Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Sepasang Pendekar Bagian 2
suara tawa yang teramat keras seakan tidak pernah mau berhenti ini. Bahkan
Klabang Ireng sudah sejak tadi mengerahkan tenaga dalamnya, untuk mencoba
menangkal suara yang membuat telinganya terus berdenging ini.
"Jangan jauh dariku," pinta Bayu.
Setelah berkata begitu, Bayu langsung merapatkan kedua telapak tangannya di
depan dada. Sedangkan monyet kecil berbulu hitam yang selalu mengikuti ke mana saja Pendekar
Pulau Neraka itu pergi, sudah memeluk leher pemuda ini erat-erat.
Sesekali dia mencerecet membuat telinga Bayu terasa pekak. Sebentar kelopak
matanya terpejam.
Lalu begitu kelopak matanya terbuka, seketika itu
juga dia menghentakkan kedua tangannya ke
samping sambil berteriak keras menggelegar.
"Yeaaah...!"
Begitu kerasnya suara teriakan Pendekar Pulau Neraka itu, membuat bumi yang
mereka pijak jadi bergetar bagai diguncang gempa yang sangat dahsyat Bahkan
angin pun jadi terbalik berhembus. Pohon-pohon menggugurkan daunnya. Batu-batu
berpentalan memperdengarkan suara berderak hingga hancur berkeping-keping.
Teriakan Bayu yang begitu keras menggelegar, membuat alam di
sekitarnya bagaikan mengamuk.
"Edan...! Ilmu macam apa itu...?" desis Klabang Ireng kagum.
Dan teriakan Bayu yang begitu keras menggelegar bagai guntur itu, mampu meredam
suara tawa yang membuat telinga mereka jadi sakit. Pada saat itu juga, Bayu
merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Lalu sambil berseru lantang,
dia mengibiaskan kedua tangannya ke depan. Dan bagaikan kilat, dia mengibaskan
tangan kanannya ke kanan.
Sing...! Cakra Maut yang selalu menempel di perge-langan tangan Pendekar Pulau Neraka itu
seketika melesat dengan kecepatan bagai kilat. Hingga yang terlihat hanya
kilatan cahaya putih keperakan meluncur langsung menembus lebatnya pepohonan.
Dan... Srak! Siap! Tepat pada saat itu juga terlihat bayangan hijau berkelebat keluar dari balik
pepohonan, bersamaan dengan melesatnya Cakra Maut kembali pada
Pendekar Pulau Neraka. Sedikit saja Bayu
mengangkat tangan kanannya ke atas, Cakra Maut kembali menempel erat di
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Hm...."
Bayu menggumam sedikit, begitu melihat seorang wanita berusia setengah baya
sudah berdiri sekitar dua batang tombak di depannya. Baju warna hijau daun yang
ketat, membentuk tubuhnya yang cukup ramping dan indah dipandang mata. Sebilah
pedang bergagang kepala ular berwarna putih keperakan, tersampir di punggungnya.
"Cuma seorang wanita...," gumam Klabang Ireng mendesis dingin.
"Jangan menghina kaum wanita, Klabang Ireng!"
sentak Rara Sawit tersinggung.
"Maaf, bukannya aku mau menyinggungmu, Rara Sawit," ucap Klabang Irjeng sambil
menyeringai. Baru menyadari kalau di sebelahnya berdiri seorang wanita yang
sampai saat ini masih bisa dikatakan
saingannya dalam memperebutkan Pedang Dewa Naga.
Sementara itu Bayu sudah melangkah beberapa tindak ke depan, mendekati wanita
setengah baya yang mengenakan baju hijau daun ini. Pendekar Pulau Neraka itu
baru berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi. Saat
itu Bayu menilai kalau wanita ini usianya sudah lebih dari lima puluh tahun.
Tapi wajahnya masih kelihatan cantik, dengan bentuk tubuh yang ramping dan indah
terbungkus baju yang cukup ketat. Seakan baru mencapai dua puluh lima tahunan
usianya. "Kenapa kau mengganggu kami, Nisanak?" tanya Bayu langsung dengan nada suara
yang cukup dingin terdengar.
"Bukan kalian tujuanku. Tapi kau, Pendekar Pulau Neraka!" sahut wanita itu agak
lantang suaranya.
"Hm, kenapa..." Rasanya aku belum kenal
denganmu, Nisanak."
"Kau memang belum kenal siapa aku, Pendekar Pulau Neraka. Tapi aku sudah tahu
siapa kau. Dan sekarang aku membutuhkanmu. Kau harus ikut denganku. Tinggalkan
dua tikus busuk itu," kata wanita itu sambil menuding pada Klabang Ireng dan
Rara Sawit. Dikatakan tikus busuk, Rara Sawit langsung memerah wajahnya. Dan Klabang Ireng
juga cepat melompat ke depan. Tapi gerakan mereka jadi terhambat, begitu melihat
Bayu merentangkan tangannya. Mencegah mereka berbuat yang bisa merugikan diri
sendiri. Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya bisa mendengus kesal, menatap dengan
sinar mata yang tajam pada perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik
itu. "Dengar, Pendekar Pulau Neraka. Kau tidak bisa menolak keinginanku. Ikut
denganku, atau kau harus rela melepaskan nyawamu di sini," kata wanita itu lagi
dengan nada suara yang tegas.
"Maaf, Nisanak. Bukannya aku menolak keinginan-mu itu. Tapi aku belum tahu siapa
kau sebenarnya"
Dan apa tujuanmu memintaku ikut denganmu...?"
tanya Bayu halus.
"Aku Dewi Pedang Maut. Dan kau harus ikut
denganku untuk menunjukkan di mana tempat
penyimpanan Pedang Dewa Naga. Aku tahu kalau hanya kau satu-satunya yang tahu di
mana Pedang Dewa Naga berada," sahut wanita setengah baya itu yang ternyata
bernama Dewi Pedang Maut.
"Hm.... Sudah sering kali aku dengar namamu,
Dewi Pedang Maut. Kau memang tangguh dan
digdaya. Tapi terus terang saja, aku sama sekali tidak menyukai sepak terjangmu
selama ini," kata Bayu agak menggumam suaranya.
"Jangan sombong kau, Bocah! Kau pikir aku tidak tahu siapa dirimu yang
sebenarnya, heh...?" bentak Dewi Pedang Maut sengit.
"Aku memang bukan manusia suci, Dewi Pedang Maut. Tapi aku masih bisa bertindak
dengan batas ukuran yang wajar. Maaf, aku ada tugas yang lebih penting lagi. Dan
aku tidak berurusan dengan Pedang Dewa Naga," kata Bayu tegas.
"Keparat...!" desis Dewi Pedang Maut geram, mendengar penolakan Bayu yang halus
namun tegas itu.
Sedangkan Bayu sudah memutar tubuhnya
berbalik. Dan melangkah menghampiri Klabang Ireng dan Rara Sawit. Namun baru
saja Pendekar Pulau Neraka itu berjalan beberapa langkah, Dewi Pedang Maut sudah
mengebutkan tangan kirinya dengan cepat ke depan. Dan seketika itu juga,
terlihat beberapa benda halus berwarna putih keperakan melesat dengan kecepatan
bagai kilat ke arah pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Bayu, awaaas...!" seru Klabang Ireng memperingati. "Hap! Yeaaah...!"
Sambil memutar tubuhnya dengan cepat, Bayu menghentakkan tangan kanannya lurus
ke depan tubuhnya. Dan seketika itu juga Cakra Maut yang menempel di pergelangan
tangan kanannya melesat menyambut senjata rahasia yang dilemparkan Dewi Pedang
Maut. Cras! Hanya sekali lesatan saja, Cakra Maut
merontokkan semua senjata rahasia Dewi Pedang Maut. Dan kembali senjata bersegi
enam keperakan itu melesat balik, lalu menempel lagi di pergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka ini.
Bayu berdiri tegak dengan pandangan mata yang sangat tajam sekali, menatap
langsung ke bola mata Dewi Pedang Maut. Dari sorot matanya yang tajam, sudah
bisa dipastikan kalau Pendekar Pulau Neraka itu sama sekali tidak menyukai cara
Dewi Pedang Maut yang menyerangnya dari belakang. Penyerangan dengan cara
membokong seperti ini memang sangat tidak disukai Bayu.
Baginya, membokong merupakan tindak pengecut yang tidak bisa diberi ampun lagi.
Perlahan Bayu menggeser kakinya ke kanan. Dia melirik sedikit pada Klabang Ireng
dan Rara Sawit yang berada agak jauh di belakangnya. Sementara Dewi Pedang Maut
tersenyum-senyum, merasakan pancingannya berhasil untuk menaklukkan Pendekar
Pulau Neraka ini.
"Dengar, Nisanak. Apapun alasanmu, aku paling tidak suka dengan caramu main
bokong seperti itu,"
terasa dingin sekali nada suara Bayu.
"Kalau kau tidak suka, kenapa kau tolak ta-waranku...?" ringan sekali Dewi
Pedang Maut menyahuti.
"Apa maumu sebenarnya?" tanya Bayu.
"Pedang Dewa Naga yang ada padamu," sahut
Dewi Pedang Maut tegas.
"Pedang Dewa Naga tidak ada padaku."
"Kalau begitu, kau harus tunjukan di mana kau simpan pedang itu."
"Pedang itu ada pemiliknya, Nisanak. Dan aku tahu, kau bukanlah orang yang tepat
memiliki Pedang
Dewa Naga. Jadi aku minta kau cepat tinggalkan tempat ini," tegas Bayu langsung
mengusir. "Hik hik hik...!" '
Dewi Pedang Maut malah tertawa mengikik
mendengar pengusiran tegas Pendekar Pulau Neraka itu. Dia benar-benar menganggap
ringan pada pendekar muda yang selalu mengenakan baju dari kulit harimau ini.
Dan tanpa berkata apapun juga, dia langsung mengebutkan tangan kanannya ke
depan, sambil berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Siap! "Hup!"
*** Tepat disaat Dewi Pedang Maut melontarkan
senjata rahasianya, Bayu melentingkan tubuhnya ke atas dengan berputaran dua
kali di udara. Dan bagaikan kilat, dia melunak deras ke arah wanita setengah
baya yang masih kelihatan cantik ini Saa itu juga Bayu mengecutkan tangan
kanannya ke depari sambil berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Wusss...! Cakra Maut yang selalu menempel di perge-langan tangan Pendekar Pulau Neraka itu
seketika melesat dengan kecepatan bagai kilat Begitu cepatnya Cakra Maut
melesat, hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya keperakan saja. Dan ini
membuat Dewi Pedang Maut jadi terbeliak. Tidak ada lagi kesempatan bagi Dewi
Pedang Maut untuk berkelit menghindari serangan senjata maut Pendekar Pulau
Neraka itu. Dan....
"Hih!"
Cring! "Yeaaah...!"
Bet! Dewi Pedang Maut langsung mencabut pedangnya, dan dikebutkan ke depan, menyambut
serangan Cakra Maut. Tapi tanpa diduga sama sekali, Cakra Maut seperti memiliki
mata saja. Begitu pedang Dewi Pedang Maut berkelebat hendak menyambarnya,
senjata Pendekar Pulau Neraka itu seketika melesat ke atas. Membuat Dewi Pedang
Maut jadi terbeliak kaget setengah mati. Dan belum lagi hilang rasa
keterkejutannya, Cakra Maut sudah melunak dengan deras mengarah ke kepalanya.
"Hih! Hiyaaat..!"
Bet! Dewi Pedang Maut cepat-cepat memutar
pedangnya ke atas kepala, berusaha melindungi dirinya dari sambaran senjata maut
Pendekar Pulau Neraka itu. Namun pada saat yang bersamaan, Bayu sudah
menjejakkan kakinya di tanah, tepat seldtar dua langkah lagi di depan wanita
ini. Dan seketika itu juga dia melepaskan satu pukulan yang sangat keras
menggeledek, disertai dengan pengerahan tenaga dalamnya yang sudah sempurna
tingkatannya. "Yeaaah...!"
Mendapat serangan dari dua arah yang
bersamaan waktunya seperti ini, Dewi Pedang Maut benar-benar jadi kelabakan
setengah mati. Dan dia sama sekali tidak bisa lagi menghindari pukulan Pendekar
Pulau Neraka itu. Hingga....
Begkh! "Aaakh...!"
Dewi Pedang Maut menjerit keras, begitu pukulan
Bayu yang keras dan bertenaga dalam sempurna menghantam telak di dadanya.
Membuat tubuhnya terpental jauh ke belakang. Keras sekali dia jatuh menghantam
tanah, membuatnya kembali menjerit Sementara Bayu menjejakkan kakinya kembali di
tanah dengan gerakan yang begitu ringan sekali.
Dewi Pedang Maut menggeliat sambil merintih, menahan sakit yang amat sangat di
dadanya. Tampak cairan berwarna merah kental mengalir keluar dari sudut
bibirnya. Tatapan matanya begitu tajam sekali bersorot langsung pada Pendekar
Pulau Neraka yang berdiri sekitar tiga batang tombak di depannya.
Pemuda itu hanya memandangi saja dengan wajah yang datar.
"Mudah bagiku untuk membunuhmu, Dewi Pedang Maut. Tapi aku sama sekali tidak
mempunyai persoalan denganmu. Dan sebaiknya kau tidak perlu lagi bersusah payah
mendapatkan Pedang Dewa Naga. Pedang itu sudah ada yang memiliki," kata Bayu
dingin menggetarkan.
Dewi Pedang Maut hanya diam saja. Dia
menyemburkan ludah yang bercampur dengan darah.
Tubuhnya yang ramping menggeliat sedikit. Namun rasa sakit dan sesak di dadanya
membuat wanita itu tetap terbaring di tanah. Sementara Bayu sudah memutar
tubuhnya berbalik, terus melangkah menghampiri Klabang Ireng dan Rara Sawit yang
sejak tadi menunggu.
"Ayo...," ajak Bayu, tidak menghentikan langkahnya sedikit pun juga.
Klabang Ireng menatap Dewi Pedang Mau
sebentar. Kemudian dia melangkahkan kakinya menyusul Bayu dan Rara Sawit yang
sudah berjalan lebih dahulu meninggalkan tempat ini. Tinggal Dewi
Pedang Maut yang masih merintih, berusaha bangkit kembali sambil memegangi
dadanya yang masih terasa nyeri dan sesak akibat terkena pukulan yang cukup
dahsyat dari Pendekar Pulau Neraka.
"Phuih! Kau akan mati di tanganku, Pendekar Pulau Neraka...!" desis Dewi Pedang
Maut geram, sambil menyemburkan ludahnya yang bercampur dengan darah.
Sementara Bayu, Klabang Ireng, dan Rara Sawit sudah jauh meninggalkannya. Hingga
mereka tidak terlihat lagi, Dewi Pedang Maut baru bisa berdiri. Agak limbung
tubuhnya. Tapi dia cepat menyangga dengan ujung pedang ditekan kuat ke tanah.
Dewi Pedang Maut masih memandangi ke arah kepergian
Pendekar Pulau Neraka. Sekali lagi dia
menyemburkan ludahnya dengan sengit. Lalu mulai berjalan dengan tertatih-tatih.
Bara api dendam benar-benar tersirat pada kedua bola matanya.
Dendam yang tidak mungkin bisa terlupakan begitu saja.
*** Jauh juga perjalanan yang harus ditempuh Klabang Ireng dan Rara Sawit yang
mengikuti Pendekar Pulau Neraka. Dan tidak sedikit rintangan yang harus mereka
hadapi. Terutama rintangan dari orang-orang persilatan, yang menginginkan Pedang
Dewa Naga. Namun Pendekar Pulau Neraka bisa menghadapi segala rintangan itu, walaupun harus
memeras keringat dan kepandaiannya.
Dan setelah menempuh perjalanan sepanjang dua hari, akhirnya mereka sampai di
sebuah tempat yang berbatu. Mereka memandangi sekitarnya. Sepanjang
mata memandang, hanya batu-batuan saja yang tampak. Begitu gersang tempat ini,
hingga matahari yang bersinar begitu terik sekali terasa menyengat kulit. Hanya
ada satu pohon yang mereka lihat. Dan itu juga sudah tidak terlihat lagi daundaunnya. "Di mana pedang itu, Bayu?" tanya Klabang Ireng tidak sabaran.
"Tidak ada di sini," sahut Bayu tanpa berpaling sedikit pun juga.
"Apa maksudmu tidak ada di sini, Bayu" Bukankah tadi kau mengatakan kalau kita
bisa mendapatkan pedang itu di sini...?" selak Rara Sawit jadi tidak mengerti.
"Memang kita akan mendapatkan pedang itu di sini. Tapi pedang itu sekarang belum
ada di sini,"
sahut Bayu kalem.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Bayu...."
"Kita akan menunggu di sini sampai pedang itu datang."
"Berapa lama?" tanya Rara Sawit tidak sabaran.
Bayu tidak menjawab. Dia hanya mengangkat
bahunya saja sedikit. Tanpa menghiraukan dua orang yang dibawanya ini, Pendekar
Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Sepasang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pulau Neraka itu langsung saja duduk di balik sebongkah batu yang sangat besar,
dengan bagian bawahnya terdapat rongga seperti goa. Di tempat ini dia bisa
melindungi dirinya dari sengatan matahari.
Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya bisa memandangi saja tanpa dapat
mengerti dengan sikap yang ditunjukkan Pendekar Pulau Neraka itu.
Tapi mereka mendekati juga, tidak tahan dengan sengatan teriknya cahaya
matahari. Rongga batu ini memang cukup besar juga, hingga bisa menampung mereka
bertiga, dan melindunginya dari keganasan
mentari. Dan untuk beberapa saat lamanya mereka hanya terdiam membisu, tidak ada
yang membuka suara lebih dahulu.
"Kalian tunggu di sini," kata Bayu tiba-tiba sambil bangkit berdiri.
"Mau ke mana kau?" tanya Klabang Ireng.
Bayu tidak menjawab. Dia terus saja melangkah sambil menggendong monyet kecil
yang selalu mengikutinya ke mana saja dia pergi. Monyet kecil yang bernama Tiren
itu langsung nangkring di pundak Pendekar Pulau Neraka ini. Klabang Ireng dan
Rara Sawit hanya saling berpandangan saja. Dan
membiarkan Bayu pergi meninggalkannya. Bayu terus berjalan semakin jauh, hingga
akhirnya tidak terlihat lagi.
"Aku jadi curiga. Jangan-jangan dia hanya mau menjebak kita berdua di sini,"
kata Rara Sawit setengah bergumam, seakan dia bicara pada diri sendiri.
"Kenapa kau menaruh curiga padanya, Rara
Sawit" Sudah jelas dia Pendekar Pulau Neraka," kata Klabang Ireng, tidak setuju
dengan pendapat Rara Sawit.
"Kelakuannya aneh," sahut Rara Sawit.
"Aneh bagaimana?"
"Apa kau tidak merasa, untuk apa dia
meninggalkan kita berdua di tempat seperti ini...?"
Rara Sawit malah balik bertanya.
Klabang Ireng jadi terdiam. Memang kalau
dirasakan, tingkah Pendekar Pulau Neraka yang selalu membawa monyet kecilnya itu
sangat dirasakan aneh. Tapi Klabang Ireng ingat pada pesan gurunya, untuk pergi ke
Bukit Sampan, dan
menjumpai Pendekar Pulau Neraka. Pendekar itu
yang akan menunjukkan di mana dia bisa
mendapatkan Pedang Dewa Naga. Yang menurut gurunya adalah pedang warisan dari
leluhurnya. Sedangkan di sebelahnya kini, ada seorang gadis cantik yang juga mengakui kalau
Pedang Dewa Naga adalah miliknya. Kebimbangan mulai menyelimuti hati Klabang
Ireng. Sebentar dia mengarahkan
pandangannya ke arah mana tadi Bayu pergi. Dan sebentar kemudian dia menatap
pada Rara Sawit.
Sedangkan Rara Sawit sendiri kelihatan mengarahkan pandangannya lurus ke depan.
Merayapi batu-batuan yang ada di sekitarnya. Perlahan Klabang Ireng bangkit
berdiri. Rara Sawit langsung menatapnya dengan sinar mata yang cukup tajam.
"Kau juga mau pergi, Klabang Ireng?" tanya Kara Sawit menegur.
"Aku mau cari pedang itu di sekitar sini," sahut Klabang Ireng seraya melangkah
keluar dari relung batu ini.
"Kau percaya kalau ini tempatnya?" tanya Rara Sawit lagi, sambil ikut berdiri
dan melangkah keluar mengikuti Klabang Ireng.
Namun Klabang Ireng tidak menjawab sedikit pun juga. Dia terus saja berjalan
perlahan-lahan dengan mata menatap tajam beredar berkeliling. Sedangkan Rara
Sawit hanya berdiri diam saja memandangi pemuda itu. Entah apa yang ada di dalam
pikiran gadis ini. Sementara Klabang Ireng terus melangkah sambil meneliti
setiap jengkal yang dilewatinya.
Namun tidak ada tanda-tanda di mana adanya Pedang Dewa Naga berada.
Lama juga Klabang Ireng mencari, sampai
matahari condong ke arah barat. Sedangkan Rara Sawit sama sekali tak berusaha
mencari. Dia menunggu saja dari dalam relung batu yang
melindungi dirinya dari sengatakan matahari. Tapi matanya tidak lepas dari
Klabang Ireng. Dan disaat matahari hampir tenggelam di ufuk barat, mendadak saja
tanah berbatu yang ada di sekitar mereka bergetar bagai diguncang gempa.
"Hup!"
Rara Sawit cepat-cepat melompat keluar dari relung batu ini. Sedangkan Klabang
Ireng juga langsung berlari mendekati gadis ini. Dan belum lagi hilang rasa
keterkejutan mereka, tiba-tiba terlihat secercah cahaya kilat di angkasa.
Kilatan cahaya terang itu meluruk deras ke arah dua anak muda ini.
"Awas...!" seru Klabang Ireng.
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
Mereka berlompatan menghindari kilatan cahaya itu. Berjumpalitan di udara, dan
kembali menjejakkan kakinya di tanah yang berbatu ini. Saat itu juga kilatan
cahaya tadi lenyap bagai tertelan bumi. Dan getaran yang mengguncang tempat itu
juga menghilang tidak terasakan lagi. Keanehan ini membuat Klabang Ireng dan Rara
Sawit jadi saling berpandangan. Namun entah kenapa, mereka seperti mempunyai
satu ikatan untuk tidak berpisah. Padahal semula mereka saling bermusuhan.
Bahkan hampir saling bunuh.
"Hati-hati, Rara Sawit," ujar Klabang Ireng memperingatkan.
"Iya," sahut Rara Sawit perlahan.
*** 6 Lama juga tidak ada lagi kejadian yang dialami Klabang Ireng dan Rara Sawit.
Namun mereka seakan tidak berani untuk meninggalkan tempat ini.
Dan sikap mereka masih terus berwaspada.
Sementara malam sudah jatuh menyelimuti
sekitarnya. Dan kegelapan pun membuat pandangan mereka jadi terhalang. Angin
mulai terasa dingin mengusap kulit Namun kedua anak muda itu masih tetap berdiri
tegak berdampingan tanpa berbicara sedikit pun juga. Dan pada saat kegelapan
benar-benar sudah menyatu dengan alam, tiba-tiba saja Klabang Ireng melihat
secercah cahaya dari atas bukit yang berada tidak seberapa jauh dari daerah
berbatuan ini. "Lihat, Rara Sawit..!" seru Klabang Ireng seraya menunjuk ke puncak bukit yang
kelihatan gersang dan berbatu ini.
"Mungkinkah ada orang di sana...?" desis Rara Sawit seperti bertanya pada diri
sendiri. "Sebaiknya aku lihat ke sana," kata Klabang Ireng.
"Tunggu...!" sentak Rara Sawit mencegah, sebelum Klabang Ireng bergerak.
"Lihat, Rara Sawit..!" seru Klabang Ireng seraya menunjuk ke puncak bukit yang
kelihatan gersang dan berbatu itu.
"Sebaiknya aku ke sana!"
"Tunggu...!" cegah Rara Sawit "Kau tidak bisa pergi sendirian ke sana!"
"Kenapa" Kau takut aku menguasai pedang itu sendiri...?" terdengar sinis suara
Klabang Ireng. Klabang Ireng berpaling menatap gadis itu.
"Kau tidak bisa pergi sendirian ke sana, Klabang Ireng," kata Rara Sawit agak
datar suaranya.
"Kau takut aku akan menguasai pedang itu
sendiri...?" terdengar agak sinis nada suara Klabang Ireng.
"Pedang itu milikku, Klabang Ireng. Ingat, aku yang berhak atas Pedang Dewa
Naga." "Siapa bilang..." Aku yang lebih berhak
memilikinya. Karena aku adalah cucu tunggal Eyang Kampayak."
"Aku yang berhak!" tukas Rara Sawit mendelik.
"Kita buktikan nanti, siapa yang paling berhak memilikinya. Aku atau kau!"
tantang Klabang Ireng.
"Baik, kita buktikan sekarang," balas Rara Sawit mantap.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka langsung saja berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah tinggi tingkatannya, menuju
ke arah titik cahaya di atas bukit. Mereka terus berlari dengan kecepatan
tinggi, seakan-lkan saling berlomba agar bisa sampai lebih dulu. Tapi tampaknya
tingkat ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki sejajar, sehingga mereka terus
beriringan tanpa ada yang tertinggal sedikit pun juga.
Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki, sehingga dalam waktu
tidak berapa lama mereka sudah sampai di tempat yang mereka tuju. Sebuah bukit
yang hanya terdiri dari batu-batu bertumpuk. Kelihatan begitu rapuh sekali bukit
ini. Dan cahaya itu terlihat jelas, berada tepat di puncak bukit Begitu terang dan
menyilaukan mata. Membuat
kedua anak muda ini jadi terperangah memadangnya.
Mereka terus memandang dari kaki bukit batu ini tanpa berkedip sedikit pun juga.
Dan untuk beberapa saat lamanya mereka jadi terdiam mematung dengan kepala
terdongak memandang cahaya yang
memancar dari puncak bukit batu di depannya ini.
"Ayo kita daki bukit ini," ajak Klabang Ireng begitu tersadar dari
keterpanaannya.
"Tunggu dulu...!" sentak Rara Sawit, sambil mencekal pergelangan tangan pemuda
itu. Klabang Ireng yang sudah bersiap hendak
melangkah mendaki bukit batu ini, jadi menghentikan keinginannya. Dan dia
langsung berpaling menatap pada gadis cantik di sebelahnya. Saat itu Rara Sawit
langsung tersadar. Cepat-cepat dia melepaskan cekalan tangannya pada pergelangan
tangan pemuda itu. Seketika wajahnya jadi menyemburat merah. Dan dia mengarahkan
pandangannya ke arah lain, seakan ingin menyembunyikan wajahnya yang mendadak
jadi terasa panas. Entah kenapa, dadanya terasa begitu cepat berdetak. Dan
darahnya juga jadi bergolak tidak seperti biasanya. Namun cepat Rara Sawit bisa
menguasai keadaan dirinya yang mendadak saja jadi terasa ganjil ini.
"Kenapa kau selalu mencegahku, Rara Sawit" Apa kau takut aku akan serakah
menguasai pedang itu sendiri?" tegur Klabang Ireng dengan nada suara yang
terdengar agak dingin.
"Aku.... Aku, aku hanya...," entah kenapa, Rara Sawit jadi tergagap.
"Dengar, Rara Sawit. Kalau pedang itu sudah kita temukan, di sana nanti kita
akan tentukan siapa diantara kita berdua yang berhak memilikinya," kata Klabang
Ireng lagi, tanpa mempedulikan ketergagapan gadis itu.
"Terserah kau, Klabang Ireng," sambut Rara Sawit sudah mulai agak tenang
suaranya kini. "Tapi kini aku hanya ingin mengatakan, sebaiknya kita pikirkan
dulu untuk mendaki bukit ini. Apa kau tidak lihat, bagaimana rapuhnya bukit
ini..." Lihat, Klabang Ireng.
Sedikit saja melakukan kesalahan, aku yakin bukit ini akan ambruk mengubur kita
semua di sini."
Klabang Ireng jadi tertegun, memandangi bukit batu yang ada di depannya ini. Dan
di dalam hatinya dia mengakui kebenaran dari kata-kata Rara Sawit barusan. Bukit
ini memang kelihatan begitu rapuh sekali. Bahkan bukit ini hanya terdiri dari
batu-batu yang bertumpuk. Seakan-akan memang sengaja dibuat tangan manusia.
Klabang Ireng mengakui di dalam hati, perlu pengerahan ilmu meringankan tubuh
yang lebih lagi untuk bisa mendaki bukit ini sampai ke puncak. Sedangkan dia
menyadari kalau ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sekarang ini, belum
cukup untuk mengimbangi merapuhan bukit ini. Dan yang pasti, beban berat
tubuhnya akan membuat batu-batu bukit ini berguguran.
Sesaat Klabang Ireng beralih menatap pada Rara Sawit Seakan dia tengah mengukur
tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki gadis ini. Dia tahu kalau ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki Rara Sawit seimbang dengan yang dimilikinya.
Jadi tidak mungkin mereka berdua mendaki bukit batu ini.
Terlalu besar resikonya yang harus mereka hadapi nanti. Sedangkan cahaya terang
yang memendar dari atas bukit itu sudah membuat mereka berdua begitu yakin,
kalau Pedang Dewa Naga yang selama ini mereka cari ada di sana. Dan cahaya yang
memendar terang itu berasal dari Pedang Dewa Naga.
"Kau tunggu saja di sini, Rara Sawit. Kalau aku gagal nanti, kau bisa
menggantikanku," kata Klabang Ireng.
"Tidak...!" sentak Rara Sawit tegas.
Klabang Ireng jadi mendelik.
"Kalau kau naik ke bukit ini, aku juga ikuti naik,"
kata Rara Sawit lagi tetap tegas.
"Jangan main-main, Rara Sawit. Kau sendiri vang memperingatkan tadi. Tapi
sekarang, kau keras kepala mau tetap mendaki bukit ini," dengus Klabang Ireng
jadi sengit. "Aku yang menentukan dalam hal ini!" bentak Rara Sawit tidak mau kalah
sengitnya. "Heh..."! Memangnya kau ini apaku...?"
"Jangan bilang aku ini apamu, Klabang Ireng.
Karena aku yang lebih berhak atas pedang itu daripada kau!"
"Edan...! Kau benar-benar keras kepala, Rara Sawit Menyesal aku bertemu
denganmu," dengus Klabang Ireng menggerutu kesal.
Rara Sawit hanya mencibir saja sambil mendengus kecil. Dia kemudian mengayunkan
kakinya beberapa langkah ke depan. Klabang Ireng tidak mau
ketinggalan. Dia cepat melangkah hendak menyusul gadis ini. Tapi baru saja
kakinya berada di depan satu langkah, Rara Sawit sudah mengibaskan tangannya ke
samping. "Haiiit..!"
Klabang Ireng cepat menghentakkan tangannya, menangkis kibasan tangan gadis ini.
Dan kedua tangan itu seketika beradu dengan keras.
Plak! "Upths!"
"Hap...!"
Mereka sama-sama berlompatan ke samping,
hingga terdapat jarak sekitar satu batang tombak.
Manis sekali mereka menjejakkan kakinya secara bersamaan di tempat yang berbatu
ini. Dan sekarang mereka sama-sama berdiri saling berhadapan, dengan tatapan
mata yang tajam, tidak ada yang mau mengalah sedikit pun juga.
*** "Tingkahmu semakin memuakkan saja, Rara
Sawit," desis Klabang Ireng tidak dapat lagi menahan kesabarannya. "Seharusnya
kau mau mengalah sedikit"
"Huh! Enak saja kau bicara!" dengus Rara Sawit mangkel. "Aku datang jauh-jauh
hanya dengan satu tujuan. Tapi kau seenaknya saja bicara. Kau pikir aku tidak
mampu menghajarmu...?"
Merah seluruh wajah Klabang Ireng mendengar kata-kata Rara Sawit yang begitu
pedas dan menyakitkan. Dia merasa benar-benar direndahkan gadis ini. Memang
beberapa waktu yang lalu, Rara Sawit hampir saja memenggal kepalanya, kalau
Pendekar Pulau Neraka tidak segera datang dan menyelamatkannya. Tapi waktu itu
Klabang Ireng terlalu meremehkan kemampuan gadis ini, sehingga dia lengah, dan
pukulan Rara Sawit sampai mendarat di dadanya.
Tapi sekarang, Klabang Ireng tidak bisa lagi memandang sebelah mata pada gadis
yang sudah membuat hatinya jengkel ini. Terlebih lagi kata-kata Rara Sawit tadi
benar-benar merendahkan dirinya.
Jelas sekali dari sikap kata-katanya yang selalu menyakitkan itu, Rara Sawit
sudah memandang
rendah pada pemuda ini. Dan tadi Rara Sawit sudah membuka tantangan secara
terbuka. Pantang bagi Klabang Ireng mendiamkan tantangan itu.
"Seharusnya kau diberi sedikit pelajaran, agar tahu adat," desis Klabang Ireng
dingin menggetarkan.
"O..., jadi kau ingin membuktikan kejantananmu lagi" Baik, jangan menyesal kalau
kau mati sebelum melihat Pedang Dewa Naga," sambut Rara Sawit tidak kalah
dinginnya. "Sombong...!" dengus Klabang Ireng semakin geram hatinya.
"Ayo, aku beri kesempatan kau sepuluh jurus, Klabang Ireng," tantang Rara Sawit
lagi. Klabang Ireng malah diam saja, dengan
pandangan mata yang bersorot sangat tajam, menembus langsung ke bola mata gadis
itu. Sementara Rara Sawit jadi tersenyum sinis, membalas tatapan pemuda itu dengan
sinar mata yang merendahkan.
"Sebelum sampai sepuluh jurus, kau akan
menyembah di telapak kakiku, Perempuan Liar!"
desis Klabang Ireng memanasi.
"Keparat! Kau akan menyesal, Klabang Ireng!"
geram Rara Sawit langsung memerah wajahnya dikatakan perempuan liar.
Sret!
Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Sepasang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cring...! Rara Sawit langsung saja mencabut pedangnya, dan disilangkan ke depan dada.
Sementara Klabang Ireng jadi tersenyum tipis melihat gadis itu sudah langsung
mencabut pedangnya. Sedikit dia
menggeser seruling hitam yang selalu terselip di balik ikat pinggangnya.
"Ayo! Maju kau, Keparat!" bentak Rara Sawit tidak
bisa lagi menahan kegeramannya.
"Kau memberiku sepuluh jurus, Perempuan Liar.
Sekarang aku beri kau kesempatan jurus," balas Klabang Ireng semakin memanasi.
"Setan...! Kupenggal kepalamu! Hiyaaat..!"
Rara Sawit tidak bisa lagi menahan kemarahan nya. Dia langsung saja melompat
sambil berteri nyaring, menyerang pemuda ini. Pedangnya begi cepat sekali
dikibaskan mengarah langsung ke batang leher.
Bet! "Haiiit...!"
Namun hanya dengan sedikit saja Klabang Ireng menarik kepalanya ke belakang,
ujung pedang Rara Sawit berkelebat lewat di depan tenggorokannya. Dan pada saat
itu juga, Klabang Ireng memberikan satu sodokan cepat ke dada gadis ini.
"Kurang ajar! Hih...!"
Semakin memerah wajah Rara Sawit melihat
tangan Klabang Ireng menyorong ke arah dadanya.
Sambil membentak, dia memutar pedangnya ke depan dada. Namun dengan gerakan
berputar yang begitu indah sekali Klabang Ireng bisa menghindari tangannya dari
tebasan pedang gadis ini. Dan sambil meliukkan tubuhnya, dia melepaskan satu
tendangan keras menggeledek yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Upths!"
Rara Sawit cepat melompat ke belakang,
menghindari tendangan dahsyat pemuda ini. Namun belum juga kedua kakinya
menjejak tanah, Klabang Ireng sudah melompat dengan kecepatan yang sangat tinggi
sambil mencabut senjatanya yang
berbentuk sebuah seruling hitam pekat. Dan bagai kilat dia mengebutkan seruling
hitam itu ke pinggang gadis ini.
Wut! "Aikh..."!"
Rara Sawit jadi tersentak kaget setengah mati.
Cepat-cepat dia memutar tubuhnya, hingga sabetan seruling hitam itu tidak sampai
menyambar pinggangnya. Dan dengan manis sekali dia berhasil menjejakkan kakinya di tanah.
Tepat pada saat itu, Klabang Ireng memberikan satu pukulan keras dengan tangan
kirinya sambil berteriak lantang menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Rara Sawit kembali harus melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari pukulan
Klabang Ireng yang begitu dahsyat bagai halilintar ini. Klabang Ireng tidak bisa
lagi menahan arus pukulannya yang begitu deras. Sehingga kepalan tangannya
menghantam dinding kaki bukit batu ini. Dan....
Glarrr...! Satu ledakan yang begitu keras seketika terdengar menggelegar. Dan seketika itu
juga bukit batu yang menjadi persoalan mereka ini bergetar hebat bagai diguncang
gempa. Suara gemuruh terdengar
membuat kedua orang yang sedang bertarung ini jadi tersentak kaget setengah
mati. Namun Rara Sawit yang sudah begitu marah, tidak mau mempedulikan bukit batu yang
bergetar bagai hendak runtuh ini. Dia langsung saja melesat begitu cepat sekali
dengan ujung pedang tertuju lurus ke depan dada lawannya ini sambil berteriak
nyaring melengking.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Klabang Ireng yang sempat melihat bukit batu itu akan runtuh, cepat-cepat dia
melentingkan tubuhnya ke belakang, dan terus berputaran beberapa kali di udara
sebelah serangan Rara Sawit sampai.
"Hup! Yeaaah...!"
Klabang Ireng kembali melesat begitu kakinya menjejak batu. Dan kembali dia
berputaran di udara, bergerak cepat ke belakang. Sementara Rara Sawit yang belum
menyadari keadaan, terus mengejar pemuda ini sambil mengecutkan pedangnya dengan
cepat Gadis itu terus berlompatan mengejar lawannya yang terus saja
berjumpalitan di udara sambil bergerak ke belakang.
"Hap!"
Begitu merasa jaraknya sudah cukup jauh dari bukit batu yang terus bergetar
runtuh ini, Klabang Ireng tidak lagi melentingkan tubuhnya ke belakang.
Dan dia berdiri tegak memperhatikan Rara Sawit yang terus meluruk deras, bagai
anak panah dilepaskan dari busurnya.
"Rara Sawit, hentikan semua ini...!" seru Klabang Ireng mencoba memperingati.
"Kau harus mampus, Klabang Ireng Keparat!
Hiyaaa...!"
*** Rara Sawit sama sekali tidak mempedulikan
peringatan Klabang Ireng. Dan dia terus saja menyerang pemuda ini dengan jurus
pedangnya yang begitu cepat dan dahsyat. Klabang Ireng terpaksa harus
berjumpalitan kembali di udara, menghindari
setiap serangan Rara Sawit yang begitu dahsyat itu.
Tapi Klabang Ireng bergerak semakin menjauhi bukit batu. Dan sama sekali dia
tidak melancarkan serangan balasan.
Sikap Klabang Ireng yang sebenarnya ingin
menyelamatkan diri mereka berdua dari kehancuran bukit batu itu, malah diartikan
Rara Sawit lain. Gadis ini merasa pemuda itu sudah merendahkannya dengan terus
menghindar tanpa mau membalas serangannya sedikit pun juga. Bahkan Klabang Ireng
terus bergerak mundur dengan berjumpalitan di udara.
"Pengecut kau, Klabang Ireng! Hiyaaat..!" teriak Rara Sawit sengit.
Bentakan Rara Sawit begitu keras menggelegar.
Dan seketika itu juga dia mengebutkan pedangnya tepat mengarah ke dada dan leher
Klabang Ireng dengan kecepatan yang sangat tinggi, hingga bentuk pedangnya
lenyap, dan yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan menyambar ke arah
dada dan leher dalam waktu yang hampir bersamaan.
"Upths...!"
Klabang Ireng berhasil menghindari tebasan pedang itu pada lehernya. Namun saat
pedang itu berputar mengarah ke dada, sama sekali tidak ada kesempatan bagi
Klabang Ireng untuk berkelit menghindarinya. Dan ujung pedang itu siap merobek
dadanya. Namun disaat ujung pedang itu seulung rambut lagi menyentuh dada
Klabang Ireng, mendadak saja secercah cahaya putih keperakan berkelebat dengan kecepatan bagai
kilat menyambar Rara Sawit ini. Dan....
Trang! "Ikh..."!"
Rara Sawit jadi terpekik kaget, begitu merasakan pedangnya bagai membentur
sebongkah batu cadas yang teramat keras. Hingga dia terpaksa harus menarik
pulang serangannya, dan melompat ke belakang sejauh lima langkah sambil
berputaran di udara dua kali. Tampak bibirnya meringis begitu kakinya menjejak
tanah berbatu yang bergetaran seperti diguncang gempa sejak tadi ini.
Benturan cahaya putih keperakan bagai kilat pada pedangnya tadi, membuat seluruh
persendian tulang kanan gadis ini jadi terasa nyeri. Dan belum lagi Rara Sawit
bisa menyadari apa yang telah terjadi tadi, terlihat sebuah bayangan kuning
berkelebat begitu cepat sekali, hingga tahu-tahu di antara dia dan Klabang Ireng
sudah berdiri seorang pemuda berbaju kulit harimau, dengan seekor monyet kecil
berbulu hitam pekat berada di pundaknya.
"Bayu...," desis Rara Sawit langsung mengenali.
Pemuda yang baru datang itu memang Bayu, yang lebih dikenal dengan nama sebutan
Pendekar Pulau Neraka. Dia berdiri tepat di antara Rara Sawit dan Klabang Ireng
yang sama-sama menghunus
senjatanya ini.
"Untuk apa kalian bertarung?" terasa begitu dingin sekali nada suara Bayu.
Tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu. Entah
kenapa, mulut mereka seakan terkunci, melihat wajah ang ker yang ditunjukkan
Bayu. Seakan-akan Pendekar Pulau Neraka itu memiliki satu kekuatan aneh yang
membuat mereka tidak ada yang bisa mengeluarkan suara.
"Masukkan senjata kalian!" bentak Bayu
memerintah. Kembali Klabang Ireng dan Rara Sawit tidak bisa membantah perintah Pendekar
Pulau Neraka itu.
Tanpa diperintah dua kali, mereka menyimpan senjatanya masing-masing. Seperti
anak kecil yang ketahuan nyolong mangga, mereka tertunduk tidak berani membalas
tatapan mata Pendekar Pulau Neraka yang begitu tajam memandangi mereka berdua
bergantian. "Apa yang kalian perebutkan?" tanya Bayu lagi.
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Dan
perlahan mereka sama-sama mengangkat kepalanya, lalu secara bersamaan pula
mereka menatap ke arah puncak bukit batu yang kini sudah tenang kembali.
Tampak tidak sedikit batu-batu dari bukit itu yang berguguran. Dan di atas
puncak bukit itu, masih terlihat semburat cahaya terang benderang, yang membuat
daerah sekitarnya jadi terang, seperti tersiram cahaya rembulan. Padahal malam
ini di langit tidak terlihat bulan sedikit pun juga. Bahkan tidak satu pun
bintang menggantung di sana. Langit kelihatan begitu kelam pekat, tersaput awan
hitam yang tebal bergulung-gulung. Membuat udara di sekitar bukit batu itu jadi
terasa dingin menggigilkan tubuh.
"Kalian tahu, apa yang ada di sana?" tanya Bayu lagi, langsung bisa mengetahui
arti pandangan mata Klabang Ireng dan Rara Sawit yang tertuju ke puncak bukit.
Kembali tidak ada seorang pun yang menjawab.
Mereka malah mengarahkan matanya, memandang Pendekar Pulau Neraka ini. Sementara
Bayu menurunkan Tiren dari pundaknya. Dan monyet kecil itu mencerecet ribut, begitu
terlepas dari pundak pemuda ini. Seakan dia tidak senang menginjak
bebatuan yang terasa begitu dingin membekukan tulang.
"Kau ke sana, Tiren," pinta Bayu seraya menunjuk ke puncak bukit.
"Nguk!"
Tanpa diminta dua kali, monyet kecil berbulu hitam pekat itu langsung berlarian
berjingkrakan menuju ke bukit batu. Dengan gerakan yang begitu lincah dan ringan
sekali, Tiren mendaki bukit batu itu dengan cepat. Sementara Klabang Ireng dan
Rara Sawit hanya bisa memandangi saja tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Dan
Bayu terus memandangi monyet kecil itu sampai menghilang dari pandangan matanya.
Dan setelah beberapa saat menunggu, tiba-tiba saja cahaya terang yang ada di
puncak bukit itu padam. Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi terkejut.
Meskipun mulut mereka tenganga, tapi tidak ada suara sedikit pun juga yang
terdengar. Sedangkan Bayu sudah mengayunkan kakinya mendekati bukit batu itu.
Dia baru berhenti melangkah setelah berada di kaki bukit ini. Dan pada saat itu,
Tiren terlihat berlompatan dengan gerakan yang begitu ringan sekali menuruni
lereng bukit. "Nguk! Craaagkh...!"
Jeritan monyet kecil berbulu hitam yang nyaring itu, sempat membuat telinga
mereka yang mendengar jadi terasa sakit Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit menunggu
dengan segudang
pertanyaan berkecamuk di dalam kepalanya, Tiren sudah dekat dengan Pendekar
Pulau Neraka. Dan pemuda berbaju kulit harimau itu menjulurkan tangannya. Tiren
langsung melompat naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka itu melalui tangan yang
menjulur padanya.
"Kalian lihat ini...!" seru Bayu seraya memutar tubuhnya berbalik.
"Hah..."!"
"Oh..."!"
Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi terkejut setengah mari, dengan bola mata
terbeliak dan mulut ternganga lebar. Seakan mereka tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Padahal tadi mereka tidak melihat Tiren membawanya, tapi sekarang di
tangan Pendekar Pulau Neraka itu...
"Pedang Dewa Naga...," desis Klabang Ireng, hampir tidak terdengar suaranya.
Sementara Bayu sudah melangkah perlahan
menghampiri mereka. Dia berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar empat langkah
lagi. Dia memandangi Klabang Ireng dan Rara Sawit bergantian. Sedangkan yang
dipandangi malah memperhatikan pedang bersarung putih keperakan, dengan bagian
gagang-nya berbentuk kepala seekor naga berwarna putih keperakan juga. Tampak
pada bagian pangkal sarung pedang dekat gagang, menyemburat cahaya
keperakan. Pedang yang berada di dalam genggaman tangan Pendekar Pulau Neraka itu memang
Pedang Dewa Naga yang menjadi permasalahan selama ini. Pedang yang membuat
tokoh-tokoh persilatan selalu memimpikan untuk memilikinya. Bahkan menjadi
rebutan antara Klabang Ireng dan Rara Sawit yang sama-sama mengakui menjadi
pewaris yang sah dari pedang itu.
"Sekarang kalian sudah tahu pedang ini memang ada. Hanya satu orang yang berhak
memiliki pedang ini. Dan pada tubuh orang itu harus mengalir darah dari
pembuatnya. Aku tidak tahu, siapa di antara
kalian berdua yang berhak memilikinya. Tapi aku mendapat amanat untuk
menyerahkan pedang ini di antara kalian berdua," kata Bayu dengan nada suara
yang tegas. "Aku siap bertarung sampai mati untuk
membuktikannya, Bayu," sambut Rara Sawit mantap.
"Bukan itu yang kumaksudkan," kata Bayu seraya tersenyum dan menggelengkan
kepalanya. "Lalu, bagaimana kau akan membuktikan siapa yang paling berhak?" tanya Klabang
Ireng ingin tahu.
Bayu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan Klabang Ireng
barusan. Seakan pertanyaan itu membuat hatinya tergelitik.
Senyum Pendekar Pulau Neraka itu membuat
Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi saling melemparkan pandangan. Kemudian mereka
memandangi Pendekar Pulau Neraka itu dengan sinar mata yang sukar untuk diartikan.
"Katakan, Bayu. Siapa di antara kami yang berhak memilikinya," desak Rara Sawit
tidak sabar lagi.
Dan belum juga Bayu menjawab pertanyaan gadis itu, tiba-tiba saja terdengar
suara keras yang menggelegar mengejutkan.
"Kalian semua tidak berhak...!"
"Heh..."!"
"Oh..."!"
Belum lagi hilang suara yang keras menggelegar itu, muncul seorang wanita
setengah baya, yang diiringi sekitar tiga puluh orang gadis-gadis cantik membawa
tombak dari arah selatan. Dan tidak lama kemudian, dari arah timur muncul juga
seorang laki-laki tua berjubah putih yang berjalan menggunakan tongkat bersama
sekitar dua puluh orang pemuda-pemuda bersenjata golok.
"Dewi Pedang Maut..," desis Rara Sawit.
"Ki Jamparut..," desis Klabang Ireng hampir bersamaan.
Mereka memang Ki Jamparut dan Dewi Pedang
Maut. Mereka datang tepat di saat Pendekar Pulau Neraka sudah mendapatkan Pedang
Dewa Naga. Dan ini sebentar saja tempat ini sudah dipenuhi dua kekuatan yang
cukup besar itu. Bayu bergegas melangkah lebih dekat dengan kedua anak muda ini.
Seakan dia ingin melindungi mereka berdua dengan Pedang Dewa Naga yang berada di
tangannya kini.
"Serahkan pedang itu padaku, Pendekar Pulau Neraka!" bentak Dewi Pedang Maut
lantang. "Untuk apa aku menyerahkan pedang ini padamu, Nisanak" Bukan kau yang berhak
memilikinya," sahut Bayu tegas.
"Siapa saja berhak memilikinya, Bocah!" bentak Ki Jamparut menyelak lantang.
"Ada yang lebih berhak daripada kalian," sahut Bayu tetap tegas. "Dan aku tahu
siapa yang berhak memiliki pedang ini."
"Huh! Alasan saja...! Aku tahu, kau juga ingin memilikinya," dengus Dewi Pedang
Maut dingin. Bayu hanya tersenyum saja. Dia melangkah dua tindak ke depan, mendekati wanita
setengah baya yang masih kelihatan cantik ini. Meskipun kata-kata Dewi Pedang
Maut tadi begitu menyakitkan telinga, tapi Bayu sama sekali tidak menghiraukan.
Bahkan dia kelihatn begitu tenang sekali, menyelipkan Pedang Dewa Naga ke balik
ikat pinggangnya. Sedikit Bayu berpaling, menatap pada Klabang Ireng dan Rara
Sawit
Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Sepasang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menyingkirlah kalian. Mereka bukan tandingan kalian berdua," kata Bayu meminta.
Klabang Ireng dan Rara Sawit saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka
melangkah ke belakang, menjauhi Pendekar Pulau Neraka itu. Sementara Bayu
sendiri menurunkan Tiren dari pundaknya.
Monyet kecil berbulu hitam itu seperti tahu akan bahaya yang sedang dihadapi
Pendekar Pulau Neraka ini. Dia bergegas berlari menghampiri bongkah batu yang
cukup besar di belakang Pe dekar Pulau Neraka.
Dengan gerakan yang san ringan sekali monyet kecil itu melomapt naik atas batu.
Bayu tersenyum melihat Tiren, Klabang Ireng, dan Rara Sawit sudah berada di
tempat yang cukup aman.
"Apa yang kalian inginkan sekarang...?" tanya Bayu dengan nada suara yang
terdengar dingin menggetarkan.
Dewi Pedang Maut dan Ki Jamparut saling
berpandangan beberapa saat, mendengar pertanyaan Bayu yang bernada menantang
itu. Mereka sudah sama-sama tahu siapa Pendekar Pulau Neraka ini.
Seorang pendekar muda digdaya yang sukar dicari tandingannya. Dan mereka sudah
pernah bentrok dengannya. Mereka juga sama-sama menyadari ka lau tingkat
kepandaian yang dimilikinya belum cu kup untuk menandingi Pendekar Pulau Neraka
ini. Tapi mereka begitu menginginkan Pedang Dewa Naga menjadi milikinya. Dengan
pedang itu, kekuatan yang mereka miliki akan berlipat ganda.
"Bagaimana, Ki?" tanya Dewi Pedang Maut
meminta pendapat.
"Kita serang saja sama-sama. Kalau sudah beres, baru kita tentukan nanti antara
kita berdua," sahut Ki Jamparut mantap.
Dewi Pedang Maut menganggukkan kepalanya
sambil mengembangkan senyuman tipis yang terasa
begitu pahit sekali. Dia tahu, walaupun sekarang harus bergabung dengan Ki
Jamparut, tapi urusan mereka untuk mendapatkan Pedang Dewa Naga
nanti juga akan ditentukan dengan darah. Dan sekarang mereka berdua harus
menghadapi Pendekar Pulau Neraka bersama-sama.
"Sekarang, Ki...," ujar Dewi Pedang Maut
"Ya!" sahut Ki Jamparut mantap. "Gunakan dulu orang-orang kita."
Dewi Pedang Maut kembali mengangguk. Dan....
"Seraaang...!"
Secara bersamaan, Dewi Pedang Maut dan Ki
Jamparut berteriak lantang menggelegar memberikan perintah pada pengikutnya. Dan
seketika itu juga, mereka yang sejak tadi berada di belakang kedua orang ini
langsung berlarian meluruk ke arah Pendekar Pulau Neraka.
*** Kaki bukit yang berbatu itu seakan dilanda gempa, bergemuruh menggetarkan begitu
sekitar lima puluh orang berhamburan, meluruk deras menyerang Pendekar Pulau
Neraka dengan berlarian sambil berteriak-teriak membahana. Membuat malam yang
pekat dan dingin seketika menjadi hangat dan gegap gempita bagai hendak
meruntuhkan bukit batu ini.
Sementara Bayu tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di samping
pinggangnya. Tatapan matanya begitu tajam sekali memandang orang-orang yang
berhamburan, meluruk deras ke arahnya. Dan begitu mereka dekat, dengan jarak
kurang dari satu batang tombak lagi...
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan
kedua tangannya tepat ke depan ujung kakinya. Dan seketika itu juga, batu-batu
yang ada di depan kakinya berhamburan terhantam kekuatan dahsyat dari pukulan
bertenaga dalam tinggi Pendekar Pulau Neraka itu.
Batu-batu yang berhamburan itu langsung menghujani mereka yang berlarian hendak
menyerang Pendekar Pulau Neraka ini. Begitu cepatnya kejadian itu, sehingga
mereka tidak sempat lagi menyadari.
Dan batu-batu itu langsung menghantam batok kepala mereka, hingga membuat
jeritan-jeritan melengking seketika terdengar menyayat saling sambut.
Seketika itu juga tubuh-tubuh dengan kepala pecah terhantam batu, jatuh
bergelimpangan mengiringi jeritan-jeritan panjang yang melengking menyayat hati.
Dan Bayu kembali menghentakkan kedua tangannya dengan jari-jari terkembang ke
depan sambil berteriak keras menggelegar menggetarkan jantung.
"Yeaaah...!"
Brolll! Kembali batu-batu di depan Pendekar Pulau
Neraka itu berhamburan terhempas angin pukulan kedua tangan pemuda ini. Dan
terus menghujani pengikut Dewi Pedang Maut dan Ki Jamparut.
Membuat mereka semakin kelabakan, berhamburan berusaha mencari selamat. Tapi
batu-batu yang terlontar itu bagaikan hujan saja datangnya. Hingga mereka tidak
punya lagi peluang untuk bisa menyelamatkan diri.
Jerit dan pekikan panjang melengking menyayat, terus terdengar saling sambut
disusul dengan berjatuhnya tubuh-tubuh berlumuran darah. Tidak seorang pun yagn bisa bangkit
lagi begitu tubuhnya menghantam tanah berbatu ini. Darah berhamburan membasahi
batu-batu dari kepala yang pecah.
Keadaan ini tentu saja membuat Ki Jamparut dan Dewi Pedang Maut jadi ternganga.
Mereka begitu terkejut, tidak menyangka bakal seperti ini jadinya.
Dua kekuatan pengikut mereka yang berjumlah lima puluh orang ini, sama sekali
tidak berdaya hanya menghadapi satu orang saja. Dan dalam waktu tidak lama,
tidak ada seorang pun dari mereka yang masih terlihat berdiri.
Bayu berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sorot matanya
terlihat begitu tajam sekali memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling
tumpang tindih di depannya.
Kemudian pandangannya tertuju lurus pada Ki Jamparut dan Dewi Pedang Maut yang
masih terbeliak, seperti tidak percaya dengan apa yang bani saja disaksikannya
ini. Pengikut mereka berdua yang bergabung menjadi satu, dan berjumlah tidak kurang
dari lima puluh orang itu, kini tidak satu pun yang terlihat masih bisa berdiri.
Mereka sudah bergelimpangan saling tumpang tindih tanpa nyawa lagi melekat di
tubuhnya. Hampir semua dari mereka kepalanya pecah
berlumuran darah, terhantam batu-batu yang terlempar akibat terkena pukulan
dahsyat Pendekar Pulau Neraka.
"Keparat..!" desis Ki Jamparut begitu tersadar dari keterpanaannya. "Kau harus
mampus di tanganku, Bocah Setan! Hiyaaat...!"
Sambil berteriak lantang menggelegar, Ki Jamparut yang sudah hancur kakinya itu
langsung saja melompat dengan kecepatan yang luar biasa sekali.
Dan tongkat kayunya langsung dikebutkan tepat mengarah ke kepala Pendekar Pulau
Neraka ini. "Mampus kau, Bocah Setan!"
Bet! "Haiiit...!"
Namun dengan hanya mengegoskan kepalanya
saja sedikit, Bayu bisa menghindari kebutan tongkat laki-laki tua ini. Dan tanpa
diduga sama sekali, Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan tangan kirinya lurus
ke depan, tepat disaat tongkat yang hampir menghantam kepalanya itu lewat ke
samping. "Upths!"
Namun dengan gerakan tubuh berputar di udara, Ki Jamparut berhasil menghindari
sodokan tangan kiri Pendekar Pulau Neraka itu. Dan dengan manis sekali dia
menjejakkan kakinya di tanah. Tongkatnya langsung menekan tanah berbatu ini,
untuk menyangga tubuhnya yang kini hanya berkaki satu.
"Hup! Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Jamparut kembali melompat menerjang dengan
kebutan tongkat yang begitu cepat disertai dengan
pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Laki-laki tua ini mengarahkan kebutan
tongkatnya ke kepala
Pendekar Pulau Neraka. Tapi kembali kebutan tongkatnya lewat tanpa mendatangkan
hasil. Bayu hanya mengegoskan kepalanya saja sedikit, membuat serangan Ki
Jamparut tidak mencapai sasaran dengan tepat.
"Hih! Yeaaah...!"
Bet! Bayu yang tidak mau lagi membuang-buang waktu menghadapi lawannya ini, langsung
mengecutkan tangan kanannya ke depan sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Dan
seketika itu juga Cakra Maut yang selalu menempel di perge- langan tangannya
melesat begitu cepat sekali bagai kilat.
Hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan.
"Ikh..."!"
Ki Jamparut terpekik kaget setengah mati. Cepat-cepat dia mengebutkan tongkatnya
ke depan, sambil melentingkan tubuhnya, berputaran ke belakang.
Hingga Cakra Maut lewat menerobos di bawah orang tua berjubah putih ini.
Tapi tanpa diduga sama sekali, Cakra Maut itu langsung berputar balik, tepat
disaat Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas. Dan langsung meluruk deras
menyerang orang tua berjubah putih ini. Begitu cepatnya lesatan senjata maut
berbentuk lingkaran bersegi enam berwarna putih keperakan ini, hingga membuat
kedua bola mata Ki Jamparut jadi terbeliak lebar. Daa...
Bet! Wusss...! "Heh..."!"
Ki Jamparut jadi terkejut setengah mati, begitu melihat kebutan tongkatnya tidak
sampai menghantam senjata aneh Pendekar Pulau Neraka itu. Bahkan Cakra Maut bisa
melesat ke atas menghindari sabetan tongkat orang tua mi. Seperti memiliki mata
saja, Cakra Maut langsung meluruk deras. Dan....
Crabbb! "Aaa...!"
*** Ki Jamparut jadi terpekik keras, begitu Cakra Maut menghantam dadanya, hingga
tembus ke punggung.
Dan senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat tembus dari punggung
orang tua ini. Sementara Bayu sudah mengangkat tangan kanannya ke atas kepala.
Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu.
Tampak Ki Jamparut masih berdiri dengan tubuh limbung dan mata terbeliak lebar,
seakan tidak percaya dengan apa yang telah terjadi pada dirinya.
Darah mengalir keluar dengan deras sekali dari dada dan punggungnya yang
berlubang tertembus Cakra Maut, senjata andalan Pendekar Pulau Neraka tadi.
Dan tidak lama Ki Jamparut bertahan berdiri.
Kemudian tubuh tuanya ambruk dengan keras sekali menghantam bebatuan yang
berserakan di sekitarnya. Beberapa kali tubuh orang tua berjubah putih itu bergulingan.
Kemudian menggelegar, dan mengejang kaku diiringi suara erangan tertahan.
Kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Seketika nyawanya melayang dari
tubuhnya yang menggeletak dengan darah tenis bercucuran deras dari lubang di
dada dan punggungnya.
"Phuih!"
Kematian Ki Jamparut membuat Dewi Pedang
Maut jadi mendengus geram, menyemburkan
ludahnya. Dia memandangi Pendekar Pulau Neraka dengan sinar mata yang begitu
tajam menusuk. Seakan dia ingin menghancur-leburkan pemuda berbaju kulit harimau itu dengan
cahaya bola matanya yang tajam, dan merah membara bagai sepasang bola api.
Sedangkan yang dipandangi tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di
depan dada. Tapi tampaknya Dewi Pedang Maut ragu-ragu
untuk menyerang. Cukup lama juga dia memandangi Pendekar Pulau Neraka itu dengan
sinar mata yang tajam dan merah membara bagai api berselimut dendam dan
kemarahan. Sedangkan Bayu tetap menunggu dengan sikap yang kelihatan begitu
tenang sekali. Bahkan bibirnya terlihat mengulas senyuman tipis. Seakan dia
menanti serangan wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik itu.
"Giliranmu sekarang, Nisanak," ujar Bayu dingin.
"Phuih...!"
Dewi Pedang Maut hanya menyemburkan
ludahnya dengan sengit, menyambut tantangan Pendekar Pulau Neraka itu. Tapi dia
belum juga mau bergerak. Seakan dia ragu-ragu untuk menyerang Pendekar Pulau
Neraka ini. Melihat begitu mudahnya Bayu menghantam lawan-lawannya tadi, gentar
juga hati wanita ini. Tapi begitu melihat mayat-mayat pengikutnya yang
bergelimpangan di depannya, darahnya kembali bergolak mendidih. Kini tidak ada
lagi orang yang berdiri di belakangnya. Dan hanya dia sendiri yang harus
menghadapi Pendekar Pulau Neraka. Dewi Pedang Maut kembali menyemburkan
ludahnya, seakan dia ingin memantapkan hatinya menghadapi pemuda berbaju kulihat
harimau yang sangat digdaya ini.
Sret! Cring...! Dewi Pedang Maut mencabut pedangnya, dan
langsung disilangkan ke depan dada. Memang tidak ada pilihan lain lagi baginya,
kecuali menghadapi Pendekar Pulau Neraka ini seorang diri. Walaupun di dalam
hatinya menyadari, kepandaian yang
dimilikinya belum cukup untuk menghadapi Pendekar Pulau Neraka. Tapi Dewi Pedang
Maut tidak punya pilihan lagi. Dan dia tidak mau kehilangan muka.
Baginya lebih baik mati dalam pertarungan, daripada harus meninggalkan tempat
ini tanpa memiliki muka lagi.
"Sekarang kita bertarung sampai salah satu di antara kita ada yang mati,
Pendekar Pulau Neraka,"
terdengar begitu dingin sekali nada suara Dewi Pedang Maut.
"Hm," Bayu hanya menggumam saja sedikit.
'Tahan seranganku, Pendekar Pulau Neraka
Hiyaaat..!"
"Hap!"
Bayu cepat melompat ke kanan, begitu Dewi
Pedang Maut melesat menyerangnya dengan ujung pedang tertuju lurus ke arah
dadanya. Sedikit Bayu memiringkan tubuhnya, hingga pedang wanita itu lewat di
depan dadanya. Dan pada saat itu juga Bayu menghantamkan telapak tangannya ke
pergelangan tangan Dewi Pedang Maut.
"Haiiit..!"
Tapi Dewi Pedang Maut sudah lebih cepat
memutar tangan kanannya yang menggenggam
pedang itu. Dan langsung dikibaskan ke arah batang leher Pendekar Pulau Neraka
ini. Begitu cepatnya tebasan berputar yang dilakukan Dewi Pedang Maut, sehingga
tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk berkelit menghindarinya dalam jarak
yang begitu rapat ini. Dan....
*** 8 "Haps!"
Cepat Bayu mengangkat tangan kanannya ke
depan lehernya, hingga mata pedang wanita itu menghantam tepat di pergelangan
tangan kanan yang terdapat senjata berupa cakra bersegi enam.
Tring! "Ikh..."!"
Dewi Pedang Maut jadi terpekik kaget, begitu mata pedangnya membentur senjata
maut Pendekar Pulau Neraka itu. Cepat dia melompat ke belakang, sambil memutar
tubuhnya dua kali. Begitu kerasnya benturan dua senjata itu, hingga terlihat
percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Sedangkan Bayu sendiri tetap
berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun juga.
"Hap!"
Manis sekali Dewi Pedang Maut menjejakkan
kakinya ke tanah sekitar satu batang tombak jauhnya dari Pendekar Pulau Neraka.
Dengan bibir meringis, dia mengurut tangan kanannya yang sempat nyeri akibat
benturan yang keras tadi dengan senjata aneh Pendekar Pulau Neraka yang melekat
di pergelangan tangan kanannya itu.
"Keparat kau, Pendekar Pulau Neraka...," Dewi Pedang Maut geram, dengan sorot
mata yang memancar tajam menatap lurus ke bola mata
pemuda di depannya ini.
Bayu hanya diam saja dengan bibir menyunggingkan senyuman tipis. Dia menaruh
Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Sepasang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan kirinya ke depan dada, seakan ingin memperlihatkan senjata Cakra Maut
yang menempel di luar perge-langan tangan kanannya itu. Senjata maut Pendekar
Pulau Neraka itu berkilatan, bagai mengancam jiwa wanita setengah baya yang
masih kelihatan cantik ini.
"Saatnya kau tahan jurus andalanku, Pendekar Pulau Neraka! Hiyaaat..!"
Sambil membentak keras menggelegar, Dewi
Pedang Maut melompat dengan kecepatan tinggi menenang Pendekar Pulau Neraka.
Pedangnya diangkat lurus mengarah ke dada pemuda itu. Dan begitu dekat, langsung
dikibaskan dengan gerakan berputar.
"Haiiit..!"
Namun hanya dengan mengegoskan tubuhnya
saja, Bayu bisa menghindari tebasan pedang itu. Dan dia cepat melompat ke
belakang, begitu Dewi Pedang Maut tenis mencecar dengan sabetan pedangnya yang
begitu cepat bagai kilat Beberapa kali ujung pedang wanita itu hampir merobek
tubuh Bayu. Tapi dengan gerakan yang begitu indah dan cepat luar biasa, Bayu
masih bisa menghindarinya.
Serangan-serangan yang dilancarkan Dewi Pedang Maut kali ini memang sangat luar
biasa sekali. Permainan pedangnya sungguh cepat luar biasa.
Bahkan setiap sabetan pedangnya selalu menimbulkan suara mencicit yang membuat
hati jadi ter-giris.
Namun Bayu masih menandinginya dengan hanya berputaran dan meliuk-liukkan
tubuhnya. Hingga tidak satu pun serangan yang dilancarkan Dewi Pedang Maut
berhasil menyentuh tubuhnya.
"Cukup sudah kesempatanmu, Dewi Pedang Maut!
Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu membentak nyaring. Dan seketika itu juga tubuhnya melesat
tinggi ke atas, lalu bagaikan kilat dia meluruk deras dengan tangan kiri
menjulur lurus mengarah ke bagian atas kepala wanita lawannya ini. Begitu
cepatnya serangan balik yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka itu, sehingga
membuat Dewi Pedang Maut jadi terperangah dibuatnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Tapi belum juga serangan yang dilancarkan
Pendekar Pulau Neraka itu sampai, Dewi Pedang Maut sudah membanting tubuhnya ke
tanah yang berbatu ini, dan bergulingan beberapa kali sebelum dia melompat
bangkit berdiri. Tepat di saat Bayu menjejakkan kakinya kembali dengan tegak.
Dan saat itu juga Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri dengan posisi agak
membungkuk. Lalu sambil berteriak keras menggelegar, dia mengebutkan tangan
kanannya ke depan.
"Hiyaaa...!"
Wusss! Cakra Maut yang menempel pada pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu melesat begitu cepat sekali bagai kilat
Begitu cepatnya, hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan yang
meluruk deras mengarah ke dada Dewi Pedang Maut Membuat wanita itu jadi
terbeliak lebar. Dan....
Crab! "Aaa...!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Dewi Pedang Maut untuk menghindarkan diri dari
ancaman senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu. Cakra Maut seketika itu juga
menghujam begitu dalam sekali ke dada wanita ini. Begitu tingginya pengerahan
tenaga dalam yang disalurkan Bayu pada senjatanya ini, membuat senjata berbentuk
bintang bersegi enam itu tembus sampai ke punggung.
Darah seketika muncrat berhamburan dari dada dan punggung yang berlubang
tertembus Cakra Maut Dan di saat Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas kepala,
senjata cakra bersegi enam berwarna putih keperakan itu melesat balik dengan
cepat, lalu menempel erat di pergelangan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka ini. Sementara Dewi Pedang Maut masih terlihat berdiri
dengan tubuh yang sudah limbung.
Dia memandangi Bayu dengan sinar mata seakan tidak percaya dengan apa yang
terjadi pada dirinya.
Sementara darah semakin banyak mengalir keluar dari dada dan punggungnya yang
berlubang, tertembus senjata Pendekar Pulau Neraka itu tadi.
Hanya sebentar saja Dewi Pedang Maut masih bisa bertahan berdiri dengan kedua
kakinya. Setelah dia limbung beberapa saat, kemudian mulai ambruk menggelimpang
di tanah yang berbatu ini. Begitu keras sekali tubuhnya jatuh bergelimpang,
hingga tempat sekitarnya jadi terasa bergetar. Sedikit pun wanita itu tidak
bergerak lagi. Nyawanya langsung melayang seketika, begitu tubuhnya menghantam
bebatuan ini. Sementara Bayu sudah memutar tubuhnya berbalik, dan melangkah
menghampiri KJabang Ireng dan Rara Sawit yang menunggu bersama Tiren. Monyet
kecil berbulu hitam
mencerecet ribut. Seakan begitu gembira melihat pemuda ini dapat mengalahkan
semua musuh-musuhnya.
*** "Hhh...! Ini terakhir. Aku harus mengurus
mereka...," desah Bayu di dalam hati, begitu berada dekat di depan Klabang Ireng
dan Rara Sawit.
Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka ini
memandangi mereka. Terdengar tarikan napasnya yang panjang, disusul dengan
hembusan napas yang keras dan terasa nyeri. Seakan dia begitu sulit untuk
menentukan siapa di antara mereka yang lebih berhak memiliki Pedang Dewa Naga
yang kini berada di dalam genggaman tangan kanannya ini.
"Kalian masih menginginkan pedang ini?" tanya Bayu dengan nada suara terdengar
agak dingin. Klabang Ireng dan Rara Sawit serentak menganggukkan kepala. Dan Bayu kembali
menghembus-kan napas panjang yang terasa begitu berat terdengar di telinga. Kembali mereka bertiga terdiam beberapa saat
Sedangkan Tiren yang berada di pundak Pendekar Pulau Neraka itu juga terdiam
membisu, tidak memperdengarkan suara sedikit pun juga.
"Kalian tahu, pedang ini selalu membawa
malapetaka. Semua orang selalu menginginkannya.
Bahkan mereka tidak pedulikan nyawa yang hanya selembar, asalkan bisa memiliki
pedang ini," kata Bayu lagi memberi tahu.
"Aku harus membawa pulang pedang itu untuk guruku, Bayu," ujar Rara Sawit.
"Aku juga," selak Klabang Ireng.
"Guruku sedang sakit. Hanya pedang itu yang dapat menyembuhkannya," kata Rara
Sawit tidak mau kalah.
"Ayahku juga sangat membutuhkannya. Kelumpuhannya bisa terobati dengan pedang itu. Dan lagi, ayahku keturunan langsung
dari Eyang Rampayak.
Jadi aku yang lebih berhak membawa pedang itu daripada kau," sentak Klabang
Ireng seraya menatap tajam gadis cantik di sebelahnya.
"Siapa pun dari kalian berhak memiliki pedang ini,"
kata Bayu menengahi.
"Karena kalian adalah cucu-cucu dari Eyang Rampayak."
"Apa kau bilang..."!"
Klabang Ireng .dan Rara Sawit jadi terbeliak lebar mendengar kata-kata yang
diucapkan Pendekar Pulau Neraka barusan. Sungguh mereka tidak bisa mempercayai,
kalau mereka sebenarnya satu keturunan.
Dan berhak memiliki Pedang Dewa Naga yang selama ini mereka perebutkan. Bahkan
menjadi rebutan orang-orang rimba persilatan. Mereka memandangi Pendekar Pulau
Neraka itu, seakan masih belum bisa mempercayai dengan apa yang barusan
didengarnya. "Sekarang aku serahkan pedang ini pada kalian berdua. Tapi ingat... Kalian harus
menjaganya hati-hati. Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain yang tidak
bertanggung jawab," kata Bayu seraya mengulurkan pedang itu.
Tapi kali ini tidak ada yang mau mengambilnya.
Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya memandangi saja, seperti tidak percaya kalau
pedang itu diserahkan begitu saja pada mereka berdua. Bayu
yang melihat tidak ada seorang pun yang mau mengambil, meletakkan pedang itu di
depan mereka. Lalu tanpa bicara lagi dia memutar tubuhnya, dan terus saja berjalan
meninggalkan kedua anak muda ini.
Sementara Rara Sawit dan Klabang Ireng masih tetap diam, tidak tahu kalau
Pendekar Pulau Neraka sudah meninggalkan mereka. Mereka terus
memandangi pedang yang tergeletak di depannya.
Tidak ada yang mau mengambilnya lebih dahulu.
Padahal sebelum ini mereka sampai bertarung, bahkan hampir di antara mereka
menjadi korban.
Tapi sekarang..., setelah pedang itu ada di depan mereka, tidak ada yang mau
mengambilnya lebih dulu. Seakan kata-kata Bayu yang mengejutkan bagai petir
menyambar di tengah malam buta ini, membuat mereka jadi seperti patung.
Dan setelah begitu lama mereka diam mematung, sampai Bayu tidak terlihat lagi,
baru mereka menggerakkan kepalanya. Lalu saling berpandangan, dengan sinar mata
yang begitu sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata.
"Kau percaya apa katanya, tadi?" tanya Rara Sawit pelan suaranya.
"Ayahku saja mempercayainya. Aku juga harus percaya pada apa yang dikatakannya,"
sahut Klabang Ireng.
"Tapi dari mana kita bisa bersaudara?" tanya Rara Sawit.
"Sebaiknya kita tanyakan saja pada orang tuaku, juga pada gurumu," sahut Klabang
Ireng. "Ya, itu memang satu-satunya cara," sambut Rara Sawit seraya mengangkat bahunya.
Mereka kembali terdiam dan memandangi Pedang Dewa Naga yang masih tergeletak di
depan mereka berdua. Rara Sawit bergerak maju mendekati, dan mengambil pedang
itu dengan hati-hati. Sebentar dia memandangi, kemudian menghampiri Klabang
Ireng. Kemudian menyodorkan pedang itu pada pemuda ini.
"Aku rasa, aku harus mempercayakan pedang itu kau pegang, Klabang Ireng," ujar
Rara Sawit. "Kau percaya padaku?" Klabang Ireng kelihatan ragu-ragu.
"Kau begitu percaya pada apa yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka. Dan aku juga
tidak punya pilihan lain lagi. Aku percaya kau akan berlaku jujur dan ksatria,"
sahut Rara Sawit seraya tersenyum.
"Baiklah, Rara Sawit Akan kupegang kepercayaan-mu," sambut Klabang Ireng, seraya
menerima pedang itu.
Sebentar Klabang Ireng memandangi pedang di tangannya ini. Kemudian dia
menggantungkan di pinggang. Entah kenapa, Rara Sawit jadi tersenyum melihat
Klabang Ireng menggantungkan pedang di pinggangnya. Dan memang dengan Pedang
Dewa Naga, Klabang Ireng kelihatan semakin bertambah gagah dan tampan.
"Ayo, Rara Sawit," ajak Klabang Ireng.
"Ke mana tujuan kita?" tanya Rara Sawit.
"Menemui gurumu lebih dulu. Lalu baru kita sama-sama menemui ayahku."
Rara Sawit mengangguk menyetujui. Dan mereka kemudian melangkah tanpa banyak
bicara lagi, meninggalkan tempat yang begitu penting dan berharga bagi mereka
berdua. Mereka pergi untuk mencari tahu dari mana asal-usul mereka berdua,
hingga Pendekar Pulau Neraka mengatakan kalau
mereka bersaudara. Dan yang tahu memang
orangtua mereka sendiri.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (Zinc Ziko)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Kisah Bangsa Petualang 12 Dewa Arak 30 Dalam Cengkeraman Biang Iblis Seruling Sakti 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama