Ceritasilat Novel Online

Titisan Dewi Iblis 1

Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis Bagian 1


1 Seorang penunggang kuda berpacu cepat
melintasi padang rumput luas, bagai tak bertepi.
Sepanjang mata memandang hanya hamparan
rerumputan hijau bagai permadani terhampar.
Terik sengatan matahari hampir tak terasa,
karena disapu tiupan angin yang kencang
menaburkan hawa sejuk daerah perbukitan.
Penunggang kuda itu terus menggebah kuda
hitamnya semakin cepat. Pandangannya lurus
ke depan, ke arah tepian hutan yang mulai
menghadang di depan. Semakin dekat dengan
hutan itu, semakin tersirat ketegangan pada wajah tampannya. Sebaris kumis tipis
menghiasi bibir yang terkatup rapat. Kuda hitam itu terus berpacu semakin
mendekati tepian hutan yang kelihatan rapat oleh pepohonan besar dan kecil.
Swing! Tiba-tiba saja melesat sebuah benda bersinar keperakan ke arah penunggang kuda
itu. "Hup...!"
Penunggang kuda itu cepat-cepat melompat.
Tapi benda bercahaya keperakan itu
menghantam badan kuda, sehingga binatang itu meringkik keras sambil mengangkat
kedua kaki depannya. Tepat saat pemuda itu mendaratkan kakinya, kuda hitam
tunggangannya ambruk
menggelepar di tanah. Tampak pada bagian
perutnya berlubang dan mengepulkan asap.
Pemuda berwajah tampan itu merayapi hutan
di depannya. Begitu sunyi, sampai-sampai suara serangga pun tak terdengar. Namun
kesunyian ini semakin membuat pemuda tampan yang
mengenakan baju warna biru muda itu menjadi lebih waspada. Pe-lahan digeser
kakinya melangkah maju ke depan. Tatapan matanya
tetap tajam tak berkedip merayapi hutan yang begitu lebat di depannya.
Belum juga pemuda itu sampai di tepian
hutan, mendadak saja....
Swing! "Yeaaah...!"
Pemuda berbaju biru itu langsung
melentingkan tubuhnya ke atas begitu melihat sebuah benda keperakan meluncur
deras dari arah depan. Benda bulat sebesar kenari itu
bagaikan kilat melesat lewat di bawah kaki
pemuda itu. Belum juga pemuda itu sempat mendarat
turun, kembali melesat benda-benda keperakan yang memancarkan cahaya terang
disertai kepulan asap. Ben- pemuda berbaju biru harus berjumpalitan di udara untuk menghindarinya.
Sungguh indah gerakan saltonya, sehingga
tak satu pun benda-benda keperakan itu
menghajar tubuhnya. Dengan satu gerakan
manis, pemuda itu mendarat ringan di tanah.
Begitu ringannya, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat kedua kakinya
menjejak tanah berumput.
"Siapa kau"! Keluar...!" seru pemuda itu lantang.
Suara yang disertai pengerahan tenaga dalam itu menggema sampai ke seluruh
penjuru mata angin, namun tak ada sahutan sama sekali.
Pemuda itu melirik kudanya yang telah tewas dengan perut berlubang sebesar jari.
Kembali dirayapi hutan lebat di depannya.
"Hik hik hik...!" tiba-tiba terdengar suara tawa kecil nyaring mengikik.
Pemuda tampan berbaju biru muda itu
melompat satu langkah ke belakang. Suara tawa itu terdengar kering, dan seakanakan datang dari segala arah. Siku pemuda itu segera
menggeser gagang pedang yang tergantung di
pinggang untuk menjaga kemungkinan.
"Kau terlalu berani datang sendiri ke sini, Raden Antawirya!"
Belum hilang suara kering melengking tinggi itu, mendadak saja di depan pemuda
tampan itu muncul seorang perempuan berjubah merah
panjang. Sebatang tongkat yang bagian
ujungnya berbentuk bintang bersegi delapan, tergenggam di tangan kanan.
Rambutnya panjang terurai, sehingga hampir menutupi
wajahnya yang lebih mirip muka tengkorak
Pemuda yang dipanggil Raden Antawirya itu
agak bergidik juga melihatnya.
Memang, penampilan perempuan itu sungguh
mengerikan. Seluruh wajahnya tak lagi memiliki daging. Dan kedua matanya bolong,
namun berwarna merah menyala seperti sepasang bola api Baju merah yang dikenakannya
sangat panjang, sehingga menutupi seluruh kaki dan tangannya. Mulutnya yang tanpa bibir
itu meringis memperlihatkan baris-baris gigi yang tampak jelas menghitam.
"Mau apa kau datang ke sini, Raden
Antawirya?" kering sekali suara perempuan berwajah tengkorak itu.
"Aku ingin meminta adikku kembali!" tegas Raden Antawirya.
"Hik hik hik... Adikmu sedang menjalani hukuman, Raden. Jadi kau harus bersabar
menunggu selama seratus tahun, baru dia
bebas dari hukuman."
"Kau lepaskan adikku, atau kuhancurkan purimu, perempuan setan!" bentak Raden
Antawirya geram.
"Kata-katamu bisa membahayakan dirimu
sendiri, Raden!" desis wanita berwajah tengkorak itu, mengancam.
"Phuih! Kau pikir aku takut, heh"! Ayo, maju!
Biar kubunuh kau sekalian, perempuan laknat!"
geram Raden Antawirya.
"Bocah sinting! Pergi kau dari sini!" bentak perempuan berwajah tengkorak itu
mulai gusar. "Tidak! Sebelum kau lepaskan adikku!"
"Edan...!"
Perempuan berwajah tengkorak itu seketika
me-ngebutkan tangannya yang tersembunyi di
balik lengan jubah. Dan saat itu juga melesat beberapa butir benda berwarna
keperakan yang langsung menerjang pemuda itu. Namun gesit
sekali Raden Antawirya berlompatan
menghindari serangan yang cepat dan riba-riba itu.
Dan sebelum Raden Antawirya bisa menarik
napas lega, mendadak perempuan berwajah
tengkorak itu melompat sambil berteriak keras melengking tinggi. Maka secepat
kilat dikebutkan tongkatnya ke arah kaki.
"Hup!"
Raden Antawirya melompat menghindari
tebasan tongkat itu. Namun sungguh tidak
terduga sama sekali, perempuan berwajah
tengkorak itu menghentakkan tongkatnya ke
atas sehingga menghantam keras telapak kaki Raden Antawirya.
Tak dapat dicegah lagi, tubuh pemuda
berbaju bi-" ru itu melayang deras ke udara.
Pada saat itu juga, perempuan berwajah
tengkorak melesat ke angkasa, memburunya.
Sementara tangan kirinya menghentak keras
sambil berteriak melengking.
"Hiyaaat...!"
"Aaakh...!" Raden Antawirya menjerit melengking tinggi
Hentakan tangan kiri perempuan berwajah
tengkorak itu tak bisa dihindari lagi. Tubuh Raden Antawirya meluncur deras ke
angkasa, dan meluruk jatuh *' di tengah-tengah padang rumput yang menghampar bagai
permadani. Namun sebelum pemuda itu menghantam
tanah, mendadak sebuah bayangan
menyambarnya cepat, dan langsung
membawanya pergi
"Hm...," perempuan berwajah tengkorak hanya menggumam.
Dia sudah berdiri tegak di atas tanah
berumput memandangi bayangan yang
berkelebat cepat menyambar tubuh Raden
Antawirya. Meskipun matanya bolong sehingga yang terlihat hanya berupa cahaya
merah, namun pandangannya demikian tajam. Barisbaris giginya yang tidak tertutup bibir itu bergerak-gerak. Mungkin tengah
tersenyum atau menggumamkan sesuatu. Namun seketika itu
juga perempuan itu melesat masuk ke dalam
hutan. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah
lenyap ditelan kelebatan hutan.
--oo0dw0oo-- Sementara itu di balik sebuah bukit yang
menjadi pembatas padang rumput, berdiri
sebuah bangunan besar dikelilingi pagar batu bagai sebuah benteng. Di tengahtengahnya berdiri bangunan megah dan besar. Di sekeliling benteng bangunan megah itu
terdapat rumah,
baik besar maupun kecil yang letaknya saling merapat satu sama lain. Tempat itu
merupakan sebuah kota Kerajaan Kali Jirak.
Suasana kota itu demikian ramai, seakanakan tak pernah mati dari segala kegiatan
rakyatnya. Namun dari wajah-wajah rakyat yang mendung, terlihat kalau mereka
seperti tengah menghadapi masalah yang cukup berat Bahkan
para penjaga di perbatasan maupun di depan
gerbang kelihatan lesu tak bergairah. Hal ini karena Prabu Truna Dilaga yang
menjadi raja di situ, tengah dilanda gelisah.
Sudah beberapa hari ini Prabu Truna Dilaga
selalu menyendiri dalam kamar atau di taman belakang istana. Semua orang tahu,
apa yang sedang menjadi beban pikiran Prabu Truna
Dilaga. Sejak kehilangan putrinya, Raja Kali Jirak itu memang selalu murung. Dan
sekarang ini, putranya yang dipersiapkan untuk menggantikan kedudukannya
menghilang tak tentu rimbanya.
Berarti sudah tiga hari ini Raden Antawirya tidak terdengar kabarnya. "Gusti
Prabu...." "
Prabu Truna Dilaga mengangkat kepalanya
ketika mendengar suara. Matanya kini terpaku pada seorang laki-laki berusia
sekitar empat puluh tahun, .bertubuh tegap dan berwajah
tampan namun mencerminkan ketegasan. Lakilaki itu duduk bersimpuh sambil merapatkan
kedua tangannya di depan hidung. Kepalanya
tertunduk, seakan-akan ikut merasakan beban yang tengah diderita rajanya ini.
Sorot mata Prabu Truna Dilaga begitu redup bagai tak
memiliki gairah hidup lagi.
"Gusti Prabu, hamba membawa seorang
perambah hutan yang melihat Raden Antawirya,"
lapor laki-laki itu sebelum diminta.
"Bawa ke sini, Patih Natabrata," ujar Prabu Truna Dilaga lesu.
"Hamba, Gusti Prabu."
Patih Natabrata memberikan sembah,
kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan
Prabu Truna Dilaga yang masih tetap duduk di bangku taman. Tidak lama berselang,
Patih Natabrata sudah kembali membawa seorang
laki-laki tua bertelanjang dada dan bertubuh kurus. Mereka duduk bersimpuh di
depan Prabu Truna Dilaga bersikap penuh rasa hormat
"Siapa namamu?" tanya Prabu Truna Dilaga.
"Hamba bernama Ki Ebun, Gusti Prabu,"
sahut laki-laki tua itu seraya merapatkan kedua tangannya di depan hidung
memberi sembah.
"Benar kau melihat putraku?" tanya Prabu Truna Dilaga lagi
"Benar, Gusti Prabu. Hamba melihat Raden Antawirya berkuda di dalam hutan. Hamba
pun sempat bertanya hendak ke mana, tapi Raden Antawirya tidak menyahut Bahkan
beliau mendera kudanya lebih kencang lagi," tutur Ki Ebun.
"Kau tahu ke mana arah perginya?"
"Ke Utara, Gusti Prabu."
"Hutan Kamiaka...," desis Prabu Truna Dilaga pelan, hampir tidak terdengar.
Prabu Truna Dilaga memandangi laki-laki tua perambah hutan itu. Sorot matanya
terlihat semakin redup tak bercahaya. Bahkan wajahnya seperti kehilangan cahaya
kegairahan. Dua kati dihembuskan napas panjang dan berat
Sementara Ki Ebun dan Patih Natabrata hanya diam saja sambil menundukkan kepala.
"Patih Natabrata, antar orang tua ini pulang,"
perintah Prabu Truna Dilaga.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Patih Natabrata seraya memberikan sembah.
"Aku berterima kasih atas keteranganmu, Ki Ebun. Kau patut mendapatkan hadiah
dariku," ujar Prabu Truna Dilaga.
"Oh terima kasih, Gusti Prabu."
Ki Ebun beberapa kali memberi sembah
sambil mengucapkan terima kasih berulangulang. Patih Natabrata kemudian menggamit
lengan laki-laki tua perambah hutan itu. Mereka memberi sembah sekali lagi,
kemudian beranjak pergi meninggalkan Raja Kali Jirak itu sendirian.
Prabu Truna Dilaga baru saja akan bangkit
berdiri ketika tampak seorang wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun
datang menghampiri. Dia diiringi enam orang gadis
berparas cantik.
'Permaisuriku Rara Kuminten...," sambut Prabu Truna Dilaga seraya memberikan
senyum, meskipun terasa getir dan amat dipaksakan.
"Kulihat ada seorang tua di sini tadi, Kanda Prabu?" tanya Permaisuri Rara
Kuminten setelah duduk di samping laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun
itu. "Seorang perambah hutan yang kebetulan melihat Raden Antawirya," sahut Prabu
Truna Dilaga. Permaisuri Rara Kuminten hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
Disuruhnya enam orang gadis yang
menyertainya untuk pergi. Setelah memberi
sembah, keenam gadis itu beranjak pergi
dengan sikap penuh hormat
"Apa yang dikatakannya, Kanda Prabu?" tanya Permaisuri Rara Kuminten setelah
keenam dayangnya pergi
"Dia hanya mengatakan kalau melihat Raden Antawirya di dalam hutan," sahut Prabu
Truna Dilaga. "Dia tidak mengatakan ke mana perginya?"
"Katanya ke arah Utara. Hra.., pasti ke Hutan Kamiaka."
"Anak nakal! Sudah kularang ke sana, masih juga membandel...!" dengus Permaisuri
Rara Kuminten. Sedangkan Prabu Truna Dilaga hanya diam


Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja dengan wajah semakin terselimut
mendung. Kedua anaknya kini sudah tidak ada.
Tak ada yang bisa diharapkan lagi untuk
mengganti kedudukannya sebagai raja di Kali Jirak ini. Sedangkan usianya semakin
menggerogoti tubuhnya.
"Mau ke mana, Kanda Prabu?" tanya Permaisuri Rara Kuminten melihat Prabu Truna
Dilaga bangkit dan melangkah hendak pergi.
"Aku ingin istirahat," sahut Prabu Truna Dilaga tanpa menghentikan ayunan
kakinya. Permaisuri Rara Kuminten tidak mencegah,
dan hanya diam saja memandangi laki-laki tua itu meninggalkannya. Wanita yang
masih kelihatan cantik itu tetap duduk di kursi taman, meskipun Prabu Truna Dilaga
tidak kelihatan lagi punggungnya.
--oo0dw0oo-- Malam sudah jatuh, dan kegelapan
menyelimuti seluruh permukaan bumi Kerajaan Kali Jirak. Malam ini angin
berhembus kencang menyebarkan udara dingin menggigilkan tulang.
Sayup-sayup di kejauhan, terdengar lolongan anjing hutan yang menyayat bagai
mendendangkan irama kematian.
Seluruh rakyat Kali Jirak sudah terlelap dalam buaian mimpi. Hanya para prajurit
yang bertugas ronda malam saja yang masih terlihat berjaga-jaga di tempat
tertentu. Namun agak jauh dari kota, tepatnya dekat gerbang perbatasan kota
sebelah Utara, seorang laki-laki tua masih duduk menyendiri di depan rumahnya
yang kecil dan kumuh.
Laki-laki tua itu adalah Ki Ebun, yang setiap hari mencari nafkah dengan
merambah hutan mencari kayu bakar dan berburu binatang untuk dijual ke kota. Laki-laki tua itu
duduk mencangkung sambil menikmati kepulan asap
daun tembakau. Mata tuanya lurus merayapi
bulan purnama yang malam ini bersinar indah keemasan, menyirami bumi dalam
selimut kegelapan. "Ayah...."
"Oh...!" Ki Ebun tersentak dari lamunannya ketika mendengar sapaan lembut dari
belakang. Ditolehkan kepalanya, lalu tersenyum melihat seorang gadis berparas manis tahutahu sudah berdiri di belakangnya. Gadis itu kemudian
duduk di sampingnya. Pakaiannya sangat
sederhana. Bahkan pada kain yang dikenakan
terdapat satu tambalan. Meskipun begitu tidak menghilangkan kemanisan wajahnya
yang sederhana. "Kenapa Ayah belum tidur?" lembut sekali suaranya.
"Kau sendiri, kenapa belum tidur, Melati?" Ki Ebun malah balik bertanya.
"Tidak bisa," sahut gadis yang dipanggil Melati itu.
Nama yang sangat indah, seindah wajahnya.
Mungkin Ki Ebun memberi nama anaknya ini
dengan harapan akan menjadi seorang gadis
yang dapat mengharumkan kaumnya, seharum
bunga melari. Satu harapan yang wajar dari
seorang tua seperti Ki Ebun ini.
"Kenapa?" tanya Ki Ebun lembut.
"Aku memikirkan hadiah dari Gusti Prabu, Ayah. Sebaiknya kita apakan, ya...?"
tanya Melati seperti pada dirinya sendiri.
"Aku sendiri bingung, Melati. Padahal aku hanya mengatakan apa adanya. Eee...,
kok malah diberi hadiah begitu besar. Ayah jadi takut, Melati...," semakin pelan
suara Ki Ebun. 'Takut kenapa, Yah?" tanya Melati polos.
"Aku takut perampok," bisik Ki Ebun, seakan-akan suaranya takut terdengar orang
lain. "Ah, Ayah.... Jangan macam-macam, ah! Nanti kalau benar-benar kejadian,
bagaimana?" Melati mencoba bergurau, padahal hatinya cemas juga.
"Melati! Tadi Ayah sedang berpikir-pikir, apa sebaiknya kita pindah saja dari
sini...?" kali ini nada suara Ki Ebun terdengar sungguh-sungguh.
"Pindah ke mana lagi, Yah..." Kita sudah enam kali pindah, dan rasanya jadi
bosan! Aku ingin menetap di sini saja," rungut Melati.
'Tapi di sini hidup kita juga tidak ada
perubahan, Melati. Tetap saja aku jadi
perambah hutan. Aku ingin memberimu
kesenangan, seperti gadis-gadis lain. Bisa punya baju bagus, bisa punya kereta
untukmu bepergian, dan punya segala macam."
"Jangan mengkhayal, Yah. Aku sudah cukup senang, kok."
'Tapi kau belum punya baju bagus, Melati."
"Untuk apa baju bagus, harta, dan kekayaan, kalau hidup kita selalu diliputi
ketakutan, Ayah.
Tidak, ah! Aku tidak mau. Aku sudah senang
hidup begini Aman dan tentram tanpa harus
memikirkan segala macam."
'Tapi hadiah itu saja sudah membuat kepala
kita jadi seperti pecah."
Melati terdiam, dan Ki Ebun jadi membisu.
Hadiah yang diberikan Prabu Truna Dilaga
memang membuat mereka jadi gelisah, tidak
seperti hari-hari yang lalu. Mereka jadi tidak tenang, seakan-akan selalu
diintai ribuan pasang mata yang mencari kesempatan baik
untuk menerkam.
Saat mereka terdiam, mendadak di depan
mereka muncul seseorang yang mengenakan
jubah merah panjang membawa tongkat yang
ujungnya berbentuk bintang bersegi delapan Ki Ebun dan Melati terperanjat,
sehingga langsung melompat bangkit berdiri. Terlebih lagi gadis itu.
Dia sampai terpekik dan hampir pingsan melihat raut wajah orang itu.
Wajah yang tidak memiliki daging dengan
mata bolong memerah bagai bola api. Gigi-gigi yang tidak tertutup bibir itu
menyeringai menyeramkan. Ki Ebun sampai bergetar dan
seluruh wajahnya memucat bagai tak pernah
dialiri darah. "Kau yang bernama Ki Ebun?" dingin dan kering sekali suara perempuan berwajah
tengkorak itu. "L.., iy..., iya," sahut Ki Ebun tergagap.
"Kau harus mati, orang tua!"
"Ap..."
Belum juga Ki Ebun bisa meneruskan
ucapannya, mendadak saja perempuan
berwajah tengkorak itu mengecutkan
tongkatnya. Maka seketika itu juga tubuh Ki Ebun mengejang kaku dan bola matanya
mem-beliak lebar. Tak ada suara sedikit pun yang terdengar. Tahu-tahu, laki-laki
tua perambah hutan itu ambruk ke tanah. Kepalanya tergulir, terpisah dari
lehernya. "Aaakh...!" Melati menjerit melengking tinggi.
Gadis itu langsung melorot jatuh tak sadarkan diri melihat kematian ayahnya yang
sangat menyayat itu. Jeritan Melati mengejutkan
seluruh rakyat yang rumahnya berdekatan
dengan rumah Ki Ebun. Seketika saja suasana jadi terang benderang oleh nyala
pelita dan obor.
Perempuan berwajah tengkorak itu mendengus, kemudian dengan sekali lesat saja,
tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Pada saat itu berdatangan orang-orang
membawa obor. Mereka terperanjat begitu
melihat mayat Ki Ebun tergeletak berlumuran darah. Lebih terperanjat lagi,
setelah melihat leher laki-laki tua perambah hutan itu yang terpenggal buntung.
Dan di dekatnya tergolek Melati yang tak sadarkan diri.
--oo0de0oo - 2 Kematian Ki Ebun yang begitu mengerikan
menjadi pembicaraan seluruh orang di Kerajaan Kali Jirak. Bahkan berita kematian
laki-laki tua perambah hutan itu sampai ke telinga Prabu
Truna Dilaga. Hal ini I membuat Raja Kali Jirak itu menjadi semakin murung. Dia
ingat kalau perambah hutan itu yang memberitahu tentang kepergian putranya.
"Seharusnya dia tidak kuberi hadiah terlalu banyak," keluh Prabu Truna Dilaga
menyesali diri.
'Tapi hadiah itu tidak hilang, Gusti Prabu,"
jelas Patih Natabrata.
Prabu Truna Dilaga memandangi patihnya ini.
"Ampun, Gusti Prabu Seharusnya hamba
melaporkan hal ini sejak tadi," ucap Patih Natabrata seraya "*' memberi sembah.
"Bagaimana kau tahu, Patih?" tanya Prabu Truna Dilaga.
. "Hamba sempat mengunjungi rumah Ki
Ebun, Gusti. Menurut putrinya, hadiah yang
diberikan Gusti Prabu masih utuh. Tak berkurang sedikit pun."
"Hm..., aneh..." Jadi untuk apa dia membunuh orang tua itu?" Prabu Truna Dilaga
seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Itulah yang sedang hamba pikirkan, Gusti Prabu.
Menurut putri Ki Ebun, orang itu wajahnya
menyerupai tengkorak, berjubah merah, dan
memegang tongkat Dan dengan tongkatnya
itulah dia memenggal kepala Ki Ebun. Kejadian selanjutnya, gadis itu tidak tahu,
karena telah pingsan saat itu juga."
"Dewi Iblis...," desis Prabu Truna Dilaga pelan.
Hampir tak terdengar suaranya.
"Gusti Prabu...."
"Aku*tidak mengerti, untuk apa perempuan iblis itu membunuh Ki Ebun...?" Prabu
Truna Dilaga bertanya-tanya sendiri.
"Siapa itu Dewi Iblis, Gusti?" tanya Patih Natabrata.
Prabu Truna Dilaga tidak langsung menjawab.
Dipandangi patihnya dalam-dalam. Sorot
matanya begitu dalam dan menyimpan sejuta
arti yang sukar dimengerti. Wajahnya
menyiratkan tekanan batin yang amat berat
Patih Natabrata hanya menundukkan kepalanya saja, tidak sanggup membalas tatapan
tajam junjungannya.
"Dulu ketika dia muncul di sini, kau masih kecil, Patih. Dan aku pun masih
begitu muda. Belum menjadi raja...," pelan suara Prabu Truna Dilaga.
Sedangkan Patih Natabrata hanya diam saja
mendengarkan. "Ah..., aku tidak yakin kalau dia muncul lagi di sini. Aku yakin kalau iblis itu
sudah tewas,"
desah Prabu Truna Dilaga setengah
menggumam seakan-akan bicara untuk dirinya
sendiri. "Gusti...," agak tercekat suara Patih Natabrata.
"Kau harus mengetahuinya, Patih. Karena kalau memang dia belum tewas dan
sekarang muncul lagi, maka kemunculannya ada sangkut pautnya denganmu," jelas Prabu Truna
Dilaga. Patih Natabrata terhenyak, sampai-sampai
mendongakkan kepalanya menatap Prabu Truna
Dilaga. Namun buru-buru laki-laki setengah baya itu memberi sembah dan
menundukkan kepalanya kembali.
"Dulu, aku dan ayahmu bersahabat karib.
Ayahmu juga seorang patih yang sangat gagah berani. Aku selalu memanggilnya
paman, karena memang jauh lebih tua usianya dariku sendiri...,"
Prabu Truna Dilaga berhenti sebentar. "Aku waktu itu ingat sekali, saat Ayahanda
Prabu mengajakku berburu. Lalu kuminta agar ayahmu ikut serta, dan Ayahanda
Prabu tidak berkeberatan. Kami berburu bersama-sama dan berlomba-lomba mendapatkan buruan
yang terbanyak"
Patih Natabrata masih diam mendengarkan.
Dia memang sering mendengar cerita ayahnya
sebelum meninggal. Ayahnya dan Prabu Truna
Dilaga memang tidak bisa dipisahkan. Ke mana-mana mereka selalu berdua, seperti
dua saudara kandung. Itu sebabnya, mengapa Patih Natabrata memutuskan untuk mengabdi
sepenuhnya pada Kerajaan Kali Jirak ini. Dia tidak ingin mengecewakan harapan
mendiang ayahnya. Dan rupanya Prabu Truna Dilaga juga sangat kehilangan sahabatnya,
sehingga langsung mengangkat Natabrata sebagai patih begitu ayahnya meninggal.
"Di dalam hutan, aku dan ayahmu berhasil memanah seekor kijang dalam waktu
bersamaan. Tapi rupanya kijang itu milik
seorang wanita. Akibatnya dia menuntut nyawa kijang itu dengan nyawaku setelah
tahu kalau aku waktu itu seorang putra mahkota. Ayahmu membela, hingga akhirnya
bertarung mengadu
nyawa dengannya. Tapi kemudian Ayahanda
Prabu melerai dan mengganti kijang itu dengan sejumlah uang," kembali Prabu
Truna Dilaga menghentikan kisahnya.
Dan Patih Natabrata masih juga diam
mendengarkan tanpa memberi tanggapan
sedikit pun. 'Tapi rupanya perempuan itu tidak merasa
puas, hingga akhirnya datang ke sini dan
membuat keonaran selama bertahun-tahun.
Segala tindakannya begitu kejam, sehingga
dijuluki Dewi Iblis. Aku sendiri tidak tahu, siapa nama sebenarnya.
Kepandaiannya sungguh luar biasa, sehingga para prajurit maupun panglima pilihan
mengalami kesukaran untuk
membekuknya Hingga akhirnya dia kembali
bentrok lagi dengan ayahmu. Pertarungan
berlangsung seru, hingga memakan waktu tiga hari tiga malam. Namun akhirnya
ayahmu berhasil menyudahi. Wanita itu tewas, tapi
ayahmu mendapat luka parah sehingga dia...,"
Prabu Truna Dilaga tidak meneruskan kisahnya.
Patih Natabrata sendiri sudah mengerti
lanjutannya. Ayahnya lumpuh setelah bertarung melawan wanita yang dijuluki Dewi
Iblis itu. Hingga ajalnya, laki-laki berjasa dan penuh pengabdian itu dalam keadaan lumpuh.
Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri
membisu. Ruangan yang besar ini jadi sunyi. "
"Gustri Prabu, apakah ada kuburan si Dewi Iblis itu?" tanya Patih Natabrata
setelah cukup lama berdiam diri.
"Ada. Letaknya di Hutan Kamiaka," sahut Prabu Truna Dilaga pelan.
"Hutan Kamiaka...," desis Patih Natabrata.
--oo0dw0oo-- Patih Natabrata memandangi padang rumput
luas bagai permadani terhampar tak bertepi. Di seberang sanalah terletak Hutan
Kamiaka. Sebuah hutan yang tidak pernah terjamah
tangan-tangan manusia. Jadi sampai saat ini masih menjadi hutan perawan yang


Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dianggap angker. Belum ada seorang pun yang berani
menjamahnya. Dan mereka yang nekad, tak
akan pernah lagi terdengar kabar beritanya.
"Hhh...!" Patih Natabrata menghembuskan napas panjang.
Dipandanginya dua puluh orang prajurit yang menyertai. Mereka memang prajurit
pilihan yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Tapi dua puluh prajurit
pilihan tidak berarti apa-apa, bila teringat cerita Prabu Truna Dilaga tentang
seorang perempuan yang memiliki julukan
sangat menggetarkan hati. Dewi Iblis! Patih Natabrata kembali mengarahkan
pandangannya ke seberang padang rumput ini.
Kepalanya menoleh ketika mendengar suara
lang-r kah kaki halus dari arah kanan. Tampak dua orang laki-laki berjalan ke
arahnya. Seorang mengenakan baju dari kulit harimau, dan
seorang lagi mengenakan baju warna biru muda.
Hampir seluruh kepalanya tertutup caping besar dari anyaman bambu. Kedua lakilaki itu menghentikan langkahnya sekitar dua batang
tombak di samping Patih Natabrata.
"Maaf, boleh kami lewat?" ucap orang yang mengenakan baju kulit harimau, sopan.
"Kisanak berdua hendak ke mana?" tanya Patih Natabrata.
"Kami hendak ke bukit sana," sahut laki-laki muda berbaju kulit harimau itu
lagi. Sedangkan yang seorang hanya diam saja
sambil terus menundukkan kepala, seakan-akan sengaja menyembunyikan wajah. Namun
Patih Natabrata justru tertarik padanya. Diamati
dalam-dalam sehingga matanya agak menyipit
"Boleh kami lewat?" pinta pemuda berbaju kulit harimau itu lagi.
"Silakan," Patih Natabrata mempersilakan.
Kedua orang itu bergegas berjalan
meninggalkan Patih Natabrata dan dua puluh
orang prajuritnya. Sementara Patih Natabrata memperhatikan dengan kening
berkerut dalam.
Perhatiannya justru terpusat pada orang yang berjalan di sebelah pemuda berbaju
kulit harimau itu. "Ah, tidak mungkin...!" desah Patih Natabrata seraya menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Tapi..., bentuk tubuhnya mirip sekali dengan Raden Antawirya...."
Patih Natabrata terus memperhatikan kedua
orang itu hingga lenyap di balik kelebatan
pepohonan. Dan segera diberinya isyarat agar para prajuritnya bersiap
melanjutkan perjalanannya kembali. Sebentar kemudian, dua puluh satu kuda berpacu melintasi
padang rumput Tanpa setahu mereka, dari balik kerimbunan
pepohonan, tampak dua pasang mata tengah
mengawasi tak berkedip. Dua pasang mata dari pemuda-pemuda yang tadi lewat di
depan Patih Natabrata. Pemuda berbaju biru kini sudah
melepaskan caping bambunya, dan membiarkan
saja tersampir di punggung.
"Kau kenal dia, Raden Antawirya?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu tanpa
mengalihkan pandangannya ke depan.
"Ya. Dia patih kepercayaan Ayahanda Prabu,"
sahut pemuda berbaju biru yang ternyata
memang Raden Antawirya. "Bayu, mau apa dia ke sana...?"
"Mungkin tujuannya sama denganmu,
Raden," sahut pemuda berbaju kulit harimau.
Pemuda itu memang bernama Bayu yang
lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Sementara Raden Antawirya terus memandangi
rombongan kecil itu yang semakin jauh melintasi padang rumput Entah kenapa,
Raden Antawirya jadi cemas setelah teringat pengalamannya yang sangat pahit
Hampir saja dia tewas kalau tidak ditolong pemuda di sampingnya ini
"Mereka bisa tewas semua, Bayu," desah Raden Antawirya tak bisa menyembunyikan
kecemasannya. "Kau cemas, tapi kenapa tadi tidak mau menunjukkan dirimu?" Bayu memandangi
wajah pemuda di sampingnya.
"Aku tidak akan kembali ke istana tanpa adikku,
Bayu," sahut Raden Antawirya.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Bayu.
"Kita harus mencegah mereka mendekati
hutan itu, Bayu. Aku tidak ingin Paman Patih tewas sia-sia."
Bayu mengangkat pundaknya.
"Cepat, Bayu. Sebelum mereka sampai ke hutan itu!" ajak Raden Antawirya.
Bayu tak punya pilihan lain lagi, kecuali
mengikuti Raden Antawirya yang sudah berlari cepat mengejar rombongan kecil
Patih Natabrata. Dalam hari, Pendekar Pulau Neraka itu kagum juga pada ilmu
meringankan tubuh
yang dimiliki Putra Mahkota Kerajaan Kafi Jirak ini. Namun belum cukup tinggi
untuk bisa menyamainya. Dan Bayu hanya mengerahkan
setengah saja dari ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Itu pun tampaknya jadi
terbalik. Bukannya Bayu yang menyesuaikan diri, tapi
malah Raden Antawirya yang harus
menyesuaikan. --oo0dw0oo-- Raden Antawirya terperanjat ketika tiba-tiba mendengar jeritan-jeritan
melengking saling susul. Putra Mahkota Kerajaan Kali Jirak itu buru-buru
mengenakan tudungnya, lalu
berlompatan cepat Tapi dua kali pemuda itu
melompat pada saat yang sama Bayu sudah
mendahului dengan hanya sekali lesatan saja.
Pada saat Pendekar Pulau Neraka tiba,
tampak seluruh prajurit yang dibawa Pauh
Natabrata sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
Tubuh mereka berlubang
mengeluarkan asap. Selagi Bayu memeriksa
para prajurit itu, Raden Antawirya baru sampai Hati pemuda itu terkejut melihat
semua prajurit yang dibawa Patih Natabrata sudah tergeletak tak bernyawa lagi
"Bayu, di mana Paman Patih?" tanya Raden Antawirya.
Bayu tersentak, karena seperti diingatkan
oleh pertanyaan itu. Semua mayat ini berjumlah dua puluh, dan hanya para
prajurit saja. Sedangkan Patih Natabrata tidak kelihatan.
Kedua pemuda itu saling berpandangan,
kemudian sama-sama mengalihkan pada kuda
yang tadi ditunggangi Patih Natabrata.
"Pasti Paman Patih mengejar perempuan iblis itu, Bayu," desis Raden Antawirya
menduga. Bayu cepat menangkap tangan Raden
Antawirya yang akan melangkah memasuki
Hutan Kamiaka. Raden Antawirya
mengurungkan niatnya, lalu menatap Bayu
dalam-dalam. "Jangan bertindak gegabah dulu, Raden. Kita belum tahu, siapa orang itu," kata
Bayu mengingatkan. 'Tapi aku harus
menyelamatkannya, Baya" "Aku tahu. Tapi tidak dengan cara begini. Kita harus
hati-hati dan jangan terbawa arus kemarahan."
Raden Antawirya menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat. Diakui
kebenaran kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu.
Untuk menghadapi manusia misterius
berkemampuan sangat tinggi memang tidak bisa dengan kepala panas. Raden
Antawirya mengangkat bahunya, menyerahkan segalanya
pada pemuda berbaju kulit harimau itu.
M ALA H G "Ayo kita kembali ke kotaraja," ajak Bayu.
"Kembali.."!" Raden Antawirya terperanjat
"Iya, nanti akan kujelaskan"
Raden Antawirya tidak bisa membantah lagi.
Diikuti saja Pendekar Pulau Neraka yang sudah melangkah cepat meninggalkan
tepian Hutan Kamiaka yang angker ini. Mereka berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan tepian hutan.
"Kau punya rencana, Bayu?" tanya Raden Antawirya tidak sabar.
"Ya. Kudengar seorang perambah hutan
tewas terbunuh semalam," sahut Bayu.
"Apa hubungannya dengan semua ini?"
"Jika perambah hutan itu tidak bertemu denganmu lebih dahulu, mungkin aku tidak
akan mengkait-kannya. Terlebih lagi, aku dengar dia sempat melaporkan pada
ayahmu di istana.
Hanya sayang sekali malamnya, perambah
hutan itu tewas dengan leher terpenggal."
"Ohhh...," Raden Antawirya mendesah panjang.
"Aku akan memancingnya untuk menemuiku, Raden," jelas Bayu mengemukakan
rencananya. "Maksudmu?" Raden Antawirya tidak mengerti.
"Aku akan menemui ayahmu dan mengatakan pernah melihatmu Dengan cara demikian,
aku yakin orang itu akan menemuiku dan hendak
membunuhku."
"Rencanamu terlalu berbahaya, Bayu," Raden Antawirya kurang setuju.
"Raden.... Adalah suatu perbuatan bodoh jika memasuki Hutan Kamiaka. Padahal
masih ada cara lain yang lebih memungkinkan dan tidak terlalu berbahaya," Bayu mencoba
memberi pengertian.
Kembali Raden Antawirya terdiam. Meskipun
hatinya tidak setuju terhadap rencana Pendekar Pulau Neraka ini, tapi tidak bisa
membantah lagi. Disadari kalau pengalamannya dalam
menghadapi, kejadian seperti ini belumlah
seberapa bila dibandingkan Bayu yang sudah
kenyang makan asam garam rimba persilatan.
Meskipun baru sedikit, tapi cerita mengenai diri Pendekar Pulau Neraka itu sudah
terserap ke dalam hati sanubari Raden Antawirya. Tidak mungkin orang biasa akan
bisa menyambarnya
begitu cepat ketika hampir saja terhempas ke tanah akibat serangan Dewi Iblis.
Bahkan pemuda berbaju kulit harimau itu juga
menyembuhkan luka-lukanya hanya dengan
penyaluran hawa mumi. Bayu memang hanya
mengatakan sedikit tentang dirinya, tapi itu sudah cukup bagi Raden Antawirya
untuk menaruh kepercayaan padanya.
"Aku akan membuat pondok kecil di luar batas kota," kata Bayu kembali
mengemukakan rencananya untuk bertemu orang misterius itu.
"Lalu?" tanya Raden Antawirya ingin tahu lebih lanjut.
"Sementara kau tetap tinggal di pondok, dan jangan ke mana-mana. Meskipun dia
datang, jangan menampakkan diri. Biar aku yang akan menghadapinya sendiri. Aku yakin,
dia bukan setan, jin, iblis dari neraka atau sejenisnya. Dia pasti manusia biasa
yang memiBki tingkat
kepandaian tinggi."
"Tapi, mukanya...," Raden Antawirya serasa tak sanggup membayangkan wajah orang
itu. "Bisa saja mengenakan topeng, Raden. Atau mungkin juga pernah terluka sehingga
kulit wajahnya habis terkelupas."
"Yah..., terserah kau sajalah," desah Raden Antawirya menyerah.
Bayu hanya tersenyum saja.
"Bayu, ada sesuatu yang masih mengganjal hatiku," ungkap Raden Antawirya pelan.
"Katakan saja, Raden."
"Mungkin aku sudah mengatakan padamu,
tapi rasanya masih kupikirkan." "Hm...."
"Terus terang aku tidak mengerti, kenapa orang itu menculik adikku. Bahkan juga
mengatakan kalau adikku harus menjalani
hukuman selama seratus tahun lamanya...,"
Raden Antawirya mengeluarkan ganjalan di
hatinya. "Kau pernah menanyakan hal ini pada
ayahmu, Raden?" tanya Bayu
'Tidak," sahut Raden Antawirya, agak
ngambang suaranya.
"Kenapa Raden tidak menanyakannya?"
"Ayah teriaki larut dalam kesedihan.
Sedangkan aku tidak sampai hati untuk
menanyakannya, Bayu. Itu sebabnya, kenapa
aku nekad hendak membebaskan adikku sendiri tanpa sepengetahuan orang lain,"
jelas Raden Antawirya
"Selama ini, apakah kau tahu ayahmu punya musuh?" tanya Bayu lagi.
"Tidak. Belum pernah kudengar kalau
Ayahanda Prabu punya musuh," sahut Raden Antawirya.
"Aneh juga...," gumam Bayu pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Itulah yang membuatku tidak habis mengerti sampai sekarang, Bayu. Baik Ayahanda
Prabu, aku, dan adikku tidak pernah menyakiti siapa pun juga. Kehidupan kami
selalu damai, hingga sampai datang manusia aneh itu yang menculik adikku."
"Di mana adikmu diculik?"
"Di kaputren. Semua dayang dan emban
pengasuhnya tewas. Bahkan pengawal yang
menjaga kaputren pun tewas. Orang itu sudah lenyap sambil membawa adikku begitu
aku, Ayahanda Prabu, dan Patih Natabrata serta
beberapa prajurit datang."~
"Lalu, bagaimana kalian bisa tahu kalau adikmu diculik?"
"Salah seorang pengawal memberitahu
sebelum tewas."
Bayu terdiam membisu dengan kening agak
berkerut Ayunan langkahnya tidak berhenti
meskipun mereka sudah meninggalkan padang
rumput, dan kini tengah menuju Kota Kerajaan Kali Jirak. Dari cerita yang
didengar, Pendekar Pulau Neraka belum menemukan adanya
kejanggalan. Tapi agak heran juga, karena
seluruh dayang dan emban serta pengawal
kaputren tewas. Sedangkan yang dia tahu,
kaputren merupakan tempat terlarang. Dan
hanya keluarga istana serta kerabat dekat saja yang boleh memasuki.
Sekeliling kaputren sudah pasti dijaga ketat Jika orang itu bisa masuk dengan
menewaskan seluruh penjaga, tentu tingkat kepandaiannya tinggi sekali. Dan yang
pasti, orang itu sudah mengetahui seluk-beluk kaputren, sehingga bisa bergerak
cepat dan leluasa sebelum diketahui penjaga lainnya.
"Raden, apakah benteng kaputren mudah
dilompati?" tanya Bayu
"Rasanya sulit, Bayu. Aku sendiri belum bisa mencapai puncaknya," sahut Raden


Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Antawirya. "Tapi entah jika memang dia memiliki
kepandaian tinggi. Dan aku yakin, kau juga bisa melewatinya dengan sekali
lompatan saja."
"Ada berapa pintu masuk ke dalam
kaputren?" tanya Bayu lagi.
"Satu. Tapi...." '
'Tapi apa, Raden"*
"Ada pintu khusus yang hanya dilalui Ibunda Permaisuri. Tidak ada seorang pun
yang boleh melewatinya, karena pintu itu langsung
menembus kamar pribadinya."
"Hm...," gumam Bayu pelahan.
Sedangkan Raden Antawirya hanya diam saja.
"Satu lagi pertanyaanku, Raden. Apakah di luar benteng kaputren ada penjaga
selain di dalam?" tanya Bayu.
"Ada. Jumlahnya sekitar satu pasukan jika siang,
dan dua pasukan di malam hari." "Penjaga-penjaga itu tewas juga?" 'Tidak..."
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jawaban Raden Antawirya yang terakhir bernada ragu-ragu. Tapi untuk sementara
jawaban itu dirasa cukup untuk menjadi bahan
pertimbangannya. Dan otak Pendekar Pulau
Neraka itu mulai bekerja keras. Dan kini mulai timbul berbagai macam dugaan di
benaknya. Juga, berbagai macam pertanyaan yang disadari belum bisa terjawab secepat ini.
--oo0dw0oo-- 3 Bayu memandangi bagian dalam bangunan
Istana Kerajaan Kali Jirak yang begitu megah dan indah. Dua orang penjaga
membawanya untuk bertemu Prabu Truna Dilaga yang
menunggu di taman belakang istana. Ruangan
demi ruangan dilalui, dan Bayu selalu
mengamatinya. Setelah melalui satu lorong panjang yang di kanan dan kirinya terdapat pintupintu tertutup, mereka tiba di depan sebuah pintu yang dijaga empat orang
prajurit Salah seorang prajurit yang membawa Bayu menjelaskan tentang maksud
kedatangan pemuda berbaju kulit harimau ini yang hendak bertemu Prabu Truna
Dilaga. Dan ketika pintu terbuka, aroma harum langsung
menyerbu menyengat hidung.
Bayu mendesah kagum begitu kakinya
menginjak taman yang indah bagai berada di
dalam sorga. Pandangan Pendekar Pulau'Neraka itu langsung tertumbuk pada seorang
laki-laki berusia lebih dari tujuh puluh tahun yang duduk di kursi taman. Di
sebelahnya duduk seorang wanita berparas cantik, meskipun garis-garis ketuaan
mulai menggurat wajahnya. Bayu
menaksir kalau usia wanita ini mungkin sudah berkepala empat.
Dua prajurit yang membawa Bayu segera
berlutut memberi sembah begitu sampai di
depan Prabu Truna Dilaga dan permaisurinya.
Bayu ikut berlutut dan merapatkan kedua
tangannya di depan hidung. Pemuda berbaju
kulit harimau itu sudah diajarkan Raden
Antawirya, bagaimana jika berhadapan dengan Prabu Truna Dilaga.
"Ada apa, Prajurit?" tanya Prabu Truna Dilaga.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba membawa
seorang pemuda yang mengaku melihat Raden
Antawirya," sahut salah seorang prajurit, bersikap penuh rasa hormat
"Hm...," Prabu Truna Dilaga menggumam sambil mengamati pemuda berbaju kulit
harimau yang sudah duduk bersila di tanah
berumput. "Kalian boleh pergi, Prajurit"
Kedua prajurit itu memberi sembah, lalu
beranjak pergi meninggalkan taman ini.
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya Prabu Truna Dilaga setelah kedua prajurit itu
pergi "Nama hamba Bayu, Gusti Prabu," sahut Baya Sikapnya telah seperti yang diajarkan
Raden Antawirya, meskipun tidak pernah menyukainya.
"Pekerjaanmu?"
"Berburu, Gusti Prabu."
"Benar, kau telah bertemu putraku?" tanya Prabu Truna Dilaga seraya menatap
dalam-dalam pemuda berbaju kulit harimau di
depannya. "Benar, Gusti Prabu. Hamba bertemu di tepi padang rumput Dan Raden Antawirya
menuju Hutan Kamiaka."
"Lalu, kau bertemu lagi?"
"Tidak, Gusti. Tapi kemarin hamba bertemu Patih Natabrata dan dua puluh orang
prajurit yang juga menuju Hutan Kamiaka."
"Apa..."!" Prabu Truna Dilaga terperanjat bukan main.
Dia sampai terlonjak berdiri mendengar Patih Natabrata pergi ke Hutan Kamiaka
bersama dua puluh orang prajurit
"Pengawal! Panggil Punggawa Dipa Praga!"
perintah Prabu Truna Dilaga pada seorang
pengawal yang berada di dekatnya.
Pengawal itu memberi sembah, kemudian
bergegas berlari melaksanakan perintah itu.
Prabu Truna Dilaga berjalan mondar-mandir
dengan wajah membe-rengut Jelas terlihat
kegelisahan melanda hatinya. Dari sudut ekor matanya, Bayu memperhatikan sikap
Prabu Truna Dilaga. Dia juga memperhatikan wanita yang tetap saja duduk tanpa cahaya
sedikit pun. Bahkan wanita itu memandangi pemuda berbaju kulit harimau di depannya dengan
sinar mata sukar diartikan.
Pengawal yang diperintahkan tadi, kini telah datang kembali bersama seorang
laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Mereka
langsung memberi sembah begitu sampai di
depan Prabu Truna Dilaga. Pengawal kembali
mengambil tempat, berdiri di belakang Raja Kali Jirak itu.
"Punggawa Dipa Praga," terdengar berat nada suara Prabu Truna Dilaga.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Punggawa Dipa Pra- ' ga seraya memberi sembah.
"Di mana kau lihat Patih Natabrata?" tanya Prabu Truna Dilaga.
"Ampun, Gusti Prabu. Kemarin Gusti Patih berangkat ke Hutan Kamiaka," sahut
Punggawa Dipa Praga.
"Heh...! Kau tahu, kenapa tidak melaporkan padaku?" bentak Prabu Truna Dilaga.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba dilarang untuk melaporkannya. Gusti Patih sendiri
yang melarang."
Prabu Truna Dilaga bersungut-sungut sendiri, kemudian memerintahkan Punggawa
Dipa Praga mengantarkan Bayu ke luar. Tanpa banyak kata lagi, mereka beranjak pergi
meninggalkan taman itu. Prabu Truna Dilaga masih berjalan mondar-mandir, dan
wajahnya masih memberengut
Memang disesali juga tindakan Patih Natabrata yang nekad pergi ke Hutan Kamiaka.
Sedangkan Raden Antawirya sendiri sampai sekarang belum kembali juga.
"Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Paman Patih. Kenapa dia begitu
nekad pergi ke hutan itu...?" gumam Prabu Truna Dilaga seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Mungkin ingin membebaskan anakmu,
Kanda Prabu," celetuk Permaisuri Rara
Kuminten yang sejak tadi diam saja.
'Tapi tidak seharusnya bertindak sendiri
seperti itu..." Paling tidak hal itu bisa
dibicarakan padaku lebih dahulu. Hhh.... aku tidak yakin bisa bertemu lagi
dengannya. Tidak ada seorang pun yang bisa keluar dalam
keadaan hidup dari hutan itu," nada suara Prabu Truna Dilaga terdengar
menyesali. "Kenapa tidak kau kirim saja prajurit ke sana, Kanda?" usul Permaisuri Rara
Kuminten. "Terlalu riskan mengirim prajurit ke hutan itu, Dinda."
"Kau sudah kehilangan kedua anakmu, dan sekarang ditambah patih kesayanganmu Apa
kau ingin ada lagi korban berikutnya dari orang-orang yang kau sayangi" Malah
tidak mustahil, aku pun bisa hilang diculik."
"Jangan punya pikiran yang bukan-bukan, Dinda."
"Aku hanya mengemukakan pendapatku saja, Kanda:"
Permaisuri Rara Kuminten bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan taman itu.
Enam orang gadis yang selalu bersamanya mengikuti dari belakang. Sedangkan Prabu
Truna Dilaga masih di taman ini bersama dua orang pengawal saja. Wajah Raja Kali
Jirak itu semakin terlihat kusut
--oo0dw0oo-- Bayu duduk mencangkung di beranda pondok
yang dibangunnya siang tadi bersama Raden
Antawirya. Pondok yang tidak begitu bagus, tapi cukup buat melancarkan
rencananya untuk
bertemu manusia bermuka tengkorak
Sementara malam terus merambat semakin
larut. Kesunyian begitu terasa mencekam
sekitarnya. Di halaman pondok itu, Bayu
membuat api unggun untuk sedikit memberi
kehangatan di malam yang cukup dingin itu.
Pendekar Pulau Neraka masih tetap menunggu
dengan sikap penuh waspada. Namun, beranda
yang hanya diterangi lampu minyak jarak itu, tidak mampu menyingkap ketegangan
di wajah Pendekar Pulau Neraka.
"Dia sudah datang, Bayu?" terdengar suara dari dalam pondok.
"Belum. Jangan menampakkan dirimu,
Raden," sahut Bayu berbisik.
? "Kapan datangnya?" tanya Raden Antawirya yang bersembunyi di balik dinding
pondok. Sengaja pintunya dibuka sedikit agar nanti
bisa.melihat ke luar.
"Aku tidak tahu, Raden," sahut Bayu lagi.
"Uh! Nyamuk-nyamuk ini membuatku tidak tahan lagi, Bayu!" rungut Raden
Antawirya. Bayu hanya tersenyum kecut.
"Dasar anak raja!" umpat Pendekar Pulau Neraka dalam hati.
Beberapa kali memang terdengar tepukan
yang cukup keras. Pasti Raden Antawirya sedang berperang melawan nyamuk.
"Jangan berisik, Raden. Nanti dia tidak mau datang..!" bisik Bayu.
"Kulitku pedas digigiti nyamuk terus, Bayu!"
rungut Raden Antawirya.
'Tahanlah sedikit. Kau bukan perempuan
yang bisanya hanya mengeluh saja."
Kini tak ada lagi suara. Mungkin Raden
Antawirya memberengut atau mengumpat dalam
hati. Dan Bayu hanya tersenyum-senyum saja.
Entah apa yang membuatnya tersenyum.
Mungkin kelakuan Raden Antawirya yang
membuatnya jadi tertawa geli di dalam hati.
Memang sukar hidup di alam terbuka bagi yang tidak terbiasa.
"Heh...!" tiba-tiba Bayu terperanjat ketika mendadak saja pelita dari minyak
jarak padam. Demikian pula api unggun yang dibuatnya tadi.
Belum hilang rasa keterkejutan Pendekar
Pulau Neraka itu, mendadak saja di depannya muncul seorang perempuan berambut
panjang terurai hampir menutupi wajahnya yang tidak memiliki daging. Wanita itu
mengenakan jubah merah panjang yang menutupi seluruh
tubuhnya. Sebatang tongkat yang ujungnya
berbentuk bintang bersegi delapan tergenggam di tangan yang tertutup lengan
jubah merahnya.
Bayu menggelinjang bangkit berdiri, lalu
melangkah beberapa tindak ke depan
"Kau yang bernama Bayu?" serak dan kering sekali suara wanita berwajah tengkorak
itu. "Benar, dan kau siapa?" balas Bayu.
"Kau tidak periu tahu siapa aku, Bayu!" desis wanita berwajah tengkorak itu
sengit. "Hm..., lalu apa maksudmu datang ke sini?"
dengus Bayu tidak kalah dinginnya.
"Aku datang hendak mencabut nyawamu,
keparat!" "Apa salahku...?"
Tapi pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu
tidak terjawab. Bahkan jawaban yang diterima adalah serangan dari kibasan
tongkat yang begitu cepat luar biasa. Sejenak Bayu
terperangah, namun cepat menarik lehernya ke belakang. Maka sabetan tongkat itu
lewat di depan lehernya.
Namun Bayu sempat terkejut juga, karena
angin tebasan tongkat itu mengandung hawa
panas dan hempasan yang begitu kuat
Akibatnya Pendekar Pulau Neraka itu sedikit terhuyung, terdorong ke belakang.
"Bagus! Rupanya kau punya kebolehan juga, Bayu!" dengus wanita berwajah
tengkorak itu. "Kau belum menjelaskan, kenapa ingin
membunuhku?" sentak Bayu.
"Tidak perlu penjelasan bagi manusia lancang seperamu!"
Setelah berkata demikian, perempuan
bermuka tengkorak itu langsung saja melompat menyerang kembali. Dan kali ini
lebih dahsyat dari semula. Bayu cepat-cepat melompat ke
samping sambil menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan tongkat itu
kembali luput dari sasaran. Hal ini membuat perempuan bermuka
tengkorak itu jadi geram bukan main.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, perempuan bermuka
tengkorak itu memperhebat serangannya.
Tongkat berujung bintang segi delapan itu
berkelebatan cepat mengurung setiap gerakan Pendekar Pulau Neraka. Tapi, kali
ini wanita itu mendapat lawan yang memiliki segudang
pengalaman bertarung dan kepandaian yang
sangat tinggi. Makanya, hingga kini serangannya belum juga bisa mendapatkan
hasil yang diharapkan. Bahkan beberapa kafi Bayu melancarkan
serangan balik yang membuat perempuan
bermuka tengkorak itu jadi kelabakan
menghindarinya. Beberapa kali dia menyumpah dan memaki menyemburkan ludahnya
saat Pendekar Pulau Neraka melancarkan serangan
balik yang dahsyat dan membuatnya kerepotan untuk menghindar.
Pertarungan terus berlangsung semakin
sengit. Jurus demi jurus cepat terlewati.
Sementara dari balik pintu pondok, Raden
Antawirya memperhatikan tanpa berkedip.
Sungguh tidak diduga kalau Bayu mampu
menandingi perempuan bermuka tengkorak itu.
Walaupun pertarungan sudah berlangsung lebih dari sepuluh jurus, tapi belum ada


Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanda-tanda bakal ada yang terdesak. Bahkan pertarungan ini kelihatan akan
berlangsung lama.
Dan setelah dua puluh jurus berlalu, Bayu
tidak hanya menerima serangan. Bahkan
sekarang dia malah lebih banyak memberi
serangan. Tentu saja hal ini membuat
perempuan bermuka tengkorak itu semakin
kelabakan saja. Sambil bertarung, mulutnya
terus mengeluarkan sumpah serapah, karena
tidak akan menyangka bakal mendapatkan
lawan begini tangguh.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" sambil berteriak keras, perempuan bermuka tengkorak itu
mengayunkan tongkatnya ke arah kepala
Pendekar Pulau Neraka.
Tapi Bayu tidak berusaha berkelit. Bahkan
tangan kanannya diangkat, dan dibiarkan saja tongkat itu beradu dengan
pergelangan tangan kanannya.
Trang! Satu benturan keras terjadi. Seketika
percikan bunga api menyebar
ke segala penjuru. Tampak
perempuan bermuka
tengkorak itu bergetar
tangannya, dan buru-buru
menarik pulang tongkatnya.
Tapi belum juga sempurna
menarik tongkatnya,
mendadak saja Bayu melayangkan satu
tendangan keras menggeledek.
"Yeaaah...!"
Tendangan yang begitu cepat dan tiba-tiba itu tidak bisa dihindari lagi.
Terlebih lagi perempuan tua bermuka tengkorak itu tengah berusaha
menahan getaran pada tangannya akibat
benturan ujung tongkatnya dengan pergelangan tangan Bayu tadi.
Dughk! "Hughk..!" perempuan bermuka tengkorak itu mengeluh pendek.
Tendangan Bayu tepat menghantam
perutnya, membuat tubuh berjubah merah itu
terbungkuk dan terhuyung-huyung ke belakang.
Pada saat itu Bayu sudah melompat cepat
sambil melancarkan dua pukulan sekaligus ke arah dada. Tapi perempuan bermuka
tengkorak itu masih mampu menghindari dengan menarik
kakinya cepat-cepat ke samping. Sungguh sukar diikuti pandangan mata biasa.
Karena tanpa diduga sama sekali, dalam keadaan tubuh
masih berada di udara, Pendekar Pulau Neraka memutar tubuh sambil mengibaskan
tangan kirinya langsung ke arah muka perempuan
bermuka tengkorak itu.
Plak! "Akh...!" perempuan bermuka tengkorak itu terpekik keras.
Pukulan Bayu demikian keras, sampai-sampai
tubuh perempuan bermuka tengkorak itu
berputar bagai gasing. Dan pada saat itu terlihat sebuah benda keperakan
terlontar. Seketika itu juga, perempuan bermuka tengkorak cepat
melesat kabur. Begitu cepatnya, sehingga
sebelum Bayu bisa mengejar, bayangan
tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan
malam. "Hhh...!" Bayu menghembuskan napas panjang.
--oo0dw0oo-- Raden Antawirya keluar dari pondok setelah
cukup lama menunggu akhir pertarungan.
Dihampainya Bayu yang sedang membungkuk
memungut sesuatu dari tanah. Pendekar Pulau Neraka itu langsung memutar tubuhnya
menghadap Raden Antawirya.
"Ini...!" Bayu menyodorkan tangannya yang memegang benda berwarna keperakan.
"Apa ini...?" tanya Raden Antawirya seraya menerima benda keperakan itu.
"Topeng...?"
Raden Antawirya memandang Bayu dalamdalam, kemudian kembali merayapi benda perak di tangannya. Benda berbentuk
topeng tengkorak yang begitu halus berwarna
keperakan, tapi lentur bagai karet
"Sayang, aku tidak sempat melihat wajah di balik topengnya," desah Bayu.
Raden Antawirya kembali mengalihkan
pandangannya pada Pendekar Pulau Neraka itu.
Sedangkan Bayu menghampiri tumpukan kayu api
unggun yang tadi padam akibat terlempar
sebuah benda keperakan.
Bayu menyalakan kembali api dengan batu
pemantik, kemudian duduk di dekat api.
Beberapa ranting ditambahkan agar nyala api lebih besar. Raden Antawirya ikut
duduk di samping Pendekar Pulau Neraka itu, sambil
mengamati topeng tengkorak di tangannya.
"Sudah kuduga, dia pasti manusia biasa yang hanya mengenakan topeng," jelas Bayu
lagi setelah menghembuskan napas panjang.
'Tapi, siapa orang itu, ya...?" gumam Raden Antawirya seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
"Itulah yang harus kau selidiki, Raden."
"Aku..."!" Raden Antawirya menatap Bayu dalam-dalam.
"Siapa lagi kalau bukan kau yang menyelidiki, Raden."
"Lalu, kau sendiri...?"
Bayu tersenyum. Meskipun Raden Antawirya
tidak mengemukakan secara langsung, tapi dari nada suaranya sudah bisa
dipastikan kalau
bantuan Pendekar Pulau Neraka ini sangat
diharapkan. Memang, Raden Antawirya telah
menyaksikan sendiri kehebatan Pendekar Pulau Neraka. Pertama, ketika dia bentrok
dan hampir tewas kalau Bayu tidak segera menolongnya.
Dan yang kedua telah disaksikan sendiri betapa dahsyatnya pertarungan tadi. Dari
situ saja Raden Antawirya sudah bisa mengukur
kemampuannya sendiri. Tak mungkin manusia
misterius itu bisa dihadapi seorang diri kalau tidak meminta bantuan Pendekar
Pulau Neraka. Dan pada saat ini, tidak mungkin mencari orang lain lagi.
"Bayu, kau bersedia membantuku?" tanpa sungkan-sungkan lagi Raden Antawirya
meminta bantuan Pendekar Pulau Neraka itu.
Pedang Langit Dan Golok Naga 1 Pendekar Kelana Sakti 7 Setan Gila Dari Lereng Ungaran Hikmah Pedang Hijau 12

Cari Blog Ini