Ceritasilat Novel Online

Titisan Dewi Iblis 2

Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis Bagian 2


"Kalau kau percaya padaku?"
"Kenapa tidak" Aku tentu menaruh
kepercayaan penuh padamu, Bayu."
Bayu tersenyum, dan Raden Antawirya juga
tersenyum senang. Untuk beberapa saat
lamanya mereka tidak berbicara, namun benak masing-masing terus berputar. Memang
sangat disayangkan kalau wajah di balik topeng
tengkorak itu tidak sempat terlihat Orang itu begitu cepat melarikan diri begitu
topengnya terbebas. Bahkan Raden Antawirya sendiri
belum sempat melihat wajah aslinya.
"Bayu, kita sudah tahu kalau dia manusia biasa. Apa tidak sebaiknya kita ke
Hutan Kamiaka saja?" saran Raden Antawirya.
"Untuk apa ke sana, Raden?" tanya Bayu.
"Aku merasa adikku dan Paman Patih masih hidup, dan kini dikurung di dalam hutan
itu." "Dan kau akan menjelajahinya?"
Raden Antawirya tidak menjawab.
"Hutan itu sangat luas, Raden. Dan tidak mungkin bisa menjelajahinya dalam waktu
singkat. Lagi pula akan memakan waktu yang
tidak sedikit."
"Lalu, apa pikiranmu, Bayu?" tanya Raden Antawirya meminta pendapat.
"Aku rasa kita bisa mendapatkan orang itu di sini, Raden."
"Di sini..."!" Raden Antawirya tidak mengerti.
"Ya, di Istana Kafi Jirak."
"Kau jangan main-main, Bayu!" sentak Raden Antawirya.
"Sebaiknya kita telaah setiap kejadian yang telah berlalu, Raden. Dan jebakanku
berhasil baik. Dari situ saja sudah bisa kuduga kalau orang yang kita maksud ada
di dalam istana.
Dan dia tahu kedatanganku, serta mengetahui apa yang kukatakan pada Prabu Truna
Dilaga. Dan aku yakin, orang itu juga mengetahui
kedatangan perambah hutan itu, sehingga
dengan mudah bisa membunuhnya," Bayu
memaparkan jalan pikirannya.
'Teruskan, Bayu," pinta Raden Antawirya mulai tertarik
"Pertama dari ceritamu. Sudah kuduga kalau orang itu ada di dalam istana dan
mengetahui seluk beluknya dengan pasti. Itu sebabnya
kenapa aku menggunakan cara ini. Aku memang ingin membuktikan, apakah dia akan
membunuh setiap orang yang melaporkan
tentang dirimu, Raden," lanjut Bayu.
"Ulu?"
"Dia bisa mengetahui siapa saja yang pergi ke Hutan Kamiaka, dan mencegatnya di
sana sebelum orang itu datang. Itu sebabnya
kedatanganmu ke sana sudah diketahuinya.
Bahkan dia juga menunggu kedatangan Patih
Natabrata."
"Hm..., aku tidak mengatakan kepergianku pada siapa pun," gumam Raden Antawirya.
'Tngat-ingatlah, Raden. Mungkin Raden lupa, atau secara tidak sadar pernah
mengucapkan sesuatu." Raden Antawirya diam termenung.
"Ya. Aku memang pernah bilang, akan
mencari adikku di Hutan Kamiaka. Tapi aku
tidak mengatakan kapan dan dengan siapa akan pergi."
"Kepada siapa Raden bicara?" tanya Bayu.
"Pada Ayahanda Prabu. Tapi di situ juga ada Ibunda Permaisuri dan Paman Patih
Natabrata. Juga ada beberapa punggawa serta prajurit."
'Terlalu banyak. Sukar mencurigai salah
satunya," gumam Bayu pelan.
"Kau mencurigai salah satu dari mereka, Bayu?"
"Raden! Waktu aku datang menemui
ayahanda-mu, hanya ada Prabu Truna Dilaga,
Gusti Permaisuri, dan dua orang prajurit
pengawal. Tidak ada yang lain. Tapi...."
'Tapi apa, Bayu?"
"Punggawa Dipa Praga tahu kalau Patih
Natabrata pergi ke Hutan Kamiaka, tapi tidak melaporkannya pada ayahmu."
"Aneh...," desah Raden Antawirya.
--oo0dw0oo - 4 Bayu tersentak bangun dari tidurnya, dan
langsung melihat Raden Antawirya yang sudah terbangun. Bumi yang mereka pijak
bergetar, disertai gemuruh bagai terjadi gempa. Belum lagi mereka sempat
berpikir, tiba-tiba saja asap mengepul di atap pondok ini. Dan....
"Cepat keluar dari sini...!" seru Bayu begitu melihat api cepat melahap atap
pondok Raden Antawirya langsung menyambar
tudung tikar, lalu mengenakannya. Kemudian
dia melompat ke atas mengikuti Pendekar Pulau Neraka yang sudah lebih dahulu
melompat menerjang atap yang terbakar. Mereka berputar di udara, kemudian hinggap di
sebuah batang pohon yang cukup besar.
Kedua pemuda itu terkejut bukan main ketika melihat di sekeliling pondok telah
dikepung orang-orang berbaju merah dengan kepala
terselubung kain merah juga. Wajah mereka
mengenakan topeng ber-bentuk tengkorak
manusia. Mereka semua menunggang kuda,
berjumlah sekitar dua puluh orang.
"Itu di atas pohon! Seraaang...!" tiba-tiba salah seorang menunjuk ke atas pohon
tempat Bayu dan Raden Antawirya berada.
Seketika itu juga benda-benda bulat kecil
berwarna keperakan bertebaran ke arah Bayu
dan Raden Antawirya. Sejenak kedua pemuda itu saling
berpandangan, kemudian secepat kilat
berlompatan, berputaran di udara menghindari terjangan benda-benda kecil
keperakan itu. Pohon yang mereka naiki tadi meledak dan
hancur berkeping-keping tersambar bendabenda keperakan yang dilontarkan orang-orang berbaju merah dan mengenakan topeng
tengkorak itu. Bayu dan Raden Antawirya
mendarat manis di tanah, agak jauh jaraknya dari dua puluh orang bertopeng
tengkorak itu. Tapi belum juga mereka bisa menarik napas
lega, orang-orang bertopeng tengkorak itu sudah mengge-bah kudanya dan menerjang
kedua pemuda itu. Terpaksa Raden Antawirya harus
mencabut pedangnya, dan langsung melompat
menyongsong. Sedangkan Bayu menunggu
dengan tangan terkepal erat.
"Hiya!"
"Yeaaah...!"
Pertempuran pun tak dapat dihindari tagi.
Raden Antawirya mengamuk bagai banteng
terluka. Dengan pedang di tangan, pemuda itu benar-benar sangat berbahaya bagi
lawan-lawannya. Pedangnya berkelebat cepat dan
sukar diduga arahnya. Namun orang-orang
bertopeng tengkorak itu rupanya memiliki
tingkat kepandaian tinggi juga. Mereka mampu mengimbangi amukan Raden Antawirya.
Bahkan tidak jarang membuat putra mahkota itu
kerepotan. Sementara Bayu hanya dengan tangan
kosong saja sudah berhasil merobohkan lima
orang pengeroyoknya. Sambil bertarung,
Pendekar Pulau Neraka itu selalu
memperhatikan Raden Antawirya yang
kelihatannya masih kerepotan menghadapi
lawan-lawannya. Melihat posisi Raden Antawirya semakin terdesak dan kewalahan,
Bayu segera meningkatkan serangan-serangannya.
Jerit dan pekikan terdengar saling sahut,
disusul robohnya orang-orang berbaju merah
yang wajahnya tertutup topeng tengkorak.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, semua
pengeroyok Pendekar Pulau Neraka sudah
tergeletak tak bernyawa lagi.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu
melompat membantu Raden Antawirya.
Meskipun putra mahkota itu selalu terdesak, tapi sudah merobohkan tiga orang
lawannya. Dan terjunnya Pendekar Pulau Neraka membuat lawan-lawan semakin porak-poranda.
