Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur Bagian 2
"Keras kepala betul nih nenek!! Huh! Urusan
nenek ini memang tidak terlalu merepotkan! Tetapi aku ingin tahu mengapa dia
menyerangku" Dan aku
yakin, kalau dia diperintah seseorang melakukan
tindakan ini! Lagi pula... oh! Aku harus melihat
keadaan Gadis Kayangan!"
Berpikir demikian, serentak pemuda berambut
gondrong acak-acakan ini melompat ke depan seraya mengibaskan kain bercorak
catur. Kontan puluhan bola-bola api yang keluar dari
cambuk si nenek dilahap padam oleh gelombang
angin kain bercorak catur. Andika yang memang
ingin melihat keadaan Gadis Kayangan, langsung
melompat ke depan begitu dilihatnya Setan Cambuk
Api terhuyung ke belakang.
Tangan kirinya digerakkan. Deess!!
Jotosannya telak bersarang di dada Setan
Cambuk Api. Kalau sebelumnya perempuan tua itu
hanya terhuyung, kali ini tubuhnya langsung
tersuruk ke belakang dan baru berhenti setelah
menabrak sebuah pohon.
Bila saja pendekar kita ini mau bertindak
telengas, sudah tentu dengan mudah dia akan
mengirim nyawa si nenek ke neraka. Tetapi, pemuda kita ini berhati mulia kendati
sifat konyolnya nggak
ketulungan lagi.
Dia cuma berseru sebelum berkelebat kembali
menemui Gadis Kayangan di tempat semula, "Nek!
Lain kali kita ketemu lagi ya" Siapa tahu wajahmu sudah mulus!!"
Setan Cambuk Api menggeram setinggi langit. Dia
mencoba untuk bangkit, akan tetapi langsung
tersuruk kembali ke belakang dengan dada terasa
sakit. "Jahanam keparat!! Tak kusangka kalau
Pendekar Slebor memiliki kesaktian yang begitu
tinggi! Tadi kupikir, dia hanyalah sebangsa keroco belaka! Huuh! Mau-maunya aku
diperintah kakekcelaka itu untuk menghadapinya, sementara dia
sendiri tentunya sedang asyik menggarap Gadis
Kayangan!!"
Habis memaki-maki geram seperti itu, dengan
kerahkan sisa-sisa tenaganya, Setan Cambuk Api
rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
Dua kejap kemudian, tempat itu sudah dilanda
sepi. *** 6 Di tempat semula, rasa khawatir Andika semakin
menjadi-jadi tatkala dari jarak lima tombak melihat tempat itu telah porak
poranda. Ditambah
kecepatannya berlari. Dan semakin dekat, hatinya
semakin tak menentu.
Saat hentikan larinya di dekat sebuah lubang
yang masih keluarkan asap, hanya sekali lihat saja pemuda tampan ini tahu kalau
Gadis Kayangan sudah tak berada di tempatnya.
"Oh! Apa yang terjadi" Di mana Gadis Kayangan sekarang?" desisnya dengan hati
tak menentu. Lalu perlahan-lahan dia melangkah mengitari tempat itu.
"Ah, tentunya telah terjadi satu pertarungan yang sengit. Melihat keadaan tak
menentu ini, nampaknya Gadis Kayangan tak berdaya! Monyet
gundul! Aku yakin kehadiran Setan Cambuk Api
memang hanya sengaja untuk menahanku,
sementara orang yang entah siapa, telah
mendapatkan Gadis Kayangan! Celaka! Apa yang
dialami oleh gadis itu sekarang?"
Kembali Pendekar Slebor terdiam sambil
memperkirakan siapa gerangan orang yang telah
muncul di hadapan Gadis Kayangan. Lalu nampak
kepalanya digeleng-gelengkan pertanda dia tak
dapat menduga lebih jauh.
"Ah... tak akan pernah kumaafkan diriku bila terjadi sesuatu padanya. Paling
tidak, hidupnya saat ini adalah tanggung jawabku. Cacing pita! Masih
banyak urusan-urusan lain. Dan sekarang, gadis itu telah bilang!!"
Terdiam Pendekar Slebor dengan perasaan kian
tak menentu. Tetapi menyesali semua yang terjadi, bukanlah satu jalan keluar.
Mencoba mengubah apa
yang telah terjadi ke arah yang lebih baik, itulah yang harus dilakukan.
"Urusan dua Panembahan Agung harus ku
selesaikan. Pulau Hitam harus kudapatkan. Mudahmudahan Gadis Kayangan tak mengalami satu
masalah apa pun. Sebaiknya, kucoba menuju ke
Pulau Hitam. Untung masih kuingat titik-titik yang tergambar pada potongan
pedang di tangan Gadis
Kayangan. Potongan pedang" Oh! Jangan-jangan...
orang yang datang berkeinginan mendapatkan
potongan pedang itu. Sangga Rantek-kah orangnya?"
Diperas segala pikiran yang ada di benaknya.
Tetapi semuanya buntu.
"Tak ada jalan lain, aku harus menelusuri jejak menuju ke Pulau Hitam. Mudahmudahan aku tak
keliru melangkah karena Pedang Buntung yang
merupakan titik awal dari langkah, berada di tangan Sangga Rantek."
Memutuskan demikian, pemuda yang sedang
mencemaskan keadaan Gadis Kayangan, segera
bergerak ke arah barat.
*** Hamparan langit saat ini seperti memantulkan
seluruh sinar matahari, hingga bumi laksana
disengat dalam-dalam. Saat ini raja siang telah tiba di puncak kepala. Angin
yang berhembus begitu
panas hingga membuat orang ingin minum banyakbanyak. Namun dua sosok tubuh yang terus berlari
melalui padang rumput yang luas, tak hiraukan
keadaan itu. Perempuan berjubah dan berkerudung merah
yang berlari di sebelah kiri, membatin setelah
perhatikan lelaki berpakaian serba hitam yang
berlari di sebelah kanannya, "Aku semakin yakin...
kalau manusia keparat ini memang sedang
membawaku menuju ke Pulau Hitam. Berarti... dia
telah pergunakan kesempatan untuk melihat
potongan pedang tatkala masih berada di
Pesanggrahan Bayu Api. Hmmm... aku akan tetap
berlaku tidak tahu apa yang diinginkannya."
Si perempuan yang tak lain Iblis Rambut Emas
terus percepat larinya, mengikuti lari Sangga
Rantek. Sekujur tubuh perempuan berambut
keemasan ini dihiasi oleh butiran keringat. Yang
dialami Sangga Rantek pun tak jauh berbeda.
Lelaki berhidung bengkok dan bermata
bergelambir ini terus berlari.
"Pulau Hitam... biar bagaimanapun susahnya aku akan tetap menuju ke sana dan
berharap, dapat
bertemu dengan Pendekar Slebor di jalan. Tak
seharusnya aku mengajak perempuan celaka ini,
tetapi tenaganya dapat kubutuhkan. Kendati aku
tak percaya ketika dia mengatakan menginginkan
nyawa Pendekar Slebor yang telah membunuh
kekasihnya, tetapi paling tidak, dia akan
membantuku untuk membunuh Pendekar Slebor."
Sejarak tiga puluh tombak di belakang mereka,
satu sosok tubuh berpakaian kuning-kuning terus
berlari sambil menjaga jarak. Sepasang matanya
tajam tak berkedip ke depan. Sekujur tubuhnya juga sudah dipenuhi keringat.
Orang yang tak lain Ki Pasu Suruan ini berkata
dalam hati, "Aku semakin yakin, kalau mereka menghendaki sesuatu. Keherananku
mengapa dua manusia itu dapat bersatu, kini tak terlalu
mengikat. Bisa jadi mereka bergabung untuk
mendapatkan dua potongan pedang. Huh! Pendekar
Slebor... ya, pemuda celaka itu harus mampus di
tanganku! Mudah-mudahan orang-orang celaka itu
dapat membawaku pada Pendekar Slebor!"
Dan dia harus berhati-hati jangan sampai kedua
orang itu tahu kalau sedang dibuntuti.
Sementara itu di depan, Iblis Rambut Emas
sedang berkata, "Sangga Rantek! Apakah kau yakin Pendekar Slebor menuju ke
tempat ini?"
Mendengar pertanyaan orang, Sangga Rantek
mendengus dalam hati. "Keparat! Dari nada
pertanyaannya dia memang tidak tahu ke mana
tujuanku! Tetapi aku menangkap, kalau dia sedang
mengejekku!"
Kemudian katanya, "Keyakinanku kuat! Dan aku merasa pasti kalau Pendekar Slebor
menuju ke tempat ini!"
Iblis Rambut Emas tertawa dalam hati. "Sungguh bodoh! Dia memang tidak tahu apa
yang kuketahui!"
desisnya lalu berkata, "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Perempuan celaka! Lebih baik tutup mulutmu
ketimbang kubeset sekarang juga!"
Mengkelap wajah Iblis Rambut Emas mendengar
ucapan orang. Tetapi dia masih dapat menahan diri untuk tidak segera turunkan
tangan. "Jahanam sial! Kau akan terkejut dengan apa
yang akan kulakukan, lelaki keparat!"
Kejap kemudian tak ada lagi yang keluarkan
suara. Sangga Rantek terus kerahkan ilmu larinya.
Sampai matahari telah lalui tiga perempat
perjalanannya, mendadak masing-masing orang
mendengar suara menggemuruh.
Sangga Rantek lebih dulu hentikan larinya dan
membuka alat pendengarannya lebar-lebar.
Sementara itu, Iblis Rambut Emas celingukan ke
kanan kiri. "Aneh! Kudengar suara air bergemuruh yang
begitu mengerikan. Tetapi tak kulihat ada sungai di sini. Gila! Jangan-jangan
hanya suara angin yang
terdengar dan kusangka...." Mendadak perempuan berkerudung merah ini
menghentikan kata batinnya.
Keningnya nampak berkerut. Diperhatikannya
sekilas, betapa wajah Sangga Rantek sangat serius sekali. Lalu dilanjutkan kata
batinnya, "Tak ada sungai di sini... tetapi jelas kudengar suara
bergemuruh mengerikan. Bisa jadi... air terjun! Ya, suara gemuruh itu berasal
dari air terjun! Gila!
Tetapi... mengapa lelaki keparat ini justru
menghentikan langkahnya di sekitar sini?"
Sangga Rantek yang memang mencoba
menemukan air terjun sebagai patokan pertama
untuk menuju ke Pulau Hitam, tetap membisu
seribu bahasa. Lalu lamat-lamat dia melangkah ke
depan diantar tatapan Iblis Rambut Emas yang
mencoba menduga-duga apa yang diinginkan
Sangga Rantek. Bahkan dia tak mengikuti Sangga Rantek yang
berjalan ke muka sekitar tiga puluh tombak. Tetapi tatkala didengarnya teriakan
senang Sangga Rantek, secepat kilat perempuan setengah baya berjubah
merah ini mendekatinya.
Dan di hadapannya, telah membentang sebuah
tanah curam yang cukup dalam. Di hadapan tanah
itu, terlihat air terjun yang keluarkan suara
menggemuruh ganas. Di bawah, terlihat deburan air yang jatuh dari atas
menghantam batu-batu cadas
tajam. Diliriknya Sangga Rantek yang sedang
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ada sesuatu yang membuatnya senang.
Pancaran senang dari kedua matanya tak dapat
disembunyikan. Hmmm... bila memang dugaanku
benar kalau dia sedang membawaku menuju ke
Pulau Hitam, berarti air terjun ini adalah patokan pertama sebagai petunjuk
menuju ke Pulau Hitam.
Hebat! Tak kusangka dia pandai membaca titik-titik yang tergambar pada Pedang
Buntung! Tetapi
rasanya... akan percuma saja dia berusaha
menemukan Pulau Hitam, karena petunjuk yang
satunya lagi terdapat pada potongan pedang di
tangan Pendekar Slebor."
Tak ada yang keluarkan suara.
Di balik ranggasan semak sejarak lima belas
tombak di belakang Iblis Rambut Emas dan Sangga
Rantek, Ki Pasu Suruan yang sudah mendekat dan
mengintip mendesis pelan, "Aneh! Nampaknya air terjun itu sangat menarik
perhatian keduanya.
Apakah ada sesuatu yang mereka cari di sana?"
Suara gemuruh air terjun terus terdengar begitu
mengerikan. Dan tak kunjung putus suara
menggelegar di bawahnya begitu curahan air yang
terus menerus tumpah menerpa.
Sangga Rantek mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Petunjuk pertama telah kudapatkan. Hmm... aku harus mengarah ke barat daya
untuk menemukan
dua bukit. Peduli setan apakah aku dapat
melanjutkan menuju ke Pulau Hitam atau tidak.
Pokoknya, aku tetap berharap dapat berjumpa
dengan Pendekar Slebor."
Habis membatin demikian, lelaki berpakaian
serba hitam arahkan pandangannya pada Iblis
Rambut Emas. Sejenak ada kebencian yang dalam
begitu matanya berbenturan dengan mata si
perempuan. Setelah mendengus, Sangga Rantek berkata,
"Sampai saat ini belum juga kita temukan jejak Pendekar Slebor. Bagaimana
pendapatmu?"
Iblis Rambut Emas yang tahu kalau Sangga
Rantek hanya mencoba alihkan perhatiannya dari
air terjun itu mengangkat kedua bahunya.
Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sulit untuk memberikan pendapat seperti yang kau minta. Terus terang, aku hanya
berpijak pada tempat yang kau pijak."
"Perempuan celaka ini memang pandai bermulut manis," dengus Sangga Rantek dalam
hati. "Sebelum malam tiba, kita harus keluar dari daerah ini."
"Sangga Rantek! Mengapa kau nampak begitu
tertarik dengan air terjun ini" Adakah yang kau
cari?" pancing Iblis Rambut Emas untuk buktikan dugaannya.
Dan dilihatnya bagaimana kepala Sangga Rantek
mendadak menegak. Kejap kemudian lelaki ini
terbahak-bahak keras. Ki Pasu Suruan yang masih
mengintip, kerutkan keningnya.
"Ha ha ha... tak kusangka kau begitu bodoh! Tak ada yang menarik dari air terjun
itu! Kalaupun aku sengaja berhenti di sini, karena aku membutuhkan
istirahat! Bila kau tak membutuhkannya, silakan
berlalu dari sini!"
Iblis Rambut Emas kembangkan senyum.
"Sudah tentu aku tak akan meninggalkanmu. Kita mempunyai keinginan yang sama
untuk membunuh Pendekar Slebor, bukan" Itu pun bila kau...."
"Dan jangan banyak tanya apa yang akan
kulakukan!!" dengus Sangga Rantek keras.
Untuk kesekian kalinya perempuan berjubah
merah ini menindih segala kemarahannya. Dan di
hadapan Sangga Rantek dia tetap kembangkan
senyum. "Karena aku mengharapkan bantuanmu untuk
membunuh Pendekar Slebor, kuturuti apa yang kau
katakan," katanya menahan geram.
Sangga Rantek tak segera menjawab. Saat dia
hendak buka mulut, mendadak saja kepalanya
dipalingkan ke arah kanan.
"Heiii!!" desisnya kaget.
Dan bukan hanya Sangga Rantek yang terkejut.
Iblis Rambut Emas juga melihat apa yang membuat
lelaki berpakaian hitam-hitam itu terkejut.
Satu bayangan hitam telah berkelebat begitu
cepat. Dan yang membuat masing-masing orang
tertarik, karena melihat satu sosok tubuh
berpakaian biru muda dalam bopongan si bayangan
hitam. Sangga Rantek sejenak terdiam sebelum
membuka mulut, "Winarsih! Atau yang dijuluki Pendekar Slebor si Gadis
Kayangan!!"
"Sangga Rantek! Kenalkah kau dengan si nenek berpakaian hitam compang-camping
itu?" tanya Iblis Rambut Emas segera.
Sangga Rantek menggelengkan kepalanya. Lalu
berucap seperti ditujukan pada dirinya sendiri,
"Pendekar Slebor telah menyelamatkan Gadis
Kayangan. Dan sekarang, gadis itu berada di tangan perempuan tua berpakaian
hitam compang-camping... hmm...." Lalu kepalanya dipalingkan pada Iblis Rambut
Emas, "Apa yang dapat kau
pikirkan?"
Lagi-lagi perempuan berambut keemasan itu
berlagak bodoh. Dia berkata, "Kau lebih cerdik dariku."
Pujian itu disambut dengan dengusan oleh
Sangga Rantek. Lalu katanya mereka-reka, "Kita tidak tahu siapa perempuan tua
berpakaian hitam
compang-camping itu. Ada dua kemungkinan yang
bisa kukemukakan. Pertama, perempuan itu adalah
orang golongan lurus yang telah menyelamatkan
Gadis Kayangan dari seseorang.
Kedua, perempuan itu adalah orang-orang satu
golongan dengan kita, yang menyangka Gadis
Kayangan memiliki potongan pedang yang tergambar
titik-titik yang jelas menuju ke Pulau Hitam."
"Bagaimana dengan pendapatmu sendiri?"
Sangga Rantek hanya mendengus.
Iblis Rambut Emas berkata lagi, "Taruhlah dia memang orang golongan lurus yang
telah menyelamatkan gadis itu, ini menilik si gadis yang nampaknya pingsan. Kalau
begitu, siapakah orang
yang mencelakakannya?"
"Tak perlu diperhitungkan soal itu! Mampus pun aku tak peduli!" sahut Sangga
Rantek dingin. "Baik! Bila ternyata dia orang yang menginginkan potongan pedang pada si
gadis..." "Orang itu akan menyesal! Karena bukan pada
gadis itulah potongan pedang itu berada!!" potong Sangga Rantek.
"Bagaimana bila ternyata Pendekar Slebor telah memberikannya pada gadis itu?"
Seketika Sangga Rantek palingkan kepala dengan
pandangan melebar.
Iblis Rambut Emas melanjutkan, "Dan bagaimana bila sebenarnya, sejak pertama
kali kau memutuskan untuk mendapatkan potongan pedang
pada Pendekar Slebor, ternyata memang tidak
berada padanya. Melainkan pada si gadis yang telah menipumu. Termasuk...
menipuku...."
Kali ini pandangan mata Sangga Rantek benarbenar membuka lebar. Sesaat nampak lelaki
berhidung bengkok ini terdiam menahan napas.
Kejap kemudian terdengar makiannya keras,
"Jahanam! Aku lebih tertarik pada kemungkinan kedua!"
"Kalau memang begitu, ayo kita kejar!!"
Sangga Rantek sudah mulai berlari dan
mendadak hentikan larinya. Pandangannya kali ini
menyipit tajam pada Iblis Rambut Emas.
"Mengapa kau begitu bernafsu sekali?" sentaknya dingin.
Iblis Rambut Emas yang tadi kelepasan bicara
dan secara tidak langsung hampir membuka
kedoknya sendiri, buru-buru menenangkan diri
sebelum membentak, "Bodoh! Bukankah setahu kita Pendekar Slebor dan Gadis
Kayangan selalu
bersama-sama" Bisa jadi perempuan tua berpakaian
hitam compang-camping itu telah menyerang
keduanya atau entahlah apa yang terjadi, lalu
Pendekar Slebor akan mengejarnya" Bebal betul
otakmu ini!!"
Sejenak Sangga Rantek masih arahkan
pandangannya pada Iblis Rambut Emas. Sebelum
akhirnya dia mengangguk-anggukkan kepala tanda
dapat menerima alasan itu.
"Alasan yang tepat. Dan sungguh kebetulan sekali
perempuan tua yang membawa tubuh Gadis
Kayangan berlari menuju ke arah barat daya.
Dengan kata lain, secara tak langsung keinginanku untuk melacak jejak Pulau
Hitam akan tersamar.
Karena tentunya, perempuan celaka ini menyangka
aku mengejar perempuan tua itu. Tetapi biar
bagaimanapun juga, ucapannya sungguh-sungguh
masuk akal. Dan benar-benar keparat kalau
memang potongan pedang satunya lagi benar berada
pada Gadis Kayangan."
Sementara itu, diam-diam Iblis Rambut Emas
menarik napas lega.
Kemudian katanya, "Keputusan ada di tanganmu!
Ingat, aku hanya mencoba membantumu untuk
mendapatkan potongan pedang! Sementara aku
menginginkan nyawa Pendekar Slebor!"
Mendadak Sangga Rantek keluarkan dengusan.
Di Iain kejap dia sudah berkelebat tanpa buka
mulut. Iblis Rambut Emas menarik napas lega dulu
sebelum menyusul.
"Hampir saja...."
*** 7 Sosok bayangan hitam yang menyelamatkan
Gadis Kayangan dari tindakan memalukan yang
akan dilakukan Dewa Lautan Timur, mendengus
begitu menyadari satu sosok tubuh mengikutinya di belakang.
Si bayangan hitam yang memang seorang
perempuan tua ini membatin, "Hebat! Gerakannya sangat cepat! Jelas kalau dia
bukan orang sembarangan!"
Orang yang mengikuti si nenek tak lain adalah Ki
Pasu Suruan. Salah seorang dari Dua Manusia Goa
Setan ini, sebelumnya juga melihat kelebatan orang yang membopong sosok
berpakaian biru muda. Lain
halnya dengan Sangga Rantek dan Iblis Rambut
Emas, Ki Pasu Suruan langsung mengenali siapa
yang berkelebat.
Dan mendadak dia menjadi sangat geram. Kejap
itu pula dengan cara memutar langkah, dia akhirnya memutuskan untuk menyusul si
nenek. "Huh! Lama tak pernah bertemu, sekarang tahu-tahu muncul! Siapa gadis yang
berada dalam bopongan Nyi Genggong?" desis Ki Pasu Suruan sambil terus kerahkan ilmu larinya.
Si nenek yang terus berlari di depan, mendadak
saja menyeringai. "Pasu Suruan! Gila! Mengapa dia hanya sendiri" Tak biasanya
dia berpisah dari
Pancen Dadap" Hmmm... lebih baik menjumpainya
dulu. Barangkali dia punya urusan yang sama
denganku. Tetapi bila dia mengacaukan seluruh
rencanaku, tak perlu berpikir dua kali untuk
mencabut nyawanya!!"
Di sebuah persimpangan agak berbelok ke kiri, si
nenek mendadak mencelat ke depan. Dan saat
hinggap di atas tanah, sosoknya sudah menghadap
ke arah datangnya Ki Pasu Suruan.
Paras si nenek sungguh mengerikan sekali.
Hidungnya melesak ke dalam dengan kedua mata
agak menyipit. Bibir bagian bawah agak tebal
ketimbang bagian atas. Wajahnya dihiasi kulit tipis agak hitam. Pakaiannya yang
dikenakan berwarna
hitam gelap, dan terdapat compang-camping di
sana-sini. Ki Pasu Suruan yang mengejar, menarik napas
begitu melihat sosok si nenek yang berdiri
menunggunya. Dari kejauhan dia sudah tertawa
senang, "Nyi Genggong!!"
Si nenek terkikik, terlihat gigi bagian depan
tanggal tiga buah.
"Pasu Suruan! Kupikir setan kuburan yang
mengikutiku! Sungguh tak disangka pertemuan ini
akan kembali terjadi! Hanya saja... ke mana Pancen Dadap"!"
Ki Pasu Suruan yang telah berdiri sejarak lima
langkah dari hadapan si nenek yang bernama Nyi
Genggong, mengatur napas dulu sebelum berkata,
"Urungkan pertanyaanmu itu. Sekarang jawab
pertanyaanku, siapa gadis itu, hah"!"
Nyi Genggong terkikik kembali.
"Kau memang tak pernah ingin urusanmu
dicampuri orang! Apakah sekian tahun kita
bersahabat kau masih memegang prinsip busuk itu,
hah"! Padahal yang bertanya adalah seorang
sahabat yang sangat baik kepadamu!!"
Ki Pasu Suruan mendengus. Lalu dengan wajah
yang lamat-lamat nampak geram, diceritakan
tentang kematian Ki Pancen Dadap (Bagi temanteman yang ingin tahu matinya salah seorang dari
Dua Manusia Goa Setan, silakan baca: "Pedang Buntung").
Bukannya turut prihatin atas kematian Ki Pancen
Dadap, Nyi Genggong justru terkikik keras.
"Kau tentunya sangat kesepian. Tetapi tak usah murung, karena ada aku yang akan
menemanimu."
Diam-diam Ki Pasu Suruan menggeram dalam
hati, "Perempuan tua ini sudah dua puluh tahun bersahabat denganku dan Pancen
Dadap. Sikapnya
masih terkesan ugal-ugalan dan mau memang
sendiri. Tetapi sungguh mengherankan kalau dia
justru membawa seorang gadis dalam bopongannya.
Biasanya, dia tak pernah hentikan mengumbar
nafsu celakanya pada pemuda-pemuda gagah."
Kemudian katanya, "Jawab pertanyaanku tadi.
Siapa gadis itu"!"
"Hik hik hik... aku tak mengenalnya. Dia
kuselamatkan dari kematian yang akan diturunkan
Dewa Lautan Timur. Dan seharusnya, gadis ini telah siuman setelah dihajar Dewa
Lautan Timur."
Sampai surut satu tindak Ki Pasu Suruan
mendengar julukan itu disebutkan.
"Dewa Lautan Timur" Setahuku, dia mempunyai
dendam setinggi langit pada Panembahan Agung?"
"Betul! Dan akuilah... kalau kau juga tidak tahu apa penyebab kedua manusia itu
bertikai. Tetapi
kupikir... aku telah lakukan tindakan yang sangat mulia sekali. Karena gadis ini
kubuat lebih lama
beristirahat."
"Lantas... apa hubungannya dengan gadis itu?" Ki Pasu Suruan ajukan tanya, lalu
melanjutkan dalam
hati, "Rupanya gadis itu telah ditotok hingga pingsan lebih lama."
"Bodoh! Apakah kau masih mendendam pada
Pemimpin Agung yang telah membunuh gurumu?"
Mendengar julukan itu disebutkan, wajah Ki Pasu
Suruan memerah.
"Sampai kapan pun dendamku padanya tak akan
putus! Tetapi manusia itu telah tewas! Dan
Pendekar Slebor-lah yang membunuhnya!!"
"Aiiihhh!! Pendekar Slebor! Pemuda gagah yang sejak dulu kuimpikan dapat tidur
dengannya! Di mana dia sekarang" Di mana?" seru Nyi Genggong bernafsu.
"Rupanya kau masih tak henti-hentinya
mengumbar nafsu! Tetapi untuk apa kau bawa gadis
itu, hah"!"
"Benar-benar bodoh! Kau berkeinginan untuk
membunuh Pemimpin Agung, tetapi kau tidak tahu
siapa gadis ini"!"
Sejenak Ki Pasu Suruan terdiam sebelum buka
mulut, "Apakah... gadis itu muridnya?"
Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tak salah! Dia memang murid Pemimpin Agung!"
"Terkutuk! Serahkan padaku cepat!!"
Nyi Genggong cuma terkikik sambil menggerakgerakkan tangan tangannya tanda menolak.
"Tak semudah itu, Kawan...."
Menyipit sepasang mata Ki Pasu Suruan dengan
rahang mengembung. Lalu desisnya dingin, "Apa maksudmu dengan tak semudah itu?"
"Kau benar-benar bodoh! Berkeinginan membalas kematian gurumu pada Pemimpin
Agung, kau pun tak menyelidiki lebih dulu keadaan manusia itu!
Pasu Suruan! Apakah kau pikir aku bodoh, kalau
gadis ini tentunya mewarisi dua potongan pedang
perak milik Pemimpin Agung?"
Sejenak Ki Pasu Suruan terdiam sebelum
meledak tawanya.
"Luar biasa! Sungguh luar biasa! Kau yang
mengaku dirimu pintar ternyata tak lebih dari otak
kerbau! Nyi...."
"Tutup mulutmu! Sekali lagi kau menghinaku,
kurobek mulut keparatmu itu!!" putus Nyi Genggong dengan wajah mengkelap.
Tetapi Ki Pasu Suruan justru lebih keraskan
tawanya tetapi diam-diam dia membatin geram
dalam hati, "Terkutuk! Aku pun tak akan
memandang arti persahabatan bagi siapa saja yang
menghalangi keinginanku untuk membunuh
Pemimpin Agung beserta para pengikutnya!"
Kemudian katanya dengan tatapan mengejek,
"Nyi! Orang yang telah membunuh Pemimpin Agung adalah Pendekar Slebor! Dan
kusirap kabar kalau
pemuda dari Lembah Kutukan itulah yang telah
memiliki dua potongan pedang sekarang! Apakah...."
"Tutup mulutmu! Kau hanya mencoba memutar
balikkan kenyataan! Padahal aku tahu, kau sangat
menghendaki dua benda itu!"
"Terserah bagaimana penilaianmu! Tetapi untuk membuktikan apa yang kukatakan
ini, periksa tubuh gadis itu!! Dan kuharap... kau tidak terlalu terkejut melihat kenyataan!"
Sejenak terlihat si nenek berpakaian hitam
compang-camping ini agak meragu. Pandangannya
masih diarahkan pada Ki Pasu Suruan dengan
kilatan penuh bara amarah. Lalu katanya setelah
mendengus dingin, "Bila ternyata kutemukan dua potongan pedang itu pada gadis
ini, jangan salahkan aku bila kukirim nyawamu hari ini ke neraka!!"
Ki Pasu Suruan hanya tertawa saja.
Di lain pihak, dengan wajah nampak mendongkol
Nyi Genggong berucap, "Aku tak segan-segan
membunuhmu bila ternyata ucapanmu dipenuhi
bisa!" Lalu dengan geram diperiksanya tubuh Gadis
Kayangan yang masih pingsan. Tangannya merabaraba sekujur tubuh si gadis. Dan nampak
kegeraman yang tersirat pada wajahnya sejenak
lenyap. Tetapi di lain saat dia sudah menggeram
keras. "Keparat terkutuk!!"
Ki Pasu Suruan terbahak-bahak melihatnya.
"Apakah kau masih menganggap kalau aku tidak menjunjung tinggi persahabatan di
antara kita?"
serunya dengan suara melecehkan. Lalu
melanjutkan dengan ucapan bercabang, "Yang
seharusnya kau jadikan sasaran... adalah Pendekar Slebor! Pemuda keparat itulah
yang telah membunuh Pemimpin Agung sekaligus
mendapatkan dua potongan pedang!!"
Sementara itu Nyi Genggong yang merasa
semuanya sia-sia belaka, dengan geram membanting
tubuh Gadis Kayangan. Dalam pingsannya, tanpa
sadar si gadis keluarkan seruan tertahan.
"Terkutuk! Ternyata aku hanya membuang-buang waktu belaka! Jahanam sial! Dia
seharusnya...."
Memutus kata-katanya sendiri, Nyi Genggong
mengangkat kepalanya ke arah Ki Pasu Suruan yang
membatin, "Apa lagi yang dipikirkan nenek keparat ini?"
"Pasu Suruan! Memang terbukti kalau dua
potongan pedang itu tidak berada pada gadis ini!
Tetapi... sebelumnya Dewa Lautan Timur telah
mencelakakan gadis ini! Bagaimana bila sebelumnya potongan pedang itu memang
berada pada gadis ini
kemudian direbut oleh Dewa Lautan Timur?"
Terdiam Ki Pasu Suruan mendengar dugaan si
nenek. Tetapi karena dia berkeyakinan kalau
Pendekar Slebor-lah yang telah memiliki dua
potongan pedang itu, makanya dia berkata, "Aku yakin... Dewa Lautan Timur tak
mendapatkan benda
itu padanya. Tetapi bila memang lelaki celaka itu menginginkan dua potongan
pedang, dapat ditebak
kalau urusannya dengan Panembahan Agung adalah
berkisar masalah itu. Tetapi yang mengherankan,
mengapa tak pernah terdengar kabar kalau dia
memburu Pemimpin Agung?"
"Bukannya tidak mungkin itu terjadi! Dua
potongan pedang berarti berada di tangan Dewa
Lautan Timur!!"
Ki Pasu Suruan menggelengkan kepala.
"Tidak! Dua potongan pedang itu ada pada
Pendekar Slebor! Karena berita yang kudengar
pertama kali, tertuju padanya!"
Nampak Nyi Genggong terdiam. Pandangannya
diarahkan kembali pada Gadis Kayangan yang
terlentang di atas tanah. Terlihat sepasang matanya yang sipit kian menyipit.
Sepasang pelipisnya
bergerak-gerak. Dan nampak mulutnya
mengembung. Mendadak sambil keluarkan udara dari mulutnya
dengan cara menyentak, dia menggeram keras,
"Kalau begitu... lebih baik dia mampus saja
sekarang!!"
"Tunggu!!" desis Ki Pasu Suruan yang melihat sosok Gadis Kayangan telentang
dengan kedua tangan dan kaki membuka. Dilihatnya bagaimana
dada yang busung itu seperti melambai-lambaikan
undangan yang tentunya tak dapat dielakkan. Dan
satu pikiran yang menyenangkan telah singgah di
otak kotornya. "Jangan membuatku bertambah gusar!!" sentak Nyi Genggong dengan pandangan
bertambah menyipit. "Tak perlu umbar kemarahan pada gadis itu!
Yang harus dijadikan tujuan adalah Pendekar
Slebor! Karena dialah pangkal dari semua...."
"Huh! Kau memang pandai menjilat, Pasu
Suruan! Dengan kata lain, kau menghendaki aku
bergabung denganmu untuk membunuh Pendekar
Slebor"! Paling tidak, sekali kayuh dua pulau kau lampaui!"
Menggeram Ki Pasu Suruan yang maksudnya
terbaca oleh si nenek berpakaian hitam compangcamping ini. Lalu katanya, "Tak perlu meminta bantuanmu,
Pendekar Slebor akan tetap mampus di tanganku!
Tetapi... bagaimana bila kita sama-sama menuju ke Pulau Hitam untuk mengetahui
ada rahasia apa di
sana?" "Usulmu sangat menarik! Tetapi... kita samasama tidak mengetahui rahasia apa yang ada di
Pulau Hitam! Bagaimana bila ternyata ada harta
karun atau benda pusaka di sana"! Apakah kau
akan melangkahiku"!"
"Tidak! Kau boleh mendapatkan semuanya!
Pemimpin Agung telah tewas! Terus terang,
seharusnya seluruh keinginan yang terpendam di hatiku telah tuntas! Tetapi saat
itu, aku menginginkan dua potongan pedang untuk
mengetahui rahasia apa yang ada di Pulau Hitam!
Hanya saja... sekarang semuanya tak lagi jadi
keinginan nomor satu! Keinginanku hanyalah untuk
membunuh Pendekar Slebor yang telah membunuh
Pancen Dadap!! Dia harus mati! Kau dengar itu"!
Dia harus mati!! Dengan cara... yang sangat
menyedihkan!!"
Sepasang mata Nyi Genggong menyipit. Kemudian
katanya dengan bibir yang hanya membuka sedikit,
"Apakah kau pikir aku akan mempercayai
ucapanmu itu?"
Di seberang, Ki Pasu Suruan memandang tak
berkedip. Lalu desisnya, "Terserah apa yang akan kau lakukan! Tetapi kau akan
melihat kenyataannya nanti!"
"Lantas... mengapa kau menahanku untuk
membunuh gadis ini, hah"!"
Ki Pasu Suruan mendadak saja tersenyum.
Bukannya menjawab pertanyaan orang
pandangannya justru di arahkan pada dada
membusung milik si gadis.
Hanya sekali lihat, Nyi Genggong paham apa yang
dimaui lelaki berpakaian kuning-kuning ini. Dia
mendengus sebelum berkata, "Lakukan apa yang kau hendaki! Aku menunggu di ujung
sana!" "Kau benar-benar seorang; sahabat yang penuh pengertian!! Dan tak akan bisa
kulupakan budi baikmu ini, Nyi!" sahut Ki Pasu Suruan sambil tertawa.
"Setan keparat! Ucapan demi ucapannya lama
kelamaan membakar hatiku juga! Tetapi bila tak
berjumpa dengannya, sudah tentu sebelum sampai
ke Lembah Gaung, aku tak akan pernah tahu kalau
dua potongan pedang itu tidak berada padanya!"
maki Nyi Genggong dalam hati dengan pandangan
tajam. Tanpa keluarkan kata-kata, si nenek berpakaian
hitam compang-camping ini sudah berlari ke arah
yang dituju. Namun baru lima langkah dia berlari, mendadak saja satu gelombang
angin telah menderu
ke arahnya. "Heeeiiii!!"
Serentak si nenek buang tubuh ke samping
kanan. Blaaammrrr!
Tanah yang tadi dipijaknya seketika muncrat ke
udara terhantam gelombang angin yang mendadak
muncul. Ki Pasu Suruan yang tadi tersenyum, langsung
bersiaga penuh dengan pandangan lebih terbuka.
Tatkala muncratan tanah tadi kembali luruh,
masing-masing orang melihat dua sosok tubuh telah berdiri tegak sejarak delapan
langkah. Ki Pasu Suruan mendesis, "Sangga Rantek dan
Iblis Rambut Emas!"
*** 8 Senja semakin mengambang dalam dan nampak
sebentar lagi akan dijemput malam. Udara terus
berhembus, semakin lama menusuk tulang. Helaihelai daun beterbangan dan akan jatuh entah di
mana. Pendekar Slebor tiba di sebuah jalan yang
dipenuhi ranggasan semak belukar. Di hadapannya
membentang sebuah padang rumput yang luas.
Sejenak anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan ini memandang tak berkedip ke depan.
Lalu dipalingkan kepala ke arah dari mana dia
datang. "Setan Cambuk Api tak mengejarku. Hmmm...
menilik keadaan yang terjadi, memang jelas kalau
ada orang lain yang telah memerintahkan
perempuan tua itu untuk menghadangku.
Sementara orang yang entah siapa adanya, telah
membawa Gadis Kayangan."
Anak muda ini menarik napas pendek.
"Siapa orang itu" Dan tentunya, tujuan yang
diinginkan orang itu adalah potongan pedang yang
berada di tangan Gadis Kayangan. Kadal buntung!
Makin sulit kutemukan jejak yang pasti! Apakah...."
Memutus kata-katanya sendiri, Andika segera
palingkan kepalanya ke kanan begitu
pendengarannya yang terlatih menangkap derap
langkah kuda mendekat.
Seketika dilihatnya tiga orang gagah menunggang
kuda hitam dan mengarah padanya.
Tak mau mendapatkan urusan lain yang tak
mengenakkan, di samping ingin mengetahui siapa
orang-orang itu adanya, cepat anak muda ini
berkelebat dan tahu-tahu dia sudah menyelinap di
balik ranggasan semak belukar.
Tak lama kemudian tiga ekor kuda itu tiba di
tempat Andika berdiri sebelumnya. Saat tali kekang ditarik, kuda-kuda itu
meringkik dengan kedua kaki depan terangkat. Dan masing-masing penunggangnya, memperhatikan sekeliling mereka dengan
seksama. Di pinggang masing-masing terdapat
sebilah parang besar yang sedikit berkilat terkena
sisa-sisa sinar matahari
Orang yang mengenakan pakaian abu-abu
dengan ikat kepala warna putih langsung keluarkan suara, "Gila! Ke mana orang
berpakaian hijau pupus itu menghilang"!"
Sepasang mata tajam orang berwajah tirus
dengan kedua pipi cekung ini memandang
sekitarnya. Begitu pula dengan kedua temannya
yang mengenakan pakaian berwarna sama namun
berikat kepala berlainan.
Lelaki bertubuh agak gemuk dan kenakan ikat
kepala warna hijau merandek dingin, "Tak mungkin ada manusia yang dapat
menghilang secepat itu!
Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laksana ditelan hidup-hidup oleh bumi! Sudah
tentu dia, bersembunyi di sekitar sini! Kita
berpencar! Barangkali saja orang itu dapat kita
jadikan sebagai petunjuk menuju ke Pulau Hitam!!"
Habis kata-katanya, lelaki bertubuh agak gemuk
ini sudah menggebrak kudanya ke sebelah kanan.
Sementara yang berbicara pertama tadi, menggebrak kudanya ke depan. Dan lelaki
kurus kering yang
berikat kepala warna jingga sudah melarikan
kudanya ke kiri.
Andika yang telah bersembunyi di balik
ranggasan semak sejarak sepuluh tombak dari
tempat orang-orang itu membatin, "Hmmm... mereka juga sedang menuju ke Pulau
Hitam. Dan jelas
kalau sebelumnya melihatku. Menilik sikap masingmasing orang, jelas kalau mereka bukanlah orang
baik-baik. Tetapi dikepung dari tiga penjuru seperti itu, jelas persembunyian ku
akan diketahui.
Apakah...."
Diputuskan kata hatinya sendiri tatkala
didengarnya derap langkah kuda dari sebelah
kanan. Bukannya terkejut, anak muda ini justru
mendesis seraya berdiri, "Ya... ketahuan deh! Kalau begitu, aku yang jaga
sekarang!" (Edan! Emangnya main petak umpet").
Lelaki agak gemuk berikat kepala warna hijau ini
berseru keras, "Hooiiiii!! Di sini rupanya manusia celaka yang kita lihat
tadi!!" Dua orang temannya segera menggebrak kuda
masing-masing mendekati si gemuk yang sudah
turun dari kudanya.
Melihat ketiga orang itu dari dekat, Andika cuma
mengangkat sepasang alisnya saja.
"Wah! Tampang kalian seram-seram amat, ya" Itu parang buat membelah kelapa"!"
Seketika masing-masing orang meradang. Tetapi
si gemuk sudah berkata, "Anak muda! Jangan
berlaku bodoh di hadapan Tiga Iblis Penunggang
Kuda! Bila kau dapat jawab pertanyaan, maka kau
akan dapat melihat matahari besok! Bila tidak..."
"Ya tidak melihat dong?" sambar Andika konyol.
Begitu melihat sepasang mata si gemuk melotot, dia buru-buru berkata, "Betul,
kan" Betul, kan?"
"Keparat!! Hampar Gandeng! Bunuh pemuda itu!!"
seru si wajah tirus pada si gemuk.
Bukannya si gemuk yang menyahut, Andika yang
berkata, "Busyet! Kok namamu jelek amat sih"
Bagaimana bila kuganti... Hamparan Padi Yang
Dirusak Tikus dan... apa lagi ya?"
Meradang sudah Hampar Gandeng mendengar
ejekan si pemuda. Julukan Tiga Iblis Penunggang
Kuda sangat dikenal di daerah utara. Mereka adalah manusia-manusia kejam yang
tak pernah mengasihani lawan atau orang yang hendak
dibunuh. Jangankan orang yang berani bersikap
seperti pemuda urakan itu. Orang yang tak dapat
menjawab setiap pertanyaan mereka, harus
merelakan kepalanya pisah dari lehernya.
"Pemuda keparat! Kau rupanya memang benarbenar ingin mampus"!!" maki Hampar Gandeng
sambil bergerak dengan jotosan lurus ke wajah
Andika. Dalam pikirnya, sekali jotos saja anak muda di
hadapannya itu akan langsung ambruk dengan
mulut dan hidung berdarah. Namun yang
mengejutkannya, jotosan itu hanya mengenai angin.
Lebih terkejut lagi lelaki gemuk ini karena tak
dilihatnya bagaimana anak muda itu menghindari
jotosannya. Seketika dia putar tubuh. "Keparat!!" makinya keras.
Bukan hanya Hampar Gandeng yang terkejut dua
kawannya yang bernama Ringkih Gandeng dan
Rimbun Gandeng pun tersentak. Apalagi tatkala
terdengar suara, "Wah! Kuda ini bagus sekali"
Bagaimana kalau buatku saja"!"
Serentak masing-masing orang arahkan
pandangan pada kuda hitam gagah yang tadi dinaiki oleh Hampar Gandeng. Mereka
melihat pemuda yang
di lehernya melilit kain bercorak catur itu sudah berada di atas kuda Hampar
Gandeng. Rimbun Gandeng yang berikat kepala warna
putih dengan wajah tirus dan dihiasi dengan brewok yang cukup lebat, sudah
menyentakkan tangan
kanannya seraya melompat.
Namun Andika dengan enaknya mengibaskan
tangan kanannya pula, bahkan sambil berseru,
"Bagaimana kalau kuda ini buatku saja"!"
Bukkk!! Tangan kanan Rimbun Gandeng langsung
berbenturan dengan pergelangan tangan Andika.
Terkejut lelaki berbrewok ini sampai keluarkan
pekikan tertahan, "Heeeiii!!"
Begitu dilihat, tangan kanannya agak membiru.
Lelaki bertubuh ringkih sesuatu dengan namanya
Ringkih Gandeng, tak mau berdiam diri. Dia
langsung loloskan parangnya dan sekuat tenaga
disabetkan ke tubuh Andika.
Kali ini Andika palingkan kepala dan mendengus.
"Busyet! Kalian ini cukup aneh! Kenapa jadi sewot dan menyerangku kalap kayak
begini"!"
Bersamaan dengan itu, anak muda urakan ini
buat gerakan yang menakjubkan. Dia melompat dari
punggung kuda itu, tetapi bukan untuk hinggap di
atas tanah, melainkan hinggap kembali di punggung kuda dengan kedua tangan
menahan tubuh dan
kaki tegak lurus dengan langit!
Sabetan parang Ringkih Gandeng lolos dari
sasarannya. Dan mendadak saja terdengar suara
'srak' dua kali. Rupanya Hampar Gandeng dan
Rimbun Gandeng sudah tak kuasa menahan diri.
Sesungguhnya, bila ketiga orang ini maju sendirisendiri mereka bukanlah satu kekuatan yang
dahsyat. Tetapi bila sudah maju bersama, mendadak mereka akan membentuk kekuatan
yang mengerikan. Dan masing-masing orang mendadak merapatkan
kedua kaki dengan tubuh menegak. Tangan kanan
yang memegang parang besar disatukan dengan
dada sementara tangan kiri mengembang ke depan.
Dari atas punggung kuda, Andika memandang
tak berkedip. "Gerakan yang mereka perlihatkan nampaknya
bukan gerakan kosong belaka. Dan tentunya bila
mereka bersatu, akan terbentuk satu kekuatan yang hebat. Hmmm... aku tak punya
urusan dengan mereka. Lebih baik kutinggalkan saja, ah!"
Habis membatin demikian, pelan-pelan anak
muda ini melepaskan totokan pada punggung kuda
yang ditungganginya. Rupanya kuda itu telah
ditotok sebelumnya hingga di saat dia hindari
sabetan parang Ringkih Gandeng kuda itu tidak
terjingkat lari.
Namun kesempatan untuk berlalu dari sana jelas
tidak mudah. Karena serempak Tiga Iblis
Penunggang Kuda sudah menyerang ke depan.
Kelebatan tubuh masing-masing orang begitu cepat sekali. Saat parang diayunkan
terdengar suara angin membelah udara.
Mau tak mau Andika harus melompat dari
punggung kuda seraya menggerakkan tangannya
tiga kali. Tiga ekor kuda yang hendak berlari dari sana, mendadak terdiam karena
terkena totokan
jarak jauhnya. Dan yang terjadi kemudian, belum lagi kedua
kaki nya menginjak tanah, Ringkih Gandeng sudah
menyusur dengan parang yang siap memutus kedua
kakinya. Di lain pihak, Rimbun Gandeng sudah
mencelat dengan parang yang akan membelah
kepalanya. Sementara dari sisi kiri, Hampar
Gandeng menderu dengan parang dihunus tanda
tak sabar untuk merobek isi perut lawan.
"Monyet-monyet buduk! Kok jadi serius nih"!"
desis Pendekar Slebor sambil melompat. Tangan
kanannya segera digerakkan untuk memukul tangan
kanan Rimbun Gandeng. Namun lelaki berbrewok
ini dengan cekatan memindahkan parang ke tangan
kirinya dan langsung disabetkan.
Tak tanggung lagi terkejutnya Andika. Karena dia
juga harus hindari hunusan parang Hampar
Gandeng. Belum lagi Ringkih Gandeng yang tebasan
pada kaki lawan gagal, langsung cuatkan parangnya ke atas.
Jalan satu-satunya untuk hindari rangkaian
serangan yang susul menyusul itu memang harus
menjauh dan menjaga jarak. Akan tetapi itu pun tak mudah dilakukan. Karena
begitu Andika berhasil
menjauh, masing-masing orang menderu merapat,
mencoba mematikan gerak langkahnya.
"Gundul-gundul pacul!!" makinya asal-asal.
Seraya memiringkan tubuh untuk hindari
bacokan Rimbun Gandeng. Andika membuat
gerakan agak doyong ke depan dengan kaki kanan
menjadi tumpuan. Tangan kanannya bergerak cepat.
Terdengar salakan petir saat dijotoskan ke arah
Hampar Gandeng.
Tetapi Hampar Gandeng justru tarik pulang
tubuhnya, sementara dengan cara memutar
parangnya dibacokkan lagi.
Namun yang membuatnya terkejut, karena
mendadak saja pemuda berpakaian hijau pupus itu
telah menepak pundaknya dengan tangan kiri.
Menjerit serta terhuyung Hampar Gandeng
karena tubuhnya seakan ditempelak tangan
raksasa. Saat berdiri tegak kembali, tubuhnya agak
goyah. Namun kemarahannya semakin menjadi-jadi.
Dia segera bergerak kembali untuk lancarkan
serangan lagi. Namun mendadak saja tubuhnya
limbung karena dirasakan pundak kirinya seperti
mau patah. Melihat kawannya menderita seperti itu, Ringkih
Gandeng dan Rimbun Gandeng sudah menggebrak
dengan kemarahan tinggi. Setiap kali parang
dikibaskan, angin menderu keluar mengerikan.
Akan tetapi, Andika yang telah berhasil mematahkan susunan serangan lawan,
dengan mudah dapat
membaca serangan yang dilakukan kedua orang itu.
Tenaga Inti Petir' tingkat kesebelas yang dialirkan pada kedua tangannya, telah
bersarang di dada
masing-masing orang yang tersuruk ke belakang.
Lalu jatuh berlutut sambil pegang dadanya.
Nyengir anak muda ini melihat masing-masing
orang meringis. Lalu dia melompat kembali ke kuda milik Hampar Gandeng. Sambil
tertawa dia berkata,
"Kudamu kupinjam dulu, ah! Tak tahu deh kapan akan kukembalikan!"
Setelah membuka totokan pada kuda itu, Andika
segera menggebraknya terus ke arah barat.
Tinggal Tiga Iblis Penunggang Kuda yang
meradang murka sekaligus terheran-heran. Mereka
yang malang melintang dan disegani di daerah
utara, hari ini harus mengalami nasib sial.
Dikalahkan secara mudah oleh seorang pemuda
yang usianya paling banter tujuh belas tahun.
"Keparat!! Siapa pemuda itu sebenarnya"!"
dengus Hampar Gandeng jengkel.
"Gerakannya sangat cepat dan memiliki kesaktian yang tinggi! Kita yang selama
ini ditakuti oleh siapa
pun juga, tak berkutik hanya beberapa gebrakan
saja! Jahanam sial!!" sambung Rimbun Gandeng menahan sakit.
"Akan kubunuh pemuda itu bila suatu saat
bertemu lagi!!" lanjut Ringkih Gandeng. Lalu terhuyung-huyung dia berdiri.
Setelah menatap
kedua temannya secara bergantian, lelaki kurus
kering ini berucap, "Kita urungkan niat menuju ke Pulau Hitam! Lebih baik
kembali ke utara! Kita
himpun kekuatan utuh untuk membalas kekalahan
kita!" "Tidak!" sentak Rimbun Gandeng. "Mengapa kau mendadak menjadi pengecut seperti
itu, hah"! Apa
pun yang terjadi, kita tetap menuju ke sana!"
"Jangan berlaku bodoh! Menghadapi anak muda
itu saja kita sudah tak berdaya! Apakah kau pikir akan dapat mengatasi rintangan
lain di Pulau Hitam" Paling tidak, bagaimana bila pemuda itu
datang ke sana"!"
"Itu kesempatan kita untuk membalas!"
"Kita sudah dibuat tak berkutik! Masih untung kita dibiarkan hidup! Lebih baik
kembali ke utara untuk menghimpun kekuatan! Bila sudah tiba
saatnya, baru kita cari pemuda itu untuk membalas perbuatannya hari ini!!"
Kendati tak suka mendengar usul itu, Rimbun
Gandeng nampak mengangguk-anggukkan kepala.
Karena sedikit banyaknya, dia membenarkan juga
apa yang dikatakan Ringkih Gandeng.
Di lain pihak, Hampar Gandeng yang diam saja di
saat kedua sahabatnya berbeda pendapat,
mendadak mendesis, "Aku baru ingat! Ya, ya... aku baru ingat!!"
"Apa yang kau ingat, hah"!" sentak Rimbun Gandeng pertanda dia masih jengkel dan
coba alihkan kejengkelannya pada Hampar Gandeng.
Hampar Gandeng melotot sebelum berkata,
"Pemuda itu... mengenakan pakaian hijau pupus dan... di lehernya melilit kain
bercorak catur.
Sungguh bodoh! Dia adalah Pendekar Slebor!!"
Melengak kepala Rimbun Gandeng dan Ringkih
Gandeng. Untuk sesaat tak ada yang keluarkan
Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara. Nampak kalau masing-masing orang
memaklumi kekalahan mereka. Akan tetapi, Ringkih
Gandeng sudah bersuara, "Kini kita tahu siapa sasaran kita! Pendekar Slebor!
Baik! Kita urungkan niat menuju ke Pulau Hitam! Kelak, kita akan
muncul lagi untuk menuntut balas!!"
Tiga kejapan mata berikutnya, dua ekor kuda itu
sudah membawa para penunggangnya. Hampar
Gandeng yang bertubuh gemuk, menunggang kuda
Ringkih Gandeng. Sementara si pemiliknya, harus
rela membonceng di kuda Rimbun Gandeng.
Mereka masih beruntung, karena totokan yang
dilakukan Andika adalah totokan yang akan terbuka dengan sendirinya bila
melewati waktu yang
ditentukan. Kalau tidak, ya terpaksa deh mereka
jalan kaki ke utara (Nyaho, nyaho lo!)
*** 9 Malam pun akhirnya datang dengan rangkaikan
kegelapan. Udara yang sejak pagi tadi cerah dihiasi
awan putih, kali ini kepekatan malam ditingkahi
dengan gumpalan awan hitam yang berusaha
halangi sinar rembulan.
Di tempat yang agak lapang itu, masing-masing
orang tak ada yang buka suara. Sepasang mata Ki
Pasu Suruan memandang tak berkedip pada Sangga
Rantek dan Iblis Rambut Emas, yang membalas
tajam. Sementara itu, Nyi Genggong yang keinginannya
untuk meninggalkan tempat itu terhalang, langsung keluarkan bentakan, "Sungguh
sangat memiliki nyali orang yang berani menyerangku barusan!
Katakan, siapa orang yang bertingkah bodoh dan
bersiap untuk kubuntungi kedua tangannya!!"
Sangga Rantek yang tadi lepaskan serangan
menahan perginya Nyi Genggong mendengus dingin.
Dia menatap tajam tanpa kedip. Kemudian katanya
setelah mengenali siapa adanya orang, "Nyi
Genggong!! Tak kusangka kau akan muncul kembali
di dunia ramai! Apakah kau sudah bosan
mengasingkan diri"! Atau... kau terlalu dibuai oleh keinginan untuk menggapai
sang rembulan" Terlalu
bodoh bila kau melakukannya!!"
"Tutup mulutmu!!" hardik Nyi Genggong dengan telunjuk menuding. "Aku hanya
mengatakan sekali lagi, siapa orangnya yang tadi menyerangku!!"
Iblis Rambut Emas yang telah lama mengenal
nama Nyi Genggong namun baru kali ini bertemu
dengan nenek itu, diam-diam berpikir, "Hmmm...
bila Nyi Genggong membunuh Sangga Rantek,
urusanku dengan Pendekar Slebor bisa jadi
berantakan. Paling tidak, Sangga Rantek tak boleh mati dulu, kecuali di
tanganku!!"
Kemudian katanya, "Aku yang tadi lakukan
serangan! Sekarang katakan, apa yang akan kau
lakukan, hah"!!"
Seketika Nyi Genggong arahkan pandangannya
pada perempuan kerudung merah. Begitu dilihatnya
rambut si perempuan berwarna keemasan, terlihat
bibir Nyi Genggong pentangkan seringaian, "Iblis Rambut Emas! Lama telah
kudengar julukan
busukmu itu! Dan sungguh kau memiliki nyali tinggi berani menyerangku!!"
Sementara itu Sangga Rantek berkata dalam hati,
"Apa yang diinginkan perempuan berkerudung
merah ini dengan mengatakan dialah yang lakukan
serangan?"
Mendengar ucapan Nyi Genggong, Iblis Rambut
Emas menyeringai. Seraya maju satu tindak ke
muka dia berucap mengejek, "Tadi kukatakan, apa maumu, hah"!"
"Jahanam! Kurobek mulutmu, Keparaattt!!"
"Tunggu!!" seru Ki Pasu Suruan menahan Nyi Genggong.
Seketika si nenek berpakaian hitam compangcamping ini palingkan kepala disertai makian, "Apa maksud mu dengan 'tunggu',
hah"!"
Ki Pasu Suruan tak hiraukan makian si nenek.
Dia justru berkata pada Sangga Rantek dan Iblis
Rambut Emas, "Kita dikenal sebagai orang-orang golongan hitam! Itu pun yang
mengatakan orang-orang yang merasa sok suci, orang-orang munafik
yang iri dengan sepak terjang yang kita lakukan! Tak seharusnya kita saling
bertikai sekarang! Mengapa kita tidak bergabung untuk mewujudkan
keinginan"!"
"Mulutmu penuh bisa, Pasu Suruan!" sentak Sangga Rantek menyeringai lebar.
"Sungguh mengherankan melihatmu tak bersama Pancen
Dadap!" "Dia telah tewas di tangan Pendekar Slebor!!"
Mendengar julukan itu disebutkan, Sangga
Rantek berpandangan dengan Iblis Rambut Emas. Ki
Pasu Suruan sendiri diam-diam membatin,
"Hmmm... mereka nampak terkejut tetapi pancaran mata masing-masing orang penuh
dendam. Aku yakin, kalau mereka punya urusan dengan Pendekar
Slebor." Selagi tak ada yang buka mulut, Ki Pasu Suruan
yang memikirkan satu jalan terbaik sudah berkata,
"Aku memiliki dendam setinggi langit pada pendekar yang banyak dipuji orang!
Ingin kulihat pemuda itu berkalang tanah setelah mengalami siksaan yang
sangat pedih! Kuakui, semula urusanku untuk
mendapatkan dua potongan pedang untuk
memecahkan rahasia apa yang ada di Pulau hitam!
Namun... Pendekar Slebor telah membunuh Ki
Pancen Dadap! Dan dia harus mati di tanganku!!
Peduli setan apakah kalian mau bergabung atau
tidak denganku untuk membunuh Pendekar Slebor!
Peduli setan pula bila kalian menganggap kami
sebagai lawan. karena... sudah tentu aku dan Nyi
Genggong tak akan pernah tinggal diam!!"
Kata-kata Ki Pasu Suruan yang diberikan
penekanan cukup keras, membuat Sangga Rantek
dan Iblis Rambut Emas terdiam. Masing-masing
orang merasakan ada satu masukan lain yang dapat
mereka pergunakan.
Sangga Rantek berpikir, "Setelah Pendekar Slebor
terbunuh, berarti potongan pedang itu akan
diperebutkan. Tetapi Iblis Rambut Emas dan Ki Pasu Suruan sudah berjanji tidak
menginginkan benda
itu. Kendati aku tak dapat mempercayainya, tetapi boleh dicoba. Hanya saja yang
masih menjadi pikiranku, adalah rahasia di Pulau Hitam. Bisa jadi mereka memaksa untuk tetap
menuju ke Pulau
Hitam." Iblis Rambut Emas berpikir, "Membunuh
Pendekar Slebor juga keinginanku. Dia telah
mempermalukanku. Tetapi mendapatkan potongan
pedang itu pun kuinginkan. Sampai saat ini Sangga Rantek tidak tahu kalau aku
mengetahui potongan
Pedang Buntung yang merupakan pedang bagian
hulu ada padanya. Dan aku yakin, Ki Pasu Suruan
dan Nyi Genggong tak mengetahui hal itu. Bagus!
Dengan cara bergabung, kekuatan akan bertambah.
Membunuh Pendekar Slebor akan lebih mudah. Bila
Pendekar Slebor telah mampus, berarti aku tinggal membunuh Sangga Rantek.
Mengenai Pasu Suruan,
sama sekali tak kupercayai ucapannya. Karena
orang itu dikenal berotak licik. Tetapi aku yakin, dapat menaklukkannya...."
Karena tak ada yang membuka mulut, Ki Pasu
Suruan menganggap tak ada yang menyetujui
usulnya. Dia berkata pada Nyi Genggong, "Kita berangkat sekarang!"
"Tunggu! Perempuan berkerudung merah itu
harus membayar perbuatannya!!"
"Tak usah kau pikirkan soal itu! Mereka orang-orang yang telah menganggap diri
masing-masing memiliki kesaktian tak terkalahkan! Padahal kosong sama sekali! Dan tak sulit
membunuh keduanya!!"
Sementara wajah Sangga Rantek dan Iblis
Rambut Emas mengkelap mendengar ucapan Ki
Pasu Suruan, Nyi Genggong berkata, "Bagaimana dengan gadis itu?"
Sejenak Ki Pasu Suruan menatap Gadis Kayangan
yang masih pingsan. Ada rasa jengkel karena dia
gagal untuk mempermalukan si gadis.
Lalu katanya yakin, "Kita tinggal saja!"
"Tunggu!!" terdengar suara Iblis Rambut Emas.
Perempuan yang merasa akan mendapatkan
keuntungan bila Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan
bergabung dengannya, sudah tentu tak akan
melewatkan kesempatan di depan mala.
Ki Pasu Suruan hentikan gerakannya dan putar
tubuh. "Kau tetap ingin bertarung dengan kami, hah"!"
sengalnya keras. Padahal dia tahu, kalau Iblis
Rambut Emas telah tertarik dengan usulnya.
Terlihat jelas dari pancaran kedua mata perempuan itu.
Iblis Rambut Emas mendengus gusar. "Lama
kelamaan aku tak bisa menahan diri lagi untuk
membunuh manusia celaka ini!" katanya dalam hati.
Lalu berujar, "Usul yang kau berikan memang
sangat menarik. Terus terang, tanpa bergabung
dengan kalian berdua, Pendekar Slebor akan tetap
mampus di tangan kami!" Saat berkata 'kami', Iblis Rambut Emas melirik Sangga
Rantek, sementara
yang dilirik cuma mendengus. Kemudian lanjutnya,
"Tetapi masing-masing orang di antara kita memiliki dendam pada Pendekar Slebor
dan berkeinginan
melihat pemuda itu mam...."
"Siapa bilang aku mendendam pada Pendekar
Slebor?" putus Nyi Genggong. Dari wajahnya yang menekuk, jelas dia masih gusar
dengan Iblis Rambut Emas yang disangkanya telah menyerang-nya tadi.
"Jangan mencoba memancing...."
"Itu bukan urusanku!" putus Iblis Rambut Emas membalas memotong kata-kata Nyi
Genggong. "Yang pasti, semua di antara kita menginginkan tiba di
Pulau Hitam untuk mengetahui rahasia apa yang
terpendam di sana. Dengan bersama-sama,
kekuatan kita memang akan bertambah. Hingga
paling tidak, kita dapat menguasai Pulau Hitam.
Yang menjadi masalah adalah, Pendekar Slebor.
Tetapi sekarang, pemuda itu bukanlah masalah
yang harus dipikirkan lebih jauh. Aku setuju dengan usul Ki Pasu Suruan untuk
bergabung! Sangga
Rantek apa pendapatmu?"
Lelaki berhidung bengkok itu terdiam. Nampak
sekali kalau dia sedang mempertimbangkan segala
sesuatu. Kejap kemudian terlihat kepalanya
mengangguk-angguk.
"Memang tak ada salahnya kita mencoba! Dengan kata lain, kita jangan lagi dihina
dan dianggap remeh oleh orang-orang munafik yang mengaku
berada di jalan lurus! Sudah tiba saatnya kita unjuk gigi untuk menghadapi
masalah ini!"
Mengembang senyum Ki Pasu Suruan melihat
kedua orang itu menyetujui usulnya.
"Kata sepakat sudah dicapai! Nyi Genggong...
apakah kau menyetujui juga usul ini?"
Nyi Genggong tak segera menjawab. Pandangannya masih tajam pada Iblis Rambut Emas,
"Jahanam keparat! Senyuman di bibir perempuan celaka itu membuatku tak sabar
untuk segera mengepruk kepalanya! Tetapi... apa boleh buat,
untuk saat ini kubiarkan dia lakukan sikap seperti itu! Ingin kulihat apa yang
bisa dilakukannya
bersama Sangga Rantek bila bertemu dengan
Pendekar Slebor!!"
Habis membatin begitu, si nenek berpakaian
hitam compang-camping ini menganggukkan kepala.
"Aku menyetujui usul itu!" Meledak tawa Ki Pasu Suruan mengetahui semua yang
direncanakannya
mencapai kata sepakat. Terbayang sudah kematian
Pendekar Slebor di benaknya. Dan dia sungguhsungguh tidak sabar untuk melihat pemuda itu
berkalang tanah.
"Pancen Dadap... tak lama lagi seluruh
dendammu akan terbalaskan..." desisnya dalam hati.
Kemudian katanya, "Bila memang kesepakatan
sudah dicapai, sebaiknya kita berangkat melacak
pemuda keparat itu!!"
"Tunggu!" desis Sangga Rantek. "Kita tetap seperti semula! Aku dengan Iblis
Rambut Emas, kau dengan
perempuan tua bau tanah itu! Sehingga...."
"Tutup mulutmu!!" menghardik Nyi Genggong mendengar ucapan orang. Tangan
kanannya mengepal dan agak bergetar tanda dia murka sekali.
Ki Pasu Suruan segera menenangkannya
sementara di depan Sangga Rantek menyeringai
lebar dan melanjutkan kata, "Kesepakatan yang telah kita capai, hanyalah untuk
membunuh Pendekar Slebor! Sementara urusan lain tetap kita pegang masing-masing! Iblis
Rambut Emas... kita
berangkat sekarang!!"
Habis kata-katanya, lelaki berpakaian serba
hitam itu sudah berlari melalui jalan semula menuju ke barat daya. Dia tetap
berusaha untuk melacak
Pulau Hitam. Iblis Rambut Emas hanya menyeringai
pada Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan, sebelum
menyusul perginya Sangga Rantek. Perempuan
berambut keemasan yang ditutupi kerudung merah
ini tetap berkeyakinan, kalau Sangga Rantek sedang mencoba menuju ke Pulau
Hitam. Sepeninggal kedua orang itu, Nyi Genggong
menggeram dingin, "Jahanam keparat! Kelak kalian akan mendapatkan ganjaran dari
sikap kalian saat
ini!!" Ki Pasu Suruan yang tak ingin menambah
kemarahan Nyi Genggong, cuma tersenyum. Lalu
Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata, "Lupakan segala urusan amarah! Tujuan kita tetap membunuh Pendekar
Slebor! Nyi Genggong... kita berangkat sekarang! Menyusul
mereka...."
Nyi Genggong hanya mendengus dan mengikuti
langkah Ki Pasu Suruan yang bergerak ke arah
barat daya. *** Lima tarikan napas sepeninggal orang-orang itu,
muncul seorang lelaki tua agak membungkuk. Lelaki berwajah arif ini menggelenggelengkan kepala
begitu melihat sosok Gadis Kayangan yang masih
pingsan. "Hmmm... dari kejauhan sudah kudengar rencana busuk manusia-manusia durjana itu.
Sasaran mereka adalah Pendekar Slebor. Ah, sungguh
malang nasib pemuda yang kudengar julukannya
akhir-akhir ini bertambah santer. Pulau Hitam... ya, ya... Pulau Hitam. Rupanya
masih ada orang-orang
yang ingin mengetahui rahasia apa yang tersimpan
di Pulau Hitam...."
Lelaki berpakaian panjang warna jingga ini
mengasap jenggotnya yang memutih. Saat mengusap
jenggotnya, terlihat di pergelangan tangan kanannya terdapat gelang-gelang baja
hingga siku. Begitu pula dengan di tangan kirinya.
Hati-hati didekatinya Gadis Kayangan. Hanya
sekali melihat, si kakek berwajah arif ini tahu kalau gadis itu dalam keadaan
tertotok. "Malang nasib gadis ini...," desisnya teduh. Lalu nampak dia meniup tiga kali.
Dan terlihat tiga kali tubuh Gadis Kayangan terjingkat.
Luar biasa! Rupanya si kakek melepaskan
totokan yang dilakukan Nyi Genggong pada Gadis
Kayangan hanya dengan cara meniup.
Bahkan lebih mengagumkan lagi, karena begitu
tangan kanannya digerakkan ke atas, tubuh Gadis
Kayangan perlahan-lahan terangkat naik yang
segera ditangkap dan dibopongnya.
"Pulau Hitam... mereka termasuk orang-orang
yang masih menginginkan untuk mengetahui
rahasia Pulau Hitam...."
Habis desisannya, si kakek berwajah arif ini
segera melangkah meninggalkan tempat itu ke arah
timur laut. Baru lima tindak orang tua ini
melangkah, mendadak saja sosoknya telah lenyap
dari pandangan!
*** 10 Pagi kembali datang dan tebarkan udara sejuk ke
segenap persada. Sang surya perlahan-lahan mulai
muncul kepermukaan seraya lepaskan panah
merahnya yang masih terasa suam-suam kuku.
Hamparan langit cukup cerah. Sisa-sisa burung
yang masih mengangkasa, seolah lukisan yang hiasi persada langit.
Belum lagi butiran embun mengering, belum lagi
burung-burung beterbangan, mendadak saja jalan
setapak yang dipenuhi ranggasan semak belukar itu dipecahkan oleh suara kuda
dipacu cepat. Dari kejauhan nampak seekor kuda hitam gagah
berlari kencang. Dari setiap jalan yang dilaluinya, nampak kepulan debu
mengudara. Penunggangnya
yang mengenakan pakaian hijau pupus terlihat
terus berucap, agak konyol, "Ayo, kuda! Jangan mau enaknya saja! Kita terus
cabut lebih jauh dari
tempat ini!!"
Melewati jalan setapak itu, si penunggang kuda
yang tak lain Pendekar Slebor, terus memacu kuda
milik Hampar Gandeng yang diambilnya. Dengan
cara menunggang kuda, tenaganya lebih banyak
tersimpan ketimbang harus berlari.
Di sebuah sungai yang mengalirkan air jernih,
anak muda urakan itu hentikan lari kuda
tunggangannya, yang seketika meringkik dengan
kedua kaki terangkat.
Bersamaan dengan itu, anak muda ini telah
melompat dan hinggap di atas tanah. Pandangannya
diperhatikan ke sekelilingnya yang sepi. Beberapa
ekor kelinci langsung masuk kembali ke sarangnya
begitu mendengar derap langkah kuda. Beberapa
helai daun berguguran dan jatuh ke sungai yang
secara perlahan namun pasti mau tak mau
mengikuti aliran sungai itu.
"Hmmm... belum juga kutemukan lembah yang
tertera pada potongan pedang milik Gadis Kayangan.
Memang tak mudah menuju ke Pulau Hitam hanya
dengan pedoman sepihak. Jalan satu-satunya
memang harus mendapatkan potongan Pedang
Buntung yang dipegang Sangga Rantek. Tetapi,
manusia itu pun tak kuketahui berada di mana. Ih!
Sebenarnya ada apa sih di Pulau Hitam" Semakin
dipikirkan, semakin butek otakku ini!!"
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. Sembari berpikir, dituntunnya kuda hitam itu untuk menikmati rerumputan
yang berada di sana.
Kembali diedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Tetap sunyi dan tak ada tanda-tanda orang lain di sekitar sana kecuali dirinya
dan... ya, bersama si kuda tuh!
"Pulau Hitam.... Dari namanya saja sudah
menampakkan kengerian yang dalam. Dan
tempatnya hingga saat ini tak juga kuketahui.
Benar-benar kutu monyet! Apa yang sebenarnya
menjadi rahasia Pulau Hitam" Huh! Nasib Gadis
Kayangan hingga saat ini masih membingungkanku!
Siapa orang yang telah mencelakakannya"! Dan hal
lain yang masih harus kupikirkan, bagai mana bila dua orang yang mengaku
Panembahan Agung
berada di sana" Sudah pasti sih mereka akan
berlangsung. Tetapi kan aku ingin tahu siapa yang asli dan siapa yang palsu?"
Kembali anak muda ini garuk-garuk kepalanya.
"Menurut dugaanku, yang palsu adalah Dewa
Lautan Timur. Tetapi yang mana orangnya" Apakah
yang mendapatkan pecahan genting bertuliskan
huruf 'PS' agak kehitaman atau yang satunya lagi"
Mati kutu aku kali ini!!"
Mendumal tak karuan si anak muda. Otaknya
terus diperas untuk memikirkan masalah demi
masalah yang terjadi. Bahkan tak dihiraukannya
perutnya yang sudah keroncongan dan tubuh yang
agak lengket. Karena kalau dia mencari makanan atau mandi
dulu, akan banyak waktu yang terbuang. Padahal
dia harus memburu waktu untuk menuntaskan
semua persoalan yang ada.
"Lembah... ya, lembah itulah yang harus kucari.
Tetapi sudah tentu sangat sulit bila tak kudapatkan Pedang Buntung pada Sangga
Rantek. Tetapi... apa
yang tertera dalam potongan pedang di tangan Gadis Kayangan, memang menuju ke
arah barat. Tengah
malam tadi, yang kujumpai hanyalah sebuah air
terjun belaka. Kupikir sebuah lembah! Kampret
mati!!" Memang, pada tengah malam tadi, Andika telah
tiba di air terjun yang merupakan patokan pertama menuju ke Pulau Hitam. Dan
anak muda ini sekarang sudah berada pada arah barat daya dari
air terjun itu. Bila saja dia tahu kalau air terjun yang ditemuinya adalah tanda
pertama menuju ke
Pulau Hitam, sudah tentu dia tak akan sebingung
ini. Kemudian katanya lagi, "Sudah, ah! Kalau kupikir kan terus menerus di
tempat ini, semakin banyak
waktu ku yang terbuang! Lebih baik kulanjutkan
perjalanan."
Lalu dihampirinya kuda hitam yang lagi asyik
merumput. Ditepuknya punggung kuda itu dengan
lembut. "Sudah kenyang belum. Da" Kalau sudah, kita
cabut! Kalau belum, maaf banget nih, kita juga
harus cabut sekarang!!"
Ya sudah tentu si kuda tidak mengerti apa yang
diucapkan oleh Andika. Dia tetap saja asyik
merumput. "E, busyet! Perutmu ternyata perut karung juga, ya" Sudahlah! Nanti kau boleh
makan sepuas-puasmu! Kita teruskan perjalanan sekarang!!"
Lalu dengan enaknya dia nyemplak kembali di
punggung kuda hitam itu. Setelah diarahkan ke
tujuan yang diinginkannya, anak muda ini segera
menggebrak kudanya.
Tepat matahari di atas kepala, anak muda ini
melihat dua buah bukit dari kejauhan. Dan saat ini dia sedang menjajaki hamparan
padang rumput yang luas. "Kutu monyet! Kenapa bukan lembah yang
kuharapkan yang dapat kutemui! Semalam air
terjun, sekarang dua buah bukit! Busyet! Kok
berlawanan banget ya?" desisnya seraya menggebrak terus kudanya menuju ke bukit
itu. Sejarak lima puluh tombak, Andika dapat melihat
keangkeran kedua bukit itu. Saat ini matahari
sedang galak-galaknya bersinar. Dari kedua bukit
itu, seolah terlihat cahaya yang sangat terang,
rupanya bukit itu memantulkan sinar matahari.
Sejarak sepuluh tombak, barulah Andika melihat
lebih jelas keadaan bukit itu. Ternyata bukit
kapur yang dipenuhi dengan batu-batu terjal.
"Pantas... seperti menyala," desisnya seraya hentikan lari kudanya.
Diperhatikan dengan seksama apa yang ada di
hadapannya. Cukup lama pandangannya tetap
mengarah pada bukit itu sebelum terlihat
mengangguk-anggukkan kepala.
"Pertama air terjun... kedua dua buah bukit
kapur.... Ih! Kok tempat-tempat semacam ini yang
kutemui ya" Apa tidak ada tempat yang banyak
ditumbuhi pohon buah biar perutku agak keganjal
sedikit?" Lalu perlahan-lahan si Urakan ini turun dari
kuda tunggangannya. Sambil melangkah ke depan,
diperhatikan kedua bukit itu lekat-lekat.
"Dari kejauhan... nampak seperti bukit kembar.
Tetapi setelah dekat, wah! Apanya yang kembar?"
Untuk beberapa saat anak muda ini masih
berdiam di atas tanah berkapur yang dipijaknya.
Dan semakin lama nampak keningnya berkerut.
"Hmmm... apakah ini memang sebuah kebetulan"
Air terjun... dua bukit kapur... atau...."
Sengaja memutus kata hatinya sendiri, Andika
terdiam lagi. Nampak kalau dia berpikir keras.
"Bila memang ini hanya kebetulan tak jadi
masalah. Tetapi bagaimana bila tidak" Anggaplah air terjun dan dua buah bukit
kapur ini sebagai
petunjuk menuju ke Pulau Hitam. Dan... ah,
menganggap seperti itu tidak enak, ah. Mungkin ini hanya kebetulan saja.
Sebaiknya aku berangkat saja sekarang."
Berbalik pemuda tampan berambut gondrong
acak-acakan ini. Namun baru tiga langkah,
mendadak kembali diputar tubuhnya menghadap ke
arah dua bukit kapur itu.
"Bagaimana bila ini memang sebuah petunjuk"
Petunjuk menuju ke Pulau Hitam. Hmmm...
sebaiknya ku anggap saja begitu."
Karena menganggap seperti itu, diingat-ingatnya
kembali apa yang tertera pada potongan pedang
yang dimiliki oleh Gadis Kayangan. Dan Andika
tidak dapat memastikan apakah potongan pedang
itu masih berada di tangan si gadis atau tidak.
"Dari apa yang kuketahui... pada pokoknya harus menuju ke arah barat sebelum
akhirnya ke selatan.
Pada potongan pedang di tangan Gadis Kayangan,
patokan yang pertama kali diketahui adalah sebuah lembah. Tetapi ku yakini harus
menuju ke barat
sebelum... ah! Tak salah! Air terjun dan dua bukit kapur ini bukankah sebuah
kebetulan. Ini memang
menjadi patokan. Tetapi, arah mana yang sekarang
harus kutempuh?"
Kembali Pendekar Slebor terdiam memikirkan
segala sesuatunya. Cukup lama dia terdiam sebelum akhirnya mendesah, "Sulit
kuketahui secara pasti.
Tetapi paling tidak, aku telah mendapatkan sedikit petunjuk yang berarti. Hanya
saja... masih kupikirkan nasib Gadis Kayangan. Di manakah dia
sekarang" Apa yang dialaminya" Lagi pula, siapa
orang di belakang Setan Cambuk Api yang sengaja
menahan langkahku?"
Garuk-garuk kepala sendiri si Urakan ini sebelum
melanjutkan, "Persoalan masa lalu Panembahan Agung dan Dewa Lautan Timur masih
belum terjawab. Sekarang aku bertambah yakin, kalau
Dewa Lautan Timur menyuruh tiga orang
berpakaian hitam gombrang untuk menjarah harta
milik Panembahan Agung, hanyalah pancingan
belaka. Mungkin untuk meyakinkan kalau
Panembahan Agung memang tinggal di
Pesanggrahan Bayu Api. Sementara dia sengaja
melakukan sesuatu yang dapat kupastikan, kalau
dia tengah mempersiapkan diri untuk menyamar
sebagai Panembahan Agung. Tetapi, yang manakah
Dewa Lautan Timur" Huh! Ingin sekali kulihat
seperti apa wajah aslinya!!"
Baru saja habis terdengar kata-kata Pendekar
Slebor, mendadak saja tawa keras menggema ke
seantero tempat. Beberapa bongkah batu kapur
bergulingan berdebam.
Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menyusul suara dingin, "Tak perlu bersusah
payah untuk mengenali adanya orang! Dengan
senang hati ku perlihatkan diriku padamu, Pendekar Slebor!!"
Belum habis seruan itu terdengar, mendadak
telah berdiri satu sosok tubuh tinggi bersorban
kuning.... SELESAI Segera menyusul:
TABIR PULAU HITAM
E-Book by Abu Keisel Pendekar Sakti Welas Asih 3 Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Ilmu Ulat Sutera 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama