Ceritasilat Novel Online

Permainan Tiga Dewa 1

Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa Bagian 1


Permainan Tiga Dewa
Oleh Pijar El Cetakan Pertama
Penerbit Cintamedia. Jakarta
Cover oleh Cici
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pijar El Serial Pendekar Slebor
dalam episode :
Permainan Tiga Dewa
128 hal 1 Bumi terus berputar pada sumbunya tanpa pernah merasa jenuh. Matahari
masih terus membakar diri dalam garis edarnya sendiri. Selama itu, perubahan
pasti ikut berjalan. Di sebuah dataran luas tempat tumbuhnya ilalang jangkung, satu pertunjukan
mengagumkan sedang berlangsung. Seseorang tampak sedang men celat-celat
ringan dari pucuk ilalang yang satu, ke pucuk yang lain. Gerakannya lebih ringan
daripada seekor lebah atau lalat sekali pun. Malah lebih gesit daripada seekor
rubah muda. Sesekali sosok itu melenting ringan ke udara, mengapung beberapa saat bagai
sedang mengendarai angin, lalu hinggap kembali di salah satu pucuk ilalang.
Terkadang, sepasang telapak tangannya dikibaskan hingga menimbulkan tiupan
angin kencang melibas setiap pucuk ilalang. Hebatnya potongan pada setiap ujung
ilalang memiliki ukuran yang sama. Seakan, baru saja ditebas sebuah arit
raksasa. Orang yang melenting-lenting lebih ringan di banding selembar bulu itu berusia
cukup muda. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya tak sedap dipandang,
karena nyaris mirip beruk. Berkumis hitam tipis, beralis lebat dan tegas, serta
bermata agak sayu. Sewaktu membuat gerakan-gerakan yang hanya mampu
dilakukan para tokoh kelas atas itu, pakai annya yang berwarna hitam pekat
berkibar diusik angin.
Meski dengan rambut dikepang klimis, lelaki itu tetap menebar kengerian bagi
siapa pun yang memandangnya!
Begitu kaki sosok berpakaian hitam ini mendarat di ujung ilalang, matanya
menatap ke depan, ke arah sosok lain yang baru saja dilewatinya. Rupanya, dia
tadi tengah berusaha mengejar seseorang dan ternyata berhasil.
"Siapa kau, Anak Muda Sialan"!" bentak sosok yang dikejar,
"Jangan tanya siapa aku! Yang jelas aku ingin menantangmu. Karena, kau
sudah memiliki nama besar di dunia persilatan. Dengan mengalahkanmu, dapat
langsung meluncur ke puncak ketenaran para jago persilatan!" teriak pemuda
berwajah mirip beruk.
"Sembrono! Kau terlalu sembrono bila hendak menjatuhkanku, Anak Muda!
Kentut basi sialan!" sambut lelaki setengah baya yang dikejar.
Penampilan laki-laki ini tidak sedap dipandang. Raut wajahnya lebih tua dari
usia sebenarnya. Mungkin karena selalu menghadapi hidup yang berat ini dengan
segala kemangkelan hati. Rambutnya yang panjang dipenuhi uban juga dikepang.
Kalau rambut lelaki berpakaian hitam pekat ditata begitu rapi dan resik, orang
ini malah kebalikannya. Kotor, tak teratur, kemerahan, dan bau tujuh macam
bangkai. Wajahnya kurus, seperti tubuhnya. Dengan wajah yang tirus hidungnya
pun jadi tampak melancip, serta matanya jadi terlihat cekung dan besar tanpa
alis. Yang aneh dari lelaki gembel itu adalah, gerutuan panjang lebar yang lancar
keluar dari mulutnya Di samping itu, tangannya selalu menepuk bagian bagian
pakaiannya yang sudah begitu dekil bertambal-sulam. Seakan dia tak sudi
membiarkan sebutir debu pun singgah.
Di dunia persilatan, orang menjulukinya sebagai Penggerutu Berkepang. Tokoh
yang mendapat nama besar tak hanya dari kesaktiannya, tapi juga karena gerutuan
yang selalu saja meluncur keluar (Untuk mengetahui lebih jelas, baca kisah
Pendekar Slebor dalam episode : "Pengadilan Perut Bumi").
"Tidak. Aku tidak pernah sembrono dalam hidup. Kalau sekarang menantangmu, berarti aku telah memperhitungkan secara masak segala
sesuatunya!" kata si lelaki berpakaian hitam-hitam.
Penggerutu Berkepang menyeringai.
"Kau salah menantang seseorang barangkali...," ucap Penggerutu Berkepang tak
seperti bergurau. Tidak juga seperti menggeram.
Pemuda berpakaian hitam - hitam tertawa.
"Apakah salah kalau kukatakan kau adalah Ketua Partai Pengemis Timur?"
balas pemuda itu.
"Ya, tidak salah....Memang aku orangnya, Tapi, sialan sekali...,", lanjut
Penggerutu Berkepang. "Masa kau mau menantang orang yang lebih tua. Apa itu namanya bukan kurang ajar" Kurang ajar... kurang ajar...!"
"Kau sudah lupa hukum rimba persilatan, Penggerutu Berkepang" Siapa yang
kuat, dia yang berhak berkuasa. Segala tatakrama sama sekali tidak diperlukan."
"Kau kira dunia ini punya bapak moyangmu"! Mau seenaknya berbuat sesuka
hati.... Huh-hah-huh!"
Penggerutu Berkepang yang berdiri di dekat pinggiran sungai kecil yang
membelah padang, mulai mencak-mencak tak karuan.
Sebentar kemudian dia tenang kembali, meski mulutnya tetap mengulur 'jampijampi' khasnya.
"Tapi, kalau kau memang bersikeras hendak menantangku, yah... boleh jugalah.
Hitung-hitung, untuk melemaskan otot-ototku," kata Penggerutu Berkepang
kemudian. Sebenarnya, hal itu termasuk kejadian langka. Seumur hidup, Penggerutu
Berkepang belum pernah mau mengalah. Hitam harus hitam. Putih harus putih.
Sifat keras kepalanya minta ampun. Kalau sekarang bisa berubah pikiran begitu
cepat, bisa jadi karena baru salah makan.
"Tapi aku menginginkan diadakan persyaratan tanding," aju Penggerutu
Berkepang kemudian.
Lelaki berpakaian hitam pekat itu tersenyum. Pada pucuk selembar ilalang dia
bersila santai, menunggu ucapan lawan bicaranya kembali.
"Dalam pertandingan nanti, kita akan membuat tiga permainan. Jika dua
permainan dimenangkan salah seorang, maka dia akan menjadi pemenangnya.
Artinya, untuk menang, dibutuhkan kemenangan dalam dua permainan sekaligus.
Kau mengerti" Kenapa duduk terdiam seperti ayam pesakitan begitu?"
"Ya! Aku mengerti sekali!" jawab lelaki berpakaian hitam-hitam mantap. Tapi
sebelum dimulai, aku hendak mengajukan satu aturan permainan lagi."
"Ah! banyak mulut kau! Apa"!"
"Siapa pun yang kalah di antara kita, dia harus mati" landas si lelaki
berpakaian hitam pekat, menyentak hati Penggerutu Berkepang.
"Kuduk... Rupanya kau benar-benar ingin cari gara-gara denganku, ya" Eee,
sudah berani-berani, ya?" S emp rot Penggerutu Berkepang sewot. "Sebutkan
n a ma mu!! Biar aku laporkan kau pada guru kampretmu!"
Lelaki berpakaian hitam itu tertawa lepas dan nyaring mendengar ucapan
terakhir Pengerutu Berkepang. Entah apa yang dianggapnya lucu.
"Kau ingin tahu aku" kau boleh menyebutku Dewa Topan!" ujar lelaki
berpakaian hitam, sarat keangkuhan.
"Dewa Topan,,,?"bisik Penggerutu Berkepang.
Rasanya julukan itu tak asing lagi bagi Penggerutu Berkepang. tapi, kapan dan
di mana pernah mendengarnya" Sampai akhirnya, sepasang bola matanya berhenti
bergerak. Kelopaknya membuka tanpa kedip. Benak lelaki setengah baya itu seperti
baru dirasuki keterperanjatan luar biasa yang tiba-tiba menerobos.
"Kau murid Bayuslaksa, si Dewa Angin dari Selatan itu"!" tanya Penggerutu
Berkepang. Lelaki yang berada sekitar tujuh tombak dari Penggerutu Berkepang kembali
tertawa nyaring melengking. Bahkan terdengar angkuh.
"Kenapa, Orang Tua" Kau terkejut mendengar nama besar itu?"
"Sialan benar.... Tidak bisa itu! Dewa Angin dari Selatan sudah mampus lebih
dari empat puluh tahun yang lalu, sebelum kau sendiri lahir. Masa, tahu-tahu
punya murid"! Huh! Tidak lucu... tidak lucu!" kilah Penggerutu Berkepang sengit.
"Aku sendiri waktu itu menyaksikan dengan mata kakiku, eh! Mata kepalaku
sendiri! Si Dewa dari Selatan sudah mampus!"
"Kau terlalu banyak bicara, Orang Tua. Apakah kau sengaja mengulur-ulur
waktu karena takut bertanding denganku?" leceh si lelaki muda yang mengaku
berjuluk Dewa Topan.
Penggerutu Berkepang mendengus. Cuping hidungnya yang berwarna merah
mengembang-kempis tanda kegusaran.
"Kau mau mulai"! Ayo kita mulai!" sentak Penggerutu Berkepang.
Tangan lelaki setengah baya itu lalu menjumput ujung-ujung ilalang.
Diangkatnya potongan pucuk pucuk ilalang ladi ke muka.
"Ini permainan pertama. Sejumput ilalang ini kutebarkan ke udara. Kalau ada
salah satu di antara kita yang berhasil lebih dahulu membelah seluruh lembar
ilalang ini menjadi tiga bagian yang sama, maka akan memenangkan permainan
pertama...."
Tanpa banyak tambahan kata lagi, tangan Pengerutu Berkepang bergerak amat
cepat. Sssst! Wrrr! Potongan pucuk ilalang pun bertebaran di udara. Jumlahna terlampau banyak
untuk dihitung, lalu bagaimana pula mereka dapat memotong menjadi tiga bagian
yang sama" Pekerjaan yang tampaknya mustahil bagi siapa pun. Namun tidak bagi
orang-o rang yang memiliki kesaktian yang berada pada papan puncak dunia
persilatan. Dan tampaknya, Penggerutu berkepang adalah salah satu tokoh itu. Buktinya,
dengan sekali gerakan singkat yang nyaris tak dapat diikuti mata, tangannya
menyapu udara. Begitu tangannya kembali pada keadaan semula! seluruh lembar
ilalang yang ditebarnya sudah terbelah menjadi tiga sebelum ada satu pun sempat
menyentuh tanahl
"Lihatlah, Dewa Kentut! Kau tidak bisa menandingiku, bukan" Bahkan untuk
memotong selembar ilalang pun, kau tak sanggup...," ledek Penggerutu Berkepang,
merasa yakin kalau telah berhasil memenangkan permainan pertama.
"Jangan sesumbar dulu," ejek Dewa Topan. Apa kau yakin kau telah
memenangkan permainan ini" Lebih baik periksa kembali seluruh lembaran daun
ilalang tadi...."
Sedikit pun tak terlihat perubahan raut wajah Dewa Topan mendapati ejekan
pedas Penggerutu Berkepang.
"E-eh! Sudah kalah, mau berlagak lagi...," sungut Penggerutu Berkepang.
"Kenapa kau tak periksa?"
Penasaran dengan ucapan lelaki muda berjuluk Dewa Topan, Penggerutu
Berkepang mau juga melirik lembaran-lembaran daun ilalang di tanah.
Bukan main terperanjatnya orang tua setengah baya itu. Ternyata setiap
lembar ilalang telah terpotong memanjang menjadi tiga bagian yang sama rata!
Kalau tadi Penggerutu Berkepang sanggup membelah melebar, Dewa Topan justru membelah dalam garis memanjang. Tentu saja itu jauh lebih sulit, karena lebar daun
ilalang terlalu kecil untuk dipotong menjadi tiga bagian yang sama di udara! Lalu.
bagaimana pula orang itu melakukannya" Sedangkan setahu Penggerutu
Berkepang, penantangnya tak membuat gerakan sama sekali.
"Ah! Sebenarnya itu tak terlalu hebat," ucap Penggerutu Berkepang, tak mau
mengakui kelebihan Dewa Topan meski sepasang matanya masih melotot takjub.
"Aku bahkan bisa membelahnya menjadi enam bagian memanjang!"
"Permainan pertama sudah kumenangkan, bukan?" selak Dewa Topan, tak
mau lebih lama mendengar ocehan Penggerutu Berkepang. "Bagaimana dengan
permainan kedua?"
Bibir Penggerutu Berkepang komat-kamit. Hargadirinya merasa sedang
dilecehkan mentah-mentah oleh seorang pemuda yang masih tergolong hijau di
dunia persilatan.
"Namun sebelum kita melanjutkan...," sambung Dewa Topan, seraya merogoh
sesuatu di balik bajunya "Ini...."
Dewa Topan melemparkan sebuntal kecil kantung kulit ular tepat di dekat kaki
Penggerutu Berkepang.
Sementara Penggerutu Berkepangg masih bersungut-sungut, membuat wajah
makin tambah jajek. Siapa peduli pada kantung butut atau kantung kentut sekali
pun! "Kau tak mau tanya apa isi kantung itu.'" usik Dewa Topan, memancing
keingintahuan Penggerutu Berkepang.
"Peduli tuyul!" bentak Pcnggcrutu Berkepang, sewot.
"Kantong itu berisi racun. Itu adalah taruhan kita. Siapa di antara kita yang
kalah dalam permainan ini, maka dia harus menelan racun di dalam kantong itu.
Bagaimana?"
"Aku tak bakal kalah!" sesumbar Penggerutu Berkepang.
"Aku tak tanyakan itu. Yang kutanya, apa kau setuju dengan usulku?" tukas
Dewa Topan, enteng.
Penggerutu Berkepang menimbang-nimbang sebentar. Ujung-ujung bibirnya
turun. Kalau diperhatikan, wajahnya lebih mirip orang yang tersiksa sakit perut
ketimbang sedang menimbang.
"Sesuka udelmu saja!" putus Penggerutu Berkepang.
"Baik..., kita mulai permainan kedua!"
*** 2 Hujan deras mengguyur bumi sore ini. Begitu lebatnya, seakan ditumpahkan
dengan semena-mena dari langit. Angkasa seperti dikurung awan gelap bergulunggulung. Sementara halilintar menyalak dari waktu ke waktu.
Sebentang sungai lebar yang membelah tanah jawa dwipa bagian barat tampak
menjadi kecoklatan. Tumpahan hujan telah menyapu lapisan tanah, lalu
menggiringnya ke sungai. Sementara permukaannya diserbu terus menerus oleh
butir-butir hujan yang demikian gencar.
Dalam cuaca tak bersahabat seperti itu, kebanyakan orang lebih suka
berselimut di pembaringan tempat kediaman masing-masing. Atau mungkin berselimut kain sarung, sambil menikmati kopi hangat dan singkong rebus.
Namun, lain lagi buat seorang yang bertudung bambu, berpakaian warna merah
buram. Seperti tidak pernah mengindahkan terjangan hujan menggila seperti itu,
kakinya terus melangkah tenang namun mantap. Setiap langkahnya begitu ringan.
Bahkan seperti menjejak di atas permukaan aliran air hujan yang masih telap
menggeliat liar.
Perawakan orang itu kekar terbungkus baju berlengan pendek yang
memperlihatkan otot-otot kenyal di sekujur tangannya. Pada selipan ikat pinggang
kainnya, terdapat sebuah senjata berbentuk tak lazim. Sebongkah batu berbenluk
gada pendek yang disambungkan rantai baja sepanjang lengan.
Orang berpakaian merah buram itu terus mengayun langkahnya, hingga
akhirnya tiba di tepi sungai. Di sana, ditemukan seorang yang tampaknya juga tak
menggubris kemurkaan alam. Dia adalah seorang lelaki jangkung kurus, berwajah
tirus. Rambutnya yang panjang tampak kuyup tersiram hujan. Bibirnya membiru.
Bukan karena hawa dingin, tapi memang demikian warnanya. Karena kurus,
matanya menjadi cekung. Usianya kira-kira tujuh puluhan.
Di atas rakit bambu yang sudah keropos, orang tua kurus itu berdiri.


Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangannya memegang sebilah bambu panjang yang digunakan untuk mengayun rakit. Apa yang hendak dilakukannya, tidak ada yang tahu.
Jika sudah tiba di bibir sungai yang satu, orang tua ini segera mengayun
kembali rakitnya ke tepi yang lain. Aliran sungai yang bergejolak seperti amukan
banteng, lak pernah menjadi halangan buatnya. Tanpa kesulitan sama sekali,
rakitnya meluncur menembus derasnya arus sungai. Mestinya, rakit bambu rapuh
itu sudah berentakan terhantam arus sungai. Atau terhanyut cepat menuju hulu.
Tapi, itu tak pernah terjadi!
Dalam cuaca yang bisa membuat kaku sendi dan otot-otot, si orang tua kurus
malah bertelanjang dada. Rasanya, tak mungkin dia ingin memamerkan dadanya
yang justru tak lebih dari tulang rusuk dibalut kulit keriput. Bagian bawah
tubuhnya hanya mengenakan bebatan kain kasar, seperti bahan karung.
"Hei, Orang Tua Jangkung!" panggil orang bertudung di tepi sungai, tak ramah.
Nada suara orang bertudung itu benar-benar menyakitkan telinga. Kerasnya
bahkan bisa menyela salakan guntur. Seorang tuli pun pasti bisa menangkap
tegurannya. Namun, tidak sama sekali bagi orang tua kurus di atas rakit itu. Dia
tetap asyik mendorong rakitnya dengan bambu di tangan.
Sewaktu ada gerakan halus arus sungai di belakangnya, tiba-tiba si orang tua
jangkung mengayunkan bambu ke arah itu.
Pyar! Begitu bambu diangkat ke permukaan, tahu-tahu seekor ular sungai besar
telah terhujam.
Dengan begitu, menjadi jelas bagi si orang bertudung kalau orang tua yang
dipanggilnya tidak tuli sama sekali. Kemampuan pendengarannya malah lebih hebat
daripada orang biasa. Terbukti, gerak halus ular di bawah arus dapat
ditangkapnya. Padahal suara deru arus sungai sudah sanggup menyamarkan derit rakitnya
sendiri. Belum lagi suara selaksa titik air hujan yang menimpa apa saja.
"Hey, Orang Tua Kurus! Jangan pura-pura tuli padaku!" panggil orang
bertudung sekali lagi.
"Kalau kau hendak menyebrang sungai, terus terang saja kukatakan aku tidak
melayani!" sahut si orang tua jangkung acuh sekali
"Aku tak pernah berkata kalau mau menyeberang!" balas si orang bertudung.
"Soal menyeberang, terlalu mudah bagiku. Bahkan mungkin aku tak membutuhkan
rakit buluk seperti milikmu itu!"
"Dan aku pun tak melayani sesumbar orang tengik macam kau!" terabas orang
tua jangkung di ujung kalimat lawan bicaranya yang masih berdiri di bibir
sungai. Matanya yang sudah dipulas warna keabu-abuan, sama sekali tidak ditujukan pada
si orang bertudung. Sebaliknya, tangannya malah sibuk menguliti kulit ular yang
amat kenyal seperti sedang mengupas kulit pisang.
"Berhentilah kau. Dan, jangan merasa menjadi tokoh besar yang disegani, Tua
Bangka Kurus!" maki orang bertudung, gusar.
"Kulitnya lumayan untuk kujadikan penutup kepala," gumam si orang tua di
atas rakit. Lagi-lagi orang tua itu tak mempedulikan lelaki bertudung di tepi sungai.
Sebentar kemudian, dia sudah tampak mengunyah daging ular mentah yang baru
saja dikulitinya.
"Aku bicara padamu, Pertapa Rakit!" seru si orang bertudung. Tampak sekali
kalau dia sudah cukup mengenal orang tua kurus yang ternyata berjuluk Pertapa
Rakit. "Aku tahu. Siapa yang bilang kau berbicara dengan kodok buduk di sungai itu?"
tukas Pertapa Rakit.
Pertapa Rakit adalah satu di antara tokoh tua sakti yang malang melintang di
dunia persilatan. Biar pun namanya sudah melambung tinggi, namun dia lebih suka
menyendiri di atas rakit bututnya. Ada yang menyatakan kalau dia sedang bertapa
untuk menambah kesaktian. Tak jarang, juga ada yang menyatakan kalau dia hanya
muak terhadap segala kerusuhan serta kepalsuan hidup.
"Aku ke sini hendak membunuhmu!" tegas orang bertudung tanpa tedeng alingaling. "Bicaramu enteng sekali, Anak Muda. Seakan-akan kau hendak membunuh
seekor nyamuk!" balas Pertapa Rakit. Mata tuanya ternyata mampu mengetahui
wajah orang di tepi sungai yang tersembunyi di balik bayangan tudung.
"Kau memang tak lebih daripada seekor nyamuk !"
"Nyamuk?"
"Ya! Binatang kecil memuakkan yang hanya mengusik hidup seseorang!"
"O-o! Sekarang aku bisa mulai menduga, siapa kau sebenarnya!" Pertapa Sakti
mengacung-acungkan jari ke arah lawan bicaranya. Bibirnya memperlihatkan
senyum tipis. "Apa hubunganmu dengan Dewa Halilintar yang kuntet itu"!"
"Jangan pernah menyebut guruku kuntet!" hardik anak muda yang usianya
sekitar tiga puluh.
"Jadi maksudmu, sekarang Dewa Halilintar tidak kuntet lagi?" leceh Pertapa
Rakit diserlai sebaris senyum tipis.
Geram bukan main pemuda bertudung yang berpakaian merah buram itu
menerima cemoohan yang langsung menginjak-injak nama besar gurunya, Dewa
Halilintar. Dari balik tudungnya, terdengar gemerutuk gerahamnya.
"Hey, Orang Muda. Katakan pada gurumu! Bukannya aku suka usil mengusik
hidupnya. Justru dia yang usil mengusik kebenaran hidup. Dia berbuat sekehendak
hati. tanpa peduli pada hak orang lain. Nah, itu baru yang namanya usil.... Usil
yang kelewatan. Jadi kalau aku dibilang tak lebih daripada nyamuk, barang kali gurumu
termasuk senopatinya nyamuk...."
"Tua bangka busuk!"
"Aku memang sudah dekat maut. Tapi terus-terang aku belum busuk. Lihatlahl
Biar kurus, aku tetap sehat. Sehat badan, sehat hati. Kau mau tahu orang-orang
yang masih hidup tapi sudah busuk" Sejenis gurumu itulah"
"Diam! Diam!"
Bentakan menggelegar yang sarat kegeraman dilampiaskan pemuda di tepi
sungai disertai bantingan tudungnya ke sungai. Sepertinya, lemparan tak lebih
dari cetusan kegeraman. Kenyataannya justru lebih dari itu. Dengan sengaja, tenaga
dalamnya disalurkan ke dalam tudung.
Maka, tatakala tudung itu menampar permukaan arus sungai....
Byarrr! Berpusat dari tempat jatuhnya tudung tadi, tercipratlah gelombang besar
tersibak setinggi manusia, jelas sekali terlihat Pertapa Rakit beserta rakitnya
tertelan sibakan raksasa air sungai. Namun, begitu arus kembali seperti semula, tak
terlihat bekas-bekas rakit tercabik. Juga tak ada tubuh Pertapa Rakit terapung. Sama
sekali tidak berbekas.
"Kau terlalu mengumbar nafsumu. Itu yang kukatakan, 'manusia hidup tapi
sudah busuk'," ucap pertapa aneh yang kini sudah pindah ke tepi sungai di
seberang. Lengkap dengan rakit dan kayuh bambunya!
Rupanya sebelum tudung tadi menyentuh arus sungai. Pertapa Rakit sudah bisa
membaca, ke arah mana maksud gerakan calon lawannya.
Ketika menyaksikan Pertapa Rakit masih segar bugar, pemuda di tepi seberang
sungai menyusulkan satu serangan yang tak kalah hebat daripada sebelumnya. Saat
itu juga tangan kanannya meloloskan batu berantainya dari ikatan pinggang.
Dengan gerak kilat, senjata ganjil itu diputar-putar di atas kepala. Ujung
rantainya sebagai sumbu putaran, sedangkan batu berbentuk gada pendek di ujung yang lain
sebagai bandulnya.
Seketika tercipta angin yang menderu keras, menerobos gencarnya suara angin
rebut dan gemuruh hujan dari putaran senjata lelaki muda itu. Amat bising
memekakkan. Wuk! Wuk! Wuk! Kekuatan deru yang terkandung dalam gerakan berputar senjata itu, merambah
ke segenap penjuru, mematahkan kekuatan suara-suara amukan alam yang sedang
berlangsung. Akibatnya, dedaunan pepohonan di sekitarnya menjadi cerai-berai
dari tempat semula. Batang-batang rerumputan bambu besar yang berada paling dekat
dengan tempat berdirinya pemuda berpakaian merah buram, makih menjadi hancur.
Seakan, ada godam-godam baja raksasa tak terlihat yang menumbuk.
Tempat berdiri Pertapa Rakit pun tak luput dari pengaruh deru putaran senjata
pemuda itu. Rerumputan di tempatnya berdiri, menjadi tercabut paksa, lalu
berhamburan menuju dirinya. Rambut basah lelaki tua yang semula kuyu, kini
malah tersibak ke belakang mengikuti arah terbangnya rerumputan.
Si Tua berjuluk Pertapa Rakit itu sendiri tak tampak kerepotan mendapat
serbuan gelombang dahsyat deru senjata bandul berantai ini. Sikapnya masih
tampak santai, berdiri di atas rakitnya. Padahal, rakit keropos itu mestinya
sudah menjadi lantak, seperti batang pepohonan bambu di tepian seberang.
Di lain sisi, putaran senjata pemuda itu makin lama makin menggila saja.
Setiap derap waktu, derunya bertambah dua kali lipat. Tentu saja kerusakan yang
ditimbulkannya pun makin parah.
Wuk! Wuk! Wuk! Sampai suatu ketika....
Slat! Cletar! Cletar...!
Bagai menyerap segenap kandungan petir, senjata lelaki muda itu
membersitkan berpuluh-puluh lidah halilintar!
Bagaimana itu bisa terjadi" Sesungguhnya, kejadian mengagumkan tadi bisa
terwujud kalau si pemilik senjata memiliki tingkat tenaga dalam sempurna, yang
hanya bisa disejajarkan dengan para datuk rimba persilatan. Lewat kesempurnaan
tenaga dalam, maka bandul balu berbentuk gada pendek yang terus berputar, akan
bergesekan hebat dengan udara. Makin cepat putaran terjadi, maka kian hebat
gesekannya. Pada batas tertentu, batu alam langka dari salah satu perut gunung
berap i itu aka n men g ha silk a n percikan a p i ra k sa sa ,b erb en tuk lid
a h -lid a h h a lilin ta r!
"Akulah Dewa Halilintar !" seru pemuda berpakaian merah buram,
memperkenalkan diri secara brutal."Ku ta n ta n g ka u, T ua Ba ng k a Kep a ra
t! S ela ma in i k a u men ja d i musuh g uruk u! K in i a k u b ertek a d a k a n
memb ua t mera n g k ak -ra ng ka k memoh on a mp un !"
Cle ta r! Cle ta r...!
Sebentuk lipatan tenaga dalam melalui senjatanya dilakukan pemuda yang
mengaku berjuluk Dewa Halilintar. Dengan begitu. tentu saja juluran lidah
halilintar dari senjatanya bertambah panjang. Bahkan menjulur mengancam sampai
menyeberangi lebar sungai. Di luar dugaan, percikan api raksasa itu bagai bisa
dikendalikan langsung oleh Dewa Halilintar. Bahkan mungkin bisa ditujukan pada
sasaran seekor cecak di pucuk pepohonan sekali pun!
Sekedip mata saja. lidah halilintar membersit menuju Pertapa Rakit di tepian
seberang. Sinarnya begitu menyilaukan, sanggup menerangi dalam sekejap suasana
di sekitarnya yang saat itu dirubung kegelapan mendung.
Pertapa Rakit tetap tenang, meski sambaran lidah halilintar mungkin lebih
cepat daripada kerdip kelopak matanya sendiri. Manakala lidah petir siap
menghujam, tangannya bergerak amat cepat. Dan batang bambu yang sebelumnya
digunakan sebagai kayuh, tiba-tiba menghadang laju sambaran lidah halilintar.
Slap! Sungguh mengagumkan! Lidah petir dari Dewa Halilintar bagai ditelan batang
bambu yang hanya sebesar genggaman tangan!
Belum lagi, Dewa Halilintar menyadari kalau serangannya telah dimentahkan....
"Nah, aku tak sudi mengurusi kebusukan orang macam kau! Selamat tinggal!"
Pertapa Rakit berseru enteng. Namun suara yang dihasilkannya lebih
menggelegar daripada deru putaran senjata Dewa Halilintar.
Begitu selesai dengan kalimai terakhirnya, si pertapa aneh itu menghilang
seperti tertelan bersama guyuran hujan dari langit. Demikian pula rakit dan
kayuh bambunya! Kini, tinggallah anak muda berpakaian merah huram yang berjuluk Dewa
Halilintar menikmati kegeramannya sendiri.
"Aku akan menjadi tokoh nomor satu dunia persilatan! Tidak seorang pun bisa
menghalangi Dewa Halilintar! Tidak juga kau, Tua Bangka Keparat!" sumpah Dewa
Halilintar beserta sehimpun lidah hali-lintar menerangi wajahnya yang buruk.
*** 3 "Permainan Dunia hanya permainan belaka
Manusia berpolah dalam seribu satu topeng di muka
Buana pun jadi panggung terbuka
Yang makin muak menanggung beban nista
Makin mengeluh dibebani angkara...
Senandung sarat makna, menghiasi udara pagi yang ramah. Untuk bisa dibilang
merdu, justru suara itu menusuk telinga. Terdengar berat berdebam, seperti bedug
rombeng. Asalnya dari pita suara seorang pemuda yang wajahnya bertolak belakang
dengan suara senandungnya.
Pemuda itu tampan, berwibawa laksana pangeran. Matanya tegas, memancarkan keteguhan hati dan kekerasan lekatnya. Sekaligus, memendam
kebeningan batin. Di atas matanya, membentang sepasang alis mirip kepak sayap
elang yang siap mengarungi angkasa raya.
Pakaian hijau pupus pemuda itu menggelepar-gelepar ketika ditepis angin
sejuk. Kalau wajahnya laksana keturunan priyayi istana, justru penampilannya
laksana pengurus kandang kuda! Rambutnya panjang sebahu, simpang-siur tak
pernah terawat. Pakaian yang dikenakan pun lusuh, selusuh kain bercorak catur
yang selalu setia tersampir di bahu kekarnya.
Dalam menyusuri jalan di pematang sawah, langkahnya tampak mantap.
Mencerminkan kemantapan dirinya dalam menjalani hidup yang dikatakan dalam
senandungnya sebagai 'permainan belaka'.
"Tuan! Tuan muda!"
Tiba-tiba terdengar panggilan seseorang di belakang pemuda itu, membuai
kepalanya menoleh ke belakang. Senandung terpenggal saat itu juga. Tampak
seorang warga desa setempat berlari-lari menuju arahnya. Wajah laki-laki
setengah baya bertubuh hitam dan bertelanjang dada itu tampak memancarkan
kekhawatiran. Entah khawatir pada hal apa, belum bisa diterka.
"Ada apa, Pak?" tanya pemuda tampan ini, ramah.
"Tuan muda orang persilatan?" tanya warga desa itu, begitu tiba di dekat
pemuda ini. Pemuda ini tak mengiyakan. Hanya kepalanya yang mengangguk kecil.
"Kalau begitu, bisakah Tuan menolongku?" terabas warga desa tadi tergesa, di
antara tarikan napasnya yang memburu.
"Apa yang bisa kubantu. Pak?" tanya pemuda ini. Dalam tolong-menolong,
hatinya sulit menolak.
"Ada seorang yang tampaknya dari golongan persilatan juga. Pagi buta tadi, aku
menemukannya sedang sekarat di pinggir pematang. Aku tidak tahu, apa yang
harus kuperbuat, Tuan Muda. Sepertinya dia terluka dalam. Pada beberapa bagian
tubuhnyanya berwarna biru matang
"Sekarang orang itu berada dimana, Pak?"
"Di bawa ke rumahku.
"Mari kita segera ke sana. Aku tak tahu, apakah bisa menolongnya atau tidak,
tapi. aku tetap akan mencoba...."
Setelah itu, mereka tampak berlari tergesa menuju timur.
*** "Ah! Kau, Slebor! Buat apa kau menemuiku lagi"!" sambut orang yang ditolong
warga desa, terdengar seperti keluhan.
Ternyata, orang itu adalah Penggerutu Berkepang. Sedangkan pemuda yang
baru datang bersama warga desa tak lain adalah Andika alias Pendekar Slebor.
Penggerutu Berkepang saat ini sedang terbaring di atas ranjang bambu milik
lelaki yang memanggil Pendekar Slebor. Istri pemilik gubuk tampak sedang menyapu
kening Penggerutu Berkepang dengan kain basah. Keringat lelaki kumal itu keluar
terus menerus. Warna keringatnya tidak seperti biasa. Agak keruh kebiru-biruan.


Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari sana. Pendekar Slebor mulai curiga.
"Apa yang telah terjadi padamu. Ketua Partai Pengemis Timur?" tanya Andika,
menyebut gelar kehormatan Penggerutu Berkepang.
"Apa yang terjadi" Kau tanya padaku apa yang terjadi" Apa matamu tuli" Eh,
buta" Aku hampir sekarat, tahu! Dan kau masih bertanya pula!" semprot
Penggerutu Berkepang, biarpun napasnya sudah mulai Senin-Kamis.
"Maksudku, kenapa kau sampai kena racun?" ralat Andika seraya
menyentuhkan telapak tangannya ke kening lelaki keras kepala ilu.
"Dari mana kau tahu kalau aku kena racun?"
"Sedikit banyak aku tahu tanda-tanda orang terkena racun...," jawab Andika.
"O! Bisa begitu, ya?"
"Apa kau tak lahu, aku pernah berurusan dengan Ratu Racun?"
"Peduli amat!"
(Untuk mengetahui bagaimana petualangan Pendekar Slebor berurusan dengan
Ratu Racun, bacalah episode : "Geger Ratu Racun").
"Kira-kira, aku terkena racun apa, tabib sakti bau pesing".'" ledek Penggerutu
Berkepang. Kening Andika berkerut sebentar. Sementara, tangannya mengusap-usap dagu.
"Tampaknya kau terkena salah satu racun paling mematikan di dunia
persilatan..." simpul Pendekar Slebor.
"Hua ha ha ugh!"
"Kenapa kau tertawa" "
"Kau pasti sedang menakut-nakutiku. Kau lupa! Aku ini Ketua Partai Pengemis
Timur yang tak pernah takut!" sesumbar Penggerutu Berkepang.
Sebentar-sebentar, lelaki itu mendekap dadanya dengan wajah terlipat rapat.
Menderita sekali rupanya. Tapi, dasar kepala batu! Biar sudah nyaris mampus,
masih saja bisa berlagak!
Pendekar Slebor tentu saja menjadi dongkol, biarpun sudah mengenal tabiat
Penggerutu Berkepang.
"Kau mau kutolong, apa tidak?" tanya Pendekar Slebor, mangkel.
"Kau mau menolong aku, apa tidak"!" Penggerutu Berkepang malah balik
bertanya menjengkelkan.
Pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu menarik napas dalam-dalam. Sulit juga
menghadapi orang yang sangat keras kepala!
"Begini saja. Kalau kau kutolong, kau harus percaya semua perkataanku,"
tandas Andika. "O, Lebih baik begini saja! Kalau mau menolongku, kau harus maklum dengan
tabiatku," balas Penggerutu Berkepang.
Kali ini, pendekar muda dari Lembah Kutukan justru tertawa. Ada yang terasa
lucu dari ucapan Penggerutu Berkepang. Dia tahu apa maksud ucapan lelaki itu.
Sebenarnya Ketua Partai Pengemis Timur hendak meminta maaf. Hanya karena
terlalu keras kepala dan tinggi hati, permintaan maaf itu tak diucapkannya
secara langsung. Dasar manusia menyebalkan!
"Sebelum aku menolongmu, kau tentu sudi menceritakan kenapa sampai
terkena racun itu" Apa kau terkena karena bertarung dengan seseorang?"
"Aku sengaja menelannya," jelas Penggerutu Berkepang, menjawab pertanyaan
Andika. Mata Andika kontan mendelik sebesar-besarnya.
"Apa kau sudah sinting"!" sentak Pendekar Slebor hampir tercekat. Orang gila
pun masih berpikir seribu kali untuk menelan racun berbahaya!
"Ini soal harga diriku!" bentak Penggerutu Berkepang, tak mau kalah. Dia
memang tidak mau kalah dalam segala urusan.
"Tapi, ini menyangkut nyawamu!" tukas Andika, lantang.
"Aku bertaruh. Karena kalah, aku harus menelan racun itu. Seperti
kesepakatan sebelumnya."
"Menelan racun itu?"
"He eh!"
"Gila!"
"Dunia ini memang sudah sumpek dengan orang gila. Dan aku hanya
menambahkan saja...," kilah Penggerutu Berkepang, enteng. Kendati wajahnya
makin matang membiru dan terus meringis-ringis menahan penderitaan yang
merongrong dari dalam.
"Kau sebenarnya berniat ngobrol sama aku atau hendak menolongku. Bor"!"
bentak Penggerutu Berkepang lagi.
Pendekar Slebor geleng-geleng kepala.
"Aku jelas hendak menolongmu. Karena belum tahu bagaimana menawarkan
racun ini, tentu saja aku harus bertemu si pemilik racun. Aku mungkin bisa
mendapatkan cara menawarkan racun darinya."
Penggerutu Berkepang terkekeh mengejek.
"Kalau begitu caranya, kau tak akan bisa menolongku," kata Pcnggerutu
Berkepang. "Apa maksudmu?"
"Dia itu termasuk salah satu orang gila di dunia ini"
"Apa maksudmu"!" ulang Andika, lebih ditekan.
Mata yang mulai berkeriput milik Penggerulu Berkepang melirik Andika
"Dia menyukai permainan maut. Aku ditantangnya untuk bertanding. Siapa saja
yang kalah harus menelan racun miliknya...."
"Sinting! Benar-benar sinting!"
"Kan sudah kubilang...."
"Aku tahu. dia sejenis orang yang hendak memburu pamor di dunia persilatan,
bukan?" duga Andika, yakin sekali.
"Persis!"
"Sebutkan namanya padaku!" pinta Pendekar Slebor.
"Dewa Topan," sebut Penggerutu Berkepang.
Andika segera pamit pada suami-istri pemilik gubuk. Semakin cepat bertemu
orang yang disebut Penggerutu Berkepang sebagai Dewa Topan, akan semakin baik.
Artinya, dia harus berlomba dengan waktu. Semakin waktu terulur, maka akan
semakin tipis harapan hidup bagi Ketua Partai Pengemis Timur.
Sebelum tubuh Pendekar Slebor mencapai pintu keluar, terdengar suara
secempreng kaleng rombeng di luar.
"Aku tahu kau berada dalam gubuk itu Pendekar Slebor! Keluarlah! Aku hendak
menantangmu bertanding!"
Andika agak melengak. Dia jadi ingat cerita Penggerutu Berkepang tentang Dewa
Topan. Bukankah lelaki itu pun menantang bertanding" Seraya menoleh dengan
mata tak berkedip pada Penggerutu Berkepang, hatinya bertanya-tanya. Apa orang
di luar adalah Dewa Topan"
Pendekar Slebor segera mendekati jendela gubuk, lalu mengintai dari kerai
bambu. Di luar tampak seorang lelaki berwajah seperti beruk dan bertelanjang
dada. Rambutnya panjang lurus, seperti milik wanita-wanita genit yang selalu
memelihara rambutnya dengan sisiran teratur.
Andika menoleh kembali pada Penggerutu Berkepang. Pada saat yang sama,
Ketua Partai Pengemis Timur itu makin menyeringai-nyeringai nyeri didera rasa
panas serta sakit bagai ditusuk-tusuk jarum-jarum kecil di seluruh serat
tubuhnya. "Apa ciri-ciri Dewa Topan?" tanya Andika hati-hati pada Penggerutu Berkepang.
"Tai kucing, kau ah!" maki lelaki setengah baya dari kalangan gembel sakti itu.
"Sudah tahu aku sudah sekarat seperti ini. masih sempat-sempatnya bertanya
padaku! Kalau mau menolong, ya lakukan! Ugh...."
Andika menelan ludah, antara mangkel dan geli.
"Pokoknya, si Dewa Kentut itu bertampang seperti kera!" jelas Penggerutu
Berkepang, akhirnya.
"Penampilannya?" susul Andika.
Penggerutu Berkepang tidak menjawab pertanyaan terakhir Pendekar Slebor.
Bukannya tidak mau, tapi memang tidak bisa. Tiba-tiba saja serangan racun dalam
tubuhnya menghebat. Otot-otot di tubuhnya menegang, berusaha mengadakan
perlawanan terhadap rasa sakit luar biasa. Gigi lelaki itu pun bergemeletukan
hebat. Wajahnya berubah matang, meregang nyawa.
Istri pemilik tempat menjadi agak gugup melihat keadaan Penggerutu
Berkepangyang begitu mengenaskan. Wajah perempuan tua itu jadi memucat, di sisi
pembaringan tamu sekaratnya. Untung suaminya bisa sedikit menenangkan.
"Kau tidak apa-apa, Ketua Pengemis?" tanya Andika, agak khawatir.
Dengan tergesa, Pendekar Slebor menghampiri kembali lelaki berpakaian gembel
itu. Tangannya sengaja digenggam Andika, agar sedikit mendapat dorongan
semangat untuk melawan pengaruh racun yang bersarang dalam dirinya.
"Bertahanlah! Secepatnya aku akan menemukan obat pemunah untukmu.
Untuk saat ini, kau harus bisa menguasai dirimu agar tidak pingsan. Sekali pun
pingsan, maka pengaruh racun itu akan cepat mengoyak pembuluh-pembuluh
darah di jantungmu. Atur peredaran jalan darahmu sebisa mungkin, untuk
menghambat laju racun itu...."
Untuk sementara waktu, sebelum berhasil mendapatkan pemunah racun bagi
kawan keras kepalanya itu, Andika berusaha menutup jalan darah penting agar
racun tak cepat mengalir.
Tuk! Tuk! Tuk! Sayangnya, usaha Andika agak terlambat. Sebab Penggerutu Berkepang
tampaknya sudah berada di ambang kegentingan.
"Tha... tha-hi... khu... chingh..."
Bersama melemahnya suara, lelaki setengah baya itu pun tidak sadarkan diri.
Benteng kekuatan pertahanan dirinya runtuh, tak kuat menjalani siksaan rasa
sakit yang tak terhingga.
Andika tercekat. Ini benar benar genting. Tanpa dikehendaki, dia jadi sedikit
gugup juga. Bagaimana tidak, kalau ini adalah urusan nyawa kawannya tokoh
golongan putih yang meskipun sering mendongkolkan dan menyebalkan, tapi masih
mau menegakkan keadilan bersamanya.
Sementara itu, teriakan di luar menyambung. Makin lantang, makin
menantang. *** 4 Pendekar Slebor keluar. Bukan karena terpaksa, tapi memang harus keluar.
Karena semakin cepat bertindak, semakin besar harapan hidup Penggerutu
Berkepang. Maka dengan langkah tergesa, didekatinya lelaki berwajah mirip beruk
di halaman depan gubuk.
"Aku tak punya banyak waktu buatmu. Cepat serahkan saja penawar racun
yang telah kau beri pada kawanku!" bentak Andika tanpa berbasa-basi lagi.
Lelaki berwajah beruk di depan Pendekar Slebor bukannya menjawab, malah
menggeram. Siapa yang tidak dongkol diperlakukan begitu" Lebih-lebih Andika
sedang terburu-buru untuk mendapatkan pemunah racun yang bersarang di tubuh
Penggerutu Berkepang.
"Ini soal nyawa kawanku! Kau dengar itu"! Jangan hanya menggeram seperti
kucing kawin!" bentak Pendekar Slebor, berang. "Atau aku harus memaksamu"!"
"Kedatanganku ke sini untuk menantangmu mengadu kesaktian!"
Kalimat pertama keluar dari lelaki bertelanjang dada di depan Pendekar Slebor.
Suaranya berat, seakan keluar dari pita suara seekor singa jantan.
"Kau tuli, ya" Aku butuh penawar racun!" ulang Pendekar Slebor, membentak.
"Aku telah mengikutimu selama beberapa hari. Dan hari ini, aku harus menantangmu. Dunia persilatan harus tahu bahwa aku
dapat mengalahkan pendekar kesohor sepertimu
" "Eee, orang ini benar-benar kadal bau! Aku ngomong begini, dia ngomong
begitu. Apa telinganya dijual di tukang loak?" gerutu Andika jadi kian tak
sabar. "Begini saja. Kalau kau memang hendak menantangku, aku terima. Asal,
taruhannya penawar racun itu. Kalau aku menang, penawar racun itu harus
diberikan padaku."
"Tak ada taruhan yang lain bagiku, kecuali nyawa!" tandas calon lawan
Pendekar Slebor.
Sampai di situ, Andika merasa ubun-ubunnya akan meledak mendadak. Semua
ucapannya tak dianggap, kecuali sekadar kentut oleh lelaki itu. Dia marah besar.
Darahnya seketika menggelegak.
"Khoek chuih!"
Beriring satu dengusan. Andika meludah ke tanah. Lalu ditunjuknya lendir
kental itu dengan sikap kasar.
"Kau tahu itu apa?"
Si lelaki yang disangka Andika sebagai Dewa Topan menatap dingin. Biar
begitu, ada sebersit sinar keheranan di matanya. Kata banyak orang, Pendekar
Slebor suka bertingkah aneh-aneh. Tapi kalau menanyakan ludahnya sendiri,
rasanya memang terlalu aneh. Anak kecil saja tahu kalau yang ditunjuknya ludah.
Lantas kenapa harus bertanya pula"
"Nah! Kau tidak bisa jawab, bukan" Itu artinya kau terlalu bodoh! Jadi aku
dapat maklum kalau kau tak mengerti apa-apa dengan setiap ucapanku
sebelumnya!" ledek Pendekar Slebor, semena-mena.
"Aku tidak bodoh!" sangkal lelaki bertelanjang dada bernafsu.
"Tapi kenapa seperti tak mengerti ucapanku, hayo?" cecar Andika. Tingkahnya
sudah seperti bocah ingusan yang sedang bertengkar dengan kawan mainnya. Kalau
tidak begitu, jangan sebut Pendekar Slebor!
"Aku...."
kata-kata si lelaki berwajah kera tersendat. Hidungnya yang mendongak
menjadi kembang-kempis tak karuan.
"Aku... memang tak mengerti apa maksudmu!" terabas lelaki itu gusar sekali.
"Nah.... Sekarang, kau malah mengaku sendiri! kau memang tak mengerti
maksudku. Jadi, otakmu jelas-jelas tumpul!"
"Keparat! Kau telah berani menghina Dewa Api, orang yang bakal menguasai
dunia persilatan!"
Sampai di sana, barulah Andika terpana sendiri. Dilalapnya lelaki di depannya
dengan pandangan bodoh.
"Dewa Api" Jadi, dia bukan Dewa Topan" Memangnya, ada berapa dewa di
dunia persilatan ini, ya" Apa mungkin nama Dewa Topan kurang membawa rejeki,
lalu namanya diganti menjadi Dewa Api...," gumam Pendekar Slebor.
Setelah itu, kepala Andika menggeleng sendiri. Jelas, dia sudah salah menduga
orang. "He he he...," cengenges Pendekar Slebor. "Rasanya, aku sudah salah alamat.
Jadi, kau bukanlah orang yang kumaksud. Kalau begitu, aku pamit!"
Kemudian Andika berbalik dan siap melangkah.
'Tunggu!" tahan lelaki bertelanjang dada yang mengaku sebagai Dewa Api.
"Masih ada urusan yang belum kita selesaikan, Pendekar Slebor!"
Terpaksa Pendekar Slebor menahan langkahnya, lantas berbalik.
"Aaah! Soal salah paham dalam hidup ini, kan biasa...." tukas Andika. "Boleh
bukan aku minta maaf karena telah menghinamu..., habis-habisan. He he he!"
Semula Andika menyangka Dewa Api tak menanggapi maksud ucapannya. Tapi
kini, justru dia yang tak menanggapi maksud lelaki berwajah kera ini.
"Bukan soal itu!"
"Lho, bukan soal itu?" latah Andika dengan raut wajah terperangah.
"Aku hendak menantang adu kesaktian denganmu!" tegas si lelaki amat
mengguntur. "Sekarang, terimalah serangan perkenalanku! Hiaaah!"
Dewa Api langsung menyiapkan gempuran pertama. Seperti dikatakannya tadi
pada Pendekar Slebor, dia bukan sekadar bertukar jurus. Maka, Dewa Api pun tidak
menyerang dengan jurus biasa.
Tidak ada hantaman tinju, tamparan, atau tendangan melayang yang ganas ke
arah Pendekar Slebor. Dewa Api malah mempersiapkan kuda-kuda. Tangannya
bergerak lambat dalam garis melingkar keluar. Napasnya terdengar turun naik
secara teratur.
Setelah itu, Pendekar Slebor harus terkesiap menerima kedatangan serangan
Dewa Api. Semburan api besar itu juga keluar dari sepasang telapak tangan Dewa
Api! Brrr! Keterkejutan tak menyebabkan Pendekar Slebor lengah. Sudah banyak asamgaram dunia persilatan yang ditelannya mentah-mentah selama ini. Bahkan
nyawanya sudah seringkali dipertaruhkan dalam keadaan paling genting sekali pun.
Jadi terjangan yang sebenarnya masih langka ditemuinya, masih dapat
dilumpuhkan tanpa banyak kesukaran.
Cukup dengan berjumpalitan ke belakang beberapa putaran, Pendekar Slebor


Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil menyelamatkan diri.
Namun kesungguhan Dewa Api untuk menurunkan nama besar pendekar muda
kesohor itu, tampaknya benar-benar luar biasa menggelegak. Belum lagi tubuh
Pendekar Slebor tiba di bumi, semburan api bagai menjulur dari mulut naga langit
raksasa mengejarnya kembali. Lebih cepat, lebih ganas, dan lebih telengas! Tubuh
Pendekar Slebor sepertinya hendak ditelan bulat bulat oleh gapaian api raksasa
seukuran pohon beringin!
Dari dua arah sejajar, tubuh Pendekar Slebor diburu. Salah satu ruang kosong
yang bisa dijadikan tempat menghindar, hanya ke belakang lagi. Untuk itu.
Pendekar Slebor butuh satu pijakan untuk menyentak tubuh kembali. Di sisi lain,
kalau berusaha untuk tetap menjejak ke bumi, semburan api raksasa akan segera
memanggangnya tanpa ampun!
Bermodal sedikit kecerdikan dan kemampuan tenaga dalam tingkat tinggi yang
amat disegani dunia persilatan, Pendekar Slebor melepaskan kain bercorak catur
dari bahunya di udara. Begitu cepat, bahkan nyaris menyamai kecepatan semburan
api yang lebih dahulu meluncur. Lalu
Srat! Ctar! Begitu kain pusaka yang luar biasa kenyal itu tersentak ke bumi, terlempar
suara menggelegar dahsyat. Tentu saja, Pendekar Slebor telah menyalurkan tenaga
sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat sepuluh pada senjata pusakanya.
Dengan demikian, dia sudah cukup mendapat tenaga dorongan ke udara. Dan
untuk kedua kalinya, tubuh pendekar bertabiat urakan itu berjumpalitan ringan
be- berapa putaran lebih ke belakang.
Tap! Kaki Andika tahu-tahu singgah di sebatang ran-ting, setipis jari kelingking bayi
pada salah satu pohon. Pendekar Slebor tak begitu tahu, Dewa Api takmencecarnya
dengan semburan susulan. Sampai dia tahu dari mulut orang itu sendiri
"Tak percuma seluruh mulut di dunia persilatan menggembar-gemborkan kalau
kau memiliki kecerdikan luar-biasa...," puji Dewa Api, begitu menyaksikan
bagaimana Pendekar Slebor mampu menghindari serangan dalam keadaan sudah
amat sulit. Bahkan untuk seorang datuk sakti pemilik ilmu peringan tubuh
sempurna sekali pun!
"Ya-ya-ya, itulah aku...," sahut Andika. Mulai timbul kesombongan tengiknya.
"Dan jangan lupa, bukan kecerdikan saja yang kumiliki. Jurus dan kesaktianku pun
mesti diperhitungkan jika hendak menantangku...."
Pendekar Slebor semakin pongah. Meski pada dasarnya kepongahannya hanya
dibubat-buat. Sebenarnya, dia hanya ingin memancing kegusaran lawan. Di dunia
para manusia jumawa, melecehkan kemampuan lawan bisa menjadi senjata ampuh
untuk memancing kemarahan. Dan Pendekar Slebor memanfaatkan sebaik-baiknya.
Dewa Api mendengusi pertanyaan Andika yang begitu memuakkan di
telinganya. "Tapi, hari ini kecerdikan dan kesaktianmu akan tinggal cerita basi. Aku
bersumpah untuk mengalahkanmu. Dan lebih dari itu, aku akan mengirimmu ke
liang lahat!" tandas Dewa Api.
"Heyyy! Nampaknya kau bisa jauh lebih sombong dari aku. Belajar dari mana"
Siapa yang mengajarimu kalimat sepongah itu" Tentu orang itu sangat pandai
mengajar beruk berbicara, bukan?"
Pedas bukan main telinga Dewa Api. Kendati wajahnya memang tak lebih bagus
dari Hanoman. harga dirinya tetap akan tersodok oleh kata-kata Pendekar Slebor.
"Kau...," geram Dewa Api. "Berani-beraninya mengatakan aku beruk!"
"Kau yang baru saja mengatakan begitu. Sedang aku" Aku hanya mengatakan,
kalau orang yang mengajarimu kalimat pongah, tentu orang yang pandai mengajari
beruk bicara. Apa hubungannya denganmu" He he he...," ejek Andika makin
keterlaluan disertai tawa terkekeh.
Begitulah kelihaian pendekar urakan mengombang-ambing amarah lawan!
Rupanya, Dewa Api kali ini tergolong manusia yang besar perasaan. Pancinganpancingan Pendekar Slebor nyaris mengena tepat ke dasar harga dirinya.
Murkalah Dewa Api. Kemurkaan rupanya membawa satu hal mempesona,
sekaligus menggidikkan pada diri lelaki berusia sekitar tiga puluhan itu. Apa
yang disaksikan mata kepala Andika"
Tubuh Dewa Api perlahan-lahan menyibakkan lidah-lidah api. Sekujur
tubuhnya, tak terkecuali rambut sampai ujung kuku!
Mata Pendekar Slebor terbuka lebih besar. Makin membesar, bahkan mendelik
manakala menyaksikan api di sekujur tubuh Dewa Api makin tumbuh laksana
raksasa. Sampai seluruh tubuh itu tuntas terselimuti kobaran api yang berhembushembus, mengirimkan hawa panas mengeringkan daun ke segenap penjuru!
"Ck, ck, ck. Tak percuma dia dijuluki Dewa Api!" puji Andika.
Sekali ini, Pendekar Slebor yang harus jujur mengakui kebesaran nama Dewa
Api yang sebenarnya masih cukup asing buatnya.
"Bisa-bisanya dia membuat api unggun di tubuh sendiri... Sayang..., aku tidak
punya persediaan daging kelinci mentah...," gumam Andika lagi, ngawur.
Gumaman Andika dipaksa terpenggal. Jilatan api di tubuh lelaki berwajah kera
mendadak saja mengarah ke dirinya. Kalau diperhatikan dari kejauhan, kobaran api
itu mirip untaian rambut panjang berwarna merah bara!
Wusss! "Kutil! Aku bukan kambing guling!" serapah Pendekar Slebor seraya melompat,
menerjang udara ke samping. Siapa yang sudi menjadi kambing guling seperti
dikatakannya barusan"
Pendekar Slebor luput terpanggang. Akibatnya, Jiohon tempatnya hinggap
menjadi sasaran nyasar.
Brrr! Tak ada sekedip mata, pohon yang semula hijau itu sudah menjadi ladang api
besar. Lidah apinya menjilat tinggi seperti barusan menggapai langit. Asap hitam
pekat pun membubung.
Sekarang, keadaan sudah menjadi serba telanjur untuk Pendekar Slebor. Untuk
mencari Dewa Topan yang memiliki penawar racun bagi Penggerutu Berkepang,
sudah telanjur berurusan terlalu jauh dengan Dewa Api. Menghindar begitu saja
pun, tampaknya tak mudah. Menilik kemampuan lawan yang sudah diperlihatkan,
Andika yakin ilmu meringankan tubuhnya tak bisa dianggap remeh pula. Apalagi
Pendekar Slebor tak suka dikejar-kejar. Baginya, hanya orang yang merasa berada
di pihak bersalah yang harus diperlakukan begitu.
Bagai ibarat, buah simalakama harus dimakan. Andika. Melanjutkan
pertarungan, berarti akan kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan nyawa
Penggerutu Berkepang. Menghindari pertarungan, berarti membiarkan dirinya
diburu oleh lawan seperti babi hutan. Atau, seperti buronan yang patut mendapat
hukuman! "Tunggu!" sergah Pendekar Slebor, begitu tubuhnya sudah mendapat tempat
berpijak di atas sebatang pohon lain.
Sekian kejap di udara tadi, dalam benak Andika sempat terbetik muslihat yang
bisa menyelesaikan persoalan.
"Kenapa kau menghentikan, Pendekar Slebor" Kau takut menghadapi
kenyataan kalau akan menerima kekalahan dariku?" leceh Dewa Api, dari balik api
raksasa. "Anggaplah begitu...," kata Andika, meski muak mengatakannya.
"Jadi kau menyerah" Itu artinya kau harus menyerahkan nyawa padaku!"
"Aku tak berkata begitu," kilah Pendekar Slebor.
"Hanya ada satu hal yang harus kusampaikan padamu. Untuk mengalahkanku,
tampaknya kau tak akan menemui kesulitan."
Pendekar Slebor mulai mengibul. Wajahnya sengaja dibuat buat seperti pemain
ketoprak yang melakoni tokoh saling tertangkap basah.
Dewa Api tergelak mendengar kalimat yang membuat kepalanya membesar
seketika itu. Bukan main bangganya dia, mendapat pengakuan dari tokoh muda
yang namanya menggegerkan dunia persilatan.
"Jadi, apa maksudmu"!" tanya Dewa Api menggertak pongah.
Umpan muslihat yang dipasang Andika ternyata mudah ditelan bulat-bulat oleh
lelaki berilmu tinggi yang baru saja masuk dalam dunia persilatan. Karena tahu
kalau Dewa Api masih baru dalam dunia persilatan pula, Andika merasa yakin bisa
mengibulinya. Sejauh ihi, Pendekar Slebor sepertinya berhasil.
"Kau tak perlu membunuhku jika ingin tenar dalam dunia persilatan. Ada
seorang sakti, bahkan luar biasa sakti. Kepandaiannya di atasku. Dan dia bisa
cepat membuatmu berkuasa jika mampu mengalahkannya...," tutur Pendekar Slebor amat
meyakinkan. Sewaktu menyebutkan kala 'seorang sakti' sengaja Andika menyipilkan kelopak
matanya agar terlihat sungguh-sungguh.
Andika pun bisa melihat, bagaimana mata Dewa Api berbinar geram mendengar
perkataannya. "Dan menurutku, orang itu pun lebih tangguh beberapa tingkat di atasmu!"
tambah Andika, makin membuat mata Dewa Api berbinar-binar.
"Katakan siapa orang itu! Apa dia gurumu"!"
Berkawal gemeletak nyala api membakar daun kering di tanah tempatnya
berpijak, terdengar geraman berat Dewa Api.
Andika terdiam sejenak. Dia berpikir-pikir, apa perlu mengatakan orang yang
dimaksud sebagai gurunya atau tidak"
"Cepat jawab!" bentak Dewa Api.
"Ya. dia guruku!" tegas Andika, khawatir kebohongannya terbaca.
"Kalau begitu, cepat sebutkan namanya! Biar kujadikan arang gurumu itu!"
"Kau tak akan mungkin mengalahkannya...," leceh Pendekar Slebor.
Sandiwaranya makin meyakinkan saja. Kepalanya menggeleng dengan bibir mencibir
sewaktu berkata.
Seperti tikus buduk yang ngotot masuk perangkap, darah Dewa Api bertambah
menggelegak-gelegak. Dalam pikirannya, tidak boleh ada orang yang lebih sakti
dibanding dirinya. Apalagi, dia begitu bernafsu untuk menguasai dunia
persilatan. "Cepat katakan!" teriak Dewa Api. Kemurkaannya sudah tiba di ambang batas.
"Baik. Jangan menyesal kalau kau justru terbunuh oleh tangan guruku...," kata
Andika, masih juga memanas-manasi.
"Katakan!"
"Nama guruku.... Dewa Topan!"
"Di mana dia"!
Begitu mendengar Andika menyebutkan nama itu, si Dewa Api bertanya lagi
pada Andika dengan bernafsu.
"Aku tidak tahu, di mana guruku berada. Dia selalu berpindah tempat tak pasti.
Kalau kau ingin mengantar nyawa padanya, lebih baik carilah terlebih dahulu...."
"Dewa Topan! Akan kucari dan kulumatkan tubuhmu dengan apiku! Biar
muridmu tahu, kalau aku bukan pecundang!" seru Dewa Api sambil mendongak.
Seolah dia hendak menjadikan langit sebagai saksi
Setelah itu, Dewa Api pergi bersama kobaran api yang tetap membakar seperti
kemarahan dalam dirinya.
Sementara, Andika sendiri cengar-cengir penuh arti.
"Dasar beruk... ya, beruk juga! Otak hanya sebesar koreng!" ejek Andika sambil
menggenjot tubuh pula.
Kini Pendekar Slebor bisa mencari Dewa Topan tanpa halangan.
"Siapa tahu Dewa Jelek itu malah membantuku menemukan si Dewa Kentut,"
bisik hati Andika geli.
*** 5 Pertemuan, selamanya tak akan mungkin dipisahkan dari perpisahan. Seperti
tak mungkinnya kehidupan dipisahkan dengan kematian. Satu akan melengkapi
yang lain. Bagai api yang tetap dikawal asap.
Perpisahan selama tiga puluh tahun yang lalu, telah merentangkan jarak antara
tiga lelaki yang sebenarnya bersaudara kembar. Dewa Api, Dewa Topan, dan Dewa
Halilintar. Latar belakang mereka sebenarnya berawal dari seorang lelaki desa
yang telah membuang tiga anaknya ketika masih bayi pada tiga puluh tahun yang lalu.
Dengan tergesa-gesa, seorang laki-laki setengah baya melintasi sebuah jalan
sambil membopong pikulan bambu pada bahunya. Di ujung-ujung pikulan, terdapat
dua keranjang beban.
Wajah lelaki itu memperlihatkan raut ketakutan, Bukan pada sesuatu yang
mungkin mengejarnya di belakang, tapi pada sesuatu yang sedang dipikulnya kini.
Itu tampak jelas, karena entah sudah berapa kali matanya melirik takut-takut ke
arah keranjang di depan dan di belakangnya.
Sebenarnya, lelaki itu belum lama menerima kegembiraan, setelah istri
tercintanya melahirkan. Dan kedatangan si jabang bayi memang sudah dinantinantikan. Yang dihadiahkan sang istri ternyata lebih dari satu bayi. Mestinya hal itu
makin menambah kegembiraan, kalau saja tidak mendapati kenyataan lain. Tiga
bayi kembar mereka, ternyata memiliki wajah tidak seperti bayi biasa. Wajah
mereka buruk. Rambut mereka lebat dan kaku. Sedangkan tubuh mereka terlalu kekar
untuk seorang bayi yang baru lahir.
Semula, sepasang suami islri itu tidak mempermasalahkannya. Mereka, biar
bagaimanapun, mensyukuri karunia yang diberikan Ilahi. Seburuk - buruknya
ketiga bayi itu, tetap darah daging mereka juga.
Sayang, kejadian yang sama sekali tidak diharapkan terjadi. Baru saja ketiga
bayi merah itu dibersihkan oleh seorang dukun yang membantu persalinan, salah
satu bayi sudah mampu mencakar wajah perempuan tua itu.
Kejadian sama juga terjadi pada sang ibu. Wajahnya terluka oleh cakaran bayi
yang lain, meski kuku-kuku bayi belum lagi tumbuh. Bukan hanya itu. Manakala
memperhatikan mata setiap bayi, tiba tiba diri mereka seperti dirasuki ketakutan
yang amat sangat. Ada sinar mengancam di mata masing-masing bayi. Lebih
mengancam daripada tatapan seekor serigala liar sekalipun!
Suami istri itu bergidik ngeri. Rasa kasih sayang mereka tertumpas seketika
oleh kejadian yang sama sekali dianggap mustahil.
Sebuah keranjang bayi terbuat dari bambu kontan rusak, ketika ketiga bayi itu
ditempatkan di situ. Rusak seperti dipatahkan tenaga orang dewasa! Seluruh
kejadian demi kejadian dengan singkat menghantui suami istri ini. Maka pada pagi
harinya, mesti dengan berat mereka memutuskan untuk memberikan ketiga bayi itu
pada orang lain. Pada siapa, mereka tidak tahu. Jelasnya, entah bagaimana,
mereka merasa waswas untuk membesarkan bayi-bayinya sendiri.
Tiba di satu perempatan jalan, langkah lelaki yang memikul keranjang bayi
menjadi ragu. Ada yang menggebah nyalinya ketika matanya tertumbuk pada
sebongkah batu besar berbentuk tengkorak tepat di tengah-tengah persimpangan
jalan. Menurut kabar burung yang sering didengarnya, batu di pertigaan itu adalah
tanda wilayah kekuasaan bagi tiga orang datuk sesat yang menguasai tiga kekuatan
alam. Ketiganya berdarah dingin dan saling bermusuhan. Itu sebabnya, mereka
membuat batasan wilayah kekuasaan masing-masing. Jika ada salah satu
melanggar, maka kancah pertarungan besar tanpa dapat dicegah akan tercipta.
Begitu pula bila ada orang lain yang melintas dalam wilayah kekuasaan mereka.
Satu-satunya pilihan untuk orang itu adalah, mati!
Cukup lama si lelaki pemikul keranjang mematung bagai arca. Begitu sinar
hangat mentari pagi mengusik wajahnya, barulah dia tersadar. Peluh sudah
membasahi hampir sekujur tubuhnya. Dia amat ketakutan untuk melanjutkan
perjalanan, sampai-sampai seperti lupa bagaimana cara melangkah. Maka tanpa
banyak pertimbangan lagi, keranjang pikulan di bahunya diturunkan. Diletakkannya dua keranjang itu, tepat di kaki batu besar berbentuk tengkorak.
Setelah itu, laki-laki ini melarikan diri bagai dikejar sekawanan dedemit haus
darah ke jalan semula.
*** Hampir dua hari, ketiga bayi yang membawa ketakutan pada kedua
orangtuanya itu terbengkalai di tempat bertanda batu tengkorak. Selama itu pula,
tak ada seorang pun yang berani mendekati keranjang mereka.
Bagi siapa saja yang merasa dirinya ingin lebih lama hidup, akan merasa lebih
baik menyingkir sejauh-jauhnya dari tempat berbatu tengkorak itu. Pasalnya, tiga
datuk sesat yang sudah dianggap sebagai siluman, akan segera melempar nyawa
siapa saja ke neraka jika berani menginjak batas wilayah itu.
Dengan begitu, tiga bayi kembar di dalam keranjang pun tak ada yang berani
mengusiknya. Selama dua hari, mereka tak pernah tersentuh air atau makanan


Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedikit pun. Anehnya, bocah-bocah yang masih merah itu tampak sehat-sehat saja.
Bahkan menangis pun tidak. Sesekali mereka memang terbangun dari tidur
nyenyak, lalu menggeliat-geliat kuat. Seolah-olah, otot-otot muda mereka telah
berubah menjadi kenyal. Setelah itu, ketiganya tidur kembali seperti tidak
pernah mengalami rasa haus atau lapar.
Pada hari ketiga, tiga lelaki yang selama ini dikenal dengan julukan angker Tiga
Datuk Sesat Penguasa Kekuatan Alam, muncul di tempat itu. Telah tiga hari ini
mereka tahu kalau ada benda asing yang menempati batas wilayah kekuasaan.
Semula mereka tak peduli. Bahkan tetap tak peduli, meski mereka tahu kalau dalam
keranjang itu ada tiga sosok bayi merah yang membutuhkan pertolongan. Mereka lebih suka bayi-bayi itu mati, daripada menyusahkan. Namun ketika tiga hari
berlalu dan tak tampak ada penderitaan mendera ketiga bayi kembar itu, mereka pun mulai
tertarik. Maka pada hari yang sama, Tiga Datuk Sesat Penguasa Kekuatan Alam muncul
di tempat itu. Kedatangan mereka dengan niat yang sama, ingin mengambil ketiga
bayi sebagai murid. Karena, mereka menganggap bayi-bayi itu memiliki
keistimewaan bawaan dari lahir yang tak dimiliki manusia biasa.
Begitu tahu masing-masing menginginkan ketiga bayi tersebut, tiga datuk sesat
yang selama ini selalu tak akur menjadi sama-sama geram. Mereka mulai
meributkan, siapa di antara ketiganya yang berhak menjadi guru dari ketiga bayi
itu. Karena pada dasarnya, keranjang bayi berada tepat di batas wilayah kekuasaan
masing-masing. Tepatnya, di bawah batu berbentuk tengkorak.
"Aku yang berhak memiliki bayi ini. Tentu saja!" tukas Datuk Penguasa
Halilintar waktu itu.
Lelaki bangkotan itu berusia sekitar sembilan puluh tahunan. Di antara
ketiganya, dialah yang paling tua. Rambut putihnya amat panjang, hingga mencapai
mata kaki. Dia tak mengenakan selembar benang pun sebagai penutup tubuh.
Hanya jenggot putihnya yang sama panjang dengan rambutnya, menjadi penutup
tubuh. Meski begitu, wajahnya tak diusik keriput segaris pun. Dia tetap muda,
seperti lelaki berusia tiga puluhan. Begitu juga perawakannya. Tak tampak
bungkuk atau keropos! "Khah! Jangan mentang-mentang kau lebih tua dari kami, Sancaka!" sergah
Datuk Penguasa Api.
Jika orang yang dihardik memiliki rambut kelewat panjang, Datuk Penguasa Api
justru tak berambut. Benar-benar klimis. Bahkan sampai ke alis mata. Barangkali,
bulu hidung pun dia tak punya.
Datuk yang satu ini berbaju tameng baja yang menutupi dari bahu hingga di
atas pahanya. Umurnya hanya berselisih enam tahun lebih muda daripada Datuk
Penguasa Topan. Namun jika dilihat wajahnya, tampak lebih tua. Keriput sudah
menoreh beberapa bagian pipi dan keningnya.
"Lalu apa kau merasa berhak mendapatkan bayi-bayi luar biasa ini"!" Datuk
Penguasa Halilintar balik menghardik. Mukanya memerah dirangsak kegusaran.
"Ya! Bocah-bocah merah itu butuh ilmu apiku. Hanya itu yang dibutuhkan
untuk menjadi jago-jago dunia persilatan!"
"Ah, gundul tak tahu adat! Kau pikir hanya ilmu apimu yang hebat!"
Seorang lagi tak mau berdiam mulut. Dia adalah datuk ketiga dari Tiga Datuk
Penguasa Alam. Seorang wanita yang parasnya sulit dikenali, karena selalu
terbungkus pembaiut warna hitam. Hanya bagian matanya saja yang tampak. Dari
corak suaranya yang agak bergetar dan sumbang, bisa diduga kalau usianya sekitar
enam puluh tahun. Apalagi dengan perawakannya yang agak membungkuk. Maka
akan nyata kalau perempuan itu tentu sudah tak memiliki wajah yang cukup
membuat penasaran. Dia mengenakan pakaian kurung berwarna hitam seperti pembalut wajahnya. Bagian belakang pakaiannya seperti sayap kelelewar. Julukan
angkernya Datuk Wanita Penguasa Topan.
Pertengkaran mulut kemudian tumbuh menjadi pertarungan sengit antara
ketiga tokoh sakti yang sebenarnya sudah sejak lama selalu mencari kesalahan
masing-masing. Jadi kalau kali itu mereka bertarung, bukanlah suatu yang luar
biasa lagi. Seperti pertempuran yang sudah-sudah, mereka sama-sama kelelahan tanpa
ada seorang pun yang menjadi pemenang. Biar memiliki ilmu berbeda, namun
kesaktian ketiga datuk yang malang melintang dalam dunia persilatan itu pada
dasarnya setingkat.
Usul punya usul, timbang punya timbang, akhirnya merereka sepakat untuk
mengambil masing-masing satu bayi. Sewaktu ketiganya mulai memilih, ketegangan
nyaris pecah lagi. Mereka ngotot satu sama lain untuk menentukan pilihan
terlebih dahulu. Sebabnya, tentu saja karena mencari gara-gara seperti sudah mendarah
daging. Jika perlu, soal sepele seperti melewati bayangan salah seorang pun akan
menjadi pemicu perkelahian brutal yang akhirnya hanya menghasilkan keletihan.
Untung saja, mereka sudah terlalu banyak kehabisan tenaga. Sampai akhirnya,
diputuskan untuk mengundi sampai semuanya mendapatkan satu bayi agar kelak
bisa dijadikan murid!
Itu memang cerita tiga puluh tahun yang lalu. Hasilnya, kini muncul tokohtokoh sesat berjuluk, Dewa Topan, Dewa Halilintar, dan Dewa Api dengan sepak
terjang masing-masing yang menggiriskan. Dan sebagai rasa hormat terhadap si
Pengumpul Ilmu yang telah menjadi eyang guru ketiga murid berwajah beruk itu,
oleh guru mereka masing-masing diberi kalung yang bandulnya bergambar wajah si
Pengumpul Ilmu.
*** Sementara itu Dewa Api terus mencari Dewa Topan. Lelaki bersifat panasan
seperti ilmu apinya itu, rupanya telah berhasil menemukan buruan yang dicari,
atas keterangan yang dikorek dari seseorang.
"Dewa Topan, berhenti kau!" perintah Dewa Api pada Dewa Topan yang sedang
menari-nari di udara bagai meniti angin.
"Ada yang mau menantang kesaktianku?" sambut Dewa Topan, sebelum
kepalanya sendiri menoleh kearah orang yang memanggil.
Begitu satu sama lain sama-sama menyaksikan wajah, kontan saja mereka
terheran-heran berbarengan. "Siapa orang ini" Kenapa wajahnya sama jelek
denganku?" tanya hati masing-masing.
Kalau saja penampilan mereka tak berbeda, mungkin akan serupa seperti
sedang berada di depan cermin luar biasa persis. Baik matanya, bibirnya, juga
hidung yang mendongak itu.
"Siapa kau"!" tanya Dewa Topan terheran-heran.
"Kau sendiri siapa"!" tanya Dewa Api pula.
"Aku sendiri siapa, ya" He he he...," bisik seseorang amat samar di kerimbunan
semak-semak lebat yang cukup jauh dari tempat itu.
Siapa lagi orang itu kalau bukan Pendekar Slebor. Tanpa sengaja, dia tadi
melihat Dewa Api sudah menemukan orang yang sama-sama dicari. Andika tentu
saja memang ada keperluan, hendak mencoba mendapatkan penawar racun untuk
Penggerutu Berkepang. Sedangkan Dewa Api, ya... tentu saja tak ada keperluan
sama sekali. Selain, jadi korban keusilan otak encer Pendekar Slebor!
"Wah! Tak kukira, guruku ternyata berwajah mengenaskan," gurau Andika lagi.
Sekarang pendekar muda itu tidak ragu lagi kalau dirinya telah menemukan
Dewa Topan, orang yang tentunya memiliki penawar racun untuk kawannya,
Penggerutu Berkepang. Hanya saja. Andika agak bingung mengetahui wajah
keduanya yang sama sekali tidak terdapat perbedaan. Dengan wajah yang begitu
serupa sempurna seperti itu. mereka bisa bertukar penampilan dengan sempurna
pula. Yang satu bisa menyamar menjadi yang lain.
Dan Andika jadi teringat pada kejadian beberapa waktu lalu dengan sahabatnya
dari Cina, Chin Liong. Belakangan, diketahui kalau sahabatnya itu ternyata
bersaudara kembar dengan musuh besarnya sendiri. Chin Chung! (Baca episode:
"Pusaka Langit" dan "Pengejaran ke Cina").
Bukan mustahil Dewa Topan dan Dewa Api bersaudara kembar juga. Kalaupun
mereka kini tidak saling mengenal, mungkin keduanya memang telah terpisah sejak
kecil.... "Kalau memang begitu, suatu saat urusan akan menjadi semakin runyam,"
gumam pemuda yang tersohor sebagai Pendekar Slebor itu. "Bisa saja mereka
bersekongkol untuk menguasai dunia persilatan...."
"Aku Dewa Topan, calon penguasa dunia persilatan!" jelas lelaki berpakaian
hitam-hitam pekat, sarat keangkuhan. Apalagi sewaktu memperlihatkan kebolehannya melayang dengan memanfaatkan hembusan angin yang tak terlalu
kencang bertiup.
"Jangan sembarangan berucap! Akulah, Dewa Api calon penguasa dunia
persilatan!" sangkal lelaki lain. tak kalah angkuh.
Dewa Topan melayang lebih dekat menuju Dewa Api. Geraknya setenang
layang-layang di udara. Dengan tenang pula, tubuhnya melayang turun perlahan,
lalu hinggap di selembar daun keladi tanpa sempat memaksa daun lebar yang rapuh
itu bergeming sedikit pun. Unjuk gigi ini membuat Dewa Api, lelaki berpribadi
panas berangasan, mulai mengkelap
"Jangan pamer kesaktian di depanku! Karena sebentar lagi kau akan segera
kukirim menjadi kerak neraka!"
Dewa Topan tersenyum mengejek.
"Wajahku dengan wajahmu entah kenapa bisa serupa seperti ini. Tapi,
peruntungan tampaknya tak selalu serupa pula. Bukan aku yang akan menjadi
kerak neraka. Tapi kau!" tangkis Dewa Topan enteng.
Bertolak belakang dengan pribadi Dewa Api, Dewa Topan memang lebih dingin.
Sifatnya seperti es. Terlihat bersahabat, tapi selalu mampu membunuh dengan
kebekuannya. Dewa Api menggeram. Kalau darahnya mulai mendidih, maka tubuhnya pun
mulai pula mengepulkan hawa panas. Sehingga, membuat rerumputan di dekat
tempatnya berpijak langsung menjadi kering kerontang, bagai didera kemarau
panjang. "Kalau kau memang sehebat seperti kata Pendekar Slebor, cepat buktikan!"
lantang Dewa Api. Kalimatnya terlempar dalam satu gelegak.
"Pendekar Slebor.... Hm. hm. hm." gumam Dewa Topan.
Sebenarnya Dewa Topan sendiri sedang berusaha mencari pendekar besar itu
untuk ditantang adu kesaktian. Dia jadi tak mengerti, kalau Pendekar Slebor
menyebut-nyebut tentang dirinya pada lelaki yang mirip dengannya. Sementara di
lain sisi, Dewa Topan belum pernah sekalipun berurusan dengan Pendekar Slebor.
Sepertinya, ada sesuatu yang ganjil. Sebelum kecurigaan Dewa Topan berkembang
lebih jauh, Dewa Api telah memberangusnya dengan bentakan kasar.
"Jangan diam saja! Kalau kau memang tak punya nyali, katakan!"
"Nanti dulu, kalau kau hendak menyebutku pengecut...," sergah Dewa Topan,
tetap sedatar permukaan laut yang membeku.
"Bagus kalau begitu!"
Di ujung kalimat, Dewa Api melepas sebongkah bola api sebesar anak banteng
ke arah Dewa Topan.
Wusshhh! Dewa Topan meski hanya berjarak delapan tombak, tak terlalu terkesiap dengan
serangan mendadak secepat sambaran hantu. Sambil tetap menyeringai
melecehkan, tubuhnya melayang kembali ke udara. Seperti sebelumnya, hembusan
angin kecil pun dijadikan tunggangannya.
Hanya dengan gerak menghindar remeh seperti ini. Dewa Topan dapat
membiarkan bola api dari telapak tangan Dewa Api nyasar ke lain tempat Setelah
itu, dibalasnya serangan pembuka Dewa Api dengan satu kibasan sebelah tangan.
Enteng saja tangannya bergerak. Hasilnya, ternyata jauh lebih gila. Serangkum
terjangan angin ribut menggasak ke arah lawan!
Werrr! Dewa Api yang ilmu meringankan tubuhnya jauh di bawah Dewa Topan, tak
bisa lagi menghindar dari terjangan angin ribut lawan. Saat itu juga, tubuhnya
seperti hendak dicampakkan ke tepi dunia.
Kalau pohon-pohon sebesar tiga kali pelukan orang dewasa bertumbangan lalu
terseret-seret lunglai tanpa daya, Dewa Api justru tetap menenggak di tempat
semula. Kakinya seperti memiliki sehimpun akar yang jauh menghujam ke perut
bumi. Hanya rambutnya yang tertata apik menjadi blingsatan. Begitu juga
celananya yang terbuat dari bahan tahan api berwarna abu-abu.
"Hm.... Satu-satu nilai kita bukan?" kelakar Dewa Topan bernada mengancam.
"Ya! Untuk berikutnya, kau tak akan sempat menilai lagi...," desis Dewa Api.
Dalam segebrakan berikutnya, mereka sudah bersiap kembali menjajal
ketangguhan masing-masing. Jangan dikatakan sekadar menjajal. Sebab dalam
benak masing-masing, selalu terbetik selera membunuh!
Selanjutnya manakala keduanya hendak melontar kesaktian masing-masing,
sebuah pemandangan memukau mendadak saja lercipta dari sudut langit sebelah
utara. Langit yang tak mendung, dijejali gerombolan halilintar liar!
Dewa Topan dan Dewa Api sama-sama mengutil rungkan serangan. Serempak
keduanya menoleh ke utara. Di sana, gelegar dan kerjapan-kerjapan menghentak
kian membrutal!
Jlegar! Jlegar!
Sementara Andika di tempat tersembunyi tak luput terperangah seperti orang
tolol. "Orang sinting manalagi yang memiliki ketangguhan seperti itu"!" batin
Pendekar Slebor merutuk gemas.
*** 6 "Aku, Dewa Halilintar, tak sudi ada orang yang berani unjuk kesaktian di
depanku!" seru lelaki berpakaian merah kusam yang baru datang sambil memutarmutarkan senjata aneh berbentuk gada pendek berantai di atas kepalanya.
Dari gada itulah lahir beruntun sambaran lidah petir akibat bergesekan dengan
udara. Dialah anak muda berusia sebaya dengan Dewa Topan dan Dewa Api yang
menantang adu nyawa Pertapa Rakit beberapa waktu yang lalu.
Sesungguhnya pula, Dewa Halilintar pun bersaudara kembar dengan kedua
lelaki yang didatanginya. Kalau Dewa Api diangkat murid oleh Datuk Penguasa Api,
lalu Dewa Topan diangkat murid oleh Datuk Perempuan Penguasa Topan, maka Dewa Halilintar diangkat murid oleh Datuk Penguasa Halilintar. Semua itu terjadi
dalam jurang waktu selama tiga puluh tahun. Artinya baru kali ini mereka
bersama- sama lagi. Sejak tiga puluh tahun yang lalu.
Kemunculan Dewa Halilintar membuat Dewa Topan serta Dewa Api tergugu
sejenak. Hari ganjil apa ini" Kenapa ada tiga lelaki yang berwajah sama persis
satu sama lain" Demikian kira-kira isi batin mereka.
Bahkan Dewa Halilintar sendiri dihadapkan pada mimpi aneh. Putaran
senjatanya saat itu juga terhenti, lalu lunglai di sisi tubuhnya.
Cukup jauh dari tempat mereka. Pendekar Slebor pun dipaksa turut dalam
suasana kaku. Bibirnya membuka tanpa sengaja. Tampangnya jadi terlihat tolol
Playboy Dari Nanking 15 Pendekar Cambuk Naga 4 Gerhana Tebing Neraka Istana Yang Suram 11

Cari Blog Ini