Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 1

Pendekar Rajawali Sakti 18 Darah Pendekar Bagian 1


1 Pendekar Rajawali Sakti 18 Darah Pendekar
http://cerita-silat.mywapblog.com tempat baca cersil mandarin & indo via HP
Darah Pendekar Denting benturan senjata yang memecah kesunyian
malam, bercampur menjadi satu dengan pekik pertempuran dan jerit kematian. Malam yang seharusnya tenang dan damai, kini penuh
suara gaduh meng-gemparkan. Teriakan-teriakan bernada memerintah terdengar
mengalahkan kegaduhan itu.
"Yaaat...!"
Sebuah bayangan berkelebat melesat tinggi melewati atap sebuah bangunan besar
dan megah. Sesaat
kemudian beberapa bayangan juga melesat menyusul.
Tampak beberapa orang berpakaian punggawa mengejar seorang laki-laki berwajah
tampan dan keras. Mereka berlompatan di atas atap bangunan megah itu.
"Kepung...! Jangan biarkan dia lolos!" terdengar teriakan keras.
Di sekitar bangunan megah berpagar tembok tinggi dan kokoh, ratusan orang
berseragam prajurit dengan senjata tombak dan pedang telah berjajar mengepung.
Sementara di atas atap, terlihat empat orang berpakaian punggawa tengah
bertarung melawan seorang laki-laki muda berbaju kuning gading.
"Hiya..!"
Satu teriakan melengking tinggi, mengawali terjungkalnya salah seorang punggawa
itu dari atas atap. Tubuhnya meluncur deras, dan jatuh ke tanah dengan keras.
Sebentar dia menggeliat, lalu diam tidak berkutik lagi.
Dadanya berlubang besar, sedangkan lehernya hampir putus.
"Pasukan panah! Siap...!" terdengar teriakan memerintah.
Puluhan orang berseragam prajurit langsung memasang anak panah pada busurnya. Sementara pertarungan di atas atap masih terus berlangsung. Seorang punggawa lagi tampak
terpental dan hampir jatuh ke tanah, dan untungnya masih sempat berpegangan.
Belum lagi punggawa itu bangkit, terdengar teriakan melengking tinggi. Kembali
seorang lagi terjungkal dengan darah muncrat dari tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
Orang berpakaian kuning gading itu melesat cepat ke atas tembok tinggi yang
membatasi bangunan besar itu dengan jalan desa. Pada saat itu terdengar teriakan
keras memerintah, maka dengan serentak puluhan anak panah melesat ke arah lakilaki muda berbaju kuning gading itu.
Namun dengan gesit sekali laki-laki muda itu memutar pedangnya, menghalau hujan
panah. Dan dengan satu lompatan manis, tubuhnya meluruk turun ke luar pagar
benteng itu. Kembali teriakan keras bernada perintah terdengar saling susul.
Saat itu juga, pintu gerbang benteng yang mengelilingi bangunan megah itu
terbuka. Puluhan prajurit dan punggawa ke luar dengan kuda yang dipacu cepat.
Seorang laki-laki tua mengenakan baju jubah putih yang panjang dan lebar, memacu
kudanya paling depan. Di belakangnya terlihat tiga orang lainnya yang juga sudah
berusia lanjut. Puluhan prajurit dan punggawa mengikuti dari belakang.
"Berpencar...!" teriak laki-laki berjubah putih itu keras.
Tanpa ada yang membantah, mereka berpencar membentuk kelompok sendiri-sendiri. Sedangkan laki-laki berjubah putih itu
menghentikan laju kudanya, di ikuti seorang laki-laki tua lainnya. Sedangkan dua
laki-laki lainnya terus berpacu bersama beberapa orang prajurit.
Seorang pemuda tampan dan gagah terlihat memacu
kuda mendekati dua orang tua itu. Di belakangnya menyusul seorang gadis berwajah
cantik dengan baju merah menyala. Di balik punggung mereka menyembul gagang
pedang. Mereka menghentikan kudanya tepat di depan dua orang tua itu
"Bagaimana, Paman?" tanya pemuda tampan itu.
"Ampun, Gusti...." laki-laki tua berjubah putih itu membungkukkan badannya
memberi hormat. "Sampai saat ini kami belum berhasil"
"Hm..., bagaimana awal kejadiannya?" tanya pemuda itu lagi.
"Kakang Danupaksi, sebaiknya Kakang jangan banyak tanya. Yang penting orang itu
harus segera ditangkap kembali," selak gadis berbaju merah di sampingnya.
"Benar, Nini Cempaka. Dia memiliki ilmu yang sangat tinggi dan berbahaya. Gusti
Prabu Rangga pasti murka bila mengetahui tawanannya berhasil melarikan diri."
sambung laki-laki di samping orang berjubah putih.
Sesaat mereka terdiam membisu saling melemparkan pandangan. Kata-kata laki-laki
tua yang memakai pakaian seorang panglima perang itu seolah-olah mengingatkan
kalau raja mereka kini tengah tidak ada di istana.
"Paman Bayan Sudira, Eyang Lintuk...," kata Danupaksi
"Hamba, Gusti," dua orang laki-laki tua itu membungkuk hormat.
"Teruskan pengejaran, sementara aku akan mencari Kanda Prabu," kata Danupaksi.
"Tunggu...!" tiba-tiba terdengar teriakan keras.
Empat orang berkuda itu langsung menoleh ke arah sumber suara tadi. Tampak
seorang gadis muda dan cantik sudah berdiri tidak jauh dari mereka. Gadis yang
mengenakan pakaian seorang pendekar wanita berwama hijau muda itu melangkah
mendekati. "Tidak boleh ada yang meninggalkan istana," kata wanita itu tegas.
"Kak Mayang...," Cempaka mau membantah.
"Jangan membantah, Adik Cempaka!" sentak wanita yang ternyata bernama Mayang itu
"Kanda Prabu tidak mengizinkan seorang pun ke luar istana. Apa kalian sudah
lupa?" "Tapi keadaannya genting, Adik Mayang. Seorang
tawanan khusus Kanda Prabu yang sangat berbahaya telah melarikan diri. Tidak
sedikit prajurit dan punggawa yang tewas," kata Danupaksi mencoba memberi
pengertian. "Itu bukan alasan yang tepat untuk meninggalkan Istana."
"Nini Mayang! Jika demikian perintah Gusti Prabu, izinkan hamba yang mencari
Gusti Prabu," kata Eyang Lintuk menengahi. Dia tahu kalau tiga orang muda itu
adalah orang-orang yang dekat dengan Prabu Rangga Pati Permadi. Danupaksi dan
Cempaka adalah adik tiri Prabu Rangga. Sedangkan Mayang murid dari bibi mereka
yang tewas tanpa diketahui sebab-sebabnya (Untuk lebih jelasnya tentang tokohtokoh itu baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode "Rahasia Kalung
Keramat" dan "Perawan Rimba Tengkorak"). Mereka semua tahu kalau raja telah berpesan agar
mereka jangan meninggalkan istana sampai tugasnya mengejar seorang panglima yang
hendak memberontak selesai. Mereka sadar betul kalau raja mereka adalah seorang
pendekar yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada seorang pun di
Kerajaan Karang Setra ini yang mampu menyamai kepandaiannya.
"Kerajaan Karang Setra sangat membutuhkanmu, Eyang Lintuk," kata Mayang pelan
suaranya. "Di antara kalian semua, hanya aku yang tidak punya kepentingan khusus
di Karang Setra ini."
Danupaksi, Cempaka, Eyang Lintuk, dan Paman Bayan Sudira bisa mengerti kata kata
Mayang. Cempaka melompat turun dari punggung kudanya, lalu menghampiri wanita
cantik yang sudah dianggap sebagai kakaknya itu.
"Kak Mayang jangan berkata demikian. Kau tahu Kanda Prabu Rangga sangat
memperhatikanmu. Ke-hadiranmu di sini sangat berguna dan kami semua menganggapmu sebagai keluarga istana," kata Cempaka lembut.
"Terima kasih, Adik Cempaka. Hanya saja, dalam suasana seperti ini, orang yang
tepat untuk mencari Kanda Prabu adalah aku sendiri." tegas Mayang.
Cempaka memandang Eyang Lintuk dan Paman Bayan
Sudira bergantian. Kedua orang itu hanya mengangkat bahunya saja. Cempaka
beralih memandang Mayang, dan memeluknya hangat. Sementara Danupaksi juga
melompat turun dan menghampiri.
"Kembalilah secepat mungkin," kata Danupaksi.
Mayang hanya tersenyum saja, kemudian berbalik. Tapi Cempaka menarik tangannya.
"Pakai kudaku, biar lebih cepat." Cempaka menawari.
"Kau baik sekali, Adik Cempaka." ujar Mayang seperti ingin menolak.
"Ayolah! Kau pasti membutuhkannya."
Mayang tidak bisa menolak lagi. Segera dia melompat ke punggung kuda putih itu,
kemudian menggebahnya dengan cepat. Sejenak empat orang itu masih
memandangi kepergian Mayang sampai bayangan tubuhnya tidak terlihat lagi.
"Ayo, Cempaka! Kita kembali saja ke istana." ajak Danupaksi. "Eyang, segera
laporkan jika ada sesuatu."
"Baik. Gusti."
Cempaka segera melangkah diikuti Danupaksi yang
menuntun kudanya. Sedangkan Eyang Lintuk dan Paman Bayan Sudira kembali memacu
kudanya mengelilingi tembok benteng Istana Karang Setra ini. Beberapa prajurit
masih terlihat berjaga-jaga, sedangkan puluhan lainnya memeriksa setiap pelosok
kota. Mereka terus mencari seorang tawanan yang melarikan diri dan menewaskan
banyak prajurit dan punggawa!
Malam sudah berganti pagi. Matahari telah terbit sejak tadi. Cahayanya
menghangati mayapada ini. Mayang mengendalikan kudanya yang kelelahan setelah
semalaman dipacu cepat meninggalkan Kerajaan Karang Setra.
Laju kuda putih itu berhenti setelah sampai di sebuah sungai yang berair jemih
dan mengalir tenang. Sungai itu tidak terlalu besar, dan kelihatannya pun
dangkal. Sungai yang bemama Sungai Batang ini begitu jernih, sehingga dasarnya
terlihat jelas. Mayang melompat turun dari punggung kuda, dan menuntunnya
mendekati tepian
sungai itu. "Kita istirahat dulu di sini, Putih." kata Mayang.
Kuda putih itu mengangguk-angguk seraya mendengus-dengus, lalu menjulurkan
kepalanya ke sungai. Beberapa teguk air sungai telah mampir di leher kuda putih
itu. Mayang tersenyum memandanginya. Beruntung sekali mendapat kuda yang perkasa ini.
Kelihatannya memang berguna sekali. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Dia tahu kalau dirinya sudah jauh meninggalkan Karang Setra. Dan
sekarang ini berada di satu tempat yang....
"Eh! Hup...!"
Mayang tak sempat melanjutkan lamunannya, karena tiba-tiba sebatang tombak
panjang meluncur deras ke arahnya. Gadis itu langsung melompat cepat dan
berputar di udara, maka tombak itu lewat di bawah kakinya. Dan begitu kakinya
mendarat di tanah, dari dalam semak belukar muncul tiga orang laki-laki ber
tubuh tinggi besar dan berwajah kasar penuh berewok.
"He he he...!" ketiga laki-laki itu terkekeh melihat seorang gadis cantik di
depannya. Mayang menggeser kakinya sedikit ke samping. Dia sadar kalau sekarang berhadapan
dengan manusia-manusia liar yang sangat kejam. Tiga orang itu dikenal dengan
julukan Hantu Sungai Batang, yang menguasai sekitar sungai ini. Mereka memang
tidak memiliki pekerjaan lain, kecuali membegal siapa saja yang lewat di daerah
Sungai Batang ini. Tidak peduli, apakah itu pedagang, atau hanya pelintas saja.
"He he he,.., hari ini kita beruntung sekali, Adik-adik,"
kata salah seorang yang berada di tengah.
"Benar, Kakang. Hari ini aku tidak peduli, apakah dia punya harta atau tidak,
yang penting...," sambut yang berada di kanan.
Mereka tertawa terbahak-bahak. Mayang mendengus
jijik melihat sinar mata ketiga laki-laki itu. Sinar mata yang liar dan buas
penuh nafsu. Ketiga orang itu melangkah mendekati. Sedangkan Mayang sudah siap
untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka semakin dekat disertai tawa terkekeh
tiada henti. Bola mata mereka semakin liar merayapi wajah dan tubuh gadis itu.
"Kenapa kau berada di sini, Manis?" tanya salah seorang yang berdiri di tengah.
"Akan membunuh kalian jika berani kurang ajar!" jawab Mayang ketus.
"Ha ha ha....!" ketiga laki-laki itu tertawa terbahak-bahak.
Jawaban Mayang yang begitu ketus, seolah-olah meng-gelitik tenggorokan mereka.
Mayang menyemburkan ludahnya sengit. Matanya melirik ketika orang yang berada di
kiri menggeser kakinya menyamping. Sedangkan yang berada di kanan melesat ke
belakangnya. Pelahan Mayang memutar kakinya dengan mata tajam tidak berkedip.
"Aku tahu, kau tidak punya harta. Tapi kau sudah cukup membuat kami senang,"
ujar laki-laki itu lagi.
"Phuih! Ambil saja kesenanganmu di neraka!" dengus Mayang tetap ketus.
"Busyeeet...!" orang itu terlonjak dengan muka merah padam.
"Sudah, jangan banyak omong! Kita ringkus saja bocah manis yang sombong ini!"
selak satunya lagi.
"Hiya...!"
"Yaaat..!"
Mayang langsung memutar tubuhnya ketika orang yang berada di kirinya melompat
menerjang. Sambil memutar tubuhnya, gadis itu mengirimkan satu sodokan keras
bertenaga dalam cukup tinggi. Orang itu tidak menyangka, dan hanya sempat
terperangah sesaat. Tapi buru-buru dimiringkan tubuhnya menghindari sodokan
tangan Mayang. "Uts!"
Merah padam wajah orang itu. Meskipun berhasil berkelit menghindari sodokan itu,
tapi tubuhnya agak limbung juga. Angin sodokan tangan Mayang begitu keras
menyambar tubuhnya. Dan belum lagi sempat memperbaiki posisi, dengan cepat
Mayang melayangkan kakinya ke arah kepala orang itu. Dan....
Buk! "Akh...!" orang itu memekik tertahan ketika tendangan Mayang mendarat telak di
kepalanya. "Kurang ajarl"
"Setan...!"
Dua orang lainnya langsung mencabut golok masing-masing, dan segera menerjang
dari dua posisi. Golok mereka berkelebat cepat membabat ke arah bagian-bagian
tubuh Mayang yang mematikan. Mayang bukanlah seorang gadis biasa yang lemah.
Dengan manis sekali setiap serangan dua orang lawannya itu bisa dihindarinya.
Bahkan beberapa kali berhasil mendaratkan pukulan dan tendangannya yang keras
bertenaga dalam cukup tinggi.
Namun rupanya dua orang itu memiliki tubuh yang
keras bagai batu. Sementara orang-orang yang terkena tendangan pada kepalanya,
sudah bisa menguasai
keadaannya. Sambil menggeram marah, dia melompat seraya mencabut goloknya. Kini
Mayang harus menghadapi tiga orang bersenjata golok yang menyerang tanpa
perhitungan. Mereka bagaikan serigala-serigala liar tengah memperebutkan seekor
domba cantik, yang gesit dan sukar ditangkap.
"Hm..., kemampuan mereka tidak begitu tinggi. Tapi mereka memiliki kekuatan luar
yang luar biasa. Hanya mereka tidak menggunakan otak...!" gumam Mayang dalam
hati. Setelah beberapa jurus terlampaui Mayang sudah bisa mengukur kemampuan
lawan-lawannya, dan seketika itu juga dirubah pola jurus-jurusnya. Gerakan
tangan dan kaki gadis itu menjadi cepat dan lincah diimbangi gerakan tubuh yang
lentur bagai karet. Hal ini membuat ketiga orang laki-laki bertampang kasar itu
semakin sukar untuk menyentuhnya. Hingga pada suatu saat....
"Yap! Lepas...!" sentak Mayang tiba-tiba.
Trak! Cepat sekali tangan Mayang berkelebat, sehingga salah seorang memekik dengan
golok terpental jauh ke udara.
Belum lagi orang itu sempat menyadari satu tendangan keras menghantam dadanya.
Akibatnya orang itu terjungkal ambruk ke tanah. Dua orang lainnya pun
terperangah. Dan betapa terkejutnya mereka karena tiba-tiba Mayang berputar
cepat sambil menyampokkan tangannya ke arah pergelangan tangan mereka.
"Lepas...!" seru Mayang keras.
"Akh!"
"Akh!"
Dua orang itu memekik tertahan. Segera suara erangan menyusul begitu dua pukulan
bersamaan menghajar dada mereka. Dua tubuh pun terjungkal keras menghantam bumi.
Mereka menggeliat-geliat sambil mengerang
kesakitan. Sementara Mayang berdiri tegak bertolak pinggang. Tiga orang lakilaki itu berusaha bangkit.
Setelah mampu berdiri, mereka serentak berlari.
Namun Mayang dengan cepat melentingkan tubuhnya, dan menghadang mereka. Ketiga
orang yang berjuluk Hantu Sungai Batang itu terkejut melihat Mayang tahu-tahu
sudah berdiri menghadang.
"Mau lari ke mana, keparat!" desis Mayang dingin.
Ketiga orang itu kembali berbalik dan berlari. Namun, baru beberapa tombak
mereka berlari, kembali Mayang melesat dan menghadang. Beberapa kali hal itu
berulang, hingga wajah ketiga laki-laki itu pucat pasi. Mereka menjatuhkan diri
berlutut dengan napas terengah-engah.
Mayang tersenyum lebar melihat ketiga orang begal itu berlutut di depannya. Dan
ini memang yang diharapkannya.
Dengan sikap dibuat angkuh, gadis itu memandangi satu-satu wajah yang pucat
dengan sinar mata penuh
kepasrahan. Napas mereka masih tersengal, dan keringat menitik deras membasahi
wajah.

Pendekar Rajawali Sakti 18 Darah Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ampunkan kami, Nini... jangan bunuh kami." ratap orang yang ada di tengah.
"Hhh! Kalian takut mati juga rupanya!" dengus Mayang sinis.
"Ampun, Nini. Kami bersedia mengabdi asal jangan dibunuh," ratapnya lagi.
"Baik aku ampuni kalian," kata Mayang.
"Terima kasih, Nini," sambut mereka gembira, serentak bersujud sampai kening
mereka menyentuh tanah.
"Tapi ada satu syarat!"
"Oh....! Katakan, Nini. Apa syaratnya?"
"Kalian harus bertobat. Mulai saat ini, tinggalkan semua pekerjaan kalian!"
"Baik, Nini. Kami berjanji."
"Bangunlah."
Ketiga laki-laki itu bangkit berdiri. Namun kepalanya tertunduk dan tubuh agak
membungkuk. "Dengar! Mulai saat ini kalian menjadi pengikutku!
Sekali melanggar kata-kataku, nyawa kalian akan kukirim ke neraka. Paham!"
"Mengerti, Nini," sahut ketiga orang itu serempak.
"Bagus!" Mayang tersenyum. "Siapa nama kalian?"
"Namaku Jalak," sahut orang yang di tengah memperkenaikan diri. "Dan mereka
berdua adalah adik-adikku. Yang ini bernama Bawuk." Jalak menunjuk orang di
sebelah kanannya. "Dan ini, Rantak."
Mayang mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian
melangkah kembali ke tepi sungai. Gadis itu menghampiri kudanya yang tengah
merumput tidak jauh dari situ.
Mayang segera melompat naik ke punggung kuda putih itu.
Sementara tiga orang laki-laki yang ditaklukkannya masih berdiri di tempatnya.
"Kalian punya kuda?" tanya Mayang.
"Oh, ada.... Ada, Nini," sahut Jalak cepat.
"Ambil!" perintah Mayang.
Ketiga orang itu bergegas beranjak pergi.
"Hey! Jangan semuanya! Satu orang saja!"
Jalak terus melangkah pergi, sedangkan Bawuk dan Rantak tetap tinggal. Mayang
menggebah kudanya
pelahan-lahan menghampiri kedua orang laki-laki itu.
Matanya memperhatikan Jalak yang menerobos masuk ke dalam hutan.
Tidak lama kemudian Jalak telah kembali membawa
empat ekor kuda. Dua ekor kuda sarat dengan beban.
Mayang agak berkerut juga keningnya melihat beban yang begitu banyak pada
punggung dua ekor kuda.
"Untuk apa barang-barang itu?" tanya Mayang.
"Ini semua adalah harta kami, Nini. Dan sekarang menjadi milik Nini." sahut
Jalak. "Hm..., kalau dibawa semua, lalu apakah dua di antara kalian bersedia jalan
kaki?" "Tidak, Nini," sahut Jalak, kemudian dia bersiul nyaring.
Tidak lama, terdengar suara ringkik kuda, disusul munculnya seekor kuda berwarna
coklat tua. Keempat kakinya begitu tegap, dan berwarna putih. Kuda itu
menghampiri Jalak, lalu menyodorkan kepalanya. Jalak tersenyum dan mengelus-elus
kepala kuda itu.
"Hebat...!" puji Mayang tulus.
Jalak segera melompat naik ke punggung kudanya.
"Tinggalkan semua barang-barang itu." perintah Mayang.
"Tapi, Nini..." protes Jalak.
"Ha.., baiklah. Bawa saja seperlunya. Aku tidak ingin terlalu banyak beban
mengikuti," Mayang mengalah juga.
Bawuk dan Rantak segera menurunkan barang-barang dari punggung kuda itu tanpa
diperintah lagi. Ketika salah satu peti kayu yang tebal dibuka, Mayang agak
terperanjat juga begitu melihat isinya. Peti itu berisi hampir penuh uang emas.
Belum lagi kantung-kantung yang kelihatan berat. Pasti semuanya berisi barangbarang berharga!
Berpikir demikian, Mayang jadi merasa tidak enak kalau meninggalkan begitu saja
barang sebanyak itu di tempat ini. Gadis itu memandang berkeliling, lalu
menggebah kudanya pelahan-lahan. Mayang berhenti di bawah sebatang pohon yang
cukup besar dan daun-daunnya yang rindang. Kemudian ia melompat turun dari
punggung kudanya, dan melangkah sekitar dua puluh tindak ke depan.
"Gali di sini!" perintah Mayang.
Jalak segera melompat turun dari punggung kudanya.
Dia paham maksud gadis cantik yang telah menaklukkannya dalam pertarungan. Tanpa
banyak komentar lagi, ketiga laki-laki bertubuh tinggi besar itu menggali tanah
yang ditunjuk Mayang. Sedangkan gadis itu menghampiri kotak kayu yang terbuka
tutupnya. Diambilnya sebuah kantung, diisinya dengan beberapa keping uang emas
itu. "Jalak!" panggil Mayang.
"Ya, Nini...!" Jalak bergegas menghampiri.
"Simpan ini!" Mayang melemparkan kantung yang sudah diisi dengan beberapa keping
uang emas. Jalak menangkap dan menggantungkannya di pinggang, kemudian kembali membantu kedua adiknya menggali lubang yang cukup dalam
dan besar. Sementara Mayang kembali naik ke punggung kudanya. Ketiga laki-laki
itu menyimpan barang-barang hasil rampokannya ke dalam lubang yang cukup dalam,
dan menguruknya hingga rata kembali. Mereka juga menaburinya dengan batu-batu
dan pasir. Setelah merasa yakin tidak terlihat bekas galian, mereka segera
melompat naik ke punggung kudanya
masing-masing. Tanpa berkata apa-apa lagi, Mayang segera menggebah kudanya. Ketiga orang laki-laki bekas begal itu, segera mengikuti. Mereka
memacu cepat kudanya
meninggalkan tepian Sungai Batang. Debu mengepul di-terjang kaki-kaki kuda yang
berpacu cepat menembus lebatnya hutan. Mereka semakin jauh masuk ke dalam hutan
dan lenyap ditelan pepohonan yang rapat.
*** 2 Dua ekor kuda berpacu cepat mendaki sebuah bukit berbatu. Penunggang kuda itu
adalah seorang pemuda
tampan dengan baju rompi putih melambai-lambai tertiup angin. Sebatang pedang
bergagang kepala burung bertengger di punggungnya. Agak ke belakang penunggang
kuda lainnya seorang gadis berwajah cantik mengenakan baju biru yang ketat.
Semakin tinggi bukit berbatu itu didaki, semakin sukar dilalui. Pemuda berbaju
rompi putih itu menghentikan langkah kudanya, dan menoleh agak ke belakang.
Kemudian pandangannya beralih menatap ke arah puncak bukit batu itu. Dengan satu
gerakan manis, dia melompat turun dari kuda hitam pekat itu.
"Kita harus meninggalkan kuda di sini, Pandan," kata pemuda itu.
Gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Pandan, langsung melompat turun. Ringan
sekali kakinya menjejak bebatuan di samping pemuda itu. Mereka tidak lain dari
Pandan Wangi dan Rangga atau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau yakin Panglima Parakan ada di sini, Kakang?"
tanya Pandan bernada ragu-ragu.
"Begitulah keterangan yang aku dapatkan," sahut Rangga.
"Aku tidak mengerti, mengapa Panglima Parakan memberontak...," gumam Pandan
seolah bicara pada dirinya sendiri.
"Dia paman dari Wira Permadi, adik ibu tiriku. Dia tidak suka dengan kekalahan
yang diderita keponakannya. Aku sendiri tidak mengerti, mengapa dia punya
pikiran picik seperti itu. Padahal aku masih memberinya kedudukan sebagai
panglima perang."
"Atau bisa juga dia sakit hati, Kakang," Pandan menduga-duga.
"Maksudmu?"
"lya, soalnya kakaknya bunuh diri karena tidak kuat menanggung malu. Atau
mungkin dia juga malu, lalu memilih jalan memberontak, meskipun tahu tidak
mungkin berhasil."
"Seribu satu macam alasan bisa saja terjadi, Pandan."
"Ya...."
"Ayo, kita terus mendaki bukit ini," ajak Rangga.
Mereka kemudian berjalan mendaki bukit batu itu.
Sedangkan kuda-kuda mereka tinggalkan begitu saja. Jalan yang harus ditempuh
memang sangat sukar, dan tidak mungkin dilalui dengan kuda. Banyak batu-batu
yang rapuh, dan sewaktu-waktu dapat longsor. Belum lagi harus melalui dinding
batu terjal yang hampir tegak. Mereka harus menggunakan ilmu meringankan tubuh
agar bisa leluasa mendaki.
"Hati-hati, Pandan. Batu ini rapuh sekali," kata Rangga memperingatkan.
"Iya, aku tahu," sahut Pandan.
Mereka terus mendaki tanpa mengenal telah. Semakin jauh mereka mendaki, semakin
sukar jalan yang dilalui.
Namun dengan berbekal ilmu meringankan tubuh, hal itu bukanlah halangan berarti.
Mereka adalah orang-orang berkepandaian sangat tinggi.
"Awas, Pandan...!" seru Rangga tiba-tiba.
"Hup!"
*** Pandan cepat melompat ke belakang Rangga ketika
sebongkah batu yang cukup besar meluncur deras dari atas bukit. Batu itu
menghantam batu-batu lainnya, sehingga membuat bukit ini seperti akan runtuh.
Rangga segera mencekal tangan Pandan Wangi, dan menariknya keras. Pendekar
Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya sambil mencabut Pedang Rajawali Sakti.
Secercah cahaya biru kemilau memancar dari pedang pusaka itu. Rangga memutar
pcdangnya dengan cepat di atas kepala. Batu batu yang meluruk ke arahnya,
langsung hancur berkeping-keping. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu terus
berlompatan ke atas menembus hujan batu.
Sedangkan tangan kirinya tidak lepas mencekal pergelangan tangan Pandan Wangi.
Gadis itu mengerahkan ilmu meringankan tubuh sambil mengikuti setiap gerak
langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Rangga melentingkan tubuhnya ketika sampai di
puncak bukit. Segera dimasukkan kembali pedangnya ke dalam warangkanya di
punggung. Cahaya biru langsung lenyap begitu pedang pusaka itu tersimpan
kembali. Suara gemuruh batu batu yang longsor masih terdengar. Bukit batu ini
bergetar bagai diguncang gempa.
Belum sempat Rangga menarik napas lega, mendadak beberapa anak panah meluncur
deras ke arahnya, Pandan Wangi segera mencabut senjatanya yang berbentuk kipas
dari pinggangnya. Dengan kipas itu dihalaunya anak-anak panah itu. Sedangkan
Rangga menggerak-gerakkan
tangannya dengan cepat, menyambar setiap anak panah yang mengarah ke tubuhnya.
Puluhan anak panah berhasil dirampasnya.
"Yap! Hih...!"
Rangga memutar tubuhnya cepat, dan melontarkan
kembali puluhan anak panah yang berhasil ditangkapnya.
Seketika itu juga, terdengar suara jeritan melengking.
Beberapa sosok tubuh yang tertembus anak panah, men-cuat dari balik bebatuan dan
gerumbul semak belukar kering. Saat itu juga hujan anak panah langsung berhenti.
Kesunyian kembali menyelimuti sekitar puncak bukit itu. Rangga mengedarkan
pandangannya ke sekeliling.
Seorang pun tak terlihat ada di sekitar situ. Pandangannya tertumpu pada orangorang berseragam prajurit yang tergeletak tertembus panah. Mereka semua prajurit
Karang Setra, yang telah memberontak bersama Panglima
Parakan. "Jangan-jangan buruan kita sudah kabur, Kakang," kata Pandan Wangi menduga-duga
Belum sempat Rangga menjawab mendadak di sekitar mereka bermunculan orang
berseragam prajurit Karang Setra. Mereka muncul dari balik batu besar yang
memenuhi puncak bukit batu ini. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar
berpakaian panglima perang, melompat dari balik batu besar. Ringan sekali
kakinya menjejak sekitar tiga batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Panglima Parakan..," desis Rangga getir suaranya.
"Hhh! Rupanya Karang Setra sudah kehilangan jago-jago, sehingga rajanya sendiri
harus turun tangan," kata Panglima Parakan sinis.
"Ini urusanku sendiri, Panglima!" tegas Rangga.
"Benar. Dan gundikmu itu tidak perlu ikut campur!"
"Setan!" desis Pandan tersinggung. Mukanya merah padam menahan geram.
"Kotor sekali mulutmu, Panglima!" geram Rangga mendesis.
"Ha ha ha...!" Panglima Parakan tertawa terbahak-bahak.
Pandan tidak bisa lagi menahan amarahnya. Langsung dikebutkan kipasnya, hingga
mengembang terbuka. Tapi Rangga merentangkan tangannya mencegah agar Pandan
tidak terpancing emosinya. Gadis itu menutup kembali kipasnya, namun matanya
tetap tajam menatap laki-laki berpakaian panglima di depannya. Sorot matanya
memancarkan kemarahan yang amat sangat.
"Biar kupenggal lehernya, Kakang." kata Pandan Wangi sengit.
"Ayo, Rangga! Majulah! Biar semua orang yang ada di sini tahu, kalau kau hanya
gembel busuk yang mengaku putra Kanda Arya Permadi!" keras sekali suara Panglima
Parakan. "Sebaiknya kau menyerah saja, Panglima. Tidak ada gunanya bertahan. Pihak istana
akan mengadilimu secara adil," ujar Rangga masih mencoba membujuk.
"Phuih! Gembel-gembelmu tidak pantas mengadiliku!
Seharusnya mereka yang kuadili" jawab Panglima Parakan.
"Kau sendiri tidak lebih rendah dari anjing busuk!"
dengus Pandan Wangi semakin geram.
"Phuih! Apa kau anggap dirimu suci, gundik rendah!"
"Cukup!" bentak Rangga mulai hilang kesabarannya.
Bentakan yang keras itu membuat Panglima Parakan langsung diam. Hatinya sempat
bergetar juga mendengar suara yang keras menggelegar. Sedangkan Pandan Wangi
juga mengatupkan mulutnya. Rangga melangkah maju dua tindak. Tatapan matanya
tajam menusuk langsung ke bola mata Panglima Parakan.
"Sudah cukup aku menahan kesabaran Panglima," kata Rangga. Suaranya dingin
menggetarkan. "Heh...! Lalu, apa maumu?" tantang Panglima Parakan.
"Kau sendiri yang menentukan jalan hidupmu, Panglima."
"Jangan banyak omong, Rangga! Ayo, hadapi aku!"
bentak Panglima Parakan.
Setelah berkata demikian, Panglima Parakan segera melompat menyerang. Secepat
kilat dicabut pedangnya, dan langsung dikibaskan ke arah leher. Rangga menarik
kepalanya sedikit ke belakang maka tebasan pedang itu lewat sedikit di depan
tenggorokannya. Gagal dengan serangan pertama, Panglima Parakan melanjutkan
dengan serangan berikutnya
Pedang di tangan Panglima Parakan berkelebatan
cepat mengurung tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara itu, Pandan Wangi juga sudah sibuk menghadapi para prajurit panglima
pemberontak itu. Kipas mautnya berkelebatan cepat membongkar keroyokan
prajurit Karang Setra yang memberontak itu. Setiap kibasan kipasnya selalu
diikuti dengan terjungkalnya seorang prajurit.
Puncak Bukit Batu yang semula sunyi sepi, kini penuh teriakan dan pekik
melengking, ditingkahi denting senjata berada. Tubuh-tubuh mulai bergelimpangan
bersimbah darah. Sementara Rangga masih melayani Panglima
Parakan dengan tangan kosong. Meskipun kesabarannya sudah sampai pada puncaknya,
Pendekar Rajawali Sakti itu masih berusaha untuk tidak mencelakakan Panglima
Parakan. Dia bermaksud menangkapnya hidup-hidup, dan mengadilinya seadiladilnya. *** Sudah tidak terhitung lagi, berapa prajurit yang tewas dalam pertempuran itu.
Pandan Wangi bagaikan seekor singa betina yang mengamuk tanpa kenal ampun lagi.
Sementara Rangga masih tetap tidak ingin membalas serangan-serangan Panglima
Parakan. Pendekar Rajawali Sakti itu selalu menghindar dan mencoba untuk
memasukkan totokan. Tapi rupanya Panglima Parakan mengetahui itu semua, sehingga
dimanfaatkan untuk meningkatkan jurus-jurusnya.
"Jangan berlagak pahlawan, Rangga! Kau akan menyesal nanti," Panglima Parakan
memberi peringatan.
"Hentikan saja seranganmu. Panglima Tidak ada gunanya kau melawan," balas Rangga
masih tetap menahan sabar.
"Meskipun kau seorang pendekar digdaya tanpa tanding, aku tidak akan mundur
menghadapimu "
"Kau terlalu keras kepala, Panglima!"
"Jangan banyak omong! Mampus kau, hiyaaa...!"
Rangga merundukkan kepalanya ketika pedang
Panglima Parakan kelebat cepat ke arah kepalanya. Desir kibasan pedang itu
sangat kuat, sehingga membuat Rangga agak terkejut juga. Dia sadar betul kalau
Panglima Parakan bersungguh-sungguh untuk membunuhnya.


Pendekar Rajawali Sakti 18 Darah Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panglima Parakan kembali melancarkan serangan
dengan memutar pedangnya melintang ke arah dada. Saat itu Rangga tidak punya
kesempatan untuk menghindar.
Dengan cepat diangkatnya tangam ke depan dada, dan langsung dijepit pedang itu
dengan telapak tangannya.
Panglima Parakan berusaha menarik kembali pedangnya, namun jepitan kedua telapak
tangan Rangga itu demikian kuat.
"Huh!"
Panglima Parakan mengempos seluruh tenaga dalamnya untuk melepaskan pedangnya dari jepitan itu. Tapi yang terjadi malah
membuatnya ternganga. Ujung pedang di tangan Rangga, seketika itu juga buntung.
Panglima Parakan terpental ke belakang dengan pedang yang buntung, ketika Rangga
menghentakkan jepitannya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring. Rangga melompat seraya melayangkan satu tendangan
keras ke arah dada.
Panglima Parakan terkejut setengah mati. Dia berusaha berkelit. Namun diluar
dugaan sama sekali, kaki Rangga dapat berputar ke arah lain.
"Akh!" Panglima Parakan memekik tertahan.
Kepalanya terasa akan pecah kena dupakan kaki
Pendekar Rajawali Sakti yang menggunakan Jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Untung saja Rangga tidak mengerahkan jurus
itu secara penuh, sehingga kepala Panglima Parakan tidak pecah! Namun kepalanya
tak urung terasa pening juga, dan pandangannya mengabur. Sementara Rangga tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan cepat tangan kanan-nya
menyodok ke arah dada.
Panglima Parakan tahu kalau Rangga bermaksud
melumpuhkannya dengan menotok jalan darahnya. Dan pada saat itu, dia sudah tidak
mungkin lagi menghindar.
Dengan nekad, panglima perang itu melompat menerjang dengan tangan terbuka ke
samping. Rangga terkejut melihat kenekadan orang tua itu. Buru-buru ditarik
kembali tangannya yang sudah terjulur ke depan.
Namun gerakan Rangga kalah cepat. Tak ampun lagi, Panglima Parakan membiarkan
dadanya tertembus jari tangan Pendekar Rajawali Sakti yang telah menegang kaku.
"Aaakh...!" Panglima Parakan menjerit keras.
Rangga tersentak kaget. Buru-buru ditarik tangannya yang melesak dalam ke dada
orang tua itu. Sebentar Panglima Parakan masih mampu berdiri, kemudian tubuhnya
ambruk. Darah mengucur deras dari dadanya yang berlubang. Saat itu juga Rangga
berlari menubruk tubuh yang menggelepar itu. Dipangkunya dan dipeluk tubuh paman
tirinya itu. "Paman...," agak parau suara Rangga.
"Jangan kau sesali, Rangga. Aku puas, meskipun harus mati di tanganmu," kata
Panglima Parakan terputus-putus suaranya.
"Oh...," Rangga mengeluh panjang.
Pinglima Parakan tersenyum, lalu tubuhnya mengejang.
Sesaat kemudian diam tidak berrgerak gerak lagi. Rangga meletakkan tubuh lakilaki tua itu dan berdiri tegak.
Matanya masih memandangi mayat paman tirinya itu.
Sementara pertempuran yang berlangsung antara Pandan Wangi dan para prajurit
pemberontak, langsung berhenti seketika. Para prajurit itu melemparkan
senjatanya begitu pemimpinnya tewas.
Rangga berpaling dan memandangi para prajurit yang menyerah tanpa syarat
kemudian pandangannya beralih pada Pandan Wangi. Gadis itu menghampiri dan
menepuk pundak Pendekar Rajawali Sakti. Rangga melangkah mundur beberapa tindak.
"Aku tidak bermaksud membunuhnya. Dia bertindak nekad," kata Rangga mengeluh.
"Sudahlah, Kakang. Itu memang sudah menjadi pilihan-nya," kata Pandan Wangi
mencoba menghibur.
Rangga memalingkan kepalanya dan memandang para
prajurit yang kini tinggal berjumlah sekitar dua puluh orang itu. Para prajurit
itu menundukkan kepalanya, lalu seperti mendapat komando, mereka serentak
menjatuhkan diri berlutut. Dan tanpa diduga sama sekali, masing-masing mengambil
senjata yang tergeletak di dekatnya. Rangga tersentak kaget, begitu melihat para
prajurit itu membunuh diri secara massal.
"Hey...!"
Rangga berusaha mencegah, tapi terlambat. Para
prajurit itu sudah menggeletak dengan dada tertembus senjatanya masing-masing.
Pandan Wangi sendiri sampai terpana menyaksikan ulah mereka yang mengambil jalan
pintas seperti itu begitu pemimpinnya tewas dalam pertempuran secara ksatria.
Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas panjang dan berat. Hatinya sangat
menyesali tindakan para prajurit itu.
Akan tetapi Rangga juga kagum karena mereka rela mati demi kesetiaannya pada
pemimpin. Hal tersebut memang menjadi satu kebiasaan para prajurit Karang Setra.
Tapi dengan membunuh diri secara bersamaan, tindakan itu memang belum pernah
terjadi sebelumnya!
"Aku kagum pada mereka...." desah Pandan Wangi tanpa disadarinya.
"Ya, kesetiaannya sungguh mengagumkan," balas Rangga.
"Bagaimana sekarang, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Aku harus menghormati mereka, dan akan mengubur-kannya di sini." sahut Rangga.
Pandan Wangi mengangkat pundaknya. Dia memandangi sekitarnya. Tidak kurang dari lima puluh prajurit menggeletak tak
bernyawa lagi, dan harus dikuburkan di sini. Gadis itu sedikit mengeluh juga,
karena harus menguburkan sekian banyak orang. Tapi begitu melihat Rangga mulai
menggali lubang dengan sebatang pedang, Pandan Wangi segera berbuat hal yang
sama. Kini mereka bekerja menggali lubang dan menguburkan mayat-mayat itu tanpa
banyak bicara lagi.
*** 3 Tepat pada saat matahari hampir tenggelam di ufuk Barat.
Rangga dan Pandan Wangi meninggalkan Puncak Bukit Batu. Mereka masih mendapatkan
kuda-kudanya tetap berada di tempat semula ketika ditinggalkan. Dengan
menunggang kuda, mereka menuruni lereng bukit yang berbatu itu. Sampai tiba di
kaki bukit, baru mereka dapat memacu kuda dengan cepat.
Sementara Pandan Wangi yang memacu kuda di
samping Pendekar Rajawali Sakti itu, tidak lepas memandangi wajah tampan, namun
terlihat murung.
Pandan Wangi bisa merasakan kemurungan Rangga yang disebabkan kematian paman
tirinya itu. Meskipun
Panglima Parakan berusaha memberontak tapi Rangga tetap menganggapnya paman.
Itulah sebabnya di putuskan untuk mengejar sendiri tanpa membawa seorang
prajurit pun. Rangga ingin agar Panglima Parakan dapat disadarkan setelah dia
menemuinya. Tapi kenyataan yang dihadapinya sungguh lain, dan tidak bisa ditolak
Paman tirinya itu tewas di tangannya, akibat kenekadannya sendiri. Memang berat
cobaan yang harus dihadapi Rangga. Sejak kembali ke tanah kelahirannya, adik
tirinya tewas, dan ibu tirinya bunuh diri. Belum lagi saudara-saudaranya yang
tidak mempercayainya sebagai putra tunggal Adipati Arya Permadi. Mereka lebih
suka menyingkir meninggalkan Karang Setra. Bahkan ada yang mengikuti jejak ibu
tiri Pendekar Rajawali Sakti itu. Hal itu memang bisa saja terjadi, karena lebih
dari dua puluh lima tahun Rangga menghilang. Dan mereka semua menganggapnya
sudah tewas di Lembah Bangkai.
"Kakang...," Pandan Wangi mencoba bicara, memecah keheningan.
"Hm...," Rangga hanya bergumam tanpa menoleh.
"Sebaiknya kita istirahat dulu." usul Pandan Wangi Rangga tidak menyahut, tapi
menghentikan juga lari kudanya. Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, Pendekar
Rajawali Sakti itu turun dari punggung kudanya. Pandan Wangi mengikuti dan
mendekatinya. Mereka berdiri ber-dampingan dengan tatapan mata lurus memandang
Puncak Bukit Batu.
"Kau menyesali kematian Panglima Parakan, Kakang?"
tegur Pandan Wangi.
"Entahlah," desah Rangga pelan.
"Dia sudah memilih cara kematiannya sendiri, Kakang Tidak periu disesali lagi."
kata Pandan Wangi mencoba menghibur.
"Belum setahun aku berada di Karang Setra, tapi tanganku ini sudah mengambil
nyawa banyak orang.
Sedihnya mereka adalah saudara-saudaraku sendiri. Terus terang, Pandan. Aku
menyesal kembali ke Karang Setra.
Kalau saja aku tetap mengembara, tentu mereka semua masih hidup damai dan
tenteram," pelan suara Rangga.
"Semua yang terjadi sudah menjadi suratan takdir Tuhan, Kakang. Kita tidak bisa
menolaknya, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga. Rasanya tidak patut menyesali
semua yang sudah terjadi, meskipun di dalam hati tidak dikehendaki," Pandan
Wangi tetap mencoba menghibur.
"Ya..., takdir tetap takdir. Tidak ada seorang pun yang bisa melawan kehendakNya. Tapi...," Rangga tidak melanjutkan.
"Tapi apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Ah, tidak..." desah Rangga berat.
"Katakanlah, Kakang. Mungkin dengan begitu bisa mengurangi beban yang ada pada
dirimu," desak Pandan bijaksana.
"Pandan, kita sudah bersama-sama sejak lama. Aku percaya kau sangat mencintaiku,
dan aku pun demikian.
Tapi tolong, jangan desak aku untuk yang satu ini," kata Rangga.
"Justru karena aku mencintaimu, maka aku ingin tahu dan bisa membantumu,
Kakang," desak Pandan lagi.
Rangga memutar tubuhnya, dan langsung menghadap
pada Pandan Wangi. Sejenak ditatapnya lurus bola mata gadis itu. Tangannya
terangkat dan menjepit dagu Pandan Wangi. Pelahan-lahan, Rangga mendekatkan
wajahnya ke wajah gadis itu. Bibir Pandan Wangi sedikit terbuka dengan mata
tidak berkedip. Semakin dekat wajah mereka, dengus napas semakin terasa hangat
menerpa kulit. Menggeletar seluruh tubuh Pandan Wangi ketika bibir Rangga menyentuh lembut ke
bibirnya. Saat itu juga Pandan Wangi merasakan aliran darahnya seperti terbalik.
Dia tidak menolak saat tangan Rangga melingkar di pinggangnya, dan merengkuhnya
ke dalam pelukan.
Dengan tangan gemetaran, gadis itu melingkarkan
tangannya ke leher Rangga. Bibir mereka semakin rapat menyatu.
"Ah...," Pandan Wangi mendesah saat Rangga melepaskan bibirnya.
Entah perasaan apa yang menyeruak ke dalam dirinya.
Gadis itu langsung merebahkan kepalanya di dada yang bidang terbuka. Kalau saja
Rangga bisa melihat, pasti akan terkejut karena wajah Pandan Wangi menyemburat
merah dengan bibir bergetar. Gadis itu selalu merasa malu bila Rangga
menciumnya. Padahal bukan sekali ini mereka melakukannya.
Rangga kembali menggamit dagu gadis itu, dan meng-angkatnya ke atas. Agak
terkejut juga dia melihat wajah Pandan Wangi merah menahan malu, dan bibirnya
bergetar agak terbuka. Pandan Wangi ingin menunduk, tapi Rangga menahannya.
Terpaksa gadis itu menatap wajah tampan di depannya.
"Kenapa, Pandan?" tanya Rangga lembut.
"Ah, tid..., tidak," sahut Pandan agak tergagap.
"Kau selalu begitu bila...."
Buru-buru Pandan Wangi menutup bibir Rangga dengan jarinya. Dia tidak ingin
rasanya mendengar kata-kata yang membuat perasaannya semakin tidak menentu.
Pandan sendiri selalu mengutuki dirinya yang tidak bisa menahan gejolak dan
perasaan malunya bila dicium. Mungkin itu merupakan pengalaman yang tidak akan
pernah terulang pada laki-laki lain. Baru Rangga seorang yang berhasil menjamah
bibirnya. Pandan tidak pernah bisa menutupi kekurangan-nya ini!
"Ehm ehm...!"
Rangga dan Pandan terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara orang mendehem dua
kali. Mereka langsung
menoleh. Buru-buru Pandan melepaskan dirinya dari pelukan Rangga, sedangkan
wajahnya langsung
menyemburat merah. Rangga sendiri hanya terbengong dengan mulut menganga agak
lebar, hampir dia tidak percaya dengan penglihatannya.
*** "Mayang.... Ada apa kau ke sini?" tanya Rangga setelah dapat menguasai dirinya
kembali. Orang yang telah membuat dua pendekar itu terkejut memang Mayang Telasih. Gadis
itu menatap Rangga tajam, dan kembali mengalihkan pandangannya pada Pandan
Wangi. Bibirnya menyunggingkan senyuman sinis. Matanya memancarkan perasaan
ketidaksenangan. Ada tersirat perasaan cemburu pada sinar matanya.
Mayang tidak menjawab, tapi hanya mendekati.
Sementara Pandan memandang Mayang dan Rangga
secara bergantian. Dia kenal Mayang di dalam Istana Karang Setra. Sebenarnya ada
perasaan cemburu di hati Pandan Wangi. Tapi setelah dia yakin kalau cinta Rangga
hanya untuknya Pandan tidak memperdulikan kehadiran gadis itu.
"Karang Setra sangat membutuhkanmu, Kakang," kata Mayang datar. Matanya sempat
melirik Pandan.
"Masih banyak orang yang lebih pandai daripada diriku di Karang Setra. Lagi pula
aku sudah menyerahkan semuanya pada Danupaksi dan Cempaka. Mereka bisa
mewakiliku memimpin seluruh rakyat Karang Setra," jawab Rangga tegas.
"Bagaimanapun juga, kau seorang raja. Rakyat Karang Setra lebih membutuhkan kau
daripada yang lainnya.
Mereka membutuhkan seorang pemimpin yang akan
membawa pada kedamaian dan kemakmuran hidup, serta perasaan aman dan
terlindungi," kata Mayang lagi.
"Mayang, apa sebenarnya maksudmu?" tanya Rangga, bisa menangkap ada sesuatu yang
tersembunyi di balik kata-kata gadis itu.
"Kakang akan tahu sendiri kalau sudah berada di Karang Setra," sahut Mayang, dan
lagi-lagi melirik Pandan Wangi.
Rangga mengurungkan niatnya untuk bertanya lagi, ketika tiba-tiba dua orang
laki-laki bertubuh tinggi besar muncul menuntun kuda. Mayang juga menoleh ke
arah dua orang yang ditaklukkannya itu. Sesaat Rangga memperhatikan, kemudian
menatap Mayang, karena kedua orang itu membungkukkan tubuhnya pada Mayang
Telasih. Mereka adalah Jalak dan Rantak, sedangkan seorang lagi yang bernama Bawuk,
ditugaskan untuk mencari perahu.
"Siapa mereka?" tanya Rangga.
"Teman perjalananku," sahut Mayang.
"Sejak kapan kau punya teman seperti itu?"
"Kenapa" Mereka orang yang setia, dan patuh pada perintahku. Tidak ada yang
melarang setiap orang untuk mempunyai teman dalam perjalanan," lagi-lagi Mayang
melirik Pandan Wangi.
Sikap Mayang memang sejak tadi selalu diperhatikan Pendekar Rajawali Sakti. Dan
dia mengerti kalau Mayang tidak suka terhadap Pandan, karena merasa tersaingi
dalam memperoleh cintanya. Kini Mayang membawa tiga orang laki-laki bertampang
kasar. Dan Rangga bisa menebak maksudnya.
Keadaan seperti ini memang tidak bisa dihindarkan.
Rangga bertemu Pandan, jauh sebelum dia kenal Mayang.
Dan pada saat mengenal Mayang, pikirannya sedang diliputi kekacauan karena
hilangnya Pandan Wangi. Saat itu Rangga memang sudah menganggap Pandan tewas di
dalam jurang. Namun hati kecilnya tetap tidak percaya karena mayat Pandan tidak
ditemukan di dasar jurang itu.
Kehadiran Mayang memang sempat membuat hatinya
terhibur. Meskipun Rangga tidak pernah bisa melupakan Pandan Wangi. Memang sulit
untuk menyatukan dua gadis yang sama-sama mencintainya. Dan Rangga sendiri tidak
ingin menyakiti salah satu di antara mereka. Dia berusaha untuk berlaku adil,
walau pun diakuinya cintanya lebih besar terhadap Pandan Wangi daripada Mayang
Telasih. "Mayang, kau telah meninggalkan Istana Karang Setra, dan aku yakin itu karena
sengaja hanya untuk mencariku,"
kata Rangga mengalihkan persoalan pada pokok
sebenarnya. Dia tidak ingin berlarut-larut dan mem-peruncing suasana kaku ini.
"Ada apa sebenarnya, Mayang?"
"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Sebaiknya Kakang segera saja kembali ke
Karang Setra," sahut Mayang.
"Begitu pentingkah, sehingga aku harus segera kembali?" Rangga ingin meyakinkan.
"Ya," sahut Mayang.
Rangga menatap Pandan Wangi. Gadis yang selalu
mengenakan baju berwarna biru itu mengangkat bahunya.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas panjang, kemudian melangkah
menghampiri kudanya.
Sementara Rangga menghampiri kudanya. Mayang
mendekati Pandan Wangi.


Pendekar Rajawali Sakti 18 Darah Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayam hutan tidak bisa bersanding dengan merak dalam taman, bukan?" sindir
Mayang halus. Pandan menggigit bibirnya. Bisa dimengerti maksud sindiran itu. Dia sadar kalau
dirinya tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan Mayang. Apalagi terhadap
Rangga. Belum sempat Pandan mengucapkan sesuatu, Mayang sudah berbalik dan
melangkah meninggalkannya.
Pada saat itu Rangga sudah berada di atas punggung kudanya, dan Mayang Telasih
juga telah melompat ringan naik ke punggung kudanya yang dipegangi Jalak.
"Ayo, Pandan...!" seru Rangga.
Sebentar Pandan Wangi menatap Mayang yang tersenyum sinis padanya, kemudian memandang pada
Rangga. Kata-kata Mayang tadi membuat hatinya perih, dan sadar akan dirinya yang
sebenarnya. Dia memang tidak mungkin dapat memiliki Rangga. Seorang pendekar
digdaya tanpa tanding dan seorang raja besar dengan daerah kekuasaan yang
semakin bertambah lebar. Sedangkan dia sendiri.... Hanya seorang anak biasa yang
hidup mengembara dari satu tempat ke tempat lain.
Dan Mayang Telasih adalah seorang putri pembesar Kadipaten Karang Setra, yang
kini menjadi sebuah kerajaan besar. Mayang diasuh dan dididik oleh bibinya
Rangga sendiri, setelah kedua orang tuanya tewas terbunuh pada saat terjadi
kerusuhan di Kadipaten Karang Setra dulu. Mayang memang gadis berdarah biru, dan
tidak ada masalah jika bersanding dengan Rangga. Sedangkan Pandan sendiri....
Hati Pandan semakin perih bila menyadari hal itu.
"Pandan...!" tegur Rangga.
Pandan Wangi tersentak dari lamunannya, sehingga tidak menyadari kalau Rangga
sudah di dekatnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu tetap duduk di punggung Kuda Dewa Bayu. Tangan
kirinya memegang tali kekang kuda Pandan Wangi. Dengan perasaan ragu-ragu,
Pandan Wangi menerima tali kekang kudanya dan melompat naik.
Sementara Mayang dan kedua orang anak buahnya sudah berada di atas punggung
kudanya. Belum lagi mereka berangkat meninggalkan kaki bukit itu, seorang laki-laki
datang menunggang kuda dengan cepat. Dia menghentikan kudanya tepat di depan
Mayang, lalu membungkuk di depan gadis itu, memberi hormat.
Saat itu, kening Rangga berkerut memperhatikan tingkah orang itu.
"Bagaimana?" tanya Mayang.
"Sudah siap. Den Ayu. Aku mendapatkan sebuah perahu yang sangat besar dengan
sepuluh orang awaknya,"
sahut orang itu yang ternyala adalah Bawuk.
"Bagus," sambut Mayang tersenyum.
"Mayang..!" suara Rangga agak ditahan. Mayang menoleh.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Rangga.
"Aku menyuruh Bawuk menyewa perahu, biar cepat sampai ke Karang Setra. Kita
dapat menghemat perjalanan tiga hari," sahut Mayang menjelaskan.
Sebenarnya Rangga ingin menolak tapi tidak ingin membuat gadis itu kecewa. Tanpa
berkata-kata lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu menggebah kudanya pelahan-lahan.
Pandan Wangi mengikutinya dari samping kiri.
Sementara Mayang mensejajarkan langkah kudanya di samping kanan pemuda berbaju
rompi putih itu. Tiga orang laki-laki bertampang kasar, mengikuti dari belakang.
Mereka meninggalkan kaki bukit tanpa bicara sedikit pun.
*** Meskipun tidak begitu bagus, perahu yang disewa
Mayang sangat besar, sehingga mampu menampung
mereka berenam dan kuda-kuda sekaligus. Mayang puas melihat hasil kerja anak
buahnya. Sementara Rangga tidak mengerti dengan perbuatan Mayang. Nalurinya
mengatakan kalau tiga laki-laki pengikut Mayang bukanlah orang baik-baik.
Meskipun sikapnya hormat tapi kata-katanya tidak teratur dan sedikit kasar.
Perahu besar berawak sepuluh orang dan penumpang enam orang itu melaju membelah
sungai besar yang langsung menuju Karang Setra. Tidak sedikit p rahu besar dan
kecil melewati sungai ini, yang memang menjadi jalur penting bagi sebagian besar
rakyat Karang Setra.
Kebanyakan orang lebih senang melalui jalan sungai, karena terasa lebih aman dan
cepat dibandingkan lewat jalan darat.
Rangga berdiri tegak memandang ke depan di haluan perahu itu. Kepalanya sedikit
menoleh ketika mendengar langkah kaki mendekati. Mayang tersenyum manis dan
berdiri di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Pandangannya lantas tertuju ke depan, mengikuti arah jalannya perahu ini.
"Ada yang kau pikirkan, Kakang?" tanya Mayang lembut suaranya.
"Banyak," sahut Rangga singkat tanpa menoleh sedikit pun. "Kau tidak suka dengan
penalanan ini?" tebak Mayang.
"Suka," sahut Rangga mendesah
"Tapi, kenapa murung?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya sedang menduga-duga saja."
"Apa yang kau duga?" desak Mayang mau tahu.
"Maksudmu menemuiku."
"Apa menurut pendapatmu, Kakang?"
Rangga menarik napas panjang. Ditolehkan kepalanya ke arah gadis di sebelahnya.
Saat itu Mayang juga menolehkan kepalanya ke arah pemuda tampan itu.
Sesaat mereka saling pandang, kemudian sama-sama memalingkan mukanya kembali ke
depan. "Apa sebenarnya yang terjadi, Mayang?" tanya Rangga agak datar suaranya.
"Purbaya melarikan diri," sahut Mayang pelahan-lahan.
"Purbaya..."!" Rangga tersentak kaget.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung menatap Mayang dalam-dalam. Betapa
terkejutnya dia mendengar
penuturan itu. Purbaya adalah putra Tengkorak Putih, ketua Partai Tengkorak yang
bersarang di Rimba
Tengkorak. Masih lekat dalam ingatannya ketika
menghancurkan Partai Tengkorak dan menewaskan
pemimpinnya (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode "Perawan Rimba
Tengkorak").
Rangga bisa membayangkan kalau Purbaya akan
menjadi ancaman besar bagi kelangsungan kejayaan Kerajaan Karang Setra.
Tengkorak Putih, ayah Purbaya, menyimpan dendam pada Pendekar Rajawali Sakti.
Jelas dendam itu pasti telah diturunkan pada anaknya. Partai Tengkorak memang
didirikan untuk menghancurkan
Karang Setra. Tapi, sebelum semua terlaksana, Rangga lebih dulu menghancurkannya
dan menangkap hidup-hidup putra ketua Partai Tengkorak itu.
"Hampir seluruh prajurit sudah dikerahkan untuk menangkapnya kembali, tapi
Purbaya memang terlalu tangguh. Dan dia berhasil melarikan diri meskipun sudah
terkepung dengan rapat. Tidak sedikit prajurit dan punggawa yang tewas," Mayang
menceritakan. "Bagaimana itu bisa terjadi?" tanya Rangga.
"Paman Bayan Sudira bermaksud memindahkannya ke dalam tahanan khusus. Itu bukan
semata-mata kesalahan-nya, karena memang mendapat perintah dari Kakang
Danupaksi," jelas Mayang.
"Gegabah!" dengus Rangga.
"Aku kira tidak Kakang. Purbaya memang sudah dua kali berusaha melarikan diri,
dan selalu gagal. Kakang Danupaksi mengambil keputusan dengan memindahkannya ke
dalam kamar tahanan khusus di bawah tanah. Tapi sebelum sampai, Purbaya
mengambil kesempatan untuk melarikan diri," bantah Mayang.
"Anak itu memang cerdik dan berbahaya sekali. Sifat-sifat ayahnya menurun
padanya. Seharusnya Danupaksi tidak berbuat ceroboh seperti itu. Lebih baik
menambah jumlah prajurit penjaga sampai aku kembali. Huh!
Menambah beban persoalan saja!" gerutu Rangga.
"Hal itu sudah dilakukan, Kakang. Yaaah..., mungkin memang Purbaya lebih cerdik
dan tingkat kepandaiannya juga tinggi sekali," kembali Mayang membela tindakan
Danupaksi, adik tiri Rangga.
"Purbaya tidak akan puas kalau hanya dapat ke luar dari tahanan saja. Dia harus
segera bisa ditangkap kembali sebelum berhasil menyusun kekuatan. Karang Setra
akan menghadapi malapetaka besar kalau sampai anak itu dapat menyusun kekuatan "
"Makanya aku cepat-cepat menyusulmu, Kakang."
"Hm..., bagaimana kau tahu kalau aku ada di Bukit Batu?" tanya Rangga.
"Mudah saja. Kau sangat dikenal banyak orang. Tidak sulit untuk mengikuti
jejakmu. Apalagi Bukit Batu tidak Jauh dari Karang Setra. Hanya tujuh hari
perjalanan berkuda," Jawab Mayang enteng.
"Tujuh hari..., sedangkan aku sudah meninggalkan istana selama lebih dari satu
purnama. Hhh! Panglima Parakan memang pintar menyembunyikan diri."
"Kau berhasil menemuinya, Kakang?"
"Ya. Dia memilih jalan hidupnya sendiri. Sebenarnya aku tidak bermaksud
membunuh, tapi dia nekad," ada sedikit rasa penyesalan di hati Pendekar Rajawab
Sakti. Mayang Telasih diam. Sejenak dia memandang wajah pemuda di sampingnya. Sementara
Rangga tetap meng-arahkan pandangannya ke depan, kemudian berbalik dan melangkah
ke tepi perahu.
"Kau teruskan saja perjalanan ini, Mayang!" kata Rangga dengan sedikit menoleh.
"Aku berangkat dulu, Pandan!"
"Heh...!"
Mayang dan Pandan terkejut ketika tiba-tiba Rangga melenting cepat. Beberapa
kali Pendekar Rajawali Sakti itu berputaran di udara, kemudian dengan manis
mendarat di tepi sungai. Mayang berlari ke tepi perahu dan memandang Rangga yang
sudah berada di tepi sungai jarak dari perahu ke daratan cukup jauh, dan tidak
mungkin Mayang bisa melompatinya. Pada saat itu, Pandan Wangi juga berlari ke
tepi. "Kakang...!" teriak Pandan memanggil.
"Kutunggu kau di istana, Pandan!" balas Rangga.
Pandan akan melompat tapi dia ragu-ragu. Jarak dari perahu ke daratan sangat
jauh. Ilmu meringankan
tubuhnya belum mencapai taraf sempuma, sehingga dapat dipastikan tidak akan
mampu sampai ke seberang.
Sementara perahu yang ditumpangrnya terus melaju cepat.
Jarak mereka dengan Rangga semakin Jauh. Pandan
Wangi semakin gelisah saja, sedangkan Mayang hanya memandangi Rangga tidak
berkedip. Dia seperti melupakan Pandan Wangi yang masih berada di atas perahu
ini. Mayang menyesal juga telah menceritakan tentang
pelarian Purbaya dari penjara.
*** 4 Rangga memandang sekitarnya. Sementara perahu besar yang ditumpangi Mayang dan
Pandan Wangi semakin jauh menyusuri sungai menuju ke Karang Setra. Pendekar
Rajawali Sakti itu berbalik dan berlari cepat menuju hutan yang tidak jauh dari
tepian sungai ini. Ilmu meringankan tubuhnya sempurna sekali. Dalam waktu
sekejap saja, dia sudah lenyap masuk ke dalam hutan.
Tanpa mengurangi kecepatan larinya, Pendekar
Rajawali Sakti itu terus menerobos semakin jauh memasuki hutan. Larinya berhenti
setelah tiba pada sebuah padang rumput yang luas. Sebentar Rangga memandang
berkeliling. Tak ada seorang pun yang terlihat. Telinganya dipasang tajam-tajam.
Terdengar suara gumamannya yang halus.
"Suit...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti itu bersiul nyaring melengking tinggi.
Kepalanya menengadah ke atas.
Agak lama juga matanya memandang ke langit lepas yang berawan tipis berarak.
Kembali dia bersiul nyaring melengking tinggi. Siulan yang disertai pengerahan
tenaga dalam sempuma itu menggaung lepas membelah angkasa.
Nada siulan itu sangat aneh terdengar di telinga. Panjang dan tanpa irama
sedikit pun. Terdengar kecil, namun nyaring melengking.
Kepala Pendekar Rajawali Sake itu tetap menengadah ke atas. Matanya tertuju
langsung ke arah Utara. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika melihat sebuah
titik kecil di angkasa. Semakin lama titik kecil itu semakin membesar, dan terus
membesar. Hingga pada akhirnya terlihat jelas bentuknya. Seekor Burung Rajawali
Raksasa melayang cepat menuju ke arah Rangga.
"Khraaaghk...!"
Suara Burung Rajawali Raksasa itu keras dan serak.
Burung itu menukik tajam dan mendarat lunak tepat di depan Rangga. Kepalanya
terangguk-angguk, kemudian merunduk mendekati wajah Rangga. Pendekar Rajawali
Sakti itu merentangkan tangannya dan memeluk kepala burung itu, seperti seorang
ayah yang rindu terhadap anaknya yang baru kembali.
"Kau baik-baik saja, Rajawali" tanya Rangga lembut.
"Khraghk!"
"Aku rindu sekali padamu."
Rajawali Raksasa itu mengangguk-anggukkan kepalanya dalam pelukan Rangga.
Kemudian dia menekuk kakinya, lalu berbaring dengan sayap merentang lebar ke
bawah. Rangga menepuk-nepuk lembut leher burung
raksasa itu. "Aku perlu pertolonganmu, Rajawali," kata Rangga.
"Grrrhhk...." Rajawali Raksasa menggerung pelan.
"Ya, persoalan yang aku hadapi cukup berat," Rangga seperti bisa mengerti.
Rajawali Raksasa menggoyang-goyangkan kepalanya, kemudian mengangguk beberapa
kali. "Aku tahu, kau pasti sudah tahu persoalan yang ku-hadapi..."
"Khraghk!"
"Iya..., iya. Tentu saja aku bisa menyelesaikannya sendiri. Tapi aku ingin tahu
tempatnya dengan cepat. Kau bisa membantu, bukan?"
Rajawali Raksasa menganggukkan kepalanya. Burung itu sepertinya mengerti setiap
kata yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti. Demikian juga sebaliknya Rangga
seolah-olah bisa memahami setiap gerak dan suara burung raksasa itu. Mulut
mereka memang berbicara dalam bahasa masing-masing, tapi batin mereka berbicara
dalam satu bahasa. Satu keistimewaan yang tidak dimiliki tokoh-tokoh rimba
persilatan lainnya.
"Hup!"
Rangga melompat naik ke punggung Rajawali Raksasa.
Dengan kokoh, burung itu berdiri pada kedua kakinya.
Sayapnya mengepak, menimbulkan suara angin menderu.
Kemudian bagaikan kilat, tubuhnya melesat cepat membumbung tinggi ke angkasa.
"Jangan terlalu tinggi, Rajawali. Aku sulit melihat ke bawah." kata Rangga agak
keras, berusaha mengalahkan suara angin yang menderu bagai badai.
"Khraghk...!"
"Aku harus menghemat Rajawali. Masih siang, tidak perlu menggunakan ilmu 'Tatar
Netra'," kata Rangga lagi.
Kepala Rajawali Raksasa menggeleng beberapa kali.
"Kenapa?" tanya Rangga bisa mengerti maksud Rajawali Raksasa.
Rajawali Raksasa menjulurkan kepalanya ke bawah, tapi tetap menjaga ketinggian
terbangnya Rangga
melongokkan kepalanya memandang ke bawah. Dia tidak bisa melihat apa-apa di
sana. Rajawali Raksasa terbang terlalu tinggi, sehingga yang nampak di bawah
hanya kehijauan tersaput awan tipis.
"Uh! Ada apa sih" Aneh sekali. Rajawali tidak mau terbang lebih rendah lagi,"
gumam Rangga dalam hati.
Rangga segera mengerahkan aji 'Tatar Netra' yang digabungkan dengan aji 'Mata
Dewa'. Dengan penggabungan dua ilmu itu, dia bisa melihat dari jarak yang sangat jauh dan
terang. Rangga terkejut juga begitu melihat ke bawah. Di sana ternyata terdapat
sebuah per-kampungan yang penduduknya tengah mengadakan pesta.
Rangga tahu, kalau itu Desa Galumpit. Hari ini mereka tengah mengadakan pesta
untuk merayakan keberhasilan dalam mengolah lahan pertanian.
Rangga tersenyum. Bisa dimaklumi kalau Rajawali
Raksasa tidak ingin mengejutkan orang-orang itu. Rangga pun tetap menggunakan
gabungan dua ilmu agar dapat melihat terang dan jelas dari jarak jauh. Kepalanya
sempat tergeleng-geleng karena sepanjang yang dilalui selalu orang yang terlihat
Pendekar Rajawali Sakti menyadari kalau kini tengah terbang menuju Karang Setra,
sehingga semakin banyak orang yang terlihat di bawah sana.
"Kau yakin kalau Purbaya masih ada di Karang Setra, Rajawali?" tebak Rangga.
"Khraghk!"
*** Rangga sedikit kebingungan juga, setelah diturunkan di luar perbatasan Karang
Setra yang sepi penduduk.
Sementara Rajawali Raksasa sudah membumbung tinggi kembali ke tempatnya di
Lembah Bangkai. Kebingungan Rangga memang beralasan. Seluruh rakyat Karang Setra
sudah mengenalnya, baik sebagai raja maupun Pendekar Rajawali Sakti. Lebihlebih dalam pakaian pendekar seperti ini. Sangat sulit untuk menyembunyikan diri
dari mata orang banyak.


Pendekar Rajawali Sakti 18 Darah Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedangkan untuk saat ini, Rangga tidak ingin dikenali.
Dia ingin segala gerak dan tindakannya bebas. Memang sulit jika berada di tanah
kelahirannya. Jelas semua orang sudah mengenal baik dirinya. Rangga melayangkan
pandangannya berkeliling.
Dan tiba tiba....
"Tolong.., tolong!" terdengar jeritan wanita dari sebelah Barat.
Rangga memastikan pendengarannya sekali lagi.
Benar, dari sebelah Barat! Tanpa berpikir dua kali, Pendekar Rajawali Sakti itu
melesat cepat dengan mengerahkan ilmu 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Kedua tangannya terentang ke samping, dan dengan cepat dikebut-kebutkannya. Kaki
Rangga bagai tidak menapak tanah saja, melesat cepat ke arah sumber suara tadi.
Sementara, di depan sebuah pondok kecil, terlihat seorang wanita muda tengah
ketakutan yang teramat sangat dikelilingi oleh empat orang bertubuh kekar dan
seram. Wanita itu gemetar hebat. Keringat dingin telah sejak tadi membasahi
badannya. Sebagian pakaiannya koyak, memperlihatkan bahunya yang putih mulus.
Empat orang berwajah seram itu makin liar menatap tubuh yang sedikit terbuka
itu. "Ayolah, Manis. Tak usah takut," salah seorang yang berambut gondrong dan
berpakaian hitam berusaha
mendekat. "Ja.... jangan! Tolong kasihanilah saya," ratap wanita itu.
"Kau tidak akan kami bunuh, asalkan.... He... he... he,"
kata salah seorang lagi yang berbadan paling besar, namun wajahnya penuh
ditumbuhi rambut. Pakaiannya coklat tua. Matanya liar merayapi bahu wanita itu.
"Benar! Kami bukan orang Jahat! Tidak tega rasanya membunuh kelinci secantik
ini, ha... ha... ha...," kata yang lainnya. Orang satu ini berbadan agak kekar
namun memiliki kepandaian memanah. Pakaiannya berwarna biru tua. Usianya sekitar
empat puluh lima tahun.
"Rasanya tidak sulit hanya untuk melayani empat orang saja, ha ha ha...," tambah
salah seorang yang memakai baju hijau.
Serentak mereka tertawa terbahak-bahak, sambil
kakinya pelahan-lahan mendekati, seperti hendak
menangkap seekor ayam. Sedangkan wanita muda itu hanya mengkeret sambil terus
meratap. Tiba-tiba saja salah seorang yang berpakaian biru tua memanfaatkan kesempatan
ketika wanita itu agak meleng sedikit. Dia melompat cepat, dan tahu-tahu telah
menubruk wanita itu. Keruan saja wanita itu ikut ambruk, tertubruk orang yang
telah dipenuhi hawa nafsu itu.
"Ouw! Jangan! Lepaskan, oh! Tolong, jangan!"
"Tidak apa-apa, he he he...," orang itu terus menindih wanita malang itu.
Sementara itu, tiga orang lainnya tak kuat lagi
menahan gejolak hawa nafsu, dan segera menghampiri dua tubuh yang bergumul itu.
Tanpa banyak bicara, mereka segera memegangi kaki dan tangan wanita itu. Dengan
leluasa, orang yang berbaju biru tua itu mulai mempereteli pakaian wanita yang
tampaknya hanya mampu meronta-ronta. Dan ketika orang yang berbaju biru tua itu
hendak melolosi pakaiannya sendiri, tiba-tiba....
"Ugh!" terdengar suara mengeluh dari orang yang berbaju biru tua itu.
Ternyata sebuah tendangan keras, telak mendarat di pinggangnya. Orang itu
terhempas dan bergulingan beberapa kali. Tidak jauh dari situ, seorang pemuda
memakai baju rompi putih telah berdiri memandangi satu persatu orang yang kaget
bukan kepalang itu. Rambutnya yang sebahu tertiup angin sehingga mengelus-elus
gagang pedangnya yang berbentuk kepala burung rajawali. Jelas, dia adalah
Pendekar Rajawali Sakti.
Empat orang yang masih kaget itu, segera menyadari sosok yang berdiri tidak jauh
dari situ "Oh, Gusti! Ampun..., ampunilah kami, Gusti!" serentak empat orang bertubuh
kekar itu menjatuhkan diri di depan kaki Rangga. Diciuminya kaki Pendekar
Rajawali Sakti itu beberapa kali.
"Cepat pergi dari sini, sebelum pikiranku berubah!"
bentak Pendekar Rajawali Sakti itu.
Sebenarnya, Rangga agak terkejut juga karena empat orang itu telah mengenalnya.
Mungkin mereka memang penduduk Karang Setra juga, atau mungkin juga bukan.
Tidak mungkin bagi Rangga untuk mengenali rakyatnya satu persatu. Tapi bagi
Rangga tidak jadi masalah jika ada orang lain mengetahui kehadirannya di situ.
Masalahnya, mereka tidak mungkin cerita pengalaman mereka yang memalukan ini.
Sementara itu, keempat orang itu telah berhamburan meninggalkan tempat itu.
Mereka sebenarnya memang penduduk Kerajaan Karang Setra juga, yang tengah
berburu. Mungkin karena dorongan iblis, maka ketika melihat seorang wanita di
sebuah pondok kecil yang jauh dari keramaian, mereka sepakat untuk
memperkosanya. Sebenarnya tempat ini dengan Karang Setra berada di sebelah Timurnya dan
terletak agak Jauh. Jika dengan kuda, bisa sekitar tiga sampai lima hari
perjalanan. Dan lagi tempat ini juga masih wilayah Karang Setra. Tapi yang
namanya pemburu, maka tempat di manapun, asal di situ banyak binatang buruan
bukanlah persoalan.
"Oh, terima kasih, Tuan.... Terima kasih!" ucap wanita muda itu. Rupanya dia
kurang paham dengan sosok yang dihadapinya kini. Dan itulah yang diharapkan
Rangga. "Sudahlah! Siapa namamu?" tanya Rangga lembut, tapi matanya melengos dari arah
wanita itu. "Oh.... Namaku Anjani! Oh! Maaf, Tuan! Saya masuk dulu." ujar wanita itu setelah
sadar bahwa keadaan dirinya hampir tanpa benang sehelai pun. Cepat-cepat
diraihnya kain yang koyak di dekatnya untuk menutupi auratnya.
Bergegas dia beranjak berlari ke dalam pondok itu Rangga hanya tersenyum
sendiri, dan menunggu di
depan pondok itu. Tak lama berselang, wanita muda yang bernama Anjani itu telah
keluar dengan pakaiannya yang lain. Kelihatannya semakin cantik, tapi wama merah
padam masih menyelimuti wajahnya. Rangga sendiri hampir terkesiap melihatnya.
"Mari, silakan masuk ke gubukku ini, Tuan," ajak Anjani.
"Terima kasih. Oh, ya siapa namamu tadi?" tanya Rangga.
"Anjani."
"Nama yang cantik, secantik orangnya."
"Ah! Bisa saja Tuan ini," Anjani semakin merah padam.
Gadis yang mengaku bernama Anjani itu tersipu malu.
Wajahnya yang cantik, semakin terlihat mempesona setelah rona merah menyemburat
di wajahnya. Wanita itu memang masih muda, usianya sekitar delapan belas tahun.
Di balik pakaiannya tersembunyi kulit yang putih bersih. Rangga sendiri hampir
tidak percaya bahwa ternyata ada seorang gadis cantik tinggal di dalam pondok
kecil dan reot, menyendiri dari keramaian penduduk.
"Oh ya, mana orang tuamu?" tanya Rangga setelah duduk di dipan bambu dan
beralaskan tikar daun pandan.
"Aku hidup sendiri," sahut Anjani.
"O...."
"Kedua orang tuaku sudah lama meninggal. Aku hidup dari menjual kayu bakar ini
ke kota, dan berladang sedikit di belakang pondok."
"Tentu sangat berat kehidupanmu," Rangga bisa merasakan.
"Hidup ini memang berat..," Anjani berhenti sebentar.
"Tuan, apakah Tuan pembesar Kerajaan Karang Setra?"
tanya Anjani ketika ingat bahwa para pemerkosanya memanggil pemuda tampan di
depannya ini dengan
sebutan Gusti. Sepertinya dia memang berusaha melupakan pendritaannya.
"Oh, bukan! Aku hanya pengembara saja. Kebetulan empat orang tadi pernah
kutolong dan sergapan perampok.
Untuk menghormatiku, mereka memanggilku Gusti," jelas Rangga berbohong.
"Ooo." Hanya itu yang keluar dari mulut Anjani.
"Sebaiknya, jangan memanggilku Tuan!" kata Rangga.
"Hm, boleh aku memanggilmu, Kakang...?"
"Dengan senang hati," sambut Rangga. "Oh, ya. Namaku Rangga. Kau boleh
memanggilku Kakang Rangga."
Tentu saja Rangga senang, karena dari caranya
memandang dan berkata, gadis itu tidak tahu siapa Rangga sebenarnya. Mungkin Anjani belum pernah mendengar nama Rangga, atau juga pernah tapi belum pernah
melihatnya. Dan Rangga merasa tidak perlu khawatir lagi, dan ini berarti dengan
leluasa ia dapat menyembunyikan diri agar pekerjaannya tidak terganggu.
"Sudah lama kau tinggal di sini, Anjani?" tanya Rangga setengah menyelidik.
"Cukup lama juga, kira-kira lima tahun," sahut Anjani.
"Sebelumnya, kau tinggal di mana?"
"Semula aku dan seluruh keluargaku selalu berpindah-pindah. Kami hidup dari
membuka ladang dari satu tempat ke tempat lainnya. Atau berdagang bila kebetulan
menjumpai desa atau kota. Apa saja yang didapatkan dalam perjalanan kami jual."
"Lalu, kenapa kau bisa sampai menetap di sini?"
"Ketika aku dan keluargaku sampai di perbatasan Karang Setra, bencana terjadi.
Saat itu Karang Setra masih merupakan sebuah kadipaten yang tidak seberapa
besar. Para prajurit kadipaten merampas semua harta benda kami, dan membunuh seluruh
keluargaku. Saat itu aku berhasil menyelamatkan diri dan lari ke dalam hutan,
hingga sampai ke sini. Aku tidak tahu lagi, harus berbuat apa. Aku memutuskan
untuk hidup di sini, ya.... sampai sekarang ini," Anjani menyelesaikan kisah
hidupnya. Rangga agak bergemuruh juga dadanya mendengar
kisah tragis itu. Lebih-lebih menyangkut nama Karang Setra. Memang, pada masa
itu Karang Setra dikuasai adik tirinya yang selalu mementingkan diri sendiri.
Sehingga tidak heran kalau para prajurit kadipaten bertindak seperti perampok.
Merampas harta benda rakyat dan membunuh siapa saja yang berani menentangnya.
Rangga selalu merasa terpukul bila mendengar kisah seperti itu.
"Kakang sendiri, bagaimana kisah hidupnya?" tanya Anjani.
"Ah! Kehidupanku tidak ada yang menarik. Aku tidak tahu siapa diriku. Sejak
kecil aku hidup sendiri, berkelana mencari dan mempelajari berbagai macam ilmu
olah kanuragan dan kesaktian," Rangga menghindar.
"Kakang seorang pendekar?"
"Tidak juga. Aku mempelajari ilmu hanya untuk menjaga diri saja," Rangga
merendah. Anjani tersenyum-senyum.
"Kenapa tersenyum?" tegur Rangga.
"Aku sedikit tahu tentang ciri-ciri seorang pendekar.
Mereka memang begitu, selalu merendahkan diri. Kecuali orang jahat yang
mengandalkan kekuatan untuk kepentingan pribadi yang selalu menyombongkan diri
dan memamerkan kepandaiannya "
Rangga agak heran juga bercampur kagum. Ternyata gadis ini memiliki pengetahuan
juga tentang dunia persilatan. Bisa menilai watak-watak kaum rimba persilatan,
meskipun dari garis besarnya saja.
Semakin mengenal dekat gadis itu, rasa kagum Rangga semakin menebal. Dan mereka
juga semakin cepat akrab, meskipun baru kenal beberapa saat lalu. Mereka seperti
sudah mengenal lama. Anjani juga kelihatan ceria, dan sesekali terdengar suara
tawanya yang merdu kalau Rangga membuat kelucuan. Mereka terus berbicara dan
bergurau sampai tidak terasa, hari sudah menjelang sore.
*** Memang sangat diharapkan, ketika Anjani menawarkannya bermalam di pondoknya. Rangga menempati
sebuah kamar di belakang, sedangkan Anjani di kamar lainnya. Pondok ini hanya
terdiri dari dua kamar tidur dan sebuah ruangan depan yang menjadi satu dengan
ruangan tengah.
Tiba saat malam telah larut, Anjani pun telah benar-benar lelap dalam buaiannya.
Kesempatan inilah yang ditunggu Rangga agar bisa keluar untuk mencari
buronannya. Pelahan-Iahan dibuka jendela kamarnya. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun Rangga melompat ke luar, hati-hati sekali dia
menutup kembali jendela itu.
"Hup!"
Hanya dengan satu kali lompatan saja, Pendekar
Rajawali Sakti itu telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Tubuhnya berkelebatan cepat menuju ke Karang Setra.
Rangga mengerahkan ilmu lari cepat, sehingga dalam waktu singkat saja, sudah
berada di dalam kota Kerajaan Karang Setra. Pendekar Rajawali Sakti itu
berkelebat menyelinap dari satu rumah ke rumah lainnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu selalu berhenti sebentar dan bertengger di setiap
atap rumah penginapan atau kedai yang masih buka sampai jauh malam. Dia kenal
suara Purbaya, dan pasti dapat mengetahui kalau buruan-nya mungkin ada pada
salah satu rumah penginapan atau di dalam kedai. Hanya saja sudah semua
penginapan dan kedai di seluruh kota ini disinggahi tapi tidak satu pun di
antara tempat itu yang terdengar suara Purbaya.
"Hm dia pasti bersembunyi di suatu tempat. Atau... ah!
Rasanya tidak mungkin kalau kembali ke Rimba
Tengkorak," Rangga bergumam sendiri di dalam hati.
Rangga terus berpikir dan menduga-duga ke mana
Rahasia Ciok Kwan Im 1 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali 6

Cari Blog Ini