Pendekar Slebor 43 Macan Kepala Ular Bagian 2
persekutuan dengan sang Durjana!
Di salah satu celah gunung yang membentuk gua
pendek menjorok ke dalam, seorang terlihat. Diam, dingin bagai area. Kegelapan
menyelimuti. Siang dan malam tiada beda. Karena sinar matahari tak bisa menembus
masuk. Udara di dalam dingin lembab. Hanya kelelawar atau binatang melata yang biasanya mendekam di dalam sana.
Tidak seperti biasanya orang bertapa, cara duduk orang ini begitu aneh. Dia
harus duduk di dalam lumpur lengket kehitaman setinggi leher yang menjadi dasar
gua. Hanya kepala berambut klimis pada bagian atas lelaki itu yang menyembul di atas
permukaan lumpur.
Orang itu memang Amitha. Hari ini, memasuki hari kedua dia melakukan tapa untuk
mengamalkan rapalan-rapalan ajian dalam Kitab Ular dan Macan. Empat hari
sebelumnya, dia.telah berhasil tuntas mempelajari isi Kitab Ular dan Macan.
Beberapa syarat sebelumnya telah dia selesaikan. Tapa kali ini adalah syarat
terakhir baginya agar dapat memperoleh ilmu kanuragan sesat.
Di permukaan lumpur, terlihat potongan-potongan
kecil makhluk menjijikkan. Ratusan lintah, melata di sana!
Bahkan mungkin, jumlahnya lebih banyak di dalam lumpur.
Binatang-binatang itu bergerak-gerak, menggeliat-geliat bersama lendirnya di
sekujur wajah dan tubuh Amitha.
Sejak memulai tapa, lelaki itu harus membiarkan
dirinya menjadi santapan lintah. Membiarkan darahnya dihisap sedikit demi
sedikit oleh makhluk-makhluk kecil penghuni lumpur.
Mula-mula, amat sulit bagi Amitha. Baru dia hendak memulai memusatkan perhatian
dan menghilangkan
pikirannya, di beberapa bagian tubuhnya terasa ada
geliatan-geliatan halus, menyusul rasa gatal teramat sangat sewaktu lintahlintah itu mulai menghisap darahnya rakus-rakus. Perhatiannya jadi terpecah.
Agar dia bisa menjalankan syarat terakhir, dengan segenap kekuatan
pikiran, Amitha berjuang untuk
mengenyahkan perasaan-perasaan yang mengusiknya.
Latihan yoga selama ini cukup memban-tunya. Meski susah payah, dia berhasil juga
mencapai pemusatan pikiran dan perasaan.
Namun, untuk syarat kali ini dia dihadapkan pada perjudian maut. Nyawanya akan
dipertaruhkan. Sebab semakin lama dia berada dalam lumpur
sarang lintah tersebut, akan semakin banyak darahnya di-kuras. Lintah-lintah itu
seperti tak pernah kenyang.
Dua hari berlalu. Saat-saat ini keadaan begitu kritis bagi Amitha. Darah
ditubuhnya sudah tak bisa lagi dihisap lebih banyak oleh lintah. Kalau itu
terjadi, maka organ-organ dalam tubuhnya akan kekurangan darah. Dia bukan saja
akan kehilangan kesadaran, tapi juga akan mati.
Dalam perjuangan untuk tetap menjaga kendali
tapanya, Amitha merasakan tubuhnya begitu lemah.
Perlahan tapi pasti, ada perasaan mual tak terhingga.
Kepalanya memberat, seperti dilimpahi timbunan wadas.
Darah dalam tubuhnya rupanya makin menipis.
Lama kelamaan, timbul gambar-gambar aneh dalam
kepalanya. Bentuknya tak beraturan, Simpang-siur dan beragam. Amitha tak
menyadari kalau dia mulai tak kuasa lagi mengendalikan kesadarannya. Sebentar
lagi, dia akan terjatuh pingsan.
Pada saat Amitha merasakan tubuhnya seperti
terapung perlahan di atas, terdengarlah tawa serak menggetarkan dinding gua.
"Ha ha ha! Kau telah berhasil anak manusia! Kau telah berhasil! Bangkitlah
dengan kesaktian dalam dirimu.
Kini, kau telah menjadi sekutuku! Kau telah rela untuk mempertaruhkan nyawamu
sendiri untuk dendammu!"
Suara menggidikkan tadi memupus.
Amitha membuka mata perlahan. Kelopak matanya
begitu berat untuk digerakkan. Sepertinya dia akan membutuhkan waktu berjam-jam
hanya untuk melakukan itu.
Begitu matanya terbuka, cahaya terang menyerang
seketika. Otot-otot matanya menjadi linu. Tanpa sadar, Amitha
mengangkat tangannya untuk menghalangi terjangan cahaya. Matanya mengerjap-ngerjap.
Lambat laun, akhirnya pandangan Amitha bisa wajar kembali. Amitha mendapati
dirinya sudah tidak berada di dalam gua berlumpur. Melainkan di dalam liang
lahat terbuka. "Mungkinkah aku gagal dan telah mati?" bisiknya bergetar.
Amitha mendongak pada lubang liang. Disaksikannya matahari tepat berada di atas ubun-ubun.
Itu artinya, dia belum mati.
Tapi di mana aku?" bisik batinnya.
*** Lelaki berjuluk Mata Dewa Kematian berdiri diam di
tepi telaga. Tak ada gerak. Hanya dadanya yang terlihat mengembang kempis
teratur. Pandangannya dihujamkan lurus-lurus, lekat-lekat pada permukaan telaga.
Angin mendesis-desis
mengusik permukaan telaga hingga
membentuk riak kecil.
"Heaaa!"
Mendadak kes unyian diporak-porandakan. Mata
Dewa Kematian memekikkan lengking melolong panjang.
Kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi ke atas dengan telapak terbuka kejang.
Di ujung teriakan membahananya, permukaan telaga tiba-tiba meruyak, bergolak.
Suara riuh-rendah seperti badai tercipta. Gelombang-gelombang besar pun
tercipta. Gelombang itu tak seperti biasa. Kalau ombak biasa akan bergerak menyamping,
ombak yang terjadi kali ini malah
mencelat lurus ke atas. Tingginya sekitar empat tombak.
Ombak itu kemudian menyatu di udara, dan melayang untuk beberapa saat. Air
telaga seakan sedang diciduk gayung gaib raksasa sebesar pendapa!
Gumpalan terapung air raksasa tadi kembali jatuh ke telaga ketika Mata Dewa
Kematian tak menemukan apa yang dicarinya.
Permukaan telaga tersibak lagi, mengiringi timpaan gumpalan air raksasa tadi.
Disusul oleh lengkingan suara Mata Dewa Kematian.
"Heaaa!"
Kemudian, hal seperti sebelumnya pun terulang
kembali. Terulang dan terulang lagi. Sampai akhirnya tubuh orang yang diburu
terikut salah satu gulungan air raksasa ke udara.
"Itu dia, Dewi Kecubung!" seru si cebol meng-gebu.
"Bereskan!". perintah wanita cantik berjuluk Dewi Kecubung.
Cepat Katak Merah mengerahkan tenaga dalam ke
sepasang telapak tangannya. Tak tanggung-tanggung lagi dikerahkan tenaga
dalamnya. Seperti ucapan Dewi
Kecubung belum lama, dia memang harus benar-benar memastikan bahwa kali ini,
buruan mereka akan sampai di akhirat!Jeph!
Serangkum angin pukulan berhawa kuat yang
sanggup melantak karang membelah udara. Arah yang dituju, tepat tubuh lelaki
India yang masih terapung di udara bersama gumpalan air raksasa.
Drat! Didahului dengan hantaman pada gumpalan air,
tubuh lelaki India terpental. Sejauh sepuluh depa tubuh itu melayang terhempas
kembali ke permukaan sungai,
tenggelam beberapa saat, lalu mengapung tanpa gerak.
"Kuyakin dia kini benar-benar telah mampus! He he he!" Katak Merah terkekeh
menyaksikan hasil kerjanya.
Tubuh lelaki India itu.
Dewi Kecubung menjentikkan jari, mengajak dua
sekutunya meninggalkan tempat tersebut.
Telaga di Kadipaten Karang Gantung itu sunyi
kembali. Airnya agak surut karena musim kemarau
berkepanjangan. Namun tak turunnya hujan sekian lama tak membuat telaga itu
menjadi kering sama sekali. Hanya sekitar tepian telaga yang mengering.
Beberapa ekor rusa terlihat datang mendekat
Mereka meneguk airnya. Sejak aliran sungai kecil yang membelah Kadipaten Karang
Gantung kering, banyak hewan menjadikan telaga itu sumber air minum. Seperti
halnya penduduk di sekitar.
Ketenangan kawanan rusa tadi diusik oleh sesuatu dari tengah-tengah telaga.
Mereka menghentikan minum, menegakkan kepala siaga. Mata bulat jernih hewanhewan itu menatap tak berkedip ke tengah telaga di mana sesuatu mengapung.
Kawanan rusa tadi lari berhamburan ketika tubuh
yang mengapung sekian lama barusan mulai bergerak.
Tangannya terkayuh lemah di permukaan bersama suara kecipak air. Tampaknya dia
berusaha untuk berenang ke tepi dengan sisa-sisa tenaga.
Dalam keadaan amat payah, akhirnya orang tadi tiba juga di tepi telaga yang
mengering. Dia berjalan terseok.
Dari sudut bibirnya yang basah mengalir darah. Juga dari lubang hidungnya.
Orang itu yang belum lama dikeroyok tiga lawan di tepi telaga. Dugaan Katak
Merah meleset. Ternyata buruan mereka sama sekali belum menemui ajal. Menilik
keadaannya, memang sulit dipercaya kalau si lelaki India masih hidup. Apalagi
dia sudah cukup lama berada dalam air.
"Uuuhhh...," keluhnya sambil menjatuhkan diri ke atas rumput. Dia tak mungkin
lagi berjalan lebih jatuh.
Sudah tak sanggup lagi. Kekuatan tubuhnya terus merosot hingga ke titik
terlemah. Di atas rumput, sebentar dia terbatuk-batuk. Darah
kehitaman terikut keluar bersama batuknya. Tak begitu lama, kepalanya terkulai.
Dia tak sadarkan diri.
Di salah satu sudut wilayah Wetan Jawa, seseorang tampak berdiri di tengah jalan
berdebu tebal Dia mengenakan caping lebar dan jubah besar ber-warna hitam Dengan
kepala agak dirundukkan, akan sangat sulit bagi orang lain untuk menyaksikan
wajahnya. Tangannya bersedekap erat di dada.
Di kejauhan, dari arah yang berlawanan dengan arah orang tadi menghadap,
terlihat tiga ekor kuda berlari menggila. Debu membubung pekat, meng-ekori
setiap hentakan ladam kuda pada tanah kering.
Para penunggang di atasnya, tak henti-henti
menggebah serta melecut hewan-hewan itu. Suara
teriakan-teriakan mereka seriuh guruh di kejauhan.
Bertumbukan kacau dengan ringkikan panjang dan derap kaki kuda.
"Hea! Hea! Heaaa!"
Lari ketiga kuda semakin dekat dengan orang yang berdiri di tengahjalan. Semakin
memperpendek pula jarak di antara mereka. Semakin dekat, semakin cepat
kemungkinan orang tengah jalan akan terinjak-injak.
Namun tampaknya, dia tak pernah merasakan takut pada labrakan kaki-kaki kuda.
Menjelang lima depa jarak tersisa, ketiga penunggang yang seluruhnya lelaki terpaksa menyentak tali kekang tunggangan
masing-masing. Seperti diberi aba-aba serentak, ketiga kuda kekar perkasa mereka meringkik
panjang. Kaki depan tiga binatangitu terangkat tinggi ke atas, seraya melakukan
gerakan menendang-nendang liar.
"Kisanak, kenapa kau berdiri di tengah jalan seperti itu" Tidakkah kau sadar kau
hanya akan mencelakakan diri sendiri?"
Salah satu penungganp berkumis tebai mencoba
menegur. Orang yang menghadang tak menjawab. Melirik pun
tidak. Bahkan sikap berdirinya tak berubah sama sekali dari sebelumnya.
"Kisanak. Kami sedang ada urusan amat penting!
Sudikah kiranya kau memberi kami jalan?" sambung orang berkumis tebal, masih
berusaha untuk bersikap ramah.
"Kalian tak akan bisa melewati jalan ini sebelum kalian mengatakan satu hal
padaku!" tandas penghadang.
Suaranya terdengar samar. Seakan orang itu malas berbicara. Biar begitu,
terdengar amat bertekanan kuat.
Ketiga penunggang kuda saling bertatap.
"Apa yang hendak kau tanyakan Kisanak?" sambung orang berkumis.
"Siapa di antara kalian yang berjuluk Pendekar Slebor?"
Ketiga lelaki di punggung kuda tersenyum. Mereka harripir saja tertawa kalau tak
segera menahan-nya.
"Tentu saja orang yang kau maksud tidak ada di antara
kami. Kau pasti sedang bergurau kalau menganggap salah seorang di antara kami adalah
pendekar besar itu...," gurau penunggang paling muda.
"Hm.... Kalau begitu, katakan padaku di mana aku dapat menemukan orang itu."
Mendengar nada bicara yang seperti tak memandang sebelah mata nama besar pendekar muda
dari Lembah Kutukan, ketiga penunggang kuda saling menatap kembali. Siapa orang
ini sebenarnya" Bisik hati masing-masing.
"Sebenarnya, ada urusan apa kau pada Pendekar Slebor?" Tanpa menjawab pertanyaan
lelaki penghadang barusan, penunggang berusia paling muda justru balik bertanya.
Lelaki penghadang tak menjawab sepatah kata pun.
Tetap diam dengan kesan dingin pekatnya. Ca-ping lebarnya tetap ditundukan.
Sampai.... "Katakan padaku di mana aku dapat menemukan dia"!"
hardikan tiba-tiba saja mencelat dari kerongkongannya. Keras. Bahkan terlalu keras untuk
ukuran seorang yang sedang murka sekalipun. Selain itu, hardikan barusan tidak
dimaksudkan untuk membentak semata, melainkan untuk melepas tenaga dalam melalui
gelombang suara
Tiga kuda jantan besar di sana meringkik ketakutan.
Mereka seperti disentak oleh salakan guntur. Dengan nyalang mereka menendangnendangkan kaki depan
tinggi-tinggi. Penunggangnya seperti hendak dilemparkan dari punggung. Untung
saja ketiga lelaki tadi memiliki cukup kemahiran dalam seni me-nunggang kuda.
"Haooo! Hooo!"
Ketiga penunggang kuda berjuang untuk menenangkan kembali tunggangan mereka. Satu tangan mereka dirangkulkan erat ke
Pendekar Slebor 43 Macan Kepala Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
leher kuda. Sedang tangan yang lain mengelus-elus.
Susah-payah, akhirnya mereka bisa membuat ketiga hewan gagah itu tenang kembali.
Sewaktu mereka melepas perhatian pada lelaki penghadang, orang itu ternyata sudah tak ada lagi
di tempat berdiri.
Tiga kali dengan itu mereka bersitatap. Mereka tak mengerti, ke mana penghadang
tadi. Padahal, mereka sama sekali tak melihat ada gerakan. Sementara sejauh mata
memandang, hanya ada hamparan ladang jagung kering. Kalau orang tadi pergi,
tentunya mereka masih bisa menyaksikan sosoknya di kejauhan.
"Kau pikir, apa kita telah bertemu dengan dedemit?"
tanya lelaki berkumis pada kedua temannya.
Kedua temannya malah bertukar pandangan seperti
orang kebanyak minum tuak.
"Ah, sebaiknya kita cepat menyingkir dari tempat ini.
Aku merasa ada yang tak beres dengan tempat ini... Lagi pula, kita harus segera
ke Pedepokan Ki
Braja." Ketiganya sepakat untuk meninggalkan tempat
tersebut. Berbarengan, kaki mereka menghentak perut kuda. Tali kekang
dilecutkan. Ketiga kuda siap berpacu di jalan berdebu kembali.
Baru sekitar tiga puluh langkah kuda berlari, debu bahkan belum sempat menebar
jauh, sayup-sayup
terdengar suara dengung di belakang ketiganya. Suara asing tadi tidak terdengar
jauh, tapi tidak juga terdengar dekat.
Ketiganya curiga. Meski tak sepakat terlebih dahulu seperti sebelumnya, mereka
menoleh ke belakang sambil tetap menunggang.
Ketika itu, ketiganya menyaksikan suatu pemandangan yang membuat bulu tengkuk mereka menegang seketika. Mata mereka
mendelik sebesar-be-sarnya.
Otot di tubuh mereka serentak mengejang tegang.
Sementara tanpa sadar, mereka menarik tali kendali kuda masing-masing.
Samar-samar, mata mereka menyaksikan seekor
macan siap menerkam di kejauhan. Yang membuat
mereka nyaris mati terkejut di tempat, karena binatang itu bukan seperti yang
biasa mereka saksikan. Hewan itu memiliki kepala puluhan ekor ular sendok yang
bergerak-gerak. Mendesis-desis berbarengan membentuk dengung.
Keterperangahan hebat ketiganya diputuskan oleh
terkaman hewan ganjil tadi. Seperti terbang, macan berkepala puluhan ular sendok
itu menyambar dua kepala penunggang kuda dengan cakar depannya.
Cras! Hanya dalam sekedipan mata, dua kepala menggelinding di atas tanah berdebu.
Penunggang paling muda tak bisa menggerakkan
tubuhnya. Ujung jempol kakinya, dan semua 'ujung' di bagian tubuhnya seperti
terserang keram. Dia akan bernasib sama dengan dua kawannya kalau saja kuda
tunggangannya tak segera lari sepenuh kekuatan, bagai dikejar setan. Begitu juga
dua kuda bekas tunggangan dua temannya. Nasibnya, memang masih bagus. Meski dia
harus terkencing-kencing di celana.
*** 7 Dengan cepat, mungkin lebih cepat dari melesatnya anak panah, desas-desus
tersebar semenjak peristiwa di satu daerah ladang jagung kering Wetan. Lelaki
muda penunggang kuda seperti kesetanan memberitahu siapa saja. Tak peduli yang
diberitahu mau tahu atau tidak. Tidak peduli orang yang diberitahu sedang sibuk
makan atau sibuk buang hajat.
Desas-desus merembet, dan merembet. Kegemparan pun terpic u. Ini satu berita besar dunia persilatan!
Jarang ada yang mau melewatkan, kecuali bagi yang telinganya sudah jadi
rongsokan. Orang-orang banyak juga yang kurang percaya pada cerita si anak muda. Bagaimana
bisa percaya kalau cara menceritakannya begitu meledak-ledak, menggebu-gebu,
terburu-buru sekaligus takut-takut. Mereka menganggap ocehan si pemuda cuma
bualan seorang berpenyakit sinting.Masa' iya ada macan berkepala puluhan ular"
Dari zaman kuda gigit besi sampai kuda gigit bakpao, yang namanya macan ya tetap
berkepala macan. Nah, yang namanya ular, tetap ular. Kalau dikatakan macan
berkepala puluhan ular, itu kan sama saja seperti mengatakan seorang yang
jidatnya ada di jempol dan jempolnya ada di jidat. Bagaimana gitu! Pokoknya
tidak masuk akal bagi mereka.
Tapi yang namanya desas-desus, lebih banyak yang percaya ketimbang tidak. Jangan
lagi orang dunia persilatan yang merasa berkepentingan dengan munculnya
kehebohan itu, nenek-nenek kampung sampai istri centeng desa pun meributkannya.
Hari itu, si pemuda terlihat di sebuah pinggiran desa.
Kebetulan dia bertemu dengan seseorang tua bertubuh pendek, berperut buncit.
Berpakaian merah kedodoran dari bahan murahan. Kepalanya gundul sebelah, Kalau
kepalanya sudah gundul sebelah, siapa tahu bagian lain
pun begitu, yang itu tak usah dipermasalahkan. Yang jelas, dari caranya berjalan
dengan menyandang tombak
bermata golok besar, lelaki tua buncit ini jelas warga persilatan.
"Bapak Tua! Berhenti dulu. Bapak Tua!" tahan si pemuda dengan napas terengahengah. "Apa"!" tanya si Tua Buncit singkat. Alisnya yang gundul sebelah terangkat.
"Dunia persilatan sedang dalam keadaan 'buaha-ya'!"
sambar si pemuda meledak-ledak. Matanya mendelik-delik setiap kali mengucapkan
satu kata. Jangan-jangan kalau dia terus berbicara, biji matanya bakal mencelat
keluar. Kalau semula terangkat, sebelah alis orangtua
buncit sekarang malah merosot turun.
"Ngomong yang benar! Bahaya, maksudmu"!"
Iya.PakTua! 'Buahaya'!"
Orang tua buncit merengut.
"Ah, dari dulu dunia persilatan memang selalu begitu! Bahaya menebar di manamana!" tepis si Tua Buncit sambil mengayun tangan di udara. Dia hendak
meneruskan langkah.
Si anak muda menahannya. Lengan baju si T ua
Buncit dicekal kuat-kuat.
"Jangan pergi dulu, Pak Tua! Bukankah Pak Tua warga persilatan"!"
"Apa aku terlihat seperti warga hutan alas" Seperti kunyuk atau kambing
begitu"!"
"Kalau begitu, kau mesti tahu, Pak Tua!"
'Tahu apa"!"
"Tahu sesuatu yang pasti kau belum tahu!"
"Monyong! Bertele-tele sekali kau!"
"Ada manusia bisa berubah menjadi macan
berkepala puluhan ular!"
"Ini teka-teki atau bukan?" sungut si T ua Buncit salah kaprah. "Kalau itu tekateki, aku juga punya. Ada sesuatu yang hitam, kecil, tersembunyi dan bau. Apa
hayo"!"
"Bukan... bukan!" si pemuda menggeleng-gelengkan kepalanya seperti hampir mau
lepas. "Jadi apa maksudmu, heh"!" "Aku melihat ada orang mencari Pendekar Slebor!"
Orang tua buncit mengernyit. Dia masih belum
mengerti ucapan ngelantur pemuda di depannya. Tadi dia bilang soal orang yang
bisa berubah menjadi macan berkepala ular. Sekarang, dia bilang ada orang
mencari Pendekar Slebor....
Mulut si Tua Buncit menganga, baru hendak
mengumpat. Namun kalah cepat dengan si pemuda.
"Begini saja, Pak Tua! Karena kau orang dunia persilatan, tolong sampaikan pada
Pendekar Slebor! Ada orang mencarinya. Orang itu berilmu 'tinggi'...."
"Tinggi, maksudmu?"
"Ya, 'tuinggi'! Dia memiliki ajian yang bisa mengubah wujudnya menjadi macan
berkepala ular!" cecar si pemuda, tanpa titik tanpa koma.
Orang tua berperut buncit mengangguk-angguk
pelan. "O, cuma itu saja," katanya santai. Dia berjalan lagi dengan menyandangkan
tombak bermata golok besar di bahu. Baru tiga langkah, dia terhenti. Matanya
mendelik. Cepat dia berbalik pada si pemuda.
"Hah, ada manusia bisa berubah menjadi macan berkepala ular"! Mencari Pendekar
Slebor"! Hah"! Hah"!"
runtun orang tua buncit tadi.
E, memang telinganya tadi melayap ke mana saja"
*** "Kenapa kita harus lewat sini, Wak. Kita sama saja berputar. Itu artinya, kita
menempuh perjalanan yang jaraknya dua kali lebih jauh. Mestinya kita tinggal
lurus saja. Bukankah tujuan kita ke Wetan seperti katamu?"
Pendekar Slebor memprotes Nyai Silili-lilu. Adik kandung buyutnya
itu seperti sengaja mengerjainya terus. Perempuan uzur itu tentu merasa suka cita kalau
digendong keliling-keliling dan membuat napas si pendekar muda dari Lembah
Kutukan Senin-Kamis. Begitu pikir Andika."Jangan banyak mengeluh! Sejak kapan
aku memiliki seorang cicit kemenakan yang doyan mengeluh!" bentak Nyai Sililililu menyembur-nyembur bak seekor naga peot.
"Ya, kau sendiri enak-enakan di atas punggungku, Wak.
Sedang aku" Bisa-bisa tulang punggungku membengkok sebelum jompo!"
"Diam... diam... diam..!" Nyai Silui-lilu menjewer telinga Pendekar Slebor.
Maka, meringis-ringislah pendekar muda itu.
Di dekat sebuah pohon besar, perjalanan mereka
dihentikan sapaan seseorang.
"Pucuk dicinta, ulam tiba...."
Pendekar Slebor menoleh ke asal suara. Begitu juga nenek peot di punggungnya.
Seorang lelaki tua pendek berperut buncit yang belum lama mendengar berita
menggemparkan dari seorang pemuda terlihat sedang duduk menjuntai kaki di atas
ranting pohon tak lebih besar dari jari kelingking.
"Pucuk dicinta, ulam tiba!" balas Nyai Silili-lilu.
Wajahnya sumringah melihat si penyapa.
"Pucuk dicinta,
dengkulku sengsara!" gumam
Pendekar Slebor, sebal sekali.
"Turunkan aku, Andika!" perintah Nyai Silili-lilu.
Ah, akhirnya penderitaan itu berlalu juga.... An?dika lega. Cepat-cepat
diturunkannya tubuh nenek uzur di punggungnya.
Berdiri di tanah, Nyai Silili-lilu lantas saja menggeliat-geliatkan pinggang ke
kiri dan kanan.
"Uuuh, pegalnya...," keluhnya enak sekali. Padahal mestinya tindakan itu jadi
bagian Pendekar Slebor yang hampir seharian menggendongnya. Dalam hati, Andika
memaki-maki. Dia tambah merutuk sebal menyaksikan adegan mesra antara dua
manusia langka tadi.
Pasalnya, Nyai Silili-lilu dan si Tua Buncit menghambur berbarengan. Mereka berangkulan sambil berputar-putar.
Berteriak-teriak
lebih ramai dari gwedumprangan kaleng rombeng. Lagak keduanya sudah seperti remaja yang sedang
dijangkit kasmaran. Dasar tidak tahu diri, cemooh Andika. Sudah bau tanah saja
masih bertingkah!
"Apa lihat-lihat"!"
Andika dibentak Nyai Silili-lilu. Nenek peot itu rupanya jeli juga menangkap
sinar mencemooh di mata si anak muda sakti.
"Kau tak redho kalau kami berangkulan" Tak
ikhlas?"Andika menggelengkan kepala. Celakanya, bibir pendekar muda itu malah
mencibir. Kontan saja Nyai Silili-lilubertolak pinggang. Bibir sekendor gombalnya
menyemburkan khotbah panjang, yang sumpah mampus bisa membuat seekor keledai
terpeleset! "O, iya. Kenalkan... mantan kekasihku! Hik hik hik."
Dengan aneh dan sulit dimengerti, perempuan uzur itu mendadak mengerem
omelannya. Wajahnya tahu-tahu
berubah manis sekali. Pada Pendekar Slebor, diperkenalkannya orang tua berperut buncit.
"Masih ngganteng, ya...?"
Ganteng" Jakun Andika melompat-lompat di tempat.
Rasanya dia ingin terbahak-bahak di tempat. Kalau tak takut Nyai Silili-lilu
ngamuk besar, dia akan tertawa sepuas-puasnya.
"Nan Buncit Sayang...," Nyai Silili-lilu mengalihkan pandangan ke arah Andika.
"Anak muda kunyuk ini yang disebut-sebut sebagai Pendekar Slebor! Jelek-jelek
begini, cicit kemenakanku, lho! Hik hik hik!" Lalu Nyai Silili-lilu membusungkan
dada, membanggakan cicit kemenakannya. Usaha yang agak sembelit sebenarnya, mengingat betapa melengkung
punggung si nenek itu.
Andika tak sudi dikatakan jelek. Mestinya dia yang
pantas mengatakan, 'jelek-jelek begini, dia itu Uwak buyutku, lho!
"Kau anak muda! Sungkem sama mantan kekasihku!" perintah Nyai Silili-lilu lebih lanjut.
"Sekarang?" Andika meringis sengsara.
"Sekarang!"
Mau rasanya Pendekar Slebor saat itu berteriak
sekuat-kuatnya. Tidak apa-apa dianggap gila!
8 Desas-desus yang ditebarkan mulut seorang pemuda beberapa waktu lalu bukan sekadar bualan.
Dalam beberapa hari, dunia persilatan benar-benar dihantam kenyataan
Pendekar Slebor 43 Macan Kepala Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sesungguhnya. Semua yang pernah diocehkan si pemuda benar-benar nyata!
Sehari setelah si anak muda menyebarkan berita
saja, sudah terdengar kabar sengit tentang pembunuhan seorang ketua perguruan
silat aliran putih di sekitar wilayah Wetan Jawa. Tokoh yang mati bukan cecoro
persilatan. Dia termasuk salah satu tokoh yang disegani. Di samping karena
menjadi ketua perguruan besar aliran putih, juga kesaktiannya sudah teruji dalam
berpuluh pertarungan dengan orang-orang atas golongan sesat.
Beberapa murid perguruan itu yang sempat
menyaksikan kejadian bertingkah serupa dengan pemuda pembawa kabar sebelumnya.
Mereka seperti setengah gila.
Cara bicara mereka meledak-ledak sarat ketakutan.
Meski tak begitu jelas, ucapan mereka masih bisa ditangkap. Kata mereka, mereka
menyaksikan seekor macan berkepala ular membantai guru besar mereka dengan cara
telengas. Berturut-turut setelahnya, terjadi kejadian serupa.
Empat tokoh sesat tergabung dalam kawanan begal
berkesaktian tinggi mati tercabik-cabik. Salah seorang di antara mereka mati
dengan mayat hangus membiru.
Dalam empat hari sudah jatuh korban tujuh orang
warga dunia persilatan. Tiga di antaranya dari golongan lurus. Sisanya dari
golongan sesat Dunia persilatan mulai dibuat bertanya-tanya. Siapa sesungguhnya manusia sakti
yang bisa menjelma menjadi macan berkepala ular itu" Mengapa dia membunuh tak
pandang bulu" Tak peduli dari golongan hitam atau lurus.
Apakah Pendagel Setan telah bangkit kembali" Beberapa waktu lalu, dunia
persilatan pun dihebohkan oleh kemunculan Pendagel Setan. Lelaki itu pun
membunuh tanpa pernah memandang bulu (Untuk jelasnya, bacalah episode: "Pendagel Setan")!
Tapi, Pendagel Setan bukan seorang yang memiliki kesaktian seperti itu. Dia tak
pernah bisa mengubah wujudnya menjadi binatang mengerikan.
Lagi pula, bukankah Pendekar Slebor telah menyingkirkannya"
Ataukah ini bagian dari murka Tuhan terhadap
penduduk tanah Jawa yang sudah terlalu mabuk pada kenikmatan
dunia" Setelah sebelumnya mengirim kemarau berkepanjangan, mungkinkah sang Penguasa mengutus utusan dari neraka"
"Aku sudah pernah mendengar berita itu sebelumnya dari seorang pemuda," ucap si
Tua Buncit pada Andika dan Nyai Silili-lilu. Saat itu mereka berniat mengisi
perut dengan kelinci bakar.
Untuk urusan memburu, menyiangi dan membakar
kelinci, Andika bagiannya. Nyai SiUli-lilu mana mau melakukannya!
Dia malah sedang asyik duduk bergandengan tangan di bawah pohon asam. Perempuan uzur besar adat itu pula yang
memerintah Andika. Untung saja saat itu Pendekar Slebor tidak terpikir untuk
memberi racun pada daging panggang kelinci bakar!
"Hey, Anak Muda...," lanjut si Tua Buncit pada Andika.Andika menoleh malas-malas
ke belakang. "Menurut anak mudayang kutemui beberapa hari lalu, manusia jejadian itu mencari
dirimu!" Dari jongkoknya, Pendekar Slebor berdiri. Diterbengkalaikannya panggangan daging kelinci. Bau mengait selera sudah menebari
udara. Andika tak peduli.
"Kau sungguh-sungguh, Pak Tua?"
"Kau pikir aku sedang bergurau, heh"!"
Andika mengangkat bahu. Dia masih sulit percaya, mengingat si orang tua buncit
adalah kekasih Nyai Silili-lilu.
Siapa tahu dia sama tengik dengan perempuan uzur itu.
"Kalau ternyata semua berita itu benar, dan ucapanmu juga benar...."
"Maka tidak ada yang salah!" sela Nyai Silili-lilu.
"Kamu masih muda, tapi bicaramu membingungkan!"
"Maksudku, kalau semuanya benar, kenapa manusia itu mencariku?"
"Ah, orang sepertimu tentu saja banyak yang memusuhi Anak Muda. Apa kau lupa.
Orang-orang sesat tak akan pernah lega kalau ksatria sejati macam dirimu masih
bernapas!" tukas si Tua Buncit.
"Apa mungkin dia salah seorang musuh yang
memendam dendam terhadapku?"
gumam Andika. Sebentar di ngat-ingatnya beberapa orang musuh lamanya yang mungkin masih hidup.
Terlalu sulit. Banyak yang masih hidup di antara mereka.
"Ah, aku tidak tahu," keluh Andika.
"Jangan dulu berpikir terlalu jauh! Urusan kecilmu saja belum kau selesaikan!"
sela Nyai Silili-lilu sambil menimpuk kepala cicit kemenakannya dengan ranting
kering.Andika menepuk kening. Bukan karena baru terkena timpukan. Dia ingat
sekarang mengenai kalung yang ditemukannya di genggaman tangan mayat Neelam.
Nyai Silili-lilu ternyata ada gunanya juga telah mengingatkannya.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Andika jadi lupa pada kalung itu justru karena
tingkah Nyai Silili-lilu yang kelewatan padanya. Jadi anggap saja impas!
"Nih!"
Perempuan tua itu melempar kalung yang masih
dipegangnya pada Pendekar Slebor.
"Bagaimana, Wak" Katanya kau ingin mengantarku pada orang yang bisa kutanyakan
tentang kalung ini"!"
Andika mengingatkan Nyai Silili-lilu.
"Hoek... cuih! Aku tak pernah ingkar pada ucapanku sendiri! Kau bisa tanyakan
benda itu pada mantan kekasihku ini!" jawab Nyai Silili-lilu seraya menepuknepuk kepala si Tua Buncit seenak dengkul.
"Lho, bukankah ini kalung murid-muridku" Selama ini aku sedang mencari-cari
mereka! Dari mana kau
temukan kalung ini, Anak Muda?" tanya si Tua Buncit setelah meneliti sejenak.
"Aku menemukannya di tangan seorang wanita India yang mati terbunuh?"
"Terbunuh" Eh, apa yang akan mereka kerjakan sesungguhnya" Kenapa wanita India
itu dibunuh?"
"Itu yang ingin kuketahui."
Sementara si Tua Buncit bangkit, Andika teringat sesuatu.
"O, iya Pak T ua. Apakah kau memiliki murid seorang bocah kecil?" lanjut
Pendekar Slebor.
"Murid seorang bocah kecil?"
"Ya. Aku melihat sebentuk pukulan tenaga dalam luar biasa telah menyebabkan
kematian wanita India itu.
Dari bentuk kepalan tinjunya yang kecil, aku beranggapan kalau si pembunuh
seorang bocah kecil."
"Ha ha ha! Kau keliru, Anak Muda! Tak ada muridku seperti kau katakan. Tapi
kalau seorang cebol memang, Katak Merah julukannya."
"Sekarang jadi jelas," gumam Pendekar Slebor.
Kepalanya mengangguk-angguk samar. "Lalu, kenapa kau mencarinya, Pak Tua?"
sambungnya. Wajah orang tua buncit itu menampakkan kemarahan besar. Wajahnya
memerah matang. Dengan wajah seperti itu, sepertinya setiap saat dia bisa
melabrak apa saja, siapa saja di dekatnya. Dua telapaknya membentuk tinju,
geram-geram. "Mereka murid-murid murtad! Hmrrr!"
"Apa yang mereka perbuat?"
"Mereka memasuki tempat semadiku. Padahal aku telah melarang mereka keraskeras." "Ah, kukira apa. Kalau cuma itu, menurutku tidak terlalu berat pelanggaran
mereka...."
"Kau sok pintar, Anak Muda! Mereka menguras tiga kitab sakti dari tempat
semadiku. Sementara aku sendiri belum sempat mempelajari kitab sakti itu!" Murka
si T ua Buncit membuncah dalam setiap kalimatnya.
Andika kecut juga.
"Ooo, kalau begitu pantas saja. Mereka memang harus
dihukum berat," timpal Andika, berusaha membetulkan kesalahan ucapan sebelumnya. Anak muda itu khawatir dirinya jadi
pelampiasan kemurkaan si T ua Buncit. Kalau terjadi perselisihan, dia tak bisa
menjamin Nyai Silili-lilu memihaknya, biar pun Andika adalah cicit kemenakannya
sendiri. Siapa tahu perempuan uzur kepala batu itu justru memihak mantan
kekasihnya. Kalau sudah begitu, aku cuma akan jadi bulan-bulanan. Tak usah ya!
Ceracau Andika membatin.
"Mereka itu.... Hmmrr hmrrr hmrrr!" si Tua Buncit memperpanjang lagi
kegeramannya. Belum selesai satu kalimat, tangannya sudah meninju telapak
sendiri. Berkali-kali Andika jadi makin kecut. Lalu orang tua berperut sebesar
gentong ajaib itu mulai berjalan hilir mudik, membuat Andika yang mengawasinya
menjadi tujuh keliling dibuatnya.
"Padahal aku sudah wanti-wanti pada mereka. Aku akan menurunkan semua kesaktian
yang kumiliki. Tapi mereka tak sabar. Dasarnya mereka bejat, brengsek, slompret,
tak tahu adat - "
"Kadal bau!" sela Andika, melengkapi. "Kenapa kau belum mempelajari kitab-kitab
yang mereka curi, Pak Tua?"
tanyanya lagi. "Karena kitab-kitab itu berisi ilmu kanuragan sesat!
Semuanya kudapatkan dari tiga tokoh sesat kelas atas yang pernah kukalahkan!"
"Mereka memberikannya begitu saja padamu?"
"Ya, tentu tidak! Aku bertaruh dengan mereka. Kami bertarung lebih dahulu. Siapa
yang menang, akan
mendapatkan kitab sakti milik lawannya. Itu kerjaku sejak dulu. Makanya, aku
lebih dikenal dunia persilatan dengan julukan...."
"Petaruh Sakti Perut Buncit!" sambar Nyai Silili-lilu di bawah pohon asam
"Kalau kau memiliki kitab atau senjata pusaka, kau bisa menantangku untuk
bertaruh"!" tantang orang tua
berjuluk Petaruh Sakti Perut Buncit.
Andika menggelengkan kepala. Bibirnya meringis.
Pekerjaan sinting orang-orang tak punya kerjaan, pikir Andika."Aturannya, kita
akan bertarung seratus lima puluh jurus...?"Tidak perlu, Pak Tua!" sergah
Pendekar Slebor. Tapi, Petaruh Sakti Perut Buncit terus saja nyerocos.
"Kalau ada yang jatuh terlebih dahulu sebelum seratus lima puluh jurus, maka dia
menjadi pihak yang kalah.... Di samping mempertaruhkan kitab-kitab sakti dan
senjata pusaka, tentunya ada kemungkinan kita mempertaruhkan nyawa!"
"Tidak... tidak... tidak perlu, Pak Tua!"
"Tidak perlu?"
Pendekar Slebor menggeleng cepat-cepat, mumpung
orang tua gila bertaruh itu belum melanjutkan
ocehannya tentang tektek bengek aturan pertaruhan. "Kalau begitu, ya sudah! Aku cuma menantang bertaruh orang-orang yang mau
bertaruh! Kau memang
'kadal bau'!" semprot Petaruh Sakti Perut Buncit.
"Senjata makan tuan," gerutu Andika.
"Sekarang, bisakah kau menjelaskan padaku apa saja isi ketiga kitab sesat yang
dicuri murid-murid-mu?"
Andika berusaha mengarahkan kembali pembicaraan ke masalah sebelumnya. Kalau
terus melantur, semuanya bisa jadi ngaw ur.
Petaruh Sakti Perut Buncit mendelik.
"Kau bilang cicit kemenakanmu punya otak seencer bubur bayi. Tapi kenapa dia
jadi bodoh begini, Sayang...,"
tukas si Tua Buncit pada Nyai Silili-lilu. "Mana aku tahu soal isi kitab itu.
Bukankah aku sudah bilang tadi, aku belum sempat mempelajarinya. Mencolek saja
pun tidak!"
'Ya, jangan gusar begitu Pak Tua. Aku kan c uma
bertanya," bujuk Andika.
"Aku tidak gusar...," kata Petaruh Sakti Perut Buncit
seraya menjulurkan leher pendeknya ke atas.
Andika lega. Syukurlah kalau manusia berotak
sedikit miring ini tidak gusar....
"Tapi aku dongkol setengah edan, tahu!" ledek si Tua Buncit mendadak.
Pendekar Slebor mencelat ke belakang. Jan-tungnya nyaris rontok! Aku kaget
setengah edan, tahu! Umpatnya, hanya berani dalam hati.
*** 9 Musyawarah untuk mencapai mufakat, rupanya tidak hanya berlaku untuk orang-orang
berpikiran waras. Bagi orang-orang yang berpikiran setengah sinting pun masih
bisa. Setidak-tidaknya musyawarah setengah sinting pula.
Setelah debat punya debat, setelah saling teriak-teriak sampai mau serak,
setelah ngotot sambil mencak-mencak (yang begini ini apa masih bisa disebut
musyawarah"), akhirnya Nyai Silili-lilu, PetaruhSakti Perut Buncit, dan Pendekar
Slebor sepakat untuk mencari manusia yang dapat menjelma menjadi macan jejadian
dahulu.Pendekar Slebor sendiri lebih setuju untuk menemui manusia yang mampu
menjelma menjadi macan jejadian.
Dia tak ingin lebih banyak korban hanya karena kesalah pahaman. Menurut
dugaannya, tentu orang itu hanya hendak mencari dirinya. Terbukti dari
selentingan kabar yang didengar, orang itu selalu menanyakan Pendekar Slebor
terlebih dahulu sebelum membantai para korbannya. Jalan pikirannya mungkin tak beda dengan Pendagel Setan. Makanya, Andika tak
sulit menerka seperti itu.
Meski sampai saat ini dia tak bisa menduga secara pasti siapa sesungguhnya
manusia biadab itu.
Lepas dari kesepakatan yang lebih banyak menguras kejengkelan itu, Pendekar
Slebor masih digerayangi tanda tanya tak terjawab. Apa hubungannya murid-murid
murtad si Tua Buncit dengan wanita India yang dibunuh mereka"
Apa tujuan mereka membunuh wanita itu" Karena
sepanjang pengamat-an jeli Pendekar Slebor, wanita yang terbunuh bukanlah orang
persilatan. Dari pakaiannya, dia lebih pantas untuk dikatakan sebagai penduduk
desa bia.... "Kau mau ikut atau tidak"!" seru Nyai Silili-lilu, mendapati cicit
kemenakannya terpaku di belakang.
"Mau...," jawab Pendekar Slebor.
"Ya, tentu saja kau harus mau! Bukankah memang kau yang dicari oleh manusia
jejadian itu!"
Pendekar Slebor 43 Macan Kepala Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa pun katamu, Wak...," bisik Pendekar Slebor pasrah.Sebelum mereka meneruskan
langkah, ketiganya dihambat oleh labrakan sesosok tubuh dari semak.
Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit sudah mau mengangkat tangan.
Hendak mereka hajar manusia tak tahu adat yang mencoba membokong mereka.
Anggapan keduanya keliru besar. Orang itu tidak hendak membokong.
Pendekar Slebor yang berada di belakang mereka
dan jelas menyaksikan keadaan orang itu cepat-cepat mencegah tindakan Nyai
Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit."Tunggu! Dia tidak ingin menyerang
kalian! Dia terjerembab dalam keadaan terluka parah!"
Kedua tua bangka yang selalu mau bergandengan
mesra itu cemberut. Rasanya mereka tak begitu suka ada anak muda yang dianggap
bau kencur seperti Andika memberitahu mereka. Gengsi!
Tak peduli pada paras dua tua bangka tadi,
Pendekar Slebor bergegas mendekati orang yang terjerembab. Tubuh yang tertelungkup segera dibalikkan.
Dengan pahanya, Andika menyangga kepala orang tadi.
Menyaksikan wajahnya,
Pendekar Slebor jadi
mengernyitkan kening. Orang keturunan India lagi, pikirnya.
Ada apa sebenarnya sampai belakangan ini dia banyak berurusan dengan para
perantau dari negeri seberang itu"
"Apa yang terjadi dengan dirimu, Saudara?" tanya Andika.Lelaki India tadi
berusaha menjawab dengan napas terputus-putus.
Nyawanya dalam keadaan genting. Sekarat. Mungkin hanya beberapa tarikan napas lagi dia akan segera menemui ajal.
Lelaki itulahyang beberapa waktu lalu dijadikan
bulan-bulanan tiga orang di telaga Kadipaten Karang
Gantung. Dia sebenarnya sudah terlalu payah. Hanya karena ada sesuatu
tersembunyi dalam benaknya yang harus disampaikan pada orang dari golongan
putih, membuat dia berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan selembar nyawanya.
"Mereka hendak membentuk Perserikatan Setan...,"
lirihnya samar.
"Mereka" Mereka siapa?" susul Andika, tak ingin kehilangan waktu sekejap pun
mengingat keadaan si lelaki India sudah begitu mengkhawatirkan.
Di antara tarikan napas yang tersandung-sandung, orang sekarat tadi melanjutkan.
"Dua lelaki dan satu wanita.... Satu orang cebol, satu orang berwajah seram....
Mereka ingin mengumpulkan tokoh-tokoh sesat kalangan atas untuk membentuk laskar
sesat.. . Per. . "
Tak sampai menyelesaikan kalimat sendiri, nyawa si lelaki India melayang sudah.
T ampaknya kehendak hati yang menyebabkan nyawanya masih bisa bertahan telah
terpenuhi. Dia mati dengan garis wajah lega.
"Perserikatan Setan...," desis Pendekar Slebor, menyambung kata terakhir yang
tak sempat dicetuskan si lelaki India.
"Itu murid-muridku! Aku yakin itu murid-murid murtadku!"
Di belakang Pendekar Slebor, Petaruh Sakti Perut Buncit mencak-mencak.
"Ya. Tampaknya begitu Pak Tua...," desah Pendekar Slebor.
Pandangannya terlepas jauh. Dia sedang memikirkan sesuatu. "Rasanya aku bisa mengerti kenapa murid-murid murtadmu
membunuh wanita India waktu itu...," gumamnya kemudian.
"Apa" Apa" Ayo katakan padaku, apa"!" serobot Petaruh Sakti Perut Buncit tak
sabaran. "Mereka merencanakan membentuk satu perserikatan yang menyatukan tokoh-tokoh sakti golongan sesat. Mungkin lelaki
malang ini mendengar rencana
rahasia mereka. Karena tak ingin rencana besar itu diketahui orang-orang
golongan putih sebelum terwujud, mereka memburu lelaki malang ini. Sementara,
untuk menemukan perantau dari India ini, mereka mengira dapat mengorek
keterangan dari orang-orang satu negeri dengannya. Itu sebabnya mereka
mendatangi wanita India yang mayatnya kutemukan waktu itu...," papar Pendekar
Slebor, panjang lebar dan tuntas.
"Nah, bukankah sudah kubilang padamu sejak mula, cicit kemenakanku memang
berotak seencer bubur bayi!"
seru Nyai Silili-lilu seraya menepak
jidat mantan kekasihnya kuat-kuat.
*** Di tempat lain, tepatnya di sekitar batas Kadipaten Karang
Gantung tampak sebuah bangunan tua menebarkan cahaya api dari ruang dalamnya. Bangunan tua berupa pendapa yang
sudah dimakan rayap pada beberapa bagian itu tampak demikian terbeng-kalai.
Mungkin telah tak didiami selama bertahun-tahun. Di halaman depannya tumbuh
ilalang liar, tanaman yang masih kuat bertahan dalam kemarau panjang seperti
sekarang. Tingginya nyaris menyamai kepala. Cahaya redup dari
satu ruangan bangunan tua terengah-engah menerobos kegelapan malam dan sekian ubun-ubun alang-alang. Di dalam sana,
terdengar suara beberapa orang. Ada suara perempuan. Juga ada suara lelaki.
Semuanya terdengar bergiliran, teratur. Tampaknya orang-orang itu sedang
mengadakan rapat rahasia.
Masuk ke ruangan tengah besar, tampak hadir
sepuluh orang. Semuanya duduk bersila di atas tikar lebar.
Tujuh orang lelaki. Sisanya wanita. Tiga orang di antaranya adalah orang-orang
yang beberapa waktu lalu memburu lelaki India di telaga Kadipaten Karang
Gantung. Merekalah Dewi Kecubung, Katak Merah, dan Mata Dewa
Kematian. Malam ini, mereka sebagai pencetus rencana besar pembentukan Perserikatan Setan
telah kedatangan tamu tujuh tokoh golongan sesat. Dalam minggu-minggu
terakhir, undangan telah disebar secara rahasia oleh tiga orang murid murtad
Petaruh Sakti Perut Buncit. Dari lima belas undangan yang tersebar, hanya tujuh
yang mendapat sambutan.
Tak ada seorang golongan putih pun yang tak akan terkejut jika menyaksikan
ketujuh orang yang datang memenuhi undangan. Mereka rata-rata adalah datuk-datuk
sesat dunia persilatan. Kesohoran mereka sudah menyerupai momok menakutkan. Di mana pun dan kapan pun julukan mereka disebutkan
orang, ketika itulah ketakutan menghantui.
Sesungguhnya, teramat sulit untuk mengundang
mereka. Apalagi pengundangnya cuma tiga orang yang belum cukup punya nama besar.
Namun, akal licin Dewi Kecubung membuat semuanya berjalan mulus. Disebutsebutnya dalam undangan bahwa Perserikatan Setan mempunyai tujuan utama untuk
menyingkirkan satu-satunya penghalang terbesar bagi kaum sesat saat itu....
Pendekar Slebor!
'Bumbu' itu membawa hasil.
Dengan cukup bersemangat, mereka tiba dan langsung menanyakan apakah
Perserikatan Setan yang akan dibentuk mempunyai tujuan pertama da., utama untuk menyingkirkan pendekar muda sakti itu.
Di antara ketujuh datuk sesat dunia persilatan itu, telah hadir orang-orang yang
pernah berurusan langsung dengan Pendekar Slebor.
Seorang di antaranya adalah si Gila Petualang.
Tokoh tua yang dalam kepalanya terpendam dendam
berkarat pada Pendekar Slebor karena rencananya di Piramida Tonggak Osiris
digagalkan mentah-mentah.
(Untuk lebih jelasnya, bacalah tiga episode: "Undangan Ratu Mesir", "Piramida
Kematian", dan "Warisan Ratu
Mesir")!Berseberangan dengan si Gila Petualang, duduk seorang berusia amat uzur,
berjenggot amat panjang sampai menutupi seluruh bagian bawah tubuhnya.
Berpakaian kain kafan dekil berlumur tanah tercabik-cabik.
Rambutnya sepanjang jenggot. Wajahnya tertutup rambut kotor dan kumal itu.
Dialah Hakim Tanpa Wajah. (Untuk mengetahui kisahnya bacalah episode: "Manusia
Dari Pusat Bumi" dan Tengadilan Perut Bumi")!
Dua kali di samping kanan si Gila Petualang, duduk seorang lelaki berjenggot
seperti kambing gunung. Usianya sekitar delapan puluhan. Alisnya hitam, tebal
dan lebat, menaungi sepasang mata seta-jam sembilu. Meski usianya tua, masih
tampak sisa ketampanannya. Kening lelaki itu lebar. Rambutnya hanya tumbuh di
pinggiran kepala.
Memanjang lepas menutupi bokong. Perawakannya tinggi besar dan berotot.
Padakulit dari bagian leher ke bawah, selu-ruhnya berkerut-kerut. Serupa dengan
karet terba-kar dengan warna merah kehitaman. Lelaki yang ini adalah musuh lama
Pendekar Slebor pula. Julukannya Pangeran Neraka. Lelaki terlicik yang pernah
berhadapan dengansi pendekar muda berotak encer!
(Baca kisahnya dalam
episode: "Pendekar Wanita Tanah Buangan" dan "Sepasang Bidadari Merah").
Duduk di dekat mulut pintu masuk seorang lelaki
gagah berperawakan seperti Bima, tokoh pewayangan.
Wajah memikatnya dihias cambang tipis serta kumis lebat melintang. Bersit
matanya kasar, bengis, dan telengas.
Pakaian rompi kulit macan menutupi dada bidang berbulu lebatnya. Tokoh satu ini
pernah pula berurusan dengan Pendekar Slebor. Dia tak lain, si Pencuri Ilmu.
(Tentang tokoh ini bisa dibaca pada episode: "Peta Rahasia Lembah Kutukan").
Sebenarnya, kalau keempat tokoh itu saja bergabung menjadi satu, maka dunia persilatan akan mendapat kesulitan maha
besar. Dengan kelicikan
Pangeran Neraka,
kesaktian Hakim Tanpa Wajah,
pengalaman si Gila Petualang yang pernah didapatnya selama
bertualang, dan kehebatan Pencuri Ilmu mengambil alih jurus-jurus lawan, mereka akan menjadi empat tokoh pemegang
kendali napas dunia persilatan.
Kini, ada tiga tokoh sesat kelas atas lain. Ditambah tiga pencetus rencana
pendirian Perserikatan Setan. Lalu, bagaimana jadinya bila mereka semua benarbenar bersepakat untuk mewujudkan cita-cita sesat mereka"
Bukankah dunia persilatan sama saja menanti prahara dahsyat"
Sementara itu, tentu saja akan ada tantangan maut yang belum pernah dihadapi
Pendekar Slebor selama ini, dan seberat kali ini....
"Sebaiknya,
kau tak usah bertele-tele lagi, Perempuan Muda! Jelaskan secara gamblang apa rencana besar kalian sebenarnya?"
si Gila Petualang saat itu memotong ucapan pembukaan Dewi Kecubung. Dia tak
begitu suka mendengarkan orang bicara terlalu banyak.
"He he he! Betul, aku setuju!" timpal Hakim Tanpa Wajah.
Wajah Dewi Kecubung memerah Dia gusar juga.
Kalau tak memikirkan rencana besarnya sendiri, dia ingin sekali melabrak orang
tua pengelana sesat itu. T ak peduli seberapa hebat kesaktiannya.
"Baiklah, sebaiknya aku yang akan menjelaskan!"
sambar Mata Dewa Kematian, mengambi alih pembicaraan ketika melihat gelagat tak baik Dewi Kecubung.
Lelaki itu berdiri dari silanya. Dia melangkah ke tengah lingkaran. Dengan
tangan disilangkan di belakang punggung, dimulainya penjelasan.
"Seperti kita semua tahu, Dunia persilatan sekarang ini belum memiliki satu
kekuatan besar yang menjadi pucuk pimpinan kekuasaan. Kekuasaan terpecah-pecah
dalam orang perorangan, Masing-masing saling unjuk gigi untuk dikatakan
berkuasa. Tapi sesungguhnya, tak pernah ada yang benar-benar
menggenggam kekuasaan tertinggi dunia persilatan itu sendiri. Kami bertiga, aku
Mata Dewa Kematian, Dewi Kecubung, dan Katak Merah, mempunyai pikiran untuk
mulai menata sumber-sumber kekuasaan dunia persilatan yang selama ini terpecahpecah. Khususnya bagi orang-orang yang merasa dirinya menjadi warga persilatan
golongan sesat. Untuk itu, kami mengundang saudara-saudara semua selakupe-megang
kekuasaan-kekuasaan yang masih tercerai-berai itu. Kebesaran julukan kalian
adalah satu jaminan bagi kita untuk membentuk kesatuan kekuasaan. Di mana
penyatuan kekuasaan itu akan
membentuk kekuasaan tertinggi yang akan kita pegang bersama.
Dengan begitu, hanya ada satu-satunya
Pendekar Slebor 43 Macan Kepala Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penguasa yang menggenggam napas dunia persilatan.
Penguasa itu akan tergabung dalam Perserikatan Setan!"
Mata Dewa Kematian berhenti sejenak. Wajahnya
berubah mengeras. Sepasang mata merah darahnya
menyipit. "Mencapai cita-cita besar kita itu, tak menjadi akan mudah. Kita semua tahu,
beberapa tokoh-tokoh golongan lurus selalu menjadi penghalang semua kehendak
kita, semua tindak-tanduk kita, semua kerja kita! Sampai kala ini, tak ada
seorang pun dari tokoh-tokoh golongan sesat kalangan atas membentuk persatuan.
Mereka akan kita singkirkan dengan kekekuatan yang kita gabungkan bersama. Salah
seorang tokoh itu adalah satu-satunya penghalang besar kita saat ini. Siapa dia"
Kita semua mengenal satu nama... Pendekar Slebor. Entah sudah berapa tokoh
golongan hitam yang disingkirkan olehnya. Jika kita berhasil membentuk
Perserikatan Setan itu. terwujud, maka tak akan ada lagi tokoh golongan lurus
menghalangi seluruh sepak terjang kita mengangkangi dunia persilatan.
Tidak ada! Tidak juga Pendekar Slebor! Karena akan tiba bagi pendekar keparat
itu saat ajalnya di telapak kaki orang-orang Perserikatan Setan!"
Mata Dewa Kematian mengakhiri khotbah berapiapinya. Tak ada seorang undangan pun memberi
sambutan. Hanya Dewi Kecubung dan Katak Merah yang tampak bertepuk tangan lambat
Namun begitu, bukan berarti para undangan tak terpincut dengan seluruh pemaparan
tadi. Di balik wajah keras mereka masing-masing, tersembul lamat senyum
menyerupai seringai.
Mereka kini turut menginginkan Perserikatan Setan cepat-cepat berdiri. Seperti
mereka begitu berhasrat untuk mencabik-cabik nama besar Pendekar Slebor
sekaligus tubuhnya...!
*** 10 Matahari menyembul kembali di ufuk timur. Sinar
merah tembaganya belum terlalu menjerang. Lamat, ramah. Angin masih terasa
sejuk, sebelum siang nanti menjadi hembusan kering tak bersahabat.
Ladang jagung kering di salah satu wilayah Wetan Jawa dirundung kesunyian. Sisa
dingin malam yang begitu menusuk tulang sumsum, masih bergentayangan. Kalau
siang daerah itu memang demikian panas, malam justru sebaliknya. Dingin terlalu
merasuk kulit. Bahkan terasa menyiksa.
Pendekar Slebor tiba di sana. Sesuai beberapa
petunjuk yang didapat selama perjalanan, menurut beberapa orang tempat itulah
orang berkesaktian sesat telah menanti Pendekar Slebor selama berhari-hari.
Semalam, di tengah perjalanan, dua pasangan
bangkotan yang semula setuju untuk turut malah berubah pikiran. Nyai Silili-lilu
dan Petarung Sakti Perut Buncit tahu-tahu mengatakan pada Andika mereka hendak
mencari tiga murid murtad.
Andika tak mau banyak tanya. Justru dia gembira
setengah modar kalau orang-orang uzur berotak sedikit miring itu tidak lagi
bersamanya. Bersama mereka seperti dikuntit kesialan sebesar biang dari segala
biang badak! Lebih mengerikan ketimbang dijerumuskan ke istana kepinding!
Kini, pendekar muda pewaris kesaktian Pendekar
Lembah Kutukan itu berjalan menyusuri jalan pembelah hamparan
padang luas terbengkalai. Disiapkannya segenap kesiagaan. Matanya diusahakan untuk tidak berkedip. Bahkan kalau bisa,
napas pun ditahannya.
Di dekat sebuah gubuk yang dijadikan tempat
beristirahat para petani selama menggarap ladang sebelum musim kemarau panjang
melibat, Pendekar
Slebor merasakan ada hawa aneh merasuk kulitnya.
"Ada yang aneh di sekitar tempat ini," bisik Andika
pada diri sendiri. Dia merasakan, tapi tak bisa mengerti keanehan apa gerangan.
Panca inderanya sendiri tak menangkap keganjilan apa-apa. Tidak matanya,
telinganya, hidungnya, tak juga kulitnya.
Perasaan serupa pernah hadir ketika pendekar
muda itu berurusan dengan Manusia Dari Pusat Bumi. Kala itu dia hendak mengejar
si manusia dedemit ke alam gaib.
Di gerbang alam gaib yang tersembunyi di balik jasad pohon raksasa, perasaan
seperti kini pun menyerangnya (Untuk mengetahuinya bacalah episode: "BayangBayang Gaib")!
Karena hal itu, Pendekar Slebor menghentikan
langkah. Dia diam. Tak ada niat baginya untuk
menggerakkan bagian tubuh mana pun, kecuali kedua bola matanya. Diperhatikannya
sekeliling dengan rasa waswas yang menjangkit cepat. Telinganya dipasang sekuat
mungkin. Siapa tahu dia mendengar suara angin bokongan dari belakang.
Menanti sekian lama, tak muncul satu serangan pun.
Pendekar Slebor mulai meragukan perasaannya sendiri.
"Apakah karena ketakutanku aku mulai merasakan perasaan-perasaan aneh?" bisiknya
lagi pada diri sendiri.
"Tapi, aku yakin ada orang yang sedang mengawasiku...."
Tanpa mengurangi kesiagaan dan kewaspadaannya
secuil pun, Andika mencoba menggerakkan kaki lagi. Tak sampaikakinya menjejak ke
depan, mendadak saja ada sekelebat bayangan menerkam amat cepat dari atap
gubuk.Mula-mula bayangan itu menerobos atap daun kelapa
kering. Membuat potongan-potongan
atap berhamburan ke udara bagai dihempas topan. Andika saat itu terkesiap. Seluruh
jaringan tubuhnya menegang, mengejang, mengencang. Tangannya mengepal keras,
terangkat ke depan.
Dari atap gubuk yang berhamburan, kelebatan
bayangan tadi bergerak cepat dan lurus ke arah Pendekar Slebor. Jarak Andika
dengan gubuk cukup jauh. Ada sekitar
lima belas tombak. Semestinya gerak lompatan bayangan itu agak terhambat gaya
tarik bumi Tapi yang disaksikan Pendekar Slebor sekelebatan sungguh membuatnya terkagum
sekejap. Bagaimana
tidak" Kelebatan bayangan tadi bergerak seolah-olah tidak terpengaruh sedikit
pun oleh gaya tarik bumi. Meluncur lurus bagai terbang. Ringan, seolah
menunggangi angin!
Sekejapan berikutnya, Pendekar Slebor bertanya
dalam hati, siapa yang sesungguhnya akan dihadapi"
Wrrr! Berkawal deru santer mirip geletaran kain, kelebatan bayangan tadi sampai di
depan Pendekar Slebor.
Kesiagaan yang telah terjaga selama ini tak cukup membawa hasil memuaskan bagi
Pendekar Slebor. Dia sudah berusaha berkelit dari terkaman ganas itu.
Sayangnya, kecepatan kelitannya ternyata kurang unggul dibanding sambaran
kelebatan bayangan tadi.
Tak ayal lagi...
Srat! Ada sesuatu terkoyak. Pendekar Slebor cepat melirik bagian bahu kanannya.
Dilihatnya pakaian di bagian itu tersobek. Dari cabikannya, anak muda itu bisa
menilai benda apa yang baru saja mengoyak pakaiannya. Sebuah cakar tajam!
Pendekar Slebor cukup lega mengetahui kulit
tubuhnya tak ikut terkoyak. Bisa dibayangkan bagaimana jika dia benar-benar
tersambar cakar kelebatan bayangan tadi. Tentu kulitnya akan terkuak, mencabik
daging di dalamnya, dan memperlihatkan tu-lang di bagian dalam. Itu sungguh
menggidikkan! Untuk benar-benar lega, Pendekar Slebor belum
bisa. Sebab, kejap berikutnya disaksikan kelebatan bayangan tadi menukik ke atas
dataran ladang kering, menjejak tanah, lalu menerkam kembali. Rentetan
gerakyang dilakukannya demikian memukau.
Pendekar Slebor sendiri, dalam hal kecepatan
adalah salah satu tokoh yang paling dikagumi di dunia
persilatan. Kalangan persilatan menganggap kecepatan geraknya seperti siluman.
Membandingkan kehebatan kecepatannya dengan kelebatan bayangan tadi, anak muda
pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan itu jadi
kurang yakin apakah kecepatannya sanggup mengimbangi kelincahan gerak kelebatan bayangan yang sampai saat itu tak jelas
bentuk rupanya...
Sambaran berikutnya tak kalah cepat, beringas dan ganas. Tetap dengan gerak
lurus seperti menunggang angin,
kelebatan bayangan tadi mengancam leher
Pendekar Slebor.
Karena sudah masuk dalam kegentingan sebelumnya, kepekaan naluri Pendekar Slebor menjadi meningkat Serangan kali ini
dapat dihindarinya. Itu pun setelah dia memompa segenap kemampuan ilmu peringan
tubuh warisan Pendekar Lembah Kutukan yang dimilikinya.
Agak kehilangan keseimbangan karena mendorong
tubuh terlalu kuat, Pendekar Slebor membuat satu putaran salto. Dia menjejakkan
kaki sebelas depa dari bayangan tadi. Di lain pihak, bayangan itu pun sudah pula
berdiri. Di antara banyak pengalaman terburuk yang pernah dialaminya, kali ini adalah
salah satu pengalaman bagi Pendekar Slebor disuguhkan pemandangan yang memaksa
mulutnya ternganga. Matanya tak berkedip. Anak muda itu berdiri kaku seperti
terserang tenung.
Disaksikannya seekor macanberkepala puluhan ular sendok siap menerkamnya
kembali.... "Jadi semua desas-desus itu benar...," desis si anak muda takjub. "Kalau begitu,
kemungkinan besar memang benar pula desas-desus yang menyebutkan kalau aku yang
di nginkan macan jejadian ini. Tapi kenapa aku" Ada urusan apa manusia berilmu
sesat itu padaku?"
Pertanyaan yang tak akan pernah menemukan
jawaban selama Andika hanya terpaku bisu seperti itu. Dan mungkin selamanya tak
akan pernah terjawab kalau dia tak segera tersadar dari ketertegunan. Karena
macan berwujud menggidikkan sebelas depa di depannya mulai
memperdengarkan dengung mengancam.
*** Di tempat berbeda, namun di waktu yang sama,
pertemuan para datuk golongan sesat mencapai ujung penyelesaian.
Kesepuluh orang di dalam rumah terbengkalai telah mencapai kesepakatan. Mereka setuju untuk membentuk
Perserikatan Setan!
Setelah meminum arak sebagai tanda keberhasilan
bagi kebanyakan orang-orang sesat, Bureksa alias Pangeran Neraka bangkit
berdiri. Diangkatnya tabung bambu berisi arak. Entah sudah berapa tabung arak
ditenggaknya. Sampai saat itu, tak terlihat dia kehilangan kesadaran.
"Untuk keberhasilan kita! Hu hu huuu!" serunya serakberkawal tawa anehnya.
Yang lain turut mengangkat tabung arak mengangkat tabung bambu di tangan masing-masing. Hanya si Gila Petualang dan Hakim
Tanpa Wajah yang tidak. si Gila Petualang memang sudah pernah menyentuh minuman
seperti itu. Dia tak ingin membuat tubuh dan keseimbangannya
menjadi rusak karena pengaruh minuman keras. Baginya untuk menguasai dunia persilatan, dia harus benar-benar menjadi keadaan dirinya sesempurna mungkin.
Sedangkan Hakim Tanpa Wajah
bukannya tak turut minum. Di tangannya ada juga tabung arak. Cuma dia tak ingin
terbawa wibawa Pangeran Neraka.
Dia lebih suka acuh dengan diamnya yang beku.
"Saudaraku segolongan sekalian! Karena kita telah menyetujui pembentukan
Perserikatan Setan ini. Maka, aku...
Pangeran Neraka akan lebih dahulu menyumbangkan sesuatu untuk kepentingan perserikatan kita! Aku bersedia membuat
rencana sempurna untuk menjerat nyawa Pendekar Slebor ke dalam genggaman kita!
Akan kususun siasat paling licin yang mungkin akan mengecohkan akal cemerlang
anak muda keparat itu! Hu
hu hu huuu!"
"Heh, kau terlalu meremehkan kemampuan otak anak keparat itu, Pangeran Neraka,"
cibir si Gila Petualang berat. "Kau bicara apa"!" sentak Pangeran Neraka.
"Kau pikir, aku tak pernah merencanakan siasat yang demikian sempurna untuk
menjebaknya?" lanjut si Gila Petualang tanpa sudi menatap Pangeran Neraka.
Kesannya angkuh.
"Ya... ya.. ya, kau gagal karena otakmu kalah cemerlang dengan anak muda keparat
itu! Hu hu huuu!"
balas Pangeran Neraka mengejek.
"Kau ingin menyebutku dungu, Pangeran Neraka"
Begitu maksudmu"!" Suara si Gila Petualang yang semula datar mendadak menanjak.
Matanya menerkam ke arah Pangeran Neraka. Kegusarannya terpancing.
Menyaksikan suasana akan semakin panas kalau
terus begitu, Mata Dewa Kematian segera bangkit
menengahi. "Tenang... tenang.... Aku yakin tak ada yang dungu di antara kita. Harus diakui,
Pendekar Slebor memang bukan anak kemarin sore yang mudah dipecundangi. Untuk
itulah kita bersatu! Dan aku yakin, dengan ketajaman akal Pangeran Neraka dan
pengalaman hebat Pak Tua Gila Petualang, kita akan bisa menjadikan pendekar
keparat itu...."
"Menemui ajalnya!"
Kalimat Mata Dewa Kematian terpancing suara
menggelegar dari luar bangunan. Dinding batu rumah besar itu terguncang seakan
dilanda gempa. Serpihan atas bangunan bertaburan ke bawah. Dinding pun retak.
Kusen pintu terpatah.
Mengekori sambaran suara tadi, berpendar cahaya
amat terang di awal pagi muda yang belum lagi cukup punya cahaya. Sinar merah
saga mentari seperti tertelan pendar cahaya yang membersit dari langit itu....
Pendekar Slebor 43 Macan Kepala Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** Satu pertarungan ganjil tampaknya akan segera
meletus. Bukan cuma pertarungan itu sendiri yang ganjil, namun pihak yang
berseteru pun ganjil. Satu pihak adalah seorang pemuda tampan berperawakan
gagah. Kekar. Nyata sekali kesempurnaan zahirnya, meski otaknya terkadang sengaja dibuat
'ngadat', lebih sinting dari orang sinting.Di lain pihak, lawannya adalah sosok
yang benar-benar mehggetarkan nyali. Bahkan untuk seorang ksatria sejati macam
Pendekar Slebor sekalipun. Seekor macan berkepala puluhan ular sendok! Di
sanalah letak seluruh keganjilan jalannya pertarungan ini....
Ketika itu, Andika si Pendekar Slebor dalam
kungkungan keterpanaan luar biasa. Dia bagai patung bernapas mendapati lawan
yang belum lama menyerangnya dalam kelebatan bayangan yang demikian cepat.
Bahkan mungkin melebihi kecepatannya yang selama ini dikagumi banyak kalangan
persilatan. Seluruh serat tubuhnya mengejang tegang. Bagaimana. tidak, kalau lawan yang harus dihadapinya kini memiliki wujud yang
selama hidup baru disaksikan"
Segunung pengalaman pahit getir, setimbun asam garam dunia persilatan pernah
dicicipi pendekar muda ini. Bahkan dia pernah bertemu dengan tokoh-tokoh sesat
kelas atas datuk penguasa beberapa wilayah. Mereka tak jarang begitu aneh,
begitu ganjil untuk pikiran seorang yang waras.Tapi lawan yang mesti dihadapinya
kali ini benar-benar ganjil. Kalau ada yang bertanya, Andika sendiri sulit
menggambarkan dengan kata.
Bahkan menurut pikiran Pendekar Slebor, Manusia
Dari Pusat Bumi, lawan setengah dedemitnya pun tak begitu membuncahkan
keterperangahannya sedemikian hebat. (Baca episode: "Manusia Dari Pusat Bumi"
dan "Pengadilan Perut Bumi")! Tidak juga si Setan Laut, si Penguasa Laut Selatan
yang nyaris menjelma menjadi makhluk menyeramkan penghuni lautan. (Baca episode:
"Perompak-Perompak Laut Cina")!
Selama melihat dengan sejelas-jelasnya wujud
lawan, mengalir deras bagai terjangan air bah seruntun pertanyaan dalam diri si
pendekar muda. Siapa yang sesungguhnya yang dihadapi" Manusiakah dia" Atau dia
sedang berhadapan dengan sejenis dedemit dasar bumi"
Atau manusia sesat setengah dedemit seperti Manusia Dari Pusat Bumi" Apa yang
menyebabkan makhluk jejadian ini menginginkan dirinya"
Segala macam pertanyaan bertubi-tubi tadi mendapat jawaban berbeda dari lawan.
Dzzzgggg! Sehimpun desis membentuk dengung samar na?mun menggaung jauh. Puluhan ular di tubuh macan tak berkepala di depan sana
memperdengarkan desis maut, menebar ancaman. Mata mereka berpendar seolah
menyimpan bara. Aneh, Andika bisa mengartikan bersit sejumlah pasang mata itu
sebagai cerminan dendam.
"Dendam?" hati Pendekar Slebor berbisik. "Kenapa di mata puluhan kepala ular itu
terpancar dendam pada diriku?" meruyak kembali pertanyaan- pertanyaan tak
terjawab dalam dirinya.
Untuk kedua kalinya, jawaban yang didapat berbeda dari harapan. Dengan tibatiba, wujud macan jejadian di depannya menerkam kembali.
Untuk terkaman kali ini, Pendekar Slebor dipaksa terperangah hebat. Sebab,
manakala wujud macan
jejadian tadi berkelebat ke arah dirinya, terlihat samar-samar wujud seseorang
yang pernah disaksikannya
beberapa waktu belakangan membayang di antara wujud macan jejadian! Sekilas
benak Pendekar Slebor merasa mengenali bayangan orang tadi. Sekilasan
berikutnya, dia tak memiliki waktu lagi untuk memikirkan. Karena....
Wsss! Crsh! Satu sabetan cakar membuyarkan bayangan di
benak Pendekar Slebor. Kalau cakaran pertama hanya berhasil mengoyak pakaiannya,
sekali ini kulit pangkal
lengannya turut tercabik. Andika merasakan pedih luar biasa. Rasanya lebih hebat
dari sayatan sembilu ditetesi perahan jeruk nipis!
Darah mengalir dari tiga sayatan dalam sepanjang rata-rata sepertiga jengkal.
Biarpun Pendekar Slebor sudah menghindar cukup
cepat, namun tampaknya kesalahan telah dibuat Dia terlalu jauh terkesima dengan
wujud lawan. Juga dengan bayangan seseorang yang tahu-tahu tertang-kap di antara
kelebatan gerak terkaman tadi.
Cukup sudah! Kutuk Andika, membodoh-bodohi diri
sendiri. Dia tak boleh lengah lagi. Tak boleh, Tak mungkin!
Kecuali kalau dia ingin nyawanya cepat melayang di ujung cakar ganas makhluk
jejadian laknat itu! O, maaf-maaf saja, cibir Pendekar Slebor.
"Kau...." Pendekar Slebor baru hendak mengoceh.
Dalam beberapa keadaan, mulut ceriwisnya memang tak bisa ditahan-tahan. Ibarat
orang kebelet buang air! Tapi belum lagi lebar mulutnya menganga, lawan sudah
mencelat kembali dari tempatnya.
Dzzzng! Wukh! "Wuih!"
Andika cuma bisa ber'wuih' sambil menyingkirkan
posisi berdirinya jauh-jauh di sisi kiri. Tiga jumpa-litan lincah dibuatnya.
Sialan juga pikirnya. Dia se-pertinya hendak dijadikan sekadar bulan-bulanan
empuk. Siapa yang sudi diperlakukan begitu" Sekali lagi dan seterusnya, maafmaaf saja.... "Ayo sekarang serang aku lagi, biang ketorabe!"
rutuk Pendekar Slebor dalam hati. Dengan satu tangan, diremasnya ujung kain
pusaka bercorak catur. Jika nanti makhluk jejadian itu menyerang kembali, Andika
akan menyongsongnya dengan sabetan bertenaga penuh! Untuk itu
Pendekar Slebor meningkatkan sepenuhnya kewaspadaan. Selain itu, disiapkannya pula pengerahan tenaga sakti warisan
buyutnya Pendekar Lembah Kutukan
hingga tingkat kesepuluh. Matanya mengawasi tajam-tajam ke arah lawan, bersiapsiap kalau-kalau lawan berkelebat kembali ke arah dirinya. Seluruh serat di
tubuhnya menegang. Terlebih tanganyang menggenggam ujung kain pusaka
Di depan sana, si makhluk menyeramkan belum juga memperlihatkan tanda-tanda
hendak menerjang kembali.
Suara desis berdengungnya memang. Tapi tidak tubuhnya.
Binatang laknat dasar neraka itu seperti mematung.
"Monyet kau!" Pendekar Slebor memaki. Gusar sekali dia. "Ayo serang aku lagi!
Serang! Apa Bapak Moyangmu cuma mengajarkan berdiri kaku seperti bangkai itu"!"
Sang makhluk jejadian tetap tak bergemik.
Pendekar Slebor makin sewot.
"Hei, kau tak merasa tersinggung setelah kusebut-sebut Bapak Moyangmu" Apa kau
memang tak punya
Bapak Moyang?"
Macan jejadian tetap diam.
Pendekar Slebor mulai kebingungan sendiri dengan segala caci-makinya. Selama
ini, justru 'ajian sakti' itu yang diandalkan untuk mempermainkan ke-marahan
lawan. Dia mulai menggaruk-garuk kening sendiri.
"Apa caci-makiku ada yang keliru?" gumamnya kebodoh-bodohan.
Sedang sibuknya Andika bersungut-sungut, tanpa
mempedulikan rasa pedih luka di pangkal lengan,
terdengar suara seseorang berkata sarat dendam.
Terdengar terpendam dalam. Seolah datang dari tempat tersembunyi. Sebaliknya
amat jelas untuk telinga Pendekar Slebor. Untuk beberapa saat dengung aneh dari
binatang jejadian bahkan ditenggelamkannya.
"Waktunya kau membayar hutang nyawa!"
Andika menaikkan sudut bibir. Menaikkan pula
sebelah alisnya. Kalau bisa, dia ingin juga menaikkan sebelah bulu-bulu
ketiaknya. Pendekar muda itu tak habis pikir dengan semua kejadian ini. Macan
jejadian, bayangan seseorang yang serasa pernah dikenalnya, kini suara yang
dia yakin berasal pula dari si binatang jejadian. Hutang nyawa" Hutang nyawa
siapa" Pikirnya mumet.
"Sebenarnya, siapa kau sesungguhnya?" Pendekar Slebor memutuskan untuk mulai
mengorek keterangan.
Kalau terus begitu, dia bisa benar-benar jadi orang tolol.
Suara terpendam tadi tak terdengar beberapa saat.
Lalu terdengar kembali.
"Aku" Kau bertanya siapa aku" Kau pikir siapa, heh?" Biang panu! Aku tadi
bertanya. Kenapa dia malah balik bertanya, kutuk Pendekar Slebor membatin.
"Aku tak tahu. Justru itu aku bertanya padamu"
Kenapa kau memusuhiku" Apa pernah ada sangkut antara aku dan kau?" lanjut
Andika. "Kau jangan berpura-pura! Aku tak akan bisa melupakan wajahmu. Aku tak mungkin
melupakan wajah pembunuh istriku!"
Andika meringis. Istrinya" Weleh, kapan aku pernah membunuh istri orang"
Jangankan membunuh, membawa lari istri orang pun belum pernah. Maaf saja...
kecuali kepepet! Kicau hati si pemuda pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan,
ngaco. "Tunggu dulu. Kau tak bisa menuduh orang
sembarangan seperti itu... Siapa pun kau, apa pun kau,biang borok atau nenek
moyang ketombe!"
Mendengar sangkalan Pendekar Slebor, hewan ganjil di depan sana memperlihatkan
perubahan wujud.
Perlahan-lahan bentuknya mengabur. Bersama tebaran cahaya lamat berwima
kemerahan, terbentuklah wujud sosok manusia.
"Lho, rupanya si India sial itu...," gumam Pendekar Slebor menyaksikan rupa yang
telah sempurna di
depannya. Pantas dia merasa pernah mengenal bayangan samar yang disaksikan
sebelumnya di antara kelebatan bayangan hewan jejadian tadi. Ya, orang itu
adalah Amitha. Lelaki India yang diperbudak dendam. Dan merelakan dirinya menjadi Sekutu Sang
Durjana! Mungkinkah macan jejadian mengerikan itu adalah
Amitha" Jika macan jejadian yang dihadapi benar-benar Amitha, bisakah Pendekar
Slebor membunuhnya"
Tentu akan ada bahaya teramat besar yang
mengancam Pendekar Slebor sekaligus dunia persilatan.
Bacalah ketegangan berikutnya, sekaligus untuk mengetahui siapa sesungguhnya sosok cahaya yang
datang ke gedung tua tempat pertemuan para datuk sesat.
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Kelanjutan kisah ini adalah :
PERSERIKATAN SETAN
Neraka Hitam 10 Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Petualang Asmara 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama