Ceritasilat Novel Online

Rahasia Puri Merah 1

Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG JUDUL Sumber: [sumber_ebook]
EBook: [pembuat]
Resume : Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Rahasia
Puri Merah "Siapa Kisanak ini?" tanya Rangga.
"Aku hanya pengembara yang kebetulan lewat,"
sahut Kandara Jaya menyembunyikan keadaannya.
"Kalian sendiri sedang apa di Bukit Arang Lawu
ini?" "Kami sedang mengejar orang-orang berkuda
yang telah menghancurkan desa seberang!" ujar
Pandan Wangi. "Kalian mengejar orang-orang berkuda itu...?"
"Iya, mengapa" Kelihatannya kau kaget sekali!"
selidik Pandan Wangi. Mulai curiga.
Nah,rahasia apakah yang disembunyikan
Kandara Jaya" Benarkah di puncak Bukit Arang
Lawu ini ada puri merah yang menyimpan banyak
misteri" Lalu, apa hubungannya dengan orangorang berkuda yang dikejar Pendekar Rajawali
Sakti dan si Kipas Maut"!
--myrna-- 1 Malam belum lagi beranjak larut. Angin
berhembus kencang menyebarkan titik-titik embun,
diiringi kabut tebal yang menyelimuti seluruh Bukit
Arang Lawu. Sang dewi malam mengintip dari balik
awan hitam pekat. Sinarnya begitu redup, seakanakan tak kuasa menerangi mayapada ini.
Beberapa kali kilat menyambar, membelah
angkasa, memekakkan telinga dan menyilaukan
mata. Malam ini alam di sekitar Bukit Arang Lawu
seakan-akan murka. Namun keadaan alam yang
tak ramah, tidak membuat puluhan orang yang
berada di lereng bukit itu menghentikan aksinya.
Dua kelompok manusia sedang bertarung
mempertaruhkan nyawa.
"Hajar, bunuh, seraaang...!"
Teriakan-teriakan
keras membangkitkan semangat menggema memecah keheningan
malam, berbaur menjadi satu dengan denting
senjata beradu diselingi jeritan-jeritan melengking.
Dan semuanya itu diiringi pula oleh tubuh-tubuh
yang bergelimpangan bersimbah darah. Titik-titik
air hujan pun mulai berjatuhan menambah
suramnya suasana malam ini.
Keadaan di sekitar lereng Bukit Arang Lawu
menjadi porak-poranda bagaikan diamuk ratusan
raksasa. Pohon-pohon besar kecil bertumbangan.
Batu-batuan hancur berantakan. Belum lagi mayatmayat manusia dan kuda saling tumpang tindih tak
tentu arah. Bau anyir darah menyebar menusuk
hidung. Tapi keadaan itu tidak mengendorkan
semangat dua kelompok yang sedang bertarung.
Mereka tidak lagi menghiraukan hujan yang
semakin deras tumpah dari langit.
"Mundur...!" tiba-tiba satu teriakan keras
terdengar menggelegar.
Tampak satu kelompok yang mengenakan
seragam bagai prajurit kerajaan bergerak mundur
sambil terus bertahan. Sedangkan satu kelompok
lagi yang kebanyakan mengenakan pakaian longgar
warna merah, terus menyerang.
"Mundur.... Mundur...!"
Kelompok yang mengenakan pakaian seragam
prajurit segera berlarian mundur menyelamatkan
diri. Sementara hujan semakin deras datangnya,
diikuti gelegar suara petir yang menyambar.
"Cukup!"
sebuah suara keras tiba-tiba membentak. Tampak salah seorang yang mengenakan jubah
merah longgar, mengangkat tangan tinggi-tinggi ke
atas. Tongkat berlekuk bagai ular tergenggam di
tangan kanannya. Wajah orang itu tidak terlihat,
karena terhalang jubah merah yang menutupi
seluruh kepala dan wajahnya.
"Ayo, kembali!" perintahnya.
Orang-orang yang sebagian berjubah merah dan
sebagian lagi berpakaian biasa seperti layaknya
orang persilatan, melangkah tergesa-gesa meninggalkan lereng Bukit Arang Lawu ini. Mereka
menuju ke puncak bukit yang gelap terselimut
kabut tebal menghitam.
Sementara itu kelompok lainnya yang semuanya
mengenakan seragam bagai prajurit, menuruni
lereng bukit. Mereka baru berhenti setelah tiba di
suatu dataran yang cukup luas. Pada dataran itu,
berdiri beberapa tenda berwarna putih. Satu tenda
yang paling besar berdiri di antara tenda-tenda lain
yang mengelilinginya.
Orang-orang yang selamat dari pertempuran itu
segera masuk ke dalam tenda, berlindung dari
curahan hujan yang semakin lebat. Tampak dua
orang laki-laki gagah memasuki tenda yang paling
besar. Di dalam tenda itu rupanya telah menunggu
seorang laki-laki muda mengenakan pakaian indah
dengan manik-manik dari emas dan perak murni.
Laki-laki muda itu berkulit kuning langsat.
Wajahnya bersih dan tampan bagai tak berdosa.
Sinar matanya bening dan lembut, namun
memancarkan cahaya kewibawaan seorang pemimpin. Dua orang laki-laki bertubuh tegap yang
basah kuyup itu, segera duduk bersila setelah
memberi hormat dengan merapatkan kedua
telapak tangannya ke depan hidung.
"Hamba menghadap, Gusti Pangeran Kandara
Jaya," ucap salah seorang seraya menyembah.
"Aku sudah tahu, Paman Lawawi Girang.
Memang tidak mudah memerangi orang-orang
yang sudah dirasuki iblis," pelan dan berwibawa
suara Pangeran Kandara Jaya.
"Maafkan hamba, Gusti Pangeran," ujar Lawawi
Girang. "Sudahlah, masih ada waktu untuk memulai
kembali. Hm..., ya. Bagaimana denganmu, Paman
Karpa-tala" Berapa orang prajuritmu yang gugur?"
"Kepastiannya belum hamba peroleh, Gusti. Tapi
hamba perkirakan sekitar lima belas orang.
Sedangkan, prajurit yang dipimpin Adi Barong Geti
seluruhnya tewas. Adi Barong Geti sendiri terluka
parah. Hanya itu yang dapat hamba laporkan
sekarang, Gusti Pangeran," kata Karpatala seraya
menghaturkan sembah.
"Ahhh...," Pangeran Kandara Jaya mendesah
panjang. Pandangannya kosong lurus ke depan.
Sudah tiga malam mereka berada di lereng Bukit
Arang Lawu ini. Untuk malam pertama
penyerangan ini, mereka menderita kekalahan
cukup besar. Hampir lima puluh prajurit tewas.
Belum lagi yang terluka parah maupun ringan,
sedang sisanya kini dalam keadaan letih. Pangeran
Kandara Jaya menarik napas beberapa kali.
Tugas yang diembannya kali ini memang cukup
berat Tapi semuanya diterima dengan hati lapang.
Dia tahu kalau yang akan dihadapi kali ini bukanlah
orang-orang atau prajurit biasa kerajaan lain. Tapi
orang-orang yang memiliki kesaktian cukup tinggi.
Dan lagi rata-rata mereka mempunyai ilmu olah
kanuragan yang tidak rendah. Untuk itulah
Pangeran Kandara Jaya perlu membawa dua
punggawa yang memiliki tingkat kepandaian yang
cukup tinggi pula.
"Sebaiknya Paman berdua istirahat. Aku akan
meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa," kata
Pangeran Kandara Jaya penuh wibawa.
"Hamba mohon diri, Gusti," kata Lawawi Girang
seraya beringsut mundur.
"Hm, silakan," Pangeran Kandara Jaya
mengangkat tangannya ke depan.
Dua orang punggawa itu keluar dari tenda besar
yang ditempati oleh Pangeran Kandara Jaya.
Pangeran yang baru berusia dua puluh lima tahun
itu tetap duduk bersila di tempatnya, dengan
telapak tangan berada di lutut. Kedua matanya
terpejam. Pangeran Kandara Jaya mencoba untuk
berhubungan dengan Sang Pencipta, untuk minta
petunjuk agar tugas yang berat ini dapat terlaksana
seperti yang dikehendaki oleh Ayahanda Prabu
Balaraga. Memang, beberapa tugas yang diberikan
ayahandanya bisa dijalankan dengan baik dan
memuaskan. Tapi tugas yang satu ini.... Pangeran
Kandara Jaya merasakan akan mendapat rintangan
yang sulit. Dari beberapa mata-mata yang disebar,
dilaporkan kalau gerombolan Puri Merah adalah
kelompok manusia iblis yang selalu membuat kacau
wilayah Kerajaan Mandaraka. Cara kerja mereka
benar-benar bagaikan iblis saja. Datang dan pergi
bagai bayangan, tapi selalu meninggalkan
kerusuhan dan bencana bagi rakyat. Kegiatan
gerombolan iblis ini sampai menjadi bahan
pembicaraan di kalangan istana. Prabu Balaraga
pun memerintahkan untuk menumpas gerombolan
yang meresahkan rakyat itu.
Itulah sebabnya mengapa Pangeran Kandara
Jaya berada di lereng Bukit Arang Lawu ini.
Memang menurut telik sandi yang disebar ke
pelosok negeri' Gerombolan Puri Merah bersarang
di puncak Bukit Arang Lawu.
--myrna-- Pagi-pagi sekali Pangeran Kandara Jaya sudah
keluar dari tenda. Dia berjalan pelan-pelan
mengelilingi tenda-tenda yang memenuhi sekitar
lereng Bukit Arang Lawu. Sisa-sisa air hujan
semalam masih menggenang di beberapa tempat
Rerumputan di sekitarnya juga belum kering. Kabut
masih cukup tebal menyelimuti sekitarnya.
Menghalangi sinar matahari yang mengintip dari
balik bukit. Dua orang prajurit bertombak mendampingi
sejak pangeran muda itu keluar dari tenda.
Pangeran Kandara Jaya berhenti melangkah ketika
melihat seorang laki-laki berdiri tegak memandang
ke arah puncak bukit yang terselimut kabut tebal.
Di pinggangnya tergantung sebilah pedang dengan
gagang dihiasi lima butir batu merah,
"Paman Lawawi Girang...," panggil Pangeran
Kandara Jaya. "Oh!" laki-laki yang ternyata memang Lawawi
Girang, cepat berbalik dan merapatkan tangannya
di depan dada. "Apa yang kau kerjalan di sini, Paman?" tanya
Pangeran Kandara Jaya seraya melangkah
mendekati. Dia kembali berhenti setelah jaraknya
tinggal tiga 10 langkah lagi di depan Lawawi
Girang. "Hamba sedang memikirkan cara untuk
mencapai puncak bukit itu, Gusti," sahut Lawawi
Girang. "Sudah kau temukan cara itu?"
"Belum."
"Yaaah, memang sulit mencapai tempat itu,"
desah Pangeran Kandara Jaya perlahan.
"Tapi hamba berniat akan pergi sendiri ke sana."
"Ah! Terlalu berbahaya, Paman Lawawi Girang.
Dengan seratus prajurit pun kita belum mampu
mencapai ke puncak! Apalagi hanya kau seorang
diri" Tidak, Paman! Jangan tempuh bahaya itu
sendiri!" "Menurut hamba, hanya itu cara satu-satunya
yang terbaik. Hamba akan menyelinap untuk
menyelidiki kekuatan mereka. Hanya itu, Gusti.
Memang tidak mungkin hamba sendirian yang akan
membereskan mereka. Tapi kita tidak akan mampu
menyelesaikan tugas ini, sementara kita masih buta
akan kekuatan mereka," Lawawi Girang mengemukakan alasannya.


Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi kau jangan pergi sendirian, Paman,"
Pangeran Kandara Jaya bisa menerima alasan yang
dikemu-kakan punggawanya ini.
"Kalau Gusti Pangeran tidak keberatan, hamba
akan mengajak Gusti Adi Kitri Boga."
Pangeran Kandara Jaya tidak segera menjawab.
Permintaan Lawawi Girang membuatnya berpikir
dua kali. Kitri Boga adalah punggawa muda yang
belum berpengalaman dalam pertempuran. Di
samping itu, Kitri Boga adalah juga putra kedua
Maha Patih Sangga Buana. Rasanya berat untuk
mengijinkan Kitri Boga menempuh perjalanan maut
itu. Memang Kitri Boga sudah mendapat restu
ayahnya untuk ikut serta dalam tugas berbahaya
ini. Tapi Pangeran Kandara Jaya masih meragukan
kemampuan pemuda yang baru berusia dua puluh
tahun itu. Lagi pula, keselamatan Kitri Boga di
tangannya Sedangkan dia sudah berjanji pada
Maha Patih Sangga Buana untuk menjaga
keselamatan putranya itu.
"Hamba tahu, Gusti tidak akan mengijinkan
Gusti Adi Kitri Boga. Tapi hamba yakin kalau putra
Maha Patih Sangga Buana itu punya kemampuan
yang patut diperhitungkan," kata Lawawi Girang
pelan suaranya.
"Paman Patih Sangga Buana memang seorang
yang digdaya dan berilmu tinggi. Tapi itu bukan
berarti putranya juga seperti ayahnya, Paman. Dia
belum pernah memasuki medan pertempuran. Dan
sebenarnya pula, aku berat menerimanya dalam
tugas ini," sergah Pangeran Kandara Jaya.
"Hamba mengerti, Gusti." "Apakah tidak ada
orang lain yang bisa mendampingimu?" Pangeran
Kandara Jaya memberikan pilihan lain.
"Rasanya tidak, Gusti," sahut Lawawi Girang
setelah berpikir agak lama.
Pangeran Kandara Jaya terdiam beberapa saat.
Hatinya masih terasa berat untuk mengijinkan Kitri
Boga ikut serta bersama Lawawi Girang menerobos
puncak Bukit Arang Lawu. Sebentar pangeran
muda itu memandang puncak bukit yang
berselimut kabut, lalu mendesah panjang dan
berat. Pandangannya beralih kembali pada Lawawi
Girang yang masih menunggu keputusan
junjungannya ini.
"Perlu kau ketahui, Paman Lawawi Girang. Aku
sudah berjanji pada Paman Maha Patih Sangga
Buana untuk menjaga keselamatan Kitri Boga.
Itulah sebabnya aku juga tidak mengijinkan ia ikut
bertempur semalam. Tapi dia kuberikan tugas lain
yang tidak mengundang bahaya besar," kata
Pangeran Kandara Jaya pelan namun terdengar
tegas penuh kewibawaan.
Lawawi Girang menundukkan kepala. Kelihatannya tengah berpikir keras, tapi entah apa
yang sedang dipikirkannya saat itu. Namun dari
sorot matanya, masih mengharap agar junjungannya ini memberi ijin Kitri Boga untuk ikut
serta ke puncak Bukit Arang Lawu.
"Aku akan mengijinkan Kitri Boga ikut
bersamamu, asal kau berjanji menjaga keselamatannya dengan nyawamu," lanjut Pangeran Kandara Jaya tegas.
"Hamba bersumpah, Gusti," sahut Lawawi
Girang berseri-seri.
"Baiklah. Kapan kau akan berangkat?"
"Jika Gusti mengijinkan, hamba akan berangkat
sekarang juga," sahut Lawawi Girang mantap.
"Ingat, Paman. Kau harus jaga keselamatan Kitri
Boga. Dan aku hanya memberimu waktu tiga hari.
Lebih dari itu, aku akan ke puncak Bukit Arang
Lawu seorang diri!" tegas sekali kata-kata
Pangeran Kandara Jaya.
"Hamba akan selalu ingat kata-kata Gusti,"
sahut Lawawi Girang.
"Pergilah, doaku bersamamu." "Hamba mohon
diri, Gusti," pamit Lawawi Girang.
Setelah memberi hormat, Lawawi Girang
melangkah menuju ke tenda. Pangeran Kandara
Jaya menarik napas panjang. Dia telah mengambil
keputusan yang sungguh berat. Keputusan yang
sebenarnya sangat bertentangan dengan hati
nuraninya sendiri. Pandangan pangeran muda ini
tertuju ke puncak Bukit Arang Lawu. Dia baru
menoleh ketika telinganya mendengar langkahlangkah kaki menghampiri.
Tampak Lawawi Girang bersama seorang
pemuda tampan berkulit putih berjalan menghampiri Pangeran Kandara Jaya. Pemuda
tampan itu menyandang pedang di punggungnya.
Bajunya ketat berwarna putih, sehingga memetakan tubuhnya yang kekar dan tegap. Kedua
orang itu langsung memberi hormat setelah sampai
di depan Pangeran Kandara Jaya.
"Berangkatlah kalian mengemban tugas suci
kera-jaan. Dalam waktu tiga hari kalian tidak
kembali, aku akan menyusul," kata Pangeran
Kandara Jaya. Lawawi Girang dan Kitri Boga kembali men.beri
hormat, kemudian segera berlalu. Pangeran
Kandara Jaya terus memandangi dua orang itu
yang mulai mendaki lereng Bukit Arang Lawu. Dia
baru membalikkan tubuhnya setelah punggung
Lawawi Girang dan Kitri Boga lenyap dari
pandangannya. Sebentar pangeran muda itu
menarik napas panjang, kemudian kakinya terayun
perlahan-lahan kembali menuju ke tendanya.
"Ah, kenapa hariku jadi tidak enak...?" bisik
Pangeran Kandara Jaya dalam hati.
Kepala Pangeran Kandara Jaya menggelenggeleng, mencoba membuang pikiran-pikiran buruk
yang tiba-tba menghantam benaknya. Belum
pernah dirasakan hal seperti ini dalam tugas-tugas
sebelumnya. Entah kenapa, tiba-tiba saja hatinya
jadi resah ridak menentu. Apakah ini suatu
pertanda akan terjadi sesuatu" Kembali Pangeran
Kandara Jaya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia tidak ingin memikirkan hal-hal yang
membuatnya jadi kecil hari dalam melaksanakan
tugas yang dibebankan Prabu Balaraga. Dia harus
bisa mengendalikan diri dan berpikiran tenang agar
dapat bertindak tepat dengan perhitungan yang
matang. --myrna-- Sementara itu perjalanan yang dilalui Lawawi
Girang dan Kitri Boga semakin sulit. Mereka harus
melewati jurang dan mendaki dinding batu terjal
yang sewaktu-waktu dapat longsor. Belum lagi
lebatnya hutan yang menghalangi perjalanan
mereka. Namun kedua orang itu tidak menyerah
begitu saja. Mereka terus berjalan tanpa mengenal
lelah, kini keringat telah membasahi pakaian,
meskipun udara di Bukit Arang Lawu sangat dingin
dan berselimut kabut.
Perjalanan mereka terhenti ketika di depan
membentang jurang yang lebar dan dalam. Begitu
dalamnya sehingga dasar jurang itu tidak tampak.
Hanya kabut tebal dan kegelapan yang terlihat di
dalam jurang itu. Mereka berdiri tegak di bibir
jurang. Sedangkan perjalanan yang mereka harus
lalui masih panjang.
"Kita tidak mungkin melompati jurang ini,
Paman," kata Kitri Boga.
Lawawi Girang hanya mendesah saja. Memang
tidak mungkin mereka melompati jurang yang
begitu lebar. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
tidak akan sanggup menyeberangi jurang itu hanya
dengan sekali lompatan saja. Perlu satu penyangga
untuk dapat melentingkan tubuh agar mencapai
seberang. Sedangkan di tengah-tengah jurang itu
kosong. Tidak ada satu tumbuhan pun yang bisa
dijadikan pijakan.
"Kalau mereka bisa menyeberangi jurang ini,
tentu ada sarana yang bisa digunakan," kata Kitri
Boga setengah bergumam.
"Ah! Benar, benar!" Lawawi Girang tersentak
bagai diingatkan "Pasti ada sesuatu yang bisa
dijadikan alat untuk menyeberangi jurang ini."
"Mungkin mereka menggunakan tambang," kata
Kitri Boga menduga-duga.
"Mungkin juga," gumam Lawawi Girang. "Atau
sebuah tonggak yang terpancang di tengahtengah." "Kalau begitu, kita harus menyusuri bibir jurang
ini, Paman."
"Bisa makan waktu lama, Gusti. Sedangkan
waktu yang diberikan Gusti Kandara Jaya hanya
tiga hari."
"Kita berpencar, dan bertemu lagi di sini," usul Kitri Boga.
"Jangan! Sebaiknya bersama-sama saja," bantah
Lawawi Girang. "Kenapa" Bukankah itu berarti membuangbuang waktu?"
Lawawi Girang tidak menjawab. Tidak mungkin
ia membiarkan Kitri Boga seorang diri di daerah
yang berbahaya ini. Dia sudah bersumpah untuk
menjaga keselamatan pemuda ini dengan
nyawanya. Lawawi Girang mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Otaknya berputar
keras mencari jalan agar bisa menyeberangi jurang
ini tanpa meninggalkan Kitri Boga setapak pun.
"Paman...."
"Sebentar, Gusti," potong Lawawi Girang cepat
Lawawi Girang tiba-tiba melompat ke atas
pohon. Tangannya menjambret beberapa sulur
yang menjuntai dari pohon-pohon besar di sekitar
tepi jurang ini. Dia kembali lagi membawa
beberapa sulur yang cukup panjang dan kuat
"Dengan sulur ini, kita bisa menyeberangi
jurang," kata Lawawi Girang.
Kitri Boga mengerutkan keningnya.
"Kurasa, dua puluh sulur cukup untuk mencapai
seberang,"
lanjut Lawawi Girang seraya menyambung ujung-ujung sulur.
Kitri Boga hanya memperhatikan saja. Lawawi
Girang menyambung lebih dari dua puluh sulur
yang panjang-panjang. Sulur-sulur itu memang
kelihatan kuat, dan cukup untuk sampai ke
seberang sana. Lawawi Girang mengikatkan satu ujung sulur
pada sebatang pohon yang ada di tepi jurang.
Kemudian ujung satunya lagi diikatkan pada
pergelangan tangan kirinya. Lawawi Girang
mengambil sepotong kulit kayu yang cukup besar
ukurannya, lalu berdiri tegak di bibir jurang.
"Apa yang akan Paman lakukan?" tanya Kitri
Boga. "Aku akan melompati jurang ini," sahut Lawawi
Girang. "Gila! Jurang ini sangat lebar! Kau tidak akan
mampu sampai ke seberang!" sentak Kitri Boga
terkejut. "Memang. Tapi dengan kulit kayu ini, aku bisa
sampai ke seberang sana," tenang sekali Lawawi Gi
rang menyahut "Jangan berbuat nekad, Paman. Bagaimana
kalau -dua lompatan tidak cukup?"
"Gusti bisa menyentakkan sulur ini kuat-kuat,
sehingga aku bisa tertarik kembali ke sini dengan
meminjam tenaga sentakan Gusti," sahut Lawawi


Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Girang. Kitri Boga mulai mengerti jalan pikiran Lawawi
Girang. Kemudian diambilnya dua potong kulit
kayu. Lawawi Girang memandanginya dengan
kening agak berkerut.
"Untuk apa kulit-kulit kayu itu?" tanya Lawawi
Girang. "Untuk berjaga-jaga," jawab Kitri Boga. "Kalau gagal, daripada harus kembali,
lebih baik kulemparkan kulit kayu ini ke bawah kakimu. Dan
kulit kayu ini bisa kau jadikan tumpuan untuk
menambah tenaga dorongan! Bagaimana?"
"Bagus!" puji Lawawi Girang tersenyum.
Sementara Lawawi Girang mengambil ancangancang, kemudian melompat tinggi berputaran di
udara menyeberangi jurang besar yang menganga
lebar. Belum lagi sampai di tengah-tengah, tubuh
Lawawi Girang meluncur turun. Cepat-cepat
dilepaskan kulit kayu yang ada di tangannya, dan
dengan ujung kaki dijejaknya kulit kayu itu.
Kembali tubuhnya melenting ke udara, berputaran
beberapa kali. Tepat dugaan Kitri Boga, Lawawi Girang kembali
menukik turun sebelum mencapai tepi seberang
jurang. Secepat kilat Kitri Boga melemparkan kulit
kayu ke arah kaki Lawawi Girang. Dengan tangkas
punggawa itu menotok kulit kayu yang berada di
bawah kakinya. Kembali tubuhnya melenting ke
udara, lalu hinggap tepat di bibir jurang.
Kitri Boga mengacungkan ibu jarinya tinggitinggi. Kemudian dia melompat, dan berlarian di
atas sulur yang sudah terentang dipegangi Lawawi
Girang. Indah sekali Kitri Boga berlari di atas sulur
yang membentang menyeberangi jurang itu.
Pemuda itu lalu melenting indah menjejakkan
kakinya di samping Lawawi Girang. Punggawa itu
kemudian mengikatkan ujung sulur yang dipegangnya pada pohon. Sungguh dikaguminya
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Kitri Boga.
"Ayo kita lanjutkan lagi, Paman," ajak Kitri Boga.
"Mari, Gusti," sahut Lawawi Girang.
"Ke arah mana kita sekarang?" tanya Kitri Boga.
"Puncak bukit ada di sebelah Timur. Sebaiknya
kita ke arah Timur," sahut Lawawi Girang.
"Ayo, sebentar lagi malam. Kita harus mencapai
puncak itu sebelum gelap."
"Mustahil, Gusti. Paling tidak, besok pagi baru
bisa mencapai puncak itu."
"Kita gunakan ilmu lari cepat, Paman. Aku rasa
perjalanan ke arah Timur tidak terlalu sulit lagi."
'Tapi kita harus waspada. Aku yakin mereka
memasang jebakan di sekitar puncak bukit ini."
"Baiklah, tapi kita harus cepat!"
"Mari, Gusti."
Dua orang itu segera bergerak menuju ke
puncak Bukit Arang Lawu. Lawawi Girang terpaksa
mengimbangi Kitri Boga yang menggunakan ilmu
lari cepat. Sebenarnya dia tidak setuju, tapi
terpaksa harus diikutinya juga. Lawawi Girang
selalu berada di samping pemuda ini. Sedikit pun
dia tidak mau mendahului atau tertinggal.
Keselamatan pemuda ini lebih penting dari
nyawanya sendiri.
--myrna-- 2 Tidak jauh dari Bukit Arang Lawu, tampak
serombongan orang berkuda berpacu cepat
menuju ke sebuah desa di dekat kaki Bukit Arang
Lawu sebelah Barat Tidak kurang dari lima puluh
ekor kuda dipacu oleh orang-orang yang
mengenakan jubah merah.
Suara derap kaki kuda dengan teriakan-teriakan
riuh berbaur menjadi satu. Tampak penduduk desa
itu berlarian ketakutan menyelamatkan diri
bersama barang-barang yang bisa diselamatkan.
Rombongan berkuda itu semakin dekat, dan mulai
memasuki desa. Orang-orang berjubah merah yang
semuanya memegang senjata terhunus, langsung
rnemporak-poran-dakan seluruh isi desa itu.
Tidak peduli orang tua, perempuan atau anakanak, semuanya mereka bantai tanpa belas
kasihan. Jerit dan pekik kematian terdengar
membahana saling sambut. Ditambah lagi dengan
sorak-sorai dan teriakan-teriakan
perintah menggelegar. "Bakar! Habiskan, jangan sampai ada yang
tersisa...!"
Beberapa penunggang kuda berjubah merah
mulai melempar obor ke atap-atap rumah. Api
cepat berkobar besar melahap rumah-rumah
penduduk desa yang rata-rata terbuat dari papan
dan bilik bambu.
Suasana hiruk pikuk semakin tak terkendalikan
lagi. Beberapa penduduk yang bernyali besar,
mengadakan perlawanan dengan senjata seadanya. Namun mereka hanya membuang nyawa
percuma. Orang-orang berjubah merah itu sangat
kejam dan ganas. Siapa saja yang berani
mendekat, pasti ambruk bersimbah darah.
Sudah tak terhitung lagi, berapa mayat
bergelimpangan berlumuran darah. Dalam waktu
singkat saja, puluhan rumah dan ratusan penduduk
mati terbunuh." Api semakin besar, merambat ke
rumah-rumah lain yang berdekatan. Kerusuhan itu
terus berlangsung, seakan tak akan tertanggulangi
lagi. Setelah puas, orang-orang berjubah merah itu
kembali memacu kudanya meninggalkan desa yang
sudah porak-poranda. Beberapa di antaranya telah
membawa paksa wanita-wanita muda. Belum lagi
barang-barang berharga yang berhasil mereka
rampas dari rumah-rumah penduduk.
Kerusuhan itu begitu cepat berlalu. Suasana di
desa kini tenang kembali, walau keadaannya
sungguh menyedihkan. Tidak satu rumah pun yang
masih utuh. Semuanya rusak berantakan. Bahkan
tidak sedikit yang hangus jadi arang. Api masih
saja berkobar melahap apa saja yang bisa terbakar.
Mayat-mayat bergelimpangan di setiap tempat.
Tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi di desa yang
naas itu. Menjelang senja, keadaan di desa sebelah Barat
kaki Bukit Arang Lawu itu masih tetap sunyi sepi.
Sementara rumah-rumah yang terbakar tinggal
puingpuing mengepulkan asap tipis. Binatangbinatang buas yang mencium anyir darah, mulai
keluar hutan. Tidak lama lagi desa yang porak
poranda itu akan menjadi tempat pesta binatangbinatang buas. Namun sebelum binatang-binatang liar itu
menyerbu desa, tampak dua orang berjalan tenang
ke arah desa itu. Mereka masih muda. Yang satu
laki-laki, dan satunya lagi wanita berparas cantik
dengan baju ketat warna biru membentuk tubuh
yang indah dan ramping.
Dilihat dari pakaian dan wajahnya, mereka
adalah Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti dan
Pandan Wangi atau Kipas Maut. Kedua pendekar
muda itu tetap berjalan tenang menuju ke desa
yang sudah berantakan tak berujud lagi. Langkah
mereka seketika terhenti saat menyaksikan
pemandangan mengenaskan di depannya. Mulut
mereka sempat ternganga menyaksikan mayatmayat bergelimpangan, dan rumah-rumah terbakar
hangus. "Biadab! Setan mana yang melakukan semua
ini?" rutuk Rangga menggeram.
"Kita lihat, Kakang. Barangkali masih ada yang
hidup,*' ajak Pandan Wangi.
Mereka kembali melangkah tergesa-gesa.
Rangga beberapa kali mengumpat, menghadapi
mayat-mayat bergelimpangan di setiap tempat.
Hampir tidak dipercaya akan pemandangan yang
disaksikannya ini. Tidak seorang pun yang hidup.
Semuanya mati dengan luka yang mengerikan.
"Aku tidak percaya, apabila manusia waras yang
melakukan semua ini!" dengus Rangga sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak seorang pun yang masih hidup," gumam
Pandan Wangi. "Benar-benar biadab! Keji!" "Ada banyak tapak kaki kuda, Kakang," kata Pandan
Wangi sambil jongkok. Rangga meneliti jejak-jejak tapak kaki kuda
yang berbaur dengan tapak-tapak kaki manusia.
Begitu banyak, sehingga sulit untuk ditentukan
jumlah kuda yang tapak kakinya membekas di
tanah. Kedua pendekar itu mengikuti jejak-jejak
kaki kuda yang tertera jelas. Sepanjang jejak itir,
selalu dijumpai mayat yang keadaan tubuhnya
terluka. Rangga mendengus kesal, karena tapak-tapak
kaki kuda itu ada di setiap pelosok desa. Bahkan
sampai ke pinggiran desa pun, tapak kaki kuda
masih terlihat jelas begitu banyak. Tanpa disadari
dia terpisah dari Pandan Wangi. Rangga terus
menyusuri bekas tapak kaki kuda di tanah, sambil
mengamari setiap tubuh yang tergolek Kalau-kalau
masih ada yang hidup.
"Kakang...!" tiba-tiba terdengar suara Pandan
Wangi memanggil.
"Ada apa, Pandan?" teriak Rangga. "Cepat, ke sini!"
Rangga langsung melompat menuju ke arah
suara tadi. Hanya dengan beberapa kali lompatan
saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada di
samping Pandan Wangi. Tampak gadis itu tengah
jongkok meneliti tanah.
"Ada apa?" tanya Rangga.
"Jejak kaki kuda itu menuju ke arah hutan,"
sahut Pandan Wangi sambil berdiri.
Rangga menyusuri pandangannya mengikuti
jejak tapak kaki kuda yang terus menuju ke luar
desa ini. Jejak-jejak itu memang menuju ke hutan
lebat yang membatasi desa. ini dengan Bukit Arang
Lawu. Tapi jejak itu banyaknya bukan main. Sulit
bagi Rangga untuk menentukan berapa banyak
orang berkuda yang telah membumihanguskan
desa ini. Bau anyir darah makin menyengat hidung.
Beberapa ekor anjing hutan mulai berdatangan.
Suaranya ribut sekali berebutan daging manusia
yang bergelimpangan tak terurus. Pandan Wangi
segera menggamit tangan Rangga, dan mengajaknya meninggalkan desa itu. Dia tidak
tahan melihat tubuh-tubuh bergelimpangan menjadi santapan anjing-anjing liar yang rakus
kelaparan. Kedua pendekar muda itu berjalan
mengikuti jejak-jejak kaki kuda yang tertera jelas di
tanah dan rerumputan.
Sementara senja terus merayap turun. Matahari
hanya mengintip genit di ufuk Barat. Sinarnya yang
kemerahan membias lembut menyambut datangnya kabut. Rangga dan Pandan Wangi terus
melangkah semakin dalam masuk hutan, menuju
lereng Bukit Arang Lawu. Mereka tidak peduli lagi
dengan binatang-binatang liar yang tengah
berpesta pora menikmati santapan berlimpah ruah.
--myrna-- Awan hitam datang bergulung-gulung
menyelimuti mayapada. Angin berhembus kencang
mengeluarkan suara menderu-deru, menggoyahkan pepohonan di sekitar lereng Bukit
Arang Lawu. Kilat mulai menyambar disertai suara
guruh memekakkan telinga. Rangga menghentikan
langkahnya ketika merasakan titik-titik air hujan


Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulai jatuh ke bumi satu-satu.
Kepala Pendekar Rajawali Sakti itu menengadah
ke atas. Kilat kembali menyambar, menerangi alam
yang gelap gulita dalam sekejap mata saja. Titiktitik air hujan yang jatuh mulai sering menimpa
bumi. j Rangga mementang matanya menentang
kegelapan i malam. Kepalanya menoleh ke kanan
dan ke kiri. I Kemudian ditariknya tangan Pandan
Wangi ketika melihat sebuah goa batu pada saat
kilat kembali memercik.
Tepat ketika dua pendekar muda itu masuk ke
dalam goa yang kecil dan sempit, hujan deras
turun bagai ditumpahkan dari langit. Rangga
menarik tangan Pandan Wangi Agar lebih dalam
masuk goa. Angin yang berhembus kencang
membawa masuk air hujan ke dalam goa. Mereka
baru berhenti setelah tidak lagi terkena air hujan
yang terbawa angin kencang.
"Kau punya pemantik api, Pandan?" tanya
Rangga. "Ada, nih," sahut Pandan Wangi sambil
menyerahkan batu pemantik api.
Rangga menerima batu pemantik api itu,
kemudian tangannya meraba-raba tanah di
sekitarnya. Ditemukannya beberapa ranting kering
yang kemudian dikumpulkan jadi satu. Dengan
pemantik itu Rangga menyalakan api pada rantingranting kering. Goa yang gelap gulita itu kini
menjadi terang benderang. Rangga mengumpulkan
ranting kering yang rupanya banyak terserak di
lantai goa ini. Pandan Wangi sudah duduk
memeluk lutut di dekat api. Sesekali ditambahkan
ranting ke dalam api.
"Dingin...?" tanya Rangga seraya menempatkan
diri di depan Pandan Wangi. Hanya api unggun
yang membatasi mereka.
"He-eh," sahut Pandan Wangi sedikit menggigil.
"Bajumu basah, buka saja biar kering," kata
Rangga "Apa..."!" Pandan Wangi mendelik.
"Maaf, aku lupa kalau kau...," Rangga nyengir.
"Huh! Nggak lucu!" rungut Pandan Wangi. Tapi
di bibirnya terlintas senyum kecil, hampir tidak
terlihat. Rangga menggeser duduknya mendekati gadis
itu. Dia menambahkan ranting ke atas api. Percikan
bunga api saat melahap ranting menarik perhatian
Pandan Wangi. Dia tidak peduli dengan Rangga
yang kini telah dekat di sampingnya. Pandan Wangi
menggores-goreskan sebatang ranting ke lantai
goa yang sedikit lembab.
"Sudah berapa lama ya, kita bersama-sama?"
gumam Rangga seolah bertanya pada dirinya
sendiri. "Entahlah, aku tidak pernah menghitung," sahut
Pandan Wangi mendesah.
"Kadang-kadang aku suka berpikir...," Rangga
tidak meneruskan kata-katanya. Pandangannya
lurus menatap wajah cantik di sampingnya.
Pandan Wangi menolehkan kepalanya. Sesaat
pandangin mereka bertemu pada satu titik. Gadis
itu segera memalingkan pandangannya ke arah
lain. Mendadak rasa jantungnya berdetak kencang
tak beraturan. Sungguh mati, baru kali ini dia
merasa seperti ini. Entah sudah berapa lama selalu
bersama-sama pemuda ini, tapi baru kali ini ada
perasaan lain di dalam hatinya. Sesuatu yang sulit
untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Pandan Wangi merasa rikuh dan serba salah
dipandangi terus menerus. Duduknya juga jadi
gelisah. Belum pernah dirasakan kegelisahan yang
mengganggu sedemikian rupa. Sering mereka
dalam goa, juga bukan sekali dua kali berada
dalam satu kamar penginapan. Namun belum
pernah Pandan Wangi punya perasaan seperti
sekarang ini. "Kenapa memandangku terus?" tegur Pandan
Wangi agak ketus juga.
"Ah, tidak... tidak apa-apa," sahut Rangga
gugup. Buru-buru Rangga membuang segala
macam pikiran yang merasuk hatinya. Pandan
Wangi sudah dianggapiya sebagai saudaranya
sendiri. Dia sudah berkata dalam hatirya kalau
gadis ini adalah adiknya. Bukan siapa-siapa, dan
tidak lebih dari adik! Rangga membuang jauh-jauh
pikiran aneh dan perasaan asing yang melintas
dihati dan benaknya. Dia tidak ingin hanyut daam
perasaan hatinya.
"Aku rasa tempat ini cukup nyaman untuk
bermalam," kata Rangga mencoba untuk
mengalihkan pembicarain.
"Ya, asal tidak ada binatang menjijikkan saja,"
sahut Pandan Wangi.
"Kalau ada ular, atau ca...."
"Jangan macam-macam, ah!" sergah Pandan
Wangi sambil cemberut. Dia paling jijik dengan
binatang-binatang yang baru saja disebutkan
Rangga. Meskipun seorang pendekar, tapi
nalurinya sebagai wanita tidak hilang begitu saja.
"Ha ha ha...!" Rangga tertawa terbahak-bahak.
Pandan Wangi mendelik, tapi tersenyum juga
mendengar suara tawa Rangga. Selama bersama
pemuda ini, baru kali ini ia mendengar Rangga
tertawa begitu lepas. Suara tawanya sangat merdu
di telinga Pandan Wangi. Tidak mudah bagi Rangga
untuk tertawa selepas tadi. Kehidupannya selalu
dipenuhi dengan kekerasan, sehingga membuatnya
sulit tertawa. Dan Pandan Wangi senang
mendengar tawa yang sebentar namun begitu
lepas tergerai.
"Aaah...! Ngantuk, tidur ah," Pandan Wangi
menguap menutupi mulutnya.
"Tidurlah sana. Biar aku yang jaga," kata
Rangga. "Nanti gantian, ya?"
"Iya!"
Pandan Wangi mengambil tempat yang.
nyaman, dan merebahkan tubuhnya dengan
tangan menekuk menopang kepala. Meskipun
sudah merebahkan diri, namun matanya belum
juga terpejam. Malah ditatapnya terus pemuda
tampan yang masih duduk membelakanginya.
Mungkin saat itu mereka tengah berbicara satu
sama lain dalam hati. Entah apa yang tengah
dibisikkan di hari mereka. Yang jelas, Rangga
maupun Pandan Wangi tidak tenang. Rasa kantuk
pun hilang. Beberapa kali mereka saling melirik,
tapi tidak pernah bertemu pandang. Sementara di
luar goa, hujan terus turun deras. Seakan-akan
hujan tidak akan berhenti sepanjang malam ini.
Malam pun terus merayap semakin larut, dan
kesunyian makin menyelimuti sekitarnya. Dua
manusia di dalam goa tetap berdiam diri, sibuk
dengan pikirannya masing-masing.
--myrna-- Saat itu, di bagian lain lereng Bukit Arang Lawu,
Pangeran Kandara Jaya duduk termenung di dalam
tenda yang besar dan indah. Sudah dua hari
Lawawi Girang dan Kitri Boga belum juga kembali
dari penyelidikannya atas gerombolan Puri Merah
yang bermarkas di puncak Bukit Arang Lawu.
Pangeran Kandara Jaya semakin gelisah, karena
tidak ada kabar sedikit pun tentang Lawawi Girang
dan Kitri Boga. Lima orang telik sandi sudah dikirim
untuk mencari kabar, dan semuanya kembali
dengan membawa laporan yang sama. Nihil.
Lima orang telik sandi yang dikirim itu tidak bisa
melanjutkan perjalanan ke puncak, karena
dihadang jurang yang lebar dan dalam. Mereka
tidak mungkin menyeberangi jurang itu, karena
tidak ada jembatan sama sekali. Memang mereka
menemui sulur-sulur yang disambung-sambung
terikat di pohon, tapi sulursulur itu putus di tengahtengah. "Mungkinkah Paman Lawawi Girang dan Adi Kitri
Boga terjerumus ke dalam jurang?" gumam
Pangeran Kandara Jaya seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
"Mungkin juga mereka berhasil menyeberangi
jurang itu, Gusti," celetuk Karpatala dengan bersila
agak ke samping di depan pangeran muda itu.
"Kalau mereka berhasil menyeberang, lalu
mengapa sulur itu putus?"
Karpatala tidak dapat menjawab. Memang sulit
untuk menjawab pertanyaan Pangeran Kandara
Jaya tadi. Satu-satunya alat untuk menyeberangi
jurang itu hanya sulur yang disambung-sambung.
Tapi kenyataannya sekarang, sulur itu putus di
tengah-tengah. Rasanya mustahil jika Lawawi
Girang dan Kitri Boga bisa selamat sampai ke
seberang. Dan kalau pun sampai, tentu mereka
sulit untuk kembali lagi ke sini.
"Kalau sampai besok pagi mereka belum
muncul, kuperintahkan agar tenda segera
dibongkar dan kembali pulang ke kerajaan," kata
Pangeran Kandara Jaya. "Gusti...!" Karpatala
tersentak kaget. "Tidak ada gunanya menunggu
lama di sini, sementara perbekalan menipis.
Beberapa kali kita mencoba untuk mencapai
puncak, tapi baru sampai lerengnya saja, kita
sudah dipukul mundur. Paman Karpatala, aku tidak
akan malu mengakui kekalahan pada Ayahanda
Prabu. Mereka memang tangguh dan kuat," kata
Pangeran Kandara Jaya tegas.
"Ampun. Gusti. Boleh hamba mengajukan
permohonan?" Karpatala merapatkan tangannya di
depan hidung, memberi hormat
"Silakan," sahut Pangeran Kandara Jaya.
"Menurut hamba, tempat ini jangan dikosongkan
sama sekali. Hamba akan tetap berada di sini
bersama beberapa prajurit, menunggu kalau-kalau
Kakang Lawawi Girang dan Gusti Kitri Boga
kembali," kata Kar-patala penuh hormat.
"Lalu, siapa yang akan memimpin prajurit
pulang?" "Gusti sendiri. Bukankah Gusti Pangeran juga
akan kembali pulang?" "Tidak!"
Karpatala tersentak kaget mendengar jawaban
tegas junjungannya. Dia tidak mengerti maksud
Pangeran Kandara Jaya, memerintahkan untuk
kembali pulang, dan sekarang....
"Aku tidak akan kembali ke istana jika tidak
bersama Kitri Boga!" kata Pangeran Kandara Jaya
tegas. "Maksud Gusti?" tanya Karpatala tidak mengerti.
"Kuperintahkan kau memimpin prajurit kembali
ke istana besok pagi, dan aku sendiri yang akan ke
puncak Bukit Arang Lawu."
"Ah...! Jangan, Gusti. Terlalu berbahaya pergi
seorang diri ke sana. Lima ratus prajurit pun belum
tentu mampu mencapai puncak, apalagi hanya
seorang diri" Jangan, Gusti. Hamba mohon, jangan
pergi ke sana seorang diri."
"Sudah kusiapkan surat untuk Ayahanda Prabu,
dan kau yang kupercayakan menyerahkan surat ini.
Aku tidak ingin surat ini sampai bukan melalui
tangan-32 mu sendiri, Paman."
Kandara Jaya menyerahkan surat yang
tergulung di dalam longsong perak. Dengan tangan
bergetar, Karpatala menerima surat itu. Percuma
saja merengek dan mencairkan hati junjungannya
ini. Pangeran Kandara Jaya tetap pada
pendiriannya. Sekali bilang hitam, untuk selamanya
tetap hitam. Itulah watak Pangeran Kandara Jaya.
"Surat itu bercap cincin pusakaku. Di situ tertulis
namamu sebagai pengantar, dan hukuman yang
akan kau terima bila surat itu diantar bukan lewat
tanganmu!" sambung Pangeran Kandara Jaya.
"Hamba laksanakan, Gusti," sahut Karpatala
bergetar suaranya.
"Pergilah,
dan bersiap-siaplah
untuk membongkar tenda besok!"
"Hamba mohon undur diri, Gusti," pamit
Karpatala. "Hm...!"
Karpatala bangkit berdiri, kemudian memberi
hormat sebelum keluar dari tenda besar tempat
beristirahat Pangeran Kandara Jaya. Sepeninggal
punggawa setianya itu, Kandara Jaya tetap duduk
di tempatnya. Dia masih memikirkan tentang
keselamatan Kitri Boga yang seharusnya jadi
tanggung jawabnya. Kembali teringat akan janjinya
pada Maha Patih Sangga Buana untuk menjaga
keselamatan putranya yang kini tidak tentu
nasibnya bersama Lawawi Girang.
Kandara Jaya sangat menyesali keputusannya
yang ceroboh, mengijinkan Punggawa Lawawi


Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Girang membawa serta Kitri Boga. Padahal
keselamatan Kitri Boga berada di tangannya. Apa
pun yang akan terjadi dia harus pergi ke puncak
Bukit Arang Lawu itu. Seandainya hanya
menemukan mayat Kitri Boga, itu pun sudah cukup
baginya. Kandara Jaya tidak begitu berharap Kitri
Boga dan Lawawi Girang masih hidup sekarang ini.
Dia sadar, betapa berbahayanya mendaki puncak
Bukit Arang Lawu
"Ah, Dewata Yang Agung....," desah Kandara
Jaya lirih. --myrna-- 3 Pagi-pagi sekali prajurit Kerajaan Mandaraka
berangkat meninggalkan lereng Bukit Arang Lawu.
Kepergian mereka dipimpin Punggawa Karpatala
dengan diiringi pandangan mata Pangeran Kandara
Jaya. Sebenarnya, Karpatala berat meninggalkan
Pangeran Kandara Jaya seorang diri di bukit yang
penuh bahaya ini. Tapi, kata-kata dan tekad
pangeran muda itu sulit untuk dibelokkan lagi.
Prajurit yang jumlahnya sudah berkurang itu
berjalan cepat menuruni lereng bukit, kembali ke
Kerajaan Mandaraka. Pemuda pewaris tahta
kerajaan itu berdiri tegak dengan tangan
memegang ujung gagang pedang yang tergantung
di pinggang, memandangi kepergian prajuritnya.
"Aku harus segera ke puncak bukit itu," gumam
Kandara Jaya perlahan.
Kandara Jaya segera mengayunkan kakinya
cepat-cepat mendaki lereng menuju puncak.
Pangeran muda itu berjalan dengan menggunakan
ilmu meringankan tubuh. Begitu ringan kakinya
bergerak, sehingga seperti tidak menyentuh tanah
sama sekali. Kandara Jaya terus melangkah
merambah hutan dan tebing batu terjal. Kadangkadang harus melompati sungai dan jurang kecil
yang menghadang.
Langkahnya mendadak terhenti ketika telinganya yang tajam mendengar suara langkah
orang lain dari arah samping. Kandara Jaya segera
melompat ke atas batu besar, dan berlindung di
baliknya. Telinganya bergerak-gerak mendengarkan suara langkah kaki yang makin jelas
dan dekat. Suara langkah kaki tanpa disertai
dengan pengerahan ilmu meringankan rubuh, tentu
saja sangat mudah untuk didengarkan.
Tidak lama kemudian, dari balik lebatnya
pepohonan muncul dua orang laki-laki dan
perempuan. Mereka adalah Rangga dan Pandan
Wangi. Kedua pendekar muda itu berjalan santai
sambil bercakap-cakap. Tidak ada yang penting
dalam percakapan mereka, bahkan tidak jarang
diselingi canda dan tawa yang lepas bergerai.
"Pandan...," bisik Rangga tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Pandan Wangi ikut berhenti
melangkah. "Aku merasakan tarikan napas halus di sekitar
sini," kata Rangga pelan setelah berbisik.
Pandan Wangi memiringkan kepalanya sedikit.
Dicobanya untuk mendengarkan suara tarikan
napas halus yang dikatakan Rangga tadi. Tapi,
meskipun sudah mengerahkan ilmu pembeda gerak
dan suara, tetap saja iidak mendengar suara apaapa kecuali hembusan angin dan suara detak
jantungnya sendiri.
"Kau mendengarnya, Pandan?" tanya Rangga.
"Tidak," sahut Pandan Wangi.
"Hanya satu, tapi kurasa dia memiliki ilmu yang
sangat tinggi. Tarikan riapasnya begitu halus,
hampir aku tidak mendengarnya," gumam Rangga
pelan sekali. "Apa itu bukan tarikan napasmu sendiri,
Kakang?" Pandan Wangi tidak yakin, karena tidak
mendengar apa-apa.
"Aku bisa membedakan antara diriku, kau, dan
orang lain. Hati-hatilah, orang itu sangat tinggi
ilmunya." Rangga melangkah tiga tindak ke depan.
Kepalanya dimiringkan ke kanan dan ke kiri
perlahan-lahan. Ilmu pembeda gerak dan suara
yang dimilikinya sudah mencapai tahap kesempurnaan. Baginya, suara sehalus apa pun
sangat mudah ditangkapnya. Jadi, tidak heran
kalau dia mampu mendengar sesuatu yang tidak
dapat didengar orang lain, meskipun juga memiliki
ilmu pembeda gerak dan suara.
"Kisanak, aku tidak bermaksud buruk padamu.
Dan aku juga tidak mengganggumu jika kau tidak
memiliki niat buruk pada kami," kata Rangga.
Suaranya terdengar kecil, namun menggema ke
segala penjuru. Rangga mengerahkan tenaga
dalam yang sempurna sekali.
Tak ada sahutan sedikitpun. Keadaan di sekitar
tempat itu tetap sunyi. Hanya desir angin yang
menyahuti kata-kata Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Baiklah. Aku tahu di mana kau bersembunyi.
Kalau kau tidak ingin menampakkan diri, aku juga
tidak akan mengganggu tempat persembunyianmu," kata Rangga lagi.
Rangga menjentikkan jarinya, mengajak Pandan
Wangi meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi
mengikuti, dan berjalan di samping Rangga. Kedua
pendekar muda itu terus melangkah biasa tanpa
menoleh sedikitpun. Namun Rangga tahu kalau
orang yang berlindung di balik batu besar itu
tengah mengawasinya.
Pangeran Kandara Jaya baru keluar dari
persembunyiannya setelah Rangga dan Pandan
Wangi tidak terlihat lagi. Dia menatap arah dua
pendekar tadi berlalu. Sama sekali tidak dikenalinya
dua anak muda yang mungkin sebaya dengannya
tadi. Tapi diakui, kalau yang laki-laki sungguh luar
biasa ilmunya. Persembunyiannya dapat diketahui
meskipun ia sudah mengerahkan ilmu meringankan
tubuh dan pengatur pernapasan dengan sempurna
sekali. Kandara Jaya mendesah panjang dan berat
Untuk beberapa saat dia masih berdiri.
"Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya, jika
orang itu salah seorang kelompok Puri Merah,"
gumam Kandara Jaya pelan.
"Dugaanmu salah, sobat!"
"Heh!" Kandara Jaya terkejut setengah mati.
Begitu kagetnya, sehingga ia terlonjak dan
langsung berbalik. Di atas batu tempatnya
berlindung tadi, kini sudah berdiri Pendekar
Rajawali Sakti. Kandara Jaya keheranan bukan
main. Kehadiran pendekar itu tidak diketahuinya
sama sekali. Tangannya bergerak perlahan
menyentuh gagang pedang yang tergantung di
pinggang. "Hup!"
Rangga melompat turun dan berdiri tegak
sejauh satu batang tombak di depan Kandara Jaya.
Bibirnya menyunggingkan senyum ramah penuh
persahabatan. Kandara Jaya menggeser kakinya ke
samping, saat Pandan Wangi muncul dari arah
perginya tadi. "Siapa kalian?" tanya Kandara Jaya.
"Aku Rangga, dan itu adikku, namanya Pandan
Wangi. Cantik dan lembut, tapi sedikit nakal dan
judes," Rangga memperkenalkan diri.
"Kakang!" Pandan Wangi mendelik.
"Siapakah Kisanak ini?" tanya Rangga tidak
mempedulikan Pandan Wangi yang mendelik
dengan wajah merah.
"Aku Kandara Jaya," katanya memperkenalkan
diri. "Apakah kau seorang pangeran?" selidik Pandan
Wangi yang sudah menghampiri Rangga, dan
berdiri di sampingnya.
"Bukan, aku hanya seorang pengembara biasa,"
sahut Kandara Jaya menyembunyikan identitas
yang sebenarnya.
"Hm..., kelihatannya kau seorang putra raja.
Atau paling tidak putra bangsawan yang kesasar,"
gumam Pandan Wangi. Pandangan matanya penuh
selidik ke arah pakaian yang dikenakan Kandara
Jaya. Pangeran Kandara Jaya agak terperanjat juga
dengan kata-kata Pandan Wangi. Penilaian gadis
itu memang tepat. Tapi Kandara Jaya tidak ingin
seorang pun tahu tentang dirinya yang sebenarnya.
Lebih-lebih pada orang asing yang belum
dikenalnya sama sekali.
Kandara Jaya harus selalu waspada pada siapa
saja yang ditemui di Bukit Arang Lawu ini.
"Baiklah, aku bisa memaklumi kalau kau enggan
menyebutkan siapa dirimu yang sebenarnya. Tapi,
boleh kutahu, untuk apa kau berada di sini?"
Rangga menyelak pembicaraan Pandan Wangi
yang terus tidak percaya pada Kandara Jaya.
"Kalian juga mengapa berada di Bukit Arang
Lawu ini?" Kandara Jaya malah balik bertanya.
"Aku sedang mengejar orang-orang berkuda
yang membantai habis satu desa kemarin," jawab
Rangga terus terang.
"Satu desa...!?" Kandara Jaya terlonjak kaget.
"Benar. Tampaknya kau kaget, mengapa?" selidik
Pandan Wangi. "Oh, tidak. Tidak apa-apa. Aku juga terkejut
mendengar satu desa dibantai," sahut Kandara
Jaya sedikit gugup.
Kandara Jaya jadi sedikit gelisah mendengar hal
itu. Sedangkan sampai pagi tadi dia dan prajuritnya
masih berkemah di lereng bukit ini. Rasanya sulit
dipercaya kalau gerombolan Puri Merah bisa turun
bukit dan membumihanguskan satu desa.
Bagaimana mungkin bisa terjadi" Mereka jalan dari
mana" Atau ada kelompok lain" Macam-macam
pertanyaan berkecamuk di benak Kandara Jaya.
Pertanyaan-pertanyaan yang sulit terjawab.
Putra Mahkota Kerajaan Mandaraka itu
memandangi Rangga dan Pandan Wangi penuh
selidik. Dia masih belum percaya kalau kedua
orang muda itu bukan anggota gerombolan Puri
Merah. Kandara Jaya memberikan beberapa
pertanyaan yang dijawab Rangga dengan terus
terang dan jujur. Semua pertanyaan Kandara Jaya
menyangkut perihal pembantaian di desa yang
telah diceritakan Rangga.
Mendengar jawaban-jawaban yang bernada
jujur dan berterus terang, Kandara Jaya jadi
bimbang juga. Lebih-lebih lagi melihat penampilan
Rangga dan Pandan Wangi yang bersikap sopan
dan penuh persahabatan. Gerombolan Puri Merah
adalah orang-orang yang kejam dan berpenampilan
sadis. Benarkah mereka bukan dari Puri Merah"
Pertanyaan itu selalu menggelayut di benak
Kandara Jaya. --myrna-- Pada saat itu Lawawi Girang dan Kitri Boga telah
tiba di puncak Bukit Arang Lawu. Mereka hampir
tidak percaya melihat puncak bukit bagaikan
sebuah benteng dengan tembok-tembok dari batu
alam membentuk lingkaran bagai cincin raksasa.
Dinding batu alam itu dikelilingi padang rumput
yang luas, bagai permadani terhampar. Satu
pemandangan indah, tapi memiliki suasana yang
mengandung misteri.
"Aku tidak yakin mereka bersarang di sini," kata
Kitri Boga setengah bergumam.
"Hm...," Lawawi Girang hanya bergumam.
Pandangan matanya terus berkeliling.
"Keadaannya sungguh sepi. Tidak ada tandatanda seorang pun pernah ke sini," Kitri Boga
bersuara pelan.
"Tapi kita harus waspada. Suasana tenang
belum tentu...," Lawawi Girang tidak melanjutkan
kata-katanya. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja
mereka telah dikepung tidak kurang dari sepuluh
orang berjubah merah. Semuanya menghunus
sebatang tombak bermata tiga. Dari ujung kepala
sampai ujung kaki tertutup jubah merah. Hanya
tangan dan sedikit wajah yang terlihat.
Lawawi Girang dan Kitri Boga terkejut bukan
main. Kehadiran mereka sulit diketahui, dari mana,


Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan kapan. Tahu-tahu mereka sudah muncul, bagai
muncul begitu saja dari dalam tanah.
Sret! Lawawi Girang langsung menghunus pedangnya. Kitri Boga juga telah mengeluarkan
pedangnya yang tergantung di punggung. Mereka
berdiri saling beradu punggung. Sedangkan orangorang berjubah merah itu, hanya berdiri tegak
tanpa bergeming sedikit pun.
"Hati-hati, mereka pasti bukan manusia sembarangan," bisik Lawawi Girang. "Ya,"
sahut Kitri Boga. "Jangan beri kesempatan. Bunuh, selagi mampu!" Kitri Boga tidak
sempat menyahut, karena
tiba-tiba saja terdengar suara bentakan keras. Seketika itu juga
sepuluh orang berjubah merah serentak membuat
gerakan-gerakan dengan tombak bermata tiganya.
Dan bagaikan dikomando saja mereka berlompatan, meluruk ke arah sasaran yang
dikepungnya. Kitri Boga dan Lawawi Girang saling beradu
punggung untuk menghadapi orang-orang berjubah merah itu. Lawan-lawannya menyerang
sangat cepat dan silih berganti Seperti dikomando
saja, mereka berlompatan dan meluruk ke arah
sasaran yang dikepungnya dengan sangat teratur!
Pertempuran tidak terhindarkan lagi. Orangorang berjubah merah itu menyerang sangat cepat
dan salingi bergantian. Dan kini mereka berhasil
memisahkan, Lawawi Girang dan Kitri Boga,
sehingga satu harus melawan lima orang. Lawawi
Girang cemas juga karena terpisah dengan Kitri
Boga. "Awas...!" teriak Lawawi Girang ketika melihat
salah seorang yang mengeroyok Kitri Boga
rnelemparkan seutas tambang dari balik lengan
bajunya yang besar.
Pada saat yang bersamaan Lawawi Girang jadi
lengah, maka sebuah tendangan keras pun
mendarat telak di dadanya. Lawawi Girang
terpental ke belakang. Belum juga sempat
mengatur posisi tubuhnya satu tusukan tombak
bermata tiga mengarah tubuhnya. Lawawi Girang
mengayunkan pedang, menangkis tombak yang
mengarah dadanya.
Tring! Lawawi Girang terkejut, karena pedangnya
tersangkut pada ujung tombak yang bercabang
tiga itu. Dan pada saat akan melepaskannya,
mendadak orang yang memegang tombak itu
menyentak dengan kuat
"Akh!" Lawawi Girang terkejut Pedangnya
terlepas. Pada saat yang bersamaan, salah seorang
melompat seraya memutar tombaknya dengan
cepat. Lawawi Girang memekik keras ketika
tombak menghantam kepalanya.
Belum hilang rasa sakit di kepalanya, tiba tiba(
ujung mata tombak meluncur deras dari arah
depan. Lawawi Girang tidak bisa mengelak lagi. Uiung
tombak bermata tiga itu cepat menghunjam
dadanya. "Aaakh...!"
"Paman...!" teriak Kitri Boga melihat Lawawi
Girang ambruk dengan dada koyak.
Kitri Boga lengah, pada saat itu pula satu
pukulan telak bersarang di punggungnya. Pemuda
itu pun tersuruk jatuh mencium tanah berumput.
Belum lagi sempat berdiri, tiga orang berjubah
merah melemparkan tambang ke arahnya. Kitri
Boga tidak dapat lagi menghindar. Tiga tambang
cepat membelit tubuhnya. Pedang perak murni
kesayangannya, jatuh di tanah dekat kakinya.
Tiga orang berjubah yang memegangi tambang,
secara bersamaan menyentakkan tambang itu. Dan
bagai segumpal kapas dalam karung, tubuh Kitri
Boga terangkat naik, langsung berdiri. Tiga orang
itu ber putar cepat mengelilingi Kitri Boga,
sehingga tambang semakin rapat membelit
tubuhnya. Kitri Boga benar-benar tidak berdaya lagi
sekarang. "Bawa diai Yang Mulia akan senang menerima
hadiah ini!" perintah salah seorang dari mereka
yang berjubah merah.
Tiga orang langsung menghampiri dan
menggotong tubuh Kitri Boga. Pemuda itu
meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tapi siasia saja. Ikatan yang membelenggu seluruh
tubuhnya begitu kuat.
Merasa tidak ada gunanya meronta-ronta, Kitri
Boga diam dan pasrah. Matanya mengawasi jalan
yang ditempuh gerombolan yang membawanya.
Mereka menuju dinding batu yang menyerupai
benteng itu. Kitri Boga membeliak lebar, karena dinding batu
yang besar dan kokoh itu bergeser mirip sebuah
pintu gerbang. Orang-orang berjubah merah itu
terus saja melangkah ke dalam. Dan dinding batu
itu kembali bergerak menutup, mengeluarkan suara
gemuruh bagai terjadi gempa. Dan suasana di
Dendam Membara 2 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Geger Topeng Sang Pendekar 3

Cari Blog Ini