Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono Bagian 2
dia di dalam perkawinannya, sementara dia pernah mengatakan padaku bahwa tak
akan mungkin ia mencintai perempuan lain selain diriku.
Dengan perasaan sedih, dengan rasa rindu kepada Victor yang tiba-tiba muncul
kembali, dan dengan pikiran dan ingatan yang meloncat-loncat, akhirnya aku
tertidur juga meskipun bukan dalam tidur yang nyenyak.
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan langsung mandi. Keluar dari kamar mandi,
www.ac-zzz.tk aku melihat Mas Totok sudah pulang. Menilik wajah dan pakaiannya, dia sudah
mandi di rumah Astari. Seperti pengulangan peristiwa yang pemah terjadi, pagi itu aku juga hanya
mengenakan kimono tanpa pakaian dalam, dengan pemikiran aku berada seorang diri
di kamar ini,' Sedikit pun aku tak menyangka Mas Totok akan pulang sepagi mi.
"Kok sudah pulang?" aku bertanya sebagai basa-basi.
Perhatianku lebih terarah pada pakaian yang sedang kukenakan. Kimono mandi yang
kupakai pagi ini lebih pendek daripada kimonoku yang lain. Juga tangannya cuma
sampai di siku. Aku tahu, diriku tampak seksi pagi itu. Apalagi kimono itu
berwarna kuning kepodang. Wama. yang menurut Mas Totok paling cocok untukku. Dia
pemah mengatakan padaku bahwa aku tampak cantik dan kulitku yang kuning lebih
cemer-lang kalau memakai pakaian berwarna kuning.
"Kalau siang, Astari tidak terlalu takut." Mas Totok menjawab pertanyaanku.
"Lagi pula, aku akan mengantarkanmu sampai ke Stasiun Gambir."
"Jangan karena diriku, kau meninggalkan Mbak Astari yang lebih membutuhkan
kehadiranmu too." Aku berbasa-basi lagi. Dim, betapa munafiknya aku.
'Tidak. Tetapi seandainya pun dia lebih mem-butuhkanku, aku akan memilih pulang
kemari pagi ini. Aku harus mengantarkanmu ke Gambir!"
"Karena merasa berkewajiban?" Aku mencoba tersenyum. Tanganku sibuk menalikan
kimonoku lebih erat. Lalu aku duduk di muka meja riasku. Tetapi sial, belahan di
depan pahaku tak terlalu lebar untuk menutupinya.
"Karena aku ingin mengantarkanmu. Suatu keinginan yang muncul dari hatiku yang
terdalam," Mas Totok menjawab tegas. "Bukan sekadar karena merasa berkewajiban
mengantar seorang istri yang mau bepergian!"
Aku terdiam. Kulabuhkan perhatianku ke cer-min. Kuambil botol berisi tabir surya
dan ku-oleskan sedikit ke wajahku. Harumnya yang lembut menyentuh hidungku.
Tetapi pikiranku tidak juga bisa tersita pada apa yang kulakukan itu. Pahaku
yang tampak dari kimonoku benar-benar mengganggu perasaanku. Mau kututupi, takut
malah merebut perhatian Mas Totok. Mem-biarkannya, kemulusan dan kekenyalannya
www.ac-zzz.tk pasti juga akan terlihat oleh mata lelaki itu. Saat ini, dia berdiri tak jauh
dari tempatku duduk. "Siska...." Kudengar namaku dipanggil oteh-nya.
"Hm...?" Sekarang aku sedang membubuhkan bedak di wajahku dan meratakannya.
"Aku pulang pagi-pagi begini juga dengan satu tujuan lain. Tetapi, yang
barangkali tidak kausetujui...."
"Tujuan apa sih?"
"Siska, aku tidak tahu kapan kau akan pulang ke Jakarta. Mengingat kau bam saja
pindah ke sana dan pasti membutuhkan penyesuaian dalam banyak hal, aku yakin kau
bam bisa pulang ke sini setelah beberapa minggu lamanya."
"Yah, mungkin saja. Bahkan tak mustahil aku bam bisa menjenguk kemari sesudah
satu bulan lebih di sana. Apalagi sementara ini sebelum
mendapat tempat yang pasti, aku masih akan tinggaJ di rumah keluarga Pak
Satriya, direktur di saoa."
"Semestinya aku yang mengantarkanmu di Bandung. Di sana, kita bisa bersama-sama
men-can rumah kontrakan untukmu...."
"Sudahlah. Aku bukan anak kecil. Aku bisa mengurus diriku sendiri," kupotong
perkataan Mas Totok dengan cepat. "Kurasa tidak sulit mencari tempat di Bandung.
Kota itu menjadi kota mahasiswa kedua setelah kota Yogya. Jadi pasti akan ada
saja rumah-rumah yang disewa-kan."
"Baiklah. Kembali ke soai semula, terus-terang aku merasa tak enak akan sendiri
an di rumah ini setelah kepergianmu nanti," kata Mas Totok lagi "Sedangkan kapan
kau akan menengok rumah ini, kita belum tahu. Itulah kenapa pagi ini aku cepatcepat
kembali kemari untuk me-nemuimu sebelum kau kuantar ke stasiun."
"Apa sih maksud bicaramu, Mas?" tanyaku. Sekarang tanganku mulai menyapukan
sentuhan samar di kelopak mataku. Alis mataku yang asli sudah cukup bagus untuk
tidak kutambahi apa pun. "Apakah itu ada kaitannya dengan tujuan yang mau kau
katakan tadi?" "Ya."
"Yang kau bilang, aku mungkin tidak akan menyetujuinya?" "Ya."
"Kalau begitu katakanlah. Bagaimana bisa aku berkata setuju atau tidak kalau kau
belum me-ngatakan apa tujuanmu pulang sepagi ini!"
www.ac-zzz.tk Mas Totok menarik napas panjang lebih dulu sebelum menjawab pertanyaanku.
"Siska, aku... aku sengaja datang pagi-pagi begini karena ingin mendapatkan...
kemesraan darimu...." Ia berkata dengan suara agak meng-getar. Dari cermin di
depanku, aku melihat lelaki itu tampak agak tersipu. "Seperti katakd tadi, entah
kapan kau pulang ke Jakarta kita belum tahu. Terlalu lama aku nanti tidak
mendapatkan kemesraan darimu. Tetapi tentu saja kalau itu kau... kau
setujui...." Dadaku berdesir mendengar perkataannya. Ini-kah perkataan seorang suami kepada
istri yang sudah lima tahun lebih hidup bersama-sama" Hatiku menjadi sedih lagi.
Sudah sedemikian asingnyakah kami berdua" Bukankah sebelum Astari menyela di
antara kami, Mas Totok tak pemah menanyakan hal semacam itu padaku. Semisal aku
keluar dari kamar mandi dan ia ingin menyalurkan hasratnya padaku, tanpa berkata
apa pun ia akan memelukku dari belakang. Dan lalu keintiman itu terjadi begitu
saja. Mendengar perkataannya, aku membalikkan tubuhku. Dengan tangan yang satu menutup
pahaku dan tangan yang lain menjepit tepi kimono di bagian dadaku yang terbuka,
aku me-natap mata Mas Totok.
"Aku isrrimu. Tentu saja aku akan menyetujui permintaamnu..."
"Aku tidak ingin kau terpaksa melakukannya, Siska. Selama kehadiran Astari, baru
dua kali hal itu terjadi...."
"Aku tidak merasa terpaksa.,.." Aku memutus-kan perkaraah Mas Totok yang belum
selesai. 'Tetapi?" 'Tetapi sebelumnya, bolehkah aku menanyakan sesuatu kepadamu, Mas?" tanyaku
kemudian. 'Tanyakanlah, Siska." Suara lelaki itu ter-dengar lembut sekali.
"Semalam... apakah kau tidak tidur di kamar Astari....?" 'Tidak." Mas Totok
menjawab tegas. "Tidakkah dia... menawarimu...?" Mas Totok menarik napas
panjang. "Aku tidak ingin membicarakannya sekarang, Siska. Tetapi percayalah
padaku, tidak terjadi sesuatu pada kami...."
"Maka kau menearinya padaku?" aku me-motong perkataannya. I
"Siska, jangan merusak pagi yang indah ini," I Mas Totok menjawab pertanyaanku
www.ac-zzz.tk dengan sikap yang sangat semis. 'Tergesa aku cepal-cepat I pulang dengan satu
keinginan, yaitu mendapatkan I kemesraan aarimu, Kenapa" Sebab bagiku hu- I
bungan terintim haruslab kulakukan dengan istri- I ku. Tidak dengan perempuan
lain. Siapa pun dia. Termasuk Astari sekali pun. Sebab pula, di i
Psitulah kehormatanku dan kehormatan perkawinan lata terletak." Mendengar
perkataan yang diucapkan dengan
Isedemikian sungguh-sungguh itu, hatiku ter-sentuh. Selain cinta yang tidak ada
pada kami, dia adalah lelaki yang paling kuhargai dan paling baik. Karenanya
kedua belah tanganku begitu saja terulur ke arahnya dan kubiarkan paha dan
dadaku menyembul, mengintip dari sela kimonoku.
"Mas Tok...," aku befbisik mengucapkan namanya.
Mas Totok tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia menangkap kedua belah tanganku
sehingga tubuhku terangkat berdiri di hadapannya. Kimono yang pendek dan pas
ukurannya itu ter-singkap karena kedua tanganku tak lagi menjepit tepi bagian
depannya. Maka seluruh bagian depan tubuhku, terbuka seluruhnya. Mas Totok pun
langsung meraihku ke dalam pelukannya dengan mesra. Kemudian dengan lembut dan
hati-hati didorongnya aku ke tempat tidur. Dan dihujani-nya aku dengan ciuman ciuman dan
belaian tangan yang lembut dan mesra itu. Untuk pertama kalinya,
keintiman itu berlangsung dengan tenang, namun bagiku terasa sangat menyedihkan.
Bagaimana tidak demikian":^!^
Saat itu kusadari sungguh betapa Mas Totok mampu memisahkan antara cinta dan
kehormatan. Dia mencintai Astari tetapi dia tak ingin bermesraan dengannya demi
kehomiatanku, demi kehormatan dirinya sendiri dan demi kehormatan perkawinan kami.
Maka dia hanya mau ber-mesraan denganku yang sebetulnya tidak ia K - cintai. Kesadaran
seperti itulah yang menyedihkan hatiku. Keadaan begini tak boleh terus berlanjut, pikirku.
Mas Totok berhak meraih kebahagiaan-nya bersama Astari daJam wadah yang bisa
dihormatinya. Yaitu perkawinan. Namun, selama diriku masih hadir di sisf Mas Totok, maka
hal" itu tak akan pernah terwujud. Karenany'a aku harus berani menentukan sikap demi
kebaikan semua pihak. Pelan-pelan namun pasti, aku akan menymgkir dari kehidupan Mas
Totokj. Barang-kali, memang kepindahanku ke Bandung seka-rang ini merupakan saat yang
tepat. Itu artinya, keinttman berikutnya di antara kami berdua hams dihentikan. Dengan
www.ac-zzz.tk kata Iain, sekarang inilah terakhir kalinya aku merasakan kecupan dan belaian tangannya.
Dan terakhir puJa aku merasakan keintiman yang mesra ber-samanya. Berpikir seperti itu,
air mataku menitik tanpa kusadari. Meskipun tidak ada cinta di hati kami, namun ada banyak
kemanisan, persahabatan, dan keakraban hangat yang terjah'n di antara kami berdua selama
lebih dm. lima tahun ini. Suka dan duka berumah tangga telah kami alami . IKetika
kemesraan itu telah tuntas terurai, Mas Totok sempat melihat air mataku kendati aku lekaslekas mengusapnya.
Dia terkejut. "Kenapa menangis, Siska?"
Ia bertanya dengan nada mendesak.
Aku mencoba terseyum untuk menenangkan-nya. Aku memang tak pemah menangis di hadapannya. Tak heran kalau melihat air mataku menitik itu, Mas Totok terkejut. "Tidak apaapa. Sekali-sekali menangis, tak apa kan?" sahutku kemudian.
"Jangan menyembunyikan sesuatu dariku, Siska. Ada apa?"
Aku tersenyum lagi. "Kapan-kapan aku akan menceritakannya. Te-tapi sekarang, aku harus bersiap-siap untuk
pergi," sahutku mengelak.
Mas Totok tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi dibantunya aku memasukkan alat-alat
kecantikan-ku untuk kemudian menutup kopor yang belum kukunci itu. Setelah sarapan
berdua, kami pun berangkat ke stasiun.
Setelah membayar petugas pembawa barang, Mas Totok duduk di sebelah tempat dudukku
yang masih kosong. "Hati-hati di sana, ya, Sis. Kalau ada apa-apa, teleponlah aku," pesannya.
"Ya." "Dan maafkanlah aku karena tidak bisa mengantarmu sampai ke Bandung," katanya lagi.
"Malam nanti aku masih harus menemani Astari."
"Aku mengerti," sahutku sambil tersenyum.
"Kau tak usah merasa bersalah karenanya. Justru akulah yang harus minta maaf kepadamu
dan juga kepada Mbak Astari karena telah menjadi j penghalang...."
"Aku tak mau mendengar kata-kata seperti itu, Siska!" Mas Totok memotong perkataanku.
"Kau bukan penghalang/"
Aku hanya tersenyum saja mendengar perkataannya.
www.ac-zzz.tk Pengumuman dari pengeras suara me-minta supaya para pengantar segera turun karena
kereta api Argo Gede akan segera diberangkat-kan. Mas Totok pun berdiri. Tepat pada saat
itu, penumpang yang mendapat tempat di sebeiahku, datang.
"Selamat jalan, Sis.'" Mas Totok mencium I keningku dan meremas sesaat telapak tanganku,
kemudian pergi. | Tak lama kemudian, kereta api bergerak perlahan meninggalkan Stasiun Gambir. Kulihat Mas
Totok berdiri di peron dan melambaikan tangan-nya kepadaku. Mataku terasa panas dan
kabur sewaktu membalas lambaian tangannya yang se-makin lama semakin jauh itu.
Di Bandung,, aku tinggai di rumah Pak Satriya, direkturku. Tetapi di sana, aku tidak tinggai
terlalu lama. Hanya sepuluh hari saja. Setelah itu aku mendapat tempat' di sebuah rumah
kontrakan, tak jauh dari I tempatku mengajar.
Pak Satriya-lah yang menga- | tur segala sesuatunya. Di rumah kontrakan berkamar tiga itu,
aku tinggai bersama dengan Mbak Tina dan Dewi, rekan-rekanku sesama pengajar di tempat
yang sama. Masing-masing kami, mendapat sebuah kamar tidur berukuran tiga kali tiga setengah meter.
Rumah itu disewakan berikut perabotan-nya. Tetapi televisi dan telepon yang dipasang
belakangan diberikan oleh kantor karena ke-dudukanku sebagai wakil direktur.
Kedua teman serumahku yang - sudah lebih lama tinggai di Bandung itu cukup banyak membantuku melakukan penyesuaian dengan ling-kunganku yang baru. Baik di tempat kami
mengajar maupun di sekitar lingkungan rumah kontrakan kami. Aku berutang budi kepada
mereka berdua. Dan dalam waktu relatif singkat, kami bertiga sudah menjadi akrab satu
sama lain. Mbak Tina berumur mendekati empat puluh tahun. Suaminya sudah meninggal
dunia dua tahun yang lalu dengan meninggalkan dua orang anak menjelang remaja. Kini
keduanya ia titipkan pada orangtuanya di Solo. Naluri keibuannya ia tumpahkan kepadaku
maupun kepada Dewi. Sikapnya persis sikap seorang kakak terhadap adik-adiknya. Senang
rasanya mempunyai teman serumah seperti dia.
Dewi berumur satu tahun lebih muda daripada umurku. Belum menikah. Tetapi sudah
mempunyai pacar. Dia seorang gadis yang ramah dan suka bercanda. Di depan peserta
kursus, dia bisa melucu dalam bahasa Inggris. Dengan cara-nya itu, sengaja ataupun tidak* ia
telah memikat orang untuk mencari tahu makna bahasanya agar mampu menangkap
kelucuan yang diceritakannya itu.
www.ac-zzz.tk Sesungguhnyalah, Dewi memang gadis yang menyenangkan. Sifat periangnya itu sangat
meng-hiburku. Singkat kata, begitulah yang terjadi padaku setelah menjadi warga kota Bandung. Seluruh
kegiatanku yang baru dan seluruh konsentrasiku untuk menata diri di tempat yang baru itu
telah menyita waktuku. Akibatnya, selama hampir satu bulan lamanya akhir mingguku tak
sekali pun kupakai untuk pulang ke Jakarta. Bahkan me-nelepon Mas Totok pun tidak. Lelaki
itulah yang sering meneleponku ke kantor untuk me-nanyakan keadaanku.
Pada hari Kamis, Mas Totok meneleponku lagi.
"Besok sore pulanglah ke Jakarta, Siska!" Begitu dia berkata.
"Nantikembalinya ke Bandung aku yang mengantarkanmu dengan mo-bil. Tidak inginkah kau
menengok rumah?" "Ingin sekali, Mas. Tetapi aku belum sempat pulang. Terlalu banyak yang harus kuselesaikan
di sini," dalihku. "Dan tidak rindu kepadaku?"
Aku tertegun. Basa-basikah ini" Sungguh-sungguhkah itu"
Atau apa" "Siska, tidak rindukah kau padaku?" Mas lagi pertanyaannya.
"Ya, tentu saja." Akhirnya kujawab pertanyaan itu.
Tetapi apakah benar aku merindukannya"
Menjawab pertanyaan seperti itu tidak mudah. Bahwa aku merasa kehilangan, ya.
Di Bandung, tidak ada orang yang mendampingiku ke mana pun aku pergi.
Ke mana-mana, aku hanya sen-dirian saja. Di Bandung, aku tidak punya sese-orang yang bisa
kuajak berbicara tentang sesuatu yang penting sambil tidur-tiduran di kamar. Di Bandung,
aku sering kesepian. Tetapi apakah itu berkaitan dengan rasa rinduku kepada Mas Totok, aku
tak tahu. "Kalau begitu kenapa tidak pulang?"
Pertanyaan itu menggodaku. Aku memang ka-ngen berada di rumahku yang menyenangkan.
Aku kangen kepada kedua orangtuaku dan juga kepada saudara-saudaraku. Tetapi apakah
www.ac-zzz.tk ke-rinduan itu akan terpuaskan seandainya aku pulang ke Jakarta, aku tak yakin. Terutama
kalau itu menyangkut kehidupan di rumah-tanggaku.
Sudah sekian bulan lamanya, malam Minggu sampai Minggu malamnya, Mas Totok tak pemah
ada di rumah. Astari telah mem"booking" dia. Dan itu artinya, aku berakhir pekan ke Jakarta
hanya untuk sesuatu yang sama situasinya dengan Bandung. Sendirian saja. Lagi pula,
bukankah aku sudah mengatakan pada diriku sendiri untuk tidak menjadi penghalang bagi
Mas Totok dan Astari" Ingatan itu menepis godaan yang tadi sempat melmtasi hatiku.
Pertanyaan Mas Totok ya belum kujawab, langsung kutanggapi.
"Aku repot, Mas. Kapan-kapan sajalah!"
"Bagaimana kalau 'Tidak usah. Tetapi mudah-mudahan dalam waktu dekat ini aku bisa
pulang." Aku menjawab begitu hanya untuk melegakannya saja. Sedikit pun rencana seperti itu, tak
ada padaku. 'Telepon saja aku kalau kau mau pulang. Nanti kujemput," sahut Mas Totok dengan suara-nya
yang khas. Lembut dan hangat.
"Seandainya aku tak bisa menjeraputmu ke Bandung, akan kuusahakan menjemputmu di
setasiun." "Oke.J'
Aku mencoba untuk bersikap manis, mengimbangi kemanisannya. Tetapi mulutku entah
kenapa, tidak mau bekerja sama dengan pikiranku itu. Sebab tiba-tiba saja aku sudah
melontarkan perkataan yang sebenarnya hanya ada di bagian hatiku yang paling bawah.
"Asal-kan aku tidak menjadi batu sandungan bagi acara-acaramu bersama mbak Astari."
"Kau-istriku, Siska. Dia harus tahu dan me-nyadari bahwa kehadiranmu di Jakarta untuk
berakhir pekan harus menjadi prioritas utama bagiku. Hari-hari lain kan masih ada!"
Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara Mas^ berubah serius.
Huh, kewajiban lagi, sapa tohu" Tetapi kapan-kapan itu sangat panjang.
Setelah setengah bulan berada di Bandung, barulah pulang ke Jakarta untuk berakhir pekan.
Itu pun karena aku ingin mengambil beberapa milik-yang waktu itu tak kuanggap penting
tetapi ternyata dibutuhkan. Antara lain, buku-buku, sweter, sepatu sandal, dan beberapa
perhiasan imitasi untuk kelengkapan busana saat mengajar. 7 Baru beberapa jam lalu aku
tiba di rumah kembali setelah lebih dari satu setengah bulan lamanya menempati posku di
www.ac-zzz.tk Bandung. Namun dalam waktu sebentar saja aku sudah menemukan beberapa hal yang
berubah. Pertama, rak pa-jangan di ruang tamu tidak lengkap, dan kuda-kudaan porselin berwarna
putih susu sudah tidak ada di tempatnya. Kedua, vas kristal yang ter-letak di meja sudut
ruang tengah juga lenyap. Agar jangan menimbulkan masalah yang ku-rang enak, aku
mencarinya lebih dulu sebelum menanyakannya. Sebab siapa tahu barang-barang yang
termasuk barang kesayanganku itu disimpan Mas Totok atau Bik Dedeh. Atau siapa tahu pula
dipindah tempatnya. Tetapi sejauh itu, kedua pajangan itu tetap tidak kulihat di mana pun
di seluruh penjuru rumah. Peristiwa seperti itu terasa agak janggal bagiku. Sebab meskipun
dengan takut-takut, Bik Dedeh pasti melapor kalau ia memecahkan barang yang ada di
rumah ini. Barang apa pun juga. Dia tahu betul aku akan lebih marab. kalau ia menyembunyikan kesalahannya.
Maka dengan pi-kiran itulah aku ke belakang untuk menanyakan kedua benda yang hilang itu
kepada Bik Dedeh. "Bik, apakah kau melihat kuda-kudaan porselin yang ada di rak pajangan dan vas kristal yang
kuletakkan di meja sudut ruang tengah?" tanyaku.
"Kuda-kudaan oleh-oleh Bapak waktu dari Hongkong itu kan, Bu?"
"Ya." Kuanggukkan kepalaku.
"Kau melihat-nya?"
"Saya tidak melihatnya, Bu. Makanya selama berhari-hari kalau sedang membersihkan
ruangan, saya mencarinya sampai ke mana-mana lho, Bu. Karena tidak ketemu juga,
akhimya saya berpikir mungkin barang itu dibawa Ibu ke Bandung," sahut perempuan itu.
"Masa iya kubawa ke Bandung sih, Bik. Untuk apa?"
"Lha kalau begitu, ke mana barang itu ya, Bu" Apa disimpan Bapak barangkali."
"Mungkin. Nanti akan kutanyakan." "Kalau vas kristal yang di ruang tengah itu saya tahu
kenapa tidak ada, Bu. Vas itu pecah. Disenggol Mas Rudi."
"Mas Rudi siapa?"
"Mas Rudi, keponakan Bapak itu lho. Putranya Bu Astafii." Bik Dedeh menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lalu melanjutkan bicaranya dengan setengah berbisik.
www.ac-zzz.tk "Anak-anak Bu Astari itu nakal-nakal. Tetapi lbunya mem. biarkannya saja. Kelihatannya dia
terlalu me-manjakan anak"
Berita dari Bik Dedeh itu membuat perasaanku semakin tak enak. Astari datang ke rumah ini
rupanya, ia juga masuk sampai ke ruang tengah. Kuoerani sungguh kenapa dia datang
berkunjung justru di saat aku sedang berada di luar kota. Kebetulankah itu"
Disengajakah itu" Yang lebih lucu lagi, alangkah enaknya Mas Totok mengakui perempuan itu sebagai saudara
sepupunya. Biar bisa bebas keluar-masuk di rumah ini, barangkali.
Atau biar Bik Dedeh menerima kehadirannya dengan pintu terbuka" Terus-terang aku merasa
marah di dalam hati-ku. Aku merasa kepalaku semakin diinjak-injak. Namun demikian, di hadapan Bik Dedeh aku
bersikap biasa-biasa saja. Aku tidak ingin dia tahu ada yang tak beres di antara diriku dengan
Mas. Totok. "Ya sudah kalau begitu," kataku kepadanya.
'Yang pen ting, setidaknya aku tahu sekarang apa yang terjadi dengan vas kristalku.
Mengenai kuda-kudaan, akan kutanyakan kepada Bapak nanti kalau dia sudah pulang."
Kupikir, hanya masalah itu sajalah yang meng-gangguku begitu aku tiba kembaii ke rumah.
Tetapi ternyata masih ada satu lagi.
Di kamar mandi dalam, aku menemukan saputangan perempuan yang bukan milikku terletak
di atas iak gantung. Itu artinya, Astari juga telah me-masuki daerah pribadiku
Sulit sekali aku menenangkan perasaanku saat itu. Bahwa Astari berani "berkeliaran" di
rumahku dengan bebas, tak mungkin terjadi kalau Mas Totok tidak memberinya kesempatan.
Aku benar-benar merasa sebal.
Ketika Mas Totok tiba di rumah setengah jam kemudian, sikapku kepadanya sama sekali
tidak ramah. Tetapi dia tidak memperlihatkan reaksi atas sikapku itu. Kuakui, kesabaran
lelaki itu memang patut diberi acungan jempol.
"Akhirnya kau pulang juga, Siska. Jam berapa tadi sampai di rumah?" tanyanya dengan suara
terkendali seperti biasanya.
"Kira-kira dua jam yang lalu."
"Naik apa dari sana?"
"Kereta api Argo Gede."
www.ac-zzz.tk "Dari stasiun, naik apa?"
"Taksi." "Sendirian atau dengan teman?"
Wah, seperti wartawan saja, terus bertariya dan bertanya.
"Sendiri." "Kenapa kau tidak memberitahu kalau mau pulang hari ini?"
Mas Totok masih juga meng-obral pertanyaan.
"Aku tidak berencana mau pulang."
'Tetapi toh bisa meneleponku ketika kau sudah dalam perjalanan. Setidaknya, aku bisa menjemputmu di Gambir."
"Aku bisa pulang sendiri."
"Kulihat, kau tampak tambah segar dan sedikit
berisL Rupanya udara Bandung cocok
denganmu." Untuk ke sekian kalinya Mas Totok berkata lagi
"Kudengar, makanannya enak-enak. Betul, ya?"
"Ya." Huh, basa-basi. Dia toh sudah sering pergi ke Bandung.
Mas Totok melirikku, tetapi aku pura-pura tak tahu.
Jawabanku yang pendek-pendek ter-hadap pertanyaannya dan sikapku yang dingin itu pasti
sudah disadarinya sejak tadi. Tetapi seperti yang kulihat tadi, lelaki itu menanggapi-nya
dengan sabar. Memang, sikapku ifu tidak pada tempatnya. Satu setengah bulan lamanya aku tidak berada
di sampingnya. Namun sikapku kepadanya bukan saja tidak memiliki kehangatan
sebagaimana mestinya tetapi bahkan dingin dan jauh dari simpatik. Kesadaran akan
ketidaklayakan itu agak me-ngendalikan emosiku. Ketika kanti berdua seiesai makan malam
dan Mas Totok menanyakan pe-kerjaanku di Bandung, aku mulai bersikap lebih lunak.
Percakapan pun menjadi lebih lancar dari-pada sebelumnya.
"Senang di sana?" tanyanya lagi,
"Ya. Kotanya relatif lebih tenang dan orang-orangnya lebih bersahabat.
" Kapan2, aku yang akan mengunjungimu ke sana"
"Terserah." www.ac-zzz.tk Usai berkata seperti itu aku mulai mencoba untuk memasuki masalah yang sejak tadi
mengganjal perasaanku. Kalau tidak, masalah itu akan terus-menerus menggangguku dan itu
pasti akan menghambat hubungan kami berdua. Sebab terus-terang saja aku mempunyai persangkaan, benda itu tersenggol Astari dan pecah karenanya.
"Mas, ada yang ingin kutanyakan kepadamu."
"Apa itu?" "Apakah kau melihat kuda-kudaan porselin oleh-olehmu dari Hongkong waktu itu?" tanyaku,
langsung pada masalahnya.
"Oh, itu...." Entah salah lihat entah tidak, rasanya aku melihat air muka Mas Totok agak berabah demi
mendengar pertanyaanku itu.
"Kau menyimpannya, Mas?" Aku bertanya lagi.
"Tidak. Astari menginginkan barang itu. Aku terpaksa memberikannya...."
Mas Totok men-jawab dengan agak tersipu.
"Seharusnya aku menanyakan persetujuanmu lebih dulu. Tetapi yah, aku mempunyai
pendapat lain. Selama satu minggu ini aku selalu berusaha mencarinya di toko-toko pajangan
keramik untuk menggantinya. Namun ternyata sampai saat ini aku belum me* nemukannya."
Mendengar pernyataannya itu, hatiku menjadi panas. Nyaris saja aku melampiaskan
kemarahan-. ingatanku kepada butir-butir perjanjian di malam pengantm kami waktu itu
seperti menampar pipiku. Lagi puJa, apa hakku untuk merasa keberatan terbadap bentuk
atau cara Mas Totok menunjukkan^cintanya kepada Astari" ApaJagi, kuda-kudaan itu bukan
aku yang membeJinya. "Kalau itu masalahnya, Iupakanlab."
Akhimya aku mampu juga menanggapi kenyataan dengan Jebih rasional.
"Kau tak usah mencari gantinya Mas. Kau berhak untuk melakukan apa saja terbadap barangbarang rnilikmu. Tadi hal itu kutanyakan karena aku tak meiihatnya. Kusangka, dipecahkan
Bik Dedeh." "Tidak. Kalau pun ada yang pecah, itu adaiah vas kristalmu. Dipecahkan oleh anak Astari."
Aku diam saja. Tak kukatakan kalau aku sudah mengetahuinya dari Bik Dedeh. Tetapi
melihatku terdiam, mata Mas Totok mengawasiku.
www.ac-zzz.tk "Aku sudah membeli yang baru untukmu beberapa waktu yang lalu. Ada di daiam mobil.
SeJalu saja aku lupa membawanya turun. Nanti akan kuambii," katanya kemudian.
"Kau tak periu berbuat seperti itu. Sebab bagiku yang penting adaiah kejeJasan."
Aku mulai mengambil jarak terbadap Mas Totok karena amarah mulai lagi mewarnai
perasaanku. Me-mangnya kalau vas itu sudah diganti, hattku senang"
"Lagi puia, Mas, untuk apa sih memper-soalkan haJ-hal kecil seperti itu" Sudah pecah, ya
sudah. Kalau ada uang, beli lagi. Tidak ada uang, ya tidak beli. Begitu saja."
"Aku tahu. Dan aku minta maaf karenanya,"
Mas Totok merasa tak enak melihat sikapku yang mulai menjaga jarak itu.
"Seharusnya aku meneleponmu untuk mengatakan hal itu."
"Interlokal hanya untuk mengatakan hal-hal sepele seperti itu?" Aku memotong perkataaimya
dengan suara agak meninggi.
"Ah, jangan mem-besarkan masalah sepele seperti itu, Mas."
Mas Totok terdiam. Tetapi aku yakin, lelaki itu memahami bahwa sesungguhnya masalah itu
tidak sepele bagiku. Dia cukup mengenalku. Bahwa, ada hal lain yang sesungguhnya merupakan inti masalah dan yang mengganggu perasaanku. Yaitu, keberadaan Astari.
Perempuan itu sudah terlalu jauh memasuki kehidupan rumah-tanggaku. Dan Mas Totok
tidak berusaha men-cegahnya. Padahal perempuan itu bukan saja telah berkeliaran
seenaknya di rumahku tetapi juga telah menjamah barang-barang milikku tanpa permisi.
Malam harinya ketika aku sedang membersih-kan muka, lelaki itu datang mendekatiku.
"Aku minta maaf atas..."
Secepat kilat, suara-nya kuhentikan dengan memotong perkataannya yang belum selesai itu.
"Sudahlah, aku tak mau memperparijang soal sepele seperti itu!"
Suaraku terdengar tajam. 'Tetapi,mi bukan masalah sepele, Siska. Kita berdua tahu itu."
"Tahu apa?" "Masalah kunjungan Astari ke sini justru saat kau tidak ada di rumah," sahut Mas Totok
Jadi benarlah, dia memahami inti masaiahnya
"Seharusnya, itu tidak terjadi."
www.ac-zzz.tk "Sudah kukatakan, Mas, aku tak mau memper-panjang soal ini. Dia boleh datang seribu kali
sehari pun dan kapan saja dia mau. Ini rumabmu. Barang-barang yang ada di rumah ini
kebanyakan kau juga yang membelinya. Dia boleh mengambil yang mana saja kalau
mengihginkan itu." "Ini juga rumahmu, Siska. Dan semua barang di rumah ini, juga mihkmu. Kita tidak bisa
menghindar dari kenyataan. Kau dan aku yang memilih dan. membelinya bersama-sama.
Bahkan juga memakai uang dari hasil keringat kita berdua."
"Lalu kalau sudah begitu bagaimana?"
Kutanya dengan nada tantangan- seperti itu, Mas Totok tertegun. Tetapi beberapa saat
kemudian, lelaki itu sudah mampu menguasai dirinya kembali.
"Karena toh semua itu sudah terjadi, aku ingin mencoba agar peristiwa seperti itu tidak
terulang lagi," katanya.
"Aku baru sadar sekarang, kenapa sikapmu begitu dingin kepadaku. Padahal satu setengah
bulan lamanya kita ber-pisah".
Aku tidak menanggapi perkataannya. Tetapi suasananya sudah telanjur tak enak. Apalagi aku
yakin, dia sekarang mulai mengerti betul kenapa sikapku begitu dingin di awal periumpaan
kami tadi. "Kuharap pula, kau mau memahami posisiku dalam hal ini, Siska!" Mas Totok berkata lagi.
"Sulit menghadapi seorang perempuan yang se-dang mengalami banyak hal dalam hidupnya.
Seperti perceraian, anak sakit dan harus dua kali dioperasi, bekas suami yang terus-menerus
meng-ganggu pikirartnya, masalah-masalah ekonomi, dan lain sebagainya...."
Aku membalikkan tubuhku dan membelakangi' cermin agar dapat .menatap wajah Mas Totok.
Botol cairan pembersih muka kuletakkan ke meja rias tanpa melihatnya. Untungnya tidak
jatuh. "Mas, untuk yang terakhir kalinya aku me-minta kepadamu agar kau tidak lagi membicarakan masalah ini," kataku memotong lagi perkataannya sambil menatap matanya lekat-lekat.
"Apalagi urusan Astari bukanlah urusanku. Ada banyak masalah lain yang jauh lebih penting
untuk kupikirkan. Oke?"
"Oke...." www.ac-zzz.tk Sungguh, sekarang aku menyesal kenapa harus pulang ke Jakarta hari ini. Bukankah aku bisa
mengisi tiga hari libur ini dengan berjalan-jalan di Bandung bersama teman-teman
serumahku" Padahal pula, Mbak Tina mengajakku mencoba resep masakan dari sebuah buku resep yang
baru dibelinya. Dan Dewi, mengajakku jalan-jalan di Cihampelas. Dia ingin membeli celana
jeans dan rompinya sekaligus. Aku bisa memilih ' mau mengisi acara dengan siapa. Atau
kedua-duanya. Sesudah mencoba resep masakan ber-sama Mbak l&a, lalu pergi dengan Dewi.
Sambil sekalian belajar bahasa Sunda darinya. Dia asli gadis Sunda, berasal dari Tasikmalaya.
Enak mendengar bahasa yang disuarakan berirama itu. Ah, mestinya aku tidak meninggalkan
kota Bandung. Ada banyak acara dan suguhan-suguhan yang bisa kureguk dari Kota Kembang
itu. Di Jakarta, aku hanya menemukan suasana tak enak yang mengganjal perasaan. Libur
akhir pekanku hanya sia-sia saja jadinya.
Rencanaku, Minggu sore aku akan kembali ke Bandung dengan kereta api Argo Gede yang
berangkat petang nanti. Sudah kupikirkan aku nanti akan naik taksi ke Stasiun Gambir. Sebab
biasanya setiap Minggu Mas Totok mempunyai acara dengan Astari. Aku tak ingin
mengganggu acara mereka. Tetapi ketika kulihat Mas Totok masih ada di rumah menjelang
jam sebelas siang hari Minggu itu, aku merasa heran. Apalagi dia malah sibuk membetulkan
kabel setrika. Karena-nya hal itu kusinggung dengan terus-terang. Kha-watir kalau-kalau itu
disebabkan oleh keberadaan diriku. ,
"Kok tidak ke tempat Mbak Astari?" tanyaku.
"Sekarang sudah hampir jam sebelas. Kalau anak-anaknya ingin pergi ke taman ria atau
entah ke mana pun, kesiangan lho!"
"Kan kemarin sudah. Dan hari ini tidak ada acara yang penting."
"Mbak Astari tahu aku sedang di sini?" pan-cingku.
"Ya." "Mestinya kalian berdua tidak usah merasa sungkan hanya karena aku sedang berada di
Jakarta. Kalau kalian mau pergi, pergi saja-lah."
"Masih ada waktu yang lain." Mas Totok menjawab sambil tetap menekuni pekerjaannya
membetulkan kabel setrika yang aus.
www.ac-zzz.tk "Lagi pula aku sudah mengatakan padamu kan bahwa apa pun juga yang terjadi di antara
diriku dengan Astari, kau menempati prioritas utama. Sebab kau adaiah isfcriku yang sah.
Astari haras menyadari hal itu."
"Kau tinggai di rumah hari ini bukannya karena merasa bersalah kepadaku?" Lidahku mulai
tajam. "Kalau benar begitu itu suatu kekeliruan lho, Mas. Bukankah kita berdua sudah memiliki
kesepakatan bersama untuk tidak saling mengganggu urusan pribadi masing-masing."
"Tetapi, aku tidak merasa terganggu karena kehadiranmu."
"Mungkin memang begitu. Tetapi yang jelas, keadaan seperti ini pasti juga tidak
membuatmu merasa senang!"
Lagi-lagi lidahku mulai tajam. Sekarang ini aku sudah semakin pandai saja bersilat Udah. Mas
Totok menghentikan pekerjaannya. Mata nya menatap tajam ke arahku.
"Dari mana pikiranmu yang sangat cemerlang itu?" tanyanya kemudian dengan nada suara
yang sama tajamnya dengan pandang matanya itu.
Ha, Mas Totok pun sekarang sudah. bisa me-nyindir. Rupanya, kami berdua sama-sama semakin memperiihatkan diri sebagai manusia biasa dengan segala kelemahannya. Tidak lagi
terlalu menenggang perasaan pihak lain dengan cara mengikat lidah dan menutup mata.
Setelah ke-hidupan kami yang tenang, damai dan saling menahan diri untuk selalu
menciptakan suasana harmonis di dalam rumah-tangga kami selama hampir enam tahun ini,
keadaan seperti sekarang ini sungguh menyebalkan. Tetapi rasanya kok lebih manusiawi.
Bahkan lebih menuliki variasi atau apalah namanya. Tetapi perkataan Mas Totok itu tidak kutanggapi. Namun lelaki itu tidak mau menghentikan pembicaraan sampai di situ. Ia terus
menge-jarku dengan pertanyaannya tadi. Rupanya ia benar-benar merasa jengkel kepadaku.
Hah, jangan-jangan sikapku sekarang ini memang men-jengkelkan"
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Siska. Dari mana pikiran hebat yang mampir ke kepalamu itu?" tanyanya lagi.
"Ah, itu kan pikiran yang sangat wajar. Biasa-nya, pagi pagi ban Minggu begini kau sudah
pergi ke sana. Tetapi sekarang karena aku ada di rumah, kau jadi mengubah kebiasaanmu
itu. Nah, alasan apa lagi kalau bukan disebabkan karena rasa bersalah seandainya hari ini
kau juga pergi ke tempat Mbak Astari!"
www.ac-zzz.tk "Hm, begitukah analisismu?" Mas Totok se-makin tajam menatapku. Tetapi ia geleng-geleng
kepala. "Hebat sekali kau. Kalau begitu, aku boleh juga dong menganalisis dirimu!"
Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memangnya aku kenapa?"
"Tidak sadarkah kau, Siska, bahwa sekarang ini secara tiba-tiba saja kau menjadi orang yang
sinis, yang berlidah tajam dan suka menduga-duga. Bahkan sudah mengarah pada
kecurigaan. Nyatanya, kok bisa-bisanya kau menilaiku sedang merasa bersalah?"
"Ah, sok tahu kau, Mas," aku mendengus.
"Ini bukan sok tahu, Sis. Analisisku tadi juga bukan asal-asalan saja. Pendapat orang
mengatakan bahwa di dalam tubuh'yang sehat, terdapat jiwa yang sehat pula. Tetapi ada
pendapat Iain yang mengatakan sebaliknya. Bahwa di dalam jiwa yang sehatlah maka
terdapat tubuh yang sehat. Jadi seandainya seseorang tidak bisa melihat atau kakinya
lumpuh, kalau jiwanya sehat maka ia akan sehat pula di dalam ketidak-sempurnaan fisiknya
itu. Dan itu..." "Lalu apa relevansinya dengan diriku?" tanya- ku memotong perkataan Mas Totok yang belum
selesai. "Justra di situlah yang masih pertu dianalish lebih lanjut. Meskipun, aku sudah menemukan
sesuatu..." "Menemukan apa?" Aku memenggal lagi per-kataannya dengan sengit. Entah kenapa, aku
merasa Mas Totok sedang berusaha mengalahkan diriku.
"Sikapmu yang uring-uringan itu jangan-jangan disebabkan karena aku tidak memesraimu
meski kau tidur di sampingku selama dua malam ber-tumt-tumt?"
"Jangan mengada-ada, Mas.'" Aku membentak untuk menutupi hatiku yang sebenarnya. Dia
tahu persis apa yang kupikirkan.
Tak heran. Hampir enam tahun aku menjadi istrinya/ Semalam ketika melihat otot-otot
yang me-nyembul di dada dan di lengannya waktu dia menukar kemeja dengan baju
tidurnya, dadaku berdesir. Mas Totok tampak seksi dan perkasa. Hampir dua bulan aku tidak
merasakan dekapan-nya. Tetapi, demi janji pada diriku sendiri untuk tidak lagi bermesraan
dengan lelaki yang tidak mencintaiku itu, kupejamkan mataku rapat-rapat agar pemandangan itu tidak merasuki pikiranku. Bahkan kemudian, kubalikkan tubuhku raembelakanginya. Aku tak mau meliharnya berbaring di sisiku, *
www.ac-zzz.tk "Aku tidak mengada-ada," Mas Totok terus bicara.
"Kalau benar apa yang kukatakm>tadi, jawabannya adaiah karena sejak kedatanganmu
kemarin dulu kau sudah menggali jurang di antara kita. Bagaimana mungkin aku berani menyeberanginya?"
Aku merasa terpojok. Tetapi tiba-tiba aku 1er-ingat saputangan Astari yang kutemukan di
kamar mandi kemarin dulu. Dengan itulah aku mau menyerangnya kembali.
"Jurang yang kubuat itu ada alasannya yang kuat lho, Mas!" kataku, mulai merasa di atas
angin kembali. "Alasan apa?" "Tunggu dulu...."
Aku lekas-lekas masuk ke kamar dan mengambil saputangan Astari yang sudah dicuci dan
diseterika oleh Bik Dedeh. Saputangan itu kubawa dan kuulurkan ke muka Mas Totok.
"Inilah alasan yang kukatakan tadi."
"Apa maksudmu?"
"Saputangan ini milik Astari. Kutemukan di kamar mandi kita."
Dahi Mas Totok berkerut dalam. Tetapi aku tak mau memberinya kesempatan untuk
membela diri. Aku terus menyerangnya.
"Selama ini kalau ada tamu ingin ke kamar mandi, dia akan kita ajak ke kamar mandi di luar.
Bukan ke kamar mandi kita," kataku tanpa berpikir dulu.
"Nah, salahkah kalau pikiranku lari pada hal lainnya, bahwa selain kamar mandi barangkali
saja tempat tidur kita pun sudah ditempati oleh Astari!"
Air muka Mas Totok berubah demi mendengar kate-kata tajam yang baru sekali itu u ,
kepadanya. Aku sendiri pun kaget beranianku berkata seperti itu , belum pernah aku sekasar
itu terhadapnya. Bahkan belum Pernah kepada orang Jain. Aku harus rninta maaf karenanya.
tetapi sebelum aku sempat meralatnya, tiba2 jam antik milik leluhurku berbunyi Sebelas kali
banyaknya. Seolah^2 mengingatkan padaku, bahwa aku sudah "^ ? pe* -bang batas kelayakT
terialuan. Jadi perlu dihentikan, Perlahan-lahan namun pasti, kereta api Argo Gede mulai
bergerak meninggalkan Stasiun Gambir menuju ke Bandung. Tanganku me-lambai-lambai ke
arah Mas Totok yang berdiri di peron sampai sosok tubuh lelaki itu meng-hilang dari pandang
mataku. Peristiwa yang terjadi satu setengah bulan lebih yang lalu, terulang kembali.
Bedanya, perpisahan itu tidak membuat mataku menjadi panas dan tidak kabur terisi air
www.ac-zzz.tk mata seperti yang terjadi waktu itu. Setelah beberapa saat lamanya kereta api ber-jalan,
tubuhku kusandarkan. Dan pandang mataku kulayangkan keluar jendela, memperhatikan
segala hal di luar kereta yang tertangkap oleh mataku. Stasiun Cikini, Bioskop Metropole,
per-empatan jalan antara Jalan Diponegoro, Jalan Cikini, dan Jalan Proklamasi yang agak
menye-rong. Lalu toko-toko, rumah-rumah penduduk, dan seterusnya. Namun pemandangan
itu semakin lama semakin tampak remang dengan berlalunya cuaca petang menjadi malam.
Maka perhatian dan pikiranku pun kembali ke seputar peristiwa 1 yang kualami tadi siang.
Tadi wajah Mas Totok tampak mendung sekali I ketika mendengar perkataanku yang kasar
dan bemada tuduhan itu. Lepas apakah perkataanku " im salah atau benar, aku tahu betul
Mas Totok sangat tidak menyukai bicaraku itu. Tetapi dia tidak berkata apa-apa. Namun aku
tahu juga, ia telah dengan susah-payah berusaha agar pem-bicaraan yang tak menyenangkan
itu jangan sampai berlanjut Telah kulihat dengan jelas tadi, pelipisnya bergerak-gerak
menahan emosi. Demikian juga ketika aku menelepon per-usahaan taksi agar mengirim taksi
untukku, Mas Totok tidak senang. Direbutnya gagang telepon yang sedang kupegang itu dan
dengan suara tegas ia mengatakan kepada petugas di sana bahwa pesanan taksi itu tidak
jadi. "Ada aku di sini kok mau pergi dengan taksi!" begitu dia menggerutu.
Akibataya, terpaksalah aku membiarkan lelaki itu mengantarkanku sampai ke Stasiun Gambir
meskipun kami berdua sedang berada dalam suasana yang tak menyenangkan. Sejak siang
tadi aku melontarkan kata-kata provokatif tentang kemungkinan Astari juga memakai
tempat tidur-ku, sikap Mas Totok tampak tegang. Celakapya aku tidak tahu persis
ketegangan itu disebabkan oleh yang mana di antara dua kemungkinan yang masuk ke dalam
pikiranku. Pertama, apa yang kukatakan kepadanya itu memang benar dan Mas Totok merasa
malu dan tertekan karena-nya. Dan kemungkinan kedua, Mas Totok merasa tersinggung
karena kata-kataku itu tidak benar. Tetapi lepas dari itu, Mas Totok tahu persis bahwa
suasana tegang begini akan kupergunakan sebagai bahan pertimbangan dan alasan untuk
tidak pulang ke Jakarta pada minggu-minggu berikutnya. Tadi dengan terus-terang ia
menying-gung masalah itu ketika kami sedang berada dalam perjalanan menuju ke Stasiun
Gambir. www.ac-zzz.tk "Sebaiknya kau secara rutin pulang ke Jakarta kalau kesempatannya ada!" begitu dia berkata
dengan sikap dingin tetapi langsung pada per-soalannya. Bahkan kudengar nada desakan
dalam kata-katanya itu. "Untuk apa" Kau tahu betul kan, Mas, aku paling tidak sukar menjadi batu sandungan!"
Aku yakin, dia pasti tahu apa yang kumaksud dengan batu sandungan itu.
"Tetapi aku suka!"
"Suka apa?" "Suka melihatmu jadi batu sandungan!" Aku menoleh dan memandang sisi wajahnya.
Tetapi tak kutemukan sesuatu yang berarti, ke-cuali sikap dinginnya itu. Entah apa maksud
perkataannya itu, aku tak tahu. Baru kemudian secara tiba-tiba suatu pikiran melintasi
otakku. "Hm, rupanya keberadaanku bisa menjadi tali pengikat kakirnu untuk tidak lagi melangkahi '
pagar dan aturan main yang telah kita sepakati, | ya?" sindirku, dipacu pikiran itu.
"Bagimu, aku ini memiliki fungsi tertentu."
"Terserah apa katamu sajalah!" Mas Totok menjawab perkataanku dengan suara dingin. Nada
suaranya terdengar berteka-teki. Aku menjadi jegkel karena tak mampu mengo-rek apa isi
dada lelaki itu. " "Semula, aku mengira keinginanmu agar aku sering pulang itu karena kesadaran moralmu.
Ternyata, aku ini cuma bermngsi sebagai rambu-rambu lalu lintas saja. Kalau rambunya
hilang, kendaraan boleh seenaknya' sendiri melanggar aturan. Tetapi yah, aku memaklumimu
dirimu kok, Mas. Godaan itu memang terlalu besar."
Aku terus mengoceh tanpa peduli bagaimana rahang Mas Totok bergerak-gerak menahan
emosinya. "Asal kau ingat saja, Mas, jangan nodai kehormatan tempat tidurku. Carilah tempat lain saja
kalau godaan itu tak tertahankan lagi!"
Rasa sesal yang mengganggu perasaanku ketika tadi siang melontarkan kata-kata semacam
itu, menghilang entah ke mana. Perkataan yang sama kuulangi lagi tanpa merasa bersalah.
Tetapi juga seperti tadi siang, Mas Totok tidak mau menanggapinya.
Sekarang di dalam kereta api aku mencoba untuk mengkaji ulang apa yang terjadi hari ini.
Dan aku beruntung karena kursi di sebelahku jcosong Sehingga aku bisa puas melamun sendirian tanpa terganggu. Para penumpang \ainnya sudah sibuk melakukan upacara basa-basi
www.ac-zzz.tk dengan teman seperjalanan yang baru dikenalnya. Berada sendirian begini, baru kusadari
betapa tajamnya mulutku sekarang. Entah Mas Totok juga sadar akan hal itu entah tidak,
yang jelas perkataanku hari ini telah membuat wajahnya menjadi merah padam dan murung.
Menjengkel-kan juga rupanya aku ini. Bahkan keteiialuan. Lelaki lain mungkin sudah
menampar mulutku. Pikiranku tentang Mas Totok terhenti. Pegawai kereta api yang
membagikan dus berisi kue dan air mineral kepada para penumpang sudah sampai di sisi
tempat dudukku. Begitu menerimanya, : aku langsung menghabiskan minumannya tanpa J
tersisa setetes pun. Tetapi sebagai akibataya, tak lama kemudian aku ingin buang air kecil.
Sungguh mati, tak pemah aku menyangka sedikit pun bahwa sesuatu yang dahsyat akan
kualami di dalam kereta api itu. Sebab setelah aku keluar dari kamar kecil ketika menuju ke
I tempat dudukku kembali, namaku dipanggil secara tiba-tiba oleh seseorang yang suaranya
amat kukenal. Serta merta aku menoleh ke arah asal suara panggilan itu, ingin tahu apakah
telingaku tidak salah dengar. Tetapi begitu melihat siapa orang yang menyebut namaku itu,
detak jantung-ku pun seperti berhenti mendadak. Kulihat kembali wajah Victor, bekas
kekasihku delapan tahun yang lalu. Lelaki itu sedang terheran-heran me. natapku.
"Siska" Betul-betul kaukah ini?" Lelaki itu menyapaku lagi.
"Victor...," bisikku nyaris tak percaya pada penglihatanku sendiri. Sama seperti ketidakpercayaan yang tersirat dari pandangannya.
Tetapi mendengar namanya kusebut, yakinlah lelaki itu bahwa memang akulah yang ia
jumpai di kereta api ini.
"Aduh, Siska, apa kabar?"
Dengan gembira lelaki ito mengguncang-guncang tanganku.
"Rasa-nya sudah berada-abad lamanya kita tidak berjum-pa. Kau tampak semakin cantik
saja. Luar biasa." "Hush," aku tersipu.
"Kau pergi dengan siapa, Victor?"
"Sendirian. Kau?"
"Juga sendirian. Ayo mengobrol di tempitku saja," kataku.
Tak enak menjadi perhatian orang di sekitar kami.
'Tempat duduk di sebelahku kebetulan kosong."
"Oke. Dengan sangat senang hati!"
www.ac-zzz.tk Lelaki itu langsung berdiri, mengekor di belakangku. Dan langsung mengempaskan tubuhnya
di kursi kosong sebelahku.
Victor tampak semakin matang saja kulihat. Tubuhnya lebih gagah daripada yang kuingat.
Dan wajahnya aduhai. Sekarang kumisnya semakin tebal. Lalu pakaiannya tampak begitu rapi
dan jelas terbuat dari bahan-bahan yang beTkualvtas. Juga sepatunya. Pendek kata baru
selintas melihatnya saja pun aku tahu bahwa Victor menampilkan sosok eksekutif muda di
dunia usaha yang berhasil.
"Ke Bandung dalam rangka apa, Siska" Dan kenapa sendirian?" Lelaki itu bertanya, menyingkirkan pikiranku tentang dia.
"Sudah hampir dua bulan lamanya aku ber-tugas di Bandung, Victor. Hari ini aku akan
kembali ke tempat tugas sesudah berakhir minggu di Jakarta."
"Untuk berapa lama tugas itu?"
"Untuk waktu yang belum diketahui, Victor."
"Itu artinya kau meninggalkan keluargamu di Jakarta."
"Ya." "Suamimu tidak merasa keberatan?"
"Tidak." "Anak-anakmu?" "Aku belum mempunyai anak."
Malas aku menempati posisi sebagai yang ditanya. Karena-nya aku mengubah posisiku, ganti
menjadi penanya. "Kau sendiri dalam rangka apa pergi I ke Bandung, Victor?" I
"Biasa, urusan bisnisku."
"Sering kau pergi dengan kereta api?"
"Ya, beberapa kali. Tetapi lebih sering aku naik mobil."
"Kelihatannya kau tampak sukses sebagai pengusaha yang hebat!"
"Melanjutkaa usaha yang sudah dirintis oleh kakek dan ayahku apa sih sulitnya?" Victor
merendah. Senyum manisnya masih saja mampu menawan hatiku.
"Istrimu tidak kau ajak serta?"
'Tidak" www.ac-zzz.tk Dari gerak mulutnya aku tahu dia . tidak suka membicarakan istrinya.
"Sudah berapa orang anakmu, Victor?"
Aku mengubah bahan pembicaraan.
"Baru satu. Umurnya dua tahun lebih."
"Wah, sedang lucu-lucunya itu."
"Ya, memang. Kenapa kau belum mempunyai anak, Siska" Demi mempertahankan karier, ya?"
'Tidak. Kami memang belum dipercaya Tuhan untuk merawat anak."
"Sudah ke dokter?"
"Tidak." Sambil menjawab seperti itu, aku menoleh dan menatap mata Victor dengan penuh harap.
"Victor, maukah kau kalau dalam per-jumpaan yang pertama ini, kita tidak membicarakan
hal-hal semacam itu?"
"Oke." Victor meraih telapak tanganku dan menepuk-nepuk kmbut punggung telapak
tanganku dengan sikap penuh pengertian. Rasanya aku menangkap pemahamannya, bahwa
ada yang timpang dalam kehidupan perkawinanku. Tetapi ia tak mau menanyakannya
sekarang. Dengan cepat ia mengubah isi pembicaraan.
"Di Bandung kau tinggai di maaa^Siska?"
Kusebutkan aJamatku dengan senang hati. Lalu percakapan kami pun semakin lancar dan
semakin beragam. Menyenangkan sekali, sampai-sampai perjalanan selama dua setengah jam
lebih itu tidak terasa. Tahu-tahu saja kereta api sudah tiba di tempat. Victor kembali ke
tempat semula untuk mengambil bawaannya. Setelah itu tas pakaianku yang sudah
kuturunkan, diangkatnya. Tentu saja aku melarangnya.
"Aku bisa membawanya sendiri, Victor. Tidak berat kok."
'Tenang-tenang sajalah, Siska. Ayo kita ke-luar."
Victor tetap menjinjing kopor pakaianku sampai benda itu tiba di lantai peron. Sekarang aku
bisa menarik kopor beroda itu dengan bebas. Di serambi stasiun, seorang lelaki setengah
baya datang tergopoh mendekati kami dan langsung mengambil alih semua bawaan Victor.
"Selamat datang di Bandung, Pak Victor." Lelaki itu menyapa Victor dengan sopan.
'Terima kasih, Pak Amat. Di mana mobilnya?"
"Itu, Pak, di dekat pintu. Kebetulan saya mendapat tempat parkir yang enak."
www.ac-zzz.tk "Tolong bawaan Ibu ini juga dimasukkan ke bagasi mobil kita ya, Pak Amat,"
"Baik, Pak." Di depan orang, aku tidak mau memprotes pengaturannya itu. Tetapi ketika Pak Amatsedang sibuk dengan pekerjaannya, hal itu kukatakan denean terus-terang.
"Seharusnya kau menanyakan kesediaanku lebih dulu, Victor."
"Aku yakin, tak ada yang menjemputmu di stasiun. Ya, kan?"
"Ya." "Kalau begitu, biarkanlan aku dengan ke inginanku untuk mengantarkanmu pulang. Jadi,
Siska, jangan sungkan-sungkan kepadaku sealah kita ini hanya berteman biasa saja. Apa pun
yang terjadi di antara kita berdua saat ini, dan meskipun barangkali aku sudah tidak ada di
hatimu lagi, kau masih tetap menjadi orang istimewa bagiku."
"Victor...." "Ini suatu kenyataan, Siska. Jangan kau bantah. Oke?"
Aku terdiam. Apalagi Pak Amat datang me-lapor bahwa kami sudah bisa masuk mobil. Tetapi
ketika kami sudah ada di dalam mobil dan Pak Amat menutupkan pintunya, aku mulai protes
lagi. "Istrimu pasti tersinggung kalau dia mendengar perkataanmu tadi," kataku berbisik.
Takut di-dengar Pak Amat.
"Ya. Tetapi dia tidak mendengar, kan?" Victor . tersenyum menggoda.
"Tetapi suatu ketika nanti dia pasti tahu bahwa aku pemah ikut mobilmu."
"Sis, mobil ini mobil perusahaaite Orang hanya tahu, siapa pun yang ada bersamaku selama
di Bandung, dia pastilah memiliki kaitan dengan urosan bisnisku. Jadi tolong, jangan
mempersoal-kan hal-hal yang tidak perlu. Oke?"
Aku tersenyum, kemudian menganggukkan kepalaku.
"Kau sering ke Bandung, Victor?" tanyaku kemudian ketika mobil mulai berjalan
meninggalkan halaman stasiun.
"Ya. Di sini perusahaan kami mempunyai cabang."
"Berapa lama kau akan tinggai di sini?"
Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paling lama satu minggu."
Victor menatapku. "Siska, aku minta kartu namamu."
www.ac-zzz.tk Kuturuti permintaannya. Kuberikan kartu namaku yang terbaru. Di situ tercetak namaku
sendiri, gelarku, dan jabatanku. Selain alamat dan nomor telepon nimahku yang di Jakarta,
juga tertulis alamat tempat tinggalku yang sekarang berikut teleponnya. Bahkan juga
tercatat nomor telepon genggarnku. Victor membacanya sejenak dengan bantuan senter
mini yang ia ambil dari dalam sakunya. Kemudian tertawa kecil.
"Wah, dengan kartu namamu ini orang bisa melacakmu secara mudah," katanya.
Kemudian sebagai gantinya, dia mengeluarkan kartu nama-nya yang langsung diberikannya
kepadaku. "Siapa tahu ini ada gunanya."
"Pasti ada gunanya, Victor." Aku tersenyum.
"Paling sedikit, supaya jangan hanya keberadaan-ku saja yang bisa dilaeak orang."
Victor tertawa lagi. Tetapi Pak Amat me mutuskan perhatian kami dengan pertanyaannya *Kita ke mana dulu,
Pak Victor?" tanyanya.
"Mengantar Ibu ini dulu," sahut Victor sambil menyebutkan alamatku.
"Baru ke rumah."
"Baik, Pak." "Kau punya rumah di sini?"
"Hanya rumah milik perusahaan. Semacam guest house," jawab Victor lembut.
Kemudian meianjutkannya dengan berbisik di sisi telingaku.
"Kau boleh menginap di sana kalau kau suka. Tempatnya enak."
"Victor..." "Aku serius, Siska"
"Itu tidak pantas, Victor!" Aku ganti berbisik di sisi telinganya.
"Cuma menginap saja kok tidak pantas sib. Aku kan tidak ikut tidur di kamarmu/" Victor
berbisik lagi sambil menyeringai.
"Hush!" "Kecuali kalau kau menginginkannya" Victor menyeringai lagi.
"Victor.'" "Adam-main, Siska!" Untuk ke sekian kalinya Victor menyeringai.
"Cuma guyonan saja."
www.ac-zzz.tk Tak pelak lagi, kehadiran Victor yang tiba-tiba memasuki kembali kehidupanku itu memberi
keceriaan dalam hatiku. Victor orang yang sangat terbuka, periang, humoris, dan
menyenangkan. Berbeda dengan Mas Totok yang pembawaannva tenang dan serius. Selama
di Bandung, setiap hari dia menjemputku dari tempatku bekerja. Dari sana selalu saja ada
acara buat kami berdua. Jalan-jalan, makan bersama, menikmati musik di bagian restoran
sebuah hotel, dan lain sebagainya. Aku merasa seperti berada di masa gadisku kembali.
Kemanisan demi kemanisan kureguk dan kunikmati. Seperti dulu juga. Seperti masa-masa
sebelum aku diarahkan oleh kedua orang-tuaku untuk menikah dengan Mas Totok. Namun
meskipun sudah sejauh itu pergaulan kami berdua, sekali pun tak pemah Victor melaku-kan
perbuatan yang bisa digolongkan pada ke-mesraan berbau cinta. Namun kami berdua sama*
sama tahu bahwa kehadiran masing-masing telah mengembalikan kemanisan masa lalu kami.
Harir hari yang berlalu menjadi indah sekali rasanya. Tetapi sayangnya, belakangan ini ada
sesuatu yang mulai mengganggu dunia batinku. Tatkala hatiku sedang melambung ke dunia
percintaan dan melayang-layang dalam keindahannya, jauh di lubuk batinku yang terdalam
sering terdengar bisikan lembut namun sangat mengguncang ke-damaian hatiku. Bisikan itu
seperti suara Mas Totok. Isinya mengingatkan diriku kepada realitas yang ada. Bahwa aku
masih menjadi istrinya. Bahwa aku tak boleh melanggar kesepakatan bersama kami. Dan
tidak boleh pula sembarangan melanggar aturan main kami. Acap kali ketika sedang
terbaring sendirian di r fkamarku di Bandung, aku bertanya-tanya sendiri mengapa
perjumpaanku dengan Victor ini harus kualami. Apakah itu ada kaitannya dengan merenggangnya bubunganku dengan Mas Totok" Artinya, apakah Tuhan telah mengatur segala
sesuatunya agar aku lebih mampu menentukan sikap" Bukankah selama ini aku sering merasa
gamang karena kebilangan orientasi ke arah masa depanku" Apalagi kalau hatiku sedang
kesal-kesalnya kepada Mas Totok maupun kepada Astari. Mau apa mereka itu" Kalau mau
menikah, kenapa Mas Totok tidak segera mengatakannya kepadaku" Dia toh tahu betul
bahwa aku pasti akan menyingkir dari kehidupannya tanpa banyak komentar. Hatiku ikhlas
untuk itu. Tetapi kalau Mas Totok tidak ingin menikah dengan Astari entah apa pun aiasannya asalkan
ttU tidak karena diriku, kenapa kehidupan per-kawinan kami ini dijadikan seperti panggung
sandiwara" Dan lalu aku sebagai pemain utama-nya tak pemah diberi kesempatan untuk
tampil. Mereka berdua sajalah yang bermain. Secara rutin keduanya sering bertemu.
www.ac-zzz.tk Secara rutin pula mereka berdua menguntai acara demi acara bersama kedua anak Astari.
Dan aku membiarkannya seperti seorang ibu membiarkan anaknya yang nakal bermain-main
api. Padahal, aku ini seorang manusia yang masih punya harga diri, sama seperti orang kin.
Padahal ila aku toh masih istii Mas Totok yang diniltahinya secara sah dan tanpa paksaan,
meski juga bukan atas dasar keinginan kami yang sebenamya.
Tetapi Astari telah memperlakukan diriku seolah aku ini tidak berhak atas diri Mas Totok.
Bahkan dengan seenaknya sendiri dia telah melangkahi apa yang menjadi hak-hakku.
Perhatian Mas Totok. Waktu Mas Totok yang tersita olehnya. Dan bahkan kemudian juga
rumah di mana aku tinggai di dalamnya. Seenaknya saja dia berkeliaran justru di saat aku
sedang tidak ada di rumah. Aku merasa kepalaku seperti diinjak-injak. Tetapi yang aneh,
aku membiarkannya. Dan bahkan meskipun hatiku sudah tidak kuat lagi bertahan dalam
situasi dan kondisi seperti itu, aku tidak segera mengambil sikap yang tegas. Bisaku cuma
bertanya-tanya sendiri di dalam hati, sampai kapan keadaan seperti itu harus kujalani.
Sampai kapan pula situasi yang menekan perasaan ini berakhir. Tetapi .sekarang Victor telah
hadir kembali dalam kehidupanku. Jelas sekali lelaki itu ber-harap aku mau menguntai
kembali hubungan kami yang terputus itu. Setiap bertemu denganku, kulihat bola matanya
berpijar dan mulutnya ber-lekuk mesra. Apakah, itu semua merupakan ja-waban dari
pertanyaan batinku itu" Bahwa sekarang inilah saatnya aku keluar dari kemelut rumah
tanggaku bersama Mas Totok. Tetapi kalau memang demikian, lalu bagaimana dengan istri
Victor" Tidakkah aku sama saja "seperti Astari di dalam kehidupan perkawinan B|l Victor"
Padahal terbadap Astari, sedikit pun aku tidak mempunyai respek. Sebab kalau aku mau
bersikap jujur, perempuan itu tidaklah sepadan dengan segala kebaikan dan kelebihan Mas
Totok. Tetapi tidak. Aku tak mau mengatakan apa-apa mengenai hal itu. Sebab aku tahu
betul, cinta itu buta. Karenanya kalau aku disamakan dengan Astari, pastilah seluruh dunia
batinku jelas-jelas akan menentang dan menolaknya.
Aku bukan Astari kedua. Aku tak bermaksud memonopoli Victor. Dan jelas sekali pula aku
tidak akan menerjang garis-garis batas yang tak boleh kulewati maupun melanggar apa-apa
yang bukan hakku. Tetapi,.ya Tuhan, bukankah aku telah mengam-biJ kembali cinta Victor"
Bukankah lelaki itu begitu berbahagia bertemu kembali denganku" Dan bukankah pula aku
telah membiarkan itu semua terjadi, bahkan mau diajak dia pergi ke mana pun yang ia
inginkan" Bagaimana kalau istii Victor mengetahuinya" Dadaku menjadi sesak. Temyata, ini
www.ac-zzz.tk bukanlah jawaban dari pertanyaan batinku ten tang sampai kapan masalah yang terjadi
dalam kehidupan perkawinanku dengan Mas Totok berakhir. Sebab temyata pula
perjumpaanku dengan Victor kembali bukanlah jawabannya. Tetapi, justru me-nambah
pertanyaan baru yang sama rumitnya. Yah, mau melangkah ke manakah kakiku ini" Hari ini
sudah hari Minggu lagi. Hari terakhir Victor berada di Bandung. Betapa cepatnya waktu
berlalu. Malam nanti dia akan kembali ke Jakarta naik mobil dengan sopirnya. Tetapi pagi ini ia
membawa mobilnya sendiri tanpa sopir seperti biasanya kalau sedang bersamaku. Dia
mengajakku jalan-jalan ke Lembang. Kami berangkat pagi-pagi sekali agar cukup banyak
memiliki waktu yang masih tersisa.
"Kita akan ke mana, Victor?" tanyaku di dalam perjalanan.
"Perusahaan kami mempunyai tempat per-istirahatan di Lembang, Sis. Aku ingin mengajakmu ke sana untuk melihat pemandangan yang indah dari sana. Tentu saja sambil makan masakan yang lezat!"
Dia menoleh ke arahku, kemudian tersenyum manis.
"Apakah rencana itu cukup menarik bagimu?"
"Sangat menarik. Tetapi apa nanti kata pegawai-pegawaimu di sana?"
"Mereka tidak akan mengatakan apa pun. Sebab tempat itu juga terbuka untuk umum. Ada
restorannya yang cukup laris. Masakan-masakannya banyak disukai oleh penggemar dan
Bandung dan sekitamya."
Victor menjamin "ke-amanannya".
"Lagi puia, para pimpinan per-usahaan sering mengundang relasi untuk makan di situ bahkan
juga membicarakan urusan bisnis."
"Jadi sebagai salah seorang pimpinan, kau juga sering menjamu orang di tempat itu,"
kataku. "Ya. Dan percayalah, makanannya benar-benar fezat. Kami mempunyai beberapa koki
istimewa." "Pasti gajinya besar," aku tersenyum.
'Tepat sekah'.'" Victor tertawa.
"Pokoknya se-banding dengan apa yang terhidang di meja. Lihat saja, nanti.'"
www.ac-zzz.tk Victor benar. Restoran itu laris. Kulihat tamu-nya banyak. Dan makanannya memang sangat
lezat. Apalagi sup kepitingnya. Makanan penutup-nya juga menggoyang lidah. Victor sendiri
yang memilihkan masakan-masakan andalan restorannya itu. Dan kemudian setelah kami
selesai menikmati makanan yang lezat itu, ia mengajakku beristirahat di bagian dalam
hotelnya. Tempat itu merupakan suatu ruang besar yang menghadap ke arah lembah yang subur dan
bukit-bukit menghijau di sekitar tempat itu. Ruangannya berbentuk setengah lingkaran dan
seluruh jendelanya yang menghadap ke lembah dan buJdt-baidt itu dibuat dari kaca lebarlebar sehingga memberi keleluasan untuk menikmati pemandangan.
Di muka jendela itulah aku lamai berdiri di situ, menangkap seluruh pemandangan indah
yang terbentang di hadapanku itu sepuas hatiku. Kalau saja aku bisa melukis, ingin sekali
pemandangan itu kupindahkan ke atas kanvas. Aku benar-benar terpukau dan bam menoleh
ke belakang ketika mendengar suara Victor meng-ucapkan terima kasih kepada seseorang.
Kulihat seorang pegawai membawa dua cang-kir minuman hangat dan dua piling makanan.
Sepiring berisi kue basah dan sepiring lainnya berisi buah jeruk yang langsung diletakkannya
di atas meja. "Duduklah bersamaku di sini, Siska!"
Victor mengajakku duduk setelah pegawainya pergi dan menutup pintu ruang itu kembali.
"Dari sini, kita juga bisa melihat pemandangan indah."
Aku mengiyakan. Kami berdua duduk bersisian di kursi panjang.
"Kau senang?" tanyanya.
"Ya." "Karena pemandangannya yang indah dan makanannya yang lezat?"
"Ya." "Bukan. karena kehadiranku di sisimu?"
Ada nada nakal dalam suaranya.
"Itu juga," aku terpaksa mengakui apa yang memang kurasakan.
www.ac-zzz.tk Victor tersenyum, Tangannya terangkat, kemudian hinggap di bahuku. Ia memelukku.
Setelah perpisahan kami lima tahun lalu, inilah ke-mesraan pertama yang ia berikan
kepadaku. Jan-tungku mulai tak teratur detakannya.
"Sis, bolehkah aku mengatakan sesuatu ke-padamu?" tanyanya kemudian.
"Katakanlah, Victor."
"Siska, aku masih mencintaimu. Amat sangat...."
"Sebaiknya jangan, Victor..."
Perasaanku menjadi kacau demi mendengar kata-katahya itu.
"Kenapa" Apakah karena aku sudah mempunyai istri dan kau mempunyai suami?" Ia bertanya
dengan suara pelan. "Antara lain, ya."
'Tetapi, Sis, aku dapat merasakan bahwa sesungguhnya kau pun masih mencintaiku." tanya
Victor lagi. "Benar, bukan?"
"Ya...." Percuma saja aku menyangkal. Victor kenal betul perasaanku.
"Dan perasaanku juga menangkap bahwa per-kawinanmu dengan Mas Totok tidak bahagia.
Apakah aku keliru?" 'Tidak...." Seperti tadi, aku terpaksa mengatakan kebenarannya. Sebab akan percuma saja kalau aku
menyembunyikan kenyataan itu. Akhir-nya dia toh pasti tahu juga. Matanya sangat awas.
"Aku juga mengalami hal yang sama, Siska."
Victor berkata lagi. Sampai hari,m *ku; masih mencintaimu. Dan seperti dirimu, aku juga
tidak berbahagia di dalam perkawinanku. Istriku masih sangat muda. Lebih dari dua belas
tahun per-bedaan usia kami. Ada banyak hal yang kurang cocok di antara kami berdua. Sikap
kekanakan-nya sering membuatku merasa pusing. Seharus-nya waktu itu aku menolak ketika
orangtuaku menyodorkan gadis itu..."
"Victor, jangan menyesali apa yang sudah terjadi. Sebab waktu tidak berjalan raundurr Aku
menyela bicaranya. www.ac-zzz.tk "Dan kalau kalian mau berusaha, aku yakin pasti ada jalan untuk me-nimbuni perbedaanperbedaan itu. Dan nanti dengan bertambahnya umur istrimu, dia pasti akan menjadi
perempuan matang yang bisa men-dampingi hidupmu. Ingat Victor, kau harus meng-ingat
keberadaan anak kalian. Sadarilah itu."
Aku berkata dengan tulus. Sebab ada perbedaan besar di antara diriku dengan dia. Aku dan
Mas Totok tidak mempunyai anak.
"Dan kau sendiri bagaimana?" Victor mengelus rambutku.
"Bisakah kau bertahan dengan keadaan rumah tanggamu?"
"Kuakui, tidak. Beberapa kali aku ingm ber-cerai dari Mas Totok."
"Sampai sejauh itu?"
"Ya. Bekas kekasihnya mulai memasuki ke-hidupan kami. Kau hhat, persoalanku berbeda
dengan persoalanmu. Jadi jangan disamakan."
'Tetapi, Siska, selama satu minggu bersamamu aku benar-benar merasa bahagia. Tetapi juga
sekaligus mulai sadar bahwa temyata selama ini kehidupanku benar-benar gersang. Bisnis
dan bisnis saja yang menjerat leherku."
Victor menge-luh. "Sayangku, maukah kau menjadi kekasihku lagi dan menjadi obor penyemangat hatiku?"
Aku terdiam. Keinginan Victor sangat meng-godaku. Terutama karena belakangan ini aku
merasa tersia-sia. Tetapi sayangnya bisikan suara hatiku yang melintas tadi, muncul kembali.
Dan mengingatkan diriku. untuk tidak melanggar ke-sepakatanku bersama Mas Totok, yaitu
melanggar aturan main. "Bagaimana, Siska?" Victor bertanya lagi.
"Kalau kita memang benar-benar masih saling mencintai, kurasa menjalin kembali hubungan
percintaan kite seperti sepasang kekasih hanya akan mengurangi nilai perasaan itu sendiri,
Victor. Sekarang ini kita bukan lagi sepasang gadis dan pemuda seperti dulu. Jadi sebaiknya
perasaan kasih itu tidak perlu dimanifestasikan."
Suara hatiku memenangkan pertarungan.
"Akan jauh lebih indah kalau itu tetap disimpan di hati kita masing-masing."
Victor tidak menjawab. Sebagai gantinya, tiba-tiba ia meraih kepalaku dan mencium bibirku.
Aku gelagapan, tidak mengira akan mendapat perlakuan semesra itu darinya. Tetapi
-temyata seperti dulu, dia masih saja mampu membuatku jadi bergairah.
www.ac-zzz.tk Kubalas ciumannya yang mesra itu dengan sepenuh hasratku. Tetapi sedang aku joehryanglayang dalam keindahan itu, tiba-tiba Victor melepaskan wajahku.
"Siska, masihkah kau bersikukuh memegang kata-katamu tadi bahwa cinta kita tak perlu
dimanifestasikan?" tanyanya di sisi telingaku.
"Lihatlah kenyataannyal"
"Victor...," sahutku pelan. Pipiku terasa hangat.
"Aku ini hanya manusia biasa dengan segala kelemahannya."
"Maksudmu...?" "Ada baiknya kalau kita sama-sama merenung-kan cinta kita ini dengan pikiran yang lebih
jemih. Sebab masalah ini bukan hanya me-nyangkut perasaan kita berdua saja, tetapi juga
menyangkut perasaan keluarga kita masing-masing. Jadi, Victor, jangan gegabah. Dulu saja
pun kita tak bisa bersatu. Apalagi sekarang ketika jalan hidup kita sudah semakin jauh
jaraknya..." Victor mengiyakan meski aku tahu "pehg-iyaan" itu cuma di permukaan saja. Tidak sampai ke
dalam hatinya. Aku tahu, ia memang mem-butuhkan penyemangat hidup. Tetapi keberadaan
diriku tidaklah hanya sekadar menjadi penye-mangat saja, bukan"
Namun untuk lebih dari itu adaiah sesuatu yang mustahil. Apalagi karena salah satu dari
prinsip hidupku mengatakan untuk tidak pemah membiarkan diriku menjadi batu sandungan
bagi siapa pun. Teratama kalau itu menyangkut perasaan. Maka aku tak boleh mencuil
perasaan istri Victor. Aku juga harus mampu bertahan untuk tidak membiarkan diriku
menjadi orang ketiga daiam wadah percintaan orang. Pendek kata apa pun juga alasannya,
prinsip itu harus tetap ku-pegang. Demi menyamakan dengan hati nuraniku. Dan demi
martabatku sendiri. Akhir minggu berikutnya, Victor datang lagi ke Bandung. Karena ajakan pergi lelaki itu tidak
untuk bermesraan, maka kululuskan ajakannya untuk sedikit refreshing seperti biasanya.
Kami nonton film dan makan di restoran. Tetapi, bukan karena hal itu maka aku tidak pulang
ke Jakarta. Sebab seperti yang sudah kukatakan, aku tak mau menjadi batu sandungan bagi
siapa pun, termasuk istri Victor. Maka aku juga tak mau menjadi bam penghalang bagi Mas
Totok untuk mencari kebahagiaannya bersama Astari. Kalau aku berakhir pekan ke Jakarta,
boleh jadi Mas Totok akan merasa sungkan untuk pergi terus-menerus sepanjang akhir
minggu itu. Dan itu artinya, aku telah mencuil kebahagiaan hati orang. Bahkan menjadi batu
Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
www.ac-zzz.tk sandungan. Jadi begitulah yang terjadi. Berrninggu-minggu lamanya setelah itu aku masih
tetap belum mau pulang ke Jakarta, meskipun Mas Totok berulang kali menyinggung masalah
itu. Tetapi kemudian setelah enam minggu aku tidak juga pulang, tiba-tiba pada suatu hari
Jumat petang Mas Totok datang menjemputlcu ke Bandung. Tanpa memI beritahu lebih dulu
sebelumnya. Memang, libur akhir pekan ketika itu lebih panjang daripada biasanya. Sebab
hari Senin-nya adaiah hari libur nasional. Ketika Mas Totok datang, aku sedang mengo-reksi
hasil testing murid-muridku.
Kedatangannya yang tiba-tiba itu sama sekali tidak kuduga. Sebab sangkaku, ia sedang
merencanakan libur akhir pekan yang agak panjang itu bersama Astari. Seperti yang pemah
terjadi, mereka pergi menginap ke Puncak atas undangan adik Astari yang merayakan ulang
tahun di rumah per-isthahatannya. Jadi begitu mendengar kedatangan Mas Totok menjelang
malam itu, aku merasa heran.
"Suamiku datang, Mbak?" tanyaku kepada Mbak Tina, nyaris tak percaya perempuan itu yang
mengabariku bahwa di luar, mobil Mas Totok sedang memasuki halaman.
Dia sedang duduk-duduk di teras sendirian.
Dewi mempunyai tugas mengajar malam ini.
"Ya. Kangen, dia!" Mbak Tina tertawa.
"Kau sih tak pernah pulang."
"Aku sibuk. Dia juga sibuk," aku tersenyum, bersikap seolah perkawinanku berjalan normal.
"Sekarang, baru kangen dia."
"Sudah, hentikan dulu pekerjaanmu!"
Mbak Tina tertawa lagi sambil menyingkir ke" dalam kamamya.
"Sambutlah suamimu sana!"
Aku hanya tertawa saja. Tetapi kuturuti juga sarannya, irienyambut kedatangan Mas Totok di
depan. Tetapi kusuruh lelaki itu langsung masuk ke kamarku.
'Tumben, Mas?" sapaku setelah melihatnya duduk di kursi dekat jendela.
"Aku datang untuk menjemputmu, Siska. Ada undangan dari atasanku. Anak pertamanya
akan menikah!" katanya menjelaskan.
"Lucu kalau aku datang sendirian."
"Oh, ya. Aku sering lupa kalau fungsi utama seorang istri adaiah menjadi pendamping yang
harus siap sewaktu-waktu!"
www.ac-zzz.tk "Jangan menyindir, Siska. Kau pasti tahu dari pengalaman kita hidup bersama selama ini,
bagiku seorang istri bukan hanya sekadar pen-damping."
Suaranya yang terdengar bersungguh-sungguh melunakkan hatiku. Tetapi untuk kali ini, iya
kan" Nyatanya, jauh-jauh kau datang dari Jakarta hanya dengan tujuan untuk mencari
pendamping!" Aku mulai mengoceh.
"Dan karena menurut kata hati nurani-mu pendamping yang paling ideal adaiah istrimu
sendiri, maka kau datang menjemputku.... Sebab kalau tidak, pasti kau lebih suka pergi
dengan Mbak Astari yang lebih sepadan denganmu."
'Tetapi yang jelas, aku datang jauh-jauh dari Jakarta tidak untuk mendengarkan pidatomu
yang indah itu!" Mas Totok menggerutu.
"Baik, kau datang jauh-jauh ke sini tidak untuk mendengar ocehanku!" aku menyeringai.
"Tetapi sebagai seorang subyek, aku boleh me-nentukan pendapatku sendiri atas
pennmtaanmu agar aku mendampingimu dalam pesta pemikahan itu, kan?"
"Ya, tentu saja."
"Nah kalau begitu, akan kukatakan jawabanku. Dengan amat menyesal, aku tidak bisa ikut
pulang bersamamu ke Bandung. Kau lihat kan, Mas, waktu kau datang tadi aku sedang sibuksibuknya mengoreksi pekerjaan para peserta kur-sus. Kalau aku pulang ke Jakarta, maka
tugasku ini tak bisa kuselesaikan pada waktunya. Jelas sekali kan alasanku?"
"Jelas sekali, Siska. Sejelas aku melihat bahwa apa yang kaukatakan itu cuma sebagai alasan
untuk menolakku!" "Bisa-bisanya kau mengarang!"
aku ganti menggerutu. "Bisa sekali kalau bahan-bahannya ada. Sebab biarpun disebut suatu karangan, itu semua kan
berangkatnya dari realitas yang pemah ada, sedang ada, atau mungkin akan ada. Bukan dari
negara antah berantah."
Mas Totok menjawab kalem.
"Jadi dengan kata lain, berdasarkan apa yang pemah kuketahui darimu dan dari apa yang
sedang terjadi di antara kita berdua, aku tahu bahwa betapapun banyaknya pekerjaanmu,
sebenarnya bisa saja kau tinggai atau kau tunda dulu. Itu, kalau kau mau"<-'-..
Mas Totok benar. Aku menjadi tersipu karenanya. Tetapi dengan cepat aku berusaha untuk
dapat menang di atas angin.
www.ac-zzz.tk "Kalau benar, aku berhak menolak, kan?"
'Itu pasti. Tetapi berikan alasan yang jelas dan benar. Jangan mengada-ada seperti tadi."
"Nanti kau marah!"
'Tidak, asalkan itu dilandasi dengan ke-jujuran."
"Baik, aku akan menjawab permintaanmu tadi dengan jujur," kuanggukkan kepalaku.
"Ke-enggananku ikut bersamamu itu karena aku tidak suka suasana kota Jakarta di akhir
pekan. Aku lebih suka tetap tinggai di Bandung yang segala sesuatunya lebih menarik!"
'Tidak suka itu kan ada alasannya."
"Apakah aku perlu menjawab padahal kau tahu betul bagaimana suasana akhir pekan di
Jakarta bagiku...." "Karena aku tidak bisa sepenuhnya menemani-mu, kan?"
Mas Totok menatapku dengan pan-dangan matanya yang tajam menyelidik. Itu' arti-nya, aku
tidak bisa menghindar dengan memakai alasan yang tidak diwamai kejujuran.
"Ya. Apakah itu-keliru?"
Akhimya aku menjawab sesuai dengan kenyataan.
"Sebab sejujur-nya saja, siapa sih yaang senang berakhir pekan sendirian saja" Tetapi
memang dalam persoalan kita ada sesuatu yang agak lain daripada lainnya. Bagaimanapun
juga, aku harus memakluminya."
"Lainnya?" Mas Totok memotong perkataanku.
"Lainnya begini. Meskipun misalnya aku ingin berakhir pekan dengan ditemani olehmu, tetapi
untuk itu kan berarti kau terpaksa harus mem-batalkan atau menunda acaramu dengan Mbak
Astari. Maka menurutku akan lebih baik kalau aku memilih berlibur sendirian saja. Sebab aku
tidak suka membuat orang merasa bersalah. Tidak suka membuat orang merasa terpaksa.
Tidak suka pula membuat orang mengalami perten-tangan batin dalam menentukan pilihan
langkah kakinya di antara cinta dan kewajiban!"
aku menjawab dengan suara tegas.
"Maka itulah, untuk menghindari hal-hal semacam itu aku lebih suka mengisi akhir mingguku
di Bandung yang lebih menyenangkan. Dan juga lebih damai."
"Aku sangat memahami pandanganmu," Mas Totok menjawab.
"Tetapi hari ini aku datang dengan satu tujuan, yaitu khusus mengajakmu pulang untuk
berakhir pekan di Jakarta. Sekaligus untuk menghadiri resepsi perkawinan anak Pak Prayoga,
www.ac-zzz.tk atasanku itu. Bersamamu, Siska. Tentu-nya, kau juga ingin memberi selamat kepadanya,
kan" Hubungan kita dengan keluarga Pak Prayoga sudah sedemikian baiknya lho."
"Kalau aku tidak mau pulang ke Jakarta?" pancingku.
Padahal sesungguhnya hatiku sudah tergerak. Bu Prayoga sangat baik kepadaku. Ia menganggapku seperti putrinya sendiri. Berkat dialah aku dulu mampu memasuki perkumpulan para
istri karyawan kantor dengan mudah. Padahal waktu itu, aku masih pengantin baru yang
sangat pemalu dan canggung.
"Kalau kau tidak mau menghadin pesta pernikahan itu, aku juga tidak akan datang ke sana!"
Mas Totok menangkap pancinganku.
"Aku tidak akan membiarkanmu begitu, Mas. Pak Prayoga bukan hanya atasanmu saja. Dia
bisa kita sebut pengganti orangtuamu yang ada di Solo sana. Keterlaluan kalau kau tidak
datang ke pesta pernikahan putrinya," tegurku.
"Aku hanya mau pergi kalau kau ada di sampingku. Tanpa melihat kehadiranmu, Bu Prayoga
pasti merasa kecewa. Dikiranya kau lebih mementingkan hal-hal lainnya. Meskipun pada
kenyataannya memang demikian, tetapi ja-nganlah kesan itu begitu kentara. Tengganglah
perasaannya," Mas Totok ganti menegurku. Perasaanku mulai tersentuh. Untuk hidup ber-masyarakat
dengan talus hati, kita tidak boleh hanya mementingkan perasaan dan urusan sendiri.
Memang sebaiknya aku ikut pulang ke Jakarta bersama Mas Totok. Hal-hal lainnya toh bisa
ditunda. Acara-acara Mas Totok dengan Astari dan kedua anaknya bisa diundur sampai
minggu depan. Dan pekerjaanku bisa ditunda sen^r Z uSiifaL Pukul enam petang lebih malam
dar^*"***9 makan ngkat ke Jakarta. Semakin cepat itu kuselesaikan, akan semakin baik.
mudah-mudahan sebelum tengah malam kami Ah "tiba di rumah. Dan besok, kami berdua
sUda& resepsi perkawinan putri Pak bisa VQl&1 prayoga10 Melihatku melirik arloji, Mas
Totok tahu bahwa hatiku sedang mulai tergerak. Ia juga sudah melihat keraguanku untuk
menolak ajakannya lagi. "Ayoiah, Siska." Mas Totok semakin gencar membujukku.
"Percayalah padaku, selama akhir pekan ini aku sudah mengatakan kepada Astari untuk
menunda beberapa acara kami. Dan ke-betulan pula, dia sudah mempunyai acara bersama
keiuarga besamya. Dengan begitu, kau tak perlu memikirkan masalah itu. Oke?"
"Oke. Tetapi ada syaratnya. Setuju?" Akhirnya aku mengalah.
www.ac-zzz.tk "Asal itu masuk akal, aku setuju."
"Ini sangat masuk akal, Mas. Yaitu beri aku waktu untuk melanjutkan pekerjaanku. Aku tak
mau kalau aku kembali ke Bandung nanti masih melihat pekerjaan yang tertumpuk di atas
meja," jawabku. "Jadi setidaknya, sebagian besar pekerjaanku sudah harus kubereskan hari ini. Bagai-mana,
setuju?" "Setuju." Mas Totok tampak gembira mendengar kesediaanku pulang ke Jakarta bersamanya.
"Bekerjalah. Aku akan berusaha untuk duduk dengan diam-diam agar tidak mengganggumu
bekerja." Aku tersenyum di dalam hatiku. Kulihat, ia mengambil koran terbitan Bandung yang kubeli
pagi tadi, kemudian mulai asyik membaca. Aku pun mulai melanjutkan pekerjaanku. Mulamula memang tidak mudah mengumpulkan kembali konsentrasiku yang semula buyar.
Apalagi menyadari kehadiran orang lain di kamarku yang semula tak pernah dijamah orang
lain itu. Kedua teman serumahku sangat menghargai privacy kami masing-masing. Jarang sekali
mereka masuk ke kamarku. Dan untunglah, akhirnya aku bisa juga mengembalikan seluruh
pikiran dan perhatianku kepada pekerjaanku. Tetapi sayangnya, baru sepuluh menit berlalu
telepon genggamku berbunyi. Padahal di luar, ada telepon biasa yang disediakan kantor
untuk-ku. Karenanya aku merasa yakin, telepon itu dari Victor. Sebab tidak banyak yang
mengetahui nomor telepon genggamku. Kalaupun ada beberapa yang tahu, mereka lebih
suka meng-hubungiku dengan telepon rumah daripada ke telepon genggamku. Sebab selain
biayanya lebih tinggi juga mengesankan urusan yang bersi&t pribadi. Mendengar telepon
genggamku berbunyi, Mas Totok melirikku.
Tanpa melihatnya pun, aku tahu ada pandangan rasa ingin tahu pada lirikan matanya itu.
Sebab seperti yang kukatakan tadi, dia juga tahu bahwa hanya orang-orang tertentu sajalah
yang menelepon ke telepon genggamku. Apa yang kuduga tadi benar. Telepon itu memang
dari Victor. Oia sedang berada dalam perjalanan menuju ke Bandung.
"Halo...?" sapaku.
"Halo, Cantik. Aku sedang dalam perjalanan menuju ke Bandung," begitu ia langsung berkata
ketika mendengar suaraku.
www.ac-zzz.tk "Ada urusan yang hams kuselesaikan di Bandung, Siska. Tetapi untuk malam ini aku hanya
akan mengisi waktu-ku bersamamu saja. Maukah kita menginap di Lembang dan makan
malam di sana" Lalu besok pagi-pagi sekali akan kuajak kau berjalan-jalan menyusuri lembah
di dekat hotel. Ada banyak tanaman dan bunga liar di sana. Pemandangannya secantik
dirimu. Tak bosan-bosan mata me-mandanginya.'"
"Victor..." aku memutuskan angan-angannya.
Tak enak msaoya mendengar betapa banyak ren-cananya sementara aku malam ini akan
pulang ke Jakarta bersama Mas Totok. Mendengar nama itu kusebut, Mas Totok yang duduk
di dekatku itu melirikku lagi. Bahkan dengan menolehkan kepalanya ke arahku. Keasyikannya membaca koran terhenti. Aku sadar betul, dia tahu nama bekas kekasihku itu. '
Sementara itu, mendengar aku menyela per-kataannya yang belum selesai, Victor tertawa
geli. "Kita tidak akan tidur sekamar, Siska. Jangan khawatir!" Kudengar tawanya di antara suara
deru mobilnya. "Kecuali, kalau aku tak tahan...."
"Victor!" Aku mulai menegurnya. Kudengar, dia tertawa lagi.
"Aku cuma bercanda saja, Cantik!"
Dia berkata, masih dengan tertawa.
"Aku mengerti dan menghargai pandanganmu kok."
"Victor, masalahnya bukan hanya itu saja," kataku memutuskan lagi perkataannya.
"Tetapi karena aku tidak bisa pergi bersamamu. Malam ini aku harus kembali ke Jakarta.
Maafkanlah aku." "Kenapa?" "Ada urusan keluarga. Aku akan dijemput oleh Mas Totok sebentar lagi."
Tak kukatakan bahwa orang yang kusebut namanya itu sudah ada di dekatku. Bahkan aku
yakin sekali, dia duduk dengan telinga terpasang dan siap me-nguping.
"Aduh, sayang sekali. Kecewa berat lho aku. Tetapi aku sungguh berharap rencana ini bisa
kita laksanakan di lain waktu. Oke, Sis?"
"Kita lihat bagaimana nanti, Victor."
"Baiklah. Tetapi izinkanlah aku mengatakan sekali lagi apa yang ada di hatiku ini, Siska."
"Apa itu* Victor?"
www.ac-zzz.tk "Aku mencintaimu, Siska. Cup, cup, cup!"
Usai berkata seperti itu Victor menggumamkan lagi tawanya yang lembut dan kemudian
meng-akhiri pembicaraan kami.
Maka kumatikan tele-ponku dan kuletakkan ke atas meja kembali. Saat itu aku baru sadar,
Mas Totok sedang menatapku dengan pandangan mata yang aneh.
"Victor siapa itu tadi?" tanyanya kemudian.
Rupanya, rasa ingin tahunya begitu besar. Mata-nya tak berkedip menatapku.
"Victor, pacarku dulu." Aku mengaku.
"Jadi kalian menjalin hubungan lagi, rupanya...." Aku tidak ingin menanggapi perkataannya
yang lebih merupakan penilaian daripada pertanyaan itu. Mates rasanya. Perhatianku lebih
kucurahkan pada pekerjaanku kembali. Melihat itu Mas Totnk juga mulai membaca koran
kembali. Tetapi suasananya sudah telanjur kurang enak. Aku tahu sebabnya. Sedikit atau
banyak pastilah Mas Totok menganggapku tak lagi ber-sikap jujur. Bertemu kembali dengan
Victor, tetapi sepatah kata pun aku tak pemah mencerita-kan hal itu kepadanya. Dan masih
ditambah dengan kenyataan selama berminggu-minggu lamanya aku tidak mau pulang ke
Jakarta. Bisa saja Mas Totok mengira aku dan Victor sedang menguntai acara di Bandung ini.
Meskipun suasananya sudah telanjur tak enak, aku tak mau menjelaskan apa pun kepada Mas
Totok. Bahkan beberapa jam kemudian ketika kami berada dalam perjalanan menuju ke
Jakarta. Buat apa" Dia toh tidak menanyakannya" Pikir-ku, lama-kelamaan suasana tak enak
itu pasti akan mencair juga dengan berlalunya sang waktu. Tetapi temyata suasana tak enak
itu justru memuncak setelah kami tiba di rumah. Ketika itu jam antikku baru saja
mendentangkan bunyi-nya sebanyak dua belas kali. Saat itu aku sedang mulai membersihkan
wajahku setelah mem-bereskan barang-barang bawaanku dari Bandung. Waktu aku sedang
mengambil kapas dari stoples plastik kecil di atas meja rias, pandang mataku membentur
sebuah lipstick yang bukan milikku tergeletak di atas meja riasku. Dalam kondisi sedang
lelah lahir dan batin, melihat lipstick itu membuatku tak mampu me-nguasai diri
sebagaimana biasanya. Kemarahanku memuncak. Astari sudah berbuat keterlaluan. Memakai kamarku, memakai meja riasku seenak perutnya sendiri, justru di saat aku sedang
tidak ada di rumah. Maka lupalah aku pada ke-sepakatanku dengan Mas Totok untuk samasama bersikap terbuka dan membicarakannya dengan terus-terang kalau ada masalah yang
terjadi. Dengan kemarahan yang kuherani sendiri, kutegur Mas Totok.
www.ac-zzz.tk "Sudah berapa puluh kali tempat tidur ini kalian nodai?" semburku tanpa pembuka kata apa
pun lebih dulu. "Apa maksud bicaramu?" Mas Totok yang sedang menukar baju, kaget melihat sikap dan
suaraku yang penuh kemarahan itu. Dahinya berkerut dalam ketika menoleh ke arahku.
"Kau tahu apa yang kumaksudkan. Ini lipstick Astari, kan
Kulempar lipstick itu ke arahnya. Belum pemah aku berbuat sekasar itu kepada Mas Totok
sebelumnya. Entahlah, setan dari mana yang sedang hinggap di kepalaku itu, aku tak tahu.
Lipstick yang kulempar ke arah Mas Totok itu mengenai lengannya, lalu jatuh menggelinding
ke lantai. Lelaki itu langsung memungutnya. Kemudian ditelitinya benda itu dengan
memutar-mutamya. "Lho, mi bukan lipstick-mu?" tanyanya kemudian dengan penuh rasa ingin tahu. Heran aku,
dia tidak marah atas kelakuanku yang kasar itu. Malah bertanya, lagi.
"Kau pikir aku tidak kenal barang milikku sendiri?" semburku lagi.
"Barang itu pasti ke-tinggalan setelah kalian... kalian... memadu kasih di atas tempat
tidurku!" Mendengar perkataanku yang terakhir itu, baru-lah Mas Totok mulai marah. Matanya
melebar menatapku. Dan pelipisnya bergerak-gerak. Seperti kemarahanku tadi, Mas Totok
juga baru sekali ini memperlihatkan emosinya yang tak bisa dikendalikannya.
"Aku tidak segila itu, Siska!" semburnya dengan suara keras.
"Aku masih punya kesadaran moral yang cukup tinggi. Seandainya pun aku ingin melakukan
itu dengannya, sudah pasti akan kulakukan di tempat lain. Bukan di sini. Apalagi kesempatan
untuk itu sangat terbuka lebar kalau aku mau."
"Sekian bulan lamanya kalian begitu sering bersama-sama dengan mesra sementara aku
berada di tempat jauh, masa iya sih sekali pun kalian tidak pemah melakukan... hubungan
intim?" Aku mendengus.
Perkataanku sudah semakin tak terkontrol lagi.
Dan dia sudah pula memberikan lampu hijau...."
"Demi Tuhan, Siska, keinginan seperti itu cuma sekali saja singgah di hatiku, yaitu ketika
kami baru-baru saja bertemu lagi." Ia memotong bicaraku dengan membentak.
"Dan sekarang, sekali pun keinginan seperti itu tak pemah lagi singgah di hati dan kepalaku!"
www.ac-zzz.tk Aku terkejut. Bukan saja karena melihat ke-marahannya yang begitu telanjang tetapi juga
Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena isi bicaranya. Aku benar-benar tidak me-nyangka. Tadi begitu menemukan lipstick
Astari, pikiranku langsung saja lari ke sana. Terbayang olehku bagaimana Mas Totok
memesrai Astari, menciuminya dengan ciuman bertubi-tubi sampai lipstick-di bibir
perempuan itu pudar. Dan setelah kemesraan itu berlalu, perempuan itu pun me-nyisir
rambutnya yang berantakan dan memulasi bibimya dengan lipstick yang ketinggalan di atas
meja riasku itu. Dan sebenarnya, itulah yang membuatku kehiJangan kontrol tadi. Aku tidak
rela mereka bermesraan di kamar pribadiku. '
"Tetapi kalau memang kalian berdua tidak berbuat seperti itu, kenapa dia berkeliaran di
rumah ini bahkan sampai-sampai masuk ke kamar kita?"
"Itu karena katanya dia mau mandi di sini. Kau hams tahu, sampai sekarang masih saja dia
memintaku mengantarkannya ke mana-mana dan lalu juga minta mampir kemari. Entah
untuk minta minum air es, entah untuk ke kamar mandi, pokoknya ada saja keperluannya.
Aku tak bisa menolaknya."
"Itu karena kau masih mencintainya, Mas. Kau juga sangat memanjakannya karena perasaan
cintamu itu. Ke sana dan kemari bersama-sama seperti pengantin baru!"
Aku menyembur lagi, masih kehilangan kontrol diri.
"Sebab, bayang-kanlah. Kalau orang melihatmu bersama Mbak Astari lebih dari dua atau tiga
kali sudah bisa menduga yang bukan-bukan, apalagi aku. Sudah berapa puluh kali kalian
bersama-sama selama sekian bulan ini" Heran, aku. Kenapa sih kalian tidak mulai saja
memiktrkan masa depan kalian berdua. Memkahlah. Sebab kedengarannya itu akan jauh
lebih terhormat daripada apa yang sekarang kalian lakukan. Tentang diriku, kita kan bisa
beTcerai...." "Dan lalu kau jadi bisa lebih bebas berkasihkasihan dengan Victor lagi, kan?" Dengan tang-kas
Mas Totok menanggapi perkataanku. Pelipis-nya mulai bergerak-gerak lagi seperti tadi.
"Sorry ya, Mas, aku bukan perempuan mu-rahan. Kalau mau, sudah kemarin-kemarin kuserahkan diriku kepada Victor. Dan asal kau tahu saja, perjumpaan kami sama sekali tidak
disengaja. Kami bertemu di atas kereta api." "Dan lalu menjalin hubungan kembali."
"Jangan ngawur!"
"Bukankah melalui telepon tadi, kalian sedang menjalin janji?"
www.ac-zzz.tk "Terus-terang saja dia memang mengajakku menjalin hubungan cinta kembali. Perkawinannya tidak bahagia. Tetapi aku menolaknya dan bahkan menyuruhnya untuk
mencoba menjembatani hUr bungannya dengan sang istri. Tadi pun ajakannya kutolak." Aku
mendengusa ." "Seandainya aku tadi tidak datang menjemput-mu, pasti ajakan itu akan kau penuhi. Ya,
kan?" "Itu mungkin saja. Aku toh tidak melanggar aturan main kita. Sedikit bersenang-senang
boleh-boleh saja, kan?"
"Tentu saja boleh. Bahkan kalaupun kalian memadu cinta kembali dengan paduan cinta yang
dulu belum sempat menyatu, juga tidak ada yang melarang. Asal itu kau katakan dengan
terus-terang dan tidak bersembunyi-sembunyi...."
"Jangan samakan diriku dengan dirimu, Mas!" Aku memotong perkataan Mas Totok dengan
mata melotot, marah sekali. Bukankah aku telah menolak uluran tangan Victor yang ingin
menjalin kembali hubungan cinta kami" Aku masih punya akal budi untuk tidak merusak
perkawinan Victor maupun perkawinanku sendiri. Aku juga masih menjadi perempuan yang
tidak bisa dan tak pemah mau bersenang-senang di atas ke-susahan orang lain."
"Kau menilaiku terlalu rendah,. Siska!" Mas Totok bersungut-sungut.
"Memangnya, aku ini apa!"
"Rendah atau tidak, kau sendirilah yang tahu. Aku kan hanya bisa melihatmu dari jauh dalam
hal ini. Tetapi yang jelas kau lemah hati, tak berani mengambil keputusan yang tegas dan
jelas. Aku yakin, dia pasti sedang menunggu kata kepastian darimu."
"Kepastian apa menurutmu?"
"Perceraian kita dan lalu kau menikah dengan Astari."
"Aku tidak pemah berpikir untuk bercerai denganmu. Bahkan sedikit pun aku tak pernah
mempunyai pikiran untuk menikah dengan Astari." Aku tertegun.
Kalau aku tidak kenal Mas Totok pasti aku tak akan mempercayai apa yang baru kudengar
itu. Tetapi toh tetap saja aku merasa ada sesuatu yang agak ganjl dari perkataannya itu.
Sebab pada kenyataannya, dia dan Astari selalu saja menguntai acara demi acara berduaan
dan bahkan dengan kedua anak Astari. Seolah persiapan Mas Totok untuk menjadi seorang
ayah tiri yang baik sudah mulai dirintis. "Itu kan menurut perkataanmu, meski mungkin saja
www.ac-zzz.tk memang begitu jugalah menurut keinginan hatimu. Tetapi, bagaimana pada kenyataannya"'
Merasa tak tahan, apa yang kupikirkan itu ku-lontarkan.
"Apakah kelakuanmu selama ini me-nunjang orang untuk mempercayai perkataanmu tadi?"
"Aku paham kenapa kau berkata seperti itu," kata Mas Totok lagi. Kini sikapnya lebih terkendali dibanding tadi.
"Begini, Siska, kurasa sudah saatnya kalau kita sekarang membicarakan segala sesuatu yang
ada di seputar diri kita belakangan ini secara lebih terbuka, agar masing-masing di antara
kita bisa menentukan sikap. Nah, apakah kau siap untuk itu, Siska" Ataukah kau sudah
mengantuk" Kalau ya, kita bisa membicarakan masalah ini besok saja...."
"Aku belum mengantuk, Mas."
Perkataan Mas Totok kupenggal.
"Kurasa, memang baik sekali kalau malam ini kita membuka masalah yang ada di sekitar kita
supaya menjadi lebih gamblang. Dengan demikian masing-masing kita bisa segera
menentukan langkah," sahutku.
"Me-nunda-nundanya hanya memperparah keadaan saja. Lihat saja apa yang baru saja
terjadi tadi Masing-masing kita telah melontarkan kata-kata yang tajam. Masing-masing
telah pula kehilangan kontrol diri. Marah-marah tak terkendali. Padahal selama hampir enam
tahun pernikahan kita, hal-hal seperti tadi hampir-hampir tak pernah terjadi."
"Ya, kau benar sekali, Sis!"
"Kalau begitu, mulailah."
Dari cermin, wajah-ku yang polos tanpa make up apa pun itu tampak bersih. Aku merasa
bersyukur, kesehatan-ku yang prima ikut menunjang kesehatart kulitku. Apalagi, kecuali
bedak aku tak pernah memoles wajahku dengan ini dan itu sehingga kemungkinan kena
dampaknya sangat kecil. "Baiklah...." Mas Totok menarik napas panjang, kemudian melanjutkan bicaranya.
"Siska, aku harus mengaku padamu bahwa belakangan ini aku mulai menyadari sesuatu yang
cukup luar biasa bagiku. Sesuatu yang menjadikan ke-matangan diriku terlontar jauh ke
depan. Agak sedikit terlambat memang, menilik usiaku yang sudah tiga puluh tiga lebih
ini..." www.ac-zzz.tk "Kau mau mengatakan apa sih, Mas?" tanyaku memotong perkataan Mas Totok dengan tak
sabar. "Beginii, Siska. Ketika aku berjumpa kembali dengan Astari, perasaanku begitu
melambung-lambung penuh dengan angan-angan dan hal-hal yang pemah kami untai berdua.
Seperti orang mabuklah yang kualami waktu itu. Tetapi kemudian semakin lama, semakin
aku kehilangan suasana yang melambung-lambung seperti itu sehingga mataku secara pelanpelan terbuka untuk menangkap realitas yang ada. Dan itulah yang kusebut sebagai
kesadaran tadi, bahwa temyata selama ini diriku telah terjebak kemanisan masa laluku.
Padahal aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu lagi. Perjalanan hidupku selama ini
membuatku semakin dewasa tanpa aku me-nyadarinya. Maka ketika aku melihat Astari melalui kacamata dalam kedewasaan diriku itu, sadarlah aku bahwa sebenamya cintaku
kepadanya sudah tak ada lagi. Seperti kataku tadi, aku cuma terjebak oleh kenangan masa
laluku saja. Jadi sekali lagi, itulah lontaran kedewasaanku menuju kematangan dunia batin
yang membuatku sampai tertegun-tegun sendiri karena keluar-biasaannya. Kacamataku yang
semakin bening membuatku terheran-heran ketika melihat segala sesuatunya secara
transparan tanpa dibauri hal-hal yang semu lagi. Jadi Siska, kenapa aku selalu menuruti
keinginan Astari... kecuali yang satu itu lho...."
"Yang satu itu apa sih?" Aku memotong lagi perkataan Mas Totok.
Ingin sekali aku mendengar secara lebih konkret apa yang dikatakannya itu untuk membulatkan pengertianku yang bam atas hubungan-nya dengan Astari. Tak kupungkiri,
pengakuan Mas Totok itu telah membuatku terkejut dan terheran-heran. Sungguh mati, aku
tak me-nyangkanya sama sekali. Jadi, selama ini aku telah keliru menilai dirinya! Mas Totok
tersenyum sekilas. Dia tahu betul, aku cuma ingin bukti yang lebih jelas dan lebih bisa
didengar secara langsung.
"Aku memang seialu menuruti apa pun keinginan Astari, bahkan mengantarkannya ke
Semarang pun kulakukan. Tetapi yang satu itu tidak. Maksudku, kalau dia memberi peluangpeluang atau kesempatan untuk memesrainya, pasti itu akan kutolak. Bahkan yang ringan sekalipun seperti berciuman misalnya, aku tetap tidak akan melakukannya. Sudah tidak ada
cinta dan tak ada greget lagi, masa iya aku mau berciuman dengannya!"
Lelaki itu menjawab dengan agak tersipu-sipu.
"Kalau memang demikian, kenapa kau seialu memanjakannya sampai-sampai membiarkannya
keluar-masuk rumah ini semau dia sendiri tanpa menenggang perasaanku."
www.ac-zzz.tk "Itu karena rasa bersalahku kepadanya. Dia mengira aku masih mencintainya. Bahkan berangan-angan melihatku bercerai denganmu. Ketika dia tahu kau bekerja di Bandung, anganangan itu semakin membubung tinggi. Justru karena itulah aku takut kalau-kalau dia
mengalami ke-kecewaan luar biasa yang menggoncangkan hati-nya kalau dia tahu apa yang
sebenarnya terjadi."
Pengakuannya itu pun rak kusangka sama sekali. Namun begitu, aku ingin tahu apa lagi yang
masih mengendap dalam hatinya. Sekaligus iga untuk melampiaskan perasaan-perasaan
terpendam yang selama sekian bulan ini menekan perasaanku dan mengganggu ketenangan
batinku. "Untuk itu, kau biarkan kepala istrimu seperti diinjak-injak."
"Apa maksud bicaramu itu, Siska?"
"Ingatkah kau ketika aku berulang tahun" Waktu itu aku benar-benar merasa kesepian,
sendirian di rumah yang sepi sementara kau ada bersamanya. Dan tidak sadarkah kau, Mas,
aku juga sering harus pergi ke mana-mana sendirian bahkan pada malam hari pun, karena
kau sibuk dengan perempuan lain. Kau temani dia ke Semarang seolah dia yang istrimu.
Bukan aku. Juga tanpa meminta persetujuanku lebih dulu kau turuti keinginannya memiliki
kuda-kudaan porselin milikku. Lalu kau biarkan pula dia keluar-masuk sesukanya di rumah ini
justru di saat aku tidak ada. Padahal aku masih sah istrimu. Pikirkanlah, Mas, bagaimana
perasaanmu kalau kau ada di tempatku!"
Mendengar perkataanku, Mas Totok men-dekatiku dengan langkah lambat. Kini lelaki itu
berdiri tepat di belakangku sementara aku masih tetap duduk di muka meja riasku. Kedua
belah tangannya ia letakkan ke bahuku. Dari cermin di depanku aku melihat wajahnya
tampak lelah. "Aku pastilah telah menyakiti hatimu, Siska. Aku benar-benar tolol, bahkan buta tidak
berpikir sampai ke sana. Selama ini pikiranku terserap hanya pada kekhawatiranku melihat
Astari kecewa. Padahal seharusnya aku sadar bahwa kau lebih membutuhkan perhatianku.
Bahwa batimu lebih terluka dibanding dirinya...," bisiknya dengan suara yang sama letihnya
dengan sinar wajahnya itu.
"Itu karena pada dasamya, kau tidak memiliki perasaan bahwa akulah yang istrimu. Bukan
dia." www.ac-zzz.tk "Kau keliru, Siska. Justru karena aku seialu sadar dan ingat bahwa kau adaiah istriku, maka
rasa bersalahku bahkan rasa kasihanku kepada Astari semakin menebal. Apalagi setelah aku
sadar bahwa "cintaku yang sesungguhnya sudah kuserahkan kepada istriku sendiri."
"Apa?" Aku memotong lagi perkataan Mas Totok dengan terkejut. Tidak salah dengarkah aku" Mas
Totok mencintaiku" "Aku mencintaimu, Siska; Aku mencintaimu tanpa kusadari sebelumnya. Kehadiran Astari
yang aku kenal sekarang justru menyadarkan di mana cintaku yang sebenarnya. Temyata
cintaku yang matang, cintaku yang sesuai dengan ke-nyataan masa kini, hanya ada pada
kehidupanku yang sekarang. Bersamamu."
Aku terdiam dengan takjub mendengar perkataan. Mas Totok itu. Kuulangi kata demi kata
yang masuk ke telingaku tadi untuk meresapi maknanya. Dan kemudian kupelajari pula
penga-kuannya itu untuk menilai perasaanku sendiri atas semua yang terjadi di antara kami
berdua akhir-akhir ini. "Kenapa diam saja" Kau marah mendengar pengakuanku ini, Siska?" tanya lelaki itu.
Ta-ngannya mulai mengelusi rambutku dengan ge-rakan mesra. Aku marah" Bagaimana
mungkin aku akan marah dalam keadaan yang memberiku kebebasan begini" Sebab begitu
mendengar pengakuannya itu tiba-tiba saja aku merasa beban berat yang ada di pundakku
tergulir lepas. Dan sebagai gantinya, pundak dan kepalaku mulai diselmiuti pemahaman yang
begitu gamblang yang ter-pampang di hadapanku.
"Kenapa aku harus marah kepadamu, Mas?" sahutku lama kemudian.
"Pengakuanmu itu bukan saja telah menyejukkan perasaanku yang selama ini begitu gersang.
Tetapi juga telah membuka cakrawala baru, menyingkap seluruh tirai yang semula
menyelubungi mata hatiku, sehingga aku kini mampu melihat kenyataan dengan lebih baik."
"Kenyataan yang seperti apa, Siska?" Mas Totok yang masih berdiri di belakangku terns saja
mengelusi rambutku. Kubiarkan dia dengan perbuatannya itu.
"Kenyataan yang membawaku pada suatu ja-waban atas pertanyaan-pertanyaan batinku
selama ini. Antara lain, kenapa perasaanku belakangan ini mudah sekali menjadi labil.
Kenapa pula aku sering merasa kepalaku seperti diinjak-injak dan hatiku menjadi panas
kalau menemukan atau melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Seperti misalnya ketika
kau membatalkan rencana-mu untuk mengantarkanku pindah ke Bandung beberapa bulan
www.ac-zzz.tk yang lalu. Demikian juga ke-marahanku tadi ketika melihat lipstick itu. Rupanya Mas, itu
semua adaiah perasaan cemburu." Aku menjawab dengan pelan dan agak malu-malu.
"Karena aku sangat tidak suka mem-bayangkan dirimu berkasih-kasihan dengan perempuan
lain. Kau adaiah milikku."
"Apakah munculnya perasaan itu karena kau merasa lebih berhak atas diriku sebab aku ini
suamimu?" Wajah lelah dalam cermin itu mulai tampak bercahaya. Bahkan bola matanya
juga mulai tampak berbinar.
'Tidak tepat seperti itu..."
"Lalu tepatnya seperti apa?"
Ah, Mas Totok. Dia sudah tahu tetapi pura-pura tak tahu. Aku . kenal pancaran matanya. Ia
ingin mendengar apa yang sudah diduganya itu keluar dari mulutku. Tetapi aku tidak segera
menjawab. Pikiranku sedang bergolak. Sebab secara tiba-tiba aku ter-ingat kepada Victor.
Pengakuan Mas Totok me-ngenai perasaan semunya terhadap Astari telah menyentil keras
kesadaranku. Temyata, seperti itulah yang rupanya juga kualami. Temyata perasaan cintaku
kepada Victor yang muncul be-Iakangan ini juga cuma perasaan semu. Seperti pengakuan
Mas Totok tadi, aku juga telah terjebak kemanisan masa lalu. Sebab kalau aku memang
benar-benar masih mencintainya, kenapa aku menolak kemesraannya" Bukankah sekarang ini
hubunganku dengan Mas Totok sedang berada pada titik kritis" Bisa saja aku berpikir apa
salahnya kalau aku menerima kemesraannya" Tetapi toh pada kenyataannya, aku tidak ingin
bermesraan dengan Victor. Sadar atau pun tidak, itu kuputuskan karena aku merasa diriku
hanyalah milik Mas Totok seorang. Jadi bukan melulu karena aku merasa berkewajiban untuk
meng-hormati perkawinanku saja. Apalagi kalau kuingat betapa dulu ketika hubunganku
dengan Victor sedang berada di tepi jurang kehancuran, aku pemah ingin menyerahkan
keperawananku kepadanya sebagai persembahan cinta dan kesetiaan-ku kepadanya. Tetapi
sekarang ketika aku sudah bukan seorang perawan, keinginan untuk itu sedikit pun malah
sudah tidak ada lagi. Bam kusadari sekarang, betapa telah berubahnya cara pandangku dan
bagaimana pula aku sekarang ini menempatkan diri dan perasaanku terhadap Victor.
"Siska..." Kok diam saja?"
Kudengar nada khawatir dalam suara Mas Totok ketika aku belum juga menjawab
pertanyaannya. Merasa tak tahan atas semua kesadaranku tadi, pertanyaan Mas Totok
kujawab dengan memutar tubuhku dan melemparkan diriku ke dalam pe-lukannya.
www.ac-zzz.tk "Aku juga mencintaimu, Mas. Tetapi bedanya kalau kau menyadari cintamu kepadaku sudah
beberapa waktu yang lalu, aku baru sekarang ini menyadari cintaku kepadamu...," bisikku.
"Aku tadi benar-benar merasa cemburu ketika melihat lipstick Astari ada di atas meja
riasku...." Sebelum perkataanku kuselesaikan, Mas Totok mengangkat daguku. Matanya menatap
mataku dengan penuh cinta yang membara.
"Tetapi justru karena lipstick itulah kesadaranku atas cintaku padamu ini kubuka malam ini
juga. Aku tak mau lagi menundanya, terutama setelah kusadari tentang sesuatu yang
lain...." "Kenapa lipstick ini, Mas?" tanyaku menyela.
"Karena lipstick inilah mataku semakin terbuka lebar tentang diri Astari. Dia tidaklah
selemah seperti yang kukira. Dia tidak perlu dikasihani sebagaimana dugaanku semula. Dia
memiliki ke-kuatan sendiri untuk menolong dirinya sendiri...."
"Apa kaitannya dengan lipstick itu sih, Mas!"
Aku memotong lagi perkataannya. Kini dengan rasa tak sabar.
"Selama ini, Astari telah memakai kelemahan hatiku untuk tetap menempatkan dirinya
sebagai orang yang patut kukasihani. Padahal secara licik dia telah dengan sengaja meminta
kuda-kudaan porselinmu, meninggalkan saputangannya di kamar mandi, dan sebagainya. Dan
sekarang, lipstick ini pula. Aku mulai yakin sekarang, ben da itu bukannya tertinggal di sini.
Tetapi telah ia sengaja agar kau melihatnya!" Mas Totok menjawab dengan suara kesal.
"Aku benar-benar buta selama ini."
"Sudahlah, Mas, semua itu telah berlalu...."
Mas Totok menatap mataku lagi dengan matanya yang berbinar itu. Kemudian tersenyum
manis. "Semua yang tak menyenangkan memang telah berakhir, Sayang. Sudah saatnya bagi kita
berdua untuk meninggalkan masa lalu dan memandang ke masa depan."
"Ya...." "Aku mencintaimu, Siska. Dan berbahagia karena temyata kau pun mencintaiku...,"
desahnya. Usai berkata seperti itu, Mas Totok mencium bibirku. Kemudian diangkatnya
tabubku ke atas tempat tidur.
www.ac-zzz.tk "Aduh, rasanya kau bertambah gemuk, Siska. Atau aku yang sudah mulai kehilangan
Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kekuatan?" "Kau masih muda dan kekuatanmu masih akan tetap ada padamu sampai sepuluh tahun, dua
puluh tahun mendatang...."
Aku tersenyum sambil melingkarkan tanganku ke lehemya yang kokoh itu. Mas Totok
menjawab perkataanku dengan menghujaniku ciuman dan belaian kasihnya. Aku bergetar
merasakan betapa seluruh perbuatannya itu bernapaskan cintanya kepadaku. Dengan sepenuh cinta dan kerinduan, kubalas seluruh per-nyataan cintanya itu dan meresapinya
hingga seluruh serat tubuhku. Ketika kerinduan itu telah terpuaskan dan rasa gamang yang
selama ini menyungkup diriku telah. tersingkirkan, barulah aku mau mengakui sesuatu yang
selama berminggu-minggu ini ke-sembunyikan rapat-rapat dengan perasaan takut.
"Mas, ada sesuatu yang ingin kukatakan ke-padamu...," kataku, masih berada di dalam
pelukannya. Kepalaku berada di atas lengannya.
"Apa itu, Sayang?"
"Ingatkah kau apa yang terjadi kira-kira tiga bulan yang lalu sebeium aku berangkat ke
Bandung untuk pertama kalinya?"
Aku bertanya kepada Mas Totok sambil mengelus dagunya yang mulai kasar oleh tumbuhnya
rambut kecil-kecil di tempat itu. Aku menyukai rasa tajam-tajamnya rambut itu di telapak
tanganku. "Apa itu, Siska" Ada banyak yang terjadi waktu itu, kan?"
"Ya. Tetapi peristiwa yang itu begitu khusus dan tak terlupakan olehku. Ketika itu pagi-pagi
sekah di hari keberangkatanku, kau tergesa pulang dari rumah Mbak Astari setelah menginap
di sana...." -'Yah, aku tergesa pulang karena ingin merasakan kemesraan bersamamu sebeium kau
berangkat ke Bandung."
Mas Totok menyambung bicaraku sebeium aku menyelesaikannya.
"Mas, apa yang kita lakukan saat itu telah mengakibatkan sesuatu padaku...."
"Sesuatu padamu" Apa itu, Siska?"
"Aku... aku hamil, Mas...."
Mas Totok menatapku dengan takjub. Wajah-nya tampak lucu sekali. Dia benar-benar
tampak terkejut dan terpesona sekaligus.
www.ac-zzz.tk "Kau yakin...?" tanyanya kemudian dengan suara bergetar.
"Tiga kali haidku tidak datang, Mas. Dan dadaku terasa penuh, sementara pinggangku terasa
menebal. Meskipun belum berpengalaman, tetapi aku tahu itu adaiah tanda-tanda
kehamilan." "Berarti aku tidak salah ketika mengatakan tubuhmu lebih berat daripada sebelumnya. Ya
Tuhan, betapa indahnya penyelenggaraan-Mu atas hidup manusia. Setelah sekian tahun
lamanya, baru sekarang Tuhan mempercayai kita...," bisik Mas Totok sambil memeluk erat
tubuhku. Ta-ngannya yang menggeletar mengirirnkan getar kasihnya kepadaku.
"Itu karena baru sekarang cinta itu hadir di sini."
Perkataan itu kujawab dengan membalas pe-lukan mesranya. Tetapi mataku menatap
keluar, melalui celah-celah tirai jendela yang tersingkap. Nun di sana aku melihat kedipan
bintang dini hari. Dia mengucapkan selamat bahagia kepadaku. Alangkah memesonanya itu.
Dan alangkah bahagianya hatiku.
Sekian Peristiwa Burung Kenari 5 Death Du Jour Karya Kathy Reichs Pena Wasiat 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama