Ceritasilat Novel Online

Manusia Bertopeng Hitam 2

Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam Bagian 2


ke dalam, tampak beberapa orang sedang duduk berbincang-bincang di ruangan
tengah. Santika tahu siapa mereka, kecuali satu yang tidak dia kenal.
Orang yang mengenakan pakaian hijau lumut dengan tongkat berkepala ular di
tangannya. "Mereka semua diundang Banulaga," kata Resi Maespati seolah mengerti apa yang
tengah dipikirkan Santika saat ini.
"Siapa orang yang bertongkat ular itu?" tanya Santika.
"Si Raja Ular, kakaknya Setan Mata Satu."
"Hm...," Santika menggumam tak jelas.
"Aku mau bicara sedikit denganmu, Santika," kata Resi Maespati.
Santika tak menolak ketika Resi Maespati mengajaknya menuju ke arah samping
rumah. Mereka lierjalan beriringan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, dan baru
berhenti melangkah setelah jauh berada di bagian belakang rumah yang banyak
ditumbuhi pepohonan dengan cahaya yang menerangi.
"Seharian kau tak berada di rumah. Ada urusan apa?" Resi Maespati membuka suara
lebih dulu. "Bosan," sahut Santika acuh.
"Bosan" Lantas ke mana saja kau pergi seharian?"
"Ke mana saja, asalkan tidak melihat Banulaga."
"He! Kau ada masalah apa dengan kakakmu?" Resi Maespati terkejut .
"Aku tak mau ribut dengan saudaraku sendiri. Rasanya lebih baik menghindar
daripada harus membunuhnya," ringan sekali Santika menjawab.
Resi Maespati semakin terkejut. Sama sekali dia tidak tahu kalau dalam hati
Santika tersimpan bara yang sewaktu-waktu bisa berkobar besar.
"Kau mau mengatakan persoalanmu padaku, Santika?"
pinta Resi Maespati.
"Mungkin, tapi percuma saja aku mengatakannya. Eyang Resi pasti lebih memihak
Kakang Banulaga daripada aku."
"Kenapa kau berkata begitu?"
"Karena aku tidak bisa seperti Ayah atau Banulaga. Aku bukan seperti mereka yang
senang menghancurkan hidup wanita, yang senang mengadu domba dan melihat
penderitaan orang lain bagai menonton pertunjukan. Eyang Resi bisa melihat
sendiri, bagaimana kehidupan penduduk yang setiap hari membanting tulang
menggarap sawah ladang. Semuanya hanya untuk membayar hutang yang mencekik
leher. Belum lagi mereka menjual tanah dan sawah ladang dengan harga yang tidak
pantas, dan terpaksa menggarapnya dengan upah yang tidak memadai. Apakah aku
salah kalau aku ingin merombak semua yang telah dilakukan ayah berpuluh-puluh
tahun?" begitu bersemangatnya Santika berbicara, menumpahkan semua isi hatinya.
Resi Maespati terdiam mendengar tutur kata yang teratur dan penuh semangat.
Sedikitpun dia tidak menyalahkan Santika, tapi memang harus diakui kalau dirinya
tidak menginginkan Santika merombak yang sudah ada. Sejak masih kecil dan
belajar ilmu olah kanuragan, Santika memang sudah menampakkan pola berpikir dan
tingkah laku yang berbeda dengan prinsipnya. Dan sekarang semuanya terbuka
jelas. "Maaf, Eyang Resi. Aku tidak bisa mendukung semua yang akan Kakang Banulaga
lakukan. Aku telah memilih jalan hidupku sendiri, ketenangan dan kedamaianlah
yang aku inginkan," kata Santika seraya berlalu.
Resi Maespati hanya bisa memandangi punggung Santika tanpa dia bisa mencegahnya.
Sementara sepasang mata lainnya turut memandang kepergian Santika dan Resi
Maespati yang masih berdiri mematung dari rerimbunan pohon yang tak jauh dari
dua orang yang baru dilihatnya selesai berbicara.
"Dari mana saja, Eyang?" tegur Banulaga begitu kaki Resi Maespati menginjak
beranda rumah. "Jalan-jalan menghirup udara segar," sahut Resi Maespati terus melangkah.
"Aku lihat tadi Santika masuk ke kamarnya. Apakah Eyang Resi sudah menemuinya?"
tanya Banulaga seraya mengikuti langkahnya.
"Sudah," sahut Resi Maespati pendek.
"Sejak kematian ayahanda, dia banyak berubah," gumam Banulaga pelan.
"Kau tidak pernah menanyakannya?"
"Sudah, tapi dia tidak pernah mau menjawab."
"Hm...," Resi Maespati cuma bergumam.
"Malam sudah sangat larut Sebaiknya Eyang istirahat saja.
Kamar sudah disiapkan untuk Eyang," kata Banulaga sambil menunjuk sebuah kamar
yang pintunya masih terbuka.
Resi Maespati tidak berkata apa-apa, dan langsung melangkah ke kamarnya. la
tersenyum begitu tangannya membuka pintu. Tampak sesosok tubuh ramping tergolek
di atas pembaringan. Tubuh yang indah itu hanya tertutup selembar kain sutra
merah muda yang halus dan tipis.
Keindahan dan lekuk-lekuk tubuhnya begitu jelas terlihat di keremangan cahaya
pelita. Tubuh yang ramping dan sintal itu begitu menggairah kan. Resi Maespati
menutup pintu dan....
* * * Suara jeritan melengking begitu jelas terdengar. Disusul pekikan tertahan,
lalu..., buk! Seperti ada sesuatu yang terjatuh ke tanah. Suara-suara gaduh dan
teriakan pun saling susul menyusul. Orang-orang seisi rumah Banulaga pun
berhamburan mencari sumber suara yang mengagetkan, yang ternyata dari kamar
Banulaga. "Banulaga! Ada apa" Apa yang terjadi?" terdengar suara Resi Maespati.
"Akh!" kembali terdengar suara pekikan tertahan dari dalam kamar.
Seketika itu juga pintu kamar hancur berantakan disusul dengan berlompatannya
Resi Maespati, Iblis Selaksa Racun, Setan Mata Satu dan si Raja Ular ke dalam
kamar. Tampak Banulaga terduduk di pinggir ranjang dengan tangan kiri memegangi
bahu kanannya. Darah merembes keluar dari sela-sela jari.
Pada saat itu juga sebuah bayangan hitam berkelebat cepat menembus jendela
hingga hancur berantakan. Resi Maespati langsung meloncat mengejar bayangan
hitam itu, disusul Iblis Selaksa Racun dan si Raja Ular. Sedang Setan Mata Satu
membantu Banulaga berdiri.
Setan Mata Satu tengah mengobati Banulaga ketika ketiga orang yang mengejar
bayangan hitam itu muncul kembali.
"Bagaimana?" tanya Setan Mata Satu.
"Dia seperti malaikat. Cepat sekali menghilang," sahut Resi Maespati.
Laki-laki tua yang berwajah lusuh itu melirik ke arah pembaringan. Tampak sebuah
belati tertancap di leher perempuan muda yang tubuhnya setengah telanjang. Iblis
Selaksa Racun cepat tanggap. Dicabutnya belati itu, lalu diamatijnya sesaat
"Beracun," dengusnya.
Dia bergegas menghampiri Banulaga dan memeriksa lukanya. Keningnya berkerut
melihat warna kebiruan di sekitar goresan luka yang memanjang. Iblis Selaksa
Racun cepat menekan luka itu dengan tangannya. Banulaga menjerit keras merasakan
bahunya yang terasa panas membakar. Dia mencoba bertahan sekuat tenaga, tapi
kemudian pingsan bersamaan dengan tangan Iblis Selaksa Racun terangkat. Darah
merah kebiru-biruan keluar deras dari goresan lukanya yang memanjang. Iblis
Selaksa Racun bergumam tak jelas.
Dia mengeluarkan sebungkus bubuk putih dari saku baju, lalu tangan kirinya
menaburkan bubuk itu tepat di bagian luka.
Asap tipis mengepul kemudian terlihat lalu perlahan-lahan luka itu mengering dan
darah berhenti mengalir. Iblis Selaksa Racun mendesah panjang sambil memasukkan
kembali sisa bubuk itu ke dalam saku bajunya.
"Racun yang hebat. Sangat cepat kerjanya," gumam Iblis Selaksa Racun.
"Beruntung Banulaga punya kekuatan tubuh yang lumayan, hingga nyawanya bisa
tertolong."
"Apakah sudah ke luar semua racunnya?" tanya Setan Mata Satu.
"Sudah, cuma lukanya tidak bisa hilang."
Beberapa saat keheningan mencekam seisi kamar Itu Tidak seorang pun yang membuka
suara. Mereka tengah menelusuri jalan pikirannya masing-masing tentang pembunuh
misterius yang bergerak cepat dan tak bisa dihadangnya. Mereka punya pandangan
yang sama meski tak terucapkan.
"Kau bisa melihat wajahnya, Kakang Maespati?" tanya Iblis Selaksa Racua
"Tidak," sahut Maespati.
"Seluruh mukanya tertutup selubung hitam."
"Hm...," ketiga orang lainnya bergumam bersamaan.
* * * Munculnya manusia bertopeng hitam yang misterius itu membuat orang-orang
Banulaga bertambah geram. Apalagi ketika ditemukannya mayat Sarkam yang mati
terbunuh dengan kepala pecah. Sarkam yang pernah bersama Japra diutus Banulaga
untuk menemui Resi Maespati dan ketiga tokoh lainnya itu tergeletak di samping
kandang kuda tuannya.
Banulaga merasa seperti dipermainkan dan dipecundangi, lalu hampir semua centeng
dan anak buahnya menjadi korban amarahnya yang memuncak. Banulaga dan empat
tokoh yang menjadi tamunya tak menemui apa-apa yang bisa dijadikan petunjuk dari
tubuh Sarkam. Japra yang biasanya berdua dengan Sarkam pun mengaku pada tuannya
kalau dia tidak bisa berbuat apa-apa karena dia memang sedang tidak mendapat
giliran jaga ketika temannya itu mati terbunuh.
Berbeda dengan kejadian yang dialami Banulaga, kali ini tidak ada satu belati
pun yang menancap pada tubuh Sarkam.
Tapi kematian Sarkam yang hanya selisih dua malam berselang membuat Banulaga dan
orang-orangnya tetap yakin kalau dua peristiwa terakhir ini semuanya dilakukan
oleh si Manusia Bertopeng Hitam.
Resi Maespati dan ketiga tokoh lainnya tidak mempunyai pilihan lain, kecuali
menggembleng Banulaga dengan ilmu-ilmu yang mereka miliki dan menjadi
andalannya. Mereka yakin benar, kalau si Manusia Ber topeng Hitam akan datang
kembali untuk melenyapkan Banulaga. Seorang pembunuh berilmu tinggi dan berdarah
dingin tentu tidak akan berbuat setengah-setengah untuk menghabisi setiap korban
yang diincarnya.
Sementara kakaknya terus mengasah ilmunya, Santika nyaris tak pernah kelihatan
batang hidungnya. Dini hari menjelang fajar, dia sudah menggebah kudanya dan
baru pulang ke rumah saat Banulaga dan tamu-tamunya tengah tertidur lelap.
Banulaga yang sebenarnya merasa tidak enak pada tamu-tamunya atas sikap adiknya
ini tidak lagi peduli.
Dendam kesumatnya pada si Manusia Bertopeng Hitam juga membuat otaknya tak lagi
dijejali oleh bayangan Mega Lembayung dan si Pendekar Rajawali Sakti.
Dua puluh satu hari pun berlalu sejak kejadian yang menimpa Banulaga. Resi
Maespati dan ketiga tokoh lainnya merasa sudah cukup berbuat banyak untuk
menurunkan semua ilmu dan kepandaiannya pada putra sulung Badaraka itu. Dan
kini, mereka seperti sudah tidak sabar untuk membekuk si Manusia Bertopeng
Hitam. Malam sudah menjelang larut, namun Banulaga dan keempat tamu yang sudah menjadi
gurunya itu masih duduk-duduk di beranda tengah. Mereka sepertinya tengah
merundingkan rencana-rencana yang akan mereka lakukan.
"Banulaga, bagaimana dengan orang-orangmu"
Maksudku, yang kau tugasi untuk mengawasi rumah si Karta dan gerak-gerik adikmu,
Santika?" tanya Resi Maespati.
"Hmmm...," Banulaga bergumam. "Pendekar Rajawali Sakti seperti angin, lenyap
tidak berbekas... langkah Santika pun sulit diraba," katanya pelan.
"Sejak kematian Sarkam pun tidak ada korban lagi..., kita kehilangan jejak si
Manusia Bertopeng Hitam yang misterius itu," Setan Mata Satu berucap, menyambung
kata-kata Banulaga.
"Aku kira...," Iblis Selaksa Racun angkat bicara, "Selagi kita semua masih
berada di sini, Manusia Bertopeng Hitam itu tidak akan muncul lagi. Paling tidak
untuk sementara."
"Lantas, apa usulmu?" tanya si Raja Ular.
"Rencana kita tetap, jangan biarkan Manusia Bertopeng Hitam itu mengajak kucingkucingan..., lalu melecehkan wibawamu di mata orang-orang desa ini, Banulaga,"
Iblis Selaksa Racun mengalihkan perhati-annya pada Banulaga sesaat, lalu kembali
berujar, "Tapi sebaiknya kita berpencar....
Kita harus membagl tempat dan tugas kita masing-masing, lalu menyatu pada
sasaran yang kita tuju..." Iblis Selaksa Racun berkata tenang mengajukan
usulnya. Semuanya lalu terdiam untuk beberapa saat lamanya.
Sementara sepasang telinga yang tak jauh dari beranda rumah itu pun seperti
menunggu apa yang akan dibicarakan lagi.
"Japra!" suara Banulaga memecahkan heningnya suasana beranda rumah itu. Yang
dipanggil segera menghampiri sambil membungkukkan badannya.
"Kau periksa seluruh ruangan dalam, lalu periksa sekeliling rumah, semua temantemanmu harus ada di tempatnya. Lalu lakukan apa yang aku perintahkan padamu
siang tadi..., mengerti?"
"Baik, tuan..." Japra lalu bergegas meninggalkan tempat Banulaga dan keempat tokoh
sakti itu berkumpul. Sementara di balik misainya, bibir Resi Maeaspati
menyunggingkan senyuman, dia tahu apa yang dimaksudkan Banulaga pada Japra. Anak
Badaraka ini memang persis bapaknya, tidak mungkin tahan berhari-hari tanpa
perempuan, dan dia menyuruh Japra untuk menyediakannya.
Sepeninggal Japra, pembicaraan di beranda rumah pun berlanjut ketika Resi
Maespati membuka suaranya yang tenang dan berat
"Bukan aku tidak percaya dengan orang-orangmu, Banulaga..., tapi aku rasa,
sebaiknya kita bicara di ruangan dalam saja. Paman Iblis Selaksa Racun tidak
keberatan, kan?"
Resi Maespati mengakhiri ucapannya sambil menoleh ke arah Iblis Selaksa Racun,
yang ditatap pun mengangguk kecil. Iblis Selaksa Racun bangkit diikuti yang
lainnya. Pembicaraan mereka di ruangan dalam nyaris tidak terdengar. Mereka berbicara
satu sama lain dengan lirih dan tekanan yang datar Dan sepasang telinga lainnya
pun terpaksa merapatkan tubuhnya ke dinding ruangan dalam.
Pembicaraan mereka baru usai ketika malam telah begitu larut. Wajah-wajah yang
tampak lelah itu pun segera memasuki kamarnya masing masing, lalu terdengar
suara pintu tertutup saling susul menyusul.
Tidak lama setelah Banulaga dan keempat tamu dan gurunya berangkat ke peraduan,
terdengar suara derap langkah kaki kuda yang semakin lama semakin jelas
terdengar. Banulaga yang sudah berhasrat untuk menggauli tubuh montok yang ada di
hadapannya, tidak lagi peduli pada kehadiran Santika yang memacu kudanya sampai
di rumah. Tarsa, salah seorang pembantu setianya segera
menghampiri Santika yang baru turun dari kudanya, lalu diterimanya tali kekang
kuda untuk ditambatkan.
"Hm..., terima kasih, Tarsa. Aku selalu merepotkanmu pada saat orang lain sedang
nyenyak tidur," sopan sekali ucapan Santika. Tarsa tersenyum kecil sambil
membungkukkan badan.
Santika lalu melangkahkan kakinya menuju ke bagian belakang rumah lewat arah
samping, seperti biasanya dia lakukan jika pulang ke rumah sudah larut malam.
Sesosok bayangan hitam segera berkelebat cepat begitu menyadari kehadiran
Santika. Beruntung Santika tidak sempat rnemergokinya. Bayangan hitam itu lenyap
ditelan kegelapan malam.
Di pembaringannya Santika tidak bisa langsung tertidur.
Pikiran dan benaknya menerawang jauh... membayangkan kehidupan penduduk di Desa
Malayasati yang sempat dia amati. Kehidupan mereka bagaikan roda pedati yang tak
bisa berputar karena terperosok jalanan yang berlubang.
Penderitaan mereka karena keperluan sehari harinya yang sulit didapat, menjadi
semakin bertambah manakala mereka ingat akan kewajibannya membayar hutang-hutang
dengan bunga yang mencekik leher pada orang-orang suruhan Banulaga.
Dan melihat kehadiran Santika dengan pembawaannya yang tenang dan menyiratkan
kedamaian, penduduk seperti melihat keadaan yang bertolak bertolak belakang dan
sulit mereka mengerti. Sungguh suatu keadaan yang kontras jika mereka
membandingkan sikap Banulaga, yang tidak lain kakak kandung Santika sendiri.
Banulaga dan kaki tangannya tidak segan-segn menghajar mereka dengan cambuk bila
mereka tidak bisa membayar hutangnya yang sudah lewat tempo.
Penduduk seperti tidak percaya manakala mereka melihat sendiri Santika yang tak
segan-segan membagikan beberapa bonggol uang untuk mereka. Mereka seperti mulai
melihat sinar kehidupan yang akan merubah nasib mereka menjadi lebih baik.
Apalagi beberapa hari belakangan ini Banulaga dan orang-orangnya tidak pernah
muncul lagi menggedor rumah-rumah mereka. Penduduk tidak tahu kalau selama ini
Banulaga dipusingkan oleh kehadiran Manusia Bertopeng Hitam, juga Pendekar
Rajawali Sakti yang telah
mempecundanginya. Dan kini dia hendak menuntut balas....
* * * 5 Langit di sekitar kaki bukit itu sejuk cerah. Angin bertiup sepoi-sepoi di
antara pepohonan, seolah hendak membagi kesejukannya pada siapa saja yang
ditemuinya. Dengan disirami sinar mentari pagi, sesosok tubuh tengah memacu
kudanya dengan kencang. Sesosok tubuh dengan paras yang tampan itu kemudian


Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperlambat langkah kudanya, lalu berhenti di bawah pohon yang rindang menakala
dilihatnya sesosok tubuh yang ramping berlari-lari kecil menuju ke arahnya.
"Kakang Santika!" gadis ayu pemilik tubuh ramping itu menyapanya.
Pemuda itu lalu meloncat turun dari kudanya. Tangannya menggapai bahu si gadis.
Beberapa saat lamanya mereka saling berdiam diri sambil saling menggenggam
tangan. "Adakah yang mengganggumu selama aku pergi, Mega?"
tanya Santika lembut.
"Tidak," sahut gadis yang ternyata Mega Lembayung.
"Hanya...."
"Hanya apa?"
"Rumah kakekku selalu diamati...."
"Kau mengenali mereka?"
"Ya. Orang-orangnya Banulaga. Hanya seorang yang tidak aku kenal "
Santika tidak bertanya lagi. Dia tahu siapa yang dimaksud Mega Lembayung.
Tentulah dia si Raja Ular. Dengan beberapa orang-orangnya Banulaga menugaskan si
Raja Ular untuk mengawasi rumah Pak Karta. Banulaga rupanya masih penasaran dan
mengira Pendekar Rajawali Sakti akan muncul lagi. Meskipun kematian Badrun sudah
lama berlalu. Santika sendiri ha nya sekali bertemu dengan Pendekar Rajawali
Sakti. Itu pun Mega yang memperkenalkannya.
"Kakang...," tampak ragu-ragu Mega mau berkata.
"Ada apa?" tanya Santika sambil matanya menatap lembut pada wajah Mega yang
jelas terlihat cemas,
"Aku khawatir hubungan kita diketahui Banulaga.
Apalagi kudengar dia sedang dibayang-bayangi oleh Manusia Bertopeng Hitam. Juga
rasa dendamnya pada Pendekar Rajawali Sakti tentu akan dia lampiaskan padamu,
apalagi dia gagal mendapatkan aku."
"Seandainya dia pun tahu, aku tidak akan membiarkan kau jatuh ke tangannya.
Percayalah Mega, aku akan menghadapi Banulaga, meski empat orang tokoh sakti
kini ada di belakangnya."
"Aku percaya, Kakang. hanya sayangnya..."
"Kenapa...?"
Belum sempat Mega Lembayung membuka mulutnya,
mendadak mereka dikejutkan oleh sebuah tombak yang meluncur deras, menancap di
ujung kaki Santika. Belum lagi hilang rasa terkejut mereka, mendadak muncul
Banulaga yang diiringi Setan Mata Satu dan lima orang kaki tangannya.
Santika menarik tangan Mega Lembayung hingga
tubuhnya berada di belakang tubuh Santika. Santika berdiri dengan sikap menunggu
apa yang akan terjadi.
"Santika, kau tahu siapa yang ada di belakangmu?" tanya Banulaga dingin.
"Untuk apa kau bertanya begitu?" Santika sudah tidak segan lagi bersikap
menantang. "Phuih! Berani kau bersikap begitu padaku, Santika!?"
"Sejak dulu aku pun sudah tidak menyukai sikapmu.
Maaf, aku mau pergi."
Santika menggamit tangan Mega Lembayung dan
mengajaknya pergi. Namun baru beberapa langkah, mendadak lima orang bersenjata
golok sudah mengepung. Santika mendengus melihat wajah-wajah kasar yang sudah
amat dikenalnya. Wajah-wajah yang sama sekali tidak disukainya.
Kini mereka berdiri dengan golok terhunus seperti musuh.
"Hati-hati, Mega. Mereka memiliki kepandaian yang cukup tinggi," bisik Santika.
"Aku tahu, Kakang," sahut Mega juga berbisik.
"Tinggalkan Mega di sini, dan kau boleh pergi!" seru Banulaga tanpa malu-malu
iagi. "Iblis!" seru Santika geram. "Banulaga, aku serahkan Mega kalau kau bisa
melangkahi mayatku!"
"Anak tak tahu diuntung, berani kau menantangku, heh"!"
geram Banulaga. Seketika itu juga dia mencabut sepasang golok kembarnya.
"Majulah, Banulaga!" tantang Santika.
Banulaga memberi isyarat pada lima orang yang
mengurung Santika dan Mega. Seketika itu juga mereka berlompatan sambil
mengibaskan goloknya. Santika yang sudah hapal tingkat kepandaian mereka tidak
lagi sungkan-sungkan. Dia langsung mengerahkan jurus 'Ekor Naga Menggempur
Gunung Karang'.
Pukulan-pukulan Santika begitu cepat dan berubah-ubah arahnya. Setiap pukulan
yang dilancarkan memberikan dorongan angin yang kuat dan hawa dingin yang
menusuk tulang. Salah seorang lawannya yang nekad maju, tak ayal lagi tubuhnya
terlontar ke belakang, lalu ambruk terlentang.
Keempat orang lainnya jadi ragu-ragu untuk melancarkan serangannya. Pukulanpukulan Santika yang kuat itu membuat sekitar tempat pertarungan itu menjadi
berantakan. Batu-batu hancur terkena pukulan yang nyasar, dan debu-debu
beterbangan menghalangi mata.
"Awas, Kakang...!" tiba-fita Mega Lembayung memekik keras.
Seketika itu juga Santika merunduk begitu merasakan angin deras datang dari arah
belakangnya. Dan sebuah golok berkelebat cepat di atas kepalanya. Bersamaan
dengan itu tangan kirinya bergerak cepat bagaikan kilat dan menghantam perut
pembokong itu. "Huk!" orang itu mengeluh pendek. Tubuhnya terjajar ke belakang.
Tanpa membuang kesempatan lagi Santika mengerahkan tenaga dalamnya dengan sebuah
kibasan kakinya ke arah dada. Orang yang membokongnya itu terjungkal ke
belakang, lalu roboh setelah punggungnya menghantam pohon besar hingga bergetar.
Dari hidung dan mulutnya mengucur darah segar. Sesaat dia menggeliat, lalu diam
tak bergerak lagi
* * * "Mundur!" Setan Mata Satu tiba-tiba membentak keras.
Empat orang bergolok yang memang sudah gentar
menghadapi Santika ini, langsung melompat mundur. Setan Mata Satu melenting dan
bersalto di udara, berputar dua kali, lalu mendarat tepat beberapa langkah di
depan Santika. Bola matanya yang tinggal sebelah merayapi Santika dan Mega
Lembayung bergantian.
"Aku minta kau mengalah pada kakakmu, Santika," kata Setan Mata Satu.
"Aku juga minta padamu untuk tidak ikut campur tangan dalam urusan ini, Setan
Mata Satu," balas Santika dengan dingin.
"Hm..., aku tidak akan mencampuri kalau kau tidak membunuh orang-orangku."
"Mereka yang memaksaku membunuh!"
"Dengar, Santika. Banulaga itu kakakmu, dia yang menguasai Desa Malayasati ini.
Mega sudah selayaknya membaktikan diri pada penguasa di mana dia tinggal. Lebihlebih orang tuanya bekerja di ladang Banulaga. Santika, tidak sepatutnya kau
merintangi maksud kakakmu."
"Kau pintar bicara, Setan Mata Satu. Aku tidak rela menyerahkan kekasihku hanya
untuk dimangsa manusia-manusia liar macam binatang! Sekali lagi, jangan kau
campuri urusan ini, lebih baik kau cari biji matamu yang hilang sebelah itu!"
Deg! Hati Setan Mata Satu panas seketika menerima
penghinaan semacam itu. Tapi dia masih bisa menyadari keadaan.
"Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Jangan salahkan aku kalau kau sampai
celaka di tanganku, Santika," Setan Mata Satu masih bisa bicara dengan dingin
dan datar. Santika mencopot sepasang gelang pualamnya. Kedua tangannya kini menggenggam
gelang putih yang berkilat itu.
Dia paham benar siapa yang akan dihadapinya sekarang.
Seorang manusia setengah iblis yang tidak akan berkedip membunuh orang. Santika
juga menyadari kalau dirinya tidak akan mampu menandingi si Setan Mata Satu ini.
Tapi demi gadis yang dicintainya, dia rela meinpertaruhkan nyawanya.
Tiba-tiba Setan Mata Satu mengibaskan tangannya ke depan, dan seketika itu pula
meluncur seberkas sinar keemasan dari telapak tangannya. Santika melompat sambil
mendorong tubuh Mega Lembayung. Sinar itu menghantam tempat yang kosong. Santika
bergulingan di atas tanah, dan secepat kilat dia bangkit kembali. Sementara Mega
Lembayung terpisah beberapa langkah di sebelah kanannya.
Setan Mata Satu kembali melancarkan serangan. Santika berlompatan menghindari
sambaran-sambaran sinar keemasan yang meluncur deras dari telapak tangan Setan
Mata Satu. Santika menyadari kalau tenaganya tak akan mampu terus bertahan berlompatan
menghindari serangan Setan Mata Satu yang amat gencar dan berbahaya ini.
"Hiaaat...!"
Saat itu juga tubuhnya melenting dan berputar di udara tiga kali. Dengan satu
dorongan tenaga dalamnya yang kuat, Santika meluncur deras dengan kedua tangan
terkepal ke depan. Seluruh jari-jari tangannya terlindung gelang pualam putih
yang tergenggam.
"Uts!"
Setan Mata Satu menggeser kakinya ke samping sambil memiringkan tubuhnya untuk
menghindari terjangan Santika.
Namun belum sempat dia memperbaiki posisi, mendadak Santika berputar cepat
dengan tangan terentang. Setan Mata Satu kaget, lalu cepat dia membanting
dirinya ke tanah sambil terus bergulingan menjauh.
Setan Mata Satu melakukan salto dan bangkit berdiri.
Tapi begitu kakinya menjejak tanah, Santika sudah kembali menyerang dengan
jurus-jurus pendek yang cepat ke arah lawannya, hingga Setan Mata Satu sama
sekali tidak menyangka kalau Santika yang masih muda dan kelihatan lemah itu
memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Gerakan-gerakan dari setiap jurus yang
dikeluarkannya begitu sulit diikuti pandangan mata.
"Hup!"
Setan Mata Satu melompat ke atas, lalu berputar dua kali sambil melontarkan
kembali serangan berupa sinar keemasan yang keluar dari tangannya. Saat Santika
menghindari muntahan sinar dari atas dengan jatuh bangun, mendadak Setan Mata
Satu menukik cepat seraya mengirimkan pukulan mautnya.
Santika tak sempat lagi menghindar, secepat kilat mengangat tangan kanannya
mencegat pukulan maut itu.
Santika terjengkang sekitar dua tombak ke belakang, dan Setan Mata Satu sendiri
bergulingan di atas tanah karena terdorong oleh cegatan tangan Santika.
Dalam sekejap saja mereka sudah saling berhadapan.
"Hmmm...," Setan Mata Satu bergumam pelan.
Dia tak menyangka Santika akan mampu mencegat
pukulannya, bahkan tanpa cidera sedikitpun. Santika tetap kelihatan tegar. Setan
Mata Satu tak menyangka kalau lawannya yang jauh lebih muda itu ternyata mampu
menandinginya lebih dari dua puluh jurus.
"Kenapa berhenil, Setan Mata Satu" Apakah kau gentar dan takut kehilangan biji
matamu yang tinggal satu-satunya itu?" ejek Santika memanasi.
"Phuih! Kurang ajar, kau berani menghinaku, heh"!
Jangan pongah dulu, Santika Semua yang kukeluarkan tadi belum ada seujung kuku
pun!" dengus Setan mata Satu menutupi rasa terkejutnya.
"Kalau begitu, keluarkan saja semua ilmu simpananmu!"
kembali Santika menantang.
"Tahanlah aji 'Pukulan Karang Samudra'ku!" bentak Setan Mata Satu.
Setan Mata Satu langsung merentangkan kedua kakinya lebar-lebar, lalu kedua
lututnya ditekuk. Kedua tangannya menyilang di depan dada. Lalu perlahan-lahan
tangannya bergerak terbuka, bersamaan dengan menyempitnya kedua kaki. Tampak
kedua tangan Setan Mata Satu berubah menjadi merah membara bagai terbakar.
Santika tidak tinggal diam melihat lawannya benar-benar mengeluarkan jurus
pamungkasnya. Santika segera merapal aji
'Gelang Menghalau Petir'. Dia menggosok kedua gelang pualam putihnya. Seketika
itu juga gelang di tangannya memancarkan sinar hijau yang semakin lama semakin
menyilaukan dan memedihkan mata.
"Yeaaah...!" Setan Mata Satu berteriak nyaiing.
"Hiaat..!" Santika pun mulai menyerang.
Mereka melompat ke depan hampir bersamaan, dan
akhirnya kedua pasang tangan mereka saling berbenturan keras. Suara ledakan
dahsyat terdengar menggelegar memecah udara. Bunga-bunga api pun memercik ke
segala arah. Dan tubuh Santika dan Setan Mata Satu saling terpental ke belakang
dengan keras. "Kakang...!" Jeritan Mega Lembayung melengking kencang.
* * * 6 Tubuh Santika terpental keras... laki meluncur deras melewati puncak pepohonan.
Dan ketika tubuhnya sedang meluruk, sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar
tubuh Santika, lalu menghilang bagai sinar yang lenyap tanpa bekas.
Sementara itu tubuh Setan Mata Satu juga terloncat keras menghantam dinding batu
hingga menimbulkan benturan yang teramat dahsyat... lalu terbanting ke tanah.
Tubuh Setan Mata Satu tak bergerak sesaat, lalu terlihat dia menggelanggelengkan kepalanya sebentar sambil berusaha bangkit Tubuhnya terhuyung-huyung
sempoyongan, dan perlahan-lahan dapat berdiri kembali dengan tegak. Mulutnya
penuh dengan darah, dan dari hidungnya mengalir darah kehitaman.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Banulaga yang langsung menghampiri begitu tubuh Setan
Mata Satu membentur dinding batu.
"Tidak," sahut Setan Mata Satu. "Bagaimana Santika?"
"Hilang."
"Hilang...?"
"Ya, seseorang telah menyambar tubuhnya dan membawanya pergi."
"Lalu, Mega Lembayung?"
Banulaga tersentak kaget, lalu....
"Aaakh...!"
Banulaga terkesiap. Baru saja dia menoleh ke arah Mega Lembayung, seorang kaki
tangannya roboh dengan belati tertancap di lehernya. Lalu tubuh bertopeng hitam
menyambar tubuh Mega Lembayung. Banulaga menahan geramnya, Manusia Bertopeng
Hitam itu muncul lagi. Kali ini dia membawa tubuh gadis yang selama ini
diincarnya. Tiga orang kaki tangannya yang tersisa hanya terpaku melihat Manusia
Bertopeng Hitam itu memanggul tubuh Mega Lembayung dengan kecepatan tinggi
"Kurang ajar!" Setan Mata Satu mengumpat tanpa bisa berbuat apa-apa.
Banulaga dan Setan Mata Satu benar-benar merasa dipermainkan. Dua orang muncul
sekaligus tanpa diduga-duga dan menggagalkan niatnya.
"Aku yakin, si Pendekar Rajawali Sakti-lah yang menyambar tubuh Santika tadi.
Kali ini dua orang musuh kita datang pada saat yang bersamaan, Pendekar Rajawali
Sakti dan Manusia Bertopeng Hitam." Banulaga berucap dengan bibir rapat dan gigi
yang bergemeletuk menahan geram.
"Heh! Cepat kalian cari Mega Lembayung!" bentak Banulaga pada anak buahnya.
Ketiga orang yang diperintah itu bergerak cepat ke arah Mega Lembayung yang
dibawa pergi oleh Manusia Bertopeng Hitam. Mereka tak bisa berbuat lain kecuali
melakukan perintah tuannya, meskipun sebenarnya nyali mereka sudah hilang sama
sekali. "Aku khawatir kau mendapat luka dalam yang serius,"
kata Banulaga setelah mereka tinggal berdua.
"Aku tidak apa-apa. Aku justru keselamatan Santika,"
sahut Setan Mata Satu.
"Mampus pun aku tidak peduli!" dengus Banulaga.
"Bagaimanapun dia adikmu, Banulaga. Aku menyesal telah mengeluarkan aji 'Pukulan
Karang Samudra.' Ajian itu sangat dahsyat, selama ini belum ada seorang pun yang
mampu bertahan hidup terkena ajian itu."
"Ah, sudahlah. Yang penting sekarang, kita harus mendapatkan Mega Lembayung,"
sergah Banulaga tidak peduli lagi soal Santika
"Kau saja yang cari. Aku mau semedi dalam tiga hari ini,"
sergah Setan Mata Satu.
Banulaga melongo mendengar penolakan Seta Mata Satu.
Dia tidak bisa berbuat apa-apa melihat laki-laki tinggi besar itu berlalu dari
hadapannya. Banulaga menghentakkan kakinya kesal setelah punggung Setan Mata
Satu lenyap di balik kerimbunan pepohonan.
"Huh! Kenapa tidak kubunuh saja Santika tadi!" dengus Banulaga sengit.
Banulaga membalikkan tubuhnya Kakinya terayun
mendekati kuda yang tertambat di pohon. Dia tahu kuda itu milik Santika. Seekor
kuda coklat bertubuh kekar hadiah dari ayahnya ketika Santika lulus ujian
tingkat pertama dalam ilmu kanuragan.
Sesaat lamanya Banulaga tercenung memegang tali kekang kuda milik adiknya itu.
Dia masih belum bisa mengerti, bagaimana Santika yang sedari kecil belajar ilmu
olah kanuragan dan kesaktian pada guru yang sama, mampu menandingi tingkat
kepandaian Setan Mata Satu. Terlebih lagi saat dia melihat Santika mengeluarkan
ajian 'Gelang Menghalau Petir'. Karena sepanjang yang diketahuinya, Santika
belum pernah mempelajari ilmu itu. Dan gelang pualam putih itu..." Bukankah
gelang sakti milik ayah mereka"
Dia tidak tahu bagaimana Santika bisa mendapatkan benda pusaka yang selama ini
dia juga menginginkannya.


Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hup!"
Banulaga meloncat ke atas punggung kuda, lalu
menggebahnya dengan cepat meninggalkan tepian danau menuju Desa Malayasati. Dia
memacu kudanya bagaikan kesetanan, hingga debu-debu mengepul beterbangan.
* * * Tak seorang pun tahu ke mana Santika dan Mega
Lembayung pergi dibawa penolongnya. Juga Pak Karta yang setengah mati dipaksa
Banulaga dan orang-orangnya untuk memberitahu di mana cucunya kini berada.
Muka dan sekujur tubuh Pak Karta penuh berlumuran darah. Kedua tangannya terikat
di beranda depan rumahnya.
Kakinya lemas tidak lagi mampu men han beban tubuhnya.
Seluruh wajahnya telah berubah kebiru-biruan dan penuh benjolan-benjolan luka
memar. Pakaiannya terkoyak-koyak menampakkan kulit yang bergurat bekas cambukan
rotan. "Mudah saja bagiku untuk membunuhmu, tua bangka.
Semudah aku membalikkan telapak tangan. Tapi kau calon mertuaku, kau akan
bahagia jika Mega Lembayung jadi istriku.
Katakan di mana anakmu berada?" Banulaga mencoba mengambil hati Pak Karta.
Pak Karta tetap saja membungkam. Kepalanya lemas tak berdaya. Dia sudah tak
mampu mengeluarkan barang sepatah katapun. Kata-kata Banulaga pun seperti hilang
tertiup angin. Dan Banulaga pun menjadi gusar.
"Di mana Mega?" bentak Banulaga gusar.
Pelan-pelan kepala Pak Karta terangkat, dia seperti mendapat kekuatan. Namun
matanya tetap redup, meski di balik itu terpancar sinar kebencian yang menyesak
hingga ke dasar hatinya.
"Phuih!"
Pak Karta menyemburkan ludah yang bercampur darah dari rongga mulutnya. Ludah
yang bercampur darah segar dan kental itu tepat memuncrat ke muka Banulaga.
Banulaga terkesiap sesaat Lalu tangannya dengan cepat melayang ke muka keriput
itu beberapa kali. Darah segar memuncrat dan membasahi tangan Banulaga. Lalu
kepala laki-laki tua itupun kembali terkulai.
"Ikat, dan seret dia keliling kampung! Biar semua orang tahu bagaimana nasibnya
kalau berani menentang Banulaga!"
Dua orang bertubuh kekar langsung bergerak Mereka membuka ikatan tangan Pak
Karta, lalu mengikatnya kembali dengan tambang yang panjang dan kuat. Seorang
lainnya sudah siap di atas punggung kuda dengan ujung tambang di tangannya.
Banulaga melompat ke punggung kuda putih
tunggangannya. Sebentar dia menyeka sisa darah yang masih menempel di mukanya.
Lalu dengan satu isyarat saja, orang yang memegang ujung tali itu menggebah
kudanya mengikuti langkah kuda Banulaga yang bergerak cepat.
Nasib pak tua itu benar-benar ada di tangan Banulaga.
Dia diseret mengelilingi kampung dengan sorot mata penduduk yang begitu iba
menyaksikannya. Mereka yang melihatnya hanya mampu mengelus dada, tak sanggup
menyaksikan tubuh tua yang malang itu lebih lama. Tak seorang pun yang dapat
memastikan apakah tubuh yang tua renta itu masih dapat bernapas. Darah dan debu
yang menempel jadi satu di tubuhnya tak bisa lagi untuk mengenali keadaannya
Mendadak tali yang mengikat lelaki tua itu terputus, ketika tubuhnya yang
terseret itu melewati tepi hutan. Tubuh tua itu terguling-guling dengan
tangannya yang masih terikat kencang. Orang-orang Banulaga yang mengiringinya
langsung berlompatan turun dari kudanya.
Mereka segera mengepung sesosok tubuh yang tak lain si Manusia Bertopeng Hitam.
Golok-golok mereka yang terhunus seperti siap menebas kepala Manusia Bertopeng
Hitam itu yang sudah berdiri di dekat tubuh pak Parta yang tergeletak tak
berdaya. "Hmmm..., dengan cara seperti ini kau baru datang secara jantan, meski kau tak
berani menunjukkan batang hidungmu yang sesungguhnya, Manusia Bertopeng Hitam.
Aku tak perlu repot-repot mencarimu uniuk membalaskan kematian ayahku, juga
ketololanmu yang gagal membunuhku."
"Tutup mulutmu, Banulaga! Kelak jika tiba saatnya, kau akan tahu siapa aku yang
sesungguhnya. Sekarang kau hanya berani dengan orang-orang yang lemah tak
berdaya. Hm..., aku ingin tahu kepandaian-mu yang sesungguhnya, Banulaga."
"Keparat! Bunuh dia!" Banulaga berteriak lantang dengan darah yang mendidih.
Orang-orang Banulaga yang mengepung Manusia
Bertopeng Hitam itu bergerak cepat Namun secepat kilat, Manusia Bertopeng Hitam
melenting ke udara, lalu mendarat di tempat yang cukup jauh dari tubuh Pak
Karta. Golok orang orang Banulaga itu hanya berkelebat menebas angln. Lalu
bergerak cepat ke arah Manusia Bertopeng Hitam yang telah berdiri kembali.
"Hiaaat... Hiya...!"
Orang-orang Banulaga itu segera merangsek si Manusia Bertopeng Hitam. Mendapat
serangan beruntun dari segala penjuru, orang bertopeng hitam itu berkelit dan
berlompatan sambil sesekali membalas serangan. Manusia Bertopeng Hitam itu
bertarung tanpa mengeluarkan senjata belati andalannya.
Tapi sampai beberapa gebrakan berlalu, tak seujung golok pun yang berkelebat
bagai kilat itu menyentuh kulit tubuhnya.
"Lepas!" teriak orang bertopeng hitam itu tiba-tiba.
Bagaikan kilat, tangannya bergerak cepat menyampok salah seorang pengeroyoknya
yang terdekat. Gerakan tangannya yang cepat tak bisa dihindari lagi. Seorang
dari pengeroyok itu menjerit kaget, dan goloknya melayang ke udara. Dia
merasakan pergelangan tangannya patah dan terasa nyeri.
Belum lagi dia berbuat sesuatu, mendadak sebelah kaki Manusia Bertopeng Hitam
itu mendarat tepat di dada. Tak ampun lagi pengeroyok yang nyalinya cukup besar
itu terjungkal ke tanah dengan mulutnya memuntahkan darah.
Dan pada saat yang bersamaan, seorang lagi mengibaskan goloknya dari arah
samping kiri. Manusia bertopeng itu memutar tubuhnya dengan kaki terayun cepat.
Buk! Kaki orang bertopeng ilu mendarat di perut, lalu tangan kanannya meringkus
tangan orang yang memegang golok.
Dengan sekali tekukan, tangan itu patah. Tangan orang bertopeng hitam itu cepat
menyambar golok yang hampir jatuh ke tanah. lalu....
Bet! "Aaakh...!" jeritan melengking terdengar. Orang bertopeng hitam itu cepat
melepaskan kempitannya, dan penyerangnya langsung roboh dengan leher hampir
putus terbabat goloknya sendiri yang kini berpindah tangan. Dalam satu gebrakan
saja, dua orang pengeroyoknya kehilangan nyawa. Kini tinggal enam orang lagi
yang masih mengepung.
"Sebaiknya kalian pergi, aku malas jadi tukang jagal manusia. Biarkan tuanmu
menyelesaikan urusannya sendiri denganku!" dengus orang bertopeng hitam itu.
"Serang, bunuh dia!" teriak Banulaga memerintah.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba salah seorang melompat sambil mengibaskan goloknya. Orang bertopeng
hitam itu segera berkelit memiringkan tubuhnya sedikit, golok di tangan kanannya
langsung dia babatkan ke arah perut. Teriakan mengerang terdengar menyayat,
disusul tubuh yang roboh
menyemburkan darah segar dari perutnya yang terkoyak.
Orang bertopeng hitam itu menyilangkan golok rampasannya di depan dada.
"Seraaang...!" Banulaga kembali memerintahkan orang-orangnya.
Seketika itu juga lima orang yang tersisa langsung merangsek. Kali ini jelas
lerlihat kalau Manusia Bertopeng Hitam itu bukan tandingan mereka. Dalam waktu
singkat saja dua orang lagi terjungkal bermandikan darah.
Banulaga mulai terllhat watak pengecutnya. Dia langsung menggebah kudanya
meninggalkan tempat itu. Orang bertopeng itu mendengus kesal. Ketiga orang yang
semakin gencar menyerangnya tak memungkinkan dia mengejar Banulaga.
"Maaf, aku tidak ada urusan dengan kalian!" seru orang Bertopeng Hitam itu, lalu
tubuhnya melenting, berputar di udara, dan mendarat tepat di dekat tubuh Pak
Karta. Secepat kilat dia menyambar tubuh tua yang tak berdaya itu dan membawanya
pergi meninggalkan lawan-lawannya.
"Ayo, kembali!" seru salah seorang. Ketiga orang itu langsung melompat ke
punggung kudanya masing-masing, meninggalkan lima sosok tubuh yang tergeletak
tak bernyawa. Beberapa orang penduduk yang melihat pertarungan itu dari kejauhan begitu
tercekam, lalu menarik napas lega ketika tubuh tua Pak Karta disambar dengan
cepat oleh penyelamatnya. * * * Dua hari lamanya Pak Karta tidak sadarkan diri. Dan kini pada hari yang ketiga,
dia mulai membuka matanya perlahan-lahan, lalu kembali tertutup manakala sinar
matahari yang menyelinap dari pintu rumah menerpa wajahnya. Kepalanya kemudian
mulai terlihat bergerak-gerak. Kesadarannya tampak mulai pulih kembali.
"Kakek...," sapaan halus terdengar di telinganya.
Pelan pelan kelopak mata lelaki tua bertubuh ringkih itu terbuka. Dilihatnya
seraut wajah cantik yang tersenyum lembut di depannya. Bibir Pak Karta lalu
tersenyum bergetar.
Sesaat lamanya matanya menatap lekat wajah yang selama ini memberinya harapan
dan semangat hidup.
"Mega...," desis Pak Karta lemah.
"Oh, Kek...," Mega Lembayung tak kuasa lagi menahan air matanya.
Mega menjatuhkan wajahnya memeluk tubuh lelaki tua itu. Bersamaan itu pula pintu
terkuak, lalu muncul sesosok tubuh berwajah tampan mendekati dua insan yang
tengah saling berpelukan.
"Sudah siuman, Kek?" tanyanya lembut.
Pak Karta tersenyum dan mengangguk lemah melihat pemuda tampan yang masih
berdiri di samping balai-balai bambu. Mata tuanya mengitari pemandangan yang ada
di depannya. Sebuah bilik berdinding bambu yang tidak begitu besar, namun
terlihat bersih dan rapi. Pandangannya lalu beralih kembali pada wajah Mega dan
pemuda tampan itu bergantian.
"Maaf atas perlakuan kakakku yang kasar, hingga Kakek mengalami nasib yang
menyedihkan seperti ini," kata pemuda tampan itu lembut.
Kepala Pak Karta menggeleng lemah. Bibirnya yang pucat menyunggingkan senyuman.
Periahan-lahan dia sudah bisa merekam kembali kejadian yang menimpanya.
Sebelumnya dia tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah sesosok bayangan hitam
mengangkat tubuhnya. Dan yang dia tahu kini, tubuhnya tengah tergolek lemah,
lalu cucunya Mega Lembayung dan pemuda tampan yang tak lain adalah Santika ada
di dekatnya. "Di mana kita sekarang, Mega?" suara Pak Karta bertanya lemah.
"Di tempat yang aman, Kek," sahut Mega lembut.
Lalu terlihat oleh Pak Karta sesosok tubuh lainnya yang juga berwajah tampan
dengan pakaiannya berompi putih dan sebuah pedang bergagang kepala burung yant
tidak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih, kau pasti yang menyelamatkan aku," kata Pak Karta.
"Bukan aku, Kek," sahut Rangga seraya menolehkan wajahnya ke wajah Mega
Lembayung, seolah meminta cucu Pak Karta ini untuk menjelaskan kejadian yang
sebenarnya. Mega cepat tanggap.
"Maaf, Kek. Seseorang berpakaian serba hitamlah yang membawa Kakek kemari. Dia
pula yang telah menolongku ketika aku dan Kakang Santika nyaris terbunuh oleh
Banulaga dan orang-orangnya, tapi belum sempat aku mengucapkan terima kasih,
orang yang berpakaian serba hitam itu pergi...,"
Mega menjelaskan dengan lirih.
"Benar, Kek," sambung Santika. "Dan akulah yang diselamatkan oleh Pendekar
Rajawali Sakti ini...." Santika lalu menunjuk Rangga, Pendekar Rajawali Sakti
itu hanya tersenyum merendah, yang dibalas oleh anggukan dan senyuman tipis Pak
Karta. "Terima kasih, Rangga. Untuk kedua kalinya kami berhutang budi padamu," ucap Pak
Karta. "Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong sesamanya, Kek," Rangga mengucapkan
kata-kata yang sama ketika pertama kali menolong kakek dan cucunya ini.
Pak Karta kembali menyunggingkan senyumnya. Sesaat lalu suasana hening
menyelimuti mereka. Ke empat orang yang ada di balik bilik bambu itu seperti
tengah merenungi apa yang selama ini telah terjadi....
Terdengar bibir Pak Karta bergumam pelan, lalu
wajahnya memandang ke arah Santika. Santika pun lalu seperti menunggu apa yang
akan diucapkan Pak Karta. Namun beberapa saat bibirnya seperti terkunci, lalu
pandangannya beralih pada cucunya, Mega Lembayung.
"Kakang Santika banyak membantu," kata Mega Lembayung seolah tahu apa yang
tengah tersirat dalam benak kakeknya, "...dia telah menyediakan kamarnya untukku
bersembunyi sampai keadaannya benar-benar aman dan tenang...."
"Benar, Kek. Aku sendiri tidak menyukai sikap ayahku dan Kakang Banulaga, dan
aku tidak rela Mega Lembayung menjadi korban kebuasannya," sambung Santika.
"Semuanya sudah terjadi, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Selain aku
bertertma kasih padamu, Santika, dan kau, Rangga... dengan saksi Yang Maha Kuasa
dan kalian bertiga yang ada di sini, aku berterima kasih juga pada orang yang
telah menyelamatkan aku dari amukan Banulaga yang kejam dan telah menyiksaku...
tolong sampaikan ucapan terima kasihku jika kalian bertemu dengan orang itu
lagi...," Pak Karta mengakhiri ucapannya dengan nada lirih memetas.
"Kedudukan kita Juga semakin sulit, karena Kakang Banulaga sudah tak
menganggapku sebagai saudara lagi. Dia sudah memandangku sebagai musuhnya,"
Santika mengeluarkan isi hatinya.
Rangga yang sedari tadi lebih banyak diam, tak kuasa pula untuk menahan isi
hatinya. "Benar, kata Kakek. Aku pun memahami posisimu, Santika," sesaat Rangga menoleh
ke wajah Santika, "... tapi kita harus tetap berjuang demi kebenaran dan
keadilan... untuk itu perkenankanlah aku mohon diri...."
Pak Karta, Mega Lembayung dan Santika terkejut
mendengarnya. "Kakang hendak ke mana?" tanya Mega Lembayung
"Percayalah, aku akan tetap berusaha berjuang bersama kalian... dan aku rasa
kita tak boleh memberi kesempatan kepada Banulaga untuk menyusun kekuatannya
kembali...,"
ketiga orang itu tercenung sesaat, dan bibir mereka tak sanggup berucap
memandang kepergian Pendekar Rajawali Sakti itu.
Beberapa saat lamanya kellya orang yang berada di dalam bilik bambu itu saling
bi-rtatapan satu sama Iain. Mereka membenarkan ucapan Rangga... bahwa banyak
tantangan yang harus mereka hadapi, dan mereka harus bersiap-siap kembali...
* * * 7 Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti belum lagi
melangkah jauh, ketika mendadak enam orang dengan golok terhunus telah
mengepungnya. Darah Rangga pun berdesir cepat, matanya segera menyapu wajah
pengepungnya satu per satu, nampak olehnya wajah-wajah yang keras dan sangar
tengah menatapnya tajam. Wajah Rangga pun menegang sesaat, lalu kembali berubah
teduh. Senyuman tipis tersungging di bibirnya.
"Aku hendak menuju ke Desa Malayasati, ada urusan apa kalian menghalangi
langkahku?" tanya Rangga tenang, meski nalurinya menyatakan kalau mereka adalah
orang-orang Banulaga, yang tentu maksudnya sudah bisa diduga.
"Hmmm... kaukah si Pendekar Rajawali Sakti?" tanya si pengepung yang berada
tepat di hadapan Rangga. Orang itu tampaknya tak memerlukan jawaban, dia
langsung menyambung pertanyaannya sendiri, "Ketahuilah, majikanku tidak ingin orang lain,
apalagi kau yang jelas-jelas bukan orang desa ini, untuk mencampuri urusan
pribadinya."
Rangga tersenyum mengejek. "Kau pintar-pintar bodoh, rupanya. Orang yang punya
urusan pribadi tentu tidak akan menyuruh orang lain. Dan aku tidak peduli dengan
urusan majikanmu,tapi kekejaman dan ketidakadilan tak akan kubiarkan merajalela
di depanku,... Menyingkirlah kalian, agar tanganku tak lagi menghilangkan nyawa
orang-orang dungu yang hanya bisa menurut perintah majikannya."
"Kurang ajar! Rupanya kau tidak bisa diajak bicara baik-baik, sekarang terimalah
ajalmu!" teriak orang itu lantang, sambil tangan kanannya terangkat memberi
perintah kepada kelima orang lainnya untuk menyerang.
Dengan sigap kedua kaki Rangga meloncat, tubuhnya melayang sesaat menghindari
kibasan golok yang berkelebat cepat, lalu bersalto dua kali sebelum kakinya
mendarat tepat di belakang punggung lawan-lawannya. Dengan tumpuan kaki kanannya
Rangga memutarkan tubuhnya sedikit, lalu secepat kilat kakinya melompat
menghajar punggung dua orang sekaligus. Dua orang yang terkena tendangan di
punggungnya, nasibnya begitu mengenaskan, tubuh mereka yang terdorong ke depan
terkena sabetan golok temannya sendiri. Seorang dari mereka mukanya hancur oleh
sabetan golok yang menebas mulut dan pelipisnya, sedang seorang lainnya
mengerang sesaat ketika lehernya nyaris putus, lalu roboh tak bergerak lagi.
Empat orang lainnya terhenyak kaget, terbayang
kengerian di wajah-wajah mereka, apalagi dua orang di antara mereka yang


Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

goloknya bersimbah darah. Dua orang teman mereka tewas hanya dalam satu gebrakan
saja. Lalu seperti dibakar dendam, mereka kembali menyerang Rangga. Secepat
kilat Rangga merundukkan badannya, tangannya bergerak menyambar pergelangan
tangan kanan orang yang paling depan, lalu dengan satu tekukan tangan yang
disertai egosan kakinya, dia melemparkan tubuh lawannya itu tepat menghantam
dada seorang temannya. Tubuh kedua orang itu langsung roboh bertindihan ke
tanah. Dan pada saat itu pula, Rangga membungkukkan badannya menghindari kibasan
golok seorang lagi dari belakang, sambil kaki kirinya menggibas lutut lawan, dan
orang itu jatuh merunduk dengan kepalanya menghantam lebih dulu ke tanah, dan
segera Rangga pun menyadari kalau masih ada seorang lainnya yang hanya berdiri
mematung tanpa berbuat apa-apa melihat teman-temannya roboh tak berdaya.
"Hmmm...," Rangga menatap tajam pada seorang yang tersisa, "kau rupanya bersikap
ksatria..., mau menghadapiku secara jantan tanpa keroyokan...,"
"Tunggu," orang yang berdiri mematung itu membuka mulutnya. "Aku berdiri di
pihak kebenaran dan keadilan, meskipun aku hanya cecunguknya Banulaga," orang
itu kembali bersuara tanpa menghiraukan Rangga yang masih diam terpaku.
"Siapa kau?" tanya Rangga sopan.
"Berhati-hatilah, Rangga." Orang itu malah tak menjawab,
"empat orang tokoh sakti kini ada di belakang Banulaga...
teruskanlah niatmu, biar aku berbuat dengan caraku sendiri."
Sejurus kemudian orang itu menatap lekat-lekat pada Rangga.
Rangga terkesiap sesaat, ketika otaknya mulai
menemukan titik terang. Orang ini pastilah si Manusia Bertopeng Hitam yang kini
dalam wujud sebenarnya.
"Dan ingat!" kembali orang itu berucap, "... kematian Banulaga adalah bagianku!"
Orang itu kemudian berkelebat cepat meninggalkan Rangga dan lima tubuh lainnya
yang tergeletak tak bernyawa.
Beberapa saat lamanya Rangga tercenung. Dia tahu pasti kalau orang itulah si
Manusia Bertopeng Hitam yang tengah diburu Banulaga dan orang-orangnya setelah
kematian Badaraka.
"Rangga...!"
Sebuah teguran mengagetkannya, lalu Rangga menoleh, dilihatnya Santika dan Mega
Lembayung tengah berlari mendekat ke arahnya.
Santika dan Mega Lembayung tertegun menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan
mengerikan. Lalu perlahan-lahan wajah keduanya terangkat menatap Rangga. Mereka
mengerti apa yang telah terjadi. Karena tak lama setelah kaki Rangga melangkah
meninggalkan bilik bambu itu, mereka telah melihat beberapa sosok tubuh
membayangi kepergian Pendekar Rajawali Sakti itu, namun mereka tak bisa ikut
berbuat banyak menyadari keadaan tubuh tua Pak Karta yang lemah.
"Mega dan Santika, tolong uruskan mayat-mayat mereka,"
Rangga berkata pelan, lalu tubuhnya bergerak cepat meninggalkan tempat itu. Mega
dan Santika hanya sempat memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti itu.
Seandainya Rangga mau menjelaskan semuanya yang telah terjadi, Santika tentu
tidak akan penasaran lagi apabila mengetahui siapa Manusia Bertopeng Hitam yang
sebenarnya, karena seperti yang diucapkan oleh orang itu sendiri, dia kini
adalah cecunguknya Banulaga, kakaknya Santika.
Santika pun kemudian terkejut manakala matanya
tertumbuk pada sesosok tubuh yang amat dikenalnya, tubuh Tarsa, pembantunya yang
setia dan kini tergeletak tak bernyawa. Darahnya lalu berdesir, dia tahu pasti,
Tarsa pasti tak bisa menolak perintah Banulaga, yang mengantarkannya menemui
nasib naas. Matahari pun mulai terbenam ke ufuk Barat. Angin mulai berhembus dingin menemani
kedua orang yang tengah mengurus mayat-mayat itu.
* * * Pagi itu udara terasa begitu sejuk menyentuh pori-pori kulit, sinar matahari
yang terhalang oleh awan tipis dan hembusan angin yang lembut, membuat orangorang di Desa Malayasati seperti tengah menikmati kedamaian dan ketenangan.
Sesosok tubuh tegap dan berparas tampan terlihat tengah mengayunkan langkahnya
dengan ringan dan tenang. Baju rompi putih yang senantiasa dikenakannya, menarik
perhatian orang-orang di jalan yang di lewatinya. Setiap langkahnya seperti
meninggalkan tanda tanya, Pendekar Rajawali Sakti pemilik sesosok tubuh itu pun
cepat menyadari. Keadaan dirinya membuat orang-orang di desa ini ingin
Kampung Setan 15 Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera Pendekar Asmara Tangan Iblis 4

Cari Blog Ini