Ceritasilat Novel Online

Malaikat Bukit Pasir 1

Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir Bagian 1


MALAIKAT BUKIT PASIR
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
MalaiKat Bukit Pasir
1 Saat itu hari Kamis Legi. Siang hari.
Lima ekor kuda hitam yang gagah menderu berderap
dengan kecepatan tinggi di jalan penuh batu yang berliku
itu. Derap langkah menggebah jalan, meninggalkan debudebu yang tebal. Masing-masing penunggangnya nampak
berusaha untuk saling mendahului. Selain nampak ingin
tiba di tujuan, juga untuk menghindari panas yang
menyengat. Wajah dan tubuh para penunggang kuda itu
sudah bermandikan peluh. Ketika melalui sebuah hutan,
barulah panas itu tidak terlalu mengena lagi. Dan semakin
membuat kelima orang itu memacu kuda dengan
semangat, bagai ada yang mengejar karena tak sekali pun
mereka menghentikan laju kuda.
Bunyi tarikan napas kuda yang ngos-ngosan terdengar
cukup keras. Namun tak satu juga yang pedulikan kalau
kuda yang mereka tunggangi sudah kelelahan. Kelima
penunggang kuda itu rata-rata berwajah mengerikan,
dengan mengenakan ikat kepala berwarna kuning. Mereka
pun mengenakan pakaian berwarna hitam yang pekat,
dengan parang besar di punggung masing-masing.
Ketika tiba di tepi hutan itu, kelimanya menghentikan
lari kuda mereka. Terdengar ringkikan keras bersahutan,
selebihnya hanya napas terengah dari kuda-kudaitu.
Pandangan lima orang itu tertuju ke depan, menatap
sebuah bukit yang menghitam dan berkilat-kilat ditimpa
sinar matahari. Aneh sekali memang bukit itu, tak sebuah
pohon pun yang tumbuh di sana Tak ada tanda-tanda
kehidupan di bukit yang menggunung dan terbuat dari
tumpukan pasir.
Tumpukan pasir" Ya, seluruh bukit itu memang penuh
pasir. Sehingga bukit itu dinamakan Bukit Pasir!
"Kakang Grido, jelas sudah kita telah sampai di tujuan.
Bukankah itu Bukit Pasir?" tanya salah se-orangyang
berwajah tirus, dengan sepasang mata turun.
Yang dipanggil tadi seorang lelaki yang wajahnya
dipenuhi oleh bulu. Kumis dan jenggotnya cukup lebat
berwarna hitam pekat. Nama aslinya Grido Kencono.
Nampaknya, dialah pemimpin dari keempat yang lainnya.
"Kau benar," desisnya dengan suara yang berat.
Matanya tak berkesip memandang Bukit Pasir.
"Hhh! Tak sabar aku untuk membunuh Maiaikat Bukit
Pasir yang telah menghabisi nyawa kedua orang tuaku dua
puluh lima tahun yang lalu. Sekaligus membayar sakit hati
guruku, Datuk Pincang Gunung Neraka. Karena kedua
orang tuaku, Sepasang Iblis juga muridnya. Kita segera ke
sana!" Tanpa membuang tempo lagi, lelaki tinggi besar itu
segera menggebrak kudanya dengan suara menggebah.
Yang lainnya pun mengikuti diiringi dengan gemuruh teriak
masing-masing. Tiga jam kemudian, matahari sudah nampak lelah
menjelajahi alam, karena sebentar lagi jelas-jelas ia akan
kembali ke peraduannya. Suasana di Bukit Pasir nampak
mulai gelap, kabut mulai turun. Udara berhembus dingin.
Lima lelaki penunggang kuda itu pun tiba di bawah
Bukit Pasir. Mata mereka memperhatikan sekeliling bukit
yang terdiri dari timbunan pasir dengan tatapan nyalang
penuh amarah. Terutama pandangan mata Grido Kencono
yang berkilat-kilat.
"Hhhh! Kita tak perlu membuang tempo lagi! Sekian
lama aku mencari di mana Maiaikat Bukit Pasir
bersembunyi dengan dendam yang semakin berkarat! Kini
saatnya lah untuk menghabisi nyawa manusia keparat itu!
Heaaaa!!" Kudanya pun digebrak naik ke Bukit Pasir, menyusul
dengan empat ekor kuda lainnya. Gemuruh pasir terdengar
dan berguguran. Kalau tidak memiliki tenaga dalam yang
cukup dan menunggang kuda yang terlatih, sudah tentu
kaki-kaki kuda itu sulit untuk dicabut setelah amblas
setengah di pasir setiap kali melangkah. Di wajah Grido
Kencono jelas sekali kemarahan dan dendam yang
menyengatnya sendiri. Kudanya digebrak dengan
kecepatan penuh.
Selang beberapa saat, tepat matahari tenggelam,
kelima ekor kuda itu tiba di puncak Bukit Pasir. Kalau di
bawah bukit itu saja udara sudah dingin, apalagi berada di
puncaknya bertambah dingin. Kuda-kuda mereka sampai
meringkik keras ketika kaki-kakinya tertanam di pasir.
Grido Kencono langsung melompat turun dan berteriak
keras, menggema seantero Bukit Pasir, "Malaikat Bukit
Pasir! Aku datang untuk menuntul dendam dua puluh lima
tahun yang lalu atas perbuatanmu!!" Suaranya menggema,
menggugurkan pasir-pasir di sebelah timur.
Di satu tempat yang terletak di timbunan pasir itu,
seorang laki-laki tua mendesah panjang sambil mengusap
jenggotnya. Sulit sekali orang-orang yang belum
mengetahui suasana di Bukit Pasir untuk menemukan di
mana laki-laki yang tak lain Maiaikat Bukit Pasir berada.
Dengan kekuatan tenaga dalam yang ia patrikan
melalui kekuatan tanah, Malaikat Bukit Pasir membuat
bangunan kecil sebagai tempat tinggalnya di timbunan
pasir. "Rupanya salah seorang dari yang mendendam padaku
sudah datang. Hmm, pasti Grido Kencono yang datang,"
desis lelaki berusia enam puluh lima tahun yang berwajah
bijaksana itu. Rambut dan bulu yang tumbuh di tubuhnya
seluruhnya berwarna putih. Ia pun mengenakan pakaian
dan jubah panjang menjuntai yang berwarna putih pula.
Ketika melihat ke matanya, orang akan terkejut. Karena,
tak ada bola hitam di matanya. Semuanya berwarna putih.
Rupanya Malaikat Bukit Pasir buta!
Lelaki itu kembali mendesah lembut, "Kalau saja Grido
Kencono tahu apa yang terjadi dua puluh lima tahun yang
lalu, mungkin ia akan sadar, kalau aku membunuh kedua
orang tuanya karena kejahatan dan sepak terjang kejam
yang mereka lakukan. Tetapi, sudah tentu Datuk Pincang
Gunung Neraka sebagai guru dari Sepasang Iblis tak akan
membiarkan Grido Kencono tumbuh tanpa dendam."
"Orang tua hina dina! Apakah kau sudah berubah
menjadi banci yang penakut, hah" Ataukah kau sudah
menetapkan dirimu menjadi tikus Bukit Pasir!!"
seruandi ringi tenaga dalamyang kuat itu menggema
kembali. Maiaikat Bukit Pasir kembali menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ia memang harus memberitahukan apa yang
terjadi dua puluh lima tahun yang lalu. Tidak ada jalan lain
lagi. Kemudian, perlahan-lahan lelaki itu berdiri sambil
mendesah masygul. Mengambil tongkat putihnya yang
sejak tadi tergeletak di sisi bersilanya.
Tangannya terangkat ke atas.
Plas! Timbunan pasir itu seolah menjadi bolong karena
tertahan oleh tenaga dalamyang dialirkannya. Lalu dengan
gerakan yang aneh sekali Malaikat Bukit Pasir melompat
melalui lubang pasir yang cukup besar. Hanya ia dan
muridnya saja yang tahu bagaimana cara masuk dan
keluar dari kediamannya.
Sementara itu, Grido Kencono masih berteriak-teriak
tak karuan dengan kerasnya.
"Tak perlu membuang tenaga... aku sudah ada di sini,"
terdengar satu suara lembut di belakang mereka
Bukan hanya lelaki tinggi besar dengan kumis dan
cambang bawuk itu saja yang terkejut, begitu pula dengan
keempat temannya. Begitu melihat siapa yang muncul,
Grido Kencono mengeluarkan tawanya yang keras penuh
ejekan. "Rupanya kau masih mempunyai nyali juga, Orang Tua!
Kini bersiaplah untuk mampus! Selama dua puluh lima
tahun kau mengasingkan diri di Bukit Pasir, rasanya sudah
cukup untuk mengirimkan nyawa busukmu ke neraka!"
Maiaikat Bukit Pasir tersenyum.
"Grido... tahan sedikit amarahmu yang sudah setinggi
gunung itu. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan apa
yang telah terjadi dengan kedua orang tuamu itu."
"Tak perlu kau jelaskan lagi! Aku sudah tahu semuanya
dari guruku yang juga kedua orang tuaku. Nyawa harus
dibalas nyawa, Malaikat Bukit Pasir. Dan sekarang...
bersiaplah untuk mampus!"
"Aku tahu, sebagai anak yang berbakti kepada orang
tua, kita memang harus membela mereka dengan darah
dan nyawa sekalipun. Tetapi, bukanlah lebih baik bila kita
menghindari bentrokan ini, karena kau sendiri belum
mengetahui apa yang terjadi waktu itu."
"Orang Tua hina dina! Tak usah kau banyak komentar!
Hari ini juga nyawamu akan kukirim ke neraka!!"
bersamaan itu, dengan satu lompalan cepat laki-laki tinggi
besar itu melesat dari atas kudanya. Jotosan tangan kanan
yang mengandung kekuatan tinggi diarahkan pada kepala
laki-laki buta itu yang nampak begitu tenang.
Namun belum lagi jotosan Grido Kencono menghajar
kepalanya, laki-laki buta yang berjuluk Malaikat Bukit Pasir
itu mengangkat sebeIah tangannya.
Des! Jotosan Grido Kencono terhalang. Sebenarnya, laki-laki
buta itu bisa melanjutkan gebrakannya, karena tangkisan
tadi merupakan satu rangkaian gerak yang sangat cepat.
Tetapi ia justru terdiam di tempatnya, tak berbuat apa-apa
hanya memasang pendengarannya lebih tajam lagi.
Grido Kencono merasakan tangannya ngilu sekali.
Seluruh otot di wajahnya bagai hendak melompat keluar
menyadari kalau serangannya ditangkis dengan mudah.
Sementara itu, empat temannya sudah mengurung
laki-laki buta yang berjuluk Maiaikat Bukit Pasir. Sikap
mereka garang bukan alang kepalang. Parang besar telah
diloloskan. Tanpa menunggu perintah, keempatnya segera
menerjang. Parang-parang besar bergerak beruntun, mencecar
bagian tubuh Maiaikat Bukit Pasir yang berlompatan ke
sana kemari. Desingan parang itu menimbulkan suara yang
cukup menggetarkan. Pasir di tempat itu bagai
beterbangan. Grido Kencono sendiri sudah terjunkan diri dalam
pertarungan itu. Menghadapi lima serangan maut yang
dilakukan secara beruntun, membuat pertahanan Malaikat
Bukit Pasir seperti agak kacau.
Mendapati kalau lawan kebingungan seperti itu, Grido
Kencono mencecar membabi buta. Namun meskipun
demikian, sampai sejauh itu dan betapapun hebatnya
serangan yang mereka lakukan, tak sekali pun mengenai
sasarannya. Bahkan yang mengherankan, Malaikat Bukit Pasir
tidak membalas serangan orang-orang ganas itu. Hanya
menghindari saja. Sedangkan menurut Grido Kencono,
kalau lawan sebenarnya memang tak mampu untuk
bertindak lebih lanjut. Ia tak menyadari kalau Maiaikat
Bukit Pasir sebenarnya mempunyai rencana lain.
Pada saat yang bersamaan, dalam jarak tiga puIuh
tombak dari Bukit Pasir, seorang pemuda berbaju hijau
pupus dengan kain bercorak catur di lehernya, sedang
duduk di sebatang pohon. Kedua kakinya menjuntai ke
bawah. Matanya yang setajam mata elang menatap Bukit
Pasir di hadapannya. Rambutnya yang memang acakacakan, bertambah tak karuan ketika dihembus angin.
"Busyet! Baru kali ini aku melihat ada sebuah bukit
yang sepenuhnya berisi pasir," desisnya sambil gelenggeleng kepala. "Memang aneh alam ini. Semakin jauh kita
melangkah, semakin aneh terasa. Begitu banyak ciptaan
Yang Maha Kuasa yang belum mampu terpecahkan oleh
akal." Selagi pemuda tampan itu masih mengagumi
keindahan alam, tiba-tiba saja pendengarannya yang tajam
dan terlatih menangkap suara bentakan keras dari
kejauhan. "Hmmm... seperti orang berlarung. Dan asalnya dari
Bukit Pasir itu Ada-ada saja! Baru saja aku tenang di sini,
sudah ada kejadian. Scbaiknya kulihat apa yang terjadi!"
Lalu dengan gerakan yang sangat ringan, pemuda
tampan itu melompat turun dan segera kelebatkan tubuh
menuju Bukit Pasir.
Pertarungan di puncak Bukit Pasir bertambah sengit
dan mengerikan. Serangan lima parang sekaligus yang
mengarah pada tubuh Maiaikat Bukit Pasir bertambah
gencar. Namun sampai scjauh itu, laki-laki buta itu belum
juga membalas. Entah dengan maksud apa. Hanya ia
sendiri yang tahu.
Mendadak saja telinganya menangkap bayangan
berlari menaiki Bukit Pasir.
"Hmm.... siapa lagi yang datang" Bila mendengar
gerakan larinya yang begitu cepat dan ringan, tak mungkin
murid bengal itu. Sebaiknya, kujalankan saja rencana.
Bukan orang-orang ini yang kutunggu. Masih ada lagi yang
menjadi momok lebih mengerikan!"
Dan bagaikan disengaja, Malaikat Bukit Pasir
membiarkan tubuhnya ditendang dan dipukul. Ia tak
menghindar. Akan tetapi, bila parang-parang itu mengarah
padanya, ia selalu menghindar.
Grido Kencono yang menyangka kalau lawan sudah tak
mampu bergerak dan melakukan serangan, mencoba


Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghabisi lawannya. Namun terjangannya yang
berkekuatan penuh ke arah Maiaikat Bukit Pasir,
mendadak saja bagai menghantam sebuah batu karang
yang mendadak meluncur.
Des! Des! Tersentak wajah laki-laki kasar itu. Aliran darahnya
naik ke ubun-ubun. Tangannya dirasakan ngilu luar biasa.
"Manusia hina! Siapa kau yang ingin mencari
mampus"!" bentaknya sengit, sementara keempat
temannya hentikan serangan pada Maiaikat Bukit Pasir.
Lima pandang mata menatap satu sosok tubuh
berbaju hijau pupus yang tadi menghalangi serangan Grido
Kencono pada Malaikat Bukit Pasir. Sikap pemuda yang
baru muncul itu nampak tegang. Matanya yang setajam
elang berkilat-kilat.
"Manusia-manusia yang kerjanya hanya mengotori
dunia saja," desisnya dalam hati.
Sementara Maiaikat Bukit Pasir menajamkan
pendengarannya. "Siapa gerangan orang ini" Meskipun aku
sudah menangkap kelebatan tubuhnya dari jauh, namun
bisa kupastikan kalau orang ini mempunyai ilmu yang
tinggi. Bila membaui tubuhnya, aku yakin ia masih sangat
muda. Tetapi jelas-jelas kalau bukan Imas yang nongol. Ke
mana lagi murid nakal itu?"
Grido Kencono memasang wajah garang. Kelam sudah
menyelimuti wajahnya yarig kasar itu.
"Pemuda hina! Berani mampus lancang mencampuri
urusanku!"
Dibentak seperti itu si pemuda bukannya menjadi jeri,
justru cuma mengangkat kedua alisnya saja. Sikapnya
kocak sekali. "Lho, jadi kalau ikut campur, ilu namanya lancang" Ya,
sudah... kalau memang begitu lebih baik kalian menyingkir
saja dari sini."
Bukan buatan gusarnya Grido Kencono mendengar
jawaban si pemuda yang secara tak langsung
mengejeknya. "Sebutkan nama! Hingga aku bisa mengenang orang
yang kubunuh!"
"Wah, yakin ya" Padahal badan gede yang berisi kentut
itu kosong melompong! Ya... kalau kau memaksa, namaku
Andika," sahut si pemuda tetap santai. Ketika mendengar
namanya, jelas-jelas kalau ia adalah Andika alias Pendekar
Slebor pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan.
Grido Kencono tak mau buang waktu lagi. Hatinya
gusar bukan buatan karena serangan pamungkasnya pada
Malaikat Bukit Pasir dihalangi dengan ringannya oleh
Andika. Dengan suara menggembor dan timbulkan angin
gemuruh dahsyat, tubuhnya berkelebat ke arah Andika.
"Heaaa!"
*** 2 Mcndapati lawan menyerangnya dengan kekuatan
dahsyat, Andika segera buang tubuh ke kiri. Gerakannya
tak kalah cepat dengan yang diperlihatkan Grido Kencono.
Hati Andika sebenarnya bukan main geram melihat
seorang laki-laki buta diserang lerus menerus seperti itu.
Selagi Andika buang tubuh ke kiri, jotosan tangan
kanannya berkelebat deras. Grido Kencono terpekik
melihat serangan balasan yang dilakukan lawan.
Cepat ia tekuk sikunya. Des!
Jotosan Andika ditahan dengan hebatnya.
Andika langsung jumpalitan ke belakang, ketika ia
hinggap di tanah dilihatnya lengannya membiru. Sementara
Grido Kencono sendiri terkejut ketika sadar tubuhnya
bergetar akibat benturan tenaga dalam yang keras.
"Setan keparat! Rupanya kau memang mempunyai
sedikit ilmu untuk dipamerkan! Sayangnya, kau akan
menyesali semua tindakanmu hari ini!" Sehabis berkata
begitu, Grido Kencono kibaskan kedua tangan ke atas, lalu
ke bawah. Saat ia kibaskan tangannya yang dilakukan dua
kali berturut-turut, terlihat kedua tangannya bergetar.
Terasa sekali udara berubah menjadi panas.
Andika yang memperhatikan berjingkat ketika kedua
kakinya bagaikan menginjak bara.
"Busyet! Ilmu apa ini?" dengusnya dalam hati sambil
alirkan hawa muni ke kedua kakinya. Sementara
perubahan itu pun dirasakan oleh Malaikat Bukit Pasir.
Laki-laki buta itu mendesis, "Tak sia-sia Datuk Pincang
Gunung Neraka mengambil laki-laki itu sebagai murid. Ia
rupanya telah menerima ajaran dari Datuk Pincang. Hhh!
Aku tak ingin menambah keri-butan sebenarnya. Yang
kutunggu kehadiran Datuk Pincang. Biarlah kurasai saja
pertarungan antara pemuda yang bernama Andika itu
dengan Grido Kencono."
Serangan yang siap dilepaskan oleh Grido Kencono
adalah ajian 'Iblis Neraka Cabut Nyawa', salah satu ajian
yang diajarkan oleh gurunya. Sebuah serangan ganas yang
menimbulkan udara panas.
Tanpa buang tempo lagi, ia sudah kelebatkan
tubuhnya. Panas membara menguar dan menderu dahsyat.
Andika pun tak mencoba untuk memapaki. Ia hindari
serangan itu sambil mengira kekuatan lawan. Namun
lawan nampaknya tak mau berayal lagi, ia terus mencecar
Andika yang lama kelamaan mendengus.
"Kadal ompong! Bisa-bisa hangus aku kalau kena!"
makinya berusaha mencari sela untuk menyerang. Namun
serbuan yang dilakukan Grido Kencono begitu gencar,
bahkan berusaha untuk merapat dengan Andika.
Menyusul bahaya lain yang datang dari dua kawan
Grido Kencono. Parang besar dikibaskan hingga timbulkan
angin besar. Sementara dua orang yang lainnya memburu
ke arah Malaikat Bukit Pasir.
Mendapati serangan macam begitu, Andika jadi kalang
kabut. Bukan dalam arti ia bingung pertahankan diri,
melainkan menurut perasaannya ia harus menyelamatkan
laki-laki buta yang sepertinya tak berdaya.
Memikir sampai di situ, membuat Andika jadi nekat. Ia
coba potong serangan dari Grido Kencono dengan buang
tubuh ke kanan, sambil melompat itu ia lancarkan
tendangan keras ke muka. Satu jotosan pun dilepaskan.
Des! Des! Dua kawan Grido Kencono terhuyung.
Bersamaan dengan itu, Andika meneruskan geraknya.
Ia buat satu tendangan melingkar kearah dua penyerang
yang siap habisi Malaikat Bukit Pasir.
Rupanya dua orang itu sadar kalau serangan Andika
bisa menimbulkan maut Mereka hentikan gerakan, dan
kibaskan parang dan jotosan yang dilakukan bersamaan.
Des! Des! Kalau dalam keadaan menyerang langsung, tanpa
memotong serangan pertama, benturan itu tak akan
membawa akibat apa-apa bagi Andika. Tetapi, karena tadi
ia sudah kerahkan tenaga untuk menerobos serangan dari
Grido Kencono dan dua temannya, menyusul satu
serangan dilakukan ke arah dua orang yang siap habisi
nyawa Malaikat Bukit Pasir, mau tak mau gebrakannya jadi
sedikit terkuras.
Maka akibat benturan itu, Andika terpental ke
belakang beberapa tombak Begitu pula dengan dua
lawannya tadi. Namun tanpa pedulikan dirinya sendiri,
begitu kedua kakinya menjejak tanah, Andika langsung
emposkan tubuh ke arah Malaikat Bukit Pasir.
Disambarnya tubuh laki-laki buta itu yang seperti tak
berdaya. "Hmm... pemuda ini ternyata bermaksud baik," desis
laki-laki buta yang sudah berada dalam bopongan
Pendekar Slebor. "Sebaiknya, kubiarkan saja ia melakukan
hal ini." Sementara itu Grido Kencono tak mau buang
kesempatan, tak akan dibiarkannya. orang yang telah
membunuh kedua orangtuanya itu hidup, apalagi
mengingat ia mengemban tugas dari gurunya. Makanya, ia
segera kibaskan tangan setelah memungut parangnya.
Parang besar itu meluncur deras ke arah Andika.
Wuuuttt! Trak! Dalam keadaan genting semacam itu, Andika masih
tunjukkan kelasnya. Masih membopong tubuh Maiaikat
Bukit Pasir, kaki kanannya menyepak sebatang ranting,
hingga meluncur menghantam parang itu. Lebih hebat lagi,
ranting yang terpotong menjadi dua itu meluncur tak
ubahnya anak panah ke arah Grido Kencono yang kibaskan
tangan hingga kedua potongan ranting itu luluh sambil
memaki-maki. "Kejar manusia keparat itu! Bunuh!"
*** Selang beberapa saat, satu sosok tubuh ramping
berbaju putih berkelebat ke arah Bukit Pasir. Wajahnya
yang jelita dengan sepasang mulut memerah menggiurkan
dipenuhi keringat. Rambutnya yang panjang dan di kat ekor
kuda dengan sehelai pita berwarna biru, berlompatan
manja saat ia berlari.
Tak lama kemudian, gadis itu pun tiba di puncak Bukit
Pasir. Sejenak ia hentikan larinya. Keningnya berkerut,
Sepasang matanya yang hitam jernih itu membulat melihat
keadaan yang porak-poranda. Hatinya bergetar tidak enak.
"Apakah telah terjadi sesuatu di sini?" desisnya galau.
Mendadak saja kepalanya menegak. Bagai melompat ia
berlari dan berseru, "Guru! Di manakah Guru!"
Gadis yang tak lain murid dari Malaikat Bukit Pasir
semakin kacau hatinya, apalagi ketika masuk ke tempat
tinggal mereka yang kini mulai dipenuhi pasir. Wajah
jelitanya pias dan nampak kacau sekali.
Belum lagi ia menemukan di mana gurunya, mendadak
kepalanya mendongak. Didengarnya suara berderak.
"Oh, Gusti! Pasir-pasir itu akan runtuh! Aku harus
keluar dari sini kalau tidak ingin terkubur!"
Gadis itu segera empos tubuhnya, sementara suara
berderak itu makin keras lerdengar. Bergemuruh timbulkan
suara dahsyat. Bersamaan dengan runtuhnya pasir-pasir
itu, tubuh ramping berbaju putih itu sudah mencelat keluar.
Lalu buat gerakan cepat menuruni Bukit Pasir,
Dari bawah, dipandanginya Bukit Pasir di mana ia
tinggal bersama gurunya yang dijuluki Malaikat Bukit Pasir.
Hati gadis yang bernama Imas itu menjadi galau bukan
main. Ia duduk bersimpuh dengan pikiran kacau.
Disesalinya mengapa ia tidak segera kembali dari
membeli makanan di kotapraja. Ini dikarenakan ia
menyaksikan pertunjukan sulap yang diadakan di sana.
Ditatapnya dengan penuh kerisauan nasi timbel
beserta lauknya yang ada di tangan kanannya.
"Guru... maafkan aku, Guru... aku telah lancang
mengabaikan pesan Guru untuk segera kembali. Aku tahu,
telah lama Guru bersembunyi di sini dari kejaran orangorang yang ingin membalas dendam. Namun nampaknya,
tempat ini sudah diketahui.... Oh, Guru... maafkan aku...."
Gadis itu terguguk dengan galaunya. Biar bagaimanapun tegarnya Imas, namun ia seorang gadis
yang terkadang suka menangis untuk meiampiaskan segenap perasaannya.
Tiba-tiba kepalanya menegak.
"Tidak, aku tidak boleh cengeng! Aku harus segera
mencari Guru!"
Perlahan-lahan ia berdiri. Diperhatikannya lagi
kediamannya yang telah tertimbun pasir. Lalu tanpa buang
waktu ia segera kelebatkan tubuh.
*** 3 Di tepi sebuah sungai yang terdapat dalam hutan
belantara, pemuda berbaju hijau pupus dengan kain
bercorak catur di lehernya sedang berusaha mengobati
tubuh Malaikat Bukit Pasir. Pagi sebentar lagi datang, dari
kejauhan sudah nampak bias-bias matahari yang terpantul.
Udara masih dingin dan sisa embun masih menggenang.
Diperhatikannya sosok buta yang sejak tadi berusaha
diobatinya. Menurut Andika, laki-laki buta ini pingsan
karena tak sanggup menahan luka akibat hantaman dari
Grido Kencono dan kawan-kawannya.
Tak lama kemudian, Andika menarik napas panjang.
Keringat dihapus dari wajahnya. Sejenak ia geleng-geleng
kepala sambil tatap Malaikat Bukit Pasir yang masih
terbujur tak bergerak sedikit pun.
"Ada yang aneh kurasa. Mengapa aliran tenaga dalam
yang kucoba alirkan padanya justru seperti tersendat"
Apakah ini disebabkan peredaran darahnya yang kacau
akibat serangan dari lima laki-laki jelek berparang itu,
ataukah aliran darahnya memang sudah tersumbat" Kalau
tersumbat, aku bisa menemukannya. Aliran darahnya
nampak lancar, hanya saja, mengapa aliran tenaga
dalamku seperti tertahan?"
Lama Andika coba menemukan jawaban dari
keanehan yang dirasakannya.
"Hmm... akan kutunggu orang tua ini sadar. Aku jadi
penasaran ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi Kalau
memang bisa diselesaikan dengan jalan damai silang
sengketa antara orang tua ini dengan kelima orang itu,
merupakan jalan yang terbaik"
Andika mendongak, memperhatikan hutan lebat yang
dipenuhi pepohonan tinggi. Tiba-tiba ia merasa perutnya
lapar sekali. "Gila! Dari kemarin sore aku belum makan!"
Andika memutuskan untuk mencari buah-buahan
sekadar mengganjal perutnya. Dipindahkannya tubuh


Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maiaikat Bukit Pasir ke balik semak. Setelah itu, ia segera
kelebatkan tubuh.
Hanya beberapa menit saja Andika mendapatkan
manggis dan jambu hutan. Dipetiknya agak banyak,
sekalian akan diberikannya pada Malaikat Bukit Pasir bila
orang tua itu sudah siuman.
Ia terkekeh dari kejauhan.
"Hei, Ki! Sadar cepat! Nih ada rezeki yang tak akan kau
tolak! Tetapi kalau kau belum sadar juga... apa boleh buat.
Terpaksa aku akan memakannya sendiri." Masih berkatakata ia sibakkan semak di mana tubuh Malaikat Bukit Pasir
dipindahkan. "Ayo cepat kii... heeii ...!"
Kata-kata Andika terputus. Matanya melotot.
Keningnya berkerut. Ia tak melihat sosok orang tua yang
ditolongnya disana. Untuk sejenak Andika terpaku di
tempatnya dengan mulut menganga.
"Busyet! Apa yang terjadi?"
Tanpa hiraukan buah-buahan yang ada di tangannya,
ia kelebatkan tubuh hingga buah-buahan itu terlempar.
"Hei, Ki! Kalau kau sudah siuman dari pingsanmu,
jangan ke mana-mana dong! Sudah bangkotan kau masih
nakal juga, ya?"
Tak ada sahutan apa-apa kecuali gema suaranya.
Andika coba berteriak kembali sambil kelebatkan
tubuh mencari. Namun sosok Malaikat Bukit Pasir tidak
ditemukan. Ia kembali ke tempat semula dengan perasaan
cemas sekarang. Entah apa yang dicemasinya.
Diperas otaknya guna memecahkan masalah itu
Namun belum lagi ia tiba pada satu kesimpulan, telinganya
yang tajam menangkap suara berderak di belakangnya.
Sigap Andika putar tubuh dan membcnlak, "Siapa di
sana, hah" Kalau hanya seekor monyet silakan
bersembunyi terus! Kalau tikus buduk silakan tinggalkan
tempat itu! Kalau manusia jelek, jelas harus keluar tutupi
wajah!" *** Dua sosok tubuh berpakaian merah-merah dengan
rambut panjang acak-acakan keluar dari balik semak
dengan diiringi tawa yang keras menggema.
Andika picingkan mata melihat kemunculan kedua
orang itu. Tetapi mulutnya yang usil tetap nyerocos seperti
petasan, "Kukira siapa" Rupanya hanya orang utan yang
nyasar ke sini!"
Wajah kedua orang yang satu sama lain serupa itu
kelam. Di leher keduanya masing-masing tergantung taring
serigala. Yang memiliki codet di pipi kirinya membentak,
"Siapa yang telah menolong Malaikat Bukit Pasir harus
mampus! Tetapi, siapa pun kau adanya, nyawamu tetap
harus kami cabut!" Andika menjulurkan lidahnya.
"Enaknya ngomong! Memangnya singkong main cabut
saja!" "Aku tahu siapa kau adanya! Nama besar Pendekar
Slebor sudah masuk ke Hutan Sejuta Iblis di mana kami
tinggal! Hhh! Di mana kau sembunyikan Malaikat Bukit
Pasir!" Kali ini Andika terdiam. Lagi-lagi orang yang
menginginkan nyawa Maiaikat Bukit Pasir. Sebenarnya apa
yang telah dilakukan oleh laki-laki buta yang sekarang
lenyap itu, sehingga begitu banyak yang menginginkan
nyawanya" "Rupanya hari ini aku kedatangan badut-badut bodoh
yang seenaknya ngomong! Kalau kau ingin mengetahui di
mana Maiaikat Bukit Pasir berada, mengapa tidak
bersama-sama denganku" Aku saja sedang mencari. Nah!
Jangan-jangan kalian tahu lalu pura-pura bertanya, kan"
Iya, kan?" Dasar urakan, Andika masih bisa meledek
seperti itu. Meskipun ia bersikap santai saja, namun
otaknya berpikir keras kalau kedatangan kedua orang ini
tidak main-main.
"Kurang ajar!" bentak orang yang kedua. Sikapnya
lebih garang. Matanya memancarkan sinar kemerahan
yang mengerikan. "Cepat kau katakan di mana manusia
keparat yang telah membunuh Guru kami sepuluh tahun
yang lalu" Ia harus membayar semua perbuatannya
sekarang! Selama lima tahun kami meninggalkan Hutan
Seribu Iblis Untuk mencari manusia keparat itu! Katakan,
bila tidak ingin kupenggal kepalamu! Jangan main-main
dengan Jalak Kembar Baju Merah!"
"Mau baju hitam kek, biru kek, mau jadi monyet
kembar nangkring di pohon kek, itu urusan kalian!" Andika
masih nyerocos saja padahal otaknya masih memikirkan
tentang lenyapnya Maiaikat Bukit Pasir.
"Keparat busuk!" Yang kedua tadi sudah menderu
dengan satu serangan cepat. Andika yang sudah
perhitungkan serangan itu buang tubuhnya dan tangannya
dengan sigap lancarkan satu pukulan ke bagian iga lawan.
Namun dengan gerakan yang aneh, lawannya mampu
menangkis serangan itu. Bukan dengan tangan, melainkan
dengan kaki! Des!
Andika mundur dua langkah. "Gila! Jurus apa yang
diperlihatkannya ini?" desisnya dalam hati.
Lawannya siap menyerang lagi, tetapi yang pertama
bicara tadi yang bernama Jalak Codet Merah berkata,
"Tahan seranganmu, Adi Jalak Mata Merah! Pendekar
Slebor... katakan di mana Malaikat Bukit Pasir" Ingat, kami
tak segan-segan turunkan tangan telengas kepadamu!"
Ancaman itu jelas bukan ancaman kosong. Sayang
yang dihadapi keduanya adalah Pendekar Slebor yang
dalam keadaan bagaimanapun masih tetap bertingkah
seenaknya. Kata-kata itu hanya disambuti dengan
senyuman mengejek, sementara otaknya berpikir, "Ada
sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya dulu pada
Malaikat Bukit Pasir, sehingga orang-orang ini menginginkan nyawanya. Peristiwa apa sebenarnya?"
Tetapi, sebelum Andika buka mulut, Jalak Mata Merah
yang gusar tadi, sudah kelebatkan tubuhnya. Desingan
angin bak topan prahara menderu dahsyat ke arah Andika
yang cepat menghindar. Namun serangan itu datang susul
menyusul, bahkan dilakukan dengan menggerakkan kedua
kaki dan tangan sekaligus.
"Benar-benar hebat!" puji Andika sambil terus
menghindar. Dan dengan satu gerak tipu yang manis,
Andika bisa menyusup masuk dan siap hantamkan
pukulan yang telah dialirkan tenaga 'inti petir' tingkat
kelima belas. Namun, Jalak Codet Merah langsung kelebatkan tubuh
ke arahnya, hingga Andika urung meneruskan serangannya
pada Jalak Mata Merah. Menyusul Jalak Mata Merah yang
kembali menderu-deru dengan serangan aneh kakinya.
Andika bergulingan hindarkan serangan gencar yang
dilakukan serempak itu Gulingan tubuhnya bukan ke
belakang, melainkan ke depan. Kaki kanannya menyepak
kaki Jalak Codet Merah, dan langsung melompat dengan
pencalan satu kaki ke arah Jalak Mata Merah.
Jalak Mata Merah tak mau tubuhnya dijadikan sasaran
empuk serangan Andika. Selagi Andika melompat ke
arahnya, ia buang tubuh ke kiri dan mendadak saja
terdengar angin dahsyat berdesingan.
Dengan gerakan yang menakjubkan, tubuh laki-laki
bermata merah itu berbalik dengan posisi kepala di bawah.
Kedua kakinya bergerak bagai baling-baling. Angin laksana
topan prahara menderu hebat. Gemuruh terdengar
seketika. Dedaunan berguguran. Kerikil beterbangan. Debu
mengepul menjadi satu, memedihkan mata.
Andika yang sudah membuang tubuhnya merasa
wajahnyabagai ditampar dari jauh. Selagi Andika kerepotan
menghindari serangan Jalak Mata Merah, Jalak Codet
Merah sudah berkelebat berkali-kali. Setiap jotosannya
mengandung hawa panas.
Mendapati serangan dua lawan yang demikian gencar,
tak ada jalan lain kecuali memotong setiap serangan. Di
saat Jalak Codet Merah gulingkan tubuh ke arahnya,
Andika berkelebat cepat. Melompat dan menjadikan tubuh
Jalak Codet Merah sebagai tumpuan. Gerakan semacam
itu tak mungkin bisa dilakukan bila tidak memiliki ilmu
meringankan tubuh dan kecepatan yang tinggi. Bersamaan
tubuhnya melenting dari tubuh Jalak Codet Merah, dengan
kerahkan tenaga 'inti petir' tingkat kelima, ia songsong
serangan Jalak Mata Merah yang masih menderu dengan
kedua kaki di atas dan bergerak bagai baling-baling.
Sergapan yang dilakukan Andika benar-benar harus
matang. Ia rundukkan kepala dan kedua kaki Jalak Mata
Merah luput dari sasaran. Saat itulah ia lakukan jotosan
dua kali berturut-turut.
Des! Des! Tubuh Jalak Mata Merah meluncur ke belakang.
Gerakannya limbung dan masih posisi kepala di bawah
tubuhnya menghantam sebuah pohon besar. Andika
sendiri bergulingan ke belakang dan berdiri tegak.
Wajahnya yang tampan nampak berkerut, nyeri menahan
sakit. Sementara Jalak Codet Merah menggeram murka
melihat adik kembarnya jadi sasaran hantaman Andika.
Dengan gerengan keras ia menggebrak Andika kembali,
menyusul Jalak Mata Merah yang sudah bangkit sambil
menahan sakit. Ia tak peduli keadaan dirinya. Seluruh
wajahnya kelam karena hajaran Andika tadi.
Andika yang sudah alirkan ajian 'Guntur Selaksa'
segera menyongsong dua serangan itu sekaligus.
"Heaaa!"
"Yeaaa!"
Dua buah tenaga yang dijadikan satu, berbentrokan
dengan tenaga ajian 'Guntur Selaksa' milik Pendekar
Slebor. Akibatnya sungguh mengerikan. Suara keras berdentum dua kali. Dari benturan itu mengepul asap
hitam yang pekat. Tubuh Andika terlempar ke belakang
lima tombak. Sementara dua tokoh yang mempunyai
dendam pada Maiaikat Bukit Pasir itu mengalami hal
serupa. Bahkan Jalak Mata Merah yang masih menahan
sakit tadi, tak bisa bangkit kembali. Kepalanya telak
terhantam ajian 'Guntur Selaksa' dari Andika.
Melihat adiknya tewas mengerikan, Jalak Codet Merah
menjerit keras sambil memelukinya. Hatinya hancur
bersamaan geram dan amarah yang tinggi. Ia tolehkan
kepalanya dengan tatapan laksana kobaran api ke arah
Andika. "Keparat hina! Sejak semula sudah kuduga kau akan
mempertahankan di mana manusia keparat berjuluk
Malaikat Bukit Pasir itu! Kini, silang sengketa telah terbuka
di mataku!"
Andika hanya terdiam sambil tarik napas.
"Kepalaku benar-benar jadi pusing sekarang!"
Jalak Codet Merah yang berada dalam kegusaran luar
biasa, tak mau meneruskan serangannya sekarang ini. Ia
tahu, ia tak akan mampu menghadapi Pendekar Slebor.
Berdua dengan saudaranya saja, jauh dari hasil yang
diinginkan. Bahkan harus membayar semuanya dengan
kematian Jalak Mata Merah. Namun dendam sudah
membara. Ia akan menunggU saat yang tepat.
"Pendekar Slebor... saat ini kau menang. Tetapi, kau
akan mendapati balasan alas perlakuan busukmu ini!"
Lalu dengankemarahan yang tinggi, Jalak Codet Merah
mengangkat mayat adik kembai nya dan kelebatkan tubuh
dengan gerengan yang keras.
Tinggal Andika yang mendesah panjang. Masalah apa
lagi yang dihadapinya ini" Ternyata keingintahuannya
tentang Malaikat Bukit Pasir membawanya ke masalah
yang besar. Karena, banyak para tokoh rimba persilatan
yang menginginkan nyawa Malaikat Bukit Pasir. Sedikit
yang diketahui Andika, kalau mereka memiliki dendam
tinggi pada laki-laki buta yang sekarang entah berada di
mana. Tak lama kemudian Andika duduk dengan kaki
menekuk dan menjadi bantalan pinggulnya. Ia atur napas
dan jalan darahnya. Beberapa saat berlalu, ia pun berdiri
dan segera tinggalkan tempat itu.
*** 4 Pagi kembali datang. Alam memang tak pernah mau
menunggu siapa pun juga saat menjalankan tugasnya.
Dua anak manusia hentikan langkah di Hutan
Maringgis. Yang seorang laki-laki berparas tampan.
Wajahnya tak ubahnya pangeran-pangeran dalam dongeng.
Rahangnya kukuh. Hidungnya mancung dengan bibir
memerah. Dipenuhi dengan cambang halus yang
menambah kejantanannya. Tubuhnya tegap tanpa
mengenakan baju, memperlihatkan bagian dadanya yang
bidang dan penuh otot. Celana pangsinya berwarna hitam.
Rambutnya yang panjang dikuncir ekor kuda. Sayang, dari
semua kejantanan dan ketampanan yang dimilikinya,
matanya memancarkan sinar culas. Ia bernama Praba
Gering atau yang dikenal dengan julukan si Pukulan Maut.
Sedang yang seorang lagi, wanita berparas bidadari.
Begitu jelita sekali. Kejelitaannya hanya bisa ditandingi
oleh para dewi-dewi. Ia mengenakan pakaian berwarna
keemasan dengan bagian dada terbuka lebar hingga
perlihatkan pakaian dalamnya yang tipis. Di pinggang yang
ramping terdapat selendang berwarna keemasan pula
dengan celana berwarna putih. Rambutnya disanggul. Ia
bernama Mantari atau yang dikenal dengan julukan si


Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selendang Emas.
Julukan keduanya itu bukanlah julukan kosong dan
asing bagi orang-orang rimba persilatan. Mereka bukanlah
suami-istri. Namun kekejaman dan kesukaan mereka
berhubungan badan,
menjadikan mereka seperti mendapatkan teman seperjalanan yang sama. Meskipun
mereka kerap melakukan hubungan badan, namun bila
salah satu dari mereka mendapat mangsa, tak ada yang
cemburu. Mereka juga dikenal sebagai para pembunuh
bayaran yang tangguh.
Setelah hentikan langkah di Hutan Maringgis,
keduanya sambil bergandengan dan sesekali berkecupan,
melangkah menuju ke sungai yang terdapat di sana. Dan
tanpa malu-malu keduanya buka pakaian dan mandi di
sungai itu. Saling terbahak-bahak dan menyelam. Saling
raba dan berkecupan. Setelah puas mandi, tanpa malumalu, keduanya naik ke tepi sungai dan berpakaian
kembali. "Kudengar, salah seorang dari Jalak Kembar Baju
Merah telah tewas di tangan Pendekar Slebor," desis si
Selendang Emas sambil menyanggul rambutnya kembali.
Praba Gering tertawa pendek. "Mereka adalah orangorang tolol! Memiliki kemampuan tak seberapa, lalu ingin
menjegal Pendekar Slebor. Tetapi, dengan adanya berita
itu, kita sekarang tahu kalau Pendekar Slebor berada di
sekitar daerah ini. Dan ini memudahkan kita untuk
menemukannya."
Mantari perlihatkan senyum genitnya.
"Kau benar. Dewi Kemuning atau Ketua Partai Tumbal
Iblis tak akan sia-sia mengeluarkan uang dan upeti untuk
kita bila kita berhasil membunuh Pendekar dari Lembah
Kutukan itu."
"Bukankah ini sebuah tugas yang menyenangkan"
Pertemuan kita dengan Ketua Partai Tumbal Iblis,
membawa kita kepada Pendekar Slebor. Sejak munculnya
seorang tokoh sakti yang berjuluk Malaikat Peti Mati,
sebenarnya Dewi Kemuning berharap sekali Malaikat Peti
Mati yang menantang Pendekar Slebor bisa membunuh
pendekar urakan itu. Hanya sayang, entah bagaimana,
tiba-tiba saja pertarungan itu tak pernah terjadi. Dan
menyenangkan bukan, Dewi Kemuning akan membayar
mahal bila kita berhasil membunuh Pendekar Slebor."
(Untuk mengetahui tentang Dewi Kemuning dan
pertarungan Malaikat Peti Mati dengan Pendekar Slebor,
silakan baca : "Malaikat Peti Mati").
"Bodohnya, perempuan itu mengapa tidak turun
tangan untuk membunuh Pendekar Slebor yang ia pikir
akan menghalangi sepak terjangnya untuk memperluas
wilayah kekuasaannya."
"Idenya tidak terlalu bodoh sebenarnya. Dewi
Kemuning sedang mempersiapkan diri untuk menyerang
Perguruan Partai Timur karena membangkang untuk
menjadi sekutunya. Dengan kekuatan gabungan beberapa
partai, maka kekuatan nya bertambah dan ia bisa
membunuh Pendekar Slebor."
Mantari tersenyum. "Kini giliran kita menjajal
kehebatan Pendekar Slebor, sekaligus mendapatkan uang
dan upeti yang banyak jumlahnya."
"Ini sangat... cepat sembunyi!" tiba-tiba saja Praba
Gering hentikan ucapannya dan langsung lompat ke dahan
pohon yang cukup tinggi. Begitu pula dengan Mantari.
Telinganya pun menangkap suara orang berlari ke arah
mereka. Tak lama kemudian, satu sosok tubuh tiba di sana.
Wajahnya yang cantik dipenuhi keringat. Ia adalah Imas,
murid Malaikat Bukit Pasir.
Telah empat hari gadis jelita itu mencari gurunya,
namun sampai sekarang belum ada hasil. Seperti baru
sadar, ia merasakan tubuhnya lengket karena keringat.
Dilihatnya sungai yang mengalirkan air jernih. Diraihnya air
itu dengan kedua tangannya, dibasuh ke wajahnya yang
jadi segar. Ia pun bermaksud ingin mandi.
Diperhatikan sekelilingnya. Lalu perlahan-lahan ia
mulai membuka pakaiannya. Namun belum lagi ia
melakukan, mendadak saja tangannya sambar dua buah
kerikil dan melemparnya ke atas sebuah pohon.
Tass! Tass! Bersamaan dengan meluncurnya dua buah kerikil itu,
Praba Gering dan Mantari melompat dan hinggap di tanah
dengan ringannya.
Praba Gering langsung perdengarkan tawanya. Sejak
tadi matanya sudah tak sabar melihat gadis di tepi sungai
itu membuka pakaiannya.
Imas memandang tak berkesip pada keduanya.
"Hmmm... untungnya aku menangkap gerakan salah
seorang dari mereka. Kalau tidak, tubuhku akan dilalap
oleh mata laki-laki itu." Sambil menekan jengkelnya ia
mendesis, "Rupanya ada monyet-monyet liar yang kerjanya
mengintip!"
Mantari hanya perlihatkan senyum. "Anak manis...
mengapa harus marah" Bukankah itu sangat menyenangkan?"
"Perempuan hina! Mulutmu suka bicara ngaco
rupanya!" Lagi Mantari perlihatkan senyumnya. Lalu berkata
pada laki-laki berparas dewa di sisinya, "Praba Gering...
apakah kau ingin menikmatinya, ataukah kau ingin
membunuhnya?"
Praba Gering terbahak-bahak, namun tak mengurangi
ketampanan wajahnya. "Siapa yang akan membuang
kesempatan seperti ini, hah?"
Imas sadar kalau keduanya bukanlah orang baik-baik.
Dan kata-kata Praba Gering itu membuat wajahnya kelam.
"Manusia hina! Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini
sebelum kubuat perhitungan!"
"Mengejutkan. Sangat mengejutkan. Baru kali ini
kulihat seekor kelinci berani menantang serigala."
"Hanya serigala tua yang tak bertaring!"
Praba Gering terbahak-bahak mendengarnya. Baginya,
ejekan itu merupakan buaian lembut di telinganya. Justru
Mantari yang memerah wajahnya.
"Cepat kau geluti gadis itu! Aku sudah gatal ingin
mengepruk mulutnya!"
Mendadak saja, masih tertawa, Praba Gering
kelebatkan tubuh. Sangat cepat sekali.
*** Mendapati serangan itu, Imas langsung melompat dan
memutar tubuhnya dengan satu tendangan cepat.
Wuuttt! Saat itu juga Praba Gering tersentak. Sejak tadi ia
memang yakin kalau gadis ini tidak kosong. Tetapi gerakan
yang diperlihatkan barusan cukup mengejutkannya.
Ia segera ubah serangannya. Kalau tadi masih
menganggap enteng kali ini dengan disertai seruan keras,
ia menerjang cepat. Imas sendiri tak mau membuang
waktu. Ia masih harus menemukan gurunya.
Dengan setengah bergulingan, murid Malaikat Bukit
Pasir itu buat gerakan mengkontra. Padahal itu hanya
serangan pancingan. Selagi lawan menyangka serangannya akan diblok, justru Imas akan melenting ke
atas. Gadis itu melihat kalau Praba Gering terpancing
tipuannya. Saat itulah ia melenting ke atas dan....
Des! Dada bidang itu terhantam kaki Imas yang telah dialiri
tenaga dalam tinggi. Bila Praba Gering tak memiliki
keseimbangan terlatih, tubuhnya bisa langsung ambruk. Ia
masih sanggup bertahan, meskipun gedoran itu cukup
menyakitkannya. Kepalanya tegak. Matanya nyalang penuh
geraman. "Gadis keparat! Kubunuh kau!" sentaknya sambil
menyerang kembali. Serangkum angin dingin menggebubu
mengikuti gerakan tubuhnya.
Imas tercekat melihat serangan dahsyat itu. Ia tak mau
memapaki, justru melompat ke kiri.
Wusss! Imas cepat menarik kepalanya ke belakang ketika kaki
Praba Gering sudah mengibas ke arahnya. Meskipun
serangan lawan luput, namun tak urung Imas merasakan
wajahnya jadi perih karena terkena pukulan angin Praba
Gering. "Bagus!" seru Mantari puas. "Cepat kau lumpuhkan
gadis itu! Aku sudah tak sabar ingin membunuhnya!"
Imas masih coba mempertahankan diri dengan
meloloskan pedangnya. Namun hasilnya tetap sama.
Gcmpuran lawannya begitu dahsyat. Dalam satu jurus
kemudian, ia tak mampu lagi bertahan. Pedangnya sudah
berpindah tangan, dadanya terhantam tendangan yang
keras. "Inilah saat yang mengasyikkan!" seru Praba Gering
dan siap menotok gadis yang kini terduduk pias. Akan
tetapi.... Des! Des!
Praba Gering terjajar ke belakang, dadanya bagai
remuk belaka. Mantari bersiaga dengan mata nyalang.
Satu sosok tubuh berpakaian hijau pupus dengan kain
bercorak catur di lehernya, telah berdiri dalam jarak tiga
tombak di hadapan keduanya sambil memegangi tubuh
Imas. Justru Imas yang gelagapan sambil melepaskan
dirinya. Ia merasa risih dipegang oleh seorang pemuda
yang tak dikenalnya.
Sejenak hanya dipandanginya saja penolongnya tanpa
tahu harus berbuat apa. Tetapi ia menjadi risih karena
diperlakukan seperti itu.
Penolong Imas yang tak lain adalah Pendekar Slebor
tersenyum sambil lepaskan pegangannya. Justru Imas yang
masih terpana menyaksikan penolongnya, menjadi
bersiaga kembali setelah mendengar seruan Mantari,
"Rupanya, orang yang kita cari sudah berada di sini, Praba!"
Praba Gering yang geram karena serangannya pada
Imas dihalangi oleh orang yang tengah mereka cari,
berkata dingin, "Pendekar Slebor... cukup lama kudengar
nama besarmu. Sayangnya, hari ini akan punah di tangan
kami!" "Wah... kalau namanya saja sih tidak apa-apa. Asal
jangan orangnya! Tetapi, kayaknya tidak pantas orang lain
memakai julukan seperti itu. Iya, nggak" Iya, nggak?" sahut
Andika sambil kerutkan kening, berpikir keras tentang
siapakah kedua orang ini.
"Setan alas! Kepalamu harus kami bawa ke hadapan
Dewi Kemuning!"
Mendengar nama Dewi Kemuning disebutkan, Andika
teringat tentang wanita Pimpinan Partai Tumbal Iblis yang
ingin melebarkan sayap kekuasaannya. Bahkan selagi
Andika menyamar sebagai Malaikat Bukit Pasir, ia pernah
bertarung dengan beberapa orang anak buah Partai
Tumbal Iblis (Silakan baca : "Malaikat Peti Mati").
"Hmm... rupanya Dewi Kemuning tetap akan
menjalankan niat busuknya itu. Dan keduanya jelas orang
yang berpihak padanya," desisnya dalam hati.
Tetapi, dasar urakan dengan tak acuhnya Andika
berkata pada Imas, "Kau tinggalkan tempat ini. Biar aku
yang meneruskan urusan ini."
' Enaknya ngomong!" sentak Imas yang masih
mendendam pada kedua orang itu. "Kau ini siapa sih, main
perintahku begitu saja" Lagi pula, manusia keparat itu
telah memukulku, aku harus membalas!"
Andika cuma mengangkat bahunya saja. "Jadi maumu
apa?" "Manusia itu harus kubalas." Kali ini Andika
mengangguk-angukkan kepalanya.
"Orang seperti mereka memang harus dihajar. Kau
mampu melakukannya?"
"Ya!"
"Kalau begitu, bagaimana bila aku dulu yang menjitak
kepalanya" Tetapi, keenakan ya, kalau kujitak kepalanya!"
Imas memperhatikan Andika serius. Batinnya bertanyatanya, "Siapa pemuda yang bersikap konyol seperti ini"
Santai sekali dan seolah tak ada masalah."
"O ya... namaku Andika. Siapa namamu?" Andika
masih bersikap santai, padahal ia tengah memancing
kemarahan dua orang di belakangnya.
Meskipun keningnya berkerut Imas menyebutkan pula
namanya. "Nah, bagaimana usulmu sekarang, Imas" Apakah
mereka harus kita usir, atau kita jitak?"
Imas berkata, "Aku ingin mereka mendapatkan
ganjaran atas tindakan yang mereka lakukan tadi. Hhh!
Meskipun saat ini aku tengah mencari guruku, tetapi kedua
manusia busuk itu harus dihajar!"
"Siapakah gurumu itu, Imas?"
Imas menoleh. Matanya yang bagus menatap Andika
tak berkesip. Dikira-kira siapa pemuda yang sikapnya rada
konyol ini. Bila melihat sikapnya itu, jelas ia tak berpihak
pada siapa pun juga, termasuk dirinya. Namun secara tak
langsung Imas mengetahui apa yang diinginkan kedua
orang itu sekarang. Rupanya, pemuda inilah yang mereka
cari dan berjuluk Pendekar Slebor.


Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu perlahan ia berkata, "Aku tak pernah tahu nama
asli guruku. Tetapi, orang-orang menjulukinya Malaikat
Bukit Pasir."
Meskipun kata-kata itu pelan, namun terdengar keras
di telinga Andika. "Rupanya gadis ini murid Malaikat Bukit
Pasir. Ini sebenarnya kesempatanku untuk mengetahui
lebih lanjut siapa gerangan orang tua buta itu. Tetapi, saat
ini nampaknya tidak tepat. Dua manusia itu sudah tentu
tak akan membiarkanku."
Sementara itu, Praba Gering menjadi panas melihat
sikap Andika yang seperti tidak menganggap kehadirannya.
Tanpa banyak bicara lagi, ia menderu dahsyat pada
Andika yahg seketika menoleh dengan tatapan tajam.
Sedangkan Mantari yang sejak tadi tak melakukan apaapa, segera melurup ke arah Imas.
*** 5 Pertarungan sengit yang terjadi di tepi sungai itu terus
berlangsung. Puluhan jurus telah lewat. Praba Gering yang
tahu akan kehebatan Pendekar Slebor, mengeluarkan
segenap kemampuannya untuk menjatuhkan pemuda
pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu. Bahkan
berkali-kali ia harus menerima serangan balik yang
demikian cepat terjadi. Namun Andika sendiri merasakan
pukulan-pukulan maut yang dilakukan oleh Praba Gering,
yang timbulkan angin menderu-deru dan suara yang keras.
Sementara Imas sudah terdesak hebat oleh Mantari.
Dengan pergunakan jurus 'Ratu Emas Menggulung Api'
wanita setengah baya yang genit itu mampu membuat
Imas tunggang langgang. Gerakannya begitu cepat dan
dahsyat. Setiap kali Mantari menyergap setiap kali angin
bergulung hebat menderu. Dedaunan rontok seketika.
Debu di tempat itu beterbangan dengan tebal.
Dalam waktu yang singkat tempat itu bagai diserbu
oleh gerombolan gajah ngamuk.
Andika yang sedang mencoba mendesak Praba Gering
dengan tenaga 'inti petir' tingkat kelima harus terbagi dua
perhatiannya. Di satu segi ia harus mencoba pula untuk
menyelamatkan dirinya, di segi lain ia pun harus menolong
Imas. Inilah sebabnya, mengapa ia menyuruh gadis itu
meninggalkan tempat ini tadi. Karena, ia bisa
merepotkannya! Dan gadis itu terlalu keras kepala!
Brengsek, padahal ia merasa beruntung karena secara tak
langsung bertemu dengan murid Malaikat Bukit Pasir dan
ia bisa menjadikannya sebagai tempat bertanya, mengapa
begitu banyak orang-orang rimba persilatan yang
menginginkan nyawa Malaikat Bukit Pasir"
Tiba-tiba saja dengan alirkan tenaga 'inti petir' lingkat
pertama pada kedua tangannya, Andika menderu ke arah
Praba Gering yang sudah merangkum ajian pamungkasnya
pukulan 'Maut Hancurkan Gunung'. Dua buah tenaga
berbenturan keras, menimbulkan dentuman yang amat
dahsyat sekali.
Buuummm! Bentrokan dua tenaga raksasa itu membuat debu yang
beterbangan semakin tebal dan tanah yang dipijak
bagaikan bergoyang.
Tubuh Praba Gering terpental ke belakang dengan
tangan yang terasa mau patah. Ngilu tak terkira dirasakan.
Begitu pula dengan Andika. Darah keluar dari mulutnya.
Meskipun luka dalam telah dideritanya, Andika segera
melenting ke arah Mantari yang sedang menyerang Imas
dengan gempuran-gempuran dahsyat.
Wusss! Mendapati angin dahsyat menderu ke arahnya, si
Selendang Emas mencelat ke samping dan membuat
serangan Andika luput dari sasarannya. Melihat
kesempatan itu, Andika tak hentikan gerakannya, langsung
putar tubuh ke kiri dan langsung menyambar tubuh Imas.
Namun belum lagi pemuda dari Lembah Kutukan itu
berhasil mclakukannya, tiba-tiba saja kaki kirinya bagaikan
disentak ke belakang hingga tubuhnya ambruk ke tanah,
Imas yang berada dalam gendongannya meskipun tak
terlepas mau tak mau menindihnya. Debu betebaran
seketika. Andika berbalik ketika dirasakannya satu tenaga
menariknya dengan kuat. Rupanya Mantari sudah
meloloskan selendang keemasannya dan melilit kaki
Andika. "Monyet pitak!" maki Andika jengkel dan berusaha
menahan tarikan selendang Mantari yang menyeringai.
Akan tetapi gerakannya justru terganggu oleh Imas yang
meronta-ronta minta dilepaskan dari bopongannya. Dan ini
justru menyulitkan Andika sendiri.
Gerakan Andika untuk melepaskan diri dari lilitan
selendang Mantari yang juga membetotnya hingga terasa
nyeri benar-benar kacau, apalagi di saat yang bersamaan,
bahaya lain tengah mengancamnya.
Praba Gering yang tadi mempergunakan kesempatan
untuk pulihkan tenaganya kembali, melurup dengan
kekuatan penuh! Gerakannya itu begitu cepat, dilakukan
hampir bersamaan dengan tarikan selendang yang
dilakukan Mantari.
Andika hanya terperangah bagai sapi ompong
melihatnya, sementara Imas yang masih berada dalam
bopongannya menjerit keras.
*** Des! "Aaaakhhhh!"
Jeritan keras menyayat itu terdengar keras. Tetapi,
bukan dari mulut Andika. Justru Praba Gering yang tersurut
ke belakang beberapa tombak ketika satu hantaman tak
terlihat menyambar tubuhnya. Darah menyembur dari
mulutnya begitu tubuhnya terlempar lima tombak ke
belakang. Tulang iganya patah dua buah. Dadanya terasa
remuk dengan napas sesak. Ia tak mampu untuk bangun
kembali. Andika sesaat terperanjat. Matanya yang tajam melihat
kelebatan bayangan yang menderu ke arah Praba Gering
tadi. Melihat keadaan Praba Gering. Mantari berteriak
kalap. Wajahnya pias bukan buatan Lalu menjelma
menjadi kemarahan makin tinggi. Pandangan matanya
bagai lontarkan kobaran api. Pipinya mengeras. Dalam
sangkaannya, Andikalah yang menghantam Praba Gering
dengan tenaga tak nampak.
Ia cepat menambah aliran tenaga dalam pada
selendangnya dan tarik dengan cepat kaki Andika, yang
mau tak mau terseret. Namun Andika yang sudah siaga
meskipun masih kaget dengan kejadian barusan, segera
menahan kakinya.
Tarik menarik terjadi begitu cepat. Keringat mengalir di
wajah tampan itu Kakinya terasa nyeri, urat-urat kakinya
bagai mau putus. Sementara seluruh otot di wajah dan
tangan Mantari bagai menyembul keluar. 'Dari hidungnya
mengalir darah karena sentakan tenaga dalamnya sendiri.
Tiba-tiba Andika buat satu gerakan cepat. Julurkan
tangan untuk sambar selendang itu, meskipun kakinya
terseret lagi. Beeet! Sekali sentak tubuh Mantari sudah terbawa
kearahnya. Mantari terperangah, ia coba kendalikan diri.
Namun betotan Andika lebih cepat.
Begitu tubuh wanita genit itu meluncur, Andika segera
menyongsongnya dengan tenaga 'inti petir' tingkat
keempat. Suara bagaikan petir menyalak terdengar cukup
keras. Desss! Tubuh Mantari terpental ke belakang, bergulingan
sesaat dan muntah darah. Rupanya wanita itu memiliki
tubuh yang kedot, karena ia tak langsung ambruk terkena
pukulan Andika yang hebat itu. Namun akibatnya, giginya
tanggal Mata kirinya bengkak lebam. Bibirnya pecah dan
tiga buah tulang iganya patah.
Andika langsung lepaskan selendang Mantari pada
kakinya yang segera ia alirkan hawa murni guna
mengurangi rasa sakit. Secepat itu pula ia berdiri.
Celingukan memperhatikan siapa orang yang telah
menolongnya tadi. Namun sosok orang itu tak nampak lagi.
Gerakannya tadi bagaikan hantu belaka.
Siapa orang itu"
Tiba-tiba ia mendengar teriakan Imas yang keras ke
arah Praba Gering yang sudah tak mampu berbuat apaapa. Rupanya, gadis itu sudah menyambar pedangnya yang
tadi terjatuh dari tangan Ielaki berparas dewa itu. Dan
sekarang siap dihujamkan pada Praba Gering.
"Imas!"
Andika tersentak dan bergerak cepat. Tuk!
Ia menotok urat di bagian bawah ketiak Imas sebelah
kanan, seketika gadis itu mengaduh dan tangannya tak
mampu digerakkan. Justru makiannya yang terdengar.
"Tahan! Kita tak patut membunuh lawan yang sudah
tak berdaya!"
"Tetapi ia telah memukulku!"
"Menjatuhkan lawan dalam keadaan tak berdaya
adalah tindakan pengecut! Kita boleh melakukan apa saja!
Curang boleh, menggunakan akal licik pun tak jadi
masalah! Hanya saja, melakukan tindakan pengecut
adalah perbuatan hina!
"Aku tak peduli!" seru gadis itu keras kepala. "Kalau aku pengecut, kau mau apa"
Lagi pula, apakah kau sudah
menjadi bodoh sekarang, kalau keduanya tadi menginginkan mengambil nyawamu"!"
"Jangan, Imas... biarkan ia hidup. Toh keduanya sudah
tak mampu berbuat apa-apa. Justru kita harus mengetahui
siapakah orang yang tadi menolongku!"
"Masa bodoh! Lepaskan totokanmu, aku harus
Jerat Peri Kembangan 2 Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Pendekar Badai Awan Angin 17

Cari Blog Ini