baru besar.
Tahu-tahu, di depannya sudah berdiri seorang laki-laki tua mengenakan baju
compang-camping penuh tambalan. Sebatang tongkat kayu berwama merah tergenggam
di tangannya. Rambutnya yang sudah hampir memutih semua teriap tak beraturan,
dengan sedikit gelungan di bagian atas kepalanya.
"He he he...! Dari dulu kelakuanmu tidak pernah berubah, Rara Durga," terasa
dingin nada suara laki-laki tua berbaju compang-camping penuh tambalan itu.
"Phuih! Jangan harap bisa mencampuri urusanku, Pengemis Tongkat Merah!" dengus
Ratu Lembah Mayat yang dipanggil dengan nama sebenamya oleh laki-laki tua itu.
"Sebenamya, aku juga tidak ingin mencampuri urusanmu lagi, Rara Durga.
Tapi kuperhatikan, kau semakin
menjadi-jadi saja. Tindakanmu semakin brutal, sampai-sampai tega hendak
menggantung keponakanmu sendiri," tegas Pengemis Tongkat Merah, tetap kering dan
serak suaranya.
"Pergilah kau,
Pengemis Tongkat
Merah. Jangan menunggu darahku naik..!"
ancam Ratu Lembah Mayat lagi.
Pengemis Tongkat Merah
menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak seperti cecak Kakinya melangkah
menghampiri Parindra yang tergeletak di tanah dengan tangan terikat ke belakang
Seutas tambang masih melilit lehemya.
Pengemis Tongkat Merah membungkuk, memeriksa urat nadi di pergelangan tangan
Parindra. Terdengar tarikan napas panjang Kemudian dia kembali tegak berdiri di
samping tubuh anak muda itu.
"Aku tahu apa yang kau inginkan. Dan seharusnya tidak perlu melakukan hal
seperti ini, Rara Durga," desah Pengemis Tongkat Merah. Nada suaranya terdengar
seperti menyesal.
"Aku tidak butuh nasihatmu!" bentak Ratu Lembah Mayat
"Rupanya, iblis telah benar-benar menguasai hatimu, Cah Ayu. Pantas saja kau
menutupi wajahmu dengan topeng buruk begitu," sindir Pengemis Tongkat Merah
seraya menggeleng-gelengkan kepala.
"Setan...! Kalau kau masih hidup, segala gerakku selalu saja kau
perhatikan. Sudah selayaknya sekarang kau mampus, Pengemis Tongkat Merah!" desis
Ratu Lembah Mayat dingin.
Setelah berkata demikian, Ratu
Lembah Mayat melompat sambil berteriak lantang menggelegar. Satu sabetan
tongkatnya yang berkepala tengkorak, membuat si Pengemis Tongkat Merah terpaksa
melentingkan tubuh ke belakang. Setelah melakukan beberapa kali putaran, manis
sekali kakinya menjejak tanah.
Namun sebelum sempat mengatur sikap tubuhnya, Ratu Lembah Mayat yang bemama asli
Rara Durga sudah kembali melompat menerjang. Tongkat berkepala tengkorak
dikebutkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Begitu kuatnya
kebutan tongkat itu, sehingga menimbulkan deru angin bagai badai topan.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Pertarungan antara Pengemis Tongkat Merah melawan Ratu Lembah Mayat memang
tidak dapat dihindari lagi. Tampak sekali kalau wanita berjubah hitam yang
wajahnya terselubung topeng tengkorak, sangat bernafsu ingin segera menjatuhkan
lawannya. Namun beberapa kali serangan dilakukan, Pengemis Tongkat Merah masih
mampu menghindar. Tapi, tampaknya pengemis itu juga mendapat kesulitan untuk
balas menyerang.
*** Sementara Ratu Lembah Mayat
bertarung dengan si Pengemis Tongkat Merah, dua orang gadis bercawat yang
menyandang pedang di punggung sudah bergerak menghampiri Parindra. Empat orang
gadis lainnya bergegas menghampiri.
Empat orang gadis itu mengangkat tubuh Parindra, dan mengusungnya diatas pundak.
Namun mereka belum beranjak pergi, dan masih memperhatikan jalannya
pertarungan. "Bawa anak itu ke lembah. Nanti aku menyusul...!" seru Ratu Lembah Mayat keras
menggelegar. Rupanya, wanita berjubah hitam itu melihat perbuatan anak buahnya yang telah
mengamankan Parindra. Tanpa menunggu perintah dua kali, empat gadis bercawat
yang membawa Parindra cepat berlari meninggalkan tempat itu dengan
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tjngkat tinggi.
Sehingga, sebentar saja mereka sudah jauh
meninggalkan tempat itu. Sementara dua orang gadis lainnya masih tetap tinggal
di sana, bersiap-siap membantu pimpinannya jika mengalami desakan.
"Apa yang akan kau lakukan pada anak itu, Rara Durga...?" tanya Pengemis Tongkat
Merah jadi gusar.


Pendekar Pulau Neraka 26 Ratu Lembah Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan urusanmu! Hiyaaat..!" bentak Ratu Lembah Mayat lantang menggelegar.
Wuk! "Uts!"
Hampir saja ujung tongkat Ratu Lembah Mayat yang berbentuk kepala tengkorak itu
menghantam kepala Pengemis Tongkat Merah.
Untung saja pengemis itu segera merunduk, sehingga tongkat Ratu Lembah Mayat
lewat sedikit saja di atas kepalanya. Angin sabetannya begitu terasa, mengandung
udara panas yang begitu menyengat.
Pengemis Tongkat Merah tampak terkejut begitu merasakan hawa panas yang
menyengat di atas kepalanya.
"Hup!"
Cepat-cepat pengemis itu melompat ke belakang sejauh lima langkah. Sebentar
kemudian kedua tangannya melakukan beberapa gerakan cepat di depan dada, lalu
memutar tongkatnya bagai baling-baling.
Tatapan matanya begitu tajam, menyorot langsung ke bola mata Ratu Lembah Mayat
"Jurus 'Tongkat Beracunmu mengalami kemajuan pesat, Rara Durga," desah Pengemis
Tongkat Merah memuji.
"Asal kau tahu saja. Jurus itu kupersiapkan untuk mengirimmu ke neraka, Pengemis
Tongkat Merah. Kau terlalu usil, selalu saja mencampuri urusanku!" sambut Ratu
Lembah Mayat, tidak kalah dingin.
Pengemis Tongkat Merah mendengus
saja. Dia tahu, jurus 'Tongkat Beracun'
yang telah dikuasai wanita berjubah hitam ini sangat dahsyat luar biasa. Lima
tahun yang lalu, pengemis itu juga pernah bertarung melawan Ratu Lembah Mayat
yang juga menggunakan jurus ini. Tapi, waktu itu dia masih bisa menahan. Dan
tampaknya, Ratu Lembah Mayat sudah lebih
menyempurnakan lagi. Terbukti, hawa panas yang dirasakan begitu menyengat dan
udara di sekitamya juga menyesakkan. Kalau saja pengemis itu tadi tidak cepat
menahan napas dan menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh, barangkali sekarang
ini sudah tergeletak Bahkan juga meregang
nyawa, karena menghisap udara beracun dari jurus 'Tongkat Beracun'.
"Tahan jurus 'Tongkat Beracunku ini, Pengemis Tongkat Merah! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Ratu Lembah Mayat melompat cepat
bagai kilat menyerang si Pengemis Tongkat Merah. Tongkat yang berkepala
tengkorak itu berputaran cepat menimbulkan suara deru angin disertai hembusan
hawa panas yang menyengat Akibatnya, udara di sekitamya jadi terasa sesak
"Hup! Yeaaah...!"
Bet! Pengemis Tongkat Merah cepat-cepat mengebutkan tongkatnya, menangkis serangan
tongkat Ratu Lembah Mayat yang begitu kuat dan cepat luar biasa. Tak pelak lagi,
dua batang tongkat beradu keras di udara.
Trak! Glarrr...! Begitu kerasnya tongkat itu beradu, sehingga menimbulkan ledakan dahsyat
menggelegar. Tampak Pengemis Tongkat Merah terpental ke belakang sejauh dua
batang tombak Tubuhnya berputaran di udara beberapa kali, sebelum kakinya
berhasil menjejak tanah. Sedangkan Ratu Lembah Mayat manis sekali langsung
mendarat di tanah. Sementara itu Pengemis Tongkat Merah jadi terbeliak melihat
tongkat merah andalannya terpenggal jadi dua bagian.
"Heh..."!"
"Ha ha ha...!" Ratu Lembah Mayat tertawa terbahak-bahak melihat tongkat lakilaki tua itu patah jadi dua bagian.
"Gila...! Benar-benar pesat kemajuan yang dicapainya...," desah Pengemis Tongkat
Merah. "Kalau Mustika Cakar Naga sampai dimilikinya, tentu tak ada lag!
yang dapat menandinginya. Keinginan gilanya untuk menguasai seluruh rimba
persilatan benar-benar akan
dilaksanakan."
"Bersiaplah untuk mampus, Manusia Usil!" dengus Ratu Lembah Mayat Setelah
berkata demikian, Ratu
Lembah Mayat kembali memutar tongkatnya dengan cepat di depan dada. Lalu
mendadak saja tongkat itu dikebutkan ke depan. Pada saat itu, tiba-tiba saja
berhembus angin topan yang sangat dahsyat. Begitu kuatnya hembusan angin ini,
membuat si Pengemis Tongkat Merah sampai terdorong beberapa langkah ke belakang
Dan sebelum sempat melakukan sesuatu, tahu-tahu Ratu Lembah Mayat sudah melesat
cepat dengan ujung
tongkat berkepala tengkorak terhunus ke depan.
"Mampus kau, hiyaaat...!"
"Hap!"
Tak ada lag! kesempatan bagi Pengemis Tongkat Merah untuk menghadapi serangan
yang begitu cepat dan beruntun ini Maka tubuhnya cepat melenting ke udara. Tapi
hembusan angin topan yang begitu kuat, membuat keseimbangan tubuhnya jadi goyah.
Dan ketika Ratu Lembah Mayat mengibaskan tongkat ke arah dada, Pengemis Tongkat
Merah tak dapat lag! Berkelit menghindar.
Begkh! "Akh,..!"
Tubuh Pengemis Tongkat Merah
terpental jauh ke belakang begitu dadanya terhantam pukulan ujung tongkat
berbentuk kepala tengkorak manusia itu. Keras sekali tubuhnya jatuh ke tanah,
dan bergulingan beberapa kali. Namun cepat pengemis itu melompat bangkit
berdiri, meskipun dua kali memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Selagi masih merasakan nyeri dan
sesak napas di dadanya, lagi-lagi Ratu Lembah Mayat sudah melancarkan serangan
cepat. Begitu cepatnya, sehingga Pengemis Tongkat Merah benar-benar tidak dapat
berbuat apa-apa lagi.
"Hiyaaa...!"
Der...! "Aaakh...!"
Satu gedoran yang begitu keras,
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, seketika mendarat telak di dada lakilaki tua itu. Akibatnya tubuh pengemis itu terpental ke belakang seperti sehelai
daun kering tertiup angin Dua batang pohon yang cukup besar, seketika hancur
berkeping-keping terianda tubuhnya.
Dan begitu menggelimpang di tanah, Ratu Lembah Mayat sudah melesat
memburunya. Ujung tongkat yang runcing itu segera dihunjamkan ke dada Pengemis
Tongkat Merah. Tapi begitu ujung tongkat yang runcing itu hampir memanggang dada
si Pengemis Tongkat Merah, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan kuning
menyambar tubuh laki-laki tua itu. Begitu cepatnya berkelebat, sehingga Ratu
Lembah Mayat sendiri pun tidak sempat menyadari.
Maka, ujung tongkatnya temyata hanya menghunjam tanah kosong.
"Hei,.."!" Ratu Lembah Mayat tersentak kaget
Wajahnya jadi terlongong begitu
melihat lawannya yang sudah tak berdaya lagi, tahu-tahu lenyap tanpa diketahui
rimbanya. Tongkatnya yang terbenam di
tanah hampir separuh itu segera
dicabutnya. Sambil mendengus berang, tubuhnya diputar. Seketika pandangannya
beredar ke sekeliling. Tapi, si Pengemis Tongkat Merah sudah lenyap bagai
tertelan bumi saja.
"Setan belang...! Keparat..!" geram Ratu Lembah Mayat mengumpat marah.
Mata Ratu Lembah Mayat kini menatap dua orang gadis yang juga terbengong begitu
menyadari si Pengemis Tongkat Merah lenyap begitu saja. Kemudian perempuan itu
melangkah dengan kaki terhentak kesal mendekati dua orang gadis pengikutnya.
"Kalian lihat, ke mana si keparat itu pergi?" tanya Ratu Lembah Mayat masih
dengan nada suara mendesis geram.
Kedua gadis itu hanya menggelengkan kepala saja.
"Edan...! Bagaimana mungkin dia bisa lenyap begitu saja...?"
Ratu Lembah Mayat kembali
mengedarkan pandangan ke sekeliling, kemudian kembali menatap dua gadis bercawat
di depannya. Tanpa berkata apa-apa
lagi, dia berbalik dan
mengayunkan kaki sambil mengayun ayunkan tongkatnya. Beberapa kali tongkatnya
dihentakkan ke tanah sambil mendengus berat.
"Ayo, kita kembali ke lembah," ajak Ratu Lembah Mayat.
Kedua gadis itu bergegas mengjkuti dari belakang. Tak ada seorang pun yang
berani membuka suara. Mereka tahu, hari perempuan berjubah hitam ini sedang
kesal. Karena, lawan yang sudah tidak berdaya bisa lenyap begitu saja tanpa
diketahui sebabnya.
*** 6 Malam sudah menyelimuti seluruh
permukaan bumi. Kegelapan begitu nyata, tanpa adanya sinar bulan sedikit pun
membias di angkasa. Bahkan bintang pun tak nampak langit begitu kelam,
terbungkus awan tebal menghitam. Angin malam berhembus agak kencang, menyebarkan
udara dingin yang menggigilkan, sampai merasuk ke dalam tulang.
Di dalam sebuah relung gua, terlihat seorang laki-laki tua mengenakan baju
compang-camping tergolek dengan napas lemah. Seonggok api unggun, membuat
keadaan di dalam gua itu terasa hangat.
Tidak jauh dari laki-laki tua itu, tampak seorang pemuda berbaju kulit harimau
tengah duduk bersila memandangi wajahnya.
Entah sudah berapa lama, laki-laki tua yang temyata adalah si Pengemis Tongkat
Merah itu terbaring dengan mata tertutup.
Tepat ketika terdengar lolongan
anjing hutan, kelopak mata laki-laki tua itu terbuka. Bergegas tubuhnya bangkit
duduk, dan terkejut begitu melihat di dekatnya duduk seorang pemuda tampan
mengenakan baju dari kulit harimau. Di pangkuan pemuda itu mebngkar seekor
monyet kecil berbulu hitam. Pemuda itu tersenyum, lalu kepalanya terangguk
sedikit "Kaukah yang menyelamatkanku dari Ratu Lembah Mayat...?" tanya Pengemis Tongkat
Merah. "Hanya kebetulan saja, Ki," sahut pemuda itu me-rendah.
"Hm.... Rasanya kita pernah
bertemu," gumam Pengemis Tongkat Merah seraya memandangi pemuda di depannya.
"Di kedai, tapi tidak sempat bertegur sapa."
"Benar...! Waktu itu kau bersama Parindra, putra sulung Pendekar Cakar Naga."
Pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain Pendekar Pulau Neraka hanya
tersenyum saja. Tapi senyumnya terasa begitu kecut, dan seperti dipaksakan.
Sedangkan Pengemis Tongkat Merah hanya tertunduk, seakan-akan berduka ketika
teringat kalau Parindra sekarang berada di dalam cengkeraman si Ratu Lembah
Mayat. Dia menyesal, karena gagal menyelamatkan nyawa anak muda itu.
Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, sibuk dengan fikiran masingmasing. Hampir bersamaan, mereka menghembuskan napas panjang yang begitu berat
Kemudian mereka saling melemparkan pandang, seperti telah mengetahui isi hari
masing-masing. "Maaf. Aku tidak bisa menyelamatkan Parindra dari tangan mereka. Aku tahu, kau
sudah bersusah payah membawanya sampai ke sini," ucap Pengemis Tongkat Merah
lirih. "Tidak perlu menyesali diri, Ki.
Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu pada diri Parindra," sahut Bayu.
"Aku tahu, ke mana mereka membawa Parindra. Hanya saja, masalahnya kini...,"
Bayu tidak meneruskan kata-katanya.
"Aku tahu, Anak Muda...."
"Bayu. Panggil saja aku Bayu, Ki,"
potong Bayu meminta.
"Memang sulit masuk ke Lembah Mayat Terlalu banyak jebakan yang tidak bisa
diduga, tersebar di sana. Dan letak Istana Ratu Lembah Mayat sangat sulit
didekati,"
sambung Pengemis Tongkat Merah yang sempat terputus pembicaraannya tadi.
"Lagi pula kalau berhasil menyelamatkan anak itu, apa mungkin dia bisa diterima
kembali di Desa Batang..." Semua orang di desa itu sangat membencinya."
"Semua itu hanya kesalahpahaman belaka, Ki. Aku rasa mereka sudah menyadari
kesalahannya, dan kini
menyesali perbuatannya yang ceroboh.
Tanpa berpikir panjang dulu," kata Bayu.
"Bagaimana kau bisa mengatakan semua itu hanya salah faham saja, Bayu?"
Pengemis Tongkat Merah jadi tidak mengerti.
"Aku tahu dari salah seorang sesepuh desa itu," sahut Bayu.
"Kau percaya pada kata-katanya, Bayu?"
"Entahlah.... Masih harus dibuktikan dulu, kalau tindakan mereka pada keluarga
Pendekar Cakar Naga hanya didasari kesalahpahaman dan kecerobohan. Bahkan
sampai menimbulkan korban nyawa," sahut Bayu dengan suara agak mendesah.
"Apa pun namanya, mereka harus bertanggung Jawab atas kematian istri Pendekar
Cakar Naga. dan anaknya yang tak berdosa," desis Pengemis Tongkat Merah.
Terutama Eyang Bagasrana,yang memimpin pembantaian itu. Dialah yang harus
bertanggung jawab penuh!"
"Mereka memang harus bertanggung jawab, Ki. Tapi kurasa masih bisa diselesaikan
dengan cara musyawarah dan kekeluargaan. Sehingga, tidak akan terjadi
perselisihan lebih lanjut yang bisa menimbulkan banyak korban."
"Kau benar, Bayu. Tapi yang penting sekarang, secepatnya Parindra harus
diselamatkan," selak Pengemis Tongkat Merah.
"Benar Ki, Besok pagi-pagi sekali, kita berangkat ke Lembah Mayat. Hm....
Apakah kau kuat menempuh perjalanan berat Ki?"
"Aku tidak tahu, apa yang kau lakukan. Keadaan tubuhku benar-benar pulih seperti
sedia kala. Terima kasih, Anak Muda," ucap Pengemis Tongkat Merah.
"Sudahlah, Ki. Aku hanya memberi hawa murni. Untung saja, kau mampu membendung
hawa racun di tenggorokan, sehingga tidak
sempat menjalar sampai ke Jantung,"
lagi-lagi Bayu merendah.
"Bagaimanapun juga, aku patut mengucapkan terima kasih padamu, Bayu.
Dan ini merupakan hutang yang tak mungkin terbayar."
"Sebaiknya, kita istirahat saja malam ini, Ki. Kita harus menempuh perjalanan
berat besok pagi."
"Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu pada Parindra," desah Pengemis Tongkat
Merah. "Kau yakin, Ki...?" tanya Bayu seraya mengerutkan keningnya.
"Ya. Karena Parindra itu
keponakannya."
"Maksudmu, Ki...?" Bayu tidak mengerti.
"Ratu Lembah Mayat adalah adik ibunya."
"Oh...,"
Bayu mendesah tidak
menyangka. "Tapi, kenapa dia ingin membunuh Parindra?"
"Sudah lama dia menginginkan batu mustika yang ada Pedang Cakar Naga. Tapi dia
tidak bisa memilikinya selama Pendekar Cakar Naga masih hidup. Dan sekarang
kesempatan itu datang padanya,"
Pengemis Tongkat Merah menjelaskan.
"Lalu di mana sebenamya pedang itu?"
tanya Bayu. "Itulah persoalannya. Pedang itu menghilang setelah Pendekar Cakar Naga tewas
dalam pertarungan," sahut Pengemis Tongkat Merah.
Bayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Pemuda berbaju kulit harimau itu lalu memindahkan monyet kecil dari
pangkuannya ke atas rerumputan kering Kemudian merebahkannya di samping
tubuhnya. Sementara Pengemis Tongkat Merah
masih tetap duduk bersila. Kedua
tangannya diletakkan di atas lututnya yang tertekuk Sebentar kemudian, kelopak
matanya kembali terpejam. Rupanya dia bersemadi untuk menyempumakan kesehatan
tubuhnya agar bisa
seperti semula kembali, ketika belum mengalami cedera akibat pertarungannya dengan Ratu Lembah
Mayat. *** Hangatnya sinar matahari membuat
Pendekar Pulau Neraka menggeliat.
Sebentar matanya dikerjapkan, lalu menggerinjang bangun. Bibimya
menyunggingkan senyuman begitu melihat
monyet kecil berbulu hitam mencerecet sambil berjingkrakan, bercanda dengan
Pengemis Tongkat Merah.
"Kau sudah bangun, Bayu...?"
Bayu hanya tersenyum saja, lalu


Pendekar Pulau Neraka 26 Ratu Lembah Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri dan berjalan mendekati kolam batu yang berair jernih. Kemudian muka dan
tangan dibasuhnya. Sementara Pengemis Tongkat Merah sudah berdiri. Tiren, monyet
kecil berbulu hitam sudah berada di pundak kanan laki-laki tua berbaju kumal
penuh tambalan itu. Begitu Bayu mendekat, Tiren cepat berpindah ke pundak
Pendekar Pulau Neraka.
"Bagaimana tidurmu, Ki?" tanya Bayu.
"Lumayan," sahut Pengemis Tongkat Merah.
Padahal, semalaman dia tidak tidur untuk bersemadi sampai matahari muncul di
ufuk Timur. Sedangkan Bayu tidur nyenyak sekali. Mereka kemudian merangkak
keluar dari dalam gua. Ruangan di dalam gua ini memang luas sekali. Tapi untuk
masuk ke dalam gua ini harus merangkak, karena lorong mulut gua ini begitu
kecil. "Hhh...! Segar sekali udara pagi ini...," desah Bayu begitu sampai di luar gua.
Sementara Pengemis Tongkat Merah
baru saja keluar dari mulut gua yang
sempit Kakinya melangkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang tengah menikmati
udara segar. Sebentar Pengemis Tongkat Merah berhenti di samping pemuda berbaju
kulit harimau ini, kemudian melangkah beberapa tindak ke depan.
Tubuhnya membungkuk, memungut sebatang tongkat kayu berwama merah. Diamatinya
tongkat yang bagian tengahnya terpotong.
"Ini potongannya, Ki" kata Bayu yang tahu-tahu sudah berdiri di samping Pengemis
Tongkat Merah. Laki-laki tua berbaju kumal penuh tambalan itu berpaling sedikit, lalu menerima
potongan tongkat merah
kebanggaannya dari tangan Pendekar Pulau Neraka. Diamatinya dua potongan tongkat
merah itu, kemudian disambungnya tepat pada tempat yang patah. Dan kini,
digenggamnya bagian yang tersambung itu dengan tangan kanannya. Periahan-lahan
tongkat itu diangkat sampai melewati di atas kepalanya.
Bayu hanya memperhatikan saja.
Kening Pendekar Pulau Neraka jadi berkerut melihat asap kehitaman mengepul dari
sela-sela jari tangan yang
menggenggam tongkat itu. Tampak bibir Pengemis Tongkat Merah bergerak-gerak
bergetar, memperdengarkan dengungan seperti lebah.
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu asap hitam yang mengepul dari genggaman tangan kanannya menipis, Pengemis
Tongkat Merah melemparkan tongkat itu ke udara. Tongkat itu melayang tinggi ke
angkasa, lalu berputaran cepat sekali. Sehingga, yang teriihat hanya lingkaran
merah dari tongkat yang berputaran cepat di angkasa.
"Hup...!"
Bagaikan seekor burung elang,
Pengemis Tongkat Merah melesat cepat ke angkasa. Seketika tangannya menangkap
tongkat merah, lalu meluruk turun dengan gerakan indah sekali. Tanpa bersuara
sedikit pun, laki-laki tua berbaju kumal penuh tambalan ini men-darat kembali
tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka.
Bibimya tersenyum memperhatikan
tongkatnya yang sudah kembali tersambung utuh sediakala.
"Hebat..," desis Bayu tanpa sadar.
"Tongkat ini merupakan nyawa kedua baglku," jelas Pengemis Tongkat Merah seraya
menimang-nimang tongkat merahnya.
Dan memang, dengan tongkat merah itu julukannya menjadi Pengemis Tongkat Merah.
Sebatang tongkat yang sepertinya
tidak memiliki arti sama sekali, tapi bisa menjadi sebuah senjata sangat ampuh.
Baru saja dia memperiihatkan satu kesaktian yang membuat Pendekar Pulau Neraka
terkagum-kagum.
Betapa tidak.." Tongkat yang sudah patah menjadi dua bagian bisa tersambung
lagi! Bahkan tanpa memperiihatkan sambungannya sedikit pun juga. Tongkat itu
seperti tidak pernah patah
sebelumnya. Benar-benar sebuah benda sederhana, tapi sangat berarti bagi pemiliknya.
Karena, tanpa tongkat itu Pengemis Tongkat Merah tidak ada artinya sama sekali.
Bahkan jurus-jurusnya berubah tak berarti. Namun Pengemis Tongkat Merah memang
tidak pernah memperdalam
jurus-jurus tangan kosong. Dan ini merupakan satu kelemahannya yang sulit
ditutupi. "Kita berangkat sekarang?" ajak Pengemis Tongkat Merah.
"Ayo...."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka
melangkah meninggalkan tempat itu menuju Lembah Mayat. Pengemis Tongkat Merah
memang sudah pernah ke Lembah Mayat Dan dari sini, memerlukan waktu sedikitnya
satu hari berjalan kaki. Tapi jika
mempergunakan ilmu lari cepat yang diimbangi pengerahan ilmu meringankan tubuh,
bisa ditempuh tidak sampai setengah hari.
Tapi belum juga mereka jauh
meninggalkan mulut gua batu itu,
tiba-tiba terdengar langkah kaki kuda dari arah depan. Seperti ada yang memberi
aba-aba, Bayu dan Pengemis Tongkat Merah langsung menghentikan ayunan kakinya.
Sebentar mereka saling melemparkan pandang, kemudian sama-sama melompat ke atas.
Hampir bersamaan, mereka mendarat di atas dahan pohon yang sama.
"Hm.... Siapa mereka...?" gumam Bayu perlahan, seperti bertanya pada dirinya
sendiri, begitu samar-samar melihat ada sekitar lima orang menunggang kuda
menuju ke arah ini.
"Aku tahu, siapa mereka," sahut Pengemis Tongkat Merah juga pelan suaranya, dan
hampir tidak terdengar telinga Bayu yang berada di sampingnya.
Pendekar Pulau Neraka berpaling
sedikit menatap Pengemis Tongkat Merah.
Pada saat itu, kelima orang penunggang kuda sudah demikian dekat. Dan sebentar
lagi pasti akan lewat di bawah pohon ini.
Bayu kembali memperhatikan lima orang laki-laki penunggang kuda yang kini baru
teriihat jelas. Dan seketika, jantungnya seperti berhenti berdetak
begitu mengenali empat orang dari kelima penunggang kuda itu.
"Hup...!"
*** Bayu tersentak kaget ketika
tiba-tiba saja Pengemis Tongkat Merah meluruk turun dari pohon ini. Tak ada
kesempatan lagi bagi Pendekar Pulau Neraka untuk mencegah. Pengemis Tongkat
Merah sudah mendarat menghadang lima orang penunggang kuda itu. Kemunculan
Pengemis Tongkat Merah yang begitu tiba-tiba, tentu saja mengejutkan kelima
penunggang kuda itu. Kuda-kuda mereka seketika meringkik keras, seraya
mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggl "Pengemis edan...! Minggir kau!"
bentak salah seorang penunggang kuda yang berusia sekitar lima puluh tahun
Sementara Bayu yang berada di atas pohon hanya memperhatikan saja. Dia mengenali
empat orang dari kelima penunggang kuda yang sudah turun dari kuda masingmasing. Salah seorang dari mereka adalah Ladra. Dia memang pernah bercerita
banyak dengan Pendekar Pulau Neraka.
Sementara tiga anak muda teman Ladra memang sempat bertarung dengannya.
Tepatnya ketika dia masih bersama Parindra di pinggiran sebuah desa.
Sedangkan yang seorang lagi, sama sekali Bayu belum pernah melihat
Tentu saja, Bayu tidak mengenal
Karpak yang menyandang senjata sebilah golok berukuran besar. Karena, dia baru
sekali datang ke Desa Batang. Dan itu juga harus menghadapi keroyokan penduduk
Desa Batang. Dari Ladra, Pendekar Pulau Neraka tahu sebab-sebab penduduk Desa
Batang menyerangnya.
"Mau apa kau menghadang kami, Pengemis Tongkat Merah?" tanya Ladra dengan suara
dibuat sopan, tidak seperti Karpak yang tahu-tahu sudah membentak kasar tadi.
Sedangkan Pengemis Tongkat Merah
hanya tersenyum saja mendapat pertanyaan Ladra yang nada-nya dibuat sopan.
Kakinya melangkah beberapa tindak ke depan, dan berhenti sekitar dua batang
tombak lagi di depan lima orang ini.
"Aku tahu, ke mana kalian akan pergi.
Sebaiknya, kalian kembali saja," tegas Pengemis Tongkat Merah.
"Phuah! Apa urusanmu melarang kami, heh..."!" sentak Karpak tidak senang.
"Ratu Lembah Mayat bukan lawan tanding kalian Menghadapi anak buahnya saja,
kalian tidak akan mampu. Sebaiknya, kembali saja daripada mengantarkan nyawa
sia-sia," tetap tenang dan tegas suara Pengemis Tongkat Merah.
"Jangan pedulikan omongannya! Ayo, kita pergi..!" ajak Karpak
Setelah berkata demikian, Karpak
langsung melompat naik ke punggung kudanya. Tiga orang anak muda yang pernah
bertarung melawan Pendekar Pulau Neraka juga segera berlompatan naik ke punggung
kuda masing-masing. Kini tinggal Ladra yang masih berdiri di depan Pengemis
Tongkat Merah. "Ayo, Ladra...!" seru Karpak. Ladra diam saja. Hatinya seperti bimbang setelah
mendengar peringatan Pengemis Tongkat Merah. Dia tahu, siapa laki-laki
berpakaian kumal penuh tambalan ini Memang Pengemis Tongkat Merah tidak asing
lagi di Desa Batang. Dia adalah sahabat kental Pendekar Cakar Naga, sekaligus
sahabat Eyang Bagasrana, Ketua Padepokan Kalong Hitam yang bermarkas di Desa
Batang. Tingkat kapandaian Pengemis Tongkat Merah tidak bisa diragukan lagi
Bahkan bisa disejajarkan dengan Pendekar Cakar Naga.
"Ladra, kau mau ikut apa tidak..?"
Karpak sudah tidak sabar lagi.
Perlahan Ladra berpaling menatap
Karpak yang sudah berada di punggung kudanya, kemudian beralih pada Pengemis
Tongkat Merah. Jelas sekali kalau hatinya bimbang Tapi, akhimya dia melangkah
mendekati Pengemis Tongkat Merah dan berdiri di samping laki laid tua
berpakaian kumal penuh tambalan itu.
"Kau saja yang pergi, Karpak," ujar Ladra tegas, setelah mengambil keputusan.
"Heh..."! Apa katamu...?" Karpak jadi terperanjat.
"Kurasa memang tidak ada gunanya kita ke sana. Ratu Lembah Mayat bukan tandingan
kita, Karpak," ujar Ladra lagj.
"Pengecut...?" desis Karpak menggeram.
"Terserah apa katamu, Karpak.
Rasanya, aku sudah memilih yang benar."
"Huh!"
Karpak menatap tajam Ladra dan
Pengemis Tongkat Merah bergantian, kemudian menggebah cepat kudanya. Tiga anak
muda yang berada di belakang Karpak, juga segera menggebah kudanya mengikuti
laki-laki setengah baya bersenjata golok
berukuran besar itu. Mereka melewati Pengemis Tongkat Merah dan Ladra yang hanya
bisa memandangi, menyesali tindakan Karpak yang nekat hendak ke Lembah Mayat
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu pada mereka," desah Pengemis Tongkat Merah
perlahan. Sedangkan Ladra hanya memandangi
kepergian Karpak dan tiga orang anak muda itu. Mereka semakin jauh, dan lenyap
begitu masuk ke dalam hutan yang cukup lebat Ladra dan Pengemis Tongkat Merah
masih tetap berdiri diam, meskipun empat orang dan Desa Batang itu sudah tidak
terlihat lagi. "Mau apa mereka ke sana, Ladra?"
tanya Pengemis Tongkat Merah.
"Membebaskan Parindra," jelas Ladra.
"Membebaskan Parindra...?" Pengemis Tongkat Merah terkejut mendengar jawaban
Ladra yang perlahan, tapi cukup jelas terdengar.
Laki-laki tua berbaju kumal penuh tambalan itu memandangi Ladra
tajam-tajam. Hatinya benar-benar
terkejut Karena setahunya, tak ada seorang pun yang tahu kalau sekarang ini
Parindra berada di tangan Ratu Lembah Mayat Hanya dia dan Pendekar Pulau Neraka
saja yang tahu. Dan peristiwa itu juga baru terjadi kemarin.
"Dan mana kau tahu kalau Parindra ada di sana?" tanya Pengemis Tongkat Merah
bernada rnenyelidik.
"Karpak yang memberi tahu," sahut Ladra.
"Heh..."!" lagi-lagi Pengemis Tongkat Merah tersentak kaget.
"Ada apa, Pengemis Tongkat
Merah...?" tanya Ladra, tidak mengerti.
Pengemis Tongkat Merah tidak
menjawab, dan segera berteriak memanggil Bayu sambil mendongakkan kepala ke
atas. Tap lagi-lagi hatinya tersentak kaget Temyata di atas pohon tidak terlihat lag!
Pendekar Pulau Neraka.
"Ke mana dia...?" desah Pengemis Tongkat Merah menggumam pelan.
"Bayu..." Apakah dia Pendekar Pulau Neraka...?" tanya Ladra.
"Benar. Tadi dia ada di atas pohon itu."
"Jangan-jangan..."
"Ayo kita susul mereka!"
Tanpa menunggu waktu lagi, Pengemis Tongkat Merah melesat cepat meninggalkan
tempat itu. Ladra Juga segera melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh,
tidak lagi mempedulikan kudanya yang
asyik merumput di bawah pohon. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki dua orang itu, sehingga sebentar saja sudah lenyap tak teriihat lagi.
Mereka telah tertelan oleh lebatnya pepohonan yang menyemaki seluruh
permukaan bukit kecil ini.
*** 7 Sementara itu, Karpak, Sutrana,
Badur, dan Rakasa sudah sampai di tepi Lembah Mayat Nama yang dimiliki lembah
kecil ini memang bisa membuat bulu kuduk merinding. Tapi, sebenamya lembah ini
indah sekali. Tak ada tanda-tanda keangkeran di sekitamya, seperti yang banyak
dikatakan orang. Sepanjang mata memandang, hanya keindahan saja yang tampak
Namun tak akan ada yang menyangka kalau lembah ini mengandung sejuta bahaya
mengancam. "Sepertinya mudah untuk masuk ke sana...," gumam Sutrana.
Mereka semua memandang sebuah
bangunan yang terbuat dari batu. Bangunan itu menyerupai sebuah candi di
tengah-tengah lembah indah ini. Bentuknya sangat indah, dan tidak mencerminkan
keangkeran sedikit pun. Apa yang selama ini didengar tentang Istana Lembah Mayat
ternyata jauh berbeda dengan
kebenarannya. Tak ada kesan menyeramkan.
Yang ada, justru keindahan yang sukar dilukiskan.
"Ayo, kita ke sana," ajak Karpak Mereka segera menggebah kuda
menuruni lembah ini. Jalan yang dilalui cukup landai, dan mudah dilewati kuda.
Tapi belum juga jauh bergerak, tiba-tiba saja tanah di tempat mereka terbongkar.
Seketika dari dalam tanah itu,
berhamburan puluhan batang tombak bermata hitam.
"Awas...!" seru Sutrana yang mengetahui lebih dulu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Sutrana, Badur, dan Rakasa
berlompatan dari punggung kuda. Mereka berputaran di udara menghindari
tombak-tombak yang berhamburan di sekitar tubuh. Sedangkan Karpak malah memacu
cepat kudanya ke depan. Aneh...!
Tombak-tombak itu malah melewati atas kepala Karpak. Dan begitu lewat dari tanah
yang terbongkar, Karpak cepat
menghentikan lari kudanya. Wajahnya berpaling menatap tiga laki-laki yang sibuk
menghindari serbuan tombak-tombak yang bermunculan dari dalam tanah, dan seperti
tidak ada habisnya.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Karpak menggebah
kudanya, tanpa mempedulikan tiga
laki-laki yang sibuk menyelamatkan diri dari hujan tombak bermata hitam ini. Dia
terus menggebah kudanya mendekati bangunan berbentuk candi yang berada di
tengah-tengah lembah. Dan begitu Karpak lenyap di dalam bangunan dari batu itu,
seketika tanah yang menganga terbongkar langsung bergerak menutup. Maka hujan
tombak pun seketika berhenti.
"Heh..."! Di mana Paman Karpak...?"
tanya Sutrana. Badur dan Rakasa tidak menjawab.
Mereka tadi memang terlalu sibuk
menyelamatkan din dari serbuan
tombak-tombak yang datang seperti hujan.
Sejenak mereka saling melempar pandang.


Pendekar Pulau Neraka 26 Ratu Lembah Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak tahu, ke mana Karpak pergi. Keindahan lembah ini seketika lenyap dari
pandangan mereka. Temyata di balik keindahan lembah
ini tersembunyi sejuta bahaya yang siap mengancam.
"Bagaimana sekarang...?" tanya Rakasa seperti bertanya pada diri sendiri.
"Bagaimana lagi...?" Badur malah balik bertanya. Dan selagi kebingungan, tibatiba saja tanah-tanah di sekitar mereka berhamburan terbongkar.
Akibatnya, ketiga laki-laki ini
terperanjat Begitu terkejutnya, sehingga sampai
berlompatan merapat beradu
pungung. Dari tanah yang terbongkar tadi, bermunculan gadis-gadis cantik yang
hanya mengenakan cawat dan penutup dada. Mereka semua memegang senjata tombak
panjang bermata hitam pekat Ada sepuluh gadis cantik dengan tombak terhunus ke
depan, telah berdiri mengepung ketiga laki-laki ini.
"Hiyaaa...!"
" Yeaaah...!"
Tanpa berkata apa-apa lagi, sepuluh gadis cantik bercawat itu langsung
berlompatan menyerang ketiga laki-laki dari Desa Batang itu. Serangan mereka
begitu serempak, dengan mata tombak tertuju langsung ke tubuh ketiga
laki-laki ini. "Keluarkan pedang..!" teriak Sutrana memberi perintah.
Sret! "Hiyaaat..!"
Secara bersamaan, Badur dan Rakasa mencabut pedang mengikuti perintah Sutrana.
Pedang mereka langsung dikebut, menyampok tombak-tombak yang meluncur deras
mengancam nyawa. Denting senjata beradu seketika terdengar meningkahi teriakanteriak-an keras yang saling susul.
Pertarungan memang tak dapat
dihindari lagi. Sepuluh orang gadis bercawat itu menyerang cepat secara
berganhan dari segala arah. Dan terkadang mereka bertukar tempat membuat
Sutrana, Badur, dan Rakasa jadi kelabakan
menghadapi mereka.
"Berpencar...!" seru Sutrana lantang.
Badur dan Rakasa langsung
beriompatan ke arah kanan dan kiri. Mereka berpencar, membuat sepuluh orang
gadis bercawat ini jadi kebingungan. Dan di saat mereka belum bisa menentukan
apa-apa, ketiga laki-laki dari Desa Batang itu sudah menyerang cepat Pedang
mereka berkelebat membabat ke arah dada dan leher. Begitu cepatnya serangan yang
dilakukan, sehingga membuat gadis-gadis bercawat ini jadi kelabakan. Tak ada
lagi kesempatan bagi mereka untuk berkelit.
"Aaa...!"
Jerit dan pekikan melengking tinggi seketika terdengar saling susul.
*** "Ada sesuatu yang harus kusampaikan segera, Gusti Ratu. Dan ini penting sekali,"
sahut Karpak. Sikapnya tampak hormat sekali.
"Apa itu..." Katakan cepat
Karpak...?"
"Tentang Batu Mustika Cakar Naga."
"Hm...," Ratu Lembah Mayat mengerutkan keningnya mendengar mustika yang dicaricarinya disebut laki-laki separuh baya ini.
"Sebenamya mustika itu masih ada di Desa Batang, Gusti Ratu. Dan, Eyang
Bagasrana sendirilah yang menyimpannya,"
sambung Karpak memberi tahu.
"Keparat..!" geram Ratu Lembah Mayat mendesis. "Mengapa kau tidak mengatakannya
dari dulu, Karpak?"
"Aku baru mengetahui pagi ini, Gusti Ratu. Aku tadi melihat Eyang Bagasrana
mengeluarkan mustika itu dari tempat
penyimpanannya. Mustika itu disimpan di dalam kotak kecil, dan ditaruh di
belakang lukisan di dalam kamamya," jelas Karpak lagi.
"Tua bangka keparat..! Rupanya dia sendiri juga hendak memilikinya," desis Ratu
Lembah Mayat menggeram.
"Gusti Ratu! Izinkan aku mengambil pusaka itu, dan membunuh orang tua tidak tahu
diri itu," selak Andari yang berada di samping kanan Ratu Lembah Mayat
"Lakukanlah, Andari. Kau sudah mampu menandingi orang tua keparat itu," Ratu
Lembah Mayat langsung menyetujui.
"Aku segera berangkat, Gusti Ratu."
Andari mengajak empat gadis lain yang ada di ruangan ini. Mereka menjura memberi
hormat pada iwanita berjubah hitam itu, kemudian bergegas meninggalkan ruangan.
Sebentar kemudian mereka sudah tidak terlihat lagi, tenggelam di balik pintu
yang segera tertutup. Namuntak berapa lama, Andari sudah masuk kembali dengan
langkah tergopoh-gopoh,
dan segera menjatuhkan din" berlutut
"Ada apa, Andari...?" tanya Ratu Lembah Mayat
"Ampun, Gusti Ratu. Ada tiga tikus menyelusup ke sini," lapor Andari.
Ratu Lembah Mayat menatap tajam
Karpak yang masih duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Karpak buru-buru
memberi sembah. Dia tahu, ketiga tikus yang dimaksud adalah Sutrana, Badur, dan
Rakasa. "Ampun, Gusti Prabu. Hamba memang membawa mereka, tapi hamba tinggalkan di
tempat jebakan. Hamba tidak mengira kalau mereka bisa selamat sampai sini,"
sanggah Karpak buru-buru.
"Bereskan mereka, Andari," perintah Ratu Lembah Mayat
"Baik, Gusti Ratu," sahut Andari, seraya memberi hormat
Gadis bercawat itu segera bangkit berdiri dan melangkah keluar dengan ayunan
kaki cepat dan lebar. Ratu Lembah Mayat melangkah dua tindak kedepan,
menghampiri Karpak yang masih duduk bersila dilantai.
"Bangun kau, Karpak," desis Ratu Lembah Mayat dingin.
"Ampunkan hamba, Gusti Ratu," ucap Karpak seraya bangkit berdiri.
Tapi begitu berdiri, tiba-tiba saja Ratu Lembah Mayat melayangkan satu pukulan
keras dengan tangan kiri. Pukulan yang begitu cepat dan keras tadi tidak diduga
sama sekali. Akibatnya, Karpak
terpekik dan terpental deras ke belakang.
Keras sekali punggungnya menghantam dinding batu hingga seluruh ruangan ini
bergetar. Karpak melorot turun dengan bibir meringis. Darah segar mengucur dari sudut
bibirnya. Dadanya seketika jadi terasa sesak, terkena pukulan bertenaga dalam
tinggi. Sambil mengatur jalan napasnya yang tersengal, laki-laki separuh baya
itu mencoba bangkit berdiri.
"Sudah kukatakan, tidak perlu membawa orang kalau ke sini! Kau memang tidak bisa
dipercaya, Karpak! Selalu saja menimbulkan kesulitan...!" desis Ratu Lembah
Mayat dingin dan menggetarkan nada suaranya.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba..., hamba...."
"Tak ada lagi ampun bagimu, Tikus Keparat!"
"Apa yang akan kau...?" Karpak terbeliak melihat Ratu Lembah Mayat semakin
dekat, dengan ujung tongkat terarah lurus ke dada.
"Kau tidak ada gunanya lagi, Karpak,"
desis Ratu Lembah Mayat semakin dingin.
"Tap... tapi..., aku sudah berbuat banyak padamu. Aku sudah mengelabui semua
orang Aku berhasil membuat mereka
membunuh keluarga Pendekar Cakar Naga.
Lalu kenapa sakarang kau akan
membunuhku...?" suara Karpak semakin terdengar bergetar.
"Itu sudah
tugasmu, Karpak
Bersiaplah untuk mati...!"
"Tunggu dulu...!"
Tapi Ratu Lembah Mayat sudah tidak dapat dicegah lagi Dan tiba-tiba saja
tongkatnya bergerak cepat membuat Karpak hanya mampu membeliak lebar tanpa mampu
berbuat sesuatu. Sehingga....
Bet! Crab! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat begitu ujung tombak Ratu
Lembah Mayat menghunjam dalam dada laki-laki separuh baya ini Begitu Ratu Lembah
Mayat mencabut tongkatnya, seketika darah menyembur keluar dari dada yang
berlubang sampai ke punggung.
Sebentar Karpak masih mampu berdiri, kemudian tubuhnya ambruk ke lantai. Darah
terus mengalir deras menggenang di bawah tubuhnya. Seketika itu juga, Karpak
tewas tanpa mampu memberi perlawanan sedikit pun.
"Manusia sepertimu, sudah
sepantasnya mampus!" dengus Ratu Lembah Mayat
Sambil mendengus berat wanita
berjubah hitam itu menendang tubuh Karpak yang sudah tak bernyawa lagi. Kemudian
kakinya melangkah mendekati pintu yang tertutup rapat Tongkatnya terayun-ayun di
tangan kanan. Dengan ujung tongkat dibukanya pintu dari kayu jati tebal berukir
itu. "Tinggal si keparat Eyang Bagasrana.
Hhh...! Dia juga harus mampus di
tanganku!" desis Ratu Lembah Mayat sebelum melangkah keluar dari ruangan besar
ini Pintu kayu jati tebal itu langsung tertutup begitu Ratu Lembah Mayat
melewatinya. Suasana di dalam ruangan berdinding dan beratap batu itu jadi sunyi
senyap. Kini tinggal mayat Karpak saja yang masih tergolek bergenang darah di
lantai batu yang hitam dan dingin
*** Sementara di ruangan lain, tampak Sutrana, Badur, dan Rakasa tengah berhadapan
melawan empat orang gadis cantik bercawat yang bersenjatakan tombak
panjang bermata hitam. Sedangkan dua orang gadis lain hanya memperhatikan
pertarungan itu saja.
Tampaknya pertarungan berjalan cukup imbang. Terbukti, mereka sama-sama memberi
serangan secara bergantian.
Ketiga laki-laki dari Desa Batang itu juga sudah mempergunakan pedang. Entah
sudah berapa jurus berkelahi. Dan begitu empat orang gadis bercawat melakukan
gerakan berputar mengelilingi ketiga laki-laki itu, keadaan langsung berubah.
Ujung-ujung tombak yang berkelebatan cepat, semakin sulit dihalau. Dan hingga
suatu saat... "Rakasa, awas...!" seru Sutrana tiba-tiba.
Rakasa yang baru saja menghindari satu pukulan dari arah depan, terkejut begitu
mendengar teriakan Sutrana. Dan pemuda itu tidak sempat lagi berbuat sesuatu
ketika sebuah tombak meluncur deras dari arah samping kanan. Namun tubuhnya
masih sempat digerakkan sedikit Sehingga....
Bret! "Akh...!" Rakasa menjerit keras.
Kalau saja tubuhnya tidak
digerakkan, ujung tombak berwarna hitam itu pasti akan menembus dadanya. Tapi
justru karena gerakan tubuhnya, sehingga bahu kanannya terkena ujung tombak.
Rakasa terhuyung-huyung ke belakang sambil tangannya mendekap bahunya yang robek
mengucurkan darah. Pada saat itu, seorang gadis bercawat tiba-tiba melompat
cepat sambil melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
"Oh..."!" Rakasa mengeluh pendek Namun ketika pukulan itu hampir saja menghantam dadanya, mendadak saja sebuah bayangan kuning berkelebat menghantam gadis
bercawat itu. "Akh...!" gadis itu memekik keras.
Tubuh gadis itu terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Keras sekali
punggungnya menghantam dinding batu bangunan candi mi, sehingga jebol
berantakan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di samping Rakasa sudah berdiri
seorang pemuda tampan mengenakan baju kulit harimau. Begitu kerasnya pukulan
yang dilepaskannya, sehingga gadis bercawat tadi seketika tewas tergeletak di
antara reruntuhan batu dinding bangunan candi ini. Dari mulutnya tampak mengalir
darah kental. Tewasnya satu gadis itu, membuat
gadis-gadis bercawat lain jadi
berlompatan mundur menghentikan
pertarungan. Sutrana dan Badur juga bergegas berlompatan mendekati Rakasa yang
masih menekap bahunya. Darah masih mengucur deras dari bahu laki-laki itu.
"Kenapa kau menolong kami,..?" tanya Sutrana seraya menatap pemuda berbaju kulit
harimau yang tak lain adalah Pendekar Pulau Neraka.
"Simpan dulu pertanyaanmu.
Sebaiknya, cepat kembali ke desa," tegas Bayu yang menyadari kalau keadaan dalam
bahaya. Pendekar Pulau Neraka itu sendiri sudah menyembunyikan monyet
kesayangannya di tempat yang aman, sebelum menuju ke tempat ini.
Mendengar ucapan Bayu yang tegas itu, Sutrana langsung terdiam.
"Kisanak, apa maksudmu berkata seperti itu?" selak Badur.
"Cepat tinggalkan tempat ini. Aku akan menghadang mereka...!" seru Bayu.
"Hiyaaat..!"
Pendekar Pulau Neraka tidak
menghiraukan pertanyaan Badur dan Sutrana. Tubuhnya langsung saja melompat cepat
bagai kilat menyerang lima orang gadis cantik bercawat yang masih hidup.
Lima orang gadis bercawat ini jadi kelabakan menerima serangan-serangan Bayu
yang begitu cepat Iuar biasa. Setiap
pukulan yang dilepaskan, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dan sukar
diimbangi. Mereka terpaksa berjumpalitan menghindari setiap serangan Pendekar
Pulau Neraka. "Bagaimana, Kakang Sutrana?" tanya Badur, minta pendapat
"Aku rasa, dia benar. Ayo, kita tinggalkan tempat ini," sahut Sutrana.
"Tapi, bagaimana dengan
Parindra...?" tanya Rakasa lagi.
"Dia tidak mungkin ada di sini.
Cepatiah! Ini kesempatan baik untuk meninggalkan tempat ini. Ayo...," ajak
Sutrana lagi. "Kau masih kuat Rakasa?" tanya Badur.
"Jangan hiraukan aku. Ayo, cepat kita berangkat," ajak Rakasa.
Ketiga laki-laki dari Desa Batang itu bergegas meninggalkan bangunan berbentuk
candi ini. Sementara, Bayu terus
menggempur lima orang gadis bercawat dengan jurus-jurus tingkat tinggi yang
dahsyat Pendekar Pulau Neraka sempat melihat ketiga laki-laki dari Desa Batang
itu meninggalkan tempat ini. Dan seketika itu juga, tangan kanannya dikebutkan
cepat sambil berteriak nyaring
menggelegar. "Hiyaaa...!"
Wuk! *** 129 Begitu tangan kanan Bayu berkelebat cepat, seketika itu juga Cakra Maut yang
selalu menempel di pergelangan tangannya melesat cepat bagai kilat Begitu
cepatnya, sehingga salah seorang gadis bercawat yang menggenggam tombak tidak
dapat lagi berkelit Dia memekik keras melengking ringgi begitu Cakra Maut
membedah lehernya.
"Aaa...!"
Darah langsung muncrat keluar dari lehernya yang robek tersambar Cakra Maut Bayu
cepat melesat ke udara, menangkap senjata mautnya itu. Dan selagi berada di
udara, kembali tangan kanannya bergerak cepat mengebut ke arah salah seorang
gadis lainnya. Bet! Crab! "Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking ringgi, disusul ambruknya satu
orang gadis lagi. Cakra Maut menembus dada mereka hingga lewat ke pung-gung.
Sementara Bayu sudah meluruk deras ke arah satu orang gadis lain yang memegang
tombak. Satu pukulan keras dilepaskan Pendekar Pulau Neraka dengan kecepatan
ringgi, dlsertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempumaan.
"Hiyaaat..!"
Des! "Aaakh...!"
Gadis cantik bercawat itu tidak dapat lagi menghindar. Seketika pukulan Pendekar
Pulau Neraka telah menghantam dadanya, sehingga membuatnya terpental sejauh
beberapa tombak. Hanya sebentar saja gadis itu mampu menggeliat, kemudian diam
tak bemyawa lagi. Darah langsung merembes keluar dari mulut dan hidungnya.
Bayu menjejakkan kakinya dengan
ringan sekali di lantai batu yang keras dan licin. Tubuhnya berputar, menatap


Pendekar Pulau Neraka 26 Ratu Lembah Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua orang gadis lain yang masing-masing sudah menggenggam pedang tersilang di
depan dada. Mereka kelihatan gentar melihat empat orang tewas dalam waktu tidak
begitu lama. "Di mana kalian sembunyikan
Parindra?" tanya Bayu dingin.
"Cari saja sendiri!" dengus Andari ketus.
"Hm. Rupanya, kalian cukup setia pada ratu busuk itu!" dengus Bayu.
"Keparat..!" geram Andari.
Kedua gadis itu saling mengerdipkan mata, kemudian sama-sama berlompatan cepat
menyerang Pendekar Pulau Neraka dari dua jurusan. Pedang mereka
berkelebat cepat membabat bagian-bagian tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu.
Tapi dengan lincah dan gerakan cepat, Bayu berhasil mementahkan serangan yang
tertuju padanya. Beberapa kali
pedang-pedang itu terpaksa harus
ditangkis dengan Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan.
Dan setiap kali senjata-senjata itu beradu, selalu menimbulkan dentingan keras
disertai percikan bunga api. Jurus demi jurus berlalu cepat Dan Bayu mulai
merasakan kalau tingkat kepandaian yang dimiliki kedua gadis ini jauh lebih
tinggi dibandingkan empat gadis yang sudah tergeletak tak bemyawa lagi.
"Rupanya kalian lebih memilih mati, daripada bekerjasama menumpas
kejahatan!" geram Bayu jadi sengit.
"Baik! Terimalah ini... Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka melesat tinggi keudara. Dan dengan cepat
sekali, tangan kanannya dikebutkan kearah salah seorang gadis bercawat itu.
Begitu cepat kebutan itu. Sehingga begitu Cakra Maut melesat gadis yang memegang
pedang itu jadi kelabakan setengah mati.
"Hatt...!"
Cepat-cepat pedangnya dikebutkan, untuk menangkis Cakra Maut yang meluruk deras
ke arahnya. Trang! Satu benturan keras terjadi, dan
seketika gadis itu terpekik keras.
Tubuhnya terpental dua batang tombak ke belakang. Sedangkan pedangnya terpenggal
ter-sambar Cakra Maut senjata andalan Pendekar Pulau Neraka. Dan sebelum dia
sempat menyadari apa yang terjadi, Bayu sudah meluruk deras sambil melontarkan
satu pukulan keras menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Diegkh! "Akh...!"
Kembali gadis itu memekik keras
begitu pukulan Pendekar Pulau Neraka mendarat telak di dadanya. Tubuhnya
terlontar jauh ke belakang, dan keras
sekat menghantam lantai batu yang licin dan keras. Sebentar tubuhnya menggeliat
dan mulutnya mengerang, kemudian
mengejang kaku. Dan kini dia sudah diam tidak bergerak-gerak lagi. Sementara
Bayu kembali mendarat sambil langsung
mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut seketika kembali menempel
di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Dan kini tinggal satu orang gadjjs lagi yang masih hidup. Dan tampaknya, hatinya
semakin gentar karena menyadari tinggal sendiri. Bayu menatap tajam gadis yang
bernama Andari ini. Kakinya kini terayun perlahan-lahan mendekati.
Sedangkan gadis itu bergerak mundur perlahan.
"Cukup...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Bayu langsung berhenti melangkah, dan berpaling ke kanan. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu di depan sebuah pintu yang terbuka sudah berdiri seorang
wanita berjubah hitam. Di depannya, Parindra berdiri dengan tangan
terpelintir ke belakang punggung Pemuda belasan tahun itu meringis kesakitan,
merasakan tangannya seperti remuk
terpelintir ke belakang. Melihat Ratu Lembah Mayat muncul, Andari bergegas
menghampiri. Wajahnya seketika jadi
cerah, merasa ada kesempatan untuk bisa melihat matahari esok pagi.
"Akhirnya kau muncul juga, Ratu Busuk...!" desis Bayu dingin.
*** "Selangkah lagi kau bergerak, anak ini mampus!" ancam Ratu Lembah Mayat tidak
main-main. "Jangan hiraukan aku, Kakang...!"
seru Parindra. "Akh...!"
"Diam, Bocah Setan...!"
Parindra menggeliat merasakan sakit yang amat sangat pada tangan kanannya.
Tulang tangan kanannya terasa bagai remuk dipelintir keras ke belakang
punggungnya. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya menggeretak geram melihat tindakan Ratu
Lembah Mayat yang dianggapnya pengecut, dengan menyandera seorang anak muda yang
tidak punya daya apa-apa.
"Lepaskan anak itu...!" bentak Bayu geram.
"Aku akan menukar anak ini dengan Mustika Cakar Naga," kata Ratu Lembah Mayat
dingin. Setelah berkata demikian, Ratu
Lembah Mayat langsung melesat cepat keluar dari dalam ruangan ini. Andari segera
mengikuti perempuan berjubah hitam itu. Namun, Bayu juga tidak sudi
ketinggalan. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, Pendekar
Pulau Neraka melesat mengejar.
Beberapa kali Bayu melakukan putaran di udara, lalu manis sekali mendarat
menghadang di depan perempuan berjubah hitam itu. Terpaksa Ratu Lembah Mayat
menghentikan larinya. Seketika
diberikannya beberapa totokan pada jalan darah Parindra. Akibatnya anak muda itu
seketika lemas tak berdaya lagi. Hampir saja Parindra jatuh kalau saja Andari
tidak segera menangkap tubuh anak muda belasan tahun ini.
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Ratu Lembah Mayat melompat cepat menyerang Pendekar Pulau
Neraka. Tongkatnya berkelebat cepat mengarah ke kepala pemuda berbaju kulit
harimau itu. Namun dengan gerakan manis sekali, Bayu mengegoskan kepalanya.
Maka, ujung tongkat berbentuk tengkorak kepala
manusia itu hanya lewat saja di depan muka Pendekar Pulau Neraka.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu bergegas melentingkan tubuh ke belakang, dan mendarat sejauh dua batang
tombak, Pendekar Pulau Neraka kini tidak tanggung-tanggung lagi menghadapinya.
Dia merasakan kebutan tongkat perempuan berjubah hitam ini mengandung hawa panas
yang menyengat Dan
begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya cepat membungkuk agak miring ke kiri. Lalu, tangan
kanannya ditarik sampai ke depan dada.
"Yeaaah...!"
Bet! Sambil mengerahkan tenaga dalam,
Bayu mengebutkan tangan kanannya ke depan. Seketika itu juga Cakra Maut yang
selalu menempel di pergelangan tangannya, melesat cepat bagai kilat.
"Hap!"
Ratu Lembah Mayat cepat mengebutkan tongkat menyampok senjata andalan Pendekar
Pulau Neraka. Tak pelak lagi, dua senjata ampuh beradu keras di udara,
menciptakan ledakan dahsyat menggelegar disertai percikan bunga api yang
menyebar ke seluruh penjuru.
Bayu cepat-cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, begitu
senjatanya berbalik. Cakra berwarna keperakan yang sisinya berjumlah enam itu
kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
"Senjatamu memang hebat, Pendekar Pulau Neraka. Tapi jangan harap bisa
menandingi Ratu Lembah Mayat..!" desis Ratu Lembah Mayat dingin.
"Kita Iihat saja. Siapa yang lebih unggul," sambut Bayu tidak kalah dingjnnya.
"Tahan seranganku, Bocah!
Hiyaaat..!"
Cepat sekali Ratu Lembah Mayat
melompat menyerang. Tongkatnya bergerak cepat berkelebat mengarah ke beberapa
bagian tubuh Bayu yang paling rawan. Maka Pendekar Pulau Neraka terpaksa
berjumpalitan menghindari
serangan-serangan yang begitu cepat dan berbahaya ini. Beberapa kali tongkat
berkepala tengkorak itu terpaksa ditangkis, dengan pergelangan tangan kanannya.
Dan setiap kali menangkis tongkat itu, tangannya langsung bergetar. Pendekar
Pulau Neraka benar-benar merasakan kedahsyatan tenaga dalam yang dimiliki
perempuan berjubah hitam ini.
Jurus demi jurus berlalu cepat Tak terasa, sebentar saja mereka sudah
menghabiskan lebih dari lima jurus. Tapi sampai sejauh ini, belum ada tandatanda kalau pertarungan itu bakal berhenti.
Bahkan pertarungan semakin berjalan dahsyat sekali. Mereka sama-sama
mengeluarkan jurus-jurus ampuh dan dahsyat Sedikit kelengahan saja, bisa
berakibat parah. Pertarungan baru berjalan beberapa saat dan tempat di sekitar
pertarungan sudah porak-poranda bagai diamuk badai topan yang dahsyat.
Sepuluh jurus sudah berlalu, namun pertarungan masih juga berlangsung. Bayu
merasakan kalau perempuan berjubah hitam ini tidak dapat dipandang sebelah mata.
Jurus-jurus yang dimilikinya ternyata begitu dahsyat Terlebih lagi, tongkat
berkepala tengkorak itu. Setiap
kebutannya mengandung hawa panas
menyengat luar biasa. Dan Pendekar Pulau Neraka bisa merasakan adanya hawa racun
dari setiap kebutan tongkat berkepala tengkorak itu. Maka terpaksa jalan
napasnya dipindahkan ke perut.
"Lima jurus lagi, bisa-bisa dia membunuhku. Hhh...! Ini tidak boleh terjadi...!"
dengus Bayu dalam Menyadari kalau tidak mungkin bisa bertahan lama, Pendekar
Pulau Neraka cepat memutar otaknya. Dicarinya jalan
agar bisa mengakhiri pertarungan ini, sebelum pertahanan napasnya habis. Dan
Pendekar Pulau Neraka sudah bisa
mengukur, sampai di mana kemampuan pertahanan napas perutnya.
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu Ratu Lembah Mayat mengebutkan tongkatnya ke arah kaki, kesempatan ini
tidak disia-siakan Bayu begitu saja.
Cepat tubuhnya melesat ke udara, dan melakukan putaran dua kali Lalu cepat
sekali tangan kanannya dikebutkan ke arah kepala perempuan berjubah hitam itu.
"Hiyaaa...!"
Wuk! "Hait..!"
Bet! Bergegas Ratu Lembah Mayat
menyampokkan tongkatnya begitu Cakra Maut melesat cepat dari pergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka. dan ketika tongkat berkepala tengkorak berhasil menyampok
senjata yang dilepaskan lawan, tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka meluruk
deras sambil melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam sempuma.
"Hiyaaa...!"
"Heh..."!"
Bukan main terkejutnya perempuan
berjubah hitam itu melihat datangnya
serangan. Maka, buru-buru tubuhnya ditarik ke belakang. Tapi tanpa diduga sama
sekali, Bayu malah menarik
pukulannya. Bahkan cepat menggantinya dengan satu tendangan keras mengge-ledek
yang begitu cepat luar biasa. Perpindahan pola serangan yang begitu cepat,
membuat Ratu Lembah Mayat tak dapat lagi
menghindar. Diegkh! "Akh...!"
Tendangan Bayu temyata tepat
menghantam dada perempuan berjubah hitam ini. Begitu kerasnya tendangan yang
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka, sehingga membuat Ratu Lembah Mayat terjungkal
keras ke belakang. Dan sebelum lawan sempat melakukan sesuatu, Bayu sudah
mengebutkan tangan kanan ke depan, dengan tubuh agak sedikit membungkuk.
'Yeaaah...!"
Bet! Slap...! Ratu Lembah Mayat hanya dapat
mendelik melihat Cakra Maut bersegi enam meluruk deras ke arahnya. Cepat-cepat
tongkatnya dikebutkan untuk menyampok senjata maut Pendekar Pulau Neraka.
Trang! Perempuan berjubah hitam itu memang berhasil menyampok senjata yang
dilepaskan Bayu. Tapi
dia kembali terpekik. Temyata tiba-tiba saja Bayu melepaskan satu pukulan keras disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi sekali.
Memang begitu keras pukulan Pendekar Pulau Neraka. Akibatnya Ratu Lembah Mayat
terjungkal ke tanah, langsung bergulingan beberapa kali sebelum bisa bangkit
berdiri. Dan sebelum keseimbangan tubuhnya bisa dikuasai, kembali Pendekar Pulau Neraka
sudah melompat melakukan serangan cepat bagai kilat Untuk kedua kalinya, pukulan
Pendekar Pulau Neraka mendarat di dada Ratu Lembah Mayat Bayu cepat mengangkat
tangan kanannya ke atas kepala, di saat perempuan berjubah hitam itu terpental
ke belakang Dan begitu Cakra Maut menempel di pergelangan tangan kanannya,
seketika itu juga dikebutkan kembali disertai. pengerahan tenaga dalam tinggi
sekali. "Hiyaaa...!"
Bet! Wusss! Crab! "Aaa...!"
Ratu Lembah Mayat memang tidak dapat lagi menghindar dalam keadaan tubuh
kehilangan keseimbangan. Teriebih lagi, dia baru saja mendapat pukulan keras di
dadanya. Keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah, begitu Cakra Maut bersegi
enam menghantam dadanya. Begitu kerasnya Iontaran senjata maut itu, sehingga
tembus sampai ke punggung Ratu Lembah Mayat Dan kini senjata itu berputar balik
ke arah pemiliknya.
Bret! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking
tinggi terdengar keras menyayat Tampak darah muncrat deras sekali dari leher
yang terkoyak lebar, akibat tertebas Cakra Maut Perempuan berjubah hitam itu
masih mampu berdiri tegak beberapa saat kemudian ambruk menggelepar di tanah.
Dia mengerang dan menggelepar meregang nyawa.
Dari leher, dada, dan punggungnya terus mengucurkan darah. Sementara, Bayu
berdiri tegak setelah Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan.
Tidak lama kemudian, Ratu Lembah
Mayat sudah mengejang kaku, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Tepat pada saat
itu, muncul Pengemis Tongkat Merah bersama Ladra dan tiga pemuda dari Desa Batang.
Bahkan kini muncul juga Eyang Bagasrana bersama beberapa orang muridnya yang
juga penduduk Desa Batang
Melihat kedatangan orang-orang itu, Andari merasa tidak akan mampu lagi
menandingi mereka. Teriebih lagi Gusti Ratunya telah tewas. Lebih baik dia tidak
usah melawan orang-orang sakti itu lagi, dan hidup tenang di desa lain. Berpikir
demikian, Andari segera melepaskan pegangannya pada Parindra dan langsung
melesat kabur, membiarkan anak muda belasan tahun itu jatuh tergeletak di tanah
dalam keadaan tubuh lemas tertotok.
"Kau tidak apa apa, Bayu...?" tanya Pengemis Tongkat Merah begitu berada di
samping Pendekar Pulau Neraka.
"Tidak," sahut Bayu seraya melirik Parindra yang tengah dibebaskan dari totokan
oleh Eyang Bagasrana.
"Maaf. Aku datang terlambat," ucap Pengemis Tongkat Merah juga memandang pada
Eyang Bagasrana.
"Tidak," sahut Bayu sambil melirik pedang yang ada di tangan Eyang Bagasrana.
"Apakah itu Pedang Cakar Naga...?"
"Benar," sahut Eyang Bagasrana.
"Bagaimana pedang itu bisa berada di tanganmu?" tanya Pengemis Tongkat Merah.
"Istri Pendekar Cakar Naga yang memberikannya padaku," sahut Eyang Bagasrana.
"Setelah suaminya meninggal, dia sudah merasa bakal terjadi sesuatu.


Pendekar Pulau Neraka 26 Ratu Lembah Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terutama, batu mustika pada gagang pedang ini yang memiliki kekuatan dahsyat"
"Lalu, kenapa kau membunuhnya?"
tanya Pengemis Tongkat Merah lagi.
"ltulah kesalahanku yang terbesar.
Aku terlalu percaya pada omongan Karpak, yang ternyata orang suruhan Ratu Lembah
Mayat," pelan suara Eyang Bagasrana.
"Jika kau ingin menghukumku, aku rela menerimanya."
Tak ada sahutan sama sekali. Dan
begitu Pengemis Tongkat Merah berpaling ke arah Pendekar Pulau Neraka, matanya
jadi terbeliak. Karena pemuda berbaju kulit harimau itu sudah lenyap, tak ada
lagi disampingnya. Begitu cepat dan sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki, sehingga kepergian Pendekar Pulau Neraka sama sekali tidak diketahui
lagi. Sementara itu, Parindra yang sudah sadar kembali hanya diam saja diberi
penjelasan Eyang Bagasrana. Sedangkan
Pengemis Tongkat Merah pun, diam-diam meninggalkan tempat ini, mengikuti Bayu
yang sudah sejak tadi pergi entah ke mana.
Tak ada seorang pun yang menyadari.
Perhatian mereka semua tertumpah pada Parindra dan Eyang Bagasrana.
Mereka pun meninggalkan tempat itu, tanpa ada yang menyadari kalau orang yang
menyelesaikan semua kemelut ini sudah pergi begitu saja. Mereka seperti lupa,
dan terlalu gembira karena putra Pendekar Cakar Naga masih hidup. Terutama,
Eyang Bagasrana yang begitu menyesali
kebodohannya, karena bisa dikelabui
Karpak. Akibatnya, mereka tdah
melenyapkan nyawa orang yang seharusnya dijaga keselamatannya.
SELESAI Scan/Convert/E-Book : Abu Keisel
Tukang Edit : mybeno
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Han Bu Kong 7 Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong Si Pedang Tumpul 1

Cari Blog Ini