Ceritasilat Novel Online

Geger Di Lembah Tengkorak 2

Pendekar Slebor Geger Di Lembah Tengkorak Bagian 2


tadi ramah. "Aku tidak punya nama...," jawab Peramal Sakti sekenanya.
"Apakah harus saya tulis Pendekar Tanpa
Nama?" usul penjaga itu.
"Terserah mau mulah! Asal jangan kau
tulis Kakek Tua Botak...."
Peramal Sakti langsung ngeloyor
memasuki pintu gerbang. Ia terus saja
mengelus kepalanya yang mengkilap
terkena cahaya matahari. Di dalam sudah
banyak sekali para tamu yang menempati
tempatnya masing-masing. Mereka dijamu
dengan makanan dan minuman sepuaspuasnya. Para tamu kelihatan gembira
sekali karena dijamu oleh pelayan-pelayan
cantik. Peramal Sakti terus bertanya-tanya dalam
hati, ada apakah gerangan" Ia yakin bahwa
malam nanti akan terjadi suatu kejadian
yang dahsyat di Lembah Tengkorak. Sebab
nanti malam tepat pada malam bulan
purnama! Peramal Sakti sudah punya
dugaan, namun tidak yakin dengan
dugaannya itu. Akhirnya kakek bertubuh
kerdil itu keluar lagi.
"Kenapa keluar lagi Tuan Pendekar?"
tanya penjaga tadi ramah.
"Tidak apa-apa... kepalaku jadi pusing
jika melihat perempuan-perempuan cantik
diganggu tangan-tangan jahil." jawab
Peramal Sakti. "Ah, bukankah itu jamuan dari kami agar
para tamu bergembira?"
"Tapi aku malah jadi pusing!"
"Kalau begitu masuk lagi saja, Tuan
Pendekar... kami sudah menyediakan
jamuan makan dan minum...," ujar penjaga
itu lagi. "Eh, ngomong-ngomong... siapa sih yang
sunatan" Apa ada sunatan massal di sini?"
tanya Peramal Sakti nyeleneh.
"Apakah Tuan Pendekar tidak tahu kalau
di sini akan diadakan sayembara untuk
memperebutkan Putri Kencana?"
"Wah, aku sendiri belum sempat kenalan
dengan Putri Lencana... siapa tadi?"
"Putri Kencana!"
"Maksudku yang itu!"
Sambil mengelus-elus kepalanya kakek
bertubuh kerdil itu berlalu. Para penjaga itu
hanya bisa geleng-geleng kepala melihat
ulah Peramal Sakti yang dirasa aneh.
Peramal Sakti berkelebat, Pendekar
Slebor yang sedang dicari-cari ternyata
tidak berada di dalam. Padahal kakek botak
itu yakin kalau Andika akan datang ke
Lembah Tengkorak.
*** 6 Seketika Andika menghentikan
langkahnya. Ia melihat Peramal Sakti
tengah termenung sendiri. Tatapan kakek
bertubuh kerdil itu tercurah ke langit. Ia
duduk di atas batu yang berada di bawah
pohon. "Eee, ketemu lagi...'," ucap Pendekar Slebor seraya mendekat.
Seruni yang saat itu menyertai Pendekar
Slebor ikutan mendekat.
Peramal Sakti melengos. Ia tidak mau
memperhatikan kehadiran pemuda
berpakaian hijau pupus itu.
"Wah, ngambek nih?" Andika
memandangi wajah yang cemberut itu.
"Apakah kau tidak bisa menghilangkan
kesukaanmu, yang suka mengganggu
orang?" tanya Peramal Sakti ketus.
Andika garuk-garuk kepala. Sableng juga
kakek ini! Pikirnya dalam hati.
"Kenapa kau kelihatan murung begitu,
Kek"'" tanya Andika tidak lagi berseloroh.
"Karena aku tidak bisa menjawab satu
pertanyaan yang keluar dari lubuk
hatiku...."
"Ah, kenapa kau tidak mau bertanya
padaku saja, Kek" Apa namaku tidak
kesohor sebagai Si Pintar dari Lembah
Kutukan?" Peramal Sakti menoleh. Dipandanginya
Andika yang cengar-cengir itu.
"Dari tampangmu memang tidak pantas
sebagai orang pintar. Tapi apa salahnya jika
aku mencoba...."
"Ngeledek, ya?"
Kendati pemuda urakan dari Lembah
Kutukan itu wajahnya masih tampak
nyengir, Peramal Sakti tidak
mempedulikannya. Kali ini ia ingin bicara
dengan serius. "Begini, Pendekar Slebor... aku sendiri
benar-benar tidak habis pikir. Malam nanti
adalah tepat malam bulan purnama.
Kenapa di Lembah Tengkorak justru
diadakan sayembara yang ramainya seperti
ada sunatan?"
"Ah, itu pertanda kiamat...," desis Andika.
"Kiamat yang mana maksudmu?" tanya
Peramal Sakti tak mengerti.
"Pokoknya ya kiamat...."
"Ngomongmu tidak jelas anak muda!"
"Sebaiknya kita segera ke sana saja dan
mencegah agar rencana mereka bisa kita
gagalkan...."
"Aku tidak mau ikut kalau kau tidak
mengatakan maksudnya kiamat itu...."
"Wah, meskipun sudah tua penyakit
ngambekmu belum juga hilang, Kek!"
Peramal Sakti dan Andika saling
berpandangan. Jelas bahwa kakek
bertubuh kerdil itu tidak mau lagi
bercanda. "Sayembara itu untuk memperebutkan
Putri Kencana. Padahal aku yakin
persembahan itu akan dilakukan malam
nanti," ucap Peramal Sakti.
Andika menoleh ke arah Seruni yang
sejak tadi cuma terdiam.
"Siapakah Putri Kencana itu?" tanya
Andika pada Seruni.
"Putri Kencana itu tidak ada! Menurutku
Putri Kencana adalah Nyai Pelet itu sendiri.
Setelah persembahan itu Nyai Pelet akan
tampak lebih muda dari usianya sendiri. Ia
akan terlihat seperti gadis belia meskipun
usianya sudah hampir seabad," Seruni
menjelaskan. "Berarti mereka diundang itu. hanya
untuk mengakui kehebatan Putri Kencana.
Pada nantinya semua pendekar itu akan
diajak bersekutu. Mungkin bagi yang tidak
mau akan dibinasakan di Lembah
Tengkorak. Jadi maksudku kiamat itu ya
yang begitu" Andika menimpali.
Peramal Sakti tertawa gembira karena
sekarang sudah paham dengan hal itu.
Saking girangnya ia sampai berjingkrak
jingkrak seperti anak kecil.
"Aku mengerti sekarang... sekarang aku
sudah mengerti...," ucap Peramal Sakti.
Andika dan Seruni segera bergegas untuk
pergi ke Lembah Tengkorak. Di bibir
mereka tersungging seulas senyum karena
kekonyolan Peramal Sakti.
"Hoeyy... tungguuu... aku jangan
ditinggal...," teriak Peramal Sakti seraya berlari menyusul.
Di Lembah Tengkorak, saat itu para tamu
sudah berkumpul. Mereka duduk
mengelilingi panggung yang berada persis di
tengah-tengah. Tidak lama lagi acara itu
pun akan segera dimulai. Hadirin yangtadinya sibuk sendiri-sendiri
hingga suasana menjadi gaduh, kini pada terdiam.
Datuk Subendo tampil ke atas panggung.
Sejenak seluruh perhatian tertuju ke
arahnya. Setelah berdiri di tengah
panggung, Datuk Subendo siap
menyampaikan kata sambutan.
"Hadirin yang kami hormati, kami minta
maaf sebesar-besarnya jika ada jamuan
kami yang kurang, atau sambutan kami
yang kurang sopan ini. Adalah kehormatan
besar bagi kami, karena para undangan
yang datang dalam sayembara ini adalah
para pendekar muda yang datang dari
delapan penjuru mata angin. Kami
mengucapkan selamat datang di Lembah
Tengkorak ini...," ucap Datuk Subendo.
Kemudian disusul dengan tepuk tangan
riuh para hadirin. Dalam memberikan
sambutan itu Datuk Subendo tidak mau
berpanjang lebar. Sekiranya dirasa cukup ia
segera turun dari panggung.
Menginjak acara berikutnya, beberapa
murid Lembah Tengkorak tampil ke atas
panggung untuk memperagakan
kebolehannya dalam hal ilmu silat. Untuk
sementara semua perhatian tertuju ke arah
panggung. "Kita harus tahu tempat yang akan
digunakan untuk melakukan persembahan.
Malam nanti kita harus bisa bertindak!"
ucap Andika. "Aku sudah tahu tempat itu!" jawab
Seruni bersemangat.
Peramal Sakti masih termangu-mangu
menyaksikan pertarungan yang
berlangsung di atas panggung. Andika jadi
jengkel sekali karena orang tua bertubuh
kerdil itu sejak tadi tidak memperhatikan
ucapannya. "Ayo Kek...." Pendekar Slebor segera
menarik tangan Peramal Sakti.
"Kita mau ke mana?" tanya Peramal Sakti.
"Menangkap tikus!" jawab Andika.
"Hii! Aku paling takut dengan tikus...."
"Kalau begitu menangkap cicak saja!"
"Aku tidak jadi ikut, kalian saja...."
Peramal Sakti hendak berbalik lagi.
Andika jadi jengkel juga dibuatnya.
Kemudian ia sadar dan segera merogoh
saku. "Kek, apakah kau masih mau membantah
perintahku?" ucap Andika seraya
menunjukkan bangkai cicak.
"Monyet buduk! Jauhkan benda itu
dariku...," pekik Peramal Sakti takut.
"Aku tidak akan membuangnya kalau kau
masih berulah."
"Baiklah, kali ini aku akan menuruti
kalian...."
Sambil tersenyum Pendekar Slebor
memasukkan cicak itu kembali ke sakunya
Terbelalak mata Peramal Sakti melihat ulah
Pendekar Slebor itu.
"Buat apa kau simpan benda jelek itu?"
tanyanya sewot.
"Untuk persediaan...."
Dengan petunjuk Seruni, mereka bisa
menemukan tempat-tempat rahasia. Lorong
bawah tanah itu dijaga ketat oleh para
penjaga. Untuk melakukan penyelidikan itu
mereka harus bisa mencuri kelengahan
penjaganya. "Menurutku tempat persembahan itu
berada di ruang bawah tanah," ucap Seruni
yakin. "Apakah kita akan masuk ke sana, Kek?"
tanya Andika pada Peramal Sakti
Orang tua bertubuh kerdil itu mengeluselus kepalanya yang botak. Tampaknya ia
sedang berpikir. Lalu orang tua itu
tersenyum sendiri.
"Berarti ada lubang di atas ruang bawah
tahah itu! Yang pasti ada lubang...,' ucap
Peramal Sakti. "Lubang apa maksudmu?" Andika tidak
mengerti. "Bagi para penganut ilmu hitam yang
sesat, rembulan adalah lambang dari
sumber kekuatan. Tidak mungkin mereka


Pendekar Slebor Geger Di Lembah Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan persembahan itu tanpa cahaya
rembulan...."
"Lalu?" kejar pemuda urakan dari Lembah Kutukan.
"Kalau saja benar yang dikatakan Seruni
bahwa tempat persembahan itu berada di
ruang bawah tanah, pasti ada lubang untuk
masuknya cahaya rembulan," ucap Peramal
Sakti yakin. "Aku pernah memeriksa seluruh tempat
ini. Tidak ada lubang yang kau maksudkan
itu. Orang Tua...," sangkal Seruni.
"Berarti persembahan itu tidak di ruang
bawah tanah!" Peramal Sakti ngotot.
Kekerasan Peramal Sakti itu membikin
Seruni jadi terdiam. Seruni tahu di mana
tempat itu karena cerita dari Singo
Menggolo yang dibunuh dengan cara
biadab. Singo Menggolo telah menceritakan
semua pada Seruni.
"Orang yang paling tahu tempat ini
adalah Seruni, Kek...." Andika berusaha
menengahi. , "Dan yang paling tahu tentang
persembahan itu adalah aku!" Peramal
Sakti ngeyel. "Aku yakin tidak ada lubang!" ucap
Seruni seraya mendesah.
"Ada!" Peramal Sakti tidak mau kalah.
"Yang ada hanyalah sebuah cerobong
yang tinggi," jelas Seruni.
"Cerobong itulah yang aku maksud
sebagai lubang! Cahaya rembulan akan bisa
masuk dari situ...."
"Aku yakin dugaanmu itu benar, Kek! Ayo
kita periksa cerobong itu...." Andika
memutuskan. *** Sementara itu di atas panggung tengah
berlangsung suatu pertunjukan menarik.
Para hadirin dipersilakan tampil ke atas
panggung sekadar untuk memamerkan
kelihaian ilmu silatnya. Acara itu dimaksud
hanya sebagai pemanasan saja. Sedang
untuk menentukan siapa pemenang yang
berhak tampil untuk menandingi ilmu silat
Putri Kencana akan ditentukan besok.
Dengan satu loncatan indah dan ringan
sekali, seseorang tampil ke atas panggung.
Dia adalah Tumenggung Larasmoyo, bekas
seorang pejabat kerajaan yang dipecat
karena membelot. Kini Tumenggung
Larasmoyo bergabung dengan para
perompak Alas Dempet di laut selatan.
"Hua ha ha ha...," Sesampainya di atas panggung Tumenggung Larasmoyo tertawa
keras sekali. Suara tawa yang aneh itu terasa
memekakkan telinga. Sebab tumenggung
berperut buncit itu tertawa sambil
mengerahkan segenap tenaga dalamnya.
Orang-prang di sekitar panggung yang ilmu
silatnya masih rendah segera menutupi
kedua telinganya.
"Aku Tumenggung Larasmoyo, izinkan
untuk menampilkan sebuah tontonan. Jika
ada yang ingin bermain-main denganku di
atas panggung, jangan malu-malu untuk
meloncat kemari," tantang Tumenggung
Larasmoyo pada segenap hadirin.
Tidak berselang lama seorang pemuda
tanggung meloncat ke atas panggung.
Kemudian pemuda tanggung itu menjura
pada Tumenggung Larasmoyo.
"Izinkanlah aku seorang pengelana dari
Padepokan Sindoro untuk meminta sedikit
pelajaran dari Tumenggung...," ucap
pemuda itu sopan.
"Dengan senang hati aku akan
memberimu pelajaran, Anak Muda!
Seranglah aku dalam dua puluh jurus, aku
hanya akan menghindar dan menangkis,
jika kamu berhasil memukulku maka aku
akan mengaku kalah," jawab Tumenggung
Larasmoyo karena merasa sudah bisa
mengukur kepandaian lawannya.
Pemuda tanggung itu terkejut sekali
karena merasa dirinya direndahkan.
Matanya menyala-nyala ketika memandangi
wajah Tumenggung Larasmoyo. Kebencian
langsung menggelegak di hati pemuda
tanggung itu melihat wajah Tumenggung
Larasmoyo yang sinis.
Tanpa menunggu lagi pemuda itu
langsung mengeluarkan jurus andalannya.
Tubuh pemuda itu bergerak memutar
sehingga terbentuk pusaran angin yang
cukup keras. Sejurus kemudian pemuda itu
telah menyongsong Tumenggung Larasmoyo
dengan sambaran-sambaran berbahaya!
Tapi seperti yang dikatakan Tumenggung
Larasmoyo tadi, ia tidak pernah berusaha
untuk membalas serangan pemuda
tanggung yang bertubi-tubi itu.
Tumenggung Larasmoyo hanya menangkis
sambil berkelit ke sana kemari.
Hadirin takjub melihat kehebatan
Tumenggung Larasmoyo itu. Menggebrak
dengan sepuluh jurus pertama, pemuda
tanggung dari Padepokan Sindoro itu tidak
mampu menyentuh tubuh Tumenggung
Larasmoyo seujung jari pun!
Pemuda tanggung itu merasa penasaran
sekali. Ia merasa telah dipermalukan.
Menginjak jurus kelima belas, pemuda
tanggung itu mengerahkan segenap tenaga
dalamnya. Ia akan menggunakannya
sewaktu Tumenggung Larasmoyo lengah.
Sampai pada jurus kedua puluh, pemuda
tanggung dari Padepokan Sindoro itu tetap
tidak bisa berbuat banyak. Karena itulah ia
melakukan sedikit kecurangan, tanpa
diduga pemuda tanggung itu melancarkan
satu pukulan jarak jauh.
Werrr! Tamparan angin keras yang panas itu
melanda ke tubuh Tumenggung Larasmoyo.
Tapi Tumenggung Larasmoyo yang sudah
bisa menduga hal itu sebelumnya
melakukan balasan yang lebih dahsyat!
Ketika ia menghentakkan kedua tangannya,
sinar merah bagai menyala api yang
berpijar melesat menyongsong serangan itu!
Gluarr! Terjadi ledakan hebat dan menimbulkan
sedikit guncangan. Para hadirin jadi
terbeliak melihat pemuda tanggung dari
Padepokan Sindoro itu terlempar jauh ke
belakang. Ia terlempar jauh sampai ke luar
panggung. Pemuda tanggung itu tidak bisa
bergerak gerak lagi karena pingsan akibat
mengalami luka dalam yang serius.
Sejenak suasana menjadi hening.
Kehebatan Tumenggung Larasmoyo seakan
telah membungkam mereka semua.
Keheningan itu tidak berlangsung lama,
tidak lama kemudian sebuah bayangan
berkelebat. Kini sosok tubuh kurus dengan
rambut panjang yang sudah pada memutih
berdiri persis di hadapan Tumenggung
Larasmoyo. Kedua mata kakek kurus itu
sepertinya tidak pernah terbuka. Dialah
Pertapa Sesat dari Gunung Semeru!
"Ah, rupanya kau pun ingin bermainmain denganku, Pertapa Sesat...," ucap
Tumenggung Larasmoyo sambil terkekeh.
"Aku hanya ingin menjajal sampai di
mana perkembanganmu selama ini," ucap
Pertapa Sesat dingin.
"Tentu ini merupakan suatu kehormatan
buatku, Pertapa Sesat. Tapi perlu aku
ingatkan, sekarang ini kita hanya mainmain. Sebab ketentuan untuk mendapatkan
Putri Kencana itu akan dilakukan besok!"
"Terserah kalau kamu menganggapnya
main-main...."
"Karena itulah kau boleh menyerangku
dalam sepuluh jurus. Kalau kau berhasil
memukulku maka aku akan turun dari
panggung ini."
"Baiklah...." Pertapa Sesat segera
mengatur posisinya. "Awas serangan!"
Kehebatan Tumenggung Larasmoyo dalam
menghindari setiap serangan telah
membuat puluhan mata terbeliak takjub!
Ilmu meringankan tubuhnya benar-benar
telah mampu mencapai tingkat
kesempurnaan. Pertapa Sesat terus saja menggenjot
tenaga dalamnya. Ia penasaran sekali
karena serangannya selalu mengenai
tempat kosong. Pertapa Sesat sudah
berusaha mengubah siasat yang
menyerangnya. Kendati demikian, ia
memang harus mengakui kehebatan
Tumenggung Larasmoyo.
*** 7 Tumenggung Larasmoyo berdiri dengan
angkuhnya. Pertapa Sesat baru saja turun
dari panggung. Lelaki berperut buncit itu
mengitarkan pandangannya, ia siap
menghadapi lawan yang penasaran dengan
kehebatannya. Tiba-tiba.... Wwuuusss! Wwuuusss! Wwuuusss! Angin yang keras sekali bertiup ke arah
panggung. Saat itu datang seorang kakek
berpakaian serba putih melayang ke atas
panggung. Di tangannya tergenggam
sebatang tongkat kayu. Kakek yang
wajahnya dipenuhi dengan kerut-keriput itu
menjejakkan kedua kakinya persis di
hadapan Tumenggung Larasmoyo.
Tumenggung Larasmoyo terkejut bukan
main melihat kehadiran orang tua itu.
Keangkuhan yang ditunjukkannya tadi
seketika lenyap. Kini berubah menjadi
kekhawatiran yang menyelimuti
Tumenggung Larasmoyo.
"Eyang Wisanggeni"!" pekik Tumenggung Larasmoyo seakan tidak percaya.
"Rupanya kau belum melupakan aku,
Larasmoyo...," jawab Eyang Wisanggeni
dingin. "Apakah kau ingin mengikuti sayembara
ini, Eyang?"
"Ha ha ha ha... rasanya aku sudah terlalu
tua untuk itu. Aku yakin kau pasti tahu
maksud kedatanganku ke sini...." Eyang
Wisanggeni mengelus-elus jenggotnya yang
sudah memutih. "Sayembara ini akan dimulai besok, di
sini aku hanya ingin main-main...,"
Tumenggung Larasmoyo sengaja mengulur
waktu. "Aku sudah terlalu tua untuk main-main,
Larasmoyo...." Eyang Wisanggeni terdiam
sejenak. "Tidak ada lagi permainan yang
lebih menarik buatku selain mencabut
nyawamu...."
Seketika memucat paras Tumenggung
Larasmoyo. Ia sudah bisa merasakan
gelagat yang tidak baik dengan kedatangan
Eyang Wisanggeni itu. Bertahun-tahun
Tumenggung Larasmoyo menghindari
pertemuan dengan Eyang Wisanggeni yang
bersumpah untuk membunuhnya karena
Tumenggung Larasmoyo membelot dari
kerajaan. "Apakah Eyang tidak mau menghormati
Penguasa Lembah Tengkorak yang punya
hajat besar ini?"
"Justru mereka yang harus menghormati
kita sebagai tamu. Mereka pasti bersedia
memberi kesempatan kita untuk
menyelesaikan urusan pribadi."
Tumenggung Larasmoyo semakin keder
dibuatnya. Tapi ia memang tidak
mempunyai pilihan lain. Ia harus


Pendekar Slebor Geger Di Lembah Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempertahankan nyawanya sendiri.
"Hiaaaatt!"
Disertai dengan satu teriakan,
Tumenggung Larasmoyo menggempur.
Eyang Wisanggeni berkelit dengan cara
memutar tubuhnya.
Dukk! Kedua tangan Tumenggung Larasmoyo
beradu dengan telapak tangan Eyang
Wisanggeni. Hampir tidak bisa dipercaya
karena akibat beradunya dua tenaga sakti
itu membuat Tumenggung Larasmoyo
terhuyung-huyung ke belakang. Sementara
Eyang Wisanggeni tidak bergeming sedikit
pun! "Aku ingin kau bisa menunjukkan
kehebatanmu. Biar orang-orang itu kagum
melihat kelihaianmu...," ejek Eyang
Wisanggeni. Memerah paras Tumenggung Larasmoyo
mendengarnya. Ia berusaha menguasai
posisinya kembali. Akibatnya benturan
keras tadi membikin dada Tumenggung
Larasmoyo terasa sesak.
"Sudah terlalu banyak dosa-dosa yang
telah kau timbun Larasmoyo, karena itu
kau harus siap untuk menebusnya dengan
kematian," ucap Eyang Wisanggeni bukan
sekadar gertakan.
Tumenggung Larasmoyo berusaha untuk
melipatgandakan serangannya. Ia sadar
kalau Eyang Wisanggeni ilmunya ada
beberapa tingkat di atasnya. Kalaupun ia
harus mati, lawannya juga harus terluka.
"Hiaaatt!"
Tumenggung Larasmoyo kembali
berteriak. Sejurus dengan itu ia sudah kembali
menerjang. Eyang Wisanggeni yang sejak
tadi cuma terdiam itu menjejakkan kedua
kakinya ke tanah. Kemudian tubuh orang
tua itu melesat tinggi ke udara. Kali ini
serangan Tumenggung Larasmoyo hanya
lewat dengan begitu saja.
Begitu kedua kakinya sudah menjejak ke
tanah lagi, Eyang Wisanggeni menghimpun
tenaga dalamnya dengan cara memadukan
telapak tangannya di depan dada. Dari
kedua telapak tangan itu berkilauan warna
biru dan berkilat-kilat. Eyang Wisanggeni
siap meluncurkan pukulan 'Buana Biru'
yang pernah menggemparkan dunia
persilatan itu!
Tumenggung Larasmoyo kaget bukan
main. Ia sadar kalau lawannya sudah tidak
main-main lagi. Karena itu Tumenggung
Larasmoyo tidak ada pilihan lain selain
menandingi dengan ajian "Sosro Lebur'.
Kemudian Tumenggung Larasmoyo segera
menjejakkan kedua kakinya ke tanah. Ia
terpejam dengan sekujur tubuh tergetar
kaget. Sinar berwarna putih keperakan melesat
dari telapak tangan Tumenggung
Larasmoyo. Sinar keperakan itu terus saja
menderu ke tubuh Eyang Wisanggeni. Tapi
sikap orang tua itu tampak tenang sekali.
Eyang Wisanggeni tetap melancarkan
pukulan 'Buana Biru'!
Semua mata terbeliak ketika sinar putih
keperakan itu bagai ditelan oleh sinar biru
berkilat yang bentuknya seperti bola api itu.
Tiga bola api berwarna biru pijar menderu
ke tubuh Tumenggung Larasmoyo disertai
dengan suara gemuruh susul-menyusul !
Tumenggung Larasmoyo wajahnya
memucat dan matanya melotot kaget.
Deeeess! Tumenggung Larasmoyo terlempar tujuh
tombak. Lalu terdengar suara bagaikan
pohon tumbang. Tumenggung Larasmoyo
tewas dengan mata mendelik dan tubuh
mengalami luka terbakar!
Eyang Wisanggeni memandangi kematian
Tumenggung Larasmoyo dengan tatapan
dingin. Kemudian tubuhnya berkelebat
begitu cepat. Sementara para hadirin hanya
bisa memandangi kepergiannya.
*** Malam pun hadir bersama taburan
bintang-bintang di langit. Para tokoh dunia
persilatan yang datang dari delapan
penjuru mata angin dijamu dengan sebaikbaiknya. Pada sebuah ruangan khusus,
mereka bisa menikmati suguhan makanan
dan minuman. Para pelayannya adalah
perempuan-perempuan cantik. Kesenangan
para tamu itu serasa lengkap karena
perempuan-perempuan itu selain melayani
mereka makan, juga bisa melayani mereka
di tempat tidur.
"Edan! Kenapa mereka bisa begitu
bahagia" Seakan mereka tidak menyadari
rencana Datuk Subendo dan Nyai Pelet di
balik semua itu...," ucap Andika seperti
berbicara pada dirinya sendiri.
"Kita bergabung dengan mereka saja,
Pendekar Slebor!" usul Peramal Sakti.
"Apakah kau masih tergiur dengan
perempuan cantik, Kek?" tanya Andika.
"Monyet buduk! Sembarangan saja
mulutmu ngomong," Peramal Sakti
bersungut-sungut. "Aku bisa mati
kelaparan kalau terus ikut bersamamu.
Kalau kau memang tidak mau makan, biar
aku sendiri saja yang ke sana...."
Kemudian Peramal Sakti berlalu.
"Tunggu, Kek!" teriak Pendekar Slebor seraya menyusul langkah Peramal Sakti.
"Perutku juga sudah minta diisi...," ucap Andika seraya tersenyum.
Ketika seorang pelayan membawa
penampan berisi ayam panggang lewat,
Peramal Sakti menyambarnya. Andika
tersenyum sendiri melihat ulah kakek
bertubuh kerdil itu. Kemudian Pendekar
Slebor melakukan hal yang sama.
Andika dan Peramal Sakti memilih tempat
duduk yang agak berjauhan dengan tamutamu yang lain. Sebenarnya mereka risi melihat ulah para tokoh dunia persilatan
itu. Tampaknya mereka telah lupa diri dan
hanyut dalam kegembiraan.
"Baru kali ini aku mendapatkan jamuan
yang benar-benar lengkap. Tentu aku
senang sekali jika kejadian seperti ini lebih
sering terjadi!" ucap seorang lelaki brewok yang duduk di seberang.
Saat itu seorang pelayan menyajikan
makanan buatnya. Tangan lelaki brewok
yang jahil itu terus saja menjamah tubuh
pelayan yang memang aduhai itu.
Sementara pelayannya hanya tersenyumsenyum saja. "Kenapa kau memandanginya tanpa
berkedip, Kek?" tanya Andika pada Peramal
Sakti. "Ah, aku jadi teringat masa mudaku...,"
Peramal Sakti mengelus-elus kepalanya
yang botak. Tiba-tiba seorang pelayan berjalan
mendekati tempat duduk Andika dan
Peramal Sakti. Seulas senyum merekah di
bibirnya. "Apakah ada pelayanan lain yang bisa
kami berikan, Tuan Pendekar?" tanya
pelayan itu setelah dekat. Matanya melirik
nakal pada Andika.
"Ya... tapi bukan aku!"jawab Andika.
"Kakek ini tadi bilang padaku. Katanya
tubuhnya pegal-pegal dan minta dipijat,"
Andika menunjuk Peramal Sakti.
"Dengan senang hati saya akan
melakukannya...," jawab pelayan tadi.
Peramal Sakti bersungut-sungut dikerjain
begitu. Andika tertawa-tawa melihatnya.
"Dasar Slebor! Ayo kita pergi dari sini...,"
Peramal Sakti menarik lengan Andika dan
dibawa berlalu dari situ.
Pelayan tadi hanya bisa memandangi ulah
mereka yang aneh itu. Andika masih
sempat menoleh ke belakang.
"Pijatnya besok saja ya?" ucap Pendekar Slebor setengah berteriak.
Malam itu suasana di Lembah Tengkorak
banyak sekali menyimpan keanehan. Ruang
perjamuan tampak hingar-bingar dan
meriah sekali. Tapi di tempat lain tampak
hening, di sana-sini penjagaannya begitu
ketat. Andika bersama Peramal Sakti terus saja
bergerak. Mereka tengah berusaha mencari
saat yang tepat untuk bertindak.
*** Sekelompok orang berkerudung sampai
menutup kepala tengah berjalan menuju ke
ruang bawah tanah. Saat itu Andika
bersama Peramal Sakti telah berhasil
mengelabui para penjaga. Mereka terus saja
mengikuti orang-orang berkerudung itu.
Di ruang bawah tanah itu terdapat
sebuah tempat yang cukup luas. Orangorang berkerudung itu masuk ke sana.
Mereka berjalan dengan arah memutar,
mengelilingi sebuah batu besar di mana
Kembang Keabadian tumbuh di situ.
Kemudian mereka duduk bersila
mengelilingi Kembang Keabadian itu.
"Apa yang hendak mereka lakukan, Kek','"
tanya Pendekar Slebur dengan suara pelan
sekali. "Sssssttt!" Peramal Sakti menempelkan jari telunjuknya di bibir.
Andika garuk-garuk kepala. Perhatian
mereka kembali tertuju pada upacara
persembahan yang hendak dimulai itu.
Kemudian orang-orang berkerudung itu
mengeluarkan suara yang menyerupai
sebuah nyanyian. Nyanyian itu terdengar
aneh sekali. Suaranya melengking tinggi
dan menggema dari dinding ke dinding.
"Aku sampai merinding mendengar suara
nyanyian itu, Kek!" ucap Andika.
"Sssssttt!" Peramal Sakti jengkel juga karena pemuda urakan itu tidak bjsa diam.
Dengan tangannya Peramal
Sakti mengisyaratkan sesuatu, ia akan menjitak
Andika kalau dirinya masih saja rewel.
Nyanyian aneh itu terus saja menggema
ke segenap ruangan. Suara mereka
terdengar kompak dari berirama.
"Mereka tengah menyanyikan pujian pada
Raja Kegelapan," ucap Peramal Sakti pelan
sekali. "Sssssttt!" Andika menempelkan jari
telunjuknya di bibir. Kemudian ia
mengacungkan tinjunya ke wajah Peramal
Sakti. Tiba-tiba saja nyanyian aneh itu terhenti.
Suasananya berubah menjadi hening sekali.
Seorang bertubuh tinggi besar yang
mengenakan pakaian hitam dengan
kerudung menutup sampai wajahnya tampil
di muka. Ia mengambil obor yang menempel
di dinding batu.
Orang bertubuh tinggi besar itu
mengangkat obornya tinggi-tinggi.
Wajahnya tengadah ke langit.
"Wahai. Pangeran Kegelapan! Malam ini
kami mengadakan suatu persembahan
padamu. Dengan disaksikan cahaya
rembulan, kami bersumpah setia
padamu...," ucap orang bertubuh tinggi
besar itu lantang.
Seperti yang sudah pernah dikatakan
Peramal Sakti, bahwa syarat persembahan
itu harus ada cahaya rembulan yang
masuk. Cerobong tinggi itu merupakan
jalan masuknya cahaya rembulan ke dalam
ruangan itu. Saat itu cahaya rembulan yang
masuk belum begitu jelas, tapi nanti di saat
rembulan berada tegak lurus dengan bumi.
cahaya rembulan yang masuk akan terlihat
jelas. Nyanyian aneh itu kembali terdengar. Kali


Pendekar Slebor Geger Di Lembah Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini suaranya seperti mendengung. Orang
bertubuh tinggi besar itu mengambil cairan
berwarna merah yang ada di bawah
Kembang Keabadian. Itulah darah bayi
untuk persembahan!
Satu persatu orang berjalan mendekati
lelaki bertubuh tinggi besar itu. Kemudian
lelaki bertubuh lingga' besar itu mengambil
darah itu dengan sebuah rawan kecil. Saat
orang-orang berkerudung hitam itu
mendekat, ditorehkannya darah itu di jidat
setiap orang. Nyanyian aneh itu terhenti setelah setiap
orang sudah mendapat torehan darah di
jidatnya. Lelaki bertubuh tinggi besar itu
kembali mengangkat obornya tinggi-tinggi.
Dengan wajah tengadah ke langit ia
berkata: "Wahai, Pangeran Kegelapan! Kami telah
mengangkat dua orang pemimpin. Kami
mengangkat dia agar bisa menjadi
pengabdimu yang setia!" ucapnya lantang
sekali. Lalu nyanyian aneh itu kembali
terdengar. Kali ini suaranya lain dengan
yang tadi. Sebentar-sebentar berubah,
kadang menjadi cepat dan kadang berubah
menjadi lambat.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu mengisi
dua gelas dengan cairan darah. Kedua
tangannya yang memegangi gelas berisi
cairan darah itu diangkat tinggi-tinggi.
"Wahai, Pangeran Kegelapan! Berkahilah
dua gelas persembahan ini. Akan kami
berikan pada dua orang pemimpin kami,
agar mereka bisa selalu mengabdi
padamu...," suara lantang itu kembali
terdengar. Lelaki bertubuh tinggi besar itu berjalan
meninggalkan ruangan itu. Ternyata dua
gelas berisi cairan darah bayi itu
diserahkan pada Datuk Subendo dan Nyai
Pelet. Sejak tadi mereka menunggu dalam
sebuah kamar terpisah.
"Atas berkat Pangeran Kegelapan,
upacara itu telah kami mulai...," ucap lelaki bertubuh tinggi besai itu Datuk
Subendo dan Nyai Pelet menerima dua gelas itu.
Kemudian mereka saling berpandangan.
*** 8 Datuk Subendo dan Nyai Pelet saling
berpandangan. Mereka tidak berkedip
sedikit pun. Kemudian mereka mengangkat
gelas berisi cairan darah itu. Dengan
gerakan bersamaan mereka menelannya.
Seketika terjadi perubahan pada wajah
mereka. Mata mereka jadi kelihatan
berkilat-kilat. Tajam laksana mata iblis!
Kembali mereka saling berpandangan.
Hingga gemuruh terasa menggelegak dalam
dada masing-masing.
Mereka saling berpelukan, kemudian
saling bergumul. Tenaga mereka tak
ubahnya seperti pasangan remaja belasan
tahun. Berkat cairan darah yang ditelan,
tenaga mereka menjadi berlipat ganda.
Tidak lama kemudian ruangan itu
berubah, kehangatan tumpah, berbaur
dengan keringat yang keluar dari tubuh
masing-masing. Nyai Pelet hanyut oleh
keperkasaan Datuk Subendo. Sesekali
terdengar desahan napas mereka yang
tertahan. Sementara itu di sudut lain, orang-orang
yang mengenakan kerudung sampai
menutup kepala itu terus saja
mendengungkan nyanyian aneh. Persatuan
antara Datuk Subendo dengan Nyai Pelet
itu merupakan salah satu syarat
persembahan. "Wahai, Pangeran Kegelapan! Telah kami
laksanakan segala perintahmu dengan
sebaik-baiknya!" ucap Datuk Subendo
dengan wajah tengadah.
Di tempat lain, orang-orang berkerudung
sampai menutupi wajah itu masih terus
mendengungkan nyanyian aneh itu.
Bahkan suaranya terdengar semakin keras
saja. Kini mereka tidak hanya bernyanyi,
lapi mengangkat kedua tangannya ke
udara. Mereka menggerakkan tangan itu
diikuti dengan gerakan tubuh yang meliukliuk. Nyanyian aneh itu seketika terhenti ketika
Datuk Subendo bersama Nyai Pelet
melangkah ke situ. Kedua orang itu hanya
mengenakan selembar jarik yang melilit di
tubuhnya. Orang-orang yang mengenakan
kerudung sampai menutupi kepala itu
bangkit dan mengelilingi Datuk Subendo
bersama Nyai Pelet.
Di langit rembulan memancarkan
cahayanya ke segala penjuru. Tampak awan
putih berarakan tertiup angin. Sejak tadi
Seruni memandangi langit. Ia berada di
dekat cerobong yang menjulang tinggi itu.
Di situ Seruni juga lagi melaksanakan
tugasnya sendiri.
Suatu keanehan pun terjadi. Tiba-tiba
dalam ruang bawah tanah bertiup angin
yang cukup keras. Entah dari mana
datangnya angin itu.
Kini orang-orang berkerudung itu pada
berjingkrak-jingkrakan mengelilingi Datuk
Subendo dan Nyai Pelet. Persembahan iblis
itu sebentar lagi akan dilaksanakan.
Sementara rembulan sesaat lagi akan
berada persis di atas Lembah Tengkorak.
"Wahai, Pangeran Kegelapan! Berkatilah
persembahan ini," ucap lelaki bertubuh
tinggi besar dengan mengangkat kedua
tangannya tinggi-tinggi.
Suasana berubah menjadi hening. Lelaki
bertubuh tinggi besar itu telah memimpin
jalannya upacara. Saat itu Datuk Subendo
bersama Nyai Pelet duduk menghadap ke
bongkahan batu tempat tumbuhnya
Kembang Keabadian.
"Wahai, Pangeran Kegelapan!
Datanglah...," teriak lelaki bertubuh tinggi besar itu.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu
menorehkan darah di kening Datuk
Subendo dan Nyai Pelet, pertanda bahwa
upacara persembahan itu telah dimulai.
Rembulan di langit terus saja tergelincir.
Kini terlihat dengan jelas sekali, melalui
cerobong yang tinggi menjulang itu sinar
rembulan masuk ke ruangan bawah tanah
itu. Kembang Keabadian tampak semakin
indah saat disirami sinar rembulan.
"Wahai, Segala Kekuatan yang menyatu
dengan malam. Wahai rembulan tempat
bersemayamnya pujaan kami, Pangeran
Kegelapan! Kami persembahkan Kembang
Keabadian, kami memujamu dan meminta
kekuatan dari segala kekuatan yang ada di
muka bumi ini," lelaki berlubuh tinggi besar itu berkata dengan selengah
berteriak. "Wahai, Pangeran Kegelapan!
Datanglah...," teriak lelaki bertubuh tinggi besar itu.
"Dataaaangngng...," orang-orang
berkerudung yang lain berteriak dengan
serempak. Tiba-tiba suasana berubah menjadi gelap
gulita. Saat itu semua obor yang menempel
di dinding sudah dimatikan. Satu-satunya
penerangan adalah cahaya rembulan yang
masuk melalui cerobong itu.
Kemudian menyusul suara tiupan angin
yang keras sekali.
Wuuuuussss! Wuuuuussss! Wuuuuussss!
Para pemuja iblis itu pada terdiam.
Suasana menjadi sunyi mencekik!
"Hua ha ha ha ha ha...," terdengar suara tawa yang keras sekali.
Suara itu terdengar begitu memekakkan
telinga. Seakan suara tawa itu disertai
dengan pengerahan tenaga dalam yang
hebat. Para pemuja iblis itu terdiam,
suasana itu terasa mendebarkan bagi
mereka. "Hua ha ha ha ha... akulah Pangeran
Kegelapan! Ada keperluan apa hingga kalian
memanggilku?" suara itu kedengarannya
datang dari segala penjuru.
Tidak lama kemudian muncul sosok
seperti manusia dengan kepala kerbau.
Lengkap dengan tanduknya juga. Para
pemuja iblis itu sadar kalau Pangeran
Kegelapan yang menjadi sesembahannya
telah hadir di situ. Semua segera
menjatuhkan diri dan berlutut pada
Pangeran Kegelapan.
"Apa yang ingin kalian hidangkan
padaku" Kini aku telah datang...," ucap
Pangeran Kegelapan.
"Kami hidangkan semua yang ada,
pengabdian kami, dan seluruh jiwa raga
kami...," jawab lelaki bertubuh tinggi besar itu mewakili.
"Ah, apakah tidak ada yang lebih enak
dari itu?"
Lelaki bertubuh tinggi besar itu
mengernyitkan alisnya. Pertanyaan
Pangeran Kegelapan itu kedengarannya
aneh. "Kenapa kalian hanya terdiam" Aku bisa
marah karena ketololan kalian ini...,"
ancam Pangeran Kegelapan.
"Ampun, Pangeran Kegelapan...
ampuuuunn...," ucap orang-orang
berkerudung itu serempak.
Pangeran Kegelapan mengelus-elus
kepalanya yang bertanduk. Sejenak semua
perhatian tertuju ke arahnya.
"Kalian tahu kalau persembahan ini telah
aku berkati?" tanya Pangeran Kegelapan.
"Persembahan kalian ini telah resmi aku
buka...." "Terima kasih, Pangeran Kegelapan...
terima kasiiiih...," jawab para pemuja iblis itu serempak.
"Sekarang semua bersujud padaku,
benturkan kepala kalian ke lantai...."
Para pemuja iblis itu langsung menuruti
apa yang dikatakan Pangeran Kegelapan.
Mereka berlutut dan membentur-benturkan
kepalanya ke lantai. Mereka tidak
mempedulikan meskipun sakit. Karena
kepatuhan mereka itu ada yang jidatnya
berdarah karena terlalu keras
membenturkan kepalanya ke lantai
"Hua ha ha ha ha... aku senang sekali
mempunyai pengabdi yang patuh seperti
kalian. Hua ha ha ha..." Pangeran
Kegelapan menepuk-nepuk dadanya
sendiri. Para pemuja iblis itu pada terdiam, dan
siap melaksanakan perintah Pangeran
Kegelapan selanjutnya.
"Sekarang aku menginginkan Kembang
Keabadian...," ucap Pangeran Kegelapan.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu
tercengang. Permintaan Pangeran
Kegelapan itu kedengarannya aneh sekali.
Jika tanpa Kembang Keabadian itu upacara
persembahan itu tidak akan terjadi
sebagaimana mestinya. Jelas bahwa
permintaan Pangeran Kegelapan itu telah
menyalahi aturan main.
"Hey, Perut Buncit! Apakah kamu sudah
tidak mau menuruti perintahku lagi"!"
bentak Pangeran Kegelapan.
"Ampuni hambamu ini, Pangeran
Kegelapan... ampuuuun...," lelaki bertubuh tinggi besar itu ketakutan juga
digertak begitu. "Sekarang kamu pilih, berikan Kembang
Keabadian itu padaku atau kalian semua
kukutuk menjadi kerbau congek"!" bentak
Pangeran Kegelapan lagi.
"Ampuni kami, Pangeran Kegelapan...


Pendekar Slebor Geger Di Lembah Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ampuni kami...," jawab para pemuja iblis
itu serempak. Lelaki bertubuh tinggi besar itu tidak
berani menanggung risiko atas dirinya.
Kemudian dicabutnya Kembang Keabadian
itu. Kembang Keabadian itu diserahkan
pada Pangeran Kegelapan dengan sikap
hormat. "Hua ha ha ha ha... aku senang sekali
mempunyai pengabdi yang patuh seperti
kalian...," ucap Pangeran Kegelapan.
Sejak tadi lelaki bertubuh tinggi besar itu
sudah menaruh kecurigaan. Omongan
Pangeran Kegelapan itu terkesan
seenaknya. Dan yang lebih aneh lagi,
meskipun Pangeran Kegelapan itu berdiri di
hadapan mereka, tapi suaranya seperti
berasal dari tempat yang berpindah-pindah.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu menjadi
penasaran sekali. Banyak sekali keanehan
yang terjadi saat Pangeran Kegelapan itu
datang. 'Tuanku Pangeran Kegelapan, hamba
yang bodoh ini minta bukti bahwa Paduka
adalah Pangeran Kegelapan
yang sesungguhnya," "akhirnya lelaki bertubuh tinggi besar itu memberanikan diri
untuk bertanya. Pangeran Kegelapan mengelus-elus
kepalanya yang bertanduk. Lelaki bertubuh
tinggi besar itu memandangi Pangeran
Kegelapan dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Memang aneh sekali jika Pangeran
Kegelapan itu mempunyai bentuk tubuh
yang kerdil. "Kalian menginginkan bukti?" tanya
Pangeran Kegelapan.
"Iya. Paduka...," jawab lelaki bertubuh tinggi besar itu.
"Bodoh sekali jika kau bertanya begitu!"
bentak Pangeran Kegelapan.
"Hambamu ini memang bodoh. Paduka...."
jawab lelaki bertubuh tinggi besar itu.
"Kau pukul kepalamu sendiri agar
bodohmu itu hilang!" perintah Pangeran
Kegelapan. Anehnya, lelaki bertubuh tinggi besar itu
menurut saja. Ia memukul kepalanya
sendiri dengan keras sekali.
"Kau memang bodoh karena mau
memukul diri sendiri. Hua ha ha ha ha...."
Pangeran Kegelapan tertawa.
"Karena hamba ingin minta bukti bahwa
Paduka ini memang Pangeran Kegelapan
yang sesungguhnya...," desak Selaki
bertubuh tinggi besar itu.
"Kau dengar, meskipun aku berdiri di
sini, lapi suaraku bisa berpindah-pindah.
Apakah ada yang bisa melakukannya selain
Pangeran Kegelapan?" jawab Pangeran
Kegelapan. "Kami menginginkan bukti yang lain,
Paduka...."
"Bukti yang mana lagi maksudmu?"
"Kami yakin Paduka Pangeran Kegelapan
bisa terbang laksana burung...," lelaki
bertubuh tinggi besar itu terus mendesak.
"Terbang" Itu gampang sekali buatku.
Saat aku berlari orang akan melihatku
seperti terbang. Jika aku meloncat orang
juga melihatku seperti terbang...," jawab
Pangeran Kegelapan. "Aku akan terbang ke
sana, kau perhatikan baik-baik...."
Pangeran Kegelapan meloncat tinggi
sekali. Tapi ketika kakinya hendak
mendarat, kepalanya terantuk dinding
hingga terlihatlah siapa sesungguhnya
Pangeran Kegelapan itu. Begitu topeng
kepala kerbau itu terjatuh, tampaklah
seorang kakek berkepala botak dengan
rambut sedikit. Dialah Peramal Sakti!
"Sialan kau Pendekar Slebor!" gerutu
Peramal Sakti sambil memaki.
"Bukankah kita sudah mendapatkan
Kembang Keabadian itu?" jawab Andika
santai. "Bicaramu tadi ngawur sekali!"
"Kenapa kau tidak mau ngomong sendiri
saja?" "Mana aku bisa bicara dengan memakai
topeng kepala kerbau itu?"
*** Para pemuja iblis itu terkejut sekali
setelah mereka ditipu dengan mentahmentah. Kenyataan itu membuat mereka
jadi marah sekali. Dua orang yang kini
sudah menampakkan dirinya itu telah
menggagalkan persembahan mereka
"Keparat! Kejar mereka jangan sampai
lolos...," perintah Datuk Subendo.
Para pemuja iblis itu .sudah melepaskan
pakaian hitam-hitamnya. Sepuluh orang
langsung menghambur untuk melakukan
pengejaran. Andika dan Peramal Sakti jadi
agak kelabakan karena pintu keluarnya
terhalang oleh para pemuja iblis itu.
"Kita jangan memberi kesempatan pada
mereka. Mereka adalah para pemuja iblis
yang patut dibinasakan!" ucap Peramal
Sakti pada Pendekar Slebor.
Ketika jarak para pemuja iblis itu
semakin dekat, Andika telah bersiap. Ia
alirkan tenaga 'Inti Petir' ke kedua
tangannya. Pendekar Slebor sudah tidak
mau membuang-buang waktu lagi, mereka
harus secepatnya keluar dari ruang bawah
tanah itu. Andika palangkan kedua
tangannya di depan dada. Menyusul dengan
gerakan tangannya yang menyentak.
"Heeeeeaaaa!!!!"
Saat itu terdengar suara petir menyalak.
Suaranya bergemuruh di Seantero ruang
bawah tanah. Menyusul kemudian, dua
orang mencelat karena terdorong oleh
pukulan jarak jauh Pendekar Slebor. Akibat
kuatnya pukulan tenaga 'Inti Petir', dua
orang pemuja iblis membentur dinding
batu. Mereka tidak bisa bergerak-gerak lagi,
tewas dengan tubuh remuk!
Para pemuja iblis itu memang marah
sekali karena persembahan itu telah
digagalkan dua orang penyelundup itu.
Mereka terus menerjang tanpa rasa takut
sedikit pun! "Pendekar Slebor! Ratakan tempat ini
dengan tanah...," perintah Peramal Sakti.
Peramal Sakti sudah melesat untuk
menyongsong para pengeroyok itu. Tidak
lama kemudian para pemuja iblis itu
tampak berjumpalitan ke udara karena
tubuhnya dibanting dan dilemparkan oleh
Peramal Sakti. Memang begitulah rencana
Peramal Sakti untuk menghadapi lawan. Ia
tidak mau membunuh orang, makanya
paling banter para pemuja iblis itu hanya
pingsan saja. Sementara jumlah para pengeroyok itu
tidak juga makin berkurang. Kalau keadaan
seperti itu dibiarkan, maka Peramal Sakti
bisa terdesak hebat!
Andika segera mengerahkan segenap
tenaganya untuk mengeluarkan ajian
'Guntur Selaksa'. Saat itu tercipta suatu
gelombang angin, sekujur tubuh Pendekar
Slebor seketika dikelilingi oleh pernik
keperakan. Saat itulah Andika
menghentakkan kedua tangannya ke muka.
Disertai suara petir menyalak, suara itu
bergemuruh memekakkan telinga. Sebuah
kilatan melesat menghantam langit-langit
ruang bawah tanah itu.
Bummmm!! Suara ledakan terdengar keras. Ruang
bawah tanah itu bagai diguncang gempa
yang cukup hebat. Bongkahan-bongkahan
batu rontok beserta debu debu yang tebal.
Andika melakukan hal itu dengan tujuan
untuk mengubur para pemuja iblis itu
hidup-hidup. "Kita tinggalkan tempat ini, Kek!" teriak Andika sambil menyeret tangan Peramal
Sakti. Para pemuja iblis itu kehilangan jejak.
Saat debu-debu tebal itu mengepul, mereka
tidak bisa melihat apa-apa. Hingga Andika
bersama Peramal Sakti berlari semakin
jauh. Sesaat lagi mereka akan bisa
mencapai pintu keluar ruang bawah tanah
itu. "Iblis laknat! Berani-beraninya kalian
membikin kekacauan di sini!" terdengar
suara teriakan yang memantul dari dinding
ke dinding. Andika terkesiap. Dilihatnya Nyai Pelet
berdiri tidak jauh darinya. Andika sendiri
seakan tidak bisa percaya dengan
penglihatannya sendiri. Sebab Nyai Pelet
yang dilihatnya sekarang adalah seorang
gadis cantik yang begitu mempesona.
Padahal sepengetahuan Andika, Nyai Pelet
adalah seorang nenek peot yang sudah bau
tanah. "Pendekar Slebor, namamu begitu harum
di dunia persilatan. Sayangnya kau paling
suka mencampuri urusan orang...," ucap
Nyai Pelet. "Peduli setan denganmu, Nenek Peot!
Yang penting aku bisa puas
mempermainkanmu..."
"Kalau kau memang suka permainan, aku
akan mengajakmu bermain-main. Hik hik
hik...." Andika terkejut sekali ketika hawa panas
menderu ke arahnya. Pendekar Slebor
harus berjumpalitan, ia bersalto ke udara
sehingga serangan itu berhasil
dielakkannya. "Sialan! Beraninya membokong...," umpat Andika.
"Keluarkan segenap ilmu yang kau
peroleh dari Lembah Kutukan...."
Andika jadi penasaran ditantang begitu.
Memang ia tidak mau membuang waktu
lagi. Karena itu Andika langsung
mengerahkan ajian 'Guntur Selaksa'.
Setelah tercipta gelombang angin melingkar,
dan sekujur tubuh Pendekar Slebor
dikelilingi oleh pernik keperakan, Andika
menghentakkan keduatangannya. Terdengar salakan petir bergemuruh!
Glaaaarr! Dinding batu itu jebol. Ternyata di balik
dinding itu ada lorong memanjang.
"Hik hik hik...," terdengar suara tawa Nyai Pelet yang tubuhnya bagai lenyap
begitu saja! "Ternyata ajianmu tidak berarti sama sekali buatku. Aku tantang dirimu
untuk bertempur mati-matian. Kalau memang
berani, kejar aku Pendekar Slebor...."
"Aku terima tantanganmu, Nenek Peot!"
Andika segera berkelebat untuk mengejar.
"Awas, Andika! Kau telah memasuki
perangkap!" Peramal Sakti
memperingatkan.
Andika terus mengejar Nyai Pelet. Tapi
setelah memasuki lorong panjang itu ia
bagai kehilangan jejak. Dan tiba-tiba saja
tempat yang dipijak Andika amblas ke
bawah. Pendekar Slebor masih bisa menguasai
dirinya. Lubang di atasnya yang tadi amblas
kini sudah tertutup kembali. Mendadak
keluar asap putih dari segala penjuru.
Andika baru sadar kalau asap itu adalah
Racun Kobra yang ganas!
Semakin lama asap itu pun semakin
menebal. Sejauh itu Andika belum bisa
menemukan jalan keluar. Paras Andika
kian memucat, napasnya pun kian
menyesak. Andika menutup jalan


Pendekar Slebor Geger Di Lembah Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernapasannya, sementara tubuhnya terasa
semakin lemas. Lalu sebuah dinding terkuak laksana
terbukanya sebuah pintu. Sebuah tangan
menarik Andika untuk keluar dari ruangan
itu! *** 9 "Kang Andika...," teriak Seruni seraya memeluk tubuh yang lemas itu.
Pengaruh Racun Kobra telah bereaksi
dalam tubuh Pendekar Slebor. Denyut nadi
pemuda urakan itu lemah sekali. Seruni
tidak tahu apa yang harus dilakukannya
untuk menyelamatkan Andika.
"Kang Andika, jangan mati Kang
Andika...," ucap Seruni dengan berlinang
air mata. Seruni kembali memeluk tubuh
itu. "Pemuda edan! Dasar pemuda yang tidak
mau menuruti nasihat orang tua...." umpat
Peramal Sakti seraya berlari mendekat.
"Kenapa kau tega sekali, Peramal Sakti"
Kau caci maki orang yang sedang sekarat?"
Seruni memelototi Peramal Sakti.
"Karena dia tidak mau menuruti
nasihatku...," jawab Peramal Sakti.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanya Seruni risau.
"Hanya Kembang Keabadian yang bisa
menyelamatkannya kembali, "Peramal Sakti
mengeluarkan Kembang Keabadian dari
balik bajunya. "Kalau begitu, lekas kau tolong Kang
Andika...."
"Tidak semudah itu Seruni..." Peramal Sakti terdiam sejenak. "Kembang Keabadian
ini adalah sebuah kembang keramat. Aku
tidak bisa menolongnya, karena yang bisa
melakukan adalah seorang perempuan...."
"Kalau begitu serahkan saja Kembang
Keabadian itu padaku. Biar aku yang
menggunakannya untuk menolong Kang
Andika," ucap Seruni mantap.
"Bagaimana setelah Kembang Keabadian
ini kuserahkan padamu dan kau berniat
menguasainya untuk dirimu sendiri"!"
"Itu tidak mungkin!"
Peramal Sakti menatap lurus ke bola mata
Seruni. Ada kejujuran di sana. Karena itu
Peramal Sakti segera menyerahkannya pada
Seruni. Kembang Keabadian itu terdiri dari tujuh
mahkota yang berwarna-warni. Atas
petunjuk Peramal Sakti, ketujuh helai itu
ditempelkan di tujuh lubang. Dua untuk
mata, dua untuk telinga, dua untuk lubang
hidung, satu untuk mulut.
Beberapa saat kemudian ketujuh helai
Kembang Keabadian itu berubah warna
menjadi kehitam-hitaman. Kembang ajaib
itu bagai menyerap racun dalam tubuh
Pendekar Slebor. Kemudian Andika
menggeliat. Sepertinya ia baru terjaga dari
tidur. "Kang Andika! Syukur kau bisa
selamat...," teriak Seruni girang.
"Kedua pemuja iblis itu harus dibunuh!
Mereka berbahaya sekali...," ucap Andika
seakan keluar dengan begitu saja.
"Aku setuju sekali, Kang! Cepat lakukan
itu Kang Andika, demi untuk menebuskan
dendamku...," ucap Seruni mendukung.
"Mereka belum keluar dari ruang bawah
tanah itu," jelas Peramal Sakti.
*** Saat itu Datuk Subendo bersama Nyai
Pelet sedang kebingungan karena
persembahan malam bulan purnama jadi
berantakan. Karena itu mereka
memutuskan untuk kabur. Sebelumnya
mereka mengemasi emas permata, lalu
bergegas untuk meninggalkan ruang bawah
tanah. Alangkah terkejutnya hati Datuk Subendo
bersama Nyai Pelet, ketika di lorong bawah
tanah yang memanjang itu mereka melihat
seorang pemuda berpakaian hijau pupus
dengan kain bercorak catur melilit lehernya
berdiri dengan berkacak pinggang.
"Hendak pergi ke mana kau, Nyai Peot"
Apakah kalian masih mencari tempat untuk
memuaskan hasrat iblis itu?" tanya
Pendekar Slebor geram.
Paras Nyai Pelet tampak menegang.
Begitu juga dengan Datuk Subendo.
"Pemuda sompret! Kau memang patut
dilenyapkan dari muka bumi ini," umpat
Nyai Pelet marah.
Beberapa kejap kemudian Nyai Pelet
menerjang. Dihentakkannya kedua kaki ke
tanah, lalu tubuhnya menukik ke arah
Pendekar Slebor. Kedua tangan Nyai Pelet
itu membentuk cakaran maut dengan kuku
hitam memanjang.
Dengan jurus 'Cakar Maut' itu Nyai Pelet
melakukan sambaran - sambaran ber
bahaya. Andika mengimbangi dengan
mengerahkan segenap ilmu meringankan
tubuhnya. Tubuh pemuda berpakaian hijau
pupus itu berkelebat ke sana kemari untuk
menghindari 'Cakar Maut' itu. Dan Nyai
Pelet terbeliak karena jurus andalannya itu
berhasil dielakkan dengan baik.
"Subendo, kita tidak butuh tata krama
untuk menyingkirkan pemuda laknat ini!"
ucap Nyai Pelet pada Ketua Lembah
Tengkorak. Kemudian Datuk Subendo menerjang
dengan pedang di tangannya. Andika jadi
terjepit karena diserang dari dua arah
berbeda. Sementara dari jurus pedang
Datuk Subendo tercipta sinar putih yang
bergulung-gulung. Dengan jurus itu Datuk
Subendo berusaha mengurung Andika.
Meskipun Pendekar Slebor belum
menggunakan kain pusakanya, ia masih
bisa menguasai keadaan. Bahkan beberapa
kali Andika berhasil menepis tangan Ketua
Lembah Tengkorak itu. Pada saat itu Nyai
Pelet justru sengaja menjauh.
Tiba-tiba.... Slapp! Sebuah tusukan konde menukik dengan
cepat sekali. Pendekar Slebor sudah bisa
memperkirakan kecurangan yang hendak
dilakukan Nyai Pelet itu. Pada saat yang
genting itu Andika terpaksa melolos kain
bercorak catur yang melilit di lehernya.
Trangng! Tusuk konde yang dilepas Nyai Pelet itu
berhasil dirontokkan. Karena tusuk konde
itu dialiri tenaga dalam, maka ketika kain
pusaka Pendekar Slebor menepisnya
terjadilah sebuah ledakan hebat. Ketika
tusukan konde itu menghantam dinding,
dinding batu itu rontok dan terjadi
guncangan. Datuk Subendo menyurutkan langkahnya
ke belakang. Sambaran kain bercorak catur
itu telah menciptakan hawa panas yang
menyengat. Nyai Pelet menggunakan kesempatan itu
dengan sebaik-baiknya. Setelah
mengalirkan tenaga dalam ke kedua telapak
tangan, sepenuh tenaga tangan itu
dihentakkan ke muka. Ketika itu Datuk
Subendo juga melakukan hal yang sama.
Hingga dua larik sinar kemerah-merahan
melesat ke arah Pendekar Slebor.
Andika menyadari kalau pertarungan itu
menentukan hidup dan mati. Pendekar
Slebor menyambutnya dengan ajian
'Guntur Selaksa'. Sekujur tubuh pemuda
berpakaian hijau pupus itu dikelilingi
pernik keperakan serta gelombang angin.
Lalu Pendekar Slebor mengibaskan kain
pusakanya! Saat itu kedua sinar kemerah-merahan
itu tertahan oleh gelombang angin yang
dahsyat. Glaaarrrr! Ledakan hebat terjadi.
Disertai dengan petir menyalak dan ribuan
tawon murka. Tubuh Datuk Subendo dan Nyai Pelet
terdorong tiga tombak ke belakang.
Sementara Andika meloncat ke belakang
sejauh dua tombak. Datuk Subendo dari
Nyai Pelet tidak pernah mengira kalau
lawannya begitu hebat. Mereka merasakan
dadanya sesak, dan luka dalam tak
terelakkan lagi. Payahnya mereka sama
sekali tidak mempunyai kesempatan untuk
memulihkan tenaganya kembali.
Akibat suara petir yang memekakkan
telinga, disertai dengan gelombang angin
panas yang dahsyat, ruang bawah tanah itu
retak-retak pada bagian atapnya.
Kemarahan Andika yang menggelegak itu
membuat tubuh pemuda itu panas, dan ia
mengamuk bagai orang kesetanan.
Buuummm! Setiap kali Andika menghentakkan kedua
tangannya dengan ajian 'Guntur Selaksa',
terdengar suara salakan petir menggelegar.
Atap batu itu pun rontok menjadi
bongkahan-bongkahan tak beraturan.
Debu-debu mengepul tebal sekali. Beberapa
bongkahan batu yang hancur mengenai
tubuh Datuk Subendo dan Nyai Pelet yang
tidak sempat menghindar lagi karena telah
kehabisan tenaga.
Mulanya Pendekar Slebor ingin menolong
kedua orang itu dari hujan batu yang bisa
mengubur mereka hidup-hidup. Tapi
karena ruangan itu sendiri hampir roboh,
Andika pun terpaksa berlari menuju pintu
keluar. Nyai Pelet dan Datuk Subendo tidak
sempat lagi menyelamatkan diri.
*** "Apa yang harus kita lakukan sekarang,
Peramal Sakti?" tanya Andika setelah
berhasil lolos dari ruangan yang roboh itu.
"Kita pergi dari sini saja. Kang Andika!
Biarlah tokoh-tokoh dunia persilatan itu
bertarung sendiri. Biar dia gigit jari karena
Putri Kencana tidak ada!" sahut Seruni.
"Aku tidak setuju dengan cara seperti
itu...," Peramal
Sakti mengajukan
pendapat.. "Apakah kita harus membubarkan
sayembara , itu?" tanya Andika.
"Siapa yang membubarkan acara itu pasti
akan jadi sasaran kemarahan mereka!"
jawab Peramal Sakti.
"Kalau begitu aku setuju dengan
pendapat Seruni. Kita pergi, maka habis
perkara," Andika menyimpulkan.
"Itu bukan tindakan seorang ksatria!"
"Terus apa yang harus kita lakukan?"
tanya Andika bingung sendiri.
"Aku mau berpikir sebentar...," ucap
Peramal Sakti. Kakek bertubuh kerdil itu terdiam. Ia
mondar-mandir sendiri. Dielus-elusnya
kepalanya yang tidak berambut.
"Aku sudah menemukan jawabannya
sekarang!" ucap Peramal Sakti seraya
berjingkrak-jingkrak gembira." Semuanya
akan jadi beres asalkan kamu tidak
menolaknya."
Andika geleng-geleng kepala melihat ulah
kakek yang satu ini.
*** Pagi harinya, sayembara itu pun dimulai.
Tokoh-tokoh sakti dunia persilatan dari
delapan penjuru mata angin datang untuk
menjajal kebolehannya. Saat itu tampil ke
atas panggung, Pengemis Mata Picak dari
Partai Pengemis Utara. Tokoh yang satu ini
termasuk tokoh terpandang dan
mempunyai peluang besar untuk


Pendekar Slebor Geger Di Lembah Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memenangkan sayembara.
"Mungkin masih ada lagi dari hadirin
yang ingin tampil ke atas panggung...,"
ucap Pengemis Mata Picak agak
menyombongkan dirinya.
Pengemis Mata Picak baru saja
menjatuhkan lawannya yang ketiga. Selama
menghadapi ketiga lawannya itu, Pengemis
Mala Picak telah mempertontonkan
kehebatan ilmu silatnya.
Tidak lama kemudian sebuah bayangan
berkelebat. Ringan sekali ketika kedua
kakinya mendarat di panggung. Dia adalah
seorang kakek kurus yang mengenakan
pakaian serba kuning. Matanya cekung
dengan wajah yang tampak selalu pucat.
Dialah Iblis Muka Mayat! Seorang tokoh
sakti dari aliran hitam yang terkenal
sebagai seorang ahli sihir.
"Pengemis Mata Picak, apakah kau mau
melayaniku bermain-main?" tanya Iblis
Muka Mayat. "Ah, siapa pun berhak mengikuti
sayembara ini. Kenapa aku tidak mau
melayanimu?" jawab Pengemis Mata Picak.
"Hek hek hek hek...." Iblis Muka Mayat terkekeh. "Aku senang sekali melihat
semangatmu untuk memenangkan
sayembara ini..."
"Kiranya kita tidak perlu berpanjang lebar kata lagi Aku juga ingin menjajal
sampai di mana kehebatan ilmu sihirmu?" tantang
Pengemis Mata Picak sinis.
"Baiklah kalau kau ingin menjajalku...."
Iblis Muka Mayat menggerakkan kedua
tangannya dengan cepat sekali.
"Awas...."
Mendadak dua ekor ular sebesar jempol
kaki melayang ke arah Pengemis Mata
Picak. Pengemis Mata Picak terkejut sekali.
Tapi ia berhasil merontokkan kedua ekor
ular itu dengan sabetan tongkatnya.
Wuuuttt! Dua ekor ular sebesar jempol kaki itu pun
jatuh ke tanah. Kemudian hilang dengan
menyisakan asap putih.
Kemudian Pengemis Mata Picak
menerjang dengan tusukan-tusukan
tongkatnya yang sangat berbahaya. Iblis
Muka Mayat memutar tubuhnya hingga
serangan itu mengenai tempat kosong.
Seakan Iblis Muka Mayat telah berhasil
membaca jalan pikiran Pengemis Mata
Picak, sehingga dengan mudah ia berhasil
menguasai keadaan.
"Kali ini aku ingin melihat seorang kakek
tolol yang mati dengan cara mencekik
lehernya sendiri. Ayo kerahkan semua
kepandaianmu," ejek Iblis Muka Mayat.
Pengemis Mata Picak semakin penasaran
dibuatnya. Ia pun segera melipatgandakan
serangannya. Setiap gerakannya berubah
menjadi lebih cepat dan lebih bertenaga.
Tapi setiap serangannya selalu berhasil
dielakkan. Menghadapi suasana seperti itu, emosi
Pengemis Mata Picak semakin tidak bisa
terkendali. Hal itu semakin menguntungkan
Iblis Muka Mayat. Dengan begitu ia bisa
menguasai jalan pikiran lawan.
Tiba-tiba saja dari tangan Iblis Muka
Mayat keluar asap putih. Sorot mata orang
tua bertubuh kurus itu memerah, seperti
memancarkan semacam sinar aneh.
Pengemis Mata Picak merasakan kedua
kakinya berat sekali untuk digerakkan.
Apalagi setelah ia menghirup asap putih itu.
Kemudian sesuatu yang aneh terjadi.
Pengemis Mata Picak merasakan seolah
tongkat di tangannya berubah menjadi
seekor ular. Ular itu bergerak dan melilit
lehernya. Hadirin yang berada di sekitar panggung
terheran-heran karena melihat Pengemis
Mata Picak mencekik lehernya sendiri.
Cekikan itu kuat sekali hingga lidahnya
terjulur keluar.
"Heaaatt!"
Dengan satu tendangan Iblis Muka Mayat
berhasil melemparkan tubuh Pengemis
Mata Picak. Tubuh itu melayang dan jatuh
laksana pohon yang tumbang. Jelaslah
bahwa Pengemis Mata Picak gugur dalam
sayembara itu. Hanya sesaat setelah tubuh Pengemis
Mata Picak terlempar dari panggung,
seorang berkelebat dengan cepat sekali.
Gerakannya itu seperti melayang saja
Orang itu mendaratkan kedua kakinya
pada jarak dua tombak dari Iblis Muka
Mayat. Kini mereka sudah saling berhadapan.
Orang tua yang baru saja naik ke panggung
itu adalah Pengemis Tonggos! Orang tua
yang kurusnya seimbang dengan Iblis Muka
Mayat. Wajahnya sudah dipenuhi dengan
kerut-keriput, giginya yang cuma tinggal
dua biji itu moncong keluar.
Pengemis Tonggos langsung
mengeluarkan Cambuk Petirnya.
Ctar! Ctar! Cambuk Petir itu mengeluarkan suara
seperti petir menyalak. Suara itu telah
mengganggu konsentrasi Iblis Muka Mayat.
Untuk sementara Iblis Muka Mayai tidak
bisa memamerkan kebolehannya dalam
ilmu sihir. "Aku tidak mungkin bisa kamu kibulin,
Dukun Cabul! Karena itulah aku
menantangmu bertempur dengan senjata.
Ayo keluarkan senjata andalanmu!" tantang
Pengemis Tonggos.
Iblis Muka Mayat menjadi tergagap,
karena lawannya sudah tahu
kelemahannya. Kini tubuhnya harus
berjumpalitan untuk menghindari
cambukan berbahaya itu.
Dalam keadaan terdesak Iblis Muka
Mayat meloncat beberapa tombak ke
belakang. Setelan menghimpun tenaga
dalam di kedua tangannya, kedua tangan
itu pun dihentakkan ke muka. Seketika
selarik sinar kemerah-merahan melesat ke
tubuh Pengemis Tonggos.
Ctarr! Satu cambukan kuat menyongsong
selarik sinar merah itu. Akibatnya terdengar
suatu ledakan yang mengguncangkan.
Blaaammm! Pengemis Tonggos sudah menduga hal itu
sebelumnya. Kemudian dengan tangan
kirinya Pengemis Tonggos melempar satu
pukulan jarak jauh. Selarik sinar kekuningkuningan melesat. Iblis Muka Mayat
terbeliak kaget. Serangan itu tidak pernah
terduga sebelumnya.
Iblis Muka Mayat hanya bisa
menyilangkan kedua tangannya untuk
melindungi wajahnya. Hingga tubuhnya
mental sejauh tiga tombak. Di luar
panggung ia pun pingsan!
*** Setelah Iblis Muka Mayat berhasil
dikalahkan Pengemis Tonggos, tidak ada
lagi yang berani menjajal ilmunya ke atas
panggung. Akhirnya Pengemis Tonggos
dinyatakan telah memenangkan sayembara
itu. Saat yang paling mendebarkan itu
tibalah. Saat Putri Kencana tampil ke atas
panggung. Pengemis Tonggos
menyambutnya dengan senang hati.
Putri Kencana mengenakan cadar yang
menutupi wajahnya. Meskipun Pengemis
Tonggos belum bisa melihat wajah itu
dengan jelas, pastilah putri itu memang
cantik sekali. Rambutnya yang panjang
digelung ke atas.
"Aku akan melayanimu dalam dua puluh
jurus. Kalau dalam dua puluh cambukan
kau belum bisa melukaiku, maka kuanggap
kau tidak berhak menyuntingku," ucap
Putri Kencana. Pengemis Tonggos melongo dan seperti
tidak percaya. Bagaimana Putri Kencana
bisa melakukan itu padanya" Sebab sebagai
seorang pesilat, Pengemis Tonggos sudah
kenyang pengalaman. Bagaimana ia bisa
direndahkan begitu rupa"
"Baiklah, Tuan Putri...," akhirnya
Pengemis Tonggos menyanggupi.
Kemudian.... Ctarr! Cambuk Pelir itu meledak-ledak hebat.
Dalam lima gebrakan Pengemis Tonggos
masih ragu-ragu. Bagaimana ia tega
melukai calon istrinya sendiri" Karena
merasa ragu cambukan itu bisa dielakkan
dengan mudah. Gerakan Putri Kencana itu membikin
Pengemis Tonggos takjub. Karena
cambukannya selalu berhasil dielakkan,
Pengemis Tonggos kian meningkatkan
serangan. Tapi sejauh itu ia tetap tidak bisa
berbuat banyak!
Dalam menghindaricambukan itu,
gerakan Putri Kencana tampak kacau.
Berpuluh pasang inata terbeliak seakan
tidak bisa percaya. Bagaimana mungkin
ada orang yang mampu menghindari
cambukan laksana sambaran petir yang
bertubi-tubi"
Ctar! Ctar! Clar!
Paras Pengemis Tonggos berkeringat
karena sampai cambukan kedua puluh
selalu mengenai di tempat kosong. Ia
teringat, ada seorang yang bisa menghindar
dari sambaran petir yang bertubi-tubi.
"Kau gagal, Pengemis Tonggos!" ucap
Putri Kencana seraya menunjuk ke wajah
Pengemis Tonggos.
Pengemis Tonggos memerah wajahnya
karena malu. Dalam hati ia masih
penasaran sekali.
"Aku mengakui hebatnya ilmu
meringankan tubuhmu, Tuan Putri. Tapi
apakah aku harus mengaku kalah begitu
saja?" ucap pengemis itu.
"Kutampar mulutmu yang lancang itu,
Pengemis! Apa kau belum mengaku kalah?"
bentak Putri Kencana.
"Kalau saja Tuan Putri mau
melakukannya, aku benar-benar mengaku
kalah," tantang Pengemis Tonggos.
Putri Kencana segera menghentakkan
kakinya ke tanah, tubuhnya seperti
melayang. Beberapa kali tangan tuan putri
berusaha melakukan tamparan. Namun
Pengemis Tonggos berhasil menepisnya.
Tubuh yang melayang itu pun turun
kembali. Lalu Putri Kencana melakukan
gerakan yang sangat kacau. Pengemis
Tonggos tidak mampu membaca arah
serangan itu. Satu tamparan berhasil
ditepis, tapi berikutnya Pengemis Tonggos
harus menerima satu kenyataan pahit.
Plak! Plak! "Apakah kau mau mengawini perempuan
yang berani menamparmu, Pengemis
Jelek?" ledek Putri Kencana.
Dengan menahan malu Pengemis Tonggos
meninggalkan panggung. Ia berkelebat dan
tidak kembali ke tempat duduknya lagi.
Putri Kencana segera menghadap pada
hadirin yang melongo. Kehebatan Putri
Kencana membuat mereka takjub.
"Sayembara ini aku nyatakan bubar!
Tidak ada yang berhak menyuntingku
karena pemenang sayembara ini tidak bisa
mengalahkanku!" ucap Putri Kencana.


Pendekar Slebor Geger Di Lembah Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berkata begitu, Putri Kencana
berlari kencang sekali. Para hadirin
semakin melongo. Tingkah itu tidak pantas
dilakukan oleh seorang putri yang lembut.
Putri Kencana tidak peduli hal itu.
Putri Kencana terus saja berlari. Dua
orang segera menyusul Putri Kencana.
Mereka adalah Seruni bersama Peramal
Sakti. "Peramal Sakti, aku sudah tidak tahan
lagi membiarkan bedak dan gincu
menempel di wajahku!" ucap Putri Kencana
yang tidak lain adalah Andika.
"Tingkah lakumu tidak pantas sebagai
seorang putri," ucap Peramal Sakti.
"Biarin!"
Peramal Sakti dan Seruni hanya bisa
tersenyum. SELESAI Pendekar Slebor
Segera menyusul :
Bidadari Pemburu Maut
Kelelawar Hijau 7 Dewi Sungai Kuning Seri Huang Ho Sianli Karya Kho Ping Hoo Payung Sengkala 3

Cari Blog Ini