Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 2

Pendekar Rajawali Sakti 18 Darah Pendekar Bagian 2


Purbaya pergi bersembunyi. Malam itu Pendekar Rajawali Sakti tidak mendapatkan
hasil yang memuaskan. Dan pen-cariannya itu dilanjutkan pada malam berikutnya.
Rangga mulai ragu ketika sudah mencari ke seluruh pelosok kerajaan dalam
beberapa malam ini, namun hasilnya tetap nihil.
Rangga ragu kalau Purbaya masih berada di Karang Setra. Empat malam sudah dia
mencari, tapi tiada hasil.
Bahkan Rangga sempat mampir di Kerajaan Karang Setra sehingga tahu kalau Mayang
dan Pandan Wangi sudah sampai di istana. Dia juga tahu kalau Danupaksi selalu
mengerahkan para prajuritnya dan menyebar telik sandi untuk mencari buronan itu.
Sementara selama ini Rangga selalu tinggal di pondok Anjani.
Sepertinya Rangga memang telah terlalu lama tinggal di pondok Anjani. Mengingat
selama ini kerjanya tidak membuahkan hasil, Rangga memutuskan untuk pergi dari
situ. Hanya saja yang jadi beban pikiran Rangga, gadis itu sepertinya begitu
dekat dengannya. Tidak tega rasanya meninggalkan Anjani sendirian di tempat itu.
Apalagi belum lama ini Anjani hampir diperkosa. Tapi, tugas adalah tugas.
Rangga tidak mungkin mengabaikan buronan itu.
Masalahnya ini menyangkut keselamatan Kerajaan Karang Setra.
Pendekar Rajawali Sakti memutuskan akan meninggalkan tempat ini secara diamdiam. Namun demikian, dia berniat akan terus melindungi Anjani. Kelihatannya,
gadis itu memang pertu dijaga keselamatannya.
*** Pagi-pagi sekali Anjani sudah bangun dari pembaringannya. Dia memang tidak tidur semalaman. Gadis itu bergegas ke luar dari
kamarnya dan langsung menuju kamar sebelah. Hatinya terkesiap begitu melihat
pintu kamar itu terbuka lebar. Anjani terpaku di depan pintu.
Kamar itu sudah kosong, tidak ada lagi Rangga di sana.
"Kakang...," desis Anjani lirih. "Mengapa kau pergi begitu saja?"
Perlahan-lahan gadis itu melangkah masuk. Sesaat dirayapi seluruh sudut kamar
ini. Pandangannya langsung terpaku dan tertuju ke atas pembaringan. Anjani
mendekati pembaringan itu, dan sesaat tertegun melihat di atas pembaringan
tergeletak sekotak kecil uang emas yang tutupnya terbuka. Di bawahnya terdapat
selembar daun lontar. Di samping kotak kecil itu menggeletak sebuah cincin
bertuliskan beberapa huruf dengan lambang Kerajaan Karang Setra.
Anjani mengambil daun lontar itu. Matanya tidak
berkedip membaca tulisan yang tertera rapi. Kini matanya mulai merembang
berkaca-kaca setelah membaca beberapa baris kalimat yang tertera pada daun
lontar itu. Terdengar tarikan napasnya yang panjang Anjani mendekap daun lontar
itu ke dadanya.
"Oh, Kakang.... Aku tidak mengerti, kenapa kau lakukan semua ini padaku" Kenapa
kau tidak berterus terang saja?" gumam Anjani lirih.
Kembali dibaca beberapa kalimat yang tertulis pada daun lontar, kemudian duduk
di pembaringan dan
mengambil barang-barang yang ditinggalkan Rangga.
Sekotak uang emas, sungguh sangat berharga sekali. Dia bisa membangun sebuah
rumah besar, dan tanah yang luas dengan beberapa pekerja. Anjani tidak bisa lagi
berkata-kata. Dipandanginya cincin bermata berlian dengan bentuk lambang
Kerajaan Karang Setra, kemudian
dikenakannya di jari manis. Sejenak dia memandangi dan mencium lembut cincin di
jari manisnya. "Meskipun kau seorang raja, tapi budi pekertimu begitu mulia. Aku... oh..., aku
jadi mengagumimu, Kakang!" desah Anjani mengungkapkan isi hatinya.
Lama juga Anjani berada di kamar itu. Semua kenangannya selama beberapa hari
bersama Pendekar Rajawali Sakti itu, kembali terbayang di pelupuk matanya Anjani
baru beranjak ke luar dari kamar itu setelah merasakan hangatnya sinar matahari
menerobos masuk melalui celah-celah jendela.
Ayunan kakinya pelahan, dan kepalanya tertunduk.
Anjani ke luar dari pondoknya dengan membawa barang-barang dari Rangga. Dia baru
berhenti setelah sampai di luar pondok. Pelahan kepalanya terangkat naik begitu
mendengar derap langkah kaki kuda dari arah depan.
Matanya sedikit menyipit melihat beberapa ekor kuda menuju ke arahnya.
Dari pakaian para penunggang kuda, dapat diketahui kalau mereka adalah para
prajurit Karang Setra Tampak paling depan seorang laki-laki tua berjubah putih
didampingi seorang gadis cantik mengenakan baju wama merah menyala. Mereka tidak
lain dari Ki Lintuk dan Mayang Telasih. Di belakang mereka ada sekitar dua puluh
prajurit bersenjata tombak dan pedang. Ada apa dengan kedatangan mereka ke
pondok Anjani"
*** 5 Ki Lintuk, Mayang, serta dua puluh prajurit Kerajaan Karang Setra itu
menghentikan kudanya tepat di hadapan Anjani yang berdiri di depan pintu
pondoknya. Dua pembesar Kerajaan Karang Setra itu melompat turun dari kudanya,
lalu melangkah mendekati Anjani. Sementara dua orang prajurit juga turun dari
punggung kudanya.
Mereka memegangi tali kekang kuda tokoh dari Karang Setra itu.
"Ada apakah gerangan Tuan dan Nini datang ke tempat hamba yang hina ini'" tanya
Anjani seraya memberi hormat.
"Kami sedang mengadakan pemeriksaan, dan
kebetulan melihat pondok di sini," sahut Ki Lintuk ramah.
"Ini pondok hamba, Tuan. Jika Tuan dan Nini berkenan, silakan singgah."
Ki Lintuk memandang pada Mayang, sedangkan yang
dipandang malah menatap pada jari tangan Anjani.
Tatapan mata Ki Untuk juga terarah ke sana. Dia agak terkejut juga melihat
cincin yang melingkar di jari manis gadis itu. Laki-laki tua itu juga mengenali
kotak penyimpanan uang yang berada di tangan Anjani.
"Nisanak! Boleh aku tahu, dari mana kau dapatkan cincin dan kotak itu?" tanya Ki
Lintuk langsung.
"Oh...!" Anjani terperanjat. Buru-buru disembunyikan cincin dan kotak di
tangannya. Dia tidak sadar kalau membawa cincin dan kotak pemberian Rangga.
"Kami mengenali benda-benda itu, dan sebaiknya kau berterus terang saja," kata
Mayang tegas. "Hamba..., hamba mendapatkannya dari seorang pengembara," sahut Anjani agak
tergagap. "Ketahuilah, Nisanak. Benda-benda itu milik raja kami, Gusti Prabu Rangga. Dan
mana kau dapatkan semua itu?"
lembut suara Ki Lintuk.
"Dia memang bernama Rangga, tapi hanya seorang pengembara. Dia menginap di sini
selama tujuh hari, dan memberikan benda-benda ini padaku," sahut Anjani tidak
berterus terang.
"Kau kenal orangnya?" tanya Mayang curiga.
"Ya! Dia mengenakan baju rompi putih dan membawa pedang berkepala burung.
Sedangkan di lehernya ada kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di dalamnya.
Dia juga mengaku bernama Rangga." sahut Anjani berkata apa adanya. Tapi tetap
tidak berterus terang kalau dia sudah tahu bahwa Rangga itu Raja Karang Setra.
"Dia benar, Mayang. Gusti Prabu selalu memakai pakaian rompi putih jika
mengembara. Pedang yang disandangnya adalah Pedang Rajawali Sakti." kata Ki
Lintuk membenarkan kata-kata Anjani.
"Tapi.... Tidak mungkin, Eyang. Aku baru saja sampai sehari yang lalu. Mana
mungkin Kanda Rangga berada di sini selama tujuh hari?" bantah Mayang.
"Bagi Gusti Prabu tidak ada masalah. Nini Mayang sendiri bilang mendapat
hambatan dalam perjalanan, sehingga terlambat tiba di Karang Setra."
"Aku hanya terlambat tiga hari."
"Dan itu berarti tepat tujuh hari."
Mayang tidak menyahut. Masih belum bisa dipercayai kalau Rangga bisa tiba di
sini dalam waktu kurang dari satu hari. Sedangkan untuk mencapai tempat ini dari
arah sungai tempat mereka berpisah, paling tidak membutuhkan waktu lima hari
perjalanan. Apa lagi Pendekar Rajawali Sakti itu tidak membawa kudanya. Meskipun
Rangga menggunakan Kuda Dewa Bayu paling tidak harus
menempuh perjalanan selama tiga hari. Memang sulit dipercaya kalau Rangga bisa
mencapai jarak sejauh itu dalam waktu singkat. Kurang dari satu hari!
Namun bagi Ki Lintuk, hal itu tidak menjadi masalah.
Dia tahu kalau Rangga mempunyai seekor Burung Rajawali Raksasa yang bisa
ditunggangi. Kecepatan terbang burung itu melebihi kilat. Jadi, tidak heran
kalau dalam waktu singkat bisa menempuh perjalanan jauh, yang dirasakan mustahil
bagi orang lain.
Ki Lintuk juga segera dapat memahami maksud
Rangga memberikan cincin berlambang kejayaan kerajaan pada Anjani. Laki-laki tua
itu mendekati dan menepuk pundak gadis itu Sementara Mayang memandangnya
dengan sinar mata tidak suka. Dia juga bisa mengerti maksud Rangga dengan
memberikan cincin itu pada
Anjani, meskipun masih belum percaya penuh kalau Rangga berada di tempat ini
selama tujuh hari.
"Aku percaya dengan kata-katamu Nisanak. Dengan adanya cincin itu, berarti kau
diterima langsung Gusti Prabu untuk tinggal di istana." kata Ki Lintuk seraya
memberikan senyuman manis.
"Aku...?" Anjani tidak bisa berkata kata lagi.
"Berkemaslah, sekarang juga kau tinggal di istana,"
kata Ki Lintuk tidak memberikan kesempatan pada Anjani untuk berpikir lagi.
"Tapi..., Kakang Rangga tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengatakan agar aku
di sini saja," Anjani berkeras.
"Kakang...?" Mayang tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Ada apa, Mayang?" Ki Lintuk menatap Mayang.
"Oh, tidak...! Aku hanya sedikit terkejut saja," sahut Mayang agak tergagap.
Dia memang terkejut saat mendengar Anjani menyebut kakang terhadap Rangga.
Mendadak saja rasa cemburu dan tidak sukanya pada gadis itu timbul. Kecemburuan
memang sudah menyeruak saat melihat cincin berlian berlambangkan kejayaan Karang
Setra melingkar di jari manis gadis itu.
"Ayolah, Nisanak. Aku tidak ingin Gusti Prabu murka kalau dia tahu kau masih
berada di sini," bujuk Ki Lintuk.
"Terima kasih! Aku tidak bisa meninggalkan pondok ini.
Kakang Rangga sudah mengatakan demikian sehari
sebelum dia pergi dari sini," kata Anjani tetap menolak dengan sedikit berdusta.
Ki Lintuk menarik napas panjang Dia sadar kalau gadis itu tidak akan mungkin
bisa dibujuk. Kata-katanya tegas, dan sepertinya memang Anjani tidak ingin
menyalahi pesan yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti. Padahal sama sekali
Rangga tidak memberikan pesan apa-apa. Hanya Anjani saja yang berkata demikian
untuk menolak diboyong ke istana.
Dari kilatan cahaya mata Mayang, Anjani sudah bisa mengetahui kalau gadis cantik
berpakaian indah itu tidak menyukainya. Bahkan sikapnya jelas-jelas membencinya.
Dalam hatinya Anjani menduga-duga tentang diri Mayang.
"Baiklah. Kalau begitu kau tidak boleh menolak yang satu ini. Selama Gusti Prabu
belum kembali ke Istana, kau tidak sendirian lagi. Gusti Prabu mengkhawatirkan
keselamatanmu. Oleh sebab itu, beliau memerintahkan kami ke sini. Juga pondok
ini akan dirubah agar lebih nyaman untuk ditempati," kata Ki Lintuk menegaskan.
"Tapi..," Anjani tetap tidak bisa menerima.
"Kau memegang cincin berlian lambang kejayaan Karang Setra, Nisanak. Cincin itu
milik pribadi Gusti Prabu.
Itu berarti kau adalah keluarga besar Istana Karang Setra.
Suka atau tidak suka, itu sudah keputusan Gusti Prabu sendiri," tegas kata-kata
Ki Lintuk. Anjani tidak bisa berkata apa apa lagi. Mungkin kalau Rangga tidak memberikan
surat dalam daun lontar yang mengatakan dirinya sebenarnya, saat itu Anjani
pasti sudah jatuh pingsan. Namun gadis itu masih juga terbengong dengan berbagai
perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau
bakal menjadi keluarga besar Istana Karang Setra. Anjani serasa mendapatkan satu
anugerah yang sukar diukur besarnya.
Gadis itu masih berdiri termangu meskipun Ki Lintuk, Mayang dan setengah dari
prajuritnya meninggalkan tempat itu. Sedangkan separuh sisanya dari prajurit
Karang Setra itu tetap tinggal menjaga keselamatan Anjani. Anjani sukar
mempercayainya, meskipun itu benar-benar terjadi pada dirinya.
*** Anjani masih seperti bermimpi, ketika pada keesokan harinya, beberapa prajurit
serta lima orang dayang dan ahli-ahli kayu Karang Setra berdatangan. Mereka
dipimpin seorang punggawa yang gagah. Bahan-bahan untuk
membuat rumah pun berdatangan. Anjani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa
lagi. Segala keperluannya sudah terpenuhi. Lima orang gadis cantik selalu siap
melayaninya. Hari itu juga Anjani merasakan perubahan yang sangat menyolok pada
dirinya. Gadis itu masih merasa dirinya bermimpi, meskipun sudah lebih dari tujuh hari
menempati rumahnya yang baru. Lima orang dayang siap melayaninya, dan sepuluh
orang prajurit siap menjaganya secara bergantian. Pondok kecil yang reot, kini
sudah berganti dengan sebuah bangunan yang cukup besar dan kokoh. Tidak ada lagi
baju-baju kumalnya. Semua pakaiannya berganti dari bahan sutra halus.
Sampai saat ini, Anjani belum bisa menghadapi
kenyataan hidup yang dialaminya. Dia sering duduk menyendiri memikirkan
kehidupannya yang langsung berubah dalam waktu sekejap saja. Sepertu halnya hari
ini, Anjani duduk melamun dengan pikiran mengambang tidak menentu di dalam taman
belakang rumahnya. Halaman belakang yang dulu hanya sebuah hutan dan kebun
kecil, kini sudah berubah jadi sebuah taman yang indah penuh bunga.
"Gusti Ayu...."
Anjani menoleh ketika mendengar suara dari arah
samping kanannya. Seorang dayang berwajah cukup manis sudah berdiri di dekatnya.
Sikapnya begitu hormat, dengan tubuhnya agak sedikit membungkuk.
"Ada apa?" tanya Anjani pelan.
"Gusti Ayu Mayang Telasih ingin bertemu," sahut dayang itu.
"Ada yang ingin aku katakan padamu, Anjani," ujar Mayang datar.
"Oh!" Anjani tersentak kaget.
Dayang itu segera menyembah hormat, dan segera
berbalik meninggalkan taman itu. Anjani berdiri dan membalikkan tubuhnya. Mayang
tahu-tahu sudah berada di dekatnya. Gadis cantik yang selalu mengenakan baju
wama merah menyala itu melangkah mendekati, kemudian duduk di kursi yang tadi
diduduki Anjani. Sedangkan Anjani sendiri hanya berdiri saja.
"Enak juga berada di sini..," kata Mayang seraya mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. "Ya," hanya itu yang bisa diucapkan Anjani.
"Kau senang?"
"Ya," lagi-lagi Anjani menjawab singkat.
"Tapi kau harus ingat. Kesenangan yang kau peroleh sekarang ini bukan berarti
bisa berbuat seenaknya saja di Karang Setra. Kau harus sadar, siapa dirimu.
Jangan berharap lebih, apalagi mengharapkan bisa mendampingi Kanda Prabu
Rangga." agak sinis kata-kata Mayang.
Anjani hanya diam saja. Hatinya terasa sakit. Tapi memang disadari kalau dirinya
bukanlah apa-apa bila dibandingkan Mayang. Hanya diam dan diam saja yang bisa
dilakukan Anjani, seraya menelan kepahitan yang amat sangat
"Kanda Prabu memberikan semua kesenangan ini karena kasihan padamu. Beliau
seorang raja besar yang arif dan bijaksana. Imbalan yang diberikannya padamu
tidak sebanding dengan kebaikan yang kau berikan padanya. Kau harus bersyukur,
Anjani. Dan tentu saja jangan sampai membuatmu jadi besar kepala, lantas ingin
yang lebih dari ini semua," kembali Mayang berkata lembut. Namun nada suaranya
sangat menyakitkan hati.
Dan Anjani hanya bisa diam tanpa bisa berkata sedikit pun. Bukan sekali ini
Mayang mengunjungi, dan selalu berkata yang menusuk perasaannya. Segala-galanya
memang tercukupi, bahkan berlebih. Tapi hati Anjani jadi tidak tenteram. Rasanya
lebih tenang dan damai hidup sederhana daripada bergelimang harta tapi hati
selalu menahan perasaan.
"Satu hal lagi yang perlu kau ingat Anjani. Kanda Prabu tidak akan mengambil
pendamping seorang gadis
kebanyakan sepertimu!" sambung Mayang tegas tanpa tedeng aling-aling lagi.
Anjani mendongakkan kepalanya Pandangannya tajam menusuk ke bola mata Mayang.
Kata-kata Mayang terakhir ini membuatnya tidak bisa menahan diri lagi.
"Mayang....'"
Belum lagi Anjani membuka mulut, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras. Kedua
gadis itu terkejut dan menoleh. Hampir copot jantung Mayang Telasih begitu
matanya melihat orang yang membentak keras tadi. Rasa terkejutnya hitang
seketika, dan langsung berubah jadi ketidakpercayaan dengan pendengarannya.
"Mau apa kau ke sini?" bentak Mayang sengit. Gadis cantik berbaju biru dengan
kipas terbuka di tengan kanan, melangkah ringan. Kipas dari baja putih itu
terkembang bergerak-gerak di depan dada. Langkahnya berhenti tepat di samping
Anjani yang main terpana tidak mengerti dengan kemunculan Pandan Wangi secara
tiba-tiba itu!

Pendekar Rajawali Sakti 18 Darah Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** 6 "Sikapmu sungguh memalukan, Mayang. Sama sekali tidak mencerminkan seorang putri
istana calon permaisuri,"
tajam dan sangat menusuk kata-kata Pandan Wangi.
"Lancang sekali mulutmu, Pandan!" sentak Mayang gusar.
"Kau boleh saja membenciku, Mayang. Tapi kau tidak bisa meluapkan rasa cemburumu
pada setiap wanita..!"
"Tutup mulutmu!" bentak Mayang keras.
"Aku tidak bisa menutup mulut melihat kecemburuan yang membabi buta tanpa
alasan. Kau belum mengenal jauh Kakang Rangga, sedangkan aku selalu bersamasamanya dalam setiap pengembaraan. Apa kau pikir Kakang Rangga suka akan
sikapmu" Jangan mimpi,
Mayang! Selama ini aku sudah berusaha mengalah
padamu, tapi kali ini...," Pandan Wangi menggeleng-gelengkan kepala. Bibirnya
menyunggingkan senyuman sinis.
"Huh! Dasar perempuan rendah!" dengus Mayang menggeram sengit.
"Aku tahu siapa kau sebenarnya, Mayang. Dalam garis keturunan, kau memang lebih
pantas mendampingi
Kakang Rangga. Tapi itu bukan berarti bisa berbuat semau-mu sendiri! Bukan
menghina setiap wanita yang dekat dengan Kakang Rangga...!"
"Diam...!" Jerit Mayang keras. Wajahnya merah padam menahan geram.
"Aku akan diam jika kau tinggalkan tempat ini. Dan, jangan kembali lagi ke
sini!" balas Pandan Wangi tidak kalah tegasnya.
"He...! Kau pikir kau ini siapa" Berani benar kau mengusirku! Seharusnya kau
yang angkat kaki dari sini!"
bentak Mayang semakin gusar.
"Kau sendiri tidak punya hak di sini, Mayang. Rumah ini bukan milikmu, tapi
milik Adik Anjani! Anjani! Kau bisa mengusirnya seperti anjing buduk!" Pandan
menoleh pada Anjani yang sejak tadi diam saja.
"Aku..., aku...," Anjani tergagap, tidak bisa berkata-kata
"Kau sudah ketertaluan, Pandan! Kau akan merasakan akibatnya!" bentak Mayang
Setelah berkata demikian, Mayang langsung berbalik dan melangkah pergi. Pandan
Wangi tersenyum sinis melihat kepergian Mayang. Sedangkan Anjani hanya diam
saja, tapi matanya berkaca-kaca. Tidak disangkanya kalau hal seperti ini akan
terjadi pada dirinya. Belum pernah didapatkan penghinaan yang seperti ini
pedasnya. Anjani tidak bisa lagi menahan perasaan hatinya. Dia jatuh duduk di kursi taman.
Tangisnya meledak sesenggukan. Wajahnya tertutup kedua langannya. Pandan Wangi
memandang scsaat, lalu duduk di samping gadis itu.
Dengan lembut, dipeluk pundak Anjani dan direngkuhnya ke dalam pelukan. Anjani
semakin keras menangis dalam pelukan Pandan Wangi yang bergelar si Kipas Maut.
*** Pandan Wangi terpaksa bermalam di rumah Anjani. Dia tahu kalau ancaman Mayang
tidak dapat dianggap main-main. Bukan hanya ditujukan pada dirinya saja, tapi
juga terhadap Anjani. Oleh sebab itu Pandan Wangi merasa ber-tanggung jawab akan
keselamatan gadis itu.
Sejak matahari terbenam tadi, hingga sampa jauh
malam begini. Pandan Wangi masih tetap duduk di
beranda depan rumah itu. Meskipun ada sekitar sepuluh prajurit yang menjaga
rumah ini, tapi Pandan Wangi tidak dapat meninggalkan Anjani seorang diri.
Sepuluh prajurit tak ada artinya bagi Mayang jika ingin melaksanakan ancamannya.
Rasa cemburu yang amat sangat telah mem-butakan mata hati Mayang. Dan ini
disadari betul oleh Pandan Wangi.
Mendadak, Pandan Wangi tersentak ketika mendengar suara jeritan melengking
tinggi. Baru saja Pandan Wangi bangkit berdiri, terdengar lagi pekikan saling
susul ditingkahi dentingan senjata beradu. Seketika itu juga Pandan Wangi
melesat cepat saat matanya menangkap para prajurit bertarung melawan tiga orang
berpakaian serba hitam.
"Mundur kalian semua...!" seru Pandan Wangi keras.
Para prajurit itu segera berlompatan mundur. Saat itu Pandan Wangi melenting
ccpat, dan langsung mendarat di depan tiga orang berpakaian hitam itu. Gadis itu
berkernyit keningnya saat melihat seluruh kepala tiga orang itu terselubung kain
wama merah darah. Darahnya langsung mendidih melihat empat orang prajurit sudah
tergeletak tak bernyawa lagi. Darah bersimbah di tubuh mereka.
"Keparat! Siapa kalian?" bentak Pandan Wangi menahan kemarahannya.
"Kau pasti yang bernama Pandan Wangi," kata salah seorang tanpa mempedulikan
bentakan dari pertanyaan Pandan Wangi.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya sesaat. Dia
seperti mengenal suara itu. Atau paling tidak, pernah men-dengarnya. Tapi belum
sempat gadis itu berpikir lebih jauh, mendadak orang yang berada di tengah
mengibaskan tangannya Pandan Wangi sempat terperangah sesaat ketika beberapa
cahaya keperakan melesat dari tangan orang itu.
"Hup!"
Pandan Wangi langsung melentingkan tubuhnya ke
belakang menghindari senjata rahasia yang dilepaskan orang itu. Dan belum juga
kakinya menjejak tanah, salah seorang dari ketiga orang berpakaian serba hitam
itu melompat sambil mengibaskan goloknya cepat.
Pandan Wangi tidak sempat berkelit lagi, dengan cepat dicabut senjata kipasnya
dari pinggang. Dengan senjata kipas mengembang, gadis itu mengebut, dan
menangkis tebasan golok orang berbaju hitam itu.
Tring! "Ikh!" orang itu memekik tertahan, dan buru-buru ditarik kembali goloknya saat
berbenturan dengan kipas baja putih Pandan Wangi.
Secepat kilat dia melompat mundur beberapa langkah ke belakang. Pada saat itu,
Pandan Wangi cepat melesat begitu ujung jari kakinya menyentuh tanah. Kipasnya
berkelebatan ke depan di saat tubuhnya meluruk cepat ke arah penyerangnya. Orang
berbaju serba hitam itu tidak mungkin lagi berkelit, karena masih merasakan
tangannya nyeri ketika beradu senjata tadi.
Trang! Pandan Wangi terkejut ketika tiba-tiba kipasnya terbabat sebuah senjata. Segera
ditarik kembali serangannya, dan berdiri tegak menatap seorang lagi yang
melindungi temannya dari maut.
"Curang!" dengus Pandan Wangi menggeram.
Tiga orang berbaju serba hitam dengan seluruh kepala terselubung kain merah itu
berlompatan mengepung dari tiga posisi. Pandan Wangi membuka kipasnya di depan
dada. Matanya tajam meneliti setiap orang yang
mengepungnya. Kembali keningnya agak berkerut, karena seperti pernah melihat
gerakan-gerakan ketiga orang ini.
Dan belum lagi Pandan Wangi sempat berpikir lebih jauh lagi, ketiga orang itu
sudah menyerang secara serentak. Pandan Wangi memutar tubuhnya cepat dengan
kipas terkembang di tangan. Si Kipas Maut itu berlompatan menghindari setiap
serangan yang datang. Beberapa kali sempat diberikan serangan balasan, namun
setiap kali serangannya hampir mengenai sasaran pada salah satu lawan, salah
seorang lagi selalu menyerang dengan cara membokong.
Pandan Wangi jadi geram dengan cara bertarung ketiga orang itu. Mereka benarbenar tidak mengindahkan pertarungan secara ksatria. Gadis itu berpikir keras
mencoba mencari kelemahan ketiga orang itu.
"Yaaat..!" tiba-tiba Pandan Wangi berteriak keras melengking.
Seketika itu juga tubuh si Kipas Maut melesat tinggi ke udara. Dua kali ia
berputar, kemudian dengan cepat tubuhnya menukik ke bawah sambil mencabut Pedang
Naga Geni. Pedang yang memancarkan cahaya merah itu, berkelebat cepat membuat
putaran. Ketiga orang itu terperanjat, dan mereka segera berlompatan membuka
kepungan yang rapat.
"Hup!"
Pandan Wangi mendarat manis di tanah, kemudian
dengan cepat melompat ke arah salah seorang berbaju hitam yang berada tepat di
depannya. Ujung pedangnya tertuju lurus ke arah dada. Orang berbaju hitam itu
segera mengebutkan goloknya beberapa kali, tapi begitu goloknya berbenturan
dengan Pedang Naga Geni, kontan terpotong menjadi dua bagian.
Belum sempat orang berbaju hitam itu hilang kagetnya.
tiba-tiba saja Pandan Wangi memutar tubuhnya sambil mengibaskan pedangnya.
Seleret cahaya merah mendesir cepat bagal kilat. Orang berbaju hitam itu tidak
sempat berkelit lagi. Dan pada saat yang amat kritis itu, seorang lagi melompat
sambil membabatkan goloknya ke Pedang Naga Geni. Tapi yang terjadi sungguh
mengejutkan. Trak! Golok itu patah jadi dua bagian, dan laju Pedang Naga Geni tidak goyah sedikit
pun. Hanya dalam sekejap mata saja, ujung pedang berwarna merah itu merobek dada
orang berbaju hitam.
"Aaa...!"
Jeritan menyayat terdengar, bersamaan dengan
muncratnya darah segar dari dada yang sobek sangat lebar dan dalam. Belum sempat
orang itu menyadari apa yang terjadi, bagaikan kilat kaki Pandan Wangi melayang
tepat menghantam kepalanya. Kembali orang itu meraung keras.
Sebentar tubuhnya limbung, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari dada dan kepalanya. Pandan Wangi
segera memutar tubuhnya, berbalik menghadapi dua orang lainnya yang terperangah
melihat seorang temannya tewas. Mereka saling memandang, lalu serentak cepat
melompat. "Hyaaa...!"
"Hup!"
Pandan Wangi mengegoskan tubuhnya sedikit ke
kanan sambil mengibaskan pedangnya. Salah seorang sengaja membenturkan goloknya
untuk menghadang laju Pedang Naga Geni. Namun seorang lagi dengan cepat
menyambar mayat temannya. Begitu berhasil menyambar mayat temannya dia melesat
kabur sedangkan seorang lagi melemparkan patahan goloknya ke arah Pandan Wangi
sambil melesat cepat.
"Hey...!" seru Pandan Wangi.
Gadis yang berjuluk Kipas Maut itu tidak sempat lagi mengejar, karena harus
menghindari lemparan patahan golok lebih dahulu. Dan begitu berhasil mengelakkan
lemparan patahan golok itu, kedua lawannya sudah menghilang di dalam kegelapan
malam. Mereka kabur dengan membawa mayat temannya.
"Sial...!" dengus Pandan Wangi kesal.
Tatapan mata gadis itu lurus ke arah orang-orang berbaju hitam itu melarikan
diri. Sesaat kemudian, keningnya berkerut begitu menyadari mereka lari menuju ke
arah kota Kerajaan Karang Setra.
"Hm..., siapa mereka...?" gumam Pandan Wangi pelan.
*** Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum lagi
menampakkan dirinya, Pandan Wangi sudah cepat
memacu kudanya meninggalkan rumah Anjani, menuju kota Kerajaan Karang Setra.
Pagi yang gelap terselimut kabut itu semakin pekat karena ditambah oleh debu
yang mengepul akibat tersepak kaki kuda yang dipacu dengan kecepatan penuh.
"Hooop...!"
Pandan Wangi menghentikan lari kudanya begitu tiba di gerbang perbatasan kota.
Agak heran juga dia karena tidak tertihat seorang penjaga pun di pintu gerbang
perbatasan itu. Tatapan mata Pandan Wangi langsung tertumpu pada sesosok tubuh
yang tergeletak hampir tenggelam di balik semak belukar.
"Hup!"
Si Kipas Maut itu bergegas melompat turun dan
punggung kudanya. Sepasang kakinya menjejak tanah dengan ringan. Namun belum
lagi mendekat dengan sosok tubuh yang hanya terlihat sebagian saja itu, mendadak
telinganya mendengar suara bergemeresik dari arah kanan Pandan Wangi menoleh,
dan terkejut begitu melihat seseorang muncul dari gerumbul semak lainnya.
Gadis itu semakin terkejut karena orang itu adalah prajurit penjaga pintu
gerbang perbatasan kota. Keadaannya sangat mengenaskan sekali. Seluruh tubuhnya
berlumuran darah dengan beberapa luka menganga lebar.
Prajurit itu ambruk jatuh dekat kaki Pandan Wangi.
"Apa yang terjadi?" tanya Pandan Wangi cepat
"Mereka..., mereka mengamuk. Gusti Ayu...," prajurit itu tersendat-sendat.
"Siapa mereka?"
"Purbaya dan... akh!"
Pandan Wangi tersentak mendengar nama Purbaya.
Dia ingin bertanya lagi, tapi prajurit itu sudah lebih dulu menghembuskan
napasnya yang terakhir. Pandan Wangi menarik napas panjang. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, si Kipas Maut itu cepat melompat ke punggung kudanya.
"Hiya...! Hiya...!"
Pandan Wangi menggebah kudanya cepat. Kuda putih itu segera melesat bagai
sebatang anak panah lepas dari busurnya. Gadis itu terus memacu kudanya semakin
cepat. Namun tiba- tiba saja kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya
tinggi-tinggi. Kalau saja Pandan Wangi tidak segera melompat, pasti sudah
terlempar dari punggung kudanya.
Dua kali berputar di udara, kemudian dengan indah kakinya mendarat di tanah.
Mata gadis itu membeliak lebar begitu melihat kudanya menggelepar di tanah. Pada
leher kuda itu tertembus dua batang anak panah berwama merah. Si Kipas Maut itu
tahu betul kalau anak panah itu milik prajurit Karang Setra. Seluruh prajurit
Karang Setra memang dibekali anak panah yang semuanya berwama merah. Ada
lingkaran kuning emas pada tengah-tengahnya.
"Hhh! Sudah kuduga sejak semula, pasti ada orang dalam yang berkhianat," gumam
Pandan Wangi pelan.
Belum lagi sempat gadis itu berpikir lebih jauh, tiba-tiba melesat sebatang anak
panah ke arahnya. Dengan satu gerakan manis, Pandan Wangi berhasil mengelakkan
serangan anak panah itu dengan memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan. Dan belum
lagi sempat menarik kembali tubuhnya, kembali melesat sebatang anak panah ke
arahnya. Cepat sekali gadis itu mencabut kipasnya dan langsung mengebutkannya ke depan,
hingga kipas itu terbuka lebar.
Maka anak panah itu rontok terbelah jadi dua bagian terkena sabetan kipas baja
puth itu. "Pengecut! Keluar kau...!" bentak Pandan Wangi.
Namun jawaban yang diberikan adalah serbuan
puluhan anak panah. Pandan Wangi segera berlompatan sambil mengibaskan kipas
mautnya dengan cepat.
Kadang-kadang kipas itu terbuka lebar, dan sekejap kemudian menutup rapat,
kemudian terbuka lagi. Puluhan batang anak panah yang menyerbu ke arahnya lantas
rontok terbabat kipas baja putih itu
"Ha... ha... ha...!"
Bersamaan dengan berhentinya hujan panah, terdengar suara tawa keras. Pandan Wangi mengetahui kalau suara itu dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam.
Suara tawa itu bagaikan datang dari segala penjuru.
"Hhh! Kau pikir aku bisa terkecoh pengecut!" bentak Pandan Wangi seraya
menyalurkan tenaga dalam pada suaranya.
"Aku bukan pengecut, perempuan rendah!"
Belum hilang bentakan itu, melesat sebuah bayangan merah. Pandan Wangi cepatcepat membanting dirinya ke tanah dan bergulingan beberapa kali sebelum bangkit
dengan segera. Belum lagi sempat memantapkan posisi tubuhnya, bayangan merah itu
kembali melesat menerjang-nya. "Hup! Hiyaaa...!" teriak Pandan Wangi sambil
mendorong kedua tangannya memapak terjangan bayangan merah itu.
"Akh!"
"Hugh!"
Terdengar suara pekikan tertahan bersamaan dengan suara keluhan pendek. Tubuh
Pandan Wangi terjengkang ke belakang beberapa tombak, sedangkan bayangan
merah itu bergulingan di tanah beberapa kali. Namun dia segera bangkit berdiri,
tapi tubuhnya agak limbung.
Sementara Pandan Wangi yang masih dapat bertahan berdiri, agak terbeliak matanya
begitu mengenali bayangan merah itu.
*** 7 "Mayang...!" desis Pandan Wangi setengah tidak percaya dengan penglihatannya.
"Kau terkejut, Pandan?" sinis nada suara Mayang.
"Sulit dipercaya ternyata kau berkhianat pada Kakang Rangga." kata Pandan Wangi.
"Jangan ngomong sembarangan, Pandan!" geram Mayang.
Pandan melirik ke kiri ketika telinganya yang setajam elang, mendengar suara
mendesir. Gadis itu tersentak kaget ketika tiba-tiba sebatang anak panah melesat
ke arahnya. Dengan cepat, ditarik tubuhnya ke belakang, lalu tangannya terangkat
naik. Tap!

Pendekar Rajawali Sakti 18 Darah Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak panah berwarna merah itu berhasil dengan
mudah ditangkap, lalu disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi, Pandan
melemparkan kembali panah itu ke arah datangnya tadi. Lemparannya sangat cepat
melebihi kecepatan saat datang tadi. Sesosok tubuh berbaju hitam melesat ke luar
begitu panah merah itu menembus semak belukar.
"Sudah kuduga, kau berdiri di belakang semua ini, Mayang!" desis Pandan Wangi
dingin suaranya.
Orang berbaju hitam itulah yang semalam menyerang dan membunuh hampir sebagian
prajurit yang ditugaskan mengawal rumah Anjani. Dan Pandan memang sudah
menduga kalau mereka adalah tiga orang anak buah Mayang yang diperintah untuk
membunuhnya. Pandan Wangi menggerak-gerakkan kipasnya di depan dada.
Matanya tajam tidak berkedip memandang pada Mayang Telasih.
"Sayang sekali, orang-orangmu terlalu bodoh untuk menghadapiku." lanjut Pandan
Wangi semakin dingin suara nya.
"Huh!" Mayang mendengus kesal.
"Aku menduga, larinya Purbaya juga karena bantuan-mu," kata Pandan lagi. "Tidak
mungkin bajingan itu lolos jika tidak ada orang dalam yang berkhianat"
"Tutup mulutmu, keparat!" bentak Mayang gusar.
"Sayang sekali, rencanamu kurang rapi. Dan kau tidak mungkin sembunyi dari
mataku, Mayang. Sangat mudah untuk mencium keterlibatanmu pada pelarian
Purbaya." kata Pandan tidak menggubris bentakan Mayang.
"Keparat...! Kubunuh kau!" Mayang semakin geram.
Plok, plok, plok!
Mayang menepuk tangannya tiga kali. Seketika itu dari balik semak dan pepohonan,
berlompatan beberapa orang mengenakan seragam prajurit Kerajaan Karang Setra.
Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang, dan sudah meloloskan
senjatanya masing-masing. Pandan Wangi agak terperanjat juga, menyadari dirinya
sudah terkepung.
"Impianmu sudah berakhir, Pandan. Kau lihat, siapa di antara kita yang lebih
berkuasa di Karang Setra!" kata Mayang pongah.
"Pengecut...!" desis Pandan Wangi menggeram.
Pandan Wangi bukannya gentar menghadapi tiga puluh orang prajurit, tapi merasa
tidak tega jika harus bertarung dengan para prajurit yang tidak memahami
urusannya. Lebih-lebih mereka prajurit Karang Setra. Tidak mungkin membunuh mereka,
meskipun yakin kemampuannya
berada jauh di atas mereka semua.
Saat ini Pandan Wangi benar-benar gusar dengan
tindakan Mayang. Memanfaatkan pengaruh dan kekuasan untuk kepentingan pribadi.
Urusan mereka adalah urusan pribadi, yang tidak sepatutnya melibatkan para
prajurit. Pandan Wangi benar-benar muak melihat tingkah Mayang Telasih. Tidak berani
menghadapi sendri kemudian menggunakan pengaruh dan kekuasaannya.
"Bersiaplah untuk mati, Pandan!" seru Mayang keras.
"Serang...!"
"Tunggu...!" bentak Pandan menggelegar.
Para prajurit yang akan melompat menyerang, segera mengurungkan niatnya. Mereka
seperti ragu-ragu untuk menyerang. Masalahnya, yang dihadapi adalan Pandan
Wangi! Wanita ini seorang tokoh rimba persilatan yang sangat tangguh, dan
menjadi pendamping raja mereka setiap melaksanakan tugasnya. Baik tugas dalam
pemerintahan maupun tugas pengembaraan sebagai
pendekar. "Tunggu apa lagi..."! Bunuh perempuan keparat itu!"
bentak Mayang gusar melihat para prajuritnya ragu-ragu.
"Mayang! Kalau kau ingin kematianku, majulah! Jangan libatkan mereka yang tidak
tahu apa-apa," seru Pandan Wangi keras.
"Kau memang harus mampus, perempuan keparat!"
geram Mayang. Setelah berkata demikian, Mayang langsung melompat menerjang sambil berteriak
nyaring. Pandan Wangi menggeser kakinya sedikit ke samping, dan tangannya cepat
mengibas seraya membuka kipas baja putihnya.
Wut! "Uts!"
Mayang Telasih memutar tubuhnya ke belakang, lalu segera mencabut pedangnya.
Begitu kakinya menjejak tanah, pedangnya meluruk deras ke arah perut. Kembali
Pandan menarik tubuhnya ke samping sambil mengebutkan kipasnya. Rupanya Mayang
enggan membenturkan pedangnya pada kipas baja putih itu. Buru-buru ditarik
kembali senjatanya dan dengan cepat diputarnya ke atas.
"Hap!"
Pandan Wangi tidak bergeser sedikit pun. Bahkan kini dia mengangkat tangan
kirinya. Ujung pedang Mayang begitu deras terarah ke dada. Tapi, tanpa diduga
sama sekali, Pandan Wangi menjepit ujung pedang itu dengan kedua jari tangan
kirinya. "Uh!" Mayang berusaha menarik kembali pedangnya, tapi jepitan jari tangan Pandan
Wangi begitu kuat.
Mayang kembali membetot pedangnya seraya
mengerahkan tenaga dalam. Namun pada saat yang sama, Pandan mendorong tangannya
sambil melepaskan
jepitannya. Tidak pelak lagi, tubuh Mayang tersentak ke belakang, dan meluncur
beberapa langkah. Dan sebelum Mayang sempat menguasai keseimbangan tubuhnya,
Pandan Wangi telah melompat seraya mengirimkan satu tendangan keras.
"Akh!" Mayang memekik tertahan.
Tendangan Pandan Wangi tidak bisa dielakkan lagi, dan tepat menghantam dadanya.
Kembali Mayang terpental ke belakang. Sehingga punggungnya menghantam keras sebatang pohon.
Maka pohon yang cukup besar itu pun tumbang Mayang bergegas melompat
bangun. Digerak-gerakkan pedangnya dengan cepat di depan dada. Wajahnya merah
padam, dan bibirnya
mengeluarkan suara mendesis.
"Hiya...!" Mayang berteriak keras sambil melompat.
"Tahan...!" Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggelegar.
*** Mayang menghentikan serangannya di tengah jalan
begitu mendengar bentakan keras menggelegar. Saat itu, sebuah bayangan putih
berkelebat, dan tahu-tahu seorang pemuda tampan berambut panjang terikat sudah
berdiri di tengah-tengah antara dua gadis itu. Baju rompi putihnya berkibarkibar tertiup angin pagi.
"Kakang...!"
"Kakang Rangga...!"
Pandan Wangi dan Mayang Telasih terkejut saat
melihat Rangga tahu-tahu sudah berdiri di situ. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti
itu memandangi kedua gadis yang tengah bentrok itu, kemudian pandangannya
beredar berkeliling. Para prajurit serentak membungkuk dan berlutut. Sedangkan
dua orang berpakaian hitam masih berdiri tegak tidak jauh dari Mayang.
"Ada apa ini" Kenapa kalian saling berhadapan seperti dua orang musuh?" tanya
Rangga, meminta penjelasan.
Tidak ada yang menyahut. Tapi kedua gadis itu saling menatap tajam. Rangga
kembali memandangi kedua gadis itu satu persatu.
"Mayang...!" Rangga menatap Mayang.
Mayang diam saja tidak membuka mulut, namun
tatapannya tetap tajam pada Pandan Wangi.
"Pandan...!" Rangga mengalihkan pandangannya ke arah Pandan Wangi.
"Tanyakan saja padanya, Kakang!" sahut Pandan Wangi agak ketus nada suaranya.
Kembali Rangga menatap Mayang. Sedangkan yang
ditatap tetap membisu. Rangga jadi kesal juga melihat kedua gadis itu keras
kepala, dengan mata tajam saling tatap.
"Mayang, kembali ke istana. Sore nanti temui aku di bangsal keprajuritan!"
perintah Rangga tegas.
Tanpa berkata sedikit pun, Mayang segera
membalikkan tubuhnya, dan segera melesat cepat. Rangga juga memerintahkan
prajurit-prajurit itu untuk segera kembali ke istana. Sedangkan dua orang
berpakaian serba hitam, sudah lebih dulu menghilang begitu Mayang melesat pergi.
Rangga menghampiri Pandan Wangi setelah semua
orang di tempat itu pergi. Pendekar Rajawali Sakti itu menurunkan tangan Pandan
yang menggenggam kipas
baja putih. Pandan memasukkan kembali senjata mautnya ke dalam sabuknya.
"Kau bisa jelaskan padaku, Pandan?" lembut nada suara Rangga.
"Tidak ada gunanya," sahut Pandan setengah mendesah, lalu melangkah menghampiri
sebatang pohon tumbang dan duduk di sana.
"Dengar, Pandan. Aku tidak ingin di antara kau dan Mayang saling bermusuhan,"
tegas Rangga. "Jangan paksa aku untuk menjelaskannya, Kakang.
Tanyakan saja pada Mayang. Dia yang cari gara-gara!" agak ketus nada suara
Pandan Wangi. "Nanti juga akan kutanyakan pada Mayang. Aku tidak ingin mendengar hanya dari
satu phak saja."
"Percuma!" dengus Pandan.
"Tidak ada yang percuma! Semua persoalan pasti bisa diselesaikan "
"Sudahlah, Kakang. Tidak ada gunanya kau men-desakku. Aku tidak punya persoalan
apa-apa dengan Mayang. Dia sendiri yang membuat persoalan. Tanya kan saja
padanya! Kau akan lebih jelas dan bisa memutus-kannya sendiri. Kau seorang raja,
segala keputusanmu patut dituruti," kata Pandan merasa malas untuk bicara.
"Baiklah, aku akan menanyakannya pada Mayang. Dan sementara kau tinggal dulu
bersama Anjani. Kau sudah mengenalnya, bukan?" Rangga mengalah.
"Sudah." desah Pandan pelan.
Pandan bangkit berdiri dan menatap Rangga sesaat.
"Asal kau tahu saja, Kakang. Keselamatan Anjani juga terancam!" kata Pandan lagi
"He...!" Rangga terkejut
Belum sempat Rangga berkata lagi. Pandan Wangi
sudah melesat cepat meninggalkan tempat itu. Rangga ingin mengejar, tapi segera
mengurungkan niatnya. Hanya pandangan matanya saja menatap bayangan tubuh
Pandan Wangi yang cepat menghilang di balik tikungan jalan.
"Heran.... Apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka?" gumam Rangga seorang
diri. "Hhh...! Satu persoalan belum selesai, muncul lagi persoalan baru!"
Rangga bergegas melangkah pergi menuju istana.
Langkah kakinya cepat, dan seketika melesat bagai kilat.
Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah
tidak tertihat lagi. Pada saat itu, sepasang mata memperhatikan dari tempat yang
tersembunyi. Pemilik sepasang mata itu keluar dari persembunyiannya. Ternyata dia seorang pemuda yang cukup tampan. Tubuhnya tegap
terbalut kulit kuning langsat.
Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum, dan
kepalanya terangguk-angguk. Kemudian kakinya terayun melangkah menuju ke arah
Pandan Wangi pergi. Siapa pemuda itu..."
*** Sementara itu, Rangga yang sudah kembali ke istana, langsung masuk ke dalam
bangsal keprajuritan tanpa mengganti pakaiannya dulu. Meskipun demikian, seluruh
prajurit dan pembesar istana sudah mengenalnya
Pendekar Rajawali Sakti itu duduk di sebuah kursi kayu jati berukir yang sangat
indah. Belum lama Rangga duduk, Mayang muncul memasuki
bangsal keprajuritan itu. Ruangan besar yang dihiasi berbagai macam senjata.
Tidak ada seorang pun prajurit di sana. Dan Rangga memang memerintahkan seluruh
prajurit untuk mengosongkan ruangan ini. Mayang
melangkah mendekati, dan tetap berdiri setelah sampai di depan Rangga.
"Duduk," Rangga mempersilakan.
Tanpa mengucap satu patah kata pun, Mayang duduk di kursi. Letaknya tidak jauh
di depan Rangga, namun agak menyamping. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu
meng-amati wajah gadis di depannya. Sedangkan Mayang
kelihatan tenang, meskipun sorot matanya memancarkan ketegangan.
"Kau tahu, kenapa aku memanggilmu ke sini?" tanya Rangga membuka percakapan.
"Ya." sahut Mayang singkat. "Tapi tidak ada gunanya, sebaiknya Kakang putuskan
saja sekarang."
"Tidak ada yang dapat kuputuskan sebelum
mengetahui persis persoalannya," kata Rangga dengan bijaksana.
"Kakang sudah tahu dari Pandan."
"Kau tahu siapa aku, Mayang?"
Mayang diam, pelahan kepalanya tertunduk. Pertanyaan Rangga barusan telah menyudutkannya. Dia tahu kalau Rangga tidak akan
pernah memutuskan sebuah perkara hanya dari satu pihak. Dan Mayang sadar kalau
tidak mungkin bungkam terus menerus. Bagaimanapun juga, diakui kalau dirinyalah
yang membuat perkara. Tapi dia tidak menyangka kalau Rangga datang pada saat
yang tidak diharapkan sama sekali, dan itu sudah terlanjur.
"Kau cemburu pada Pandan, Mayang?" tebak Rangga langsung.
Mayang tersentak seraya mengangkat kepalanya.
Sungguh diluar dugaan kalau Rangga menebak begitu tepat. Seketika itu juga
kegelisahan melanda dirinya.
Mayang tidak tahu lagi harus berbuat dan berkata apa.
Berpikir pun rasanya tidak mampu lagi saat ini. Seperti ada yang menggerakkan,
kepala Mayang terangguk tanpa disadarinya.
"Benar-benar mengecewakan...," desis Rangga seraya mendesah panjang. Sinar
matanya memancarkan ketidak percayaan.
Mayang hanya diam saja membisu. Entah apa yang ada di dalam benaknya saat ini.
Kepalanya tertunduk dalam, sedangkan Rangga terus memandanginya dengan kepala
menggeleng beberapa kali. Tidak pernah terbayangkan kalau Mayang sampai bersikap
begitu hanya karena merasa tersaingi.
Rangga merasa terkecoh terhadap sikap Mayang
selama ini. Perbuatan Mayang yang hanya karena ter-dorong rasa cemburu, membuat
hati Pendekar Rajawali Sakti itu merasa kecewa, marah, dan bermacam lagi
perasaan bergayut di hatinya.
"Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa padamu, Mayang. Tentukanlah sendiri sikap
dan jalan hidupmu,"
kata Rangga pelan.
"Kakang...!" Mayang tersentak kaget.
Kata-kata Rangga yang pelan bernada penuh
penyesalan itu mengandung arti yang sangat dalam.
Mayang mengangkat kepalanya, dan menatap langsung ke bola mata pemuda itu. Ingin
dicarinya kepastian dari sinar mata yang bersorot tajam, namun terlihat redup
dan mengandung bermacam-macam arti yang sulit dipahami.
Rangga bangkit berdiri, dan melangkah tanpa mengucapkan kata-kata lagi. Tapi
baru saja melangkah tiga tindak, seorang prajurit datang tergopoh-gopoh.
Prajurit itu segera berlutut dan memberi hormat. Rangga
memandanginya tidak berkedip. Keningnya sedikit berkerut.
"Ada apa?" tanya Rangga.
"Ampun, Gusti. Hamba hendak melaporkan," sahut prajurit itu.
"Cepat katakan!"
"Ada kerusuhan di luar perbatasan kota sebelah Timur, Gusti."
"Apa..."!"
Rangga kontan melompat cepat. Langsung bisa
dipahami maksud laporan prajurit itu. Hatinya mendadak diliputi kekhawatiran.
Sebelah Timur perbatasan kota adalah tempat tinggal Anjani, dan saat ini Pandan
Wangi berada di sana!
Secepat Rangga melesat keluar dari ruangan bangsal keprajuritan itu, Mayang pun
segera melangkah ke luar dengan cepat. Sedangkan prajurit yang membawa berita
itu hanya bisa bengong, tapi juga bergegas meninggalkan ruangan itu.
Rangga langsung melompat ke punggung kudanya.
Sementara itu Mayang juga sudah sampai di luar. Gadis itu segera melompat ke
punggung kudanya pula. Begitu Rangga menggebah kuda hitam yang bernama Dewa Bayu
itu, Mayang juga segera menggebah kudanya cepat
"Kakang, tunggu!" teriak Mayang keras.
Rangga menoleh, dan langsung menghentikan lari
kudanya yang baru saja melewati pintu gerbang benteng istana. Mayang
menghentikan lari kudanya tepat di samping kuda Pendekar Rajawali Sakti itu.
Sejenak Rangga menatap lurus pada gadis berbaju merah menyala itu.
"Aku ikut" kata Mayang.
"Untuk apa" Aku tidak ingin melihatmu tersenyum memandang sainganmu tercengkeram
maut!" dingin kata-kata Rangga.
"Kakang...!" agak tercekat suara Mayang.


Pendekar Rajawali Sakti 18 Darah Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak ingin melihatmu lagi, jika kau keluar dari istana!"
"Tapi..." Mayang ingin membantah.
"Ini perintah!" selak Rangga cepat.
Mayang menelan ludahnya dalam-dalam. Pada saat
gadis itu tidak bisa berkata kata lagi. Rangga segera menggebah cepat kuda hitam
itu. Kuda Dewa Bayu melesat cepat bagaikan kilat, meninggalkan Mayang yang
terpaku di atas punggung kudanya. Debu mengepul membumbung tinggi di udara,
mengiringi kepergian Pendekar Rajawali Sakti.
Mayang masih berdiri terpaku memandang debu yang mengepul semakin menjauh.
Matanya terasa panas, dan sedikit merembang berkaca-kaca. Gadis itu tetap
memandang ke arah perginya Pendekar Rajawali Sakti dengan Kuda Dewa Bayu.
"Huh! Ini semua gara-gara Pandan! Aku harus membunuh perempuan keparat itu!"
dengus Mayang geram.
Tanpa menghiraukan peringatan Rangga, Mayang
segera menggebah kudanya cepat. Namun baru beberapa depa kuda itu berpacu,
terlihat dari arah depan, dua orang laki-laki berwajah kasar dan bertubuh tinggi
tegap memacu cepat kudanya. Mayang mengenali mereka, dan segera menghentikan
kudanya. Dua orang laki-laki itu juga menghentikan kudanya tepat di depan Mayang
Telasih. "Celaka, Gusti Ayu...! Celaka...!" kata salah seorang yang berada di kiri,
"Apa maksudmu, Jalak?" tanya Mayang tidak sabar.
"Ada orang mengamuk di rumah Anjani. Sepuluh orang prajurit tewas, dan sepuluh
orang lagi tidak ketahuan nasibnya. Pandan Wangi tengah bertarung melawan orang
itu, Gusti Ayu," lapor Jalak
"Benar, Gusti Ayu. Orang itu sangat tangguh," sambung Bawuk.
"Pasti Purbaya...!" desis Mayang. "Ikut aku...!"
Mayang segera menggebah kudanya dengan cepat.
Dua orang laki-laki yang ternyata Jalak dan Bawuk, segera mengikuti dan
menggebah kudanya di belakang Mayang Telasih. Mereka sebenarnya bertiga, tapi
yang seorang telah tewas oleh Pandan ketika mencoba mengacau dan menewaskan
Anjani. Dan semua itu dijalankan atas perintah Mayang.
Tiga ekor kuda berpacu cepat menuju ke arah Timur.
Beberapa orang yang berada di sepanjang jalan, cepat menyingkir dan
membungkukkan tubuh begitu mengetahui siapa yang berkuda dengan cepat itu.
Bahkan dua orang pengawal gerbang perbatasan kota juga terbengong-bengong
melihat tiga ekor kuda itu berpacu cepat.
"Ada apa, ya...?" salah seorang pengawal pintu gerbang perbatasan bergumam
bertanya-tanya sendiri.
"Iya, ada apa ya..." Belum lama Gusti Prabu lewat seperti mengejar buronan, dan
sekarang Gusti Ayu Mayang," sambung satunya lagi.
"Sejak tawanan Gusti Prabu melarikan diri, semua orang jadi kelihatan aneh.
Selalu terburu-buru!"
"Ah, biarkan sajalah. Yang penting tugas kita menjaga gerbang ini!"
"Tapi juga tidak tenang jadinya."
"Jangan berpikir yang tidak tidak. Aku yakin Gusti Prabu mampu mengatasi
semuanya."
Kedua pengawal perbatasan gerbang kota itu tidak bicara lagi. Mereka percaya
akan kemampuan rajanya yang digdaya. Saat ini tidak ada orang yang mampu
menandingi kepandaiannya. Namun demikian, hati mereka was-was juga. Masalahnya
sudah banyak prajurit yang tewas! Belum lama ini, dua penjaga pintu gerbang
tewas tanpa diketahui sebab-sebabnya yang pasti. ***
8 Sementara itu di bagian Timur luar kota Kerajaan Karang Setra, Pandan Wangi
tengah bertarung melawan Purbaya, anak Tengkorak Putih yang tewas di tangan
Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Purbaya sempat
tertawan dan mendekam dalam tahanan Kerajaan Karang Setra.
Pertarungan kedua orang itu sudah mencapai tingkat yang tinggi Pandan Wangi
sendiri sudah mengeluarkan Pedang Naga Geni dan menggunakan jurus-jurus 'Naga
Sewu'. Dan gadis itu sempat terkejut melihat Purbaya telah menggenggam senjata
pusakanya kembali yang berbentuk tongkat pendek dengan ujungnya berbentuk kepala
tengkorak manusia. Sedangkan ujung satunya lagi berbentuk bulan sabit.
Tapi pada saat itu, Pandan Wangi tidak sempat lagi berpikir, dari mana Purbaya
memperoleh kembali senjata ampuhnya itu. Sebab serangan-serangan Purbaya tidak
bisa diangap remeh. Lebih-lebih senjata mautnya kini telah berada di tangan.
Sementara di sekitar pertempuran itu, beberapa prajurit berdiri mengepung. Sikap
mereka siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Tampak di depan pintu rumah
besar, Anjani berdiri lemas memandangi pertarungan itu. Air bening tidak hentihentinya mengucur dari matanya.
"Lepas!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggelegar.
"Akh...!" terdengar pekikan tertahan.
Terlihat Pandan Wangi terhuyung. Kipas di tangan kiri gadis itu terpental jauh
ke udara. Darah kental mengalir dari sudut bibirnya. Dan pada saat tubuhnya
masih limbung dengan tangan memegangi dada. Purbaya
melenting cepat sambil mengibaskan senjatanya Pandan Wangi terkesiap sesaat,
buru-buru diputar pedangnya dengan kekuatan terakhirnya.
Trang! "Akh!" kembali Pandan Wangi memekik tertahan.
Seluruh tangan kanannya tergetar hebat. Dan belum lagi sempat menyadari apa yang
terjadi, satu tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi menghantam dadanya.
Lagi-lagi gadis itu memekik keras, dan tubuhnya terjajar ke belakang beberapa
batang tombak. Belum sempat Pandan Wangi menguasai dirinya,
Purbaya sudah melompat cepat bagai kilat. Bahkan kini, ujung senjata berbentuk
bulan sabit terarah ke depan.
Pandan Wangi tidak mungkin lagi menangkis. Tangan kanannya yang memegang Pedang
Naga Geni terasa
lumpuh ketika mengadu tenaga dalam tadi. Dan begitu ujung senjata Purbaya sudah
demikian dekat. Pandan Wangi cepat menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Namun
demikian, dia tidak bisa menghindari senjata yang merobek bahunya.
"Akh!" lagi-Iagi Pandan Wangi memekik.
Darah kontan menyembur keluar dari bahu kiri yang sobek cukup lebar. Selagi
tubuh gadis itu masih berada di tanah, satu tendangan keras membuat tubuhnya
meng-gelimpang beberapa kali. Pandan Wangi segera melompat bangkit. Dan pada
saat itu, Purbaya kembali melompat sambil mengirimkan satu pukulan menggeledek
dibarengi satu tendangan keras.
Pandan Wangi benar-benar tidak berdaya lagi. Tubuhnya terpental deras dan
menghantam dmding rumah
hingga jebol. Secepat kilat Purbaya memburu masuk ke dalam rumah itu seraya
mengangkat senjatanya tinggi-tinggi. Pandan Wangi hanya bisa memejamkan mata
dengan tubuh menggeletak tak berdaya lagi.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak Purbaya keras.
"Aaa...!" Pandan Wangi menjerit keras.
Ujung senjata yang berbentuk bulan sabit itu amblas di dada Pandan Wangi. Darah
kembali muncrat begitu
Purbaya mencabut senjatanya. Pemuda yang hatinya dibalut dendam itu, mendupak
tubuh Pandan Wangi
sehingga terpental ke luar rumah itu.
Semua prajurit yang berada di sekitar rumah itu
ternganga melihat Pandan Wangi terlempar ke luar dengan tubuh berlumuran darah.
Gadis itu terguling beberapa kali, dan diam tidak bergerak gerak lagi. Purbaya
melesat keluar. Pandangan matanya tajam mengedar ke
sekelilingnya. Dan langsung tertumpu pada Anjani.
"Kau harus mampus, perempuan keparat!" geram Purbaya
Setelah berkata demikian, Purbaya langsung melompat cepat ke arah Anjani. Gadis
itu hanya bisa terperangah tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya lemas dan seluruh
tulang tulangnya seperti copot berantakan. Dan sebelum tongkat pendek dengan
ujung berbentuk bulan sabit dan kepala tengkorak itu menyentuh tubuh Anjani,
gadis itu sudah ambruk ke tanah.
"Huh! Belum apa-apa sudah pingsan! Bangsat...!"
geram Purbiya gusar.
Kakinya terayun dan mendupak keras tubuh Anjani.
Anjani yang memang langsung jatuh pingsan, tidak bisa lagi mengetahui apa yang
terjadi pada dirinya. Tubuhnya terguling beberapa kali, dan membentur sebuah
pohon dengan keras. Purbaya yang seluruh hatinya terbalut dendam, segera
melompat sambil mengangkat senjatanya tinggi-tinggi.
"Hiyaaa...!"
Tapi begitu ujung senjatanya hampir menyentuh tubuh Anjani, mendadak sebuah
bayangan putih berkelebat cepat memapaknya.
"Akh!" Purbaya memekik tertahan.
Seketika itu juga tubuhnya terpental ke belakang beberapa tombak jauhnya. Tapi
dengan cepat pemuda itu melenting dan berputar dua kali di udara dan manis
"Pendekar Rajawab Sakti!" kata Purbaya pongah.
Rangga diam saja. Disadari kalau serangan-serangannya tadi terlalu dilandasi
hawa amarah. Apalagi melihat tubuh Pandan Wangi yang telah kaku bersimbah darah.
Akibatnya serangan yang dilakukannya memang gampang ditebak lawan. Bahkan tadi,
belum apa-apa sudah
mengeluarkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Suatu kebiasaan yang jarang
dilakukan, jika tidak terpaksa sekali.
Jelas, ini tandanya emosi Rangga terlalu cepat memuncak.
Segera dimasukkan pedangnya itu ke dalam warangkanya.
Seketika sinar biru pun lenyap.
Kini Rangga mulai dengan rangkaian Jurus 'Rajawali Sakti'. Sedangkan Purbaya
tetap dengan senjatanya.
Pertarungan terjadi kembali. Serangan-serangan silih berganti dilakukan. Sampai
Rangga mengeluarkan
gabungan dari empat jurus 'Rajawali Sakti", musuhnya masih tetap a lot. Tapi
yang lebih penting, Rangga telah menggunakan pikirannya. Dan ini terbukti.
Memasuki jurus yang ke lima puluh, Purbaya mulai kelihatan terdesak.
Kesempatan ini dimanfaatkan Rangga untuk menggunakan pedangnya kembali, agar pertarungan cepat berakhir.
Seketika sinar biru kembali memancar dari Pedang Rajawali Sakti. Rangga
menerjang sambil mengelebatkan pedangnya ke leher Purbaya kembali. Buru-buru
Purbaya melompat mundur sambil menangkis serangan itu.
Trak! Purbaya terperanjat bukan main. Senjatanya kontan buntung terbabat pedang yang
memancarkan cahaya biru berkilau itu. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya,
mendadak satu tendangan keras bertenaga dalam
sempurna, menggedor dadanya. Seketika tubuh Purbaya terpental ke belakang.
Keras sekali tendangan Rangga, sehingga tubuh
Purbaya menghantam sebatang pohon hingga hancur
berantakan. Pemuda itu mengerang sambil berusaha bangkit. Tapi belum juga sempat
berdiri, secercah cahaya btru berkelebat bagai kilat. Tak ada kesempatan lagi
bagi Purbaya untuk menghindar. Dan....
"Aaa...!" Purbaya menjerit melengking tinggi.
Pedang Pusaka Rajawali Sakti memenggal buntung
leher Purbaya hanya sekali tebas saja. Kepala pemuda itu menggelinding ke tanah,
dan tubuhnya ambruk menggelepar-gelepar. Darah segar mengucur deras dari
lehernya yang buntung, membasahi tanah.
Rangga memandangi tubuh yang tanpa kepala lagi,
kemudian berbalik. Kakinya terayun menghampiri Pandan Wangi yang masih
menggeletak tidak bergerak-gerak lagi.
Rangga berlutut dan mengangkat tubuh gadis itu. Pada saat dia berdiri, Mayang
Telasih datang bersama dua orang anak buahnya. Mayang segera melompat turun dari
punggung kudanya. Rangga menatap tajam ke arah
Mayang. Tubuh Pandan Wangi ma sih berada dalam
pondongannya. "Kau puas sekarang, Mayang!" dingin suara Rangga.
"Kakang..," suara Mayang tercekat di tenggorokan.
"Seharusnya kau saja yang tewas, bukan Pandan!"
"Kakang, aku...." suara Mayang semakin tersendat.
"Apa lagi yang akan kau katakan" Kau menginginkan kematian Pandan, bukan" Nah!
Lihatlah ini, akibat kecerobohanmu! Sungguh keji hatimu, Mayang! Aku muak
melihatmu lagi!" keras suara Rangga.
Mayang tidak mampu membendung air matanya.
"Tidak ada gunanya air mata buayamu, perempuan ....!"
Rangga tidak meneruskan kata-katanya
"Makilah aku, Kakang. Makilah sepuasmu...!" rintih Mayang di sela isak
tangisnya. "Pergilah, Mayang!"
"Kakang...!"
"Pergi kataku!" bentak Rangga kasar.
Semakin deras air mata Mayang mengucur. Memang
belum pernah Rangga berkata sekasar itu sebelumnya.
Mayang agak bergetar juga mendengar bentakan kasar itu.
Langsung dia jatuh berlutut memeluk kaki Pendekar Rajawali Sakti. Rangga hanya
diam saja dengan
pandangan lurus ke depan.
"Maafkan aku, Kakang. Aku menyesal! Aku tidak bermaksud membunuh Pandan Wangi.
Aku hanya mencintaimu, Kakang. Maafkan aku...," rintih Mayang.
"Dengar, Mayang. Seharusnya kau dihukum gantung!
Kau telah membebaskan tawananku, membantu pelariannya. Kemudian kau mencoba
memisahkan aku dari
Pandan Wangi. Kau benar-benar iblis, Mayang! Pergilah sebelum keputusanku
berubah!" dingin nada suara Rangga.
"Aku..., aku tidak bermaksud begitu, Kakang. Aku mencintaimu. Aku tidak mau ada
gadis lain di sampingmu.
Bukan aku yang membebaskan Purbaya, Kakang.
Sungguh...! Aku tidak tahu...," rintih Mayang memelas.
Rangga menghentakkan kakinya sehingga pelukan
Mayang terlepas Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah mundur dua tindak.
Pandangannya tajam menusuk
langsung ke bola mata Mayang yang bersimbah air mata.
Pada saat itu terdengar derap langkah kaki kuda
mendekati. Kemudian muncul Danupaksi, Cempaka, Ki Lintuk, dan beberapa punggawa
Karang Setra. Mereka juga masih dikawal sekitar lima puluh orang prajurit.
Danupaksi, Cempaka, dan Ki Lintuk terkejut begitu melihat Pandan Wangi berada
dalam pondongan Rangga dengan tubuh berlumuran darah. Sedangkan di depan
Pendekar Rajawali Sakti itu Mayang berlutut dengan air mata berlinangan.
"Kanda...," Danupaksi segera menghampiri setelah melompat turun dari kudanya.
Cempaka juga bergegas menghampiri.
"Kanda, apa yang terjadi?" tanya Cempaka. "Tanya saja pada pengkhianat busuk
itu!" dengus Rangga sambil menatap tajam pada Mayang.
Cempaka dan Danupaksi menatap Mayang. Sedangkan
yang ditatap hanya menunduk saja, dan tetap berlutut sambil menangis
sesenggukan. Cempaka menghampiri gadis itu, dan membangunkannya.
"Ada apa, Kak Mayang?" tanya Cempaka lembut.
"Aku tidak berkhianat! Aku tidak membantu Purbaya melarikan diri. Sungguh....! Aku
memang ingin mencelakakan Pandan, tapi tidak bermaksud membunuhnya...." suara
Mayang tersendat-sendat.
"Kanda, kenapa menuduh Mayang berkhianat?"
Danupaksi meminta penjelasan.
"Kau lihat itu! Purbaya memegang senjatanya, dan telah membunuh Pandan! Semua
ini gara-gara perempuan keparat itu!" geram Rangga tidak bisa menahan emosinya
lagi. "Kak Mayang! Benar kau lakukan semua itu?"
"Tidak...!" rintih Mayang setengah menjerit.
"Kau urus dia! Aku muak melihatnya!"
Setelah berkata demikian, Rangga langsung melesat cepat bagaikan kilat. Dalam
sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
"Kakang..!" jerit Mayang histeris.
Danupaksi dan Cempaka saling berpandangan.
Sementara Ki Lintuk turun dan punggung kudanya,
kemudian melangkah menghampiri Mayang. Gadis itu sudah kembali jatuh berlutut
dan menangis sambil merintih mengatakan sesuatu yang tidak jelas. Ki Lintuk
membangunkan gadis itu dan mengajaknya pergi.
"Aku tidak bersalah..., aku tidak berkhianat! Sungguh, Eyang! Aku tidak membantu
Purbaya melarikan diri...,"
rintih Mayang di sela isak tangisnya.
"Aku percaya padamu, Mayang. Tenanglah! Aku dan semuanya akan menyelesaikannya
dengan baik dan adil,"


Pendekar Rajawali Sakti 18 Darah Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata Ki Lintuk lembut.
Ki Lintuk membantu Mayang naik ke punggung
kudanya. Kemudian dia sendiri segera melompat naik ke kudanya, lalu memandang
pada Danupaksi yang menganggukkan kepalanya sedikit. Ki Lintuk menjalankan
kudanya sambil menuntun kuda yang membawa Mayang.
Lima puluh prajurit yang datang bersamanya, segera mengikuti. Sementara Cempaka
memeriksa Anjani yang masih tergolek pingsan
"Bagaimana?" tanya Danupaksi pada Cempaka.
"Hanya pingsan," sahut Cempaka.
Danupaksi mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Sebentar Cempaka
memberi beberapa perintah kepada para prajurit yang masih tersisa, kemudian
bergegas masuk ke dalam rumah.
Para prajurit yang tersisa sekitar enam orang itu segera mengurus mayat temantemannya, dan mayat Purbaya.
Sementara itu, jauh di sebuah bukit yang masih
termasuk dalam wilayah Kerajaan Karang Setra, Rangga berdiri mematung memandangi
gundukan tanah merah yang masih baru. Gundukan tanah itu adalah makam Pandan
Wangi yang tewas di tangan Purbaya, putra tunggal Tengkorak Putih (Jika ingin
mengetahui kisah Purbaya dan Tengkorak Putih, silakan baca serial Pendekar
Rajawali Sakti dalam episode Perawan Rimba Tengkorak).
Rangga tidak tahu, sudah berapa lama berada di
tempat itu. Dia tidak mengenal lagi pergantian hari. Hatinya teramat sedih akan
kematian Pandan Wangi, gadis yang sangat dicintainya dan selalu bersama-samanya
dalam menumpas keangkara murkaan.
"Kanda...."
Rangga tersentak dari lamunannya, dan menoleh.
Tampak Cempaka tahu-tahu sudah berada di samping kanannya. Sama sekali Rangga
tidak mengetahui
kehadiran adik tirinya ini. Rangga kembali memalingkan mukanya, memandang pusara
di depannya. "Sudah tiga hari kau berada di sini." kata Cempaka pelan.
"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang.
Sungguh tidak disadarinya kalau sudah tiga hari berdiri di samping pusara Pandan
Wangi. Kematian Pandan Wangi membuatnya seperti kehilangan semangat hidup.
Pelahan Rangga memalingkan mukanya kembali pada Cempaka.
"Aku juga sedih, Kakang. Dan sangat kehilangan sekali.
Kak Pandan begitu baik dan.... Yaaah... aku tidak bisa melupakannya, meskipun
dia telah tiada," kata Cempaka.
Pelan suaranya.
"Terima kasih," hanya itu yang dapat diucapkan Rangga.
Rangga berbalik dan melangkah gontai. Cempaka
mengikutinya dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti
itu. Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi. Sebenarnya Cempaka ingin berbicara
banyak. Tapi, setelah melihat kesedihan yang begitu mendalam di wajah kakak
tirinya itu, rasanya tidak sampai hati untuk berkata.
Mereka terus melangkah pelan-pelan semakin jauh
meninggalkan pusara Pandan Wangi. Sampai jauh mereka berjalan belum ada yang
membuka suara sedikitpun.
Sementara Cempaka berpikir keras untuk memulai
membuka suara."Kakang...." terdengar ragu-ragu suara Cempaka.
Rangga menarik napas panjang dan menghentikan
langkahnya. Dia berbalik menghadap langsung pada Cempaka. Tatapan matanya
kosong, tanpa cahaya
semangat memancar di matanya. Dua kali Cempaka
menelan ludahnya, membasahi tenggorokannya yang
mendadak saja jadi kering.
"Ada yang ingin kukatakan padamu, Kakang. Tapi kalau kau tidak ingin bicara saat
ini, aku bisa menunggu," kata Cempaka pelan dan terdengar ragu-ragu.
"Katakan saja," sahut Rangga seraya menghampiri sebatang pohon tumbang, kemudian
duduk di situ. Cempaka juga ikut duduk di samping Pendekar
Rajawali Sakti itu. Kelihatannya dia tengah berpikir untuk mencari kata-kata
yang tepat. "Seluruh pembesar istana mengharapkan Kakang cepat kembali. Mereka menunggu
keputusanmu tentang..,"
Cempaka tidak melanjutkan kata-katanya.
"Teruskan, Cempaka," pinta Rangga tenang
"Tentang Mayang, Kakang," pelan suara Cempaka.
"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang.
"Maaf, Kakang Aku tidak bermaksud untuk...."
"Tidak apa," selak Rangga cepat sebelum Cempaka menyelesaikan kalimatnya.
Cempaka diam. Matanya menatap dalam pada wajah
kakak tirinya ini. Hatinya diliputi harapan dan kecemasan.
Agak lama juga Rangga terdiam dengan pandangan kosong ke depan, kemudian
berpaling menghadap Cempaka
seraya menghembuskan napas panjang.
"Apa saja yang telah kau dapatkan selama ini?" tanya Rangga.
"Maksud Kakang?" Cempaka balik bertanya.
"Semuanya! Selama aku berada di sini."
"Kalau tentang Kak Mayang, tidak ada bukti kesalahan-nya. Apalagi berkhianat
membantu Purbaya melarikan diri.
Tapi Kak Mayang mengakui kalau dia telah cemburu pada Kak Pandan dan Anjani. Dia
hanya berusaha menjauhkan mereka darimu, Kakang. Sedangkan tentang Anjani, dia
memutuskan untuk meninggalkan Karang Setra. Dan
sebenarnya yang membantu Purbaya melarikan diri adalah kepala pasukan pengawal
penjara. Dialah yang memberi Purbaya senjatanya, lalu berpura-pura membuat
keonaran dengan Purbaya. Kami semua tinggal menunggu
keputusan hukuman saja darimu, Kakang," jelas Cempaka.
"Hm..., kenapa dia melakukan itu..?" gumam Rangga
"Maksud Kakang, kepala pasukan pengawal penjara itu?"
"Ya" "Kakang ingat Tengkorak Putih?"
Rangga menatap tidak mengerti pada Cempaka.
"Kakang tahu, Tengkorak Putih bermaksud menghancurkan Karang Setra. Dan itu
sudah dipersiapkannya dengan matang. Kepala pasukan pengawal penjara itu
ternyata salah satu anak buahnya. Bahkan bukan itu saja! Banyak lagi orang
Tengkorak Putih yang sudah menyusup dan menjadi orang dalam istana. Tapi
semuanya sudah terungkap, Kakang. Kepala pasukan pengawal penjara itu sudah mengakui semuanya
dan memberitahu orang-orang yang terlibat dan berada di belakang Tengkorak
Putih," Cempaka menjelaskan dengan terang.
Rangga diam membisu. Dalam hatinya dia kagumi para pembesar istana yang cepat
tanggap dan bergerak cepat, sehingga bencana besar bisa terelakkan. Kemudian
Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit berdiri.
"Cempaka! Kuserahkan Karang Setra padamu dan Danupaksi. Berlakulah sebijaksana
mungkin dan seadil-adilnya. Kejayaan Karang Setra ada di pundak kalian berdua,"
kata Rangga pelan.
"Maksud Kakang?" Cempaka tidak mengerti, tapi dadanya mendadak saja bergemuruh.
"Darahku darah pendekar. Aku tidak bisa memimpin sebuah kerajaan besar seperti
Karang Setra. Sudah menjadi takdirku untuk berkelana menumpas keangkara-murkaan.
Aku bukan orang yang tepat untuk menjadi raja,"
kata Rangga mengeluarkan seluruh isi hatinya.
"Kakang...," suara Cempaka tercekat di tenggorokan.
"Kembaliah ke istana, Cempaka. Besok akan
kuserahkan seluruh tampuk kekuasaan padamu, dan juga pada Danupaksi," kata
Rangga mantap. "Tidak mungkin, Kakang. Aku ataupun Kakang
Danupaksi tidak berhak menerima anugerah itu. Hanya kau dan keturunanmu yang
berhak. Karang Setra membutuhkan seorang pemimpin sepertimu, Kakang,"
Cempaka benar-benar tidak mengerti jalan pikiran kakak tirinya ini.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian mengayunkan langkahnya tanpa berkata-kata
lagi. Cempaka bergegas mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping
Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia terus berusaha untuk membatalkan keputusan
Rangga, tapi Pendekar Rajawali Sakti itu hanya menjawabnya dengan senyum.
Hatinya sudah bulat, akan kembali ke dalam dunianya semula.
Dunia kependekaran. Darah pendekar di dalam tubuhnya begitu kuat mengalir.
Meskipun tetap menjadi raja, tidak mungkin menghilangkan darah dan watak
kependekaran-nya. "Kakang! Pikirkanlah dulu masak-masak," bujuk Cempaka.
"Tidak ada yang harus dipikirkan lagi." sahut Rangga tegas.
"Tapi..."
"Sudahlah! Aku percaya kau dan Danupaksi mampu membangun Karang Setra lebih baik
lagi dan pada sekarang. Hanya pesanku, jangan sia-siakan kepercayaan-ku ini."
Cempaka tidak bisa lagi membujuk. Keputusan yang diambil Pendekar Rajawab Sakti
itu sudah bulat, tidak mungkin lagi dihalangi. Cempaka hanya bisa menyayang-kan
keputusan yang tidak diduganya sama sekali itu.
"Baiklah, kalau itu sudah menjadi keputusanmu. Tapi Kakang harus membicarakannya
dengan seluruh pembesar Kerajaan Karang Setra," kata Cempaka menyerah.
"Itu sudah kusiapkan, Cempaka. Besok semuanya terlaksana."
"Lalu, bagaimana dengan Kak Mayang?" tanya Cempaka.
"Biarkan dia pergi sesuka hatinya! Karang Setra tidak membutuhkan orang
berpikiran picik!" sahut Rangga tegas.
Cempaka hanya mengangkat bahunya saja. Gadis itu tidak bicara lagi, dan terus
melangkah mengikuti ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti di sampingnya.
SELESAI Manusia Srigala 12 Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw Tangan Berbisa 4

Cari Blog Ini