Ceritasilat Novel Online

Alengka Bersimbah Darah 2

Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah Bagian 2


Hal ini terbukti dengan
munculnya pro kontra terhadap Pendekar Slebor,
meskipun mereka juga tahu bahwa Prabu mempunyai
hubungan yang cukup dekat dengan Pendekar Slebor.
"Saya heran, Prabu, mengapa untuk mencari Pendekar Slebor saja, orang-orang itu harus mengambil
korban para rakyat tidak berdosa. Kalau mereka memang cuma mencari Pendekar Slebor, harusnya ya...,
carilah sendiri sampai ketemu. Jangan orang lain yang dibunuhi," kata
Parameswara, Menteri Keamanan.
"Memang benar. Akan tetapi kita tahu bahwa tak
ada asap jikalau tidak ada api. Ini semua terjadi kare-na Pendekar Slebor. Ia
tentu membuat ulah yang
membangkitkan kemarahan dari kaum persilatan golongan hitam," tanggap Hancahera, Menteri Kesejahteraan dan Perdagangan Rakyat.
"Setahuku Pendekar Slebor tidak pernah membuat
ulah yang brengsek," jawab Parameswara. "Kalau tidak, tentu kabarnya sudah kita
dengar bersama, karena pengawasan keamanan yang kulakukan cukup
baik. Kenyataannya, ia malah telah membantu Kerajaan Alengka selama ini dengan membasmi keangkara
murkaan yang ditimbulkan golongan hitam."
"Bukan maksudku mengatakan Pendekar Slebor
telah melakukan ulah yang brengsek," tangkis Hancahera. "Tetapi kita semua
maklum bahwa Pendekar Slebor itu masih muda. Ia juga masih muda dalam pengalaman, khususnya politik. Karena itu segala perbuatannya yang baik selama ini bisa dikatakan berlebihan." "Apa maksudmu, Menteri Hancahera?" tanya Menteri Urusan Istana.
"Maksudku, Pendekar Slebor tidak tahu mengukur
sampai di mana perbuatan baiknya harus dilakukan
sehingga tidak menimbulkan reaksi yang lebih keras
dari pihak hitam. Seharusnya ia memikirkan hal itu.
Sebab jika tidak, akhirnya rakyat juga yang jadi korban karenanya, bukan?"
"Tetapi mereka itu memang telah membuat keonaran. Jadi harus dibasmi!" jawab Parameswara.
"Bukan itu saja yang harus kita pikirkan, Menteri Keamanan. Yang harus kita
pikirkan adalah bagaimana keadaan tentram, aman dan sejahtera dari Kerajaan
Alengka dapat terjamin. Itu yang menjadi tugas dan
konsentrasi pemikiran kita selaku pejabat-pejabat kerajaan. Siapa dan apa pun yang membuat terhalangnya jaminan ke arah situ, harus disingkirkan."
Para menteri lain yang hadir dalam rapat mengangguk-anggukkan kepala menyetujui pendapat Menteri Hancahera.
"Maksud Menteri Hancahera bagaimana?" tanya Panglima Andipati. "Apakah itu
berarti Pendekar Slebor yang menjadi penghalang dan harus disingkirkan?"
"Aku berpendapat demikian," jawab Hancahera.
"Kenapa" Sebagaimana yang kujelaskan tadi, Pendekar Slebor itu masih hijau.
Masih terlalu idealis. Pikirnya, pokoknya yang jahat harus dibasmi. Itu cara
berpikir orang yang masih hijau dalam politik. Karena itulah,
para tokoh golongan hitam bangkit bersatu dan menuntut balas. Akibatnya, kita saksikan sendiri, rakyat yang kena getah."
Para menteri lainnya mengangguk-anggukkan kepala kembali. "Tidak itu saja," Hancahera masih melanjutkan bicaranya. "Ulah Pendekar Slebor
mengakibatkan terganggunya kesejahteraan rakyat dan perdagangan.
Pendeknya perekonomian Kerajaan Alengka jadi terganggu. Dan coba pikirkan, saudara-saudara sekalian,
lebih jauh lagi mungkin sekali hal ini akan menjadi
ancaman bagi Kerajaan Alengka."
Sekali lagi para menteri lain menganggukanggukan kepala. Mereka kemudian melihat kepada
Prabu yang tertunduk seperti terpekur.
"Itu tidak benar"
Prabu mengangkat kepalanya.
"Aku berbicara begini bukan karena hubunganku
cukup dekat dengan Pendekar Slebor. Beberapa dari
kalian juga cukup kenal secara pribadi padanya. Tetapi kita harus tetap
berbicara berlandaskan kebenaran
dan berpikir untuk mencari kebenaran." Suara Prabu Alengka berat berwibawa.
Kalimat-kalimatnya pun berisi kearifan yang dalam. Tokoh-tokoh persilatan aliran
hitam telah melakukan teror di masyarakat. Bahkan
mereka telah menumpahkan begitu banyak darah rakyat dalam sekejap. Entah apa pun tujuan mereka, jelas ini adalah kejahatan. Dan aku menggaris bawahi,
ini adalah kejahatan terbesar, karena belum pernah
terjadi sebelumnya di kerajaanku. Ini yang pertama
yang hendak kukatakan."
"Yang kedua, membasmi kejahatan adalah kebenaran. Walaupun Pendekar Slebor masih muda, selama ini ia turut membantu Kerajaan Alengka membasmi kejahatan. Jadi, dia tidak dapat dipersalahkan. Kalaupun para tokoh
persilatan golongan hitam mau menuntut balas, silakan saja. Tetapi di sini kita seharusnya melindungi Pendekar
Slebor, karena dia telah berjasa serta membela kepentingan Kerajaan Alengka."
"Yang ketiga, menyingkirkan Pendekar Slebor adalah kesalahan besar. Kita semua telah mahfum bahwa
aliran hitam adalah dalang keonaran. Menyingkirkan
Pendekar Slebor tidak akan menghentikan keonaran
yang ditimbulkan mereka. Percayalah, mereka akan terus-menerus berbuat sekehendak hati mereka yang
merugikan rakyat dan Kerajaan Alengka. Apalagi jika
Pendekar Slebor telah disingkirkan, mereka bisa dibilang tidak memiliki penghalang yang berarti lagi. Kesimpulannya kehilangan Pendekar Slebor, Kerajaan
Alengka akan rugi. Sebab kehilangan seorang pendekar yang dapat diandalkan untuk memerangi kejahatan, sekaligus guna menjamin kesejahteraan dan keamanan rakyat itu sendiri."
Ruangan itu jadi agak ribut karena para menteri
membicarakan pendapat Prabu. Kecuali Hancahera,
tak lama kemudian mereka serempak berkata,
"Kami setuju dengan pendapat Prabu."
Prabu Alengka memandang Menteri Hancahera
yang masih diam.
Akhirnya Hancahera bangkit berdiri.
"Apa yang Prabu katakan benar. Hamba setuju
dengan pendapat Prabu."
Semua menteri menghela napas lega.
"Kalau begitu, kita harus segera mencari Pendekar Slebor. Tugas ini saya
serahkan pada Menteri Keamanan."
Parameswara segera berdiri.
"Daulat, Prabu. Perintah ini akan segera hamba
laksanakan."
Tiba-tiba seorang prajurit istana datang mengaturkan sembah pada Prabu Alengka.
"Ampun, Paduka. Jika rapat telah mengizinkan,
seorang di luar bernama Pendekar Penjaga Langit datang hendak berbicara kepada Paduka dan rapat di sini." "Siapakah dia, Parameswara" Rasanya aku baru mendengar namanya." tanya
Prabu pada Menteri Keamanan. "Oh, dia adalah pendiri Perguruan Kemangi Sariadi. Perguruan itu masih tergolong baru, Paduka. Baru
berdiri hampir setahun. Menurut kabarnya Pendekar
Penjaga Langit adalah orang seberang, tetapi hamba
belum tahu tepatnya dari daerah mana. Cuma menurut masyarakat sekitar perguruan itu, dia adalah seorang yang baik hati."
"Baiklah. Suruh dia masuk."
Prabu Alengka memang terkenal pula sebagai raja
yang dekat dengan rakyat dan selalu terbuka menerima siapa saja yang hendak berbicara padanya.
Pendekar Penjaga Langit memasuki ruangan dengan tenang, tanpa setitik pun menunjukkan tingkah
laku yang salah tingkah dan semacamnya di tengahtengah kumpulan pembesar kerajaan tersebut. Tenang
pula dia membetulkan pakaiannya lalu menekuk lutut
mengaturkan sembah.
"Terimalah sembahku, Gusti Paduka Prabu. Terimalah pula hormatku kepada seluruh pembesar Kerajaan Alengka di sini."
"Berdirilah, Pendekar Penjaga Langit. Apakah gerangan yang hendak kamu katakan?"
"Beribu-ribu ampun, Gusti Paduka Prabu, jika
saya dianggap lancang menemui pada saat rapat ini
berlangsung."
"Tidak apa. Kami sudah selesai membicarakan
masalahnya. Tidak apa," jawab Prabu Alengka lunak.
"Begini, Gusti Paduka Prabu. Hamba kira Gusti
Paduka Prabu telah mendengar kabar musibah yang
melanda beberapa desa di wilayah Kerajaan Alengka.
Hamba ingin menyampaikan rasa penyesalan dan prihatin atas kejadian-kejadian itu. Terus terang, hamba merasa geram pada para
tokoh persilatan aliran hitam
itu, Gusti Paduka. Hamba ingin membalaskan kekejaman mereka."
Prabu Alengka terus mendengarkan.
"Perbuatan mereka sungguh tidak bisa diterima.
Kasihan rakyat yang menjadi korban. Nah, jikalau
Gusti Paduka Prabu berkenan, hamba ingin membantu
untuk membasmi mereka. Demikianlah yang hendak
hamba sampaikan dalam kesempatan yang berharga
ini." Prabu Alengka tersenyum.
"Dari manakah asalmu, Pendekar Penjaga Langit"
Kabarnya kamu berasal dari negeri seberang."
"Betul, Gusti Paduka. Hamba dari sebelah timur
pulau Borneo, dari sebuah daerah yang bernama Tarakan." "Boleh aku tahu, gerangan apakah yang mem-buatmu ingin membantu Kerajaan
Alengka, Pendekar
Penjaga Langit?"
"Hamba kira semua orang yang masih normal hatinya pasti akan membenci segala perbuatan kejam
dan tak berperikemanusiaan macam yang dilakukan
mereka, Gusti Paduka. Hamba pun demikian. Lagi pula, meskipun hamba baru satu tahun bermukim di wilayah kerajaan Gusti Paduka, hamba sudah merasa
memiliki kerajaan yang sejahtera ini. Bukankah peribahasa mengatakan, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, Gusti Paduka?"
"Hm, baiklah. Niatmu itu baik sekali, Pendekar
Penjaga Langit. Kamu bisa memberikan andil bagi bumi yang kamu pijak sekarang. Lihatlah nanti, di mana
dan kapan kamu bisa membantu."
"Hamba mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang Gusti Paduka berikan untuk membuktikan
ucapan hamba tadi. Hamba juga akan meminta para
murid hamba untuk bersedia membaktikan diri bagi
Kerajaan Alengka tercinta ini."
Prabu Alengka menganggukkan kepala tanpa merubah air mukanya.
"Sekarang perkenankanlah hamba mohon diri
pada Gusti Paduka Prabu serta para pembesar kerajaan di sini."
Selesai berkata, Pendekar Penjaga Langit menghaturkan sembah dan meninggalkan istana.
"Berarti kita mendapat dukungan dari satu pendekar lagi, Paduka," kata Menteri Keamanan setelah Pendekar Penjaga Langit
menghilang. "Ya. Tetapi karena dia orang pendatang, tolong
perhatikan dia, Menteri Parameswara. Aku tidak mau
ada orang yang memancing di air keruh," jawab Prabu Alengka.
"Baik, Paduka."
"Sekarang aku menugaskan semua menteri untuk
memikirkan langkah-langkah apa yang harus kita lakukan guna menghadapi para tokoh persilatan aliran
hitam itu. Besok kita akan bicarakan kembali."
Prabu Alengka menutup rapat tersebut, dan para
menteri meninggalkan ruangan.
*** Seharian berjalan kaki membuat tubuh menjadi
lelah juga. Kerajaan Alengka masih satu hari perjalanan lagi jauhnya, sementara rembang sore telah menguasai alam. Segala sesuatu yang hidup memerlukan
istirahat. Demikianlah kata pepatah: Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit
ada waktunya. Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah" Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Maka ketika Andika mengajak Mirah dan Patniraga beristirahat, tidak
ada yang menolak.
"Apa, sih, sebenarnya yang membuat para tokoh
persilatan golongan hitam itu mencarimu, Andika?"
tanya Patniraga sesaat setelah merebahkan dirinya.
"Aku rasa sih, mereka hendak merajai kembali
dunia persilatan, sekaligus menuntut balas atas kematian teman-teman mereka yang kuhabisi," jawab Pendekar Slebor.
"Rupanya kau pendekar yang sangat disegani juga, ya?" "Wah, disegani bagaimana" Orang-orang menyebutku Pendekar Slebor. Yang namanya orang slebor,
mana ada yang disegani?"
"Weh, mungkin saja. Perilakumu mungkin slebor,
tetapi kemampuan silatmu yang tinggi bisa saja membuatmu disegani."
"Ah, tidak ada itu. Aku ini biasa saja. Orang-orang saja yang menilaiku
keterlaluan. Aku harap kau jangan ikut-ikutan merekalah."
"Hehehe. Kau pandai pula merendah rupanya. Ah,
semaumulah. Aku rasanya capek. Biarkan aku tidur
dulu barang sejenak," kata Patniraga lalu membalikkan tubuhnya membelakangi
Andika. Tak lama kemudian Patniraga sudah mengorok!
"Mungkin dia kelelahan sehabis bertarung dengan
Biludak Tengik, Andika," kata Mirah.
Terbersit satu pikiran dalam kepala Andika.


Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu mari kita menjauh sedikit dari sini, supaya obrolan kita jangan
mengganggunya."
Mirah menurut saja mengikuti Andika pindah kira-kira sejauh lima puluh tombak.
"Aku belum minta maaf padamu atas kelancanganku tadi," kata Andika. "Memang aku bisa saja men-gerahkan tenaga dalamku
untuk melindungi gendang
telingamu, tapi aku begitu khawatir kalau-kalau itu tidak cukup. Jadi aku
menekap kupingmu terus."
"Tidak apa-apa, Andika. Aku sudah memaafkanmu, kok." Andika mengusap-ngusap pipinya.
"Tamparanmu sakit juga ya, Mir," Andika menyin-dir. "Habis kamu kurang ajar,
sih." "Aku belum pernah ditampar cewek, Iho."
Mirah malah tertawa kecil.
"Eh, dibilangin malah ketawa."
"Jadi, harus bagaimana, dong?"
"Obatin, kek. Minta maaf, kek. Ini malah ketawa."
Andika membuat mulutnya monyong. Cemberut.
"Ngobatinnya gimana?"
"Ya..., gimana, kek. Dielus-elus dengan tanganmu juga bisa."
"Ih! Kamu ini benar-benar kurang ajar, ya". Wajah Mirah segera bersemu dadu.
"Aduh, maaf deh, maaf. Jangan marah, dong. Kan
aku cuma bercanda."
"Tuh, kan. Kamu ini memang betul-betul slebor,
Andika. Jarang pernah bisa serius," kata Mirah, ngam-bek. "Masa'" Sok tahu kamu,
ah." "Kalau gitu, salah dong orang menyebut kamu
Pendekar Slebor."
"Iya deh, iya. Maklumlah, Mir. Aku ini berasal dari kalangan rakyat jelata.
Bahkan dari kalangan bawah
sekali. Jadi tingkah lakuku, ya begini ini."
"Masa' iya?" Lalu Mirah mencibir.
"Kamu ini benar-benar sok tahu, ya. Dibilangin
malah mencibir gitu. Aku ini bekas anak tukang copet, tahu. Belum lagi besar aku
sudah menjalankan
pekerjaan itu. Kamu ngerti kan, tukang copet itu bagaimana" Nggak ada tukang copet yang kaya dan terhormat. Bos tukang copet mungkin ada satu dua. Tapi,
ya begitu. Hidupnya munafik."
"Kamu, nih, bercanda atau serius, sih?"
"Nah, kamu sekarang beruntung bertemu dengan
sifatku yang jarang. Serius."
"Masa' iya, sih?" Mirah menyelidik sambil cengar-cengir. "Aku rasanya kurang
percaya kamu serius."
"Eh, bandel! Masih saja tidak percaya aku ini serius."
Mirah terkikik.
"Mungkin kamu itu kebiasaan bercanda, An." Ja-di kalau kamu serius, tetap saja
kelihatan bercanda."
"Konyol!" kata Andika mangkel.
"Tapi sepertinya kamu nggak punya tampang tukang copet, tuh."
"Oh ya" Kenapa kamu menilai begitu" O, aku tahu, deh...," Andika tersenyum nakal. Hal ini membuat Mirah penasaran.
"Apaan?"
"Kamu menilai begitu karena tampangku cakep,
kan?" "Idih..., gede rasa."
"Alah, ngaku aja, deh...."
"Ih, sok tahu!"
"Aku memang tahu, kok. Aku bahkan tahu, sejak
berangkat sama-sama kamu suka mencuri pandang
padaku," cerocos Andika seolah tak peduli dengan ke-jengahan Mirah.
Mirah tak tahu lagi apa yang mesti dikatakannya.
Begitu saja perkataan Andika, dia sudah seperti ditelanjangi. Tak tahan lagi dia dengan salah tingkahnya
sendiri. Mirah bangkit dan berjalan ke sebuah pohon
di dekat situ. Ia memetik daunnya sehelai dan mempermainkannya. "Tuhan, cowok ini telah membuatku malu... sekali. Mataku juga tidak tahu diri untuk tidak mencuri
pandang padanya. Uh! Mau kucungkil saja mata yang
bikin aku malu begini," kata Mirah dalam hati.
Belum puas Mirah menyampaikan keluhannya
pada Tuhan, tahu-tahu Andika telah ada di dekatnya.
"Mir, jangan marah, ya. Aku tahu kalau kamu
suka curi pandang karena aku suka curi pandang padamu. Habis kamu cantik sekali, sih."
Glegar! Petir menyambar di hati Mirah. Perasaannya campur aduk mendengar pengakuan Andika.
Marah, jengkel, tetapi juga senang dan berbungabunga. Tanpa sadar ia berlari-lari kecil ke tempat Patniraga sedang tidur.
Otomatis, Andika pun beranjak pula ke sana. Ia
merebahkan pantatnya di sisi Mirah.
"Jangan di sini ngobrolnya dong, Mir."
"Sebodo."
"Kan, nggak enak didengar si Patniraga nanti."
"Sebodo!"
"Eh, jangan keras-keras, dong. Nanti si Patniraga bangun."
"Sebodo!"
"Waduh! Kalian ini gimana, sih." Patniraga ter-bangun. "Tidak kasihan sama aku.
Baru tidur sebentar saja sudah diganggu."
"Tuh, kan.... Apa kubilang."
*** 7 Bukit Dedemit dilanda duka yang mendalam. Malam ini dilaksanakan pertemuan para tokoh persilatan
golongan hitam yang kedua kalinya. Setelah menanti
kedatangan Lampor Ireng yang agak terlambat hadir,
mereka segera tahu nasib yang menimpa rekan mereka, Biludak Tengik.
"Dalam perjalanan menuju kemari, aku menemui
mayatnya," lapor Lampor Ireng. "Aku tidak tahu apakah ini perbuatan Pendekar
Slebor atau tidak. Tetapi
melihat penyebab kematiannya, aku rasa mungkin juga dia yang melakukan."
Kumpulan tokoh aliran hitam itu memaki-maki
Pendekar Slebor tak karuan. Jasad Dedemit mengepalkan tangannya kuat-kuat. Geram sekali dia.
"Apa yang kau lihat sebagai penyebab kematian
Biludak Tengik, Lampor Ireng?" tanya Jasad Dedemit.
"Punggungnya remuk sama sekali! Setelah kuperiksa, tak mungkin itu diakibatkan pukulan tangan
kosong. Aku yakin itu akibat pukulan sebuah senjata
yang cukup besar dan tidak tajam. Salah satu kemungkinannya, dihantam lecutan kain catur Pendekar
Slebor." Mereka menyangka Pendekar Slebor yang telah
membunuhnya, padahal Biludak Tengik mati di tangan
Pendekar Ulos Sakti.
"Bajingan! Belum lagi kita bertemu dengan bocah
itu, ia sudah membunuh salah satu dari kita! Awas kalau bertemu denganku nanti. Bukan cuma punggungnya kuremukkan. Seluruh tubuhnya yang kuhancur
leburkan!" Serapah Betot Nyawa.
"Sudah! Tidak ada gunanya kita memaki dia di sini," Jasad Dedemit menengahi. "Hendaknya peristiwa ini menjadi suatu pelajaran
tambahan bagi kita semua, bahwa kita takkan mungkin bisa mengalahkan Pendekar
Slebor secara sendirian."
"Jadi bagaimana langkah kita selanjutnya?" tanya Nyi Bengis.
"Kita telah melakukan tugas pertama kita dengan
baik," jawab Jasad Dedemit. "Kabarnya pasti sampai
ke telinga Pendekar Slebor. Jadi kupikir, sebaiknya sekarang kita menunggu dia
muncul." "Bagaimana kalau dia tidak muncul juga?" tanya Lampor Ireng.
"Kita akan mengulang apa yang telah kita lakukan kepada desa-desa lainnya."
Para tokoh itu kemudian tenggelam dalam keheningan. "Aku ada usul." Betot Nyawa menyeruak.
"Ya?"
"Kita tahu bahwa Pendekar Slebor cukup dekat
dengan Prabu Alengka. Barangkali ada baiknya kita
mengirim sepucuk surat pada Prabu itu agar dia segera menyerahkan Pendekar Slebor apabila bertemu
dengannya."
"Bagaimana jika dia tidak mau?" tanya Malaikat Siluman.
"Kita katakan padanya bahwa kita akan mengacau
wilayah kekuasaannya apabila tidak mau. Ini akan
menjadi ancaman serta desakan baginya," jawab Jasad Dedemit.
"Akan tetapi hal itu bisa membuat kerajaan
Alengka dan Pendekar Slebor memerangi kita," tanggap Nyi Bengis.
"Mereka tidak akan berani," jawab Jasad Dedemit kembali. "Alengka bukan kerajaan
besar. Mereka tidak akan mampu melawan kekuatan kita bersama-sama."
"Baiklah kalau begitu. Kami serahkan urusan surat kepada Prabu Alengka kepadamu, Jasad Dedemit."
"Baik. Aku akan melaksanakan secepatnya." Para tokoh persilatan aliran hitam itu
lega, bahwa rencana mereka akan berhasil.
*** "Ampun, Paduka Prabu. Hamba terpaksa menghadap Paduka, karena di luar seorang utusan dari para tokoh persilatan golongan hitam memaksa bertemu
dengan Paduka. Dia mengatakan membawa surat yang
amat penting dan mendesak."
Suasana rapat antara Prabu Alengka dengan para
menteri sore itu berubah menjadi tegang. Tidak dinyana ketika sedang membicarakan langkah-langkah yang
akan diambil guna menghadapi teror dari para tokoh
persilatan aliran hitam, datang seorang utusan dari
mereka. Prabu Alengka tertegun seketika.
"Suruhlah dia masuk."
"Daulat, Prabu."
Tidak berapa lama kemudian prajurit istana itu telah kembali mengantarkan sang Utusan.
"Saya disuruh mengantarkan surat ini kepada
Prabu," kata utusan itu langsung. Ia menyodorkan surat pada Prabu Alengka.
"Hei! Kurang ajar kamu! Hayo cepat mengaturkan
sembah dahulu!" hardik Parameswara, Menteri Keamanan. "Sudahlah, Parameswara. Orang seperti mereka
ini sulit untuk diajar tata krama." Prabu Alengka menengahi. "Percuma saja kamu
memaksanya."
Prabu Alengka mengambil surat dari tangan utusan tersebut, lalu membacanya. Sejurus kemudian
Prabu Alengka tampak berpikir.
"Sekarang cepatlah kamu pergi dari sini," katanya pada utusan itu. "Katakan pada
tuanmu bahwa aku sudah menerima suratnya. Tetapi tidak akan ada satu
kata pun jawabanku atas surat ini."
"Baiklah. Tetapi segala sesuatunya menjadi tang-gunganmu," jawab utusan itu
lagaknya seorang pembesar.
"Oh, tentu, tentu," jawab Prabu Alengka kalem.
"Tetapi kamu ini cuma seorang utusan. Daripada banyak bicara di sini lebih baik
kamu cepat pulang menyampaikan kabar pada tuanmu. Kalau kamu cepat
pulang, tentu tuanmu juga akan senang."
Utusan itu mendengus. Acuh tak acuh dia melangkah keluar. Dia tidak peduli dengan para menteri
yang geram melihat sikapnya.
"Aku ingin membacakan isi surat ini pada saudara Menteri semua, sehingga kalian
mengerti masalah apa
lagi yang harus kita pecahkan."
Jelas dan tegas suara Prabu Alengka ketika membacakan. Prabu Alengka, Kami yakin tidak lama lagi orang yang kami cari
akan muncul. Sementara itu kami minta Anda juga
turut mencarinya serta memberitahukan atau menyerahkannya pada kami. Cepatlah melakukan tugas ini supaya rakyatmu tidak mengalami celaka.
"Kurang ajar! Benar-benar kurang ajar! Sejak kapan orang-orang sesat itu berani memerintah Raja,"
kata Panglima Andipati berang.
"Sejak sekarang ini," sahut Prabu Alengka tenang.
Semua mata memandangnya.
"Tidak usah heran. Itu karena mereka merasa
bahwa kekuatan mereka lebih kuat dari kita. Kalau
mau, mereka memang dapat menumbangkanku dari
tampuk kekuasaan. Itu harus kalian pahami. Bahkan
menurut perkiraanku, bersama-sama dengan Pendekar
Slebor dan Pendekar Penjaga Langit pun mungkin kita
tetap takkan mampu mengalahkan mereka."
Para menteri itu jadi terdiam.
"Tetapi jangan takut. Kita pasti mempunyai jalan
untuk mengatasi mereka."
"Lalu bagaimana sikap Paduka terhadap tuntutan
mereka dalam surat itu?" tanya Hancahera, Menteri Kesejahteraan dan Perdagangan
Rakyat. "Aku tidak akan tunduk sedikitpun pada tuntutan
mereka. Jangan pikir dengan jalan teror mereka dapat
membuatku tunduk!" Selesai Prabu Alengka berkata demikian prajurit istana
kembali masuk. "Ampun, beribu-ribu ampun, Paduka Prabu.
Hamba memberanikan diri menemui Paduka lagi, karena mungkin ini ditunggu-tunggu oleh Paduka dan
para Menteri."
"Ada apa, Punggawa?" tanya Prabu Alengka tidak sabar karena ia mulai merasa
terganggu. "Kali ini yang datang hendak menghadap Paduka
adalah Pendekar Slebor bersama dua orang rekannya.
Apakah Paduka sudi menerimanya?"
Prabu Alengka seketika menjadi cerah. Para menteri berpandang-pandangan satu dengan yang lain.
"Suruh dia masuk. Cepat!"
Tak lama kemudian Andika, Mirah, dan Patniraga
memasuki ruangan. Setelah mengaturkan sembah pada Prabu Alengka, mereka merasa canggung melihat
para pembesar istana sedang berkumpul demikian serius. "Silakan duduk, Pendekar Slebor."
"Apakah kami mengganggu, Paduka Prabu" Prajurit istana tadi tidak memberitahukan pada kami bahwa


Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang berlangsung pertemuan ini."
"Ah, tidak apa-apa. Duduklah bersama temantemanmu dan ikut berbicara dalam rapat ini, sebab ini juga menyangkut tentang
dirimu." Dengan masih ragu-ragu Andika mengajak Mirah
dan Patniraga duduk. Ia memperkenalkan kedua temannya kepada seluruh yang hadir.
"Aku bersyukur kamu cepat muncul, Pendekar
Slebor. Tadinya kami sudah pusing juga memikirkan
masalah ini."
"Ng..., maafkan hamba, Paduka. Adapun kedatanganku kemari adalah berkaitan dengan peristiwaperistiwa yang kudengar. Beberapa desa di wilayah Kerajaan Alengka telah menjadi korban keganasan para
tokoh persilatan aliran hitam. Mereka lakukan semua
itu adalah untuk memancing kemunculanku."
"Aku ingin mengatakan kepada Paduka bahwa
aku sama sekali tidak ada membuat ulah yang jelek,
sehingga aliran hitam menjadi marah. Kurasa mereka
berbuat begitu cuma karena ingin menuntut kematianku dan menguasai kembali dunia persilatan."
"Aku paham sekali, Pendekar Slebor," sahut Prabu Alengka. "Aku pun tidak
menyangka yang bukan-bukan padamu."
"Kalau demikian halnya, hamba mengaturkan terima kasih, Paduka," jawab Andika seraya menjura.
"Tetapi..., kita bicara langsung pada intinya saja.
Menurutku, tak ada jalan lain kecuali kamu beserta
teman-temanmu secara bersama-sama membantu Kerajaan Alengka menghadapi mereka."
"Dengan senang hati kami membantu, Paduka
Prabu." "Oh, iya. Aku lupa memberitahukan bahwa Pendekar Penjaga Langit juga menyediakan dirinya pula
untuk membantu. Dengan demikian kita memiliki harapan untuk mengatasi mereka."
Serta merta Andika dan Patniraga terbengongbengong. "Punggawa!"
Dengan tergopoh-gopoh prajurit istana memasuki
ruangan. "Cepat panggilkan Pendekar Penjaga Langit untuk
datang kemari," perintah Prabu Alengka.
"Tetapi, Paduka, apakah Paduka telah tahu siapakah orang yang menyebut dirinya Pendekar Penjaga
Langit itu?" Sergah Andika selagi prajurit istana itu melangkah meninggalkan
ruangan. "Ya. Menteri Parameswara yang memberitahukannya padaku."
"Kenapa, Pendekar Slebor?" tanya Parameswara.
"Pendekar Ulos Sakti, temanku ini, tahu betul sia-pa orang itu." Andika menoleh
kepada Patniraga.
"Ng..., sebenarnya aku tidak bermaksud sama sekali untuk membukakan rahasia ini kepada pembesarpembesar istana Kerajaan Alengka yang mulia di sini.
Namun sekiranya saya diminta, apa boleh buat...," jawab Patniraga.
"Silakan, Pendekar Ulos Sakti. Kebenaran ini tidak perlu kamu tutup-tutupi,"
kata Prabu Alengka.
Dan Patniraga pun menceritakan semuanya, ditambah bukti-bukti yang menguatkan bahwa Pendekar
Penjaga Langit adalah benar-benar si Baringin yang di-carinya.
"Sebetulnya aku pun sudah curiga pada Pendekar
Penjaga Langit itu," tanggap Prabu Alengka setelah Patniraga selesai bercerita.
"Di hadapan kami kemarin, ia mengaku berasal dari daerah Tarakan di Borneo
Timur. Aku sendiri bersahabat dengan raja Borneo Timur. Aku juga telah beberapa kali berkunjung ke sana.
Akan tetapi setahuku tidak ada daerah bernama Tarakan di sana. Itulah sebabnya aku memerintahkan
Menteri Keamanan untuk memperhatikan Pendekar
Penjaga Langit."
"Jadi begini saja," sambung Prabu Alengka. "Pendekar Penjaga Langit akan tiba di
sini besok pagi. Nah, sebaiknya kalian bertiga istirahat dahulu. Besok saja kita
selesaikan persoalan ini."
Pendekar Slebor, Mirah, dan Patniraga mengaturkan sembah lalu pamit. Mereka diantarkan seorang
pengawal istana ke kamar masing-masing.
"Aku menduga pertarunganku dengan si Baringin
akan terjadi lagi dalam beberapa hari ini. An," kata Patniraga setelah mereka
berdua merebahkan diri di
kamar. "Aku rasa juga demikian. Mungkin bisa jadi besok saat dia tiba di sini, Ga."
"Berarti aku sama sekali tidak punya kesempatan
untuk berlatih guna meningkatkan ilmu silatku."
Andika tidak segera menjawab.
"Alah! Selama ini yang menjadi kelemahanmu, kalau kuperhatikan, selalu terpancing masuk ke dalam
pertarungan jarak dekat. Padahal kamu tidak kuat di
situ." "Ah, iya. Di situ memang kelemahanku. An. Sebaiknya aku bertarung seperti
menghadapi si Biludak
Tengik kemarin saja."
"Nah, kamu sudah tahu apa yang harus dilakukan
sekarang."
"Ya ya ya. Aku tahu sekarang bagaimana menuntut balas pada si begajul korup itu!"
"Apa?" tanya Andika.
Patniraga menoleh pada Andika yang tidur di
sampingnya. "Ya, menjaga jarak pertarungan, kan?"
"Bukan!"
Dahi Patniraga berkerut.
"Wah, talilut juga, nih," kata Andika.
"Apaan, dong?"
"Tidur, tahu!" jawab Andika lalu membelakangi Patniraga.
"Ah! Brengsek kau!" maki Patniraga. Telunjuknya memukul kepala Andika, lalu
berbalik pula membelakangi Andika. Andika terkekeh-kekeh.
Tak lama kemudian keduanya sudah lelap tertidur
saking lelahnya.
*** Burung-burung berkicau riang. Udara sangat cerah karena langit biru tak berawan sedikitpun. Alam di pagi itu sungguh indah
dan menyegarkan istana Kerajaan Alengka. Pengawal-pengawal istana menjalankan
tugas mereka masing-masing dengan semangat.
Prabu Alengka juga telah mengurusi pekerjaannya
di ruangannya. Ia sedang ditemani oleh Menteri Keamanan, Parameswara. Berdua mereka membicarakan
sesuatu. "Menurutku, kita seharusnya memanfaatkan bantuan Pendekar Penjaga Langit. Dengan keikutsertaannya akan menambah kemungkinan kita untuk menang, Paduka."
"Ya memang. Tetapi untuk seseorang yang perilakunya sudah jelas jelek seperti Pendekar Penjaga Langit ini, aku khawatir di kemudian hari dapat menimbulkan pengaruh yang kurang baik bagi kerajaan. Kita
mesti menghargai setiap sumbangsih orang pada kerajaan, Parameswara. Jika terjadi kelak gugatan dari Kerajaan Toba terhadapnya,
atau bahkan terhadap kerajaan kita. bagaimana?"
"Yah..., itu kan urusan pribadi Pendekar Penjaga Langit sendiri. Kita tidak usah
ikut campur," jawab Parameswara.
"Itu berarti sikap kita berpangku tangan saja terhadap seseorang yang telah
menunjukkan sikap kepahlawanan bagi Kerajaan Alengka. Sama saja kita ini
membuang sepah sehabis manisnya kita ambil. Hal itu
tidak memberikan teladan bagi rakyat, sekaligus menciptakan citra yang jelek dalam pandangan kerajaan
lain." "Jadi, maunya Prabu bagaimana?"
"Aku ragu untuk menggunakan Pendekar Penjaga
langit. Toh, tanpa dia kita tetap telah memiliki kemungkinan untuk menang dengan adanya kedua teman dari Pendekar Slebor. Asalkan laporan dari matamata kita mengenai jumlah para tokoh persilatan golongan hitam yang bersatu itu benar."
"Saya berani menjamin kebenaran laporannya,
Paduka. Selama ini dia tidak pernah salah dalam menjalankan tugas."
"Baiklah. Jadi dengan kematian Biludak Tengik,
sebagaimana yang diceritakan Pendekar Slebor kemarin, berarti sekarang ada lima orang tokoh saja dari mereka?"
"Benar, Paduka. Menurut perhitungan Paduka kita dapat mengatasi mereka?"
"Bisa."
"Mudah-mudahan saja perhitungan Paduka tidak
meleset." "Ya. Mudah-mudahan. Jika tidak, Kerajaan Alengka bisa celaka."
Seorang prajurit istana masuk.
"Hamba datang memberi laporan, Paduka Prabu,"
katanya sesudah berlutut. "Hamba telah melaksanakan tugas yang Paduka Prabu
berikan, dan sekarang
Pendekar Penjaga Langit telah menanti di luar."
"Suruh dia menunggu di luar gerbang istana, dan
panggil Pendekar Slebor serta kedua temannya."
"Baik, Paduka. Hamba laksanakan."
Parameswara menautkan alis seperginya prajurit
itu. "Aku tidak mau istana menjadi ajang, seandainya
nanti kedua orang seberang itu berkelahi jika bertemu muka," Prabu Alengka
langsung memberi jawaban,
seolah mengerti keterheranan Parameswara.
*** "Bangun! Bangun, An! Sudah siang, nih," Patniraga mengguncang-guncangkan tubuh
Andika yang masih ngorok. "Aaahhh!" Andika menepiskan tangan Patniraga lalu berbalik menghadap dinding. Ia
sedang bermimpi
bercumbu dengan Mirah ketika Patniraga membangunkannya. Sudah barang tentu ini adalah mimpi yang
indah. Sayang untuk tidak dituntaskan.
"Eeeh..., kita dipanggil menghadap Paduka Prabu, tuh!" "Sebodo! Aku lagi asyik,
nih!" jawabnya sambil berusaha meneruskan mimpinya. Lagi pula ia menyangka Patniraga sedang mempermainkannya.
"Susah amat nih orang dibangunin," gerutu Patniraga. Mirah masuk ke dalam kamar
membawa segelas
minuman untuk Andika! Patniraga sendiri telah minum sejak bangun tadi.
"Eh, belum bangun juga ya, Ga?" tanya Mirah pa-da Patniraga.
Mendengar suara Mirah yang khas di telinga Andika, maklum, bibir dan mulut Mirah pernah begitu
dekat dengan kupingnya kemarin dulu saat Patniraga
bertarung dengan Biludak Tengik, ia segera melompat
bangun. "Sudah. Sudah bangun, kok," katanya.
Tentu saja Mirah jadi tersenyum, sementara Patniraga malah cemberut.
"Huh.. Paling-paling kau ini. Sampai kuguncangguncang pun tak mau bangun. Eeh, ini dengar suara
Mirah saja langsung lompat."
Andika mengedipkan sebelah matanya pada Patniraga. "Mengerjapkan mata pula kau. Nggak berguna bagiku cara begitu," kata
Patniraga lalu ngeloyor.
"Hei! Mau ke mana pula kau?" tanya Andika menirukan logat bicara Patniraga.
"Kencing!"
"Hik... hik... hik...." Andika tertawa geli.
"Sudah, sudah," sela Mirah. "Kenapa sih baru bangun, An" Capek sekali, ya?"
"Oh" Iya, iya!" Andika mengiyakan cepat-cepat.
Malu hati dia mengingat mimpinya di hadapan Mirah.
Mirah duduk di pinggir tempat tidur dan menyorongkan bak minuman pada Andika. "Ini minum dulu."
Andika mengambil gelas itu. Mulutnya segera ingin tersenyum, ditahannya. Heran, kecenderungannya
untuk menggoda setiap kali berdua dengan Mirah besar sekali. "Nanti, habis itu, cepat-cepat ganti pakaian. Paduka Prabu memanggil kita, lho,"
tambah Mirah. "Eehm! Eeehm...!" Jelas sekali Andika mendehem dibuat-buat sebelum menghirup
minumannya. "Kenapa, sih?" tanya Mirah.
"Nggak. Nggak kenapa-napa. Cuma, perasaanku
mau minum kali ini kok berbeda, ya?"
"Berbeda kenapa?"
"Iya. Rasanya waktu minum, aku ini merasa sudah punya pacar, ya."
"Ya, ampun! Kau ini benar-benar orang yang gede
rasa, deh."
"Oh" Begitu, toh?" jawab Andika dengan wajah yang diblo'on-blo'onkan.
"Awas kamu! Lain kali aku tidak mau kasih minuman lagi."
"Waduh. Jangan sadis begitu dong, Mir...."
"Nggak! Aku nggak mau!"
"Hei, hei, hei! Apa-apaan ini ribut-ribut pagi-pagi begini?" Patniraga telah
kembali dari belakang.
Mirah langsung keluar dari kamar itu.
"Tahu, tuh," jawabnya sekenanya.
Patniraga menoleh kepada Andika.
"Ah, kau...," kata Andika meraih pakaiannya. "Cepat benar kau kencing!"
Patniraga jadi bengong.
Andika, Mirah, dan Patniraga memasuki ruangan
memenuhi panggilan Prabu Alengka. Mereka bertiga
menghaturkan sembah pada sang Prabu. Prabu Alengka memperhatikan sebentar tampang Andika yang masih kusut karena baru bangun tidur dan belum mandi.
"Pendekar Penjaga Langit sudah datang dan aku
menyuruhnya menunggu di luar gerbang istana," kata Prabu Alengka tidak
mempedulikan Andika lagi. "Aku telah memutuskan untuk menolak tawaran bantuannya." "Maksudku memanggil kalian adalah untuk bersama-sama menemuinya. Tetapi
kalau boleh aku
berpesan, hindarilah dahulu bentrokan. Karena yang
terpenting sekarang adalah memusatkan perhatian kita untuk membereskan para tokoh persilatan aliran hi

Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tam itu." Patniraga maju selangkah ke depan serta menjura
dengan kaku. "Terima kasih sebelumnya atas perhatian Prabu,"
katanya. "Akan tetapi kalaulah cuma si Baringin seorang, aku sanggup
menghadapinya."
"Aku percaya. Yang kumaksud, kalau bisa dihindari, ya dihindari."
Patniraga menjura kembali dengan kaku.
"Mengertilah, Prabu. Ini adalah urusanku dan Kerajaan Toba dengan si Baringin."
"Masih ada waktu lain untuk membereskan urusanmu itu, Patniraga. Aku khawatir kau kenapa-napa
sebelum kita memerangi orang-orang sesat yang meneror rakyatku. Dan bukankah kau sendiri yang mengatakan padaku kemarin bahwa kau siap membantu
Pendekar Slebor dalam urusan ini?" Prabu Alengka mendesak.
Untuk ketiga kalinya Patniraga menjura kaku.
Andika dan Mirah tersenyum melihatnya berkali-kali
menjura. Orang seberang ini berusaha beradaptasi
dengan kebiasaan orang-orang di sini ketika berhadapan dengan raja, tetapi berlebihan.
"Mengertilah, Prabu. Aku siap membantu. Tetapi
harus kunomor satukan dulu urusanku yang ini." Patniraga tidak kalah kerasnya
melawan desakan Prabu
Alengka. Prabu Alengka menggeleng-gelengkan kepala.
"Baiklah kalau begitu. Sekarang mari kita pergi ke luar."
Para pengawal khusus Prabu mengiringi beliau keluar dari gerbang istana. Di belakangnya berjalan Menteri Keamanan Parameswara
dan Panglima Andipati. Di
luar gerbang Pendekar Penjaga Langit dengan sabar
menanti. Pendekar Penjaga Langit segera menghaturkan
sembah. "Berdirilah, Pendekar Penjaga Langit. Maafkan kalau aku menyuruhmu menunggu di
luar gerbang istana. Tentu kamu heran. Sebabnya adalah karena aku
ingin mempertemukanmu dengan seseorang."
Pendekar Penjaga Langit terpaku sejenak.
"Siapakah dia gerangan, Paduka Prabu?"
"Panggil mereka, Panglima Andipati."
Panglima Andipati memberi aba-aba. Keluarlah
mereka bertiga. Andika, Mirah, dan Patniraga.
Pendekar Penjaga Langit terkesiap. Tak disangkanya akan bertemu kembali dengan orang yang dirasakan mengganggu rencana dan ketenangannya. Ia telah berharap sekali dapat menjalin hubungan yang
baik dengan Prabu Alengka, sehingga kalau terjadi sesuatu atas dirinya di kemudian hari akan dapat meminta perlindungan sang Prabu. Tetapi baru saja hal
itu akan dimulai, ia telah merasa pula akan hancur be-rantakan dengan kemunculan
manusia satu ini.
"Ini lagi, ini lagi!" Maki Pendekar Penjaga Langit.
"Jaga sikapmu di depan Prabu, Pendekar Penjaga
Langit," Parameswara memperingatkan.
"Ampuni hamba, Paduka Prabu. Tetapi firasat
hamba segera mengatakan pasti ada yang tak beres.
Pasti orang yang mengaku Pendekar Ulos Sakti itu
mengatakan yang macam-macam pada Paduka Prabu
tentang diriku."
"Memang benar, Pendekar Penjaga Langit," jawab Prabu Alengka. "Tetapi ia
berbicara dengan bukti-bukti yang kuat. Ia mengenalmu karena cukup sering
bercakap-cakap denganmu di istana Kerajaan Toba. Ia juga
mengenalmu karena kamu khilaf dan menggunakan
jurus pukulan 'Tenaga Langit' sewaktu bertarung dengannya tempo hari."
Air muka Pendekar Penjaga Langit yang semula
tampak garang meluruh. Ia menggunakan jurus maut
tersebut karena menyangka Patniraga tidak sanggup
lagi menghindari pukulannya kala itu. Namun Andika
datang menahan pukulannya serta membawa kabur si
Patniraga. Malangnya, ia sama sekali tidak berpikir kalau-kalau pukulannya itu
justru menjadi tanda yang
kuat bagi Patniraga untuk mengenalinya!
"Kau juga telah berani membohongiku, Pendekar
Penjaga Langit," sambung Prabu Alengka. "Kau mengatakan berasal dari daerah
Tarakan di Borneo Timur.
Kau tidak tahu bahwa aku bersahabat baik dengan Raja Borneo Timur dan telah beberapa kali berkunjung ke sana. Aku tidak pernah
mendengar ada daerah Tarakan di sana."
Makin lemaslah tampang Pendekar Penjaga Langit
mendengar perkataan-perkataan Prabu Alengka yang
menguliti dirinya.
"Mati aku! Tak ada lagi yang bisa kupertahankan
kalau sudah begini," Pendekar Penjaga Langit membatin. Tiba-tiba ia mengangkat
tangan kanannya tegak
lurus ke langit. Melihat gelagat yang sudah dimengertinya, Andika berseru kepada Prabu Alengka.
"Cepat minggir, Paduka!"
Menteri Parameswara yang paling dekat dengan
Prabu Alengka segera menariknya.
Tangan Pendekar Penjaga Langit bergerak melancarkan pukulan 'Tenaga Langit' ke arah Patniraga.
"Matilah kau, Pengacau!"
Andika cepat melompat untuk mengulangi apa
yang dilakukannya tempo hari, yakni menahan pukulan Pendekar Penjaga Langit. Maksudnya ia ingin mencegah terjadinya pertarungan, sehingga keinginan Prabu Alengka agar menghindari bentrokan dapat tercapai. Perlu diketahui bahwa Parameswara adalah seseorang yang juga memiliki ilmu yang cukup tinggi. Jika
tidak, Prabu Alengka tentu tidak memilihnya menjadi
Menteri Keamanan. Perkiraannya ia masih sanggup
menahan pukulan Pendekar Penjaga Langit itu. Pikir
Andika, paling banter dia akan terhuyung-huyung
mundur. Tetapi apa yang terjadi" Ketika kekuatan dari kedua tangan mereka beradu..
Jeleger! Terciptalah sebuah pijaran biru yang menyilaukan. Kekuatan pukulan 'Tenaga Langit' yang amat
dahsyat mendorong kekuatan pukulan Parameswara
kembali. Tenaga pukulannya jelas lebih lemah dari
yang dilontarkan Pendekar Penjaga Langit.
Andika yang sama sekali tidak memperhitungkan
akan demikian jadinya, menjadi sasaran pukulan Pendekar Penjaga Langit.
"Hhhk!"
Ia terjengkang sekitar delapan tombak jauhnya ke
belakang. Memang tenaga dalam yang tersalur lewat
pukulannya menahan laju kekuatan pukulan 'Tenaga
Langit' serta agak mengurangi kedahsyatan pukulan
itu. Meski begitu tak urung kepalanya berkunangkunang dan sulit bernapas. Andika megap-megap, seolah memburu oksigen tipis agar masuk ke dalam paruparunya. Dalam keadaan begini ia berharap seperti biasanya ada kekuatan alam yang datang menolong.
Namun sampai Mirah mendekati untuk memberi pertolongan, sia-sia ia berharap.
Pendekar Penjaga Langit kembali melontarkan pukulan mautnya kepada Patniraga. Lelaki itu sendiri segera meloloskan ulos dari
pundak dan berkelebat
menghindar. Bruaaak! Tanah tempat Patniraga berdiri tadi terbongkar
menjadi lobang menganga. Gumpalan-gumpalan tanah
beterbangan. Batu-batu kecil yang ada di situ hancur
menjadi pasir dan menerpa Prabu Alengka yang berada
beberapa tombak jauhnya. Panglima Andipati serta Parameswara sibuk membersihkan pakaian Prabu Alengka, kemudian menariknya lebih jauh lagi.
Ctaaar! Patniraga mulai mengkepretkan senjata ulosnya.
"Aaakh!" jerit Pendekar Penjaga Langit dan orang-orang yang berada di situ.
Gerbang istana bergetar terkena gelombang suara ulos. Andika dapat melindungi
gendang pendengarannya, tetapi Parameswara yang
sedang kepayahan itu tambah tersiksa akibat suara
kepretan ulos sakti.
Ctaaar! Lagi-lagi orang-orang di situ menjerit. Tidak terkecuali Andika yang sedang tidak berdaya. Ia sampai jatuh pingsan. "Patniraga! Tahan kepretanmu!" teriak Mirah.
"Aku ingin menolong Andika."
Mendengar seruan Mirah itu, Pendekar Penjaga
Langit merasa mendapat angin. Ia segera merangsek
maju untuk menciptakan pertarungan jarak pendek.
Patniraga jadi merasa serba salah. Kalau ia menjaga
jarak dan menggunakan ulos terus, Andika bisa-bisa
tidak tertolong. Kalau ia tidak menggunakan ulosnya,
si Baringin akan dapat menekan untuk bertarung dalam jarak dekat. Dan itu berarti lama-kelamaan ia
akan mengalami kekalahan untuk kedua kalinya.
Akan tetapi tampaknya Patniraga lebih memilih
untuk tidak menggunakan ulos. Karena itu dia membiarkan si Baringin menyerang dalam pertarungan jarak dekat. Ia berharap dapat bertahan hingga Mirah
selesai menolong Andika. Setelah itu barulah ia akan
kembali menjalankan rencananya.
Mirah memusatkan perhatiannya kembali menolong Andika dengan menyalurkan hawa panas ke dalam dada Andika guna melonggarkan kembali dari rasa
sesak, sehingga paru-parunya dapat bekerja normal.
Mata Mirah terpejam. Telapak tangannya berada di
atas dada Andika yang telentang. Dari situ mengepul
asap putih tipis. Sedikit demi sedikit pori-pori kulit Mirah mengeluarkan
keringat. Patniraga menghindar dan menyerang. Tangan,
kaki maupun tubuhnya bergerak lincah. Tetapi tampaknya ke mana pun dia bergerak selalu saja dapat diikuti oleh Baringin. Seolah-olah Baringin ingin berusa-ha menempel Patniraga.
Jurus demi jurus dilewati. Berpuluh-puluh jurus.
Kala itulah Patniraga mulai merasakan dirinya terdesak oleh serangan-serangan Baringin. Makin lama ia
makin merasa terdesak. Kekhawatiran mulai tumbuh
di hatinya. Ia melihat sempitnya peluang untuk menang. Sementara itu ia melirik Andika masih saja belum siuman dan Mirah masih terus menyalurkan hawa
panas padanya. Otak Patniraga berpikir keras sambil
menghindar kesana kemari. Ulos sama sekali tidak berarti karena tidak dipergunakan.
Dalam keadaan begitu akhirnya Patniraga mengikuti nalurinya sebagai manusia yang sedang diancam
maut. Ia mengemposkan tenaga dalam ke pita suara
dan berseru, "Andika!"
Pada saat berseru, kewaspadaan Patniraga melorot. Akibatnya sebuah sapuan kaki Baringin menghajar kakinya. Beruntung ia sudah menduga kemungkinan itu, sehingga ketika menjadi gamang ia segera
menggenjot kaki yang satu lagi untuk lompat menghindar gebrakan tangan Baringin ke arah tubuhnya.
Namun demikian Baringin terus mengejar mengikuti kemana pun arah Patniraga melesat. Patniraga
meloncat sekali lagi begitu kakinya menyentuh tanah
untuk meyakinkan dirinya semakin aman untuk mengatur posisi pertahanan kembali.
Ada pun serangan Patniraga yang berisi tenaga
dalam itu berhasil mengusik kuping Andika. Mulamula ia merasa seperti ada orang yang memanggil,
kemudian membuka mata. Ia siuman!
"Nghh...," Andika mengerang sebentar sebelum in-gatannya kembali pada apa yang
tengah terjadi.
Ia melihat Mirah masih berkonsentrasi menolong.
Diangkatnya kepala lalu berputar melihat sekeliling.
Penglihatannya segera tertancap pada pertarungan
yang kini tampak tidak seimbang itu. Otaknya berpikir keras. Berpikir keras!
Ia mencengkeram kedua tangan Mirah. Hal ini
membuat Mirah membuka kedua kelopak mata.
"Bawa aku ke istana! Bawa aku ke dalam istana!"
teriaknya sambil berusaha menggelayut pada pundak
Mirah. Tubuhnya masih terasa lemah. Pertolongan Mirah belum cukup.
Parameswara mendengar, lalu dengan sigap
menghampiri dan tanpa berpikir panjang menggotong.
Andika segera berpaling pada Patniraga dan berteriak
kembali menggunakan tenaganya yang masih ada.
"Patniraga! Gunakan ulosmu sekarang!" Setelah itu kepalanya terkulai. Ia pingsan
kembali. Parameswara berlari-lari membawa tubuh Andika
masuk ke istana lewat gerbang. Mirah, Prabu Alengka,
Panglima Andipati, dan para pengawal khusus Prabu
mengikuti langkah Parameswara.
Patniraga mendengar suara teriakan Andika. Ia
juga sempat melihat iring-iringan orang-orang itu memasuki istana. Ada perasaan lega menghalau sekaligus
kekhawatiran yang telanjur membesar.
"Inilah saatnya," pikir Patniraga.
Ia mulai berusaha melepaskan diri dari tempelan
Baringin. Tetapi tidak semudah yang dikiranya. Baringin, yang juga mendengar teriakan Andika serta melihat pula mereka berlarian ke dalam istana, mengerti
apa yang akan terjadi. Ia mengerti bahwa dengan berlindung di dalam tembok istana mereka akan selamat
dari gangguan suara kepretan ulos Patniraga. Ia tahu
strategi apa yang akan dijalankan lawan kemudian.
Sebab itulah Baringin justru makin mempergencar serangan. Gerakan tangan dan kaki, bahkan kepalanya,
bertubi-tubi mengarah kepada Patniraga.


Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Patniraga kewalahan lagi. Untuk sedikit mempertahankan posisinya agar tidak semakin terdesak, ia
melompat kesana kemari, meski ia tahu si Baringin
akan terus mengikuti dan berupaya menyarangkan
pukulan. Walaupun Andika telah dibawa ke tempat
yang aman, hingga kini Patniraga belum dapat menggunakan ulosnya.
Melihat begitu serius wajah si Baringin dalam
mempergencar serangan, akhirnya Patniraga mendapat
akal. Ia meladeni serangan Baringin sambil bergerak
mundur mendekati sebuah pohon yang pendek dan lebat daunnya. Hingga didekat pohon itu, ia membiarkan
dirinya semakin terdesak sambil berharap-harap cemas menantikan sebuah pukulan Baringin yang tepat.
Ketika Baringin melihat tubuh Patniraga yang dibiarkan lowong, ia melancarkan pukulan cukup bertenaga. Inilah yang ditunggu-tunggu Patniraga. Pancingannya mengena. Cepat ia berkelit dan tangan kirinya
yang kosong memegang batang pohon.
Pukulan Baringin mengenai batang pohon itu.
Kraaak! Patniraga menarik batang pohon yang telah patah
itu ke arah Baringin. Rerimbunan daunnya tepat mengarah kepada Baringin yang kaget. Sudah barang , tentu yang dilakukan Patniraga ini mengharuskan Baringin loncat agak jauh, supaya terhindar dari terpaan
daun-daun yang lebat dan rerimbunannya yang lebar
itu. Perhatian Baringin agak buyar. Patniraga sendiri melihat ke arah mana
Baringin akan loncat menghindar, lalu secepat kilat ia meloncat pula ke arah
berlawanan. Terlepaslah Patniraga dari tempelan Baringin!
Ctaaar! Suara kepretan ulos menggema lagi.
"Aaakh!" jerit Baringin. Ia segera menyalurkan tenaga dalam ke telinga untuk
melindungi gendang pendengaran. Ctaaar! Ctaaar! Ctaaar!
Suara kepretan ulos berkesinambungan. Baringin,
si Pendekar Penjaga Langit, tidak beranjak dari tempatnya. Patniraga menatap tajam. Selangkah demi selangkah ia maju. Debu dan pasir yang beterbangan ke
arah Baringin dari tanah karena kepretan ulos, membuatnya memejamkan mata. Ia meraba setiap gerakan
Patniraga dengan daun telinga.
Kali ini Patniraga tidak menyerang dengan tangan
kiri, seperti yang sudah-sudah. Ia mengkepretkan saja senjatanya ke arah
Baringin. Serangan yang lain dari
sebelumnya ini dihindari Baringin dengan bersalto ke
belakang. Tetapi Patniraga memburu dan menghantamkan ulosnya lagi. Baringin melompat ke belakang
lagi. Hingga serangan ulos yang keempat kalinya, Baringin mengubah taktik sedikit. Ia tidak lagi menghindar mundur ke belakang
melainkan ke samping, setelah itu ia berusaha cepat masuk menyerang balik dan
menempel Patniraga.
Taktik ini mudah dicium. Begitu Baringin hendak
masuk, Patniraga pun cepat menarik dirinya dan
mengkepretkan ulos. Cara ini bukan saja dapat mempertahankan jarak renggang, juga dapat mengusir Baringin yang mau masuk sekaligus mengancam nyawanya, Strategi ini tetap dijalankan Patniraga setiap kali Baringin hendak
masuk. Akibatnya Baringin ke-bingungan.
Akhirnya Baringin menggenjotkan sekuat-kuatnya
tubuhnya untuk sebisa mungkin membuat jarak antara mereka sejauh-jauhnya. Memang Patniraga segera
memburunya, tetapi ia punya kesempatan yang cukup
untuk menegakluruskan tangan kanannya ke langit!
Derrr! Pukulan 'Tenaga Langit' dilepaskan. Patniraga
yang sedang memburu ke arah Baringin terpaksa berkelit. Pukulan 'Tenaga Langit' dilepaskan lagi. Patniraga berkelit lagi, tetapi
ia berkelit sambil bergerak maju.
Sampai pada jarak yang memungkinkan ia mengkepret
lagi. Mengkepret lagi. Mengkepret lagi. Bertubi-tubi
dengan cepat. Patniraga merasa ia harus melakukan
taktik ini meskipun lebih menguras tenaga, agar tidak memberi kesempatan bagi
Baringin mengambil tenaga
maut dari langit.
Kini giliran Baringin yang merasa terdesak. Dalam
pertarungan jarak dekat ia di atas angin, tetapi kini ia sadar bahwa lawan telah
mengetahui bagaimana cara
untuk memaksanya bertarung jarak jauh. Gendang
pendengarannya juga telah terasa sakit dan berdenyutdenyut. Ini dikarenakan konsentrasinya telah benarbenar terpecah-pecah. Ia merasa demikian repot
menghindari kepretan ulos Patniraga.
Hingga suatu ketika, Baringin menggenjot kembali
dirinya sekuat tenaga. Patniraga menyangka Baringin
bermaksud lagi mencari kesempatan mengambil
'Tenaga Langit'nya, karena itu ia terus memburu. Tetapi ternyata Baringin menggenjot kembali tubuhnya
berulang-ulang, lalu berlari dengan kecepatan yang
tinggi. Patniraga berusaha mengejar, tetapi kecepatan berlarinya tidak dapat
menandingi Baringin.
Patniraga jadi teringat pada Togap, adik si Baringin, yang dapat berlari demikian cepat sehingga kadang hanya dapat dilihat bayangannya saja.
"Dasar kalian abang-beradik sama saja! Licik! Kalau sudah terjepit, jadi tukang
lari semua!" teriak Patniraga. Dia berharap Togap ada di sekitar situ sedang memata-matai.
Patniraga segera teringat pada Andika. Sudah bagaimanakah dia" Ia bertanya dalam hati. Pertanyaan
itu membuatnya membalikkan tubuh lalu berlari menuju istana Kerajaan Alengka.
"Semoga tak ada sesuatu yang tak kuharapkan
terjadi," bisiknya tiga kali dalam benak.
*** 8 Dimanakah Togap sekarang berada"
Sama seperti abangnya, si Baringin, ia juga sedang berlari. Cuma kalau Baringin berlari untuk kabur dari kekalahan pertarungan
dengan Patniraga, Togap
berlari untuk melaksanakan akal yang telah dipikirkannya. Betapa kecewa hatinya melihat kekalahan abangnya. Apalagi menyaksikan abangnya lari tungganglanggang menyelamatkan diri. Melihat pertarungan barusan, ia kehilangan harapan bahwa abangnya akan
bisa mengalahkan Patniraga. Hampir pasti, pikirnya, si Patniraga akan segera
mengejar Baringin. Sudah barang tentu tak ada orang yang mau kehilangan begitu
saja sesuatu yang telah dicari-carinya selama dua tahun, bukan"
Siapa lagi sekarang yang dapat menolong abangnya" Dirinya" Wah, Togap hanya mempunyai kelebihan dalam ilmu meringankan tubuh yang tinggi, lain
tidak. Ia tidak memiliki jurus-jurus maut yang dapat
diandalkan, seperti abangnya. Pun juga ia tidak memiliki kepintaran seperti abangnya yang diperlukan dalam pertarungan-pertarungan. Keberaniannya juga kurang. Terkadang ada juga akalnya. Tetapi itu tidak cukup. Cuma akal-akalan,
demikian ia suka mengeluh.
Andaikata otaknya cukup pintar, maka ia juga akan
seperti abangnya menjadi pejabat kerajaan Toba. Kala
itu ia merasa cukup bangga memiliki seorang abang
yang menjadi pembesar. Tidak jarang ia menyombongkan di depan teman-temannya.
Tetapi setelah abangnya melarikan diri, sirnalah
semua kebanggaan maupun harapan-harapan yang ia
impikan pada diri abangnya. Harapan-harapan dalam
hidup, terutama materil. Yang ada dalam pikirannya
waktu itu, ia harus membantu si abang. Apa yang dapat dilakukannya, akan dilakukannya untuk membantu si abang. Itulah pikiran yang terngiang-ngiang dalam benaknya ketika berlari. Berlari sekencang-kencangnya.
"Aku harus mencegah Pendekar Ulos Sakti! Aku
harus dapat mencegah!" Kalimat-kalimat ini memacu semangatnya untuk terus
berlari tanpa menghiraukan
lelah. Dikerahkannya ilmu meringankan tubuh setara
maksimal. Ia terus berlari. Terus berlari, menuju tempat yang
rasanya menjadi tumpuan harapannya yang terakhir.
Tempat yang diketahui dari menguping percakapan antara Mirah dengan Pendekar Slebor, setelah Patniraga
menamatkan riwayat Biludak Tengik. Tempat yang lokasinya telah diketahuinya dari bertanya pada orangorang di sini, sambil terus memata-matai Patniraga.
Tempat yang bernama Bukit Dedemit!
*** "Dimana Pendekar Slebor berada?" tanya Patniraga tergopoh-gopoh pada seorang prajurit istana.
"Di ruangan sana."
Ia setengah berlari menuju ruangan yang ditunjukkan prajurit itu.
"Hei, Patniraga! Syukurlah kamu selamat. Bagaimana nasib Pendekar Penjaga Langit?" tanya Andika begitu Patniraga memasuki
kamar. Andika duduk di
pinggir tempat tidur. Kain caturnya masih tergantung di leher. Mirah berada di
dekatnya sambil memegang
segelas air. "Syukurlah kau sudah sembuh."
"Ah, kau ini. Dia ini tak apa-apa," Andika latah menirukan logat Patniraga. "Aku
bertanya, kau jawab-lah...."
"Belum pula aku berhasil menamatkannya, An."
"Wuah! Bagaimana pula kau ini?"
"Dia lari, An. Setelah semakin terdesak dia melarikan diri."
"Melarikan diri" Ya, kejarlah...."
"Sudah kukejar. Tetapi larinya lebih kencang dari aku. Itu abang-adik memang
jago-jago lari mereka."
"Kalau begitu, besok kita harus latihan lari cepat rupanya, ya." Andika tertawa.
"An! Kamu ini bagaimana, sih" Orang si Patniraga serius begitu, kamu malah
ketawa." Mirah menegur Andika.
"Uf! Ada yang marah rupanya, Ga. Jadi bagaimana
maumu sekarang?"
"Entahlah. Yang penting kau sembuh dululah."
"Aku sudah sembuh. Sekarang bagaimana?"
"Bagaimana" Kalaupun kucari, kucari kemana
dia" Dia dapat kabur ke mana pun dia mau."
Andika terdiam.
Prabu Alengka masuk ke dalam kamar. Ia mengulangi pertanyaan Andika lalu dijawab sama dengan Patrinaga. "Jadi bagaimana sekarang, Patniraga?" tanya Prabu Alengka.
"Kami sedang pikirkan, Prabu," jawab Patniraga.
"Kupikir," kata Andika menyela. "Saat ini dia pasti menuju padepokannya di
Perguruan Kemangi Sariadi.
Kesanalah kamu harus kejar, Ga."
"Kau yakin?"
"Aku yakin! Ayo cepat kita pergi! Siapa tahu sesampainya disana, dia segera berkemas-kemas untuk
kabur lagi."
"Aku rasa tidak perlu terburu-buru," potong Prabu Alengka. "Perjalanan ke sana
dengan berjalan kaki memakan waktu satu harian. Paling Pendekar Penjaga
Langit baru sampai esok pagi. Walaupun Pendekar
Slebor telah sembuh, akan lebih baik kalau beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga. Kalian bisa berangkat nanti sore dengan mengendarai kuda. Kalian
cukup berjalan setengah hari untuk mencapai Kemangi Sariadi. Jadi, begitu Pendekar Penjaga Langit tiba di sana, kalian pun tiba."
"Aku rasa itu lebih baik, An. Kau beristirahatlah dulu."
"Benar, An. Lebih baik begitu," tambah Mirah yang mengkhawatirkan keadaan
Andika. "Baiklah kalau demikian halnya," jawab Andika.
"Aku juga akan memerintahkan salah seorang
panglimaku untuk menyertai kalian dengan lima puluh
orang prajurit. Mereka akan membawa pesanku pada
rakyat dan murid-murid Kemangi Sariadi supaya tidak
ikut campur, agar tidak terjadi pertumpahan darah
yang lebih banyak."
"Terima kasih, Paduka." Mirah dan Andika menjura. Melihat kedua sobatnya berbuat
demikian, Patniraga pun segera menjura. Masih tetap kaku. "Terima kasih, Prabu."
"Sampai nanti sore," kata Prabu Alengka sebelum mengundurkan diri dari kamar
itu. Sepeninggal Prabu Alengka, Andika menggeret
tangan Patrinaga ke dekatnya.
"Ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu
dari pengalamanku menahan pukulan 'Tenaga Langit'...." *** Tepat ketika hari telah gelap, Togap tiba di Bukit
Dedemit. Ia berjalan mengendap-endap mendekati
markas para tokoh persilatan golongan hitam itu. Diamatinya bahwa penjagaan di tempat itu begitu ketat.
Nampak para murid dari seluruh tokoh aliran gelap
yang menjaga setiap sudut.
Togap berpikir sebentar, apa yang harus dilakukannya. Tak lama kemudian ia bangkit dari persembunyian serta menunjukkan diri pada salah seorang
penjaga. "Salam, wahai sobatku," sapanya.
"Siapa itu"!" Penjaga itu bertanya dengan meng-hardik. Ia segera bersiaga.
"Aku ini kawan, bukan lawan. Aku membawa kabar bagi para tokoh persilatan golongan hitam di sini tentang Pendekar Slebor.
Bawalah aku bertemu dengan pemimpinmu."
Dua orang penjaga lain datang ke situ karena
mendengar suara hardikan rekannya. Mereka mengamati Togap dengan seksama.
"Siapa namamu"!"
"Namaku Togap. Aku mengetahui di mana Pende

Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kar Slebor sekarang berada. Aku ingin memberitahukannya pada para tokoh persilatan golongan hitam di
sini." "Bicaramu seperti orang dari seberang. Bagaimana kami bisa percaya?"
"Janganlah pandang aku dari seberang atau tidak.
Yang penting aku membawa kabar penting yang kalian
perlukan. Bukankah kalian menginginkan Pendekar
Slebor" Aku tidak akan berani berbohong, sebab kalian bisa membunuhku di tempat
ini dengan mudah."
Masih cukup lama mereka bertiga mengamati Togap, sebelum bersedia mengantarkannya pada para
guru mereka. Jasad Dedemit, Lampor Ireng, Malaikat Siluman,
dan Nyi Bengis, serta Betot Nyawa sedang berkumpul
mengelilingi api unggun di halaman.
"Guru, ini ada orang yang datang mengaku tahu
di mana Pendekar Slebor berada. Ia ingin memberitahukan pada Guru," salah seorang dari ketiga murid itu berbicara.
Serentak kelima tokoh golongan hitam itu menengok pada Togap.
"Namaku Togap. Aku ini orang seberang. Tetapi
mohon jangan curigai aku," cepat-cepat Togap menjelaskan setelah pengalaman
dengan ketiga murid tadi.
"Aku datang sebagai kawan dengan maksud baik."
"Cepatlah katakan di mana Pendekar Slebor!" kata Nyi Bengis.
"Tenanglah sedikit, Nyi Bengis," kata Jasad Dedemit. "Pendekar Slebor sekarang
berada di istana Kerajaan Alengka. Dia baru saja tiba di sana kemarin dulu." "Dari mana kamu tahu dia ada di sana?" selidik Jasad Dedemit.
"Aku tahu karena aku mengikutinya."
"Mengapa kamu mengikutinya?"
"Aku memang mempunyai dendam padanya. Ia telah membunuh ayahku, dan aku ingin dia mati." Togap berbohong.
Ia merasa harus menutupi maksudnya yang sebenarnya. Ia takut ketahuan sedang berusaha memperalat kelima tokoh persilatan golongan hitam itu. Menurut perkiraannya, jika mereka pergi menemui Pendekar
Slebor maka mereka juga akan bertemu dengan si Patniraga dan perempuan bernama Mirah itu. Jika mereka bertarung dengan Pendekar Slebor, maka Patniraga
tentu akan turut membantu. Menurut perkiraannya
pula, Pendekar Slebor dan Patniraga tidak akan mampu melawan mereka berlima. Pendekar Ulos Sakti akan
mati di tangan para tokoh persilatan golongan hitam
ini. Dan dengan jalan itu, ia akan berhasil menyelamatkan abangnya dari ancaman Pendekar Ulos Sakti.
"Tetapi aku ini tidak memiliki kepandaian silat
yang tinggi, sehingga tak mungkin aku mengalahkannya. Sebab itulah aku memberitahukan keberadaannya. Aku berharap dia dapat mati di tangan kalian."
"Baiklah," kata Jasad Dedemit. "Tetapi kamu harus ikut dengan kami. Jika
ternyata Pendekar Slebor
tidak ada di istana Kerajaan Alengka, kau harus menanggung akibatnya!"
"Bagiku yang penting adalah kematian Pendekar
Slebor. Untuk itu aku siap mempertaruhkan nyawa
sekalipun!" Togap menggertak untuk meyakinkan mereka. "Cuma aku mendengar suatu
rencana Pendekar Slebor," sambungnya. "Dia hendak pergi ke Kemangi Sariadi untuk
membinasakan guru dari perguruan itu.
Aku kurang tahu sebabnya. Jadi aku usulkan kita melewati Kemangi Sariadi terlebih dahulu. Siapa tahu
Pendekar Slebor telah berada di sana. Jika kita tak
berhasil menemuinya, barulah kita pergi ke istana Kerajaan Alengka."
"Hm. Kau boleh menunjukkan tempat mana saja,
asalkan kepalamu disediakan jika kami tidak berhasil
menemuinya," jawab Jasad Dedemit.
"Aku tidak peduli dengan kepalaku," kata Togap gembira melihat siasatnya
berhasil. "Mari kita berangkat! Ajak semua murid-murid kita untuk menghadapi prajurit kerajaan Alengka jika
diperlukan!" kata Jasad Dedemit seraya bangkit.
*** 9 Pendekar Penjaga Langit belum lama melepaskan
lelah di pondokannya setelah berjalan pulang seharian dari istana Kerajaan
Alengka. Dalam kepalanya ia telah memutuskan untuk mengambil uang serta miliknya
yang berharga, kemudian lari ke daerah lain setelah
beristirahat sejenak di sini.
Ia tengah rebah di tempat tidur ketika mendengar
suara murid-muridnya ribut di luar.
Seorang murid masuk mendapatkannya.
"Guru, utusan dari istana datang kemari untuk
membacakan maklumat Prabu Alengka!"
Pendekar Penjaga Langit segera bangun. Ketika ia
keluar dari pondokannya, Panglima Andrayana telah
membacakan maklumat didengar oleh seluruh murid
Perguruan Kemangi Sariadi.
Maklumat. Dengan ini diberitahukan kepada seluruh rakyat
Kerajaan Alengka umumnya serta seluruh murid
Perguruan Kemangi Sariadi khususnya, bahwa
orang yang disebut Pendekar Penjaga Langit sesungguhnya bernama Baringin. Dia adalah pelarian
dari Kerajaan Toba di tanah seberang.
Kesalahan yang telah diperbuatnya adalah melarikan uang dari dalam istana Kerajaan Toba, dan memperkosa serta membunuh
seorang gadis sana.
Seorang utusan dari Kerajaan Toba, bernama Pendekar Ulos Sakti, telah datang untuk menghukumnya. Dengan ini saya, Prabu Alengka, meminta kepa-da semua rakyatku umumnya dan
murid-murid Perguruan Kemangi Sariadi khususnya agar tidak mencampuri urusan orang-orang seberang ini.
Panglima Andrayana menggulung surat maklumat
itu. Langsung saja Perguruan Kemangi Sariadi bergemuruh oleh suara murid-murid membicarakan isi
maklumat tersebut. Serentak kemudian mereka berbalik dan memandang guru mereka yang masih berdiri di
teras pondokan. Keadaan menjadi tegang. Mereka dihadapkan pada pilihan antara memihak pada raja mereka, atau guru mereka.
"Akulah utusan Kerajaan Toba itu!"
Patniraga berjalan memperlihatkan diri ke muka.
Gemuruh kembali terdengar karena mereka semua telah mengenal siapakah Patniraga setelah kedatangannya tempo hari.
Baringin menjadi panik. Ketika ia menoleh ke
samping kiri, tampak olehnya Mirah sedang berjalan
mendekati pondokannya. Ketika menoleh ke samping
kanan, Andika ada di sana. Mirah dan Andika memang
sengaja mengatur demikian supaya Baringin tidak dapat melarikan diri lagi.
Patniraga melepaskan ulos dari pundaknya.
Ctaaar! Mirah tidak bereaksi karena Andika telah terlebih
dahulu memberikan tenaga dalam untuk melindungi
gendang pendengarannya. Akan tetapi murid-murid
Perguruan Kemangi Sariadi dan para prajurit Kerajaan
Alengka itu menjerit dan berlarian untuk menjauh.
Kuda-kuda yang ditunggangi prajurit Kerajaan Alengka
meringkik, melompat, dan lari serabutan.
Baringin belum bergeming dari terasnya. Ia tidak
mengaduh ketika Patniraga mengkepretkan senjatanya
karena sudah mengerti kebiasaan Pendekar Ulos Sakti
itu, dan melindungi gendang pendengarannya dengan
tenaga dalam. "Kita tak perlu banyak cakap lagi, Baringin."
Memang Baringin tidak mengeluarkan sepatah kata pun. "Majulah!" seru Patniraga.
Perlahan Baringin melangkah maju.
Baringin menegakluruskan tangan kanannya ke
langit. Patniraga segera bersiap menyambut serangan
yang akan dibuka Baringin itu. Dengan tenang ia
menghindar sehingga pukulan 'Tenaga Langit' menyambar tempat kosong.
Tiba-tiba Patniraga melihat Baringin menegakluruskan tangan kiri juga!
Bruaaak! Sedikit lagi pukulan Baringin menghancurkan tubuh Patniraga. Ia tidak menyangka kalau tangan kiri
Baringin pun dapat melancarkan pukulan itu. Mirah
dan Andika pun kaget dibuatnya. Rupanya Baringin
selama ini sengaja membiarkan Patniraga cuma tahu
tangan kanannya saja yang mampu melancarkan pukulan 'Tenaga Langit'. Sekarang, dalam keadaan tidak
ada harapan baginya untuk meloloskan diri, ia mengeluarkan simpanan yang hampir menipu lawan.
Tidak berhenti di situ saja. Baringin bertubi-tubi
melontarkan pukulan 'Tenaga Langit'nya. Kiri dan kanan bergantian. Lantas saja Patniraga kewalahan
menghindar. Ia meloncat kesana kemari dipermainkan
pukulan-pukulan itu.
Baringin mulai melangkah maju mendekati Patniraga sambil terus melontarkan pukulannya. Hal ini
membuat Patniraga semakin terdesak. Ia benar-benar
tidak siap menghadapi perubahan yang dilakukan Baringin. Berpikir pun rasanya ia tidak sempat.
Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya
akan jatuh juga. Begitu juga, sepandai-pandainya Patniraga menghindar, kalau cuma terus-terusan menghindar, akhirnya bisa terkena pukulan Baringin. Saat
itu Patniraga sudah amat kewalahan. Pukulan terakhir
itu masih bisa dia hindari dengan susah payah, tetapi pukulan berikutnya ia
merasa tidak bisa lagi dia elak-kan. Dalam keadaan panik, Patniraga bergerak
mengi- kuti nalurinya menyelamatkan nyawa. Tangan kanannya mengkepretkan ulos menyongsong pukulan
'Tenaga Langit' yang sedang menuju kepadanya. Tak
ayal, dua pukulan maut dari dua orang seberang itu
beradu. Jegeeerrr! Baringin terjengkang ke belakang. Patniraga pun
terjengkang. Sedetik keduanya terpana. Patniraga melihat bagian tengah hingga ke ujung dari ulosnya telah koyak-moyak. Baringin
segera bangkit lagi. Dengan cepat Patniraga juga bangkit. Tetapi dia harus
segera meloncat kembali menghindari pukulan 'Tenaga Langit'
yang datang. Ia harus menghadapi serangan Baringin
yang bertubi-tubi kembali. Dan kewalahan lagi!
Sebenarnya Baringin tadi ingin maju mendekati
Patniraga sambil mencari kesempatan yang tepat untuk dia masuk dan menempel lawannya. Taktik ini
yang paling diyakininya, karena ia tahu betul jurusjurus Patniraga berada satu tingkat di bawahnya untuk pertarungan jarak dekat. Tetapi Patniraga pun
menyadari betul kelemahannya dan tidak membiarkan
Baringin masuk.
Namun dengan pukulan-pukulan yang silih berganti itu Baringin sudah berada di atas angin. Tidak
heran jikalau sekali lagi satu pukulan Baringin tidak dapat dihindari Patniraga
dengan meloncat. Sekali lagi ia mengkepretkan ulosnya untuk menahan pukulan
itu. Keduanya terjengkang kembali. Namun dengan
ulos yang telah koyak separuh, kekuatan ulos Patniraga berkurang. Bahkan sekarang ulos itu telah koyak
hampir ke pangkalnya!
Patniraga memegang dadanya. Ia merasa agak sesak. Baringin bangkit dan melihat lawannya belum
sempat berdiri. Ia menggenjot kakinya dan menapak di
dekat tubuh Patniraga sambil terbahak-bahak. Kemenangannya sudah hampir dalam genggaman.
Napas Patniraga nampak berat. Ia berusaha duduk sambil terus memegang dadanya. Baringin tidak
menunggu lama-lama.
"Sekarang pergilah kau ke neraka, Patniraga!"
Baringin telah menegakluruskan tangan kanannya
ke langit. Andika menahan napas.
Mirah membuang muka. Ia tidak sanggup melihat
yang bakal terjadi atas diri Patniraga.
Begitu melihat pukulan 'Tenaga Langit' akan segera dihantamkan pada Patniraga, Andika menggenjot
tubuh, mendarat tepat di hadapan Baringin dan menyambut tangannya. Kedua telapak tangan mereka
berbenturan. Deeesss...! Patniraga terhuyung-huyung dan jatuh terduduk
kembali. Akan tetapi tubuh Baringin terlempar ke belakang sejauh delapan tombak. Inilah yang diberitahukan Andika padanya!
"Jika ada sedikit pun rentang antara tangan kita dengan tangan si Baringin, kita
tak akan kuat menahan pukulannya. Tetapi jika kita bisa menapak tepat di telapak
tangannya, pukulan 'Tenaga Langit' itu akan
berbalik kepada si Baringin."
Patniraga segera tahu apa yang harus diperbuat
berikutnya. Ia lagi-lagi menggenjot tubuhnya, melenting, dan bersalto di udara, lalu mendarat di dekat Baringin yang telah terjajar
lemah. Dalam pandangannya yang tiba-tiba kabur, Baringin masih bisa melihat ulos yang telah berjumbaijumbai itu siap diayunkan. Ia segera menggulingkan
tubuhnya ke samping, sehingga kepretan Patniraga
sia-sia. Namun upaya Baringin tidak terlalu berarti.
Kepretan kedua yang secepat kilat kembali dilontarkan Patniraga menyambar
punggungnya. "Hhhkkk...!" Suara Baringin seperti tercekik. Ia masih bisa merayap dengan payah
menjauhi Patniraga. Ulos yang telah koyak-moyak itu tidak lagi memiliki kekuatan
yang cukup untuk mendatangkan kematian
dalam sekali kepret.
Dengan dada yang terasa semakin sesak, Patniraga membuang ulosnya dan maju.
"Aaakkhh...!" Baringin mengerang panjang ketika jantung dan paru-parunya pecah


Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat tangan Patniraga mendarat di punggungnya. Kepalanya mendongak
sebentar, lalu rebah ke tanah.
Patniraga merasa tubuhnya lemas. Tenaganya
nyaris terkuras habis. Napasnya terasa bertambah berat. la bertumpu pada kedua tangan dan dengkul.
Mirah dan Andika langsung berlarian mendapati.
Berdua mereka menolong Patniraga berdiri.
Dalam langkah-langkah pendek ketiga sobatbersobat itu meninggalkan Perguruan Kemangi Sariadi.
Sementara itu derap kaki kuda gerombolan para
tokoh persilatan aliran hitam semakin mendekati Perguruan Kemangi Sariadi.
SELESAI Segera terbit!!!
Serial Pendekar Slebor dalam episode:
DENDAM JASAD DEDEMIT
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Misteri Anak Selir 3 Panji Wulung Karya Opa Kedele Maut 21

Cari Blog Ini