Pukulan dan tendangan Bayu sungguh keras luar biasa, dan tak terbendung lagi. Jerit dan
pekik melengking semakin sering terdengar, dan
sebentar kemudian suasana jadi sunyi senyap.
Bayu dan Raden Antawirya berdiri tegak
berdampingan, dan sama-sama
menghembuskan napas panjang sambil
memandangi dua puluh mayat bergelimpangan.
Raden Antawirya membuka topeng tengkorak
salah satu mayat dengan ujung pedangnya.
Tampak seraut wajah yang masih tergolong
muda tersembunyi di balik topeng tengkorak itu.
"Kau kenal dia?" tanya Bayu.
Raden Antawirya hanya menggelengkan
kepalanya saja. Ujung pedangnya kemudian
menyingkap satu persatu topeng-topeng
tengkorak. Tak ada satu pun yang bisa dikenali.
Mereka semua masih muda-muda, dan mungkin
usianya tidak jauh berbeda dengan putra
mahkota ini. Bayu memandangi pemuda yang
mengenakan tudung tikar pandan itu. Raden
Antawirya memasukkan pedangnya kembali ke
dalam sarungnya di pinggang.
"Aku tidak tahu, siapa mereka...?" desah Raden Antawirya.
"Siapa pun mereka, yang jelas maksudnya akan membunuh kita, Raden," kata Bayu.
"Apakah mereka suruhan manusia tengkorak itu?" nada suara Raden Antawirya
seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak bisa memastikan, Raden. Hhh...!
Sayang sekali, seharusnya kita tadi membiarkan salah seorang hidup."
"Ya, kita terlalu terbawa amarah."
Kedua pemuda itu terdiam. Mereka samasama memandangi pondok yang sudah hancur
terbakar. Asap masih mengepul dari sisa-sisa pondok yang sudah jadi arang.
Hampir bersamaan kedua pemuda itu menarik napas
panjang dan menghembuskannya kuat-kuat
"Bayu, apa tidak sebaiknya semua ini kita selidiki dari dalam istana?" usul
Raden Antawirya seraya memandang Pendekar Pulau Neraka di
sampingnya. "Tidak mungkin kita masuk ke sana, Raden,"
sergah Bayu. "Aku akan kembali terang-terangan. Aku ingin tahu, ada perubahan apa di dalam
istana." .
"Apakah itu tidak membahayakan diri Raden sendiri?"
"Kau pernah bilang, Bayu. Segala sesuatu selalu mengandung bahaya, tinggal
tergantung kita sendiri. Apakah mampu meredam bahaya
itu ataukah pasrah menghadapinya... ?"
Bayu tersenyum lebar. Memang hal itu pernah dikatakannya pada Raden Antawirya,
saat pemuda ini tengah putus asa akibat nyaris tewas di tangan manusia aneh bermuka
tengkorak Cukup banyak yang dikatakan Bayu untuk
membangunkan semangat putra mahkota ini.
Dan rupanya setiap kata yang diucapkan
Pendekar Pulau Neraka meresap ke dalam
hatinya. "Baiklah. Aku akan tetap menjagamu, Raden,"
ujar Bayu. "Aku percaya itu, Bayu."
--oo0dw0oo-- Kemunculan Raden Antawirya di istana
kembali, sungguh mengejutkan. Semua orang
menyangka kalau putra mahkota itu sudah
tewas di Hutan Kamiaka. Ini baru pertama kali terjadi, orang bisa selamat keluar
dari Hutan Kamiaka yang terkenal angker. Kedatangan
Raden Antawirya disambut gembira. Bahkan
Prabu Truna Dilaga sendiri ingin berdua dengan putranya di dalam kamar pribadi
yang tidak seorang pun diijinkan masuk
Terlebih lagi Raden Antawirya memang ingin
bicara saja berdua bersama ayahnya, tanpa
orang lain. Malah Permaisuri Rara Kuminten
tidak diijinkan masuk ke dalam kamar khusus ini. Prabu Truna Dilaga tidak puaspuasnya memandangi putranya, yang seakan-akan baru saja bangkit kembali dari kematian.
"Bagaimana kau bisa keluar dari Hutan
Kamiaka, Putraku?" tanya Prabu Truna Dilaga tidak sabar lagi hendak mendengar
cerita pengalaman anaknya.
"Ceritanya sangat panjang, Ayahanda Prabu.
Tapi bukan itu yang hendak ananda bicarakan,"
kata Raden Antawirya.
"O...," Prabu Truna Dilaga mengerutkan alisnya.
"Ada sesuatu yang lebih penting, yang hendak ananda bicarakan, Ayahanda Prabu,"
jelas Raden Antawirya lagi.
"Pembicaraan apa?" tanya Prabu Truna Dilaga bertanya-tanya dalam hati.
"Ananda mohon, Ayahanda Prabu tidak
bergusar hati. Ananda memang selamat dari
Hutan* Kamiaka, tapi itu bukan karena usaha ananda sendiri. Ada seorang pendekar
perkasa yang telah menyelamatkan ananda, Ayahanda
Prabu." "Oh...," desah Prabu Truna Dilaga semakin berkerut keningnya.
"Pendekar perkasa itu tentu sudah Ayahanda Prabu kenal," lanjut Raden Antawirya.
"Siapa?" tanya Prabu Truna Dilaga.
"Dia bernama Bayu, dan pernah menemui
Ayahanda Prabu di sini."
"Bayu...," gumam Prabu Truna Dilaga mencoba mengingat-ingat. "Oh, ya.... Memang
pernah datang ke sini seorang pemburu muda yang bernama Bayu. Apakah pemuda
gagah itu yang kau maksudkan, Anakku?"
"Benar, Ayahanda Prabu. Bayu sengaja
datang ke sini dengan satu siasat."
"Siasat..?"


Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksud Bayu sebenarnya baik, Ayahanda Prabu. Dan ananda yang menyetujui
siasatnya itu. Hasilnya juga sungguh mengejutkan."
"Ceritakan selengkapnya padaku," pinta Prabu Truna Dilaga semakin tertarik
"Sepulangnya dari sini, malamnya Bayu
didatangi seseorang yang mukanya seperti
tengkorak. Ananda jelas melihatnya. Mereka
kemudian .bertarung, tapi orang itu berhasil kabur setelah Bayu melepaskan
topeng tengkorak yang dikenakannya. Dan pagi tadi, ananda dan Bayu diserang dua puluh
orang bertopeng tengkorak Kami berhasil
mengalahkan mereka. Dan itu pun berkat Bayu juga, Ayahanda Prabu," dengan
singkat Raden Antawirya mengisahkan pengalamannya
bersama Pendekar Pulau Neraka.
"Hm.". Teruskan, Anakku," pinta Prabu Truna Dilaga.
"Dari situ ananda yakin, kalau orang
bertopeng tengkorak itu ada di dalam istana ini, Ayahanda Prabu," lanjut Raden
Antawirya. "Bagaimana kau bisa menduga begitu,
Anakku?" tanya Prabu Truna Dilaga.
"Dari setiap kejadian yang terjadi, orang itu mengetahui persis keadaan dan
orang-orang istana. Bahkan dia tahu kalau aku, Paman Patih Natabrata pergi ke Hutan
Kamiaka." "Kau tahu..."!" Prabu Truna Dilaga terhenyak kaget.
"Ananda memang telah tahu kepergian
Paman Patih Natabrata ke Hutan Kamiaka.
Bahkan ananda dan Bayu berusaha menolong,
tapi terlambat Paman Patih Natabrata lenyap, sedangkan dua puluh prajuritnya
tewas." "Oh...," keluh Prabu Truna Dilaga langsung tertunduk kepalanya.
"Maafkan ananda, Ayahanda Prabu. Ananda terpaksa memberitahukan hal ini," ucap
Raden Antawirya.
"Tidak apa, Anakku. Lanjutkanlah, apa saja yang sudah kau ketahui?"
"Tidak banyak yang ananda ketahui,
Ayahanda Prabu. Itu sebabnya ananda pulang
kembali ke istana untuk memancing tanggapan manusia bermuka tengkorak itu."
Prabu Truna Dilaga diam membisu dengan
wajah terselimut mendung. Pelahan diangkat
kepalanya, ditatapnya dalam-dalam bola mata pemuda di depannya.
"Seharusnya kau tidak kembali ke sini, Anakku," ujar Prabu Truna Dilaga lirih.
"Kenapa?" tanya Raden Antawirya tidak mengerti.
"Karena aku juga sebenarnya sudah berpikir ke arah itu, tapi belum punya cukup
bukti. Aku tahu siapa orang yang menculik adikmu, dan
yang membuat resah seluruh Kerajaan Kali Jirak ini...."
"Siapa orangnya, Ayahanda Prabu?" desak Raden Antawirya.
"Dewi Iblis."
"Dewi Iblis..."!" Raden Antawirya mengerutkan keningnya.
Tanpa diminta lagi, Prabu Truna Dilaga
menceritakan tentang perempuan berwajah
tengkorak itu. Apa yang diceritakan kini, sama persis dengan yang pernah
diceritakan pada
Patih Natabrata. Sedangkan Raden Antawirya
mendengarkan penuh perhatian. Sungguh tidak disangka kalau pada masa mudanya
dulu, ayahnya punya musuh yang sangat tangguh.
Hanya saja yang masih sulit dimengerti, apakah mungkin seseorang yang sudah mati
bisa bangkit kembali sehingga mampu melancarkan
pembalasan dendam sekarang ini"
Kalau memang benar manusia bertopeng
tengkorak itu adalah Dewi Iblis, itu berarti mereka berhadapan dengan sosok
makhluk halus, bukan manusia biasa. Tapi Raden
Antawirya tidak percaya dengan segala macam hantu. Dia teringat kata-kata
Pendekar Pulau Neraka yang meyakinkan dirinya kalau yang
sedang dihadapi saat ini adalah manusia biasa berkepandaian sangat tinggi.
Tapi kalau mengingat cerita ayahnya, Raden
Antawirya jadi bimbang juga. Prabu Truna Dilaga mengenali betul kalau orang itu
adalah Dewi Iblis. Wanita yang pernah menjadi musuh besar keluarga Istana
Kerajaan Kali Jirak ini. Sedangkan menurut
Prabu Truna Dilaga, Dewi Iblis sudah tewas di tangan orang tua Patih Natabrata.
Rasanya sukar dipercaya kalau orang yang sudah mati bisa bangkit lagi, dan sekarang
melancarkan aksi balas dendamnya.
"Ayah, apakah Dewi Iblis mempunyai murid?"
tanya Raden Antawirya, yang tiba-tiba mendapat pikiran begitu.
"Setahuku tidak, Anakku," sahut Prabu Truna Dilaga.
"Hm.... Pasti ada orang lain yang
menggunakan nama Dewi Iblis, dan ingin
meruntuhkan Kerajaan Kali Jirak ini...," gumam Raden Antawirya seperti bicara
pada dirinya sendiri.
Sedangkan Prabu Truna Dilaga hanya terdiam
saja membisu. Persoalan yang mereka hadapi
sekarang semakin bertambah pelik. Mereka
sadar kalau tengah menghadapi seseorang yang sangat licin dan berbahaya. Terlebih lagi ketika menyadari kalau orang itu berada di
dalam istana ini. Memang sulit untuk membuktikan siapa di
antara sekian banyak orang yang bisa dicurigai dalam lingkungan istana. Hal ini
bagaikan mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami.
Karena semua pembesar istana dan pengurus
istana ini adalah orang-orang yang mereka
kenal, dan sudah mengabdi secara turuntemurun. Rasanya tidak mungkin salah seorang dari mereka yang mencoba
memberontak meruntuhkan kekuasaan.
Mereka terus -berbicara bertukar pikiran
hingga jauh malam. Baru pada lewat tengah
malam, mereka keluar dari kamar itu dan
kembali ke kamarnya masing-masing. Di dalam kamarnya, Raden Antawirya tidak bisa
memejamkan mata sedikit pun. Pikirannya terus mengambang, melayang jauh pada
semua peristiwa yang terjadi di Kerajaan Kali Jirak ini.
Dia tidak percaya kalau kejayaan Kali Jirak akan runtuh dalam waktu dekat
--oo0dw0oo-- Sementara itu di dalam kamar lain, Prabu
Truna Dilaga juga belum bisa memejamkan
matanya. Pembicaraannya dengan Raden
Antawirya tadi benar-benar tidak diduga sama sekali. Hampir-hampir penguasa Kali
Jirak ini tidak percaya kalau ada musuh yang
menghendaki keruntuhan kerajaan di dalam
istana ini Terlebih lagi, orang yang menghendaki itu ada hubungan dengan Dewi
Iblis yang dulu menjadi musuh besar keluarga istana.
"Kau sudah kembali, Kanda...?"
Prabu Truna Dilaga berpaling saat mendengar sapaan lembut dari arah belakang.
Tampak Permaisuri Rara Kuminten menggeliat bangkit dari pembaringan, lalu duduk di
tepinya sambil memandangi laki-laki yang telah lama menjadi suaminya itu.
Sedangkan Prabu Truna Dilaga
sendiri masih tetap berdiri di samping jendela kamar ini.
"Sudah malam, kenapa belum tidur...?"
lembut sekali suara Permaisuri Rara Kuminten.
'Tidurlah dulu, aku belum mengantuk," ujar Prabu Truna Dilaga kembali memandang
ke luar melalui jendela.
Permaisuri Rara Kuminten beranjak bangkit
dari pembaringan. Dilangkahkan kakinya
menghampiri suaminya, lalu memeluk pinggang laki-laki tua itu. Sedangkan Prabu
Truna Dilaga hanya diam saja tidak memberi tanggapan.
"Ada yang kau pikirkan, Kanda?" tanya Permaisuri Rara Kuminten.
"Hhh...!" Prabu Truna Dilaga hanya menarik napas panjang saja.
"Apa yang kau bicarakan dengan Antawirya?"
tanya Permaisuri Rara Kuminten lagi.
"Tidak ada," sahut Prabu Truna Dilaga seraya melepaskan pelukan istrinya.
Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu melangkah menghampiri pembaringan
Kemudian direbahkan tubuhnya di sana.
Permaisuri Rara Kuminten menghampirinya, lalu duduk di tepi pembaringan kembali.
Dipandanginya wajah laki-laki tua itu. Tangannya bergerak lembut memainkan
rambut di dada Prabu Truna Dilaga.
"Rasanya kau belum pernah menyimpan
rahasia padaku, Kanda. Apakah pembicaraanmu dengan Antawirya begitu penting,
sehingga aku tidak boleh tahu?" rajuk Permaisuri Rara Kuminten.
Prabu Truna Dilaga hanya diam saja. Namun
matanya tidak juga mau terpejam, meskipun
terasa berat dan lelah sekali. Sementara
Permaisuri Rara Kuminten merebahkan
rubuhnya di samping laki-laki tua -itu. Diletakkan kepalanya di dada yang
berbulu lebat itu.
"Kanda, Antawirya memang bukan anakku.
Tapi apakah aku tidak boleh mengetahui
rahasianya" Aku menyayangi dan
menganggapnya anakku sendiri, walau aku
sendiri tidak bisa memberimu seorang
keturunan," pelan sekali suara Permaisuri Rara Kuminten.
"Jangan persoalkan itu lagi, Dinda. Aku tidak suka lagi mendengar keluhanmu
tentang anak Aku sudah cukup bahagia kau dampingi. Kaulah penyelamat hidupku di saat aku
kehilangan pegangan karena kehilangan seorang
pendamping. Ah, sudahlah.... Lupakan semua
itu, Dinda."
"Bagaimana aku bisa tinggal diam saja, Kanda. Sementara kau terus gelisah dalam
ketidakmenentuan. Aku tahu, kau sangat
memikirkan keselamatan Intan Wandira yang
sampai sekarang belum jelas nasibnya. Dan aku yakin kalau kedatangan Antawjrya
tidak akan mengobati kegelisahan hatimu. Sedangkan
aku...." Prabu Truna Dilaga buru-buru menutup mulut
istrinya dengan dua jari tangan, maka kata-kata Permaisuri Rara Kuminten
terputus seketika.
Prabu Truna Dilaga menggeser tubuhnya, lalu duduk bersandar di pembaringan.
Sedangkan Permaisuri Rara Kuminten memandanginya,
sambil duduk dengan tangan bertumpu pada
tubuh suaminya.
'Terlalu banyak yang telah kau lakukan
untukku, Dinda. Dan aku tidak ingin
membebanimu dengan segala macam pikiran
yang akan membuatmu susah," kata Prabu Truna Dilaga.
'Tapi, untuk apa aku mendampingimu jika kau masih saja menyimpan rahasia,"
rungut Permaisuri Rara Kuminten.
"Ini rahasia keselamatan negeri, Dinda. Dan aku...."
"Aku bisa membantu mencari jalan keluarnya, Kanda," potong Permaisuri Rara
Kuminten cepat Prabu Truna Dilaga menarik napas panjang.
Memang diakui kalau Rara Kuminten selalu
mempunyai pikiran cemerlang. Tidak sedikit
buah pikirannya terpakai untuk membantu
meningkatkan kemajuan negeri. Bahkan di kala sedang menghadapi masa sulit
sekalipun, buah pikiran cemerlang wanita ini tiba-tiba saja muncul.
"Ayolah, Kakang.... Untuk apa menyimpan rahasia jika akhirnya aku toh tahu
juga...," bujuk Permaisuri Rara Kuminten.
"Baiklah...," desah Prabu Truna Dilaga menyerah.
Laki-laki tua ini memang selalu saja
tidak'kuasa menyimpan rahasia sekecil apa pun-di depan Permaisuri Rara Kuminten.
Sedangkan wanita itu selalu saja dapat membujuk sehingga membuat hati laki-laki
tua ini lemah. Prabu Truna Dilaga akhirnya menceritakan juga
tentang pembicaraan bersama Raden Antawirya.
Bahkan sampai ke hal-hal yang terkecil
sekalipun tuntas diceritakannya.
Sementara Rara Kuminten mendengarkan
penuh perhatian. Sepertinya setiap kata yang diucapkan laki-laki tua ini
disimak, dan ditelannya bulat-bulat. Raut wajahnya sedikit berubah ketika Prabu Truna
Dilaga mengatakan bahwa kepulangan Raden
Antawirya bermaksud menyelidiki setiap orang yang ada di dalam istana. Hal ini
karena putra mahkota itu menduga segala yang telah terjadi bersumber dari dalam
istana sendiri Permaisuri Rara Kuminten masih berdiam diri meskipun Prabu Truna Dilaga telah
menyelesaikan ceritanya. Bahkan untuk
beberapa lamanya mereka hanya membisu saja.
Beberapa kali terdengar tarikan napas panjang dan berat.
"Kanda..., apakah Kanda percaya pada
pemuda yang bernama Bayu itu?" Permaisuri Rara Kuminten baru membuka suara
setelah cukup lama diam membisu.
"Rasanya pemuda itu bermaksud baik,
Dinda," sahut Prabu Truna Dilaga.
"Justru aku sebatiknya, Kanda. Aku malah jadi curiga. Jangan-jangan justru
dialah yang memanfaatkan Raden Antawirya. Toh kita tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
Sedangkan Raden Antawirya sendiri baru beberapa hari
mengenalnya."
"Maksudmu...?" Prabu Truna Dilaga meminta penjelasan.
"Pertolongan tidak akan selamanya tulus, Kanda. Bahkan banyak dari pertolongan
yang mengharapkan sesuatu. Bisa saja pemuda itu
berpura-pura membantu Raden Antawirya,
padahal sebenarnya hendak meruntuhkan
kerajaan ini. Kau harus menyelidiki siapa dia sebenarnya, Kakang. Kalau perlu
penjarakan dia," tegas Permaisuri Rara Kuminten.
Prabu Truna Dilaga hanya diam saja.
Keningnya berkerut dalam, pertanda tengah
berpikir keras. Sementara Permaisuri Rara
Kuminten terus berbicara mengemukakan
pendapatnya yang sangat bertentangan dengan apa yang dikatakan Raden Antawirya.
--oo0dw0oo - 5 Pendekar Pulau Neraka menolehkan kepala
ketika mendengar derap kaki kuda
serombongan prajurit bergerak cepat menuju ke arahnya. Ada sekitar lima puluh
prajurit berkuda yang dipimpin seorang punggawa. Bayu
mengenali punggawa itu, karena memang
pernah bertemu sebelumnya di taman belakang Istana Kerajaan Kati Jirak
Prajurit berkuda itu berhenti di depan
Pendekar Pulau Neraka yang bergegas bangkit berdiri dan turun dari batu yang
didudukinya.

Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dilemparkannya kail yang hanya dari ranting bambu kecil ke dalam sungai. Sejak
pagi tadi, belum ada seekor ikan pun yang berhasil
dipancing. "Punggawa Dipa Praga, hendak ke manakah membawa rombongan prajurit?" sapa Bayu
ramah. "Aku datang untuk menjemputmu, Bayu,"
sahut Punggawa Dipa Praga.
"Menjemputku...?" Bayu mengerutkan keningnya.
"Benar! Dan kuharap kau tidak membuat
kesulitan."
Punggawa Dipa Praga menjentikkan jarinya.
Dua orang prajurit melompat turun dari
punggung kudanya. Mereka menghampiri Bayu
sambil menggenggam tambang di tangan. Bayu
jadi tidak mengerti, dan hanya melangkah
mundur dua tindak.
"Tunggu! Untuk apa tambang ini...?" tanya Bayu minta penjelasan.
"Kau akan tahu nanti di istana, Bayu.
Sebaiknya tidak perlu melawan!" tegas nada suara Punggawa Dipa Praga. "Pengawal,
ikat dia!"
"Hey...! Tunggu dulu! Aku bukan buronan, mengapa ingin mengikatku"!" sentak Bayu
semakin tidak mengerti akan sikap punggawa
ini. "Sekarang ini kau menjadi buronan Kerajaan Kali Jirak, Bayu!" tegas Punggawa
Dipa Praga sinis.
Bayu benar-benar tidak mengerti dengan
semua ini, tapi tidak mau menyerahkan diri
begitu saja. Sementara prajurit-prajurit lainnya sudah berlompatan turun dari
kuda masing-masing. Mereka langsung bergerak mengepung
Pendekar Pulau Neraka ini. Bahkan sekarang
ada enam prajurit yang mengelilingi Bayu sambil memutar-mutar ujung tambang.
Melihat gelagat yang kurang menguntungkan
ini, Bayu langsung bersiap-siap. Ditatapnya Punggawa Dipa Praga dengan sinar
mata tajam. Sedangkan Punggawa Dipa Praga membalasnya
dengan tidak kalah tajam pula.
'Punggawa, jelaskan. Apa maksud semua ini?"
pinta Bayu. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan, Bayu.
Prajurit...! Tangkap bajingan ini...!" perintah Punggawa Dipa Praga lantang.
"Eh...!"
Bayu tidak punya kesempatan untuk
berbicara lagi. Enam orang prajurit yang
memegang tambang sudah bergerak melempar
tambangnya ke atas melewati kepala Pendekar Pulau Neraka itu. Dan mereka secara
bersamaan melompat menangkap ujung
tambang yang dilemparkan itu.
Bayu bisa mengerti cara penangkapan ini.
Dengan cepat dilentingkan tubuhnya ke udara sambil meraih Cakra Maut Senjata itu
kemudian digenggam dengan tangan kanannya. Sambil
berteriak keras, Pendekar Pulau Neraka itu
bergerak cepat mengibaskan tangannya
membabat tambang-tambang yang membentuk
jaring di atas kepala.
Tas! Tas! Tas...!
Tambang-tambang itu seketika putus, maka
enam orang prajurit itu berpentalan karena pada saat itu mereka menarik tambang
kuat-kuat Tubuh mereka bergelimpangan di tanah dengan wajah terbengong melihat tambang
yang terpotong-potong jadi beberapa bagian.
Sementara Bayu dengan manis sekali mendarat kembali di tanah. Dia memasang lagi
Cakra Maut di pergelangan tangannya.
"Bayu! Kuperingatkan sekati lagi, jangan membuat perlawanan!" bentak Punggawa
Dipa Praga gusar.
"Hm.... Siapa yang memerintahkanmu untuk menangkapku, Punggawa?" tanya Bayu.
"Kau tidak perlu tahu. Ini perintah!" sentak Punggawa Dipa Praga.
"Baik! Kalau begitu, aku tidak akan menuruti perintahmu!" r
"Keparat.. J Serang...! Penggal kepalanya!"
perintah Punggawa Dipa Praga lantang.
Seketika itu juga prajurit-prajurit yang
memang sejak tadi sudah menunggu perintah,
langsung menghambur menyerbu Pendekar
Pulau Neraka. Bayu yang tidak mengerti
persoalannya, jadi ragu-ragu. Dia hanya bisa berkelit dan berlompatan menghindar
tanpa memberi serangan balasaa
Namun serangan-serangan yang datang
demikian gencar. Bahkan beberapa kali ujung tombak dan mata pedang hampir
menghunjam tubuh Pendekar Pulau Neraka. Semakin lama
ruang gerak Bayu semakin terasa sempit.
Bahkan sukar baginya untuk berbuat banyak
lagi. Prajurit-prajurit ini benar-benar ingin mencincang tubuhnya.
Bayu memang paling tidak menyukai keadaan
seperti ini. Darahnya langsung mendidih ketika satu tendangan yang dilancarkan
Punggawa Dipa Praga berhasil bersarang di tubuhnya, dan membuatnya terhuyung ke belakang.
Kalau saja tidak cepat-cepat mengegos, tentu tubuhnya
sudah terpanggang sebatang tombak yang
datang dari arah belakang.
"Phuih! Kalian benar-benar ingin
membunuhku, rupanya!" dengus Bayu mulai gusar.
"Hayo! Serang terus! Cincaaang...!" seru Punggawa Dipa Praga memberi semangat
para prajuritnya. Mendengar teriakan-teriakan bernada
perintah itu, Bayu jadi semakin memuncak
amarahnya. Seluruh darah di tubuhnya bergolak mendidih. Wajahnya memerah menahan
kemarahan yang hampir melesak sampai ke
kepala. "Keparat..!" desis Bayu geram ketika hampir saja sebuah pedang menebas lehernya.
Sambil menggeram marah, Pendekar Pulau
Neraka itu mengibaskan tangannya. Segera
disampoknya tangan prajurit yang memegang
pedang itu. Sungguh cepat luar biasa gerakan Bayu. Sebelum prajurit itu bisa
menyadari, tahu-tahu terpekik keras dan tubuhnya terpental ke udara.
Sebelum prajurit itu ambruk ke tanah, Bayu
sudah cepat memutar tubuhnya sambil
menggerakkan tangannya bagai kilat
memberikan beberapa pukulan beruntun.
Seketika itu juga jerit dan pekikan melengking terdengar saling sambut disusul
tubuh-tubuh berpelantingan menggelepar di tanah. Dalam
satu gebrakan saja, tidak kurang dari sepuluh prajurit merintih menggelepar di
tanah. --oo0dw0oo-- Melihat sepuluh orang menggelepar dan
merintih kesakitan, prajurit-prajurit lainnya langsung berlompatan mundur. Saat
itu mereka merasa gentar menghadapi pemuda berbaju
kulit harimau ini. Bayu berdiri tegak sambil menatap rajam Punggawa Dipa Praga.
Sementara punggawa itu melangkah mundur
beberapa tindak. Tampak jelas raut wajahnya memancarkan kegentaran pada
kedigdayaan Pendekar Pulau Neraka ini.
"Baik! Kali ini kau boleh merasa menang, Bayu. Tapi lain waktu kau akan meratap
memohon ampun padaku!" desis Punggawa
Dipa Praga dingin.
"Aku khawatir malah sebaliknya kau yang meratap, Punggawa!" balas Bayu tidak
kalah dingin. Punggawa Dipa Praga memberi isyarat pada
prajurit-prajuritnya. Tanpa diperintah dua kali, prajurit-prajurit itu segera
berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Sebagian
membantu temannya yang terluka. Bayu
memang sengaja hanya memberi sedikit luka
pada mereka. Tidak ada maksud sedikit pun
dihatinya untuk membunuh.
Pelahan-lahan Punggawa Dipa Praga
melangkah mundur menghampiri kudanya,
kemudian melompat naik ke punggung
tunggangannya itu. Sebentar ditatapnya
Pendekar Pulau Neraka, kemudian digebah
kudanya dengan kecepatan tinggi. Debu
mengepul membumbung tinggi ke angkasa
ketika puluhan kuda berpacu cepat
meninggalkan tepian sungai itu.
Bayu masih berdiri tegak memandangi
kepergian para Prajurit Kerajaan Kali Jirak itu.
Hatinya jadi bertanya-tanya, kenapa prajurit-prajurit itu hendak menangkapnya"
Bahkan berniat membunuhnya" Pendekar Pulau Neraka
jadi teringat Raden Antawirya yang kini berada di dalam istana.
"Hm.... Apa yang terjadi pada Raden
Antawirya?" gumam Bayu bertanya-tanya sendiri.
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka itu melesat pergi
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Arah yang dituju sudah jelas ke Kota-raja
Kali Jarak. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang sudah mencapai taraf
kesempurnaan, sehingga bisa berlari kencang seperti angin. Kedua tapak kakinya
bagai tak menjejak tanah, sehingga bagaikan terbang
saja. Dan yang terlihat kini hanya bayangan tubuhnya saja yang berkelebat tak
berbentuk. Tanpa memerlukan waktu lama, Pendekar
Pulau Neraka itu sudah tiba di dekat tembok benteng istana bagian belakang.
Sebentar diamati keadaan sekitarnya, kemudian dia
melompat naik ke atas tembok benteng yang
tinggi itu. Hanya sekali lesatan saja, Bayu sudah bisa mencapai bagian atas
tembok. Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu
mengamati keadaan dalam tembok benteng ini.
Tampak beberapa penjaga hilir mudik mengitari bangunan besar dan megah itu.
Perhatian Bayu terpusat ke sebuah jendela yang terbuka lebar.
Dari tempat ini dapat terlihat jelas keadaan dalam kamar melalui jendela yang
terbuka lebar itu. Tampak Raden Antawirya tengah duduk di kursi menghadap
jendela. Di depannya berdiri seorang laki-laki yang rambutnya sudah
memutih semua. Bayu tahu, siapa laki-laki tua yang berdiri menghadap Raden
Antawirya dan membelakangi jendela itu. Meskipun tidak bisa melihat wajahnya, tapi sudah cukup
bagi Pendekar Pulau Neraka untuk mengetahui. Dia adalah Prabu Truna Dilaga.
"Hm..., apa yang mereka bicarakan...?"
gumam Bayu bertanya di dalam hati.
Cukup jauh jarak antara tempat ini dengan
kamar itu. Tak mungkin Bayu bisa
mendengarkan percakapan di dalam kamar itu.
Sebentar diedarkan pandangannya berkeliling.
Bibirnya kemudian tersenyum begitu melihat
sebuah pohon cukup besar, dan sepertinya
berada dalam jangkauannya. "Hup...!"
Indah sekali gerakan Pendekar Pulau Neraka
saat melentingkan tubuhnya ke arah pohon itu.
Cepat dan ringan sekali, sehingga tak ada yang mengetahui. Tanpa menimbulkan
suara sedikit pun, kakinya hinggap di cabang pohon. Sebentar kemudian Bayu sudah
melesat ringan menuju
atap, tepat di kamar itu.
Tap! Bayu langsung merapatkan tubuhnya begitu
mencapai atap. Dari atap ini percakapan di
dalam kamar bisa terdengar. Tapi begitu
telinganya dipasang tajam-tajam, Pendekar
Pulau Neraka itu jadi berkerut keningnya.
Ternyata di dalam kamar itu tidak terdengar satu suara pun. Pelahan-lahan Bayu
menggeser tubuhnya lebih ke tepi, lalu dijulurkan kepalanya ke bawah, mencoba melihat ke
dalam kamar. "Sial...!" rutuk Bayu begitu melihat ke dalam kamar yang sudah kosong
Ternyata pada saat Bayu tiba di atap, Prabu Truna Dilaga dan Raden Antawirya
telah meninggalkan kamar itu. Bayu kembali menarik kepalanya bergegas, karena
mendengar suara langkah tidak jauh di bawah sana. Tampak dua orang prajurit
penjaga tengah berjalan melintasi jendela kamar itu. Bayu merapatkan tubuhnya ke
atap, agar tidak terlihat.
"Huh...! Apa yartg harus kulakukan
sekarang...?" dengus Bayu dalam hati.
Dua orang prajurit penjaga itu bukannya
lewat, tapi malah berhenti di depan jendela. Dan Bayu jadi dongkol setengah
mati. Tubuhnya mulai terasa pegal dalam posisi seperti ini.
Sesekali diliriknya dua penjaga itu. Dan kini Pendekar Pulau Neraka merutuk
dalam hati, karena kedua penjaga itu malah duduk di bawah pohon.
"Dasar, penjaga malas!" gerutu Bayu sengit.
Bayu menyadari tidak mungkin meninggalkan
atap ini Sedikit saja bergerak, pasti kedua penjaga itu bisa mengetahuinya.
Pendekar Pulau Neraka itu bersungut-sungut dalam hati. Hatinya menyesal karena
menyelinap begini tanpa hasil yang diharapkan. Sedangkan dua orang prajurit
penjaga itu malah tertawa-tawa, sehingga
membuat Bayu semakin menggerutu kesal
dalam hati. Bola mata Pendekar Pulau Neraka itu berputar, dan otaknya bekerja
keras mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk meloloskan diri dari
ketersiksaan seperti ini
"Setan! Bisa sampai malam aku di sini...!"
rutuk Bayu kesal.
--oo0dw0oo-- Sementara itu di ruangan lain, Raden
Antawirya dan ayahnya sedang berdebat sengit.
Pemuda itu tidak menyukai tindakan ayahnya
yang memerintahkan Punggawa Dipa Praga
menangkap Bayu. Bahkan memerintahkan
membunuh jika pemuda berbaju kulit harimau
itu melawan. "Kenapa Ayahanda melakukan itu?" dengus Raden Antawirya.
"Dalam keadaan seperti ini, aku tidak bisa mempercayai siapa pun. Terlebih lagi
pada orang yang belum kita kenal asal-usulnya,
Antawirya," jawab Prabu Truna Dilaga.
'Tapi, kenapa Ayah tidak bilang dulu padaku?"
"Aku masih sah sebagai raja di sini,
Antawirya!" bentak Prabu Truna Dilaga.
"Maaf, Ayahanda Prabu. Nanda tidak


Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bermaksud menyinggung," ucap Raden
Antawirya. "Ah, sudahlah. Nanti kalau Punggawa Dipa Praga kembali, kau boleh menanyai teman
barumu itu," jelas Prabu Truna Dilaga.
Pada saat itu seorang prajurit penjaga datang menghadap. Dilaporkan bahwa
Punggawa Dipa Praga hendak menghadap. Dan Prabu Truna
Dilaga memerintahkan Punggawa Dipa Praga
segera menemuinya. Pengawal itu bergegas
pergi setelah memberi hormat. Tak lama
berselang, muncul Punggawa Dipa Praga dalam keadaan tubuh yang lusuh dan kotor
berdebu. Punggawa itu langsung menjatuhkan diri
bersimpuh di depan Prabu Truna Dilaga.
"Mana anak muda itu?" tanya Prabu Truna Dilaga langsung.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba gagal
menjalankan tugas," lapor Punggawa Dipa Praga.
"Apa..."!" Prabu Truna Dilaga mendelik.
"Anak muda yang bernama Bayu itu melawan, dan hamba mencoba meringkusnya, Gusti
Prabu. Tapi dia digdaya sekali. Sepuluh prajurit yang hamba bawa terluka cukup
parah," jelas Punggawa Dipa Praga.
"Sudah kukatakan, tidak mudah menangkap Bayu...," dengus Raden Antawirya
tersenyum tipis.
Prabu Truna Dilaga mendelik pada putranya
yang duduk di sebelahnya, kemudian kembali
menatap Punggawa Dipa Praga yang masih
duduk bersimpuh di lantai. Kepala punggawa itu tertunduk dalam, seakan-akan tak
sanggup menerima sorot mata laki-laki tua itu yang
sangat tajam menusuk.
"Huh! Dia sudah berani membangkang
perintahku!" dengus Prabu Truna Dilaga.
"Punggawa...!"
"Hamba Gusti Prabu."
"Bawa prajurit pilihan lebih banyak lagi.
Tangkap dia, dan kalau perlu bunuh di tempat!"
perintah Prabu Truna Dilaga.
"Hamba laksanakan, Gusti Prabu."
Punggawa Dipa Praga memberi sembah
dengan merapatkan kedua tangannya di depan
hidung, kemudian beranjak meninggalkan
ruangan itu. Prabu Truna Dilaga mendengus
berat. Kembali ditatap putranya yang tersenyum-senyum seakan-akan meremehkan
perintah ayahnya tadi pada Punggawa Dipa Praga.
"Kenapa kau tersenyum-senyum, Antawirya?"
dengus Prabu Truna Dilaga bernada kurang
senang. "Ampun, Ayahanda Prabu. Nanda hanya
merasa tindakan Ayahanda Prabu terlalu
berlebihan. Nanda yakin, Bayu tidak akan mau menurut jika Ayahanda Prabu
mengerahkan sekian banyak prajurit. Dia bukan manusia
sembarangan. Kepandaiannya tinggi sekali,
Ayahanda Prabu," ujar Raden Antawirya seraya memberikan hormat.
"Seberapa jauh kau mengenalnya,
Antawirya?" tanya Prabu Truna Dilaga datar.
'Tidak begitu jauh. Tapi aku percaya kalau dia tidak seburuk yang Ayah kira,"
jawab Raden Antawirya.
'Tapi kau harus melihat kenyataannya,
Anakku. Dia sudah berani membangkang
perintahku."
Raden Antawirya hanya mengangkat bahunya
saja. Pada saat itu Rara Kuminten masuk ke
ruangan ini. Sementara Raden Antawirya segera mohon diri dan meninggalkan
ruangan itu. Rara Kuminten memandangi putra mahkota itu,
kemudian menghampiri Prabu Truna Dilaga yang masih duduk di kursi kayu berukir.
Kemudian wanita itu duduk di depannya. Hanya sebuah
meja kecil yang menjadi pembatas antara
mereka. "Kenapa dia, Kanda?" tanya Permaisuri Rara Kuminten seraya melirik Raden
Antawirya yang baru saja lenyap di balik pintu.
"Dia tidak menyukai tindakanku," sahut Prabu Truna Dilaga masih bernada kesal.
"Dia membela anak muda itu, Kanda?"
"Entahlah. Tapi kelihatannya memang begitu"
"Hm.... Ini sangat berbahaya, Kanda," gumam Permaisuri Rara Kuminten, terdengar
pelan suaranya. Prabu Truna Dilaga menatap dalam-dalam
wanita di depannya ini. Walaupun usianya sudah berkepala empat, tapi masih
kelihatan cantik menggairahkan. Bahkan seperti masih berusia dua puluhan saja.
"Kanda Prabu! Kita tidak tahu, sudah berapa lama
Antawirya berhubungan dengan pemuda itu.
Aku jadi curiga.... Jangan-jangan dia tidak ke Hutan Kamiaka, tapi...," Rara
Kuminten memutuskan kata-katanya.
'Teruskan, Dinda," pinta Prabu Truna Dilaga sambil mengerutkan keningnya.
"Kanda, bukankah Raden Antawirya bukan putra kandung...?"
"Apa maksudmu, Dinda?"
"Kanda tidak memiliki seorang anak laki-laki.
Dan Kanda hanya mempunyai seorang putri
yang kini hilang diculik hingga tak tahu kabar beritanya lagi. Sedangkan
Antawirya hanya anak dari seorang selir yang bersekongkol dengan pemberontak
yang mencoba meruntuhkan tahta.
Malah Kanda sendiri yang menjatuhkan
hukuman mati kepada selir itu. Aku jadi curiga kalau sesungguhnya Raden
Antawirya diam-diam menyusun kekuatan hendak merebut tahta,"
kata Permaisuri Rara Kuminten mengemukakan
pikirannya. Prabu Truna Dilaga terdiam sambil mengeluselus janggutnya yang berwarna dua. Apa yang dikatakan Permaisuri Rara Kuminten
barusan memang tidak bisa disalahkan. Raden Antawirya memang hanya anak selir. Itu pun
sebenarnya anak hasil hubungan gelap seorang selir dengan seorang punggawa.
Karena wanita itu setir, lalu Prabu Truna Dilaga mengangkat Antawirya
menjadi anak. 'Tapi dia tidak tahu siapa orang tuanya yang sebenarnya, Dinda," kata Prabu
Truna Dilaga. "Siapa tahu ada yang membocorkan rahasia ini, Kanda. Hampir semua penghuni
istana ini tahu siapa
Antawirya sebenarnya. Aku tidak menuduh
satu-satu. dan kemungkinan itu juga bisa saja terjadi, bukan?"
"Bagaimana kalau dugaanmu salah?"
"Dugaan itu bisa salah dan bisa juga benar, Kanda. Dalam keadaan seperti ini,
segala kemungkinan tidak bisa diabaikan begitu saja.
Tapi aku juga tidak mengharapkan kalau
dugaanku benar. Kanda bisa menyelidikinya
dengan menempatkan seorang telik sandi yang khusus mengamati segala tingkah laku
Raden Antawirya," tenang sekali nada suara Rara Kuminten.
Prabu Truna Dilaga mengangguk-anggukkan
kepalanya, sedangkan Rara Kuminten
tersenyum manis. Wanita itu kemudian pindah duduknya ke samping laki-laki tua
itu dan langsung melingkarkan tangannya di pinggang.
Prabu Truna Dilaga menggamit bahu wanita itu dan memberi satu kecupan lembut di
bibirnya. "Ah, Kanda. Sebaiknya istirahat saja di kamar," rajuk Permaisuri Rara Kuminten.
"Kau selalu membuatku bergairah, Dinda,''
puji Prabu Truna Dilaga seraya bangkit berdiri.
"Biarpun sudah tua, Kanda tetap tampan dan penuh gairah," balas Rara Kuminten.
Prabu Truna Dilaga tertawa senang.
Diberikannya hadiah kecupan lembut di bibir wanita itu. Rara Kuminten
membalasnya dengan hangat pula. Mereka berjalan meninggalkan
ruangan itu sambil berangkulan.
--oo0dw0oo - 6 "Eh...!"
Raden Antawirya terperanjat begitu masuk ke kamarnya. Entah dari mana, tahu-tahu
di daiam kamar itu sudah ada Pendekar Pulau Neraka.
Buru-buru Raden Antawirya menutup pintu
kamar ini dan menguncinya. Juga, bergegas
ditutupnya jendela. Sedangkan Bayu duduk
tenang di bangku dekat jendela. Raden
Antawirya menarik sebuah kursi dan duduk di depan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kenapa kau ke sini, Bayu?" tanya Raden Antawirya, setengah berbisik suaranya.
"Ada yang ingin kusampaikan padamu," jelas Bayu.
"Aku tahu, kau pasti akan protes tentang penyerangan para prajurit itu, bukan?"
tebak Raden Antawirya langsung.
"Bagaimana kau tahu?"
"Baru saja aku berdebat dengan Ayah. Aku juga tidak tahu, mengapa justru Ayah
mencurigaimu, Bayu. Maaf, aku tadi tidak
sempat mencegah."
"Sejak semula sudah kuduga, ada yang tidak beres di sini...," gumam Bayu pelan.
"Ketidakberesan itu semakin terlihat jelas, Bayu. Terutama sikap ayahku yang
begitu lain,"
sambung Raden Antawirya.
Bayu mengerutkan keningnya. Sungguh tidak
disangka kalau pemikiran Raden Antawirya
sampai sejauh itu. Sampai-sampai ayahnya
sendiri pun mendapat kecurigaan.
'Terus terang, aku sendiri curiga ada yang
tidak wajar pada diri Ayahanda Prabu, Bayu. Aku tidak melihat lagi seorang ayah
yang kukenal, yang kukagumi, kuhormati, dan menjadi panutan dalam hidupku.
Rasanya aku berhadapan
dengan sosok asing yang tidak pernah kukenal di dalam diri Ayahanda Prabu,"
ungkap Raden Antawirya.
"Kenapa kau punya perasaan begitu, Raden?"
tanya Bayu. "Entahlah, Bayu Sejak aku kembali, keanehan semakin terasa di sekitarku.
Sepertinya aku berada di suatu tempat yang sangat asing dan tidak pernah kukenal
sebelumnya."
Bayu terdiam membisu
"Bahkan Ayahanda Prabu sama sekali tidak menyinggung-nyinggung lagi tentang
penculikan Intan Wandira. Dia seperti melupakan anaknya, Bayu Aku tidak lagi
melihat kesedihan di
matanya, bahkan beberapa kali kudengar
perintah yang rasanya tidak masuk akal,"
sambung Raden Antawirya.
"Kau tahu kenapa sebabnya?" tanya Bayu.
"Itulah yang membuatku tidak mengerti, Bayu," desah Raden Antawirya lirih.
Bayu kembali terdiam, kemudian bangkit
berdiri ketika mendengar suara langkah kaki di luar jendela.
Dari sela-sela jendela kamar ini, diintipnya keadaan luar. Pendekar Pulau Neraka
itu bersungut dalam hati saat melihat dua penjaga berada tidak jauh di depan
jendela. Dua penjaga yang tadi hampir membuatnya kehilangan
kesabaran Mereka duduk-duduk di bawah pohon seperti tadi.
"Ada apa, Bayu?" tanya Raden Antawirya seraya ikut mengintip.
"Tidak apa-apa. Hanya penjaga," sahut Bayu kembali duduk di kursi.
Raden Antawirya ikut duduk kembali di
kursinya semula.
"Raden, tetaplah berada di istana ini. Aku akan ke Hutan Kamiaka," kata Bayu.
"He...! Untuk apa ke sana?" Raden Antawirya tersentak kaget.
"Aku akan menyelidiki, ada apa di hutan itu."
"Kalau begitu, aku ikut."
"Jangan, Raden Jika kau ikut denganku, mereka akan tahu tujuanku. Tetaplah Raden
di sini, sambil menyelidiki terus
perkembangannya."
'Tapi...."
"Ingat, Raden. Orang yang kita buru belum jelas siapa. Dan kita berdua yakin,
kalau orang itu ada di dalam istana ini. Jika Raden keluar dari istana, tentu
ada yang membuntuti. Dan mereka akan mengetahui kalau Raden berjalan bersamaku.
Sangat berbahaya, Raden. Bisa-bisa mereka memanfaatkan ini dan memutarbalikkan
kenyataan. Raden tahu maksudku...?" Bayu mencoba menjelaskan.
"Aku mengerti, Bayu. Hati-hatilah," sahut Raden Antawirya.
"Secepatnya akan kulaporkan keadaan di sana, Raden," kata Bayu berjanji.
Raden Antawirya tersenyum dan menepuk
pundak Pendekar Pulau Neraka itu Sebentar
mereka terdiam, kemudian Bayu bangkit berdiri lagi. Dia mendengus begitu
mengintip ke luar jendela. Dua orang penjaga masih berada di
sana, duduk di bawah pohon.
"Aku akan membawa mereka pergi dari situ, Bayu," kata Raden Antawirya, seperti
mengerti arti dengusan Pendekar Pulau Neraka itu.
Bayu hanya mengangguk saja. Sebentar
kemudian Raden Antawirya keluar dari kamar
ini. Pelahan Bayu membuka jendela sedikit agar bisa leluasa melihat keadaan di
luar. Tak lama terlihat Raden Antawirya memanggil kedua
penjaga yang kemudian bergegas menghampiri.
Pada saat itu Bayu membuka jendela lebar-lebar dan melesat ke luar. Raden
Antawirya sempat melihat Bayu melesat ke luar. Hatinya kagum dengan keindahan
dan kecepatan gerak
Pendekar Pulau Neraka itu. Tak ada yang tahu, dan Pendekar Pulau Neraka itu
sudah lenyap di balik tembok dengan kecepatan luar biasa.
--oo0dw0oo-- Sudah dua hari Raden Antawirya menunggu,
tapi tidak ada kabar berita dari Pendekar Pulau Neraka yang pergi ke Hutan
Kamiaka. Putra Mahkota Kerajaan Kali Jirak itu jadi gelisah, dan jadi tidak kerasan mengurung
diri dalam kamar.
Raden Antawirya keluar kamarnya, dan terus
menuju ke istal.
Pemuda tampan berusia dua puluh tahun
lebih itu mengambil kuda dan menungganginya keluar dari lingkungan istana yang
dipagari benteng tinggi dan kokoh. Kuda putih itu berlari kencang menuju Utara.
Raden Antawirya tidak tahu kalau sejak dari istana, selalu dibuntuti seseorang.
Raden Antawirya menghentikan lari kudanya
setelah melewati batas gerbang kotaraja bagian Utara. Dua orang penjaga gerbang
hanya bisa memandangi tak mengerti karena Raden
Antawirya cepat memacu kudanya dan lenyap di dalam hutan. Pemuda itu melompat
turun dari punggung kudanya, lalu menoleh ke belakang.
Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan
berkelebat menyelinap ke dalam semak.
"Heh..."!" Raden Antawirya terperanjat.
Tanpa berpikir panjang lagi, putra mahkota itu melentingkan tubuhnya ke udara,
dan hinggap di cabang pohon. Lalu dia kembali melenting
indah, dan berputaran di udara. Dengan ringan sekali, pemuda itu berlompatan
dari ujung pohon yang satu ke ujung pohon lainnya. Dan dengan satu gerakan ringan, Raden
Antawirya meluruk turun, tepat di depan seseorang yang bersembunyi di balik
semak.

Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa kau..."!" bentak Raden Antawirya.
"Oh...!" orang itu terperanjat kaget.
Raden Antawirya menarik ke luar pedang dari sarungnya di pinggang, langsung
ditempelkan ke leher laki-laki muda berpakaian lusuh bagai seorang perambah
hutan. Pemuda itu menatap
tajam dan menyuruh orang itu keluar dari
semak. Dengan sikap takut-takut, laki-laki muda berpakaian lusuh itu beranjak
keluar dari semak. "Siapa kau?" tanya Raden Antawirya.
"Hamba.... Hamba hanya pencari kayu bakar, Raden...," sahut orang itu.
"Hm...," Raden Antawirya tidak percaya pada jawaban laki-laki muda berpakaian
kumal ini. Diamati seluruh tubuh dan wajahnya.
Keningnya berkerut dan matanya sedikit
menyipit Dengan ujung pedang, diangkatnya
wajah laki-laki itu. Kemudian mengambil
tangannya. Sambil mendengus, Raden Antawirya melemparkan tangan orang itu Dia
semakin ketat menempelkan mata pedangnya ke leher
yang telah penuh peluh.
"Mana kapakmu, Kisanak?" tanya Raden Antawirya bernada curiga. - '
"Anu, Raden..., ta.... Tadi terjatuh," sahut orang itu tergagap.
"Hm.... Kau terlalu bodoh mencari alasan, Kisanak," dengus Raden Antawirya
dingin. Orang itu hanya menundukkan kepalanya
saja. Keringat semakin deras membanjiri
tubuhnya. Raden Antawirya tahu, kalau orang ini bukan pencari kayu bakar. Kapak
seorang pencari kayu bakar tidak akan pernah tertinggal.
Lagi pula kulit tubuh dan buku-buku jari tangan orang ini tidak menyiratkan
kalau sering melakukan pekerjaan berat
"Siapa kau sebenarnya, dan apa pekerjaanmu di sini?" tanya Raden Antawirya
dingin. "Hamba.... Hamba.... Akh...!"
Raden Antawirya terkejut ketika tiba-tiba
sebatang anak panah menancap dalam di leher laki-laki itu. Cepat Raden Antawirya
melompat ketika melihat sebuah bayangan berkelebat
cepat. Tapi bayangan itu lenyap lebih cepat lagi.
"Huh!" Raden Antawirya mendengus kesal.
Bergegas dihampiri laki-laki itu, lalu
diperiksanya. Tapi, laki-laki berbaju kumal itu sudah tidak bernyawa lagi.
Sebatang anak panah tertanam dalam memanggang lehernya.
Pelahan Raden Antawirya bangkit berdiri.
Diedarkan pandangannya berkeliling. Tak ada seorang pun yang terlihat lagi.
"Hih!"
Raden Antawirya mencabut anak panah yang
tertancap di leher orang itu. Diamatinya anak panah yang berlumuran darah.
Dengan selembar daun jati, dibersihkan darah yang
melekat pada batang anak panah.
"Hm..., hanya panah pemburu rusa...," gumam Raden Antawirya.
Raden Antawirya memeriksa tubuh yang
sudah tidak bernyawa lagi. Pemuda itu terkejut ketika melihat sabuk yang
tersembunyi dibalik sabuk kulit di pinggang. Bergegas pemuda itu melepaskan
sabuk berlapis emas dari pinggang orang itu. Kedua matanya terbeliak kala
mengenali sabuk itu.
"Sabuk tamtama...," desis Raden Antawirya.
Raden Antawirya memang mengenali sabuk
itu. Semua Prajurit Kerajaan Kali Jirak yang
berpangkat tamtama pasti mengenakan sabuk
ini. Dan yang lebih mengejutkan lagi, pada
kepala sabuk tergambar goresan bulan sabit
dan sebilah pedang. Itu adalah lambang
pasukan rahasia kerajaan.
Raden Antawirya menggenggam erat-erat
sabuk berlapis emas itu. Wajahnya memerah
menegang, dan gerahamnya bergemeletuk
menahan geram. Dia kini tahu, segala gerakgeriknya selalu diawasi. Raden Antawirya
menyimpan sabuk itu di balik lipatan bajunya, kemudian berlari-lari kecil menuju
kuda yang ditinggalkannya.
Dengan satu lompatan yang ringan, Raden
Antawirya langsung naik ke punggung kudanya.
Dan seketika itu juga digebah kudanya kuat-kuat Kuda putih itu meringkik keras
sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, kemudian melesat kencang
meninggalkan hutan itu.
--oo0dw0oo-- Prak! Raden Antawirya melemparkan sabuk
berlapis emas ke atas meja, tepat di depan
ayahnya. Baik Prabu Truna Dilaga maupun
Permaisuri Rara Kuminten terkejut Mereka
memandangi sabuk berlapis emas itu, kemudian menatap Raden Antawirya yang tengah
diliputi kemarahan.
"Untuk apa Ayahanda memata-mataiku"!"
dengus Raden Antawirya ketus.
"Ada apa ini...?" Prabu Truna Dilaga seperti tidak mengerti.
Sedangkan Permaisuri Rara Kuminten hanya
memandangi laki-laki tua itu sambil
menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Begitu tipis, sehingga tak ada yang
memperhatikan. "Sabuk ini kuambil dari seorang telik sandi yang memata-mataiku. Dia tewas oleh
seseorang yang menggunakan panah. Dan aku
tahu, kalau panah itu untuk berburu milik Ayah!"
agak keras suara Raden Antawirya.
Selain sabuk berlapis emas, di atas meja juga tergeletak sebatang anak panah
yang masih sedikit berlumuran darah. Pada tangkai anak panah itu terukir lambang Kerajaan
Kali Jirak. Tak ada yang memiliki anak panah berburu
seperti itu selain Prabu Truna Dilaga.
"Ayah tidak perlu melakukan itu padaku. Aku bukan pemberontak, dan bukan pula
Para Ksatria Penjaga Majapahit 21 Pendekar Bayangan Sukma 2 Dendam Orang Orang Gagah Peri Bunga Iblis 2

Cari Blog Ini