Ceritasilat Novel Online

Perawan Rimba Tengkorak 2

Pendekar Rajawali Sakti 17 Perawan Rimba Tengkorak Bagian 2


mendekati bibir tebing batu itu.
"Aku akan segera membuktikan, bahwa kereta kuda itu hanya jebakan, ayo!" ajak
Pandan Wangi. Gadis itu langsung melompat menuruni tebing batu itu. Sedangkan ular hitam
jelmaan Dewi Naga Hitam segera merayap cepat mengikuti dari belakang.
*** 5 Dua pasang mata indah tampak sedang mengawasi dua kereta kuda yang berjalan
pelan-pelan depannya.
Dua kereta kuda yang tertutup kain terpal yang tebal itu, masing-masing ditarik
oleh dua ekor kuda.
Sementara semua pengawalnya yang kurang lebih dua puluh orang berkuda itu,
berada di belakangnya.
"Kau lihat, Dewi Naga Hitam" Mereka seperti sengaja menunggu kedatanganku," kata
Pandan Wan setengah berbisik.
"Ternyata kau cukup berpengalaman juga, Pandan," puji Dewi Naga Hitam.
"Aku yakin, di dalam kereta itu pasti tokoh-tokoh berilmu tinggi dari rimba
persilatan," Pandan Wangi menduga dengan penasaran.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?"
"Lihatlah!"
Pandan Wangi segera memungut tiga batang
ranting kayu yang lumayan tajam. Sejenak dia menimang-nimang tiga benda itu,
lalu dengan disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup sempurna, dia langsung
melemparkan ketiga ranting itu ke arah kereta kuda yang berada di depannya.
Crab! Crab! Crab!
Langsung saja ketiga batang ranting itu menancap ke kain terpal. Dan seketika
itu juga terdengarlah jeritan kesakitan yang melengking tinggi! Dan rombongan
kereta kuda tersebut langsung berhenti.
Tak lama kemudian, dari dalam kereta itu berlompatan sosok-sosok tubuh manusia
dengan pakaian beraneka ragam dan dengan senjata yang berbagai macam bentuknya.
"Bagaimana, Dewi Naga Hitam?" Pandan Wangi tersenyum lebar.
"Kau benar-benar cerdik, pantas saja kalau Ketua Partai Tengkorak benar-benar
merasa terancam," lagi-lagi Dewi Naga Hitam memuji.
"Lihat! Jumlah mereka begitu banyak, lebih dari lima puluh orang," kata Pandan
Wangi lagi. "Kau mampu menghadapi mereka semua,
Pandan?" pancing Dewi Naga Hitam.
"Kalau mau mati konyol, sudah kuhajar sejak tadi."
"Kalau begitu, biar aku yang membereskan," Dewi Naga Hitam buru-buru
mempersiapkan diri.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Pandan Wangi kaget.
"Lihat saja!"
Ular hitam pekat itu langsung mendesis berkali-kali. Kepalanya terangkat naik ke
atas seraya ber-goyang-goyang ke kiri dan ke kanan.
Pandan Wangi tertegun memperhatikan dengan pandangan tidak mengerti. Tapi....
"Oh...!"
Ia sangat terkejut begitu menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya. Entah dari
mana datangnya, tiba-tiba orang-orang Partai Tengkorak yang dibantu oleh tokohtokoh rimba persilatan sudah dikepung ribuan ular berbisa, baik besar maupun
kecil. Suara-suara mendesis langsung terdengar memenuhi udara sekitarnya. Bau
amis pun segera menyeruak me-nusuk hidung dengan tajam.
Ular-ular yang semakin bertambah jumlahnya itu pelan-pelan bergerak mendekati
orang orang yang mengelilingi kereta kuda itu. Sedangkan kuda-kuda yang menarik
kereta mereka, meringkik-ringkik
ketakutan melihat ular-ular itu. Aneh! Ular-ular itu seperti sengaja memberikan
jalan keluar bagi kuda-kuda yang lari ketakutan itu.
Pandan Wangi benar-benar kagum menyaksikan pemandangan yang aneh dan mengerikan
itu. Sementara lima puluh orang yang terkepung tampak meng-gigil ketakutan,
melihat ular-ular yang begitu banyak semakin rapat mengepungnya.
"Ulurkan tanganmu ke arahku, Pandan," kata Dewi Naga Hitam.
"Oh!" Pandan Wangi terkejut mendengar permintaan itu.
Sungguh! Seumur hidupnya gadis itu belum pernah memegang ular. Bahkan dia paling
jijik dengan binatang yang satu ini. Tapi dengan permintaan Dewi Naga Hitam
tadi.... Dengan ragu ragu Pandan Wangi mengulurkan tangannya, dan memegang tubuh
ular hitam pekat itu. Mendadak saja, rasa takut dan jijik liilang seketika
begitu tubuh ular itu membelit pinggangnya. Bahkan Pandan Wangi membiarkan saja
ketika kepala ular hitam itu berada di pundak-nya.
"Ayo ke luar, Pandan. Kau bisa memanfaatkan mereka untuk menghancurkan Partai
Tengkorak,"
kata Dewi Naga Hitam.
"Tapi..."
"Jangan takut, rakyatku tidak akan mengganggu-mu. Dengan aku berada bersamamu,
kau akan dianggap sebagai wakil Satria Naga Emas. Mereka akan langsung tunduk
pada perintahmu!" Dewi Naga Hitam meyakinkan.
Pandan Wangi percaya saja pada kata-kata Dewi Naga Hitam. Dan tanpa ragu-ragu
lagi, dia langsung melompat dari persembunyiannya. Setelah beberapa
kali berputaran di udara, dengan mudah Pandan Wangi menjejakkan kaklnya tepat di
barisan belakang ular-ular yang mengurung sekitar lima puluh orang itu.
Kedatangan Pandan Wangi yang tiba-tiba itu langsung membuat orang-orang itu
terkejut. Apalagi di tubuh pendekar wanita itu terbelit seekor ular hitam yang
besar. "Jadikan mereka pengikutmu, Pandan," kata Devi Naga Hitam.
"Untuk apa?" tanya Pandan Wangi berbisik.
"Kau perlu pengikut untuk menghancurkan Partai Tengkorak. Paling tidak mereka
bisa meringankan pekerjaanmu."
"Baiklah!" kata Pandan Wangi menyetujui gagasan itu.
*** Ular-ular di depan Pandan Wangi segera menyingkir memberi jalan begitu mendengar
perintah dari gadis itu. Dan dengan langkah anggun bagaikan seorang putri
kerajaan, dia mendekati lima puluh orang yang rata rata sudah pucat-pasi semua
itu. "Siapa di antara kalian yang jadi pemimpinnya"'
tanya Pandan Wangi lantang.
Sepi! Tidak ada seorang pun yang menyahut per-tanyaannya.
"Siapa pemimpinnya" Jawab! Atau ular-ularku yang akan memaksa!" gertak Pandan
Wangi bersungut.
"A..., aku...," salah seorang maju ke depan dengan takut-takut.
"Hm...," Pandan Wangi memperhatikan laki-laki yang usianya sekitar lima puluh
tahun itu. "Siapa namamu?" tanya Pandan Wangi.
"Su..., Su..., Sura Praba," jawab orang itu terbata-bata.
"Dengar, Sura Praba! Dan kalian semua! Hari ini aku bermurah hati tidak akan
melenyapkan kalian,"
Pandan Wangi mulai membuka taktiknya.
"Oh, terima kasih.... Terima kasih, Den Ayu," kata Sura Praba seraya membungkuk
beberapa kali. "Tapi kalian harus berjanji, tidak akan kembali lagi pada Partai Tengkorak!"
sambung Pandan Wangi tegas.
Seperti ada yang memberi komando saja, mereka semua langsung melepaskan segala
macam tanda yang berhubungan dengan Partai Tengkorak.
Sehingga mereka hanya mengenakan celana sebatas lutut saja.
"Kami berjanji, kami akan setia kepada perintah Gusti Ayu," kata Sura Praba
seraya menjatuhkan diri berlutut. Yang lainnya segera saja ikut berlutut dan
menundukkan kepala.
"Bagus! Aku tidak akan segan-segan menjatuhkan tangan, jika di antara kalian ada
yang coba-coba membangkang!" ancam Pandan Wangi.
Sejenak Pandan Wangi memberikan isyarat, serta-merta ular-ular yang mengepung
mundur, begitu Dewi Naga Hitam yang membelit pinggang Pandan Wangi mendesis.
Sementara lima puluh orang tersebut masih berlutut, sampai ular-ular yang
memenuhi tempat itu hilang ke dalam semak-semak belukar.
"Ada satu hal lagi yang perlu kalian ketahui, siapa yang mencoba lari dariku,
pasti akan akan mati oleh ular-ularku. Mengerti"!"
"Mengerti, Gusti Ayu," jawab mereka serempak.
Pandan Wangi segera tersenyum senang. Dalam hati dia berterima kasih sekali atas
bantuan yang diberikan oleh Dewi Naga Hitam. Dia yakin, tanpa ular hitam itu, mustahil bisa
menaklukkan lima puluh orang tersebut. Tapi Pandan Wangi pun segera menyadari
bahwa orang orang seperti mereka mudah untuk berpihak pada siapa saja. Tegasnya,
mereka juga tidak segan-segan untuk berkhianat demi kepentingan dirinya sendiri.
Makanya Pandan Wangi tidak ingin berlama-lama berhubungan dengan orang orang
seperti mereka.
Dengan langkah tenang, Pandan Wangi segera berjalan kembali menuju sungai kecil
dekat goa. Dia memang menjadikan tempat itu sebagai markas untuk menyusun
kekuatan dalam menghadapi Partai Tengkorak. Tekadnya sudah bulat sekarang, dia
hanya menghancurkan partai itu sampai ke akar-akarnya. Darahnya jadi mendidih,
kalau mengingat kepalanya hanya dihargai seribu keping uang emas
"Aku rasa, lima puluh orang belum cukup untuk menghadapi Partai Tengkorak, Dewi
Naga Hitam,"
kata Pandan Wangi berbisik
"Memang, dan kau harus berusaha lagi untuk menambah lebih banyak. Sekarang,
anggota Partai Tengkorak bukan lagi puluhan, tapi sudah mencapai ratusan.
Apalagi ditambah tokoh-tokoh berilmu tinggi rimba persilatan yang tergiur oleh
hadiah itu," sahut Dewi Naga Hitam
"Apakah aku perlu minta bantuan pada padepokan-padepokan yang ada di sekitar
lereng Gunur Puting?" Pandan Wangi minta pendapat.
"Tidak perlu, Pandan. Kau memang harus menambah jumlah pengikutmu, tapi aku rasa
tidak perlu. Kecuali jika kau mau...."
"Apa"'' Pandan Wangi penasaran.
"Bergabung dengan Rangga!'
Pandan Wangi langsung terdiam
"Aku pikir, itu satu-satunya jalan, Pandan. Kau akan makan waktu yang lama untuk
mengumpulkan pengikut, sementara kekuatan Partai Tengkorak akan semakin
bertambah besar."
"Sebenarnya aku tidak ingin mengandalkan kekuatan dia, Dewi Naga Hitarn," Pandan
Wangi mendesah.
"Baiklah kalau kau tidak mau," Dewi Naga Hitam nenyerah "Aku akan membantumu
dengan mengerahkan bangsa ular."
"Dewi Naga Hitam..." panggil Pandan Wangi lirih
"Apa?" sahut Dewi Naga Hitam.
"Boleh aku bertanya?"
"Kenapa tidak"
"Kelihatannya kau bernafsu sekali untuk menghancurkan Partai Tengkorak. Apa
sebenarnya yang telah terjadi dengan dirimu?" tampak jelas ada nada kecurigaan
pada kata-kata Pandan Wangi barusan.
"Kau akan mengetahuinya sendiri nanti."
"Apakah kau punya dendam?" desak Pandan Wangi menebak.
Pertanyaan itu tetap tak dijawab. Terpaksa Pandan Wangi tidak mendesak lagi. Dia
sudah merasakan sendiri kalau ada sesuatu yang telah terjadi antara Dewi Naga
Hitam dengan Partai Tengkorak.
*** Entah apa yang meresahkan hati Pandan Wangi, sehingga sampai larut malam
tubuhnya hanya ber-gulingan ke sana kemari, tanpa bisa memejamkan mata sedikit
pun juga. Sudah sejak tadi Pandan Wangi merebahkan tubuhnya di atas jerami
kering di dalam goa yang hangat oleh siraman cahaya api unggun. Dia benar-benar tidak
mengerti, kenapa tiba-tiba saja ada sesuatu yang sangat mendesak-desak di dalam
dadanya. Dia terngiang kembali kata-kata Rangga kemarin malam. Jelas sekali dia mendengar
semua itu dari atas bukit batu. Dan dia merasa begitu terharu mendapatkan
kenyataan bahwa cinta Rangga begitu besar pada dirinya. Dan itu berarti, apa
yang ditakut-kan selama ini tidak beralasan.
"Rangga..., seandainya kau tahu, bahwa aku juga benar-benar mencintaimu...,"
desah Pandan Wangi lirih.
Pelan-pelan dia beranjak dari tidurnya. Kemudian melangkahkan kakinya ke luar
dari goa itu. Dia hanya berdiri mematung sambil menyandarkan tubuhnya di dinding
mulut goa yang dingin. Semilir angin malam yang membelainya dengan lembut,
membuat tubuh Pandan Wangi kedinginan. Sejenak dia mengedarkan pandangannya
berkeliling pada sekitar goa tersebut.
Tampak lima puluh orang yang sudah menyatakan setia padanya, sedang tidur pulas.
Dan beberapa di antaranya berjaga-jaga di dekat perapian.
Pandangan gadis itu mendadak terpaku pada satu sudut yang agak tinggi. Tampak
samar-samar sesosok tubuh putih sedang berdiri tegak memandang ke arahnya.
Meskipun dalam jarak yang cukup jauh, namun Pandan Wangi dapat memastikan siapa
orang itu. "Rangga...," desisnya pelan. Ingin rasanya dia menghampiri pemudai itu. Tapi
kakinya terasa berat untuk melangkah. Dia begitu yakin, kalau orang itu adalah
Rangga, kekasih yang sangat dicintainya.
"Oh!"
Mendadak gadis itu tersentak ketika tiba-tiba orang yang dipandanginya itu
lenyap! Segera dia berlari ke tengah-tengah lapangan yang ada di depan goa.
Sejenak dia mengedarkan pandangannya berkeliling, tapi tidak ada seorang pun
yang terlihat di atas sana, hanya kegelapan yang menyelimuti sekitarnya.
"Apakah itu cuma khayalanku saja...," Pandan Wangi jadi ragu-ragu dengan
penglihatannya.
Kembali dia mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi tetap sia-sia saja. Gadis itu cuma bisa mengeluh panjang. Dia
begitu yakin, kalau yang dilihatnya tadi adalah Rangga, dan bukan semata-mata
khayalannya saja. Didorong oleh rasa penasarannya yang dalam, gadis itu langsung
melompat ke arah bukit di mana tadi dia telah melihat Rangga berdiri
memandanginya. Hanya dengan dua kali lompatan saja, Pandan Wangi telah mencapai
puncaknya. "Benar! Aku tidak bermimpi, dia memang ada sini tadi," Pandan Wangi memeriksa
tanah ya tergambar bekas pijakan kaki manusia.
Pandan Wangi cepat-cepat berdiri lagi. Matanya yang tajam kembali meneliti
setiap jengkal tanah sekitarnya. Dia terus berlompatan mengikuti jejak-jejak
kaki yang jaraknya sangat berjauhan antara yang satu dengan lainnya. Sama sekali
dia tidak menyadari kalau dia sudah jauh meninggalkan tempat persembunyiannya.
Pandan Wangi langsung berhenti pada jejaknya tiba-tiba saja hilang. Dia heran
karena tapak-tapak kaki itu benar-benar berhenti di tempat itu. Beberapa saat
gadis itu masih kebingungan, tiba-tiba....
"Pandan...," sebuah suara halus terdengar.
*** Bukan main kagetnya Pandan Wangi! Dia langsung membalikkan tubuhnya. Tapi tidak
ada seorang pun di sekitar tempat itu. Padahal tadi jelas sekali suara itu
datang dari belakangnya. Tapi kenyataan yang dihadapinya kini, dia tetap
sendirian di tempat itu.
"Siapa kau" Aku bosan main kucing-kucingan begini!" seru Pandan Wangi kesal.
"Kau sudah tidak suka lagi dengan mainan lama-mu, Pandan?" suara misterius itu
kembali terdengar.
Untuk kedua kalinya Pandan Wangi benar-benar dibuat kaget setengah mati! Suara
itu sangat jelas terdengar, bahkan seakan-akan begitu dekat. Pandan Wangi sadar,
kalau dia sedang berhadapan dengan seseorang yang memiliki tingkat kepandaian
yang sangat tinggi. Segera saja dia mengerahkan ilmu pembeda gerak dan suara.
Tapi..., gadis itu hanya terperangah sendiri, karena dia tetap tidak bisa
melacak di mana sumber suara tadi.
"Keluarlah, kalau perlu kita bertarung sampai ada di antara kita mati di sini!"
geram Pandan Wangi sedikit putus asa.
"Sayang sekali, kau tidak mengenal suaraku lagi,"
terdengar lagi suara tanpa wujud. Langsung saja Pandan Wangi tersentak! Wajahnya
langsung memerah seketika! Dia baru menyadari kalau suara itu...
"Rangga...," desisnya pelan.
"Kakang...! Di mana kau?"
Suara Pandan Wangi terdengar menggema karena disertai dengan pengerahan tenaga
dalam yang cukup tinggi. Kemudian gadis itu memutar tubuhnya sambil mengedarkan
pandangannya berkeliling. Ya,
ampun! Hampir saja dia mati lemas begitu melihat laki-laki yang sudah berdiri di
dekatnya. "Kakang...." Pandan Wangi melongo, seperti tidak percaya dengan penglihatannya


Pendekar Rajawali Sakti 17 Perawan Rimba Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri. "Akhirnya aku dapat menemukanmu juga, Pandan," kata Rangga seraya mendekat.
"Oh, Kakang...."
Pandan Wangi tidak mampu lagi menguasai dirinya. Dia langsung memeluk Rangga!
Rasa rindu yang dalam dan hanya terpendam saja, langsung
ditumpahkan saat itu juga. Gadis itu memeluk Rangga erat-erat seakan-akan tidak
ingin melepaskan pemuda itu lagi. Dan tanpa disadarinya, setitik air mata
bahagia menggulir jatuh ke pipinya.
Sementara Rangga membiarkan saja gadis itu menangis dalam pelukannya, bahkan dia
makin merapatkan pelukannya! Lama sekali mereka ber-pelukan menumpahkan berbagai
macam perasaan yang sekian lama hanya terpendam di dalam dada.
Beberapa saat kemudian, dengan pelan-pelan sekali Rangga melepaskan pelukannya.
Kedua tangannya mencengkeram gadis itu. Seketika dipandanginya wajah cantik itu
lekat-lekat. "Aku mencintaimu, Pandan," bisik Rangga lembut.
"Kakang..., jangan tinggalkan aku lagi," balas Pandan Wangi tersedak.
"Tidak, Sayang. Aku pun ingin selalu bersama denganmu."
Sementara itu di atas sana, sang dewi malam seakan-akan tersenyum melihat
kebahagiaan mereka. Sejenak Rangga merenggangkan pelukannya kembali kedua
tangannya mencengkeram bahu gadis itu. Beberapa saat lamanya mereka hanya saling
berpandangan saja. Tidak ada lagi kata-kata
yang mampu terucapkan. Rasa bahagia yang telah meledak di dalam dada, membuat
mulut mereka terkunci. Namun saan dan sinar mata mereka lebih berarti dalam
menyiratkan kata-kata indah yang tak bisa terucapkan.
Sejenak Rangga membelai-belai lembut pipi gadis itu. Pandan Wangi diam saja,
bahkan dia memejamkan mata untuk lebih menikmati belaian pemuda itu.
"Pandan...," bisik Rangga lembut.
"Hm...," Pandan Wangi membuka matanya perlahan-lahan.
Banyak yang ingin dikatakan Rangga saat itu, tapi sulit untuk diucapkannya.
Tenggorokannya mendadak serasa kering, dan lidahnya jadi kaku seketika.
Perlahan-lahan dia mendekatkan wajahnya ke wajah Pandan Wangi. Semakin dekat
wajah mereka, sema terasa hangat napas mereka menerpa wajah.
Kembali Pandan Wangi memejamkan matanya.
Bibirnya yang selalu merah bergerak-gerak meng-geletar setengah terbuka.
Mendadak Rangga merasakan tubuh Pandan Wangi bergetar hebat dalam pelukannya.
"Pandan, kau kenapa?" tanya Rangga cemas.
"Aku..., aku..., oh!" Pandan Wangi segera menyurut-kan wajahnya ke dada pemuda
itu. Rasa malu langsung menghinggapi dirinya.
Rangga hanya tersenyum tipis. Dia menyadari kalau gadis itu belum pernah
disentuh laki-laki.
"Aku mencintaimu, Sayang," bisik Rangga pelan.
"Kakang...."
*** 6 Mimik wajah Rangga biasa-biasa saja ketika Pandan Wangi menceritakan, bahwa
dirinyalah yang dijuluki si Perawan Rimba Tengkorak di sekitar Hutan Jati Jarak.
Dia memang sudah menduga sebelumnya. Hanya saja yang membuat Rangga jadi
bertanya-tanya, bagaimana Pandan Wangi sampai berhasil menaklukkan lima puluh
orang anggota Partai Tengkorak hingga menjadi pengikutnya. Setiap kali Rangga
menanyakan hal tersebut, Pandan Wangi hanya mengatakan, kalau dia mempunyai cara
tersendiri. "Bagaimana kau bisa tahu jadwal penarikan upeti oleh Partai Tengkorak?" tanya
Rangga penasaran.
"Ada seseorang yang telah memberitahu. Aku punya orang-orang yang berada di
desa-desa sekitar Lereng Gunung Puting ini," sahut Pandan Wangi bernada bangga.
"Aku percaya, seluruh warga di desa-desa sekitar Lereng Gunung Puting ini sangat
menyanjungmu, bahkan mereka juga mengharapkan agar kau segera dapat
menghancurkan Partai Tengkorak," kata Rangga.
'Hal itu hanya bisa kulakukan kalau kau mau membantuku, Kakang," sahut Pandan
Wangi berharap.
"Tentu saja, aku juga punya perhitungan sendiri dengan mereka," sambut Rangga.
"Dewi Naga Hitam juga."
"Dewi Naga Hitam...!?" Rangga terkejut mendengarnya. "Kau kenal dia, Pandan?"
"Ya. Dia banyak membantu dalam pertemuan kita,"
kata Pandan Wangi terus terang.
"Di mana dia sekarang?" tanya Rangga.
"Aku tidak tahu, katanya sih mau menyelidiki sarang Partai Tengkorak."
"Untuk apa" Aku sudah tahu tempatnya, dan aku juga sudah mempelajari situasinya.
Kalau mau, kita bisa langsung menggempurnya, dan mereka tidak akan bisa berbuat
banyak!" "Aku percaya, karena kau punya tunggangan burung rajawali raksasa."
Lagi-lagi Rangga dibuat terkejut. Belum pernah sekali pun dia menceritakan
tentang burung rajawali raksasa itu pada Pandan Wangi. Mungkinkah Dewi Naga
Hitam telah menceritakannya" Ah, tidak mungkin. Jelas hal itu sangat
bertentangan dengan perjanjian Pendekar Rajawali Sakti dengan bangsa ular!
"Kemarin aku melihatnya sendiri ketika kau turun dari punggung burung raksasa
itu di dekat goa. Aku tahu, kau pasti akan mencariku sampai ke sana. Tapi waktu
itu aku bingung untuk berhadapan denganmu, lalu aku memutuskan untuk
menghindarimu," ujar Pandan Wangi terus-terang.
"Jadi, kemarin kau ada di sekitar tempat itu?"
tanya Rangga tak habis pikir.
"Iya, dan dari situlah aku yakin, bahwa memang benar-benar mencintaiku, Kakang.
Terus terang, tadinya aku sudah ragu akan cintamu. Aku sadar kau sekarang telah
menjadi seorang raja besar Karang Setra. Dan aku tidak pantas lagi untuk
memperoleh cintamu," Pandan Wangi makin menelanjangi dirinya sendiri.
"Pandanganmu picik sekali, Pandan!" Rangga menyesali sikap Pandan Wangi.
"Memang..., tapi sekarang tidak lagi, kok," Pandan Wangi mengakui.
Rangga hanya tersenyum mendengar pengakuan yang begitu terus-terang dari gadis
itu. "Kakang...," desah Pandan Wangi.
"Ada apa?" sahut Rangga lembut.
"Kau tahu, bahwa Dewi Naga Hitam juga bernafsu sekali menghancurkan Partai
Tengkorak?"
"Tidak, memangnya kenapa?"
"Aku menduga, pasti ada sesuatu yang dirahasia-kannya."
"Kau yakin?"
"Meskipun dia tidak mengatakannya, tapi aku yakin akan hal itu."
"Entahlah, setahuku bangsa ular tidak akan pernah mendendam kalau tidak disakiti
lebih dulu. Cukup lama aku bersama mereka dan memahami tentang kehidupannya, sampai-sampai
aku diangkat menjadi saudara oleh Satria Naga Emas, raja dari segala jenis
bangsa ular."
'Ya, aku sudah tahu semua itu, Kakang. Dewi Naga Hitam telah menceritakan, bahwa
kakang pernah tinggal beberapa lama di Istana Ular Dan Kakang bisa berhubungan
langsung dengan raja mereka melalui meditasi. Kenapa Kakang tidak mencoba untuk
menanyakan masalah itu?"
"Tidak, Pandan. Aku sudah berjanji tidak akan mencampuri urusan pribadi, kecuali
mereka yang meminta. Demikian juga sebaliknya. Kau mengerti maksudku, kan?"
"Sulit, tapi aku coba untuk mengerti," sahut Pandan Wangi sedikit bergurau.
Lagi-lagi Rangga tersenyum.
"Sudah hampir pagi, sebaiknya kita kembali ke
goa," kata Pandan Wangi seraya bangkit.
"Kau tetap akan menghancurkan Partai Tengkorak dengan pengikut barumu?" tanya
Rangga yang sudah berdiri.
"Ya," sahut Pandan Wangi mantap sambil melangkahkan kakinya.
"Kau yakin akan berhasil dengan lima puluh orang, Pandan?" tanya Rangga.
"Dengan adanya kau, dan bantuan dari Dewi Naga Hitam, aku yakin bisa berhasil."
"Tidak, seandainya kau dan Dewi Naga Hitam sudah mengetahui letak sarang mereka,
pasti akan berpikir dua kali."
"Kenapa?"
"Nanti kita bicarakan bersama Dewi Naga Hitam.
*** Apa yang dibicarakan Rangga memang benar.
Dewi Naga Hitam yang telah berubah menjadi manusia juga mengakui, memang sulit
untuk menggempur sarang Partai Tengkorak. Meskipun dia bisa mengerahkan seluruh
ular-ular yang ada di sekitar Hutan Jati Jarak, tapi pasti akan menimbulkan
banyak korban. Dalam satu perjuangan memang dibutuhkan satu pengorbanan yang
tidak kecil, tapi Dewi Naga Hitam tidak menghendaki kesia-siaan yang terlalu
berlebihan, "Kita harus lebih dahulu bergerak, sebelum mereka menyerang, Rangga," kata Dewi
Naga Hitam saat berembuk di dalam goa.
"Aku malah berpendapat lain," sahut Rangga bergumam.
"Maksudmu?" Dewi Naga Hitam tidak mengerti.
"Saat ini kekuatan mereka bukan tandingan kita lagi! Kita memang memiliki lima
puluh orang yang berkemampuan cukup tinggi, tapi itu bukan jaminan untuk bisa
menerobos ke sarang mereka. Sedangkan untuk mengambil para prajurit dari Karang
Setra, rasanya akan menyita waktu," kata Rangga.
"Lantas, apa yang harus kita lakukan?" sergah Pandan Wangi.
"Diam."
"Diam...?" Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam mendelik.
"Kau jangan main-main, Rangga. Ini persoalan serius!" dengus Dewi Naga Hitam
gusar. "Apa kelihatannya aku main-main?"
"Tapi..."
"Maksudku, diam itu bukan berarti tidak melakukan kegiatan sama sekali. Kita
harus bikin strategi untuk melemahkan kekuatan mereka," Rangga mencoba
menjelaskan. "Aku tidak tahu maksudmu, Kakang," celetuk Pandan Wangi.
"Kau bisa tetap menjadi si Perawan Rimba Tengkorak, Pandan. Tapi sekarang
siasatmu harus diubah, jangan hanya menghabisi setiap anggota Partai Tengkorak
yang kau temui, tapi kau harus mampu mengajak mereka untuk bergabung. Dan
tentunya dengan bantuan Dewi Naga Hitam," Rangga menjelaskan.
"Terus, akan kita apakan mereka?" tanya Pandan Wangi ingin tahu lebih lanjut.
"Pertama, menyadarkannya, bahwa mereka berada di jalan yang salah. Tapi kalau
mereka berasal dari golongan hitam, terserah mau diapakan. Yang aku tahu, banyak
dari para penduduk yang menjadi
anggota Partai Tengkorak karena tekanan dan ancaman. Padahal mereka sama sekali
tidak tahu tujuannya."
"Dari mana kau tahu semua itu, Rangga?" tanya Dewi Naga Hitam.
"Selama ini aku telah mempelajari dan menyelidiki kegiatan mereka. Dan saat ini
mereka sedang menyusun kekuatan untuk menghancurkan Kerajaan Karang Setra,
terutama aku yang akan mereka lenyapkan," Rangga membuka rahasia tujuan Partai
Tengkorak. "Aku tidak menyangka, tujuan mereka sampai sejauh itu," gumam Pandan Wangi.
"Semua itu sudah aku ketahui dan aku selidiki sejak mereka menghancurkan
padepokan milik Resi Wanapati di Gunung Puting, dan mereka juga telah mengancam
Padepokan Baja Hitam yang telah aku bubarkan demi keselamatan murid-muridnya,"
kembali Rangga menjelaskan (Untuk lebih jelasnya, bacalah serial Pendekar
Rajawali Sakti dalam kisah: Rahasia Kalung Keramat).
"Kalau begitu kau sudah lama berada di sini?"
Dewi Naga Hitam ingin meyakinkan.
"Hampir dua purnama."
"Kau kan sudah tahu segala perbuatan terkutuk yang dilakukan Partai Tengkorak,
kenapa tidak kau hancurkan saja dengan prajuritmu?" tanya Dewi Naga Hitam lagi
ingin tahu. "Itu bukan tindakan bijaksana, Dewi Naga Hitam.
Yang kita hadapi bukanlah kekuatan prajurit, tapi kelompok manusia liar dari
rimba persilatan yang dengan nafsu setannya ingin menguasai suatu wilayah
besar." "Apa kau tidak berpikir ada maksud lain di
belakang tindakan-tindakan mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Ya. Ketua Partai Tengkorak Hitam adalah adik kandung dari Iblis Lembah
Tengkorak. Ada kemungkinan dia ingin membalas dendam atas kematian kakaknya yang
tewas di tanganku dengan menghancurkan Kerajaan Karang Setra. Perlu kalian
ketahui, bahwa usaha pertama yang mereka lancarkan telah gagal "
"Usaha apa?" tanya Pandan Wangi.
"Menyusupkan anak si Tengkorak Putih ke Istana kerajaan Karang Setra! Tetapi
niat mereka itu tidak terlaksana, karena mereka tidak berhasil mencuri kalung
yang menjadi lambang kebesaran dari Kerajaan Karang Setra, yang sedianya akan
dipakai anak tersebut untuk menyamar," Rangga menjelaskan.
Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam saling berpandangan dan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini mereka sudah mengerti semuanya. Tapi di dada Pandan Wangi masih ada
ganjalan, dia belum tahu penjelasan yang tepat, kenapa Dewi Naga Hitam begitu
bernafsu untuk menghancurkan Partai Tengkorak"
Tapi Pandan Wangi sudah segan untuk menanya-kannya kembali.
*** "Kau yakin, mereka akan lewat sini?" tanya Pandan Wangi yang pagi-pagi sekali
sudah berada di atas pohon besar bersama Dewi Naga Hitam yang ujudnya menjadi
seekor ular hitarrl yang membelit pinggang Pandan Wangi!
"Kau tidak boleh mengabaikan laporan dari si Kadut," sahut Dewi Naga Hitam
meyakinkan. "Berapa orang kira-kira jumlah mereka?" tan Pandan Wangi.
"Sekitar tiga puluh orang. Mereka semua berkuda dan membawa lima kereta yang
cukup besar."
"Masih berani juga mereka merampas milik rakyat," dengus Pandan Wangi.
"Bukan."
"Bukan..." Maksudmu?" Pandan Wangi tak mengerti.
"Mereka tidak merampas apa-apa. Mereka baru saja menjemput anggota-anggota yang
tersebar desa-desa."
"Jadi, yang di dalam kereta itu...?"
"Iya, anggota Partai Tengkorak yang kebanyakan dari penduduk desa."
"Hm..., rupanya mereka mulai menarik semua anggota untuk memperkuat
pertahanannya," gumam Pandan Wangi.
"Ya, karena kekuatan mereka sudah mulai ber-kurang."
"Kau tahu, apa yang akan dilakukan Kakang Rangga selanjutnya, Dewi Naga Hitam?"
tanya Pandan Wangi.
"Tidak."
Pandan Wangi yang sudah membuka mulutnya lagi untuk bertanya, segera
mengurungkan niatnya begitu dari kejauhan tampak serombongan orang-orang yang
berkuda mengawal lima kereta yang masing-masing ditarik oleh dua ekor kuda.
Pandan Wangi segera mengamati rombongan yang hampir mencapai celah bukit di
bawahnya. Dia hampir tidak bisa menahan diri lagi, ketika mereka mulai memasuki
celah bukit itu. Untung saja Dewi Naga Hitam segera men-cegahnya.
"Tunggu, sampai mereka berada di tengah-tengah,"
cegah Dewi Naga Hitam.
Pandan Wangi menurut, dia masih bisa menunggu dengan sabar. Tapi, begitu
rombongan itu mencapai tengah-tengah celah bukit, gadis yang kini dijuluki si
Perawan Rimba Tengkorak itu, langsung melompat turun dan menghadang!
"Berhenti!" bentak Pandan Wangi keras.
Seketika rombongan berkuda itu langsung berhenti! Bukan main terkejutnya mereka
ketika tiba-tiba di depan mereka telah menghadang seorang gadis yang dijuluki
Perawan Rimba Tengkorak dengan seekor ular hitam yang melilit pinggangnya.
*** "Siapa di antara kalian yang jadi pemimpinnya?"
tanya Pandan Wangi dengan lantang.
"Aku!" tiba-tiba orang yang berkuda paling depan langsung melompat turun.
"Bagus! Perintahkah pada anak buahmu untuk meletakkan senjata!"
"Tidak semudah itu kau memerintahku, Bocah!
Namamu memang sanggup menggemparkan Partai Tengkorak, tapi bagiku kau tak
berarti apa-apa!"
sahut orang itu congkak.
"Bagus! Nyalimu cukup memenuhi syarat untuk menghadapi Perawan Rimba Tengkorak!"
gertak Pandan Wangi menggeram.
"Tidak ada kata gentar bagi Ruyung Maut!" orang itu tak mau kalah sengitnya.
"Ayo siapa lagi di antara kalian yang ingin piknik ke
neraka bersama cecunguk ini?" lantang suara Pandan Wangi.
Mendengar tantangan yang bemada mengejek itu, langsung saja orang-orang yang
masih berada di atas punggung kuda berlompatan turun. Kemudian mereka segera


Pendekar Rajawali Sakti 17 Perawan Rimba Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri berjajar dengan sikap menantang. Sementara dari dalam kereta juga
bermunculan kepala-kepala manusia. Ruyung Maut tersenyum melihat kesetiaan
teman-temannya.
"Bagaimana, Dewi Naga Hitam?" bisik Pandan Wangi lirih.
"Sebentar lagi, kau sudah dengar suaranya?"
"Ya," Pandan Wangi cerah wajahnya. Tentu saja orang-orang Partai Tengkorak itu
langsung terlonjak kaget ketika tiba-tiba kuda-kuda mereka meringklk keras,
sambil berlarian serabutan! Seketika suasana jadi gaduh! Tampak beberapa orang
berusaha mengendalikan kuda-kuda yang mendadak liar tersebut. Tapi kuda-kuda itu
benar-benar tidak dapat dikendalikan lagi.
Sementara Pandan Wangi malah tertawa terbahak-bahak melihat suasana yang kacaubalau tersebut!
"Siapkan senjata kalian, jangan hiraukan kuda-kuda tersebut!" bentak Ruyung
Maut. Mendengar perintah tersebut, mereka langsung berhenti mengendalikan kuda-kuda
yang mendadak jadi liar itu. Kini semua orang yang tadinya berada di atas kereta
sudah berkumpul dengan senjata terhunus.
"Masih jauh perjalanan kalian, sedangkan kuda-kuda kalian sudah tidak ada lagi,
bagaimana?" kata Pandan Wangi tersenyum sinis.
"Keparat! Kubunuh kau, Perempuan Iblis!" geram Ruyung Maut.
"Tidak ada waktu lagi, Ruyung Maut. Lihatlah...,"
Pandan Wangi kembali tersenyum cerah.
"Hsss...!"
"Ular..., ular...!" seru orang-orang yang ada di celah bukit itu berteriak
panik. Pelan-pelan ribuan ular tersebut langsung mengurung dari segala jurusan. Semakin
lama ular-ular itu semakin bertambah banyak jumlahnya.
"Kalian yang masih sayang nyawa, cepat meyingkir!
Ular-ular itu akan memberi jalan, tapi jangan coba-coba melarikan diri!" teriak
Pandan Wangi sambil menunjuk ke depan.
Orang-orang yang berasal dari para penduduk desa yang ada di sekitar lereng
Gunung Puting itu, langsung melemparkan senjata mereka dan berlari dari kepungan
ular-ular tersebut. Dan seperti ada yang mengkomando saja, ular-ular itu segera
menyingkir memberi jalan.
Kini yang tersisa hanya tinggal tiga puluh orang saja. Dan mereka semua adalah
orang-orang yang berpangkat dalam Partai Tengkorak, terbukti dari tanda yang
mereka kenakan.
"Jangan hiraukan binatang-binatang laknat itu! Dia cuma main sihir!" teriak
Ruyung Maut. "Bagaimana Dewi Naga Hitam?" bisik Pan Wangi pelan meminta pendapat.
"Biarkan mereka bergerak lebih dahulu," sahut Dewi Naga Hitam juga berbisik.
"Mereka memang manusia-manusia bodoh! Tidak bisa melihat keadaan!" dengus Pandan
Wangi menggeram.
"Serang perempuan iblis itu, hiyaaa...!"
"Hiyaaa...! Hiyaaa...!"
Serentak tiga puluh orang itu langsung berlompatan hendak menyerbu Pandan Wangi, tapi bersamaan dengan itu, ular-ular yang
mengepung juga langsung bergerak sambil mendesis-desis. Dapat diduga, seranganserangan mereka langsung ter-halang oleh ular-ular yang ganas tersebut.
Pandan Wangi sedikit meringis melihat tiga puluh orang tersebut mengamuk dengan
senjata masing-masing dan membabat ular-ular yang terus
merangseknya! Dalam waktu singkat saja, sudah lima orang yang menggeletak
digerogoti ular-ular yang haus darah tersebut.
"Mereka terus membabati ular-ular itu! Kalau begini terus, rakyatmu bisa habis,
Dewi Naga Hitam,"
;ata Pandan Wangi cemas.
"Tidak, lihatlah!"
Mata Pandan Wangi langsung membeliak lebar!
Ular-ular yang terbabat buntung, ternyata bisa menyambung dan hidup lagi begitu
menyentuh tanah.
Dan yang benar-benar ajaib, percikan darahnya langsung menimbulkan ular baru
lagi. Hal itu tentu saja sangat merepotkan musuh-musuh Pandan Wangi.
Tidak lama kemudian, tampak tubuh-tubuh mulai bergelimpangan dikerubuti ularular yang semakin ganas tersebut. Dan langsung disusul oleh jerit-jerit kematian
yang mengerikan.
"Ayo kita hampiri orang-orang desa yang telah menyingkir itu. Suruh mereka
kembali ke desa masing-masing," ajak Dewi Naga Hitam.
"Bagaimana dengan orang-orang tersebut?" tanya Pandan Wangi.
"Biarkan saja, mereka akan mati!"
*** "Gila! Ini benar-benar edan!" geram si Tengkora Putih memuncak amarahnya.
"Keadaan kita benar benar terjepit, Tengkorak Putih. Lebih dari separuh orangorang kita telah memilih mencari selamat dan meninggalkan partai,"
kata Tengkorak Biru mengeluh.
"Bahkan belakangan ini, si Perawan Rimba Tengkorak selalu beraksi dengan
menggunakan ular-ular berbisa," sambung Tengkorak Hijau.
"Dan kita selalu kalah, begitu kan?" serobot Tengkorak Putih gusar.
"Itu bukan ular biasa, Ayah, Tapi ular siluman,"
celetuk seorang anak muda yang berwajah tampan dengan kulit putih bersih.
"Dari mana kau tahu, Purbaya?" dengus Tengkorak Putih.
"Aku telah melihatnya sendiri, orang-orang kita dibantai di celah bukit yang
menjadi pintu gerbang masuk ke sini," sahut Purbaya.
"Benar, Tengkorak Putih. Saat itu aku bersama Purbaya. Ular-ular itu bisa hidup
lagi meskipun sudah buntung. Dan tiga puluh orang kita yang ber-kepandaian cukup
tinggi, tewas semua tanpa sisa,"
sambung Tengkorak Biru.
"Kalau memang demikian, mengapa mereka tidak langsung menggempur ke sini?"
rungut Tengkorak Putih.
"Hal itu tidak akan terjadi, Tengkorak Putih," sahut Tengkorak Hijau.
"Apa maksudmu?" Tengkorak Putih tak sabar.
"Tempat ini dikelilingi oleh pohon bambu kuning welung. Bangsa ular siluman
jenis apa pun, tidak akan berani melewati pagar bambu kuning welung.
Karena begitu tubuhnya menyentuh, mereka akan
langsung mati," Tengkorak Hijau menjelaskan.
"Hm..., jadi si Perawan Rimba Tengkorak itu makhluk siluman?" gumam Tengkorak
Putih menduga-duga.
"Aku tidak tahu pasti, Tengkorak Purih. Tapi cawan saktiku mengatakan bahwa dia
ditemani sebangsa makhluk siluman yang berujud seekor ular hitam sebesar tangan
orang dewasa," sahut Tengkorak Hijau lagi.
Tengkorak Putih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ada satu lagi, Tengkorak Putih," sambung Tengkorak Hijau.
"Apa?"
"Si Perawan Rimba Tengkorak dibantu Pendekar Rajawali Sakti."
"Rangga...," desis Tehgkorak Putih, gerahamnya bergemeletuk menahan geram.
"Menurut cawan saktiku, keadaan kita akan semakin sulit dengan campur tangannya
Pendekar Rajawali Sakti dalam masalah ini. Mungkin kita bisa menandingi si
Perawan Rimba Tengkorak, tapi sulit untuk menandingi pendekar itu," sambung
Tengkorak Hijau yang matanya tidak pernah lepas memandang ke dalam cawan emas di
tangannya. "Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Tengkorak Putih kebingungan.
"Persenjatai sisa-sisa orang kita dengan bambu kuning welung, juga senjata
berlapis batu pualam hijau."
"Untuk apa batu pualam hijau?"
"Menandingi pedang Rajawali Sakti. Tapi aku se diri juga tidak yakin, kalau
senjata itu mampu mem-bendungnya. Sebab batu pualam hijau tidak tahan
oleh panas yang berasal dari inti tenaga dalam. Dan itu justru yang sudah
dikuasai oleh Pendekar Rajawali Sakti."
"Tengkorak Kuning, ada berapa orang lagi kekuatan kita?" tanya Tengkorak Putih
yang menjadi pimpinan tertinggi Partai Tengkorak itu.
"Tidak lebih dari lima puluh orang lagi," sahut Tengkorak Kuning sambil
menunduk. "Apa...?" Tengkorak Putih terkejut bukan kepalang mendengarnya.
"Banyak dari anggota kita yang telah melarikan diri, lagi pula semua tokoh-tokoh
sakti yang kita undang juga mengundurkan diri, begitu mengetahui bahwa Pendekar
Rajawali Sakti ikut campur tangan dalam persoalan ini," lapor Tengkorak Kuning.
"Gila! Ini benar-benar gila," geram Tengkorak Putih.
"Hanya ada satu cara untuk menyelamatkan diri, Tengkorak Putih," celetuk
Tengkorak Hijau.
"Apa?"
"Tinggalkan tempat ini, dan susun lagi kekuatan baru di luar."
"Tidak!" bentak Tengkorak Putih. "Sudah cukup lama aku telah membangun Partai
Tengkorak dengan susah payah, dan itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar!"
"Aku mengerti, Tengkorak Putih. Tapi keadaan kita benar-benar tidak
menguntungkan lagi. Dan kita harus segera mencari jalan lain untuk menghancurkan
Kerajaan Karang Setra," sergah Tengkorak Hijau.
"Tapi berapa lama lagi" Sepuluh tahun" Dua puluh tahun" Atau seratus tahun
lagi?" Semua terdiam membisu. Mereka memaklumi,
bahwa Tengkorak Putih bersusah-payah membangun Partai Tengkorak hanya untuk
membalas dendam
kematian kakaknya, si Iblis Lembah Tengkorak yarlg tewas di tangan Pendekar
Rajawali Sakti (Baca Serial pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah Iblis Lembah
Tengkorak). Tengkorak Putih memang sudah ber-sumpah untuk menghancurkan Kerajaan
Karang Setra serta membunuh Rangga si Pandekar Rajawali Sakti yang kini menjadi
rajanya. Berbagai macam cara sudah dilakukannya, tapi selalu menemui kegagalan.
Dan dia tidak ingin gagal lagi untuk kesekian kalinya.
*** "Purbaya...," panggil Tengkorak Putih saat di berada berdua saja dengan putra
tunggalnya itu.
"Ada apa, Ayah?" sahut Purbaya.
"Kau tahu, tidak ada yang dapat Ayah banggakan lagi selain dirimu. Dan hanya
kaulah satu-satunya harapanku untuk dapat meneruskan cita-cita ayahmu ini, dan
juga cita-cita leluhurmu," pelan suara Tengkorak Putih.
Purbaya hanya tertunduk diam mendengarkan.
Dari nada bicaranya, dia dapat menebak, bahwa ayahnya sudah putus asa untuk
mempertahankan Partai Tengkorak yang telah dirintisnya dengan susah payah.
Kemarin, Tengkorak Hijau juga sudah meramalkan, bahwa saat-saat kehancuran
Partai Tengkoraka sudah semakin dekat. Hal itu terbukti dengan sumber batu
pualam hijau yang kini sudah dikuasai ole siluman-siluman ular. Sedangkan malam
kemarin seluruh pohon bambu kuning welung yang membentengi bangunan Partai
Tengkorak, juga sudah habis terbakar, tanpa ada yang mengetahui siapa yang telah
membakarnya. Berbagai malapetaka yang terjadi secara beruntun
tersebut, tentu saja sangat mengurangi jumlah anggota Partai Tengkorak. Bahkan
lebih sial lagi, tidak ada satu pun partai dari golongan hitam yang mau membantu
dengan mengirimkan anggotanya. Mereka seakan-akan tertawa menyaksikan saat saat
kehancuran yang bakal terjadi pada partai itu. Partai yang terbesar dan
menguasai seluruh wilayah di sekitar Lereng Gunung Puting. Partai yang dulunya
sangat ditakuti oleh partai-partai kecil lainnya.
"Aku merasakan, bahwa saat saat kehancuran Partai Tengkorak sudah semakin dekat.
Tapi aku tidak ingin hancur seluruhnya. Kau mengerti maksudku, Purbaya?" sambung
Tengkorak Putih
"Aku mengerti, Ayah," sahut Purbaya agak tersedak suaranya.
"Sebelum terlambat, aku ingin kau segera meninggalkan tempat ini. Pergilah
bersama paman-pamanmu, dan susun kekuatan baru, kemudian rongrong kewibawaan
Kerajaan Karang Setra. Aku akan bangga jika kau berhasil meruntuhkan musuh besar
leluhurmu itu," kata Tengkorak Putih berapi-api.
"Ayah sendiri...?"
"Aku akan menghadapi mereka. Hanya aku yang mereka cari, bukan kau atau yang
lainnya!" Purbaya kembali menundukkan kepalanya.
Sebenarnya dia ingin membantah perintah itu, tapi dia tidak berani
mengucapkannya. Dia tahu, kalau semua itu sudah dipertimbangkan masak-masak oleh
ayahnya. Belum pernah Purbaya melihat ayahnya pesimis seperti itu. Biasanya
ayahnya begitu tegar dan selalu percaya diri dengan kekuatan dan kemampuannya.
Tapi yang dilihat Purbaya sekarang, sungguh sangat lain sekali. Sepertinya dia
tidak lagi melihat sosok ayahnya yang begitu dihormati dan
ditakuti baik oleh lawan maupun kawan. Ibaratnya, ayahnya kini bagaikan ekor
macan tua yang sudah tidak mempunyai gigi lagi.
Mendadak Tengkorak Biru datang dengan ter-gopoh-gopoh. Dan dia segera menjura
hormat begitu sampai di depan pemimpin tertinggi Partai Tengkorak tersebut.
Purbaya menarik napas dalam-dalam, tidak ingin kelihatan lemah di depan pamannya
itu. "Semua persiapan sudah selesai, Tengkorak Putih," lapor Tengkorak Biru.
"Bagus," sambut Tengkorak Putih dengan senyum yang dipaksakan.
"Persiapan apa?" tanya Purbaya mengerutkan kening.
"Kau harus berangkat sekarang juga, Purbaya.
Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning akan bersamamu," Tengkorak Putih
menjelaskan. "Benar, Purbaya. Selama dalam perjalanan nanti kita semua akan berganti nama,
kecuali kau. Sebab di dunia luar, tidak ada seorang pun yang mengenali-mu.
Selama ini kau kan hanya berada di dalam sini saja," sambung Tengkorak Biru.
"Tapi kenapa harus sekarang?" Purbaya tak mengerti.
"Tengkorak Hijau telah mengatakan, bahwa saat-nya sudah semakin dekat. Dan kita
harus segera berangkat, sebelum mereka menghancurkan tempat ini," sahut
Tengkorak Biru.
"Tapi..."
"Purbaya.... Kau tidak ingin mengecewakan haapanku, kan" Sudah kukatakan tadi,
bahwa masa depan Partai Tengkorak sudah kuserahkan ke tanganmu. Pergilah, bukan
untuk kalah, tapi pergi untuk memperoleh kemenangan yang tertunda," selak
Tengkorak Putih memberi semangat.
Purbaya diam merenung beberapa saat.
"Jangan hiraukan semua yang ada di sini. Kelak jika aku selamat, kita pasti akan
bertemu lagi. Dan aku ngin melihat kau sebagai pemimpin besar di Karang Setra,"
Tengkorak Putih tersenyum masam.
"Baiklah," sahut Purbaya seraya bangkit dari duduknya.
"Berangkatlah untuk menang, Anakku."
"Aku pergi, Ayah," pamit Purbaya seraya menjura hormat.
Tengkorak Putih segera menganggukkan kepalanya dengan senyum yang dipaksakan.
Tengkorak Biru pun menjura hormat, dan segera berlalu mengikuti Purbaya yang
sudah melangkah lebih dulu.
Tengkorak Putih masih memandangi kepergian putranya dengan hati trenyuh, namun
dia harus bisa menguatkan diri. Kepergian Purbaya diharapkan bisa meneruskan
cita-citanya. *** Purbaya menunggang seekor kuda putih yang
kakinya berbelang hitam. Sementara di belakangnya tampak Tengkorak Biru dan
Tengkorak Kuning juga menunggang kuda. Tidak ada seorang pun anggota Partai
Tengkorak yang ikut bersama mereka, hal ini memang disengaja untuk menghindari
orang-orang yang mungkin akan mengenali.
Semua barang-barang yang menandakan bahwa mereka berasal dari Partai Tengkorak
ditanggalkan. Mereka semua mengenakan pakaian biasa seperti layaknya pengembara. Bahkan
Purbaya pun hanya mengenakan kalung lambang kepemimpinan tertinggi
yang tersembunyi di balik pakaiannya.
"Mulai saat ini, kami akan memanggilmu dengan sebutan Raden Purbaya, dan kau
bisa memanggilku dengan sebutan Paman Kampar," kata Tengkorak Biru.
"Aku pun cukup kau panggil Paman Lebak saja,"
sambung Tengkorak Kuning.
"Memangnya asal kita dari mana?" tanya Purbaya.
"Padepokan Bambu Kuning," jawab Tengkorak Biru.
"Di mana itu?"
"Hanya nama rekaan saja, untuk mengingat Partai Tengkorak yang tinggal di hutan
yang penuh dengan bambu kuning welung."
"Kenapa tidak menggunakan nama Lembah Welung Kuning saja" Bukankah itu malah
lebih bagus kedengarannya?" saran Purbaya.
"Ah, benar!" seru Tengkorak Biru.
"Partai Tengkorak memang berada di dasar lembah. Dan tempat itu dulunya banyak
ditumbuhi dengan pohon bambu kuning welung. Satu nama yang tepat dan bisa
dijadikan sandi bagi anggota Partai Tengkorak yang mejarikan diri," sambung


Pendekar Rajawali Sakti 17 Perawan Rimba Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tengkorak Kuning.
"Sandi untuk mengumpulkan kembali, atau mem-binasakan mereka?" celetuk Purbaya.
"Kami kan hanya menurut perintahmu, Raden,"
gurau Tengkorak Biru.
"Kalau begitu, langkah pertama kita adalah mem-binasakan anggota Partai
Tengkorak yang melarikan diri, terutama mereka yang memiliki kedudukan dalam
partai!" "Kami laksanakan, Raden," sahut kedua laki-laki setengah baya itu serempak.
Purbaya langsung tertawa mendengar sebutan raden pada dirinya. Sedangkan
Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning hanya tersenyum-senyum saja.
Mereka terus saja memacu kudanya pelan-pelan untuk menghindari perhatian, karena
mereka masih berada di wilayah Hutan Jati Jarak. Suatu kawasan yang sudah
dikuasai oleh si Perawan Rimba Tengkorak, bersama ular-ular silumannya.
"Ke mana tujuan kita sekarang, Paman Kampar?"
tanya Purbaya. "Desa terdekat, sekalian mencari keterangan,"
sahut Kampar alias si Tengkorak Biru. "Keterangan apa?"
"Mencari bekas anggota Partai Tengkorak yang melarikan diri, dan membunuhnya."
"Bagus! Untuk sementara ini kita jelajahi dulu desa-desa di sekitar Lereng
Gunung Puting," sambung Purbaya.
"Tapi tindakan kita jangan terlalu menyolok, dan jangan terlalu banyak bertanya
yang nantinya justru dapat menimbulkan kecurigaan," sahut Tengkorak K
ning yang kini memakai nama Lebak.
"Aku setuju, tapi apakah nanti tidak ada yang mengenali Paman berdua?"
"Tidak, kami tidak pernah menampakkan diri pada anggota tingkat rendah," sahut
Tengkorak Biru.
"Kalau begitu, kita bisa bergerak lebih leluasa tanpa khawatir ada yang
mengenali," sambut Purbaya.
"Jelas, Raden."
Ketiga orang itu pun segera mengendalikan kudanya lebih cepat menuju Desa
Salapan yang paling d kai dengan Hutan Jati Jarak ini Tidak ada lagi ya
berbicara. Mereka khawatir kalau pembicaraan mereka didengar oleh siluman ular.
8 Saat itu Rangga bersama rajawali raksasa sudah berada di atas sarang Partai
Tengkorak. Dia tersenyum menyaksikan Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam usdah
mulai memasuki daerah itu. Mereka memang udah mulai melancarkan strategi untuk
menggempur partai yang sangat meresahkan
masyarakat desa-desa di sekitar Lereng Gunung Puting itu.
Sejenak Rangga teringat saat ia berbicara berdua dengan Dewi Naga Hitam. Saat
itu Rangga menggunakan kesempatan untuk mengetahui maksud sebenarnya, mengapa
Dewi Naga Hitam begitu bernafsu sekali menghancurkan Partai Tengkorak. Mulanya
Dewi Naga Hitam memang tidak mau berterus terang.
Tapi setelah didesak terus-menerus, akhirnya dia mau juga berterus terang
asalkan Rangga tidak mem-bicarakannya pada siapa pun.
"Aku sadar, kalau tindakan ini mengandung resiko yang sangat besar terhadap
diriku," kata Dewi Naga Hitam saat itu.
"Tapi kenapa kau lakukan juga?" tanya Rangga.
"Kurasa kau sudah tahu, apa arti cinta sebenarnya, tidak ada satu makhluk pun di
dunia ini yang tak mengenal cinta. Bedanya hanya kadar cinta yang diukur menurut
golongannya masing masing.
Termasuk juga aku, bangsa siluman ular," Dewi Naga Hitam alasan.
Rangga diam merenung beberapa saat. Dia mulai bisa menebak arah pembkaraan yang
dikemukakan oleh Dewi Naga hitam. Ternyata dugaannya hampir mendekati kebenaran. Bahwa Dewi
Naga Hitam menyimpan dendam! Dan dia harus menumpahkan dendamnya, meskipun hal
itu akan membahayakan-nya.
"Cinta memang dapat mengalahkan segalanya.
Bahkan nyawa pun seperti tidak ada harganya sama sekali. Seperti juga yang kau
alami, Rangga. Kau meninggalkan tahta kerajaan hanya untuk mendapatkan cinta,"
lanjut Dewi Naga Hitam.
"Ya, sebagian," Rangga mengakui.
"Begitu juga aku. Aku rela mengambil resiko tinggi, bahkan aku pun rela kalau
memang harus lenyap selamanya demi cinta suciku."
"Kau mencintai seseorang?" pancing Rangga.
"Bukan orang, tapi sesama makhluk siluman,"
Dewi Naga Hitam meralat.
"Oh, maaf," buru-buru Rangga menyadari.
"Kau pasti kenal dengan Ula Ireng, kan?"
"Tentu saja, aku tidak mungkin melupakannya. Dia banyak membantuku sewaktu aku
berada di Istana Ular," jawab Rangga.
"Nah, aku dan Ula Ireng adalah pasangan suami istri yang saling mencintai. Tapi
ternyata kemudian nasib telah menentukan lain. Disaat anak pertama kami lahir,
Ula Ireng mendapat tugas rahasia dari Satria Naga Emas, raja kami. Aku sendiri
tidak tahu tugas apa itu, dan bahkan sampai sekarang pun aku tidak juga
mengetahuinya. Raja kami tidak pernah memberitahukan setiap tugas rahasia yang
dilimpah-kan pada abdinya," Dewi Naga Hitam mulai bercerita.
"Terus?" desak Rangga tidak sabaran. Dia memang sudah tahu kalau Dewi Naga Hitam
dan Ula Ireng adalah pasangan yang paling serasi.
"Takdir memang sudah digariskan peda setiap makhluk apa pun juga. Ula Ireng
tewas dalam menunaikan tugas!"
"Oh!" Rangga terkejut.
"Dan aku tidak akan pernah menerima kematiannya! Kemudian aku segera
meninggalkan istana kerajaan siluman ular. Tekadku, menyelidiki dan ingin
mengetahui sebab-sebab kematiannya. Hal itu memang tidak mudah, apalagi dengan
ujudku sebagai ular, tapi toh akhirnya aku tahu juga, bahwa suamiku ternyata
tewas dibunuh oleh Tengkorak Hijau, salah eorang pembantu utama Tengkorak Putih,
Ketua Partai Tengkorak."
"Hm.... Jadi kau ingin membalas dendam?"
"lya, selain suamiku juga ada sekitar tiga puluh siluman ular lainnya yang ikut
tewas." "Bagaimana dia bisa mengalahkan suamimu?"
"Tengkorak Hijau ternyata tahu kelemahan bangsa siluman ular. Dan dia
menggunakan senjata dari bambu kuning welung. Kau tahu, Rangga. Bangsa kami akan
musnah jika tersentuh bambu kuning welung. Itu memang sudah takdir, dan kami
semua tak bisa menolaknya."
"Ah, kalau begitu, kau tidak mungkin bisa masuk ke sarang mereka."
"Aku tahu, sarang mereka memang dikelilingi pohon bambu kuning welung. Tapi aku
sudah meminta pada burung rajawalimu untuk membakar semua pohon bambu itu."
Rangga tidak kaget lagi mendengarnya. Dia tahu antara siluman ular dengan burung
rajawali raksasa memang sudah saling mengenal. Pendekar Raja Sakti itu juga
memuji tindakan Dewi Naga Hitam yang cepat dan penuh perhitungan. Tapi
sayangnya, tindakannya
itu sangat bertentangan dengan aturan ya berlaku di kerajaan siluman ular.
Satria Naga Emas tidak pernah mengijinkan rakyatnya untuk bermusuhan dengan
manusia. Dan setiap pelanggaran yang dilakukan, bisa mengakibatkan kematian.
Tapi bagaimanapun juga, Rangga tidak bisa saja menyalahkan tindakan Dewi Naga
Hitam, berjanji dalam hati, bahwa dia akan membela wanita siluman ular itu di
depan rajanya nanti.
"Hukuman yang akan dijatuhkan padaku pasti akan bertambah berat, karena aku
telah melibatkan rakyat ular untuk kepentingan pribadiku," kata Dewi Naga Hitam.
"Kau merasa dirimu bersalah?" tanya Rangga.
"Tidak!" tegas jawaban Dewi Naga Hitam..
"Kalau begitu, kenapa kau takut menghadapi kenyataan itu?"
"Aku tidak takut, aku hanya memikirkan anakku.
Dia pasti akan terlantar karena tidak ada yang mengurusnya nanti."
"Dalam beberapa segi, kau memang berhak untuk membalas kematian suamimu. Tapi
dari segi lainnya, kau telah melanggar aturan bangsamu sendiri. Aku rasa, Satria
Naga Emas akan bertindak bijaksana dalam menentukan keputusan untukmu nanti,"
kata Rangga membesarkan hati wanita siluman itu.
"Aku tahu maksudmu, Rangga. Tapi lupakanlah, bahwa kau tidak akan berhasil,"
sergah Dewi Naga Hitam bisa menebak jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Aku akan mencoba, percayalah."
"Terima kasih, jangan menyusahkan dirimi sendiri.
Aku tidak perlu pembelaan oleh siapa pun juga.
Hukuman mati tetap akan dijatuhkan kepadaku,
Rangga." "Aku banyak berhutang budi pada suamimu. Dan kupikir, inilah saat terbaik aku
membalas sedikit budi baik Ula Ireng. Kau tidak akan menolak pembelaanku nanti,
kan?" "Aku tidak tahu harus berkata apa padamu, Rangga."
"Sudahlah, memang sudah selayaknya kalau kita saling bantu."
Mendadak lamunan Rangga tentang pembicaraannya dengan Dewi Naga Hitam itu buyar
karena tiba-tiba ia mendengar suara rebut-ribut di bawah. Segera tampak olehnya,
Pandan Wangi sudah sibuk
bertarung melawan beberapa orang bersenjata di halaman depan markas Partai
Tengkorak. Sedangkan Dewi Naga Hitam yang berubah wujud jadi manusia, tengah
kerepotan menghindari serangan-serangan dari beberapa orang yang memegang bambu
kuning welung. "Rajawali, cepat turun!" perintah Rangga.
"Khraaaghk...!"
*** Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat turun meskipun burung raksasa
tunggangannya itu belum sempat mendarat di tanah. Dan tanpa membuang-buang waktu
lagi, Rangga langsung terjun dalam kancah pertempuran. Sedangkan burung rajawali
raksasa itu juga tidak mau kalah, dia langsung mengepak-ngepakkan sayapnya
menghajar orang-orang dari Partai Tengkorak itu. Tampak beberapa kali dia
mencengkeram dan membanting setiap orang yang berhasil ditangkapnya
Tentu saja Rangga yang sudah terjun ke dalam kancah pertempuran jadi bengong,
karena dia tidak mendapat lawan satu pun juga. Semua lawan lawannya sudah kocarkacir diamuk burung raksasa yang kebal terhadap segala jenis senjata. Bahkan
Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam pun jadi menganggur.
Mereka menonton pertarungan yang aneh dan tidak seimbang itu.
"Rajawali, cukup!" teriak Rangga begitu melihat lawannya sudah tergeletak semua
di tanah. "Khraaaghk...!"
Burung raksasa itu segera mengangguk-anggukkan kepalanya seakan ingin
mengatakan, bahwa dia masih sanggup untuk membunuh seribu orang lagi.
Rangga segera mendekati dan menepuk-pepuk lehernya yang agak tertunduk. Kemudian
dia berbisik pelan...
"Khraghk!"
Burung raksasa itu kembali mengepakkan
sayapnya. Kemudian dia langsung terbang dan melambung tinggi ke udara. Sesaat
kemudian Rangga mendekati Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam yang masih tertegun
memandang burung raksasa yang sudah tinggi di angkasa.
"Sepertinya tempat ini sudah dikosongkan," kata Rangga sedikit bergumam.
"Ya, hanya mereka yang kami temukan," sahut Pandan Wangi.
"Kau tidak melihat si Tengkorak Hijau, Dewi Naga Hitam?" tanya Rangga ketika
melihat sahabatnya itu tampak lesu.
"Tidak, bahkan ketua partainya pun juga tidak ada," sahut Dewi Naga Hitam lemas.
"Kita cari dulu ke dalam atau kita langsung
hancurkan saja bangunan itu?" Rangga meminta pendapat.
"Aku pilih yang kedua," sahut Pandan Wangi lebih dulu.
"Memang sebaiknya begitu," Dewi Naga Hitam menyetujui.
"Pandan, kau hancurkan sebelah kiri, dan Dewi Naga Hitam sebelah kanan,
sedangkan aku bangunan yang paling besar itu," Rangga memberi tugas masing-masing.
"Beres...!" sambut kedua wanita itu serempak.
Dan tanpa menunggu waktu lagi, ketiga orang itu langsung mengerahkan ajiannya
masing-masing untuk menghancurkan sasaran yang sudah ditentu-kan. Tak berapa
lama kemudian, suara-suara ledakan langsung terdengar saling sambut. Debu-debu
segera mengepul dibarengi dengan percikan bunga api dari bangunan-bangunan yang
hancur akibat gempuran ketiga orang itu. Sampai-sampai seluruh permukaan bumi
yan mereka pijak bergetar dengan hebatnya!
Bukan saja bangunan-bangunan itu yang mereka hancurkan, tapi dinding-dinding
yang melindungi tempat itu pun tak luput dari sasaran. Debu-debu semakin tebal
saja mengepul.ke udara. Di lembah bambu kuning wulung itu bagai terjadi kiamat.
Semua hancur berantakan, batu-batu tebing pun ikut runtuh dan menimbun puingpuing bangunan yang menjadi markas utama Partai Tengkorak.
"Cukup...!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggelegar.
Seketika itu juga tiga orang yang sedang melancarkan aksinya langsung berhenti.
Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam segera mendekati Rangga. Tampak dari kepulan
debu yang semakin memudar itu, dua
sosok tubuh tengah berdiri di atas reruntuhan batu-batu yang mengubur puingpuing bangunan itu. Dan begitu kepulan debu itu semakin menipis, terlihat jelas
kalau mereka adalah Tengkorak Putih dan Tengkorak Hijau!
*** Pelan-pelan Rangga melangkahkan kakinya tiga tindak ke depan. Sedangkan
Tengkorak Putih pun segera melompat turun dari tumpukan batu diikuti oleh
Tengkorak Hijau. Mereka langsung berhadap-hadapan dalam jarak sekitar dua batang
tombak. Tatapan mata Rangga sangat tajam penuh kebencian pada Tengkorak Putih.
Pendekar Rajawali Sakti itu memang pernah bertemu sekali dengan si Tengkorak
Putih, tapi waktu tu mereka belum sempat bertarung. Hal itu terjadi karena
Rangga percaya saja pada kata-kata Tengkorak Putih, sehingga hampir saja
menimbulkan salah pengertian antara dia dan Resi Balung Gading (Baca Serial
Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah: Rahasia Kalung Keramat).
"Apakah kalian datang hanya untuk menghancurkan nasi! jerih payahku?" tanya
Tengkorak Putih penuh nada dendam.
"Terpaksa kami lakukan, karena kau juga berniat buruk pada rakyat Karang Setra.
Dan yang lebih memuakkan lagi, kau telah menyengsarakan
penduduk desa sekitar Lereng Gunung Puting. Yang terakhir kau harus bertanggung
jawab atas per-buatanmu menghancurkan Padepokan Gunung
Puting!" kata Rangga berapi-api.
"Ha ha ha, hebat! Tuduhanmu benar-benar hebat,
Pendekar Rajawali Sakti. Bagaimana kau bisa mengetahui semua itu?" Tengkorak
Putih tidak kaget lagi, dia sudah menduga kalau semua itu pada akhirnya akan
diketahui juga.
"Kau tidak perlu tahu dari mana aku dapat mengtahuinya, Tengkorak Putih," sahut
Rangga datar. "Aku memang tidak perlu tahu, hiyaaa...!"
Tengkorak Putih langsung saja menerjang ke arah Rangga dengan jurus-jurus tangan
kosong. Sedang Rangga segera melayaninya dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Pertarungan seru segera terjadi di bekas reruntuhan bangunan partai itu. Debudebu bertaburan terkena sambaran-sambaran angin dari mereka. Sementasa itu
Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam hanya menonton saja sambil berjaga-jaga. Tapi
mata Dewi Naga Hitam tidak lepas menatap
Tengkorak Hijau. Darahnya langsung mendidih melihat laki-laki tua pembunuh
suaminya itu. Pertarungan antara Rangga dengan Tengkorarak Putih terus berlangsung cepat.
Hingga belum begitu lama mereka telah mengeluarkan jurus-jurus maut andalannya
masing-masing. Sudah beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusjurusnya, baik dari lima jurus rangkaian rajawali sakti yang digabungkan,
ataupun jurus-jurus yang dipelajarinya dari Satria Naga Emas. Pertarungan
semakin berjalan cepat dan menegangkan. Kini yang terlihat hanyalah dua bayangan
tubuh yang berkelebatan saling serang.
Sekitar tempat itu yang memang sudah
berantakan, kini semakin porak-poranda akibat pertarungan maut itu. Namun sampai
sejauh itu, belum ada tanda-tanda yang bakal terdesak.
Kekuatan mereka masih tetap seimbang!
Bahkan dalam pertarungan yang sudah meningkat
menjadi adu senjata pun, mereka tetap tampak seimbang. Rangga sendiri tidak
mengerti, kenapa pedang pusaka rajawali tidak mampu menandingi tongkat lawannya
yang berlapiskan batu pualam hijau!
Pedang pusaka Rajawali Sakti seperti lumpuh, tapi Rangga masih bisa mengatasinya
dengan mengerahkan jurus Pedang Pemecah Sukma'.
"Huh! Pedang itu memancarkan hawa panas. Aku harus segera mengeluarkan aji
'Petir Membelah Angkasa'!" dengus Tengkorak Putih.
Dan begitu Tengkorak Putih mengeluarkan ajian terakhirnya, Rangga langsung
memasukkan pedang Rajawali Sakti kembali ke warangkanya dan seketika itu juga ia
segera mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.


Pendekar Rajawali Sakti 17 Perawan Rimba Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriak Rangga lantang.
Satu ledakan keras terdengar menggelegar begitu cahaya biru yang memancar dari
kedua telapak tangan Rangga berbenturan dengan kilatan petir yang memancar cepat
dari ujung tongkat si Tengkorak Putih.
"Hup, hiyaaa...!"
Seketika itu juga Rangga langsung melompat cepat dengan kedua telapak tangan
yang masih terbuka mendorong ke depan. Dan kemudian tampaklah cahaya biru yang
memancar dari kedua tangannya itu mengalahkan kilatan petir yang menyambarnyambar "Aaakh..!" Tengkorak Putih langsung menjerit melengking tinggi.
"Yeaaah...!" teriak Rangga nyaring sambil menghunus kembali pedang yang baru
dikeluarkannya.
Dan secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti langsung menancapkan pedangnya ke dada
Tengkorak Putih! Dan tanpa sempat mengeluarkan suara lagi tubuh Tengkorak Putih
ambruk ke tanah dengan dada yang berlumuran darah!
Trek! Rangga segera memasukkan kembali pedang
pusakanya ke dalam warangkanya di punggung.
Sejenak dia masih berdiri tegak memandangi tubuh Tengkor Putih yang sudah tidak
bernyawa itu. Beberapa saat kemudian dia segera menoleh begitu mendengar suara teriakan
terikan keras. Tampak agak jauh dari tempatnya, Dewi Naga Hitam sedang
menggempur Tengkorak Hijau dengan sengitnya!
*** "Kapan pertarungan itu mulai berlangsung?" tanya Rangga setelah dia berada di
dekat Pandan Wangi yang tak kebagian musuh.
"Baru saja," sahut Pandan Wangi.
"Hm..., tampaknya Tengkorak Hijau terdesak terus," gumam Rangga sambil menatap
serius ke arah pertarungan itu.
Pengamatan Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat! Tengkorak Hijau sedang
kewalahan menghadapi gempuran Dewi Naga Hitam. Bahkan
tampaknya dia ulit untuk memberikan serangan balik.
Tapi begitu tangannya mencabut tongkat bambu kuning weiung dari balik bajunya,
Dewi Naga Hitam langsung melompat mundur beberapa langkah.
"Kau tidak bisa mengelabui penglihatanku, Siluman!" dengus Tengkorak Hijau seraya memutar-mutar ongkat bambu kuning welungnya.
Sejenak Dewi Naga Hitam agak kebingungan. Dia sadar, sedikit saja dia tersentuh
bambu kuning welung itu, tubuhnya akan musnah. Memang dalam beberapa jurus lagi, sebenarnya
dia bisa mengalahkan Tengkorakk Hijau, tapi begitu tongkat bambu kuning welung
telah berada di tangan lawannya..."
"Dewi Naga Hitam, mundur...!" seal Pandan Wangi seketika
Tanpa menunggu jawaban lagi, Pandan Wang
langsung melompat bagaikan kilat menerjang Tengkorak Hijau. Tentu saja laki-laki
tua itu terkejut.
Buru-buru dia melentingkan tubuhnya ke udara, da melemparkan tongkat bambu
kuning welung itu ke arah Dewi Naga Hitam.
"Hiyaaa...!" Rangga langsung melompat cepat.
Untung saja Pendekar Rajawali Sakti itu cepat tanggap menghadapi keadaan, dan
dengan mudah menangkap tongkat bambu kuning welung itu.
Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam yang sangat sempurna, Rangga segera
melontarkan kembali tongkat bambu kuning welung itu ke arah tubuh Tengkora'
Hijau. "Hait!"
Secepat kilat Tengkorak Hijau mengibaskan tangannya, dan berhasil menghalau
tongkat yang meluncur deras mengancam jiwanya itu. Dan pada saat yang bersamaan
pula, Pandan Wangi langsung mencabut pedangnya! Kemudian dengan satu
lentingan yang manis dan cepat, dia segera mem-babatkan pedangnya ke dada lakilaki tua itu. "Aaakh...!" Tengkorak Hijau menjerit melengking.
Dan sebelum tubuh Tengkorak Hijau itu ambruk ke tanah, secepat kilat Dewi Naga
Hitam yang sudah berubah wujud menjadi ular, menerjang tubuh yang masih
sempoyongan itu.
Crab!! Kepala ular hitam itu langsung menembus ke dalam dada si Tengkorak Hijau. Darah
segar segera muncrat dari dalam dada yang terkoyak itu, disusul dengan
menggeleparnya tubuh laki-laki tua itu di tanah. Sesaat kemudian, ular hitam itu
melata dari dalam dada Tengkorak Hijau. Tampak dia mengunyah sesuatu, sedang
lidahnya yang bercabang menjilati darah yang membasahi kepalanya!
Tapi belum sempat Dewi Naga Hitam berubah wujud menjadi manusia kembali, tibatiba terdengar suara riuh langkah-langkah kaki manusia yang mendekat ke arah
tempat pertarungan itu. Tak berapa lama kemudian, muncullah orang-orang yang
sudah takluk pada Pandan Wangi tempo hari. Tampak mereka membawa seorang pemuda
tampan yang diikat erat pada kedua tangannya, hingga menyatu rapat dengan
tubuhnya. Pemuda itu tak lain adalah Purbaya, putra tunggal si Tengkorak Putih. Wajahnya
yang tampan itu sudah biru lebam oleh bekas-bekas pukulan benda-benda tumpul.
Pemuda itu hanya tertunduk pasrah saja menghadapi kenyataan yang sangat tidak
diharapkan itu.
Dia sudah tidak perlu lagi menangis dan meraung keras. Dia sudah bisa merasakan
apa yang akan terjadi. Suara-suara yang menggelegar dan meng-gemuruh disertai
asap tebal yang melambung tinggi ke angkasa, telah dilihatnya sendiri bersama
Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning yang saat itu memang masih berada belum
begitu jauh dari Lereng Gunung Puting. Dia sudah tidak membayangkan lagi bahwa
ayahnya masih bisa bertahan hidup, di tengah-tengah hancurnya bangunan yang
begitu megah dan kuat, dan yang merupakan pusat pemerintahan Partai
Tengkorak yang dipimpin ayahnya sendiri.
Tampak Sura Praba berjalan paling depan di antara rombongan yang berjalan cepat
tersebut. Bukan hanya Pandan Wangi yang terkejut melihat rombongan yang sedang menuju ke
arahnya itu, tapi Rangga dan Dewi Naga Hitam yang sudah berujud manusia itu pun,
sampai membelalakkan matanya.
Mereka memang telah mengenali wajah wajah yang ada dalam rombongan itu, wajahwajah yang sudah takluk pada Panda Wangi, si Perawan Rimba Tengkorak. Tapi
seorang pemuda yang berkulit halus dan putih bersih serta tampan itu" Dan kenapa
pula dia diikat dan diperlakukan kasar"
Belum lagi rombongan itu sampai di depan ketiga orang tersebut, buru-buru Sura
Praba berlari-lari kecil sambil membungkuk-bungkuk ke arah mereka.
"Gusti, maaf beribu maaf. Kami telah lancang datang ke sini," kata Sura Praba
sedikit ketakutan.
"Ada apa, Sura Praba" Dan siapa orang itu?" tanya Pandan Wangi keras suaranya.
"Pemuda itu Purbaya, Gusti Ayu. Putra satu-satunya Tengkorak Putih. Kami telah
menangkapnya ketika dia lewat bersama dua orang pengawalnya Tengkorak Biru dan
Tengkorak Kuning. Tadinya kam memang hanya berjaga-jaga di sekitar goa, tapi
begitu kami mendengar suara yang menggelegar dan meng-gemuruh disertai asap
tebal yang melambung ke angkasa, kami segera berkumpul dan menunggu kejadian
selanjutnya," Sura Praba menjelaskan.
Tampak Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia segera mengerti, rupanya
pemuda itu adalah anak Tengkorak Putih yang sedianya akan disusupkan ke Istana
Karang Setra untuk merongrong dan mengacaukan kewibawaan kerajaan. Tapi semua
itu ternyata gagal total! Karena kalung yang akan dipakai untuk mengelabui para
pembesar kerajaan, tidak berhasil mereka dapatkan dari Resi Wanapati. Dan
memang, Resi Wanapati telah menyerahkan kalung tanda kebesaran Adipati Karang
Setra itu, pada pemilik aslinya yaitu Danupaksi, adik tiri Rangga (Untuk lebih
jelasnya bacalah serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah Rahasia Kalung
Keramat). "Terus bagaimana kau dapat menangkap mereka?" tanya Pandan Wangi.
"Saat kami sedang menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya dengan adanya suara
bergemuruh itu, tiba-tiba kami melihat tiga orang berkuda berkelebat cepat
menuju ke arah suara itu. Setelah kami mengetahui siapa mereka, langsung saja
kami semua menghadang mereka. Dan terjadilah pertempuran sengit yang menewaskan
dua puluh orang teman-teman kami dan dua orang pimpinan Partai
Tengkorak, yaitu Tingkorak Biru dan Tengkorak Kuning. Sedangkan Purbaya, pemuda
itu, langsung menyerah begitu melihat kedua pengawalnya tewas,"
lanjut Sura Praba menjabarkan seluruh kejadian yang mereka alami.
Pandan Wangi segera mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak dia menoleh ke arah Rangga dan Dewi Naga Hitam, tampak mereka
juga tengah menatapnya dengan mengangguk-anggukkan kepala.
"Apa yang harus kami lakukan selanjutnya, Gusti Ayu?" Sura Praba menunggu
perintah selanjutnya.
"Ikat pemuda itu erat erat pada kereta yang masih tampak utuh, aku akan
membawanya ke Kerajaan Karang Setra untuk dihadapkan pada pengadilan tertinggi
kerajaan. Walaupun aku sudah tahu pasti,
bahwa hukuman gantung langsung akan dijatuhkan pada pemuda itu," kata Rangga
tegas. "Kami semua ikut ke Kerajaan Karang Setra?"
Sura Praba berkata ragu-ragu.
"Perintahkan pada anak buahmu untuk mengikat pemuda itu dalam kereta! Setelah
itu kalian boleh kembali ke desa masing-masing. Dan ingat! Jadikan peristiwa ini
sebagai pengalaman yang sangat berharga buat kalian, bahwa segala nafsu dendam
dan amarari harus disingkirkan jauh-jauh dan jangan sampai hinggap di hati
kalian semua," kata Pandan Wangi lantang.
Sura Praba segera mengangguk anggukkan
kepalanya. Kemudian setelah dia menjura hormat pada Pandan Wangi, Rangga serta
Dewi Naga Hitam, dia langsung berbalik dan melaksanakan apa yang telah
diperintahkan padanya
"Aku mengucapkan terima kasih pada kalian yang telah membantuku," kata Dewi Naga
Hitam. "Pertolonganmu padaku juga tidak kalah besar,"
sambut Rangga sambil melirik ke arah Pandan Wangi.
"Kalian akan langsung ke Kerajaan Karang Setra?"
"Iya, dan aku akan merasa senang sekali, jika kau mau ikut serta," jawab Rangga.
"Tidak, aku harus kembali. Sampai ketemu lagi, Rangga, Pandan."
Belum sempat Rangga membuka mulut, mendadak tubuh Dewi Naga Hitam telah lenyap dari pandangan. Dia tahu, kalau Dewi
Naga Hitam harus segera menghadap rajanya, Satria Naga Emas. Untuk memohon
pengampunan karena telah meluapkan rasa dendamnya kepada bangsa manusia.
"Ayo, kita pergi, Pandan," ajak Rangga sambil menggenggam tangan gadis itu.
"Ke mana, Kakang?"
"Ke mana saja! Yang penting kita harus melepaskan kerinduan yang sudah lama
terpendam dalam hati kita ini! lya nggak?" tanya Rangga terus terang
mengeluarkan isi hatinya.
"Ha ha ha...," Pandan Wangi tertawa malu. Wajahnya sampai berubah merah. Lalu
sebelum ia sempat menghentikan tawanya. Rangga segera menyumpal mulut gadis itu
dengan bibirnya!
SELESAI Created ebook by
Scan, Edit Teks & Convert to pdf (syauqy_arr) Weblog,
http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Matahari Esok Pagi 13 Pendekar Naga Putih 66 Siluman Gurun Setan Naga Naga Kecil 12

Cari Blog Ini