Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian Bagian 2
Andika tertawa. Selagi ia cari Walet tidak ditemukan,
selagi tidak dicari bocah ajaib itu justru nongol sendiri.
"Kau ini keturunan tolol juga rupanya" Yang kumaksud
dengan budi itu bukan nama orang!"
Walet nyengir. "Kenapa Kang Andika lengah?"
"Aku masih memikirkan ajian yang dilakukan oleh
Maharaja Langit Hitam. Pikiranku tak lepas dari ajian 'Inti
Es' milik Ratu Mesir, yang ternyata justru ilmu yang
dimiliki oleh si Gila Petualang yang mendendam pada
dunia persilatan."
"Ada titik lemah dari ajian yang dimiliki manusia jelek
itu." Kalau Walet berkata begitu, Andika percaya. Ia
menatapnya lekat-lekat.
"Katakan."
"Katanya cerdik, mengapa tidak memecahkan saja?"
Andika tertawa. "Brengsek kau ini, ya" Eh, Let! Apakah
merpati yang kau maksudkan itu...."
"Maaf ya, Kang... aku ada urusan!" potong Walet tibatiba dan sambil bersiul-siul meninggalkan Andika yang
melongo. Lenggangnya enak saja, seolah tak peduli Andika
mau bersikap bagaimana.
"Busyet! Brengsek juga tuh bocah!" maki Andika sambil
berdiri. Tetapi lagi-lagi ia tak bermaksud untuk mengejar
Walet meyakini dugaannya. "Hmm... aku masih yakin,
merpati yang dimaksud Walet adalah Ayu. Tetapi siapa
yang dimaksudkan dengan serigala oleh Walet!"
Andika terdiam sejenak dengan kening berkerut. Lalu ia
memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, mencari
Maharaja Langit Hitam dan menuntaskan teka-teki yang
berlarian di benaknya. Apalagi ketika ia teringat, Ayu pasti
telah menunggu di tempat yang telah ditentukan sesuai
dengan rencana. Dalam hati kecilnya, Andika khawatir
kalau rencananya itu akan gagal.
-0o-dw-ray-o0- 6 Ayu mengendap di balik semal. Malam telah lewat
beberapa jam. Sang Ratu Malam telah berada di sepertiga
perjalanan menyongsong pagi.
"Hmm... mengapa Kang Andika belum muncul juga!"
desisnya sambil memperhatikan bangunan besar tak
ubahnya seorang raksasa yang tengah berlutut. "Seharusnya
ia sudah tiba sejak tadi di sini. Ke mana dia?"
Selagi Ayu memikirkan soal Andika, tiba-tiba pendengarannya menangkap suara di belakangnya. Sigap ia
menoleh. Dilihatnya satu sosok tinggi menyeramkan berada
di hadapannya. Mata orang itu tak berkesip menatapnya,
sejurus kemudian terdengar tawa membuncah yang
membuat Ayu mendadak sakit perut.
"Hahaha... kita berjumpa kembali, Manis. Mau apa kau
mengintip kediaman sahabatku, hah?"
Ayu ingat siapa laki-laki jelek di hadapannya ini.
Maharaja Langit Hitam. Apa maksudnya dengan tempat
kediaman sahabatnya" Otak gadis yang cerdik itu bisa
langsung menemukan jawaban, "Manusia keparat inilah
yang ditunggu oleh Singgih Murka."
Perlahan-lahan ia berdiri dengan sikap tenang namun
waspada. Ketenangannya itu benar-benar mewarisi
ketenangan gurunya dalam menghadapi masalah.
"Kau sendiri mau apa ke sini, hah?"
"Pertama, aku hendak menjumpai sahabatku, Singgih
Murka. Kedua, sudah tentu untuk menemuimu. Kau harus
menjadi istriku!" seru Maharaja Langit Hitam sambil
perdengarkan tawanya lagi. Di matanya, Ayu tak ubahnya
bagai seekor kelinci belaka.
Wajah Ayu memerah. Dugaannya memang benar.
Manusia itulah yang ditunggu Singgih Murka. Bisa berabe
kalau begini. Ayu menimbang kedudukannya sekarang.
"Kau hanya membuang waktu untuk mendapatku
menjadi istrimu!" katanya gagah. "Seharusnya kau
menikahi kambing yang diberi obat perangsang!"
Maharaja Langit Hitam terbahak-bahak.
"Kita lihat!"
Gerakan cepat dengan posisi kedua tangan membuka
siap mencengkeram diperlihatkan Maharaja Langit Hitam.
Ayu yang sudah bersiaga sejak tadi, menghindari serangan
itu dengan mudah. Bahkan dengan menekuk lututnya, ia
melepaskan satu pukulan yang dipapaki dengan tekukan
siku lawan. "Hebat! Kau memang pantas menjadi istriku!"
"Omongan busuk!"
Kali ini Ayu mendahului menyerang. Jurus-jurus, yang
diajarkan oleh Nenek Beruang Gunung Karimun diperlihatkan. Gerengannya terdengar tak ubahnya beruang
marah. Gerakannya lincah, cepat, dan berbahaya.
Maharaja Langit Hitam yang pernah melihat gerakan
cepat di!akukan Ayu waktu itu, dilakukan pula gerakan
yang tak kalah cepatnya. Ia mengagumi tenaga dalam yang
dimiliki oleh lawan. Cukup kuat dan mematikan.
Bahkan dua kali ia terkena gedoran kaki kanan Ayu yang
cepat, membuatnya naik darah. Ia menerjang dengan
gempuran yang tak kalah berbahaya, yang dibalas Ayu
dengan tak kalah lincah. Pertempuran sengit itu pun
berlangsung begitu cepat. Saling serang dengan gerakan
tipuan telah dipamerkan.
Tetapi bagi laki-laki berbibir turun itu, serangkaian
serangan yang dilakukan Ayu bukanlah serangan yang
terlalu mengerikan. Apalagi bagi Ayu sendiri, semenjak
turun gunung dan menuntaskan pelajarannya, baru kali ini
ia bertarung dengan seorang lawan. Hingga pengalamannya
masih sangat sedikit sekali. Ia belum tahu bagaimana
kelicikan dan kecurangan bisa dipergunakan saat bertarung
semacam ini. Dengan mempergunakan ajian yang telah memperdaya
Pendekar Slebor, dalam tiga gebrak berikutnya, Ayu sudah
berhasil dikalahkan.
Gadis itu memaki jengkel dengan tubuh terbujur di
tanah. Kedua kakinya tak bisa digerakkan sama sekali.
Aliran darahnya seolah mati. Wajahnya pucat.
Namun kekenisan hatinya masih memaksanya untuk
membuka jalan darahnya. Tetapi hal itu tak bisa dilakukan.
Sambil tertawa, Maharaja Langit Hitam menotoknya. Lalu
membopongnya menuju kediaman sahabatnya.
-0o-dw-ray-o0- Singgih Murka menyambut kedatangan sahabatnya
sambil terbahak-bahak.
"Kupikir, baru besok siang kau datang."
"Aku tak sabar untuk melihat hasil kerjamu. Bagaimana
dengan Pimpinan?" kata Maharaja Langit Hitam sambil
mengedarkan pandangan pada bangunan besar yang baru
saja selesai dibangun. Tetapi bagian belakang masih
melompong. "Semuanya berjalan baik. Kau membawa seekor kelinci
gemuk rupanya?" Singgih Murka tertawa.
Maharaja Langit Hitam menyeringai, "Kau benar. Aku
bukan hanya ingin memelihara kelinci ini, tetapi juga
mengawininya. Ia milikku."
"Kau akan mendapat kepercayaanku."
"Di mana aku bisa meletakkan kelinci ini?"
"Kamarmu sudah kupersiapkan."
Singgih Murka menepuk tangannya dua kali. Dua orang gadis jelita namun
berwajah murung muncul dengan sikap hormat. Jelas sekali
kalau keduanya terpaksa melakukan hal itu. Karena,
keduanya memang gadis yang berasal dari Desa Sawo
Luwih. "Tunjukkan kamar pada Maharaja Langit Hitam."
Kedua gadis itu membawa Maharaja Langit Hitam ke
kamar yang bagus dan wangi. Sambil tertawa laki-laki itu
meletakkan tubuh Ayu di pembaringan.
"Kau tunggu di sini, ada yang harus kubicarakan dengan
Singgih Murka. Selebihnya. kita akan bertamasya ke alam
jauh dari dunia."
Tertawa dan tak menghiraukan pelolotan Ayu, Maharaja
Langit Hitam menemui Singgih Murka lagi. Kali ini di meja
sudah terdapat tuak dan buah-buahan segar.
"Silakan duduk. Apakah kau sudah menjalankan tugas
dari Pimpinan?"
"Aku belum berhasil menemukan Beruang Gunung
Karimun. Entah di mana wanita tua itu bersembunyi,"
sahut Maharaja Langit Hitam sambil menenggak langsung
tuak dari kendi. Lalu mengusapnya dengan punggung
tangan kiri sambil mendesah puas. "Bukan main! Kau
begitu enak tinggal di sini!"
"Menurut Pimpinan, Beruang Gunung Karimun adalah
orang pertama yang harus kita bunuh," kata Singgih Murka
tak menghiraukan kata-kata sahabatnya.
"Kau benar. Tetapi, aku belum berhasil menemukannya.
Kesulitanku pertama, aku belum mengenal Beruang
Gunung Karimun. Pimpinan hanya mengatakan ciricirinya. Bahkan kemampuan yang dimiliki Beruang
Gunung Karimun saja aku belum pernah menjajaki. Kedua,
aku memang tak menemui seorang pun di Gunung
Karimun. Entah di mana ia bersembunyi. Justru aku telah
berhasil membunuh Pendekar Slebor," kata Maharaja
Langit Hitam dengan bangga.
"Kau?" Mata Singgih Murka membulat. Tak percaya.
"Tamat sudah riwayat Pendekar Slebor. Kupikir, ia
sekarang sudah menjadi mayat membeku. Dendam
sahabatku Dewa Api sudah tuntas. Sungguh menyenangkan
karena aku tak sengaja bertemu dengan Pendekar Slebor."
Singgih Murka tertawa. "Bagus kalau begitu. Semalam
aku mendapat kabar dari Pimpinan kalau ia juga melihat
kemunculan Pendekar Slebor. Kau sudah menjalankan
tugas sebelum diperintahkan."
"Sangat menyenangkan sekali. Lalu apa tindakan kita
selanjutnya?"
"Pimpinan menginginkan tempat ini menjadi markas
candu yang hendak diedarkan. Karena letaknya cukup
tersembunyi. Aku juga sudah mengundang beberapa
kambrat yang lain untuk datang membantu kita. Hanya
saja, keanehan terjadi. Anak buahku tinggal seorang tanpa
kuketahui siapa pelakunya. Bahkan dua orang mati di
depan mata kepalaku sendiri. Di saat aku sedang menerima
laporan mereka tentang menghilangnya anak buahku yang
lain. Tak bisa kuduga siapa yang melakukannya.
Kelebatannya laksana setan. Tentunya, ia memiliki
kesaktian yang tinggi."
Maharaja Langit Hitam menggeram. "Manusia keparat
itu harus diberi pelajaran!"
"Kita tunggu sampai kambratku datang!"
"Bagus! Malam makin dingin. Aku harus menikmati
hidangan yang tersedia."
Singgih Murka cuma menganggukkan kepala. Maharaja
Langit Hitam melangkah ke kamar yang disediakan Singgih
Murka dengan tak sabar
"Aku datang untuk... gila! Keparat!!" laki-laki tinggi
besar itu menggeram seraya menghantam sebuah kursi. "Ke
mana gadis itu, hah"!"
-0o-dw-ray-o0- Bentakannya terdengar oleh Singgih Murka yang segera
mendekat. "Ada apa?"
"Setan alas! Bagaimana mungkin gadis itu bisa
meloloskan diri hah" Ia dalam keadaan tertotok. Kedua
kakinya masih membeku akibat tenaga esku. Tak mungkin
ia bisa melepaskan semua itu kalau tida ada yang
menolong?"
"Tetapi, bagaimana cara orang itu menolongnya" Kau
lihat sendiri, tidak ada jendela di sini! Pintu dalam keadaan
terkunci. Kau sendiri yang memegang kuncinya!"
Maharaja langit hitam menggeram, jengkel luar biasa,
wajahnya kelam dengan bibir bergetar.
"Keparat!" makinya.
Singgih Murka berkata," bagaimana dengan orang yang
seperti setan yang membunuh kedua anak buahku" Bisa jadi
ia yang melakukan hal ini pula!"
"Kita cari manusia itu! Pasti ia masih berada di sekitar
sini!" Maharaja Langit Hitam mendahului dengan kegeraman
yang sudah singgah di ubun-ubun.
-0o-dw-ray-o0- "Let... sebenarnya, ada apa dengan semua ini?" tanya
Andika selesai memusnahkan tenaga es yang membelenggu
kedua kaki Ayu dan melepaskan totokan yang dilakukan
oleh Maharaja Langit Hitam. Ia tahu, kalau rencana yang
disusunnya gagal total. Setelah mematikan langkah
beberapa anak buah Serikat Baju Merah, seharusnya
Andika menjumpai Ayu yang memata-matai keadaan.
Setelah itu, bersama-sama mereka akan menyerbu ke sana.
Ayu bertugas menyelamatkan para penduduk, sementara
Andika mencari Singgih Murka. Tetapi rencana itu gagal
karena kehadiran Maharaja Langit Hitam yang di luar
perhitungan Andika.
Walet tengah asyik menghisap-hisap rumput Manis.
"Tidak tahu, ya" Aku kan cuma membantu saja."
"Kalau tidak kau bantu, sangat sulit untuk menemukan
Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di mana Ayu saat itu berada. Kau dengan cerdiknya telah
menolongnya. Bahkan selagi kedua manusia itu berada di
kamar. kau dan Ayu masih berada di sana. Tetapi dengan
kekuatan batinmu itu kau bisa mengelabui mata keduanya
hingga tak bisa melihat kau dan Ayu. Nah, katakan
sekarang...."
"Maaf, Kang Andika.... Sebenarnya, ini urusan
pribadiku," sahut Walet masih asyik menghisap rasa manis
dari pangkal rumput.
"Tetapi aku tak mengerti dengan semua ini. teka-teki
yang bisa kupecahkan sekarang, merpati yang kau maksud
adalah Ayu. Dan manusia yang menginginkannya adalah
Maharaja Langit Hitam. Masih ada teka-teki lain yang
masih melingkar di benakku. Kali ini, aku akan
menahanmu bila kau tidak segera menjawabnya, Walet."
Walet Cuma nyengir saja mendengar kata-kata Andika.
"Jangan memaksa dong, kang Andika. Aku sendiri tidak
tahu apa-apa."
Pendekar Slebor yang memiliki sejuta kecerdikan tahu
kalau walet sebenarnya justru mengetahui teka-teki di balik
semua ini. ia berkata lagi memancing jawaban Walet,
"Masihkah kau menganggapku sebagai seorang sahabat?"
"Sudah tentu. Sampai dunia kiamat. Kita tetap
bersahabat kan, kang Andika?"
"Mengapa sebagai sahabat kau justru tidak mau
mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi?"
Kali ini walet menunduk. Tak acuh lagi sambil
menghisap rumput yang dipegangnya,
"Justru aku ingin meminta bantuanmu, kang Andika."
"Kalau kau memang meminta bantuanku, mengapa kau
tidak mengatakan yang sebenarnya?"
"Belum saatnya, kang Andika. Ini masih menjadi urusan
pribadiku. Aku hanya meminta kau untuk memantau
keadaan saja. Selebihnya, aku akan menyelesaikan urusan
ini." "Sejak tadi kau berkata urusan pribadi," kata Andika
dongkol, "Kau hendak meminta bantuanku, tapi justru aku
yang kau bingungkan dengan teka-teki ini."
"Pecahkanlah Kang Andika," kali ini Walet berdiri dan
dengan tak acuhnya ia melangkah meninggalkan Andika
yang tidak menahan.
Tetapi Ayu lebih dulu berkata, "biarkan saja dulu, kang.
Barangkali memang ada masalah pribadi yang tak boleh
diketahui orang lain."
Andika cuma mangut-mangut seperti burung pelatuk.
"Memang, Walet selalu menimbulkan teka-teki bagiku."
"Kang Andika... saat aku tertawan, aku mendapat
sebuah keterangan yang cukup berarti," kata Ayu.
Andika menoleh dan menatap gadis jelita yang menjadi
agak risih ditatap seperti itu. Menyadari kalau tatapannya
terlalu menyolok Andika nyengir.
"Apa itu?"
"Mengapa Serikat Baju Merah menyerang desaku ini"
dikarenakan, mereka akan menjadikan desa ini sebagai
markas tempat penyimpanan dan jalur pengedaran candu."
"Kurang ajar!" Andika menggeram.
"Satu hal lagi, maharaja Langit Hitam ternyata
mendapat tugas dari sang pemimpin untuk membunuh
guruku." "Siapakah pimpinan yang dimaksud itu, Ayu?" Ayu
menggelengkan kepala.
"Sayangnya aku tidak tahu soal itu. Tetapi, keduanya
bukanlah orang yang menginginkan semua ini. Mereka
adalah kaki tangan dari sang Pimpinan."
"Kita harus mencari pimpinan itu, Ayu!"
"Kau benar, Kang Andika. Tetapi, Singgih Murka
mengatakan ia telah mengundang beberapa kambratnya
untuk bergabung."
"Berbahaya kalau begini. Hmm... berapa jalan masuk ke
desa ini, Ayu?"
"Tiga. Dari selatan, barat, dan timur. Bagian utara
sebuah hutan belantara yang lebat. Dan sangat sulit bila
orang hendak mendatangi desa ini melalui jalan itu!"
Andika terdiam. Otaknya tengah berpikir. Lalu katanya,
"Sebaiknya, kita cegat mereka di jalan masuk ke desa ini.
Karena bila mereka telah bergabung, kekuatan dari Singgih
Murka dan Maharaja Langit Hitam akan bertambah.
Sebaiknya, kita singkirkan satu persatu. Aku ke selatan dan
kau ke barat."
"Bagaimana bila mereka masuk dari arah timur?"
Andika terdiam lagi. "Biar, aku yang mengurus."
Padahal dalam hati Andika, justru bagian utaralah yang
harus diperhatikan. Karena, tak mustahil para kambrat dari
Singgih Murka tak mau diketahui kedatangan mereka.
"Kalau begitu, sebaiknya kita mulai berjaga-jaga, Kang
Andika." "Kau benar. Ayu.. hati-hati."
Ayu menunduk. Dadanya bergetar. suara Andika bagai
menyapu lembut relung hatinya. Lalu sahutnya pelan, "Kau
juga, Kang..."
Andika menggenggam tangan gadis itu yang di rasakan
bergetar. "Setelah itu, kita bertemu lagi tempat ini."
Lalu Andika pun mengempos tubuhnya. Dalam sekali
kelebat saja pemuda yang memiliki ilmu lari tersohor itu
sudah hilang dari pandangan Ayu.
Gadis jelita murid Beruang Gunung Karimun mendesah
panjang. Entah mengapa sekian tahun hatinya tak pernah
merasakan sebuah getaran aneh, kali ini justru bergetar.
Bahkan semakin menghebat bila dekat dengan Andika.
Ayu segera membuang perasaannya itu. Ia pun
berkelebat menuju sasarannya.
-0o-dw-ray-o0- 7 Pagi beranjak pergi. Matahari perlahan naik menuju
tingkat tertinggi singgasananya. Sinarnya cukup menyengat
pandangan. Pepohonan agak sedikit meranggas, karena
kemarau mulai datang kembali.
Di hutan sebelah utara Desa Sawo Luwih, Andika masih
menunggu, duduk di sebuah pohon tinggi. Hutan itu
tergolong hutan yang cukup lebat. Pepohonan tinggi
berjajar. Semalaman ia tak memejamkan matanya barang
sejenak. Tetapi, sampai awal siang ini, Andika belum
melihat ada yang datang.
Sejenak ia jadi ragu akan pikirannya sendiri.
"Jangan-jangan, para kambrat Singgih Murka justru
mengambil jalan nyata, tidak perlu melalui jalan ini menuju
Desa Sawo Luwih. Hhh! Seharusnya aku memperhitungkan
pula hal itu. Sebaiknya, aku mengecek saja ke selatan!"
Tetapi sebelum Andika melompat, dilihatnya dua sosok
tubuh berpakaian hitam berkelebat laksana setan, melewati
satu pohon ke pohon lain, berzig-zag begitu cepat.
Andika urung meneruskan niatnya. Ia picingkah mata
menatap kejauhan.
"Hmmm... merekakah tamu yang diundang oleh Singgih
Murka?" desis Andika. "Bila melihat dari cara keduanya
berlari, jelas bukan orang sembarangan. Hmmm... aku tak
boleh buang tempo lagi. Sebaiknya, aku hadang saja
mereka!" Memikir sampai di situ, dengan sekali emposan Andika
sudah melompat turun, berdiri, tepat ketika keduanya
berada dalam jarak tiga tombak di depannya.
Keduanya menghentikan langkah. Dari dekat, Andika
bisa melihat kalau keduanya sepasang manusia. Yang lakilaki berwajah tirus dengan rambut panjang. Wajahnya
cukup tampan, namun keculasan matanya begitu mengerikan. Sedangkan yang perempuan jauh sekali
dikatakan cantik. Wajahnya penuh jerawat memerah.
Rambutnya kotor sekali Tetapi yang membuat Andika mau
tertawa, ketika melihat betapa tipisnya pakaian yang
dikenakan wanita itu. Samar menampakkan buah dadanya
yang tak tertutup apa-apa. Sementara pakaian bawahnya,
sebuah celana pangsi yang agak tinggi. Hitam dan kotor.
Sungguh, sebuah pemandangan yang tidak enak dilihat
sebenarnya. "Siapa kau yang berani menghadang Harimau Tapa dan
Dewi Intan?" terdengar suara si laki-laki angker.
Andika bisa merasakan getaran tenaga dalam yang
dipancarkan melalui suara itu, meskipun ia merasa masih
jauh dari tenaga dalam yang dimilikinya.
Nama Harimau Tapa dan Dewi Intan, sungguh baru kali
ini didengarnya.
Ia cuma tersenyum. "Aku bertanya pada kalian, tahukah
di mana Singgih Murka berada?"
"Siapa kau?" Harimau Tapa memicingkan mata,
menatap sosok tampan. di hadapannya.
"Aku salah seorang kambratnya yang diundang
olehnya!" Harimau Tapa mengubah sikapnya, memikir kalau
pemuda di hadapannya ini memiliki tujuan yang sama. Ia
tahu Singgih Murka banyak memiliki sahabat, dan tak
semua sahabat dari Singgih Murka dikenalnya. "Kami pun
begitu adanya, tengah mencari Singgih Murka pula!
Selamat bertemu! Sebutkan julukan!"
"Aku tak mempunyai julukan!" desis Andika dan dalam
hati berkata, "Jelas keduanya undangan dari Singgih
Murka. Hmm, aku harus berhati-hati menghadapi mereka."
"Bagus! Kita bisa jalan bersama!" kata Harimau Tapa.
"Tunggu!" tahan Andika. "Ada apa sebenarnya Singgih
Murka mengundang kita?"
"Aku tidak tahu. Tetapi, aku yakin, sebuah kesenangan
yang akan kita dapatkan. Kita harus menjumpainya
sekarang! Dalam pesannya, ia mengatakan telah berhasil
menguasai Desa Sawo Luwih!"
"Bagus kalau begitu! Tetapi, lebih baik kalian tinggal di
sini saja!" sehabis berkata begitu, Andika menerjang cepat.
Harimau Tapa dan Dewi Intan terkejut melihatnya.
Keduanya cepat kibaskan tangan.
Des! Des! Selagi serangannya ditangkis, Andika meneruskannya
dengan mengirimkan dua buah tendangan sekaligus.
Buk! Buk! Tendangan keras itu tepat menghantam dada keduanya,
yang terhuyung, segera mengalirkan tenaga dalam dan
bangkit dengan tatapan gusar.
"Setan alas! Siapa kau sebenarnya, hah?" bentak
Harimau Tapa keras.
Andika nyengir. "Namaku Andika. Julukanku Pendekar
Slebor! Kalian tak akan pernah menemui Singgih Murka!"
"Keparat! Ingin kulihat kehebatan Pendekar Slebor!"
Dewi Intan sudah menderu dengan satu terjangan aneh.
Bagai melompat, namun mengerikan. Dalam setiap
lompatannya ia mengirimkan pukulan berhawa panas.
Andika terkejut melihat serangan itu. Sejenak ia
mengendalikan serangannya mencecar bagian kaki Dewi
Intan, karena dalam sekali lihat Andika bisa tahu kalau
kedua kaki Dewi Intan merupakan sebuah tumpuan yang
dahsyat. Mendapati kelemahan lawan, ia pun membalas dengan
tak kalah hebatnya. Harimau Tapa sudah menderu pula
dengan jurus-jurus harimaunya yang mengerikan. Setiap
kali tangannya yang membentuk cakar mengibas, angin
dingin dirasakan Andika.
Meskipun untuk sesaat Andika cukup dikejutkan dengan
dua serangan sekaligus, tetapi keduanya bukanlah kelas
Andika. Dalam waktu lima jurus, keduanya sudah dibuat
tak berkutik. Terkulai dengan tubuh tertotok.
"Keparat! Kita bertarung sampai mampus!" maki
Harimau Tapa gusar.
Maaf, aku terpaksa harus membungkam kalian!"
Diangkatnya tubuh Harimau Tapa dan dibawanya ke
sebuah pohon. Diletakkannya tubuh kaku itu di sana.
Begitu pula yang dilakukannya pada Dewi Intan.
"Bukankah di sini lebih nyaman" Sebaiknya kalian jangan
bergerak karena kalau jatuh aku tidak tanggung!" Lalu
tangannya menotok urat suara keduanya. "Maaf, terpaksa
aku harus meninggalkan kalian dulu di sini."
Dan Andika pun bergegas untuk menjumpai Ayu.
-0o-dw-ray-o0- Ayu sendiri juga telah mengalahkan lawannya yang
memang seorang kambrat dari Singgih Murka. Bahkan Ia
telah mematahkan kedua kaki lawannya yang berjuluk
Hantu Bayangan, yang begitu Ayu muncul tadi sudah
memancarkan sinar gairah melihat betapa jelitanya gadis di
hadapannya. Namun ia terkejut ketika Ayu menghindari terkamannya
yang memang tak boleh melihat gadis cantik. Seketika ia
menjadi marah. Tetapi, murid Beruang Gunung Karimun
yang telah mendapatkan pengalaman bertempur menghadapi Maharaja Langit Hitam, bisa mengendalikan
nafsunya untuk berhati-hati. Bahkan dalam sepuluh jurus
berikutnya Ayu berhasil menjatuhkan lawan.
Andika tiba di sana.
"Beres?"
"Ya. Semuanya sudah selesai. Bagaimana dengan Kang
Andika sendiri?" tanya Ayu sambil menghapus keringatnya.
Pertarungan itu sungguh bukan buatan hebatnya. Andika
melihat beberapa pohon tumbang di dekat Ayu.
"Sama. Ayu, kita sembunyikan manusia yang pingsan
itu. Totok urat kaku dan suaranya, setelah itu, kita langsung
menyerbu Singgih Murka dan Maharaja Langit Hitam.
Terus terang, aku penasaran ingin mengetahui siapa yang
Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dimaksudkan dengan pimpinan oleh keduanya!"
Ayu menyetujui usul itu. Setelah melakukan perintah
Andika, keduanya pun berkelebat menuju bangunan besar
di mana mereka yakin Singgih Murka yang selama ini tidak
diketahui tempatnya berada bersama sahabatnya, si
Maharaja Langit Hitam.
Tetapi ketika sampai di sana, justru yang mereka lihat
lima belas prajurit kadipaten, tiga kereta kuda dan sebuah
kereta kuda yang sangat indah sekali Sedang berjaga-jaga di
depan bangunan besar itu. Tak ada para penduduk yang
biasanya bekerja paksa untuk meneruskan mengerjakan
bangunan besar itu.
"Kita lihat dari sini saja," kata Andika mengerutkan
kening. Batinnya mengatakan sesuatu telah terjadi. Entah
apa. Menghadapi keanehan itu, ia mengajak Ayu untuk
bersembunyi dulu di balik semak, menunggu apa yang
tengah terjadi di hadapan mereka berjarak sepuluh tombak.
Selang beberapa saat, mereka melihat seorang laki-laki
berpakaian indah dan mempesona, keluar dari bangunan itu
dengan dikawal lima orang prajurit gagah bersenjata
tombak. "Kau benar, Hardigala. Keadaan aman! Serikat Baju
Merah memang sudah tumpas!" kata orang itu yang tak lain
Adipati Ganda Manikam. "Kita kembali dan nyatakan
tempat ini sebagai tempat yang aman.
Barang-barang yang kita bawa tadi, sudah aman di
tempatnya, bukan" Itu adalah persenjataan kita, karena aku
menginginkan tempat ini pun dijadikan bangsal kekuasaan
Kadipaten Karang Sutra!"
"Tunggu, Adipati!" seruan itu terdengar bersaman dua
sosok tubuh yang melompat ke depan.
Andika dan Ayu menjura di hadapan Adipati Ganda
Manikam yang menjadi keheranan.
"Siapa kalian?"
"Maafkan kami," kata Andika menjura. Lalu mengangkat wajahnya menatap adipati yang nampak
geram. Sesaat Andika terkejut melihat sosok di hadapannya. Rasa-rasanya ia tak begitu asing dengan sosok
Adipati Ganda Manikam. Tetapi kemudian, diyakininya
kalau ia belum pernah bertemu dengan Adipati Ganda
Manikam. "Bukan maksud kami lancang menahan Adipati
di sini. Tetapi, saya tidak percaya kalau tidak ada lagi sisasisa dari Serikat Baju Merah."
Adipati Ganda Manikam mengerutkan keningnya. "Apa
maksud perkataanmu itu?"
Andika menceritakan bagaimana kalau para prajurit
kadipaten telah tertipu oleh kelicikan Singgih Murka
sewaktu mengadakan penyerangan pertama.
"Tidak mungkin!" seru adipati dengan wajah merah.
Kata-kata Andika barusan bagai sebuah tampan keras di
pipinya. "Para prajuritku adalah prajurit pilihan. Mereka
tak akan bisa tertipu dengan akal licik semacam itu."
Andika bisa memahami keadaan itu. Ia pun mengambil
sikap lebih berhati-hati.
"Sekali lagi maafkan, Adipati. Pada kenyataannya,
memang hal itulah yang terjadi. Dan saya yakin, apa yang
Adipati katakan tadi belum tuntas. Karena, saya tahu
Singgih Murka dan Maharaja Langit Hitam masih berada di
bangunan."
"Kau periksa sendiri! Tak ada kedua manusia bangsat
yang menyebabkan teror di desa ini!" .
"Mereka pasti bersembunyi di sebuah tempat."
"Tempat ini sudah digeledah! Jangan sembarangan
bicara dan mempermalukanku, Anak Muda!"
Wajah Andika kelam. Hatinya panas dimaki seperti itu.
Tetapi ia bisa menahan diri dan maklum mengapa Adipati
Ganda Manikam berkata agak keras.
"Tanpa mengurangi kesopanan dan rasa hormat saya
pada Adipati, saya mohon izin untuk mengecek bangunan
itu," kata Andika sopan. Padahal, ia tak senang sama sekali
dengan tetek bengek kesopanan semacam itu. Karena
baginya, derajat manusia itu sama. Tak ada bedanya baik
misalnya ia seorang adipati, pangeran, raja, ataupun kaum
bawah sekalipun.
Adipati Ganda Manikam cuma mendengus.
"Silakan!" .
Andika menjura sekali lagi. Kesempatan itu harus
dipergunakan sebaik-baiknya. Ia memasuki bangunan besar
itu. Namun seperti yang dikatakan oleh adipati tadi,
memang tak ada tanda-tanda kedua manusia itu berada di
sana. Penasaran Andika mengeceknya sekah lagi. Tetapi
hasilnya nihil.
"Hmm.... pasti ada, tempat tersembunyi di bangunan ini.
Seperti semula tak bisa diketahui di mana Singgih Murka
berada. Akan kucari lagi nanti malam."
Lalu Andika pun keluar. Adipati Ganda Manikam
bertanya dengan mata membesar, "Bagaimana?"
"Apa yang Adipati katakan itu memang benar."
Tak ada sahutan dari adipati selain menaiki kereta
kudanya. Lalu ia memerintahkan kusir untuk menjalakannya. Salah seorang dari prajurit itu, yaitu
Hardigala mendekati Andika dan berkata sinis, "Beruntung
kau tidak digantung!!"
Lalu ia menyusul rombongan itu.
Sepeninggal mereka, Andika masih terdiam dengan
kening berkerut. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang
aneh dalam hal ini.
Ayu berkata, "Kau tak menemukan siapa pun juga di
sana, Kang Andika?"
"Tidak. Tidak sama sekali. Bahkan yang mengherankanku, para penduduk yang dipaksa bekerja di
tempat ini seolah tak mau bekerja lagi. Ini berarti, Singgih
Murka sudah mengetahui akan kedatangangan Adipati.
Kau lihatlah Ayu, suasana sangat sepi sekali. Ada sesuatu
di balik semua ini?"
"Apakah itu Kang Andika?"
"Aku tidak tahu. Semuanya hanya.... Walet! Ya, Walet
yang mengetahui semua ini! Tetapi, ia pasti tak akan mau
mengatakannya! Aku kenal betul siapa dia?"
Ayu yang tak tahu siapa Walet sebenarnya merasa heran
melihat Andika begitu menghargai Walet sekali. Bila saja
ayu tahu bocah itu adalah titisan seorang pangeran, ia pasti
akan bersikap seperti yang dilakukan andika.
"Kalau begitu, kita cari saja Si Walet, Kang."
Andika hanya menganggukkan kepala. Hal itu memang
mudah diucapkan, tetapi menjalankannya sangat sulit
sekali. Karena andika sangat hafal karakter Walet.
Tetapi, ia akan tetap pada rencananya semula untuk
kembali mendatangi bangunan besar itu nanti malam. d
"Ayu sebaiknya kita tengok keadaan kedua orangtuamu."
Ayu mengiyakan karena sesungguhnya ia lebih ingin
menjagai kedua orangtuanya.
-0o-dw-ray-o0- 8 Malam temaram. Kegelapan melanda karena sang Ratu
Malam kali ini bagai enggan bersinar. Satu sosok tubuh
melompat dari sebuah pohon ke pohon lain. Gerakannya
tak ubahnya bagai bajing belaka. Ringan, cepat, dan
menakjubkan. Di sebuah pohon yang terletak di sebelah kiri bangunan
besar yang belum jadi, sosok tubuh yang tak lain Pendekar
Slebor berhenti bergerak. Ia memperhatikan sekeliling
bangunan itu. Begitu sepi dan tak ada tanda-tanda
kehidupan. "Aku tak percaya kedua manusia itu tidak ada di sana.
Sebaiknya. aku segera ke bangunan itu sekarang!"
Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya
yang kesohor, Andika melompat dari batang pohon.
Hinggap di atap bangunan itu tanpa menimbulkan suara
sedikit pun. Lalu ia melompat turun di bagian belakang bangunan.
Sejenak ia celingukan, hati-hati. Entah mengapa dadanya
berdebar cukup keras.
Begitu Andika melangkah, sebuah jaring tebal meluruk
ke arahnya. Andika tercekat. Ia bergulingan dan berhasil
menghindari jaring itu. Tetapi sebuah jotosan dari belakang
menghantam telak punggungnya. Membuatnya terjajar
keras ke depan. Sengit ia menoleh dan melotot gusar.
"Manusia jelek, yang beraninya hanya membokong!!"
bentaknya. Maharaja Langit Hitam yang tadi menghajar telak
punggung Pendekar Slebor justru membelalak melihat
kenyataan di hadapannya. Ia tak habis pikir bagaimana
Andika bisa selamat dari belenggu ajian kebanggaannya.
Andika mendengar satu suara dingin dari sisi kanannya.
"Kau lihat kenyataan itu, Maharaja! Pendekar Slebor
memang memiliki akal yang cerdik! Tetapi, ia tak akan
mampu menghindari maut sekarang!"
Andika melihat Singgih Murka terbahak-bahak dan
melangkah keluar dari sebuah pintu.
"0... rupanya kalian memang jadi cacing pengecut yang
ternyata hanya bisa bersembunyi saja?"
"Itulah kecerdikan yang patut kau perhitungkan,
Pendekar Slebor! Kau sudah berhasil memecahkan
tipuanku terhadap para prajurit kadipaten saat menyerang.
Kau pun berhasil memecahkan tipuanku pula, kalau kami
bersembunyi di satu tempat yang tak akan bisa kau
ketahui!" "Sekarang, tak ada tempat bersembunyi lagi! Rencana
busuk kalian untuk mengedarkan candu tak akan bisa
berlangsung lebih lama! Sungguh malang nasib kalian!"
"Jangan banyak bacot! Kali ini kau akan mati secara
mengenaskan, Pendekar Slebor!" bentak Maaraja Langit
Hitam yang masih tak habis pikir mengapa Andika masih
hidup. Ia menerjang dan tak tanggung lagi mengerahkan
ajian 'Menghampar Gunung Es' yang dibanggakannya,
Andika yang pernah mengalami nasib apes saat itu,
segera kerahkan tenaga 'inti petir' tingkat pertama. Hawa
panas pun menguar dari tubuhnya. Namun meskipun
begitu, ia tak mau ambil resiko dengan memapaki serangan
Maharaja Langit Hitam mengingat pengalamannya yang
pertama. ' Akan tetapi, begitu serangan Maharaja Langit Hitam
meleset, dengan cepat Andika membuat gerakan merunduk,
lalu menyusupkan tangannya.
Wuut! Des! Dada Maharaja Langit Hitam tergedor keras. Sungguh,
laki-laki jelek itu sama sekali tidak menyangka gerakan
yang dilakukan Andika. Ia merasa tubuhnya menjadi panas.
Dialirkannya segera hawa dingin untuk mengalahkan hawa
panas itu. Bila saja Maharaja Langit Hitam tak memiliki
kekuatan tinggi, bisa dipastikan dadanya akan jebol.
Melihat lawan sesaat terdiam, Andika bersiap mengirimkan serangan selanjutnya. Tetapi Singgih Murka
tidak mau kawannya menjadi sasaran empuk serangan
Pendekar Slebor.
Ia bergerak cepat. menyerbu dengan amarah membludak. Tangan kanannya yang telah dialiri tenaga
dalam tinggi langsung dihantamkan ke kepala Andika.
"Hiaaaa!!"
Wutt! Andika mengurungkan niatnya untuk menghajar habis
Maharaja Langit Hitam. Ia menghindari serangan Singgih
Murka dengan menggeser tubuh satu langkah ke samping.
Luputnya serangan pertama, disusul dengan serangan
kedua. Tubuh Singgih Murka cepat berputar dengan
melepaskan tendangan kaki kanan, keras, mematikan ke
dada Andika. Kali ini, Andika tidak menghindar. Cepat ia memapaki
tendangan berputar Singgih Murka dengan ayunan tangan
kanannya. Sementara gerakan beruntun diperlihatkan. Kaki
kirinya langsung bergerak, mengirim serangan ke selangkangan Singgih Murka sebagai balasan.
Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laki-laki tinggi besar itu mengeluarkan suara menggembor. Ia membuat gerakan menyilang di bagian
selangkangannya, hingga benturan tenaga dalam keras
terjadi. Baru saja terjadi benturan, Andika langsung melancarkan
serangan kembali. Kali ini agak berjingkat dengan kaki
kanan, dan membuat gerakan siap meremukkan kepala
Singgih Murka. Singgih Murka terkejut. Untuk menunduk sulit
dilakukan, karena serangan Andika dari atas, bisa langsung
diturunkan menyusul kepalanya. Jalan satu-satunya
membuang diri. Cepat ia melakukan gerakan itu. Tetapi
Andika tak mau ayal lagi bertindak. Ia menekuk kaki
kanannya sementara kaki kirinya menyapu.
Wusss! Des! Kedua kaki Singgih Murka terhantam telak hingga
membuatnya terhuyung. Menyusul serangan lainnya dan
Andika. Tetapi, Maharaja Langit Hitam sudah bergerak
memapaki. Des! Des! Andika terkejut bukan kepalang. Tubuhnya seketika
dirasakan dingin luar biasa. Lamat, menjalar ke bagianbagian lain tubuhnya. Cepat Andika alirkan tenaga ajian
'Guntur Selaksa' sambil menutup jalan darahnya. Bila saja
ia tak melakukan hal itu, bisa dipastikan ia akan kembali
membeku. Maharaja Langit Hitam yang terbahak melihat serangannya berhasil, kali ini bagai tersedak, melotot tak
percaya dengan gusar. Andika sudah berdiri seperti
sediakala tanpa kekurangan suatu apa.
"Setan! Ilmu apa yang kau pergunakan itu hah?"
"Terpaksa aku harus mengeluarkan maklumat nih!" kata
Andika sok penting. Lalu seperti orang berpidato ia berkata
dengan sikap makin tengik,
"Ilmu tadi, adalah sebuah ilmu yang sangat luar biasa.
Tak ada tandingannya, di dasar bumi di dasar laut maupun
dilapis langit ketujuh. Namanya, ajian 'Guntur Selaksa'.
Jadi bila kalian...."
"Seetaaaannn!"
Serangan beruntun dilakukan Maharaja Langit Hitam
dan Singgih Murka. Keduanya menyerang membabi-buta,
mencoba mematikan gerak Andika.
Andika kali ini benar-benar dibuat kalang kabut.
Terutama serangan dari Singgih Murka, yang mengandung
kekuatan laksana gunung. Setiap kali menyerang, suara
berpendar-pendar keras terdengar. Rupanya laki-laki itu
telah mengeluarkan ajian simpanannya, 'Punah Bumi
Punah Langit'. Andika menyadari, kalau sebenarnya dari lawan yang
dihadapi ini, Singgih Murka yang menyulitkan. Mengingat
ia telah menemukan titik lemah dari ajian Maharaja Langit
Hitam. Walet memang benar kalau begin. Tetapi, serangan
Maharaja Langit Hitam itu masih menyulitkan meskipun
tidak sedahsyat sebelumnya. Jadi yang harus dicecar
sekarang, Maharaja Langit Hitam, biar ia' agak lebih
mudah menghadapi Singgih Murka.
Berpikir sampai di situ, dengan sekali enjot, Andika
melayang ke belakang, menyusul dua serangan yang
dilakukan lawan. Itu memang pancingan. Begitu lawan
mendekat, Andika merunduk, dan meluncur ke arah
Maharaja Langit Hitam, sementara tangan kirinya
menyambar kain pusaka bercorak catur warisan Eyang Ki
Saptacakra ke arah Singgih Murka.
Des! Beettt! Dada Maharaja Langit Hitam telak terhantam ajian
'Guntur Selaksa'. Tubuhnya bukan hanya terjajar, tetapi
terlempar ke belakang. Sementara Singgih Murka terkejut
ketika mendengar dengung ribuan tawon ke arahnya.
Ia cepat menunduk menghindar. Itu memang salah satu
yang diinginkan Andika pula. Masih mengebutkan kain
pusakanya, ia mengirimkan satu tendangan keras ke kepala
Singgih Murka, yang berteriak keras sambil bergulingan.
Tetapi Andika tak mau membiarkan lawan lebih lama
bernapas. Ia meluncur dan menjejakkan kakinya.
Lagi-lagi Singgih Murka bisa menghindar dengan jalan
memapaki serangan itu. Tetapi satu gedoran kaki kiri
Andika menghantam punggungnya.
"Aaaakhhhh!!" seruan kesakitan terdengar.
"Waddoooowww!!" dengan tengik Andika mengikutinya
sambil meneruskan serangannya.
Kalang kabut Singgih Murka dibuatnya. Sebisanya ia
menghindar, tetapi lagi-lagi bagai sedang bermain bola
Andika menendangi tubuh lawan dengan enaknya.
Sementara itu, Maharaja Langit Hitam tak bisa banyak
berbuat. Tubuhnya yang digedor ajian 'Guntur Selaksa'
Pendekar Slebor membuatnya bagai lumpuh. Ia hanya
memandang gusar melihat sahabatnya diperlakukan seperti
itu. Meskipun kini ia menyadari Pendekar Slebor ternyata
masih jauh pada kelasnya, tetapi ada yang tetap
mengherankannya. Siapa yang membebaskan Pendekar
Slebor dari gempuran 'Menghampar Gunung Es' miliknya.
Tak seorang pun - siapa pun dia - bila sudah membeku tidak
akan bisa melepaskan diri. Karena, seluruh jalan darah dan
uratnya tak akan pernah bisa dilepaskan.
Pada akhir pemandangannya, Maharaja Langit Hitam
melihat Singgih Murka pingsan sete1ah dihajar habishabisan oleh Pendekar Slebor.
"Nah! Masih untung kau kubiarkan hidup, kan?" kata
Andika seraya mengusap keringatnya. Maharaja Langit
Hitam berlagak pingsan ketika Andika menoleh padanya.
Tetapi pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu tahu kalau
lawan berpura-pura. Dengan santai ia mendekat sementara
dada Maharaja Langit Hitam menjadi bergemuruh tak
karuan. "O... pingsan, ya" Kasihan. Kalian berdua benar-benar
sudah pingsan. Tetapi ya... terpaksa kubuat pingsan deh!"
Maharaja Langit Hitam melengak mendengarnya. Tetapi
ia tak bisa berbuat apa-apa ketika Andika menotok urat di
bagian bawah ketiaknya. Seketika ia terkulai setelah
terjingkat sejenak.
Andika cuma nyengir saja. Masih ada teka-teki yang
harus dipecahkannya. Masalah pribadi Walet dan tempat
persembunyian keduanya.
Andika memutuskan untuk memeriksa lebih dulu pikiran
yang kedua. Ia berkelebat masuk ke dalam bangunan itu.
Ditelusurinya dengan saksama bangunan itu. Setiap ruang,
lorong dan kamar, dimasukinya. Tak ada tanda-tanda yang
aneh. "Busyet! Di mana mereka bisa bersembunyi sehingg a
Adipati Ganda Manikam tidak bisa menemukan" Menurut
Ayu, mereka akan menjadikan tempat ini sebagai markas
candu. Adakah candu-candu itu sudah datang?"
Andika memeriksa lagi. Sampai kemudian ia tertarik
pada sebuah dinding yang agak aneh. Aneh dalam arti
karena ia menemukan empat buah titik yang berbentuk
persegi panjang, namun tak ada garis yang menghubungi
titik itu satu sama lain.
Di depan titik-titik itu Andika mengerutkan kening.
"Hmm... apa maksud titik-titik ini?" desisnya tak mengerti.
"Adakah artinya?"
Tanpa sadar Andika meraba keempat titik itu Mendadak
terdengar suara bergemuruh hebat. Ia sampai terjingkat,
mundur tiga langkah. Mendadak saja, dinding yang
terdapat empat buah titik berbentuk persegi panjang itu
membuka. "Gila!" desis Andika takjub. "Di tempat itulah mereka
bersembunyi! Sebuah dinding rahasia yang bisa dikerjakan
dengan tenaga dalam. Pasti Singgih Murka yang
membuatnya. Sebaiknya ku periksa saja dulu."
Andika pun masuk ke dalam. Suasana agak gelap.
Namun matanya yang terlatih dalam kegelapan bisa melihat
peti yang bertumpuk-tumpuk.
Andika membukanya. Ia meraba dan merasakan daundaun kering di dalamnya. Lalu ditemukannya bubuk-bubuk
halus di sana. "Hmm... rupanya belum diolah menjadi
candu Tetapi, bagaimana cara mereka membawa barang
celaka ini?" Andika terdiam.
Lalu, siapa yang memberitahukan mereka yang selalu
tahu bila orang-orang kadipaten datang menyerang"
Adakah sesuatu yang lebih aneh lagi?"
Andika terdiam lagi. Tiba-tiba
ia mengangguk- anggukkan kepalanya. "Aku tahu, aku tahu siapa biang
kerok ini. Apakab ini berhubungan dengan masalah pribadi
Walet" Biar lebih jelas, aku akan memaksa kedua manusia
celaka itu berbicara. Siapa yang mereka maksudkan dengan
sang Pemimpin meskipun aku sudah menduganya."
Andika pun berkelebat lagi keluar. Tetapi sesampai di
halaman belakang bangunan itu, ia terkejut, karena kedua
lawan yang pingsan tadi sudah tidak ada di tempat. Yang
ada justru sebuah goresan besar di tanah.
"Kau selalu lancang mencampuri urusanku, Pendekar
Slebor. Kematian akan datang padamu. Sebuah bayangan
kematian."
-0o-dw-ray-o0- 9 Kekadipatenan siang itu nampak lengang. Angin siang
berhembus sepoi-sepoi, membuat tiga orang prajurit yang
berdiri tegak di depan pintu gerbang setengah mengantuk.
Andika yang tiba di sana berhenti melangkah. Ia terdiam
sesaat seperti memikirkan sesuatu. Lalu dengan langkah
gagah ia melangkah mendekati tiga prajurit yang menjadi
bersiaga. Lebih-lebih setelah mengenali siapa pemuda yang
muncul, pemuda lancang yang hampir membuat malu
Adipati Ganda Manikam.
"Mau apa kau kesini, Orang Muda?" membentak yang
seorang. Sikapnya tak bersahabat. Tombaknya digenggam
erat-erat. Andika tersenyum.
"Aku datang, untuk menyampaikan maafku pada
Adipati." "Maaf diterima, silakan meninggalkan tempat ini."
"Mengertilah, perasaanku menjadi tidak enak bila belum
melakukan apa yang kuinginkan ini," kata Andika masih
tersenyum. Berusaha lebih sopan lagi. Padahal ia ingin
menjitak kepala prajurit tengik itu.
"Tinggalkan tempat ini sebelum kemarahanku naik!"
"Busyet! Enteng sekali omongannya," Andika mendumal
dalam hati. Tetapi suatu teka-teki yang siap ia pecahkan,
membuatnya harus bersikap bersabar. "Aku akan tetap di
sini sampai kalian mengizinkanku untuk masuk menemui
Adipati." Prajurit yang berkata tengik itu, mengangkat kepalanya
dengan pongah. Sangkanya ia sudah memenangkan
permainan kata-kata itu. Dengan sikap yang makin tengik ia
berkata, tetapi suaranya bagai tertelan begitu saja, karena
sosok Andika tidak lagi nampak di hadapannya.
"Gila! Ke mana pemuda itu?" serunya dengan mata
membelalak. Kengerian tiba-tiba datang.
Kedua temannya hanya menggelengkan kepala.
"Jangan-jangan... setan yang kita lihat!"
"Hiii!"
Prajurit yang pongah bergidik ngeri. Sesungguhnya ia memang seorang yang pengecut. Di dalam
halaman kadipaten, Andika melangkah santai. Dengan
mempergunakan kecepatannya, ia berhasil mengelabui
ketiga prajurit dungu itu.
Dua orang prajurit menghadangnya kembali. Andika
berkata sopan, "Aku datang untuk meminta maaf pada
Adipati." Kali ini tak banyak halangan, keduanya membawa
Andika ke sebuah ruangan besar. Tetapi dari sikap
keduanya itu, terasa sekali kalau Andika seperti digiring.
Untuk kali ini Andika hanya tersenyum saja. Teka-teki yang
ada di otaknya harus ia pecahkan.
Ia dipersilakan menunggu, sampai kemudian Adipati
Ganda Manikam keluar dengan pakaian ke besarannya.
Ia mendengus saat duduk di kursi yang indah.
"Orang muda, kudengar kau datang untuk meminta
maaf. Bagus, aku menyukai kejantananmu itu."
"Begitulah kedatanganku, Adipati. Tetapi, selain itu,
kedatanganku ke sini pun untuk mengabarkan tentang
kesalahan yang Adipati lakukan."
Wajah Adipati Ganda Manikam memerah. "Apa
maksudmu, Orang Muda?"
"Apa yang Adipati duga, ternyata salah besar. Karena,
aku telah menemukan dua manusia dajal yang bernama
Singgih Murh dan Maharaja Langit Hitam. Keduanya
berhasil kukalahkan. Sayangnya, setelah aku keluar dari
bangunan besar itu, keduanya tak ada lagi di tempat."
"Jangan membual."
"Tak ada yang kubualkan. Bahkan aku menemukan
Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpeti-peti candu yang ada di bangunan besar itu."
"Bila kau berbohong, kau akan kugantung di alun-alun!"
"Aku persilakan, Adipati untuk memeriksa. Tetapi, ada
satu masalah lain yang membawaku ke sini!!
"Katakan!"
"Keherananku, mengapa manusia-manusia itu sepertinya
tahu, akan kedatangan para prajurit kadipaten, bahkan
mereka langsung tahu kalau Adipati beberapa hari lalu
datang mencari mereka.
"Maksudmu bagaimana?"
"Aku meminta pendapat Adipati."
"Jadi... kau mengatakan kalau ada mata-mata kadipaten
ini Gila! Ke mana otakmu, Anak. Muda. Kau bicara
sembarangan di sini! Kau menyinggung perasaanku!"
"Maafkan aku, Adipati. Keherananku kedua, bagaimana
peti-peti itu bisa berada di sana?"
"Aku tidak tahu menahu soal itu!"
"Atau... sesungguhnya Adipati tahu siapa orang yang
melakukan semua itu?"
Adipati Ganda Manikam berdiri tegak. Tangannya yang
menuding bergetar.
"Jangan sembarangan bicara, Anak Muda!"
"Bagaimana bila ternyata Adipati sendiri yang mereka
maksudkan dengan sang Pimpinan, merencanakan semua
ini dan bermaksud mengambil keuntungan dari manusiamanusia lemah yang Adipati tindas?"
"Setan alas! Jangan membuat kemarahanku naik, Anak
Muda! Prajurit! Tangkap pemuda dungu itu!!"
Andika cuma tersenyum saja ketika sepuluh orang
prajurit bertombak mengurungnya.
"Dugaan itu penuh bukti. Dengar baik-baik, Adipati.
Ketika para prajurit menyerang Serikat Baju Merah,
sebenarnya itu merupakan sebuah rencana yang ada di
benak Adipati. Dengan cara seperti itu, Adipati mencoba
mencari simpati para penduduk, kalau Adipati masih
berada dalam jalur kebenaran. Tetapi omong kosong
semuanya itu. Padahal semuanya sudah diatur. Adipati
telah mengatakan semua itu pada Singgih Murka, entah
bagaimana caranya, hingga mereka berhasil luput dari para
prajurit kadipaten. Para prajurit yang lugu dan menaati
perintah Adipati, tak pernah banyak tanya lagi. Mereka
mengerjakan dengan baik sebenarnya, hanya saja yang
mereka bunuh bukanlah manusia-manusia keparat itu.
Kedua, ketika Adipati datang pun untuk memeriksa
bangunan itu sebenarnya memang sebuah kesepakatan.
Adipati mengatakan pada para prajurit, kalau peti-peti yang
dibawa itu berisi senjata untuk persiapan, karena bangunan
itu akan dijadikan bangsal kekuatan Kadipaten Karang
Sutra. Padahal, di dalam peti-peti itu terdapat candu.
Semalam, aku sudah memeriksa kembali bangunan itu
sebelum kubuat pingsan kedua manusia laknat itu."
Murka sudah Adipati Ganda Manikam. Teriakannya
lantang memberi perintah, bagai meruntuhkan dinding
ruangan. Serentak sepuluh prajurit bertombak itu dengan
garang menghujamkan tombaknya ke arah Andika.
Bukan serangan itu yang mengejutkan Andika,
melainkan teriakan yang dilakukan oleh Adipati Ganda
Manikam. Jelas sekali, teriakan itu dialiri tenaga dalam
yang tinggi. Berarti, Adipati Ganda Manikam bukan orang
sembarangan. Serangan-serangan yang datang bukanlah serangan yang
terlalu berbahaya. Hanya berkali-kali mengelebatkan
tubuhnya, sepuluh prajurit itu sudah kaku tertotok.
Sekarang, Andika menatap sengit pada Adipati Ganda
Manikam yang terbahak-bahak.
"Kau memang sangat cerdik, Pendekar Slebor! Apa yang
kau katakan itu benar adanya!"
"Kail sudah mengaku umpannya! Bagus, sekarang ikut
aku menghadap raja agar semua dosa-dosamu diadili
olehnya!" Hanya tawa yang diperdengarkan Adipati Ganda
Manikam. "Ucapanmu terlalu hebat sebenarnya! Mengapa kau tak
segera menangkapku, hah?"
Mendengar tantangan semacam itu, membuat Andika
geram. Sekali sentak saja tubuhnya sudah menerjang cepat.
Namun sebuah keanehan terjadi, karena sosok Adipati
Ganda Manikam yang masih terbahak-bahak bagai
membiarkan dirinya dihantam, mendadak saja bagai sebuah
asap yang diterobos oleh Andika.
"Hei?" sentak Andika terkejut.
"Kau tak akan bisa menangkapku, Andika!"
"Jangan takabur!"
"Sayangnya, ada urusan yang harus kuselesaikan!"
Mendadak keanehan terjadi lagi. Karena tubuh Adipati
Ganda Manikam mendadak lenyap.
"Gila! Ilmu apa itu?" sentak Andika benar-benar terkejut.
Tiba-tiba saja ia terdiam, sebuah pikiran melintasi
benaknya. "Hanya seorang bangsat yang memiliki ilmu
semacam itu! Mungkin dia yang menjadi dalang semua ini"
Manusia keparat yang menjadi musuh bebuyutanku" Kalau
memang iya, di manakah Adipati Ganda Manikam yang
sebenarnya" Tak akan kubiarkan bangsat itu berhasil
dengan rencananya!"
Andika memutuskan untuk mengejar, tetapi mendadak
saja pintu terkunci rapat. Menyusul suara bergetar yang
datang. Lalu....
Jlegh! Sebuah besi merosot dari atas dan melapisi pintu kayu
kokoh itu. "Hmmm... mau mengunci diriku rupanya!!" dengus
Andika sambil mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat
pertama. Diiringi teriakan keras ia menerjang.
Blammm! Besi itu hanya bergetar. Tak retak sama sekali. Andika
mendengus berkali-kali. Siap melakukan gerakan serupa.
Tetapi, entah dari mana datangnya asap hitam mengepul
dahsyat. "Gila! Asap ini bisa merejam jantung!"
Mengingat bahaya yang datang, Andika menghajar besi
itu berkali-kali. Namun lagi-lagi tak ada gunanya.
Sementara dadanya mulai sesak menghirup udara busuk
yang mematikan.
"Aku tak mau mampus di tempat semacam ini selagi
keparat itu masih bebas!!"
Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, ditahannya napas
agar asap mematikan,itu tidak terlalu mendera. Mendadak
dengan ajian 'Guntur Selaksa' Andika menerjang.
Dahsyat, sekaligus mengerikan.
Akibatnya, yang jebol bukan hanya besi itu belaka,
melainkan pintu di belakang besi itu.
Suara keras terdengar.
Tetapi bahaya lain sudah menanti Andika. Begitu
tubuhnya mencelat keluar, puluhan anak panah datang
bertubi-tubi ke arahnya.
"Sapi jelek!" serapah Andika sambil menyabetkan kain
bercorak caturnya.
Wusss! Puluhan anak panah itu terlontar entah ke mana.
Dengan lincah Andika memutar tubuh, mencelat dan
melesat keluar.
Para prajurit yang menghadang itu memburunya. Di
halaman depan kadipaten, bahaya lain sudah menanti pula.
Maharaja Langit Hitam dan Singgih Murka yang telah
menunggu langsung menyerang dahsyat.
"Benar dugaanku, keparat itulah yang menyelamatkan
keduanya," desis Andika sambil menghindar.
Kali ini ia tak mau bertindak tanggung lagi. Dengan
geram ia mencecar kedua lawannya membabi buta. Setiap
kali tubuhnya bergerak, setiap kali pula terdengar suara
menghentak. Menyusul angin panas yang menggidikkan.
Des! Tubuh Singgih Murka terhantam telak, menyusul sebuah
tendangan berkekuatan tinggi menghantam punggungnya.
Tubuh manusia itu terlontar ke depan. Tubuhnya
menghantam tembok kadipaten hingga jebol. Tubuhnya
melengak kesakitan, sejurus kemudian nyawanya pun
melayang. Melihat sahabatnya telah mati, timbul kengerian di hati
Maharaja Langit Hitam. Ia langsung mengambil langkah
seribu setelah sebelumnya menghujani Andika dengan
serangan-serangan bertenaga dingin.
Andika menggeram sambil menghindar. Tubuh Maharaja Langit Hitam yang telah menjelma menjadi nyali
tikus sudah menghilang. Selagi Andika berdiri tegak seperti
itu, serangan para prajurit datang kembali.
Dengan sekali lompat Andika menghilang dari tempat
itu. Ia bertekad untuk memburu Adipati Ganda Manikam
gadungan. Tetapi, bagaimanakah dengan Adipati Ganda
Manikam yang asli"
Walet, Walet mengetahui semua ini, desis Andika.
-0o-dw-ray-o0- Suara seruling itu begitu merdu sekali. Tetapi sarat
dengan nada kesedihan. Andika menghentikan larinya di
sebuah sungai yang mengalir deras.
"Walet! Di manakah kau?"
Suara seruling itu makin penuh dengan kesedihan.
Andika mendongak ke atas, dilihatnya si Bocah Ajaib
sedang duduk bersandar pada sebatang pohon dengan
meniup serulingnya.
Andika langsung melompat. Ia menunggu sampai Walet
menyelesaikan permainan serulingnya.
Setelah itu, "Let, ceritakan apa yang telah terjadi," kata
Andika sambil menatap Walet. "Siapa sebenarnya Adipati
Ganda Manikam itu?"
Walet hanya menatap dengan wajah sendu. Sesaat ia tak
berkata apa-apa. Setelah dilihatnya wajah Andika
mencerminkan harap, ia mendesah.
"Dulu, ada dua buah kerajaan saling bermusuhan.
Namun, masing-masing putra dan putri mereka jatuh cinta.
Mereka tak peduli dengan segala halangan dan tentangan.
Mereka memutuskan untuk kawin lari. Tetapi kutukan sang
ayah pangeran muda yang kasmaran itu, membuat
semuanya hancur. Sang putri dari pihak kerajaan lawan,
dikutuk menjadi sebuah mustika keramat, sementara sang
Pangeran hilang entah ke mana."
Andika tahu persis apa yang diceritakan Walet. Karena,
sang Pangeran itulah yang menitisi diri Walet. (Baca :
"Mustika Putri Terkutuk").
"Lalu... mengapa sang pangeran itu bermaksud menemui
Adipati Ganda Manikam?"
"Karena, sang Pangeran yakin, kalau Adipati Ganda
Manikam adalah salah seorang dari keturunan raja calon
mertuanya yang menentang hubungannya dengan putrinya.
Sang Pangeran lalu memutuskan untuk menemuinya,
sesuai dengan mimpi yang diterimanya. Lebih banyak
menekankan pada bahaya yang datang.. Karena, seorang
tokoh jahat yang tak kelihatan wajahnya dalam mimpinya
itu akan menghancurkan diri Adipati Ganda Manikam.
Tetapi sang Pangeran datang terlambat.."
Andika bisa menebak apa yang dimaksud oleh Walet.
"Mengapa kau tak mengatakan sebelumnya kepadaku,
Let?" . "Aku tak ingin merepotkanmu, Kang."
Bisa dipahami kesedihan Walet. Karena ia menemukan
Adipati Ganda Manikam yang asli telah tewas di Lembah
Rembulan. Lebih menyedihkan karena ia tak sempat
bertemu muka dan bertukar sapa pada keturunan raja pihak
lawan ayahnya dulu.
Yang sangat disayangkan Andika, mengapa Walet tidak
menceritakan semua itu padanya"
Walet menatapnya serius.
"Sekarang aku meminta padamu, Kang... untuk memberi
pelajaran pada manusia sesat itu."
Andika menganggukkan kepalanya.
"Tanpa kau minta, aku pasti akan melakukannya."
"Kau sudah tahu siapa dia, Kang?"
Andika menganggukkan kepalanya.
"Hanya seorang yang bisa menjelmakan dirinya menjadi
dua orang dengan kekuatan yang sama. Hanya seorang.
Tetapi, aku tak mengerti bagaimana ia bisa melakukan
penyamaran semacam itu. Hanya satu jawaban yang bisa
kuberikan, karena aku memang belum mengenal Adipati
Ganda Manikam. Mengenai para prajurit yang begitu patuh
dan menuruti semua perintahnya tanpa persoalan apakah
Adipati Ganda Manikam yang berada di hadapannya sosok
asli atau gadungan, aku bisa menangkap jawaban, kalau
mereka telah dipengaruhi oleh kekuatannya. Tetapi, ketika
pertama kali aku bertemu dengan Adipati Ganda Manikam
gadungan itu, aku seperti mengenal sosok siapa yang ada di
balik semua ini."
"Lakukanlah, Kang...."
"Aku akan melakukannya."
"Kalau begitu, kita berpisah di sini, Kang."
Andika tak menjawab apa-apa. Tak menahan keinginan
Walet. Sambil melompat turun dengan ringan, Walet
melangkah sambil meniup serulingnya.
Terus melangkah diiringi pandangan Andika.
"Akan kulakukan apa yang kau minta, Let. Masih
banyak teka-teki tentang dirimu yang belum kumengerti.
Aku berharap, suatu saat akan bisa mengetahui lebih
banyak tentang dirimu."
Setelah Walet menjauh, setelah suara seruling itu tidak
terdengar lagi, Andika mendadak tertegun
"Ayu!" desisnya tersentak.
Lalu dengan tergesa ia berkelebat ke arah timur.
Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
-0o-dw-ray-o0- 10 Pertarungan sengit terjadi di lembah sebelah timur.
Dengan mengandalkan jurus-jurus ajaran Nenek Beruang
Gunung Karimun, Ayu mencoba menahan gempuran
dahsyat dan Adipati Ganda Manikam gadungan yang
melakukannya sambil terbahak-bahak.
"Begitu bodoh Maharaja Langit Hitam yang tak tahu
siapa kau sebenarnya, Bocah Ayu" Kalaupun gurumu tak
bisa kubunuh, muridnya pun akan menjadi lambang
keperkasaanku!!"
Ayu yang semula terkejut melihat. kemunculan Adipati
Ganda Manikam segera menjura. Rahmat pun melakukan
hal yang sama. Bahkan Rokayah yang sudah lebih baik dari
sebelumnya, bangkit karena tak menyangka junjungan
mereka datang ke sana.
Namun yang mengejutkan, pandangan Adipati Ganda
Manikam yang sangat mengerikan. Itu terasa sekali oleh
Ayu. Hingga tanpa sadar ia menyuruh kedua orangtuanya
masuk ke gubuk.
Belum lagi Ayu mengerti mengapa sikap Adipati Ganda
Manikam, mendadak saja adipati menderu dengan satu
serangan tangan lurus ke depan.
Terkesiap Ayu menerimanya. Cepat Ia menarik
kepalanya ke belakang.
"Adipati!" serunya tersentak.
Tetapi Adipati Ganda Manikam terus menyerang,
hingga Ayu pun mulai membalas pula. Semula dengan
separo ragu, namun akhirnya ia memutuskan untuk
menghadapi gempuran itu, karena dirasakan hawa maut
siap menerjangnya.
Kedua orangtuanya yang sejak tadi begitu bangga
dikunjungi oleh Adipati Ganda Manikam, keluar lagi.
Mereka terkejut melihat putri mereka satu-satunya tengah
menghadapi gempuran yang mengerikan.
Melihat kedua orangtuanya muncul Ayu berseru,
"Bapak! Ibu! Cepat tinggalkan tempat ini!"
"Adipati... ada apa ini?" tanya Rahmat tak mengerti.
Sebagai jawaban, Adipati Ganda Manikam meluruk
dengan jotosan yang bisa memecahkan kepala Rahmat,
kalau tidak segera dihalau oleh Ayu.
Tanpa mempedulikan rasa sakit pada tangannya, Ayu
berteriak keras, "Cepat tinggalkan tempat ini, Bapak!
Adipati sudah menjadi gila!"
Terburu-buru Rahmat, setengah menarik
istrinya meninggalkan tempat itu. Hatinya kebat-kebit melihat Ayu
pontang-panting menghadapi serangan Adipati Ganda
Manikam. Ia pun masih tak percaya dengan yang dilakukan
oleh Adipati Ganda Manikam.
Sementara itu, tiga jurus berikutnya, Ayu terdesak hebat.
Gempuran keras dirasakan bertubi-tubi. Semakin dirasakan
gempuran hebat, semakin kalut hatinya, mengingat seruan
dari Adipati Ganda Manikam yang menginginkan kematian
gurunya, Beruang Gunung Karimun.
"Kau harus mampus, Bocah Ayu!" menggeram sekeras
guntur suara Adipati Ganda Manikam. Ayu mengangkat
tangan kanannya sambil menahan rasa sakit.
"Tahan, Adipati!"
Adipati Ganda Manikam hentikan gerakannya.
"Kau kuberi kesempatan untuk bertanya, Bocah Ayu!
Cepat katakan, sebelum niatku berubah!"
"Mengapa Adipati menginginkan kematianku?"
tanyanya, diam-diam ia mengalirkan tenaga dalamnya
untuk menahan rasa nyeri yang berkebyar-kebyar.
"Tak ada jawaban apa-apa! Kau harus mati!"
"Tunggu, siapa Adipati sebenarnya?"
Adipati Ganda Manikam tertawa, "Hebat pertanyaanmu,
sungguh menyentuh perasaanku! Tetapi, rasanya pertanyaan itu justru mengurangi rasa hormatmu kepadaku.
Mana rasa hormatmu itu, Bocah Ayu?"
"Katakan siapa Adipati sebenarnya. Tak mungkin
Adipati bersikap buruk seperti ini?"
"Diam!"
suara itu mengguntur kembali. Lebih mengerikan. Dedaunan di sekitar sana menjadi gugur
seketika. "Kini... terimalah kematianmu, Bocah Ayu!"
Memburu dengan teriakan sekeras serigala, tubuh
Adipati Ganda Manikam melesat dahsyat. Ayu terkesiap
melihatnya. Ia merasakan betapa derasnya angin yang
memburu ke arahnya. Ia tak berani untuk memapaki
gempuran dahsyat itu, karena merasa tenaga dalamnya
kalah satu tingkat dari lawan.
Jalan satu-satunya yang terbaik, memang menghindar.
Kecepatan tinggi yang diperlihatkan Ayu, terasa tak
membawa hasil. Karena, ia telah terluka dalam akibat
gempuran sebelumnya. Satu jotosan keras diterimanya
dengan jeritan, darah menyembur keluar.
"Kini, habislah riwayatmu!!" Menderu dingin Adipati
Ganda Manikam meluncur ke arah Ayu yang hanya
membelalakkan matanya.
Namun.... Des! -0o-dw-ray-o0- Benturan cukup keras terjadi, menahan serangan Adipati
Ganda Manikam, sekaligus menyelamatkan Ayu dari maut.
Menyusul satu tendangan berkekuatan tinggi yang
dilancarkan si penolong, menggempur tubuh Adipati
Ganda Manikam, yang keluarkan suara tertahan dan
menekuk kedua tangannya.
Desl Des! Secepat itu pula Adipati Ganda Manikam membuang
tubuhnya ke belakang, karena bila lawan yang baru muncul
itu menyerang kembali, ia merasa sulit untuk menahan
ataupun membalas.
"Kang Andika!" terdengar seruan Ayu dengan wajah
gembira. Andika yang baru saja menahan serangan Adipati Ganda
Manikam, dan melancarkan tendangan keras, melompat
indah, berputar dua kali dan hinggap di sisi Ayu.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Masih lumayan aku belum mati."
"Jangan mati dulu, aku belum menciummu," seloroh
Andika yang membuat dada Ayu berdebar.
Sementara itu, Adipati Ganda Manikam memerah
wajahnya. Kedua matanya melotot gusar.
"Setan keparat! Lagi-lagi kau!"
Andika menoleh dan nyengir. "Maaf, aku memang tidak
tahan melihat kejahatan sih!"
"Kau akan merasakan akibatnya, Pendekar Slebor!"
"Jangan banyak bacot!" bentak Andika dengan tatapan
tak berkesip. Suaranya mendesis, seolah menahan
gumpalan amarah di dada. "Rencana kejimu sudah berakhir
sampai di sini... Raja Akhirat!"
Adipati Ganda Manikam tertawa ganda. Sampai
perutnya berguncang-guncang.
Sementara Ayu mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Andika.
Tetapi, ia tak membutuhkan jawaban terlalu lama dari
kebingungannya tentang panggilan Andika terhadap
Adipati Ganda Manikam.
"Otakmu memang cerdik, hingga tahu siapa aku!" seru
Adipati Ganda Manikam sambil mencabik-cabik baju
kebesarannya. Yang nampak kemudian, baju merah
menyala. Menyusul ia menarik sebuah topeng dari
wajahnya. Yang nampak seraut wajah mengerikan dengan
bekas luka memanjang di sebelah kiri.
Andika tersenyum sinis.
"Hanya seorang yang bisa mengelabui orang lain dengan
ajian 'Melayang Dua'nya."
"Bagus! Bagus sekali! Tetapi, lagi-lagi manusia semacam
kau yang selalu menghalangi keinginanku!"
"Sampai kapan juga, kau tetap tak akan berhasil
melaksanakan seluruh keinginan busukmu itu, Raja
Akhirat!" "Kuakui, kau memang berhasil menggagalkan seluruh
rencanaku. Bahkan belum sampai setengah rencana yang
kujalankan kau telah berhasil menghentikannya! Hebat,
hebat sekali!"
Andika menatap sengit manusia keji yang berjuluk Raja
Akhirat. Pertama kali ia mempecundangi keinginan Raja
Akhirat untuk menguasai Keraton Barat (Baca: "Raja
Akhirat" dan "Neraka di Keraton Barat"). Bahkan saat
mengangkangi sembilan iblis dan mencoba mengendalikan
mereka untuk menguasai rimba persilatan, lagi-lagi rencana
busuk Raja Akhirat berhasil digagalkan oleh Pendekar
Slebor (Baca : "Istana Sembilan Iblis").
Sekarang, rencana keji yang dilakukannya pun berhasil
dihentikan Pendekar Slebor.
"Kau tak henti-hentinya menyebarkan petaka dalam
kehidupan ini, Raja Akhirat! Sudah sepatutnya kau untuk
mampus!" "Kak.... Kak.... Kak... sayangnya, kau tak akan bisa
melakukannya lagi, Pendekar Slebor. Meskipun kau telah
berhasil memecahkan ajian 'Melayang Dua' yang kumiliki
berkat petunjuk kakak seperguruanku di Goa Akhirat, kau
tak akan bisa mengalahkan aku lagi.. Karena, kemajuanku
sangat tinggi. Bahkan, aku telah mempelajari ilmu
menyamar dari 'Kitab Wajah Asli' yang kudapatkan secara
tak sengaja di kaki Gunung Malintang.
Dengan menguasai Desa Sawo Luwih dan menindas
Singgih Murka atau ketua dari Serikat Baju Merah, aku
bermaksud untuk menjalankan siasat baru menuju apa yang
kuinginkan. Akan kujadikan Desa Sawo Luwih sebagai
tempat pengedaran candu. Akan kupengaruhi orang-orang
persilatan hingga mereka lupa diri dan aku dengan mudah
membunuhnya. Rencana pertama yang harus kulakukan, tentunya
menguasai Kadipaten Karang Sutra. Adipati Ganda
Manikam telah kubunuh. Dengan ilmu menyamar yang
kupelajari aku bisa mengubah diriku menjadi dirinya.
Tetapi kuakui, dua orang prajurit mengenaliku, hingga
keduanya harus kubunuh. Ilmu penyamaranku belum
sempurna, dan kupengaruhi puluhan prajurit itu hingga
semuanya menuruti kehendakku. Kau benar tentang
semuanya, Pendekar Slebor. Dan kau akan membayar
semuanya atas kelancanganmu!"
Andika menggeram. "Justru akan kutunaikan janjiku
pada sahabat kecilku yang bernama Walet!"
"Kita buktikan!"
Sehabis berkata begitu, Raja Akhirat sudah mengirimkan
satu gempuran dahsyat. Angin bergemuruh bak hujan deras
yang turun. Sejenak Andika terperangah melihatnya,
namun kesiagaannya sebagai seorang pendekar tak perlu
disangsikan lagi.
Ia merunduk dan berteriak mengguntur mengirimkan
serangan balasan. Tak tanggung lagi, ajian 'Guntur Selaksa'
sudah dipergunakan. Suara salakan petir sangat keras
terdengar. Sementara, Ayu perlahan-lahan beringsut. Sungguh,
terkejut bukan main. Ia begitu menyadari kalau laki-laki di
hadapannya itu bukanlah Adipati Ganda Manikam. Dari
kata-kata yang dilontarkan keduanya, jelas masing-masing
musuh bebuyutan.
Bentrokan antara dua musuh lama itu benar-benar
mengerikan Dalam waktu singkat, lima belas jurus telah
terlewati dengan dahsyat. Serang menyerang terjadi. Hindar
menghindar dilakukan. Di hadapan Pendekar Slebor, Raja
Akhirat tak berani mengeluarkan ajian andalannya, ajian
'Melayang Dua' yang pernah membuat Pendekar Slebor
mati kutu, bahkan berkali-kali dikelabui oleh lawan.
Karena, Pendekar Slebor telah mengetahui rahasia
kelemahan ajian dahsyat itu.
Tangan kanan Raja Akhirat-lah yang menjadi kelemahan
dari ajian 'Melayang Dua' seperti yang dikatakan Srundul
alias si Tapak Darah - kakak seperguruan Raja Akhirat di
Goa Akhirat. Justru yang dilakukan adalah menyerang
dengan ilmu yang baru diciptakan, ilmu kembangan dari
ajian 'Himpunan Surya-Bayu Tanah'. Paduan Panas-Dingin'
yang mengerikan.
Wuuus! Wuuusss!
Dua gelombang angin dahysat yang mengeluarkan suara
menggemuruh melesat cepat ke arah Pendekar Slebor.
Bersamaan dengan itu, suasana berubah panas.
Andika segera menyingkir dengan melompat ke samping.
Lalu dari tempatnya itu, pemuda urakan dari Lembah
Kutukan melepaskan pukulan dengan cara mendorong.
Kedua telapak tangannya dikembangkan.
Wuuss! Wusss! Rasa panas yang terasa tadi, makin memanas ketika
pukulan kembangan dari ajian 'Guntur Selaksa' dilepaskan.
Terdengar suara ledakan dahsyat. Lembah itu laksana
dilanda gempa yang hebat. Daun-daun luruh dan hangus,
semak belukar tercabut dari akarnya dan membubung ke
angkasa. Tanah muncrat menutupi pandangan.
Keduanya telah mempergunakan tenaga dalam yang
sangat tinggi dari yang mereka miliki. Akibat benturan dua
Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenaga dahsyat itu, tubuh Raja Akhirat mencelat sampai
tiga tombak ke belakang, lalu jatuh terduduk di tanah.
Hempasannya cukup keras. Darah mengalir dari mulutnya,
bersamaan makian panjang pendek.
Sementara yang dialami Andika tak jauh berbeda. Ia
jatuh dengan kedua lutut menekuk. Tubuhnya bergetar
hebat dengan wajah menekuk, menahan sakit. Selagi
Andika berusaha untuk berdiri, tiba-tiba angin kencang
berkesiur ke arahnya.
Tak ada jalan lain bagi Andika selain merebahkan tubuh
sejajar dengan tanah, bila tak ingin dadanya jebol dihantam
gempuran keras Raja Akhirat.
Bersamaan tubuhnya rebah di tanah, kaki kanannya
melayang, menyusul kaki kiri.
Buk! Buk! Raja Akhirat tercekat kaget. Karena dalam posisi sempit,
semacam itu, Andika bukan hanya bisa menghindar, tetapi
juga membalas. Tubuh Raja Akhirat terlontar ke atas. Andika tak mau
membuang waktu lagi. Bersamaan tubuh Raja Akhirat
terpental, Andika meluruk cepat.
Des! Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi besar itu terhantam telak
ajian 'Guntur Selaksa' Andika. Sesaat Andika terkejut ketika
merasakan tubuh Raja Akhirat begitu dingin.
"Kak... kak... jangan gusar, karena inilah ajian 'Paduan
Panas-Dingin' yang sangat dahsyat."
Andika justru bertambah gusar. Ia, sadar sekarang, ajian
'Paduan Panas-Dingin' itu benar-benar ajian yang mampu
mengubah suhu udara dan tubuh berubah-rubah.
Tetapi Andika yang tak mau bertindak tanggung lalu,
berkelebat pula dengan cepatnya.
"Heaaaa! Nama busukmu akan terkubur hari ini Raja
Akhirat!!"
Raja Akhirat terperangah melihat kecepatan yang
dilakukan oleh Pendekar Slebor. Belum lagi ia merasakan
panas bak api neraka menderu dahsyat.
Bet! Des! Dua kali tubuh Raja Akhirat terpental ke belakang dan
menghantam sebuah pohon. Bersamaan dengan itu darah
hitam mengalir keluar. Napasnya
kembang-kempis.
Wajahnya yang kasar memucat seketika.
Sementara Andika mengatur napasnya baik-baik.
Matanya masih sengit menatap Raja Akhirat. Ia yakin,
dalam tempo tidak lama, nyawa Raja Akhirat akan terlepas
dari jasad. Ketika teringat akan pesan Walet, Andika berdiri tegak.
Memutar kedua tangannya ke atas, seketika tubuhnya yang
sejak tadi diliputi sinar perak tak nampak, kini menjadi
nyata. Itu bertanda Andika tengah mengeluarkan ajian
'Guntur Selaksa' pada tingkat paling tinggi.
"Semua kekejaman dan kebusukanmu akan terpuruk hari
ini, Raja Akhirat!!"
Bersamaan semau itu, Andika menerjang. Ajian 'Guntur
Selaksa' yang terangkum pada kedua tangannya, benarbenar siap menghantam kepala Raja Akhirat.
"Heaaaa!" bertambah keras teriakan itu, bertambah cepat
lesatan Andika.
Raja Akhirat benar-benar dalam keadaan tak berdaya. Ia
hanya melotot dengan gusar dan hantaman keras Andika
pun menghajar telak kepalanya.
Prak! Menyusul satu pada dadanya.
Besss!! Kepala Raja Akhirat pecah, dadanya jebol, tubuhnya
pun menggelosoh tak berdaya. Darah bersimbah, membasahi tubuh yang sudah menjadi mayat.
Andika melompat ke kiri.
Ia mengatur napasnya lagi. "Tamat sudah riwayat
manusia busuk ini!"
Sementara Ayu yang menyaksikan pertarungan terakhir
itu segera bangkit setelah dirasakan kondisinya sudah
memulih. Ia memegang lengan Andika.
"Bagaimana keadaanmu, Kang Andika?" tanyanya pelan
dengan tatapannya yang menyejukkan.
"Aku puas menyaksikan manusia itu telah tewas,
Ayu...." "Begitu pula aku, Kang Andika. Tak kusangka kalau
manusia itulah yang mengatur semua rencana keji ini. Tak
kusangka pula kalau Adipati Ganda Manikam telah tewas."
"Yah... ia akan mengatur semuanya dengan baik.
Tetapi... pupus sudah keinginan busuknya itu. Ayu... kita
cari kedua orangtuamu, setelah itu, kita umumkan kalau
Adipati Ganda Manikam telah tewas."
Ayu cuma menganggukkan kepalanya.
"Kau sudah mendingan, Kang Andika?"
Andika tersenyum nakal. "Bersamamu, aku selalu
merasa segar dan lebih baik."
Ayu mencubit lengan Andika. Dasar urakan, meskipun
cubitan itu tidak terlalu sakit, tetapi Andika berteriak keras.
Ayu jadi malu sendiri karenanya.
"Nakal!"
Andika mengedipkan matanya. Genit!
Tetapi sebelum keduanya melangkah, mendadak
terdengar suara keras, "Kaak... kak... kak! Pendekar Slebor,
kau tak akan bisa membunuhku!!"
Kaget Andika menoleh. Sosok Raja Akhirat yang
menggelosoh tadi sudah tidak ada. Justru yang ada sosok
Raja Akhirat yang duduk dengan seringaian mengejek di
sebuah dahan pohon.
"Manusia buduk!" maki Andika sewot. Ia langsung
menerjang cepat. Tetapi sosok Raja Akhirat telah melompat
dan menghilang entah ke mana. Andika melompat lagi ke
bawah sambil memaki panjang pendek.
"Mengapa bisa terjadi seperti itu, Kang Andika?" tanya
Ayu tak mengerti.
Andika masih memaki-maki sambil menghentakkan kaki
kanannya ke tanah.
"Keparat busuk! Monyet buntung! Manusia itu memang
memiliki akal licik! Sejak tadi ia menyerangku tanpa
mempergunakan ajian 'Melayang Dua'nya karena aku
sudah mengetahui kelemahannya. Dan tanpa kusadari ia
justru melakukannya di saat menerima gempuranku!
Kurang ajar!"
"Ilmu 'Melayang Dua'?" ulang Ayu
"Ya, ajian itulah yang pernah membuatku kecolongan,
bahkan hari ini aku pun kecolongan lagi. Hhh! Bila bertemu
dengan manusia laknat itu lagi, tak akan kuampuni dia!!"
Ayu bisa merasai kejengkelan Andika. Lalu berkata
pelan. sambil memegang tangan pemuda dari Lembah
Kutukan itu, "Sudahlah, Kang Andika. Bukankah Kang
Andika telah berhasil mematahkan semua rencana busuk
Raja Akhirat?"
Andika menganggukkan kepala.
"Kau benar, Ayu. Tetapi, aku masih mempunyai janji
pada Walet," sahutnya sendu.
"Mungkin untuk saat ini,janjimu belum bisa dilaksanakan, Kang. Barangkali, suatu saat kau akan bisa
menunaikan janjimu itu pada Walet."
Andika berbalik. Menatap wajah jelita di hadapannya
yang sedang tersenyum. Lalu katanya sambil menganggukkan kepalanya.
"Ya, suatu saat."
Ayu tersenyum. Pijaran aneh meriak-riak di hatinya.
Sungguh, ia merasa begitu dekat dengan Andika. Teramat
dekat bahkan, seolah ia bisa mengetahui apa yang dirasakan
Andika. Sesuatu yang nyaman pun mengalun di hati Ayu.
Entah apa, murid Beruang Gunung Karimun sendiri tidak
tahu. Lalu Andika mengajak Ayu untuk mencari kedua
orangtua gadis itu. Andika pun bermaksud untuk
memberikan semangat juang lagi pada para penduduk Desa
Sawo Luwih yang pernah luntur akibat kedatangan
manusia-manusia dajal itu.
Dan tanpa sepengetahuan mereka, satu sosok tubuh yang
baru saja datang memperhatikan keduanya dengan
seksama. Bibirnya tersungging senyuman.
"Pendekar Slebor... hari ini aku berjumpa denganmu
meskipun kita belum bertegur sapa. Tetapi, muridku sudah
mewakili kehadiranku. Hmmm... Raja Akhirat. Ya, pernah
kudengar nama itu beberapa bulan lalu. Rencana busukmu
telah berhasil dihentikan oleh Pendekar Slebor." Sosok itu
menatap sepasang muda-mudi yang sudah menghilang dari
pandangannya. "Ayu... beberapa bulan lagi aku akan
datang menemuimu. Ada tugas yang harus kau jalankan.
Yah, beberapa bulan lagi...."
Lalu sosok itu, Nenek Beruang Gunung Karimun,
menghilang dari pandangan. Bibirnya masih tersenyum
melihat kebersamaan muridnya dengan Pendekar Slebor.
SELESAI Segera hadir Serial Pendekar Slebor dalam episode:
IBLIS-IBLIS SUMUR TUA
Naga Pembunuh 17 Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Memanah Burung Rajawali 30
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama