Ceritasilat Novel Online

Prahara Gadis Tumbal 1

Pendekar Rajawali Sakti 6 Prahara Gadis Tumbal Bagian 1


1 Pendekar Rajawali Sakti 06 Prahara Gadis Tumbal
http://cerita-silat.mywapblog.com tempat baca cersil mandarin & indo via HP
Prahara Gadis Tumbal
Udara malam terasa panas. Angin seolah-olah enggan bertiup. Langit merah merona
bagai membakar. Tanda malam ini akan turun hujan lebat. Keadaan yang seperti tak
bersahabat ini, tidak membuat Rangga gundah
Pendekar Rajawali Sakti ini tampak duduk tenang, bersandar pada sebuah batu
besar dan beralaskan rerumputan tebal bagai permadani terhampar
Matanya menerawang jauh, menatap sebuah desa
yang terlihat sepi dan tenang. Menurut seorang pencari kayu yang ditemui tadi
siang, desa itu bernama Pasir Batang Tampak rumah rumah penduduk yang hanya
diterangi pelita dari buah Jarak, berjajar rapi sepanjang jalan utama desa itu.
Pandangan Rangga terhenti pada sebuah rumah yang lebih besar dan lebih terang
daripada rumah rumah lainnya. Empat buah obor terpancang di setiap sudut
pekarangan depan.
Lewat pintu dan jendela yang terbuka, terlihat bagian dalam rumah yang ramai dan
terang benderang. Mungkin rumah itu milik seorang saudagar kaya atau Kepala Desa
yang tengah mengadakan pesta. Beberapa orang teriihat berjaga-jaga di
sekelilingnya Dugaan Pendekar Rajawali Sakti memang hampir
benar Rumah besar yang kini jadi perhatiannya itu, milik Kepala Desa Pasir
Batang. Tapi di sana bukan sedang mengadakan pesta, melainkan semacam sidang.
Beberapa pemuka dan tokoh terpandang desa Pasir Batang berkumpul atas undangan
Ki Brajananta, Kepala Desa Pasir Batang.
Di ruangan yang cukup luas itu, Ki Brajananta duduk dengan penuh wibawa. Matanya
agak sayu memandangi tamu-tamu. Seorang laki-laki tua berpakaian serba puth
duduk di sampingnya. Dialah Ki Gandara, seorang guru besar Padepokan Pasir
Batang. Wajahnya bersih cerah memantulkan kewibawaan. Di depan mereka masih ada
enam orang lagi.
"Tujuh hari lagi bulan purnama yang ke tujuh," kata Ki Brajananta perlahan, agak
bergumam. Enam orang yang duduk di depan Ki Brajananta
memandang ke arahnya. Mereka telah mampu menebak arah pembicaraan itu. Suaru
pembicaraan yang selalu ada setiap tujuh purnama.
"Tujuh hari bukan waktu yang lama, sedang kita belum siap apa-apa," kata Ki
Brajananta lagi.
"Hal ini telah berlangsung lama, Ki. Mengapa Ki Brajananta murung dan gelisah?"
tanya Sawung Bulu yang duduk tepat di hadapan Kepala Desa Pasir Batang itu.
"Apa kau tak tahu, Sawung Bulu" Untuk purnama kali ini, Dewi Purmitalah yang
harus dipersembahkan!" Bangka Putung menyelak
"Benar begitu, Ki?" Sawung Bulu terkejut sekali. Matanya melotot dan menyala
tajam. Ki Brajananta mengangguk lemah.
"Hhh...!" Sawung Bulu mendesah panjang.
Semua mata menatap Ki Brajananta dan Sawung Bulu bergantian. Mereka semua tahu
bahwa Dewi Purmita putri tunggal Ki Brajananta adalah kekasih Sawung Bulu, murid
andalan Padepokan Pasir Batang.
"Ini tidak boleh terjadi! Kita harus melawan!" tiba-tiba Sawung Bulu berkata
keras. "Sawung Bulu!" Sangkala tak kalah keras, sambil berdiri dia menggebrak meja.
Mukanya merah. Matanya tajam menatap keponakannya. Sawung Bulu balas menatap
tajam pula. Darah Sawung Bulu mendidih. Hatinya berontak ketika mendengar Dewi Purmita akan
dijadikan korban persembahan bagi siluman yang menamakan din, Raja Dewa Angkara.
Sebenarnya bukan hanya desa Pasir Batang saja yang dilanda kegelisahan macam
ini. Sebelumnya, suatu desa yang bersebelahan dengan desa Pasir Batang, pernah
mencoba menentang tradisi pengorbanan satu gadis perawan setiap tujuh purnama.
Tetapi akibatnya, desa itu hancur rata dengan tanah. Tak seorang pun dibiarkan
hidup. Gadis-gadis perawan lenyap tanpa bekas. Kejadian itu membuat desa-desa
lain di sekitar kaki gunung Balakambang, berpikir seribu kali jika berani
menentang kehendak Raja Dewa Angkara.
Kata kata Sawung Bulu yang dilandasi oleh hari panas dan gejolak darah muda itu,
memang membuat semua orang yang hadir di situ terkejut Lebih lebih Sangkala,
paman Sawung Bulu. Tak terkecuali Ki Gandara, guru sekaligus pengganti orang tua
Sawung Bulu. Tetapi sikap-nya sangat tenang. Matanya hanya menatap tajam pada
murid kesayangannya itu.
"Aku akan menantang si keparat Raja Dewa Angkara itu! Kalau dia mampu
mengalahkanku, maka aku baru rela Dewi Purmita menjadi korban persembahan!"
lantang dan tegas suara Sawung Bulu.
"Edan! Apa kau sudah gila, Sawung Bulu?" Sangkala mendehem.
"Justru aku waras, maka aku berani menantang!" sahut Sawung Bulu tetap tegas
suaranya. "Jadi, kau anggap kami-kami ini tidak waras, heh"!"
"Aku tidak mengatakan begitu, Paman."
Sawung Bulu mengalihkan pandangan pada gurunya.
Sementara Sangkala kembali duduk setelah tangannya ditarik lembut oleh Rangkuti
yang sejak tadi duduk diam di sebelah Sangkala.
"Kau tahu, apa akibatnya menentang Raja Dewa Angkara?" masih terdengar lembut,
tenang, dan ber-wibawa suara Ki Gandara.
"Aku tahu, Ki," sahut Sawung Bulu. "Aku rela melepaskan nyawa demi kebenaran."
"Aku bangga mendengarnya, Sawung Bulu. Hanya saja kau salah menempatkan sikap
satriamu."
Semua hening. Sawung Bulu perlahan kembali duduk Rasanya semua sungkan kalau Ki
Gandara sudah ikut bicara. Tak ada suara yang terdengar.
"Tak pemah aku memberi pelajaran tentang pemikiran yang pendek dan mementingkan
din sendiri. Kau bisa menentang Raja Dewa Angkara. Tapi, cobalah pikirkan akibat
yang lebih luas. Bukan kau saja yang akan terbunuh, bahkan seluruh penduduk desa
ini akan musnah akibat kecerobohanmu. Ingat, Sawung Bulu. Kau dan kita semua
berdiri demi kepentingan penduduk desa Pasir Batang yang kita cintai," ujar Ki
Gandara dengan penuh wibawa.
"Tapi, Ki...!" Sawung Bulu coba membantah.
"Kau tidak rela Dewi Purmita jadi korban persembahan?" potong Ki Gandara.
Sawung Bulu hanya menatap saja. Hatinya memang
tidak rela kekasihnya Jadi korban persembahan iblis itu.
"Lihatlah Ki Brajananta, Sawung Bulu. Dewi Purmita itu putri beliau. Sudah tentu
kasih sayang dan cintanya melebihimu. Dia pun tak rela putrinya jadi korban
persembahan, seperti halnya orang-orang tua lain yang anak gadisnya jadi korban.
Kita semua tak rela, sedih, dan ingin berontak Namun keselamatan penduduk Pasir
Batang di atas segala-galanya. Kita masih punya kekuatan dengan mengekang hawa
marah, walaupun sakit Kau mengerti Sawung Bulu?" panjang lebar Ki Gandara
memberikan pengertian kepada muridnya yang tengah dilanda emosi Sawung Bulu
terdiam. Dirundukkan kepalanya. Kata-kata lembut dan penuh wibawa itu menyentuh
perasaannya. Hatinya merasa kerdil berhadapan dengan Ki
Gandara. Sungguh picik mata hatinya jika tidak bisa melihat keadaan sekitar.
Tetapi hatinya tetap merintih dan menangis. Sawung Bulu tak rela dan ingin
berontak, tetapi akibatnya seluruh penduduk Pasir Batang akan merasakan murka
Raja Dewa Angkara.
Sawung Bulu semakin tak bergairah mengikuti pembicaraan ini. Pikirannya kalut dan hanya tertuju pada Dewi Purmita tercinta.
Tujuh hari lagi gadis itu akan jadi korban persembahan Raja Dewa Angkara. Malam
pun merambat semakin larut. Pembicaraan terus berlangsung walau tersendat
sendat. *** Rangga menggeKatkan tubuhnya beberapa kali.
Matahari yang menyorot hangat dari ufuk Timur, mem-bangunkannya dari tidur
nyenyak malam tadi. Matanya langsung menatap ke depan, ke arah desa Pasir
Batang. Dengan ilmu Pembilah Suara, dia telah mendengar semua pembicaraan di rumah Ki
Brajananta semalam.
Pendekar Rajawab Sakti lalu berdiri, dan kembali menggeliatkan tubuhnya. Dia
menguap lebar sambil menggosok-gosokkan matanya. Setelah merapikan pakaian,
Pendekar Rajawali Sakti melangkah menuju ke jalan utama desa Pasir Batang.
"Tujuh hari lagi... hm. Bukan waktu yang lama," gumam Rangga sambil melangkah.
Beberapa penduduk sudah mulai menuju ladang
mereka. Pagi ini kehidupan di desa Pasir Batang berjalan normal seperti tidak
akan terjadi apa-apa. Mereka seperti sudah terbiasa menghadapi peristiwa
persembahan korban untuk Raja Dewa Angkara. Peristiwa yang sudah bertahun-tahun berlangsung.
sehingga menjadi tradisi yang tak terelakkan lagi.
"Uh... Lapar juga. Semalam aku nggak makan! Di mana ada kedai makan, ya?" Rangga
bergumam sendiri sambil menepuk-nepuk perutnya Matanya jelalatan mencari-cari
kalau kalau ada kedai makan yang buka di pagi buta begini.
Agak kesal juga dia, sepanjang jalan yang dilewati tak nampak juga kedai makan
Sedangkan perutnya terus berkeruyuk minta diisi. Rangga menggerutu sendirian.
"Maaf. Pak. Bisa bertanya?" Rangga mencegat seorang laki-laki setengah baya yang
berpapasan denganriya.
"Oh, iya. Boleh, Den," laki-laki setengan baya itu mengamati Rangga dari ujung
kepala sampai ke ujung rambut
"Apa ada kedai makan di desa ini, Pak?" tanya Rangga.
"O, ada. Ada, Den. Itu di ujung tikungan jalan ini, tepat di bawah pohon
kenari." "Terima kasih, Pak."
"Sama-sama."
Rangga menganggukkan kepalanya, lalu bergegas
menuju ujung tikungan jalan. Dia tak menyadari kalau laki-laki setengah baya
yang ditanyainya tadi, masih terpaku memperhatikan. Seseorang datang mendekati
laki-laki setengah baya itu. Sedang Rangga masih terus melangkah.
"Siapa anak muda itu, Pak Bolang?"
"Oh!" laki-laki setengah baya yang ternyata bernama Pak Bolang itu terkejut
"Bikin kaget saja kau. Ujang!"
"Kelihatannya dia bukan orang desa kita ya, Pak?"
Ujang setengah bergumam.
"Iya, seperti pengembara," sahut Pak Bolang.
"Cari siapa dia?"
"Kedai makan," sahut Pak Bolang. "Ah, sudahlah! Nanti kesiangan kita ke ladang."
Kedua laki-laki itu melangkah beriringan.
"Tujuh hari lagi, purnama ya, Pak!" Ujang berkata setelah lama terdiam
"Iya, purnama yang ke tujuh," balas Pak Bolang pelan.
"Siapa ya, yang kira-kira jadi korban persembahan nanti?"
"Yang jelas bukan keluargaku. Aku tidak punya anak gadis lagi. Semuanya sudah
menikah," Pak Bolang merasa bersyukur karena tak ada seorang pun dari
keluarganya yang jadi korban
"Lama-lama bisa habis gadis-gadis di desa ini."
"Ya sudah, jangan dipikirkan, Jang! Kita sih bekerja saja..." ucap Pak Bolang
berjalan pergi.
Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti duduk menghadap meja yang penuh dengan makanan dan minuman Makannya tenang, tapi sudut
matanya sejak tadi memperhatikan dua pemuda yang duduk tak jauh dari mejanya.
Mereka adalah murid-murid Padepokan Pasir Batang Yang mengenakan pakaian serba
putih dan ketat, tak Iain adalah Sawung Bulu. Sedangkan satunya mengenakan baju
ketat pula berwama kuning gading Di pinggang masing-masing terselip sebuah
tongkat pendek, dengan cincin emas di tengahnya. Rangga memang tak kenal mereka.
Namun pembicaraan dua pemuda itu sangat
menarik perhatiannya.
"Apa pun yang terjadi, aku harus gagalkan upacara iblis itu!" suara Sawung Bulu
agak tertekan. "Kau boleh tak menyetujui tekadku, Badara. Tapi aku perlu teman
untuk menumpas Raja Dewa Angkara."
"Kau sudah bicara pada guru?" tanya Badara.
"Percuma, ayahmu tak akan pemah menyetujui. Apalagi Pamanku. Jelas dia menentang
keras!" "Memang sulit menyetujui niat baikmu, Sawung. Aku yakin semua orang tidak akan
mendukungmu."
"Mereka terlalu pasrah pada nasib. Padahal, jika kita mau bersatu, iblis itu
takkan berpikir dua kali pada desa kita. Toh, mereka juga manusia biasa seperti
kita. Apa yang harus ditakuti?"
"Raja Dewa Angkara sangat sakti. Lawan kaki tangannya saja, seluruh murid
Padepokan belum tentu menang.
Kau ingat peristiwa di desa Kenanga" Desa itu memiliki juga Padepokan yang
terkenal dengan orang-orang yang berilmu bnggi Tetapi dalam satu malam saja,
desa itu hancur karena menentang korban persembahan gila itu!
Apalagi kita yang hanya mengandalkan Ayahanda Guru Gandara" Aku rasa sia-sia
saja usahamu, Sawung..."
Sawung Bulu menarik nafas panjang. Dan memang ada benarnya juga kata-kata Badara
itu. Akankah desa Pasir Batang harus hancur juga, hanya karena satu orang merasa
tidak rela kekasihnya dijadikan korban persembahan Raja Dewa Angkara" Hanya satu
orang yang diselamatkan, tapi mengorbankan seluruh penduduk desa. Tidak! Sawung
Bulu menggelengkan
kepalanya. Sawung Bulu tak ingin seluruh penduduk menjadi
korban. Tetapi dia juga tak rela Dewi Purmita kekasihnya-itu jadi korban. Sawung
Bulu benar-benar seperti makan buah simalakama. Serba salah.
"Aku mengerti perasaanmu, Sawung. Bukan kau saja yang merasakan itu. Tapi ini
sudah menjadi kehendak Raja Dewa Angkara. Tak seorang pun yang berani menentangnya. Sadarlah itu, Sawung," kembali Badara mencoba menyadarkan saudara
seperguruannya ini.
"Aku tetap akan menentang Aku akan berjalan atas namaku sendiri, dan tidak akan
melibatkan seorang pun baik dari Padepokan maupun penduduk desa ini!"
Walau dengan hati bimbang, Sawung Bulu tetap pada pendiriannya. Tekadnya sudah
bulat. Apa pun yang akan terjadi, dia harus menghadapi si iblis Raja Dewa
Angkara! "Sa...."
Badara belum melanjutkan ucapannya, tiba-tiba sebuah tombak menancap tepat di
tengah-tengah meja mereka. Dengan serentak kedua murid Padepokan Pasir Batang
ini melompat kaget. Semua yang ada di kedai makan itu terkejut pula. Mereka
kenal betul dengan tombak itu.
Bagi mereka yang bernyali kecil, langsung kabur ke luar. Di kedai makan itu
memang rata-rata hanya
penduduk biasa. Maka dengan sekejap kedai makan
menjadi sepi. Sawung Bulu menatap tajam pada tombak hltam Itu.
"Celaka, Raja Dewa Angkara sudah tahu," gumam Badara dengan wajah agak pucat
Rangga masih duduk di tempatnya. Dia makin tertarik ingin mengetahui
kelanjutannya. Matanya tidak lepas memandang dua pemuda yang masih menatap
tombak hitam itu. Walau terlihat tampan dan gagah, tetapi mereka gemetar juga.
"Sawung Bulu...," suara Badara bergetar.
"Pergilah!" tegas Sawung Bulu. Namun nadanya sedlkit bergetar.
Badara yang semula tak ingin ikut campur beranjak pergi. Kakinya baru saja
melangkah dua tindak tiba-tiba sebatang tombak kembali meluncur dan menancap
tepat di ujung kakinya. Badara melompat kaget
"Kau sudah membuat malapetaka, Sawung Bulu!"
Badara agak kesal.
Tombak kedua yang datang menghalangi langkahnya, sudah diraba maksudnya. Tak ada
pilihan lain. Dia sudah terlibat secara tak langsung dalam kemelut ini. Tak
mungkin Raja Dewa Angkara melepaskan satu nyawa pun.
"Terpaksa harus dihadapi bersama," lenguh Badara.
"Maaf, Badara!" ucap Sawung Bulu.
"Lupakan!" sahut Badara.
"Bagus!" tiba-tiba terdengar suara berat menggelegar.
"Murid-murid Padepokan Pasir Batang rupanya punya nyali juga!"
Rasa terkejut kedua murid Padepokan Pasir Batang belum lagi hilang, mendadak
dari atap kedai makan berlompatan empat orang berpakaian serba hitam dengan
gambar bunga bangkai di dada, berwarna merah. Di tengahnya terselip juga gambar
seekor kalajengking berwarna emas.
Empat orang yang dikenal sebagai anggota Raja Dewa Angkara itu, berdiri
mengelilingi Sawung Bulu dan Badara.
Wajah mereka tertutup selembar kain hitam, kecuali bagian mata. Masing-masing
menggenggam dua trisula.


Pendekar Rajawali Sakti 6 Prahara Gadis Tumbal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suaru penampilan yang menggetarkan.
"Raja Dewa Angkara berkenan memaafkan, jika kalian lekas meminta maaf," kata
salah seorang yang mengenakan pakaian serba hitam dari ujung kepala hingga ujung
kaki. "Kenapa bukan iblis itu sendiri yang datang" Aku tak perlu dengan cacing-cacing
macam kalian!" dengus Sawung Bulu. Baginya tak ada pilihan lain kecuali
meneruskan segala niat menentang iblis itu.
"He...he...he..., gurumu saja belum tentu mampu mengalahkan salah seorang dari
kami." "Iblis! Kubunuh kau!" geram Badara mendengar ayahnya dihina. Hatinya panas
seketika. Tanpa banyak bicara lagi, Badara langsung melompat sambil mencabut tongkat
pendeknya. Dia menyerang dengan jurus-jurus andalan kepada orang yang mengejek
ayahnya. Melihat keadaan itu, Sawung Bulu tak mau ketinggalan. Pertarungan kini
berjalan satu lawan dua orang.
*** 2 Melewati jurus kelima dua murid Padepokan Pasir Batang makin terdesak Tingkat
kepandaian mereka memang jauh di bawah anak buah Raja Dewa Angkara. Rangga yang
sejak tadi memperhatikan pertarungan mereka, dapat me-mastikan kalau dalam dua
atau tiga jurus lagi, Sawung Bulu dan Badara dapat dikalahkan.
Dugaan Rangga memang tepat. Dua jurus berlangsung, Badara menjerit keras.
Tubuhnya limbung, darah mengucur deras dari dadanya yang sobek. Belum sempat
Badara menguasai diri, sebuah tendangan keras menghantam kepalanya. Tidak ampun
lagi, Badara terjengkang ambruk Kepalanya pecah
"Kejam! Iblis!" geram Sawung Bulu ketika melihat putra tunggal Ki Gandara tewas.
Pada saat Sawung Bulu lengah, mendadak sebuah
tendangan keras mendarat di dadanya. Murid utama Padepokan Pasir Batang itu
terjengkang dua depa. Dadanya terasa sesak, matanya berkunang-kunang. Sawung
Bulu belum dapat mengatur posisi, tiba-tiba salah seorang lawan menerjang dengan
ujung tombak terhunus.
Sawung Bulu yang memang sudah tidak berdaya, hanya pasrah menerima nasib.
Serangan orang berpakaian serba hitam itu sangat cepat. Dan ketika ujung tombak
telah berada seujung rambut lagi membelah dada Sawung Bulu, sebuah bayangan
tiba-tiba berkelebat cepat menyambar murid utama Padepokan Pasir Batang itu
Tubuh Sawung Bulu lenyap begitu saja. Tombak yang hampir membelah dadanya
menerobos tempat kosong. Hal ini membuat empat orang berpakaian serba hitam itu
terkejut Mereka saling berpandangan satu sama lainnya
"Kadal! Siapa berani main-main dengan Raja Dewa Angkara!" bentak salah seorang
dari mereka. Tidak ada sahutan sama sekali. Mata mereka beredar ke sekeliling. Tidak ada
seorang pun di dalam kedai makan ini. Hanya meja kursi saja yang terfihat
berantakan tidak tentu arahnya.
"Huh! Kepala Desa Pasir Batang harus bertanggung jawab!" dengus orang itu lagi
"Sebaiknya segera kita laporkan hal ini pada Raja Dewa Angkara," kata lainnya
mengusulkan. "Baiklah! Ayo kita pergi!"
Empat orang anak buah Raja Dewa Angkara itu pun
dengan cepat mencelat Sekejap mata saja mereka tak teriihat lagi bayangannya.
Kini kedai makan itu kembali sepi. Tidak ada orang lagi di sana kecuali mayat
Badara yang menggeletak mandi darah.
Dalam waktu yang tak lama, muncul Ki Gandara diikuti pemuka pemuka Desa Pasir
Batang dan beberapa penduduk di pintu kedai makan. Ki Gandara tampak terkejut
melihat putranya menggeletak dengan kepala pecah.
Sangkala, Bagaspata, Rawusangkan, dan dua orang lainnya, seperti terkunci
mulutnya. Mereka sangat terkejut melihat mayat Badara dan dua tombak berwarna
hitam pekat yang masih tertancap di tengah-tengah meja dan di tanah dekat tubuh
Badara. "Mana Sawung Bulu?" tiba-tiba Sangkala ingat keponakannya
"Tadi... tadi ada di sini, Gusti," jawab seorang penduduk yang tadi juga ada di
kedai ini. Bicaranya tergagap.
Muka Sangkala berubah merah pada. Matanya liar
merayapi sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda Sawung Bulu ada di sekitar sini.
Sementara itu Ki Gandara memeriksa mayat putranya. Kefihatan sekalii dua bola
matanya berkaca-kaca menahan tangis.
"Siapa yang berbuat ini?" tanya Sangkala pada penduduk yang menjawab tadi.
"Orang-orang Raja Dewa Angkara, Gusti," sahut penduduk itu lagi.
"Berapa orang mereka?" tanya Bagaspati.
"Empat Semuanya mengenakan topeng"
"Lalu, siapa di antara kalian yang melihat Sawung Bulu?" tanya Rawusangkan.
Matanya menatap satu persatu penduduk yang sudah banyak berkumpul di depan
kedai. Semua orang tidak ada yang membuka mulut. Kepala mereka perlahan tertunduk.
Memang tidak ada seorang pun yang melihat, ke mana Sawung Bulu pergi. Apalagi
melihat kepergian empat anak buah Raja Dewa Angkara yang begitu cepat melesat
Mereka memang hanya
penduduk biasa yang awam terhadap ilmu silat
Kl Gandara berdiri. Matanya merayapi lima orang
pemuka desa, lalu memandang satu-satu wajah penduduk Desa Pasir Batang yang
tertunduk. Sebentar guru besar Padepokan Pasir Batang menarik nafas panjang.
Tangannya memberi isyarat kepada mund-muridnya untuk mengangkat mayat Badara.
Segera empat orang murid
Padepokan Pasir Batang bergerak
"Apa yang kita khawatirkan selama ini sudah jadi kenyataan," pelan suara Ki
Gandara bergumam.
"Maafkan anak ponakan saya, Ki," ucap Sangkala menyesali perbuatan Sawung Bulu.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semuanya telah terjadi. Entah kapan waktunya,
malapetaka akan datang ke desa ini," masih terdengar pelan suara Ki Gandara.
"Saya yang akan mewakili meminta maaf pada Raja Dewa Angkara," kata Sangkala
merasa bertanggung jawab.
"Percuma saja, Sangkala. Raja Dewa Angkara tidak memandang satu dua orang. Kini
yang harus bertanggung jawab adalah kita semua."
Seketaka semua terdiam. Wajah-wajah pucat ter
gambar jelas. Semua mengerti maksud kata-kata Ki Gandara. Pada saatnya nanti,
desa Pasir Batang akan lenyap seperti Desa Kenanga. Pertentangan sudah dibuka.
Korban pertama telah jatuh. Mereka tinggal menunggu nasib
Sangkala menyesali diri karena tidak bisa meredam darah muda keponakannya. Kini
semuanya terlambat.
Mau tidak mau seluruh penduduk Desa Pasir Batang harus menghadapi kelompok Raja
Dewa Angkara. Kehancuran sudah terbayang di mata seluruh penduduk.
Rasanya saat ini nyawa telah lenyap dari badan. Satu per satu mereka melangkah
pergi dengan wajah tertunduk lesu. Tidak ada semangat hidup. Sepertinya tinggal
tunggu waktu saja malaikat maut datang ke Desa Pasir Batang
*** Malam baru saja menjelang. Keadaan Desa Pasir
Batang benar benar seperti mati. Tak ada seorang pun yang keluar rumah. Mereka
takut maut lebih dulu menjemput. Sementara itu di salah satu kamar rumah Kepala
Desa, Dewi Purmita tengah menangis dalam pelukan ibunya. Ki Brajananta hanya
dapat berdiri dengan wajah murung. Kejadian pagi tadi telah membuat seluruh
penduduk Desa Pasir Batang putus asa. Hal ini sangat disesalkan Ki Brajananta.
"Sudahlah, Purmita. Semuanya sudah terjadi, tidak perlu ditangisi lagi." lembut
suara ibunya. Dewi Purmita mengangkat kepalanya. Seluruh wajahnya basah oleh air mata.
Sebentar ditatap wajah ibunya, lalu beralih ke ayahnya.
"Apakah Kakang Sawung Bulu sudah ditemukan.
Ayah?" tanya Dewi Punnita lirih.
"Belum," sahut Ki Brajananta pelan.
"Kenapa Kakang Sawung Bulu sampai berbuat senekad itu?"
"Dia tidak rela kau dijadikan korban persembahan, anakku," Subragen yang menwab
Dewi Purmita memandang ibunya, lalu dipeluk ibunya yang sudah setengah baya itu.
Dia telah tahu kalau dirinya bakal dijadikan korban persembahan. Semua itu telah
diutarakan kepada Sawung Bulu. Jelas saja Sawung Bulu merasa tidak rela
kekasihnya jadi korban. Ketidakrelaan itu telah dibuktikan dengan peristiwa tadi
pagi. "Saya rela dijadikan korban persembahan, asal penduduk desa ini hidup tentram...
" semakin lirih suara Dewi Purmita.
"Purmita, anakku...," Sutiragen terharu mendengarnya.
"Sebaiknya Ayah mengirim utusan untuk meminta maaf atas kejadian tadi pagi. Saya
bersedia jadi korban pada waktunya nanti," kata Dewi Purmita seraya menghapus
air matanya. Ki Brajananta tidak dapat berkata kata lagi. Mulutnya terkunci. Dia hanya
berdiri mematung menatap anak gadisnya. Dalam hati kecilnya, dia tidak rela
putrinya jadi korban persembahan. Tetapi dia tidak dapat membantah lagi. Nyawa
seluruh penduduk desa taruhannya. Yang jelas dia harus pasrah menerima nasib.
Dewi Purmita pun demikian. Pasrah. Baginya, hidup sudah tidak ada gunanya lagi.
Apalagi Sawung Bulu sampai kini lenyap tanpa ketahuan di mana rimbanya.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Semua mata menoleh ke arah pintu yang
tertutup. Ki Brajananta melangkah dan segera membukanya. Kiranya seorang wanita
tua yang mengetuk tadi.
"Tamu-tamu telah datang, Gusti," kata wanita tua itu membungkuk hormat
Ki Brajananta memandang Dewi Purmita sebentar,
kemudian melangkah ke luar. Langkahnya kelihatan lesu menuju ruangan pendopo. Di
ruangan itu, Ki Gandara, Sangkala, Bagaspati, Rawusangkan, Wratama, dan
Paralaya, telah menunggu. Mereka serentak berdiri ketika Ki Brajananta muncul.
"Silakan duduk," kata Ki Brajananta seraya duduk Enam orang pemuka Desa Pasir
Batang itu bersama-sama duduk melingkari sebuah meja marmer. Sesaat suasana
hening. Tidak ada yang membuka suara lebih dulu. Mata mereka semua memandang
Kepala Desa yang kelihatan murung tanpa gairah.
"Sudah ada khabar tentang Sawung Bulu?" tanya Ki Brajananta memecah keheningan.
"Belum," sahut Wratama yang ditugaskan untuk mencari Sawung Buhx
"Apa tidak mungkin Sawung Bulu dibawa ke..." Paralaya tidak melanjutkan
kalimatnya. "Tidak!" selak Sangkala Cepat "Raja Dewa Angkara tidak pernah membawa korban
seorang laki-laki ke sarang-nya."
"Menurut pemilik kedai dan Pak Bolang, pagi tadi desa kita kedatangan seorang
pengembara," kata Rawusangkan.
"Pengembara...?" Ki Gandara mengerutkan keningnya.
"Kau tanyakan ciri-cirinya?"
"Ya," Jawab Rawusangkan.
"Bagaimana ciri-cirinya" tanya Sangkala.
"Orangnya masih muda, kulitnya kuning langsat. Ada pedang bergagang ukiran
kepala burung di punggungnya,"
Rawusangkan coba menyebutkan ciri-ciri pengembara itu.
"Pakai baju rompi?" tebak Ki Gandara.
"Benar, Ki" sahut Rawusangkan cepat.
"Tidak salah lagi," gumam Ki Gandara.
Semua mata memandang Ki Gandara
"Ki Gandara kenal dia?" tanya Ki Brajananta.
"Dari ciri-cirinya mirip Pendekar Rajawali Sakti," pelan suara Ki Gandara
seperti kurang yakia
"Pendekar Rajawali Sakti..."!" hampir berbarengan mereka semua menyebut nama
itu. Siapa yang tidak kenal nama Pendekar Rajawali Sakti"
Seorang tokoh sakti yang baru muncul, tapi sudah meng-gegerkan seluruh rimba
persilatan. Bukan hanya tokoh tokoh golongan putih yang merasa sungkan dan
kagum. Tokoh-tokoh golongan hitam pun merasa enggan bila berhadapan dengannya. Sudah
banyak tokoh golongan hitam yang tewas di tangan pendekar ini. Jurus rangkaian
'Rajawali Sakti'nya sangat sulit dicari tandingannya pada jaman ini.
"Apa dia ada di kedai pagi itu, Rawusangkan?" tanya Ki Gandara.
"Benar, Ki." sahut Rawusangkan cepat
"Hm..., tidak mustahil dia yang menolong Sawung Bulu,"
gumam Ki Gandara.
Sesaat suasana kembali sunyi. Semua yang ada di situ terpusat pikirannya pada
Pendekar Rajawali Sakti yang muncul di Desa Pasir Batang ini. Kemunculan yang
tiba-tiba, di saat seluruh pemuka dan penduduk desa dicekam kegelisahan.
Sangkala yang sejak tadi memperhatikan guru besar Padepokan Pasir Batang itu.
melihat ada sedikit cahaya di mata Ki Gandara. Dalam hati Sangkala juga berharap
dugaan Ki Gandara benar. Biar bagaimana pun dia sangat mencintai keponakannya
itu. Sejak kecil Sawung Bulu dirawat dan dididiknya di Padepokan Pasir Batang
bersama Ki Gandara.
Ketika mereka tengah khusuk bersama pikiran masing masing tiba-tiba terdengar
suara hiruk-pikuk di luar. Ki Brajananta segera berdiri dan melangkah ke luar.
Ki Gandara dan yang lainnya mengikuti dari belakang Dan betapa terhenyaknya
mereka ketika melihat mayat-mayat bergelimpangan di halaman depan rumah kepala
desa. Mayat-mayat itu adalah para penjaga rumah ini.
Mereka terbantai oleh orang-orang berpakaian serba hitam. Dan kini Ki Brajananta
dan yang lainnya, dikejutkan oleh kehadiran seorang pemuda yang tengah bertarung
melawan empat orang berpakaian serba hitam. Pertarungan yang cepat disertai
jurus-jurus silat tingkat tinggl, membuat orang yang ada di situ sulit mengenali
siapa pemuda itu.
"Siapa dia, Ki?" tanya Rawusangkan yang berdiri di samping Ki Gandara.
"Sepertinya dia..., Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Gandara ragu-ragu
"Kalau begitu, kita harus membantunya, Ki!" seru Ki Brajananta.
"Jangan!" Ki Gandara langsung mencegah Wratama dan Paralaya yang teriihat akan
bergerak Mereka segera mengurungkan niatnya.
"Dia tidak perlu dibantu dan bisa mengatasinya sendiri," kata Ki Gandara.
Matanya tidak lepas mengamati pertarungan itu
Begitu Ki Gandara setesai berkata, mendadak terdengar jeritan panjang disusul oleh rubuhnya seorang yang berpakaian serba
hitam. Kemudian menyusul seorang lagi yang tiba-tiba mencelat ke atas disertai
jeritan memilukan, lalu ambruk tak bangun-bangun lagi. Kepalanya hancur ketika
menimpa bumi. Dua orang lagi yang masih hidup, mencelat ke belakang sejauh dua
tombak. Kini jelaslah, siapa laki-laki muda yang bertarung melawan empat orang
yang tampaknya anak buah Raja Dewa Angkara. Dugaan Ki Gandara memang tidak
meleset. Laki-laki muda itu adalah Pendekar Rajawali Sakti yang telah
menjatuhkan dua lawannya dengan jurus 'Cakar Rajawali'.
"Anak muda! Campur tanganmu akan berakibat fatal!"
dengus salah seorang lawan Pendekar Rajawali Sakti.
"Lebih fatal lagi jika kalian masih mengganggu Desa Pasir Batang ini!" tegas dan
lantang suara Pendekar Rajawali Sakti.
"Setan! Kau harus mampus!"
Kembali mereka bertarung. Dua orang yang berpakaian serba hitam yang masih
tersisa itu kini menyerang dengan lebih cepat dan berbahaya. Kini Pendekar
Rajawali Sakti mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Tubuhnya jadi ringan dengan kedua kaki tidak lagi menapak tanah. Pendekar muda
itu mengontrol diri agar tidak melayang terlalu tinggi. Hanya kedua tangannya
saja yang bergerak cepat mengibas ke arah bagian-bagian tubuh lawan yang
mematikan. "Awas, kepala!" teriak Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti tiba-tiba.
Tangan kanannya menyampok kepala salah seorang
lawannya. Orang itu terkejut, cepat-cepat ditarik kepalanya ke belakang. Tak
terduga sama sekali, tangan Rangga dengan cepat berputar arah dan langsung
mengibas ke arah perut
"Aaakh...!" orang itu menjerit kesakitan.
Kibasan tangan kanan Rangga tepat menyobek perutnya, sehingga ususnya
berhamburan ke luar. Sebentar saja orang itu mampu bertahan. Dan kebka kaki
Rangga mendarat di dada orang itu, tanpa ampun lagi tubuhnya terjengkang dan
ambruk ke tanah. Mati. Darah mengucur deras dari perutnya yang menganga lebar.
Melihat temannya tewas, sisanya yang tinggal seorang itu mencelat kabur. Rangga
tidak berusaha mengejar orang itu. Dia berdiri saja mengawasi mayat-mayat yang
bergelimpangan mandi darah. Sepuluh mayat penjaga pun ter-bujur tak tentu arah
di tempat itu. Pendekar Rajawali Sakti menoleh ketika telinganya mendengar langkah langkah kaki
menghampiri. Jumlah mereka tujuh orang. Dua orang yang berjalan di depan
kelihatannya lebih tua daripada yang lainnya.
"Sungguh tak menyangka, Tuan berkenan singgah di desa kami," kata Ki Brajananta
setelah berdiri di depan Rangga.


Pendekar Rajawali Sakti 6 Prahara Gadis Tumbal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf jika kedatanganku mengganggu tuan-tuan sekalian," Rangga membungkuk hormat
"Tidak, sama sekali tidak. Justru kedatangan Tuan Pendekar sangat kami
butuhkan," kata Ki Gandara gembira dengan adanya Pendekar Rajawali Sakti di desa
ini "Jika Tuan Pendekar tidak keberatan, singgahlah barang sebentar di gubukku."
kata Ki Brajananta.
"Terima kasih," Rangga mau menolak.
"Kami akan senang jika Tuan Pendekar bersedia menolong penduduk Desa Pasir
Batang," kata Sangkala.
Rangga terdiam. Matanya mengamati satu per satu
wajah-wajah di depannya, lalu tersenyum mengangguk Segera saja Ki Brajananta
mempersilahkan Pendekar Rajawali Sakti untuk masuk ke dalam rumahnya. Rangga
berjalan diapit oleh Ki Brajananta dan Ki Gandara.
Sedangkan Sangkala dan yang lainnya mengurus mayat-mayat untuk segera
dikuburkan. *** "Sebenarnya ada apa di desa ini?" tanya Rangga setelah duduk menghadapi meja
marmer. Ki Brajananta yang duduk tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti itu menatap Ki
Gandara. Guru Besar Padepokan Pasir Batang ini mengerti tatapan kepala desa itu.
Sejenak ditariknya napas panjang
"Sebenarnya bukan hanya Desa Pasir Batang yang tertimpa malapetaka seperti ini.
Desa-desa lain di sekitar lereng Gunung Babkambang juga mengalami nasib yang
sama. Kejadian ini sudah ada sejak sepuluh tahun yang lalu. Dan tidak seorang
pun yang bisa melepaskan diri dari cengkeraman Raja Dewa Angkara," pelan tapi
jelas suara Ki Gandara.
"Siapa Raja Dewa Angkara?" tanya Rangga.
"Dia seorang tokoh sakti yang sulit dicari tandingannya.
Setiap tujuh purnama, kami diharuskan menyerahkan korban persembahan berupa
seorang gadis remaja," sahut Ki Brajananta.
"Selain itu, kami juga diharuskan memberi upeti yang sangat menjerat," sambung
Ki Gandara. "Mereka sangat kejam. Satu orang saja berani menentang, akibatnya satu desa
dihancurkan. Kami tidak ingin mengalami nasib yang sama dengan Desa Kenanga.
Tetapi, semuanya sudah terlambat. Salah seorang anak kami sudah membuka pintu
pertentangan. Kami tidak tahu lagi harus berbuat apa. Raja Dewa Angkara pasti
akan membumi hanguskan desa ini," lirih suara Ki Brajananta.
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Jiwa
ksatrianya segera timbul melihat kesengsaraan. Telinganya tidak bisa mendengar
jeritan penindasan. Darah pendekar-nya segera bergolak mendidih.
"Kapan persembahan dilaksanakan?" tanya Rangga"Enam hari lagi," jawab Ki Brajananta.
"Hm, enam hari lagi. Bukan waktu yang lama," gumam Rangga. Pendekar Rajawali
Sakti ini sebenarnya sudah tahu hal itu melalui ilmu 'Pembilah Suara'. Namun dia
tidak ingin dikatakan lancang karena telah menguping pembicaraan orang lain.
Jadi pertanyaan tadi hanya untuk basa-basi saja.
"Sekarang tidak perlu lagi ada korban persembahan karena pertentangan telah
dibuka. Desa Pasir Batang akan hancur, dan gadis-gadis akan diboyong Raja Dewa
Angkara. Semua laki-laki, orang tua, dan anak-anak akan tewas," Ki Brajananta seperti
mengeluh putus asa.
Rangga menatap kepala desa itu tajam. Sungguh mati dia tidak mengira akan
seburuk itu keadaannya.
"Korban sudah mulai berjatuhan. Dan selama enam hari ini korban akan berlangsung
terus, sampai seluruh penduduk desa habis terbantai," lagi-lagi Ki Brajananta
mengeluh. "Hal itu tidak akan terjadi, Ki," tegas suara Rangga terdengar.
Ki Brajananta mengangkat kepalanya. Ada secercah harapan terbetik dari sinar
matanya. Sedangkan Ki Gandara tampak tersenyum. Dia percaya kalau nama besar
Pendekar Rajawali Sakti bukanlah nama kosong.
"Sampai bulan purnama nanti, aku akan tinggal di Desa Pasir Batang ini. Mudahmudahan Yang Maha Kuasa
berkenan melindungi seluruh penduduk desa ini," kata Rangga lagi.
"Ah, senang sekali kami mendengamya. Sudah lama kami berharap bisa bebas dari
cengkeraman iblis itu,"
desah Ki Brajananta.
Rangga tersenyum tipis, lalu bangkit berdiri.
"Akan ke mana, Tuan Pendekar?" tanya Ki Brajananta melihat Rangga berdiri.
"Lihat-lihat keadaan," sahut Rangga terus saja melangkah.
Ki Brajananta dan Ki Gandara mengikuti. Mereka berpapasan dengan Sangkala yang
akan masuk "Sangkala, temani Tuan Pendekar melihat-lihat keadaan desa." kata Ki Gandara.
"Baik, Ki," Sangkala tersenyum seraya mengangguk-angguk.
"Terima kasih," ucap Rangga terus saja melangkah.
Sangkala berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka mellntasi halaman rumah kepala desa yang luas, lalu menyusuri jalan utama
Desa Pasir Batang. Sampai jauh meninggalkan rumah kepala desa, belum ada yang
berbicara. "Sebenarnya akan ke manakah, Tuan?" tanya Sangkala membuka pembicaraan dengan
hormat dan sopan.
Rangga menghentikan langkahnya. Dia berbalik menghadap pada Sangkala. Telinganya
gatal jika dipanggil dengan sebutan tuan. Rangga menepuk pundak laki-laki yang
usianya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Hanya saja wajah Sangkala yang
dipenuhi cambang dan kumis lebat, membuat seperti kelihatan lebih tua dari usia
yang sebenarnya.
"Sebaiknya, kau panggil saja aku Rangga," kata Rangga merendah
"Ah, mana berani saya...."
"Aku hanya pengembara miskin. Tidak pantas dipanggjl tuan," cepat-cepat Rangga
memotong "Baiklah, jika tu..., eh! Kau menginginkan begitu."
"Nah, jika begitu kan lebih enak Oh, ya. Dengan apa aku harus memanggilmu?"
"Cukup Sangkala saja."
"Baiklah, Sangkala. Kau tahu di mana tempat Raja Dewa Angkara?" tanya Rangga
kembali meneruskan langkahnya.
"Tepatnya aku tidak tahu. Tetapi menurut kabar dia tinggal di puncak Gunung
Balakambang," jawab Sangkala.
"Pernah ada yang ke sana?"
"Tidak. Tidak ada yang berani sampai ke puncak. Para penduduk yang mencari kayu
bakar, hanya sampai lereng saja. Itu pun tidak berani masuk sampai ke dalam
hutan." "Kau pernah bertemu dengan orangnya."
"Tidak ada yang pernah melihat Raja Dewa Angkara.
Tetapi orang-orangnya rata-rata memiliki kepandaian yang cukupan. Aku rasa,
sepuluh orang seperti aku saja belum mampu menandingi satu dari mereka,"
Sangkala merendah.
"Lalu, untuk apa Raja Dewa Angkara meminta korban seorang gadis?" tanya Rangga
lagi. Bibirnya tersenyum mendengar kerendahan hati Sangkala.
"Entahlah," sahut Sangkala. "Setiap korban persembahan diambil sendiri oleh kaki
tangan Raja Dewa Angkara, lalu dibawa ke puncak Gunung Balakambang.
Tidak ada yang tahu, bagaimana nasib mereka di sana.
Selama ini gadis-gadls yang dijadikan korban tidak ada yang kembali dalam
keadaan hidup. Mayatnya saja tidak pernah ditemukan lagi."
"Berapa orang kelompok mereka?"
"Tidak tahu pasti. Yang jelas, setiap tujuh purnama mereka datang dengan jumlah
sepuluh orang. Tidak kurang dan tidak lebih."
"Mereka selalu mengenakan pakaian serba hitam?"
"Benar. Itu ciri mereka. Tidak ada seorang pun yang dapat dikenali wajahnya
karena selalu mengenakan topeng hitam."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Keningnya berkerut dalam, menandakan
tengah berpikir keras.
Keterangan dari Sangkala tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Ki
Brajananta maupun Ki Gandara. Tetapi semua masih membingungkan karena belum ada
titik terang yang pasti untuk menghadapi kelompok Raja Dewa Angkara.
"Di mana kau tinggal?" tanya Rangga.
"Di Padepokan Pasir Batang," sahut Sangkala.
"Sudah berkeluarga?"
Sangkala mengangguk, sambil tersipu.
"Sebaiknya kau pulang saja, tentu istrimu sudah menunggu sejak tadi," kata
Rangga. "Tapi...," Sangkala jadi bingung. Tidak mungkin Rangga ditinggal sendirian.
Perintah Ki Gandara tidak berani dilalaikan begitu saja.
"Sudah cukup aku melihat-lihat keadaan desa ini. Lagi pula malam sudah larut Aku
yang akan mengatakannya nanti pada gurumu," kata Rangga bisa mengerti
kebimbangan Sangkala.
"Baiklah kalau begitu," sahut Sangkala senang. Dia memang sudah lelah dan
mengantuk Dan lagi, sejak tadi pikirannya selalu tertuju pada anak dan istrinya
yang tentu tengah menunggu cemas.
Rangga menepuk pundak Sangkala sebelum berlalu
melanjutkan langkahnya lagi. Sebentar Sangkala berdiri diam di tempatnya, lalu
bergegas kembali menuju ke padepokan. Langkahnya cepat, ingin segera tiba di
rumah. *** 3 Rangga berdiri tegak memandang ke puncak Gunung
Balakambang yang terselimub kabut Di belakangnya jauh tampak Desa Pasir Batang
Rangga menoleh kebka
merasakan ada langkah kaki mendekati. Bibirnya tersenyum melihat Sawung Bulu
telah duduk di batu. Rangga menghampiri.
"Ada yang dipikirkan?" tanya Rangga.
"Ya," sahut Sawung Bulu mendesah.
Rangga mengambil tempat di samping Sawung Bulu.
Mereka bersama sama memandang puncak Gunung
Balakambang Sementara di kaki lereng, jauh di bawah sana kelihatan Desa Pasir
Batang yang tampak sepi bagai tidak berpenghuni.
"Aku tidak mengerti mengapa kau menolongku
kemarin," Sawung Bulu bergumam pelan.
"Aku menolong, karena kau perlu ditolong," sahut Rangga seenaknya
"Seharusnya bukan aku, tapi penduduk desa itu,"
Sawung Bulu memandang ke arah Desa Pasir Batang
"Rasanya aku lebih baik mati daripada melihat kehancuran orang-orang yang
kucintai."
Rangga diam mendengarkan. Sejak dibawanya ke sini, baru kali inilah Sawung Bulu
mau berkata. Dia selalu murung, seperti ada yang sedang dipikirkan.
Pendekar Rajawali Sakti itu tahu, hal apa yang dipikirkan Sawung Bulu. Semalam
dia mendapat banyak
keterangan, juga pagi tadi dari beberapa penduduk Desa Pasir Batang.
Sama sekali Rangga tidak menyangka Sawung Bulu
yang berbuat nekad tanpa memperhitungkan resikonya.
Siapa yang rela kalau kekasihnya dijadikan korban persembahan iblis" Hanya saja
tindakan Sawung Buhl yang gegabah dan terlalu menurutkan darah muda. Kini semua
telah terjadi. Seluruh penduduk Desa Pasir Batang tinggal menunggu nasib.
"Aku tidak tahu, apakah mereka iblis-iblis yang datang dari neraka, atau manusia
sakti yang mengumbar hawa nafsu. Mereka begitu tangguh dan sulit dicari
tandingannya," Sawung Bulu sedah mengeluh.
"Mereka manusia biasa yang bisa mati," kata Rangga.
"Kau tahu mereka?" Sawung Bulu agak terkejut.
"Ya, tiga orang dari lawanmu kemarin, telah mati,"
sahut Rangga tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Kau membunuh mereka?" makin terkejut Sawung Bulu. Matanya merayapi wajah
Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak percaya pada pendengarannya.
"Bukan aku, tapi Yang Maha Kuasa yang berkenan,"
sahut Rangga merendah.
"Kapan kau membunuh mereka?" tanya Sawung Bulu seolah menyelidik
"Semalam, di depan rumah kepala desa. Tapi aku terlambat..."
"Teriambat, maksudmu?" potong Sawung Bulu dengan nada cemas.
"Mereka berhasil membunuh tidak kurang dari sepuluh orang."
"Lalu?"
"Aku sempat bicara dengan Ki Brajananta, Ki Gandara, dan beberapa orang lainnya.
Tampaknya mereka semua memang ingin lepas dari cengkeraman Raja Dewa
Angkara." "Ah, seandainya saja Yang Maha Kuasa berkenan mem-beriku kekuatan. Aku rela
berkorban nyawa untuk membebaskan mereka," lirih suara Sawung Bulu.
Rangga hanya tersenyum, lalu bangkit berdiri. Kakinya terayun menuju ke Desa
Pasir Batang. "Mau ke mana?" tanya Sawung Bulu.
Rangga hanya menunjuk ke arah desa tanpa menjawab. "Aku ikut!" Sawung Bulu bergegas menghampiri.
"Sebaiknya untuk sementara kau tinggal di sini dulu,"
cegah Rangga. "Aku bukan pengecut yang hanya bisa bersembunyi!"
dengus Sawung Bulu.
"Aku tidak mengatakan kau pengecut. Tapi ini demi keamanan dan keselamatan semua
orang yang kau cintai."
Sebenarnya Sawung Bulu ingin bersikeras, tapi segera diurungkan niatnya. Dia
percaya kalau pemuda yang se-baya dengannya itu bukan orang sembarangan.
Buktinya, tiga anak buah Raja Dewa Angkara telah dibunuhnya hanya dalam satu
malam saja. "Siapa kau sebenamya?" tanya Sawung Bulu jadi ingin tahu.
"Aku, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rangga Secepat dia menjawab, secepat itu
pula dia mencelat Tiba-tiba telah lenyap dari pandangan Sawung Bulu Tentu saja
pemuda ini mencari-cari. Dalam hari, dia sangat mengagumi ilmu meringankan tubuh
Pendekar Rajawali Sakti yang sempurna itu.
"Pendekar Rajawali Sakti...," Sawung Buhi ber-gumam menyebut nama itu beberapa
kali. Dia kembali duduk di atas batu. Bibirnya masih meng-gumamkan nama Pendekar
Rajawali Sakti. Sepertinya dia tengah mengingat-ingat nama itu. Ya, nama itu
pernah didengarnya dari Ki Gandara. Juga beberapa tokoh rimba persilatan dari
golongan putih yang kerap datang ke Padepokan Pasir Batang. Nama Pendekar
Rajawali Sakti selalu disebut-sebut sebagai seorang pendekar muda yang sangat
tinggi ilmu kesaktiannya.
"Apakah benar dia Pendekar Rajawali Sakti?" Sawung Bulu bertanya tanya sendiri.
*** Di ruang pendopo utama Padepokan Pasir Batang, Ki Gandara tengah berbincangbincang dengan Sangkala.
Beberapa murid padepokan teriihat berjaga-jaga dengan senjata terhunus. Sudah
dua hari ini Ki Gandara memerintahkan murid-muridnya untuk selalu siaga di
sekitar padepokan.
"Kau tidak melihat Pendekar Rajawali Sakti hari ini, Sangkala?" tanya Ki
Gandara. "Tadi pagi saya masih melihatnya, tapi sampai sore begini tidak kelihatan lagi,"
sahut Sangkala.
"Bagaimana keadaan desa?"
"Belum ada kejadian apa-apa Tapi Ki Brajananta kelihatannya terus gelisah."
"Ya, aku sendiri juga gelisah," Ki Gandara mengakui terus terang.
"Ki...."
"Hm, ada apa?"
"Apa Pendekar Rajawali Sakti mampu menghadapi Raja Dewa Angkara?" tanya Sangkala
ragu-ragu nadanya.
Ki Gandara tidak segera menjawab. Matanya kosong menatap lurus ke depan, ke arah
puncak Gunung Balakambang. Memang terlalu riskan hanya mengandalkan nama besar Pendekar
Rajawali Sakti. Dia sendiri baru mendengar namanya saja. Belum melihat secara
langsung sepak terjangnya menghadapi tokoh tokoh sakti aliran hitam.
Memang semalam Pendekar Rajawali Sakti telah mem-buktikan dengan merobohkan tiga
orang dari Raja Dewa Angkara. Tetapi itu hanya kaki tangannya saja. Ki Gandara
sendiri mungkin juga mampu menghadapinya. Bahkan Sangkala juga masih bisa
menandingi. Jadi hal itu belum jadi jaminan Pendekar Rajawali Sakti mampu
mengalahkan Raja Dewa Angkara.
"Maaf, kalau kata kataku membuat gundah," kata Sangkala merasa tidak enak juga


Pendekar Rajawali Sakti 6 Prahara Gadis Tumbal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat Ki Gandara berubah murung.
"Tidak Kata-katamu ada benarnya juga. Kita memang tidak mungkin mengandalkan
sepenuhnya pada Pendekar Rajawali Sakti. Raja Dewa Angkara sulit diukur tingkat
kepandaiannya. Sepuluh tahun telah ditancapkan kukunya untuk menguasai seluruh
desa-desa di lereng Gunung Balakambang, tanpa ada seorang pun yang dapat
menghentikan perbuatannya."
Sangkala merayapi sekitamya. Tatapan matanya
langsung terpaku pada puncak Gunung Balakambang.
"Sudah banyak tokoh rimba persilatan dari golongan putih mencoba untuk membasmi
mereka, tapi sampai sekarang tidak ada yang berhasil. Bahkan mereka hanya
tinggal namanya saja," Ki Gandara kembali melanjutkan.
"Kau ingat perisbwa di Desa Kenanga, Sangkala?"
"Iya, Ki," sahut Sangkala pelan.
"Tidak kurang dari sepuluh tokoh sakti rimba persilatan membantu, tapi mereka
semua tewas di tangan Raja Dewa Angkara. Juga Pendekar Ruyung Emas, yang nyatanyata berada setingkat di atasku pun tewas."
Sangkala membisu. Memang sulit mengukur tingkat
kepandaian Raja Dewa Angkara. Dia bisa mengerti kenapa Ki Gandara sampai gundah
begini. Tentunya dia sudah menyadari kalau dirinya tidak mungkin bisa menandingi
kesaktian Raja Dewa Angkara.
Pada saat mereka terdiam, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan melengking dari
bagian Timur padepokan. Ki Gandara segera melompat seraya mengerahkan ilmu
meringankan tubuh. Dalam sekejap saja, dia sudah berada di luar pendopo.
Sangkala menyusul.
"Raja Dewa Angkara...," desis Ki Gandara ketika melihat murid-mundnya tengah
bertarung melawan sekitar sepuluh orang berpakaian serba hitam.
Dalam waktu yang singkat, murid-murid Padepokan
Pasir Batang sudah bertumbangan mandi darah. Melihat kenyataan ini, Sangkala
segera melompat sambil
mengempos tenaga dalamnya. Gerakannya ringan, sekejap saja dia telah terjun
dalam pertarungan. Sangkala tidak sungkan-sungkan lagi untuk mencabut pedangnya,
menerjang orang-orang Raja Dewa Angkara.
Begitu Sangkala masuk dalam arena, seorang dari
mereka segera menghadang. Sangkala terpaksa harus meng-hadapinya. Pedangnya
berkelebat cepat disertai pengerahan tenaga dalam. Sangkala memang ahli dalam
ilmu pedang. Lebih-lebih saat dikeluarkan jurus-jurus pedang andalannya.
Pedang perak yang menjadi kebanggaan seperti tak berujud lagi Yang nampak hanya
sinar keperakan
mengurung lawan
Trang! Trang! Beberapa kali pedang Sangkala berbenturan dengan tombak hitam lawannya, sehingga
dirasakan tangannya seperti kesemutan. Sangkala sadar kalau tenaga dalamnya
masih di bawah lawan Menyadari hal ini, dia berusaha untuk tidak sering-sering
berbenturan senjata.
Sementara itu korban dari pihak murid Padepokan
Pasir Batang sudah banyak Ki Brajananta pun kini tengah menghadapi dua lawan.
Sangkala tidak bisa lagi mengalihkan perhatiannya pada yang lain. Seranganserangan lawan terasa makin menghebat Bahkan sambaran-sambaran tombaknya terasa
panas menyengat kulit.
"Uts!" Sangkala memiringkan tubuhnya ke samping menghindari sodokan tombak
lawan. Ujung tombak itu lewat sejauh beberapa helai rambut di depan dada. Sungguh
dahsyat angin sambaran tombak itu. Sangkala sampai bergerak mundur dua tindak
terdorong angin sambaran tombak itu. Begitu keras dan panas anginnya
Trang! Sangkala terpaksa membabat ujung tombak yang
begitu cepat berbalik setelah serangan pertamanya gagal.
Lagi-lagi Sangkala terdorong mundur dua tindak ke belakang. Jari-jari tangannya
terasa kaku seketika. Hampir saja pedangnya terlepas dari genggaman.
"Setan!" dengus Sangkala ketika mengetahui mata pedangnya gompal.
Rasa terkejut Sangkala belum lagi hilang, mendadak ujung tombak lawan sudah
kembali mengarah ke dadanya.
Dia segera memiringkan tubuhnya, tapi terlambat.
Cras...! Tak terduga sama sekali orang itu memutar tombaknya dan berhasil melukai pundak
kiri Sangkala. Darah keluar dari pundak yang sobek cukup dalam dan lebar.
Sangkala meringis kesakitan, lalu dengan cepat melompat sejauh dua tombak lebih.
Jari-jari tangannya segera menotok beberapa jalan darah di pundaknya Seketika
itu juga darah berhenti mengalir.
"He... he... he... Pintu neraka sudah terbuka untukmu, sobat," orang itu
terkekeh pongah.
"Jangan besar kepala dulu, iblis!" dengus Sangkala geram. "Aku masih mampu
mencabut nyawamu!"
"Tikus sudah masuk jebakan masih juga bisa berlagak!"
"Terima Jurus 'Pedang Ekor Naga'ku," bentak Sangkala gusar.
Sehabis berkata demikian, dengan cepat Sangkala
melompat sambil berteriak nyaring. Pedangnya kembali berkelebat lebih cepat
Suara bersiutan terdengar dari setiap kelebatan pedangnya. Ujung pedang Sangkala
bagaikan ekor naga yang murka terusik ketenangannya. Di-kempos seluruh tenaga
dalamnya untuk menandingi
tenaga dalam lawan.
Namun semua serangan Sangkala yang dahsyat dan
mematikan, tidak membawa hasil sama sekali. Bahkan tiba-tiba saja kaki lawan
berhasil mendarat di dadanya.
Sangkala terjengkang ke belakang. Dadanya mendadak sesak, napasnya tersengal.
Matanya berkunang-kunang
"Mampus kau, hiyaaa..!" orang itu berteriak keras.
Sangkala yang dalam posisi sulit, tidak mampu lagi untuk mengelakkan ujung
tombak yang datang deras mengarah ke dadanya. Dia pasrah seandainya harus mati
di ujung tombak hitam itu. namun kebka ujung tombak hampir menyentuh kulitnya,
mendadak... Trang! Secercah sinar biru menyilaukan menghantam tombak hitam itu. Sangkala membeliak
kaget, ketika melihat tombak itu tiba-tiba terpotong jadi dua. Rasa kagetnya
belum lagi hilang sekonyong-konyong orang yang menjadi lawannya itu terjengkang
ke belakang beberapa batang tombak jauhnya.
Disusul dengan munculnya sebuah bayangan, disertai kilatan sinar biru
menyilaukan mata.
Cras! Tanpa mengeluarkan suara lagi, orang berpakaian
serba hitam itu ambruk dengan kepala terpisah dari badan.
Bayangan itu tidak berhenti. Dia berkelebat dengan kilatan-kilatan sinar biru
terarah pada orang-orang yang berpakaian serba hitam. Sungguh dahsyat, setiap
kibasan sinar biru itu berkelebat, segera satu orang lawan terjungkal mandi
darah. Mati. Ki Gandara cepat melompat mundur dari kancah pertarungan. dia sudah berhasil
merobohkan dua lawan.
Orang tua yang masih kelihatan gagah itu segera menghampiri Sangkala.
"Mundur!" teriak Ki Gandara keras.
Seketika itu juga murid-murid Padepokan Pasir Batang berlompatan mundur. Namun
beberapa di antaranya yang tidak sempat mundur, terjungkal tertembus tombak
hitam. Ki Gandara menahan geram melihat lebih dan separuh muridnya tewas
bergelimpangan.
Sementara itu bayangan yang selalu diikuti kelebatan sinar biru, tidak
menghiraukan tenakan Ki Gandara. Dia terus saja berkelebat mencari nyawa. Kini
orang-orang berpakaian serba hitam tinggal berjumlah lima orang saja.
Mereka mengurung rapat kelebatan bayangan itu. Tetapi bayangan itu masih belum
terlihat jelas juga. Seluruh tubuhnya seperti terselimut sinar biru yang
sesekali men-cuat menyambar lawan.
"Tinggalkan tempat ini, cepat!"
Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar. Seketika itu juga lima orang
berpakaian serba hitam itu mencelat kabur dari Padepokan Pasir Batang. Namun
salah seorang dari mereka harus menerima nasib. Dia rupanya terlambat kabur.
Sinar biru menyilaukan itu sangat cepat menghantamnya. Dan dengan satu teriakan
Wanita Iblis 10 Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal Lembah Nirmala 22

Cari Blog Ini