Ceritasilat Novel Online

Bidadari Pulau Penyu 2

Pengemis Binal 27 Bidadari Pulau Penyu Bagian 2


Pulau Penyu tiba-tiba melayang dan turun perlahan-lahan di atas meja.
"Hebat..! Hebat..!" puji Bidadari Pulau
Penyu. Anehnya, walau Bidadari Pulau Penyu
mengucap pujian kepada Peramal Buntung, tapi
matanya mengerling ke arah Pengemis Binal.
Sambil tersenyum wanita ini berkata, "Tuan Muda
Suropati... walau tidak seberapa bagus anggur
yang saya suguhkan, tapi Tuan menerimanya juga. Sungguh itu merupakan sebuah
penghormatan. Karena Tuan telah mengikuti aturan di Graha Kenikmatan ini,
sekarang silakan Tuan menyampaikan maksud kedatangan Tuan. Dengan
senang hati, saya akan mendengarkan. Bahkan
kalau bisa, saya akan membantu apabila Tuan
memang membutuhkan bantuan saya..."
Pengemis Binal garuk-garuk kepala sebentar, lalu berkata, "Di tempat kediaman
Sepasang Racun Api, aku telah kehilangan lempengan batu
sebesar uang logam berwarna hijau. Batu itu hilang dilarikan orang yang punya
ciri-ciri persis
seperti kau, Tuan Putri Bidadari..."
"Apakah batu itu bernama Mustika Batu
Merpati?" potong Bidadari Pulau Penyu.
"Ya. Tuan Putri Bidadari tahu persis nama
batu itu, apakah Tuan Putri Bidadari memang
yang mengambilnya?"
"Ya!"
"Kalau begitu, dengan penuh kerendahan
hati, aku mohon Tuan Putri Bidadari mau mengembalikannya. Karena, Tuan Putri
Bidadari sama sekali tak berhak memiliki batu pemberian
Putri Impian itu...."
Mendengar ucapan Pengemis Binal yang
begitu halus dan merendah, Bidadari Pulau
Penyu geleng-geleng kepala, lalu tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Kalau aku tidak mau mengembalikannya, apa yang akan Tuan Suropati
perbuat?" "Aku akan memaksa!" seru Pengemis Binal
yang mengetahui Bidadari Pulau Penyu telah
memperlihatkan belangnya.
"Dengan cara apa kau akan memaksa"!"
Pengemis Binal mendengus gusar mendengar kata-kata Bidadari Pulau Penyu yang
menyiratkan tantangan. Tapi, betapa terkejutnya remaja tampan ini. Tiba-tiba,
tubuhnya terasa amat
lemas. Sewaktu mencoba mengumpulkan tenaga,
seluruh kekuatan tenaga dalamnya telah lenyap!
Sadarlah Pengemis Binal bila anggur yang diminumnya tadi telah dicampuri racun.
Sementara, di tempat duduknya, wajah Peramal Buntung
tampak pucat pasi. Keringat bercucuran dari sekujur tubuhnya. Namun, dia tak berkata apa-apa,
hanya mendesah-desah terus yang tak karuan
pangkal ujungnya
"Bidadari Pulau Penyu...!" seru Pengemis
Binal dalam kemarahannya. "Sungguh sama sekali tak kusangka. Orang terhormat
seperti kau bisa berbuat licik seperti ini. Betapa rendah martabatmu! Kau...."
Ucapan Pengemis Binal tak berlanjut karena remaja tampan ini keburu pingsan.
Tubuhnya terkulai ke depan dan kepalanya jatuh di atas meja. Peramal Buntung pun tak jauh
berbeda. Hanya saja, Peramal Buntung masih mendesahdesah terus walau kepalanya telah
tergeletak di atas meja pula.
Plok! Plok! Bidadari Pulau Penyu menepukkan telapak
tangannya dua kali. Empat orang pemuda bercawat segera memasuki ruangan. Di dada
mereka masing-masing terdapat tulisan: Kekasih 1 sampai Kekasih 4. Tanpa berkata apaapa, keempat pemuda itu lalu mengangkat tubuh Pengemis Binal dan Peramal Buntung. Namun, dua
orang pemuda yang mengangkat tubuh Peramal Buntung tampak mengernyitkan hidung. Mereka
tak tahan mencium bau tak sedap yang menyebar dari tubuh Peramal Buntung. Rupanya,
rompi yang dikenakan Peramal Buntung telah basah kuyup
oleh keringat. Sementara, celananya pun basah
pula. Malah menebarkan bau yang lebih menusuk
hidung. "Sialan! Sudah tua masih suka ngompol!"
sungut salah seorang pemuda yang membopong
tubuh Peramal Buntung.
*** Hembusan angin yang semilir sejuk mampu menepis udara panas siang hari.
Gemericik aliran sungai menambah kesejukan yang ada. Di
bawah naungan pepohonan rindang yang tumbuh
berjajar di tepi sungai, seorang kakek berjubah
merah tampak berjalan dengan raut wajah mengelam. Rahangnya mengembung karena
dua baris giginya saling bertaut rapat. Tatapan matanya
memancarkan hawa amarah. Namun, seringkali
mulutnya mendesah.
"Narita...," desis si kakek. "Ke mana Ayah
harus mencarimu, Anakku..." Terpaksa Ayah pergi dari Lembah Makam Pelangi.
Terpaksa Ayah meninggalkan ibumu seorang diri di sana. Ayah
terpaksa. Karena, Ayah harus mencarimu, Anakku. Kembalilah.... Ayah tak akan
menghukummu."
Seperti orang kehilangan ingatan, kakek
berjubah merah ini terus berkata-kata seorang diri. Mendadak, tatapan matanya
memancarkan hawa amarah lagi.
"Suropati keparat!" umpatnya. "Kalau kau
tidak menginjakkan kaki di Lembah Makam Pelangi, Narita tak akan pergi. Dia akan
senantiasa setia bersamaku menemani Maharani yang tengah tidur di Makam Pelangi. Ini semua
gara-gara kau, Bocah Gendeng!"
Sambil tiada henti merutuk dan memaki
nama Pengemis Binal, kakek yang rambutnya dikuncir ini terus berjalan mengikuti
aliran sungai. Namun, segera dia terhenyak langkahnya karena
terkejut manakala dua sosok bayangan berkelebat
dan berhenti tepat dua tombak di hadapannya.
"Raja Angin Barat...!" sebut salah seorang
penghadang, seorang lelaki berperawakan sedang.
Kakek berjubah merah yang memang Raja
Angin Barat mendengus gusar. Dengan tatapan
tajam menyelidik, dia memperhatikan dua sosok
manusia yang berani menghadang, langkahnya.
"Dewa-Dewi Kayangan...," desis Raja Angin
Barat setelah mengenali kedua orang yang berdiri
di hadapannya. Lelaki berperawakan sedang dan mengenakan pakaian ketat hijau tampak mengerling
ke arah wanita cantik yang berdiri di sisi kirinya. Si
wanita tersenyum seraya melingkarkan lengannya
di pinggang si lelaki. Melihat raut wajah kedua
orang ini, dapat dipastikan bila mereka adalah
Dewa Cinta dan Dewi Asmara yang lebih dikenal
dengan sebutan Dewa-Dewi Kayangan.
"Hmmm.... Air mukamu tampak keruh sekali, Pak Tua. Kau berjalan dengan langkah
gontai pula. Agaknya, kau tengah dirundung duka lara, hingga kau meninggalkan
Lembah Makam Pelangi. Apakah kau sedang mencari putrimu yang
bernama Narita?" ujar Dewa Cinta sambil membelai-belai rambut kekasihnya.
"Kalaupun aku pergi untuk mencari Narita,
apa pedulimu, Monyet Buduk"!" bentak Raja Angin Barat penuh rasa tak suka. Apalagi, DewaDewi Kayangan sengaja pamer
kemesraan. "Ha ha ha...!" Dewa Cinta tertawa bergelak
"Rasa sedih di hatimu membuat kau cepat naik
darah, Pak Tua. Tapi, tahukah kau bila hawa
amarah hanya akan membuat otak jadi buntu
dan tak mampu berpikir jernih lagi" Bagaimana
kau akan dapat menemukan putrimu kalau
otakmu tak dapat berpikir jernih lagi?"
"Jangan banyak cakap! Segera enyah dari
hadapanku!"
Usai berkata. Raja Angin Barat mengibaskan lengan jubahnya. Terdengar suara
bergemuruh yang membarengi timbulnya tiupan angin
kencang. Tiupan angin kencang ciptaan Raja Angin Barat ini sudah mampu untuk
melontarkan batu sebesar kerbau, tapi Dewa-Dewi Kayangan
tampak tenang-tenang saja. Malah Dewa Cinta
tersenyum-senyum, lalu mencium bibir kekasihnya dengan mesra. Sementara, Dewi
Asmara memejamkan mata, begitu meresapi ciuman hangat
Dewa Cinta. "Haram jadah!" umpat Raja Angin Barat.
Sekali lagi, kakek berjubah merah ini mengibaskan lengan jubahnya. Tiupan angin
yang lebih kencang muncul. Gumpalan tanah dan bebatuan turut berhamburan ke arah
Dewa-Dewi Kayangan! Blarrrr...! Terdengar ledakan keras ketika Dewi-Dewi
Kayangan sama-sama mengibaskan telapak tangan kanannya. Gumpalan tanah dan
bebatuan yang meluruk ke arah mereka berpentalan ke
berbagai penjuru. Beberapa ekor burung yang
tengah bertengger di dahan pohon tak sempat
menghindar. Akibatnya, tubuh mereka berpentalan dalam keadaan remuk.
"Raja Angin Barat...," sebut Dewa Cinta.
"Aku datang bukan hendak mengajakmu bertarung. Aku datang karena ada sesuatu
yang harus kusampaikan kepadamu...."
"Keparat kau, kaki-tangan Siluman Ragakaca!" sela Raja Angin Barat. "Aku tahu
kau diperintah siluman itu. Sayang... sayang sekali. Walau
langit runtuh dan bumi terbalik pun, aku tetap
pada pendirianku semula! Tak sudi aku menginjakkan kaki di Pesanggrahan
Pelangi!" "Boleh... boleh saja kau berkata seperti itu,
Pak Tua. Tapi..., sebagai seorang ayah yang baik,
kau tentu tak mau melihat putrimu celaka."
"Jahanam! Apa maksudmu"!"
"Ha ha ha...!" Dewa Cinta tertawa bergelak,
lalu melirik Dewi Asmara yang bergayut manja di
lengannya. "Kekasihku..., seandainya kau punya
seorang putri, dan putri yang sangat kau cintai
itu tiba-tiba menghilang, apa yang akan kau lakukan?"
"Hmmm...," Dewi Asmara mencium pipi kekasihnya, lalu berkata, "Karena aku sangat
mencintai putriku, di mana aku meletakkan segala
harapanku kepadanya, tentu saja aku akan melakukan apa saja asal putriku dapat
kembali ke pangkuanku."
"Bagus! Berarti kau seorang ibu yang
baik...," puji Dewa Cinta, lalu mengalihkan pandangan kepada Raja Angin Barat
seraya berkata,
"Pak Tua..., agar Narita kembali kepadamu dalam
keadaan segar bugar tak kurang suatu apa, apakah kau juga akan bersedia
melakukan apa saja?"
"Keparat! Jangan berkata berbelit-belit! Segera katakan apa maksudmu!" bentak
Raja Angin Barat. "Hmmm.... Rupanya, kau memang orang
yang tak bisa mengendalikan hawa amarah, Pak
Tua...," sahut Dewa Cinta. "Baiklah, aku katakan
terus terang. Kalau kau ingin melihat putrimu
yang semata wayang itu selamat, kau harus menuruti perintah sang Pemimpin
Siluman Ragakaca!"
"Bedebah! Kalian apakan putriku" Apakah
dia berada di Pesanggrahan Pelangi?"
Bayangan buruk segera berkelebatan di
benak Raja Angin Barat. Hawa amarah bercampur
aduk dengan rasa khawatir. Pikiran yang kalut
menjadikan kakek ini menggeram-geram. Bola
matanya melotot besar dengan air muka bertambah keruh. Tanpa sadar kakinya
menggedrukgedruk tanah. Hingga, batu-batu yang berserakan
di sekitarnya tampak berpentalan ke mana-mana.
"Cukup! Cukup, Pak Tua!" seru Dewa Cinta
yang, melihat Raja Angin Barat menggedruk tanah makin keras. "Narita tak akan
kau peroleh kembali bila hanya ditebus dengan kemarahanmu
itu!" "Katakan! Katakan di mana putriku berada!
Kalau aku melihat Narita celaka karena ulah kalian, kaki-tangan Siluman Ragakaca, aku tak
akan tinggal diam! Akan kulumatkan tubuh kalian! Akan kuhancurkan Pesanggrahan
Pelangi! Akan kubuat perhitungan dengan siluman keparat itu!"
Sambil berkata, Raja Angin Barat memutar-mutar kedua tangannya di depan dada.
Untuk kesekian kalinya, timbul tiupan angin kencang.
Semakin lama semakin kencang, hingga di tempat
ini bagai tertimpa prahara.
Melihat Raja Angin Barat yang hendak
mengeluarkan ilmu 'Tangan Langit', cepat Dewa
Cinta berseru, "Tahan! Bila kau nekat mengumbar hawa amarahmu, maka kau akan
segera melihat tubuh putrimu yang tercacah-cacah menjadi
serpihan daging tak berguna!"
"Jahanam! Jahanam! Kaki-tangan Siluman
Ragakaca keparat! Ohhh...!"
Terbawa perasaan hatinya yang tak karuan, Raja Angin Barat menggeleng-geleng.
Kakinya tak tetap lagi berpijak. Sambil berdiri terhuyung-huyung, dia mendekap
kepalanya yang tiba-tiba terasa amat berat. Perlahan-lahan butiran mutiara bening mulai menitik
dari sudut matanya.
"Narita.... Narita...," keluh Raja Angin Barat
dengan suara serak, menyiratkan kesedihan yang
dalam. Dewa-Dewi Kayangan saling tatap, lalu sama-sama tersenyum. Sepasang kekasih ini


Pengemis Binal 27 Bidadari Pulau Penyu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti tak peduli pada Raja Angin Barat. Mereka saling
dekap, kemudian berciuman...
"Haram jadah! Kembalikan Narita kepadaku!" bentak Raja Angin Barat tiba-tiba.
Dewa Cinta melepas ciumannya, lalu menatap Raja Angin Barat dengan senyum
tersungging di bibir. "Putrimu akan selamat bila kau dapat
membunuh si Pengemis Binal Suropati!"
Usai berkata, Dewa Cinta mendekap lagi
tubuh Dewi Asmara. Setelah mendaratkan ciuman, dia berkelebat sambil membopong
tubuh sang kekasih. Tinggallah Raja Angin Barat dengan
segudang amarah di hati.....
*** 5 Suropati menggeliat bangun ketika merasakan sentuhan-sentuhan aneh di sekujur
tubuhnya, Dadanya sesak seperti ada sesuatu yang
menghimpit. Dan, ada sesuatu yang lunak basah
terus bermain-main di bibirnya.
"Uh....!"
Saat membuka mata, betapa terkejutnya
Suropati. Ternyata dirinya tengah didekap erat
oleh seseorang yang tiada bosan menciumi bibirnya...,
"Jangan! Jangan!"
Dengan memalingkan muka ke kanan, Suropati berusaha menghindari ciuman.
Sementara, kedua tangannya pun mendorong-dorong untuk
berontak lepas dari dekapan. Namun, usaha Suropati tak membuahkan hasil apa-apa karena tubuhnya terasa amat lemas. Terlebih
lagi, tenaga dalamnya telah lenyap entah ke mana!
"Melati Putih!" seru Suropati setelah dapat
mengenali orang-yang tengah menggelutinya..
"Jangan! Jangan berbuat seperti ini! Aku..."
Ucapan Suropati tak berlanjut karena bibirnya keburu dilumat. Sementara, dia pun
merasakan dua buah benda lembut kenyal menekan
dadanya. Untuk sesaat, darah muda Suropati
berdesir aneh. Hasrat kelelakiannya bergejolak tiba-tiba. Tapi ketika ingat bila
Melati Putih atau
Bidadari Pulau Penyu adalah orang yang telah
meracuninya, Suropati berusaha melawan godaan. Dan dengan sekuat tenaga, dia
mendorong tubuh Bidadari Pulau Penyu.
"Hentikan!"
Mendapat tolakan dari Suropati, Bidadari
Pulau Penyu mendengus gusar. Terbawa rasa
jengkel, tubuh Suropati dibantingnya.
Brak...! Tak dapat menahan rasa sakit, Suropati
mengaduh. Kepalanya terasa pening dan berdenyut-denyut. Untunglah, remaja tampan
ini hanya di banting di atas tempat tidur yang empuk. Jadi, dia tidak sampai
mendapat cedera yang
berarti. "Kenapa kau menolak keinginanku"!" bentak Bidadari Pulau Penyu dengan penuh rasa
kecewa. "Kenapa kau meracuniku?" Suropati malah
bertanya. "Ha ha ha...!" Bidadari Pulau Penyu tertawa
bergelak. "Kenapa aku meracunimu" Tentu saja
karena aku membutuhkan mu, sementara kau
adalah seorang pemuda nakal yang sulit ditaklukkan."
"Aku tak mengerti, bagaimana kau bisa
berbuat serendah ini, Melati Putih?" ujar Suropati, menyebut nama kecil Bidadari
Pulau Penyu. "Bukankah di tempat ini segalanya telah kau dapatkan" Kau telah menjadi ratu
yang selalu dikelilingi pemuda tampan. Kenapa kau masih membutuhkan aku,
sementara kau tahu bahwa aku
tak akan sanggup memenuhi keinginanmu?"
"Hmmm.... Kau jangan salah mengerti,
Tuan Suropati. .," sahut Bidadari Pulau Penyu.
Suaranya terdengar lebih tenang. "Sebenarnya,
tujuanku berlainan dengan apa yang tergambar di
benakmu. Kalau aku tadi berbuat itu, hmmm...
aku hanya coba-coba saja. Ketahuilah, aku punya
tujuan yang jauh lebih bagus dari sekadar bermesra-mesraan denganmu...."
Suropati tak menyahuti. Matanya menatap
Bidadari Pulau Penyu yang duduk di tepi pembaringan dengan penuh rasa curiga.
Sementara, dia sendiri duduk meringkuk di sudut pembaringan.
"Tuan Suropati...," sebut Bidadari Pulau
Penyu. "Sebenarnya, aku sungguh-sungguh menaruh hormat kepadamu. Aku tahu kau
pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang
perkasa. Aku ingin kau menjadi raja di Pulau
Penyu ini. Walah hanya raja kecil, tapi suatu saat
apa yang kau cita-citakan pasti tercapai karena
ada aku yang selalu setia mendampingimu."
Kepala Suropati menggeleng-geleng. "Kau
salah mengerti, Putih. Cita-cita yang kau maksudkan itu pasti untuk menjadi
orang nomor satu
di rimba persilatan...," kepala Suropati menggeleng lagi. "Tidak! Aku tidak
ingin menjadi orang
nomor satu ataupun menjadi raja!"
Kening Bidadari Pulau Penyu kontan berkerut rapat. Sementara, Suropati tak
berani membalas tatapan wanita cantik ini. Dia tak ingin
timbul keinginan aneh dalam dirinya. Tatapan
mata Bidadari Pulau Penyu memang penuh godaan. Apalagi, baju bagian depan wanita
ini tersingkap, hingga buah dadanya yang halus montok
terlihat cukup jelas.
"Bila kau menolak untuk tinggal di sini,
kau akan mati!" seru Bidadari Pulau Penyu kemudian.
"Kalau Tuhan memang berkehendak, tak
seorang pun bisa menghindar dari takdir-Nya.
Asal masih di jalan kebenaran, kematian bukanlah suatu hal yang menakutkan
bagiku. Kau boleh membunuhku sekarang juga..."
"Hmmm.... Seorang pendekar macam kau
memang patut diacungi jempol, Tuan Suropati.
Terus terang, aku sangat menyayangkan bila jiwamu melayang sia-sia. Sungguh aku
tak ingin membunuhmu. Tapi ketahuilah, Tuan Suropati...,
begitu keluar dari Pulau Penyu ini, malaikat pencabut nyawa akan segera mencatat
namamu dari daftar kematiannya. Karena, ada seseorang yang
menginginkan kematianmu!"
"Siapa"!"
"Raja Angin Barat!"
"Raja Angin Barat?" kejut Suropati. Bayangan peristiwa di Lembah Makam Pelangi
segera berkelebatan di benak remaja tampan ini. Mungkinkah Raja Angin Barat telah
keluar dari tempat
kediamannya" Dan, bagaimana dengan Narita"
"Saat ini putri Raja Angin Barat yang bernama, Narita berada dalam sekapan
Siluman Ragakaca...," tutur Bidadari Pulau Penyu tanpa diminta.
"Apa" Bagaimana kau tahu?" kejut Suropati lagi.
"Ketika melihat kau dilemparkan Raja Angin Barat dengan ilmu 'Tangan Langit',
Narita nekat keluar lembah. Susah payah dia mencarimu,
tapi kau tak berhasil ditemukannya. Malang sekali nasib bocah itu, Dia malah
bertemu dengan Dewa-Dewi Kayangan...."
"Dewa-Dewi Kayangan" Siapa itu?"
"Mereka adalah sepasang kekasih. Yang lelaki bergelar Dewa Cinta dan yang wanita
bergelar Dewi Asmara..."
"Hmmm.... Kalau tidak salah, bukankah
Dewi Asmara adalah adik kandungmu?" ujar Suropati, teringat cerita Peramal
Buntung. "Ya. Dewi Asmara memang adik kandungku. Kau pernah bertemu dengannya?"
Suropati menggeleng. "Lanjutkan ceritamu.
Bagaimana nasib Narita setelah bertemu dengan
Dewa-Dewi Kayangan?"
"Walau ilmu Narita cukup tinggi, tapi dia
kalah pengalaman dengan Dewa-Dewi Kayangan.
Setelah ditaklukkan dia dibawa ke Pesanggrahan
Pelangi...."
"Kalau begitu, Dewa-Dewi Kayangan adalah
kaki-tangan Siluman Ragakaca."
"Benar Sebenarnya, sudah beberapa kali
Siluman Ragakaca mengutus anak buahnya untuk membujuk Raja Angin Barat agar
bersedia menjadi pengikutnya. Tapi, utusan yang datang
ke Lembah Makam Pelangi itu selalu dibunuh
oleh Raja Angin Barat. Karena sudah banyak jatuh korban, Siluman Ragakaca
mengutus DewaDewi Kayangan untuk memata-matai semua gerak-gerik Raja Angin
Barat. Selain untuk mengetahui kelemahan ilmunya, juga untuk mencari
kesempatan. Dan, kesempatan itu diperoleh ketika Dewa-Dewi Kayangan menemukan
Narita yang telah keluar lembah. Bocah perempuan itu diserahkan kepada Siluman Ragakaca
untuk dijadikan sandera. Dan, Raja Angin Barat mau tak mau
harus menuruti segala keinginan Siluman Ragakaca kalau tak ingin melihat
putrinya celaka...."
"Siluman itu memberi perintah kepada Raja Angin Barat untuk membunuhku sebagai
tugasnya yang pertama, begitu?"
"Tepat! Karena, kau dianggap duri yang
akan menghalangi Siluman Ragakaca dalam meraih cita-citanya. Bukankah kau telah
membunuh dua kaki-tangan siluman itu?"
"Ya. Aku memang telah membunuh Sepasang Racun Api. Suami-istri itu manusia jahat
yang tak pantas menghirup udara dunia terlalu
lama." Usai berkata, tiba-tiba kening Pengemis
Binal berkerut rapat. Ada sesuatu yang telah
membuat remaja tampan ini jadi heran. Setelah
garuk-garuk kepala sebentar, dia berkata, "Melati
Putih..., kau dapat bercerita dengan jelas dan gamang perihal Siluman Ragakaca
serta sepak terjangnya, dari mana kau bisa tahu?"
"Jangan heran, Tuan Suropati...," sahut
Bidadari Pulau Penyu sambil mengulum senyum.
"Aku dapat bercerita tentang Siluman Ragakaca
karena aku adalah anak buahnya....."
"Apa?" Suropati melonjak kaget Remaja
tampan ini hendak meloncat dari pembaringan,
tapi Bidadari Pulau Penyu keburu mencegah. Tubuhnya didorong, hingga dia jatuh
terduduk lagi. "Jangan berprasangka buruk dulu!" bentak
Bidadari Pulau Penyu.
"Bagaimana aku tidak berprasangka buruk
kalau tahu kau adalah anak buah Siluman Ragakaca"!" Pengemis Binal balas
membentak. Tak sedikit pun rasa takut membayang di matanya.
Bidadari Pulau Penyu menarik napas panjang beberapa kali, lalu berkata,
"Dibandingkan
dengan Sepasang Racun Api ataupun Dewa-Dewi
Kayangan, aku mempunyai kedudukan lebih tinggi. Siluman Ragakaca memberikan
kepercayaan kepadaku untuk menjabat sebagai Duta Selatan.
Tapi ketahuilah, Tuan Suropati..., sejak aku melihatmu di tempat kediaman
Sepasang Racun Api,
aku ingin lari dari cengkeraman Siluman Ragakaca. Walau siluman itu memberikan
kedudukan yang cukup tinggi, tapi batinku tersiksa. Karena,
aku harus melaksanakan segala perintahnya yang
seringkali bertentangan dengan hati nuraniku..."
"Benarkah itu?"
Kepala Bidadari Pulau Penyu mengangguk
lemah. "Lalu, kenapa kau meracuniku?"
"Karena, aku tahu kau tak mungkin kubujuk agar bersedia membantuku untuk melawan
Siluman Ragakaca. Terpaksa aku menggunakan
cara yang licik ini. Kularikan 'Mustika Batu Merpati' agar kau terpancing untuk
datang ke Pulau
Penyu...."
"Kau telah mengikuti jalan pikiran yang salah, Melati Putih. Kalau kau katakan
terus terang keinginanmu itu, aku tentu bersedia membantumu. Tapi, tak jadi apa karena
semuanya telah telanjur. Sekarang, berikan aku obat penawar racun. Dan, biarkan
aku pergi bersama Kakek Peramal Buntung."
"Obat penawar racun akan kuberikan. Kau
dan Peramal Buntung akan pulih seperti sediakala. Tapi kau jangan pergi dari
sini," "Kenapa?"
"Sudah kubilang. Raja Angin Barat mengincar kematianmu!"
"Walau tempo hari aku pernah dipecundanginya, tapi aku tidak takut!"
"Jangan gegabah! Kau dan Raja Angin Barat sama-sama beraliran putih. Sungguh
patut disayangkan apabila nyawa salah satu di antara
kalian akan melayang sia-sia hanya karena siasat
busuk Siluman Ragakaca...," desah Bidadari Pulau Penyu. "Ketahuilah, Tuan
Suropati, tadi malam aku bersama orang-orang Pesanggrahan Pelangi lainnya telah
dipanggil oleh Siluman Ragakaca. Di sana, siluman itu menuturkan segala
siasatnya. Dan yang perlu kau ketahui, yang
mengincar kematianmu bukan cuma Raja Angin
Barat, tapi juga Duta Utara, Duta Barat, dan Duta Timur!"
"Siapa sebenarnya ketiga duta itu?"'
Belum sempat Bidadari Pulau Penyu menjawab pertanyaan Pengemis Binal, tiba-tiba
terdengar teriakan keras menggelegar.
"Melati Putih...!"
Bidadari Pulau Penyu yang mendengar teriakan itu tampak terkesiap. "Iblis Mata
Satu...," desisnya. "Tuan Suropati berdiamlah di sini dulu.
Aku akan menemui tangan-kanan Siluman Ragakaca itu!"
Usai berkata, Bidadari Pulau Penyu berkelebat keluar ruangan. Pengemis Binal
menatap kepergiannya sambil garuk-garuk kepala. Bagaimana kalau keinginan Bidadari Pulau
Penyu ketahuan oleh Iblis Mata Satu" Kalau mereka bertempur, apa yang bisa
diperbuat oleh Suropati
yang tak mampu lagi mengerahkan tenaga dalam"
"Huh! Kenapa aku tak minta obat penawar
racun terlebih dulu" Kenapa aku tak meminta pula Batu Mustika Merpati?" gumam
Pengemis Binal. "Bagaimana kalau Bidadari Pulau Penyu
mendapat celaka" Maka, celaka pulalah aku!
Duh! Di mana Kakek Peramal Buntung?"


Pengemis Binal 27 Bidadari Pulau Penyu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Sesosok tubuh penuh bulu seperti monyet
berdiri tegak menantang. Kepalanya yang berambut panjang gimbal ditumbuhi dua
tanduk bercabang seperti rusa. Wajahnya terlihat sangat mengerikan karena hanya
mempunyai satu mata besar yang terletak di jidat. Hidungnya hanya berupa dua
lubang sebesar kacang tanah. Sementara,
mulutnya menyeringai, memperlihatkan barisan
gigi tajam seperti mata gergaji dan dua taringnya
yang setajam belati. Iblis Mata Satu!
"Ada keperluan apakah Tuan Mata Satu
datang ke tempat saya?" tanya Bidadari Pulau
Penyu membungkuk hormat.
Iblis Mata Satu menggerendeng. Tubuhnya
bergetar, hingga ekornya bergoyang-goyang. "Melati Putih!" sentaknya. "Kenapa
kau tak memberi
tahu pada sang pemimpin kalau kau membawa
Mustika Batu Merpati"!"
"Apa hubungannya sang pemimpin dengan
Mustika Batu Merpati?" Bidadari Pulau Penyu
malah bertanya.
"Sang pemimpin menginginkan batu itu!"
"Untuk apa" Mustika Batu Merpati bukan
milikku. Aku tak berhak menyerahkannya kepada
orang lain."
"Hmmm.... Berani benar kau berkata seperti itu. Apakah kau ingin jabatanmu
sebagai Duta Selatan ditarik kembali oleh sang pemimpin?"
"Tuan Mata Satu yang terhormat...," sebut
Bidadari Pulau Penyu. "Ketahuilah..., tanpa diminta pun, aku akan melepaskan
jabatanku! Apa enaknya menjadi kaki-tangan Siluman Ragakaca"!"
Mendengar kalimat Bidadari Pulau Penyu
yang dianggapnya terlalu berani, Iblis Mata Satu
mendengus gusar. Mata tunggalnya yang berwarna merah darah semakin memerah.
Menatap berkilat-kilat dibayangi hawa amarah yang meluap.
"Mulai hari ini, aku tak punya ikatan apaapa lagi dengan junjunganmu yang
bernama Siluman Ragakaca itu! Aku bukan lagi anggota Pesanggrahan Pelangi! Harap
kau tahu itu, Tuan
Mata Satu!" tambah Bidadari Pulau Penyu.
Kontan Iblis Mata Satu menggembor keras.
Tubuhnya bergetar, membuat ekornya bergoyanggoyang lebih cepat. Dengan geram
kemarahan memuncak makhluk ini berkata, "Hukuman mati
dijatuhkan!"
Bergegas Bidadari Pulau Penyu berkelit ke
kiri ketika mata Iblis Mata Satu memancarkan selarik sinar merah menggidikkan.
Sinar itu melesat
cepat dan menebarkan hawa panas luar biasa!
Namun, hanya menerpa dinding ruangan di belakang Bidadari Pulau Penyu.
Blarrr...! Dinding batu setebal dua jengkal jebol. Pecahannya berhamburan ke mana-mana.
Percikan api turut bertebaran. Untuk beberapa saat, isi
ruangan dipenuhi asap bercampur debu tebal.
Mengetahui serangannya tak mengenai sasaran, Iblis Mata Satu memekik nyaring.
Tiba- tiba, dari kedua telapak tangannya mengepul
gumpalan api merah menyala-nyala!
"Hukuman mati dijatuhkan!" pekik Iblis
Mata Satu seraya menerjang ganas.
"Kaulah yang harus mati, Iblis Laknat!" balas Bidadari Pulau Penyu. Tubuh wanita
cantik ini melenting. Ketika melayang di udara, kedua
tangannya dikebutkan beberapa kali. Muncul
bayang-bayang telapak tangan yang tak terhitung
lagi jumlahnya, meluruk bersamaan ke arah Iblis
Mata Satu. Blarrr...! *** "Celaka! Mereka benar-benar bertempur!"
seru Pengemis Binal yang digeluti rasa khawatir
"Apa yang harus kuperbuat" Apakah aku harus
lari dari tempat ini" Tapi, bagaimana aku harus
pergi dengan keadaan seperti ini" Aku harus
mendapatkan obat penawar racun dulu! Duh! Di
mana, Kakek Peramal Buntung?" Pengemis Binal
garuk-garuk kepala seraya meloncat dari pembaringan. "Aku harus, mencari Kakek
Peramal Buntung! Apa pun yang terjadi dengan kakek itu, aku
harus tahu keadaannya!"
Mengikuti pikiran di benaknya, Pengemis
Binal hendak ke luar ruangan. Tapi baru melangkah satu-tindak, tiba-tiba pintu
ruangan dibuka dengan paksa dari luar, hingga pecah berkepingkeping.
"Kakek Peramal Buntung...!" seru Pengemis
Binal ketika tahu yang mendobrak pintu adalah
orang yang hendak dicarinya.
"Tenang...!. Tenang, Tuan Muda!" sahut Peramal Buntung, meloncat ke hadapan
Suropati. Melihat keadaan Peramal Buntung yang
segar bugar, bahkan mampu menghancurkan
daun pintu yang terbuat dari kayu jati, kening
Pengemis Binal berkerut rapat. Apakah tenaga dalam Peramal Buntung tidak lenyap"
Bukankah kakek itu turut meminum anggur yang berisi racun"
"Kenapa Tuan Muda menatapku seperti
ini?" tanya Peramal Buntung, merasakan tatapan
aneh Suropati. "Kau tidak keracunan?"
"Tidak."
"Kau tidak ikut minum anggur racun itu,
Kek?" "Aku ikut minum anggur itu. Tapi, racunnya telah kukeluarkan dengan ilmu 'Aliran
Napas Pemusnah Racun'," jelas Peramal Buntung. "Racun dalam anggur yang kuminum
kukeluarkan lewat keringat dan air kencing!"
"Kalau bisa begitu, kenapa kau tidak menolongku dari tadi?" tanya Suropati,
sedikit mendongkol teringat dirinya hampir tenggelam dalam
dekapan birahi Bidadari Pulau Penyu.
"Bagaimana aku bisa menolong Tuan Muda
kalau aku ditempatkan di ruangan lain. Setelah
mengikuti lorong-lorong yang sangat membingungkan, barulah aku menemukan Tuan
Muda di tempat ini," tutur Peramal Buntung, tergesa-gesa.
"Kita harus cepat keluar dari tempat ini mumpung Bidadari Pulau Penyu tengah
bertempur melawan Iblis Mata Satu!"
"Sebenarnya, Bidadari Pulau Penyu tidak
bermaksud jahat kepada kita. Kita harus membantunya melawan makhluk dari
Pesanggrahan Pelangi itu! Tapi, tolonglah aku dulu, Kek! Keluarkan racun yang bersarang dalam
tubuhku!" "Lho"! Kenapa mesti minta pertolonganku"
Bukankah Tuan Muda membawa Akar Kayangan?"
Plok! Pengemis Binal menggaplok kepalanya
sendiri. "Kenapa aku jadi bodoh seperti ini" Kenapa aku lupa bila membawa akar
ajaib yang mampu melawan segala jenis racun?" rutuk remaja tampan ini kepada dirinya
sendiri. "Tuan Muda butuh arak?" tawar Peramal
Buntung ketika Pengemis Binal telah mengeluarkan Akar Kayangan dari balik
lipatan bajunya
yang tersembunyi.
"Ya. Aku butuh arak!" sahut Suropati
Seperti ada yang memberi aba-aba, Pengemis Binal dan Peramal Buntung sama-sama
mengarahkan pandangan ke meja yang terletak di sebelah pembaringan. Di atas meja
itu terdapat sebuah poci kecil berukir. Namun sewaktu mengambilnya, Pengemis
Binal kecewa. Tak setetes
pun arak berada di dalam poci.
Pengemis Binal dan Peramal Buntung
mengedarkan pandangan, namun di ruangan
yang mereka tempati ini memang tak terdapat
arak yang bisa digunakan sebagai ramuan obat
penawar racun. "Aku ada akal! Tuan Muda tunggu di sini
saja!" cetus Peramal Buntung dengan mata bersinar.
Suropati cuma garuk-garuk kepala ketika
Peramal Buntung berkelebat keluar ruangan.
Namun tak lebih dari sepuluh tarikan napas kemudian, Peramal Buntung telah
kembali. Di bahu
kanannya melekat sebuah gelas berisi cairan kekuningan.
Cairan kuning di dalam gelas bergolak ketika Peramal Buntung mengalirkan tenaga
dalamnya. Ketika cairan kuning telah mengepulkan
asap tebal, Peramal Buntung berkata, "Ambillah...."
Bergegas Pengemis Binal mengambil gelas
yang melekat di bahu kanan Peramal Buntung
yang telah menghentikan aliran tenaga dalamnya.
Walau cairan kuning di dalam gelas masih mengepulkan asap tebal, tapi Pengemis
Binal tak merasa panas ketika tangannya menyentuh badan
gelas. Setelah Akar Kayangan dicelupkan beberapa lama di dalam gelas, hidung Pengemis
Binal berkernyit. Dia mencium bau tak sedap yang menebar dari cairan kuning di dalam
gelas. "Tunggu apa lagi" Segera minum obat penawar racun itu...," seru Peramal Buntung.
Dengan kening berkerut rapat dan hidung
tetap berkernyit, Pengemis Binal menatap cairan
kuning di dalam gelas: "Ini arak apa" Kenapa berbau aneh?" tanyanya, heran.
"Sudahlah. Yang penting, Tuan Muda bisa
terbebas dari racun," desak Peramal Buntung.
Mendengar suara pertempuran di ruangan
lain yang semakin seru, tanpa pikir panjang lagi
Pengemis Binal menutup hidungnya dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya yang
memegang gelas didekatkan ke mulut. Di lain kejap, cairan
kuning di dalam gelas telah pindah ke lambung
Pengemis Binal.
"Uh! Kenapa rasanya aneh, Kek?" seru
Pengemis Binal. "Perutku jadi mual. Aku mau
muntah! Uk...! Uk...!"
"Tahan! Tahan, Tuan Muda!" cegah Peramal Buntung. "Obat penawar racun tadi tak
akan menghasilkan apa-apa kalau dimuntahkan lagi!"
Mendengar penjelasan Peramal Buntung,
sekuat tenaga Pengemis Binal menahan diri agar
tak muntah, walau isi perutnya bagai diadukaduk dan terasa amat mual. Sementara,
Peramal Buntung cuma tersenyum-senyum melihat air
muka Pengemis Bina! yang berubah merahmatang.
"Sekarang, cobalah mengumpulkan hawa
murni ke pusar...," nasihat Peramal Buntung kemudian.
Pengemis Binal melonjak girang ketika tahu tenaga dalamnya telah pulih kembali.
Sejenak, dia lupa pada rasa mual di perutnya.
"Hebat! Akar Kayangan memang hebat!" seru Suropati. Menatap Akar Kayangan
beberapa saat, lalu disimpannya kembali ke lipatan bajunya yang tersembunyi.
Mendadak, angin kencang berhembus nasuk ke ruangan. Pengemis Binal dan Peramal
Buntung terkesiap melihat sesosok bayangan
berkelebat dan berhenti di hadapan mereka.
"Bidadari Pulau Penyu...!" seru Pengemis
Binal setelah mengenali sosok yang baru muncul.
"Ini obat penawar racun! Segera pergi dari
tempat ini!" sahut Bidadari Pulau Penyu menyodorkan botol kecil berisi obat.
"Aku dan Kakek Peramal Buntung telah
terbebas dari racun," beri tahu Suropati.
"Sungguhkah itu?" tanya Bidadari Pulau
Penyu, setengah tak percaya.
"Aku punya ilmu 'Aliran Napas Pemusnah
Racun', Melati Putih," ujar Peramal Buntung.
"Dan, Tuan Muda Suropati membawa Akar
Kayangan."
Sekilas, rasa gembira terpancar di mata Bidadari Pulau Penyu. Tapi, kekhawatiran
kembali menggeluti hati wanita cantik ini. "Pergilah! Sebentar lagi Iblis Mata Satu
tentu akan menyusulku ke tempat ini!" perintahnya. Agaknya, Bidadari
Pulau Penyu lupa bila belum beberapa lama tadi
dia telah menahan kepergian Suropati.
"Kau sendiri bagaimana?", tanya Pengemis
Binal yang sudah tahu bila Bidadari Pulau Penyu
berada di pihaknya. ,
"Aku akan menahan Iblis Mata Satu yang
hendak membakar istana ini!" sahut Bidadari Pulau Penyu. "Pergilah cepat mumpung
masih ada kesempatan! Aku bukan meremehkan kemampuan kalian berdua, tapi cobalah kalian mengikuti nasihatku kali ini!"
Pengemis Binal dan Peramal Buntung saling pandang. Melihat kesungguhan Bidadari
Pulau Penyu, bergegas mereka berkelebat keluar
ruangan. Bidadari Pulau Penyu turut berkelebat,
namun berbeda arah.
*** 6 Wusss...! "Wuahhh...!"
Dua pemuda bercawat menjerit panjang ketika api yang mengepul dari telapak
tangan Iblis Mata Satu menerpa tubuh mereka. Api merah
membara yang mengandung kekuatan dahsyat itu
mampu membuat tubuh mereka hancur luluh
menjadi setumpuk abu!
Pemuda-pemuda bercawat lainnya berdiri
kaku dalam rasa ngeri. Sementara, Iblis Mata Satu tertawa bergelak sambil terus
mengibasngibaskan telapak tangannya. Melihat serbuan
api yang panas luar biasa, para penghuni Graha
Kenikmatan jadi panik. Mereka berloncatan ke
sana sini, berusaha menyelamatkan diri. Namun,
keadaan terlihat makin tak menguntungkan karena beberapa bagian bangunan mulai
terbakar.

Pengemis Binal 27 Bidadari Pulau Penyu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan tampaknya, istana yang susah payah dibangun oleh Bidadari Pulau Penyu ini
hanya akan tinggal kenangan....
Beberapa pemuda bercawat berusaha memadamkan api, yang lainnya nekat menerjang
Iblis Mata Satu yang mereka anggap sebagai biang
onar. Dalam keadaan kalut di mana maut hampir
menjemput, tak ada lagi rasa takut di hati mereka. Yang ada hanyalah kemarahan
dan usaha untuk segera dapat menjatuhkan si biang onar.
Tapi sebelum keganasan Iblis Mata Satu
memakan korban lebih banyak, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan yang
dibarengi teriakan,
"Keluarlah kalian dari sini! Pergi dari Pulau Penyu
secepatnya!"
Para pemuda bercawat tampak ragu sejenak. Namun setelah melihat bila yang
memberi perintah adalah Bidadari Pulau Penyu, mereka
segera berpencar untuk mencari jalan hidup masing-masing.
"Jahanam kau, Melati Putih!" maki Iblis
Mata Satu, "Kalau saja kau tidak segera muncul
di hadapanku lagi, jangan harap pemuda-pemuda
piaraanmu itu masih bernyawa sampai esok hari!"
"Hmmm.... Aku pergi bukan karena aku
takut kepadamu, Tuan Mata Satu yang terhormat.,.!" Bidadari Pulau Penyu
mengucapkan sebutan menghormat, tapi dengan nada keras membentak. Jelas hatinya
diliputi rasa penasaran bercampur hawa amarah melihat istananya rusak
termakan api Iblis Mata Satu.
"Wuah! Tampaknya, kau semakin berani
saja, Melati Putih!" seru Iblis Mata Satu. "Tapi,
apakah kau pergi tadi untuk mengambil Mustika
Batu Merpati, dan sekarang akan menyerahkannya kepadaku?"
"Aku memang akan menyerahkan sesuatu
kepadamu, Tuan Mata Satu! Tapi bukan Mustika
Batu Merpati, melainkan ini...,"
Di ujung kalimatnya, Bidadari Pulau Penyu
mengibaskan kedua telapak tangannya beberapa
kali. Di lain kejap, muncul puluhan bayangbayang tangan yang langsung menyerbu
ke arah Iblis Mata Satu. Jangan dikira bayang-bayang
tangan itu tidak berbahaya. Itulah wujud ilmu
andalan Bidadari Pulau Penyu yang bernama
'Tangan Ganda Pemakan Roh'! Balok baja pun
akan hancur luluh bila terkena serbuannya!
"Hiah...!"
Tahu ada bahaya tengah mengancam, Iblis
Mata Satu mengibaskan kedua tangannya. Dua
gumpal api besar melesat ke depan, memapaki
serbuan bayang-bayang tangan!
Blarrr...! Sebuah ledakan dahsyat membarengi lidah-lidah api yang berlesatan ke berbagai
penjuru. Api yang sudah membakar bangunan istana
semakin berkobar besar. Melihat itu, Iblis Mata
Satu tertawa bergelak. Namun..., sama sekali tak
dia duga. Ketika terjadi ledakan dahsyat tadi, ada
satu bayangan tangan yang tak turut musnah
terbakar api. Satu bayangan tangan itu terpental
ke atas, lalu secara tiba-tiba melesat ke arah Iblis
Mata Satu! Blammm...! "Wadouw...!"
Iblis Mata Satu tak mampu menghindar.
Dadanya tertimpa dengan telak, menimbulkan
suara menggelegar keras. Kontan tubuh makhluk
berbulu seperti monyet ini terlontar, dan membentur dinding tebal di
belakangnya. Karena lontarannya amat kuat, dinding istana tak mampu
bertahan. Hancur berkeping-keping, mengepulkan
asap tebal! Terkejut setengah mati Bidadari Pulau
Penyu ketika melihat Iblis Mata Satu merangkak
bangun dari reruntuhan dinding. Saat tangan kanan Iblis Mata Satu itu telah
berdiri tegak dan
berjalan ke depan, tahulah Bidadari Pulau Penyu
bila ilmu 'Tangan Ganda Pemakan Roh' miliknya
tak berarti apa-apa bagi lawan.
Sementara, Iblis Mata Satu yang melihat
wajah Bidadari Pulau Penyu memucat langsung
tertawa panjang penuh kemenangan. Dan begitu
tawanya terhenti, dia berseru nyaring.
"Sinar Merah Penghancur Segala'!"
Bergegas Bidadari Pulau Penyu meloncat
ke kiri ketika mata Iblis Mata Satu mengeluarkan
selarik sinar merah menggidikkan. Namun... belum sampai telapak kaki wanita
bertubuh sintal
ini menginjak permukaan lantai, gumpalan api
merah menyala yang melesat dari telapak tangan
kanan Iblis Mata Satu telah memapaki.
Wusss...! "Ih....!"
Bidadari Pulau Penyu masih sempat mengibaskan kedua ujung lengan bajunya, hingga
timbul gelombang angin pukulan yang cukup
kuat. Gumpalan api merah berbelok arah dan
membentur dinding istana hingga jebol.
Namun... begitu Bidadari Pulau Penyu menapakkan kaki di permukaan lantai, jerit
kesakitan menyembur dari mulutnya. Pinggang kanannya telah termakan sinar merah
yang melesat dari
mata si makhluk berbulu!
"Ha ha ha...! Kau telah terluka, Melati Putih!" ujar Iblis Mata Satu, jumawa.
"Tak ada yang
lebih tepat kau kerjakan kecuali menyerahkan
Mustika Batu Merpati, kemudian ikut aku ke Pesanggrahan Pelangi untuk mendapat
hukuman langsung dari sang pemimpin! Atau, bila kau ingin mati di istana kesayanganmu
ini, boleh-boleh
saja. Tapi, serahkan dulu Mustika Batu Merpati
kepadaku!"
Sambil mendekap pinggang kanannya yang
terasa panas luar biasa, Bidadari Pulau Penyu
mengedarkan pandangan. Rasa kalut dan panik
jelas tergambar di mata wanita cantik ini. Ruangan yang ditempatinya telah
terkepung api. Tak
ada peluang lagi untuk dapat meloloskan diri.
Sementara, Iblis Mata Satu pun tampaknya telah
bersiap-siap untuk menjatuhkan tangan maut.
"Baik! Baiklah, Tuan Mata Satu...," ujar Bidadari Pulau Penyu di tengah rintih
kesakitannya. "Mengingat kebaikan sang pemimpin yang beberapa waktu lalu telah menambah
kekuatan tenaga dalamku, memang ada baiknya bila aku menyerahkan Mustika Batu
Merpati kepadanya...."
"Bagus!" sambut Iblis Mata Satu. "Rupanya, kau telah menentukan pilihan terbaik,
Me- lati Putih. Serahkan batu mustika itu kepadaku
untuk kemudian kuserahkan lagi kepada sang
pemimpin. Dan, kau pun bisa ikut ke Pesanggrahan Pelangi. Barangkali sang
pemimpin berkenan
meringankan hukumanmu."
Bidadari Pulau Penyu mencoba tersenyum
walau rasa panas di pinggang kanannya terus
menjalar ke seluruh tubuh. Lalu, tenang saja wanita cantik ini mengeluarkan
lempengan batu sebesar uang logam hijau dari lipatan bajunya. Sementara, hatinya
berkata, "Lebih baik kuakali saja makhluk buruk rupa itu, sekaligus menjajal
kehebatan Mustika Batu Merpati."
Mengikuti suara hatinya, Bidadari Pulau
Penyu membungkuk hormat dan berkata, "Kuserahkan Mustika Batu Merpati ini
kepadamu, Tuan Mata Satu yang terhormat..."
Iblis Mata Satu tertawa bergelak-gelak melihat Bidadari Pulau Penyu menyodorkan
lempengan batu hijau yang dipegangnya di tangan kanan. Namun, betapa terkejutnya
Iblis Mata Satu.
Ketika dia melangkah untuk menyambut batu hijau yang tak lain Mustika Batu
Merpati, tiba-tiba
tangan kiri Bidadari Pulau Penyu mengibas!
Wesss...! Sekali lagi, puluhan bayangan tangan meluruk deras ke arah Iblis Mata Satu.
Kalau tadi dia mampu menahan pukulan satu bayangan
tangan, sekarang keadaannya tentu sudah berlainan. Karena, bayangan tangan yang
meluruk berlipat jumlahnya, sementara Iblis Mata Satu yang
menjadi sasaran pun berdiri lebih dekat.
"Hiahhh...!"
Susah payah Iblis Mata Satu berkelit dengan menjatuhkan diri ke lantai. Merasa
dirinya telah termakan tipu muslihat, segera dia mengeluarkan 'Sinar Merah
Penghancur Segala'!
Namun bersamaan dengan melesatnya selarik sinar merah dari mata Iblis Mata Satu,
Bidadari Pulau Penyu membuka mulut dan menempelkan Mustika Batu Merpati ke
lidahnya! Wusss...! Blarrr...! Tiba-tiba, tubuh Bidadari Pulau Penyu lenyap dari pandangan. 'Sinar Merah
Penghancur Segala' lewat begitu saja, lalu menerpa dinding
ruangan hingga hancur berkeping-keping....
"Haram jadah! Kuntilanak bunting!" umpat
Iblis Mata Satu dengan darah mendidih naik
sampai ke ubun-ubun.
Melihat Bidadari Pulau Penyu telah lenyap
bersama Mustika Batu Merpati, tak dapat digambarkan lagi kemarahan makhluk
berbulu hebat ini. Dia mengamuk dan benar-benar lupa diri.
Kedua telapak tangannya yang dipenuhi gumpalan api merah menyala-nyala
dikibaskan ke berbagai penjuru seraya berlari mengikuti loronglorong istana.
Hingga..., istana Bidadari Pulau
Penyu yang diberi nama Graha Kenikmatan dikobari api di sana sini!
*** Setelah berlari-lari mengempos tenaga, melewati jalan-jalan sempit yang tersembunyi di balik pepohonan, sampailah
Pengemis Binal dan Peramal Buntung di tepian Pulau Penyu.
"Pengantar Tamu...!" teriak Peramal Buntung.
Teriakan itu membahana di seantero pulau. Dua tarikan napas kemudian, berkelebat
sesosok bayangan menghampiri Pengemis Binal dan
Peramal Buntung. Bayangan itu seorang pemuda
kekar mengenakan pakaian kuning bergaris coklat. Dia datang dengan memanggul
perahu yang terbuat dari kulit kerbau yang telah dikeringkan.
"Antarkan kami menyeberangi telaga," perintah Peramal Buntung.
Pemuda kekar yang tak lain si Pengantar
Tamu berdiri diam di tempat. Matanya menatap
Peramal Buntung dan Pengemis Binal bergantian.
"Hei! Kenapa kau tidak segera menjalankan
perintahku"!" tegur Peramal Buntung. "Apa kau
tidak tahu bila aku dan Tuan Muda Suropati adalah tamu terhormat ratu
junjunganmu Bidadari
Pulau Penyu?"
"Ah! Bukan begitu, Pak Tua...," tangkis
Pengantar Tamu. "Kenapa Laskar Pelepas tidak
mengantarkan sampai di tepi pulau ini?"
"Alah! Aku muak dengan segala aturan di
tempat ini! Cepat antarkan aku!" desak Peramal
Buntung. Kening Pengantar Tamu berkerut rapat.
Timbul rasa curiganya. Apalagi ketika melihat
asap tebal membubung dari tengah pulau. Sementara, lamat-lamat juga terdengar
suara hiruk- pikuk yang diselingi ledakan beberapa kali.
"Kalian telah membakar Graha Kenikmatan"!" desis Pengantar Tamu dengan bola mata
melotot besar. "Hei! Hei! Jangan main tuduh sembarangan!" tegur Pengemis Binal. "Di sana tengah
terjadi pertempuran, tapi tak ada sangkut pautnya
dengan kami!"
"Tidak! Kalian pasti telah membakarnya!
Kalian tidak boleh pergi!"
"Geblek! Justru kami hendak pergi ini karena mengikuti anjuran Bidadari Pulau
Penyu!" sentak Pengemis Binal yang mulai jengkel. "Kalau
kau tidak mau mengantarkan, tak jadi masalah.
Tapi, kupinjam dulu perahumu itu!"
Cepat Pengantar Tamu meloncat ke belakang waktu melihat Pengemis Binal hendak
merampas perahu yang dibawanya. Rasa curiga di
hati pemuda kekar ini semakin besar. Perahu kulit kerbau dia lempar ke tanah,
ditatapnya Pengemis Binal dan Peramal Buntung dengan sinar
mata berapi-api.
"Sejak melihat kedatangan kalian, aku sudah curiga. Kalian bukan orang baikbaik. Dan, sekarang terbukti. Kalian telah membakar Graha
Kenikmatan! Kalian harus menebus dosa dengan
kematian! Hiah...!"
Sambil menggembor keras, Pengantar Tamu menghentakkan kedua telapak tangannya ke
depan. Dua larik sinar putih berkeredepan melesat ke arah Pengemis Binal dan
Peramal Buntung.
Namun hanya dengan melentingkan tubuh beberapa jengkal dari permukaan tanah, Pengemis Binal dan Peramal Buntung berhasil
menghindari pukulan jarak jauh itu. Hasilnya, dua larik sinar
putih yang melesat dari telapak tangan Pengantar
Tamu menghantam dua batang pohon sepelukan
orang dewasa. Timbul ledakan keras, yang disusul suara gemuruh ketika dua batang
pohon itu hancur menjadi serpihan kayu yang berpentalan
ke berbagai penjuru.
"Geblek! Tahan hawa amarahmu! Kau salah mengerti!" seru Suropati.
Tapi, mana mau Pengantar Tamu yang sudah dikuasai nafsu membunuh mendengar
katakata Suropati. Ditambah lagi, sejak kedatangan
Suropati, hatinya jadi jengkel, dan ingin marah
saja. Selama tinggal di Pulau Penyu, dia tak pernah berjumpa orang bermulut
ceriwis macam Suropati yang sepertinya tak mau menaruh rasa
hormat sama sekali.
"Kaulah yang salah mengerti!" balas Pengantar Tamu. "Aku bukan orang geblek
seperti yang kau kira! Matilah kau!"
Bergegas Pengemis Binal membuang tubuh
ke kiri ketika Pengantar Tamu menerjang dengan
pukulan dan tendangan beruntun. Pertempuran


Pengemis Binal 27 Bidadari Pulau Penyu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sengit pun tak bisa dihindari lagi. Pengantar Tamu terus mencecar Pengemis Binal
dengan serangan-serangan mematikan. Sementara, Pengemis
Binal yang tahu bila Pengantar Tamu salah tuduh, tak mau meladeni dengan
sungguhsungguh. Tapi melihat sikap Pengantar Tamu
yang tak mau mendengar penjelasannya, terpaksa
Pengemis Binal memberi pelajaran.
Selagi Pengantar Tamu berusaha menyarangkan tendangan ke kepala, cepat sekali
tangan kanan Pengemis Binal berkelebat. Pergelangan
kaki kanan Pengantar Tamu berhasil ditangkap.
Setelah dipeluntir beberapa saat, lalu dilemparkan!
Brruuk...! "Uh...!"
Pengantar Tamu jatuh terjerembab mencium tanah. Sewaktu dia mengaduh-aduh
kesakitan karena batang hidungnya penyok dan mengeluarkan darah, Pengemis Binal
tampak garukgaruk kepala.
"Maaf.... Terpaksa ini kulakukan agar kau
bisa berpikir lebih jernih...," ujar Suropati seraya
melangkah untuk mengambil perahu kulit kerbau
yang tergeletak di tanah.
"Kau boleh menyentuh perahu itu, tapi
makan dulu hadiahku ini!" hardik Pengantar Tamu.
Terpaksa Pengemis Binal mengurungkan
niatnya karena selarik sinar putih berkeredepan
meluruknya dari samping kiri. Pengemis Binal
yang sudah diliputi rasa jengkel, cepat membalikkan badan. Lalu, kedua tangannya
mengibas bersamaan!
Wesss...! Blarrr...! Gelombang angin pukulan ciptaan Pengemis Binal mampu menahan pukulan jarak jauh
Pengantar Tamu. Selarik sinar putih tampak melesat lurus ke atas, dan berubah menjadi percikan-percikan api yang segera jatuh
ke air telaga yang dingin. "Tahan!" seru Peramal Buntung waktu melihat Pengantar Tamu tengah mengambil
ancangancang untuk menerjang Pengemis Binal lagi.
"Berdiamlah dulu di tempatmu, Pak Tua!
Tunggulah giliran untuk kupecahkan batok kepalamu!" bentak Pengantar Tamu
"Hus! Cobalah kendalikan hawa amarahmu, Anak Muda! Aku melihat... aku
melihat...,"
ucapan Peramal Buntung menggantung. "Bayangbayang nisan kubur di atas kepalamu
makin jelas. Jangan-jangan kau...."
"Tua bangka buntung! Kaulah yang akan
dijemput ajal!" sela Pengantar Tamu seraya menggedruk tanah.
Tiba-tiba, gumpalan tanah dan bebatuan
berhamburan, dan menyerbu Peramal Buntung.
Karena tak mau mati konyol, cepat Peramal Buntung meloncat jauh. Sementara,
Pengantar Tamu langsung menerjang Pengemis Binal. Diam-diam
dia mengeluarkan batang bambu sepanjang setengah jengkal dari balik bajunya.
Batang bambu itu disembunyikannya di bawah telapak tangan.
Namun, mata Pengemis Binal yang jeli dapat melihatnya. Sambil melayani serangan,
mata Pengemis Binal tak pernah lepas memperhatikan telapak tangan kiri Pengantar
Tamu yang menyembunyikan batang bambu.
"Hmmm.... Pemuda ini hendak berbuat licik. Tentu ada sesuatu di dalam batang
bambu yang dibawanya. Aku harus berhati-hati," kata
hati Suropati. Selagi remaja tampan ini berkelit ke kiri
untuk menghindari tendangan yang mengarah
ulu hati, mendadak tangan kiri Pengantar Tamu
berkelebat. Gerakannya seperti orang menampar,
tapi dari dalam batang bambu yang tersembunyi
di bawah telapak tangan menyembur serbuk halus berwarna hitam!
"Racun Pembuta Mata!" seru Peramal Buntung yang melihat kelicikan Pengantar
Tamu. Suropati yang sudah menyangka adanya
tipuan, cepat membuang tubuh sejauh mungkin
ke belakang. Namun sesungguhnya, Suropati telah ter-makan tipuan Pengantar Tamu.
Karena, apa yang dilakukan Pengantar Tamu tadi hanyalah gerak awal dari rangkaian gerak
tipu yang telah disusunnya dengan matang.
Begitu tubuh Suropati melenting jauh,
mendekati batang pohon di belakangnya, Pengantar Tamu mengibaskan ujung lengan
bajunya ke atas. Gelombang angin pukulan menggoyahkan
ranting-ranting pohon. Tak ayal lagi, daun-daun
rontok dan menebar ke tanah. Dan..., di luar dugaan Suropati. Bersamaan dengan
rontoknya daun, serbuk berwarna hitam pekat berhamburan
ke mana-mana. Agaknya, ranting dan dedaunan
itu telah dilumuri serbuk racun!
"Tuan Muda...!" pekik Peramal Buntung
yang melihat Pengemis Binal yang terkurung di
dalam tebaran serbuk racun.
Namun sebelum kakek ini berbuat sesuatu
untuk memberi pertolongan, tiba-tiba terdengar
suara menggembor keras. Dari tempat Suropati
berada, memancar cahaya merah. Bagai tertiup
angin topan dari dalam, serbuk racun berhamburan ke empat penjuru!
Melihat dirinya turut terancam, bergegas
Peramal Buntung berkelebat menjauh. Namun,
malang bagi Pengantar Tamu yang berdiri lebih
dekat dengan kedudukan Suropati. Dia sama sekali tak menyangka bila Suropati
akan dapat menghalau serbuan racun. Lagi pula, dia pun sudah merasa senang karena
menganggap tipuannya telah berhasil, hingga membuat kewaspadaannya berkurang.
Akibatnya, senjata makan
tuan! Pengantar Tamu menjerit-jerit ketika serbuk racun menerpa tubuhnya. Wajahnya
langsung menghitam karena di bagian itulah serbuk
racun menerpa lebih banyak. Sementara, salju
merah tipis tampak menempel di dada dan perutnya. Rupanya, Suropati telah
menggunakan ilmu
pukulan 'Salju Merah' untuk menghalau serbuan
serbuk racun. Dari kejauhan Pengemis Binal dan Peramal
Buntung bergidik ngeri melihat Pengantar Tamu
menjerit-jerit sambil mendekap wajah. Karena tak
mampu menahan sakit, pikiran Pengantar Tamu
jadi terganggu. Bagai orang gila, dia melonjaklonjak, lalu meloncat jauh.,..
Malang sekali! Loncatan Pengantar Tamu
tepat menuju ke tengah telaga. Terdengar jeritan
sangat panjang sewaktu tubuh Pengantar Tamu
terisap masuk ke dasar telaga yang mempunyai
Tenaga Ganda Bumi.
Untuk sesaat timbul pusaran di tempat
Pengantar Tamu jatuh. Pengemis Binal dan Peramal Buntung menarik napas panjang.
Mereka sama-sama menyesali kematian Pengantar Tamu
yang hanya karena telah salah pengertian. Tapi
sesungguhnya, riwayat Pengantar Tamu memang
ditakdirkan hanya cukup sampai di situ. Ramalan
Peramal Buntung telah menjadi kenyataan!
"Kita tak mungkin pergi jika tak ada salah
seorang penghuni Graha Kenikmatan yang bersedia mengantar...," desah Peramal
Buntung kemudian.
"Itu persoalan gampang. Tanpa bantuan
anak buah Bidadari Pulau Penyu pun kita tetap
akan dapat menyeberangi telaga dengan selamat,"
sahut Pengemis Binal. "Aku telah mengetahui
kunci pembuka jalannya."
"Dari mana Tuan Muda tahu" Apakah Bidadari Pulau Penyu telah mengatakannya?"
"Tidak. Waktu naik perahu pemuda naas
tadi, aku melihat bila dia mengikuti tonggaktonggak yang sengaja ditancapkan di
dasar telaga."
"Bagaimana Tuan Muda bisa melihat" Airnya begitu keruh...."
"Aku punya ilmu tembus pandang yang
bernama 'Mata Awas'...," beri tahu Suropati seraya menghampiri perahu kulit
kerbau. Peramal Buntung diam, tapi dalam hatinya
mengakui ketinggian ilmu si Pengemis Binal. Di
bagian lain, api terus berkobar-kobar membakar
istana Bidadari Pulau Penyu. Para pemuda bercawat berlari-lari membawa perahu
kulit kerbau untuk segera meninggalkan Pulau Penyu yang kini bukan lagi sebuah tempat tinggal
menyenangkan bagi mereka.....
*** 7 Usai menyeberangi telaga....
Mentari hampir tenggelam di peraduannya.
Senja akan segera datang untuk menyambut sang
dewi malam. Di bawah siraman cahaya sore hari
yang mulai remang-remang, Pengemis Binal tampak menyeringai masam sambil
memegangi perutnya. Berkali-kali mendesah dengan keringat dingin yang terus
bercucuran. "Kau kenapa, Tuan Muda?" tanya Peramal
Buntung, khawatir.
"Perutku melilit-lilit... Mual! Mau muntah...," seru Suropati yang kelihatan
sangat tersiksa.
"Jangan-jangan Tuan Muda telah menghirup serbuk racun yang ditebarkan oleh
Pengantar Tamu tadi..."
"Tidak! Aku yakin, tak ada racun yang masuk ke tubuhku. Tapi..., kenapa perutku
terasa bagai diaduk-aduk?"
"Sejak kapan Tuan Muda merasakannya?"
"Sejak aku minum cairan kuning yang telah dicelupi Akar Kayangan. Uh! Benarkah
cairan yang kau berikan itu arak, Kek?"
Peramal Buntung diam. Teringat peristiwa
di istana Bidadari Pulau Penyu, mendadak kakek
berompi kuning ini tertawa, tapi cepat ditahannya
karena melihat Pengemis Binal yang terus mendesah-desah.
"Uh! Jawab pertanyaanku, Kek.... Sebenarnya cairan kuning yang kuminum itu apa"
Aku yakin, cairan itu bukan arak! Baunya tak sedap
dan... rasanya berlainan sekali..." keluh Suropati.
Sinar matanya memohon jawaban.
Kening Peramal Buntung berkerut. Setelah
berpikir beberapa saat, kakek ini berkata, "Kau
pernah mendengar pepatah yang berbunyi: Tak
ada rotan, akar pun jadi, Tuan Muda?"
"Uh! Memangnya ada apa dengan pepatah
itu"!" sentak Pengemis Binal.
"Cairan yang kau minum memang bukan
arak, Tuan Muda..."
"Lalu, apa?" sentak Pengemis Binal lebih
keras. Hatinya mulai diliputi rasa curiga.
"Maafkan aku, Tuan Muda...," sesal Peramal Buntung dengan air muka keruh. "Di
dalam istana Bidadari Pulau Penyu, aku tak menemukan
arak. Tapi mengingat Tuan Muda yang harus segera mendapat pertolongan, aku
berusaha keras untuk mendapatkan arak. Nah, waktu mencaricari itulah, aku tak dapat menahan
keinginanku untuk kencing. Dan kupikir..., tak ada arak, air
ken...." "Jadi, cairan yang kuminum itu adalah....
Hoek...!" Tumpah sudah semua isi perut Pengemis
Binal. Warna mukanya langsung berubah merah
padam. Sementara, Peramal Buntung malah tersenyum-senyum, lalu menepuk bahu
Pengemis Binal yang masih berusaha menguras isi perutnya.
"Jangan salah sangka, Tuan Muda. Mana
berani aku memberi Tuan Muda air kencing. Aku
kan cuma bercanda. He he he...."
"Uh! Sebal! Lalu, cairan kuning itu sebenarnya apa"!" sungut Suropati, berusaha
menahan kemarahan.
Peramal Buntung menekuk pergelangan
kaki kanannya. Lalu, sambil membungkuk, jarijari kakinya mengambil sesuatu dari
saku celananya. Gerakannya tampak lemas dan tak sedikit
pun mendapat kesulitan. Karena, sejak kecil dia
telah melatih kedua kakinya sedemikian rupa,
hingga dapat menggantikan kedua tangannya
yang buntung. "Ini kunyit," beri tahu Peramal Buntung,
menunjukkan barang yang terjepit di jari-jari kaki
kanannya. "Sebenarnya, ke mana-mana aku selalu membawa kunyit...."
"Hmmm.... Kau jangan mencari-cari alasan,
Kek! Kau telah mempermainkan aku. Oleh karena
itu, aku akan...."
"Uts! Dengar dulu penjelasanku, Tuan Muda," potong Peramal Buntung yang melihat
Pengemis Binal naik darah. "Cairan kuning yang
Tuan Muda minum adalah air putih biasa yang
telah kucampur dengan air perasan kunyit!"
"Sungguhkah itu?"
"Ya!"
"Tapi, kenapa rasanya kok seperti...."
"He he he.... Aku memeras kunyit dengan
jari-jari kaki, sementara tak ada waktu untuk
mencuci kaki terlebih dahulu..."
"Uh! Pantasan! Uk...! Uk..!"
Pengemis Binal membungkuk seraya membuka mulut lebar-lebar, namun tak ada lagi
yang dapat dimuntahkan karena isi perutnya telah terkuras habis. Sementara, dari
tengah-tengah Pulau Penyu yang baru saja ditinggalkan oleh Pengemis Binal dan
Peramal Buntung, terus mengepulkan asap tebal. Agaknya, istana Bidadari Pulau
Penyu yang diberi nama Graha Kenikmatan
akan segera musnah termakan si jago merah.
Pengemis Binal dan Peramal Buntung terkesiap ketika telinga mereka menangkap
suara lolongan serigala. Semakin lama semakin terdengar
jelas. Hingga, memaksa Pengemis Binal dan Peramal Buntung untuk meningkatkan
kewaspadaan. "Aneh! Kenapa di sore hari seperti ini ada
serigala melolong" Dan tampaknya, serigala itu
tengah menuju kemari...," kata hati Suropati.
Remaja tampan yang sering berperilaku
konyol ini membelalakkan mata lebar-lebar ketika


Pengemis Binal 27 Bidadari Pulau Penyu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat seekor anjing hitam yang tampak sangat
buas dan memiliki keanehan. Tubuh anjing itu
hampir sebesar kuda. Sambil berjalan, moncongnya terus mengeluarkan suara lolongan. Lebih
aneh lagi, di punggung anjing besar itu duduk
seorang wanita gemuk bundar mengenakan pakaian serba putih. Rupa si wanita tak
seberapa sedap dipandang mata. Pipinya tembam, hidungnya pesek, dan bibirnya tebal
berwarna hitam,
serta berkepala gundul tanpa sehelai rambut pun!
"Putri Impian...," desis Pengemis Binal.
"Tuan Muda kenal dengan wanita itu?"
tanya Peramal Buntung.
Suropati mengangguk. "Dia salah seorang
penghuni Istana Langit yang mempunyai kedudukan sebagai Ratu Istana Dalam."
Peramal Buntung tak melanjutkan pertanyaannya karena langkah kaki anjing besar
yang membawa wanita gundul telah mendekat.
"Hus! Diamlah Sona Langit!" seru wanita
gundul yang memang Putri Impian atau Ratu Istana Dalam. Lolongan anjing yang
ditungganginya langsung berhenti.
"Ratu...," sapa Pengemis Binal.
Putri Impian tersenyum ramah. Tanpa turun dari hewan tunggangannya yang bernama
Sona Langit, dia, berkata, "Sengaja aku datang
menemuimu, Tuan Muda. Karena, ada sesuatu
yang hendak kusampaikan...."
Bola mata Putri Impian bergerak ke kiri,
melirik ke arah Peramal Buntung. Pengemis Binal
dapat menangkap isyarat itu. Dengan badan sedikit dibungkukkan, Pengemis Binal
berkata, "Kakek ini adalah Peramal Buntung. Dia sahabat
baikku di Negeri Pasir Luhur ini."
"Oh! Syukurlah kalau dia memang sahabat
baik Tuan Suropati. Hingga, bolehlah dia turut
mendengar apa yang akan kusampaikan kepadamu, Tuan Muda Suropati...," sahut
Putri Impian yang tampaknya sangat berhati-hati.
"Bila memang keberadaanku hanya akan
mengganggu, aku yang buruk rupa ini memang
harus tahu diri...," sahut Peramal Buntung.
"Jangan! Kau jangan pergi, Pak Tua!" cegah
Putri Impian waktu melihat Peramal Buntung
hendak meninggalkan tempat. "Tuan Suropati telah mengatakan bila kau adalah
sahabatnya. Berarti, kita berada di pihak yang sama."
Usai berkata, Putri Impian menatap wajah
Suropati. Sementara, Peramal Buntung pun tak
jadi meninggalkan tempat.
"Tuan Suropati...," sebut Putri Impian.
"Masih ingatkan Tuan kepada kesanggupan Tuan
untuk membantu mengatasi kemelut di Istana
Langit?" "Tentu saja aku masih ingat, Aku tak
mungkin melupakan janji yang pernah kuucapkan," sahut Pengemis Binal.
Putri Impian tersenyum. Setelah menarik
napas panjang, dia berkata, "Saat ini, semua
penghuni Istana Langit telah kuungsikan di suatu
tempat yang aman. Mereka tak mungkin tinggal
terus di Istana Langit karena bahaya selalu datang dari utusan Siluman Ragakaca
yang meminta gadis persembahan setiap hari...."
"Lalu?" desak Suropati.
"Dari tempat persembunyian para penghuni Istana Langit, diam-diam aku melakukan penyelidikan. Kekuatan gaib yang
membentengi Pesanggrahan Pelangi dapat ditembus oleh seseorang yang mempunyai
darah raja...."
"Apa hubungannya dengan diriku?"
"Tuan Suropati jangan terlalu merendah.
Aku tahu bila Tuan Suropati adalah putra Prabu
Singgalang Manjunjung Langit..."
Terkejut Pengemis Binal mendengar katakata Putri Impian. Jatidirinya telah
ketahuan walau dia tak pernah mengatakan kepada siapa pun.
Yang tahu dirinya putra Prabu Singgalang Manjunjung Langit hanyalah orang-orang
tertentu yang mempunyai jabatan tinggi di Negeri Pasir
Luhur. Peramal Buntung terkejut pula. Tak pernah
dia sangka bila Suropati yang selalu mengenakan
pakaian putih penuh tambalan itu adalah putra
seorang raja. Tapi di balik keterkejutannya, segera
timbul rasa bangga dan berbesar hati. Tak salah
bila dirinya bersedia menjadi budak pengiring putra Prabu Singgalang Manjunjung
Langit, raja Pasir Luhur, penguasa negeri tempatnya berpijak
sekarang ini. "Dari mana Ratu tahu kalau aku putra
Prabu Singgalang Manjunjung Langit?" tanya
Pengemis Binal, terbawa rasa penasaran.
"Kakakmu, Anggraini Sulistya, yang mengatakan...," jawab Putri Impian, kalem.
"Anggraini Sulistya?"
"Ya. Gadis yang telah dipersunting oleh si
Pendekar Kipas Terbang Raka Maruta itulah yang
mengatakan kepadaku bahwa kau adalah putra
penguasa Negeri Pasir Luhur ini, Tuan Suropati.
Ketahuilah, aku yang rendah ini bisa dikatakan
sahabat baik Anggraini Sulistya yang bergelar Putri Cahaya Sakti."
Pengemis Binal mengangguk-angguk seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Terlepas dari semua itu," lanjut Putri Impian, "Aku mengharap dengan sepenuh
hati agar Tuan Suropati bersedia pergi ke Pesanggrahan Pelangi sekarang juga. Ambillah
sebuah benda pusaka berupa Kodok Emas. Karena, di situlah letak
kelemahan Siluman Ragakaca."
Pengemis Binal menggaruk kepalanya makin keras. "Aku ke Pesanggrahan Pelangi"
Sekarang?" tanyanya, ketolol-tololan.
"Ya. Selagi ada kesempatan bagus. Saat ini,
Siluman Ragakaca telah memerintahkan orangorangnya untuk menjalankan tugas
masingmasing...."
"Tapi, bagaimana caraku untuk dapat pergi
ke sana, sementara letaknya saja aku tak tahu?"
"Lho, bukankah Tuan Suropati membawa
Mustika Batu Merpati" Dengan batu mustika itu,
Tuan Suropati dapat pergi ke mana saja."
Plok! Plok! Mendadak, Suropati menggaplok kepalanya
sendiri dua kali. "Bebal benar otakku ini! Kenapa
aku jadi sangat pelupa begini"!" rutuknya kepada
diri sendiri karena teringat Mustika Batu Merpati
yang lupa dimintanya kembali dari tangan Bidadari Pulau Penyu.
Melihat perbuatan Pengemis Binal yang
tampak konyol, Putri Impian mengerutkan kening. "Ada apa, Tuan Suropati" Apakah
Mustika Batu Merpati hilang?"
Karena merasa bersalah, Suropati tak berani membalas tatapan Putri Impian.
Dengan suara berat dan bergetar, dia berkata, "Batu ajaib
pemberian Ratu itu tidak hilang, hanya saja...."
"Hanya saja apa?" desak Putri Impian yang
mulai digeluti rasa khawatir. Bagaimana tidak"
Mustika Batu Merpati adalah sarana satusatunya untuk dapat menembus Pesanggrahan
Pelangi. Kalau sampai batu ajaib itu hilang, maka
sampai kapan pun kemelut di Istana Langit tak
akan dapat diatasi. Dan, Siluman Ragakaca pun
akan seterusnya mengumbar nafsu jahat.
"Sekarang ini, Mustika Batu Merpati dibawa oleh Bidadari Pulau Penyu," beri tahu
Pengemis Binal kemudian.
Putri Impian melonjak kaget bagai disambar geledak di siang bolong. Tanpa sadar
dia meloncat dari punggung Sona Langit. "Bidadari Pulau Penyu...," desisnya,
setengah tak percaya. Putri Impian tahu, benar bila Bidadari Pulau Penyu
adalah salah seorang dari kaki-tangan Siluman
Ragakaca yang dipercaya untuk menduduki jabatan sebagai Duta Selatan.
"Jangan berprasangka buruk dulu, Ratu,"
ujar Pengemis Binal yang dapat menebak isi hati
Putri Impian. "Aku juga tahu bila Bidadari Pulau
Penyu punya kebiasaan dan perangai tak terpuji.
Tapi aku yakin..., sejahat-jahatnya Bidadari Pulau
Penyu, dia tak memiliki nafsu rendah untuk memiliki Mustika Batu Merpati."
"Bagaimana Tuan Suropati bisa berkata
seperti itu?" tanya Putri Impian, menyelidik.
Pengemis Binal menarik napas panjang, lalu menceritakan peristiwa hilangnya
Mustika Batu Merpati di tempat kediaman Sepasang Racun
Api. (Baca dalam episode: "Sepasang Racun Api").
Tak lupa, Pengemis Binal juga menceritakan peristiwa di Graha Kenikmatan
termasuk kedatangan Iblis Mata Satu di istana milik Bidadari Pulau
Penyu itu. Putri Impian mendengarkan cerita Suropati
dengan kening berkerut rapat. Peramal Buntung
turut mendengarkan tanpa ada satu kata pun
yang lepas dari pendengarannya. Peramal Buntung jadi tahu kenapa si Pengemis
Binal Suropati mengajaknya mencari Bidadari Pulau Penyu. Kiranya, Suropati hendak meminta
Mustika Batu Merpati yang dilarikan wanita bertubuh sintal itu.
"Walau Iblis Mata Satu telah membakar
Graha Kenikmatan, tapi aku yakin bila Bidadari
Pulau Penyu akan dapat menyelamatkan diri. Kalau sudah sampai waktunya, dia
pasti mencariku
untuk mengembalikan Mustika Batu Merpati,"
ujar Pengemis Binal, menutup ceritanya.
"Tidak!" kepala Putri Impian menggelenggeleng. Air mukanya terlihat amat keruh.
Sementara, anjing besar tunggangannya, Sona Langit,
melolong panjang. Satwa berbulu hitam pekat itu
seakan dapat merasakan kegundahan hati tuannya,
"Apanya yang tidak, Ratu?" tanya Pengemis
Binal, tak mengerti,
"Jalan pikiranmu terlalu sederhana Tuan
Suropati...," ujar Putri Impian, tanpa maksud meremehkan Pengemis Binal.
"Maksud Ratu?"
"Aku menduga bila apa yang dilakukan Bidadari Pulau Penyu hanyalah tipu muslihat
belaka. Dia pura-pura hendak menentang Siluman
Ragakaca, padahal dia tengah menjalankan sebuah siasat yang sangat licik!"
"Aku tak mengerti apa yang Ratu katakan...."
"Iblis Mata Satu datang dan membakar
Graha Kenikmatan adalah sudah satu dari rencana yang telah disusun oleh wanita
bejat itu! Kalau
dia tidak punya akal bulus, kenapa Mustika Batu
Merpati tidak langsung diserahkan kepadamu,
Tuan Suropati?"
"Sudah kukatakan bila Bidadari Pulau
Penyu melarikan Mustika Batu Merpati adalah
sebagai usaha agar aku bersedia membantunya
untuk melawan Siluman Ragakaca."
"Tak masuk akal!" seru Putri Impian, penuh keyakinan. "Kalau dia bermaksud
meminta bantuanmu, kenapa dia tidak langsung mengatakannya" Kenapa mesti melakukan
tindakan licik,
melarikan Mustika Batu Merpati untuk memancing kedatanganmu ke Pulau Penyu"
Kenapa pula dia mesti meracunimu" Padahal, jika dia langsung mengatakan keinginannya,
bukankah kau pasti akan menyetujui, Tuan Suropati" Lagi pula,
Bidadari Pulau Penyu telah tahu bila Tuan Suropati telah membunuh Sepasang Racun
Api yang tak lain kaki-tangan Siluman Ragakaca juga. Dia
pasti telah diberi tahu oleh Siluman Ragakaca bila
Tuan Suropati berpihak pada Istana Langit dan
memusuhi Pesanggrahan Pelangi. Dengan kedua
alasan itu, kenapa Bidadari Pulau Penyu mesti
memancing kedatangan Tuan Suropati ke Pulau
Penyu untuk sekadar menyampaikan sebuah
keinginan yang pasti Tuan Suropati setujui?"
Pengemis Binal diam membisu. Mendengar
penjelasan Putri Impian yang begitu panjang, remaja tampan ini semakin menyadari
kesalahannya. Tapi, hatinya masih diliputi tanda tanya juga. Benarkah Bidadari
Pulau Penyu telah menipunya" Dan, apa maksud wanita itu sebenarnya"
Kenapa dia merelakan istananya dibakar habis
oleh Iblis Mata Satu"
Selagi Pengemis Binal larut dalam pikiran
di benaknya, Putri Impian meloncat ke punggung
Sona Langit. "Karena kesalahan ini tidak Tuan Suropati
sengaja, aku bisa memaklumi. Sekarang, aku
mohon diri. Aku harus mencari Bidadari Pulau
Penyu. Aku harus mendapatkan kembali Mustika
Batu Merpati. Kemelut di Istana Langit harus segera diatasi. Ratu Tertinggi
tidak boleh terlalu lama berada dalam sekapan Siluman Ragakaca keparat!"
Usai mengucapkan kalimat yang cukup
panjang, Putri Impian menepuk leher Sona Langit. Anjing besar itu langsung
melolong tinggi seraya menggeprak kaki untuk kemudian berkelebat lenyap.
*** Sementara, mentari telah tenggelam di kaki
langit barat. Senja pun telah pergi digantikan gelap malam. Untunglah rembulan
mampu memberikan cahaya temaram, hingga gelap tak begitu
berkuasa... "Suropati keparat! Hari ini kau akan segera
menerima kematianmu!"
Terdengar sebuah teriakan keras menggelegar.
Pengemis Binal dan Peramal Buntung terkejut tiada terkira. Ketika mengarahkan
pandangan ke asal suara, di bawah keremangan malam,
mereka melihat seorang kakek berjubah merah
tengah berdiri menantang dengan dengus napas
memburu. "Raja Angin Barat...!" desis Pengemis Binal
dan Peramal Buntung bersamaan.
"Ya! Aku memang Raja Angin Barat!" sahut
kakek berjubah merah. "Kau minggirlah, Peramal
Buntung! Aku akan menyelesaikan urusanku
dengan bocah gemblung ini!"
"Sahabatku Raja Angin Barat...," sebut Peramal Buntung, merendah. "Ada apakah
gerangan hingga kau datang membawa luapan amarah seperti ini?"
"Aku tak butuh bertutur kata denganmu!"
bentak kakek berjubah merah yang memang Raja
Angin Barat. "Memandang mukamu sebagai tokoh


Pengemis Binal 27 Bidadari Pulau Penyu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tua yang pernah menjalin persahabatan denganku, aku sarankan agar kau menyingkir
secepatnya!"
Peramal Buntung geleng-geleng kepala
mendengar ucapan kasar Raja Angin Barat. Sementara, jantung Pengemis Binal
berdegup lebih kencang terbawa suasana hatinya yang tegang.
Pengemis Binal ingat cerita Bidadari Pulau Penyu.
Putri Raja Angin Barat yang bernama Narita berada dalam sekapan Siluman
Ragakaca. Dan demi
keselamatan Narita, Raja Angin Barat harus menuruti kemauan penguasa
Pesanggrahan Pelangi
itu. Pengemis Binal sadar bila kedatangan Raja
Angin Barat tentu untuk membunuhnya!
"Hmmm... Jika kau merasa sebagai tokoh
tua yang tentunya lebih malang pengalaman, seharusnya kau dapat menahan diri,
sahabatku Raja Angin Barat...," ujar Peramal Buntung. "Aku
yakin, hati yang tidak terbakar hawa amarah dan
pikiran yang jernih akan dapat menyelesaikan
persoalan."
"Kau keliru, Peramal Buntung!" sahut Raja
Angin Barat, suaranya tetap keras membentak.
"Persoalanku dengan Suropati tidak cukup hanya
dipikirkan saja. Tindakanlah yang diperlukan.
Dan, persoalan itu akan selesai setelah Suropati
menyerahkan nyawanya!"
"Tahan amarahmu dulu!" cegah Peramal
Buntung waktu melihat Raja Angin Barat bersiap
diri untuk mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang
terdahsyat. "Aku tak butuh kata-kata darimu! Kalau
kau tidak mau terkena getahnya, segeralah menyingkir!" usir Raja Angin Barat.
"Pak Tua..., kau boleh membunuhku kalau
memang aku salah," sahut Pengemis Binal. "Tapi,
tidakkah kau berpikir dulu bila tindakanmu ini
hanya akan membuat Siluman Ragakaca berpesta
kemenangan" Apakah kau yakin setelah berhasil
membunuhku, Narita akan dibebaskan oleh Siluman Ragakaca" Apakah kau tidak
merasa telah menjadi alat untuk melakukan tindak kejahatan,
Pak Tua?" Mendengar kalimat Pengemis Binal, Raja
Angin Barat kontan terdiam. Keraguan meliputi
hatinya. Bagaimanapun, Siluman Ragakaca adalah tokoh jahat yang sulit dipegang
kata-katanya. Andai Suropati telah terbunuh, tak ada jaminan
bila Narita akan dibebaskan!
"Narita...," desah Raja Angin Barat kemudian. Parasnya mengelam. Hawa amarahnya
sirna berganti duka. "Narita...," desahnya lagi, menyebut nama putri tinggalnya
Pengemis Binal dan Peramal Buntung sama-sama menarik napas panjang. Mereka tahu
bila Raja Angin Barat menyimpan beban batin
yang amat berat, Mereka ingin membantu meringankan beban batin itu, tapi
bagaimana caranya"
Haruskah menunggu sampai Sang Penguasa
Tunggal menunjukkan jalan terang"
"Uh! Aku bisa gila memikirkan rentetan
masalah yang tak pernah ada habisnya ini!" sungut Suropati sambil menggaplok
kepalanya sendiri beberapa kali.
SELESAI Segera menyusul episode:
RAHASIA SILUMAN RAGAKACA
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pangeran Perkasa 15 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Pedang Golok Yang Menggetarkan 10

Cari Blog Ini