Ceritasilat Novel Online

Manusia Bertopeng Hitam 3

Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam Bagian 3


mengenakan pakaian yang sebagus miliknya. Rangga pun melangkahkan kakinya lebih
cepat, lalu kakinya berbelok melangkah memasuki sebuah kedai yang terlihat asri.
Di depannya sebuah bangunan besar seolah berdiri pongah menantang. Bangunan
besar itu sebuah rumah berhalaman luas dengan tembok tinggi tebal menyerupai
sebuah benteng.
Dari tempat duduknya Rangga sekilas menatap ke pintu gerbang rumah itu, lalu
kembali matanya beralih pada pelayan kedai, seorang perempuan muda dengan
guratan-guratan di wajahnya yang masih menyiratkan keayuan. Rangga lalu memesan
seguci arak. "Tunggu sebentar, bisakah Anda menemani saya duduk di sini?" pinta Rangga begitu
melihat wanita itu hendak beranjak pergi meninggalkannya.
Wanita itu tidak menjawab. Dia langsung duduk di depan Rangga. Hanya sebuah meja
kayu kecil yang membatasi keduanya. Sejenak Rangga memperhatikan wanita di
hadapannya yang kini tengah tertunduk.
"Siapa namamu?" tanya Rangga.
"Kanti," sahutnya pelan. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang terpaksa.
"Kau penduduk desa ini?" tanya Rangga lagi.
Perlahan-lahan kepala Kanti terangkat. Matanya menatap bola mata Rangga Lalu
kepalanya menggeleng pelan, rasa takut dan cemas terlihat jelas di wajahnya.
"Kau juga bukan orang sini?" tanya Kanti lirih, setelah beberapa saat lamanya
dia terdiam. "Ya, cuma kebetulan saja aku lewat sini," sahut Rangga sambil mengajak Kanti
tersenyum. "Kalau begitu sebaiknya kau cepat pergi." Rangga terkejut, dilihatnya wajah
Kanti yang menoleh ke sana kemari seperti takut ada yang memergoki.
"Kenapa?"
"Tuan Besar telah memerintahkan bahwa siapa saja pendatang baru yang tidak punya
keluarga di sini harus diusir.
Kalau tidak, akan dibunuh," Kanti menerangkan setengah berbisik.
"Tuan Besar! Siapa dia?"
'Tuan Banulaga, penguasa Desa Malayasati ini. Dia memiliki semua kedai dan
penginapan di sini, juga sebagian besar tanah desa. Dia bagaikan raja kecil yang
semua perintahnya harus ditaati."
Rangga menganggukkan kepalanya. Kemudian dari sudut ekor matanya dia melihat
pintu gerbang rumah besar itu terbuka. Lalu muncul lima orang penunggang kuda
yang diikuti tidak kurang dari sepuluh orang penunggang kuda lainnya. Mereka
langsung bergerak ke arah Timur.
"Yang di depan itu Tuan Banulaga," kata Kanti seperti tahu jalan pikiran Rangga
yang masih terlihat memandangi rombongan berkuda itu dengan sudut ekor matanya.
"Hmmm..., masih muda dan tampan," gumam Rangga.
"Ya, memang tampan, tapi kejam," suara Kanti tertekan.
"Lantas yang lainnya?" Rangga jadi tertarik ingin tahu.
"Yang empat orang, undangan khusus Tuan Besar.
Mereka semua berilmu tinggi dan sakti. Sedangka yang lainnya cuma kaki tangan
Banulaga, yang dia peralat untuk memeras penduduk dan mencari perempuanperempuan cantik kegemarannya. Mereka amat sadis dan kejam."
"Tampaknya kau tahu persis," gumam Rangga. Matanya menatap lurus pada perempuan
muda depannya. Kanti yang ditatap begitu, jadi menunduk mukanya dalam-dalam. Seperti ada
kesedihan da duka yang tengah bergayut di dadanya. Lalu perlaha lahan dia
mengangkat wajahnya, menatap Rangga sesaat, lalu....
"Dua tahun aku disekap di sana. Selama itu aku harus melayani nafsu setan
mereka. Yah..., setelah aku tak dibutuhkan lagi, aku dibuang dan dicampakkan di
sini. Mestinya aku lega keluar dari neraka, tapi di sini juga tidak kalah mengerikan.
Aku seperti sapi perahan mereka, entah berapa laki-laki yang sudah meniduriku."
"Kau tidak berontak" Melarikan diri, misalnya?"
"Untuk apa" Percuma saja, Banulaga seperti mempunyai seribu mata dan Jala yang
tak mungkin bisa dilewati begitu saja, sekali mereka melarikan diri. Tiang
gantungan pun menanti, atau menjadi santapan ular-ular berbisa."
Darah Rangga berdesir mendengar sebegitu jauh
perlakuan Banulaga dan orang-orangnya terhadap penduduk yang tak berdaya.
"Kanti...!" tiba-tiba terdengar suara teriakan keras.
Rangga dan Kanti cepat menoleh ke arah datangnya suara. Seorang laki-laki
bertubuh tinggi besar penuh berewok bertolak pinggang menatap tajam pada Rangga
dan Kanti. "Celaka,..," Kanti mendesah dengan wajahnya yang pucat pasi.
"Siapa dia?" tanya Rangga yang melihat Kanti begitu ketakutan, lalu matanya
beralih pada sesosok tubuh tinggi besar itu.
"Dia..., Suro Bledek. Dia orang kepercayaan Tuan Banulaga yang mengurusi semua
rumah penginapan dan kedai minum, juga rumah perjudian di desa ini."
Laki-laki tinggi besar berwajah kasar itu melangkah mendekat. Dengan sentakan
kasar dia merenggut tangan Kanti, hingga perempuan itu sempoyongan, lalu dengan
satu dorongan tangannya yang kuat dia membanting tubuh Kanti ke tanah. Dan belum
sempat ia bangun, perempuan malang itu hendak ditendangnya, tapi mendadak....
"Aaakh...!" Suro Bledek menjerit keras.
Saat kakinya hampir mendarat di tubuh Kanti, Rangga dengan cepat menyambar guci
arak di mejanya, lalu dilemparkannya tepat mengenai tulang kering kaki Suro
Bledek. Tentu saja lelaki yang seperti gorilla ini meraung menahan sakit di
kakinya terkena lemparan guci yang begitu keras.
"Monyet buduk!" maki Suro Bledek sengit.
Sret! Suro Bledek mencabut goloknya yang besar dan berkilat.
Dengan teriakannya yang nyaring dia menggibaskan goloknya ke arah leher Rangga.
Hanya dengan sedikit menarik tubuhnya ke belakang, Rangga itu mengelakkan
tebasan golok itu.
Bibirnya tersenyum mengejek, yang memancing kembali amarah Suro Bledek.
Gagal menebas leher Rangga, Suro Bledek mengerang panjang, lalu dengan gerakangerakan cepat, dia menggibaskan kembali goloknya ke beberapa bagian tubuh
Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga hanya berkelit mengelak tanpa merubah posisi
tubuhnya menghindari serangan gencar Suro Bledek. Bahkan pada satu kesempatan,
dengan pangkal tangan kanannya yang terbuka dia menghantam keras tangan kanan
lawannya sehingga goloknya terlepas.
Belum lagi Suro Bledek menyadari keadaan, mendadak tangan kanan Rangga mencekal
tangannnya dengan satu tarikan ke depan, tubuhnya yang terdorong maju dihadang
dengan hantaman lutut yang dahsyat tepat mengenai ulu hatinya, lalu jatuh
berdebum ke tanah.
"Bajingan!" geram Suro Bledek seraya bangkit, daya tahan tubuhnya sungguh luar
biasa. Amarahnya tak lagi bisa dikendalikan, dia tidak dapat lagi melihat siapa yang
dihadapinya, dengan mendengus kencang dia melompat menerkam Pendekar Rajawali
Sakti itu. Gerakan dan terjangan tubuhnya yang lamban dengan mudah dapat dipatahkan oleh
Rangga. Tubuh Suro Bledek pun kembali terjungkal ke belakang menabrak meja
hingga hancur berantakan, ketika tangan kanan Rangga kembali menghantam dadanya.
Kekuatannya yang hanya mengandalkan tenaga luar tak mampu menandingi Pendekar
Rajawali Sakti.
"Nekad!" dengus Rangga begitu melihat Suro Bledek hendak menerjang lagi.
Kali ini Rangga Tidak lagi memberi hati. Begitu serangan Suro Bledek datang,
dengan cepat dia membungkukkan tubuhnya melewati ketiak lawanya, dan dengan
cepat tangan kirinya menghantam tengkuk, lalu disusul lutut kirinya menghajar
perut. Belum sempat Suro Bledek berbuat apa-apa, Rangga sudah mencocor kepalanya
dengan jurus 'Cakar Rajawali'.
Bles! "Aaakh...!" Suro Bledek mengerang panjang Beberapa saat lelaki bertubuh tinggi
besar itu berputar memegangi kepalanya yang bocor dan retak. Darah bercucuran
keluar merembes melalui jari-jari tangannya, lalu tubuhnya ambruk ke tanah.
Cuma sebentar Suro Bledek sempat menggeliat, lalu tak bergerak lagi.
Rangga memandang sekelilingnya, tampak orang-orang berkerumun menyaksikan
pertarungan yang tak seimbang itu.
Sementara Kanti berdiri di pojok dengan tubuh menggigil ketakutan
"Tuan...," panggil Kanti bergetar begitu Rangga melangkahkan kakinya ke luar.
Rangga menghentikan langkahnya dan menoleh. Kanti bergegas menghampiri dengan
air matanya yang deras membasahi pipinya yang putih kemerahan. Sinar matanya
seakan-akan memohon perlindungan.
"Tolonglah aku, Tuan. Mereka pasti akan membunuhku.
tolong Tuan...," pinta Kanti memelas.
Rangga menarik napasnya dalam-dalam. Dia bisa
memahami kedudukan perempuan ini sekarang, apalagi berpasang-pasang mata telah
melihat perrarungannya dengan Suro Bledek. Pendekar Rajawali Sakti itu lalu
mengangguk pelan.
Tanpa berkata sepatah kata pun, dia menggamit tangan Kanti meninggalkan kedai
dan orang-orang yang diam mematung menyaksikannya. Rangga berjalan cepat, hingga
Kanti harus berlari-lari kecil mengimbanginya.
Orang-orang di sekitar kedai pun tak lama kemudian pergi bubar. Tidak ada yang
mau mengambil resiko dihajar Banulaga dan orang-orangnya untuk menceritakan
kejadian itu dan menunjukkan di mana Kanti dan Pendekar Rajawali Sakti berada.
* * * Banulaga menahan geram dan sulit menerima kenyataan kalau Suro Bledek, salah
seorang kepercayaannya tewas dengan mengenaskan. Musuh-musuhnya sudah mulai
terang-terangan merongrong kewibawaannya di depan orang banyak.
Karena bagaimanapun kejadian ini akan membuat nyali penduduk Desa Malayasati
bangkit, dan itu berarti akan menghancurkan kekuasannya pelan-pelan tapi pasti.
Hanya orang bodoh yang mau kekuasaannya musnah begitu saja.
Saat Banulaga diliputi keberangan, mendadak muncul Japra, salah seorang yang dia
suruh melacak jejak Santika, Mega Lembayung, dan Pendekar Rajawali Sakti. Japra
segera membungkukkan badannya, lalu dengan gemetar dia berujar.
"Maaf, Tuanku, Pendekar Rajawali Sakti... dia... dia ada di rumah Pak Karta."
Mata Banulaga memerah seketika, raut mukanya
menegang. Terbayang kembali olehnya wajah Badrun yang mati terbunuh.... Lalu dia
sendiri yang tak bisa berbuat banyak menghadapi pendekar itu. Mulut Banulaga
kemudian tertutup dengan giginya bergemeletuk keras.
"Di mana lima orang lainnya?" tanya Setan Mata Satu memecahkan suasana tegang.
"Mereka semua tewas, Tuan.... Saya sendiri tak sempat membopong Mega, karena
dihadang oleh Santika dan Manusia Bertopeng Hitam. Sementara Pendekar Rajawali
Sakti itu tak mampu diringkus oleh Tarsa dan yang lainnya, malah kelima orang
itu kemudian tergeletak satu persatu dengan belati tertancap di lehernya."
Suasana hening sesaat, Banulaga dan Resi Maespati serta ketiga orang tokoh sakti
lainnya saling berpandangan satu sama lain.
"Dia harus mati. Sudah banyak orang-orangku yang tewas di tangannya," geram
Banulaga. "Santika, Mega dan Pak Karta kemudian mengambil jalan terpisah, Tuan..., hanya
Pendekar Rajawali Sakti dan... yah, Kanti, Tuan... ada di rumah Pak Karta,"
Japra kembali menjelaskan dengan lutut bergetar.
"Kalau begitu, biar aku sendiri yang meringkus monyet itu!" dengus Setan Mata
Satu. "Berangkatiah, bawa kepalanya ke sini!" Setan Mata Satu tak banyak bicara lagi.
Dia langsung melangkah pergi diiringi pandangan mata Banulaga. Tak lama kemudian
Banulaga memandang ke arah Japra.
"Ikuti Setan Mata Satu, dan segera beritahu hasilnya!"
perintah Banulaga.
"Baik, Tuan," Japra segera mengikuti langkah Setan Mata Satu dari kejauhan.
Banulaga kemudian kembali menatap kosong ke depan.
Pikirannya menerawang jauh, membayangkan apa yang akan terjadi. Dia tidak
menyangsikan kesaktian Setan Mata Satu.
Tapi diapun cemas, karena yang akan dihadapinya adalah seorang pendekar pilih
tanding yang sukar diukur tingkat kepandaiannya. Dan karena itu pula dia
menyuruh Japra untuk mengawasinya dari kejauhan. Dia tidak ingin korban di
pihaknya bertambah, lalu lawannya bebas berkeliaran mempermalukan dan melecehkan
kekuasaannya di mata penduduk tanpa dia sendiri dapat meringkusnya langsung.
Mata Banulaga kemudian menatap si Raja Ular yang tengah berdiri bersandar di
pilar beranda depan. Banulaga menghampiri kakak Setan Mata Satu itu, sementara
Resi Maespati dan Iblis Selaksa Racun hanya mengawasi dari tempat duduknya.
Tampak wajah Resi Maespati begitu tenang, seolah-olah tidak sedang terjadi apaapa. Dan tidak ada yang tahu, kalau pembicaraannya dengan Santika sedikit banyak
mempengaruhi diri sang resi.
"Kau tidak ikut bersama Setan Mata Satu, Raja Ular?"
tanya Banulaga. Nadanya berharap agar si Raja Ular ikut serta menghadapi
Pendekar Rajawali Sakti, hingga dia tak begitu cemas menghadapi kemungkinan
lain. "Jangan kau sangsikan adikku. Tunggu saja, dia pasti datang membawa kepala
pesananmu," sahut si Raja Ular tenang.
"Sama sekali aku tidak sangsi, hanya saja...." Banulaga tidak meneruskan
ucapannya. Si Raja Ular menatap tajam. Keningnya sedikit berkerut.
"Dia hampir kalah ketika bertarung melawan Santika!"
Banulaga mengemukakan kecemasannya.
"Mustahil!" dengus si Raja Ular.
"Kau boleh tanyakan sendiri nanti kalau Setan Mata Satu selamat."
Si Raja Ular Tidak berkata apa-apa lagi, kecuali matanya menatap tajam Banulaga
yang segera pergi meninggalkannya masuk ke dalam rumah. Sungguh dia tidak
percaya kalau Setan Mata Satu hampir kalah menghadapi Santika, yang belum banyak
pengalaman dalam rimba persilatan. Ah, mungkin saja Setan Mata Satu mengalah
karena yang dihadapi masih terhitung majikannya sendiri, si Raja Ular menghibur
diri. Raja Ular pun kembali tenang. Dia Justru berpikiran kalau Banulaga sendiri yang
takut, lalu memutar balikkan keadaan yang sebenarnya.
"Hhh...," Raja Ular mendesah panjang, kemudian kakinya melangkah melintasi
halaman rumah yang luas menuju pintu gerbang yang dijaga enam orang bersenjata
golok dan tombak.
Dua orang langsung membuka pintu melihat si Raja Ular mendekat. Yang lainnya
membungkukkan badan.
"Kalian berdua ikut aku," kata Raja Ular menunjuk dua orang yang membukakan
pintu. "Ke mana, Tuan?" tanya salah seorang.
"Cari hiburan."
Kedua orang itu saling pandang, lalu mengangguk seraya mengikuti langkah si Raja
Ular. "Hei, mau ke mana?" tanya salah seorang yang ditinggal.
"Jangan banyak tanya, kalian jaga saja!" bentak si Raja Ular tanpa menoleh.
Dua orang yang mengikutinya pun tersenyum senang.
"Di mana tempat yang paling enak?" tanya si Raja Ular tetap tanpa menoleh.
"Saya tahu, Tuan," kata salah seorang yang kelihatannya masih muda dengan rambut
kucai. "Kau jalan duluan."
"lya, Tuan."
Kedua orang itu mendahului berjalan di depan, tapi si Raja Ular malah
menariknya. Dan mereka berjalan beriringan dengan si Raja Ular di tengah-tengah
seperti raja. Semua orang yang berpapasan langsung menyingkir sambil
membungkukkan badan memberi hormat.
"He he he...," si Raja Ular terkekeh dalam hati.
* * * 8 Setan Mata Satu memandangi sebuah rumah berdinding bambu yang tampak sepi tak
berpenghuni. Naluri dan pendengarannya yang tajam seolah membisikkan kalau di
dalam rumah itu ada penghuninya. Setan Mata Satu pun segera melenting tinggi ke
udara, lalu hinggap dengan ringan di atas atap.
Baru saja kakinya menjejak atap, mendadak atap itu jebol berbarengan dengan
munculnya seorang pemuda berompi putih yang tak lain adalah Pendekar Rajawali
Sakti. Setan Mata Satu terkejut, namun dengan cepat dia dapat menguasai dirinya
kembali. Dua orang itu kini saling berhadapan di atas atap.
"Hebat, kau bisa mengetahui kehadiranku," gumam Setan Mata Satu.
"Mau apa kau mendatangiku seperti maling?" tanya Rangga sinis.
"Aku ke sini sengaja mencarimu. Kau banyak berhutang nyawa pada majikanku!"
"Hmmm..., tak kusangka Banulaga mempunyai begitu banyak anjing.''
"Bangsat! Lancang sekali mulutmu," dengus Setan Mata Satu geram.
"Menghadapi anjing buduk sepertimu, tidak perlu kata-kata sopan."
"Kurobek mulutmu, keparat!"
Seketika itu juga Setan Mata Satu meloncat ke depan dan menerjang Pendekar


Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rajawali Sakti. Pertarungan pun tak bisa dihindari lagi, suatu pertarungan
tangan kosong tingkat tinggi berlangsung di atas atap. Sampai beberapa jurus
Rangga hanya ingih menjajagi lebih dulu kekuatan lawannya dengan jurus-jurus
tangan kosong yang ringan, namun gerakannya cepat dan sulit diikuti mata.
Setan Mata Satu belum sedikitpun bisa menyentuh tubuh Rangga, meski sudah lebih
dari sepuluh jurus ia kerahkan. Dan Rangga pun belum terpancing untuk
mengeluarkan jurus andalannya, sampai beberapa saat lamanya dia hanya berusaha
mengelak tanpa membalas serangan, hingga membuat Setan Mata Satu geram merasa
seperti dipermainkan.
"Phuih! Nama besar Pendekar Rajawali Sakti rupanya cuma kosong, dan cuma bisa
menghindar saja!" dengus Setan Mata Satu kesal dan mencoba memancing.
"Begini saja kau belum bisa menyentuh kulitku," balas Rangga tak kalah pedas.
"Bangsat! Kau akan merasakan jurus 'Tangan Maut'ku."
"Keluarkan saja semua jurus andalanmu."
Setan Mata Satu semakin berang. Segera dia
mengeluarkan jurus 'Tangan Maut yang amat berbahaya.
Gerakan-gerakannya cepat dan penuh tipuan. Namun Pendekar Rajawali Sakti belum
terpancing untuk
mengeluarkan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'nya, dia masih meladeni Setan
Mata Satu dengan senyum tersungging di bibir.
Pendekar Rajawali Sakti akhirnya menyadari kalau jurus
'Tangan Maut' dari lawannya tak bisa lagi remehkan, bahkan beberapa kali dia
jatuh ban kerepotan menghindari serangan-serangan gencar yang amat dahsyat. Dan
dengan melentingkan tubuhnya, Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti itu melompat
turun ke pelataran rumah Pak Karta. Tak mungkin baginya untuk mengeluarkan
jurus-jurus andalan di tempat yang kurang leluasa.
Dua orang itu kini telah berhadapan kembali pelataran.
Rangga mulai memusatkan perhatiannya lalu perlahan-lahan tapi pasti dia
mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', dan pertarungan ya sesungguhnya
pun dimulai. "Hiaaat...!"
Tiba-tiba Rangga berteriak keras, disusul gerakan kakinya yang cepat menyusur
tanah, dua tangannya mengibas cepat ke arah leher dan dada. Setan Mata Satu
melompat menghindari serangan maut berhawa panas itu, namun begitu kakinya
menjejak tanah, dengan cepat kaki Rangga menyampoknya.
Tidak ada pilihan lain bagi Setan Mata Satu, kecuali melentingkan tubuhnya ke
atas, tapi berbarengan dengan itu Rangga menghantamkan tangan kanannya ke depan,
mendarat tepat ke perut Setan Mata Satu tanpa bisa dihindari lagi.
"Hukl"
Setan Mata Satu mengeluh pendek, dua kali dia berputar di udara, lalu menjejak
tanah sejauh dua batang tombak. Setan Mata Satu segera mengerahkan aji 'Pukulan
Karang Samudra', jurus pamungkasnya, dan Rangga pun segera mengeluarkan
penangkalnya, yaitu aji 'Cakra Buana Sukma' tanpa menggunakan pedang Rajawali
Sakti. "Yeaaah...!"
Tubuh Setan Mata Satu melompat ke depan, meluruk ke arah Pendekar Rajawali
Sakti, dan disambut oleh kedua tangan lawannya.
Des! Dua pasang tangan berbenturan keras, sinar merah dan biru terpancar jelas, kedua
tokoh sakti itu berdiri saling berhadapan dengan tangannya saling menempel dan
mendorong satu sama lain. Dua cahaya merah dan biru itu berbaur menjadi satu.
Dua pasang mata mereka saling bertatapan tajam, tampak wajah Setan Mata Satu
yang menegang, juga wajah Pendekar Rajawali Sakti yang tegang mulai berkeringat
deras. Lama sekali mereka saling mengadu kekuatan dengan ilmu kesaktian pamungkasnya
masing-masing. Perlahan-lahan kaki Setan Mata Satu merembes ke dalam tanah.
Sebaliknya Rangga tetap berdiri dengan telapak kakinya seperti tidak menginjak
tanah. "Hih!"
Setan Mata Satu menarik tangannya, wajahnya yang sudah semakin memerah dan
menegang, menjadi semakin membara, manakala merasakan tangannya seperti terpatri
tanpa bisa dilepas.
"Celaka, tenagaku tersedot!" geram Setan Mata Satu dalam hati.
Sementara perlahan-lahan kaki Rangga semakin meninggi tak menyentuh tanah,
tubuhnya pun menjadi miring dengan tangannya menempel kencang, menyedot tenaga
lawannya. Itulah ilmu 'Cakra Buana Sukma' tingkat akhir tanpa pedang Rajawali Sakti.
Kini keadaannya jadi benar-benar terbalik. Rangga berada tepat di atas kepala
Setan Mata Satu dengan tubuh terbalik.
Tubuh Setan Mata Satu perlahan-lahan semakin amblas ke dalam tanah berbarengan
dengan tenaganya yang mulai habis.
"Hih!"
Rangga menekan kuat-kuat, dan seketika tubuh Setan Mata Satu semakin amblas
sebatas pinggang. Setan Mata Satu benar-benar tak berdaya. Dan saat itu juga
Rangga memukulkan tangannya ke arah dada Setan Mata Satu.
Dan.... "Aaakh...!"
Setan Mata Satu mengerang panjang.
Tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti yang
mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', bagaikan sebuah palu godam
menghantam dada Setan Mata Satu. Dan akhirnya tubuh Setan Mata Satu yang masih
tertanam itu terkulai tak bergerak-gerak lagi.
Rangga berdiri tegak menarik napas panjang. Matanya menatap tajam pada tubuh
yang tertanam ke tanah sampai batas pinggang. Kemudian ia beranjak dari tempat
itu menuju ke rumah Pak Karta
Dia berhenti sesaat ketika dilihatnya pintu rumah terkuak.
Kanti yang muncul langsung menjerit ketika matanya melihat ke arah tubuh Setan
Mata Satu yang tertanam di tanah.
"Siapkan pakaianmu segera," kata Rangga begitu melihat Kanti yang sudah mulai
tenang. "Untuk apa?" tanya Kanti heran.
"Engkau harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini segera."
"Ke mana?" tanya Kanti tak mengerti.
"Kembali ke desamu," sahut Rangga.
"Tidak mungkin. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di sana. Kedua orang
tuaku sudah lama meninggal."
"Kalau begitu pergi saja ke Gunung Sumbing. Kau akan menemui sebuah danau di
sana. Di sekitar situ kau cari gubuk yang dihuni teman-temanku. Katakan apa yang
terjadi di sini, dan aku yang menyuruhmu datang pada mereka."
"Lalu, kau sendiri hendak ke mana?"
"Menemui Banulaga," sahut Rangga singkat Kanti tidak bersuara lagi
"Berangkat saja sekarang. Tidak ada waktu lagi"
Selesai berkata begitu, Rangga langsung meloncat.
Sebentar saja tubuhnya berkelebat, lalu menghilang dari pandangan Kanti.
Kanti pun bergegas masuk ke dalam rumah Pak Karta untuk mempersiapkan segala
perbekalannya untuk di perjalanan nanti. la harus cepat-cepat meninggalkan
tempat itu karena ia tahu Banulaga dan pengikutnya tidak akan tinggal diam
melihat Setan Mata Satu tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Terlebih lagi
ketika melihat mayat Setan Mata Satu yang masih tertanam di halaman rumah Pak
Karta. Ia jadi merinding bulu kuduknya membayangkan tubuh yang tewas mengerikan
itu. * * * Setelah ia menempuh perjalanan yang tidak memerlukan waktu yang lama, ia tiba di
tempat yang disebutkan oleh Rangga. Kanti memandangi keadaan di sekitar tepian
Danau Gunung Sumbing. Matanya lalu tertumbuk pada sebuah gubuk berdinding bambu
dan beratapkan rumbia. Perlahan-lahan dia melangkahkan kakinya menuju gubuk itu
yang terselip di antara bukit-bukit batu. Sepasang bola matanya mengawasi
sekitar gubuk itu. Pintu gubuk itu tertutup rapat Namun dia melihat pelataran
gubuk yang sempit itu bersih dan terawat. Pasti mereka masih tinggal di sini,
bisik Kanti dalam hati.
Langkah kaki Kanti hampir mencapai pintu, ketika mendadak...
"Aaakh!!" Kanti memekik tertahan.
Sesosok tubuh meloncat dan berdiri tepat di depannya.
"Tuan Muda...," bibir Kanti terucap pelan begitu mengenali sosok tubuh itu
ternyata Santika.
"Dari mana kau tahu tempat ini?" tanya Santika.
"Rangga," sahut Kanti.
"Rangga...!?" Mega Lembayung yang sudah berdiri di samping Santika tersentak
kaget. "Dia yang menyuruhku datang ke sini,"
"Di mana kau ketemu dia?" tanya Santika sambil melangkah mendekati Kanti.
"Di kedai minum...."
Kanti lalu menceritakan semua kejadian yang dia alami bersama Rangga, juga
tentang pertarungan Pendekar Rajawali Sakti itu dengan seseorang.
"Bagaimana ciri-ciri orang itu?" tanya Santika.
"Orangnya tinggi besar, berpakaian rapi seperti bangsawan, hanya...."
"Teruskan," desak Mega, "Matanya cuma sebelah."
"Setan Mata Satu..," desis Santika.
"Lalu, bagaimana kelanjutannya?" tanya Pak Karta yang ikut bicara.
"Rangga dapat mengalahkannya, bahkan membunuhnya,"
sahut Kanti lagi.
"Sekarang Rangga di mana?" tanya Mega
"Katanya ia akan ke rumah Banulaga," jawab Kanti.
"Apakah ia meninggalkan pesan...?" tanya Santika.
"Tidak. Dia hanya menyuruhku ke sini untuk menemui kalian," jawab Kanti lagi.
"Gawat!" seru Pak Karta mendesah.
Mega dan Santika memandang Pak Karta yang berdiri tegak di belakang mereka.
Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.
"Apa maksud Kakek?" tanya Santika.
"Rangga pasti pergi ke rumahmu untuk membuat perhitungan dengan Banulaga dan
pengikutnya," jelas Pak Karta.
Santika dan Mega Lembayung tersentak. Mereka saling pandang tanpa mengatakan
apa-apa. Pelan-pelan tatapan Santika beralih pada Kanti.
"Kau di sini saja bersama Kakek Karta dan Mega, aku akan menyusul Rangga."
"Tapi...," suara Kanti seperti tercekat di kerongkongan.
"Jangan khawatir, tempat ini aman. Tidak ada seorang pun yang tahu."
Santika segera berlalu meninggalkan ketiga orang itu. Pak Karta hanya bisa
memandangi kepergian Santika dengan mata berkaca-kaca. Kengerian akan apa yang
akan terjadi begitu jelas tergambar di raut wajahnya. Ketiga orang itu lantas
bergegas masuk ke gubuk.
"Kau tidak membohongi kami, kan?" tanya Pak Karta sedikit menaruh curiga. Dia
tahu siapa Kanti. Wanita yang selama dua tahun menjadi piaraan Badaraka,
kemudian dicampakkan ke kedai menjadi pemuas nafsu lelaki hidung belang, Pak
Karta tahu persis, ketika musibah datang menimpa orang tuanya Mega.
"Aku memang perempuan kotor. Hidupku tidak pernah bersih. Tapi aku masih punya
naluri dan akal sehat," lirih suara Kanti.
"Maaf, kalau kata-kataku menyinggung perasaanmu.
Dalam keadaan seperti ini, aku harus waspada dan tidak mudah percaya pada siapa
saja," ujar Pak Karta lirih.
"Aku mengerti, Pak Karta. Aku pun dulu juga mengalami nasib yang naas, karena
perbuatan Badaraka semasa ia masih hidup. Tapi waktu itu aku selalu berharap
akan ada orang yang bisa melenyapkan kekejaman Badaraka dan
cecunguknya," ucap Kanti lirih membayangkan masa latunya.
Suasana di dalam bilik bambu pun kemudian hening.
* * * Banulaga mondar-mandir di beranda rumah dengan
tangannya sebentar-sebentar mengepal keras. Sementara ketiga orang lainnya
memandang ke pelataran rumah dengan perasaan yang sulit ditebak. Mereka seperti
tengah menunggu sesuatu yang belum jelas hasirnya.
Malam sudah menjelang larut, dan hampir menjelang tengah malam. Berarti ini
adalah hari yang kedua kalinya sejak Setan Mata Satu pergi meninggalkan Banulaga
dan ketiga orang itu. Namun hingga kini belum ada juga kabar beritanya.
Banulaga mencemaskan kemampuan Setan Mata Satu
menghadapi si Pendekar Rajawali Sakti. Japra, orang pertama yang dia perintahkan
untuk mengawasi Setan Mata Satu pun belum kembali Dan kini, dia mengharapkan
Sadim akan muncul membawa kabar.
"Bagaimana pendapatmu, Eyang Resi?" tanya Banulaga.
"Hmm...." Resi Maespati yang ditanya bergumam sesaat,
"...sulit. Tunggu saja sampai malam ini. kalau Setan Mata Satu belum muncul
juga, kita tidak bisa hanya menunggu."
"Benar," kata Iblis Selaksa Racun. "Tidak ada jalan lain, kita masing-masing
tidak bisa lagi bertindak sendiri-sendiri..."
"Hmmm..., percuma nama besar yang kita punyai!'" tukas Raja Ular sengit.
Ketiga orang lainnya memandangi Raja Ular. Mereka kemudian seperti menunggu
kakak Setan Mata Satu itu memberikan pendapatnya.
"Menurutku...."
Belum sempat si Raja Ular melanjutkan ucapannya, mereka dikejutkan dengan
kedatangan Sadim.
"Tuan...!" Sadim semakin dekat dengan tubuh sempoyongan, "... dia... dia...
Japra, Tuan...," tak sanggup lagi Sadim berkata, tubuhnya ambruk ke tanah, dan
seketika terlihat sebuah belati menancap tegak di tubuhnya.
"Bangsat!" geram Banulaga, matanya menatap tajam pada sebilah belati di punggung
Sadim. Tak lama kemudian mereka saling bertatapan satu sama lain.
"Japra...?" dengus si Raja Ular, lalu dia menoleh ke arah Banulaga. "Kau
mengenali belati itu?"
"Persis, belari itu seperti yang menancap di tubuh ayahku... ini pasti perbuatan
si Manusia Bertopeng Hitam!"
geram Banulaga.
"Si Manusia Bertopeng Hitam itu pasti Japra, cecungukmu sendiri, Banulaga...,"
kata Iblis Selaksa Racun menimpali.
Banulaga kembali menahan geram. Edan! Dia benar-benar merasa tolol, Manusia
Bertopeng Hitam itu ternyata cecunguknya sendiri. Beberapa saat suasana tegang
menyelimuti pelataran rumah itu.
"Tenang, Banulaga," ucap Resi Maespati sambil menepuk bahu Banulaga, "kau tidak
bisa berpikir dengan tenang dalam suasana seperti ini."
Suara Resi Maespati yang berwibawa, sedikit
menurunkan amarah Banulaga yang sudah amat memuncak.
Dia mulai terlihat bisa mengatur napasnya, meski batinnya bergolak hebat.
Banulaga kemudian seperti tengah membayangkan apa yang terjadi. Sebuah
pertarungan yang tak mungkin terelakkan. Dan... ah, mata Banulaga seolah redup.
Dia mulai berpikir kalau kematian akan pula menjemputnya. Meski masih ada tiga
orang tokoh sakti di belakangnya, tapi diapun tahu... Pendekar Rajawali Sakti,
Santika, dan si Japra alias Manusia Bertopeng Hitam itu tentu akan bersatu.
"Banulaga, suruh pembantumu mengurus mayat itu,"
tegur Resi Maespati pelan.
Banulaga sedikit terkejut, lalu berteriak memanggil dua orang pembantunya.
"Urus mayat ini!"
"Baik Tuan," dua orang pembantunya menyahut bersamaan.
Suasana di beranda rumah kembali sunyi. Banulaga yang sudah bisa menurunkan
emosinya melangkah ke beranda, lalu duduk di sebuah kursi kayu yang menghadap
tepat ke arah Resi Maespati. Dan keempat orang itu pun kembali berjalan dalam
pikirannya masing-masing.
Si Raja Ular terlihat mulai gusar. Kedatangan Sadim dengan belati tertancap di
tubuhnya, membuatnya mulai was-was dengan nasib adiknya, si Setan Mata Satu. Ia
mulai mengakui kebenaran Banulaga, kalau musuh-musuhnya tak bisa dipandang
dengan sebelah mata.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara teriakan yang menggelegar.
"Hai, Banulaga. Keluar kau! Aku datang membawa pesan terakhir dari cecungukmu si
Setan Mata Satu."
Banulaga dan ketiga orang lainnya terkejut mendengar suara yang bernada
tantangan itu. "Bangsat!" teriak si Raja Ular geram karena ia merasa dipermalukan atas suara
itu yang mengabarkan kematian adiknya si Setan Mata Satu.
* * * 9 Si Raja Ular langsung melenting ke luar. Dia berdiri tegak di tengah-tengah
halaman yang luas dikelilingi tembok tinggi dan tebal. Banulaga, Resi Maespati
dan Iblis Selaksa Racun pun sudah berdiri berjajar di belakangnya. Sementara
malam terus merayap dengan sinar rembulan yang menerangi, dan halaman rumah
Banulaga yang luas itu semakin terang oleh cahaya puluhan obor yang tertancap di


Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beranda rumah dan sekeliling tembok.
"Setan keparat! Keluar kau!" teriakan si Raja Ular terdengar menggema di
keheningan malam di antara dinding-dinding tembok yang tinggi. Raja Ular nampak
tidak bisa lagi menahan amarahnya.
Keadaan kembali sunyi. Tak ada sahutan. Sementara satu per satu orang-orang
Banulaga mulai melangkah ke luar menuju halaman. Mereka mengambil posisi di
belakang tokoh-tokoh sakti itu dengan golok terhunus. Banulaga pun telah siap
dengan sepasang golok kembarnya. Hanya Resi Maespati dan Iblis Selaksa Racun
yang tak bersenjata. Kedua tokoh sakti ini memang hanya mengandalkan ilmu silat
tangan kosong dan kesaktiannya.
Pandangan mata si Raja Ular menebar ke sekeliling dengan tajam, telinganya pun
terpasang penuh. Namun beberapa saat lamanya si penantang itu tak menampakkan
batang hidungnya. Suasana pun semakin sunyi dan tegang.
"Pendekar Rajawali Sakti, keluar kau! Jangan bersembunyi seperti tikus got!"
teriak si Raja Ular keras. Teriakannya yang disertai pengerahan tenaga dalam
kembali menggema ke segala penjuru. Beberapa saat kembali hening....
"Aku di sini...!"
Seketika semua menoleh ke atas. Dan sebuah bayangan melayang dari atap,
melakukan salto dua kali, lalu meluncur cepat ke tanah. Si Pendekar Rajawali
Sakti pun berdiri dengan gagah di hadapan Raja Ular. Gerakannya yang cepat tanpa
menimbulkan suara sedikitpun menunjukkan tingkatan ilmunya yang benar-benar
tinggi, hingga yang melihatnya terkesima takjub.
"Aku datang untuk menghukum kelaliman kalian!" suara Pendekar Rajawali Sakti
terdengar mantap dan berwibawa.
"Setan! Apa kau kira dirimu dewa, heh"!"
"Jangankan dewata... manusia dan binatang sekalipun muak melihat tingkah polah
kalian!" "Keparat! Kurobek mulutmu!"
Si Raja Ular langsung memutar tongkatnya yang
berkepala ular cobra. Deru angin semakin mengguruh dahsyat bersamaan tongkat itu
berputar. Orang-orang Banulaga yang berada di belakang tokoh-tokoh sakti itu pun
mencari tempat berlindung, mereka tak mau menanggung resiko tubuhnya terhempas
oleh angin yang semakin kencang bagai topan.
Tubuh Rangga tak bergeming sedikitpun. Bibirnya masih sempat menyunggingkan
senyuman yang mengejek, hingga memancing Raja Ular lebih ganas lagi memainkan
tongkatnya. Mendadak kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti mendorong ke depan, dan seketika
dari telapak tangannya yang terbuka meluncur sinar kebiruan....
Blar! Suara ledakan menggelegar keras begitu sinar kebiruan menghantam tongkat ular
yang berputar cepat bagai baling-baling itu, lalu tubuh Raja Ular pun terpental
ke belakang. Dia menggeram keras, lalu berteriak nyaring. Tubuhnya meluncur
deras dengan ujung tongkat terhunus ke depan.
"Bagus, majulah, biar lebih mudah kupecahkan batok kepalamu!"
Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya sedikit, lalu memiringkan tubuhnya ke
kiri, dan benturan keras pun terdengar ketika tangan kanannya menyampok tongkat
berkepala ular itu. Tubuh si Raja Ular terlihat limbung, namun dengan cepat dia
menguasai diri.
Raja Ular tercenung sesaat. Selama ini belum ada seorang pun lawannya sanggup
menahan tongkat saktinya Tapi kali ini tongkat saktinya tak berarti apa-apa.
Pendekar Rajawali Sakti masih mampu berdiri dengan tegar.
"Hmmm... aku harus menggunakan jurus 'Sengatan Cobra Hitam'," gumam si Raja
Ular. Resi Maespati tertegun melihat si Raja Ular membuka jurus 'Sengatan Cobra
Hitam'. Dia tahu kalau itu adalah jurus simpanan yang hanya akan dikerahkan
kalau si Raja Ular benar-benar menghadapi lawan yang sulit ditandingi.
Rangga sadar kalau jurus yang akan dikeluarkan si Raja Ular kali ini amat
berbahaya Dia segera membuka jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali', satu jurus tingkat akhir dari rangkaian jurus
Rajawali Sakti. Dalam waktu singkat kedua telapak tangannya berubah merah
membara bagai terbakar.
Sementara tangan si Raja Ular berubah menjadi hitam kelam dengan matanya semakin
bulat mengecil.
"Sss...," si Raja Ular mendesis dengan lidahnya yang bercabang menjulur bagai
ular. Dia lalu menyerang Pendekar Rajawali Sakti yang juga sudah siap dengan
jurus andalannya.
Pertarungan adu kesaktian segera terjadi. Gerakan-gerakan si Raja Ular lebih
banyak ke bawah, dia mengegoskan tubuhnya sebelum tiba-tiba melenting menyerang
lawannya dari atas.
Rangga yang sudah banyak menghadapi tokoh rimba persilatan tidak kaget lagi
dengan jurus yang tengah dikerahkan oleh si Raja ular. Dia selalu lebih dulu
menguji kehebatan lawannya sebelum bertindak dan mengetahui kelemahannya, namun
dengan tetap waspada tanpa
mengendorkan pertahanan diri.
Pendekar Rajawali Sakti tidak menghindar begitu tubuh Raja Ular melenting ke
atas, lalu dengan cepat meluruk menyerangnya. Dengan sigap dia menangkap dan
menghentakkan tongkat yang menuju ke arah dadanya. Raja Ular pun terkejut, sama
sekali tak menyangka Pendekar Rajawali Sakti akan mampu mencegat serangannya.
Raja Ular segera berusaha menarik kembali tongkatnya, tapi cekalan tangan
lawannya begitu kuat. Kedua tokoh sakti itu saling berhadapan berpegangan
tongkat. "Hsss...!" Raja Ular mendesis keras.
Rangga dapat merasakan ada getaran dan hawa dingin menjalar dari tongkat yang
dipegangnya. Dia tahu kalau tongkat lawannya mengandung racun berbahaya yang
bekerja sangat cepat dan mematikan. Seketika itu juga dia mengerahkan aji 'Cakra
Buana Sukma'. Perlahan-lahan tangannya yang memerah berubah menjadi biru
berkilauan. Cahaya biru itu merambat menyelimuti tubuhnya, lalu terkumpul kembali ke
tangannya. "Hsss, ahk!" Raja Ular merasakan ada sesuatu yang menarik-narik di dalam
tubuhnya. Satu tarikan yang semakin lama semakin kuat dia rasakan.
Raja Ular terkejut begitu menyadari kalau kekuatan itu mulai menyedot tenaga
dalamnya. Raja Ular berusaha menarik tongkatnya, tapi sia-sia, setiap tarikan
tangannya semakin menyedot tenaga dalamnya sendiri.
Raja Ular pun segera menghimpun hawa racun yang terkandung di dalam tubuhnya,
lalu dia emposkan ke tongkat Seketika itu juga racun tersedol ke tubuh Pendekar
Rajawali Sakti.
"Huh, licik!" dengus Rangga.
Beruntung tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah kebal terhadap segala jenis racun.
Tapi untuk menjaga kemurnian aji
'Cakra Buana Sukma', dia mengeluarkan racun yang berada di tubuhnya melalui
mulut. Asap hitampun lalu tampak mengepul, dan langsung hilang tersapu angin
"Edan!" dengus si Raja Ular. Dia seperti tidak percaya melihat kenyataan itu.
"Huh!" Rangga menyemburkan racun dari mulutnya dengan kencang ke wajah Raja
Ular. "Akh!" Raja Ular terkejut.
Buru-buru dia mencoba melepaskan kembali tangannya dari tongkat, tapi tangannya
seolah-olah sudah terpatri. Raja Ular segera menyadari kalau tenaga dalamnya
tersedot oleh Pendekar Rajawali Sakti. Asap racun yang berasal dari tubuhnya
sendiri kini mengepul di depan mukanya.
"Aaakh...!" Raja Ular menjerit melengking. Racun itu berbalik menyerang dirinya
sendiri, lalu bekerja dengan cepat melelehkan tubuhnya. Dia menggeliat-geliat
meregang nyawa.
Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan pegangannya pada tongkat. Seketika itu
juga tubuh si Raja Ular terjerembab ke tanah.
Tubuh Raja Ular yang sudah tak bernyawa itu kemudian mencair, hingga berubah
tinggal tengkorak. Suasana di halaman rumah Banulaga pun dicekam oleh kengerian.
* * * Tidak lama setelah tubuh Raja Ular berubah menjadi tengkorak, mendadak muncul
Santika. Lalu menyusul si Manusia Bertopeng Hitam yang sudah berdiri di atas
tembok halaman. Tubuh Manusia Bertopeng Hitam itu melenting di udara, lalu
mendarat tak jauh dari tubuh Raja Ular yang sudah menjadi tengkorak.
Dendam kesumatnya yang sudah memuncak membuat
Banulaga langsung meloncat menyerang Manusia Bertopeng Hitam. Namun lawannya
meladeni dengan tenang, dia seperti sudah memperhitungkan kemampuan Banulaga.
Sedangkan Iblis Selaksa Racun menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Santika yang
belum mendapat lawan, menatap Resi Maespati. Sedikit pun dia tidak gentar kalau
terpaksa harus melawan gurunya sendiri.
"Aku sudah menduga, kau pasti masih hidup," kata Resi Maespati tersenyum tipis.
"Hyang Widi masih belum menghendaki nyawa-ku, Eyang Resi. Dan aku datang bukan
sebagai saudara," tenang suara Santika, meski menyiratkan nada permusuhan.
Eyang Resi Maespati tersenyum. Dia masih bisa
menangkap kata-kata hormat dari muridnya ini. Meskipun dia seorang Resi yang
berjalan pada jalur sesat, tapi jiwa kearifannya masih terlihat jelas. Tokoh
sakti inipun tak menghendaki kalau dia harus bertarung dengan Santika.
Bagaimanapun Santika adalah murid dan cucunya, meskipun cuma cucu angkat.
"Maaf, jika Eyang Resi tidak senang, aku rela mati di tangan Eyang, bagaimanapun
Eyang adalah orang yang telah membimbingku. Aku rela mati demi kebenaran dan
keadilan" "Sama sekall aku tidak menyalahkanmu, Santika. Aku tahu, aku selama ini telah
berada di jalan yang sesat. Berhari-hari aku berada di sini, aku terus
berpikir..., yah, rasanya tidak pantas aku disebut resi. Sebutan itu terlalu suci
bagiku. Mungkin dengan perantaraan dirimu, Hyang Widi membuka mata hatiku."
Santika seperti tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Dia tahu benar
jalan hidup gurunya selama ini. Dan kata-kata gurunya ini, meluncur perlahan dan
teratur bagai seorang yang arif bijaksana tanpa noda dan dosa dunia.
"Aku tidak menyalahkanmu kalau kau tidak mempercayai kata-kataku, Santika. Aku
berkata jujur dan keluar dari lubuk hatiku yang selama ini beku tertutup nafsu
iblis," lanjut Resi Maespati.
"Maaf, Eyang," ucap Santika pelan.
Resi Maespati tersenyum lebar. Dia memaklumi sikap muridnya ini. Perlahan lahan
tangannya merogoh ke balik bajunya yang kumal. Lalu terlihat sebuah badik
berlapiskan emas murni tergenggam di tangannya.
Santika tahu itu adalah senjata pusaka kebanggaan dan andalan gurunya. Dengan
senjata itu Resi Maespati kebal terhadap semua senjata dan racun. Napas dan
hidup Resi Maespati ada pada badik itu.
"Kau tentu tahu kalau aku tidak bisa lepas dari senjata pusaka ini. Nyawaku ada
di dalamnya." Resi Maespati menghampiri Santika. Dengan bibir menyunggingkan
senyum, Resi Maespati menyodorkan badik itu pada Santika yang masih memandang
tak mengerti. "Terimalah, benda ini lebih bermanfaat jika berada di tanganmu," kata Resi
Maespati pelan. Santika pun perlahan-lahan mulai menyadari sikap gurunya, lalu
tangannya menjulur menerima badik itu.
Sementara itu, Banulaga yang tengah bertarung dengan Manusia Bertopeng Hitam,
sempat memperhatikan apa yang diperbuat oleh Resi Maespati. Dia pun cepat
melemparkan jarum-jarum beracun ke arah tubuh Manusia Bertopeng Hitam, dan
ketika lawannya tengah berusaha menghindar, dengan cepat dia meloncat ke arah
Resi Maespati dan Santika, lalu satu dari sepasang golok kembarnya menyambar
tubuh Santika, namun dengan sigap Resi Maespati mendorong tubuh Santika, dan...
Cras! Resi Maespati yang sudah hilang kesaktiannya, roboh oleh golok Banulaga. Darah
langsung menyembur keluar dari dada yang robek dan terbelah lebar.
"Eyang Resi...!" pekik Santika terkejut Bergegas Santika memburu dan memeluk
tubuh yang terkapar mandi darah. Napas Resi Maespati mulai tersengal.
Tebasan golok Banulaga yang dalam merobek jantungnya.
Sesaat Banulaga sendiri tercenung dia seperti tersadar akan apa yang baru saja
terjadi. "Eyang...," rintih Santika lirih.
"Jangan sedih, Santika. Gunakan badik pusaka itu pada jalan yang benar dan
lurus... dan satu lagi pesanku...," Santika cepat tanggap, di dekatkan
telinganya pada mulut Resi Maespati, "jaga bagian pusarmu, di situ
kelemahanmu...," lalu tubuh Resi Marspati pun terkulai lemah.... Dia mati di
pelukan muridnya sendiri.
Wajah sedih Santika yang menatap tubuh gurunya
perlahan-lahan terangkat. Matanya menatap tajam pada Banulaga.
"Biadab! Bangsat'" geram Santika. Seketika Santika melompat menerjang Banulaga
yang masih diam terpaku.
Terjangan yang cepat disertai amarah itu meluncur deras.
Banulaga yang terlambat menyadari, tidak bisa lagi menghindar... tubuhnya
terjengkang ke belakang oleh kaki Santika yang mendarat di dadanya.
Santika pun terlihat semakin garang. Dia menggeram sesaat, tangannya menggenggam
erat badik pemberian gurunya... dan dia pun melompat kembali ke arah
Banulaga.... "Tunggu...!"
Santika tersentak, badik yang nyaris ia babatkan ke tubuh Banulaga pun tertahan
Kemudian terlihat olehnya Manusia Bertopeng Hitam menghampiri.
"Aku tak ingin kau membunuh Banulaga dengan penyesalan, Santika...," si Manusia
Bertopeng Hitam berkata dingin, sesaat menatap Santika, lalu menoleh pada
Banulaga yang sudah berdiri kembali.
"Siapa kau?" tanya Santika penasaran.
Bret! Santika dan Banulaga sama-sama terkejut. Orang yang telah membuka topeng
hitamnya itu sama sekali tak dikenalnya. Juga bukan Japra yang disebutkan oleh
Sadim sebelum kematiannya.
"Aku Sagar," orang itu berkata dingin, lalu matanya menatap Banulaga dan Santika
berganti-ganti. "Aku adik angkat Japra.... Ayah dan ibu angkatku mati oleh
orang-orang Badaraka," orang itu lalu menarik napasnya dalam-dalam,
"...dan bersama Kang Japra aku membunuh ayahmu, Banulaga," orang itu
menghentikan ucapannya kembali, lalu menatap tajam pada Banulaga, yang
ditatapnya pun menahan geram. "Dan kau, Santika..., kau adalah anak Parti,
perempuan yang dimangsa oleh kebuasan Badaraka, ayahmu mati membela kehormatan
istrinya... tapi Badaraka mengambilmu sebagai anak angkatnya, dan adikmu...,"
orang itu seperti tercekat kerongkongannya, lalu mendadak muncul Japra.
"Benar, Santika, Sagar ini adikmu, yang dirawat oleh orang tuaku," kata Japra
lirih. Sejenak Santika dan Sagar saling berpandangan....
Dan mendadak mereka dikejutkan oleh Banulaga yang melonca kabur. Melihat itu,
Sagar alias Manusia Bertopeng Hitam segera melemparkan belatinya. Dan....
"Aaakh...!"
Banulaga mengerang panjang.... Sebuah belati menancap tepat di tengkuknya, lalu
tubuhnya pun berdebum jatuh ke tanah.
* * * Sementara itu Iblis Selaksa Racun yang tengah bertarung dengan Pendekar Rajawali
Sakti, langsung gentar begitu menyadari tinggal dia sendiri yang masih hidup.
Dia sudah mengerahkan segenap kemampuannya hingga berpuluh-puluh jurus, tapi
belum juga mampu membuat lawannya kewalahan.
Bahkan Pendekar Rajawali Sakti itu beberapa kali membuatnya berlompatan jungkir
balik menghindari gibasan-gibasan goloknya yang cepat.
Beberapa saat lamanya Pendekar Rajawali Sakti hanya memainkan pedangnya dengan
cepat, dia merasa belum perlu untuk mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Dan
tiba-tiba dia menyadari kalau Iblis Selaksa Racun berusaha mundur mendekati
tembok sambil menghindari kibasan goloknya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti segera
menyodok perut lawannya.
Dugaannya tepat, Iblis Selaksa Racun melentingkan tubuhnya meloncati tembok
bangunan itu, tapi sebelum tubuhnya melewati tembok tiba-tiba....
"Aaakh...!" Iblis Selaksa Racun menjerit tertahan.
Tubuhnya menabrak tembok sebentar, lalu roboh dengan punggung menganga lebar
berlumuran darah segar. Pedang Rajawali Sakti telah menamatkan riwayat-nya.
Rangga menarik napasnya pelan, sebentar matanya memandangi tubuh Iblis Selaksa
Racun. Dia pun menoleh begitu suara lembut terdengar memanggilnya.
Terlihat oleh Rangga, Mega Lembayung dan Pak Karta berjalan mendekat ke arahnya.
Di belakangnya menyusul Santika dan dua orang yang tak dikenal oleh Pendekar
Rajawali Sakti itu.
Orang-orang Banulaga pun kemudian mendekati Rangga dan kelima orang lainnya,
mereka yang berjumlah puluhan berlutut dengan kepala tertunduk.
"Hukuman apa yang pantas untuk mereka?" tanya Santika meminta pendapat.
"Sudah berapa lama mereka mengabdi di sini?" Rangga balik bertanya.
"Sudah cukup lama, sejak aku remaja," sahut Santika.
"Menurutku, mereka urusan kalian yang di sini. Maaf, aku tak mau mencampuri
urusan pribadi kalian," kata Rangga tegas.


Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lepaskan saja mereka, biar mereka menentukan jalan hidupnya sendiri...,"
terdengar suara lembut berwibawa dari arah belakang.
"Kakek...," desis Mega Lembayung begitu menoleh.
"Kalian boleh meninggalkan tempat ini," kata Santika tegas. Tapi orang-orang itu
masih tetap bertahan di tempatnya, hingga mengundang geram Santika dan yang
lainnya. "Hm... baik," kata Santika pelan, "kalau kalian masih mau mengabdi padaku...
hilangkan sikap pongah kalian, mengerti"!"
Semua kepala yang tertunduk langsung terangkat hampir bersamaan. Bekas orangorang Banulaga itu lalu membungkuk memberi hormat, dan tanpa diperintah lagi
mereka segera mengurus mayat-mayat yang berserakan di halaman rumah.
Santika dan yang lainnya pun terkejut manakala mereka menyadari Pendekar
Rajawali Sakti tak lagi berada di tempatnya. Sesaat mereka terdiam, lalu hanya
bergumam pelan, sepertinya mengucapkan terima kasih pada Pendekar Rajawali
Sakti. SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : KucingListrik
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Bentrok Para Pendekar 8 Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung Seruling Samber Nyawa 13

Cari Blog Ini