Ceritasilat Novel Online

Manusia Bertopeng Hitam 1

Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam Bagian 1


1 Udara malam itu terasa begitu dingin menggigit tulang.
Hujan deras yang mengguyur bumi Desa Malayasati hampir seharian tadi tak mampu
menguak gelapnya langit yang tertutup kabut tebal. Orang-orang pun enggan keluar
rumah. Kecuali sesosok tubuh berpakaian serba hitam yang tengah melangkah ringan di
jalanan yang sepi dan becek penuh genangan air.
Sepasang kaki yang tengah melangkah itu terayun ringan bagai tak menapak tanah
becek. Langkah kakinya nyaris tak terdengar sedikit pun, Di depan sebuah rumah
besar berhalaman luas dengan tembok tinggi yang mengelilinginya, sepasang kaki
itu menghentikan langkahnya. Tampak oleh si empunya sepasang kaki itu pintu
pagar yang tertutup rapat.
Pandangannya lalu terhenti pada dua orang yang meringkuk tertidur di lantai
beranda. Mendadak sesosok tubuh yang berpakaian serba hitam itu melenting ke udara,
berputar dua kali, lalu meluruk dengan cepat ke arah dua orang yang ada di
hadapannya. Begitu kakinya menyentuh lantai, tangannya bergerak cepat dan
menyambarnya. Kedua orang itu belum sempat menyadari keadaan, mereka hanya
sempat mengeluh pendek, lalu roboh dengan kepala pecah.
"Hmm...." sesosok tubuh berpakaian serba hitam itu menggumam pelan.
Sepasang kakinya yang terbalut kain hitam ketat, kembali melangkah ringan
melintasi beranda depan yang hanya diterangi sebuah pelita kecil. Langkahnya
yang ringan tak bersuara, menandakan orang itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Langkahnya terhenti saat mencapai depan pintu.
Perlahan-lahan tangannya terangkat ke depan.
"Hih!"
Dari kedua telapak tangannya yang terbuka, keluar asap tipis yang menggumpal
meluncur ke arah pintu. Kemudian, perlahan-lahan pmtu terkuak tanpa menimbulkan
suara sedikitpun. Kakinya lalu melangkah memasuki ruangan.
"Hm, rumah ini sangat besar. Aku harus memeriksa setiap kamar yang ada. Aku
yakin dia ada di dalam rumah ini,"
gumamnya perlahan.
Dia lalu memasuki sebuah kamar yang terdekat
Nalurinya begitu tepat. Seorang laki laki bertubuh tambun tergolek dalam tidur
yang lelap dengan seorang perempuan cantik yang punggungnya terbuka lebar.
"Tidurlah kau dengan lelap, babi gendut! Aku tak akan membuatmu bangun lagi."
orang itu mendengus sambil matanya menatap liar. Lalu perlahan-lahan dia
mengambil pisau dari balik bajunya yang hitam pekat.
Namun mendadak laki-laki yang hendak ditikamnya secepat kilat menyentakkan
tangannya. Plak! Keras sekali sentakan tangannya. Lalu disusul gerakan tangan kanannya
menyodok perut "Huk!" orang yang berpakaian serba hitam itu mengeluh pendek. Tubuhnya terdorong
beberapa langkah ke belakang.
"Bedebah! Siapa kau?" bentak lelaki itu sambil melompat turun dari pembaringan.
Meskipun tubuhnya tambun seperti tong, gerakannya amat gesit dan menyulitkan
lawannya. Orang yang perpakaian serba hitam itu mendengus seraya menyilangkan
pisaunya di depan dada. Dia mulai pasang kuda-kuda dan membuka jurus.
Lawannya pun tidak tinggal diam, sambil berpikir mencari tahu siapa gerangan
orang yang kurang ajar berani menyatroninya.
"Buka topengmu, bangsat! Apa urusanmu datang kemari?"
"Kau tak perlu tahu siapa aku, Badaraka. Aku datang diutus dewa keadilan untuk
mencabut nyawamu," dingin sekali suara orang bertopeng yang berpakaian serba
hitam itu. "Setan! Apapun alasanmu, kau telah lancang memasuki kamar pribadiku. Kau harus
mampus!" geram Badaraka.
Seketika Badaraka menyerang dengan jurus-jurus pendek tangan kosong. Rupanya
orang bertopeng hitam itu pun telah menyiapkan jurus-jurus andalannya, sehingga
dengan mudah serangan-serangan Badaraka dapat dipatahkannya. Bahkan kemudian
beberapa kali dia berhasil mendesak lawannya ke sudut kamar. Hingga pada suatu
kesempatan, Badaraka terjungkal setelah perutnya terkena tendangan maut.
Beruntung dia sempat mengegoskan badannya ketika lawannya menggebrak dengan
loncatan ke arah bagian vitalnya.
Suara gaduh oleh pertarungan di kamar itu
membangunkan si perempuan cantik dari tidurnya yang lelap.
Ia menjerit ketakutan dan mencoba meloncat dari pembaringan seraya memegangi
kain untuk menutupi tubuhnya. Orang bertopeng yang berpakaian serba hitam itu
tangannya segera bertindak cepat. Dan sebuah pisau meluncur bagai anak panah
lepas dari busurnya.
"Aaakh...!" perempuan cantik itu hanya bisa menjerit tertahan begitu pisau tepat
menancap di dadanya.
"Ratih...!" seru Badaraka terkejut
Badaraka jadi lengah, dan kesempatan yang sedikit itu dimanfaatkan oleh
lawannya. Secepat kilat dia meloncat menghajar Badaraka dengan tendangan dan
pukulan mautnya.
Badaraka kembali terjungkal dan sebuah pisau yang tertancap di lehernya
membuatnya menggelepar dan tak bernapas lagi.
Orang bertopeng yang berpakaian serba hitam itu menolehkan kepalanya demi
mendengar teriakan dan langkah-langkah kaki yang berlari semakin dekat dan jelas
terdengar. Dia melompat menerjang jendela, lalu tubuhnya melenting tinggi melewati pagar
tembok rumah lawannya yang telah binasa.
Orang-orang yang memburu ke arah kamar, langkahnya mendadak tertahan demi
melihat dua sosok tubuh terbujur bersimbah darah. Kengerian begitu terpancar
dari wajah-wajah mereka. Beberapa saat mereka seperti mematung di pintu kamar.
Baru ketika seorang lelaki muda menerobos masuk, mereka bergerak ke arah jendela
yang jebol. "Bedebah! Siapa yang melakukan ini?" geram anak muda itu seraya mengepalkan
tinjunya. "Kejar! Cari, jangan sampai anjing itu lolos!" perintahnya berang.
Orang-orang yang mendengar perintahnya langsung berlompatan ke luar melalui
jendela yang jebol. Di tangan mereka masing-masing tergenggam golok. Anak muda
itu kemudian berlutut di samping mayat Badaraka. Tangannya mencabut pisau yang
tertancap di leher. Sesaat dia memperhatikan pisau berlumuran darah yang
tergenggam di tangannya. Matanya beralih pada perempuan yang tergeletak di
pembaringan dengan kakinya terjuntai di lantai. Belum sempat dia bergerak untuk
mencabut pisau yang tertancap di dada perempuan itu, terdengar seseorang
berteriak memanggil namanya.
"Santika, apa yang terjadi?"
Anak muda yang dipanggil Santika itu menoleh. Dia langsung bangkit berdiri.
Seolah tak membutuhkan jawaban, lelaki muda yang barusan datang itu memandangi
dua sosok tubuh yang sudah tak bernyawa. Sejenak dia terdiam, kemudian
pandangannya beralih pada Santika.
"Siapa yang melakukan ini?" tanyanya berang.
"Seharusnya Kakang lebih tahu dari aku. Bukankah Kakang Banulaga yang bertugas
jaga malam?" Santika menatap tajam pada Banulaga yang tidak lain adalah kakaknya
sendiri. "Ini sudah lewat tengah malam. Tugasku sudah digantikan Wadalika," sergah
Banulaga. "Wadalika tewas di depan."
"Apa"!"
Belum lagi hilang rasa terkejut Banulaga, salah seorang yang diperintah mengejar
si pembunuh muncul dari balik jendela. Dia langsung membungkuk hormat.
"Tuan Muda, seluruh kekuatan telah dikerahkan, tapi tidak juga berhasil
menemukan orang itu."
"Cari terus! Pembunuh Itu harus ditangkap!"
"Baik, Tuan Muda."
* * * Kematian Badaraka membuat seluruh penduduk Desa Malayasati gempar. Badaraka
terkenal sebagai juragan kaya yang menguasai hampir seluruh tanah, sawah ladang
dan perkebunan di desa ini. Orang-orang pun sudah bisa menduga bahwa si pembunuh
pasti bukan orang sembarangan dan memiliki ilmu silat yang tinggi. Mereka tahu
kalau Badaraka juga memlliki ilmu silat yang cukup tinggi, dan puluhan centeng
selalu menjagai rumahnya siang malam. Tapi tak ada yang mampu menghadang sepak
terjang pembunuh misterius itu.
Kejadian di desa itu pun lalu terdengar sampai ke pelosok-pelosok desa lainnya.
Kematian Badaraka membuat bekas lawan maupun kawannya memperhitungkan si
pembunuh yang misterius itu. Tak terkecuali para penduduk yang mempunyai anak
perempuan. Mereka tahu benar kalau Badaraka mata keranjang dan gemar memakan
daun muda. Mereka dicekam ketakutan kalau-kalau si pembunuh malah lebih kejam dan bejad
dari Badaraka. "Apa kau sudah mengerahkan orang-orangmu untuk mencari pembunuh ayahmu?" tanya
Widura, sahabat kental Badaraka yang juga tuan tanah dari Desa Batujajar.
"Sudah, tapi orang-orangku kehilangan jejak."
"Aku menyesal sekali, seharusnya malam itu aku tahan ayahmu agar ia menginap di
rumahku." Banulaga tersenyum masam. Dia tahu betul siapa Widura ini. Laki-laki setengah
baya yang tak jauh beda dengan ayahnya. Laki-laki yang juga senang menyabung
ayam, main perempuan dan menghamburkan uangnya di meja judi.
Banulaga tahu kalau ayahnya baru pulang waktu larut malam dengan menggandeng
seorang perempuan ke
kamarnya. Dan hatinya benar-benar dibuat geram dan penasaran, karena ayahnya
mati saat lugasnya baru saja digantikan oleh orang lain.
"Sudah hampir sore, aku harus kembali," kata Widura pamitan.
"Terima kasih atas kedatangan Paman Widura kemari,"
ucap Banulaga. "Sama-sama. Kalau perlu apa-apa hubungi aku,"
"Baik. Sekali lagi terima kasih, Paman," Banulaga mengiringi Widura sampai ke
luar pintu. Seorang laki-laki muda menyongsong sambil menuntun kuda. Widura
segera melompat. Kedua orang itu langsung memacu kudanya masing-masing keluar
halaman rumah besar itu.
Banulaga menarik napas panjang. Pandangannya
merayapi keadaan sekitarnya. Tampak beberapa orang berjaga-jaga di setiap sudut.
Banulaga memang telah menyuruh orang-orangnya untuk tetap waspada sekaligus
mencari pembunuh ayahnya. Banulaga terkejut begitu membalikkan tubuhnya, tahutahu Santika sudah berdiri di ambang pintu.
"Ke mana saja kau?" tanya Banulaga.
"Di dalam," sahut Santika sambil melangkah ke luar.
"Santika, mau ke mana?"
"Ke luar!" sahut Santika acuh.
"Santika!"
Tapi Santika tetap saja berjalan ke luar, menghampiri kudanya yang tertambat di
pohon. Dalam sekejap saja dia sudah menggebah kudanya meninggalkan tempat itu.
"Anak setan!" Banulaga hanya bisa mendengus kesal.
* * * Sejak kematian Badaraka, praktis semua kekuasaan dan kekayaan yang dimilikinya
jatuh ke tangan Banulaga. Berbeda dengan adiknya, Santika, Banulalaga mewarisi
hampir semua sifat-sifat ayahnya. Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Bukan hanya kegemaran pada perempuan-perempuan cantik, tapi tingkah polahnya
melebihi kekejaman ayahnya.
"Badrun..!" Banulaga berteriak keras.
Orang yang dipanggil datang terbungkuk-bungkuk
menghampiri Banulaga yang berdiri bertolak pinggang dengan congkak di depan
pintu. "Ada apa, Tuan Muda?" tanya Badrun.
"Tuan Muda. Panggil aku Tuan Besar, tahu!" bentak Banulaga mendelik.
"Maaf, Tuan Besar. Saya sering lupa," Badrun nyengir.
"Sudah kau siapkan kuda?" Banulaga tak memperdulikannya lagi, dia terus saja
melangkah melewati beranda.
"Sudah, Tuan Besar," sahut Badrun mengiringi langkah majikannya.
"Hm," Banulaga menggumam kecil.
Badrun buru-buru mendahului Banulaga. Dia mendekati seekor kuda putih berbadan
tinggi besar dengan pelana bersulamkan benang emas. Lalu menuntun kuda itu ke
arah tuannya. Seperti ingin memperllhatkan ilmu meringankan
lubuhnya, Banulaga melompat ke atas punggung kudanya.
Tangannya menarik tali kekang. Sekilas dia melirik Badrun yang masih berdiri di
sampingnya. "Ambil kudamu, ikut aku," kata Banulaga.
"Hendak ke mana, Tuan Besar?"
"Ikut! Jangan banyak omong!" Banulaga setengah membentak.
"Iya, iya.., baik, Tuan Besar."
Badrun segera berlari kecil ke belakang rumah besar itu.
Tidak lama kemudian dia kembali dengan menunggang seekor kuda hitam. Kedua kuda
itu segera berpacu kencang meninggalkan halaman rumah. Dua orang penjaga pintu
gerbang yang bersenjatakan golok segera membungkukkan badannya memberi hormat.
Di sepanjang jalan desa, Banulaga mengendalikan kudanya dengan sikap angkuh.
Tidak sedikitpun bibirnya menyunggingkan senyum. Juga tak mengangguk ketika
penduduk di sepanjang jalan desa yang dilewatinya membungkukkan badannya.
Banulaga menjentikkan jarinya seraya menghentikan laju kudanya. Matanya yang
tajam menatap lurus pada sebuah rumah di antara lebatnya pepohonan. Sebuah rumah
berdinding anyaman bambu dan beratapkan rumbia. Badrun menghentakkan perut
kudanya mendekati Banulaga yang tak lepas lepasnya memandangi rumah yang ada di
hadapannya. "Kau tahu, rumah siapa Itu?" tanya Banulaga pelan.
"Yang mana, Tuan Besar?" Badrun malah bertanya lagi.
"Itu, goblok!"
"O..., Itu. Rumahnya Pak Karta. Memangnya kenapa Tuan?"
"Hm..., tidak."
Banulaga menghentakkan kudanya kembali. Namun baru saja kuda putih kesayangannya
melangkah beberapa tindak, ia menghentikan kudanya seketika. Dari pintu rumah
Pak Karta yang terkuak itu muncul seorang perempuan muda dengan bakul bambu di
pinggang kirinya. Mata Banulaga melotot, tak lepas-lepasnya memandangi perempuan
muda itu. Perempuan itu berparas ayu. Banulaga tahu dibalik kainnya yang ketat
ada sesuatu yang montok dan merangsang birahinya. Perempuan yang dipandanginya
terkejut menyadari ada dua lelaki asing tengah menjilati tubuhnya dengan
pandangan penuh birahi.
Bibirnya yang tipis merekah terbuka, membuat Banulaga menelan ludah. Ia seperti
melihat dewi dari kahyangan.
Badrun pun jadi ikut mendelik menatap liar tubuh si gadis.
"Badrun, anak perawan siapa dia?" tanya Banulaga berbisik
"Barangkali anaknya Pak Karta, Tuan Besar," sahut Badrun.
"Kenapa barangkali?" Banulaga tak puas dengan Jawaban pembantunya.
"Saya sendiri baru melihatnya, Tuan."
"Hmmm... sejak kapan Pak Karta punya anak perawan?"
Banulaga seperti bertanya pada dirinya sendiri. Lalu perhatiannya kembali pada
perempuan ayu yang kini sudah melangkah melewati pekarangan samping rumah.
Banulaga menelan ludah yang membasahi tenggorokannya.
Tiba-tiba saja muncul seorang lelaki tua dari arah samping belakang rumah. Lakilaki dengan pakaian dan celana longgar hitam itu langsung membungkuk begitu
melihat Banulaga berada di depan rumahnya.
"Orang tua itu Pak Karta, Tuan Besar," ucap Badrun. Lalu tanpa disuruh
majikannya, dia setengah berteriak memanggil,
"Kemari kau, tua bangka!"
Yang dipanggil buru-buru mendekat sambil
menubungkukkan badannya. Badrun lalu menoleh pada tuannya, seolah-olah
menyilakan tuannya untuk mengorek keterangan tentang perempuan muda itu.
Banulaga pun cepat menangkap maksud pembantunya. Ia menatap tajam pada Pak
Karta. "Apakah ada yang salah pada diri saya, Tuan?" Pak Karta bertanya dengan
membungkukkan badan penuh hormat dengan suara bergetar.
"Tidak," sahut Banulaga cepat.
Banulaga melirik pada Badrun, kemudian dia melompat turun dari kudanya. Badrun
juga berbuat yang sama, lalu mengambil alih tali kekang kuda majikannya untuk
ditambatkan bersama-sama dengan kudanya sendiri.
"Dengan siapa kau tinggal di sini?" tanya Banulaga tanpa rasa hormat sediktipun
pada orang yang lebih tua umurnya.
"Saya..., saya tinggal sendiri di sini, Tuan," jawab Pak Karta gugup.


Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau berdusta, heh?"
Pak Karta mengangkat kepalanya. Matanya melirik pada Badrun yang baru selesai
menambatkan kuda. Tampak gagang golok menyembul keluar di pinggang laki-laki
bertubuh hitam itu. Raut muka Pak Karta seketika menampakkan ketakutan.
"Siapa perempuan yang tadi keluar dari rumahmu?" tanya Banulaga keras.
"Oh! Tu... Tuan sudah melihatnya?" orang tua itu kaget
"Anakmu?"
"Bu... bukan. Eh... iya, Tuan" gugup sekali Pak Karta menjawab.
"Jawab yang benar!" bentak Badrun kasar.
"Eh... anu, Tuan, dia... dia anak saya."
"Hm...." Banulaga mengernyitkan alisnya. Matanya tajam dan agak liar menatap ke
wajah lelaki tua yang ada di depannya. Kemudian terbayang kembali wajah
perempuan muda yang membangkitkan birahinya. "Cepat panggil anakmu kemari!"
"Dia... dia masih kecil, Tuan!" Pak Karta berusaha menolak secara halus.
Trak! Badrun menghentakkan gagang goloknya dengan keras.
Pak Karta mengkeret melirik ke arah sumber suara itu.
"Ba... baik Tuan, saya panggilkan."
Banulaga sudah tak sabar, napasnya sudah naik turun tak karuan. Badrun pun
tersenyum kecil menyaksikan tuannya salah tingkah. Tak lama kemudian mereka
melihat Pak Karta dan anak perempuannya tengah berjalan menuju ke arahnya.
Sampai Pak Karta dan perempuan muda itu berdiri di hadapannya, matanya tak
berkedip merayapi keindahan dan kecantikan yang menggelorakan birahinya.
"Siapa namamu, gadis ayu?" tanya Banulaga tersenyum menyeringai.
"Mega Lembayung," sahut si perempuan datar.
"Ah, nama yang cantik, secantik orangnya," desah Banulaga merayu.
"Terima kasih."
"Pak Karta, aku bermaksud memboyong putrimu," kata Banulaga tanpa basa-basi.
Merah padam muka Mega Lembayung mendengar katakata itu. Sedangkan Pak Karta kebingungan mendengar permintaan yang sejak tadi
ia cemaskan. Mega Lembayung lalu menatap tajam Banulaga. Hatinya penuh kemarahan
dan kebencian. Tatapan matanya yang tajam mengagetkan Banulaga. Selama ini belum
ada seorang pun yang berani menatap wajahnya sedemikian rupa, apalagi seorang
perempuan. Banulaga meremehkan tatapan itu. Dia lalu melangkah menghampiri Mega Lembayung.
Tangannya terulur hendak menjamah. Tapi baru saja tangannya bergerak, tiba-tiba
Mega Lembayung menyentakkan tangannya. Begitu keras sentakan tangannya, hingga
tubuhnya terdorong ke samping dua langkah. Belum sempat Banulaga membalas, Mega
Lembayung menyampok kakinya.
Buk! Banulaga terpental dan jatuh terduduk di tanah. Badrun yang menyaksikan kejadian
itu, langsung menghunus goloknya. Sementara Banulaga melompat bangkit berdiri.
Bibirnya meringis menahan geram.
Baru kali ini dia kena batunya. Gadis itu terrryata punya kepandaian yang tak
bisa diremehkan.
"Perempuan laknat!" geram Banulaga sengit "Badrun, ringkus dia!"
Badrun meloncat tepat di hadapan perempuan muda itu.
Pak Karta langsung mundur menjauh. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetaran.
Kengeriannya makin bertambah manakala golok Badrun berkilat terkena sinar
matahari. Sementara Mega Lembayung menyingsingkan kainnya hingga terlihat celana
pangsinya. * * * 2 "He he heehe...." Badrun terkekeh dengan mulut menyeringai. Sikapnya benar-benar
meremehkan Mega Lembayung. Goloknya yang terhunus dia masukkan kembali ke dalam
sarungnya sambil matanya terus memandangi lawannya, seolah-olah ingin
menunjukkan kalau tanpa golok pun dia bisa meringkusnya.
Tangannya terulur hendak mengangkat tangan gadis itu, namun dengan cepat Mega
Lembayung menyentakkannya.
"Uts!"
Badrun cepat-cepat menarik tangannya kembali, dan segera meloncat meringkus
lawannya. Mega Lembayung memutar tubuhnya sedikit, lalu dengan cepat kaki
kanannya melayang ke arah perut Badrun yang menganggap remeh lawannya, tak dapat
lagi mengelak. Tendangan perempuan muda itu amat telak dia rasakan.
Pembantu Banulaga itu mengeluh pendek. Tubuhnya terjengkang beberapa langkah ke
belakang. Bibirnya meringis menahan sakit di perutnya, dan pandangan matanya
terasa kabur. Badrun lalu mencoba bangkit dan menggerak-gerakkan tangannya.
"Hiaaat...!"
Sambil bertenak nyaring Badrun melompat seraya
mengirimkan pukulan pendek. Mega Lembayung
memiringkan tubuhnya sedikit, dan tangannya terangkat menangkis pukulan. Dua
tangan itu beradu keras. Badrun meringis merasakan tulang tangan kirinya seperti
remuk. Kali ini dia tak bisa menganggap remeh lagi pada Mega Lembayung.
Sesaat Mega Lembayung memperhatikan lawannya.
Hingga detik ini dia hanya bermaksud mempertahankan diri.
Lalu dia melihat lawannya mulai membuka jurus-jurus andalannya. Diapun tidak
tinggal diam. Badrun mulai kembali menyerang dengan jurus-jurus tangan kosong. Dia mengirimkan
pukulan tipuan dengan tangan kanannya. Tapi secepat kilat Mega Lembayung
berhasil menangkisnya dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya mendorong ke
depan, disusul dengan tendangan kakinya bertubi-tubi. Badrun jadi kelabakan. Dia
bergegas mundur, namun dia masih merasakan dorongan angin dari tendangan Mega
Lembayung. Badrun bersalto dua kali sebelum kakinya menjejak tanah.
"Phuih!" dengus Badrun menyemburkan ludahnya.
Sret! Tanpa malu-malu lagi Badrun mencabut goloknya. Dia lalu melompat ke depan
beberapa langkah, lalu menyerang lawannya dengan jurus-jurus pendek dan cepat
Goloknya berkelebatan mengurung gadis itu. Namun sampai lima jurus telah ia
kerahkan, Mega Lembayung tak tersentuh sedikitpun oleh ujung goloknya yang tajam
dan berkilat-kilat. Bahkan beberapa kali pinggangnya terkena sodokan kaki
lawannya. Memasuke jurus ke sepuluh, Badrun mulai terdesak. Dia tak punya kesempatan lagi
untuk menyerang. Goloknya seperti tumpul dan mati. Tepat memasuki jurus ke
duabelas, dia kecolongan, kaki kanan Mega Lembayung menendang pinggangnya yang
kosong. Badrun melenguh pendek, dan tubuhnya terdorong ke samping. Belum lagi
dia sempat menguasai diri, datang lagi serangan cepat dan beruntun dari
lawannya. "Akh!" Badrun memekik tertahan.
Saat laki-laki berkulit hitam legam itu hilang
keseimbangannya, Mega Lembayung menggebrak dengan cepat ke arah dada. Badrun
terjengkang roboh ke tanah. Darah segar menyembur dari mulutnya. Dadanya terasa
amat sesak. Sulit untuk bernapas.
Badrun tengah berusaha bangkit, ketika gadis itu menjerit keras dengan kaki
tersentak ke depan. Kakinya nyaris menghantam kepala Badrun, ketika mendadak
sebuah sinar keperakan meluncur ke arahnya. Mega Lembayung melenting ke belakang
menghindari sinar keperakan itu yang ternyata sebuah golok.
"Pengecut!" dengus Mega Lembayung geram.
"Kau memang tidak bisa diajak senang, perempuan setan!" geram Banulaga.
"Phuih! Kau bisa berbuat semaumu pada gadis lain. Tapi jangan harap bisa
memangsaku!"
"Kau memang cantik, tapi mulutmu kotor!"
"Tidak lebih kotor dari dirimu sendiri, bangsat!"
Banulaga menahan geram dan darahnya mendidih. Kalau saja bukan perempuan cantik
yang ada di hadapannya, perempuan muda itu pasti sudah mati oleh jarum-jarum
beracunnya. Atau wajahnya sudah robek terkena sepasang golok peraknya. Perempuan
muda itu sudah telanjur membangkitkan birahinya, hingga terasa sayang kalau dia
bunuh sebelum dinikmati kehangatan tubuhnya.
Banulaga meraba pinggangnya. Tangan kanannya lalu menarik ikat pinggang yang
melilit. Tampak sebuah cambuk dari bahan kulit yang dipintal dengan urat kuat
tergenggam di tangannya. Suara cambuk itu menggelegar ketika Banulaga
mengebutkannya. Mega Lembayung beringsut mundur dua tindak. Sepasang bola
matanya yang indah menatap tajam pada cambuk yang tergenggam di tangan Banulaga.
Banulaga segera menyerang Mega Lembayung dengan cambuknya. Mega Lembayung
berlompatan menghindari ujung cambuk yang bergerak cepat mencecar tubuhnya.
Sementara dua pasang mata lainnya melihat dengan caranya yang berbeda. Badrun
melihatnya dengan senyum yang mengejek, tanpa rasa malu telah dipecundangi oleh
seorang perempuan muda. Tapi sepasang mata lainnya begitu cemas dan ketakutan
melihat pertempuran itu dari balik sebatang pohon. Pak Karta mulai meraba apa
yang akan terjadi pada diri Mega Lembayung.
Tiba-tiba tercium bau busuk yang menusuk hidung dan amat memualkan. Cambuk
Banulaga itu ternyata beracun.
Semakin gencar cambuk itu menghajar lawannya, baunya semakin menyengat dan
memabukkan. Mega Lembayung sudah tak bisa menguasai diri, tubuhnya limbung
mencium bau busuk semakin memecah terkena cambuk bertubi-tubi.
Tap! Perlawanan Mega Lembayung pun tampaknya mati
ketika ujung cambuk membelit tangan kanannya, lalu terangkat dan disentakkan
dengan keras oleh Banulaga yang mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tubuh Mega
Lembayung tersentak keras dan terbanting ke tanah.
"Ha ha ha...!" Banulaga tertawa puas melihat lawannya tak berdaya.
Beruntung Mega Lembayung memiliki kekuatan dan
kepandaian yang lumayan, hingga sentakan cambuk itu tak sampai merenggut
jiwanya. Sementara tak jauh dari tempatnya, tubuh Pak Karta tergeletak pingsan.
Tubuhnya yang ringkih tak mampu menahan bau busuk cambuk Banulaga. Dia muntahmuntah sebelum akhirnya tergeletak lemas
Mega Lembayung berusaha menghimpun kekuatannya
kembali. Dia mencoba bangkit, tapi Banulaga segera menyambar tubuhnya dengan
lecutan cambuknya. Pinggang Mega Lembayung pun terbelit tanpa bisa mengelak.
Banulaga menarik cambuk itu kuat-kuat sambil memutarkan badannya, dan tubuh
perempuan muda yang malang itupun kembali roboh.
Banulaga tertawa terbahak bahak melihat korban
keganasannya berkutat sendiri berusaha melepaskan belitan cambuk di tubuhnya.
Dia seperti tengah menonton adegan lelucon.
Pinggang Mega Lembayung terbelit
oleh cambuk yang sangat bau dan beracun.
Kemudian Banulaga menarik cambuk itu
kuat-kuat sambil memutarkan badannya, dan
tubuh perempuan muda yang malang itupun
tersentak mengikuti gerakan tubuh Banulaga.
"Badrun!" Banulaga menjentikkan jarinya. Badrun yang sedari tadi ikut terkekehkekeh melihat adegan itu langsung menghampiri sambil menuntun kuda putih
kesayangan tuannya. Dia sudah hapal betul apa yang yang akan diperguat Banulaga
jika menghadapi musuh-musuhnya yang sudah tak berdaya.
Banulaga pun langsung melompat ke atas punggung kuda tanpa melepaskan gagang
cambuknya. Tubuh Mega
Lembayung tersentak, terseret sempoyongan, lalu tersungkur sampai cambuk itu
terlepas sendiri dari tubuhnya yang memar dan penuh luka cambukan.
"Ha ha ha...! Perempuan tolol! Rupanya kau lebih suka dengan caraku begini,
heh?" Banulaga tertawa ngakak dari atas kudanya, lalu menoleh pada tubuh Pak
Karta yang masih tergeletak pingsan, "Ikat tua bangka itu di pohon!"
Badrun terkekeh sambil melangkah menghampiri laki-laki tua itu, lalu digelandang
dengan kakinya ke sebuah pohon.
Mega Lembayung yang melihatnya, mencoba bangkit dan berlari mendekat.
"Iblis kejam!"
Tar! Lecutan cambuk kembali mengenai tubuhnya, lalu ia roboh seketika.
Badrun mulai mengikat tangan Pak Karta. Lalu dengan tambang panjang dia mengikat
leher laki-laki tua itu. Sedang ujung satunya lagi dia ikatkan ke batu sebesar
dua kali kepala manusia.
Batu itu diletakkan di atas tonggak kayu, lalu di limbungkan dengan tongkat yang
dibelitkan dengan tambang yang mengikat leher Pak Karta. Sedikit saja pak tua
itu siuman dan menggerakkan kepalanya, tongkat itu akan menarik batu terjatuh ke
tanah, dan leher Pak Karta pun akan tercekik.
"He he he...," Badrun terkekeh melihat hasil pekerjaannya yang sempurna, lalu
mendekati Mega Lembayung yang sudah berdiri dengan cambuk yang membelit dadanya.
"Kau juga akan bernasib sama, Nona Manis. Kecuali kalau kau mau Jadi... he he
he...," Badrun kembali terkekeh.
"Cuih!" Mega Lembayung menyemburkan ludahnya, dan,tepat menemplok di muka
Badrun. "Sompret!" Badrun jadi geregetan. Tangannya sudah terangkat hendak menampar.
"Badrun!" sentak Banulaga cepat.
Badrun mendengus seraya menurunkan tangannya
kembali. Dengan muka cemberut dan menahan dongkol dia menyeka ludah di mukanya.
Laki-laki berkulit hitam legam itu menghampiri kudanya yang tertambat di pohon.
Matanya melirik Mega Lembayung sebelum meloncat ke punggung kudanya.
"Hiya!"
"Hiya!"
Tras! Tiba-tiba saja cambuk yang membelit dada Mega
Lembayung terputus begitu Banulaga menyentakkan tali kekang kudanya. Banulaga
terkejut dan segera melenting dari punggung kudanya. Badrun segera mengejar kuda
putih tunggangan tuannya ini.
"Bangsat!" geram Banulaga.
Dengan amarah yang memuncak, dia membuang
cambuknya yang sudah butut. Sedang Mega Lembayung bergerak bangkit sambil
melepaskan sisa cambuk yang melilit di tubuhnya. Tak jauh dari gadis itu,
berdiri seorang pemuda tampan berpakaian rompi putih dengan pedang bergagang
kepala burung menyembul di pinggangnya. Pemuda itu tak lain dari Pendekai
Rajawali Sakti. Dia lalu menolong Mega Lembayung melepaskan belitan cambuk.
"Terima kasih," ucap Mega Lembayung.
Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti itu hanya tersenyum tipis. Matanya tak
lepas menatap Banulaga yang sudah mencabut golok peraknya. Tampak wajah Banulaga
yang merah-padam menahan amarah. Kemudian terdengar suara langkah kuda mendekati
mereka. Badrun muncul dengan menuntun kuda putih dari atas punggung kudanya, dan
segera meloncat turun begitu melihat tuannya tengah memandang orang asing yang
belum dikenalnya. Tangannya langsung mencabut golok.
"Siapa kau" Berani mencampuri urusanku!" bentak Banulaga sengit.
"Aku Rangga," sahut Rangga tenang. "Aku tidak suka melihat kekejaman berlangsung
di depan mataku."
"Setan alas!"
"Menyingkirlah, Nona. Bebaskan orang tuamu," kata Rangga lembut.
"Hati-hati, orang itu kejam sekali," Mega Lembayung mengingatkan.
"Hm," Rangga hanya tersenyum kecil.
"Badrun!" Banulaga menjentikan jarinya.
Badrun langsung melompat menyerang dengan goloknya.
Rangga hanya memiringkan tubuhya sedikit, dan tebasan golok itu lewat di
sampingnya. Secepat kilat tangan Pendekar Rajawali Sakti itu mengibas ke arah
dada. Namun Badrun sudah lebih dulu bergerak ke kiri dan kibasan tangan Rangga
lewat di tempat yang kosong.
Kembali Badrun mengayunkan goloknya ke arah kepala, dan Rangga mengangkat tangan
kanannya. Tap! Golok Badrun berhasil dijepit dengan dua jari tangan. Badrun
berusaha menarik goloknya ke luar dari jepitan jari yang bagaikan sebuah
penjepit baja itu. Rangga menggerakkan jarinya sedikit, dan...
Trak! Golok yang dijepit patah jadi dua. Badrun terkesima menatap goloknya yang patah
itu. Dan belum sempat ia mengalihkan perhatian, mendadak kaki Rangga sudah
melayang deras menghantam dadanya.
Badrun terjengkang sejauh kira-kira dua batang tombak ke belakang. Dari mulutnya
memuncrat darah segar. Dan belum lagi dia sempat bangun, Rangga sudah melompat
bagai kilat, dan kakinya langsung menjepit leher laki-laki berkulit hitam legam
itu. "Hih!"
Trak Badrun tak mampu lagi bersuara. Tulang lehernya langsung patah. Hilang sudah
nyawa dari badannya. Rangga lalu memandang Banulaga yang masih terkesima melihat
kematian pembantunya yang hanya dengan sekali gebrak saja.
Banulaga cepat mengalihkan perhatiannya pada Rangga.
Dengan cepat dia meloncat sambil mengibaskan golok kembarnya.


Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga berkelit menghindari serangan cepat dua golok kembar keperakan itu.
Serangan Banulaga itu amat gencar dan dahsyat. Dua golok di tangannya
berkelebatan cepat, hingga yang terlihat hanya dua berkas sinar putih keperakan
yang mengurung tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu.
Banulaga telah mengerahkan kekuatannya hingga jurus ke sepuluh. Namun belum
sedikitpun tubuh Rangga terkoyak oleh golok kembarnya. Tampaknya Pendekar
Rajawali Sakti ini belum melayaninya secara sungguh-sungguh. Dia hanya berkelit
sekedar menghindari setiap serangan yang dilancarkan Ranulaga.
Tiba-tiba Banulaga menyatukan goloknya ke tangan kiri.
"Hiaaa...!"
Banulaga meloncat sambil melontarkan jarum-jarum mautnya yang beracun. Rangga
terbeliak sesaat, lalu secepat kilat tubuhnya melenting berputaran di udara
menghindari jarum-jarum beracun yang datangnya bagai hujan. Rangga benar-benar
dibuat kerepotan dengan serangan-serangan jarum-jarum itu. Dia berjumpalitan di
udara sambil matanya mencari-cari celah untuk membalas.
Dan kesempatan itu pun datang ketika Banulaga
kehabisan jarum-jarum mautnya. Hanya sesaat memang, dan itu juga cukup bagi
Pendekar Rajawali Sakti untuk membalas serangan. Secepat kilat dia meluruk deras
ke arah Banulaga.
Rangga langsung mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Kakinya
bergerak cepat dan berputar mengancam kepala lawan.
"Setan!" dengus Banulaga seraya menjatuhkan tubuhnya ke tanah.
Serangan Rangga luput di tengah jalan. Dan begitu kakinya mendarat, secepat
kilat Banulaga mengibaskan goloknya. Kembali Pendekar Rajawali Sakti harus
melompat menghindari tebasan golok itu. Banulaga buru-buru bangkit, dan
memisahkan golok kembarnya lagi. Kini kedua tangannnya menggenggam senjata. Saat
itu juga dia kembali menyerang dengan dahsyat
Rangga segera mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dengan Jurus itu
Banulaga jadi kerepotan, karena setiap pukulan yang dilontarkan lawannya,
menimbulkan hawa panas yang sangat menyengat kulit, yang diiringi dorongan angin
pukulannya yang kencang, sehingga menyulitkan Banulaga untuk bergerak.
Menyadari kekuatan dirinya yang tak bakal mampu menandingi kesaktian Pendekar
Rajawali Sakti dalam beberapa gerakan lagi, Banulaga segera melenting dan
meloncat ke punggung kudanya. Secepat kilat dia menggebah kuda putih
tunggangannya. Rangga berdiri tegak memandang kepergian Banulaga.
"Hm," Rangga menggumam pelan, lalu membalikkan tubuhnya. Matanya langsung
memandang Mega Lembayung yang tengah menyadarkan orang tuanya. Rangga segera
menghampiri dan segera memeriksa keadaan Pak Karta.
Kemudian dia mengangkat dan membawa tubuh orang tua yang malang itu ke depan
rumahnya. Pak Karta dibaringkan di balai-balai yang terbuat dari bambu.
"Ayahmu tidak apa-apa, cuma pingsan" kata Rangga. Lalu dia memijit bagian tangan
dan tengkuk Pak Karta sebentar.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan kami," ucap Mega Lembayung. Kepalanya
tetap tertunduk menatap wajah laki-laki tua yang tergolek di hadapannya.
"Sudah menjadi kewajiban manusia untuk menolong sesamanya," Rangga merendah.
Mega Lembayung mengangkat kepalanya, wajahnya
menatap paras tampan di depannya. Rangga memberikan senyum simpatiknya dengan
sedikit anggukan kepala.
"Siapa orang itu, dan kenapa dia menyiksa kalian?" tanya Rangga.
Belum lagi Mega Lembayung menjawab, terdengar suara batuk-batuk. Seketika dua
pasang mata mengalihkan tatapannya pada Pak Karta yang sudah mulai siuman.
Lelaki tua berbadan ringkih itu berusaha duduk. Mega Lembayung segera membantu
mengangkat tubuhnya. Laki-laki tua itu duduk bersandar.
Sebentar dia mengatur napasnya, kemudian menatap Rangga yang masih berdiri di
depannya. "Dia yang menolong kita, Kek," Mega Lembayung menjelaskan.
"Siapa namanmu, Kisanak?" tanya Pak Karta.
"Rangga," sahut Rangga tersenyum ramah.
"Terima kasih, kau telah menolong kami yang tak berdaya ini."
"Ah, cuma kebetulan saja," Rangga merendah.
"Hm..., tampaknya kau bukan penduduk desa ini. Apakah kau seorang pengembara?"
"Benar, Pak. Saya cuma pengembara yang mencari hidup dari satu tempat ke tempat
lainnya." Pak Karta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
mendadak dahinya berkerut melihat sesosok mayat tergeletak di depan rumahnya.
Kembali matanya menatap Rangga dan Mega Lembayung bergantian. Dia lalu menarik
napas panjang. "Seharusnya tadi kau tak usah ke luar, Mega," Pak Karta bergumam pelan seolah
menyesali apa yang telah terjadi.
Lelaki tua itu mendesah perlahan. Kematian Badrun di depan rumahnya tentu akan
berbuntut panjang. Lebih-lebih persoalannya langsung di tangan Banulaga yang
mengangkat dirinya sebagai pengganti Badaraka. Dia tidak bisa membayangkan apa
yang akan terjadi nanti. Banulaga tentu tidak akan tinggal diam begitu saja.
"Maaf, Kek. Kedatanganku membuatmu susah," terdengar pelan suara Mega Lembayung.
"Semuanya sudah terjadi. Banulaga tentu akan kembali lagi menuntut balas."
"Aku akan menghadapinya, Kek."
"Tidak! Kau tak akan sanggup menghadapi orang-orangnya Banulaga. Mereka orangorang yang kejam dan sangat tinggi kepandaiannya."
"Maaf, sebenarnya apa yang telah terjadi?" Rangga menyela.
Pak Karta memandang Pendekar Rajawali Sakti itu. Lalu mengalihlan pandangannya
pada Mega Lembayung.
"Sebaiknya kalian segera pergi meninggalkan desa ini Lebih-lebih kau, anak muda.
Kau telah membunuh Badrun, meskipun niatmu hanya menolongku dan Mega. Banulaga
tidak akan membiarkan begitu saja orang yang membunuh pembantunya, dan
membuatnya kehilangan muka," Pak Karta berujar lirih.
"Siapa Banulaga itu, Pak?"
"Dia pewaris dan pengganti ayahnya, Badaraka. Ayah dan anaknya tidak jauh
berbeda, mereka senang melampiaskan nafsunya pada setiap perempuan cantik yang
ditemuinya. Bahkan Kepala Desa sendiri tunduk padanya. Dia bisa berbuat apa saja yang dia
kehendaki, termasuk perempuan cantik yang sudah bersuami sekalipun, dia tidak
peduli," kata Pak Karta menjelaskan.
Rangga mengangguk kecil. Kini dia sudah bisa
memahami persoalan yang sebenarnya. Lalu sekilas sudut matanya melirik Mega
Lembayung yang masih duduk di tepi balai-balai bambu. Dalam hati kecilnya, iapun
mengagumi kecantikan Mega Lembayung yang nyaris menjadi korban kebuasan
Banulaga. "Mega cucuku yang tinggal satu-satunya. Baru seminggu dia tinggal di sini
bersamaku. Dan sejak dia berada di sini aku sudah mengkhawatirkan
keselamatannya. Tapi memang tinggal akulah satu-satunya yang dia miliki. Ayahnya
meninggal terbunuh saat mempertahankan istrinya yang diboyong paksa oleh
Badaraka. Ya, ibunya juga tewas bunuh diri karena merasa malu dirinya sudah
ternoda. Sekarang putranya juga ingin mengambil paksa, seperti yang dilakukan
ayahnya pada ibu Mega," suara Pak Karta semakin lirih saat menyudahi ceritanya.
"Kek..," Mega memegang tangan keriput kakeknya.
"Maafkan kakekmu, Mega. Aku memang merahasiakan ini padamu. Baru sekarang aku
terpaksa menceritakannya,"
ujar Pak Karta menatap kosong.
Rangga memandangi Mega Lembayung. Keningnya
sedikit berkerut mendengar cerita Pak Karta mengenai anak gadis ini. Cerita yang
sangat mirip dengan perjalanan hidupnya. Dia sepertinya tengah melihat satu
kilas balik dari riwayat hidupnya sendiri yang dialami Mega saat ini. Dia bisa
memahami perasaan yang tengah bergayut di hati cucu Pak Karta ini.
"Belum lama Badaraka dikuburkan. Hanya sebentar penduduk Desa Malayasati ini
menarik napas lega, dan sekarang mereka seperti menanti perjalanan panjang
bagaikan neraka yang tak berujung," kembali Pak Karta berkata pelan.
"Sudahlah, Kek. Apapun yang akan terjadi aku akan menghadapinya," kata Mega
Lembayung lembut.
Pak Karta hanya tersenyum pahit.
* * * 3 Kematian Badrun dan kegagalannya mendapatkan Mega Lembayung membuahkan dendam
kesumat di hati Banulaga.
Sebagai penguasa dan pewaris Badaraka, harga dirinya terasa dilecehkan begitu
saja oleh Pendekar Rajawali Sakti.
Banulaga mondar-mandir di beranda depan rumahnya.
Hatinya penuh luapan emosi. Seorang centengnya pun menjadi sasaran kekesalannya
dengan sebuah tendangan keras karena lamban menambatkan kudanya. Sesaat kemudian
dia berteriak memanggil salah seorang kaki tangannya.
"Japra!"
Laki-laki yang dipanggil Japra itupun membungkukkan badannya. Dia melangkah
mendekati Banulaga yang bertolak pinggang.
"Kau dan Sarkam pergi ke Gunung Kanji. Bilang pada Resi Maespati, kalau aku
membutuhkan kedatangannya.
Sekaligus kau ke Bukit Genting menemui Iblis Selaksa Racun.
Katakan aku yang meminta dia datang!" kata Banulaga.
"Sekarang, Tuan?" tanya Japra sopan.
"lya, sekarang!"
"Permisi, Tuan."
Japra melangkah pergi meninggalkan ruangan depan yang luas itu. Tatapan Banulaga
beralih pada seorang lagi yang berdiri di sudut halaman. Banulaga memanggil
dengan ujung jarinya. Laki-laki bermata picek itu mendekati. Tidak sedikitpun
dia membungkuk seperti Japra.
"Aku perlu bantuanmu, Setan Mata Satu," kata Banulaga pelan suaranya.
"Katakan saja, apa yang harus aku Iakukan?" berat sekali suara Setan Mata Satu
terdengar. "Lenyapkan siapa saja yang ada di rumah Karta dan bawa Mega Lembayung ke sini,"
kata Banulaga tegas.
"Ha ha ha...!" Setan Mata Satu tertawa keras mendengar tugas yang diberikan
padanya. Kalau saja bukan Setan Mata Satu yang tertawa mungkin sudah dirobek mulutnya.
Dia tahu siapa Setan Mata Satu, orang kepercayaan ayahnya yang memiliki
kesaktian sangat tinggi. Dia tak segan-segan membunuh siapa saja yang mencoba
menghalangi sepak terjangnya walaupun dia seorang perempuan Membunuh orang
baginya sama saja dengan menekuk batang leher ayam.
"Kalau cuma itu persoalannya, kenapa kau harus memanggil gurumu dan pamannya?"
ada nada ejekan dari Setan Mata Satu.
"Kau akan tahu kalau sudah berhadapan dengannya, Setan Mata Satu," dengus
Banulaga sengit.
"Apakah dia raja setan" Atau dewa yang menyamar jadi manusia?" Setan Mata Satu
bertanya lagi dengan nada meremehkan.
"Bukan! Aku tidak sedang bercanda, Setan Mata Satu. Dia masih sangat muda dan
memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Kalau aku tak salah, julukannya Pendekar
Rajawali Sakti."
Setan Mata Satu seperti tak percaya mendengarnya. Nama itu seperti pernah
dikenalnya. Beberapa saat dia tercenung.
Benar! Nama Pendekar Rajawali Sakti bukanlah nama kosong dan sembarangan. Nama
yang sudah terkenal, seorang pendekar pilih tanding yang sudah banyak
mengalahkan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Sampai saat ini kesaktian
Pendekar Rajawali Sakti belum ada yang bisa menandinginya.
Rasanya mustahil kalau pendekar itu bisa nyasar sampai ke sini.
Seratus orang yang kepandaiannya sama dengan dirinya pun belum tentu bisa
mengalahkan kesaktian Pendekar Rajawali Sakti. Pantas saja Banulaga sampaisampai mengundang guru dan paman gurunya untuk datang.
"Kenapa" Kau kelihatan terkejut mendengarnya, Setan Mata Satu. Apakah kau
gentar?" kali ini Banulaga mengejek.
"Phuih! Tidak ada kata gentar bagi Setan Mata Satu!"
dengus Setan Mata Satu, "Aku justru heran kenapa kau keturunan Badaraka yang
sakti tak bisa herbuat apa-apa menghadapinya,"
Deg! Panas hati Banulaga mendengarnya. Setan Mata Satu memang pintar membalikkan
omongan dari keadaan yang sebenarnya. Dia sendiri sebenarnya gentar.
Banulaga menahan emosinya.
"Kalau begitu, laksanakan tugasmu sekarang juga."
"Tidak sekarang!"
"Kenapa" Kau takut?"
"Tidak, untuk menghadapi Pendekar Rajawali Sakti aku harus meminta bantuan
saudaraku."
Banulaga tersenyum senang mendengarnya. Sejak tadi dia ingin mengutarakannya.
Tapi kalau Setan Mata Satu sendiri yang mengatakannya, tidak ada alasan lagi
untuk meminta. Banulaga tahu siapa yang dimaksud Setan Mata Satu. Kakak kandung Setan Mata Satu
sendiri yang kini tinggal di pesisir Pantai Selatan.
"Aku yakin, Kakang Raja Ular mau membantu," kata Setan Mata Satu.
"Kalau begitu, berangkatiah sekarang juga,"
"Bukan aku, tapi seorang utusan yang akan membawa suratku,"
'Terserah, apa yang kau anggap baik, lakukan saja."
"He he he... " Setan Mata Satu terkekeh.
* * * Saat itu, Japra dan Sarkam yang diutus untuk menemui Resi Maespati telah sampai
di Gunung Kanji. Perjalanan dari Desa Malayasati ke Gunung Kanji hanya memakan
waktu setengah hari berkuda. Tidak ada hambatan berarti yang ditemui mereka
sepanjang perjalanan.
Mereka hampir tak berkedip memandang laki-laki tua dengan janggut dan kumis
lebat. Seluruh rambutnya dibiarkan bergerai tak teratur. Pakaiannya lusuh
kecoklat-coklatan seperti tak pernah ketemu air. Rasanya tidak pantas orang yang
penampilannya seperti gembel itu dipanggil resi.
"Hm..., kau utusan dari muridku?" tanya Resi Maespati, suaranya terdengar pelan
dan serak. Matanya merah dan tajam bagai elang menatap tak berkedip pada Japra
yang berdiri paling depan.
"Benar, Resi," sahut Japra sambil membungkuk hormat.
"Apa tandanya kalau kau utusan Banulaga?"
"Ini."
Japra mengeluarkan sebuah cincin bermata cubung hitam dari balik saku bajunya,
lalu diberikannya pada Resi Maespati.
Sesaat lelaki tua yang berbaju kumal itu memandangi cincin yang sudah berpindah
ke tangannya. Kepalanya lalu terangguk-angguk sambil memasukkan cincin itu ke
dalam saku bajunya yang longgar.
Bola mata yang bulat merah itu kembali menatap tajam Japra dan Sarkam
bergantian. Sepertinya dia tengah meyakinkan dirinya bahwa kedua orang itu
benar-benar utusan Banulaga dari Desa Malayasati.
"Ada apa dia memanggilku?"
"Tuan Banulaga Bdak menjelaskan, Tapi dugaan hamba mungkin ada hubungannya
dengan kematian Tuan Besar Badaraka," sahut Japra.
"Bicara yang benar!" bentak Resi Maespati tak percaya.
"Maaf, Resi. Sudah empat hari yang lalu Tuan Besar
Badaraka tewas terbunuh di...."
"Kurang ajar!" ucapan Japra terpotong oleh Resi Maespati yang tampak geram.
Wajah tua yang lusuh itu berkerut menegang. Sepasang matanya semakin merah
menyala, giginya pun bergemeletuk rapat. Lalu dadanya mengembang naik, mencoba
menahan amarahnya yang kian memuncak. Japra dan Sarkam yang melihatnya jadi
merasa ngeri dan ketakutan sendiri. Mereka seolah melihat raja hutan yang
terluka dan siap menerkam mangsanya.
Bagaimanapun Badaraka dan kedua anaknya Banulaga dan Santika, adalah murid-murid
kesayangannya. Bahkan antara dirinya dan Badaraka masih adi hubungan darah. Resi
Maespati adalah kakak misan dari orang tua Badaraka, sehingga kedua anak
Badaraka itu memanggilnya dengan sebutan Eyang Guru. Dan hanya pada ketiga orang
bapak dan anak itulah dia mewariskan segenap ilmu yang dimilikinya selama ini.
Lama sekali Resi Maespati terdiam. Dadanya yang mengembang perlahan-lahan turun,
bersamaan dengan amarahnya yang sedikit mulai berkurang. Tatapannya kembali
kosong. "Siapa pembunuhnya?" tanya Resi Maespati dingin.
"Belum terungkap, Resi. Kami berusaha sekuat tenaga untuk melacaknya, tapi kami
sama sekali tak menemukan jejaknya," sahut Japra yang diikuti anggukan kepala
Sarkam membenarkan.
"Sebaiknya kau segera ke Bukit Genting. Katakan kalau aku juga segera menemui
Banulaga."
"Tuan Banulaga juga sudah memerintahkan begitu, Resi."
Japra dan Sarkam segera bangkit hendak mohon diri, tapi langkahnya terlihat
bimbang.

Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunggu apa lagi"!"
"Ng..., anu. Anu, Resi... maaf, cincin itu...."
"Huh!"
Resi Maespati mendengus, lalu tangannya merogoh saku bajunya. Japra segera
menangkap cincin yang dilemparkan sang resi ke arahnya.
Resi Maespati masih berdiri mematung di depan
Pondoknya sepeninggal Japra dan Sarkam. Tatapannya menerawang jauh, entah apa
yang tengah bergayut dalam benaknya.
* * * Empat orang tokoh sakti dunia persilatan itu saling berpandangan satu sama lain,
begitu Banulaga selesai menceritakan bagaimana ayahnya mati terbunuh. Wajahwajah mereka membiaskan rasa dendam yang membara.
"Hm..., lantas hanya untuk meringkus seorang pembunuh kau mengundang kami?" Raja
Ular bertanya setengah merendahkan Banulaga, sekaligus mengesankan
kesombongan. "Bukan itu saja, dalam kejadian terpisah seorang pembantuku pun mati terbunuh."
"Kau kalah?" sinis suara Resi Maespati bertanya.
"llmunya sangat tinggi, aku tidak sanggup
menandinginya," sahut Banulaga polos.
"Kau kenal dia sebelumnya?" tanya Resi Maespati lagi.
"Tidak..., aku baru kali ini bentrok dengannya. Kalau aku tidak salah, orang itu
dijuluki Pendekar Rajawali Sakti."
Keempat tamu yang tengah dijamu Banulaga itu
tercenung sesaat. Mereka sepertinya tengah mencri tahu tentang nama yang baru
terucap oleh Banulaga.
"Orangnya masih muda, selalu berbaju rompi putih....
Benar?" tanya Raja Ular.
Banulaga cuma mengangguk membenarkan.
"Tidak salah," celetuk Setan Mata Satu. "Aku pernah mendengar nama Pendekar
Rajawali Sakti. Sepak terjangnya harus diperhitungkan. Sudah banyak tokoh-tokoh
sakti yang tewas di tangannya."
"Ya, aku juga pernah melihatnya bertarung di Bukit Setan," sambung Raja Ular.
"Kau juga ikut bertarung?" tanya Iblis Selaksa Racun.
"Tidak, untuk apa ikut bertarung" Aku tidak punya kepentingan sama sekali. Aku
cuma kebetulan lewat dan sempat melihat beberapa jurus saja. Itu pun langsung
selesai." "Itu berarti kau sudah mengukur tingkat kepandaiannya, kan?" sergah Resi
Maespati cepat.
"Sulit..," Raja Ular menggeleng-gelengkan kepalanya.
Resi Maespati dan Iblis Selaksa Racun mengerutkan alisnya. Mereka tahu siapa
Raja Ular ini, seorang yang sudah memiliki nama kondang dalam dunia persilatan,
dan tak bisa dipandang sebelah mata. Kalau Raja Ular saja tak sanggup mengukur
kepandaiannya, tentulah Pendekar Rajawali Sakti itu mempunyai tingkat kepandaian
yang sangat tinggi.
Suasana di beranda rumah itu lalu sepi tanpa suara.
Mereka larut dalam alam pikirannya masing-masing. Suasana sepi itu baru terpecah
bersamaan dengan lewatnya seseorang di pelataran rumah.
"Japra!" Banulaga berteriak memanggilnya.
Japra yang tengah lewat di pelataran rumah itu segera menghampiri, lalu
membungkuk memberi hormat.
"Ada apa, Tuan?"
"Kau tahu di mana Santika sekarang?" tanya Banulaga.
"Tidak, Tuan."
"Cepat kau cari. Katakan aku dan Resi Maespati mencarinya!"
"Baik, Tuan. Segera saya berangkat." Japra mohon diri.
Beberapa saat suasana di beranda rumah itu kembali sepi.
Lalu terdengar suara Resi Maespati yang seperti bergumam pada dirinya sendiri.
"Apa tidak mungkin yang membunuh Badaraka Pendekar Rajawali Sakti itu?"
"Tidak," sanggah Setan Mata Satu cepat "Pendekar Rajawali Sakti tidak pemah
muncul secara diam-diam.
Lagipula antara Badaraka dan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ada persoalan
apa-apa." "Lalu kenapa dia membunuh Badrun?"
"Sebenarnya itu masalah pribadiku," kata Banulaga pelan.
Dengan sedikit menahan malu Banulaga menceritakan kejadian yang dia alami
bersama Badrun, yang akhirnya mati terbunuh di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Semua kepala tergeleng-geleng mendengarnya. Banulaga benar-benar menuruni sifat
ayahnya yang gemar perempuan-perempuan cantik. Lain halnya dengan Resi Maespati,
meskipun kepalanya tergeleng-geleng, tapi bibirnya yang tertutup misai lebat itu
tersenyum simpul.
Pada masa mudanya, Resi Maespati sendiri dalam setiap langkah pengembaraannya
tak lepas dari soal perempuan.
Sepertinya dia menyimpan dendam yang terpendam dengan mereka, perempuanperempuan cantik yang membangkitkan gairahnya. Dan ini dia turunkan pada
Badaraka, murid kesayangannya yang kini telah tiada. Rupanya tanpa dia ajarkan,
Banulaga menuruni sifat dirinya dan ayahnya.
"Lantas, apa yang harus kami perbuat untukmu?" tanya si Raja Ular.
"Melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti dan mencari pembunuh ayahku," sahut
Banulaga. "Lalu, untuk apa kau punya centeng dan pembantu puluhan orang?" terdengar nada
sinis dari si Raja Ular.
Banulaga tersenyum kecut Pertanyaan bodoh! gerutunya dalam hati. Tak mungkin
mereka diundang kalau dia sendiri mampu menghadapinya.
"Kakang, sebaiknya tidak terlalu banyak tanya. Kita sudah banyak berhutang budi
pada Badaraka," sergah Setan Mata Satu yang tak enak dengan sikap kakaknya ini.
"Hm, baiklah. Demi mendiang Badaraka, aku akan mempertaruhkan nyawa untukmu,"
kata si Raja Ular.
"Terima kasih," ucap Banulaga pelan.
* * * 4 Resi Maespati mencegah langkah Santika yang baru pulang ketika pembicaraan di
beranda rumah itu usai. Adik Banulaga satu-satunya itu terkejut melihat Resi
Maespati yang berdiri di depannya. Buru-buru dia berlutut memberi hormat pada
gurunya. Resi Maespati menyentuh pundak Santika dan memintanya berdiri.
"Kapan Eyang Resi datang?" tanya Santika.
"Siang tadi," sahut Resi Maespati tenang.
"Maaf, aku tidak tahu kalau Eyang mau datang sini. Aku tidak bisa menyambut,"
kata Santika. "Tidak apa, aku datang atas undangan kakakmu."
"Kakang Banulaga?" Santika mengernyitkan alisnya.
"Untuk apa Kakang Banulaga meminta Eyang datang?"
"Mencari pembunuh ayahmu."
Santika terdiam. Matanya menatap lurus pada Resi Maespati, lalu tertunduk dalamdalam. Sudah lima hari ayah mereka dikuburkan. Dan selama itu tidak ada lagi
kejadian yang meminta korban. Kenapa baru sekarang Banulaga mau mencari
pembunuhnya" Bukankah itu sudah terlambat"
Santika jadi tak mengerti dengan sikap kakaknya. Tiga hari setelah kematian ayah
mereka, Banulaga langsung mengangkat diri sebagai penggantinya tanpa mengajaknya
berunding terlebih dahulu.
Dan kini dia mengundang guru mereka untuk mencari pembunuhnya. Santika melirik
Kelana Buana 30 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Tabir Pulau Hitam 2

Cari Blog Ini