Pendekar Slebor 26 Geisha Bagian 1
GEISHA Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Clntamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor dalam episode : Geisha 128 hal.
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Musim semi menyapa kota Kyoto. Bunga-bunga
marak bermekaran pada tangkai-tangkai pepohonan.
Kuntum-kuntum sakura menggelepar di udara, terhempas hembusan angin. Pagi muda
datang menyapa bebungaan dengan cahaya lembutnya. Embun belum lagi enyah dari
kuncup-kuncup daun dan putik bunga.
Di sudut utara Kyoto, sebuah pesta kecil dimulai.
Tawa meriah, perbincangan hangat terbawa angin ke segenap penjuru. Asalnya dari
sebuah bangunan yang cukup megah bergaya khas Nipon.
Mendekat ke bangunan, semakin tercium kepekatan aroma sake.*
Di satu ruang dalam rumah ada sekitar lima belas lelaki duduk bersila di atas
tatami* Tangan masing-masing memegang sakazumi* berisi sake. Seraya menaikkan
sakazumi dengan kedua tangan, mereka lalu bersama-sama meneguk isinya.
* Sake = Minuman khas Jepang
* Talami = Alas lanlaj tradisional Jepang
Di selingi perbincangan dan sesekali ledakan tawa, salah seorang dari mereka
berkata. "Semoga Amateras u* memberkati kau dan keluargamu, Jotaro!"
"Ya, semoga!" timpal yang lain. Sake dituangkan kembali ke mulut sakazumi
masing-masing oleh seorang wanita jelita berwajah lembut kemerahan, berkimono
biru muda. Dia geisha* Jotaro, si tuan rumah.
Jotaro sendiri duduk di depan pintu geser tembus cahaya. Dia seorang lelaki
berperawakan kekar. Tubuhnya berotot,
gagah sebagaimana penampakan rahang perseginya. Di antara semua lelaki di tempat itu, Jotaro paling muda dan
tertampan. Sepagi itu, tak semcstinya mereka mengadakan
upacara minum. Namun karena subuh tadi Jotaro baru saja dikarunia seorang putra
dari istrinya, upacara minum sake
pun dilaksanakan.
Keempat betas lelaki di sekitamya adalah para
kerabat dan handai taulan. Mereka ingin turut berbagi suka dengan keluarga
Jotaro. "Akan kau beri nama siapa anakmu Jotaro?" tanya seorang lelaki setengah uimir.
* Amaterasu = Dewa Matahari Jepang
* Geisha = Pelayan wamla
Belum lagi keluar jawaban dari mulut Jotaro,
meledak teriakan menyayat dari pekarangan depan. Dari nadanya, bisa dinilai
kalau si pemilik teriakan saat itu sedang meregang nyawa.
"Ada yang tak beres dengan pengawal di depan,"
desis Jotaro siaga. Cepat dia bangkit. Matanya menajam ke pintu dojo* Senjatanya
ada di sana. Yang lain turut bangkit.
Sementara para tamunya yang kebetulan para
daimyo* meloloskan senjata masing-masing.
Jotaro bersicepat berlari ke tempat istri dan bayinya terbaring.
Empat depa sebelum sampai, langit-langit di atasnya jebol. Sesuatu meluruk dari
sana. Jelasnya, seseorang berpakaian hitam-hitam. Wajahnya sebagian tertutup
kain hitam pula. Sewaktu meluncur, tangan penyerang Jotaro menebaskan katana*
Wukh! Kelebatan pantulan sinar mata senjata tadi
ditangkap pengelihatan Jotaro. Naluri ke kstariaan yang diwarisi keluarga
Samurainya memperingati. Dia harus cepat melompat ke depan atau melempar tubuh
kembali ke belakang jika tak ingin kepalanya terbelah dual
* Dojo = Ruang tempat berlatih beladiri
* Daimyo = Penguasa daerah *
Jotaro memilih untuk menerkam ke depan.
"Heaa!"
Sebentar dia berguling, lalu bangkit kembali seraya memutar tubuh menghadap
lawan. Saat yang sama, lawan mengirim tiga keping
lempengan senjata rahasia berbentuk bintang ke arahnya.
Rupanya apa yang terpikir Jotaro saat itu tidak meleset Dia yakin penyerangnya
adalah ninja bayaran yang tak ingin lebih banyak membuang waktu. Terbukti
serangan kedua menyusul gencar.
Swik-swik-swik!
Amat bodoh jika Jotaro membiarkan dirinya
dimangsa empat lempeng senjata rahasia maut itu. Apalagi sasarannya amat
mematikan. Leher, kening, dan dada.
Masalahnya, bukan bagaimana menghindar. Akan
tetapi seberapa cepat dia berkeli.t Runtunan gempuran lawan begitu cepat.
Sementara Jotaro belum siap menerima datangnya senjata-senjata rahasia.
Trask! Betapapun Jotaro sudah menghindar sebisanya, tak urung dua mata logam tajam
mengoyak kilat bahu lelaki itu.
Jotaro mengeluh berat. Tangannya berusaha membendung darah yang mengalir cepat dari luka di bagian terparah.
Dua-tiga kejap berikutnya, serangan datang lagi.
"Heaa!"
Lawan berpakaian gelap berlari liar menuju Jotaro.
Dua tangannya terangkat tinggi, siap membabatkan katana ke tubuh calon korban.
Wukh! "Hih!"
Babatan telengas seolah hendak memotong dua
bagian tubuh Jotaro lewat sisi badan Samurai muda itu. Dia bcrhasil berkelit
tanpa membuang banyak tenaga. Cukup menggeser
badan sedikit ke samping. Kelebihan tenaganya dimanfaatkan untuk menjegal gerakan lawan dengan sikut.
Degh! Tentu saja ulu hati lawan berpakaian hitam-hitam nyaris hancur menerima sikutan
Jotaro. Lebih-lebih karena tenaga dorongan tubuhnya sendiri menambah kekuatan
sikutan lawan. Maka. tak pelak lagi mata si ninja
membeliak. Napasnya sesak.
Terlalu sesak untuk
mengeluarkan teriakan.
Tahu lawan pun tak akan memberi kesempatan
baginya untuk bernapas setarikan pun, Jotaro langsung menyiapkan satu tebasan
-bertenaga ke punggung lawaa .
Wuk-degh! Melompat suara tulang remuk ke udara. Ninja
hayaran seketika itu ambruk. Cuma gajah yang masih mungkin bernyawa menerima
tebasan Jotaro barusan.
"Kakak!"
Jotaro lerkesiap. Dia amat hafal suara yang
didengarnya meski tersamar di antara riuh-rendah pertarungan yang sudah pula
meletus di ruang depan. Itu jeritan istrinya!
'Terkutuk!" maki Jotaro kalap.
Diraihnya katana milik lawan di lantai kayu. Cepat pula dia menghambur menuju
kamar Akemi, istrinya. Tak lagi dia peduli apakah lukanya akan menguras darahnya
atau tidak. Dia harus menyelamatkan istrinya tercinta. Istri yang baru saja
menghadiahkan seorang bayi montok padanya.
"Akemi!!"
Sambil berlari, Jotaro bcrteriak nyalang. Kalau ada seorang penyerang terlihat
di depannya, dia pasti akan mencacah-cacahnya di tempat
Tiba di pintu kamar, Jotaro tidak menemukan lagi siapa-siapa. Tidak Akemi. Tak
juga bayinya. Darah si Samurai muda berusia empat puluhan itu seperti dijerang
seketika. Apalagi sewaktu matanya menemukan bercak merah di lantai kamar.
"Akan kubunuh kalian semua jika istri atau bayiku terluka!" sumpah Jotaro, murka
memuncak. Di ujung ancaman membludaknya, empat Iaki-laki
berpakaian ninja melabrak masuk dari dinding penyekat kamar. Jerami kasur
berhamburan tersapu lompatan liar mereka. Secepatnya Jotaro dikepung.
Keempat pembunuh bayaran itu mulai mengitari
Jotaro. Tak beda dengan sekawanan serigala mewaspadai mangsa. Langkah mereka
teratur, satu-satu. Pertanda mereka adalah orang-orang terlatih. Tak dapat
diremehkan kehandalan tarungnya. Di tangan masing-masing, siap senjata pembunuh
dari baja. Satu orang menggenggam katana, sisanya memegang lembing panjang.
Kekhawatiran Jotaro pada keselamatan istrinya
membuat dia menjadi ingin segera memenggal kepala keempat lawan. Untuk bertanya
tentang Akemi adalah kesiaan. Mereka dididik untuk menjadi seorang ahli
membunuh, bukan para penjawab pertanyaan!
"Zing"
Dari sisi kiri, seorang lawan membuka serangan.
Ganas, ditebasnya katana ke dada Jotaro. Andai terkena, dada lelaki muda itu
akan menganga Jebar.
Jotaro bukan anak ingusan. Dia tergolong Samurai yang disegani semasa jaya
shogun sebelumnya. Babatan cepat seperti itu dapat dengan cepat ditangkap
kejelian matanya. Dengan satu kayuhan katana ke depan, serangan tadi
dimentahkan. Trang! Pijar api terpercik di antara tumbukan mata katana baja. Jotaro membalas.
Disambarnya wajah lawan dari atas. Wukh!
Lawan ternyata tak kalah tangkas. Dia menyurut
cepat ke belakang seraya menusukkan mata katana ke leber Jotaro. Berbarengan
dengan pertukaran serangan itu, lawan lain mencoba memanggangnya dengan lembing
dari belakang. Telinga Jotaro menangkap desis maut di belakangnya. Dia bukan saja harus menghindari tusukan katana lawan di depan Juga
harus menghindari tusukan lain di belakang. Tak perlu bergerak dua posisi, cukup
memindahkan tubuh gesit ke samping, Jotaro berhasil mengenyahkan ancaman dari
dua arah berbeda.
Di samping itu, dia memetik keuntungan lain.
Tusukan lembing menyelonong deras ke depan. Senjata memang tak punya mata sama
sekali. Sekali meluruk, sulit ditarik.Wes-jleph!
Lawan yang sebelumnya berusaha bernafsu menusuk leher Jotaro dengan katana meregang di tempat.
Perutnya tertembus lembing kawan sendiri.
Saat senjata panjang tersebut dicabut, lelaki tadi pun roboh.kehilangan nyawa.
Artinya Jotaro kini hanya menghadapi tiga lawan. Namun, bukan berarti
pertarungan menjadi lebih ringan. Sebab sekarang sisa lawan menyerbu serempak!
"Hai !"
Satu putaran katana dibuat Jotaro untuk melumpuhkan serangan ketiga lawannya sekaligus. Untuk melakukannya, Jotaro harus
mengerahkan tenaga lebih.
Kalau terus begitu, tenaganya lambat-laun akan terkuras.
Sesungguhnya, memang rencana itu yang sedang
dimainkan lawan. Terbukti mereka mengulang kembali serangan serempak. Dengan
arah berbeda dan sasaran berbeda
pula. Satu-satunya yang sama adalah keseragaman waktu serangan mereka.
Begitu sekian terjangan berbarengan terlewati,
Jotaro mulai kehilangan banyak tenaga. Pertahannya mulai hmbung. Ketiga lawan
pun siap memanfaatkan keadaan.
Sret! Luka berikutnya menganga di rusuk kiri Jotaro. Hasil sayatan kilat katana
seorang lawan. Luka sebelumnya saja sudah banyak menguras darah, apalagi
ditambah luka baru pula. Jotaro semakin menyadari posisinya. Bertambah sulit
serta terdesak. Lari terlalu memalukan bagi seorang Samurai sejati'. Tapi
tindakan dengan pertim-bangan akal sehat harus dilakukan. Dia mesti memperbaiki
posisi. Jotaro berteriak keras-keras, mencoba memancing konsentrasi tarung ketiga lawan.
"Hai i !!!"
Sekelebat berikutnya, samurai luka itu membabat dengan sisa tenaganya. Katananya
bergerak satu putaran penuh. Hendak dibabat sekaligus tiga lawannya.
Para lawan terkesiap. Tak menyangka Jotaro masih sanggup melakukan babatan kuat
seperti itu. Mereka melompat berbarengan ke belakang.
Justru itu yang dikehendaki Jotaro. Ruang geraknya jadi lebih Juas. Di samping
itu, terbuka pula jalan lowong baginya untuk menerjang sekat dinding.
Bergerak seperti harimau luka, Jotaro menerkam
sekat dinding. tubuhnya terlempar keluar bangunan.
Pendekar Slebor 26 Geisha di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebentar dia bergulingan di tanah musim semi. Lalu dijejaknya kaki untuk
berguling kembali ke dekat dinding.
Tepat di hawah lantai rumah panggung, Jotaro
menanti lawan mendobrak.dinding pula. Perhitungannya tepat. Tak ada dua kedip
mata, dua lawan menyeruak keluar. Saat itulah Jotaro menebaskan katana.
Wukh! Sret-sret!
Sekali sabet, dua nyawa!
Senjatanya berhasil mengoyak dalam ke perut dua lawan tadi. Sayatan itu terlalu
dalam untuk bisa menyelamatkan keduanya. Bahkan scbagian isi perut mereka
berhamburan bersama simbahan darah se-gar!
Jotaro menyeringai. Akan pantas bagi mereka
menerimanya jika Akemi dan bayinya terbunuh, sumpah Jotaro geram.
Limbung, Jotaro menanti lawan ke tiga. Katana
diacungkan ke depan. Darah masih menetes dari mata senjatanya. Orang yang
dinanti tak kunjung menerohos juga. Semakin lama menanti, akan kian buruk bagi
Jotaro. Lukanya terus mcngalirkan darah. Matanya mulai berkunang-kunang.
"Bangsat! Apa si laknat itu tahu aku menunggu di sini?" rutuk Jotaro dalam hati.
Sekali lagi perkiraan Samurai muda itu menemui
sasaran. Lawan ketiganya ternyata tak begitu bodoh diperdayai seperti dua
kawannya. Dia punya perhitungan
sendiri yang tak kalah licin dari Jotaro.
"Hiaii !"
Dari wuwungan jerami, lawan yang ditunggu
menukik. Lembing di tangannya siap dihujamkan ke kepala Jotaro. Serangan yang
sungguh bengis. Jadi, pantas saja jika Jotaro mengimbangi dengan kebengisan
pula. Meski pandangannya mengabur serta kuda-kudanya
limbung, Jotaro tak memiliki pilihan lain kecuali memapaki hujaman lawan. Dengan
sisa tenaga paling akhir, dengan satu perjudian maut!
Trang! Kecepatan tangkisan pedang Jotaro sempat mengejar hujaman lembing lawan. Biar begitu, tenaganya sudah tak cukup lagi
untuk menyingkirkan moncong senjata lawan cukup jauh dari tubuhnya.
Jleb! "Akh!"
Bahunya tertembus. Tepat di dekat luka bahu kiri sebelumnya. Sakitnya tentu saja
luar biasa. Seorang Samurai yang tak gentar melakukan seppuku* seperti dia pun
akan berteriak sejadi-jadinya.
Di lain sisi. lawan membiarkan lembingnya menancap di bahu kiri Jotaro. Dia sendiri mendarat tepat di depan korban. Dari
balik lengan baju kedua tangannya mendadak menyembul dua bilah belati kecil.
Jreph! Sampai sudah Jotaro pada puncak penderitaannya.
Dua mata belati lawan menembus langsung sepasang buah pinggangnya!
Lelaki perkasa itu tersungkur, bertahan dengan
kedua lututnya. Matanya sekarat menerobos mata lawan.
Kekhawatiran pada keselamatan istri
dan bayinya membuat dia masih bersikeras mempertahankan nyawa.
Lawan tak mau membuang waktu lebih banyak.
Katana yang sejak tadi tak terusik, segera diloloskan dari sarungnya. Perlahan
kedua tangan sang ninja menaikkan senjata ke sisi kepala, seolah hendak mengejek
kekalahan Jotaro.
Sebentar lagi, kepala Jotaro bakal menggelinding.
Sekeras apa pun tekadnya untuk tetap merangkul nyawa, tak akan berguna lagi jika
kepalanya harus lepas dari badan,Dalam kegentingan nyawa, Jotaro sadar sesadarsadarnya. Dia tak akan bisa menyelamatkan istri dan bayinya. Untuk nyawa sendiri
saja dia sudah tak mampu.
Sebelum semuanya terlambat.... Wush! Tlep!
Mendadak saja katana penjagal raib dari genggaman lelaki berpakaian hitam. Pasti ada seseorang mengusili. Tapi sejauh
itu, tak seorang pun dilihatnya. Ini benar-benar aneh, bisik hatinya bmgung. Tak
mungkin di siang bolong seperti ini ada hantu gentayangan....
*** 2 "Kau tak bisa memenggal kepala orang hanya dengan tangan kosong seperti itu...,"
ejek seseorang tiba-tiba di belakang si ninja.
Lelaki itu terkesiap. Cepat kepalanya menoleh sigap, hendak mencari tahu siapa
pengacau barusan.
Sekarang dilihatnya seorang memegang katana
miliknya. Seorang pemuda. Usianya terbilang muda.
Berpakaian hijau pupus. Kain bercorak catur tersampir di bahu. Rambutnya panjang
tak terurus. Dari wajahnya tak ada tanda-tanda kalau dia penduduk asli Kyoto.
Atau dari bagian mana pun negeri Sakura ini. Ada yang menarik di ikat pinggang
pemuda itu. Sebatang pedang bergagang kepala naga.
"Lupa dengan katanamu?" susul si pemuda asing dengan bahasa Nippon terpenggalpenggal. Bibirnya cengengesan. Terlihat tolol kelewatan. Sebaliknya, sinar mata
itu membersitkan kecerdikan berlehihaa Siapa dia"
Bagaimana bisa katanaku disambar demikian rupa" Desis si ninja. Kalau katananya
bisa disambar cepat tanpa terjihat, bagaimana dia bisa mengukur kesaktian orang
itu" Wukh wukh wuhk!
Si pemuda asing memamerkan kebolehanhya
memainkan katana hasil rampasan di tangannya. Seperti juga cara merampas, gerak
permainan katananya pun begitu cepat. Tak teratur tapi sulit terukur.
Kecepatannya bahkan membuat mata katana bagai menghilang.
"He he he...! Senjatamu lumayan denok juga. Boleh kupinjam, bukan" Bukan"
Sekalian menjajalnya di tubuhmu. Boleh, bukan" Bukan?"
Sadar dirinya tak akan unggul menghadapi lawan
barunya, lelaki berpakaian hitam tiba-tiba meloloskan pedang pendek dari ikatan
pinggang. "Haaah!"
Jlep! Ditembuskannya pedang tadi hingga melesak ke
punggung sendiri! Memang itu yang diterapkan para ninja dalam melaksanakan
tugas. Mereka harus mati di tangan sendiri ketimbang tertangkap basah.
Kerahasiaan mereka lebih berharga dari nyawa sendiri!
"E-eh! Sinting juga ini manusia!"tukas si pemuda asing terkesima. Semula
dikiranya orang itu hendak melabrak. Sambil berdecak-decak tak habis-habis-nya,
pemuda itu melangkah mendekati Jotaro.
"Kau tak apa-apa, Saudara?" Pertanyaan tolol. Si pemuda tersadar. Cepat
disahutinya sendiri pertanyaan barusan. "Sudah.pasti kenapa-napa..."
Ditahannya tubuh Jotars yang hampir ambruk. Tiga senjata berbeda yang memangsa
tubuh Samurai muda itu dicabutnya satu demi satu. Sebelumnya beberapa titik
jalan darah Jotaro ditotok. S upaya menghambat keluarnya darah lebih banyak dan
sedikit mengurangi deraan sakit.
"Sss. ., siapa kau?" desah Jotaro terputus-putus.
"Aku" Cuma pengembara. Singgah ke sini untuk mencari tahu keluarga sahabatku....
Ah, sudahlah! Kau tak boleh banyak bicara dulu."
"Ttt..., tolong a-aku, Tuan.. ."
"Ya, pasti aku menolongmu. Pokoknya, kau jangan bicara dulu!"
"Istri dan bb..., bayiku. Mereka men..., culiknya."
"Baik. Tapi kau harus kuamankan dulu."
"Tak ada waktu lagi, Ttt... Tuan."
Genggaman Jotaro mengeras pada kerah baju si
anak muda. Dalam keadaan sekarat, dia masih bisa memaksa penolongnya untuk
mcmentingkan keselamatan Akemi dan bayinya.
Tidaklah berlebihan sikap Jotaro. Kareha di ujung kalimatnya terdengar jeritan
wanita. Melengking tinggi seakan dijejali ketakutan teramat sangat
"A.., kemi.. . Akemi...," lirih Jotaro. Suaranya makin kehilangan kekuatan.
Pemuda asing di sampingnya baru menyadari sikap keras Jotaro. Jotaro sendiri tak
ingin diselamatkan meski
nyawanya sudah di mulut gerhang kematian.
"Aku pergi!" putus si pemuda, akhirnya Cepat tubuh pemuda itu melesat. Tak beda
dengan saat datang, kepergiannya dari tempat tersebut pun sulit di kuti mata
biasa. Tak perlu menelan waktu lebih panjang, dia telah tiba di tempat asal
jeritan. Di sana tak ditemukannya siapa-siapa. Tidak
perempuan seperti disebut Jotaro, tak juga bayi merah.
Yang ditemukan justru gelimpangan empat belas mayat lelaki. Pembantaian baru
saja terjadi. Darah menggenang pekat
di sekitar mayat-mayat. Semuanya mati mengenaskan. Terlalu keji untuk dikatakan, terlalu bengis untuk digambarkan.
Bahkan si pemuda sendiri merasa cukup sekilas menyaksikan pemandangan itu.
Di antara empat belas mayat lelaki tadi, tampak pula beberapa mayat berpakaian
hitam-hitam. Sama seperti lelaki yang melakukan seppuku sebelumnya.
"Tampaknya pembantaian ini dilakukan oleh se-gerombolan orang. Siapa mereka?"
bisik pemuda gondrong itu.
Pertanyaan lamatnya disahuti oleh terjangan teriakan dari beberapa penjuru.
"Hiaii i!"
Sring! Sringg! Sring!
Ada-sekitar sembilan lelaki berpakaian seragam
hitam-hitam membentuk kepungan di sekitarnya. Menilik senjata penuh darah di
tangan masing-ma-sing, tampak mereka ikut andil dalam pembantaian di tempat
tersebut. Si pemuda melirik enteng satu demi satu calon
lawan."Kenapa baru sekarang kalian muncul" Aku sudah kebelet menunggu kalian
muncul," mulainya. Nadanya seramah sambutan wanita murahan.
"Apa tidak sebaiknya kalian mempreteli kain penutup wajah kalian" Biar aku tahu
pasti siapa yang wajahnya paling jelek. Atau barangkali ada yang hidungnya di
jidat, dan jidatnya di hidung?" oceh pemuda berpakaian hijau pupus. Kalau ada seorang
anak muda sakti bermulut ceriwis, urakan minta tobat, dan bertampang tanah Jawa,
maka dia gampang dikenal, Siapa lagi kalau bukan Pendekar Slebor!
Beberapa pekan lalu, anak muda buyut Pendekar
Lembah Kutukan legendaris itu dikejutkan oleh sepucuk surat. Isinya dibuat oleh
Hiroto, salah seorang yang ikut dalam petualangan hesar di Piramida Tonggak
Osiris. Ksatria Nippon itu mengundang Andika untuk datang ke negerinya. Padahal semenjak
pulang dari Mesir, Andika beranggapan Hiroto telah gugur (Untuk mengetahui lebih
jelas tentang lelaki ini, bacalah episode : "Undangan Ratu Mesir". "Piramida
Kematian" dan "Warisan Ratu Mesir"!) Dengan menumpang sebuah kapal dagang yang
hendak melakukan pelayaran ke Nippon,Andika memenuhi undangan kawan lamanya
tersebut. Kota Kyoto pun dijejaki. Baru saja tiba, dia sudah mesti terlibat kejadian
berdarah. Waktu itu Andika hendak menuju utara Kyoto. Tanpa sengaja dia melewati
tempat tinggal Jotaro. Ketika itulah disaksikannya pertarungan hidup-mati Jotaro
dengan lawan-lawannya.
Para lawan Pendekar Slebor kini mulai bergerak
mengelilingi. Langkah-langkah mereka teratur serta siaga penuh. Sesiaga sinar
mata keji mereka yang mengawasi sosok pemuda tanah Jawa itu. Berbeda dengan
mereka, kulit Andika memang agak kecoklatan. Matanya berkelopak tegas, tak seperti mata sipit para pengepungnya. Selain itu, pakaiannya pun tampak asing.
"Ngomong-ngomong, kalian hendak menyerangku atau cuma naksir" Kenapa aku diawasi
terus seperti itu?"
Celoteh Pendekar Slebor dibayar teriakan garang salah seorang lawan. "Heaaah!"
Zing! Mata katana mengancam deras. Tepat mengarah ke
leher kokoh Pendekar Slebor. Dalam keadaan berbau maut seperti itu, cuma orang
sinting yang masih bisa tersenyum-senyum. Meski bukan orang tak waras, sungguh
sulit dipercaya, Andika ternyata melakukannya!
Senyum itu bukan sekadar ringisan seorang tolol, Karena menjelang mata katana
lawan tinggal berjarak setengah jari lagi.... Sring!
Mendadak senjata bengis itu tertahan.
Tanpa terbaca mata seluruh lawan, Pendekar Slebor telah merentangkan kain
pusakanya di depan leher.
Padahal si penyerang sudah yakin setengah mampus kepala calon korbannya akan
terpental jauh dari badan.
Sementara matanya sendiri tak pernah menangkap
gerakan tangan lawan. Lalu bagaimana mungkin dia tahu-tahu sudah membentang kain
yang kenyalnya lebih tangguh dari baja" Hati si penyerang bertanya-tanya takjup.
Lebih mencengangkan lawan lagi, katana itu tak
hanya tertahan. Tapi juga telah terlilit erat di antara simpul kain! Ketika
lawan hendak membetotnya, senjata itu tak bergemik meski seujung kuku. Kerasnya
seperti sedang dihimpit sepasang gunung.
Tak putus asa, lawan mencoba betotan ke dua.
Tetap tak bergeming. Dicobanya kembali, tak berhasil juga.
Mata sempitnya bahkan sudah membesar begitu rupa.
Wajahnya sudah sematang merah udang, mengeluarkan bulir-bulir keringat sebesar
biji kacang. "Hati-hati, Tuan. Jangan terlalu dipaksakan. Nanti bisulan," bisik Pendekar
Slebor persis di depan hidung lawan.Ocehan si pendekar muda dalam bahasa Nippon
yang tak genah, masuk ke telinga lawan seperti sengatan lebah. Menyakitkan
sekali dihina seperti itu bagi seorang ninja. Didorong kemarahan, sang lawan
mencoba cara lain.
Disapunya kaki Pendekar Slebor. Kalau kuda-kudanya dapat dipatahkan, tentu akan
menjadi mudah untuk membetot katananya kembali. Begitu pikirnya.
Berkawal debu, kaki lawan memapas kuda-kuda kiri Andika.Pendekar Slebor tak
Pendekar Slebor 26 Geisha di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tampak kelimpungan menerima
sapuan kaki cepat itu. Dia hanya mengangkat satu kakinya sedikit. Maka, sapuan
itu hanya memakan angin.
Entah untuk pamer kehebatan atau hanya hendak
menjengkelkan lawan, Pendekar Slebor dengan keterlaluan membiarkansebelah
kakinya terangkat. Di lain pihak, lawan merasa mendapat angin. Harus
dimanfaatkannya kesempatan itu. Dengan satu kaki, rasanya tak mungkin lagi
pemuda asing di depan ini dapat menahan senjataku, pikirnya lagi.
Dia kecele. Nyatanya katana itu tetap tak berubah.
Biarpun sudah terasa hendak meletus urat lehernya mengerahkan tenaga tarikan.
Selatjutnya....
Trang! Lawari dipaksa terperangah kembali. Samurainya
patah dua saat itu juga! Belum beres keterkejutannya, Andika sudah menghadiahkan
satu hajaran ke kening lawan. Lebih sinting lagi, anak muda itu sengaja
mempergunakan kening pula!
"Yihaaa!"
Padahal tulang tengkorak Andika sebenarnya tak
sekeras milik lawan. Kalau Andika mengalirkan tenaga sakti warisan buyutnya
hingga tingkat delapan dan dipusatkan ke kening, itu jadi lain perkara!
Jidat lawan dijamin bukan cuma benjut sebesar
kepalan centeng. Lebih naas dari itu, tulang pelipisnya retak seketika.
Bertahan hidup dengan serpihan tulang menghujam otak adalah suatu hal yang tidak
mungkin. Sang ninja mati seketika dengan mata membelalak.
"Malang nian nasibmu, Kawan...," gumam Andika.
Bibirnya meringis. Bukan apa-apa. Biar bagaimanapun dia merasa pening juga.
Terasa ada kunang-kunang bersenda mengelilingi kepalanya.
Delapan anggota ninja bayaran lain sejak tadi hanya bisa terperangah-perangah.
Tindakan Andika dianggap mereka begitu luar biasa, Dalam dunia para ninja,
samurai, atau daimyo, kehebatan itu sulit dicari. Kebanyakan ilmu bela diri mereka
Sebenarnya mengandalkan kecepatan gerak. Selain pengolahan tenaga luar hingga
melipat gandakan kekuatan biasa.
Sementara yang dilakukan si pemuda asing sama
sekali tidak terlihat mengandalkan tenaga yang mereka kenal. Geraknya bahkan
terlalu ringan untuk bisa meremukkan kaleng kerupuk sekalipun. Di Iain sisi,
hasilnya malah membuat kawan mereka mati dengan kening melesak sedalam satu
jari! Kedelapan orang itu saling pandang. Bimbang
menentukan apakah mereka harus menghadapi juga orang asing ini atau pergi.
Karena sesungguhnya urusan mereka telah selesai.
Sampai salah seorang yang tampak berpengaruh
melepas isyarat dengan gerak bola matanya.
Mereka berhamburan serempak. Lari ke arah
herlainan. "Hei! Aku belum sempat menyaksikan wajah jeIek kalian, bukan"!"
*** Selahg sekian lama berlari, dua orang anggota ninja yang terpencar menghentikan
langkah. Napas lega dihempas mereka. Sudah yakin sekali keduanya kalau sipemuda
asing tak mengejar.
"Siapa sesungguhnya orang itu?" tanya salah seorang pada yang lain. Mereka sudah
melepas kain hitam penutup wajah. Keduanya masih cukup muda. Berusia sekitar
tiga puluhan. Wajah mereka tak ada yang sedap.
Jangankan untuk dipandang, untuk dilihat sekelebatan pun tidak, Seperti
kebanyakan lelaki Nippon, mata mereka berkelopak sempit. Pipi salah seorang
dijejali jerawat merah merangas. Hidung peseknya pun tak luput. Dengan alis
jarang, makin buruk saja parasnya.
Kawannya berbibir tebal, berkening tebal, juga
berdagu tebal. "Mana aku tahu," sahut lelaki berbibir tebal. "Jelasnya dia orang asing. Wajah,
perawakan, dan pakaiannya berbeda sekali dengan kita."
"Kira-kira, kau tahu dari mana asalnya?"
"Rasanya dari neraka!" serobot seseorang yang tahu-tahu menghadang di depan.
Keduanya tercekat. Mereka melihat orang yang
dibicarakan justru sedang asyik memanggang seekor burung. Persis di tengahtengah jalan yang mereka lalui.
"Lama sekali kalian.... Aku sudah hampir bosan menunggu. Untung aku punya
sedikit kerjaan untuk mengisi perut...," celoteh Andika, Sedikit pun tak ada
lirikan di matanya.
Kaki dua lelaki anggota ninja tersurut. Bagi
perhitungan mereka, tak mungkin pemuda asing itu bisa sampai lebih dahulu.
Apalagi telah memanggang seekor burung! Seorang daimyo andalan shogun pun belum
tentu bisa melakukannya.
"Mau ke mana lagi?" sergah Pendekar Slebor.
Diangkatnya panggangan daging burung ke depan hidung.
"Apa kalian tak mati menemani aku makan?"
Tahulah kedua anggota gerombolan pembunuh
bayaran kalau jalan lari sudah tak mungkin lagi bagi mereka. Lawan terlalu
tinggi untuk dihadapi.
Hanya satu pilihan. Seperti disepakati dalam isyarat batin masing-masing,
keduanya cepat meloloskan pedang pendek dari balik ikatan pinggang mereka.
Bles! Keduanya mati melakukan seppuku.
*** 3 Pendekar Slebor kembali ke tempat kejadian awal, rumah Jotaro. Gelimpangan mayat
sudah digerayangi lalat-lalat. Kawanan binatang kecil menjijikkan itu
mendenging-denging, seolah sedang membangun pesta-pora.
Nyawa seperti tak ada arti. Seperti tak lebih berharga dari kotoran tempat lalat
mencari makan. Kenyataan getir yang selalu harus Andika telan.
Anak muda dari tanah Jawa itu merasa harus
kembali ke tempat tersebut. Ada dua alasan buatnya.
Pertama dia harus menemukan Akemi dan bayinya. Untuk memulai pencarian, tempat
paling tepat satu-satunya adalah dari rumah kediaman keluarga malang itu. Kedua,
Andika harus menguburkan sekian mayat di sana. Untuk yang terakhir, Andika akan
mencari bantuan penduduk setempat.
Hiroto datang selagi Andika mencoba mencari sedikit petunjuk untuk dijadikan
acuan mencari Akemi dan bayinya.
'Andika San*!"
"Ah, Hiroto! Kebetulan sekali!" Samurai muda membungkukkan tubuh.
"Selamat datang di negeri kami," katanya, memberi sambutan.
"Tampaknya kita tak bisa banyak berbasa-basi,"
lukas Andika. "Kita harus cepat menyelamatkan istri dan bayi lelaki malang
kepala keluarga rumah ini"
Hiroto membungkukkan badan lagi.
"Maaf kalau Andika San terlibat semua ini. Soal Akemi dan bayinya, aku telah
berhasil menyelamat mereka.
Mereka telah kuamankan," tutur Hiroto.
Andika lega. Phiuhh....
"Hei, tampaknya kau kenal mereka?" tanya Andika.
"Jotaro. kepala keluarga rumah ini adalah adikku,"
jawab Hiroto. Suaranya terdengar melandai. Ada getar kehilangan pada kalimatnya,
meski seorang ksatria sejati
seperti dia terbiasa bersikap tegar.
"Aku turut menyesal."
Hiroto tak ingin terlarut. Segera didekati dua sosok mayat anggota ninja. Usai
meneliti sebentar, ditemukannya rajah di dada kedua mayat itu. Rajah berbentuk
seperti trisula pendek yang memiliki dua mata pada kedua ujungnya. Andika
melihat. Gambar itu jelas tidak berarti apa-apa baginya. Kecuali bagi Hiroto.
"Imada-Tong, sudah aku duga...," gumam Hiroto. '
Apa yang kau ketahui tentang mereka, Hiroto"'
"Mereka adalah perkumpulanrahasia
para pembunuh bayaran yang paling ditakuti di negeri mi," papar Hiroto, menjawab
pertanyaan Andika.
'Tak bisa kupercaya keluargaku akan terlibat dengan mereka," keluh Hiroto.
*** Akemi. Seorang janda malang nan memikat. Layaknya
kebanyakan perempuan Nippon, matanya agak sipit. Di antara kelopak matanya,
tumbuh bulu lentik. Akan mempesona manakala matanya mengatup dan membuka.
Kulitnya sebersih susu. Dengan tubuh sintal meski pun belum lama melahirkan.
Ramuan tradisional turun-temurun tampaknya membantu mengembalikan kembali
kemolekan tubuhnya. Rambutnya legam, digelung gaya wanita Nippon.
Sewaktu bertemu Pendekar Slebor, wanita itu berpakaian kimono hitam, seakan
sedang berkabung atas kematian suaminya, Jotaro.
"Perkenalkan. ini Andika San...," kata Hiroto, memperkenalkan Andika pada Akemi.
Kedua ksatria dari negeri berbeda itu telah tiba di rumah pengasingan rahasia
Hiroto, sekitar setengah hari perjalanan dari rumah Jotaro. Akemi sudah tiba
lebih dahulu. Sebagai anggota keluarga, dia memang mengetahui tempat rumah pengasingan rahasia yang
bentuknya mirip kuil itu.
Akemi cepat-cepat menjura dalam. Matanya hanya
sekejap menatap wajah si pemuda tanah
Jawa. Selanjutnya dia lebih banyak merunduk.
Demi menyaksikan kecantikan janda di depannya,
Andika tak mau buru-buru berkedip. Ditatapinya Akemi.
Dinikmatinya kulit wajah selembut sutera perempuan itu.
Hidungnya yang bangir menipis menggelitik kegemasan Pendekar Slebor. Desir darah
anak muda itu menjalang.
Dadanya jadi tak karuan.
"Andika San...," Hiroto hendak mengajak Andika berbicara. Tapi Andika malah
terus saja melompong, menggeleng-geleng dan mendecak-decak.
"Andika San...," ulang Hiroto sekali lagi. Lebih keras.
'Oh-eh, apa"!" kesiap Andika.
"Akemi kutemukan tak jauh dari rumahnya. Dengan bayinya dia bersembunyi di kuil
tua." "Ooo," Andika cuma bisa memonyongkan bibir. Dia tak begitu peduli pada penuturan
Hiroto. Yang paling dlpedulikannya sekarang ini cuma bibir ranum Akemi yang
terus dipandanginya. Dadanya kian berdentum-dentum.
Sungguh menggoda bibir itu, bisik hatinya.
Dasar buaya! Dengan agaksusah-payah, Andika akhirnya bisa
menguasaj diri kembali.
"Tapi kenapa kau sudah ada di sini, Nyonya?" tanya Andika. Anak muda itu agaknya
cuma ingin berbasa-basi, setelah mendengar ucapan Hiroto yang tadi tak begitu
ditanggapi. Dia sedikit malu hati!
"Aku ketakutan sendiri di biara tua itu. Aku takut gerombolan ninja dapat
menemukan aku dan bayiku.
Karena itu aku memutuskan untuk lari ke rumah Kak Hiroto...."
"Hmm, perempuan ini punya nyali besar," puji Andika dalam hati. Bukan hal yang
tak berbahaya bila dia harus berjalan setengah harian membawa bayinya ke tempat
Hiroto. Jika ada anggota gerombolan yang kebetulan
menemukan, maka habislah dia!
"Sebaiknya Andika San beristirahat dulu."
"Aku tak begitu letih." tolak Andika. Rasanya dia masih belum puas bertemu
Akemi. "Bukan begitu, Andika San. Aku mengundangmu datang ke negeri ini karena ingin
bertemu dengan sahabat lama. Aku ingin menjamu agar kau senang. Mungkin kita
bisa berbincang-bincang tentang pengalaman lama kita di negeri Mesir. Tapi,
nyatanya Andika San malah terlibat dengan semua kekacauan ini. Jadi, aku rasa
ini waktu yang tepat untuk menjamu Andika San. Sebelum semua
kekacauan meledak lagi...."
Andika tak bisa menolak lagi. Dengan napas agak dibanting, dianggukinya
permintaan Hiroto. Hiroto bertepuk dua kali.
Dari ruang dalam, keluar seorang perempuan muda cantik. Wajahnya tak kalah
dengan Akemi. Begitu juga tubuhnya. Wanita itu berkimono berwarna merah muda.
Dia adalah geisha milik Hiroto.
Andika menyumpah-nyumpah dalam hati. "Sial!
Kenapa banyak sekali makhluk menggemaskan di tempat ini"!" Dengan berjalan
merunduk-runduk seraya memegangi belahan kimono di bagian pahanya, wanita itu
duduk dengan kepala tertunduk.
"Coba kau antar Tuan Muda ini ke pemandian air hangat. Dia tentu ingin
membersihkan diri. Layani dia dengan baik...," ucap Hiroto datar.
Geisha cantik di dekat pintu geser merundukkan
badan."Silakan...," hatur Hiroto seraya mengangsurkan tangan pada Andika.
Sang geisha keluar ruangan. Andika mengikuti lanpa banyak cincong. Seperti
kerbau yang dicocok hidungnya! Di bagian belakang rumah, ada ruang khusus untuk
pemandian air hangat. Bak besar dari kayu tersedia di sana. Di dalamnya, air
mengepulkan uap yang lamban
mendaki ke udara. Tak jauh dari bak itu, satu baki sake dan sakazumi sudah pula
disiapkan. Andika diajak masuk ke ruang itu oleh si geisha.
"Silakan T uan membuka pakaian...," kata perempuan cantik berpipi halus agak
bersemu kemerahan itu.
Andika menatapnya tak mengerti. Bagaimana dia
bisa membuka pakaian kalau seorang perempuan cantik ada tepat di depannya" Apa
itu tidak sinting, pikirnya.
"Kau tetap di sini?" tanya Andika, seperti orang linglung.
Geisha tadi mengangguk. Ada senyum tersembul di bibir tipis memerahnya mendengar
kalimat dalam bahasa Nippon yang begitu berantakan diucapkan Andika.
Andika dipaksa cengar-cengir serba salah kalau
sudah begitu. "Ng.. , bagaimana, ya...," gumam Andika. "Apa kau tidak perlu keluar?" pancing
Andika. Dia agak risih kalau berterus terang.
Geisha tadi tersenyum kecil lagi. Sekali ini kar? na dia menemukan paras Andika
yang sudah tak karuan lagi.
Antara serba-salah, risih, dan malu yang campur-aduk!
Bodoh sekali kesannya.
"Kalau Tuan menyuruh saya untuk keluar, saya akan keluar," kata si geisha.
"Biasanya tamu-lamu
Tuan Hiroto yang lain bagaimana?" Andika penasaran. Dia jadi mau tahu apa memang hal itu sudah biasa
di tempat yang asing baginya ini.
"Bagaimana maksud Tuan?" Geisha berkimono merah muda balik bertanya.
Andika ragu-ragu. Mau bilang langsung, masih rada sungkan. Mau tak bilang dia
pun tak bisa. Masa' iya dia mesti menganggap wanita di sebelahnya tak ada
sementara dia melepas pakaiannya"
"Maksudku..., ng hee-he-he!" Andika garuk-garuk kepala. Gatal atau tidak, dia
tak peduli. Pokoknya garuk kepala! "Maksudku, apa mereka tak menyuruh kau keluar
dulu sewaktu mereka membuka pakaian?" Anak muda itu akhirnya nekat. Bukankah
malu bertanya sesat di jalan"
Mendapati tingkah anak muda asing yang dianggapnya begitu lugu, geisha tadi tertawa tertahan.
"Kenapa malah tertawa" Apa pertanyaanku lucu?"
Jawaban yang didapat Andika sama. Tawa tertahan geisha cantik didekatnya. Dengan
Pendekar Slebor 26 Geisha di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua tangannya dia berusaha menyembunyikan tawa itu.
"Tuan meminta saya keluar?" akhirnya geisha itu mulai paham maksud Andika.
"Betul!" tukas Andika girang sekali. Rasanya seperti baru terbebas belenggu, dia
membatin. Geisha Hiroto keluar dengan langkah-langkah
pendeknya yang terhalang kimono. Terdengar geser halus ketika tangan lembutnya
menutup pintu, Andika lega sekarang. Mau buka pakaian tak akan jadi malu. Karena itu cepatcepat dibukanya pakaian. Satu-satu, sampai tersisa yang dianggap tak perlu
dibuka. Anak muda itu sudah tak sabar ingin merasakan bagaimana nikmatnya
resapan air hangat di dalam bak, Ingin juga menghirup aroma rempah-rempah yang
dicampurkan ke dalamnya.
"Wahl, sekali seumur hidup aku mandi seperti ini,"
gumamnya seraya melangkah mendekati bak besar. Dua langkah ke depan, pintu di
belakangnya terdengar bergeser lagi. Geisha tadi hendak masuk kembali.
"Mak!"
Tak alang kepalang kelimpungannya Andika meloncat ke dalam bak besar. Byur!
Lama anak muda urakan itu tak berani muncul dari dalam air. Cuma terdengar bunyi
gelembung-gelembung udara keluar dari napasnya. Dia tak mau muncul sebelum yakin
benar wajahnya sudah tak merah padam karena malu! Perlahan-lahan, dengan rambut
basah kuyup kepala pendekar muda itu akhhirnya muncul juga.
"Maaf T uan. Hiroto San menyuruh saya mengantar
pakaian ganti," tutur sang geisha di mulut pintu. Di tangannya ada setumpuk
pakaian dalam beberapa warna.
Andika cengengesan. Maksudnya unluk menutupi
rasa malu yang membekas di raut wajahnya..
"Lain kali, kau... ah, sudahlah!" tepis Andika, urung mengingatkan perempuan
muda jelita di mulut pintu.
"Sekarang, apa saya sudah boleh masuk dan
mcmbersihkan tubuh, Tuan?" tanya sang geis ha, membuat Andika membuka mulut tak
dapat bicara....
"Ng.. , siapa namamu, Nona?" tanya Andika, mengalihkan pembicaraan.
Dia merasa ditelanjangi
mentah-mentah saat pelayan wanita itu menawarkan layanan yang dianggap Andika
keterlaluan tadi.
"Kissumi."
"Hm..., nama bagus," puji Andika asal bunyi. Tahu tidak dia artinya.
"Kau mau menolongku, Kissumi?"
Wajah perempuan bernama Kissumi menjadi cerah
mendengar permintaan Andika. Selaku seorang geisha, diri dan kehormatannya
dipertaruhkan untuk menyenangkan tuannya.,
"Apa saja, Tuan....""Panggil aku Andika."
"Baik, Andika San."
"Tolong kau keluar selama aku mandi. Kalau kau terus berada di situ, seharisemalam aku bisa berada dalam bak hangat ini!" pinta Andika. Mana mau dia
menjadi matang seperti toge rebus!
Wajah Kissumi menyemburatkan kekecewaan mendalam mendengar permintaan Andika. Dia seperti tidak
diberi kesempatan untuk melayani tuannya sepenuhnya. Padahal, apa pun siap dilakukan. Penolakan baginya seperti
kehormatan dirinya ditelantarkan.
Andika tak peduli. Dia begitu semata karena tak tahu. Mendapati ada kekecewaan
di wajah Kissumi, Andika jadi berpikir lagi. Apa dia telah melakukan kesalahan"
"Ah, aneh-aneh saja negeri orang-orang sipit ini,"
gerutunya sambil menciduk air hangat ke kepalanya.
Tak memakan waktu lama, pendekar muda dari
tanah Jawa itu sudah keluar dari ruang pemandian.
Mandinya memang selalu seperti capung cebok. Kebiasaan dari kecil yang terus
dibawanya sampai sekarang. Kalau sekarang dia mandi agak lama, itu pasti mandi
terlama yang pernah dilakukan selama hidup! Pasti!
Pakaian yang disediakan Kissumi sudah pula dikenakan Andika. Anak muda acuh itu tak mau pilih-pilih lagi, meski ada beberapa
potong pakaian disediakan. Yang tersambar tangannya, itu yang dipakai. Kebetulan
yang didapat wama putih, sangat sepadan dengan kulilnya yang coklat garang.
Pantas tidak pantas, Andika menyampirkan pusaka ke bahunya. Benda itu jelas tak
sama dengan pakaian butut bau siluman pasar yang Biasa dipakainya. Kain itu
pusaka berharga dari buyutnya sendiri Pendekar Lembah Kutukan. Mana mau dia
meninggalkan begitu saja"
Sementara di ikatan kimononya diselipkan sebilah pedang. Pedang Pusaka Langit.
Senjata pusaka itu didapatnya dari Chin Liong, seorang panglima Kerajaan Cina
yang juga sahabat baiknya. (Tentang hal itu, bacalah episode : "PerompakPerompak Laut Cina"!)
"Ah, Andika San. Bagaimana pelayanan Kissumi?"
sambut Hiroto di ruang minum teh.
Andika buru-buru mengangguk
"O, memuaskan! Sangat memuaskan!" serunya dengan sedikit sandiwara. Dia tak mau
memburukkan nama Kissumi di depan Hiroto.
"Bagus! Bagus!"
Hiroto tampak gembira sekali. Kepalanya bahkan
sampai terangguk-angguk keras.
"Kau sudah 'bermain' dengan Kissumi, Andika San?"
aju Hiroto bersemangat.
Bermain" Andika terlongo.
Sama sekali tak dipahaminya pertanyaan Hiroto.
"Bermain apa maksudmu?" Karena penasaran,
Andika akhirnya bertanya. Tak peduli apakah nanti dianggap bodoh oleh Hiroto
atau tidak. Hiroto malah tergelak. Kepalanya mendongak,
memperlihatkan jakun yang turun naik. Perlakuan lelaki itu makin memperosokkan
si Pendekar Slebor dalam liang ketidak mengertian.
"Katakan padakn. Hiroto. Apa maksudmu dengan
'bermain'?" susul Andika lagi. Makin lugu saja sikapnya di mata Hiroto. "Apa
tradisi negeri ini menyediakan mainan di bak mandi seperti kebiasaan bocah?"
Andika mendesak.
"Atau......"
Mendadak pendekar muda itu memancung kalimatnya sendiri. Benaknya mulai bisa mengendusi apa maksud lelaki muda Nippon
di depannya. Tanpa berkedip, Andika berbisik.
"Apa di negeri ini seorang pelayan wanita siap melakukan apa saja?" tanyanya
hati-hati. Cuma takut kalau pertanyaannya ternyata salah.
Hiroto mengangguki.
"Semuanya"!" sentak Andika.
Hiroto tergelak lagi.
Andika malah terbengong lagi.
Seorang anak lelaki berusia lima tahun masuk ke ruangan. Didekatinya Andika yang
sedang meneguk teh hangat. Dengan kehangatan polos, Andika ditubruknya.
Bocah kecil lucu berkepala hampir botak itu bergelayut di bahu Andika.
"Akimoto!" hardik Hiroto. "Jangan bersikap tak sopan seperti itu pada tamu
Ayah!" Anak yang dipanggil Akimoto menyusutkan badan.
Perlahan dia beringsut dari bahu Andika. Wajahnya terlipat.
Antara takut dan kesal.
"Dia anakmu, Hiroto?" tanya Andika.
"Hai*! Anak tunggalku, Andika San. Nakalnya bukan main!"
"Siapa namanya tadi?"
"Akimoto."
"Haaa, Aki.... Aki. .," Andika ingin menegur bocah yang sudah beranjak ke
sampingnya. Tapi nama anak itu terlalu sulit buat telinganya. "Aki apa tadi?"
"Akimoto."
"Yah Akimoto! Kenalkan...." Andika menjulurkan tangan pada Akimoto. "Paman
Andika dari tanah Jawa,"
sambungnya memperkenalkan diri.
"Di mana tanah Jawa, Paman Andika?" tanya Akimoto. Anak itu tampaknya cepat
akrab dengan siapa saja. Matanya berbinar ketika mengetahui tamu ayahnya tak
marah padanya. "Jauh! Jauuuh sekali!" Andika pun berusaha akrab dengan bocah lucu itu. Waktu
bilang 'jauh', bibirnya pun jadi ikut 'jauh'.
Akimoto terkikik melihatnya.
"Ayo, Akimoto. Kau main di luar. Jangan ganggu Ayah dan teman Ayah!" perintah
Hiroto. Akimoto cemberut lagi. Sebelum keluar pintu, bocah itu mengepalkan tinjunya pada
Andika. "Paman Andika pandai berkelahi"!" tanyanya seperti menantang.
Andika tertawa. Ditepuknya dada.
"Paman jagonya!" sesumbar Andika, bergurau.
"Kalau begitu, nanti berkelahi sama Akimoto, ya"!"
Setelah itu Akimoto kecil berlari. Hiroto hampir saja mencambuknya dengan tali
samurai. Tawa kecil terkikiknya masih terdengar.
'Dasar anak-anak...," ujar.
Andika. Kepalanya menggeleng-geleng.
"Aku tak menyangka kau sudah menikah. Mana tstrimu" Sejak aku datang, aku tak
melihatnya...," tanya Andika kembali.
Hiroto seperti tepekur sejenak. Tangannya rriengusap-usap dagu mengiringi helaan napas panjang dan dalamnya.
"Istriku meninggal ketika melahirkan Akimoto,"
desahnya. "Ah, kalau begitu aku turut menyesal. Kau tentu
kehilangan?"
"Ya. Dia amat kucintai. Rasanya tak ada lagi wanita yang bisa kucintai selain
wanita itu."
"Kau jangan berkata seperti itu. Nanti pun kau akan menemukan lagi wanita yang
kau cintai. Kucing tak pernah kehilangan selera pada daging, bukan?" seloroh
Andika, mencoba menghibur temannya.
"Meoongg.... Ha ha ha!" ledek Andika setelah mcnirukan suara kucing.
Hiroto tertawa juga akhirnya.
Kedua teman lama itu kembali mereguk teh hangat.
Malam di luar mengungkung hari. Gemerisik daun-daun terbawa angin terdengar
sampai tempat mereka. Musim semi memang menumbuhkan banyak bunga. Tapi daun
kering di tanah masih tetap menumpuk tebal.
Desau angin yang menyelinapi malam ditebas oleh suara yang jauh lebih kcras.
Suara lengkingan seorang anak kecil dilanda ketakutan. .*
"Akimoto!" sergah Hiroto tersentak.
Tubuhnya bergegas bangkit Cepat disambarnya samurai di dojo.
Andika tak perlu ambil apa-apa. Senjata yang
diperlukan sudah ada padanya, kain pusaka dan Pedang Pusaka Langit. Itu pun
belum tentu dipergunakan jika keadaan tak begitu mendesak: Dia langsung mencelat
keluar melalui jendela yang terbuka.
Di luar, di antara gemerisik kecil daun kering, anak muda itu tak menemukan
siapa-siapa. Keadaan lengang.
Terlalu lengang untuk bisa disebut genting. Bahkan sosok si kecil Akimoto tak
juga didapati. "Ada yang tak beres...," nilai Andika, berbisik.
Dibiarkannya tubuh terdiam, mempertahankan kesiagaan puncak. Segenap kemampuan
inderanya terkerahkan.
Terpusatkan. Ada yang tak beres. Kenyataannya memang begitu.
Dengan tiba-tiba, tumpukan dedaunan kering di tanah berhamburan di beberapa
tempat. Andika tercekat. Benaknya sama sekali belum dapat
menebak apa yang tengah terjadi. Sampai semuanya benar-benar jadi jelas ketika
dari hamburan dedaunan kering
tadi mencelat keluar belasan orang-orang berpakaian hitam-hitam! Mereka siap dengan senjata masing-masing. Semuanya siap
merencah Pendekar
Slebor!"Kalian lagi...," gerutu Pendekar Slebor dalam. Biar bagaimanapun dia
benci membunuh. Orang-orang seperti para pengepungnya kini adalah orang-prang
yang selalu memaksa Andika untuk menodai tangan dengan darah.
Mereka akan membunuhnya tanpa perlu memberi
kesempatan sedikit pun atau alasan apa pun. Kalau ada yang hendak membunuh,
bagaimana Pendekar Slebor bisa menghindar
untuk tidak membunuh pula dalam mempertahankan diri"
Sebelum gerombolan berpakaian hitam maju
menerjang, dari dalam rumah, sesosok tubuh tegap perkasa menerobos dinding
kertas. Di tangannya katana siap disabetkan!
"Heaaa...!"
Gerombolan ninja tersentak sejenak. Naluri tarung terlatih mereka segera
menyadari bahaya datang. Mereka menggerakkan senjata bersamaan. Serangan
mendadakitu tak urung mengacaukan bentuk kepungan mereka
terhadap Pendekar Slebor.
Zing! Trang! Salah seorang dari mereka bersiaga ke tengah
kepungan. Saat yang sama, Hiroto.
si penyerang dari
dalam rumah disambutnya. Ditangkisnya tebasan lurus katana Hiroto.
Pijar-pijar liar tercipta dari tumbukan senjata Hiroto dengan katana lawan.
Sekejap suasana jadi benderang.
Garis-garis wajah berang Hiroto tersembul sekejapan pula.
Lawannya tersurut. Tebasan Hiroto terlalu kuat. Dengan perhitungan yang keliru,
tentu saja tindakan memapaknya akan menjadi satu kesalahan.
"Haih!"
Traang! Tanpa memberi kesempatan, Hiroto menyusulkan
serangan. T ak kalah kuat, tak kalah mengancam. Lawan tadi masih sempat
mengikuti arah katana Hiroto. Pada gerakan selanjutnya, dia malah terkecoh.
Senjata Hiroto dapat ditahan agar tidak menebas pinggangnya, secara tiba-tiba
terangkat penuh kekuatan.
Bles! "Khh!"
Pendekar Slebor 26 Geisha di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya sempat melempar erangan pendek, leher
lelaki berpakaian hitam tadi tertembus katana Hiroto!
Pendekar Slebor, meski sudah kenyang menelan
kekejiaan demi kekejaman dunia persilatan tak urung bergidik juga menyaksikan
cara kawannya membereskan lawan. Dari sana, Andika bisa menilai. Hiroto tak
ingin menganggap sepele satu orang pun di antara gerombolan Imada-Tong. Kalau
perlu membunuh dengan cara berkesan keji seperti tadi, dia akan melakukannya.
Mendapati satu rekannya mampus, anggota gerombolan Imada-Tongyang lain serempak menyerbu Hiroto di tengah kepungan.
Pendekar Slebor sekararig harus turun tangan. Karena dia pun tampaknya menjadi
sasaran serangan, di samping Hiroto.
Pendekar Slebor maupun Hiroto tahu, agar bisa lebih menguntungkan di bawah
hujanan serangan serempak seperti itu mereka harus saling memunggungi. Dengan
begitu, mereka bisa saling melindungi.
Lawan pun akan mendapat kesulitan menyerang dari arah belakang.
Tapi, Andika punya pikiran Iain.
Tanpa bisa dimengerti Hiroto, anak muda sakti dari tanah Jawa itu melayang
tinggi-tinggi di antara kepala penyerangnya. Belasan lelaki berpakaian hitam
terdongak. Di balik kain hitam penutup wajah, tentu wajah mereka berkerut karena terkejut.
Gerakan ringan seperti tak memiliki
bobot yang dilakukan Pendekar Slebor mengagumkan mereka. Untuk bisa melakukan itu, mereka
mungkin harus mempelajarinya puluhan tahun. Sementara usia anak muda itu tak
lebih dari tiga puluhan.
Keterperanjatan tadi tak dibiarkan mereka lebih lama. Mereka adalah orang-orang
terlatih. Pembunuh berkeahlian tinggi. Salah satu godokan keras yang didapat
mereka adalah tempaan mental. Dalam keadaan yang mampu mengguncangkan jiwa
manusia biasa mereka
dapat menghadapinya dengan sikap dingin. Jadi, kehebatan yang diperlihatkan Pendekar Slebor tak sedikit pun mengkerutkan nyali
mereka. Sigap, beberapa orang di antara mereka melempar tubuh, mengikuti arah Pendekar
Slebor. Beberapa saat tubuh' mereka bergulingan di tanah, sementara tubuh
Pendekar Slebor melayang di atas mereka. Karena menganggap Pendekar Slebor jauh
lebih piawai dan berhahaya dari Hiroto, maka kekuatan lawan sebagian tersedot ke
arah Andika Tinggal dua penyerang yang mencoba menyingkirkan Hiroto. Itu memang
maunya Pendekar Slebor. Dia ingin Hiroto cepat menyelesaikan penyerangnya lalu
segera mencari Akimoto.
Manakala Andika sudah menjejakkan kaki, mereka
pun berdiri nyaris berbarengan. Seperti telah diatur, mereka langsung berdiri
membentuk kepungan baru bagi Pendekar Slebor.
Plok! Plok! Plok!
Pendekar Slebor bertepuk tangan ramai.
"Kalian sudah cukup pintar. Setelah ini, kalian bisa mendapatkan sesisir
pisang!" ocehnya, menganggap para lawan kera peliharaan yang baru selesai
dilatih. Dua-tiga pengurungnya mendengus berat. Berbarengan mereka menyerbu ke tengah-tengah, tempat Pendekar Slebor berdiri.
Teriakan para Imada-Tong itu menyatu.
Menggelegar menyeruak malam karena memadat satu dengan yang lain. Katana di tangan mereka terayun ke atas, siap
membelah-belah tubuh pemuda berkulit coklat.
Dalam kegentingan seperti itu, PendekarSlebor
masih sempat menukas.
"Hei, jangan sewot dulu! Apa kubilang kalian ini monyet-monyet yang baru
kulatib"! Aku tidak mengatakan itu bukan"!"
Lalu tubuh anak muda itu mencelat. Bacokan buas lima belas katana hanya
berbenturan satu sama lain.
Sasarannya malah mengapung hanya tiga jengkal di atas, seperti anak monyet
bcrjongkok di udara.
"Kalian saja yang terlalu cepat tersinggung!" tambah Andika. Tubuhnya tahu-tahu
sudah bertengger di salah satu ujung katana. Tanpa mengubah posisi tubuh, anak
muda itu berjongkok santai seraya mengusap-usap kepala seorang lawan.
Para penyerang geram. Baru kali ini mereka bertemu dengan seorang yang begitu
punya nyali mem-permainkan anggota gerombolan Imada-Tong. Perkumpulan pembunuh
yang memiliki pamor paling menakutkan di negeri Sakura itu!
Serempak mereka menarik katana.
Andika meluruk turun ke bumi. Sambil meluncur,
mulutnya menyambung ocehan lagi.
"Atau kalian memang benar-benar monyet-monyet yang mengenakan topeng kain"!
Nyet! Nyet!"
Sekerdip sebclum kakinya menyentuh tanah, para
lawan membabatkan senjata kelima belas tempat berbeda di tubuh Pendekar Slebor.
Itu akan menutup seluruh ruang gerak Pendekar Slebor. Ke mana pun Andika
bergerak, maka mata katana setajam pisau cukup siap menyambutnya. Siap mengoyak kulitnya! Sungguh serangan handal yang amat sulit dihindari.
Jangan sebut Pendekar Slebor kalau untuk Itu saja dia akan kehilangan taktik
tarung. Dengan mengandalkan kecepatan gerak yang amat
dikagumi kalangan persilatan, Andika justru sengaja menyorongkan tubuh ke satu
mata pedang Mata lawan membelalak sekejap. Mereka tak menyangka si anak muda
berwajah asing melakukan itu.
Dalam selang waktu yang lebih cepat dari kedipan kelopak mata, tangannya
menjulur cepat ke gagang pedang lawan, berkejaran dengan gerak sabetan katana
yang siap memenggal lehernya.
Tik! "Wuaaa!"
Lagi-lagi para lawan dipaksa membelalak. Seorang kawan mereka telah melepas
katana yang mestinya sudah memenggal leher si anak muda. Sebelah tangannya
memegangi tangan yang lain. Sentilan kecil Pendekar Slebor telah membuat
sebagian tulang tangannya retak!
Andika meringis sendiri Sengaja untuk mencemooh lawan."Aduh, bagaimana ya...,"
gumam Andika berpura-pura tolol.
Lawan yang telah retak tulang tangannya, meloloskan senjata yang lain. Dari ikatan pinggangnya ditarik satu senjata dari
rantai tipis panjang. Bahannya dari baja. Pada kedua ujung rantai terdapat
bandul pemberat dari baja pula.
Wukh-wukh-wukh!
Udara di si suara menderu ketika rantai itu diputar pemiliknya.
"Mau apa kau dengan rantai itu" Itu bukan kalung warisan nenekmu yang sudah
meninggal terserang panu, bukan" Jangan! Jangan! Ampuni aku.... Aku takut
nenekmu mengutukku menjadi biang dari segala biang panu!"
seloroh Andika. Dipasangnya wajah takut. Meringis-ringis dia. Dibuat-buat. Jadi
lebih mirip orang telat buang hajat daripada orang ketakutan.
Rantai tadi pun dilepas. Putarannya merangsak ke angkasa. Lalu menukik cepat ke
kaki Andika. Srrt!
Seketika sepasang kaki Pendekar Slebor terjerat ketat. Sebetulnya, tak sulit
bagi pendekar muda dari tanah Jawa itu untuk menghindar. Namun di benaknya dia
punya rencana yang lebih menyenangkan ketimbang cuma
menghindar. "Yah...," keluhnya seperti bocah baru 'ketelepasan'
ngompol di celana. Dilirik sepasang kakinya.
Terjeratnya kaki lawan, menjadi aba-aba khusus
untuk kelima belas anggota Imada-Tong untuk menerjang Pendekar Slebor kembali.
Semuanya masih bernafsu untuk menyarangkan mata katana masing-masing ke tubuh
lawan. Kecuali lelaki yang tangannya terluka. Dia seorang diri menggunakan
pedang pendek yang dilepasnya dari ikatan sepatu.
Ikatan baja tipis di kaki Pendekar Slebor demikian kuat. Beberapa korban
sebelumnya tak ada yang bisa melepas nya dalam waktu cepat. Apalagi dibayangi
serangan susulan di sekitarnya.
Belasan mata katana dan satu pedang pendek
mendekat dan mendekat demikian cepat. Setiap senjata seperti punya mata sendiri
untuk memilih bagian tubuh lawan yang paling empuk!
*** 5 Di dekat sebuah sungai kecil, tiga orang berpakaian segelap malam sedang
berlari. Salah seorang membopong karung hitam. Karung hitam itu bergerak-gerak.
Ada yang meronta-ronta di dalamnya. Dari dalamnya pula terdengar jeritan
ketakutan seorang bocah.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku! Kalau kalian berani, lawan aku! Akimoto tak pernah
takut berkelahi dengan kalian orang-orang jahat!" begitu teriakan si bocah dari
dalam karung. Anak itu memang Akimoto. Anak Hiroto yang berhasil dilarikan oleh ketiga lelaki
berpakaian ninja. Mereka sebagian anggota Imada-Tong yang menyerbu rumah Hiroto
malam ini. Tiba di tepi s ungai, ketiganya berhenti. Dua lelaki yang bergegas menuju semak.
Lelaki yang membopong Hiroto menunggu.
Tak lama kemudian, dua ninja tadi sudah kembali dengan.
menggotong perahu kecil. Mereka menyembunyikan perahu kecil itu di dalam semak-semak.
Tampaknya; itu sebagian rencana matang mereka.
Perahu lalu dilempar ke permukaan sungai. Dua
lelaki tadi naik terlebih dahulu. Lelaki yang membopong Akimoto menyusul
kemudian. "Cepat kita menyingkir!" aba-aba salah seorang. Lalu, mereka menjemput kayuh
dari dasar perahu. Dengan cerdik, mereka sengaja mengayuh perahu ke hulu sungai.
Artinya mereka harus mengerahkan tenaga berlebihan untuk menentang arus. Namun
dengan begitu, mereka bisa memperdayai orang-orang yang mungkin mengejar.
"Tak semudah itu kalian menyingkir!" tahan seseorang di seberang sungai.
Pendatang baru itu berdiri di kegelapan. Sama seperti ketiga anggota ninja di
perahu, orang ini pun mengenakan pakaian gelap. Wajahnya pun tertutup. Bedanya,
dia mengenakan kain penutup warna ungu.
Ketiga ninja cukup tersentak. Sejauh ini, mereka menganggap semuanya berjalan
mulus. Tak disangka tak diduga ada orang yang berhasil memergoki mereka.
Keheranan itu menyebabkan ketiganya tak begitu
memperhatikan apakah orang di seberang sungai lelaki atau perempuan.
"Hghhh!" dengus salah seorang anggota Imada-Tong gusar. Sekaligus pula dia
berbicara dengan bahasa isyarat gerombolan mereka. Dua lelaki lain mengerti
maksud kawannya tadi. Mereka melompat ke tepi sungai.
Sementara satu orang meneruskan kayuhan;
Sadar siasat sedang dijalankan ketiga calon lawan, orang tak dikenal di seberang
sungai menghentak tubuh.
Bagai manyar, orang itu melayang menyeberangi sungai selebar enam-tujuh tombak.
Di tengah jalan, orang itu meloloskan dua bilah belati kecil. Satu belati pada
satu tangan. Sat-sat! Kulit kepala ninja di atas perahu hendak disayatnya.
Kesiagaan ninja di atas perahu menyelamatkannya dari kehilangan
nyawa seketika. Kayuh di tangannya dimanfaatkan untuk menangkal sabetan belati tadi.
Tak! Selanjutnya, si penyerang tak dikenal mendarat
tujuh-delapan kaki dari dua ninja lain.
Tampak betapa gusarnya si orang tidak dikenal
mengetahui serangan pertamanya gagal. Dia menoleh ke perahu. Lelaki berpakaian
hitam di atasnya terus mengayuh sekuat tenaga, hendak menyingkir secepatnya dari
sana. Padahal si orang tidak dikenal menghendaki semua lawannya dapat
dibereskan., Kalau saja dua anggota Imada-Tong di tepi sungai tak cepat menggebrak, tentu
orang bertopeng kain ungu tadi akan berusaha menahan perahu kembali,'
"Haiahh!"
Berkawal lengking yang sesak dengan hawa
membunuh, dua ninja di tepi sungai menerjang. Satu orang
mengirim tinju berkecepatan tinggi. Dada orang bertopeng ungu hendak
dilantakkan. Yang lain menyapu pertahanan lawan dengan kaki. Swing!
Mata orang tak dikenal membelalak di antara kain penutup wajahnya. Tinju satu
lawan yang berhasil dihindarinya menebar angin tajam. Ketika sinar bulan
setengah menyinari tangan penyerangnya, dilihat tangan itu dilengkapi dengan
semacam sarung tangan baja bergerigi tajam. Sejari lagi, dadanya bisa terkoyak
oleh benda itu.
Tak sempat terkejut lebih jauh, orang tak dikenal sudah harus menghindari sapuan
kaki lawan lain. Agar benda tajam di tangan lawan sebelumnya tak mengejar, orang
tak dikenal berusaha sedikit menjauh. Sekaligus pula menghindari sapuan tadi.
"Heah!"
Satu salto cantik dibuat ke belakang. Tumpuan
tangan dilakukannya beberapa kali selarua berputaran.
Meski masih memegang belati, orang bertopeng ungu tak mengalami kesulitan
melakukannya. Begitu menjejak bumi, dua lawan mencecar lagi.
Kalau menerjang, kedua ninja tak bisa langsung
membuat tekanan. Jarak mereka dengan orang tak dikenal sudah cukup jauh. Agar
mereka tak kehilangan waktu mengejar lawan, sementara mereka tetap mendesak,
mereka melakukan jalan pintas.
Tangan keduanya bergerak sekelebatan. Swing-wing-swing!Beberapa larik kerjapan
benda tajam melesat.
Karena belum siap untuk melompat, orang tak
dikenal mengambil resiko memapaki semua hamburan senjata rahasia dua lawan.
Trang-trang-trang!
Pendekar Slebor 26 Geisha di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dua belati di sepasang tangannya mematuk-matuk
cepat ke segenap penjuru. Bunyi denting menusuk gendang telinga berpencaran,
seiring dengan terperciknya bunga-bunga api. Lalu seluruh senjata rahasia tadi
rontok ke tanah. Bentuknya seperti bintang dari lempeng logam.
Sejenak dua ninja bertukar tatap. Kepala mereka mengangguk samar.
Srang! Katana di belakang punggung mereka diloloskan
bersamaan. Kalau senjata itu sudah keluar dari sarungnya, itu berarti keduanya
siap melakukan pertarungan hidup-mati!
"Hiaaaa!"
Wukh wukh wukh!
Seperti mencoba menggedor nyali lawan, untuk
beberapa saat mereka mempertunjukkan kemahiran
memainkan katana di sekujur tubuh mereka, pantulan sinar memanjang logam tipis
amat tajam itu berseliweran.
Cepat dan semakin cepat.
Kaki mereka pun memperpendek jarak antara
mereka dengan orang tak dikenal. Langkahnya lambat.
Satu-satu. Sangat bertolak belakang dengan gerak amat cepat katana di tangan
mereka. Lawan hendak bertaruh nyawa! Pikir orang tak
dikenal, menilai. Menyadari hal itu, dia pun mempersiapkan segenap kesiagaan. Membangun seluruh kesiapan. Desah napas
panjangnya ditarik sejenak, dan dihembus perlahan pada waktu berikutnya. Kedua
tangannya menggenggam belati erat-erat, ketat-ketat.
Kalau mereka siap mati, aku pun begitu, sumpah
orang tak dikenal membatin....
*** Kembali ke medan laga di sekitar rumah Hiroto.
Pendekar Slebor saat itu di ujung mulut kematian, tepatnya di mata seluruh
senjata kelima belas lawannya.
Entah si pemuda sableng itu sudah kebal dengan kata kematian, atau otaknya
memang kerasukan kotoran jamban. Bukannya ketakutan, Pendekar Slebor malah
berteriak kegirangan. Tangannya terangkat-angkat ke
udara."Hiaaha-haaa!" serunya dengan mulut terkuak boros-boros. Para lawan tak
peduli dengan tingkah sintingnya.
Mereka tak ingin terkecoh. Bahkan sepertinya bentakan dari alam kubur pun tak
bisa menghentikan niat mereka merencah tubuh lawan. "Heaa!"
Padat, bergemuruh, dan nyalang, teriakan kelima belas lelaki itu terdengar.
Tepat pada saat mereka mengayunkan senjata ke tubuh Pendekar Slebor.
Trang! Trang! Trang!
Benar senjata mereka berhasil merencah pemuda
urakan yang seumur hidup baru sekali berkimono itu" Jauh di luar seluruh gelegak
nafsu kelima belas ninja, sesuatu telah terjadi. Segenap pikiran mereka saat itu
juga diputar sekejapan. Mereka tak mengerti apa yang terjadi. Yang mereka tahu,
senjata mereka semuanya mendadak
tersentak hebat. Ada sengatan keras seperti tegangan petir kecil menjalari
tangan mereka. Seluruh senjata mereka terpotong dua!
Yang lebih membuat mereka tertegun, mata mereka menangkap
sekelebatan sinar merah membentuk lingkaran panjang menyilaukan. Sebentang kejadian yang baru sekali itu dialami
membuat mereka mematuhg di tempat masing-masing. Semuanya masih berkerumun di
tempat Pendekar Slebor sambil menatap tak berkedip senjata kutung di tangan
masing-masing. Senjata mereka masih bersentuhan satu dengan yang lain, tepat di
depan mereka. Ke mana Pendekar Slebor sendiri"
"Hompimpa alaihum gambreng! Nek Ijah pakai kain rombeng! ejek Pendekar Slebor.
Di atas ranting pohon yang tak lebih besar dari jari telunjuk, anak muda itu
bertengger santai. Tangannya menimang-nimang Pedang Pusaka Langit!Patut
diketahui, Pedang Pusaka Langit adalah pedang yang memendarkan cahaya merah
bara. Terbuat dari pecahan batu luar angkasa yang berhasil menerobos
selubung udara bumi. Pedang pusaka itu memiliki kelebihan dari pusaka lain. Di
dalamnya terdapat satu medan gelombang kekuatan. Seorang yang memegangnya secara
langsung akan terpengaruhi oleh medan gelombang kekuatan
itu hingga dapat melipatgandakan
kcmampuannya scpuluh kali lipat! (Untuk mengetahui asal-usul Pedang Pusaka
Langit, bacalah episode: "Pusaka Langit"!)
Pemuda sakti dari tanah Jawa itu sebenarnya belum perlu benar mempergunakannya.
Tapi sifat usilnya telah menggelitik dia untuk sedikit menjajal kehebatan Pedang
Pusaka Langit. Di lain kancah. Hiroto sudah berhasil memancung kepala seorang lawannya. Sisa
seorang lawan kini dalam keadaan tersudut mutlak. Sambaran-sambaran katana
Hiroto seperti mengurung ke setiap arah. Memadati udara, tak menyisakan ruang
sekelingking pun!
Hingga akhirnya....
Srat-srat! Tebasan kembar menemui sasaran. Dada lawan
seperti baru saja disilang oleh mata katana. Kuakannya dimulai dari bahu kiri
dan kanan dan berakhir di sepasang sisi rusuknya.
Tak ada kesempatan untuk mengeluarkan jeritan.
Nyawa lelaki itu telah lebih cepat disambar maut! Ambruk dengan tubuh hampir
terbelah! Plok plok plok!
Di atas dahan yang sama, Pendekar Slebor bertepuk tangan riuh rendah. Bukannya
dia hendak mem-benarkan sebentuk kekejaman. Tujuannya semata-mata hendak membuat
nyali lawan semakin kehilangan bobot. Siapa tahu mereka menganggap dia adalah
orang sakti berotak miring. Yang bisa membunuh mereka semua sambil
tertawa. Tentu saja Andika keliru menggunakan taktik itu terhadap sepasukan Imada-Tong.
Sebelum mengemban satu tugas, mereka bahkan sudah lebih dahulu bertekad
mati sebagai satu-satunya pilihan:
Dan kalaupun mereka akhirnya pergi juga, itu
semata-mata karena mereka menganggap tugas utama telah berhasil dilaksanakan.
menculik Akimoto.
"Tak perlu dikejar!" cegah Andika ketika Hiroto berusaha memburu.
"Sebaiknya kaii mencari anakmu! Biar aku yang urus mereka!" tambah Pendekar
Slebor. Selanjutnya, dia melesat seperti bayangan dari satu daha ke dahan pohon
lain. *** Malam tak henti merayap. Pertarungan di tepi sungai pun tak juga henti. Orang
tak dikenal bertopeng kain ungu berhasil menguasai jalannya pertarungan. Makin
larut mereka dalam jurus-jurus cepat, makin menanjak saja keunggulan orang tak
dikenal. Dia berada di atas angin!
Seorang lawannya telah kehilangan katana. Terpental jatuh dan ditelan sungai ketika terjadi bentrokan senjata. Tampaknya
orang tak dikenal lebih tinggi dalam penguasaan tenaga. Meski dikeroyok, dia
masih dapat menekan dua lawannya. Itu menyebabkan lelaki yang kehilangan katana
tak sempat mengeluarkan senjatanya yang lain. Dapat dibayangkan betapa hebat
gempuran orang tak dikenal itu!
Srat! Pada satu kesempatan, belati yang jauh lebih tajam dari sembilu merobek pakaian
di bagian bahu seorang ninja. Sayatan bertenaga tadi tak hanya merobek
pakaiannya. Kulit dagingnya pun tersayat. Menciptakan luka dalam bersimbah
darah. Lelaki bertopeng itu mengerang. Didekapnya luka.
Tangan yang lain tetap mempertahankan katana.
"Kau akan menyesali perbuatanmu...," geramnya, penuh ancaman.
Terdengar dengus dari sang lawan. Kalau tak ada
kain penutup ungu, tentu senyum mengejeknya akan terlihat.
"Aku yakin aku tak akan menyesal. Seperti kau juga.
Karena kau tak akan bisa menyesal lagi setelah nyawamu tak ada lagi!"
"Huh!"
Didahului dengusan sengau, dua ninja tadi menggempur kembali. Sisa tenaga mereka dikuras
sebisanya. Katana milik ninja yang tersayat mengais-ngais udara. Bagian mana pun
tubuh lawan dikejarnya
menggebu. Tapi. ucapan orang tak dikenal bukan omong kosong belaka. Dari caranya
menghadapi gempuran, tampak jelas kalau dia memang bakal memenangkan
pertarungan. Di satu celah kosong pertahanan lawan, orang tak dikenal membuat gebrakan tak
terduga. Belati di tangan kanannya terlepas mendadak. Penuh kekuatan tembus,
senjata kecil itu menanduk dada kiri seorang lawan, dan langsung menembus
jantungnya. Tak ada dua tarikan napas, ninja itu pun ambruk.
Sisanya dibereskan tanpa memakan waktu lama.
Dengan sedikit meningkatkan kecepatah gempuran, disobeknya tenggorokan lawan
sekali sentak. Lawan mengejang. Ambruk tanpa nyawa. Orang tak
dikenal menghentak napas. Ada kegeraman dalam
hentakannya mengetahui orang ketiga anggota Imada-Tong telah lolos dengan
perahu. Mungkin orang itu telah begitu jauh melarikan Akimoto. Kalaupun
dilakukan pengejaran, tampaknya akan sia-sia. Lelaki di atas perahu tak akan
begitu bodoh terus menentang arus membawa perahu. Dia akan cepat tersusul. Tentu
dia akan lari ke darat untuk menghapus jejak.
Dan perkiraannya itu terbukti. Belum lagi cukup lama dia menuntaskan
pertarungan, perahu kecil tadi telah terlihat di kejauhan di siraman lamat sinar
bulan. Benda itu hanyut terbawa arus sungai tenang. Penumpangnya sudah tak ada
lagi. Baik lelaki anggota Imada-Tong maupun anak
yang diculiknya.
Orang tak dikenal bertopeng kain ungu mengeluh.
Bahu kirinya terasa amat nyeri. Cepat dibukanya pakaian di bagian tadi. Sekarang
ditemukannya luka menganga. Ada satu logam bintang yang luput dari pertahanannya
dan menembus di bagian itu.
Hendak dicabutnya senjata rahasia yang bersarang dalam itu. Tapi suara seseorang
terdengar di kejauhan
*** "Akimoto! Akimoto! Di mana kau'"!" panggil Hiroto kalang-kabut. Lelaki ksatria
sejati itu mencari-cari kian-kemari dalam kegelapan malam. Ada kekhawatiran dan
keputus asaan di raut wajahnya setelah tak berhasil juga mencari anaknya.
Padahal dia sudah mencari cukup lama.
"Bagaimana, Hiroto" Apakah kau menemukan
anakmu?" Pendekar Slebor tiba di dekatnya.
Sekutu Iblis 2 Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah Kedele Maut 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama