Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung Bagian 1
PEDANG BUNTUNG Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
dalam episode: Pedang Buntung 112 hal. 1 Perjalanan waktu memang tak dapat dihindari
dalam kehidupan ini. Kendati bergeraknya terasa
sangat lambat, namun tanpa disadari waktu dapat
bergerak laksana meteor, hingga terkadang kita tak
menyadari betapa waktu telah membuat kita
terkubur dalam hari-hari penuh kesia-siaan.
Alam kembali dinaungi keindahan memukau.
Sang raja siang telah tebarkan sinar merahnya ke
seluruh persada sejak dua penanakan nasi lalu.
Mayapada cerah dengan tautan awan putih bagai
menghiasi dinding langit dengan taburkan sejuta
pesona yang sukar untuk ditepiskan. Burungburung beterbangan menyambut pagi, diiringi
kicauan riangnya.
Di satu tempat yang dipenuhi pepohonan,
nampak sebuah sungai yang airnya mengalir jernih
dan tak begitu deras. Di tengah-tengah sungai itu
terdapat beberapa buah batu yang menonjol. Dan di
sekitar sungai itu banyak ditumbuhi ranggasan liar
semak belukar serta beberapa buah pohon.
Dalam pesona keindahan itu, mendadak saja
sebuah kepala menyembul keluar dari dalam sungai.
Byuuurrr!! "Hiiiii!! Dingin!!"
Lalu dengan konyolnya kepala itu langsung
masuk kembali ke air tanpa perhatikan kiri
kanannya. Begitu seterusnya sampai tiga kali,
sebelum kemudian pemilik kepala yang ternyata
seorang pemuda itu mengusap rambut gondrongnya
ke belakang. Wajah anak muda ini tampan dengan sorot mata
Jenaka. Sepasang alisnya hitam legam dan menukik
laksana kepakan sayap elang.
Dan tiba-tiba saja anak muda ini celingukan
sebentar. Lalu buru-buru naik ke tepi sungai. Begitu
kedua kakinya menginjak tepian sungai itu, dengan
tingkah konyol anak muda ini langsung melompat
lagi ke sungai itu.
"Assyiikkkk!!"
Byuuurrr!! Muncrat air sungai begitu tubuhnya masuk.
Nah, nah, siapa lagi yang punya tingkah konyol
kayak begitu kalau bukan si Urakan dari Lembah
Kutukan" Pemuda itu memang pendekar kita yang
bau tubuhnya sudah dua belas rupa hingga begitu
menemukan sungai yang berair jernih, seperti orang
yang terdampar di padang tandus segera membuka
pakaian dan menyeburkan diri. Lalu dengan
noraknya dia berenang, merendam dan menyelam
dengan sesekali berteriak seperti anak kecil.
Begitu kepala si urakan ini muncul kembali,
langsung digeleng-gelengkan hingga air yang
menempel pada wajah dan rambutnya berlompatan.
"Asyik syekalleee!!"
Sambil bernyanyi-nyanyi yang tidak ketahuan
irama dan syairnya, Andika berenang-renang ke
sana kemari. Lalu menyelam cukup lama.
Tatkala kepalanya disembulkan kembali dari air
sungai itu, tiba-tiba didengarnya suara perempuan
menjerit, "Iiiihhhh!!"
Kontan anak muda dari Lembah Kutukan ini
terkesiap kaget. Kejap itu pula dia langsung
menyelam kembali. Lalu masih dengan wajah kaget,
hati-hati disembulkan kepalanya hingga leher.
Dilihatnya seorang gadis berpakaian biru muda
sedang berdiri dengan kedua tangan menutupi
wajahnya. Namun tidak membalikkan tubuh.
"Monyet pitak! Kapan datangnya gadis itu" Bikin
kesenanganku terganggu saja! Brengsek! Eh, kenapa
dia tidak, membalikkan tubuh sih?" kata Andika
dalam hati. Lalu berseru, "Hooiiii! Menghadap ke
sana! Aku mau pakaian!!"
Tetapi gadis itu justru tetap pada kedudukannya
berdiri. Malah Andika melihat bibir gadis itu
menyeringai dan jari jemari yang menutupi
penglihatannya agak melonggar.
"Eh, brengsek betul!" dengus Andika dan berseru
lagi, "Hoooiiii! Menghadap ke sana!!"
Gadis berkepang dua itu perlahan-lahan segera
balikkan tubuh. Andika sendiri segera melompat
dari dalam sungai dan kembali mengenakan pakaian
yang diletakkannya di balik ranggasan semak
belukar. Kain bercorak catur pun menghiasi
lehernya. Setelah berpakaian pemuda urakan ini
segera keluar kembali dengan hati agak mangkel
karena merasa dipermainkan gadis berbaju biru tadi.
Tetapi niatnya itu langsung putus begitu tak
melihat lagi gadis yang menggodanya berada di
sana. Sejenak kening anak muda ini berkerut. Sambil
garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dia berkata,
"Busyet! Ke mana dia" Kok cepat amat menghilang"
Hiii... jangan-jangan dia bukan manusia! Tetapi
salah satu penunggu hutan ini! Celaka sepuluh
setengah! Kabur, ah!!"
Tetapi sebelum Andika putar tubuh, terdengar
satu seruan dari atas sebuah pohon, "Heiii! Kau mau
ke mana, hah"!"
Lagi Andika segera balikkan tubuh. Kepalanya
agak didongakkan ke atas. Cukup lama dia
pandangi gadis itu sebelum buka mulut, "Aku mau
ke mana bukan urusanmu, kan"! Kau telah
mengganggu keasyikanku mandi! Ngomong- ngomong... kau ini sebangsa monyet atau setan
gentayangan sih?"
"Sembarangan ngomong!!" balas si gadis sewot.
"Tadi kupikir, kau ini penunggu sungai itu!!"
Sementara Andika nyengir, gadis itu diam-diam
membatin, "Aku tak boleh terlalu percaya pada siapa
pun yang kujumpai. Tetapi, aku juga tidak tahu ke
mana jalan yang harus kutempuh menuju ke
Pesanggrahan Bayu Api. Dialah satu-satunya orang
yang tak menampakkan sikap berkeinginan untuk
menangkapku. Tetapi, bisa jadi pemuda ini hanya
berpura-pura dan akan membokongku dari belakang" Aku harus berhati-hati."
Habis membatin demikian, dengan ringannya
gadis berpakaian biru muda ini melompat dari
pohon itu. Kendati takjub melihat gerakan si gadis, Andika
tak bisa menahan diri untuk tidak berseloroh, "Benar
juga nih dugaanku! Kau ini tentunya sebangsa
kumpulan monyet-monyet, ya?"
"Brengsek!!" seru si gadis melotot, tetapi di dalam
hati membatin, "Apakah kekonyolan yang dimilikinya itu hanya untuk menutupi siapa dirinya
sebenarnya" Atau... dia memang memiliki sifat
seperti itu" Waktuku tidak banyak... aku harus
mengorek keterangan siapa dia sebenarnya."
Sementara itu. Andika sedang nyengir sendirian.
Dia tengah mengagumi kecantikan yang dimiliki
gadis yang berdiri sejarak delapan langkah dari
hadapannya. Gadis itu memiliki tubuh yang indah dan montok.
Pakaian biru muda yang dikenakannya memang
agak ketat, hingga perlihatkan lekuk tubuhnya yang
menawan. Wajahnya berbentuk bulat telur. Hidungnya mancung dengan bibir tipis yang
memerah indah dan di atas bibir sebelah kanan
terdapat sebuah tahi lalat yang menambah
kecantikannya. Sepasang alisnya hitam, dihiasi
dengan bulu mata lentik dan mata yang cerah
terbuka. Kecantikannya dilengkapi dengan indahnya rambut yang dikepang dua.
Ditatap seperti itu si gadis menjadi jengah. Buruburu dia berseru, "Heiii!! Kenapa matamu itu, hah"!"
Andika cuma nyengir. "Kecantikannya begitu
sempurna sekali. Tetapi dari sorot matanya, aku
menangkap satu kegelisahan yang amat sangat dan
berusaha ditutupinya. Hmmm... sebenarnya aku
ingin tahu kegelisahan seperti apa yang sedang
dialaminya. Tetapi rasanya, tidak enak."
Masih nyengir Andika menyahut, "Biasa deh!
Mata inii memang tidak pernah makan bangku
sekolah! O ya! Karena kau tentunya punya urusan
sendiri begitu juga denganku, kita berpisah di sini!
Tapi ngomong-ngomong... tadi kamu sempat
melihat... ah, tidak jadi deh."
Sambil garuk-garuk kepalanya anak muda
berpakaian hijau pupus itu putar tubuh. Namun
baru tiga tindak dia bergerak, si gadis berseru,
'Tunggu!" Andika segera hentikan langkah dan tolehkan
kepala. Belum lagi si gadis buka mulut, dia sudah
berseru mendahului, "Kamu lihat ya, kamu lihat ya?"
Memerah wajah si gadis mendengar selorohan
konyol itu. Dan saat ajukan tanya suaranya
terdengar tegas, "Tahukah kau jalan menuju ke
Pesanggrahan Bayu Api?"
Sejenak Andika kerutkan keningnya. "Pesanggrahan Bayu Api" Rasa-rasanya baru kali ini
aku mendengar. Hmmm... menilik nada suaranya,
jelas sekali kalau dia terburu-buru. Mungkin karena
dia berharap aku dapat menjawab pertanyaannya
maka dia tak segera melanjutkan perjalanannya."
Habis membatin begitu, buru-buru digelengkan
kepalanya seraya berkata. "Aku tidak bisa menjawab
pertanyaanmu itu. Kalau boleh aku tahu, mengapa
kau hendak menuju ke tempat yang namanya
angker banget?"
"Itu urusanku! Kalau kau tidak tahu ya tidak usah
banyak tanya!!"
Nyengir anak muda dari Lembah Kutukan ini
mendengar sahutan si gadis. Sambil garuk-garuk
kepalanya yang tidak gatal dia berkata, "Kalau kau
tidak mau menjawab, ya tidak apa-apa! Tapi jangan
sewot gitu dong! Sudah, ah!! O ya... siapa namamu?"
Kali ini si gadis tak segera membuka mulut.
Sambil pandangi tak berkedip anak muda di
hadapannya, dia berkata dalam hati, "Aku masih
tidak tahu apakah sikap pemuda ini memang benarbenar tidak tahu siapa aku, atau dia hanya berpurapura" Tetapi nampaknya sikap yang diperlihatkan
waktu kusebutkan Pesanggrahan Bayu Api nampaknya biasa-biasa saja dan keterkejutannya
wajar. Ah, kepalaku jadi pusing sekarang. Karena
orang jahat pun dapat bersikap manis. Hmmm...
lebih baik tak kukatakan siapa aku sebenarnya."
Lalu katanya, "Mengapa justru aku yang
mengatakan lebih dulu, mengapa tidak kau yang
pertama?" Andika menyeringai sambil berkata, "Namaku
Andika, keren nggak" Kalau kau mengatakan tidak
keren, sungguh keterlaluan!"
Mendengar selorohan itu mau tak mau si gadis
tersenyum. "Lumayan juga."
"Nah! Siapa namamu?"
Kembali si gadis terdiam. Sebelum dia membuka
mulut Andika sudah mendahului, "Nampaknya kau
ragu-ragu untuk mengatakan namamu, ya" Kalau
begitu... bagaimana bila kau kupanggil dengan
Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebutan Gadis Kayangan" Nah, bagus kan?"
Tersenyum gadis berpakaian biru yang sesungguhnya bernama Winarsih itu mendengar
kata-kata Andika. Apalagi ketika Andika berkata
lagi, "Wajahmu memang jelita dan rasanya tepat
sebutan Gadis Kayangan buatmu. Bagaimana"
Setuju" Bila tidak ya dikembalikan saja ke toko
sebelah!" "Benar-benar sulit dimengerti sifat pemuda ini.
Terkadang dia bersikap serius, tetapi bila sudah
datang konyolnya minta ampun. Ah... siapakah dia
sebenarnya" Apakah dia termasuk salah seorang
dari manusia-manusia
celaka yang sedang memburuku?"
Selagi si gadis membatin demikian, Andika
berkata, "Tidak ada lagi yang kau tanyakan, bukan"
Yuk, ah! Aku pergi dulu! Perutku lapar nih!"
Habis kata-katanya, Pendekar Slebor segera
melompat meninggalkan tempat itu. Terkesiap
Winarsih atau yang dijuluki Andika si Gadis
Kayangan karena tahu-tahu pemuda itu sudah tak
berada di tempatnya.
"Luar biasa! Gerakannya sungguh begitu cepat
sekali! Jelas kalau pemuda itu bukan orang yang
dapat dipandang sebelah mata. Tetapi, sayangnya
aku tidak tahu siapa dia. Apakah dia lawan atau
kawan, sukar pula kuduga karena sifatnya yang
nampak konyol begitu. Tetapi biar bagaimanapun
juga untuk saat ini aku harus berhati-hati dan tak
boleh bertindak gegabah. Sayang aku tidak tahu
jalan menuju ke Pesanggrahan Bayu Api. Bila aku
tahu, tak akan aku kebingungan seperti ini.
Terutama...."
Memutus kata-katanya sendiri, si gadis mendadak
celingukan. Dari raut wajahnya sekarang, jelas sekali
dia mencemaskan sesuatu.
"Aku tidak boleh terlambat. Aku harus ke
Pesanggrahan Bayu Api segera! Bila tidak,
semuanya akan jadi berantakan. Hmmm... sebaiknya
kuambil jalan yang berlawanan dengan pemuda itu.
Siapa tahu dia memang bukan orang baik-baik. Dan
sekarang sedang bersembunyi di satu tempat untuk
membokongku."
Memutuskan demikian, gadis berpakaian biru
muda yang sepertinya menyimpan sesuatu yang
sangat berat, segera berkelebat ke arah agak
menyerong dari yang ditempuh Andika.
*** Senja sudah turun ketika Winarsih yang sedang
menuju ke Pesanggrahan Bayu Api tiba di sebuah
jalan setapak yang dipenuhi semak belukar dan
pepohonan. Tatapan gadis ini begitu bersiaga tatkala
memperhatikan sekelilingnya. Bahkan kedua tangannya terkepal tanda dia telah siap bila
menghadapi sesuatu yang tak menyenangkan.
Lamat-lamat terdengar desahannya.
"Benar-benar celaka! Waktuku tinggal tiga hari
lagi! Bila tidak, semua akan menjadi kacau! Bila
benda ini tidak sampai pada Panembahan Agung di
Pesanggrahan Bayu Api, semuanya akan jadi
berantakan!"
Lagi diedarkan pandangannya berkeliling. Rasa
cemas dan telah nampak membayang di wajahnya.
Namun kekerasan hati gadis ini, membuatnya
berusaha untuk tindih segala cemas dan lelah.
Karena, tugas telah diemban. Dan dia harus berhasil
menuju ke Pesanggrahan Bayu Api.
"Sebentar lagi malam akan datang. Aku tak boleh
berada di tempat terbuka seperti ini."
Memutuskan demikian, Winarsih segera hempos
tubuhnya lagi. Namun baru saja dia berlari sejarak
tiga tombak, mendadak saja tangan kanannya
digerakkan ke samping.
Wusss!! Menghampar satu gelombang angin cukup deras
yang segera menghantam ranggasan semak belukar
di sampingnya. Disusul dengan makian, "Manusia
kurang ajar! Mengapa harus mengintip bila ingin
mampus, hah"!"
Sejenak Winarsihyang sudah berdiri tegak dengan
kedua mata dibuka lebih lebar, arahkan pandangan
pada semak itu. Tak seorang pun yang keluar dari
sana. Dan keadaan ini membuatnya yang tadi geram
menjadi agak kecut.
Diam-diam dia membatin, "Celaka! Apakah
orang-orang yang menghendaki benda ini telah
mengetahui jejakku" Oh! Ini tak boleh dibiarkan!
Apa pun yang terjadi, akan kuhadapi sekuat tenaga!
Benda ini harus kupertahankan dengan nyawaku!!"
Kejap kemudian gadis berkepang dua ini berseru
keras, "Jahanam terkutuk! Perlihatkan tampangmu,
hah" Biar urusan cepat selesai!!"
Belum lagi kata-kata Winarsih terdengar, mendadak saja satu tawa keras membahana di
belakangnya. Serta-merta gadis ini putar tubuh.
Seketika itu pula nampak dia surut ke belakang
dua tindak begitu mengenali siapa orang yang
berdiri di hadapannya.
"Celaka! Mengapa aku harus bertemu dengan
manusia satu ini"!"
*** 2 Sejarak dua tombak dari tempatnya berdiri, satu
sosok tubuh berpakaian hitam-hitam pekat telah
tegak di hadapannya. Sepasang mata lelaki
berambut panjang yang dikuncir itu menatap tak
berkedip ke arah Winarsih. Nampak sekali kalau dia
sepertinya hendak menelan bulat-bulat gadis itu. Di
pergelangan tangan kanan kiri lelaki berusia sekitar
lima puluh tahun itu terdapat gelang-gelang penuh
duri. Terdengar dengusan berat lelaki berwajah tirus
dengan hidung agak bengkok dan kedua mata yang
bergelambir, "Kau tak akan bisa meloloskan diri dari
tanganku lagi, Winarsih!!"
Kendati nampak cukup terkejut dan agak gentar,
tetapi gadis ini kelihatan berusaha tegar. Untuk
sesaat dia nampak menindih perasaan kecutnya
sebelum keluarkan dengusan. Lalu pasang seringaian mengejek saat berkata, "Sangga Rantek!
Kau tak bosan-bosannya mengejarku, hah" Apakah
kau sudah merasa pasti akan dapat merebut benda
ini dari tanganku?"
Terbahak-bahak lelaki bernama Sangga Rantek ini.
Tawa yang keluar dari mulut besarnya bukan hanya
membuat dedaunan berguguran, tetapi juga
membuat ranting pohon patah dan bertabrakan
satu dengan lainnya, hingga timbulkan suara yang
keras. Sementara itu di tempatnya, Winarsih sendiri
harus kerahkan tenaga
dalam pada kedua
telinganya, guna menahan aliran tawa keras yang
dikeluarkan lelaki berhidung bengkok itu.
Dan diam-diam gadis ini membatin resah, "Benarbenar celaka! Sudah tentu dia tak akan melepaskanku! Apalagi... rasanya aku juga tak
mungkin dapat meloloskan diri."
Tiba-tiba Sangga Rantek memutus tawanya
sendiri dan merandek gusar dengan kedua mata
membuka mengerikan, "Gadis keparat! Serahkan
potongan pedang itu kepadaku!!"
Winarsih keluarkan dengusan pendek. Dengan
pandangan melecehkan dia berkata, "Hhh! Tak
semudah itu kau dapatkan, Manusia celaka! Dan
sayangnya... kau hanya bermimpi di siang bolong!!"
"Jahanam terkutuk! Akan kukerat tubuhmu satu
persatu!!" hardik Sangga Rantek kasar.
"Apa yang hendak kau lakukan urusan belakang!
Kau telah membunuh guruku sebelum kau
mendapatkan potongan pangkal pedang satunya
lagi! Dan tentunya, Pedang Buntung yang
menggambarkan sebagian titik-titik gambar, tak ada
gunanya bila tak disatukan dengan potongan
lainnya karena tak akan utuh gambar-gambar itu!
Tetapi sayang, kau terlambat! Potongan pedang
satunya memang berada di tanganku sebelum ini!
Hanya saja, telah kuserahkan pada pemuda
berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur
yang melilit pada lehernya!"
"Gadis celaka! Jangan dusta di hadapanku!!"
menggelegar suara lelaki berpakaian hitam-hitam
ini. Kedua tangannya bergetar tanda dia tak kuasa
lagi menahan marah.
Kendati hatinya bertambah ciut melihat keangkeran lelaki di hadapannya, Winarsih nampak
tak peduli. "Sungguh sangat disayangkan... kau yang sudah
berusaha sekian lama untuk mendapatkan potongan
pedang itu ternyata harus sia-sia!! Dan sayangnya
lagi... kau tak akan pernah dapat menyatukan
pedang itu untuk melihat rangkaian titik-titik
gambar yang terukir! Sungguh sangat di...."
"Terkutuk!" terputus ejekan Winarsih karena lelaki
itu sudah membentak. Lalu melanjutkan dengan
wajah memerah gusar, "Kukirim nyawamu untuk
menyusul gurumu di akhirat sana!!"
Habis makiannya, lelaki berparas kejam ini sudah
mendorong kedua tangannya ke depan. Serta merta
menggebah gelombang angin yang luar biasa
dahsyatnya, menyeret tanah dan ranggasan semak
belukar saat menderu ke arah Winarsih.
Terkesiap Winarsih melihat serangan yang datang.
Apalagi tanah dan ranggasan semak itu menghalangi pandangan. Dalam keadaan seperti itu
tak mustahil lawan sudah lakukan serangan susulan.
Cepat dia buang tubuh ke samping kanan. Sambaran
gelombang angin itu luput dari sasaran.
Dan yang diduganya memang benar. Karena
gelombang angin lainnya telah menderu kembali.
Terburu-buru si gadis menghindari lagi. Kendati
berhasil melakukannya, bahu kirinya terkena juga
sedikit sambaran angin itu. Dan akibatnya,
dirasakan kalau bahu kirinya terasa seperti patah.
Meringis gadis berbaju biru muda itu sambil
pegangi bahu kirinya dengan tangan kanan. Wajah
jelitanya mendadak menjadi pucat.
"Celaka! Waktu lalu aku memang berhasil
meloloskan diri setelah mengelabuinya! Tetapi
sekarang, sulit bagiku untuk menghindar lagi!"
desisnya dalam hati galau. Namun mendadak
terlihat kepalanya digeleng-geldengkan. "Tidak! Tak
akan kubiarkan pedang buntung ini jatuh ke
tangannya! Manusia celaka itu telah membunuh
Guru! Dan sebelum Guru tewas, dia memberikan
potongan pedang ini untuk kuserahkan pada
Panembahan Agung di Pesanggrahan Bayu Api!
Apa pun yang terjadi, aku akan berusaha untuk
mengatasinya!"
Belum lagi Winarsih dapat berpikir lebih jernih,
mendadak saja gelombang angin lainnya melabrak
diiringi seruan, "Nyawamu menjadi taruhan semua
ini, Gadis Celaka!!"
Tanpa buang waktu lagi, Winarsih segera
melompat ke samping kiri. Namun belum lagi dia
menginjak tanah, gelombang angin lainnya sudah
Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menderu. "Heeiiii!!"
Terkejut bukan alang kepalang gadis ini.
Sebisanya dia membuang tubuh ke belakang.
Blaaammm!! Blaaammm!!
Dua letupan keras terdengar sambung menyambung. Dan dua bagian tanah yang
terhantam gelombang angin tadi, langsung muncrat
ke udara dan membentuk lubang cukup besar.
Winarsih yang kembali tegak, tanpa sadar
tubuhnya bergetar. Keringat dingin sudah mengaliri
sekujur tubuhnya. Kedua matanya mengerjapngerjap sementara wajahnya begitu pucat.
"Benar-benar
celaka! Mengapa aku harus berjumpa dengan manusia ini lagi" Ah, tak
seharusnya aku membuang waktu dengan pemuda
berbaju hijau pupus tadi" Tetapi... itu dikarenakan
aku mencoba mencaritahu siapa pemuda itu,
sebelum akhirnya manusia ini membokongku dari
belakang karena termasuk salah seorang yang
menginginkan potongan pedang ini...."
Dan tanpa sepengetahuan keduanya, sepasang
mata tajam namun licik memperhatikan dari balik
ranggasan semak belukar sejarak delapan tombak.
"Hmmm... Sangga Rantek. Dari ucapannya tadi,
jelas kalau dia telah berhasil membunuh Pemimpin
Agung dan sekarang sedang mengharapkan
potongan pedang yang dipegang oleh gadis itu yang
tentunya murid Pemimpin Agung. Pantas, tatkala
aku tiba di Pesanggrahan Bayu Air yang kulihat
hanya reruntuhan dan mayat Pemimpin Agung.
Rupanya manusia celaka itu yang telah membunuhnya dan berhasil mendapatkan pedang
buntung yang bila disatukan dengan pedang
buntung lainnya akan tersatukan titik-titik yang
menuju ke satu tempat. Bagus! Kali ini aku tak perlu
susah payah! Bila Sangga Rantek telah berhasil
memiliki potongan pedang yang ada pada gadis itu,
baru kuurus dia! Paling tidak, tenaganya cukup
terkuras karena kulihat tentunya gadis itu bukan
gadis sembarangan."
Terdengar lagi suara Sangga Rantek diiringi
seringaian lebar di bibir tebalnya, "Sebelum
terlambat, serahkan potongan pedang itu kepadaku!!"
"Hhhh! Kau hanya pandai bicara! Bila memang
kau menghendakinya, ambil dari tanganku!!" balas
Winarsih menindih kekalutannya.
"Gadis Keparat!!"
Habis bentakannya, Sangga Ranlek langsung
mencelat ke depan. Tangan kanan kirinya berkelebat
membentuk jotosan. Angin keras mendahului
gerakan kedua tangannya.
Bagi Winarsih sendiri, tentu saja dia tak mau mati
konyol. Dengan gerakan menakjubkan, gadis ini
mencelat dan langsung putar tubuh dua kali di
udara, bersamaan dengan itu, kedua jotosannya pun
dilepaskan. Namun dengan enaknya jotosan itu dipatahkan
Sangga Rantek, bahkan sosok Winarsih sendiri
terhuyung ke belakang. Tangan kanan kirinya
membiru dan dirasakan seperti patah. Terlebih lagi
tangan kirinya yang sebelumnya tadi, sudah terkena
sambaran angin Sangga Ranlek di bagian bahu.
Ngilunya bukan alang kepalang. Sangga Rantek
sendiri tak mau membuang waktu lebih banyak.
Sambil mencelat kembali dia lepaskan jotosan ke
bagian kepala, sementara serangkum angin telah
mendahului menerjang ke arah Winarsih.
Gadis berkepang dua ini terkesiap kaget. Segera
dilepaskan jurus 'Matahari Tebar Sinar', yang sertamerta udara di sekitar sana berubah menjadi panas.
Namun gelombang angin itu bukan hanya dapat
dipatahkan lawan, tetapi juga berbalik ke arahnya.
Kian memucat wajah Winarsih mendapati
serangannya berbalik ke arahnya. Sebisanya dia
membuang tubuh. Sementara tanah di mana tadi dia
berdiri, langsung membentuk sebuah lubang
sedalam lutut dan keluarkan asap.
Saat berdiri kembali kendati agak sempoyongan,
gadis ini membatin resah, "Tak mungkin aku bisa
menghadapinya! Tidak, aku tidak ingin mati konyol
sebelum benda ini sampai ke tangan Panembahan
Agung! Lebih baik, segera kutinggalkan tempat ini
daripada urusan justru berkembang lebih parah bila
lelaki itu berhasil mendapatkan potongan pedang
ini!" Memikir demikian, si gadis langsung lepaskan
serangan. Dua kali dilepaskan jurus 'Matahari Tebar
Sinar' yang dapat diputuskan dengan mengangkat
tangan kanannya saja oleh Sangga Rantek. Dan
kesempatan itu dipergunakan oleh Winarsih untuk
segera menjauh dari sana.
Namun baru saja dia lakukan gerakan itu,
mendadak saja terdengar gemuruh angin yang luar
biasa dahsyatnya. Terkejut bukan alang kepalang
Winarsih yang segera membuang tubuh ke samping
kiri dan saat masih bergulingan. Sangga Rantek
sudah mencelat ke depan. Kaki kanannya yang telah
dialiri tenaga dalam penuh siap dihajarkan pada
kepala Winarsih sementara tangan kirinya sudah
didorong lebih dulu.
Tubuh Winarsih telak terhantam dan terlempar
tiga tombak ke belakang. Masih untung Winarsih
memiliki ketahanan tubuh yang kuat. Bila tidak,
tulang penyanggah tubuhnya akan patah berantakan. Meskipun demikian, dia tak mampu lagi
untuk bangkit. Darah segar mengalir dari hidungnya
Sementara, kaki kanan Sangga Rantek siap
mengirim nyawanya ke akhirat diiringi desisan si
pemilik sepasang mata yang ternyata seorang
perempuan, "Kini tinggal urusanku! Nyawa gadis
itu telah ada di ambang mata!"
*** Namun apa yang diduga perempuan berkerudung
merah itu ternyata salah. Karena belum lagi maut
menjemput Winarsih, mendadak terdengar salakan
petir yang sangat keras. Menyusul terlihat kaki
kanan Sangga Rantek terangkat naik sementara
tubuhnya mundur beberapa langkah ke belakang.
Namun kejap itu pula lelaki kejam itu mencelat
lagi ke depan. Dia seolah tak peduli ada satu tenaga
kuat telah menghalangi maksudnya. Kaki kirinya
kembali terangkat dan siap menghantam kepala
Winarsih kembali.
Untuk kedua kalinya Winarsih terkesiap kaget.
Darahnya seolah siap tumpah dari ubun-ubun.
Akan tetapi, untuk kedua kalinya pula injakan
kaki Sangga Rantek terputus. Kali ini terdengar
suara gelombang angin disusul dengungan ribuan
tawon murka. Blaaaam! Terdengar ledakan hebat saat dua gelombang
angin tadi menghantam kaki kiri Sangga Rantek.
Kontan Sangga Rantek terhuyung ke belakang
dengan kaki yang terasa ngilu luar biasa.
"Jahanam keparat!!" makinya keras.
Di lain pihak, satu bayangan hijau telah berkelebat
dan menyambar sosok Winarsih yang masih
terkapar. Gadis itu sendiri yang tak menyangka
kalau akan diselamatkan orang, mendesis begitu
mengenali siapa yang muncul, "Andika...."
Bayangan hijau yang tadi selamatkan Winarsih
dari maut yang diturunkan Sangga Rantek,
menyeringai lebar.
"Gadis Kayangan! Kupikir kau sudah menjauh!
Tidak tahunya lagi asyik bercanda dengan monyet
jelek itu, ya"!" .
"Brengsek! Dia bilang aku bercanda, padahal
nyawaku sudah mau putus!" maki Winarsih dalam
hati. Sementara itu, pemilik sepasang mata terkesiap
melihatnya. "Kurang ajar! Ternyata urusan tak
semudah yang kuduga! Siapa pemuda itu" Menilik
ciri-cirinya... sepertinya aku pernah mendengar
seorang pemuda berciri demikian. Tetapi siapakah
pemuda itu dan... keparat betul! Ke mana daya
ingatku yang biasanya cemerlang tetapi sekarang
sulit menduga siapa pemuda itu?"
Di lain pihak. Andika sedang berkata pada
Winarsih, "Kau kenapa sih" Kok bercanda dengan
orang seperti itu" Dia itu siapa" Sepertinya sadis
amat?" Winarsih yang masih berada dalam bopongan
Andika terdiam seraya membatin dalam hati, "Aku
masih belum mempercayai pemuda ini sepenuhnya
kendati dia telah menyelamatkanku. Karena di saat
rimba persilatan bertambah kacau seperti ini, sulit
menentukan mana kawan dan mana lawan.
Terutama, aku yakin banyak orang-orang yang
mengincarku untuk mendapatkan potongan pedang
yang merupakan titik-titik petunjuk menuju suatu
tempat. Dan bila disatukan dengan Pedang Buntung
yang ada pada Sangga Rantek, maka jalan menuju
tempat itu akan semakin mudah."
Habis membatin begitu si gadis menjawab, "Dia
bernama Sangga Rantek. Aku sendiri tak habis pikir
mengapa dia menyerang dan menginginkan
nyawaku." "Benar-benar bodoh tuh orang! Masa sih
menginginkan nyawamu" Gadis secantik kau ini
pantasnya untuk dimiliki! Ngomong-ngomong... aku
mulai keberatan nih!"
Winarsih tertawa pendek, ketegangannya sudah
tidak kentara lagi. Dan dia tahu kalau pemuda yang
membopongnya ini sama sekali tidak merasa
keberatan. Perlahan-lahan dia pun turun. Namun begitu
kedua kakinya menginjak tanah, tubuhnya sudah
sempoyongan. Bila saja tidak segera ditangkap oleh
Andika, sudah tentu gadis itu akan langsung
ambruk. Hati-hati Andika merebahkan tubuh Winarsih
yang karena kelelahan akhirnya jatuh pingsan
Sebelum memeriksa tubuh Winarsih, Andika melirik
dulu ke arah lelaki berpakaian serba hitam yang
nampak sedang berdiri dalam kedudukan bersemadi. Rupanya Sangga Rantek masih dapat menahan
serangan tenaga 'Inti Petir' yang dilepaskan Andika
dan menghantam kaki kanannya tadi. Namun dia
tak kuasa menahan sakit pada kaki kirinya akibat
terkena sabetan kain bercorak catur yang dikibaskan
Andika, yang dilakukan karena waktunya sudah
sedemikian sempit untuk menyelamatkan Winarsih.
Andika mendengus tatkala merasakan hawa
panas melingkar-lingkar di tubuh gadis berbaju biru
muda itu. "Gadis Kayangan... aku tahu kalau kau menyembunyikan sesuatu. Sejak pertama berjumpa,
dari pancaran kedua matamu aku tahu kau sangat
gelisah dan mencurigaiku. Dan sekarang... lelaki
bernama Sangga Rantek itu muncul menghendaki
nyawamu. Sudah tentu ada urusan yang memang
harus diselesaikan dan harus menelan korban.
Monyet pitak! Ada apa sebenarnya ini?"
Lalu dengan hati-hati anak muda dari Lembah
Kutukan itu alirkan tenaga 'Inti Petir' melalui kedua
ibu jari kaki Winarsih. Namun belum sepenuhnya
dilakukan pengobatan, mendadak terdengar suara
Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggeram keras,
"Pemuda jahanam! Kau mencari mampus di
hadapan Sangga Rantek!!"
Mendengar ucapan orang, Andika cuma mendengus. Masih dengan kedua tangan memegang
ibu jari kaki Winarsih, dia mengomel seenak
jidatnya, "Mampus atau tidak urusan belakangan!
Jangan ribut dong! Gadis ini sedang pingsan dan
sakit! Kau ini memang tidak tahu sopan santun!
Tunggu sebentar kenapa sih?"
Mengkelap Sangga Rantek mendengar selorohan
orang. Kedua tangannya mengepal saat keluarkan
bentakan, "Sebenarnya, aku tak percaya apa yang
dikatakan gadis itu tadi! Tetapi sekarang, melihat
kemunculanmu, aku mulai yakin kalau potongan
pedang buntung itu memang berada di tanganmu!!"
"Potongan pedang" Potongan
pedang apa maksudnya?" desis Andika dalam hati, lalu berucap,
"Busyet! Kalau kau menginginkan potongan pedang,
kenapa harus mencari padaku" Tunggu sebentar,
nanti kuberi uang agar kau bisa membelinya!
Banyak orang yang jual potongan pedang di
Kotapraja! Mungkin juga ada Pedang Buntung! Pergi
saja ke sana! Sekalian melihat keramaian!! Kok cuma
potongan pedang saja diributkan sih"!"
Tak sanggup lagi Sangga Rantek untuk menahan
diri lebih lama mendengar ucapan yang semakin
membuat hatinya kian membara. Dengan kemarahan tinggi, dia sudah dorong kedua
tangannya ke depan.
"Keparaaattt!!"
Wuussss!! *** 3 Serta-merta menderu dua gelombang angin yang
keluarkan suara menggidikkan yang kemudian
menyatu ke arah Andika.
"Kutu monyet!" maki anak muda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan ini seraya melompat ke
samping kanan. Blaaarrr!! Tanah di mana tadi dia berada langsung muncrat
ke udara begitu terhantam gelombang angin yang
dilepaskan Sangga Rantek. Dan sebelum seluruhnya
luruh. Sangga Rantek yang murka sudah kembali
lepaskan serangan.
"Kadal buntung! Monyet bau!! Kenapa main
serang seenak jidatmu saja, hah"!" maki Andika
jengkel sambil menghindar kembali.
"Serahkan potongan pedang itu kepadaku!!" seru
Sangga Rantek dari tempatnya. Tangan kanan dan
kirinya dikepalkan kuat-kuat. Tatapannya terbuka
lebih tajam dan dingin.
"Busyet! Kok kau ini tidak bosan-bosannya
meminta potongan pedang" Kan tadi sudah
kukatakan, beli saja di Kotapraja, kau akan
mendapat sebilah pedang yang bagus!!"
"Serahkan potongan pedang itu kepadaku, maka
kau akan hidup lebih lama!!" bentak Sangga Rantek
lagi, lebih keras.
"Lagi-lagi potongan pedang" Apa sih maksudnya"
Atau... jangan-jangan... gadis ini memiliki sebuah
potongan pedang yang diinginkan Sangga Rantek
dan dia mengatakan kalau aku memilikinya" Kutu
monyet! Kenapa aku yang dibawa-bawa" Lagian,
apa sih maunya cuma potongan pedang saja
diributkan. Atau bisa jadi... inilah salah satu sebab
mengapa gadis itu menanyakan padaku di mana
tempat bernama Pesanggrahan Bayu Api berada"
Tetapi masa sih cuma urusan potongan pedang saja
jadi kapiran seperti ini" Ah, bisa jadi gadis itu punya
urusan lain ke tempat yang bernama Pesanggrahan
Bayu Api. Hmmm... aku harus tahu dulu dari mulut
gadis ini sebelum urusan berkembang panjang."
Habis membatin begitu. Pendekar Slebor berseru,
"Iya, iya! Akan kuserahkan potongan pedang itu!
Tetapi aku mau tanya dulu nih!"
"Jangan membuang waktu!!"
Anak muda urakan ini tak pedulikan hardikan
Sangga Rantek. Dia tetap saja nyerocos seenak
udelnya, "Apakah kau memiliki potongan pedang
lainnya" Maksudku Pedang Buntung" Kau kan
mencari potongan pedang, tentunya akan kusatukan
dengan Pedang Buntung itu, ya" Iya"!"
Mendengar pertanyaan itu, Sangga Rantek
terdiam. Lalu nampak senyumannya mengembang.
Dan merasa kalau si pemuda jeri untuk menghadapinya, lelaki yang di kedua pergelangan
tangannya terdapat gelang-gelang penuh duri itu
terbahak-bahak.
"Rupanya kau mengerti gelagat, Pemuda picisan!
Bagus! Itu namanya kau masih sayang nyawa!
Tentunya kau mengenal Ronggo Sewu atau yang
berjuluk Pemimpin Agung, bukan" Manusia itu kini
telah berkalang tanah di tanganku! Dan aku berhasil
mendapatkan potongan pedang yang kau benarkan
apa yang kau katakan tadi! Pedang Buntung! Tetapi
dasar manusia keparat! Dia telah lebih dulu
menyerahkan potongan pedang lainnya kepada
muridnya itu!!"
Andika yang memang ingin mencari tahu sengaja
pendam keingintahuannya yang lain tentang
siapakah orang yang berjuluk Pemimpin Agung. Dia
berkata lagi, "Sebenarnya apa sih yang kau inginkan dari
potongan pedang itu?"
"Hhhh! Kau berlagak bodoh atau memang
bodoh"!"
"Busyet! Itu namanya aku tidak tahu!" dengus
Andika jengkel dan dalam hati berseru, "Ingin
kutarik kuncir kudanya itu!!"
"Bagus bila kau tidak tahu dan sekarang tentunya
kau akan menyerahkan potongan pedang itu
kepadaku! Jika dua potongan pedang itu dijadikan
satu, maka akan tergambar titik-titik yang jelas, yang
merupakan petun-|iik menuju ke satu tempat! Cepat
kau.... Pemuda terkutuk! Kau mencoba mengorek
keterangan dariku, hah"!!"
Kendati tak terlalu terkejut karena Sangga Rantek
dapat mengambil kesimpulan lebih dulu, tetapi
Andika mendengus dalam hati. "Brengsek! Ternyata
dia punya otak juga! Hhhh! Bila kulayani manusia
ini sekarang, nantinya akan membawa dampak yang
tidak mengenakkan bagi Gadis Kayangan. Lebih
baik aku menyingkir saja dari sini untuk
mendapatkan keterangan lebih lanjut dari gadis ini."
Berpikir demikian, anak muda urakan ini berkata
sambil garuk-garuk kepalanya, "Kok aneh ya"
Kenapa kau berpikir aku hendak mengorek
keterangan" Aku cuma hendak mengatakan, kalau
Pedang Buntung yang ada padamu adalah palsu!
Yah... dasar kau bodoh! Masa sih tidak bisa
membedakan yang asli dan palsu!! Pemimpin
Agung sudah menyembunyikannya di satu tempat!"
Sesaat nampak wajah Sangga Rantek agak
terkesiap. Tanpa sadar tangan kanannya memegang
perutnya. Tatkala dirasakan Pedang Buntung yang
dibalut dengan kain hitam masih terselip di
pinggangnya nampak dia menarik napas lega.
Kendati demikian, tersirat keragu-raguan di wajahnya. Dan kejap berikutnya, lelaki berpakaian serba
hitam itu sudah mendengus gusar. Menyusul
sosoknya telah mencelat ke depan disertai makian
keras, "Kurobek mulutmu!!"
Pendekar Slebor terkesiap merasakan betapa
dahsyatnya gelombang angin yang menderu. Sekali
rasa saja dia tahu, kalau di balik gelombang angin
dingin itu tersimpan hawa panas yang luar biasa.
Cepat dia segera menyambar tubuh VVinarsih
yang pingsan. Begitu tubuhnya melompat ke
samping, tangan kanannya yang telah dialirkan
tenaga 'Inti Petir' dikibaskan. Serta-merta terdengar
dentuman menggelegar menyentak tempat itu.
"Gila! Luar biasa sekali tenaganya! Lenganku
terasa ngilu!" desis Andika dengan tangan kanan
bergetar. Segera dialirkan tenaga dalam untuk
hilangkan rasa nyeri. Perlahan-lahan rasa nyeri itu
hilang, begitu pula dengan warna kebiruan pada
tangannya. "Kura-kura bau!" dengusnya gusar begitu melihat
Sangga Rantek kembali siap lepaskan serangannya.
Andika sendiri agak kebingungan sekarang,
karena dia harus menyelamatkan Winarsih lebih
dulu. Lagi pula, bertarung menghadapi Sangga
Rantek yang memiliki ilmu tinggi dengan sosok
Winarsih dalam bopongannya sungguh sulit
dilakukan. "Aku harus menyelamatkan gadis ini!!" desisnya.
Dan begitu serangan Sangga Rantek menggebrak
kembali ke arahnya, anak muda urakan ini segera
membuang tubuh ke samping kembali. Begitu kaki
kanannya yang lebih dulu menginjak tanah, seperti
ada satu tolakan kuat tubuhnya langsung berputar
dan dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya
yang kesohor, anak muda ini segera meninggalkan
tempat itu. Telinganya masih sempat mendengar
dentuman yang terjadi akibat serangan Sangga
Rantek yang menghantam tanah.
Menggeram setinggi langit lelaki sesat itu. Kedua
tangannya terangkai ke atas dengan tubuh tergelar
saat berseru, "Pemuda keparat!! Kau tak akan bisa
lolos dari tanganku!!"
Kejap berikutnya, lelaki itu sudah berkelebat ke
arah yang dituju Andika.
Tiga tarikan napas berikutnya, perempuan
berpakaian putih dengan jubah merah keluar dari
balik ranggasan semak. Perempuan tinggi semampai
ini menyeringai lebar sambil arahkan tatapannya ke
arah perginya orang-orang itu.
Saat menyeringai, wajah jelitanya begitu mengerikan sekali. Sorot matanya tajam dan licik.
Kepalanya yang ditutupi kerudung merah itu
menggeleng-geleng dan nampak kalau warna
rambutnya seperti keemasan.
"Bagus! Kini aku tahu, kalau kedua potongan
pedang itu masing-masing berada pada Sangga
Rantek dan pemuda itu! Sangga Rantek memiliki
Pedang Buntung, sementara pemuda itu potongan
pedang lainnya! Hmm... ini kesempatan yang telah
lama kutunggu-tunggu! Tetapi sungguh hebat bila
ternyata Sangga Rantek berhasil membunuh
Pemimpin Agung! Tentunya, kesaktian yang
dimilikinya semakin bertambah!"
Untuk sesaat perempuan ini terdiam sebelum
melanjutkan, "Hmmm... Pendekar Slebor! Ya, ya...
pemuda itu tak lain Pendekar Slebor! Sungguh
menyenangkan' Gairahku untuk mendapatkan
potongan pedang dari Sangga Rantek dan dirinya
semakin membesar karena tantangan yang akan
kuhadapi! Ini kesempatan bagus untuk membunuh
Pendekar Slebor!"
Kejap kemudian, perempuan berambut keemasan
ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu
dengan segenap keinginan yang akan dicapainya.
*** Hari telah berganti pagi kembali. Di sebuah hutan
kecil nampak sehuah bayangan hijau berkelebat
lincah. Gerakannya tak ubahnya bagai angin belaka,
menandakan ilmu peringan tubuh yang dimilikinya
sudah begitu tinggi.
Bayangan hijau yang tak lain Pendekar Slebor dan
masih membopong Winarsih yang
Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pingsan, menghentikan langkahnya di sebuah persimpangan
yang terdapat di hutan itu. Sejenak anak muda
urakan dari Lembah Kutukan ini perhatikan
sekelilingnya. "Hmmm... mudah-mudahan Sangga Rantek belum sampai di sini. Aku harus mengobati
Winarsih dulu...."
Memutuskan demikian, hanya sekali melompat
saja Pendekar Slebor telah berada di balik sebuah
semak belukar setinggi dada. Terburu-buru direbahkan tubuh Winarsih. Sejenak ditatapnya
wajah gadis itu.
"Begitu jelita... namun sayang harus hidup dalam
pengejaran orang-orang seperti Sangga Rantek. Aku
jadi penasaran ingin mengetahui seperti apa
potongan pedang yang berisikan titik-titik gambar"
Gambar apa sih" Jangan-jangan gambar monyet
nongkrong!"
Kejap berikutnya, kembali Andika mengalirkan
tenaga 'Inti Petir' pada tubuh Winarsih. Cukup lama
dilakukannya sebelum terdengar suara mengeluh
dari bibir ranum si gadis. Kepala gadis itu bergerak
sedikit namun sepasang matanya tidak membuka.
Tetapi Andika bisa bernapas lega sekarang.
"Tak lama lagi tentunya dia akan pulih...,"
desisnya sambil duduk di atas rumput. Lalu dicoba
untuk memikirkan urusan yang secara tak langsung
melibatkan dirinya
"Potongan pedang... Sangga Rantek... Pemimpin
Agung... semuanya baru kuketahui sekarang.
Bahkan nama gadis ini aku belum tahu. Tak
mungkin Sangga Rantek mau bersusah payah
membunuh Pemimpin Agung sementara Gadis
Kayangan rela mengorbankan nyawa untuk mempertahankan potongan pedang itu. Tentunya
memang ada sesuatu yang tersimpan bila kedua
potongan pedang itu dijadikan satu dan membentuk
rangkaian titik-titik yang membentuk gambar. Tapi,
gambar apa sih?"
Kembali anak muda ini terdiam.
"Kadal buntung! Aku belum bisa menduga apa
yang tersimpan itu" Benar-benar brengsek! Jalan
satu-satunya, aku memang harus coba korek
keterangan dari mulut Gadis Kayangan"
Sejenak diliriknya gadis berpakaian biru yang
telentang dengan kedua mata masih terpejam.
Alunan napasnya kini terdengar teratur.
Ketika pandangannya terbentur pada busungan
payudara yang montok dan sekal itu Andika
mendengus sambil berpaling, "Dasar mata tidak
makan bangku sekolahan! Lebih baik... aku mencari
makanan saja. Bila gadis ini siuman aku...."
Kata-kata anak muda itu terputus tatkala
mendengar suara dingin dari balik ranggasan
semak, "Kau mungkin bisa melarikan diri dari
kejaran Sangga Rantek, Pendekar Slebor... tetapi
sayangnya, kau tak akan bisa melarikan diri dari
tanganku!!"
Seketika anak muda itu berdiri dan melompat
keluar dari tempatnya.
Dilihatnya seorang wanita berparas muda dan
luar biasa jelita telah berdiri dengan seringaian
mengejek. Perempuan itu berpakaian putih bersih dengan
jubah merah panjang. Rambutnya yang berwarna
keemasan tertutup selendang warna merah.
Kejap kemudian terdengar ucapannya dingin dan
angker, "Kau tak akan bisa mempertahankan
nyawamu dari tanganku, Pendekar Slebor! Serahkan
potongan pedang itu kepadaku, maka kau akan
selamat!!"
Andika cuma garuk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. *** 4 Kejap kemudian, seolah tak ada masalah yang
mengganggunya, anak muda yang di lehernya
melilit kain bercorak catur ini nyengir.
"Tak kusangka kalau aku sedemikian ngetopnya!
Nah, kau sudah tahu siapa aku yang ngetop ini"
Sekarang, coba deh katakan siapa sih kau yang tidak
ngetop itu"!"
Mendengar sahutan yang seolah menganggap
dirinya angin lalu, perempuan berkerudung itu
mengkelap. "Jahanam keparat! Baik! Kau masih kuberi
kesempatan untuk mengetahui siapa aku! Panggil
aku dengan julukan Iblis Rambut Emas!!"
Andika kontan melongo (yah... ini cuma dibuatbuat). Sepasang matanya dibuat melotot lebar. Lalu
menggeleng-geleng takjub.
"Hebat betul! Bila kau kehabisan uang, hanya
dengan menjual selembar rambutmu saja tentunya
kau akan kaya mendadak ya" Wah! Aku mau tuh
diberi dua lembar saja!!"
Makin gusar perempuan berjuluk Iblis Rambut
Emas ini. Tangan kanan kirinya bergetar. Andika
sendiri bukannya tidak tahu kemarahan orang.
Tetapi dasar urakan, dia masih bersikap santai saja.
Bahkan mulutnya masih nyengir.
Sebelum Iblis Rambut Emas buka mulut, pemuda
tampan itu telah mendahului, "Ngomong-ngomong..
mengapa kau mencari potongan pedang itu
kepadaku?"
"Jangan coba mengelabuiku! Cepat serahkan!!"
seru Iblis Rambut Emas menggelegar.
Andika tersenyum dan diam-diam membatin
dalam hati, "Menilik kata-katanya yang begitu pasti,
jelas kalau dia sebenarnya begitu yakin potongan
pedang itu berada di tanganku. Kupikir hanya
Sangga Rantek yang sebelumnya mengetahui soal
itu. Berarti... dia mengintip saat aku berhadapan
dengan Sangga Rantek."
Memikir demikian, Andika berkata, "Wah! Kau
pantas juga ya menjadi tukang intip" Eh, apa kau
tidak takut matamu jadi bintitan?"
"Jahanam! Aku tak boleh membuang waktu
sebelum Sangga Rantek muncul di sini" Masih
untung aku memiliki ilmu 'Pelacak Aroma Tubuh'
hingga aku dapat mengetahui lebih dulu di mana
Pendekar Slebor yang membawa murid Pemimpin
Agung itu berada. Hhh! Biar kurebut sekarang!!"
Kendati memutuskan demikian, namun perempuan berjubah dan berkerudung merah ini tak
segera bertindak. Dia justru perhatikan Andika
dengan seksama.
Yang diperhatikan justru bersikap konyol layaknya seorang peragawan. Namun karena selalu
nyengir dan garuk-garuk kepala ya jadinya seperti
monyet kurang gila.
Sikap Pendekar Slebor semakin memancing
amarah Iblis Rambut Emas.
"Sekali lagi kukatakan, serahkan potongan pedang
itu sebelum urusan menjadi berlarut-larut!!"
"Wah! Bagaimana bila kuberikan kau sebilah
pedang utuh" Itu kan lebih baik dari cuma
sepotong"!"
"Setan alas!
Habis bentakan yang menggelegar di tempat itu,
tangan kanan Iblis Rambut Emas segera digerakkan
ke kepala Andika.
Andika yang sudah duga akan hal itu, rupanya
tak mau menghindar. Dia memang ingin menjajaki
kekuatan Iblis Rambut Emas. Serta-merta dia
mencelat ke depan dengan jotosan lurus ke wajah si
perempuan. Melengak Iblis Rambut Emas melihat si pemuda
justru mencoba memapaki serangannya. Dirasakan
bagaimana angin yang keluar di saat pemuda
berpakaian hijau pupus itu menggerakkan jotosanny
Dia sendiri tak mau tarik pulang jotosannya.
Justru ditambah tenaga dalamnya.
Tak ayal lagi, dua jotosan itu bertemu.
Desss!! Dan masing-masing orang langsung mundur ke
belakang tiga tindak. Di tempatnya Pendekar Slebor
dengan sikap konyol menggoyang-goyangkan
tangan kanannya dan meniup-niupnya.
"Monyet pitak! Kau betul-betulan, ya?" serunya
makin konyol. Di seberang, wajah Iblis Rambut Emas memerah.
Karena dia terkejut merasakan tangan kanannya
juga ngilu. "Julukan Pendekar Slebor memang bukan omong
kosong belaka! Tetapi aku akan tetap menjajakinya!
Apalagi dia memiliki potongan pedang seperti yang
dikatakan murid Pemimpin Agung! Biar bagaimanapun juga...."
Mendadak perempuan ini memutus kata batinnya
sendiri. Nampak keningnya berkerut
"Gila! Bagaimana bila ternyata pemuda itu tidak
memilikinya dan murid Pemimpin Agung hanya
coba kelabui Sangga Rantek" Keparat! Akan
kugeladah keduanya!!*
Di lain pihak, Andika berpikir, "Bila aku
menghadapi perempuan ini dulu, maka akan
banyak waktu yang terbuang. Aku tetap berkeyakinan, kalau semua ini berhubungan dengan
pertanyaan Gadis Kayangan tentang Pesanggrahan
Bayu Api. Mungkin juga Gadis Kayangan memburu
waktu. Berarti, aku harus membawanya ke sana
kendati pun aku tidak tahu di mana tempat itu
berada. Sebaiknya...."
Terputus kata-kata Pendekar Slebor karena
mendadak saja terdengar seruan geram Iblis Rambut
Emas, "Kau telah menggali lubang kuburmu sendiri,
Pendekar Slebor!!"
Wusssss!! Serangkum kabut putih berhawa dingin mencelat
ke arah Andika. Suara yang ditimbulkan begitu
mengerikan sekali.
Mundur dua tindak Andika melihat serangan
ganas itu. Segera saja dia mengangkat kedua
tangannya yang telah dialiri tenaga 'Inti Petir'.
Blaaammm! Blaammm!!
Kabut putih berhawa dingin itu langsung buyar
ke udara. Dan untuk kedua kalinya Iblis Rambut
Emas terkesiap mendapati serangan balas yang
dilakukan Andika. Tubuhnya mundur satu tombak
ke belakang. Meskipun demikian, dia segera angkat
tangannya dan...
Wusss! Pendekar Slebor memang sengaja berikan gebrakan yang cukup mengejutkan, karena hendak
pergunakan kesempatan selagi perempuan berkerudung merah itu mundur untuk menyambar
dan membawa Winarsih menjauh dari sana.
Tetapi perempuan di hadapannya itu bukan orang
sembarangan, dia termasuk salah seorang dedengkot
persilatan, yang dalam keadaan terkejut masih
sempat kirimkan serangan hingga mau tak mau
Andika buang tubuh ke kiri dan berputar dua kali
sebelum hinggap di tanah.
"Monyet buntek! Kalau begini, bisa berabe!!"
makinya jengkel.
Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di seberang, Iblis Rambut Emas sudah menerjang
ke muka. Sementara Pendekar Slebor sendiri harus
mengerutkan kening begitu melihat gerakan yang
dilakukan lawan. Karena gerakan itu sangat lambat
Namun di kejap lain, anak muda yang memiliki
otak seencer bubur itu langsung dapat menduga
kalau lawan hanya mencoba mengalihkan perhatiannya dengan gerakan yang diperlihatkan.
Karena berpikir demikian, Pendekar Slebor tak mau
bertindak ayal ketika tangan kanan dan kiri
perempuan berkerudung merah itu mengibas ke
depan. Wuuuss! Wusss!!
Dua bongkah kabut putih yang diiringi hawa
dingin menggigil, menghampar dengan kekuatan
maha besar. Andika memekik tertahan karena pada
jarak dua tombak dia sudah merasakan hawa dingin
yang membuat urat-uratnya menjadi kaku. Namun
si pemuda yang sebenarnya sangat jengkel tak mau
bertindak ayal pula. Tenaga 'Inti Petir' tingkat
kelima sudah dialirkan pada kedua tangannya.
Dan.... Wusss! Tubuhnya pun bergerak ke muka. Sepintas
gerakan yang diperlihatkan Andika lebih cepat
karena Iblis Rambut Emas memang seperti sengaja
memperlambat gerakannya. Namun di dalam
gerakan lambat itu tersimpan perangkap yang
mematikan. Karena lawan akan lengah dan masuk
perangkap begitu merasa serangannya tak mengandung sesuatu yang mengerikan. Namun di
balik semua itu, gerakan lambat yang diperlihatkan
Iblis Rambut Emas, dapat bergerak sangat luar biasa
cepat. Dan itu pun dilakukan oleh Iblis Rambut
Emas. Benturan dua tenaga sakti tingkat tinggi
terjadi. Ledakan dahsyat terdengar. Tempat itu bagai
diguncang sebuah gempa hebat bersamaan dengan
pupusnya dua bongkah kabut putih tadi. Tanah di
tempat bertemunya benturan itu muncrat setinggi
dua tombak. Dedaunan langsung meranggas dan
rumput serta semak belukar tercabut paksa dari
akarnya. Keadaan itu menghalangi pandangan keduanya.
Iblis Rambut Emas mengibas-ngibaskan tangannya
agar pandangannya lebih terbuka. Terdengar
makiannya keras, "Pemuda keparat!! Kubunuh
kau!!" Lalu secara membabi buta, perempuan berkerudung merah ini menyerang ganas ke arah
Andika yang sengaja menjauh dari sana. Karena dia
tak ingin salah satu serangan Iblis Rambut Emas
akan melabrak ranggasan semak belukar di mana
sosok Winarsih masih pingsan.
Akibat yang terjadi sungguh mengerikan. Pepohonan langsung tumbang berturut-turut dan
menimbulkan suara menggemuruh. Ranggasan
semak tercabut bersamaan rengkah dan muncratnya
tanah ke udara.
"Monyet pitak! Orang gundul! Sambal terasi!
Kalau begini caranya aku bisa mampus!!" maki anak
muda urakan ini jengkel karena tak sekalipun diberi
kesempatan untuk membalas.
Bagaimana bisa membalas kalau dari segenap
penjuru Iblis Rambut Emas mengurung dengan
serangan kabut putih yang mengandung hawa
dingm. Sementara udara senja yang sudah agak
dingin pun ditambah menjadi sangat dingin.
"Kutu bantel!!" maki Andika sambil putar tubuh
ke depan. Lalu dengan nekat dia buat gerakan
seperti hendak menyongsong serangan si perempuan. Akan tetapi, dua tindak ke muka, anak
muda ini membuat gerakan setengah lingkaran
dengan mengirimkan tendangan kaki kanannya
terlebih dahulu.
Iblis Rambut Emas segera angkat tangan kanan
untuk menahan tendangan Andika. Tetapi dia
kecele, karena pemuda berambut gondrong acakacakan itu telah tarik tendangannya. Justru dengan
gerakan mengejutkan dia menyongsong masuk.
Jotosan tangan kanan yang mengandung tenaga
"Inti Petir' telak menghantam pinggang Iblis Rambut
Emas. Terpekik perempuan berjubah merah ini
dengan tubuh terhuyung.
Bila saja Andika menginginkan untuk kirimkan
serangan kembali, maka dengan mudah akan
dilakukannya. Tetapi anak muda ini justru berdiri
dengan selorohan, "Wah! Kok bisa kena, ya" Padahal
aku asal-asalan tuh! Eh! Bagaimana bila kita sudahi
dulu canda ria" Aku masih ada urusan sih!!"
"Pemuda keparat!! Aku akan mengadu jiwa
denganmu!!" maki Iblis Rambut Emas sambil usap
darah yang keluar dari sela-sela bibirnya dengan
punggung tangan kanannya.
"Mengadu jiwa" Kenapa tidak mengadu raga?"
balas Andika sambil nyengir, lalu menyambung,
"Ah, tidak! Lebih baik kau mengadu raga dengan
pohon itu saja"!"
Makin murka perempuan ini. Setelah kertakkan
rahangnya, dengan wajah membesi dia sudah
menerjang kembali dengan lepaskan kabut-kabut
putihnya yang berhawa dingin.
"Busyet! Keras kepala amat!!" dengus Andika.
Dan dia pun tak mencoba untuk menghindar.
Malah dia bergerak cepat menyongsong. Kali ini
tenaga 'Inti Petir' tingkat ketiga sudah dilepaskan
kembali. Blaaarrr!! Untuk kedua kalinya tempat itu laksana
diguncang topan. Tanah di mana bertemunya dua
tenaga sakti itu, muncrat ke atas bersamaan dengan
tumbangnya sebuah pohon.
Tatkala tanah, semak, dan dedaunan terhempas ke
tanah, sepasang mata perempuan ini terbuka lebih
lebar dengan mulut menganga.
Kejap kemudian terdengar suara gigi dikertakkan
disusul dengan makian keras, "Setan neraka! Ke
mana perginya pemuda keparat itu"!"
Lalu mendadak saja dia melompat ke balik
ranggasan semak di mana Winarsih yang kendati
telah disembuhkan oleh Pendekar Slebor namun
masih lemah berada. Terlihat bagaimana kaki kanan
perempuan berkerudung merah ini dihentakkan di
atas tanah, yang seketika amblas hingga lutut.
Tatkala ditarik kembali, tanah itu terbongkar ke
udara. Sosok Winarsih sudah tidak ada di tempatnya.
"Jahanam sial! Pemuda itu selain memiliki ilmu
yang tinggi juga berotak cerdik! Rupanya dia
pergunakan kesempatan ketika seluruh tanah
terangkat naik dan menghalangi pandangan, untuk
menyambar tubuh gadis itu dan menghilang seperti
ditelan bumi! Baik! Urusan telah terbuka! Pemuda
itu tak akan pernah lepas dari kematian yang akan
kuturunkan!!"
Terdiam perempuan ini dengan dada naik turun
dan sepasang mata tajam tak berkedip.
"Siapa "pun yang menghalangi keinginanku untuk
mendapatkan potongan pedang itu, akan mampus
di tanganku!! Hhh! Untuk sementara, aku akan
mencari Sangga Rantek untuk mendapatkan
potongan pedang lainnya yang berupa Pedang
Buntung!!"
Habis geramannya, Iblis Rambut Emas segera
berkelebat meninggalkan tempat yang telah porakporanda. Satu kejapan mata berikutnya, tempat itu
kembali diselimuti sepi.
*** 5 Pendekar Slebor yang membawa lari tubuh
Winarsih alias Gadis Kayangan menghentikan
kembali langkahnya di sebuah jalan setapak yang
dipenuhi ranggasan semak belukar. Sejenak anak
muda tampan yang memiliki sepasang alis hitam
legam dan menukik laksana kepakan sayap elang
ini, palingkan kepala ke belakang. Tatkala tak
dilihatnya sosok Iblis Rambut Emas, dia segera hela
napas panjang, agak sedikit lega.
"Monyet buduk! Kenapa aku selalu ketiban sial
seperti ini"! Rasanya, aku tak pernah bisa tenang!
Selalu saja ada urusan yang bikin kepalaku pusing!
Urusan potongan pedang yang tentunya bukanlah
urusan ringan kini telah mengembang! Dan lagi...
kenapa Gadis Kayangan mengatakan kalau potongan pedang itu ada padaku" Sangga Rantek
dan Iblis Rambut Emas... dua orang yang kuketahui
menginginkan potongan pedang itu. Mungkin...
masih ada lainnya lagi yang terus memburu
potongan pedang itu."
Kembali anak muda ini terdiam sambil garukgaruk kepalanya. Lalu berkata lagi, "Ya... sial atau
tidak sial... aku akan terus menuntaskan urusan
yang bikin bingung ini. Tetapi dalam hidup...
memang selalu ada kesialan atau ketidaksialan.
Tergantung bagaimana cara kita menerimanya saja.
Mungkin yang kurasakan ini, karena aku sedang
jengkel memikirkan urusan yang benar-benar belum
dapat kupahami seluruhnya. Bila aku sudah
mengerti, tentunya tak kurasakan seperti itu. Ah,
masa bodoh! Kayak orang pemikir saja! Biar
bagaimanapun juga, akan kutuntaskan semua
masalah ini! Sebaiknya, aku mencari makan dulu
ketimbang kepalaku seperti mau pecah...."
Memutuskan demikian, Pendekar Slebor meletakkan kembali sosok Gadis Kayangan di balik
ranggasan semak belukar. Diperiksanya sesaat
tubuh gadis itu.
"Hmmm... napasnya semakin normal dan keadaannya semakin membaik. Tetapi seharusnya
dia sudah siuman, mungkin karena tenaganya
terlalu banyak terkuras saat menghadapi Sangga
Rantek. Cari makan dulu, ah! Tempat ini kurasa
cukup aman untuk sementara."
Setelah kembali perhatikan si gadis sejenak,
Pendekar Slebor pun segera berkelebat untuk
mencari buah-buahan di sekitar sana. Dan dia
beruntung karena mendapatkan buah manggis liar.
Hanya dengan pergunakan dua buah kerikil yang
dilemparkan, sepuluh buah manggis hutan didapatnya. Dimakannya dulu dua buah sebagai pengganjal
perut. Kejap kemudian dia kembali ke tempat
semula. Namun begitu masuk ke balik ranggasan semak di
mana tubuh Winarsih diletakkan, anak muda ini
terbeliak dengan kepala tegak. Karena sosok
Winarsih tak ada di tempatnya!
"Celaka! Apa yang terjadi?" desisnya dengan
kening dikernyitkan. Segera dia melompat keluar
dari ranggasan semak itu tanpa hiraukan lagi
manggis-manggis
yang buru dipetiknya berhamburan. Di kelilinginya tempat itu dengan
membuka pandangan dan pendengarannya lebih
Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebar. Andika tak berani memutuskan untuk berteriak,
karena khawatir orang-orang sesat semacam Sangga
Rantek dan Iblis Rambut Emas telah tiba di tempat
itu. Karena tak menemukan jejak Winarsih, Andika
kembali ke tempat semula. Diperhatikan tempat itu
dengan seksama.
"Tak ada tanda-tanda telah terjadi pertarungan.
Tempat ini masih utuh seperti kutinggalkan semula.
Apakah ada seseorang yang mengetahui tempat
Winarsih lalu membawanya" Atau... gadis itu
sebenarnya telah siuman dan karena mendengar
seseorang yang mendekatinya dia memutuskan
untuk melarikan diri" Ah, kepalaku jadi makin
pusing! Urusan potongan pedang itu saja belum
begitu jelas kendati aku dapat menduga bila
disatukan dengan potongan pedang yang sebelumnya dimiliki Pemimpin Agung dan sekarang
berada di tangan Sangga Rantek, maka akan
terbentuk satu rangkaian gambar dari titik-titik yang
ada. Dan tentunya gambar-gambar itu, rangkaian
petunjuk-petunjuk menuju sebuah tempat. Pantas
harus disatukan. Tetapi ada apa di tempat itu" Apa
yang dicari" Benar-benar kutu monyet!"
Mendumal sendiri anak muda ini dengan hati
agak jengkel dan was-was memikirkan keadaan
Gadis Kayangan.
"Huh! Kenapa sih dunia ini tak pernah tenang dari
orang-orang sesat dan serakah" Bila saja dalam
sehari seluruh dunia tak dijamah oleh orang-orang
seperti itu, alangkah enaknya. Namun sudah tentu
tak mungkin"
Kembali anak muda urakan ini hentikan
ucapannya. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Nampak pula kalau dia tengah
berpikir. "Pesanggrahan Bayu Api... ya, ya... tempat itulah
yang ditanyakan Gadis Kayangan sebelumnya. Aku
belum tahu ada apa di sana. Barangkali saja bila aku
ke tempat itu, akan membawaku pada persoalan
yang lebih jelas lagi. Atau... kadal kudis!! Kenapa
aku jadi mikir terus" Lebih baik segera cabut oh!"
Memutuskan demikian, Pendekar Slebor segera
berkelebat ke arah timur. Namun baru saja lima
langkah dia bergerak, mendadak terdengar suara
cukup keras, "Berhenti!!"
Saat itu pula anak muda urakan ini hentikan
langkahnya. Saat dipalingkan tubuh ke belakang,
dilihatnya dua sosok tubuh berpakaian kuningkuning telah berdiri sejarak dua tombak dari
hadapannya. *** "Serahkan potongan pedang itu kepada kami, bila
kau masih ingin hidup lebih lama, Pendekar
Slebor!!" membentak lelaki yang bertubuh tinggi
kurus. Sepasang matanya agak menjorok ke dalam
dan bersinar penuh kemarahan. Usianya kira-kira
lima puluh tahun, begitu pula dengan lelaki kurus
lainnya yang berdiri di sebelah kanannya.
Andika tak segera membuka mulut. Sambil balas
memandang keduanya secara bergantian, anak
muda ini diam-diam membatin, "Lagi-lagi potongan
pedang.... Benar-benar jarum jatuh langsung
terdengar di rimba persilatan ini! Berita tentang aku
yang dikatakan memiliki potongan pedang itu
rupanya sudah terdengar ke mana-mana, termasuk
ke telinga kedua orang ini. Tentunya ini kerjaan Iblis
Rambut Emas atau Sangga Rantek! Kadal Buntung!"
Karena tak mendapati sahutan, lelaki yang
satunya lagi, berseru keras, "Jangan membuangbuang waktu Dua Manusia Goa Setan!!"
Mendengar ucapan itu. Andika langsung nyengir
kendati hatinya masih diliputi tanya.
"Wah! Tidak usah kalian beri pengumuman
seperti itu aku juga sudah bisa menduga! Malah
seharusnya, melihat dari tampang-tampang kalian,
seharusnya kalian berjuluk Dua Tikus Iblis Dari
Selokan Bau!!"
Mengkelap wajah Dua Manusia Goa Setan
mendengar selorohan Pendekar Slebor. Julukan Dua
Manusia Goa Setan cukup angker di daerah selatan.
Bahkan boleh dikatakan, merekalah yang merajai
rimba persilatan di daerah selatan. Dan mendengar
ucapan yang menyakitkan tadi, sudah tentu
kemarahan semakin melimpah di hati masingmasing orang. "Keparaaaatthh!!" membentak yang pertama tadi
bersuara. Dia bernama Ki Pasu Suruan. "Kami tahu
siapa kau adanya! Dan sudah tentu akan menjadi
kebanggaan tersendiri bila berhasil membunuhmu,
Pendekar Slebor!! Hanya saja... kau masih dapat
hidup bila menyerahkan potongan pedang itu
kepada kami!"
"Betul itu! Aku juga akan bangga bila bisa
menjitak kepala kalian yang benjol!! Hanya saja...
kalian masih akan memiliki kepala yang tidak benjol
bila kalian menyerahkan potongan... eh, potongan
apa ya?" Makin mengkelap wajah keduanya. Dan tanpa
diperintah lagi, masing-masing orang itu segera
salingpan-dang satu sama lain. Lelaki yang berbicara
kedua tadi, yang bernama Ki Pancen Dadap berkata,
sengaja dikeraskan, "Kakang Pasu! Apakah tidak
sebaiknya kita cincang manusia konyol itu!!"
"Betul! Kita kerat satu persatu dagingnya, lalu kita
lemparkan pada anjing-anjing liar!" sahut Ki Pasu
Suruan dengan suara keras pula.
Andika yang tahu kalau kedua orang itu mencoba
membuatnya keder. cuma tertawa sambil garukgaruk kepalanya.
"Ih! Kalian lucu, deh! Masa aku yang tampan ini
akan kalian umpankan pada anjing-anjing liar!
Seharusnya kalian yang sudah tinggal daging
pembungkus tulang yang diberikan pada anjinganjing geladak!'"
Serentak masing-masing orang arahkan pandangan kembali ke depan. Lelaki yang di
lehernya menggantung kalung dan bermatakan
tengkorak, berseru dingin, "Aku Ki Pancen Dadap!
Tak akan pernah tenang bila belum membunuhmu,
Pendekar Slebor!"
E dasar tengik, Andika justru menyahut, "Aku
Pendekar Slebor! Tak akan pernah bisa makan enak
bila masih melihat tulang-tulang yang berserakan!!"
Mengkelap wajah Ki Pancen Dadap. Tanpa buang
waktu lagi, lelaki ini sudah menerjang dengan
pukulan lurus ke depan. Sekali rasa saja, Andika
yakin kalau lawan mempergunakan setengah dari
tenaga dalamnya.
Dan anak muda ini sendiri pun tak mau bertindak
ayal. Karena dia masih mencemaskan keadaan
Winarsih. Apalagi saat ini Sangga Rantek dan Iblis
Rambut Emas telah keluar dan tentunya akan
memburu gadis itu. Namun yang sedikit menjengkelkan Andika, karena dia yang jadi
sasaran. Begitu lawan menerjang ke depan, anak muda ini
segera hempos tubuh setelah kaki kanannya
dijejakkan dan seolah dijadikan sebagian tumpuan.
Langsung terdengar suara salakan petir tatkala
tangan kanannya diayunkan.
Terkesiap sejenak Ki Pancen Dadap begitu
merasakan satu tenaga yang kuat menerjang ke
arahnya. Namun lelaki berkalung tengkorak ini tak
mau urungkan niat atau tarik pulang serangannya.
Justru dia terus menerjang ke depan.
Desss!! Satu bentrokan keras terjadi dan bersamaan
dengan itu masing-masing orang surut tiga tindak
ke belakang. Kalau tadi Ki Pancen Dadap terkejut,
kali ini dia terbahak-bahak karena tak merasakan
sakit sedikit pun pada tangan kanannya. Lebih kuat
tawanya tatkala melihat Pendekar Slebor sedang
meniup-niup tangannya yang membiru.
"Tadi sudah kuberi keringanan untuk tidak
membunuhmu bila kau menyerahkan potongan
pedang itu! Tetapi kau terlalu keras kepala,
Pendekar Slebor!"
"Masa iya sih kepalaku lembek! Memangnya
tape!" sungut Andika ngotot.
Ki Pasu Suruan yang sekarang melipat kedua
tangannya di depan dada sudah berkata, "Rasanya.,
tak perlu aku turun tangan untuk menghajar
pemuda keparat itu! Adi Pancen Dadap! Bunuh dia
dan ambil potongan pedangnya!!"
Tanpa menyahut atau anggukkan kepala, Ki
Pancen Dadap sudah menerjang kembali. Kali ini
serangannya lebih ganas. Bahkan saat dilepaskan
jotosan kanan kirinya, terasa ada hawa panas yang
cukup menyengat keluar.
Di tempatnya Andika mendumal dalam hati,
"Kutu monyet! Benar-benar manusia-manusia tak
tahu diuntung! Aku tadi sengaja tidak menyerang
penuh! Tetapi manusia celaka ini justru bertambah
pongah! Hhh! Biar kuberi pelajaran agar urusan
cepat selesai!"
Memutuskan demikian, lagi-lagi tanpa bermaksud
menghindari serangan salah seorang lelaki kurus
berbaju kuning ini. Pendekar Slebor sudah melesat
ke depan. Tubuhnya sedikit dimiringkan begitu
jotosan Ki Pancen Dadap mengarah pada wajahnya.
Bersamaan dengan itu, tangan kanannya langsung
menjotos ke arah lambung.
Memekik tertahan Ki Pancen Dadap mendapati
gerakan yang begitu cepat diperlihatkan Pendekar
Slebor. Cepat dia tekuk sikunya
Desss!! Menyusul tangan kirinya diputar ke samping, lalu
digerakkan ke depan dengan cara menyentak.
Bila saja Andika tidak merunduk, tak ayal lagi
kepalanya akan pecah.
Ya dasar urakan, padahal tidak kena dia justru
menjerit-jerit sambil pegangi kepalanya dengan
kedua tangannya.
"Wadaawouuu! Waadouuuuu!! Ampouuunnnn!"
Sudah tentu Ki Pancen Dadap terkejut melihatnya.
Dan dia meradang gusar menyadari kalau sedang
dipermainkan. Sementara itu, Ki Pasu Suruan sudah berseru,
"Mengapa kau masih berlama-lama, bah"! Lepaskan
pukulan 'Angin Seribu Topan'!!"
Bersamaan seruan itu terdengar. Andika yang
sedang bersikap tengik langsung turunkan kedua
tangannya dari kepala dan tertawa-tawa sendiri.
"Kalau kau punya pukulan 'Angin Seribu Topan',
aku juga punya pukulan 'Angin Dari Bawah Perut'!"
"Bunuh dia!!" menggeram suara Ki Pasu Suruan.
Di tempatnya, Ki Pancen Dadap langsung putar
kedua tangannya ke belakang, lalu melewati kedua
pinggangnya tangan kanan kirinya disatukan ke
depan dada. Sejurus kemudian terlihat kedua
tangannya yang merangkap itu keluarkan cahaya
biru. "Kali ini... kau akan mampus, Pendekar Slebor!!"
Habis bentakannya, lelaki itu segera dorong
tangan kanan kirinya. Serta-merta menghampar
angin besar yang luar biasa dahsyatnya, menyeret
tanah dan ranggasan semak belukar.
Andika sendiri melengak melihat betapa dahsyat
gelombang angin yang keluar dan mengarah
padanya. Dari jarak sekitar lima langkah saja, dapat
dirasakan kalau tubuhnya agak bergetar terkena
dorongan angin mengerikan.
"Celaka sepuluh seperempat!" desisnya dan
langsung disambarnya kain bercorak catur yang
melilit pada lehernya. Menyusul dikibaskannya
dengan cepat. Kontan menderu suara gemuruh disertai suara
berdengung laksana ribuan tawon meraja sebuah
desa. Benturan dahsyat pun tak dapat dielakkan lagi
Blaaamm! Blaammm!!
Tempat itu seketika berguncang hebat. Tanah
hampir sejarak dua tombak muncrat ke udara
setelah terjadi letupan laksana diinjak kaki raksasa.
Cukup lama tanah itu sirap kembali ke tanah. Dan
Pendekar Slebor 64 Pedang Buntung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang terlihat kemudian, sosok Pendekar Slebor
terhuyung ke belakang dengan tangan kanan
bergetar. Dari hidungnya mengalir darah segar. Di
lain pihak, Ki Pancen Dadap sudah ambruk di atas
tanah. Napas lelaki berkalung tengkorak itu naik
turun dengan cepat. Kedua matanya tidak terpejam,
tetapi terbeliak dengan pancaran mata kosong.
Kedua tangannya nampak membiru.
Berteriak tertahan Ki Pasu Suruan melihat nasib
Ki Pancen Dadap. Dia segera memburu dan berseru,
"Adi! Adi Pancen! Bagaimana keadaanmu"!"
Lelaki berkalung tengkorak itu tak menjawab.
Bahkan tatapannya semakin lama semakin kosong.
Darah hitam mendadak mengalir dari hidung dan
mulutnya. Bertambah cemas dan tak menyangka kalau
Pendekar Slebor memiliki kesaktian luar biasa, Ki
Pasu Suruan berseru-seru mencoba menyadarkan Ki
Pancen Dadap. Dan lambat laun disadarinya kalau napas yang
tadi terengah-engah itu semakin lama semakin
melemah. hingga akhirnya lenyap sama sekali.
"Panceeeennnn!!" serunya keras sambil mendekap
Ki Pancen Dadap yang telah tewas.
Lalu dengan kegusaran tinggi, lelaki ini palingkan
kepalanya ke kanan. Dan teriakannya semakin
mengguntur tatkala tidak lagi melihat sosok
Pendekar Slebor di tempatnya.
"Jahanam terkutuk!! Kubunuh kau!! Kubunuh
kau!!" serunya terus menerus dengan wajah
memerah dipenuhi dendam.
*** 6 Kita tinggalkan dulu perginya Pendekar Slebor
dan apa yang akan dilakukan salah seorang Dua
Manusia Goa Setan. Kita ikuti sekarang ke mana
perginya Winar-sih alias Gadis Kayangan.
Tatkala Andika membawanya menjauh dari Iblis
Rambut Emas, sebenarnya gadis berkepang dua itu
sudah siuman. Namun dia mencoba untuk tetap
berlagak pingsan. Kendati dia menduga kalau
pemuda berbaju hijau pupus telah menyelamatkannya dari Sangga Rantek, namun
Winarsih masih belum mempercayai pemuda itu
sepenuhnya. Karena, dalam suasana rimba persilatan yang
bertambah kacau ini sangat sulit menentukan mana
lawan dan kawan. Tetapi bila saja Winarsih tidak
dalam keadaan pingsan saat Andika bertarung
dengan Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas,
tentunya dia dapat berpikir jernih untuk mengetahui
siapa pemuda urakan yang sebenarnya baik hati itu.
Begitu didengarnya Andika hendak mencari
makanan, winarsih pun memutuskan untuk meninggalkan pemuda itu. Makanya setelah Andika
meninggalkan tempat itu, Winarsih segera bangkit
dan meraba pinggangnya. Dia menarik napas lega
tatkala dirasakan Pedang Buntung yang dibungkus
kain putih masih terselip di pinggangnya. Dan dia
makin lega setelah membuktikan, benda yang
dipegangnya itu memang potongan pedang yang
diberikan gurunya tiga bulan lalu. Sejenak
dipulihkan tenaganya dulu sebelum berkelebat ke
arah timur. Dan sekarang gadis ini terus berlari tanpa
bermaksud untuk berhenti. Saat berlari dia
membatin, "Sangga Rantek... ah, manusia sesat itu
telah berhasil menemukanku. Tentunya sebelum dia
membunuh Guru, dia telah menyelidikinya cukup
lama. Dan dia tahu kalau aku adalah murid dari
Pemimpin Agung. Bila mengikuti kata hatiku, sudah
pasti aku akan melibatkan diri dalam pertarungan
yang akhirnya membuat Guru tewas. Potongan
pedang buntung lainnya kini berupa pedang
buntung berada pada Sangga Rantek. Bila saja tiga
bulan lalu Guru tidak memberikan potongan pedang
lainnya kepadaku, sudah tentu keduanya akan
dimiliki Sangga Rantek. Dan berarti, lelaki jahanam
itu akan mendapatkan petunjuk yang jelas dari
rangkaian titik-titik pada kedua potongan pedang
bila disatukan...."
Terus gadis iniberlari cepat, melewati jalan
setapak, ranggasan semak belukar, akar yang
melintang dan tak berhenti di persimpangan.
Kembali dia membatin, "Sayangnya, Guru tak
pernah menceritakan tentang rangkaian titik yang
tergambar pada masing-masing potongan pedang.
Bila kedua potongan pedang itu disatukan, berarti
lengkaplah petunjuk-petunjuk yang ada. Bahkan
Guru tak pernah menceritakan ada apa sebenarnya
pada tempat yang dituju pada kedua pedang
buntung itu. Bukan hanya itu saja, Guru juga t:dak
pernah mengatakan bagaimana asal mulanya
pedang yang telah terpotong menjadi dua itu berada
padanya. Ah, semuanya ini sungguh membingungkan. Guru hanya sempat berpesan, bila
terjadi sesuatu yang tak diinginkan, aku harus
menjumpai Penembahan Agung di Pesanggrahan
Bayu Api. Yang aku tahu, kalau Panembahan Agung
adalah kakak seperguruan Guru, tetapi aku tak
pernah berjumpa bahkan tak tahu di mana
Pesanggrahan Bayu Api berada. Oh, kuatkah
kujalani semua ini?"
Perasaan gadis yang masih berduka atas tewasnya
gurunya itu, kembali teraduk-aduk. Dalam suasana
sedih, kalut, marah dan dendam seperti itu, biasanya
seorang gadis akan melampiaskannya melalui air
mata. Namun Winarsihyang sekitar tiga belas tahun
lalu diambil Pemimpin Agung tatkala dusun di
mana orangtua Winarsih tinggal diporak- porandakan gerombolan itu, adalah gadis yang
memiliki hati tegar.
Dia berusaha untuk tidak melampiaskan semuanya ini melalui air mata. Justru hatinya
semakin bertambah penasaran untuk menyelesaikan
semua urusan ini.
Bahkan ketika Pemimpin Agung menceritakan
siapa Winarsih, dia tetap tegar. Kendati malam
harinya dia sesenggukan di kamar mengingat kedua
orangluanya tewas dibunuh secara keji oleh para
gerombolan. Bahkan seluruh penghuni dusunnya
telah tewas pula.
Dan Winarsih merasa masih beruntung karena dia
berhasil diselamatkan oleh Pemimpin Agung yang
selama tiga kali penanakan nasi berhasil menumpas
seluruh anggota gerombolan.
Gadis yang tegar ini menarik napas pendek sambil
terus berlari. "Pesanggrahan Bayu Api... Pesanggrahan Bayu
Jodoh Rajawali 31 Joko Sableng Neraka Pulau Biru Dendam Empu Bharada 40
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama