Pendekar Slebor 17 Piramida Kematian Bagian 1
PIRAMIDA KEMATIAN
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Cici
Editor : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor dalam episode :
Piramida Kematian
128 hal. Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Langit merah saga. Matahari terjerembab lelah di ufuk barat negeri Mesir. Pucuk
Piramida Tonggak Osiris* seolah menusuk tajam langit biru, dingin dan angkuh, di
sisi hawa panas yang beranjak naik dari hamparan pasir gurun. Di dalam perut
bangunan tua dari zaman sebelum masehi itu, beberapa orang rimba persilatan
manca negara telah hadir. Di antara mereka, tak ada yang tahu apa yang bakal
menimpa. Tonggak Osiris. Sebuah nama yang disematkan pada
piramida ini, sepertinya tak lebih dari satu isyarat yang samar bahwa para tokoh
persilatan ini siap memasuki moncong Sang Osiris, Dewa Kematian!
Satu nyawa tokoh persilatan telah menjadi tumbal.
Hakim Tanpa Wajah. Tokoh kawakan yang malang
melintang sejak puluhan tahun silam, telah kehilangan nyawa semudah seekor
cacing tergilas panas mentari.
Tokoh sesat sakti yang dulu sering membuat jatuh
bangun dan banyak meminta nyawa para tokoh persilatan itu saja mudah sekali
dapat terbang ke neraka. Lantas, ancaman maut macam apa yang sebenarnya harus
dihadapi para undangan yang terdiri dari tokoh-tokoh silat manca negara. Dan apa
pula yang harus dihadapi pemuda sakti tanah Jawa berjuluk Pendekar Slebor"
Setelah mata semua undangan menyaksikan bagaimana mayat Hakim Tanpa Wajah diaduk-aduk dalam
gejolak pasir panas di lobang Ruang Para Dewa, Andika menghela napas panjang
(Untuk mengetahui lebih jelas tentang kejadian tersebut, baca episode
sebelumnya: "Undangan Ratu Mesir).
"Aku tak tahu, kenapa mayat si tua itu harus muncul di lobang yang tiba-tiba
terbentuk dalam ruang ini. Hanya aku yakin, semua ini tidak begitu saja
terjadi...," desah Andika.
"Bisa kau jelaskan maks ud
ucapanmu, Tuan Pendekar?"
cetus Hiroto, mengajukan pertanyaan. Sebenarnya, hatinya pun memendam kecurigaan yang
sama. Andika sejenak mengedarkan sepasang bola mata
bermuatan wibawa miliknya, pada setiap orang di sana.
Pada Nofret, matanya menatap lebih lama. Sepertinya, anak muda itu hendak
menekankan bahwa perkataan
selanjutnya ditujukan untuk gadis Mesir cantik jelita, anak juru kunci makam
kuno ini. "Dari bentuknya, aku tahu lorong ini sengaja dibuat dan dirancang agar bisa
berhubungan dengan gurun di luar piramida. Itu artinya, ada seseorang atau
sekelompok orang yang telah membangunnya untuk tujuan-tujuan
tertentu...."
"Jangan berbicara sembarangan, Tuan!" potong Nofret membuat kata-kata Pendekar
Slebor terhenti.
Andika menoleh tenang, seperti sebelumnya. Kembali matanya menatap wajah luar
biasa anak Pendeta 'Ka' itu.
Tapi tak ada kilatan sinar menyudutkan.
"Kenapa kau harus marah" Aku sama sekali tidak menuduhmu. Lagi pula, tidak sedap
rasanya gadis secantik Nona memasang wajah berang seperti itu...," tukas Andika,
mencoba menangkal kegusaran Nofret.
Mendengar ucapan urakan Andika, Chin Liong di
belakangnya hanya bisa tersenyum tipis kentara. Dia tahu, penyakit mata
keranjang sahabatnya sudah mulai kumat lagi. Hanya saja, kasihan Putri Ying
Lien. Wajah putri junjungannya itu menjadi merah kusam.
"Aku tidak merasa dituduh. Aku hanya memperingatkan, seharusnya berhati-hati berbicara. Apa kau sadar ucapanmu
barusan seolah-olah mencurigai Ratu Kami telah merencanakan kejahatan untuk
kalian semua...," ujar Nofret berapi-api.
"Tampaknya begitu," timpal Andika. Seolah kejadian yang menimpa Hakim T anpa
Wajah sama sekali tidak bisa membuat nyali anak muda itu menciut.
Mata berbulu lentik Nofret mulai menampakkan serat cahaya kegusaran kembali.
"Nasibmu bisa seburuk orang tua itu, T uan!" tandas gadis itu seperti berbisik
terseret. Sama sekali Nofret tak bermaks ud mengancam
Andika. Dan memang, pemuda itu tak pernah mengundang kemuakan dalam dirinya.
Sebaliknya, sejak Pendekar Slebor berusaha menolong Hakim Tanpa Wajah yang
sesungguhnya adalah musuh besarnya, dasar hati Nofret mulai ditumbuhi benihbenih rasa yang sulit diungkapkan.
Kalaupun kata-katanya berkesan mengancam, sebenarnya hanya ingin mengingatkan.
Dalam keyakinan Nofret terpendam kepercayaan
bahwa para Raja Mesir akan menjadi Dewa setelah mati.
Dan sudah pasti, seorang Ratu akan menjelma menjadi seorang Dewi. Perkataan
sembarangan yang ditujukan pribadi Sang Ratu yang telah mati, bisa berarti
kutukan mengerikan!
"Mati urusan lain, Nona. Yang harus diperjelas, apakah kami ke sini hanya untuk
menjadi umpan rencana keji seseorang, atau apa?" kilah Andika, masih juga
santai. Setenang tiupan semilir bayu.
"Maaf, Nona," sela Putri Ying Lien.
Mungkin cuma Chin Liong saja yang bisa mengendus
alasan gadis itu menyela perdebatan antara Nofret dan Andika. Cemburu! Demikian
seloroh Chin Liong dalam hati.
"Apakah tak sebaiknya pertengkaran tak berarti ini dihentikan. Dan alangkah
baiknya bila kita meneruskan niat kita semula. Bukankah kita hendak mengambil
gulungan papirus*?" lanjut Putri Ying Lien.
Gadis itu mengingatkan mereka semua pada
gulungan papirus yang menurut Nofret berisi pesan dari ratunya. Dan pesan itu
akan memperjelas, apa tujuan mereka diundang masuk ke bangunan kuno nan megah,
sekaligus memendam sehimpun teka-teki ini.
Karena pendapat Putri Ying Lien ada benarnya, Andika pun mengalihkan perhatian
ke arah dinding ruang tempat gulungan papirus tua yang menyembul dari mulut
lukisan Dewa Anubis, Dewa Penjaga Kematian. Sebelumnya. niat
Andika urung karena terciptanya lobang pasir panas besar tempat bangkai Hakim
Tanpa Wajah muncul.
"Biar aku." sergah Nofret melihat pemuda berlagak sengak itu mulai mendekati
gulungan papirus.
"Nona," panggil Andika. "Bukankah tadi sudah kuminta agar aku saja yang
menjemput gulungan papirus itu?" "Aku tak suka kalau Ratuku dicurigai," ujar
Nof?ret. "Akan kubuktikan kalau pesan dalam papirus ypng ditinggalkan Ratu tak akan
mengancam nyawa siapa pun!"
Sepertinya gadis itu menjadi amat tersinggung dengan setiap kecurigaan beberapa
tamunya. Namun baru dua langkah kaki Nofret bertindak, Pendekar Slebor sudah
mencekal tangan halusnya.
"Kau jangan berjudi dengan dirimu sendiri, Nona!"
kata Andika setengah menghardik.
Gadis itu tak berkata apa-apa. Hanya ditatapnya
tajam-tajam tangan
kokoh Andika yang mencekal pergelangannya. Di matanya, tangan pemuda itu melukiskan kegagahan orangnya. Nofret jadi sempat merutuki diri
sendiri, karena masih sempat-sempatnya
membayangkan hal itu.
Namun begitu, Nofret menyadari kalau semua itu
karena jarang bergaul dengan pria. Selaku anak seorang Pendeta 'Ka' yang
terhormat, dia berusaha sebisa mungkin untuk menjaga kehormatan keluarga.
Sayangnya, justru hal itu membuatnya kehilangan banyak kesempatan untuk
mengenal pemuda atau mengenal makna cinta.
Jika hari ini ada seorang pemuda yang untuk pertama kali dalam hidup menyentuh
pergelangan tangannya,
sudah barang tentu ada desir halus yang merambat di segenap aliran darah gadis
itu. Desir yang sulit dipahami.
Tapi, Nofret tetap bisa merasakan kehangatannya.
Karena itu pula wajah jelita gadis pemandu itu
menampakkan semu merah. Rasa hangat itu rupanya
menjalari pula wajah menawannya.
"Maaf, Nona," ucap Andika bergegas, kemudian
melepaskan cekalannya. "Bukan maksudku untuk berbuat lancang pada Nona."
Nofret tak sempat menanggapi ucapan maaf pemuda
di dekatnya. Gadis ini terialu sibuk menyembunyikan wajahnya yang mematang dari
sergapan mata Andika dan para undangan lain.
"Tolonglah, Nona. Beri aku kesempatan untuk
mewakilimu mengambil gulungan papirus itu," lanjut Pendekar Slebor dengan nada
melandai, membujuk.
"Benar, Nona," timpal Hiroto. "Asal Nona tahu, seorang pendekar seperti Tuan
Andika sangat menghormati wanita.
Kalaupun dia bersikeras untuk mengambilkan papirus itu, aku yakin semata-mata
karena dorongan jiwa ksatrianya.
Bukan atas dasar kecurigaan pada niat ratu Nona
mengundang kami."
Pujian Hiroto pasti membuat lobang hidung pemuda
urakan kepala batu itu menjadi kembang-kempis. Dijamin!
"Bukan begitu..., Tuan Andika?" cetus Hiroto agak mendadak.
Bibir tipis Andika bergerak kian kemari. Apa yang mau diucapkan, dia sendiri
bingung. Pujian Hiroto tadi membuatnya mati kutu!
"Yaaahhh, barangkali begitu," jawab Andika sekenanya disertai sebaris cengiran
serba salah. Di bibir Nofret, saat itu terbetik senyum amat samar melihat tingkah Pendekar
Slebor. Begitu cepatkah pesona pemuda urakan ini mengusik sanubarinya"
"Baiklah...," putus Nofret singkat.
Untuk kedua kalinya, gadis jelita itu mengurungkan niat untuk mengambil gulungan
papirus di dinding. Dia pun kembali ke tempat berdiri semula.
"Apa lagi yang kau tunggu,
Pendekar Mata Keranjang?" bisik Chin Liong di telinga Andika. Dia melihat mata anak muda
urakan itu masih saja menegaskan bibir ranum Nofret.
"Jangan pura-pura. Kau sendiri sebenarnya menginginkan dia juga, kan?" balas Andika dengan berbisik
pula, sambil mengedikkan alisnya.
Wajah Chin Liong bersungut.
Andika acuh saja.
Kakinya lantas melangkah mendekati dinding berlukiskan Dewa Anubis. Sebelum tangannya
menjemput sembulan gulungan papirus,
kepalanya menoleh pada orang di sekitarnya. Dengan raut wajah sungguh-sungguh,
tampak sekali Pendekar Slebor hendak memperingatkan mereka semua agar bersiapsiap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
Kembali wajahnya dipalingkan pada gulungan papirus. Usai mengatur napas beberapa
tarikan, tangan kanannya pun terjulur.
Saat ini semua saraf pada setiap orang mengejang
tegang. Sret! Tanpa kesulitan sama sekali, Andika meloloskan
gulungan papirus tua tadi. Ya! Tanpa kesulitan sedikit pun!
Bahkan ketika benda itu sudah tergenggam ketat di
telapak tangannya pun, tak ada bahaya mengancam
seperti dugaannya.
Mendapati kenyataan ini, Nofret merasa lega. Kalau saja dia sejenis wanita
berperangai buruk, tentu.bibirnya sudah menyunggingkan seringai kemenangan.
Agak risih, Pendekar Slebor menoleh pada Nofret.
"Rasanya, aku sudah salah duga," ucap Andika seperti hendak menghaturkan
permintaan maaf secara tak
langsung. Lalu disodorkannya gulungan papirus pada Nofret.
Belum lagi benda itu berpindah tangan, wanita hitam manis dari Sepasang Manyar
yang berada di sudut paling belakang, menerobos ke depan. Yang dituju, Andika
dan Nofret. "Awas!" teriak wanita ini melengking.
Berbarengan dengan itu, dari lobang pada mulut
lukisan Dewa Anubis tempat gulungan papirus berasal, menyembur uap berwarna
kehijauan yang demikian cepat menyergap ke tempat Pendekar Slebor dan Nofret.
Seandainya Sepasang Manyar wanita tadi tak segera
menyergap, sudah bisa dibayangkan apa yang bakal
menimpa. Sepasang Manyar wanita berusia sekitar empat
puluhan. Biar begitu, penampilannya masih tetap menarik perhatian kaum lelaki.
Kerutan kecil di sebagian kening dan sisi hidungnya, justru membuatnya terlihat
manis. Kulitnya yang gelap tak membuatnya kehilangan pesona.
Apalagi dengan rambutnya yang panjang lurus terjulur, di mbangi sepasang bola
mata bulat nan jeli.
Sebagai seorang pawang binatang berbisa, Sepasang
Manyar wanita memiliki penciuman yang terlatih untuk membaui jenis tertentu.
Sementara yang lain tak
Pendekar Slebor 17 Piramida Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyadari kehadiran ancaman maut karena tak mendengar s uara mencurigakan, penciuman wanita itu justru menangkap bau sejenis
racun ular paling ganas. Dan begitu tahu dari mana s umber bau tersebut,
tindakan cepat pun langsung diambilnya.
"Cepat ambil jarak!" seru Sepasang Manyar wanita kembali, begitu Pendekar Slebor
yang membopong Nofret berhasil menyentak tubuhnya untuk bangkit.
Mereka semua mengambil jarak. Termasuk, Sepasang
Manyar wanita. "Sungguh perangkap keji sekaligus licik," maki Sepasang Manyar wanita . "Setelah
kalian merasa aman, barulah bisa itu tersembur keluar tanpa bunyi. Apakah itu
bukan perangkap licik?"
Kata-kata Sepasang Manyar wanita terdengar meledak-ledak tak terkendali. Kelihatannya dia sewot.
Matanya kemudian mendelik Andika yang masih mengatur napas.
"Tunggu apa lagi"!" bentak wanita itu.
"Tunggu apa?" tauya Andika, yang dipelototi dengan wajah heran.
Mata wanita hitam manis yang terkenal bermulut
ccrewet itu bertambah membesar.
"Kau baru saja kuselamatkan, bukan" Mestinya sejak
tadi menghaturkan terima kasih padaku!" sembur Sepasang Manyar wanita dengan
kata-kata melengkingnya.
"Ya ya ya. Terima kasih!" ucap Andika sekenanya.
Sepasang Manyar wanita tersenyum lebar-lebar. Dia
merasa tersanjung setinggi langit, mendapat penghargaan dari seorang pemuda
setampan Pendekar Slebor.
Di sudut lain ruangan ini, suami Sepasang Manyar
wanita mengawasi tingkah genit istrinya. Dia terlihat masih lugu. Sepertinya
pula, berada di bawah pengaruh istrinya.
Itu terlihat jelas dari tatapan matanya yang menyerah pasrah jika harus
bertumbukan dengan mata si istri.
Tubuhnya kecil, tak seimbang bila dibanding istrinya yang tinggi semampai serta
berpinggul padat. Rambutnya kriting kusam. Wajahnya pun tak bisa dibilang
tampan. Wajahnya terlihat kebodoh-bodohan seperti wajah seorang pemabuk, meski
tak bisa pula dibilang buruk. Entah, apa yang menarik dalam dirinya sehingga
wanita itu sudi diperistri.
Lelaki bertampang mengenaskan itu merasa sikap
istrinya tadi sebagai ancaman yang bisa merusak
hubungan lahir-batin suami istri. Maka dengan sok wibawa, lelaki bertubuh kecil
dan berwajah Senin-Kamis itu mendekati istrinya.
"Kau baik-baik saja, Sayang?" tegur lelaki itu sepenuh hati, dengan suara
mendayu. "Baik! Sekarang diam kau, Tai Kucing!" maki Manyar Wanita, menggebuk jantung
sang suami sampai hendak putus!Yah..., memang nasibnya beristrikan perempuan
bertabiat nenek sihir!
*** Andaikata tahu hendak ke mana garis hidup
menjejak, maka tak akan pernah ada orang yang
membiarkan diri masuk ke dalam nasib buruk. Garis hidup memang selalu sulit
diterka. Jika hari ini nasib
membentangkan kebaikan, siapa tahu besok akan digelar
keburukan"
Begitu pula yang terjadi pada para undangan. Tak
satu pun di antara mereka sebelumnya menduga akan
menghadapi ancaman maut, ketika tiba di perut piramida.
Dan cepat atau lambat, akhirnya mereka bisa
menemukan kesimpulan sendiri. Dengan kematian mengenaskan Hakim T anpa Wajah, ditambah jebakan licik semburan bisa ular,
kecurigaan mereka kian beralasan.
Pendekar Slebor yang memiliki ketajaman pikir dan
kepekaan menangkap ketidakberesan, makin yakin bahwa perjalanan di dalam
piramida akan semakin mengundang bahaya maut. Selangkah demi selangkah.
Untuk mundur, mereka sudah telanjur. Pantang bagi
tokoh jajaran teratas persilatan dari beberapa belahan dunia untuk beringsut
mundur layaknya pecundang.
"Aku tidak ingin kau tersinggung lagi jika kuungkapkan lagi kecurigaanku, Nona,"
tutur Pendekar Slebor, setelah suasana
bisa tenang kembali. "Lebih baik kau membacakan naskah papirus itu bagi kami sekarang."
Sebenarnya Nofret sendiri tak
bisa mengerti. Mungkinkah memang Ratunya yang telah merencanakan
jebakan demi jebakan kejam yang telah disaksikan
sendiri" Padahal dengan keras dia hendak membela
kehormatan junjungannya.
"Ayo, tunggu apa lagi Nona," desak Andika, tanpa tekanan.
Meski dengan perasaan tersudut, Nofret akhirnya
mau juga membaca gulungan papirus di tangannya.
"Jika masa menggulung diri lalu menua, tiba saatnya aku yang abadi di alam para
Dewa untuk menggelar upacara hari kematianku. Ya! Kalian semua adalah para
undangan istimewa yang akan menghadiri upacara hari kematianku. Tepatnya, hari
ini Sebagai tanda penghargaanku atas kesudian kalian semua datang memenuhi
undanganku, seusai "upacara besar" nanti, kalian akan kusuguhkan sesuatu yang
istimewa. Sekarang, nikmati saja seluruh isi istana terakhirku ini..."
Sang Ratu Agung
Nofret mengakhiri pembacaan naskah papirus. Ruang
kembali dikekang sepi. Benak semua yang ha-dir
diberondong pertanyaan demi pertanyaan, tentang makna isi gulungan papirus.
*** 2 Pesan Sang Ratu sudah dibacakan Nofret. Namun,
para undangan tetap tak bisa tepat menentukan, apa tujuan mereka diundang ke
dalam Piramida Tonggak Osiris.
Menurut gulungan papirus, mereka diundang untuk
menghadiri upacara kematian Sang Ratu. Upacara macam apa pula yang menunggu"
"Jadi apa lagi yang harus kita perbuat sekarang, Nona?" cetus Kenjiro, lelaki
Jepang bertubuh tambun. Dia tak sabar menunggu Nofret bicara lebih lanjut.
"Sesuai pesan dari mendiang ayahku, setelah
mengetahui isi pesan Sang Ratu, kalian akan kuantar menuju ruang para
undangan...," tutur Nofret.
"Lalu, kapan upacara yang dimaksud dalam papirus tadi?" timpal Sepasang Manyar.
"Tengah malam nanti. Untuk itu, kalian harus
menunggu dulu di ruang para undangan, sampai waktu upacara tiba. Setelah kalian
tiba di sana, maka tugasku pun selesai...."
"Hei! Apa maksudmu"!" sentak Kenjiro. "Kalau kau pergi, berarti kami akan
terjebak di dalam sini! Sementara hanya kau yang tahu seluk beluk tempat itu.
Bagaimana kalau terjadi hal-hal mengerikan lagi" Apa kau memang sengaja ingin
mengumpankan kami pada kekejian
ratumu?" Wajah Kenjiro yang merah kian matang. Kalau saja
sepupunya yang berwibawa, Hiroto tak mencegah, tentu mulutnya akan terus
menyemburkan bentakan-bentakan keras tak sopan pada Nofret.
"Hati-hati bicara, Tuan!" balas Nofret setengah menghardik.
Wajah gadis itu ikut memerah. Pada saat seperti itu, Pendekar
Sleborlah yang paling suka menikmati perubahan wajah gadis Mesir ini. Di matanya, Nofret makin terlihat mempesona
dengan semu merah wajahnya, serta menggemaskan dengan beliakan mata indahnya.
"Aku tahu, Nona ini hanya menjalankan tugasnya, Kenjiro.
Aku yakin itu," tukas Hiroto, berusaha menyurutkan kegusaran saudara sepupunya
yang memang sulit
mengendalikan perasaan.
"Bukan begitu, Nona?"
"Ya, benar! Aku pun berpendapat begitu. Tak baik kita menyalahkan Nona ini."
Yang menyahuti justru Andika.
Raut wajahnya dibuat sewibawa mungkin. Mau apa lagi dia, kalau bukan hendak
menarik perhatian si dara Mesir yang membuatnya terpana pada pandangan pertama!
Ketengikan Andika terbaca mata tajam Chin Liong.
Sebagai lelaki yang sama-sama memiliki gejolak darah muda, tentu saja siasat
gombal sahabatnya cepat bisa dibacanya.
Dengan agak dongkol bercampur geli di hati. Chin
Liong menyikut Andika sampai meringis-ringis. Tampang wibawa pada wajahnya pun
jadi mental entah ke mana.
Sekarang dia malah terlihat seperti orang yang telat masuk jamban!
"Sekarang, ayolah kita segera ke ruang yang Nona maksud tadi. Aku sepenuhnya
percaya," ujar Andika lagi buru-buru, takut ringisannya sempat tertangkap mata
Nofret. "Sebelum kuantar ke sana, sebaiknya kalian
mencamkan kata-kataku. Jangan sekali lagi mengatakan hal yang tak pantas pada
Sang Ratu.... Bukankah sudah kukatakan sebelumnya, bahwa perkataan senonoh
kalian akan membuat Ratu menjadi murka. Akibatnya, adalah seperti yang menimpa
orang tua itu," papar Nofret agak panjang.
Mata setiap undangan kembali tertuju bersama-sama
pada mayat Hakim Tanpa Wajah dalam lubang berpasir di tengah ruangan.
"Hey! Apa iya Ratu yang sudah modar ratusan tahun lalu, bisa bertindak pada kita
yang hidup?" bisik Andika pelan sekali, berseloroh pada Chin Liong.
Chin Liong mendelik. "Kenapa mulutmu tak bisa diam
saja! Kau mau bernasib seperti tua keparat itu"!" bisik pemuda Cina ini
membalas. "Aku hanya ingin tahu. Kalau benar begitu, ingin rasanya aku berkencan dengan
Sang Ratu. Pasti dia jauh lebih cantik daripada Nofret. He he he," seloroh
Andika, sambil mengerlingkan mata.
Chin Liong menggeleng-gelengkan kepala.
Selagi dua pemuda'gagah lain bangsa itu kasak-kusuk tak kentara....
"Kita kehilangan dua orang undangan!" seru gadis itu, mengejutkan Chin Liong dan
Andika. Sepasang mata bulat berbulu lentiknya mencari-cari ke segenap ruangan.
Mau tak mau yang lain pun mengikuti. Mereka semua
mencoba memastikan, siapa di antara para undangan yang tidak ada lagi di
tempatnya. "Dua Biksu Dari Tibet...," desis Andika, menyimpulkan.
Ya! Dua biksu aneh itu sudah tak ada lagi di tempatnya!
Mereka hilang seperti ditelan bumi tanpa jejak sedikit pun!
"Ada di antara kalian yang melihat mereka pergi?"
tukas Pendekar Slebor mencoba mengendalikan keadaan.
Sebagian menggeleng. Si Kepala Kacang yang
berperangai amat dingin hanya diam menantang pandangan Pendekar Slebor. Bagi Andika, itu sudah cukup sebagai isyarat kalau
lelaki itu pun tak tahu menahu tetang kepergian Dua Biksu Dari Tibet.
Tubuh si Kepala Kacang paling tinggi di antara yang lain. Kulitnya pucat,
berambut lurus dan kaku sepanjang bahu. Dengan pakaian yang terlalu sesak
berbentuk balutan kain perca berwarna kelabu. tubuhnya jadi tampak makin jangkung. Ciriciri yang paling mudah dikenali dari dirinya adalah, bentuk wajahnya tak sesuai
tubuhnya. Kepalanya terlalu kecil bertengger di lehernya.
"Jadi mereka menghilang," desis Kenjiro. membuat suasana kian mencekam.
"Bagus!" bentak Andika. Kekesalannya mendadak terlompat, disusul caci maki
khasnya. "Kecoa jelek, kutu buduk, biang koreng! Apa yang sesungguhnya
terjadi!?"
Dua Biksu Dari Tibet adalah para pertapa yang
mengasingkan diri dari keduniawian. Itu terlihat jelas dari penampilan mereka.
Dengan kepala gundul bertanda
bulatan-bulatan kecil, serta pakaian layaknya para biksu.
Namun ada yang tidak pantas pada diri mereka
selaku biksu. Mereka selalu membawa tasbih terbuat dari tempurung tengkorak
manusia yang telah dikecilkan
dengan ramuan khusus! Selain itu, sinar mata mereka pun tampak membersitkan
kekejian tak terbatas. Semacam kekejian yang dibungkus kulit bagus....
Mereka jelas dua biksu murtad yang lari dari ajaran luhur. Mereka lebih suka
menyatukan diri dengan
kedurjanaan. Kalaupun mereka masih berpe-nampilan
sebagai biksu, itu sekadar kedok semata.
Kini pertanyaan muncul, ke manakah mereka"
Di ruang lain pada sayap utara Piramida Tonggak
Osiris, tampak dua lelaki biksu itu. Ketika tadi para undangan lain sedang sibuk
berdebat, salah seorang biksu ini menyandarkan tubuh pada satu belahan batu
dinding. Seketika batu dinding itu melesak masuk. Lalu tanpa disadarinya, sebuah mulut
lorong menganga perlahan.
Halus tanpa suara.
Pada saat itu, hanya ada telinga seseorang yang
masih sanggup menangkapnya. Orang itu, Putri Ying Lien.
Indera pendengarannya yang amat terlatih dan sudah menjadi mata kedua baginya,
membuat Putri Ying Lien begitu peka untuk menangkap suara yang paling halus
sekalipun. Sayang, karena perhatiannya demikian terpusat pada perdebatan yang
terjadi, dia jadi tidak begitu memperhatikan.
Sebenarnya, Dua Biksu Dari Tibet pun tak tahu
sesuatu yang terjadi, karena ketidaksengajaan salah seorang dari mereka. Sampai
salah seorang melihat lubang menganga dan timbul keingin tahuannya. Lalu dengan
diam-diam, dia pun mengajak rekannya untuk memasuki lorong itu tanpa
memberitahukan terlebih dahulu pada yang lain.
"Kenapa kita tak memberitahu yang lain?" tanya biksu berhidung pesek, ketika
keduanya sudah di tengah lorong setinggi kurang dari satu tombak.
"Kau jangan bodoh! Apa kau tak tahu, bahwa piramida adalah
kuburan para pembesar Mesir. Menurut kepercayaan mereka, seorang yang mati akan menjalani hidup di alam lain. Itu
sebabnya, mereka menyertakan harta yang mati ke dalam piramida...," papar biksu
bertengkuk tebal, seperti tengkuk sapi benggala.
Biksu berhidung pesek menyeringai. Dengan cepat
maksud rekannya bisa tertangkap. "Harta...," desis biksu berhidung pesek dengan
Pendekar Slebor 17 Piramida Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kilatan mata rakus.
"Dan bisa jadi lorong rahasia ini adalah jalan menuju ruang penyimpanan harta
ratu itu. Ha-ha-ha!" kata biksu bertengkuk tebal tergelak.
Lalu secepatnya wajah
bengisnya berubah sangar kembali.
Setelah berjalan terbungkuk-bungkuk selama lebih
dari sepeminum teh mengikuti lorong berliku-liku tak menentu, mereka akhirnya
tiba di ujung lorong. Sebuah dinding tebal buntu menghadang mereka.
"Sial!" maki biksu berhidung pesek. "Sungsang sumbel kita menyusuri lorong
keparat menyusahkan diri, tak tahunya hanya menemukan jalan buntu!" makinya
berat menyentak-nyentak.
Biksu Punuk Tebal tak cepat-cepat menanggapi
gerutuan rekannya. Matanya jelalatan cepat, menca-ri-cari sesuatu.
"Kau sepertiriya tak kesal?" tanya biksu berhidung pesek, mengungkapkan
keheranannya. "Tutup saja bacotmu. Bantu aku menemukan
sesuatu...."
"Sesuatu apa?"
"Apa pun yang tampaknya mencurigakan," jawab Biksu Punuk Tebal, sementara
matanya terus mencari ke segenap dinding.
"Aku tak melihat ada sesuatu yang mencurigakan pada dinding tua berlumut tebal
ini...." "Jangan banyak mulut! Cari saja!"
Dengan menggerutu tak kentara, biksu berhidung
pesek menuruti perintah rekannya.
Lama mereka mencari sampai bokong keduanya
terasa panas dan linu, karena sudah demikian lama
merunduk seperti kakek-kakek uzur.
"Tunggu-tunggu!" sergah Biksu Punuk Tebal ti-ba-tiba.
"Kau menemukan sesuatu?"
Biksu Punuk Tebal menggeleng.
"Kalau tidak menemukan apa-apa, kenapa mesti
berhonti!" sentak biksu berhidung pesek dongkol.
"Tolol! Tentu saja kita tak akan menemukan apa-apa!"
balas Biksu Punuk Tebal sengit.
"Kalau begitu, buat apa pula meminta aku mencari-cari sesuatu mencurigakan
segala macam! Sial!" dengus biksu berhidung pesek tak kalah sengit.
"Maksudku, kau lihat dinding ini," ujar Biksu Punuk Tebal seraya menyentuhkan
tangannya pada dinding di hadapan mereka.
"Kau pikir, dari tadi itu aku melototi apa" Pantatmu?"
"Lihatlah lumut tebal ini!" penggal Biksu Punuk Tebal.
Tak dipedulikannya kata-kata kasar rekannya barusan.
"Pikir! Pakai otakmu dengan benar! Lumut ini tak akan tumbuh di tempat kering.
Apalagi pira?mida ini berada di tengah gurun!"
"Jadi maksudmu apa"!"
Biksu Punuk Tebal mendengus.
"Itu artinya, dinding ini berhubungan dengan tempat lembab...," jelas Biksu
Punuk Tebal agak bertekanan. Kesal dia menghadapi kemandekan otak rekannya.
"Tapi itu sama sekali tak berhubungan dengan jalan yang hendak kita temukan!"
sergah biksu berhidung pesek, makin keras berbicara. Bibirnya sampai menjadi
begitu mancung. Semburan ludahnya pun setia menyertainya.
"Jangan membentak-bentak begitu rupa! Aku muak melihat bentuk bibirmu yang jelek
itu!" sembur Biksu Punuk Tebal. "Sekarang kau diam! Jangan banyak bacot
lagi kalau tak ingin kita baku hantam di tempat sempit ini!"
Biksu Punuk Tebal mulai meneliti kembali dinding
buntu di depannya. Dengan menyadari adanya lumut di dinding, hatinya semakin
yakin ada ruang lain yang berhawa lembab di balik dinding itu. Karenanya pula,
dia terus mencari-cari. Sampai akhirnya lelaki berwajah bengis itu membuat
kesimpulan jitu yang bisa membawa mereka menembus lorong buntu tersebut.
"Dapat!" seru Biksu Punuk Tebal tertahan.
*** 3 "Jangan! Kuminta kau jangan pergi mencari Dua Biksu Dari Tibet sendiri!" cegah
Pendekar Slebor pada Nofret, setibanya mereka semua di ruang para undangan yang
telah disiapkan ratusan tahun lalu, ke-tika Sang Ratu masih hidup.
Cegahan ini dilontarkan karena menurut penilaian
Pendekar Slebor, dua biksu itu memendam kejahatan di balik topeng sucinya.
Seringkali pemuda berotak jernih itu bisa menilai tabiat bejat seseorang hanya
dari sinar matanya. Andika memang selalu berpegang teguh pada pendapat, bahwa
mata adalah jendela jiwa. Dari sinar mata kedua lelaki Tibet itu pula, dia
menangkap secara samar-samar keangkaramurkaan.
"Aku harus mencarinya!" tandas Nofret dengan tegas.
Bukan apa-apa, selama semua undangan belum tiba
di ruang para undangan, dara menawan itu merasa masih digelayuti tanggung jawab
penuh terhadap keselamatan mereka.
Langkah tergesa Nofret segera dihadang tubuh
Pendekar Slebor. Pemuda tampan itu terang-terangan menutup jalan bagi gadis ini
dengan dada bidangnya.
"Tidak kataku!" tegas Andika seraya menggeleng.
Nofret menghujamkan tatapannya pada mata elang
Andika. Seakan, mata yang telah banyak menggetarkan sanubari para wanita itu tak
membuatnya goyah.
"Kau tak tahu apa-apa tentang piramida ini. Seperti juga kedua lelaki Tibet
itu," kata Nofret dengan segenap tekanan. "Mereka bisa berbuat yang tidak
diperkenankan Sang Ratu. Kalau itu terjadi, akan parah akibatnya."
Sekali lagi Pendekar Slebor menggelengkan kepala.
Kalau sebelumnya menggeleng karena sikap tidak setuju niat Nofret mencari Dua
Biksu Dari Tibet, maka kali ini karena mulai bosan mendengar perkataan Nofret
tentang segala macam tetek bengek yang berkaitan dengan
ratunya. "Sejak kami tiba, selalu saja itu yang kau ucapkan: Tentang ratumu yang akan
murka jika kami bertindak gegabah. Apa kau menganggap kami ini hanya sejenis
kambing congek yang diatur seenaknya. Aku tahu, kami tamu di sini. Tapi, tidak
dengan cara yang kelewatan seperti ini!" kata Andika, meletup-letup. Nadanya pun
mulai meninggi.
Dan baru saja kata-kata Pendekar Slebor berakhir,
mendadak, ruangan bagai digebah oleh satu kekuatan raksasa dari dasar bumi.
Dinding berguncang, lantai bergetar. Serpihan-serpihan pasir berjatuhan,
menghujani semua orang di ruangan ini.
Sebentar kemudian, ruangan kembali tenang. Hanya
sisa debu yang melayang lamban, menuju lantai.
Sementara mata tajam Andika tak bergerak menghujam langit-langit dinding. Dia khawatir getaran berikutnya lebih menggila
lagi. Kalau itu terjadi, semua harus bersiap-siap menghindari reruntuhan
ruangan. Tapi itu tak terjadi. Getaran benar-benar telah enyah.
Nofret menatap Andika lekat-lekat. Setelah itu,
ditatapnya undangan lain satu persatu.
"Kalian lihat sendiri bukan" Tuan muda ini telah lancang mengatakan hal yang tak
semestinya pada diri Sang Ratu. Itu sebabnya, bangunan ini menjadi tergetar.
Sang Ratu gusar. Untung saja dia hanya memberi
peringatan...," papar Nofret padat keyakinan.
"Kau hendak mengatakan kalau getaran itu karena aku telah menyinggung ratumu?"
tanya Andika dengan wajah masih saja melempar kesan ketidakpercayaan.
"Kau masih tetap tak percaya rupanya...," kata Nofret lagi. "Itu terserahmu,
Tuan Muda. Sekarang, kuminta dengan hormat agar kau tidak menghalangi jalanku.
Aku hendak mencari Dua Biksu Dari Tibet."
Lagi-lagi Pendekar Slebor menggeleng. Menghadapi
anak muda sekeras kepala dia, jangan harap mau
mengalah! Nofret menjadi agak gusar. Cuping hidungnya yang
bangir agak terungkit. Sepasang kelopak matanya pun membesar. Padahal, itu
justru amat disukai Andika.
Bagaimana tidak" Dua bola mata indah itu seperti
lengkung sepasang purnama yang berkabut, manakala
memperlihatkan kemarahan....
Melihat wajah Nofret yang memerah, pendekar
urakan itu malah tersenyum-senyum menjengkelkan. Siapa yang tak akan bertambah
kesal" "A..., a. Sebaiknya kemarahanmu disimpan, Nona. Itu hanya akan membuat tenaga
sia-sia...," cegah Andika melihat gelagat kemarahan Nofret akan me-ningkat.
"Kalau begitu, kenapa kau tak cepat memberiku jalan?"
Gadis Mesir itu sepertinya masih berusaha bersikap sepantas mungkin, selaku tuan
rumah yang dipercaya ratunya.
"Baik. Aku setuju kau mencari dua lelaki T ibet itu.
Asal, bersedia kukawal. Ini sekadar untuk menjaga
keselamatanmu, Nona," usul Andika.
Entah, apa maunya pemuda ini. Bisa jadi dia memang bersungguh-sungguh untuk
menjaga keselamatan Nofret.
Tapi bukan mustahil pula, cuma akal-akalannya untuk bisa lebih dekat dengan
Nofret! Dasar bulus!
Nofret mengangguk tanpa perlu menunggu lebih
lama. Baginya, lebih cepat menemukan dua lelaki yang dianggap hilang itu adalah
lebih baik. Keduanya pun melangkah meninggalkan ruangan.
Menjelang pintu keluar yang terhubung dengan lorong piramida, Chin Liong
memperlihatkan senyum salut pada Pendekar Slebor. Ketampanan pemuda Cina ini
dengan Andika mungkin setara. Tapi kalau soal kelihaian
menundukkan wanita, Chin Liong mungkin cuma dianggap kentut oleh pendekar
slompret itu. Lain Chin Liong, lain pula si tua bangka Pendekar
Dungu. Si keropos satu itu malah lantas berseru
seenaknya. "Cihuii ! Begitu baru namanya pemuda kutu kupret!"
Ruang rahasia penyimpanan harta. Di situlah Dua
Biksu Dari Tibet tiba, setelah berhasil menemukan satu jalan rahasia lain.
Dugaan Biksu Punuk T ebal nyatanya bukan sekadar isapan jempol. Sejauh ini dia
benar. Tentang jalan rahasia yang berhubungan dengan ruang rahasia penyimpanan harta.
Juga, pintu rahasia yang berada di dinding buntu.
Kini, mereka berada di sebuah ruang besar. Pada
pusat ruangan, terbentang kolam lebar. Piramida satu ini tampaknya dirancang
sedemikian rupa, sehingga memiliki ruang-ruang istimewa yang berbeda dengan
piramida lain. Pemandangan yang paling memikat terletak pada
sekeliling kolam. Di sana, terdapat peti-peti perhiasan emas permata!
"Kau lihat itu...," tunjuk Biksu Hidung Pesek takjub.
Seperti pula rekannya, mata biksu itu pun seperti tak ingin berkedip menyaksikan
tutup-tutup peti menganga karena isinya terlalu sesak. Ukuran peti pun tidak
main-main. Orang saja bisa tertelan di dalamnya. Pada penutup peti, beberapa
rantai emas menjulur keluar. Ada pula kalung bertahtakan jamrud,
permata, dan berlian! Semuanya berkilat-kilat menggoda mata Dua Biksu Dari Tibet!
"Aku kaya!" teriak Biksu Punuk Tebal meledak-ledak, tak bisa lagi membendung
desakan kegembiraannya.
"Apa maksudmu?" sergah Biksu Hidung Pesek demi mendengar seruan rekannya. "Kau
bilang 'aku'" Jadi, kau anggap cuma kau saja yang bisa memiliki semua harta
itu?" Tanpa melirik sedikit pun pada rekannya, Biksu Punuk Tebal menyeringai dalam
satu kelebatan raut wajah yang keji.
"Ya! Aku rasa semua harta harus dipastikan menjadi milikku...," tandas Biksu
punuk Tebal. "Kau...," ucap Biksu Hidung Pesek ragu.
"Ya! Aku tak ingin membaginya denganmu. Karena itu, aku harus menyingkirkanmu!
Bersiaplah...."
Bukan main berangnya Biks u Hidung Pesek mendengar niat busuk temannya. Meskipun hatinya
sebusuk rekannya itu, namun di benaknya sama sekali tak terbetik untuk
menyerakahi harta yang ditemukan. Selama ini, dia bisa mempercayai rekannya. Dan
kalau kini kenyataan memaparkan hal yang lain, tentu saja hatinya menjadi amat
murka. "Keparat sial! Biar mampuslah kau!" maki Biksu Hidung Pesek seraya mengayunkan
tasbih besar yang
terbuat dari tengkorak manusia yang dikecilkan.
"Huiaaa!"
Wuk! Saat itu juga pertarungan pun meledak. Kelihatannya akan berlangsung seru,
karena mereka sama-sama tokoh jajaran atas dunia persilatan di Tibet.
Diundangnya mereka ke Piramida Tonggak Osiris, sudah bisa dijadikan bukti kalau
mereka masuk hitungan. Karena semua undangan adalah tokoh papan atas.
Sabetan pertama tasbih menyeramkan Biksu Hidung
Pesek hanya memakan angin, karena rekan yang kini
berbalik arah menjadi musuhnya, dapat berkelit tangkas ke samping tanpa
kesulitan. Sehingga kepala gundulnya selamat dari kehancuran.
Sementara ayunan bertenaga kelewat kuat tasbih
Biksu Punuk Tebal telanjur meluruk tajam ke bawah. Dan lantai di dekatnya pun
terhajar. Brak! Seolah baru saja ditimpa godam raksasa seberat
ribuan kati, lantai itu menjadi hancur berkeping.
Pecahannya berhamburan deras ke segenap penjuru,
laksana pecahan benda langit yang memasuki selubung udara bumi. Sebagian pecahan
merangsak peti-peti harta di seputar kolam. Peti-peti itu tak bedanya daun
kering tertembus bara api! Bahkan pecahannya sanggup melesak ke dalam, dan
langsung tembus keluar peti. Padahal, di dalamnya terdapat banyak batu dan logam
mulia yang kekerasannya tidak diragukan.
Sebagian pecahan lain mencoba menembus tubuh
Biksu Punuk Tebal dan Biksu Hidung Pesek. Ada lebih dari lima keping pecahan
mengancam beberapa bagian tubuh mereka. Namun semua itu dapat dipatahkan
keduanya dengan cara memukau.
Biksu Punuk Tebal menyambut setiap pecahan
dengan jentikan-jentikan jari. Tampak ringan tindakannya.
Seakan, seekor lebah pun tak akan mati bila terkena.
Namun hasilnya sendiri ternyata amat jauh dari itu. Setiap keping pecahan
langsung menjadi butiran debu halus!
Selain itu, gerakannya pun hanya dalam satu kelebatan cepat. Pada saat itu,
sepasang tangannya seperti berubah menjadi beberapa pasang. Jika saat itu ada
seorang tokoh jajaran atas menyaksikan gebrakannya, pasti akan
berdecak kagum. Bagaimana tidak" Bagi Biksu Punuk
Tebal, kedudukannya saat itu sudah bisa dibilang mati langkah setelah berkelit
menghindari sabetan tasbih lawannya.
Sementara Biksu Hidung Pesek mementahkan
pecahan lantai akibat ulahnya dengan caranya sendiri.
Sama menakjubkan dan tak kalah hebat. Setiap pecahan disambut dengan mulut. Satu
demi satu dengan gerak demikian cepat, sehingga setiap pecahan langsung
tersusun di mulutnya.
Begitu seluruh ancaman pecahan lantai dituntaskan, Biksu Hidung Pesek
Pendekar Slebor 17 Piramida Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghadiahkan benda-benda di
mulutnya kepada Biksu Punuk Tebal.
"Phuaaah!"
Suara semburan terdengar. Sekian kejap dalam
selang yang teramat tipis, pecahan dari mulut Biksu Hidung Pesek berkelebat
menusuk udara kembali. Lebih hebat serta mengancam dari sebelumnya. Hanya kali
ini, Biksu Punuk Tebal yang siap dijadikan sasaran empuk.
Kali ini, Biksu Punuk Tebal tidak ingin main-main lagi.
Dia tahu tingkat kesaktian rekannya. Selama di Tibet, banyak sudah kejahatan
yang mereka lakukan. Karena itu, dia amat tahu apa yang dilakukan Biksu Hidung
Pesek. Kesimpulan cepat didapat, rekannya yang menjadi lawan hendak mengadu tenaga
dengan perantara pecahan lantai!
Segera saja Biksu Punuk Tebal meloloskan tasbihnya yang serupa dengan milik
Biksu Hidung Pesek dari
lehernya. Dan....
Slash! Prak! Sekali kebut, seluruh kepingan kembali lebur menjadi butiran debu tanpa daya.
Biksu Hidung Pesek semakin berang. Dilancarkannya
satu serangan susulan, dengan kekuatan berlipat ganda.
Dan tentu saja, lebih mengancam.
Tidak ada satu kembangan jurus yang diperlihat-kan.
Seperti dugaan Biks u Punuk Tebal, dia memang hendak menjajal kekuatan dengan
mengadu tenaga dalam.
Tampaknya lelaki botak berhidung jelek itu tak ingin tanggung-tanggung. Jika
gagal dalam gempuran pertama, akan dibuatnya gempuran kedua.
"Rrrhhh...!"
Dari mulut Biksu Hidung Pesek, melompat erangan
sumbang menyakitkan telinga. Seiring dengan itu, kedua tangannya, mengepakngepak, seperti gerakan sayap
burung rajawali raksasa.
"Kaaarrrkkk!"
Berikutnya, mulut Biksu Hidung Pesek kembali
melempar suara asing yang berbeda daripada sebelumnya.
Yang terakhir, amat mirip makhluk angkasa. Begitu keras suaranya, bahkan sempat
membuat dinding ruang bawah tanah besar itu menjadi bergetar. Sebagian susunan
batu menjadi bersembulan tak teratur, seakan baru saja
dihantam seribu godam.
Sepertinya, tak ada gendang telinga yang bisa
raenahan getaran suara buruk itu. Kecuali, orang-orang yang telah berhasil
menempatkan diri dalam jajaran teras percaturan dunia persilatan.
Namun, Biksu Punuk Tebal adalah salah satunya.
Lelaki itu tak tampak terpengaruh oleh suara yang
melantakkan itu. Baginya, itu bukanlah serangan yang
sesungguhnya. Biksu Punuk Tebal amat tahu, siapa Biksu Hidung
Pesek. Seorang datuk yang disejajarkan dengan dirinya, dalam rimba keras
persilatan Tibet. Setelah sekian lama memporak-porandakan dunia persilatan Tibet
dalam mencari pengakuan tertinggi dalam dunia sesat, sekali ini tampaknya mereka harus
mengakhiri semuanya.
"Kepak Rajawali Merah...," teriak Biksu Punuk Tebal nyaris mendesis.
Di rimba persilatan Tibet, kesaktian milik Biksu Hidung Pesek sudah demikian
menggetarkan hati. Dalam banyak kesempatan, sudah banyak tokoh jajaran atas yang
kehilangan nyawa dalam menghadapi kesaktiannya.
Dengan mata kepala sendiri, Biksu Punuk Tebal kerap menyaksikannya ketika mereka
masih sama-sama malang melintang dalam dunia persilatan.
Kehebatan kesaktian Biksu Hidung Pesek, memang
tidak tampak nyata dari gerakannya. Semua gerakannya tampak sederhana saja.
Namun jangan terkecoh! Di balik sepele itu, tangan-tangan maut siap menjemput!
Begitu kepakan tangannya terpenggal, dan begitu teriakan
rajawalinya diperdengarkan, maka....
Wuwuwukkk! Sebentuk tenaga dalam sepanas semburan naga
membersit dari sepanjang lengan Biksu Hidung Pesek.
Panas yang terkandung membuat udara di sekitarnya
terbakar. Maka, terwujudlah garis-garis cahaya merah yang bersusun-susun di
udara, membentuk kepakan sayap
rajawali merah!
Garis-garis tenaga berwarna merah itu melesat deras menuju tubuh Biksu Punuk
Tebal. Bahkan langsung
mengepung dari arah depan, seperti tak me-nyisakan ruang sedikit pun untuk
menghindar. Sekian kejap dari terlepasnya tenaga 'Kepakan
Rajawali Merah', Biksu Punuk Tebal membangun benteng pertahanan. Tasbih di
tangannya dilemparkan ke atas. Tiga tombak ketika tasbih terlempar, kepalanya
mendongak mengikuti arah benda itu. Berikutnya, sebelah tangannya sudah membentang lurus
searah tasbihnya.
"Hoooii hhh!"
Diawali seruan, dari telapak tangan Biksu Punuk Tebal yang terangkat tinggi
menyembur liar segenap tenaga sakti berbentuk kabut berwarna jingga. Kabut itu
langsung menyergap tasbihnya hingga terkurung oleh warna jingga yang terus
mengembang. Maka tampaklah tasbih itu kini berubah menjadi bola-bola lampu
mengapung yang berpijar jingga, amat menikam mata.
Empat depa dari tempat berdiri Biksu Punuk Tebal,
kekuatan 'Kepakan Rajawali Merah' pun bertemu semburat jingga menyilaukan dari
tasbih Biksu Punuk Tebal di udara.
Srat! Srat! Srat!
Benturan dua kekuatan sakti terjadi menciptakan
tekanan raksasa ke satu bagian ruangan. Di bagian tempat dua cahaya itu
bertumbukan, dinding dan lantai menjadi retak dalam sekejap. Lalu, runtuh pula
dalam sekejap! Hingga terbentuklah sebentang parit yang melingkari ruangan, dari lantai,
dinding susunan batu, hingga langit-langitnya!
Sementara tubuh kedua orang yang berseteru
terpental deras. Luncuran tubuh mereka baru berhenti ketika
dinding yang sulit diduga ketebalannya menghambat. Sama-sama terseok, keduanya cepat bangkit. Dinding ruangan memang tergali,
membentuk parit sedalam lengan akibat bentrokan tenaga sakti tadi. Memang,
benturan kesaktian itu sanggup melebur seratus prajurit kekar sekaligus. Lalu
bagaimana kedua lelaki bengis itu" Mereka hanya terbatuk-batuk dengan darah
kental kehitaman pada mulut dan hidung!
"Debu..., kau akan menjadi debu Pesek. Jangan menyangka telah bisa mengukur
kemampuanku. Se-lama ini kau tak pernah tahu, aku memiliki kehebatan simpanan
lain yang akan kugunakan untuk mengirimmu ke neraka!"
geram Biksu Punuk Tebal.
Agar lawannya lebih terhina, sengaja tangan Biksu
Punuk Tebal menunjuk ke arah debu bekas kepingan lantai yang kini berserakan.
Pada saat itulah, matanya tertumbuk pada parit korban bentrokan tenaga sakti
mereka, di dinding sebelah barat. Maka seketika wajah lelaki
bertampang bengis itu berubah seketika.
Semula, Biksu Hidung Pesek menyangka lawannya
hendak mengecohnya dengan raut wajah itu. Kalau arah pandangan lawan di kutinya,
mungkin Biksu Punuk Tebal akan menyerang.
"Kau tak bisa meliciki aku, Punuk Tebal! Kelicikanmu selama ini hanya jadi
barang basi bagiku!" leceh Biksu Hidung Pesek dengan bibir menyeringai.
Tapi setelah itu, Biksu Hidung Pesek dipaksa juga
untuk menoleh, manakala dari parit sekitar setengah langkah di belakangnya
terasa satu gerakan yang ganjil!
Dan betapa terperanjatnya dia....
Dengan mata yang berkelopak sempit, Biksu Hidung
Pesek menyaksikan ribuan ekor ular dalam beragam
ukuran dan warna. Binatang-binatang melata itu mendesis-desis dalam sebuah
lubang yang berukuran tiga kali tombak. Semuanya menggeliat menjijikkan,
sekaligus menggidikkan saling tumpang-tindih dan saling libat, mengelilingi
sebuah peti amat tua yang berpenutup tidak lazim. Penutupnya adalah, seekor ular
raksasa yang melingkar di atas peti besar itu. Panjangnya ular bersisik
keperakan itu mungkin sekitar sepuluh tombak. Sedang lebar tubuhnya sebesar
lebar lingkaran kepala manusia!
Berbeda dengan tumpukan ular-ular di sekeliling peti, ular raksasa itu tampak
beku dalam kesangarannya.
Kepalanya tergolek diam di lingkaran tubuhnya. Biar begitu, bola matanya yang
berpijar merah tetap terbuka, memaparkan keganasan terpendam.
*** 4 Pendekar Slebor dan Nofret kembali ke Ruang Para
Dewa. Menurut pertimbangan mereka, ruang itu adalah jalan terbaik untuk mencari
tahu, ke mana Dua Biksu Dari Tibet menghilang. Dari situ, mungkin bisa dilacak.
Memasuki Ruang Para Dewa, Andika dan Nofret
sudah tidak menyaksikan lagi lubang besar berpasir di pusat ruangan yang sudah
menghilang di balik lantai.
Sekarang ruang itu tampak terang, sejinak seekor singa kekenyangan.
"Apa usulmu untuk memulai pencarian mereka?"
tanya Pendekar Slebor pada Nofret.
"Aku masih belum tahu," jawab gadis Mesir ini.
"Bagaimana denganmu?"
Sejenak Pendekar Slebor berpikir.
"Ada baiknya, kita meneliti tempat mereka berdiri waktu itu," usul Andika.
Kecemerlangan pikirannya tak membutuhkan waktu lama, untuk membuat keputusan
tepat. Nofret tersenyum lepas, dan terlihat oleh Andika. Lega rasa hati Pendekar Slebor
diberi senyum seperti itu untuk pertama kalinya.
Benar-benar untuk pertama kali,
semenjak Nofret muncul. Selama ini gadis berparas bak bidadari Mesir itu hanya
memajang wajah sungguh-sungguh. Kalaupun pernah tersenyum pada Andika, itu pun
senyum yang terlalu samar.
Andika membalas senyum Nofret barusan.
"Kenapa kau tersenyum?" tanya Pendekar Slebor ingin tahu."Tidak apa-apa," elak
Nofret. Sebenarnya gadis Mesir ini sendiri kurang tahu alasan apa yang membuatnya
tersenyum. Barangkali saat berdua seperti itu, Nofret merasa bisa sedikit lebih
akrab dengan seorang pemuda yang untuk pertama kalinya menawarkan suatu desir
halus ke relung hatinya.
"Apa usulku tadi menggelikan?" susul Andika, masih
juga penasaran.
Nofret menggeleng. Untuk menghindari desakan
pandangan pemuda itu, sengaja matanya melirik ke
segenap ruangan seperti sedang meneliti.
"Yah, sudahlah. Kenapa aku jadi ngawur.... Bukankah tujuan kita ke sini hendak
melacak hilangnya Dua Biksu Dari Tibet!" tukas Andika kemudian.
"Hm.... Aku yakin, dua lelaki itu tadi berdiri di sana!"
Tangan Pendekar Slebor menunjuk ke satu sudut
ruangan, tempat Dua Biksu Dari T ibet berdiri ketika para undangan hendak
mendengar dibacakannya gulungan
papirus oleh Nofret.
Keduanya segera menggiring langkah ke sana.
Dengan teliti sekali, mereka mulai memperhatikan jengkal demi jengkal tempat
tersebut. Ya lantainya, ya dindingnya.
Seujung kuku pun tak ada yang luput dari perhatian mereka.
"Aku tak melihat apa-apa," ujar Nofret, setelah sekian lama diusik kejenuhan.
"Tak melihat apa-apa, bukan berarti tak ada apa-apa,"
kata Pendekar Slebor penuh keyakinan.
Sekilas Nofret melirik pemuda di sebelahnya. Setelah sekian jauh, gadis ini
mulai bisa membaca pribadi pemuda itu. Di samping memiliki ketampanan,
kemantapan, dan kekerasan tekad, Nofret juga sudah tahu kalau Pendekar Slebor
memiliki kecemerlangan pikiran. Kalau tiba-tiba Andika berkata seperti itu,
tentu punya alasan kuat.
"Kau sepertinya lebih tahu dariku," usik Nofret.
Di telinga Andika, kalimat itu seperti gurauan.
"Hey" Kau sudah berani bergurau pula!" seru Pendekar Slebor dalam hati. Dia
girang bukan main.
Disadari, gadis yang membuat dadanya berdeburdebur keras itu mulai merasa dekat dengannya. Andika menoleh.
"Aku hanya menduga, Nona.... Ah! Apa aku tak bisa memanggil namamu?" kata
Pendekar Slebor. Nofret menggeleng.
Andika mengira, gelengan itu sebagai penolakan.
Padahal, Nofret menggeleng hanya karena tak sadar
menanggapi sikap acuh Andika, sisi lain yang telah pula ditangkapnya.
"Nofret...," sebut Nofret, datar.
"Apa?"
"Nofret. Itu namaku," ulang Nofret dibumbui penegasannya. "Ooo," bibir Andika membulat. "Kalau begitu, panggil aku Andika. Rasanya,
hidupku suka kembang-kempis, tak teratur kalau terlalu sering dipanggil 'tuan'."
Nofret tersenyum lepas lagi. Sedang, hati Pendekar Slebor
berbunga-bunga lagi. Rupanya, Nofret tak sesombong dugaan Andika sebelumnya.
"Jadi kau tadi hendak berkata apa padaku..., Andika?"
tanya Nofret memulai kembali.
"Kita tadi hanya memperhatikan tempat ini saja, bukan" Kau mestinya tahu kalau
tempat ini dibangun dengan sekian banyak pintu, jalan, dan tempat rahasia."
"Jadi maksudmu?"
Andika tak menjawab. Hanya tangannya menjulur ke
arah dinding. Sebagian demi sebagian, dinding di
depannya mulai diraba, ditekan-tekan, dan terkadang diketuk-ketuk.
"Hey" Kau jangan berdiam diri begitu! Kau seperti menyaksikan orang buta yang
hendak mencari pintu keluar saja!" gurau Andika, melihat Nofret hanya
memperhatikan. Nofret tersipu. Dia pun mulai melakukan hal yang
sama seperti Andika.
Sampai akhirnya....
"He-he-he. Kubilang juga apa," tukas Andika, setengah menggumam.
"Kau menemukan sesuatu?"
Perhatian Nofret beralih. Cepat wajahnya dipalingkan ke arah Andika sungguhsungguh. Namun Andika malah cengengesan.
"Kau lihat saja ini," ujar pemuda itu lagi.
Tangan Pendekar Slebor lalu membuat tekanan pada
satu belahan batu besar penyusun dinding. Sebentar kemudian, terbuka sebuah
lubang tak begitu besar berupa pintu rahasia.
"Bagaimana menurutmu?" tanya pemuda urakan itu.
Alisnya terungkit pada Nofret.
"Sungguh! Aku sendiri pun tak pernah menyangka,"
tegas Nofret. Secara tak langsung, sebenarnya dia hendak memuji kejelian
Pendekar Slebor. "Rupanya Ratu Yang Mulia membangun piramida ini demikian
Pendekar Slebor 17 Piramida Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
istimewa...."
"Kita masuk" Mungkin Dua Biksu Dari Tibet itu menghilang dari tempat ini...?"
tanya Andika. Nofret menyetujui. Dan keduanya pun memasuki
lorong. Di tempat lain, tepatnya di Ruang Para Undangan,
beberapa orang lain menanti tanpa sepatah kata pun.
Wajah mereka rata-rata tetap mencerminkan ketenangan.
Tapi, tidak hati mereka. Hampir semuanya gelisah,
meskipun tak tahu kenapa harus gelisah.
Di satu s udut, hanya si bangkotan Pendekar Du-ngu yang tampaknya begitu
menikmati suasana. Sementara yang lain berdiri atau berjalan hilir-mudik, lelaki
tua berotak bebal ini duduk bersandar pada kursi besar dari logam bersepuh emas,
serta bertahtakan batuan mulia. Pada sandaran kursi terdapat lukisan yang
menggambarkan kehidupan pembesar Mesir. Dengan penuh lagak, kakinya diangkat
berun-cang-ucang. Matanya jelalatan ke sana kemari. Se-sekali terlantun
senandungnya yang terdengar se?perti gerutuan lapar.
Tepat pada jajaran kursi yang salah satunya diduduki Pendekar Dungu, membentang
meja besar dari pualam
halus. Seperangkat piring jamuan ada di atas nya. Kosong, tanpa makanan.
Pendekar Dungu membayangkan pada perlengkapan
makan itu tergolek sekian jenis makanan. Termasuk, kambing guling besar yang
masih mengepulkan asap. Nah!
Lihatlah air liurnya mulai merembes lancar membasahi
dagu kendornya.
"Sudah demikian lama Andika dan gadis itu pergi.
Sampai saat ini, mereka belum juga kembali. Apa tidak mungkin telah terjadi apaapa pada mereka?" bisik Chin Liong pada Putri Ying Lien.
Sementara Putri Ying Lien hanya memperdengarkan
tarikan napas halus.
"Bagaimana kalau kita menyusul mereka?" usul Chin Liong."Aku pun berpikir
begitu," sela si Gila Petualang, mendukung usul Chin Liong barusan.
"Ahhh! Aku sih enakkan di sini saja!" serobot Pendekar Dungu." Di sini sudah
nyaman, kok. Cuma sayang, tidak ada makanan sedikit pun. Wuh! Pelit juga tuan
rumah, ya... ?"Kalau kita mencari Andika dan gadis itu, bagaimana dengan
undangan yang lain?" tanya Putri Ying Lien kemudian.
"Mereka punya keputusan sendiri, bukan?" kata Chin Liong. "Kita tanyakan saja
mereka, apa mau ikut atau tetap tinggal di ruangan ini...."
Putri Ying Lien mengangguk. Lebih baik memang
begitu. Demikian pikirnya.
Chin Liong pun menanyakan mereka. Sebagian besar
dari mereka ternyata hendak turut. Hanya dua orang yang sepertinya enggan. Suami
Manyar Wanita dan Pendekar Dungu.
"Kau jangan bertingkah macam-macam, Suami-ku!"
hardik Manyar Wanita ketus. "Kalau aku keluar, kau harus turut keluar!"
Suara wanita cerewet itu melengking menyesaki
ruangan. Jadi, bukan cuma suaminya yang merasa pekak.
"Aku...," kata lelaki kecil itu, takut-takut. "Aku apa"!"
potong Manyar Wanita. "Aku..., capek sekali, Yang." "Capek!
Capek! Tai kucinglah kau! Dasar lelaki tidak punya kemauan!"
Sang suami mengecap-ngecap mulut antara ngeri dan
tidak peduli. Sebenarnya, bukan alasan tadi yang
membuatnya enggan untuk ikut serta bersama yang lain.
Dia hanya cemburu pada Andika. Pikirnya, kalau sekarang istrinya sudi turut
serta mencari sepasang anak muda itu, tentu hanya karena dorongan kegenitannya
pada Pendekar Slebor.
"Ya sudah, kalau tak mau ikut. Biar mati saja kau di ruangan ini di makan ulat!"
serapah Manyar Wanita pedas-pedas.
Sementara suami Manyar Wanita menggerutu tak
kentara. Kini perdebatan kecil membuat pusing itu se-lesai.
Maka rombongan yang hendak mencari Pendekar Slebor segera keluar ruangan.
"Tunggu! Aku ikut!" teriak Pendekar Dungu.
Lelaki uzur berotak kerbau itu berubah pikiran. Sambil meringis-ringis ngeri,
kepalanya menoleh pa?da suami si Manyar Wanita.
"Aku tak mau kualat pada istrimu! Kalau aku tak turut, jangan-jangan aku dimakan
ulat sepertimu juga. Hi iyyy...."
Lalu Pendekar Dungu pontang-panting menyusul
rombongan. Baru saja rombongan itu melangkah menyusuri lorong sekitar lima puluh
langkah.... "Aaa...!"
Niat mereka kontan terjegal ketika dari ruang yang baru saja ditinggalkan
melompat lengkingan menusukyang menerobos sepanjang lorong. Semuanya agak
tercekat. Apa yang terjadi"
Setelah terdiam sesaat, Manyar Wanita menyadarkan
mereka semua dengan jeritan kaleng rombengnya.
"Wuaaa! Suamikuuuh! Ada apa dengan suamiku di ruangan ituuuh"!"
Lalu Manyar Wanita berlari memburu liar menuju
Ruang Para Undangan. Sementara yang lain menyusul di belakangnya.
Apa yang mereka saksikan di Ruang Para Undangan
benar-benar memaksa untuk bergidik, memaksa untuk
menghentikan kedipan mata, dan memaksa bulu-bulu
halus di tengkuk meremang hebat....
Suami Manyar Wanita ditemukan telah menjadi
mayat, terbujur lunglai di atas meja besar di antara perlengkapan makan dari
perak. Seluruh tubuhnya
digerayangi ulat-ulat kecil, merayap dan menggerogoti dagingnya sedikit demi
sedikit! Kontan saja Manyar Wanita terduduk sambil meraungraung di tempat. Kakinya menjejak-jejak ke lantai, dan tangannya mengaduk-aduk
rambut panjangnya sendiri.
Cara menangisnya ternyata lebih tengik daripada seorang bocah kampung. Padahal,
belum lama dia yang justru menyumpahi suaminya pedas-pedas.
Wanita hitam manis bertubuh molek itu bangkit, dan langsung
menghambur ke dekat meja. Dengan berangasan, dikebutnya habis setiap ulat-ulat yang menggerogoti tubuh suaminya
dengan ujung lengan baju.
Setiap ulat yang terkena kebutannya, langsung mencelat ke dinding, lalu hancur
memercikkan lendir menjijikkan berwarna hijau kemerahan.
"Sudah kubilang tadi! Kau mestinya ikut kami! Coba kalau ikut, kau tentu tak
akan mengalami nasib sejelek ini.
Dasar lelaki tak punya kemauan! Tai kucinglah kau! Hik-hik-hik...," sembur
Manyar Wanita di antara isaknya.
Di lain sisi, Hiroto dan Chin Liong segera menyelidiki keadaan ruangan. Tanpa
sebab, sesuatu tak akan mungkin terjadi. Demikian pikir keduanya. Mereka
memastikan dalam ruangan itu ada sesuatu bahaya tersembunyi yang telah meminta
tumbal nyawa suami si Manyar wanita.
Sekian lama keduanya mencari, Chin Liong menemukan sesuatu.
"Hiroto" Panggil Chin Liong, tanpa menoleh. Wajahnya tegang tertuju pada satu
arah. Hiroto mendekat. Dengan serta merta, pandangannya
pun mengikuti arah tatapan Chin Liong Selanjutnya, dia ikut tertegun.
*** 5 "Apa pertarungan ini perlu dilanjutkan" Atau, kita bekerja sama kembali untuk
mencari tahu apa isi peti yang dijaga ular-ular itu?" tanya Biksu Hidung Pesek
mengajukan penawaran pada Biksu Punuk Tebal.
Keduanya memang masih di ruang penyimpanan
harta, dan telah menghentikan pertarungan.
Biksu Punuk Tebal memainkan bibir. Sejenak dia
berpikir. "Untuk bisa mengambil peti yang dijaga binatang-binatang keparat ini, rasanya
dibutuhkan dua orang...,"
putus Biksu Punuk Tebal kemudian, menanggapi pertanyaan Biksu Hidung Pesek.
"Jadi?" tanya Biksu Hidung Pesek, ingin ketegasan.
"Jadi..., kita berteman lagi! Ha-ha-ha!"
"Ya, usulbagus! Ha-ha-ha!" Dasar keduanya berhati culas, licik, dan serakah!
Puas tertawa, mereka mulai memikirkan cara mendapatkan peti yang dimaksud. Cukup
lama mereka hilir-mudik dalam ruang yang porak-poranda itu. Setiap langkah
selalu saja dibayang-bayangi suara desis ular-ular dari lubang di dasar lantai.
"Hah...!"
Akhirnya, Biksu Punuk Tebal yang memiliki otak lebih encer dibanding lelaki
Tibet yang lain berseru tertahan.
Wajahnya berbinar, ketika ingat sesuatu.
"Bagaimana?" tanya Biksu Hidung Pesek ingin tahu.
Biksu Punuk Tebal mendekat, lalu mulai memaparkan rencananya.
"Kau masih ingat, kalau di antara kita ada sepasang suami istri pawang binatang
berbisa?" Biksu Hidung Pesek mengangguk. Rasanya, maksud
rekannya yang belum lama menjadi lawan itu mulai bisa diduga.
"Otakmu memang sial, Punuk Tebal! Ha-ha-ha!" puji Biksu Hidung Pesek.
"Ha-ha-ha! Itulah aku!" sambut Biksu Punuk Tebal tak kalah meledak, dengan mulut
terbuka lebar. Saat itulah dengan kecepatan tak terhingga, Biksu
Punuk Tebal menyemburkan ludahnya yang diser-tai
tenaga dalam tinggi, tepat ke kerongkongan Biksu Hidung Pesek. Dan.. .
Bres! Sekelebat bunyi halus menghentikan semuanya
ketika ludah itu menghantam kerongkongannya. Mata
Biksu Hidung Pesek kontan mendelik.
Sepanjang hidungnya. baru kali itu matanya yang berkelopak sempit terbuka demikian lebar.
Biji matanya saat itu juga memerah seiring wajahnya yang mematang.
Napas lelaki itu terseret-seret dalam tarikan-tarikan tak terkendali. Mulutnya
memperdengarkan suara-suara yang tak jelas. Lalu tubuhnya terhuyung, ambruk
dan..., mati!Tinggal Biksu Punuk Tebal menertawai kebodohan lelaki sesat naas
itu. Tawanya terulur lagi menyesaki ruangan, meramaikan desisan ular-ular dari
dasar lubang. "Itulah kehebatan simpanan yang kumaksud, Tolol!"
maki Biksu Punuk Tebal seiring kilatan mata liciknya.
"Kelicikanku.... Hanya kelicikanku yang tak pernah kau sadari selalu kumiliki
dan menjadi salah satu andalanku!
Kau pikir, aku akan sudi meminta bantuan pada suami istri pawang binatang itu"
Itu sama artinya bersedia membagi temuan kita pada mereka! Jangan lagi mereka.
Dengan kau pun, aku tak sudi!"
Sambil terus menyumpah-nyumpah, Biksu Punuk
Tebal menyeret bangkai bekas rekannya ke dekat lubang ular. Dilepasnya tubuh
Biksu Punuk Tebal, lalu dicabiknya memanjang. Setiap cabikan lalu disimpul
menjadi satu, hingga terbentuklah tali cu-kup panjang. Kemudian, kasar sekali,
bangkai Biksu Hidung Pesek di katkan pada satu ujungnya.
Usai melakukan itu, Biksu Punuk Tebal melakukan
salah satu tindakan terkeji yang pernah dilakukan tokoh persilatan....
Bangkai bekas kawannya dicabik-cabik
dengan cakarnya, hingga kulitnya tersayat-sayat dan
dagingnya tercacah-cacah.
"Sekarang kau akan menjadi umpan ular-ular lapar itu, Lelaki Tolol!" desis Biksu
Punuk Tebal. Bersama sebentang seringai, bangkai Biksu Hidung
Pesek ditendang ke dalam lubang. Sementara tangan
Biksu Punuk Tebal memegangi satu ujung tali dari jubah tadi. Disambut desisan
ramai ratusan ekor ular ber-bisa, bangkai Biksu Hidung Pesek merambat turun.
Sedangkan dari atas, Biksu Punuk Tebal mengulur tali sedikit demi sedikit.
Kelihatannya, Biksu Punuk Tebal akan memancing
makhluk-makhluk melata itu untuk berkumpul di satu tempat. Semuanya berjalan
sesuai rencana, ketika bangkai Biksu Hidung Pesek sudah menyentuh satu sudut
lubang. Maka seketika ratusan ekor ular berbisa di dalamnya langsung memburu.
Ganas,liar, dan bernafsu. Sampai tak ada lagi yang tersisa di dekat peti,
kecuali ular paling besar yang menutupi mulut peti dengan tubuhnya.
"Bagus..., bagus! Santaplah sampai kenyang daging manusia tolol itu!" desis
Biksu Punuk Tebal samar di antara desisan ular.
Tampak bangkai bekas Biksu Hidung Pesek kini tak
lagi kelihatan bentuknya. Yang tampak hanya gelinjang ular-ular bersisik
menjijikkan, yang tertimbun menjadi satu mengerubungi bangkai Biksu Hidung
Pesek. Binatang-binatang lapar itu terlalu asyik menikmati serpihan daging bangkai.
Sementara di atas sana, Biksu Punuk Tebal sudah bersiap mengirim satu pukulan
berhawa panas dari kedua telapak tangannya. Dan ketika kedua telapak tangannya
dihentak-kan....
Wussshhh! Sekejap mata saja, serangkum angin panas, menyapu gerombolan binatang melata itu. Bahkan membuat mereka jadi daging panggang
yang memanjang dan
menghitam. Sebagian masih bisa bergelinjangan. Bukan lagi karena dorongan nafsu
menelan cacahan daging
bangkai, tapi karena meregang maut bersama kepulan asap tebal berwarna gelap.
Pada saat bersamaan, hewan besar di atas peti
menjadi terjaga dari kenyenyakannya. Kepalanya perlahan bergerak, karena terusik
asap tebal dan hawa panas pukulan Biksu Punuk Tebal. Saat itu juga desisannya
yang keras dan berat menyusul terdengar.
Biksu Punuk Tebal menjadi tegang. Terlebih, ketika kepala ular itu menegak ke
arahnya dengan juluran lidah mengancam.
"Zzz...!"
"Ayo, binatang keparat! Kejar aku keluar lubang!"
tantang Biksu Punuk Tebal. Tangannya terayun-ayun di udara, menggoda si ular
besar. Sedikit pun tak ada tanggapan dari si ular. Binatang itu tetap diam dengan
sehimpun ancaman di balik kilatan matanya.
Hal ini membuat Biksu Punuk Tebal menjadi gusar
bukan main. Padahal, dia sudah begitu ingin mengetahui isi peti yang dikawal si
ular besar. "Ayo, tunggu apa lagi"! Keluar kau dari lubangmu! Ular keparat!" hardik lakilaki itu bernafsu.
Si ular hanya menggerakkan kepala ke belakang
seperti gerakan siaga. Setelah itu, tubuhnya mematung kembali.
"Ooo, kau ingin agar aku yang turun ke lubangmu"
Heh" Jangan harap aku setolol itu! Kau akan kupanggang seperti kawanmu yang
lain! Nih, makan!"
Sekali lagi Biks u Punuk Tebal melepas pukulan
berhawa panas ke dasar lubang. Wussshhh!
Kalau ular-ular yang lain dengan mudah menjadi
Pendekar Slebor 17 Piramida Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sasaran pukulan, ular besar satu ini tidak. Pada dasarnya dia justru dalam
keadaan siaga penuh, manakala
mengetahui ada manusia berdiri di atas lubang. Berbeda sekali dengan ular-ular
yang kini hanya menjadi tumpukan daging panggang.
Seketika si ular besar dengan tangkas menggelengkan kepala ke sisi. Maka pukulan berhawa panas Biksu Punuk Tebal pun
luput. "Keparat! Pintar juga kau, ya! Nih terima kembali!"
Untuk kiriman selanjutnya, Biksu Punuk Tebal
melepas tiga pukulan berhawa panas sekaligus dari
sepasang telapak tangannya.
Segemulai penari, menyusul lolosnya serangan Biksu Punuk Tebal, ular besar itu
mengulur tubuh. Dengan serta merta, kepalanya menjulur tangkas. Siap mematuk
dada Biksu Punuk Tebal.
Kalau tak ingin mati di tempat, Biksu Punuk Tebal
harus segera menghindar. Saat itu juga dia bersalto ke belakang lebih cepat dari
patukan ular. Padahal, patukan hewan itu hampir sulit di kuti mata.
Kala itulah, Biksu Punuk Tebal melihat kesempatan
emas terbentang di depan mata. Langsung disambarnya kepala hewan besar itu di
udara dengan tasbihnya yang menyeramkan.
Whuk! Prak! Tepat di ubun-ubun batok kepala binatang besar itu, satu biji tasbih ganjil
Biksu Punuk Tebal mendarat mantap.
Langsung meremukkan kepala ular itu dalam sekejap.
"Hua-ha-ha.... Kau sama bodohnya dengan si Pesek!
Memang itu yang kumau, hewan tolol. Begitu kau
terpancing keluar, aku pun akan menyambutmu dengan kematian...," celoteh Biksu
Punuk Tebal, pu-as.
Sekarang mata lelaki licik ini beralih kembali ke dasar lubang. Tepatnya, pada
peti yang tergolek di sana. Peti itu tak lagi tertutup. Isinya bisa terlihat
jelas oleh mata bengis lelaki Tibet itu. Menyaksikan isi peti, bibirnya langsung
tersungging. Dia menemukan sesuatu yang amat berharga, yakni sebuah papirus tua
yang berisi peta piramida.
Di salah satu bagian lukisan peta, ada yang mengusik keingintahuan lelaki licik
ini. Bagian piramida dalam peta itu ditandai lukisan tongkat kebesaran Raja
Mesir dari tinta emas. Sementara, ruang penyimpanan harta justru tidak
mendapatkan tanda khusus apa pun.
Hal ini benar-benar mengundang keingintahuan Biksu Punuk Tebal.
"Lukisan tongkat kebesaran bermakna kekuasaan,"
gumam Biksu Punuk Tebal. "Kalau begitu, tentu ruangan itu adalah tempat yang
berhubungan dengan kekuasaan.
"Dan apa pun benda itu, yang jelas pasti lebih berharga dari pada seluruh harta
di ruangan ini!"
Dengan kesimpulan itu, kelicikan Biks u Punuk Tebal pun berlanjut. Saat itu
timbul rencana untuk menculik Nofret, yang akan dipaksa menjadi penuntun menuju
ruangan bertanda tongkat kebesaran dalam peta!
*** Sementara itu, Pendekar Slebor dan Nofret telah
Rahasia Surat Berdarah 1 Dewi Ular 71 Kupu Kupu Iblis Gelang Kemala 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama