Ceritasilat Novel Online

Sepasang Rajawali 1

Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang Rajawali Bagian 1


SEPASANG RAJAWALI
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Sepasang Rajawali
128 hal, ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Deeemart86
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 "Khraghk...!"
Seekor burung rajawali raksasa berwarna putih
keperakan melayang-layang di angkasa. Di punggungnya
duduk seorang pemuda berbaju rompi putih yang berkibar-kibar tertiup angin.
Burung rajawali raksasa itu terus menukik turun menuju sebuah lembah besar.
Sebuah danau berair biru bening menghias lembah itu. Pemuda
tampan di atas punggung rajawali raksasa itu bergegas melompat turun, begitu
burung itu mendarat di tepi danau.
Rajawali raksasa mengepak-ngepakkan sayapnya dan
kepalanya digeleng-gelengkan. Sikapnya kelihatan begitu gelisah. Sebelah kaki
kanannya dihentak-hentakkan ke
tanah. Pemuda tampan berbaju rompi yang ternyata
adalah Rangga si Pendekar Rajawali Sakti, memperhatikan dengan kening berkerut.
Dihampiri dan dipeluknya kepala burung itu. Namun rajawali raksasa melepaskan
pelukan Rangga.
"Rajawali, ada apa" Kenapa gelisah begitu?" tanya Rangga tidak mengerti akan
sikap sahabatnya itu.
"Khrrrk...!" rajawali raksasa hanya mengkirik gelisah.
"Tidak biasanya kau bersikap begini, Rajawali. Apa yang membuatmu gelisah?"
tanya Rangga penuh rasa heran dan khawatir.
Rajawali raksasa mendekam dan menggerung-gerung
lirih. Sayapnya terpentang lebar, menutupi hamparan
rumput di tepi danau. Rangga semakin heran, kemudian
duduk bersila di depan rajawali raksasa. Kegelisahan
burung raksasa itu membuatnya bertanya-tanya sendiri.
Dia yakin ada sesuatu yang membuat rajawali raksasa
bersikap begitu. Tapi apa"
"Rajawali, Sahabatku. Kenapa kau gelisah begitu?"
tanya Rangga mendesak lagi.
"Grrrhk...!"
rajawali raksasa menggerung pelan. Kepalanya terangkat naik, kemudian menjulur ke arah
tebing lembah sebelah Selatan.
Rangga melayangkan pandangannya ke arah tebing
lembah sebelah Selatan. Tidak ada yang dapat ditemukan di sana, selain dinding
yang cukup curam dan berbatu
dengan beberapa pohon menyembul keluar dari bebatuan.
Dinding itu sangat curam, dan sukar untuk didaki.
Pendekar Rajawali Sakti masih belum mengerti maksudnya. Dia menolehkan kepalanya memandang
kembali kepada rajawali raksasa yang terus menggerunggerung lirih.
"Tidak ada apa-apa di sana. Apa yang...."
Belum sempat Rangga melanjutkan ucapannya, mendadak rajawali raksasa membumbung naik ke
angkasa. Rangga melompat berdiri memandangi sahabatnya yang terus melayang dan berputar-putar di atas lembah ini. Sungguh tidak
dimengerti sikap rajawali raksasa yang menjadi gurunya, orang tua angkat, dan
juga sahabatnya ini.
"Rajawali, turunlah! Apa yang kau lakukan di atas sana?" seru Rangga keras.
"Khraghk!"
"Aku tidak mengerti maksudmu?"
Rajawali raksasa membuat putaran tiga kali di udara,
kemudian membumbung semakin tinggi dan terus melesat
ke arah Utara. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu
sebentar saja rajawali raksasa telah lenyap dari
pandangan. Kini tinggal Rangga berdiri mematung sambil memandang kepergian
rajawali raksasa itu dengan
perasaan berkecamuk tidak
menentu. Benar-benar membingungkan sikap rajawali raksasa sahabatnya itu.
Belum pernah rajawali bersikap seperti itu sebelumnya.
Apa sebenarnya yang terjadi" Macam-macam pertanyaan
berkecamuk di benak Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm..., dia menunjuk ke arah Selatan. Ketika melayang di udara, dia melakukan
putaran tiga kali di udara. Apa maksudnya" Apakah aku harus pergi ke arah
Selatan?" gumam Rangga bertanya-tanya sendiri.
Rangga mengarahkan pandangannya ke arah Selatan.
Terlihat dinding lembah yang sangat curam, berbatu, dan hanya sedikit pepohonan
yang terdapat. Tidak terlalu tinggi memang, namun sangat curam. Sangat sukar
untuk didaki. Namun bagi Pendekar Rajawali Sakti hal itu bukanlah
suatu kesulitan. Hanya dua kali lompatan saja, pasti sudah bisa mencapai puncak
tebing itu. "Hm..., lembah ini seperti tidak pernah dimasuki orang.
Dan.... Heh! Ada apa di atas sana?"
Telinga Rangga yang tajam bagai setajam rajawali,
langsung dapat mendengar suara pertempuran dari atas
tebing lembah ini. Tanpa berpikir lebih jauh lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu
melesat cepat mendaki tebing curam berbatu itu. Gerakannya sungguh ringan,
bagaikan segumpal kapas tertiup angin. Hanya dua kali lompatan saja, sudah tiba di puncak
tebing. "Oh!" Rangga tersentak kaget begitu mencapai puncak tebing lembah.
Apa yang dilihat Pendekar Rajawali Sakti hingga sampai terkejut seperti itu"
* ** Seorang laki-laki bertubuh gemuk berpakaian indah
bersulam benang emas, bertarung sengit melawan empat
perempuan tua berbaju kumal dan warna hampir sama.
Tampak sekali kalau laki-laki bertubuh gemuk itu
kewalahan menghadapi lawan-lawannya. Entah sudah
berapa kali menerima pukulan dan tendangan keras dari empat lawannya itu. Di
sekitar tempat itu tergeletak kira-kira dua puluh orang berpakaian seragam
prajurit. Rangga kenal betul dengan lambang yang dikenakan
pada bagian dada prajurit-prajurit yang menggeletak tak bernyawa itu. Lambang
Kerajaan Galung. Dan laki-laki
gemuk yang tengah bertarung itu tidak lain adalah Patih Giling Wesi, seorang
patih kenamaan dari Kerajaan Galung.
Rangga kenal betul dengan Patih Giling Wesi, sewaktu
sama-sama menghadapi gerombolan Bidadari Sungai Ular.
Gerombolan yang dipimpin seorang wanita bernama Saka
Lintang itu dulu telah menculik Intan Kemuning, putri tunggal Patih Giling Wesi
(Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode "Bidadari Sungai Ular").
Entah sudah berapa lama peristiwa itu terjadi, dan Rangga tidak bisa
mengingatnya secara pasti.
"Akh!" Patih Giling Wesi memekik tertahan ketika satu batang tongkat berkepala
bulat menghantam keras
dadanya. Laki-laki bertubuh gemuk itu terjungkal deras ke tanah.
Dan belum sempat bangkit, satu tendangan keras
menghantam iganya. Akibatnya tubuh gemuk itu bergulingan beberapa tombak Seorang dari empat
perempuan tua itu melompat tinggi, dan meluruk deras
sambil mengarahkan tongkatnya yang berujung runcing ke arah dada Patih Giling
Wesi. "Hih!" Melihat keadaan Patih Giling Wesi yang sudah tidak berdaya lagi, Rangga
segera melesat cepat memapak serangan perempuan tua itu.
Tangan kirinya tepat menghantam tongkat, sedangkan
kaki kanannya mendarat telak di tubuh perempuan tua itu.
Akibatnya, perempuan tua itu terpental jauh ke belakang.
Rangga mendarat lunak di samping Patih Giling Wesi yang menggeletak dengan napas
tersengal. "Rangga...," desis Patih Giling Wesi setengah tidak percaya begitu mengenali
orang yang menyelamatkan
nyawanya. "Apa kabar, Paman Patih?" ucap Rangga lembut seraya membantu Patih Giling Wesi
berdiri. "Baik! Terima kasih," sahut Patih Giling Wesi setelah mampu berdiri lagi.
"Mengapa mereka mengeroyokmu, Paman?" tanya Rangga seraya melirik empat orang
perempuan tua yang
sudah berdiri berdampingan dengan tatapan mata penuh
kemarahan. "Nanti akan kuceritakan! Sebaiknya kita segera
tinggalkan tempat ini," sahut Patih Giling Wesi.
"Kenapa?"
Belum sempat pertanyaan Rangga terjawab, salah
seorang dari perempuan tua itu melompat sambil berteriak keras. Ujung tongkatnya
yang runcing mengarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gesit
sekali, Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan seraya tangan
kirinya menepak tongkat itu hingga terpental ke samping.
Secepat itu pula, kaki kanannya melayang sambil memutar tubuhnya sedikit.
Hasilnya, telapak kaki Rangga tepat menghantam dada wanita tua itu.
"Hugh!" wanita tua itu merigeluh pendek, dan tersuruk ke belakang beberapa
langkah. "Cepat, Rangga! Tinggalkan tempat ini!" seru Patih Giling Wesi.
"Tunggu!" sentak Rangga cepat.
Namun Patih Giling Wesi sudah berlari cepat disertai
pengerahan ilmu meringankan tubuh. Rangga tidak punya pilihan lain. Kembali
melesat cepat, dan menyambar tubuh Patih Giling Wesi. Begitu cepatnya Pendekar
Rajawali Sakti bergerak, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan
tubuhnya sudah lenyap membawa Patih Giling Wesi.
"Setan alas! Kejar mereka!" seru salah seorang perempuan tua mengumpat geram.
Empat orang wanita itu segera berlari cepat mengejar
ke arah Rangga dan Patih Giling Wesi pergi.
Dilihat dari gerakan berlari, jelas kalau mereka
berempat bukanlah orang sembarangan. Gerakan kakinya
begitu lincah dan ringan, seolah-olah melayang di atas tanah. Begitu cepatnya
mereka berlari, sehingga yang
tampak hanya empat bayangan coklat kehitaman
berkelebatan di pepohonan yang rapat.
Mereka sudah berlari begitu jauh, namun belum juga
melihat bayangan dua orang yang dikejarnya. Rangga dan Patih Giling Wesi
bagaikan lenyap ditelan bumi. Mereka menghentikan pengejaran di sebuah padang
rumput luas, lalu merayapi sekitarnya beberapa saat. Tak tampak
sebuah bayangan pun berkelebat di sekitar tempat itu.
"Monyet! Setan belang!" salah seorang perempuan tua itu menyumpah-nyumpah kesal.
"Sebaiknya kita kembali saja ke Galung," usul seorang lagi.
"Tidak! Patih sialan itu harus ditemukan!" sanggah seorang lagi. "Huh! Siapa
anak muda itu...?"
"Empat Bayangan Iblis Neraka tidak boleh dipermalukan. Siapa pun dia, harus mampus!" rungut salah seorang.
"Kalau begitu, ayo kita cari lagi. Mereka pasti belum jauh dari tempat ini,"
ajak satunya lagi.
"Cepatlah,
sebelum hari gelap!" Empat orang perempuan tua yang berjuluk Empat Bayangan Iblis Neraka itu segera bergerak
cepat meninggalkan padang rumput
yang luas ini. Julukan Bayangan Iblis memang tepat,
karena gerakan mereka begitu cepat seperti bayangan
saja. Dalam waktu sekejap saja mereka sudah lenyap
kembali masuk ke dalam hutan. Mereka adalah tokoh
rimba persilatan dari golongan hitam. Masing-masing nama dapat dikenali dari
tongkat yang digunakan sebagai
senjata. Yang bertongkat merah, bernama Rara Merah.
Sedangkan yang bertongkat kuning, bernama Rara Kuning.
Juga yang hijau dan biru bernama Rara Hijau dan Rara
Biru. Mereka empat bersaudara dengan tingkat kepandaian cukup tinggi.


Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang Rajawali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* ** Sementara itu jauh di dalam hutan, Rangga menurunkan Patih Giling Wesi dari kempitannya. Laki-laki itu menggeliatkan
tubuhnya, berusaha menghilangkan rasa pegal akibat kempitan tangan Pendekar
Rajawali Sakti.
Sementara siang telah berganti senja. Suasana sekitar hutan yang gelap, semakin
bertambah gelap karena kurang mendapat cahaya matahari.
Patih Giling Wesi mengumpulkan ranting kering yang
banyak tersebar di sekitar hutan itu. Setelah terkumpul, kemudian ditumpuk dan
dinyalakannya dengan pemantik
api yang diambil dari balik sabuknya. Laki-laki gemuk itu duduk di dekat api
kecil dari ranting-ranting kering yang terbakar. Rangga men-dekati dan duduk di
sampingnya. "Api ini akan mengundang mereka, Paman Patih," kata Rangga memperingatkan.
"Hari sudah gelap. Hutan ini banyak binatang buasnya, Rangga," sahut Patih
Giling Wesi. Memang, dia kenal betul seluk-beluk Hutan Krambang ini.
Rangga tidak berkata-kata lagi. Tapi dikuranginya
ranting-ranting itu, sehingga nyala api menjadi lebih kecil.
Patih Giling Wesi hanya diam saja. Kata-kata Rangga
memang ada benarnya juga. Tapi api penting juga untuk mencegah binatang buas
yang mendekati mereka. Terlebih lagi binatang-binatang yang berbisa.
"Kenapa Paman Patih berada di hutan ini?" tanya Rangga setelah cukup lama
berdiam diri. "Ceritanya cukup panjang, Rangga. Dan aku berada di sini karena terpaksa, selain
harus mencari putriku yang hilang," sahut Patih Giling Wesi sendu.
"Intan Kemuning?" Rangga mengerutkan keningnya.
"Benar."
Rangga jadi ingat akan gadis cantik yang diselamatkannya dari sarang Bidadari S ungai Ular. Gadis cantik yang lugu dan
polos, putri tunggal Patih Giling Wesi (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti,
dalam episode "Bidadari Sungai Ular"). Rangga menggeser duduknya agar lebih dekat lagi dengan
laki-laki gemuk itu. Diperhatikannya wajah Patih Giling Wesi yang berubah
mendung. "Apa yang terjadi, Paman?" tanya Rangga.
"Kau tahu, apa yang terjadi terhadap diri Intan
Kemuning di sarang Bidadari Sungai Ular, bukan?"
"Ya," Rangga mengangguk.
"Anakku yang semula lugu dan polos, berubah jadi tertarik mempelajari ilmu olah
kanuragan dan kesaktian.
Semua ini gara-gara Saka Lintang si Bidadari Sungai Ular.
Wanita itu memberikan dasar-dasar ilmu olah kanuragan.
Dan Intan Kemuning jadi tertarik mempelajarinya. Aku tak kuasa menentang
keinginannya yang keras...," Patih Giling Wesi berheriti sejenak.
Rangga menunggu kelanjutannya dengan sabar.
"Entah sudah berapa panglima dan orang berilmu tinggi yang memberikan ilmu olah
kanuragan pada anakku. Tapi Intan Kemuning belum juga puas, meskipun telah
berubah menjadi seorang gadis
digdaya dan sukar dicari
tandingannya. Dan itu menjadikan awal malapetaka bagi keluargaku. Bahkan sampai
meluas menjadi malapetaka
bagi seluruh Kerajaan Galung," Ianjut Patih Giling Wesi.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Itulah yang dinamakan perubahan pada manusia,
Rangga. Setiap orang dapat berubah dalam waktu singkat, tanpa dapat dicegah
lagi. Dan ini terjadi pada putriku. Dia merasa dirinya tangguh dan digdaya,
sehingga tidak ada yang mampu menandinginya. Bahkan para panglima yang
semula melatih ilmu olah kanuragan juga tidak mampu
menandinginya. Hal ini membuat Intan Kemuning jadi kian besar kepala. Dia
menantang siapa saja yang memiliki
nyali besar."
"Hebat...," desis Rangga bergumam.
"Memang hebat, kalau saja tidak keterlaluan."
"O..."!" kening Rangga berkerut dalam.
"Intan Kemuning mengundang tokoh-tokoh sakti di
seluruh rimba persilatan untuk diajak duel. Kau tahu apa akibatnya" Hampir
seluruh tokoh sakti tumpah di Kerajaan Galung! Tentu saja hal ini membuat
seluruh panglima dan prajurit sibuk bukan kepalang, karena hampir di setiap
pelosok terjadi keributan akibat ulah orang-orang rimba persilatan yang ratarata dari golongan hitam."
"Bisa dimaklumi. Tapi apa yang membuat mereka
tertarik?" tanya Rangga.
"Intan Kemuning mencari suami, dengan syarat dapat mengalahkan dirinya. Tapi
bukan itu saja. Dia juga
mempertaruhkan Kerajaan Galung!"
"Gila!"
"Itulah yang membuat Prabu Galung murka, sehingga memerintahkan seluruh panglima
dan prajurit menangkap Intan.
Bahkan aku sendiri diperintahkan untuk menangkapnya. Bisa kau bayangkan, betapa malunya aku
terhadap seluruh pembesar kerajaan, terutama Prabu
Galung. ' Rangga mengarigguk-anggukkan kepalanya.
"Malapetaka besar terjadi ketika Intan Kemuning
berhasil dikalahkan Empat Bayangan Iblis Neraka. Dan
sudah pasti mereka menuntut haknya untuk menguasai
Kerajaan Galung. Akibatnya, Prabu Galung semakin murka.
Tapi Empat Bayangan Iblis Neraka telah lebih dulu
menggempur istana bersama tokoh-tokoh hitam rimba
persilatan lainnya yang pernah dikalahkan anakku. Bisa kau bayangkan, apa yang
terjadi. Para panglima dan
prajurit tidak ada yang mampu menghadang gempuran
mereka. Dan kini Prabu Galung terpaksa meninggalkan
istana." "Apakah empat orang perempuan tua tadi yang
bernama Empat Bayangan Iblis Neraka?" tanya Rangga.
"Benar! Dan mereka terus mencari Intan Kemuning.
Bahkan kini mereka membunuh siapa saja yang pernah
menjadi pembesar Kerajaan Galung. Mereka pun memberi
hadiah besar bagi siapa saja yang berhasil membunuh
Prabu Galung, dan membawa Intan Kemuning kepadanya.
