Ceritasilat Novel Online

Dendam Rara Anting 1

Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting Bagian 1


DENDAM RARA ANTING Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Dendam Rara Anting
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Dua orang penunggang kuda berpacu cepat melintasi jalan berdebu di Kaki Bukit
Growong. Yang paling depan adalah seorang laki-laki separuh baya namun masih
terlihat gagah. Sebilah pedang yang tergantung di pinggang semakin menambah
kegagahannya. Sedangkan yang berkuda di belakang adalah seorang gadis berwajah
cukup cantik, mengenakan baju agak ketat berwarna merah muda.
"Cepat, Tarsih. Sebentar lagi malam!"
seru laki-laki setengah baya itu seraya mendera kudanya agar berpacu lebih cepat
lagi. Gadis yang berada di belakang menghentak-hentakkan tali kekang kudanya,
mengharapkan agar kuda coklat belang putih itu berlari lebih cepat. Derap kaki
kuda menciptakan kepulan debu yang menghalangi pandangan mata. Apalagi saat itu
hari sudah jauh senja. Hanya semburat rona merah jingga yang meredup di balik
cakrawala belahan barat.
Saat mereka memasuki tikungan jalan, tiba-tiba saja kuda yang ditunggangi gadis
bernama Mintarsih meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggitinggi. Gadis itu terkejut dan berusaha mengendalikan kudanya yang mendadak
liar. Tapi.... "Ayah...!" jerit Mintarsih keras.
Gadis itu tidak bisa lagi menguasai kendali. Tubuh yang ramping terbungkus baju
merah muda itu terpental jatuh ke tanah, tepat saat kuda itu ambruk.
Seketika laki-laki setengah baya yang berkuda di depan menghentikan laju
kudanya. "Tarsih...!"
Laki-laki setengah baya itu langsung melompat turun dari punggung kudanya.
Manis sekali gerakannya. Dan dengan ringan sekali, didaratkan kakinya di samping
Mintarsih yang terduduk di tanah.
Laki-laki separuh baya yang mengenakan baju putih itu membantu Mintarsih bangun.
"Ayah...," bergetar suara Mintarsih.
Gadis itu memeluk ayahnya erat-erat.
Wajahnya kelihatan pucat dan tubuhnya agak bergetar. Sementara laki-laki
setengah baya itu menepuk-nepuk punggung anaknya. Dipandangi kuda yang
tergeletak di tanah. Agak terbeliak matanya begitu melihat sebuah benda kecil
berwarna merah dan berbentuk segitiga tertanam pada leher kuda itu.
Buru-buru laki-laki setengah baya itu membawa anaknya menyingkir dari jalan.
Matanya tajam memandang sekitarnya. Dan tiba-tiba saja hatinya dikejutkan suara
ringkik kuda. Langsung pandangannya beralih pada kudanya yang meringkik keras
sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Mendadak saja kuda itu
jatuh menggelepar dan langsung tidak berkutik lagi. Pada lehernya terlihat
sebuah benda kecil berwarna merah berbentuk segitiga.
"Ayah...," bergetar suara Mintarsih.
Belum juga laki-laki setengah baya itu mampu bersuara, tiba-tiba terdengar
siulan nyaring bernada sumbang. Sebentar kemudian siulan itu berubah lembut
dengan irama merdu menyejukkan. Namun laki-laki setengah baya itu malah
tergetar, wajahnya nampak pucat pasi dan bola matanya berputar. Sedangkan
Mintarsih semakin erat memeluk ayahnya.
"Sayang sekali! Waktumu sudah habis, Jara Botang!" tiba-tiba terdengar suara
keras dan halus bersamaan dengan berhentinya siulan itu.
Belum lagi hilang suara itu, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat, dan
tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang wanita mengenakan baju merah
menyala. Wajahnya cantik sekali, bagai dewi kahyangan. Hanya saja wanita itu
tersenyum sinis. Sorot matanya pun sangat tajam menusuk, seakan ingin mengoyak
jantung dua orang yang berpe-lukan di depannya.
Perlahan-lahan laki-laki setengah baya yang dipanggil Jara Botang itu
melepaskan pelukan anaknya. Ditariknya gadis itu agar berlindung di belakang
punggungnya. Mintarsih bergegas berlindung di belakang punggung ayahnya.
Gadis itu seperti tidak sanggup membalas tatapan mata wanita berbaju merah di
depannya. "Sungguh sukar dipercaya, Jara Botang yang perkasa kini tidak ubahnya seperti
seekor tikus menjelang ajal," sinis terdengar nada suara wanita berbaju merah
itu. "Siapa kau" Kenapa selalu mengejarku?" sentak Jara Botang ketus.
"O... Rupanya kau masih bisa
membentak juga, ya..." Bagus! Aku memang tidak suka melihat laki-laki lembek!"
Cring! Jara Botang menarik pedangnya ke luar. Mata pedang yang tipis itu berkilatan
tertimpa cahaya matahari senja yang hampir tenggelam di ufuk barat.
Sedangkan wanita cantik berbaju merah itu hanya tersenyum dan berdiri tegak
bertolak pinggang. Sikapnya menantang.
"Majulah! Aku ingin tahu sampai di mana kehebatanmu, Jara Botang!" tantang
wanita itu ketus.
"Sebutkan namamu, sebelum pedangku ini memenggal lehermu!" bentak Jara Botang
sengit. "Hi hi hi...!" wanita itu hanya
mengikik saja. "Kau pasti yang membunuh kuda-kudaku, dan harus bayar mahal semua ini! Kau juga
pembunuh istri dan anak laki-lakiku!
Jangan mungkir lagi, perempuan laknat!"
bentak Jara Botang.
"Aku tidak menyangkal. Dan lagi mereka memang sepatutnya mampus!" jawab wanita
itu dingin. "Keparat! Kubunuh kau! Hiyaaa...!"
"Hait!"
Jara Botang tidak bisa lagi
mengendalikan kemarahannya. Tidak dipedulikan lagi siapa yang dihadapinya kala
mendengar pengakuan wanita berbaju merah itu. Sebuah pengakuan yang lugas tanpa
ada rasa penyesalan sedikit pun. Bagaikan seekor singa terluka, Jara Botang
menyerang wanita cantik berbaju merah itu dengan ganas. Pedangnya berkelebat
cepat mengarah pada bagian-bagian yang mema-tikan.
Namun rupanya wanita cantik ini memiliki kepandaian yang tinggi. Dengan mudah
setiap serangan yang datang berhasil dielakkan. Bibirnya tidak pernah lepas
mengulas senyum. Bahkan beberapa kali diberikannya serangan balasan yang tidak
terduga sama sekali, sehingga membuat Jara Botang kelabakan mengha-dapinya.
"Hhh! Ternyata hanya sebegini
kemampuanmu, Jara Botang!" dengus wanita itu seraya mengelakkan tusukan pedang
Jara Botang. Dan pada saat pedang Jara Botang lewat di bawah ketiak wanita itu, mendadak saja
dikepitkan lengannya.
Seketika pedang itu terjepit di bawah ketiaknya. Jara Botang terkejut, dan
berusaha melepaskannya. Namun jepitan itu sangat kuat. Meskipun sudah
mengerahkan kekuatan tenaga dalam, tetap saja tidak mau terlepas dari ketiak
wanita itu. "Hih!"
Tiba-tiba saja wanita itu mengayunkan kakinya, sehingga tepat menghantam keras
perut Jara Botang. Laki-laki setengah baya itu terpekik keras, dan tubuhnya
terlontar ke belakang. Pedangnya pun terlepas dari tangan. Wanita itu mengambil
pedang lawannya lalu ditimang-timangnya seperti mempermainkan sebatang ranting.
Dan.... "Nih, kukembalikan! Hih...!"
Wut! Jara Botang terperangah begitu wanita berbaju merah itu melemparkan pedangnya.
Senjata itu meluncur deras bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya.
Buru-buru Jara Botang menggulirkan tubuhnya ke samping, sehingga pedang itu
menancap dalam di samping tubuhnya.
*** Belum lagi Jara Botang bisa berdiri, wanita berbaju merah menyala itu sudah
melompat hendak menerkamnya. Buru-buru Jara Botang menggulirkan tubuhnya
bergelimpangan beberapa kali ke samping.
Tapi wanita itu terus mencecar dengan menjejakkan kakinya yang halus dan indah
itu. "Hap!"
Pada injakan yang entah ke berapa kali, Jara Botang jadi nekad.
Ditangkapnya kaki wanita itu di depan dada. Dan dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya, dihentakkannya kuat-kuat.
"Hiyaaa...!"
Wanita itu terpental ke udara dan berputaran beberapa kali. Buru-buru Jara
Botang melompat bangkit berdiri. Tapi belum juga mampu berdiri tegak, mendadak
saja wanita berbaju merah itu mengayunkan satu tendangan menggeledek selagi
masih berada di udara.
Des! "Akh!" Jara Botang memekik keras tertahan.
Tendangan keras bertenaga dalam tinggi itu tepat mendarat di dada Jara Botang.
Laki-laki setengah baya itu
kembali terjungkal ke tanah. Dan wanita berbaju merah itu tidak lagi membiarkan
Jara Botang bangkit berdiri. Dengan cepat tubuhnya meluruk dan langsung
menjejakkan kakinya di dada laki-laki separuh baya itu. Dan ditekannya dada itu
dengan kuat sekali.
Trek! "Aaakh...!"
"Mampus kau, Jara Botang!" desis wanita itu menggeram.
Jara Botang menggeliat-geliat
berusaha melepaskan pijakan kaki wanita cantik berbaju merah ini. Tapi pijakan
itu semakin kuat dan menyesakkan dadanya.
Dirasakan beberapa tulang dadanya patah.
Dia menoleh pada putrinya yang berdiri dengan wajah pucat dan tubuh gemetar.
Cukup jauh juga jaraknya dari tempat itu.
"Tarsih! Cepat lari...!" teriak Jara Botang keras. "Aaakh...!"
"Keparat...!" desis wanita itu
menggeram. Wanita itu berpaling pada Mintarsih yang tampak kebingungan, kemudian kembali
menatap Jara Botang yang masih berusaha menahan pijakannya. Dicengkeramnya kuatkuat kaki wanita itu. Dia berusaha menahan agar tidak cepat mati dengan dada
remuk. "Tarsih, cepat lari...!" teriak Jara Botang.
"Ayah...," desis Mintarsih ragu-ragu.
Tapi begitu melihat tatapan mata wanita itu nyalang memerah, Mintarsih jadi
bergidik dan seketika itu juga berlari cepat. Terpaksa ayahnya ditinggalkan,
walaupun laki-laki itu sedang berusaha menahan pijakan wanita berbaju merah itu
dengan cengkeramannya yang makin kuat.
"Keparat...! Hih!"
Wanita berbaju merah itu jadi marah bukan main. Apalagi setelah melihat
Mintarsih sudah pergi. Ditekannya kuat-kuat kakinya dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi.
"Hih!"
Krek! "Aaa...!" Jara Botang menjerit keras melengking tinggi.
Jari-jari tangan Jara Botang semakin mencengkeram kuat hingga melukai kulit kaki
yang putih halus itu. Meskipun dadanya remuk, tapi Jara Botang masih berusaha
bertahan. Sementara darah mengucur deras dari mulutnya.
"Setan keparat...! Mampus kau, hih!"
geram wanita cantik itu.
Seketika itu juga dihantamkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke
kepala Jara Botang.
"Aaa...!" lagi-lagi Jara Botang
menjerit melengking.
Ternyata itu merupakan jeritan
terakhir yang keluar dari mulut laki-laki setengah baya itu. Kepalanya telah
hancur terkena pukulan bertenaga dalam tinggi.
Seketika itu juga Jara Botang tewas dengan darah berhamburan dari kepala yang
pecah. "Huh!" wanita cantik berbaju merah itu mendengus.
Sebentar dipandangi mayat Jara
Botang, kemudian beralih ke arah kepergian Mintarsih. Wanita itu memang sempat
melihat Mintarsih pergi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia bergegas berlari
cepat mengejar Mintarsih yang sudah tidak terlihat lagi bayangannya.
Sungguh luar biasa ilmu meringankan tubuh yang dimiliki wanita itu. Dalam waktu
sekejap saja sudah tidak terlihat lagi bayangannya.
*** Sementara itu di tempat yang cukup jauh, tampak Mintarsih terus berlari kencang
disertai nafasnya yang tersengal-sengal. Gadis itu sempat berhenti kaku saat
mendengar jeritan panjang melengking tinggi dari arah belakang. Mulutnya
mendesis menyebut nama ayahnya, tapi kemudian gadis itu berlari kencang lagi
dan sekuat tenaga. Sementara senja terus merayap semakin turun. Suasana hampir
gelap. Hanya sedikit cahaya merah terlihat di ufuk barat.
Mintarsih terus berlari kencang.
Berapa kali gadis itu terjatuh karena terantuk akar yang menyembul dari dalam
tanah. Tapi cepat bangun, dan kembali berlari kencang. Tidak dipedulikan lagi
arah mana yang harus ditempuh. Hanya satu yang ada di dalam kepalanya, berlari
terus, dan menyelamatkan diri selagi masih bisa bernapas. Kata-kata itu selalu
terngiang, dan sering diucapkan ayahnya setiap kali habis memberikan latihan
ilmu olah kanuragan. Mintarsih memang bukan seorang gadis yang cepat menangkap
ilmu olah kanuragan. Jadi wajar saja kalau hanya memiliki sedikit kepandaian.
Terlebih lagi dirinya memang tidak menyukai ilmu-ilmu seperti itu dan malas
mempelajarinya.
Dan sekarang baru dirasakannya.
Mintarsih memang benar-benar menyesal karena tidak pernah bersungguh-sungguh
mempelajari ilmu olah kanuragan. Hanya saja rasanya tidak ada gunanya lagi
menyesal. Yang ada hanyalah menyelamatkan diri, dan masih bisa hidup esok hari.
Namun mendadak saja napas gadis itu serasa berhenti dan jantungnya serasa tak
berdetak. Kedua matanya membeliak lebar.
Seketika itu juga larinya berhenti dengan tubuh bergemetaran.
"Kau..."!" tercekat suara Mintarsih di tenggorokan.
"Ya, kaget...?" lembut sekali suara jawaban itu.
Entah bagaimana, tahu-tahu wanita cantik berbaju merah sudah menghadang jalan
Mintarsih sambil duduk tenang di bawah sebatang pohon yang cukup besar dan lebat
daunnya. Mintarsih melangkah mundur. Wajahnya langsung pucat pasi bagai tak
pernah teraliri darah.
"Jangan takut, Adik Manis. Aku tidak akan menyakitimu. Asalkan...," wanita
berbaju merah itu tidak melanjutkan kalimatnya, tapi malah tersenyum-senyum
memandangi Mintarsih yang pucat pasi ketakutan.
"Apa yang kau inginkan" Biarkan aku hidup," kata Mintarsih dengan suara
bergetar. "Bagus! Rupanya kau cukup tanggap juga, Adik Manis," senyum di bibir wanita
berbaju merah itu semakin melebar.
"Katakan, apa yang kau inginkan dariku"!"
"Tidak banyak. Aku hanya ingin
mengetahui letak Padepokan Arum," tenang sekali suara wanita itu.
"Oh...!" Mintarsih tersedak. Semakin pucat wajahnya mendengar permintaan
wanita cantik ini.
"Bagaimana, Adik Manis?"
Mintarsih tidak menjawab, dan agaknya dia sedang berpikir keras mengenai tawaran
wanita cantik ini. Padahal ayahnya berpesan agar tidak memberitahukan letak
Padepokan Arum pada siapa pun. Terlebih lagi pada orang asing yang tidak dikenal
sama sekali. "Apa yang kau pikirkan, Adik Manis"


Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berpikirlah tentang keselamatanmu sendiri. Mudah sekali aku membunuh, semudah
membalikkan telapak tangan,"
ancam wanita berbaju merah itu lagi.
"Apa.... Apa tidak ada yang lain?"
Mintarsih mencoba menawar.
"Sayang sekali. Aku hanya ingin mengetahui letak Padepokan Arum," tegas wanita
itu ringan. "Untuk apa kau ingin tahu Padepokan Arum?" tanya Mintarsih ingin tahu.
Gadis itu sebenarnya memang tidak mengerti kenapa ayahnya berpesan begitu.
Mintarsih memang tahu letak Padepokan Arum. Namun mengingat pesan ayahnya,
Mintarsih jadi berpikir juga. Terlebih lagi wanita ini telah membunuh ibu, kakak
laki-lakinya, dari barusan saja membunuh ayahnya. Mintarsih kian menduga kalau
wanita ini tentu punya maksud buruk pada Padepokan Arum. Hanya saja tidak
diketahui apa maksudnya.
"Ah! Kau membuatku tidak sabar, Adik Manis," desah wanita berbaju merah itu.
"Baiklah, akan kukatakan. Tapi kau harus berjanji dulu," pinta Mintarsih setelah
berpikir. "Baik. Aku harus berjanji apa?"
"Kau tidak akan membunuh dan
mengejar-ngejarku lagi."
"Ha ha ha...! Sudah kuduga. Kau adalah seorang gadis yang selalu mementingkan
diri sendiri. Baik, kuterima tawaranmu."
"Janji...?"
"Aku janji, dan tidak akan
mengingkari."
"Dengar. Letak Padepokan Arum ada di sebelah barat Gunung Ratak," jelas
Mintarsih dengan mimik wajah dibuat serius.
"Hm... Kau tidak mendustaiku, Adik Manis?" wanita berbaju merah itu curiga.
"Untuk apa" Toh aku tidak tahu
maksudmu. Dan aku juga tidak tahu, mengapa ayahku melarang memberitahukannya
pada orang lain. Lagi pula aku tidak tahu dan tidak pernah ke sana."
"Jadi, dari mana kau tahu letak padepokan itu?"
"Ayah sering cerita. Dan katanya aku akan dikirim ke sana kalau sudah cukup ilmu
olah kanuragan yang kumiliki. Tapi aku tidak peduli, karena tidak suka
belajar begitu."
"Baiklah. Untuk sementara aku percaya padamu. Tapi kalau kau berdusta, jangan
harap punya kesempatan hidup lagi," ancam wanita itu.
Agak bergidik juga Mintarsih mendengar ancaman itu. Tapi dia malah tersenyum,
meskipun terasa hambar. Wanita berbaju merah itu bangkit berdiri, lalu berjalan
menghampiri Mintarsih.
"Ke mana tujuanmu?" tanya wanita itu, agak lembut nada suaranya.
"Aku tidak tahu. Mungkin ke rumah paman," sahut Mintarsih asal saja.
"Aku memang tidak perlu tahu ke mana tujuanmu. Tapi kalau kau berdusta.... Di
mana pun berada, kau pasti bisa kutemukan. Aku sudah tahu semua sanak keluarga
dan kerabat dekat ayahmu. Dan kau akan melihat mereka semua jadi mayat sebelum
kau sendiri kukirim ke neraka!
Ingat itu baik-baik, Adik Manis," kata wanita berbaju merah itu kembali
mengancam. Mintarsih diam saja dan hanya menarik napas panjang
setelah wanita berbaju
merah itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Sementara malam sudah jatuh. Sekitar Bukit Growong terselimut gelap. Jerit
binatang malam mulai terdengar. Mintarsih terus berjalan cepat, terkadang
berlari kecil melintasi jalan berdebu dan berkerikil tajam. Tidak dipedulikannya lagi
kerikil-kerikil tajam yang menusuk kakinya. Gadis itu terus berjalan cepat tanpa
menoleh ke belakang. Sungguh, dia tidak ingin bertemu wanita berbaju merah itu
lagi yang telah membunuh habis keluarganya.
*** 2 Pagi baru saja datang menjelang.
Matahari memancarkan sinarnya lembut dari balik Bukit Growong. Kabut masih
terlihat menyelimuti seluruh bukit itu, meskipun sudah agak memudar. Hangatnya
sinar matahari pagi membangunkan Mintarsih dari tidurnya.
Gadis itu menggeliat dan
menggosok-gosok matanya, namun mendadak saja terbeliak kaget.
"Oh...!"
"He he he...."
Bukan main terkejutnya Mintarsih, karena di depannya kini sudah berdiri tiga
orang laki-laki bertubuh tinggi kekar berwajah kasar penuh brewok. Gagang golok
dari tanduk kerbau menyembul di pinggang. Mereka tertawa-tawa sambil
menyeringai. Sinar mata mereka begitu liar menjilati wajah dan seluruh tubuh
Mintarsih. "Siapa kalian...?" tanya Mintarsih dengan tubuh agak bergidik.
"He he he.... Nasib kita memang lagi mujur, Kakang. Cantik sekali kelinci ini,"
kata salah seorang sambil terkekeh.
Dijilati bibirnya sendiri yang tebal hampir tertutup kumis.
Mendengar kata-kata itu Mintarsih semakin bergidik ketakutan. Nalurinya langsung
mengatakan kalau ketiga laki-laki ini tentunya tidak bermaksud baik.
Gadis itu buru-buru bangkit berdiri dan melangkah mundur. Namun langkahnya
tertahan oleh sebuah pohon yang cukup besar. Wajahnya semakin pucat karena
ketiga laki-laki itu sudah bergerak mendekati disertai pandangan mata liar dan
tawa terkekeh. "Mau apa kalian...?" bentak
Mintarsih. "Pergi! Jangan dekati aku...!"
Tapi ketiga laki-laki itu seperti tak mendengar bentakan itu. Mereka hanya
terkekeh dan terus melangkah maju.
Mintarsih menggeser kakinya ke samping.
Namun belum juga sempat berbuat sesuatu, mendadak saja salah seorang laki-laki
yang berada di tengah melompat menerkamnya.
"Oh...!" Mintarsih terkejut bukan main.
Tanpa disadari, gadis itu menggerakkan tangannya dan tepat menghantam dada laki-laki yang hendak menerkam
bagai serigala lapar melihat domba gemuk.
Des! "Ughk!" laki-laki itu mengeluh
pendek. Pukulan Mintarsih rupanya cukup keras juga, sehingga membuat laki-laki brewok
itu terpental balik ke belakang. Dua temannya hanya terpana, tidak percaya
melihat temannya terjengkang dan tergeletak di tanah. Sedangkan Mintarsih
sendiri hampir tidak percaya kalau mampu memukul begitu keras, dan hasilnya
lumayan juga. Tapi kejadian itu hanya sebentar saja. Ternyata orang yang terjungkal itu sudah
bangkit kembali
dan langsung menggeram marah. Sambil memaki, dia kembali melompat hendak menerkam Mintarsih.
Namun gadis itu cepat menggeser kakinya sambil memiringkan tubuh ke kanan.
Terkaman laki-laki brewok itu luput dari sasaran, dan hanya memeluk pohon yang
berada di belakang Mintarsih.
"Setan alas...!" rutuknya sengit.
Kedua temannya bergegas berlompatan menyerang Mintarsih. Tapi kali ini Mintarsih
tidak akan menyerah begitu saja. Bagaimanapun juga, gadis itu pernah mempelajari
jurus-jurus ilmu olah kanuragan dari ayahnya. Dengan kepandaian
yang sedikit, ditambah lagi perasaan takut yang amat sangat, Mintarsih berusaha
melawan sebisa-bisanya.
Menyadari kalau gadis cantik ini memiliki kepandaian juga, ketiga laki-laki itu
menjadi gusar bukan main.
Apalagi sampai saat ini gadis itu belum juga berhasil diringkus. Mereka
menggeram bagai binatang buas terkecoh oleh seekor domba cantik yang lemah.
Sret! Hampir bersamaan mereka mencabut golok. Mintarsih terkesiap, karena tidak
memiliki senjata apa pun untuk
menandinginya. Ada sedikit penyesalan, karena menolak anjuran ayahnya agar
dirinya membawa senjata. Gadis itu menggeser kakinya ke belakang beberapa
tindak, kemudian dengan cepat berbalik dan berlari sekencang-kencangnya.
"Kejar...! Jangan biarkan lolos!"
seru salah seorang.
Ketiga laki-laki brewok itu langsung berlari cepat mengejar. Mintarsih terus
berlari sekuat tenaga menerobos lebatnya hutan di kaki Bukit Growong ini. Kejarkejaran pun terjadi. Memang agak sukar berlari di dalam hutan yang lebat ini.
Tapi Mintarsih tidak peduli, dan terus berlari sekuat tenaga. Dia tahu kalau di
depan sana ada jalan yang menghubungkan hutan ini dengan sebuah desa. Dan
biasanya jalan itu ramai dilalui orang.
"Tolong...!" teriak Mintarsih
kencang. Tapi di dalam hutan yang sunyi ini, mana ada yang mendengar teriakannya"
Suara gadis itu bagaikan tenggelam termakan pepohonan. Mintarsih terus berlari
dan kadang-kadang tersuruk jatuh terganjal akar pohon yang menyembul keluar dari
dalam tanah. Jalan setapak di depan sudah terlihat. Dan hutan ini semakin
terbuka. Mintarsih semakin mempercepat larinya.
"Tolooong...!" teriak Mintarsih begitu tiba di jalan setapak yang berdebu itu.
Ketika menoleh ke belakang, ternyata ketiga laki-laki bersenjata golok itu masih
terus mengejar. Mintarsih terus berlari melintasi jalan setapak berdebu ini.
Hatinya agak heran dan khawatir juga, karena jalan ini sangat sepi. Tak terlihat
seorang pun yang melintasinya.
Dengan perasaan cemas yang amat sangat, Mintarsih semakin kuat berlari. Tidak
dipedulikannya lagi nafasnya yang sudah tersengal dan dada yang terasa akan
pecah kehabisan udara.
"Tolooong...!" teriak Mintarsih lagi ketika melihat seseorang tengah duduk
mencangkung di atas batu, di pinggir jalan di depannya.
Mintarsih langsung memburu, akhirnya dia jatuh tersuruk di depan seorang pemuda
berwajah tampan dan berkulit kuning langsat. Pemuda itu terkejut, hingga
melompat berdiri. Dia mengenakan baju putih tanpa lengan, sedangkan bagian
dadanya dibiarkan terbuka lebar.
Mintarsih merayap berusaha mendekati pemuda itu.
"Tolong aku, Kisanak. Tolooong...,"
rintih Mintarsih penuh harap.
Pemuda itu bergegas menghampiri lalu membantu Mintarsih berdiri. Sedangkan gadis
itu buru-buru berlindung di belakang pemuda itu. Tubuh Mintarsih benar-benar
gemetar dan wajahnya pucat.
Nafasnya tersengal memburu. Keringat mengucur deras membasahi seluruh wajah dan
tubuhnya. "Ada apa?" tanya pemuda itu lembut.
"Tolong aku, Kisanak. Mereka hendak berbuat jahat padaku," sahut Mintarsih,
masih dengan suara tersendat dan napas tersengal.
Pemuda itu menatap ke depan. Pada saat itu ke tiga laki-laki yang mengejar
Mintarsih sudah dekat. Mereka mendengus-dengus dan memaki-maki dengan kata-kata
kotor yang tidak pantas didengar telinga.
Pemuda itu menarik tangan Mintarsih dan membawanya ke tepi jalan. Sementara
ketiga laki-laki bersenjata golok
terhunus itu sudah menyebar, mengepung dari tiga jurusan.
"He, bocah! Minggir kau...! Jangan ikut campur urusanku!" bentak salah seorang
yang mengenakan baju hitam, dan bercelana sebatas lutut.
"Hm..., mengapa kalian mengejar gadis ini?" tanya pemuda itu tenang.
"Bukan urusanmu! Dia istriku!" bentak orang itu sengit.
"Bohong! Aku tidak kenal mereka!"
sentak Mintarsih sambil menuding.
"Paman, dunia ini sudah pengap.
Janganlah Paman bertiga menambah kotor lagi," ujar pemuda itu lembut.
"Phuih! Aku tidak perlu nasehatmu, bocah! Cepat menyingkir, atau ingin merasakan
tajamnya golokku ini!"
"Ah! Kau terlalu kasar sekali, Paman.
Hendak kau apakan gadis ini?"
"Tutup mulutmu, monyet!" bentak orang yang berada di samping kanan.
Pemuda itu melirik sedikit. Agak memerah juga wajahnya mendapat perlakuan kasar
seperti itu. Tapi segera ditariknya napas dalam-dalam, mencoba untuk tetap
bersabar. Dia tahu manusia macam apa ketiga laki-laki tinggi tegap ini.
Sementara ketiga laki-laki itu saling memberi isyarat, kemudian bergerak
perlahan sambil melintangkan golok di depan dada.
"Menjauhlah, Nisanak. Tampaknya mereka membutuhkan sedikit pelajaran,"
kata pemuda itu lembut.
Tanpa diminta dua kali Mintarsih segera menyingkir mencari tempat yang aman.
Sedangkan ketiga laki-laki itu sudah semakin mendekati pemuda berbaju putih
tanpa lengan itu. Dan mendadak....
"Hiya!"
"Yeaaah...!"
Ketiga laki-laki brewok itu
berlompatan sambil mengibaskan cepat goloknya ke arah pemuda berbaju rompi putih
itu. Namun sungguh tidak terduga, hanya dengan menggerakkan tubuh sedikit dan
mengkelebatkan cepat tangannya, tahu-tahu terdengar pekikan-pekikan keras
disusul terpentalnya tiga laki-laki itu ke belakang.
Mereka bergegas berdiri dan terkejut bukan main. Entah bagaimana caranya, tahutahu golok mereka sudah terampas pemuda itu. Seketika wajah mereka semua memucat
dan saling berpandangan.
"Aku harap Paman bertiga segera angkat kaki dari sini," ujar pemuda itu dingin.
Trek! Hanya sekali pukul saja, tiga batang golok itu patah jadi dua bagian! Pemuda itu
melemparkannya ke depan kaki tiga orang laki-laki yang hanya terpana dan
mulut ternganga lebar.
"Pergilah, sebelum aku berubah
pikiran!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga orang itu bergegas lari sekencangkencangnya. Pemuda berbaju rompi putih itu menggeleng-gelengkan kepala. Sebentar
kemudian diputar tubuhnya dan dihampiri-nya Mintarsih yang berdiri di bawah
pohon beringin besar. Gadis itu memandangi wajah tampan yang kini tersenyum
lembut menawan. Entah kenapa, mendadak saja Mintarsih merasakan jantungnya jadi
berdetak kencang tak terkendali. Perasaannya benar-benar jadi gugup. Buru-buru
dialihkan pandangannya ke arah lain, tepat pada saat pemuda itu sampai di
depannya. "Terima kasih, kau telah
menyelamatkan diriku," ucap Mintarsih dengan kepala tertunduk.
"Sebaiknya Nisanak cepat pulang,"
ujar pemuda itu lembut.
Mintarsih tidak menyahut dan hanya tertunduk saja. Hatinya bingung, karena tidak
tahu harus pergi ke mana saat ini.
Gadis itu meninggalkan rumah bersama ayahnya memang hendak menuju ke suatu
tempat. Tapi dia tidak tahu, di mana arah tujuannya. Yang diketahuinya tempat
itu bernama Padepokan Arum.
"Ada apa, Nisanak?" tanya pemuda itu
lembut. "Ah, tidak. Sebaiknya aku memang cepat-cepat pergi," sergah Mintarsih buru-buru.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, gadis itu bergegas pergi meninggalkan pemuda
berbaju rompi putih itu. Mintarsih berjalan cepat dan terlihat tergesa-gesa
sekali. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu memandangi tanpa berkedip.
Kemudian dilangkahkan juga kakinya ke arah yang sama dengan Mintarsih.
*** Hari hampir senja. Terik sinar
matahari tidak lagi terasa. Mintarsih berjalan perlahan-lahan melintasi jalan
tanah berdebu. Sebuah perkampungan sudah terlihat tidak berapa jauh lagi di
depan. Gadis itu tampak kelelahan karena seharian penuh menempuh perjalanan tanpa
tujuan pasti. Dia berhenti sebentar dan memandang perkampungan itu. Kemudian
kembali dilanjutkan perjalanannya, walaupun dengan langkah tertatih-tatih.
"Oh...!" tiba-tiba Mintarsih
tersentak kaget.
Tiba-tiba saja dari balik sebuah pohon di depannya muncul seorang laki-laki
berwajah kasar dan penuh ditumbuhi brewok. Belum juga lenyap
keterkejutannya, dari samping kanan dan kirinya muncul lagi dua orang laki-laki
yang tidak kalah seram wajahnya.


Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mintarsih langsung berhenti berjalan dan seketika tubuhnya bergetar. Ketiga
laki-laki inilah yang pernah mencegat dan mengejarnya.
"He he he.... Kita ketemu lagi, Manis. Tapi kali ini tak ada lagi yang bisa
menolongmu," ujar laki-laki yang berada di depan sambil melangkah mendekati.
"Oh! Apa yang akan kalian perbuat,"
bentak Mintarsih, bergetar suaranya.
"He he he.... Hanya tubuhmu, Manis."
Dua laki-laki yang lain langsung tertawa terbahak-bahak. Pucat pasi wajah
Mintarsih seketika itu juga. Ditelan ludahnya beberapa kali. Gadis itu bisa
memahami kata-kata laki-laki berwajah kasar itu. Sedangkan mereka semakin dekat,
disertai sinar mata liar menjilati seluruh tubuh ramping menggiurkan.
Mintarsih bergidik ngeri.
"Aku mohon, biarkan aku pergi...,"
rengek Mintarsih menghiba.
"Ha ha ha...!" ketiga laki-laki itu hanya tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba saja salah seorang yang di sebelah kiri melompat. Tangannya terkembang
hendak menerkam. Mintarsih terkesiap kaget dan buru-buru berbalik
hendak berlari. Namun sebelum niatnya terlaksana, laki-laki lain yang berada di
depan sudah lebih dulu melompat melewati kepalanya. Dan pada saat itu, sepasang
tangan kasar berhasil memeluk pinggang Mintarsih.
"Auw...! Lepaskan...!" jerit
Mintarsih. Gadis itu memberontak. Tapi pelukan laki-laki itu demikian kuat. Dengan sekuat
tenaga Mintarsih berusaha memberontak melepaskan diri. Namun akibatnya malah
semakin parah. Dia terjatuh bersama orang yang memeluk pinggangnya. Dua orang
lainnya tertawa terbahak-bahak. Mintarsih menjerit-jerit sambil terus meronta
mencoba melepaskan diri dari himpitan tubuh besar, kekar, dan kasar itu.
Meskipun sudah berusaha sekuat
tenaga, namun tenaga Mintarsih memang tak ada artinya dibandingkan laki-laki
itu. Terlebih lagi, kini dua orang lainnya sudah memegangi tangannya hingga
terlentang ke samping melekat dengan tanah berdebu. Mintarsih semakin ketakutan
dan terus menjerit minta tolong.
Bret! Tiba-tiba salah seorang menjambret bagian atas baju gadis itu hingga terkoyak
lebar. "Auh...!" Mintarsih terpekik.
Tiga pasang mata liar kontan merayapi bagian dada yang terbuka lebar. Begitu
indah dan putih mulus tanpa cacat sedikit pun. Mintarsih memejamkan mata saat
sebuah tangan kekar menjulur hendak menjamah dadanya yang terbuka lebar. Air
matanya mulai mengalir. Digigit-gigit bibirnya sendiri begitu merasakan buah
dadanya diremas-remas.
"Tidak..., jangan...," rintih
Mintarsih lirih.
Lemas seluruh tubuh gadis itu saat tangan-tangan kasar kembali merenggut baju
dan kain yang dikenakan. Mintarsih tak mampu lagi membuka mata, apalagi meronta.
Dirinya seakan-akan pasrah terhadap apa yang akan terjadi nanti.
Gadis itu hanya bisa merintih, menghiba, dan menangis. Namun ketiga laki-laki
itu tidak peduli. Rintihan Mintarsih bagaikan nyanyian merdu yang membangkitkan
gairah. Des! Bug! Dughk...!
Tiba-tiba saja terdengar benda-benda keras berbenturan. Dan entah bagaimana,
tahu-tahu Mintarsih merasa tubuhnya ringan, dan tak ada lagi tangan-tangan kasar
mencengkeramnya. Perlahan gadis itu membuka mata, dan menjadi terbeliak begitu
melihat tiga laki-laki yang hendak memperkosanya bergelimpangan sambil mengaduh
dan merintih kesakitan. Buruburu Mintarsih meraih pakaiannya yang sudah koyak tercabik, dan bergegas
mengenakannya kembali. Tubuhnya dengan cepat beringsut menyingkir. Kini matanya
menatap seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju rompi putih yang berdiri
tegak, sambil menatap tajam tiga orang laki-laki bertubuh besar yang mulai
bangkit berdiri.
"Binatang pun masih punya belas kasihan. Hanya saja kalian bukan lagi binatang,
tapi iblis...!" geram pemuda itu dingin.
Saat mengetahui siapa yang menolong Mintarsih, ketiga laki-laki brewok berwajah
kasar itu lari lintang pukang tanpa berkata-kata lagi. Pemuda itu tidak
mengejar, dan hanya berbalik memandang Mintarsih yang sudah berdiri dengan
pakaian koyak. Gadis itu memegangi belahan baju pada bagian dada yang sobek.
Sementara itu pemuda berbaju rompi putih menghampirinya.
"Kau tidak apa-apa, Adik Manis?"
tanya pemuda itu lembut.
"Tidak," sahut Mintarsih lirih.
"Terima kasih...."
"Sudahlah. Mari kuantar sampai ke rumah," pemuda itu menawarkan jasa.
Tapi Mintarsih malah memandanginya.
"Kenapa" Kau tidak ingin diantar?"
"Aku..., aku...," suara Mintarsih
tersendat dan tidak mampu lagi meneruskan kalimatnya.
Mintarsih menggeleng-gelengkan
kepalanya. Air matanya semakin deras mengalir, membasahi pipi halus agak
kemerahan. Pemuda itu jadi mengerutkan kening. Kemudian direngkuhnya bahu gadis
itu dan dipeluknya. Mintarsih semakin keras menangis dalam pelukan pemuda tampan
berbaju rompi putih.
Agak lama juga gadis itu menguras air mata di pelukan pemuda yang telah dua kali
menolongnya. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu mencoba meredakan tangis
Mintarsih. Perlahan-lahan dilepaskan pelukannya dan dibawanya gadis itu ke bawah
pohon. Mereka duduk di sana berdampingan, menghadap jalan tanah berdebu yang
sunyi senyap. Sementara mentari semakin condong ke arah barat.
Sinarnya semakin redup, lembut terasa menyentuh kulit
"Namaku Rangga. Kau siapa, Adik Manis?" pemuda berbaju rompi putih itu
memperkenalkan diri.
"Mintarsih."
"Kenapa berada seorang diri di tempat sepi seperti ini?" tanya pemuda berbaju
rompi putih yang ternyata memang Rangga, atau dikenal dengan julukan Pendekar
Rajawali Sakti.
Mintarsih tidak langsung menjawab,
tapi malah memandang wajah tampan di sampingnya. Dengan punggung tangan, disusut
air matanya. Sedangkan sebelah tangannya lagi masih memegangi belahan baju
bagian dada yang terkoyak. Memang Mintarsih tidak bisa melindungi bagian tubuh
lainnya. Hampir seluruh pakaiannya terkoyak, sehingga menampakkan kulit tubuhnya
yang putih halus.
*** Rangga mengumpulkan ranting kering, lalu ditumpuk menjadi satu. Pendekar
Rajawali Sakti itu kini tengah membuat api unggun kecil di pinggir jalan tanah
berdebu. Sementara Mintarsih hanya duduk saja di bawah pohon. Pandangannya lurus
merayapi perkampungan yang tidak berapa jauh lagi di depan. Lampu-lampu terlihat
jelas dari rumah-rumah yang berdiri berkelompok. Malam memang sudah jatuh dan
kegelapan menyelimuti sekitarnya. Angin bertiup lembut, menambah dinginnya udara
malam itu. "Sebetulnya aku bisa saja membawamu ke desa itu, lalu meminta pada kepala desa
agar kau mendapat perlindungan di sana," kata Rangga seraya menghenyakkan
tubuhnya di samping Mintarsih.
Mintarsih memalingkan mukanya,
memandang Pendekar Rajawali Sakti di
sampingnya. Ditariknya napas panjang-panjang. Dia tidak kenal pemuda ini, tapi
sudah dua kali dirinya diselamatkan dari cengkeraman manusia-manusia berhati
iblis. Kalau bukan karena pemuda ini, Mintarsih tidak tahu lagi pada nasib
kehidupannya. "Kakang...," pelan suara Mintarsih dan terputus. "Ng..., boleh aku memanggilmu
Kakang?" "Kenapa tidak?" Rangga tidak
keberatan. "Kenapa kau menolongku?" tanya
Mintarsih bernada ragu-ragu.
Rangga menatap gadis itu dalam-dalam, kemudian tersenyum lembut. Ditepuk lembut
punggung tangan gadis itu, kemudian ditambahkan sebatang ranting ke atas api
unggun. "Aku akan menolong siapa saja yang membutuhkan," ujar Rangga disertai desahan
napas panjang. "Kakang seorang pendekar?" tanya
Mintarsih lagi.
"Bukan. Aku hanya pengembara yang tidak punya tujuan pasti," sahut Rangga
merendah. "Seorang pengembara sudah pasti pendekar," tegas Mintarsih.
"Memang sukar untuk membedakannya di jaman ini, Tarsih."
Mintarsih tersenyum, Rangga pun
tersenyum. Entah apa yang membuat mereka saling melemparkan senyuman. Dan
Mintarsih merasakan dirinya begitu dekat pada Rangga yang seperti bukan orang
asing lagi. Kelembutan Rangga telah mengetuk pintu hati gadis itu, sehingga
Mintarsih lupa akan pesan ayahnya untuk tidak terlalu terbuka pada seseorang
yang belum dikenalnya.
"Ke mana tujuanmu sebenarnya,
Tarsih?" tanya Rangga setelah agak lama berdiam diri.
"Entahlah.... Aku tidak tahu," sahut Mintarsih.
"Kau kabur dari rumah?" tebak Rangga.
Mintarsih menggeleng. Ada kemendungan pada raut wajah gadis itu. Dan Rangga bisa
cepat menangkap. Pendekar Rajawali Sakti itu menggeser duduknya lebih mendekat
ke depan. Dirayapinya wajah yang kini tertunduk. Dengan ujung jari telunjuk,
Rangga mengangkat wajah Mintarsih agar memandangnya. Mintarsih tidak bisa lagi
menghindar. Saat itu juga dirasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari
biasanya. Aliran darahnya terasa terhenti seketika. Buru-buru Mintarsih
mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Gadis itu sadar kalau ketampanan pemuda yang mengaku bernama Rangga ini telah
menggetarkan hatinya. Dan rasanya sulit ditebak sebab-sebabnya.
"Aku bisa menangkap adanya persoalan pada dirimu, Tarsih. Suatu duka yang amat
dalam terpancar dari sorot matamu...,"
tebak Rangga, dengan suara lembut.
Mintarsih memalingkan mukanya, dan langsung bertemu pandang dengan mata pemuda
tampan yang kini berada tepat di depannya. Hal itu sulit dielakkan, sehingga
pandangan mereka bertemu pada satu titik.
"Mungkin kau bisa mempercayaiku, Tarsih. Tapi aku tidak akan memaksa,"
kata Rangga lagi.
Mintarsih masih diam tak bersuara.
Bibirnya terbuka bagai memancing gairah pemuda itu untuk memagutnya. Tapi Rangga
tidak pernah terpikir sampai ke sana.
Meskipun diakui kalau gadis ini sangat cantik. Bahkan sanggup membangunkan
seorang laki-laki di kala tidur nyenyak sekalipun. Belum lagi keharuman yang
tersebar dari tubuhnya. Rangga sendiri hampir tergoda kalau saja tidak segera
teringat Pandan Wangi yang sekarang berada di Istana Karang Setra.
"Terus terang, aku memang mempunyai persoalan berat. Rasanya tidak bisa kupikul
sendiri, Kakang...," keluh Mintarsih.
"Katakan saja, barangkali aku bisa membantu menyelesaikannya," pinta Rangga
lembut. "Sungguh kau ingin menolongku,
Kakang?" berbinar wajah Mintarsih.
"Sungguh," Rangga mengangguk pasti.
"Oh, terima kasih," desah Mintarsih.
Rangga tersenyum.
"Tapi...," mendadak wajah gadis itu berubah murung lagi.
"Kenapa?" tanya Rangga.
Mintarsih terdiam, dan langsung teringat akan pesan ayahnya. Pesan yang tak bisa
dilupakan seumur hidup, agar jangan menyusahkan orang lain, meski dalam keadaan
apa pun juga. Sedangkan saat ini dirinya benar-benar butuh pertolongan seseorang
yang mampu melindunginya. Mintarsih juga teringat pendustaannya terhadap wanita
cantik yang telah membunuh habis seluruh keluarganya.
Dan yang lebih menciutkan hati Mintarsih adalah saat mengingat ancaman wanita
itu. Gadis itu memang tahu di mana Gunung Ratak itu berada, tapi tidak pernah ke
sana. Dia hanya mendengar saja kalau Gunung Ratak jauhnya tiga hari perjalanan
dari Bukit Growong ini. Dan itu berarti hanya enam hari Mintarsih punya waktu
untuk bersembunyi dari ancaman wanita cantik berdarah dingin itu. Gadis itu juga
masih memiliki beban berat yang diberikan oleh ayahnya. Satu beban yang begitu
berat dipikul seorang diri.
Mintarsih harus ke Padepokan Arum untuk
menyampaikan pesan pada ketua padepokan itu. Sedangkan dirinya sendiri tidak
tahu, di mana letak padepokan itu.
Ayahnya memang berpesan begitu sebelum mereka meninggalkan rumah, dan sepertinya
sudah merasakan akan adanya bahaya besar.
Dan itu memang terjadi, ayahnya tewas di tangan seorang wanita cantik berbaju
merah. "Apa yang dilamunkan, Tarsih?" tegur Rangga.
"Oh!" Mintarsih terbangun dari
lamunannya. "Kau memikirkan sesuatu?" tanya Rangga.
Mintarsih tidak menjawab, tapi malah memandangi Pendekar Rajawali Sakti itu
dalam-dalam. Rasanya ingin sekali diutarakan semua yang ada di hatinya, tapi
terasa begitu berat. Lidahnya mendadak kelu, sukar untuk diajak bicara.
Saat ini Mintarsih berperang di dalam batin sendiri.
"Kakang, apakah kau sungguh-sungguh ingin menolongku?" tanya Mintarsih seolaholah hendak meyakinkan dirinya.
"Kenapa kau tanyakan itu, Mintarsih?"
tanya Rangga berbalik.
"Maaf, bukannya hendak menyinggung perasaanmu. Tapi saat ini aku harus berhatihati pada setiap orang yang belum kuketahui dengan pasti."
Rangga tersenyum dan mengangkat bahunya.
"Kalau begitu, sebaiknya tunda saja dulu. Aku tidak ingin mendesak agar kau
lebih yakin siapa diriku," kata Rangga bijaksana.
"Terima kasih, Kakang," hanya itu yang bisa diucapkan Mintarsih.
"Tidurlah, agar kau lebih baik besok pagi."
Mintarsih merebahkan tubuhnya di atas rerumputan kering, namun belum dapat
memejamkan matanya. Pikirannya masih terus berkelana entah ke mana. Ingin sekali
kesulitannya diutarakan pada Pendekar Rajawali Sakti ini, tapi kata-kata ayahnya
selalu terngiang. Hal ini membuatnya sukar untuk mengatakannya.
Sedangkan Rangga sudah menjauh, duduk bersandar pada sebongkah batu besar.
Tangannya terlipat di depan dada, dan kelopak matanya terpejam rapat. Mintarsih
tidak tahu, apakah Rangga langsung tidur atau tidak. Tapi yang jelas, malam ini
rasanya sulit sekali memejamkan mata.
Pikiran gadis itu terus melayang mengembara ke batas awang-awang. Sesekali
dipandangi wajah tampan yang matanya tengah terpejam itu.
*** 3 Pagi-pagi sekali Mintarsih sudah bangun dari tidurnya. Tubuhnya yang terasa
pegal, menggeliat, lalu digerak-gerakkan. Baru pertama kali ini gadis itu tidur
di alam terbuka beralaskan bumi dan beratapkan langit. Pandangan mata gadis itu
langsung tertumbuk pada Rangga yang tengah tenang duduk bersila di atas
sebongkah batu yang tidak begitu besar, namun permukaannya sangat datar.
"Ganti pakaianmu dulu, Tarsih,"
perintah Rangga tanpa berpaling.
Mintarsih terkejut dan semakin heran karena di dekat kakinya terdapat sebuah
bungkusan. Diraihnya bungkusan itu, lalu dibuka. Gadis itu semakin terkejut
bercampur heran melihat bungkusan itu berisi seperangkat pakaian bersih,
berwarna biru terang. Meskipun dari bahan yang tidak terlalu mahal, tapi cukup
bagus bentuk dan warnanya.
"Dari mana kau dapatkan ini, Kakang?"
tanya Mintarsih.
"Tadi kubeli di desa," sahut Rangga.
"Pagi-pagi begini?" Mintarsih tidak percaya.
"Walaupun kedai belum dibuka, tapi aku katakan pada pemiliknya kalau pakaian
istriku dicuri orang. Malah aku juga diberikan potongan harga. Katanya, dia
ingin kenal denganmu, Tarsih."


Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, Kakang ini ada-ada saja,"
Mintarsih tersipu. Wajah gadis itu menyemburat merah. Entah kenapa, hatinya
begitu senang saat Rangga mengakuinya sebagai istri. Perlahan-lahan Mintarsih
bangkit berdiri, namun jadi kebingungan juga. Ternyata memang tidak ada tempat
untuk mengganti baju.
"Di sebelah kananmu ada sungai kecil.
Kau bisa mandi dan mengganti baju di sana," jelas Rangga seperti mengetahui
kebingungan Mintarsih.
Lagi-lagi gadis itu tersenyum
tersipu, kemudian bergegas berjalan ke arah kanan. Sementara Rangga tetap duduk
di atas batu di pinggir jalan. Mintarsih terus berjalan, dan suara air sungai
mengalir sudah didengarnya. Benar saja.
Tidak berapa jauh berjalan, di depannya mengalir sebuah sungai kecil yang berair
cukup jernih. Mintarsih menoleh ke kiri dan ke kanan sebentar, kemudian
berpaling ke belakang.
Setelah yakin tidak akan ada yang melihat, gadis itu mencopot pakaiannya yang
koyak, kemudian buru-buru
menceburkan diri ke dalam sungai. Terasa sejuk dan segar setelah berada di dalam
air. Mintarsih membersihkan tubuhnya cepat-cepat. Sungai ini terletak tidak
berapa jauh dari jalan. Dan tentu
sebentar lagi banyak orang yang akan lewat di jalan itu. Mintarsih bergegas
keluar dari dalam sungai, lalu mengenakan baju yang diberikan Rangga. Cukup pas,
tidak kebesaran dan tidak juga kekecilan.
Warnanya juga sangat kontras dengan kulitnya yang putih.
Mintarsih bergegas kembali menemui Rangga. Langkahnya begitu cepat dan tergesagesa, meninggalkan begitu saja bajunya yang koyak. Untunglah belum ada orang
yang lewat di jalan itu. Mintarsih menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang kini
berdiri di tepi jalan memandang ke arah desa.
"Kakang...," panggil Mintarsih pelan.
Rangga membalikkan tubuhnya dan langsung terpana begitu melihat Mintarsih sudah
berada di dekatnya. Gadis itu demikian cantik setelah mengenakan baju ketat
berwarna biru dan celana sebatas betis. Rangga sampai terbengong dan mulutnya
ternganga, seakan-akan melihat seorang bidadari baru turun dari kahyangan.
"Kenapa, Kakang" Ada yang aneh pada diriku...?" tanya Mintarsih.
"Oh, tidak..., tidak," sahut Rangga agak terbata. Buru-buru dipalingkan mukanya
menatap ke arah lain.
Mintarsih memperhatikan dirinya sendiri. Mungkin pikirannya bertanyatanya, apakah ada yang salah pada dirinya. Tapi tak ada kejanggalan sedikit pun.
Gadis itu memandangi Rangga yang kini kembali menatap ke arah desa.
Mintarsih menghampiri dan berdiri di samping pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kakang...."
"Oh...!" Rangga agak tersentak.
"Terima kasih atas pemberian bajumu ini," ucap Mintarsih mencoba mengusir
kekakuan yang tiba-tiba saja terjadi.
"Ya," hanya itu yang bisa diucapkan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan kakinya perlahan-lahan melintasi jalan
berdebu menuju desa yang telah terlihat di depan sana. Mintarsih mengikuti dan
mensejajarkan langkahnya di samping pemuda itu. Mereka berjalan tanpa berkatakata lagi. Entah kenapa, Rangga jadi kaku tidak seperti semula. Mungkin masih
terpana akan kecantikan Mintarsih yang kini kelihatan apik mengenakan baju yang
sangat cocok dengan kulit dan bentuk tubuhnya.
Dari jauh terlihat tiga orang
menunggang kuda yang datang dari arah desa. Sudah terlihat jelas kalau mereka
terdiri dari dua orang laki-laki muda dan seorang wanita yang cukup cantik.
Mereka berkuda tanpa tergesa-gesa. Semakin dekat, semakin terlihat. Pakaian
mereka seperti layaknya kaum persilatan yang hidupnya tak pernah menetap. Penunggang
kuda itu menghentikan kudanya tepat di depan Rangga dan Mintarsih yang berjalan
di tepi. "Maaf, Kisanak. Boleh bertanya?"
terdengar ramah suara pemuda penunggang kuda yang mengenakan baju kuning dan
celana hitam. "Oh, silakan," sahut Rangga juga ramah.
"Apakah Kisanak tahu, di mana Lembah Punai itu?" tanya pemuda itu masih ramah.
"Lembah Punai...?" Rangga mengerutkan keningnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu semakin berkerut keningnya ketika melihat Mintarsih
nampak pucat dan serba salah begitu mendengar nama Lembah Punai. Gadis itu
tertunduk, menyembunyikan raut wajah yang pucat.
"Maaf. Rasanya baru kali ini
mendengar nama Lembah Punai. Mungkin para penduduk desa itu mengetahuinya," kata
Rangga sopan. "Tidak ada yang tahu," celetuk gadis berbaju putih yang menunggang kuda itu.
"Terima kasih, Kisanak. Maaf kami telah mengganggu," ujar pemuda berbaju kuning
itu sopan. Rangga tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Ketiga penunggang kuda
itu menggebah kuda tunggangannya, kembali meneruskan perjalanan tanpa terlihat
tergesa-gesa. Rangga masih berdiri memandangi, hingga ketiga penunggang kuda itu
jauh. Digamitnya lengan Mintarsih, lalu diajaknya terus berjalan. Gadis itu
mengikuti tanpa berkata-kata lagi.
*** Sudah lebih dari dua pekan ini Rangga tidak menikmati makanan yang layak. Dan
baru hari inilah bisa masuk ke kedai dan bisa menikmati harumnya arak. Kedai ini
memang tidak terlalu besar, bahkan hanya sedikit pengunjungnya. Pemiliknya
seorang wanita tua bertubuh gemuk. Wanita ini biasa dipanggil Nyai Lambat.
Mungkin karena tubuhnya yang gemuk sehingga gerakannya juga lambat seperti ular
yang kekenyangan sehabis menyantap seekor domba.
Rangga memandangi Mintarsih yang hanya makan sedikit. Gadis ini seperti selalu
menyembunyikan wajahnya, dan tidak berani bertatapan muka dengan pengunjung
kedai lainnya. Sikap Mintarsih ini selalu menjadi perhatian Rangga. Tentu saja
hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi bertanya-tanya.
"Sedikit sekali makanmu, Tarsih?"
Rangga membuka suara.
"Aku tidak terlalu lapar," sahut Mintarsih tanpa mengangkat wajahnya.
"Kalau di malam hari kedai-kedai di sini tidak ada yang buka. Aku bisa minta
pemilik kedai untuk membungkus
makananmu," kata Rangga lagi.
"Terima kasih. Aku sedang tidak enak makan saja," sahut Mintarsih.
"Terserahlah. Tapi kalau nanti
kelaparan malam-malam, jangan paksa aku mencari makanan," kata Rangga
berseloroh. Mintarsih hanya tersenyum saja.
Dengan sudut mata, diliriknya Pendekar Rajawali Sakti ini. Untuk beberapa saat
lamanya mereka hanya berdiam diri saja.
Rangga bangkit berdiri, lalu membayar makanannya. Mintarsih mengikuti. Mereka
keluar dari kedai tanpa bicara sedikit pun.
Mereka berjalan menyusuri jalan desa yang tidak begitu padat. Hampir semua
penduduk desa ini adalah petani, jadi kalau siang hari biasanya berada di sawah
dan ladang masing-masing. Yang ada hanya wanita, anak-anak, beberapa pemuda
serta orang-orang tua yang sudah tidak kuat lagi bekerja di ladang.
"Aku pernah sekali ke sini, tapi hanya menginap satu malam dan terus pergi
lagi," ujar Rangga mengisi kebisuan.
"Kapan?" tanya Mintarsih iseng.
"Sehari sebelum bertemu denganmu."
"Jadi sebenarnya tujuanmu tidak ke sini?"
"Aku memang tidak punya tujuan pasti.
Aku senang mengembara, dan menolong siapa saja yang membutuhkan pertolonganku.
Rasanya senang sekali bila melihat kedamaian, ketentraman, dan keindahan.
Dan aku paling benci terhadap segala macam tindak kekerasan di luar batas
kewajaran manusia," agak dalam suara Rangga terdengar.
Mintarsih diam saja dan terus
berjalan di samping Rangga dengan kepala tertunduk. Beberapa penduduk wanita
yang kebetulan berpapasan selalu memperhatikan Mintarsih. Ada beberapa di
antaranya yang berbisik-bisik. Dan Rangga tahu itu, tapi masih mencoba untuk
mengekang keingin-tahuannya. Dia menduga kalau hampir seluruh penduduk desa ini
mengenal Mintarsih. Hanya saja, gadis itu berpura-pura tidak pernah datang ke
desa ini, walau hanya satu kali.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah penginapan. Rangga menandangi rumah itu,
kemudian berpaling menatap Mintarsih.
Gadis itu masih saja tertunduk
menyembunyikan wajahnya dari pandangan orang lain. Tapi gadis itu tidak menolak
saat Rangga mengajaknya masuk ke dalam penginapan itu.
Seorang laki-laki setengah baya
menyambut ramah. Tapi saat menatap Mintarsih dia tertegun sesaat, dan kembali
bersikap ramah, melayani Rangga dengan baik. Keramahan yang sebenarnya dibuatbuat. Dan Rangga tidak peduli.
Saat ini yang dibutuhkan adalah tempat untuk menginap malam ini. Bukan basabasi. Rangga memesan dua kamar yang
berdampingan. Kebetulan rumah penginapan ini sedang kosong, jadi bisa memilih
kamar sesuka hati. Pemilik rumah penginapan mengantarkan sampai ke kamar mereka
masing-masing. Sengaja Rangga mengantarkan Mintarsih lebih dahulu ke kamarnya,
baru kemudian ke kamarnya sendiri diantar pemilik rumah penginapan ini.
"Sebentar, Ki...," cegah Rangga ketika laki-laki setengah baya yang dikenal
bernama Ki Rampat itu hendak ke luar kamar. Nama yang sama dengan nama
penginapan ini, Penginapan Rampat.
"Ada apa, Den?" tanya Ki Rampat seraya membungkukkan badannya.
"Ada yang ingin kutanyakan padamu,"
jelas Rangga. "Ah! Kalau bisa kujawab, tentu akan kujawab, Den."
"Bagus. Hanya pertanyaan ringan."
"Apa itu, Den?"
"Kau tentu masih mengingatku, bukan?"
Rangga memulai.
"Ah, tentu saja. Raden yang menginap di sini beberapa hari lalu. Tentu saja
masih ingat, Den," sahut Ki Rampat.
"Jadi kau pasti tahu kalau aku hanya seorang diri saja. Dan sekarang aku berdua
bersama seorang wanita yang tidak kukenal," agak pelan suara Rangga.
"Ah, Raden ini bercanda...."
"Tidak ada waktu untuk main-main, Ki.
Aku benar-benar tidak kenal gadis itu dalam arti sesungguhnya. Bahkan tidak
tahu, apakah nama yang disebutkannya itu benar atau hanya karangannya saja."
"Memangnya, dia menyebutkan namanya siapa, Den?" tanya Ki Rampat jadi tertarik
juga. "Mintarsih," sahut Rangga pelan.
"Sudah kuduga...!" sentak Ki Rampat.
"He..."!" Rangga terkejut.
"Sudah kuduga, Den. Dia pasti
Mintarsih, putri bungsu Ki Jara Botang."
"Ki Rampat mengenalnya...?" tanya Rangga masih belum hilang rasa
terkejutnya. "Semua orang di desa ini mengenal Ki Jara Botang. Dia dulu kepala desa di sini.
Tapi entah kenapa, tiba-tiba saja pergi membawa keluarganya dan menyerahkan desa
ini pada penghulu untuk memilih kepala desa baru," jelas Ki Rampat.
"Hm..., aneh," gumam Rangga pelan.
"Apanya yang aneh, Den?" tanya Ki Rampat.
"Entahlah," desah Rangga. "Terima kasih, Ki. Aku minta padamu untuk tidak
mengatakan pembicaraan ini pada Mintarsih. Juga kuminta, agar kau berpura-pura
saja tidak mengenalnya.
Tampaknya dia tidak ingin dikenali di desa ini," jelas Rangga lagi.
"Tentu, Den. Tapi aku tidak bisa menjamin kalau warga desa lainnya mengenali."
"Aku yang akan mengatasi," ujar Rangga.
"Permisi, Den."
Rangga mengangguk, membiarkan saja Ki Rampat meninggalkan kamar ini. Sebuah
kamar yang tidak terlalu besar, namun cukup bersih dan nyaman untuk
beristirahat. Rangga menghenyakkan tubuhnya di pembaringan tanpa menutup pintu
lagi. Dibiarkan saja pintu dan jendela kamar ini terbuka lebar. Udara memang
cukup panas. Dengan jendela dan pintu terbuka lebar, memberi kesempatan angin
lebih banyak masuk.
*** Pagi-pagi sekali Rangga sudah berada di depan pintu kamar Mintarsih.
Diketuknya pintu kamar itu berulang-ulang
sambil memanggil. Tapi tak ada jawaban dari dalam. Pendekar Rajawali Sakti itu
jadi curiga dan mencoba membuka pintu.
Tapi rupanya pintu ini terkunci. Rangga menggedor pintu kamar itu keras-keras,
sampai bergetar seluruh dinding kamar penginapan ini.
"Tarsih...!" panggil Rangga keras.
"Dia sudah pergi, Den...," tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.
Rangga membalikkan tubuhnya. Tampak Ki Rampat sudah berada tidak jauh dari
pemuda berbaju rompi putih itu. Rangga menghampiri.
"Kapan dia pergi?" tanya Rangga.
"Tengah malam tadi," sahut Ki Rampat.
Rangga tertegun sesaat. Semalaman dia memang tidur nyenyak, bahkan sampai tidak
mendengar apa-apa. Mungkin karena kebanyakan minum arak di kedai, sehingga
kepalanya terasa berat dan jatuh tertidur seperti orang mati. Pendekar Rajawali
Sakti itu menatap Ki Rampat dalam-dalam.
"Dia pergi sendiri?" tanya Rangga.
"Tidak, Den. Ada dua orang laki-laki yang sebaya Raden menjemputnya di sini,"
jelas Ki Rampat.
"Mintarsih kenal kedua orang itu?"
"Wah kurang tahu itu, Den. Aku
langsung tidur dan tidak peduli."
Rangga mengeluh panjang dan berat.
Memang pemilik rumah penginapan ini tidak
bisa disalahkan. Ki Rampat tentu tidak akan mempedulikan setiap orang yang
datang menginap di sini. Juga tidak akan peduli dengan segala macam urusannya.
Yang paling penting baginya adalah membayar sewa penginapan.
"Den, sebaiknya tidak usah mengurusi gadis itu. Lupakan saja, Den. Bikin susah
saja...," pinta Ki Rampat, agak ragu-ragu nada suaranya.
Rangga tidak menyahuti dan malah berjalan meninggalkan laki-laki setengah baya
itu. Dia terus berjalan keluar dari rumah penginapan ini. Tapi belum juga jauh
berjalan, ayunan langkahnya terhenti. Tampaklah tiga orang laki-laki bertubuh
tinggi besar dengan wajah kasar penuh brewok baru keluar dari kedai.
Mereka cepat pergi sambil tertawa-tawa dan menggoda gadis-gadis desa.
Tanpa membuang-buang waktu lagi Rangga bergegas mengikuti. Tapi Pendekar
Rajawali Sakti itu tetap menjaga jarak agar tidak diketahui kalau sedang
membuntuti. Ketiga orang itu terus berjalan menuju ke Bukit Growong. Mereka
berjalan cepat sehingga sebentar saja sudah sampai di luar batas desa.
"Hup...!"
Hanya sekali lesatan saja Rangga melewati kepala ketiga orang itu. Kakinya
mendarat lunak, tepat sekitar satu batang
tombak di depannya. Bukan main
terkejutnya ketiga orang itu saat Rangga berbalik menghadap mereka.
"Mau apa kau menghadang kami"!"
bentak salah seorang yang berada di tengah.
Rangga tidak menjawab, bahkan malah berjalan menghampiri dengan pandangan mata
tajam menusuk. Ketiga orang itu saling berpandangan. Sudah dua kali
dipecundangi, sehingga pertemuan ketiga kali ini sudah membuat hati mereka
gentar. "Di mana kalian sembunyikan gadis itu?" tanya Rangga dingin.
"Jangan cari gara-gara, Anak Muda.
Aku tahu kau memang tangguh, tapi kami semua pantang dituduh tanpa bukti!"
dengus orang yang berdiri di tengah.
"Aku tidak main-main, tikus!" bentak Rangga.
Ketiga orang itu bungkam.
"Apa yang kalian bawa itu?" Rangga menunjuk buntalan yang dipanggul orang
sebelah kiri. "Hanya makanan," sahutnya sambil meletakkan buntalan di depan kakinya.
"Untuk apa?"
"Untuk majikan kami. Maaf, kami tidak ingin kena marah. Majikan kami sudah
menunggu terlalu lama," jelas laki-laki berbaju kuning yang berdiri di tengah.


Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketiga laki-laki itu terus saja berjalan cepat. Sebenarnya Rangga ingin
mencegah, tapi diurungkan niatnya. Begitu mereka melewati, dengan cepat Pendekar
Rajawali Sakti itu melesat ke atas dan hinggap di cabang pohon yang cukup
tinggi. Salah seorang dari mereka terkejut begitu melihat ke belakang.
"Dia sudah pergi," bisiknya.
"Ayo, cepat! Jangan pedulikan monyet jelek itu. Kita harus secepatnya memberikan
makanan ini pada Nini Ayu,"
tegas seorang lagi.
Tanpa diketahui, Rangga mengikuti kepergian ketiga laki-laki itu. Pendekar
Rajawali Sakti berlompatan dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Dia tetap
menjaga jarak dan terus mengikuti tanpa diketahui. Ketiga laki-laki tadi terus
menuju kaki Bukit Growong, tapi tidak mengikuti jalan yang ada. Mereka menerobos
hutan yang cukup lebat.
Sementara Rangga terus membuntuti dari atas pohon.
Ketiga laki-laki itu tiba di suatu tempat yang banyak ditumbuhi semak-semak
berduri. Di sana, ternyata sudah menunggu seorang wanita muda dan berwajah
cantik. Bajunya merah menyala cukup ketat sehingga membentuk tubuhnya yang ramping,
indah dan menggiurkan. Orang yang membawa bungkusan itu langsung menyerahkannya.
Mereka kelihatan begitu hormat, atau lebih tepat dikatakan takut.
Sementara dari tempat yang cukup tersembunyi, Rangga mengawasi tanpa berkedip.
Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti ingin mendengarkan pembicaraan mereka. Tapi
jika mempergunakan satu ajian saja, dia khawatir akan ketahuan.
Makanya kini dia hanya bisa melihat saja.
Dan Rangga agak terkejut juga saat mengetahui bungkusan kain itu ternyata berisi
uang, perhiasan, serta barang-barang berharga lainnya. Bukan makanan seperti
yang dikatakan mereka.
"Ha ha ha...!" terdengar suara tawa wanita cantik berbaju merah itu.
Tawa yang sangat lepas berderai dan keras, sehingga cukup jelas terdengar dari
tempat persembunyian Rangga yang cukup jauh. Pendekar Rajawali Sakti itu
kemudian meninggalkan tempat ini. Kini baru diyakini kalau mereka memang tidak
membawa Mintarsih. Lagi pula wanita berbaju merah itu tidak dikenalinya.
Rangga tidak peduli lagi dengan kelakuan mereka, meskipun Pendekar Rajawali
Sakti itu sudah bisa menduga kalau ketiga orang itu baru saja merampok kedai.
Dan ada seorang wanita cantik di belakang mereka.
*** 4 Di mana sebenarnya Mintarsih berada"
Gadis itu sebenarnya tidak berada jauh dari Bukit Growong. Bahkan masih berada
di sekitar kaki bukit itu. Tepatnya di sebuah dataran yang agak tersembunyi dan
terlindung oleh batu-batu besar bertumpuk bagai sebuah lembah kecil. Namun batubatu itu seperti sengaja dibuat sedemikian rupa, sehingga melingkari sebuah
rumah besar. Ada sekitar dua puluh orang pemuda tengah berlatih jurus-jurus di bagian depan
halaman rumah itu. Halaman itu memang cukup luas, dan mampu menampung seratus
orang, bahkan mungkin lebih.
Sedangkan di bagian belakang terlihat suatu sarana tempat berlatih kekuatan
fisik. Di beranda depan, terlihat Mintarsih duduk di lantai beralaskan permadani halus
bercorak kembang-kembang. Warnanya begitu serasi dan sedap dipandang mata.
Di depan gadis itu duduk seorang laki-laki setengah baya didampingi seorang
wanita berusia sekitar tiga puluh tahun.
Di belakang Mintarsih duduk bersila dua pemuda berwajah cukup tampan dan tegap.
Dan di belakang laki-laki setengah baya yang mengenakan baju panjang dan ikat
kepala putih, duduk seorang pemuda lain
yang mengenakan baju biru. Dia menyandang pedang di punggung.
"Aku benar-benar menyesal terlambat menjemput kalian," ujar laki-laki setengah
baya itu, pelan suaranya. Hampir tidak terdengar.
Sedangkan Mintarsih hanya diam saja memandangi laki-laki setengah baya itu.
Semalam gadis itu memang sudah
diperkenalkan, kalau laki-laki setengah baya ini bernama Citrasoma. Sedangkan
wanita yang duduk di samping kanannya adalah istrinya yang bernama Dewi Wulan.
Dan pemuda yang berada di belakang Citrasoma adalah putranya, bernama Ganggala.
Sementara dua pemuda di belakang Mintarsih adalah dua bersaudara kepercayaan
Citrasoma. Masing-masing bernama Bantara dan Andira. Kedua pemuda inilah yang
membawa Mintarsih ke tempat asing bagi gadis itu.
Mintarsih juga baru tahu kalau ini adalah Padepokan Arum. Citrasoma adalah adik
ayahnya. Mintarsih juga tahu kalau sebenarnya dia dan ayahnya akan ke tempat
ini. Tapi sebelumnya tidak diketahui kalau ayahnya sudah menghubungi Citrasoma.
Gadis itu memang mengagumi tempat ini, karena letaknya tersembunyi meskipun
tidak terlalu jauh dari desa di kaki Bukit Growong.
"Kau tidak kenal wanita yang telah
membunuh ayahmu itu, Mintarsih?" tanya Citrasoma lagi, setelah lama terdiam.
"Tidak," sahut Mintarsih pelan seraya menggeleng.
"Sayang sekali, kita tidak bisa berbuat apa-apa," keluh Citrasoma.
"Tapi kita masih bisa mencari
keterangan tentang dia, Kakang," selak Dewi Wulan.
"Bagaimana kita bisa mencari
keterangan, Dinda Wulan" Sedangkan Mintarsih sendiri sudah mengatakan kalau
wanita itu telah dikelabui. Sedangkan setahuku, di gunung itu tidak ada lembah.
Gunung itu hanya merupakan gunung batu gersang. Jadi aku yakin kalau wanita itu
pasti akan mencari Mintarsih," jelas Citrasoma.
Semua yang berada di beranda depan rumah itu terdiam. Mintarsih memang sudah
menceritakan semua pengalamannya begitu keluar dari rumah bersama ayahnya, yang
katanya hendak ke Padepokan Arum. Dan pamannyalah yang memimpin padepokan itu.
Sekarang Mintarsih sudah berada di tengah keluarga pamannya, meskipun tanpa
ayah, ibu, dan kakak laki-lakinya yang tewas di tangan seorang wanita cantik
yang misterius. Mintarsih sendiri tidak tahu, mengapa wanita itu membunuh
seluruh keluarganya.
Gadis itu memang sudah bertanya pada
Citrasoma, tapi laki-laki setengah baya itu sendiri tidak tahu. Bahkan tidak
mengenal wanita cantik berbaju merah yang telah membunuh keluarga kakak
kandungnya, hingga hanya Mintarsih saja yang tersisa.
Dan itu juga belum bisa dikatakan tenang, karena Mintarsih membuat persoalan
baru untuk menyelamatkan diri dari maut.
"Kau terlalu berani mendustai manusia berhati iblis itu, Tarsih," ujar Dewi
Wulan agak menyesali sikap Mintarsih.
"Mintarsih tidak salah, Ibu. Aku pun akan berbuat yang sama jika sadar
kemampuanku tidak akan bisa
menandinginya," celetuk Ganggala.
"Kau harus menyebutnya kakak,
Ganggala!" sentak Citrasoma.
"Maaf, Ayah," ucap Ganggala buru-buru. "Habis baru bertemu sekali ini, sih.
Jadi, kaku."
"Tidak apa, Paman. Toh aku juga mungkin lebih muda daripada Ganggala,"
kata Mintarsih seraya memberikan senyum pada pemuda itu.
"Kau memang lebih muda dua tahun, Tarsih. Tapi biar bagaimanapun kau tetap
kakaknya. Dan Ganggala tidak boleh seenaknya memanggil namamu begitu saja,"
tegas Citrasoma.
"Ah, sudahlah. Yang kita bicarakan sekarang bukan itu!" sentak Dewi Wulan
menengahi. "Aku jadi penasaran.... Siapa,
sih perempuan itu?"
Gumaman Dewi Wulan memang sukar dijawab sekarang ini. Dan tak ada seorang pun
yang bisa menjawab. Pertanyaannya itu memang membebani benak mereka semua.
Karena tak seorang pun yang tahu, siapa wanita berbaju merah itu. Dan juga
mengapa membunuh keluarga Jara Botang.
Bahkan mengancam akan membunuh siapa saja yang ada hubungan dengan Jara Botang.
Itu berarti dia akan menjarah sampai ke tempat ini.
"Paman, di perjalanan aku juga
bertemu dengan tiga orang penunggang kuda. Dua orang laki-laki, dan seorang lagi
wanita. Mereka juga menanyakan Padepokan Arum," kata Mintarsih setelah cukup
lama tidak ada yang membuka suara.
Citrasoma dan Dewi Wulan saling berpandangan. Demikian pula Ganggala, Bantara,
dan Andira yang juga saling berpandangan. Kata-kata Mintarsih barusan membuat
gadis itu jadi kebingungan sendiri. Dia tidak tahu, kenapa mereka seperti
terkejut mendengarnya.
"Ada apa, Paman?" tanya Mintarsih.
"Tarsih, apa kau juga mendustai mereka?" tanya Citrasoma berbalik tanpa
menjawab. "Aku kan tidak tahu di mana Padepokan Arum, jadi kutunjukkan saja seadanya.
Soalnya aku takut, Paman," sahut
Mintarsih, menutupi hal sebenarnya.
Karena waktu itu Ranggalah yang menjawab pertanyaan mereka.
"Ya, sudah...," desah Citrasoma seraya melirik istrinya.
Dewi Wulan hanya mengangguk kecil dan tersenyum penuh arti. Wanita berusia tiga
puluhan dan kelihatan masih cantik itu kemudian bangkit berdiri seraya mengajak
Mintarsih masuk ke dalam. Gadis itu tidak membantah, lalu mohon diri sebelum
melangkah masuk ke dalam rumah mengikuti bibinya. Tapi Citrasoma sempat
menanyakan, ke arah mana ketiga orang itu pergi. Dan Mintarsih menjawab apa
adanya tanpa ada yang dikurangi.
"Bantara, Andira, kau susul mereka dan bawa ke sebelah barat Bukit Growong.
Aku akan menunggu di
sana," kata
Citrasoma pelan, seperti takut suaranya terdengar sampai ke dalam.
"Baik, Guru," sahut Bantara dan Andira bersamaan.
Mereka memberi hormat, kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan beranda depan
rumah itu. Ganggala pindah duduknya ke depan ayahnya.
"Ayah, boleh aku ikut mereka?" pinta Ganggala.
"Kau harus tetap berada di sini, Ganggala. Kalau terjadi sesuatu denganku, kau
harus meneruskan padepokan ini
bersama ibumu," jelas Citrasoma.
Ganggala tidak membantah, meskipun sebenarnya ingin sekali ikut bersama dua
orang kepercayaan ayahnya itu. Ganggala memang tidak bisa membantah setiap kata
yang diucapkan ayahnya. Karena apa yang dikatakan ayahnya selalu dianggap benar,
dan demi kebaikan semuanya. Ganggala tidak lagi membuka suara dan hanya duduk
diam dengan kepala tertunduk.
*** Tepat di kala sang mentari berada di atas kepala, Citrasoma memacu kudanya
keluar dari Padepokan Arum. Tak ada yang mendampingi. Istri dan anaknya hanya
mengantar di pintu gerbang yang terbuat dari batu-batu bertumpuk menyerupai mulut gua. Pintu gerbang itu kemudian ditutup oleh
sebongkah batu besar setelah Citrasoma melewatinya.
Lak-laki separuh baya itu memacu cepat kudanya menuju Bukit Growong, sehingga
tidak harus melewati desa yang hanya ada satu-satunya di sekitar bukit itu.
Jelas sekali kalau tujuan Citrasoma adalah sebelah barat bukit yang merupakan
dataran kecil dan hanya ditumbuhi rerumputan. Tidak terlalu jauh jarak dari
Padepokan Arum ke tempat itu, sehingga
tidak memakan waktu lama. Belum juga matahari bergeser dari tempatnya, Citrasoma
sudah tiba di pinggir padang rumput kecil itu. Dia melompat turun dari punggung
kudanya dengan satu gerakan indah dan ringan.
Baru saja Citrasoma menambatkan kuda di bawah pohon jati, muncul dua orang murid
utamanya. Citrasoma menunggu dan memandangi Bantara dan Andira yang berjalan
menghampiri. Kedua pemuda itu menjura memberi hormat setelah sampai di depan
laki-laki setengah baya itu.
"Bagaimana, Bantara?" tanya
Citrasoma. "Kami berhasil menyusul mereka, Guru.
Dan sebentar lagi akan datang," sahut Bantara.
"Hm... di mana kau temukan mereka?"
tanya Citrasoma.
"Di Lereng Bukit Growong tidak jauh dari Jurang Ular," sahut Bantara lagi.
"Hm...," gumam Citrasoma tidak jelas.
Sebelum Citrasoma sempat bertanya lagi, terdengar langkah kaki kuda menuju
tempat ini. Citrasoma dan kedua muridnya berpaling ke arah suara itu, dan
terlihatlah tiga orang penunggang kuda berpacu cepat mendekati mereka. Tampak
jelas kalau mereka adalah dua orang pemuda dan seorang gadis cantik.
Citrasoma dapat mengenali ketiga
penunggang kuda itu.
Yang mengenakan baju kuning adalah Rakalpa. Sedangkan yang berwarna gading
adalah adiknya, bernama Rapondah. Dan yang wanita adalah adik mereka bernama
Antika. Citrasoma tahu betul, siapa dan apa tujuan mereka mencari dirinya sampai
ke tempat ini. Laki-laki setengah baya itu menunggu sampai ketiga bersaudara itu
dekat dan turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka menghampiri dan
berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa langkah lagi.
"Aku khawatir kalian datang membawa kekecewaan," kata Citrasoma menyambut ramah,
disertai senyum mengembang di bibir.
"Justru kami datang hendak menuntut keadilan, Paman Citrasoma!" sahut Rakalpa
tegas. "Keadilan macam apa yang hendak kalian tuntut?"
"Menuntut balas atas kematian ayah kami!" dengus Rapondah.
"Kalian salah alamat kalau mencariku hanya karena ingin menuntut balas,"
tenang jawaban Citrasoma.
"Paman, kami semua tahu siapa dirimu!
Dan kami tidak akan salah jika datang padamu. Bertahun-tahun kami harus mengubur
dendam, mempersiapkan diri untuk menuntut balas dan keadilan. Hanya itu
yang kami inginkan. Selanjutnya, kami akan pergi jauh, melupakan semua yang
terjadi," tegas Rakalpa.
"Inilah yang kukhawatirkan sejak dulu. Aku kenal baik dengan ayah kalian.
Tapi semua telah dirusak oleh
kesalahpahaman. Bertahun-tahun kukubur masa lalu dan melupakan semua masa suram.
Tapi itu tidak mudah. Aku menyesal tidak bisa membantu ayahmu dan..."
"Dan Paman salah satu dari mereka!"
serobot Antika yang sejak tadi diam saja.
"Sudah kuduga, kalian pasti akan menuduhku begitu pula. Tapi jika kalian memang
benar-benar yakin, silakan. Aku tidak akan memberikan perlawanan sedikit pun.
Sungguh aku rela mati di tangan kalian, asalkan kalian puas," kata Citrasoma
seraya tersenyum.
"Bukan ini yang kami inginkan, Paman.
Kami memang ingin menuntut balas, tapi tidak akan menghukum orang yang lemah dan
pasrah!" sergah Rakalpa.
"Aku tidak peduli kau akan melawan atau tidak! Hiyaaat..!" seru Antika lantang.
Sambil berteriak keras melengking, Antika melompat menerjang Citrasoma.
Tindakan gadis ini membuat kedua kakaknya terperanjat dan tidak mampu mencegah
lagi. Memang Antika sudah melepaskan dua pukulan beruntun ke arah Citrasoma. Dan
laki-laki separuh baya itu hanya diam saja, tanpa sedikit pun menghindar.
Hingga.... Des! Dughk...! Citrasoma terpental jauh ke belakang begitu dua pukulan keras mengandung tenaga
dalam cukup tinggi mendarat di tubuhnya.
Bantara dan Andira tersentak kaget.
Mereka bergegas melompat menghadang Antika yang sudah siap hendak menyerang
kembali. "Bantara, tahan...!" seru Citrasoma.
"Tapi, Guru...."
"Mundur kalian!"
Bantara dan Andira saling
berpandangan sejenak, lalu perlahan-lahan bergerak menyingkir. Pada saat itu
Citrasoma sudah mampu berdiri kembali.
Meskipun mendapat dua pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi, tapi
kelihatannya tidak mengalami cedera sedikit pun. Bahkan masih mampu berdiri
tegak. Sementara Antika sudah bersiap hendak menyerang lagi.
"Hiyaaa...!" teriak Antika keras.
Gadis itu kembali melompat menyerang Citrasoma yang hanya diam saja tanpa
memberikan perlawanan sedikit pun.
Beberapa kali pukulan dan tendangan Antika mendarat di tubuh laki-laki
setengah baya yang kemudian harus jatuh bangun. Namun tak ada satu keluhan
sedikit pun terdengar dari bibirnya.
Citrasoma sengaja memberikan dirinya jadi bulan-bulanan Antika.
Sementara Andira dan Bantara tidak bisa berbuat banyak. Mereka cemas melihat
gurunya seperti benda mati yang tak melawan sedikit pun saat mendapat hajaran


Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari seorang gadis muda. Sedangkan di lain tempat, Rakalpa dan Rapondah hanya
menyaksikan saja, dan sebentar-sebentar saling melempar pandangan saja.
"Ayo, lawan aku! Lawan aku,
Paman...!" dengus Antika sambil terus melancarkan pukulan-pukulan deras
bertenaga dalam cukup tinggi.
Tapi Citrasoma tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Dibiarkan saja tubuhnya
menjadi sasaran empuk bagi kemarahan gadis itu. Sungguh suatu tontonan yang
tidak sedap. Tapi mendadak saja Antika menghentikan serangannya, dan jatuh
bersujud di tanah. Entah kenapa, gadis itu tiba-tiba saja menangis, memukulmukul tanah. Sementara Citrasoma masih berdiri satu langkah di depan gadis itu.
Hanya sedikit darah yang menetes keluar dari sudut bibirnya, meskipun seluruh
baju yang dikenakan sudah dikotori debu dan keringat.
Rakalpa dan adiknya menghampiri
Antika. Mereka membangunkan gadis yang masih menangis itu. Dipeluk kakaknya dan
ditumpahkan air mata di dada Rakalpa.
Sedangkan Citrasoma hanya memandangi saja dengan bibir terkatup rapat.
"Kami tahu kau memiliki ilmu kebal yang sukar ditandingi, Paman. Tapi janganlah
Paman menyakiti hati kami yang sudah terkoyak ini. Tidak sepatutnya Paman
bersikap begitu. Kami lebih baik mati dalam pertarungan daripada hati kami
koyak, kau permalukan begitu rupa," tegas Rakalpa dengan suara tertahan.
"Bukan maksudku
menyakiti hati kalian. Tapi sungguh aku tidak kuasa membendung ilmu kebal yang kumiliki. Ilmu
itu bekerja sendiri saat tubuhku menerima pukulan," jelas Citrasoma.
"Kau memang sengaja ingin
mempermainkan kami!" bentak Antika keras.
"Maaf, Antika. Aku tahu,
kalian begitu dendam sehingga hendak menuntut balas kematian ayah kalian. Aku juga
punya perasaan yang sama. Terlebih lagi, selama bertahun-tahun selalu kena
fitnah. Aku dituduh mengkhianati persahabatan dan dituduh bersekongkol membunuh ayahmu.
Memang hal itu tidak bisa kusangkal, karena tidak ingin hal seperti itu
berkepanjangan. Tapi aku juga tidak bisa tinggal diam begitu saja. Aku mencoba
mencari mereka, tapi yang kudapatkan
hanya para kroco yang tidak tahu apa-apa.
Akhirnya kuputuskan untuk menyendiri, mencoba melupakan semuanya. Aku juga
mendengar kalau kalian sudah membunuh begitu banyak orang yang dicurigai
tersangkut atas pembunuhan ayah kalian.
Hanya saja sadarilah kalau perbuatan kalian justru membuat tokoh-tokoh rimba
persilatan jadi gelisah, karena tindakan yang tanpa pandang bulu. Setiap orang
yang dicurigai langsung dibunuh. Tidak peduli siapa sebenarnya dia dan apakah
memang benar-benar tersangkut dalam peristiwa itu. Sayang sekali, aku sudah
memutuskan untuk tidak lagi terjun dalam dunia persilatan yang keras. Dan
terpaksa kubiarkan kalian semua bertindak menurut kepercayaan dan keyakinan
kalian sendiri.
Aku tidak akan mengusik dan tidak akan memberikan perlawanan apa-apa jika kalian
ternyata memang mencari dan hendak membunuhku. Silakan.... Aku tidak akan
melawan jika itu dapat memuaskan hati, sehingga kalian berhenti memburu orangorang yang mungkin tidak bersalah,"
panjang lebar Citrasoma menuturkan seluruh isi hatinya.
Sedangkan Rakalpa dan kedua adiknya hanya diam saja. Antika sudah tidak menangis
lagi. Ketiga bersaudara itu seperti terpaku mendengar penuturan Citrasoma yang
begitu gamblang, satria,
dan keluar dari lubuk hatinya. Bahkan mereka semakin terpaku begitu melihat
Citrasoma melemparkan keris dan pedang yang tergantung di pinggang. Kedua murid
laki-laki setengah baya itu mengambil senjata tadi dan membawanya menyingkir.
"Kenapa kalian diam" Kalian ingin membunuhku, bukan" Silakan, laksanakan
keinginan kalian," ujar Citrasoma.
Tapi ketiga bersaudara itu hanya diam saja. Bahkan perlahan-lahan bergerak
mundur. Sementara Citrasoma masih tetap berdiri tegak memandangi. Ketiga
bersaudara itu berhenti setelah jaraknya sudah mencapai sekitar tiga batang
tombak. "Ayo, kita pergi dari sini," ajak Rakalpa.
"Tapi, Kakang...!" sentak Antika.
"Kita memang salah alamat. Aku yakin Paman Citrasoma tidak termasuk. Kita sudah
terlalu jauh melangkah. Sudahlah, kita tidak usah mencari gara-gara lagi untuk
membalas kematian Ayah," tegas Rakalpa. "Mari kita pulang."
Kedua adiknya saling memandangi.
Sebentar kemudian mereka bertiga sudah berbalik dan menghampiri kuda masingmasing. Tanpa berbicara satu patah kata pun, mereka menggebah kuda meninggalkan
tempat itu. Sementara Citrasoma masih memandangi, sedangkan kedua muridnya
menghampiri dan menyerahkan senjata gurunya itu. Citrasoma menerima, memasang
kembali pada tempatnya.
"Hhh.... Anak-anak yang malang.
Syukurlah mereka sudah sadar," desah Citrasoma pelan.
Serikat Serigala Merah 1 Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam Keris Pusaka Nogopasung 6

Cari Blog Ini