Kerajaan Galung benar-benar menjadi neraka, Rangga."
"Aneh! Apa yang dicari Intan Kemuning?" gumam Rangga seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
"Itulah yang membuatku tidak mengerti, Rangga.
Putriku berubah tanpa dapat kuketahui penyebabnya.
Benar-benar aku tidak mengerti akan sikapnya," keluh Patih Giling Wesi.
Rangga terdiam membisu. Benar-benar tidak disangka
kalau gadis yang lugu dan poles, bisa berubah demikian cepat menjadi gadis liar
berilmu tinggi. Memang sukar untuk dipercaya. Tapi, itulah kenyataan yang harus
dihadapi. Rangga jadi iba melihat penderitaan Patih Giling Wesi. Bagaimanapun
laki-laki gemuk itu harus bisa
mengembalikan keadaan Kerajaan Galung seperti semula.
Suatu kewajiban yang tidak ringan dan harus dilaksanakan.
"Paman tahu, ke mana Intan Kemuning pergi?" tanya Rangga.
Patih Giling Wesi menggeleng-gelengkan kepalanya
lesu. Dia sama sekali tidak tahu. ke mana perginya Intan Kemuning. Gadis itu
lenyap setelah dikalahkan Empat
Bayangan Iblis Neraka dalam pertarungan yang di nginkan Intan Kemuning sendiri.
Dari beberapa orang yang
menyaksikan pertarungan itu, Patih Gi ing Wesi mendengar kabar kalau Intan
Kemuning terlempar jatuh ke dalam
lembah yang sangat luas. Lembah tempat Patih Giling Wesi hampir tewas di tangan
Empat Bayangan Iblis Neraka tadi.
Di atas lembah tebing itulah Intan Kemuning selalu
bertarung melawan setiap tokoh sakti rimba persilatan yang diundangnya. Hari
sial menimpa dirinya saat melawan Empat Bayangan Iblis Neraka. Dan Patih Giling
Wesi tahu, kalau lembah itu tidak pernah didatangi orang. Lembah yang sukar
dijamah, dan terkenal keganasannya. Tidak
sedikit orang yang putus asa menceburkan diri ke danau di lembah itu. Biasanya,
tidak ada yang kembali lagi dalam keadaan hidup. Yang dikhawatirkan Patih Giling
Wesi, Intan Kemuning merasa putus asa lalu menceburkan diri ke
dalam danau angker itu.
Dan semua ini telah diceritakannya pada Pendekar
Rajawali Sakti. Sementara Rangga sendiri jadi semakin heran dan tidak mengerti.
Dia berada di tempat ini karena sikap rajawali raksasa yang aneh tidak seperti
biasanya. Dan juga tidak disangka kalau akan bertemu lagi dengan Patih Giling Wesi yang
membawa masalah berat dan
sangat serius. "Sebaiknya kita kembali lagi ke tempat itu, Paman,"
kata Rangga setelah cukup lama terdiam.
"Aku merasa kalau Intan Kemuning telah tewas dalam lembah itu, Rangga," pelan
suara Patih Giling Wesi.
"Kalaupun tewas, kita harus mendapatkan mayatnya."
"Percuma! Peristiwa itu telah berlangsung beberapa purnama. Dan lagi, tak ada
seorang pun yang berhasil
hidup dalam lembah itu. Air danaunya beracun, dan banyak dihuni ular-ular
berbisa." "Tapi, mengapa Paman masih mencari?" tanya Rangga.
"Entahlah. Sepertinya aku begitu yakin kalau anakku masih hidup, meskipun hatiku
selalu mengatakan Intan
Kemuning sudah tewas."
"Aku bisa memahami, Paman."
"Terima kasih, Rangga," ucap Patih Giling Wesi lirih.
"Tapi aku punya kewajiban yang lebih berat lagi, yakni harus mengembalikan
Kerajaan Galung seperti semula dan mengusir
orang-orang rimba persilatan yang kini menguasai Istana Galung."
"Kerajaan Galung pasti bisa pulih kembali, Paman,"
Rangga membesarkan hati laki-laki gemuk itu.
"Tidak...," lesu suara Patih Giling Wesi. Kepalanya menggeleng beberapa kali.
"Pasti bisa, Paman. Ini kalau prajurit yang tersisa mau bersatu kembali. Dan aku
pasti akan membantu mengusir mereka," janji Rangga.
"Oh, sungguhkah?" Patih Giling Wesi bangkit kembali semangatnya.
"Ya. Dan setelah itu akan kucari Intan Kemuning."
"Dewata Yang Agung..., terima kasih, Rangga." Rangga tersenyum tipis.
* ** 2 Malam belum begitu larut. Suasana dalam Istana
Galung tampak ramai bagai tengah diadakan pesta yang
begitu meriah. Nyala api obor yang terpancang di setiap sudut, menerangi hampir
seluruh areal benteng Istana
Kerajaan Galung itu. Tawa dan canda terdengar dari
ruangan besar dalam istana itu. Tampak orang yang tengah berpesta-pora, memenuhi
ruangan besar dan mewah di
bagian tengah Istana Galung.
Dari pakaian dan senjata yang disandang, dapat
dipastikan kalau mereka adalah tokoh rimba persilatan.
Namun dari tampang dan tingkah laku, bisa dikatakan
kalau mereka dari golongan hitam. Tidak sedikit wanita yang menemani mereka
berpesta. Meskipun dari bibir
wanita-wanita itu terdengar suara tawa, namun pancaran sinar
matanya menunjukkan penekanan dan pemberontakan. Bau asap tembakau menyeruak bercampur bau minuman arak yang tertumpah-ruah ke
lantai. Di atas bangku besar dan indah, duduk seorang laki-laki berwajah tampan dan
berkulit putih halus. Di samping
kanan dan kirinya duduk empat orang perempuan tua
memegang tongkat yang berlalnan warnanya, meskipun
bentuk tongkatnya sama persis. Empat perempuan tua
itulah yang dikenal dengan julukan Empat Bayangan Iblis Neraka. Sedangkan pemuda
tampan yang duduk di
singgasana itu murid tunggal mereka yang bernama
Kalaban. Saat ini Kerajaan Galung diperintah oleh Kalaban yang menduduki
singgasana istana. Walaupun sebagai
murid, tapi secara diam-diam Kalaban memiliki ilmu yang lebih tinggi dibanding
keempat gurunya itu.
"Kalaban! Tidak seharusnya kau mengadakan pesta
seperti ini," kata Rara Merah yang memang kelihatannya tidak menikmati pesta
itu. "Mengapa?" tanya Kalaban seraya menoleh pada wanita tua yang duduk di samping
kanannya, dengan tongkat
merah di tangan.
"Masih banyak musuh kita yang mencari kelemahan.
Pesta ini membuat orang-orang kita lengah, dan itu bisa membahayakan," jelas
Rara Merah. "Aku rasa tidak ada salahnya memberi kesenangan
pada mereka, Nyai Guru."
"Mereka sudah cukup mendapat kesenangan di luar."
"Nyai Guru Rara Merah. Aku tidak ingin dikatakan mementingkan diri sendiri,
meskipun semua yang kita
peroleh berkat Nyai Guru berempat. Tentunya wajar kalau sekali-sekali
menyelenggarakan pesta dan memberi
kesenangan pada mereka Bagaimanapun juga, jasa
mereka cukup besar," sergah Kalaban.
"Baiklah, hanya untuk kali ini saja. Hanya yang perlu di ngat, Patih Giling Wesi
belum tewas. Dan lagi Prabu Galung juga tidak jelas berada di mana sekarang.
Masih banyak prajurit yang tersebar, dan tidak sedikit panglima yang tengah
menyusun kekuatan untuk merebut kembali


Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang Rajawali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

istana ini. Hal itu jangan kau lupakan, Kalaban."
"Aku tidak akan lupa, Nyai Guru. Terutama pada Intan Kemuning. Dia harus jadi
istriku," jawab Kalaban.
"Jangan mengharapkan gadis itu lagi, Kalaban. Dia sudah mampus di Lembah Ular
Berbisa," celeruk Rara Kuning.
"Aku belum puas kalau Intan Kemuning belum
ditemukan."
"Meskipun dia sudah jadi mayat, aku akan membawanya untukmu, Kalaban," janji Rara Biru.
"Terima kasih, Nyai Rara Biru."
Rara Biru hanya tersenyum getir. Empat perempuan tua
itu kemudian bangkit berdiri setelah mendapat isyarat dari Rara Merah. Mereka
melangkah meninggalkan ruangan itu tanpa berkata-kata lagi, dan baru berhenti
setelah tiba di bagian depan istana. Beberapa orang berwajah kasar yang
menyandang senjata beraneka ragam, terlihat berjaga-jaga di sekitar halaman
Istana Galung ini.
"Kalaban memang pantas
jadi raja. Dia tidak mengosongkan penjagaan," gumam Rara Hijau pelan.
"Asal kalian jangan larut, dan lupa siapa dia
sebenarnya," Rara Merah mengingatkan.
"Tentu saja tidak. Kita wajib membela dan mendampinginya sampai ajal," sahut Rara Biru.
"Memang itu tugas kita yang utama," sambut Rara Kuning.
"Hm...."
"Ada apa, Rara Kuning?" tanya Rara Merah melihat Rara Kuning mendongakkan
kepalanya. "Dengar...," desis Rara Kuning.
Tiga orang perempuan tua lainnya terdiam, seraya
memasang pendengarannya lebih tajam lagi. Seperti
mendapat komando saja, mereka bergegas melompat, dan
tahu-tahu sudah berdiri di tengah-tengah halaman depan istana yang luas. Kepala
mereka terdongak ke atas. Dan bersamaan dengan itu, di angkasa terlihat sebuah
bayangan hitam pekat melesat cepat.
Belum sempat menyadari apa yang terjadi, mendadak
bayangan hitam besar itu meluruk ke arah mereka
berempat. Hal ini membuat Empat Bayangan Iblis Neraka tersentak kaget Namun
dengan gerakan cepat, mereka
berlompatan berpencar menghindari terjangan bayangan
hitam besar itu.
Angin yang menyambar keras, membuat Empat
Bayangan Iblis Neraka limbung sesaat. Dan saat itu pula terdengar jeritan
melengking dari beberapa orang penjaga yang berada di sekitar tempat itu. Tampak
delapan orang penjaga menggelepar di tanah dengan tubuh bersimbah
darah. Jeritan panjang itu membuat orang-orang yang sedang
berpesta, berhamburan ke luar. Suasana malam yang
semula dipenuhi suara tawa dan canda kelakar, mendadak gaduh oleh teriakan panik
dari wanita-wanita yang ikut berpesta. Kegaduhan itu pun masih ditambah dengan
teriakan-teriakan bernada perintah.
"Nyai Guru,
ada apa?" tanya Kalaban seraya menghampiri empat gurunya yang sudah berdiri berjajar dengan kepala menengadah.
Belum sempat ada yang menjawab, bayangan hitam
pekat dan besar itu kembali meluruk turun dengan cepat menimbuikan suara angin
mengguruh bagai badai. Orang-orang yang berada di sekitar halaman depan istana
itu serentak berhamburan menyelamatkan diri.
Namun mereka yang terlambat, menjerit keras terlanda bayangan hitam itu.
"Keparat! Benda apa itu..."!" geram Kalaban.
* ** Orang-orang yang terdiri dari tokoh rimba persilatan
golongan hitam, langsung bersiaga menghunus senjata
masing-masing. Dalam dua kali serangan saja, tidak
kurang dari enam belas orang tewas bersimbah darah.
Bayangan hitam pekat dan besar itu melayang-layang di angkasa dan berputar
mengelilingi Istana Galung.
"Panah...!" salah seorang dari mereka berteriak keras.
Tampak sekitar lima puluh orang bersenjata panah
segera melepaskan anak-anak
panahnya ke arah
bayangan hitam di angkasa itu. Puluhan anak panah
melesal cepat menimbulkan suara mendesing menyakitkan telinga. Namun bayangan
hitam itu dengan gesit
menghindari serbuan senjata itu. Bahkan tidak sedikit anak panah yang mengarah
ke bayangan hitam itu berbalik arah bagai dihempas angin topan yang amat
dahsyat. Bahkan kini anak panah itu berbalik melesat lebih cepat dari semula.
Beberapa orang yang tidak sempat
menghindar, tertembus anak panah yang berbalik itu. Jerit kematian kembali
mewarnai malam yang pekat ini. Dan
pada saat semua orang terperangah, bayangan hitam itu meluruk deras ke arah
mereka. Dari bayangan hitam besar itu juga melesat sebuah bayangan hitam lainnya
yang lebih kecil.
Ternyata bayangan hitam yang kecil itu adalah seorang yang mengenakan baju serba
hitam dengan cadar hitam
menutupi wajahnya. Dengan sebilah pedang di tangan, dia segera mengamuk
membantai orang-orang yang berada di
halaman depan Istana Galung. Sedangkan bayangan hitam besar itu juga bergerak
cepat menyambar setiap orang
yang coba-coba menghadang.
"Khraghk...!"
Terdengar suara keras menyakitkan telinga di antara
jerit pekik melengking dan suara pertempuran. Sementara Empat Bayangan Iblis
Neraka dan Kalaban masih tetap
berdiri memperhatikan pembantaian di depan mata.
"Rajawali raksasa...," desis
Rara Merah begitu mendengar suara keras memekakkan tadi.
"Apa..."!" tiga wanita tua lainnya terperanjat juga.
"Mundur...!"
teriak Rara Merah keras, disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Orang-orang yang tengah bertarung melawan sosok
berbaju hitam dan bayangan hitam pekat dan besar itu, segera berlompatan mundur
begitu mendengar seruan
keras bertenaga dalam tinggi dari Rara Merah. Mereka
segera membuat lingkaran besar disertai sikap waspada dan berjaga-jaga penuh.
Kini di tengah-tengah lingkaran itu, berdiri seseorang berbaju serba hitam. Di
sampingnya berdiri seekor burung raksasa berwarna hitam pekat.
"Tidak mungkin..!" desis Rara Merah, begitu melihat jelas sosok yang baru saja
membunuhi orang-orangnya.
"Ada apa, Rara Merah?" tanya Rara Kuning.
"Aku tidak percaya kalau dia adalah Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rara Merah
tidak yakin. Tiga orang perempuan tua lainnya saling berpandangan.
Mereka memang pernah mendengar tentang sepak terjang
Pendekar Rajawali Sakti. Seorang tokoh muda yang
memiliki tingkat kepandaian sukar diukur ketinggiannya.
Pendekar pilih tanding, dan belum ada yang mampu
melawannya sampai kini. Tapi apa yang mereka dengar
tentang ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti, rasanya tidak terdapat pada orang dan
burung raksasa itu.
Dan belum lagi didapat jawabannya. Orang berbaju
serba hitam itu melompat naik ke punggung burung
raksasa itu. Seketika burung raksasa itu cepat melesat naik membumbung tinggi ke
angkasa. Dalam sekejap saja, bayangan hitam itu lenyap di balik awan hitam
sebelah Utara. Sementara Empat Bayangan Iblis Neraka dan
Kalaban masih terdiam memandang ke arah Utara. Mereka tidak peduli dengan orangorang yang segera berlompatan mengejar bayangan hitam itu.
"Siapa dia, Nyai Guru?" tanya Kalaban setelah lama terdiam.
"Aku tidak tahu, tapi...," jawab Rara Merah ragu-ragu.
"Nyai Guru Rara Merah. Siapa itu Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Kalaban
mendesak. "Seorang pendekar digdaya yang s ukar dicari tandingannya," Rara Kuning yang menyahuti.
"Aku tidak tahu pasti. Apakah itu tadi Pendekar Rajawali Sakti atau bukan.
Rasanya terlalu jauh perbedaannya,"
kata Rara Merah bergumam, seolah-olah bicara untuk
dirinya sendiri.
"Ya, memang terlalu menyolok," sambut Rara Hijau, juga bergumam pelan.
Sementara itu di halaman depan Istana Galung kembali
sepi. Hanya beberapa orang saja yang masih terlihat,
karena tengah sibuk mengumpulkan mayat yang bergelimpangan. Dalam waktu singkat saja, tidak kurang dari lima puluh orang
tewas dalam pertarungan mendadak dan tiba-tiba itu. Malam ini Istana Galung
kembali banjir darah. Setahun yang lalu pun juga pernah terjadi, setelah orangorang rimba persilatan golongan hitam menyerang dan merebut istana ini. Dan
semua itu dipimpin Empat
Bayangan Iblis Neraka, yang kemudian mengangkat murid tunggalnya untuk menduduki
tahta. "Setan!" umpat Rara Merah tiba-tiba. "Mengapa sekarang aku baru ingat...!?"
"Ada apa, Rara Merah?" tanya Rara Kuning.
"Pemuda itu...!" seru Rara Merah.
"Pemuda yang mana?" tanya Rara Hijau tidak mengerti.
"Yang menolong Patih Giling Wesi."
Wanita-wanita tua itu saling berpandangan. Sedangkan
Kalaban semakin tidak mengerti saja dengan pembicaraan keempat gurunya ini. Yang
dilakukannya hanya diam saja dengan benak dipenuhi berbagai macam pikiran dan
dugaan-dugaan. Tapi dia berusaha untuk dapat mengerti arah pembicaraan ini.
"Ada apa dengan pemuda itu?" tanya Rara Biru setelah mereka semua cukup lama
terdiam. "Apa kalian tidak mengenali ciri-cirinya?" Rara Merah malah balik bertanya.
"Maksudmu?" Rara Hijau tidak mengerti, tapi juga berkerut keningnya.
"Dialah yang benar-benar berjuluk Pendekar Rajawali Sakti," desis Rara Merah.
"Apa..."!"
"Pendekar Rajawali Sakti!" Rara Merah mengulangi.
"Mustahil!" desis Rara Kuning. Tapi dalam benaknya berkata lain.
Ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti yang pernah didengarnya memang ada pada pemuda yang telah
menolong nyawa Patih Giling Wesi dari kematian. Pemuda berbaju rompi putih
dengan pedang bergagang kepala
burung bertengger di balik punggung. Dan pemuda itu
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi
tingkatannya. Itu sudah menandakan kalau tingkat
kepandaiannya juga sangat tinggi, dan sukar untuk diukur.
Meskipun hanya beberapa kali gebrak saja, namun
Empat Bayangan Iblis Neraka telah yakin, kalau pemuda itu sungguh luar biasa.
Dia mampu mengelak dengan mudah
setiap serangan, bahkan mampu memberi serangan
balasan yang sangat cepat dan tidak ter-duga sama sekali.
Tapi benarkah yang baru saja datang memporak
porandakan dan membinasakan banyak orang itu adalah
Pendekar Rajawali Sakti"
Sementara itu tidak jauh dari perbatasan Kerajaan
Galung, dua orang laki-laki tengah berjalan mendekati gerbang perbatasan. Yang
seorang bertubuh gemuk dan
berpakaian mewah dengan sulaman benang emas.
Sedangkan yang seorang lagi masih muda, berwajah
tampan dengan rambut panjang terikat. Dia mengenakan
baju rompi putih. Gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul dari balik
punggungnya. Mereka berhenti melangkah setelah melewati gerbang
perbatasan yang menuju langsung ke Kotaraja Kerajaan
Galung. Suasana malam begitu sepi, tak terlihat seorang penjaga pun di gerbang
perbatasan ini. Pandangan mata mereka lantas tertumbuk pada empat sosok manusia
yang tergeletak tidak jauh dari gerbang perbatasan yang terbuat dari batu ukir
kembar itu. Pemuda berbaju rompi putih itu menghampiri empat
sosok tubuh yang tergeletak tidak bernyawa. Sebentar
diperiksa luka-luka di sekujur tubuh empat orang itu.
Sedangkan orang bertubuh gemuk, hanya memperhatikan
saja dengan mata tidak berkedip.
"Luka-lukanya seperti diserang binatang," gumam pemuda itu pelan, seperti untuk
dirinya sendiri.
"Tidak ada binatang buas di sini, Rangga." Pemuda tampan berbaju rompi putih
yang ternyata memang
Rangga, menoleh pada laki-laki gemuk di sampingnya.
Sebentar kemudian diperhatikan luka-luka di tubuh salah seorang mayat yang
berada dekat kakinya. Luka-luka itu seperti cakaran kuku tajam seekor binatang.
Bahkan dada dua orang lainnya koyak tercabik-cabik.
"Coba perhatikan luka-luka itu, Paman Patih," kata Rangga menunjuk empat mayat


Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang Rajawali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menggeletak.
"Hm...," Patih Giling Wesi mengerutkan keningnya.
Memang benar kata Rangga. Luka-luka itu seperti
akibat serangan binatang. Cukup dalam dan mampu
membuat orang tewas seketika. Dari garis-garis luka itu bisa dipastikan akibat
kuku tajam binatang buas. Tapi Patih Giling Wesi berani bersumpah kalau di
sekitar perbatasan tidak ada seekor binatang buas
pun berkeliaran. Wus! Tiba-tiba saja bertiup angin kencang di angkasa.
Rangga dan Patih Giling Wesi terperanjat, dan segera
mendongak. Tampak sebuah bayangan hitam besar
berkelebat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, sehingga langsung hilang tanpa
dapat dilihat jelas. Namun bagi Pendekar Rajawali Sakti, sudah cukup jelas untuk
mengetahui bentuk bayangan hitam itu. Dan dia sangat
terkejut, hampir tidak percaya dengan yang dilihatnya barusan.
"Rajawali...," desis Rangga dalam hati.
"Apa itu?" tanya Patih Giling Wesi.
"Entahlah," sahut Rangga mendesah.
Pendekar Rajawali Sakti itu terus memandang ke arah
Utara, tempat bayangan hitam tadi lenyap ke arah sana.
Hatinya masih bertanya-tanya diliputi keraguan, bercampur rasa heran dan tidak
percaya dengan yang dilihatnya
barusan. Apa yang terjadi di Kerajaan Galung ini, membuat Rangga terus bertanyatanya. Pertama, sikap burung
rajawali raksasa yang aneh. Kemudian malapetaka yang
menimpa Patih Giling Wesi dan Kerajaan Galung. Dan kini yang baru saja
terjadi.... Belum sempat Rangga memperoleh semua jawaban
dari berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk di
benaknya, pendengarannya yang setajam rajawali menangkap suara beberapa orang yang berlari cepat
menuju ke arahnya. Begitu pula dengan Patih Giling Wesi.
Sesaat mereka saling beipandangan. Tanpa berkata-kata lagi, mereka segera
melesat ke atas, dan hinggap di dahan yang cukup tinggi dan berdaun rindang.
Tidak lama kemudian, dari arah Selatan bermunculan
sekitar tiga puluh orang. Mereka berlari cepat menuju ke arah Utara. Dari cara
berlari, sudah dapat diketahui kalau mereka rata-rata memiliki tingkat
kepandaian cukup tinggi.
Begitu cepatnya mereka berlari, sehingga perbatasan itu hanya terlewati dalam
sekejap saja. Rangga dan Patih Giling Wesi menunggu sampai orangorang itu tidak terlihat lagi. Tak lama, mereka melompat turun dengan gerakan
yang sangat ringan, tanpa
menimbulkan suara sedikit pun. Patih Giling Wesi
memandang lurus ke arah Utara. Raut wajahnya seketika berubah memerah.
"Kau mengenali mereka, Paman?" tanya Rangga langsung menebak.
"Ya," sahut Patih Giling Wesi.
"Merekalah yang meruntuhkan Kerajaan Galung. Aku tidak tahu, apa yang mereka
buru di sana."
Rangga tidak bertanya lagi. Dia memandang ke arah
Utara juga, tapi tertuju ke angkasa. Tidak ada lagi
bayangan hitam di sana. Hanya awan pekat yang berarak menutup cahaya bulan.
Pikirannya masih terpusat pada
burung rajawali raksasa yang baru saja melintas bagai kilat di angkasa. Kemudian
pandangan matanya beralih pada
empat sosok mayat yang masih tergeletak di pinggir jalan.
"Tidak mungkin rajawali melakukan pembunuhan tanpa ada sebabnya. Tapi..., luka
itu bekas cakaran burung
raksasa... Ah!" Rangga berbicara sendiri di dalam hati.
Memang sukar untuk dipercaya. Tapi kenyataan yang
dihadapi, membuat Rangga tidak habis berpikir. Sejak kecil dia bersama Rajawali
Sakti sahabatnya, yang juga menjadi guru dan orang tua angkatnya. Dia kenal
betul watak Rajawali Sakti. Tidak mungkin membunuh orang tanpa ada sebabnya.
Tapi melihat sikap Rajawali Sakti sahabatnya yang aneh beberapa hari lalu,
membuat Rangga jadi berpikir keras.
Tidak biasanya Rajawali Sakti meninggalkannya begitu saja dengan perasaan
gelisah. Sepertinya ada sesuatu yang....
Rangga tidak bisa melanjutkan. Dia tidak tahu lagi, dan tidak bisa menduga-duga.
* ** 3 Rangga meninggalkan Patih Giling Wesi di sebuah
rumah penginapan. Yang tentu saja diterima dengan rasa hormat dan bangga,
sehingga patih itu diberi kamar khusus oleh pemilik rumah penginapan. Bahkan dia
berharap agar Istana Galung kembali bersih dari manusia-manusia kotor yang
membuat seluruh rakyat seperti berada di atas api neraka. Dari pemilik rumah
penginapan itu pula Rangga mengetahui keadaan Kerajaan Galung.
Dengan mengerahkan ilmu lari cepat, Rangga menuju
sebuah hutan lebat di sebelah Utara Kerajaan Galung. Dia baru berhenti setelah
tiba di sebuah padang rumput yang cukup luas.
Sebentar diamati keadaan sekitarnya,
kemudian berdiri tegak memandang ke angkasa.
"Sui it...!"
Pendekar Rajawali Sakti itu bersiul panjang melengking, bernada aneh. Dua kali
dia bersiul nyaring. Kemudian
menunggu dengan pandangan lurus ke angkasa. Setelah
cukup lama juga berdiri menunggu, kemudian terlihat
sebuah titik putih keperakan di angkasa. Titik kecil itu kini semakin jelas
terlihat bentuknya.
"Khraghk...!"
"Rajawali! Ke sini!" seru Rangga seraya melambaikan tangannya.
"Khraghk!"
Burung rajawali raksasa meluruk turun dengan cepat,
dan mendarat ringan di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Pemuda berbaju rompi putih itu menghampiri, dan
mengelus-elus leher burung raksasa itu. Rajawali Sakti menggerung-gerung
seraya menggeIeng-gelengkan
kepalanya. "Aku ingin bertanya padamu. Aku harap kau bersedia mengatakannya terus terang,"
kata Rangga hati-hati, tidak ingin menyinggung perasaan Rajawali Sakti.
"Khrrrk..."
"Kau tidak ke Kerajaan Galung semalam, Rajawali?"
tanya Rangga. Sebentar burung raksasa itu memandang pada Rangga,
kemudian kepalanya menggeleng-geleng disertai suara
mengkirik lirih.
"Terus terang, aku melihat rajawali melintas di atas kepalaku. Dan ada empat
orang tewas akibat..."
"Graghk...!"
Rangga terdiam sebelum ucapannya selesai. Keningnya
berkerut dalam melihat rajawali menggerung hebat, serta sayapnya dikepakkan
kuat-kuat, Kepalanya menggeleng-geleng, dan sinar matanya memerah tajam. Sebelah
kakinya terhentak-hentak keras, membuat bumi yang
dipijaknya bergetar bagai terjadi gempa,
"Maafkan aku, Rajawali. Bukan maksudku membuatmu marah. Aku hanya ingin
mengatakan yang sebenarnya,"
ucap Rangga buru-buru, berusaha meredakan kemarahan
Rajawali Sakti.
Rajawali Sakti menggerung lirih. Kepalanya tertunduk
dalam menekur tanah. Dia merunduk mendekam diam,
memperdengarkan suara lirih. Rangga memeluk leher
burung raksasa itu. Tangannya mengelus-elus lembut.
"Aku juga tidak percaya kalau kau yang melakukan itu, Rajawali," ucap Rangga
pelan. "Krrrhhh...."
"Aku tidak tahu, apa yang membuatmu jadi gelisah dan marah! Mana pernah aku
menyangka buruk terhadapmu.
Bahkan sudah kucoba untuk menyangkal penglihatanku
semalam. Tapi aku benar-benar melihat jelas, meskipun berulang kali kubantah.
Aku percaya kalau kau tidak pergi ke mana-mana semalam," Rangga mengungkapkan
isi hatinya. Rajawali Sakti menarik kepalanya lepas dari pelukan
Rangga. Ditatapnya lurus bola mata pemuda itu. Mata yang semula merah menyala,
kini terlihat redup dan sayu.
Rangga jadi tergerak hatinya melihat pandangan mata yang begitu sendu. Dapat
dirasakan adanya kepedihan di had Rajawali Sakti. Tapi dia tidak tahu, apa
sebenarnya yang membuat Rajawali Sakti bersikap aneh seperti ini. Cepat
tersinggung, dan mudah sedih.
Burung rajawali raksasa itu mematuk-matuk tanah di
depannya, kemudian menyorongkan kepalanya ke depan.
Rangga lebih mendekat, dan naik ke punggungnya. Dia
tahu kalau rajawali memintanya naik.
"Khraghk...!"
Dua kali kepakan sayap saja, Rajawali Sakti itu telah melambung tinggi ke
angkasa. Dua kali berputar,
kemudian melesat terbang menuju ke arah Utara.
"Mau ke mana?" tanya Rangga keras, berusaha mengalahkan deru angin.
"Khraghk!"
Rangga menjulurkan kepalanya, dan memandang ke
bawah. Tampak hutan lebat bagai tidak bertepi, terhampar hijau di bawah sana.
Sama sekali tak terlihat apa-apa, selain kehijauan hutan dan dataran yang
menggunung. Rajawali Sakti membelokkan terbang-nya ke arah Barat, dan terus melesat cepat
sambil ber-kaokan keras. Entah sudah berapa gunung, lembah, dataran, serta
padang rumput yang teriewati, tapi Rajawali Sakti tetap terbang cepat. Rangga tidak
lagi memandang ke bawah. Dia tidak mengerti, akan dibawa ke mana! Meskipun ingin
bertanya, tapi hanya disimpan saja dalam hati
* ** Hampir satu harian Rajawali Sakti terbang bersama
Rangga yang berada di punggungnya. Hingga pada satu
daerah yang berlembah sangat dalam, rajawali menukik
turun. Rangga mengerutkan keningnya. Kini terlihat jelas kalau lembah itu adalah
Lembah Bangkai, tempat dia
menempa diri di bawah bimbingan Rajawali Sakti.
Rajawali terus menukik turun masuk ke dalam lembah,
lalu hinggap di depan mulut goa yang sangat besar. Tidak jauh dari goa itu
terdapat sebuah makam yang sangat
indah dan terawat rapi. Tidak ada rumput liar di sekitar makam itu. Rangga
melompat turun dari punggung
rajawali. Sebentar dipandangi tempat yang
penuh kenangan baginya ini.
"Rajawali, kenapa kau bawa aku ke sini?" tanya Rangga.
"Krrrkh...!" Rajawali Sakti mengkirik lirih.
Rangga memperhatikan gerak kepala burung itu yang
mematuk-matuk tanah, kemudian menjulurkan kepala ke
mulut goa. Rajawali berjalan gontai memasuki goa itu.
Rangga mengikutinya dengan kening masih berkerut. Goa ini tidak begitu dalam,
tapi terdapat empat ruangan
khusus. Rajawali" mendekam di atas ranting kering dan rerumputan yang tertata
rapi. Kepalanya bergerak ke
kanan dan ke kiri, kemudian menjulur ke salah satu
ruangan goa di samping kanannya.
"Ruang baca...," gumam Rangga mengenali ruangan itu.
"Buku apa yang harus kubaca?"
Rajawali mematuki tubuhnya sendiri pada bagian dada.
Sebentar Rangga memperhatikan, kemudian melangkah
masuk ke dalam ruangan baca itu. Ruangan yang tidak
begitu besar, namun tersimpan bermacam-macam buku
kumal dan telah berusia ratusan tahun. Hampir semua
buku di dalam ruangan ini sudah dibacanya. Bola mata
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak berkedip memandangi buku-buku yang terjajar di
dalam rak dari kayu jati.
Tangannya menjulur mengambil sebuah buku bersampul
merah muda bergambar dua ekor burung rajawali.
Sebentar dipandangi sampul buku itu, lalu dibersihkannya debu yang rnelekat.
Sebentar kemudian dia melangkah ke luar."Buku ini yang kau maksud?" Rangga
menunjukkan buku di tangannya pada rajawali.
"Khrrrk."
Kepala burung rajawali raksasa itu terangguk-angguk
beberapa kali. Rangga tersenyum dan menganggukkan
kepalanya sedikit. Segera dihampiri sebuah batu yang
datar dengan permukaan licin berkilat Batu pualam putih itu terasa dingin saat
Rangga duduk bersila di atasnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu mulai membuka buku yang
diambil dari ruangan baca. Buku itu ternyata hanya berisi gambar-gambar burung
rajawali dengan berbagai tingkah-polahnya. Ada dua burung rajawali. Yang satu
berwarna putih keperakan, sedangkan satu lagi berwarna hitam
pekat. Tidak ada satu pun tulisan di dalam buku ini.
Sampai pada lembar terakhir, hanya ada satu kalimat yang tertera. "SEPENGGAL
DARI SEPASANG RAJAWALI SAKTI".
"Hmmm..., apa maksudnya?" gumam Rangga bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Rangga kembali membolak-balik isi buku itu. Satu
persatu gambar diperhatikan dengan teliti. Kemudian
kepalanya terangkat, langsung menatap rajawali yang
mendekam memperhatikannya pula. Kembali Rangga
memandang ke arah buku yang terbuka di tangannya, lalu kembali mengangkat
kepalanya lagi. Terlihat kening
Pendekar Rajawali Sakti berkerut dalam memandang
Rajawali Sakti' di depannya.
"Ini gambarmu?" tanya Rangga menunjuk satu gambar rajawali berwarna putih
keperakan. Rajawali mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dan siapa yang satunya lagi?" tanya Rangga.
Rajawali menjulurkan sebelah kakinya ke depan.
Dengan cakarnya yang besar dan kuat, dikais-kais tanah di depannya. Rangga
beranjak turun dari batu pualam yang didudukinya, lalu menghampiri rajawali itu.
Kembali keningnya berkerut dengan mata agak menyipit melihat
sebuah kitab kumal tertimbun di dalam tanah.
"Kitab apa ini?" tanya Rangga seraya mengambil kitab itu. Dibersihkan kitab
tersebut dari tanah yang melekat.
"Khraghk!"
"Rupanya kau ingin menunjukkan sesuatu padaku,
Rajawali," kata Rangga lembut.
Pendekar Rajawali Sakti kembali duduk di atas batu
pualam pipih berkilat itu. Dia duduk bersila dan mulai membuka lembaran kitab


Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang Rajawali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Ternyata kitab tersebut berisi riwayat kehidupan Rajawali Sakti disertai
beberapa gambar dua ekor burung dengan tingkah-polahnya. Sesekali
Rangga memandangi rajawali yang mendekam dengan
kepala tertunduk. Semakin dalam membaca kitab itu,
semakin jelas dan dimengerri diri Rajawali Sakti.
Rangga menutup kitab itu setelah selesai membacanya.
Agak lama juga dipandangi Rajawali Sakti yang masih
mendekam dengan kepala tepekur dalam. Sepasang bola
matanya redup, tanpa terlihat cahaya kegairahan. Ada
perasaan iba terselip dalam hati Rangga, melihat sikap rajawali yang kelihatan
begitu sedih dan murung. Dia ingin menghibur, tapi tidak tahu bagaimana caranya.
"Rajawali...," pelan suara Rangga memanggil.
"Krrrhk...," Rajawali Sakti mengkirik lirih. Kepalanya terangkat sedikit menatap
pada pemuda di depannya.
"Maafkan aku,
Rajawali. Seharusnya aku tidak menyinggung-nyinggung masa lalumu," ucap Rangga pelan.
"Khrrrhk...,"
kepala burung rajawali menggeleng pelahan. "Sejak kapan kau berpisah dengan pasanganmu?"
tanya Rangga. Rajawali menunjuk buku yang dipegang Rangga dengan
menjulurkan kepalanya. Rangga membuka kembali buku
itu. "Hm..., hampir seratus tahun..."!" Rangga bergumam terkejut. la kembali
membaca tulisan di buku itu. "... Hal ini terpaksa kulakukan demi kelangsungan
hidup Rajawali Putih. Mereka akan kembali ke nirwana jika sampai
melangsungkan perkawinan. Rajawali Hitam memang
diciptakan untuk menggoda dan mempengaruhi Rajawali
Putih. Sifat mereka berdua berbeda dan saling bertolak belakang. Sayang, aku
tidak mampu melenyapkan Rajawali Hitam. Dan mereka memang tidak dapat mati,
karena mereka adalah titisan Dewa untuk melindungi manusia
dari kehancuran dan keangkara murkaan. Tapi tugas
utama itu telah disalahgunakan Rajawali Hitam. Maaf,
terpaksa kupisahkan kalian berdua. Ini kulakukan agar kau tetap berada di jalan
yang lurus, Rajawali Putih...."
Rangga berhenti membaca, lalu menatap Rajawali Putih
di depannya. Kini dia baru tahu panggilan untuk burung raksasa itu. Dan dia juga
baru tahu kalau di dunia ini ada rajawali lain yang sifatnya bertolak belakang
dengan Rajawali Putih. Buku ini memang sengaja ditulis Pendekar Rajawali yang hidup
ratusan tahun lalu. Seorang pendekar tanpa tanding, yang kemudian menyepi karena
tidak ada lagi yang mampu melawannya (Baca serial perdana
Pendekar Rajawali Sakti, dalam episode "Iblis Lembah Tengkorak").
"Aku bisa memahami perasaanmu, tapi kau juga tidak boleh mengabaikan kewajiban
utamamu. Makhluk sejati
tidak pernah mementingkan diri sendiri, Rajawali Putih.
Ikhlaskan dia pergi dengan membawa nafsu dan
kesenangan pribadinya. Bahkan aku mengharapkan kau,
atau siapa saja yang dapat mengendalikannya, untuk
merubah segala sifatnya yang buruk. Aku yakin, suatu saat dia
akan mendapatkan pengasuh yang mampu menunjukkan jalan kebenaran...," Rangga melanjutkan membaca.
"Khraghk!"
tiba-tiba Rajawali Putih mengangkat kepalanya. Suaranya begitu keras, seakan-akan hendak
menghancurkan seluruh dinding goa ini.
Rangga juga terlonjak, dan cepat melompat ke luar.
Ditinggalkan kitab di tangannya itu diatas batu pualam putih. Begitu cepat ia
melompat, tahu-tahu sudah berada di luar goa. Pada saat kakinya menjejak tanah,
di atas kepalanya melintas satu bayangan besar berwarna hitam.
Rajawali Putih juga melesat keluar goa. Dia berkaokan keras dengan kepala
menjulur tinggi ke atas. Rangga
mendongakkan kepalanya. Bayangan hitam besar itu
berputar tiga kali di udara, lalu melesat cepat ke arah Selatan.
"Rajawali Hitam...," desis Rangga. "Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat naik ke punggung Rajawali Putih.
Dan seketika itu juga, Rajawali Putih melesat ke angkasa dengan kecepatan penuh.
Bagaikan kilat saja, tahu-tahu sudah mengawang tinggi, dan terus menuju ke arah
Selatan. Rangga terpaksa
berpegangan erat pada leher burung rajawali raksasa itu.
Angin yang bertiup begitu keras, menderu memekakkan
telinga. "Dia turun ke gunung itu...!" seru Rangga membe-ritahu.
"Khraghk!"
* ** Rajawali Putih meluruk turun ke arah Puncak Gunung
Kilasan yang tertutup kabut tebal. Rangga segera
melompat turun begitu kaki Rajawali Putih menyentuh
tanah. Ringan clan tanpa suara sedikit pun, sepasang kaki Pendekar Rajawali
Sakti menjejak tanah berumput tebal.
Sejenak dia memandang berkeliling, namun yang tampak
hanya kabut tebal menghalangi pandangannya.
Rangga segera mengerahkan aji 'Tatar Netra', sehingga dapat melihat jauh dan
terang, meskipun sekelilingnya tertutup kabut tebal. Hanya saja dia tetap tidak
dapat menemukan yang dicarinya.
"Hhh! Ke mana dia" Jelas sekali kalau tadi turun ke sini," gumam Rangga pelan.
"Kherkh...!"
"Kau melihat sesuatu. Rajawali Putih?" tanya Rangga.
Rajawali Putih mengkirik lagi, lalu kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan
beberapa kali. Rangga menarik napas panjang. Rajawali Putih juga tidak melihat
apa-apa. Udara pun bertambah dingin meng-gigilkan tubuh.
"Mungkin bukan di sini tempatnya," duga Rangga.
Rajawali Putih menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kau yakin ini tempat Rajawali Hitam?"
Kepala Rajawali Putih mengangguk.
"Aku percaya antara kau dengan Rajawali Hitam ada hubungan batin yang kuat.
Kalau begitu, sebaiknya kita cari di sekitar tempat ini," usul Rangga.
Rajawali Putih menjulurkan kepalanya ke depan, hingga hampir menyentuh tanah.
Rangga mengerti maksudnya.
Segera dia melompat naik ke punggung Rajawali Putih itu.
Sesaat kemudian, Rajawali Putih sudah membumbung
tinggi ke angkasa, dan berputar-putar di atas Puncak
Gunung Kilasan ini. Tapi sejauh mata memandang, hanya warna hijau tertutup kabut
tebal saja yang tampak.
"Lebih ke bawah lagi! Ke lereng!" seru Rangga keras.
"Khraghk!"
Rajawali menukik sampai ke Lereng Gunung Kilasan ini.
Dia berkeliling sampai tiga kali, tapi tidak juga menemukan yang dicarinya.
Bahkan sampai terus ke kaki gunung,
belum juga didapat. apa yang dicarinya. Rangga meminta rajawali agar mendarat.
Sementara matahari sudah
tergelincir ke Barat. Suasana remang-remang, berangsur gelap. Udara di-sekitar
Gunung Kilasan ini semakin dingin.
"Kau masih merasakan dia ada di sini, Rajawali Putih?"
tanya Rangga setelah turun dari punggung Rajawali Putih itu.
Rajawali Putih hanya diam saja, tidak membuat gerakan sedikit pun. Rangga
memperhatikan, sepertinya Rajawali Putih tengah diliputi kebimbangan. Meskipun
hanya seekor burung, tapi sikap dan perasaan Rajawali Putih melebihi manusia.
Dan Rangga bisa memahami perasaan Rajawali
Putih saat ini.
"Bagaimana sekarang" Hari sudah gelap," kata Rangga memberikan pilihan.
Rajawali Putih hanya mengkirik lirih. Kepalanya
bergerak menggeleng beberapa kali. Rangga mengerti
kalau burung raksasa itu tidak punya pilihan lagi. Dan saat ini juga Rangga
tidak tahu, apa yang akan dilakukan
Sementara dia pun jadi teringat dengan Patih Giling Wesi yang ditinggalkan di
sebuah rumah penginapan.
"Kau di sini saja, Rajawali. Aku akan pergi sebentar,"
kata Rangga. "Krrrhk...!"
"Tidak mungkin. Aku akan ke Kotaraja Kerajaan Galung.
Kau di sini saja. Besok pagi aku datang, lalu kita akan mencari lagi Rajawali
Hitam." Rajawali Putih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku pergi dulu."
* ** 4 Rangga terkejut memandangi rumah penginapan yang
tampak sepi, serta bagian depan rumah yang terlihat
hancur. Meja kursi dan perabotan lainnya berantakan di depan. Perasaan tidak
enak menyelinap di hatinya.
Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melangkah masuk ke dalam rumah penginapan
itu. Langkahnya cepat, dan terlihat buru-buru. Ayunan
kakinya terhenti seketika begitu memasuki lororig yang di kanan dan kirinya
terdapat pintu kamar. Tidak ada satu pintu pun yang tertutup. Dan keadaannya pun
berantakan sekali. Di lantai lorong, tergeletak tiga sosok mayat laki-laki.
Pelahan-lahan Rangga melangkah menyusuri lorong itu. Kembali langkahnya terhenti
setelah tiba di depan salah satu pintu kamar yang terbuka lebar dan setengah
hancur. Keadaan di dalam kamar itu juga berantakan, seperti habis diamuk binatang liar.
Tidak ada seorang pun terlihat. Tapi, di lantai dan dinding kamar itu terdapat
bercak-bercak darah yang masih basah.
"Paman Patih...," desis Rangga bergetar.
Di kamar inilah Rangga meninggalkan Patih Giling Wesi pagi tadi. Kecemasan
melanda hati Pendekar Rajawali
Sakti ini. Bergegas dia berbalik dan melangkah cepat
meninggalkan lorong kamar penginapan ini. Namun begitu kakinya
menginjak ujung lorong yang langsung berhubungan dengan bagian depan, mendadak sebatang
tombak panjang meluruk deras ke arahnya.
"Uts, hap!"
Cepat sekali Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan,
seraya tangannya bergerak cepat menangkap tombak itu.
Namun belum juga bisa menarik kembali tubuhnya,
Sviseorang melompat cepat sambil mengayunkan sebilah
golok besar dan panjang.
Dengan cepat Rangga
mengayunkan tombak yang ditangkapnya tadi, untuk
memapak kibasan golok itu.
Trak! Tombak itu terpenggal menjadi dua bagian, tapi Rangga segera melompat ke samping
menjauhi orang yang
menyerangnya secara tiba-tiba itu. Pada saat kaki
Pendekar Rajawali Sakti baru menyentuh lantai, orang itu sudah berbalik dan
langsung melompat menyerang.
Goloknya yang besar berkelebat cepat ke arah dada.
Dalam posisi seperti ini, tidak ada kesempatan buat
Rangga berkelit. Jalan satu-satunya adalah mengangkat tangannya ke depan dada,
lalu mengepit golok itu dengan kedua telapak tangan yang menyatu rapat.
Dan secepat itu pula, kaki kanannya melayang ke
depan mendupak tepat di perut orang itu.
"Ugh!" orang itu mengeluh pendek, dan terdorong beberapa langkah ke belakang.
Kalau saja tadi Rangga mengerahkan tenaga dalam,
mungkin perut orang itu bakal jebol. Tapi dupakan itu memang cukup keras,
sehingga membuat orang itu
meringis kesakitan. Rangga membuang golok yang berhasil dirampasnya.
"Paman Walaka...!" seru Rangga begitu mengenali orang yang menyerangnya. "Kenapa
kau menyerangku...?"
"Ugh! Oh...!" laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu juga tampak
terkejut. Dia memang Paman Walaka, pemilik rumah penginapan
ini. Rangga bergegas menghampiri, dan mengambil kursi yang terguling. Kemudian
dituntunnya Paman Walaka, dan didudukkannya di kursi kayu itu. Sebentar Rangga
memeriksa perut laki-laki itu, kemudian mengambil kursi lagi dan duduk di
depannya. "Apa yang terjadi di sini?" tanya Rangga setelah Paman Walaka terlihat tenang.
"Mereka...,
mereka menghancurkan tempatku, membunuh tamu-tamuku, Tuan," sahut Paman Walaka
tersedu. "Siapa mereka?"
"Mereka orang jahat yang menguasai Istana Galung."
"Hm..., Paman. Di mana Paman Patih Giling Wesi?"
tanya Rangga. "Aku tidak tahu. Semula Gusti Patih Giling Wesi sempat bertarung dengan mereka.
Selanjutnya, aku tidak tahu lagi.
Aku berusaha menyelamatkan diri, karena tidak mungkin melawan mereka yang punya
kemampuan tinggi "
"Paman melihat mereka menangkap Paman Patih?"
desak Rangga. "Tidak."
Rangga bangkit dari duduknya dan melangkah ke
depan. "Tuan..."
Rangga menghentikan langkahnya, lalu berbalik.
"Tolong bebaskan kami. Bebaskan Kerajaan Galung dari tangan mereka. Rakyat
begitu menderita akibat kekejaman mereka, Tuan," ratap Paman Walaka memelas.
"Berapa banyak jumlah mereka?" tanya Rangga.
"Tidak tahu pasti. Tapi mereka begitu banyak, dan rata-rata memiliki tingkat
kepandaian tinggi. Bahkan para
panglima tidak sanggup menghadapinya. Dan lagi, Gusti Prabu pun tidak mampu
menandingi pemimpin mereka.
Tolong, Tuan! Tuan seorang pendekar, kami semua pasti tidak akan tinggal diam,
dan akan membantu semampu
kami. Semua rakyat Galung sudah tidak tahan lagi hidup dalam penindasan dan


Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang Rajawali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekejaman mereka," rengek Paman Walaka.
Rangga sangat trenyuh mendengar permintaan orang
tua ini. Dia hanya bisa tersenyum getir dan mengangguk, kemudian berbalik
melangkah ke luar. Paman Walaka
mendesah panjang. Dia sangat berharap agar pendekar
muda itu mengusir orang-orang berhati iblis dari bumi Kerajaan Galung ini.
Bahkan seluruh rakyat akan rela
berkorban menyabung nyawa.
* ** Rangga berjalan pelahan-lahan melintasi jalan utama
yang cukup besar di Kerajaan Galung ini. Sepanjang jalan yang dilalui, tidak
terlihat seorang pun berada di luar rumah. Semua rumah yang berada di kerajaan
ini tertutup rapat pintu dan jendelanya. Sungguh suatu pemandangan yang tidak
menyenangkan hati.
"Berhenti...!"
Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti terhenti ketika
terdengar suara keras dari arah belakang. Belum sempat menoleh, dari setiap
balik dinding rumah penduduk,
berlompatan orang bersenjata terhunus. Mereka serentak mengepung dengan sorot
mata permusuhan.
"Hm..., lima belas orang," gumam Rangga menghitung dalam hati.
"Kisanak, siapa kau" Dan apa tujuanmu datang ke
sini?" bentak salah seorang yang berdiri tepat di depan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak segera menjawab.
Diperhatikannya orang setengah baya berbaju ketat
berwarna merah, yang menghunus tombak panjang
bermata tiga itu.
Wajahnya kasar,
mencerminkan kebengisan. Sinar matanya merah menyala, menyorotkan
nafsu membunuh.
"Aku seorang pengembara, dan hanya sekedar lewat sini saja," sahut Rangga kalem.
"Kisanak! Daerah ini terlarang bagi siapa pun. Dan mereka yang berani melanggar,
harus menyerahkan semua harta bendanya!" kata orang itu dingin.
"Aku tidak punya harta. Apa yang kalian inginkan dariku?" masih terdengar tenang
suara Rangga, namun dari nadanya dapat dirasakan ketidak sukaan.
"Hm..., kau membawa pedang cukup bagus. Apa kau
bisa menggunakannya?"
"Tentu saja. Aku menggunakan pedang ini untuk
menghancurkan iblis berkedok manusia!"
Merah padam wajah orang itu mendengar kata-kata
yang terdengar tenang, namun sangat menyakitkan telinga.
Bahkan empat belas orang lainnya menggereng marah.
Kata-kata Rangga sungguh menyinggung perasaan. Tentu
saja itu berarti sebuah tantangan.
"Kadal! Rupanya kau cari mampus di sini, heh!" bentak orang itu sengit.
"Untuk apa aku mencari mati" Hanya Dewata yang tahu kematianku," sahut Rangga
mulai sinis. "Wadyabala! Cincang keparat busuk ini!"
"Hiya...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa diperintah dua kali, mereka yang memang sudah
tidak sabar lagi, langsung berlompatan menyerang. Rangga melompat ke atas
sebelum orang-orang itu sempat
menyentuh tubuhnya. Dengan indah sekali dia mendarat di atas atap sebuah rumah.
Namun tiga orang dari mereka
cepat melesat mengejar.
"Yaaah...!"
Sambil berteriak nyaring, Rangga menghentakkan
tangannya ke depan. Satu aliran tenaga dalam yang sangat dahsyat, terlontar dari
kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya, tiga orang itu
terlempar jatuh deras ke bawah sebelum mencapai atap. Begitu derasnya, sehingga
terdengar bunyi tulang-tulang yang patah. Ketiga orang itu menggeliat dan
merintih kcsakitan.
Rangga melompat turun ke bawah, dan segera
menyerang orang-orang itu. Pukulan dan tendangannya
demikian keras, serta mengandung tenaga dalam sangat
sempurna. Siapa saja yang terkena tendangan dan
pukulannya, terlontar jauh dengan tulang remuk. Namun mereka bukanlah orang
sembarangan yang hanya umbar
bacot saja. Tingkat kepandaian mereka juga cukup tinggi, sehingga mampu
menandingi Pendekar Rajawali Sakti
dalam beberapa jurus.
Satu persatu mereka dibuat jatuh bangun. Namun
serangan yang datang tidak berhenti. Bahkan semakin
bertambah dahsyat saja. Beberapa kali Rangga harus
berlompatan menghindari senjata lawannya. Jerit kematian dan teriakan-teriakan
pertarungan berbaur menjadi satu.
Terlihat, sudah lima orang tergeletak tak bernyawa lagi.
"Khraghk...!"
Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar dari
angkasa. Belum sempat ada yang menyadari, sebuah
bayangan hitam meluruk deras langsung menghajar orang-orang yang mengepung
Pendekar Rajawali Sakti. Sesaat
Rangga terperangah, namun dengan cepat melompat
mundur. "Khraghk!"
"Rajawali Hitam...," desis Rangga begitu melihat jelas benda besar
hitam yang kini tengah mengamuk
membantai orang-orang itu.
Jerit melengking terdengar saling sambut, disusul
tubuh-tubuh yang bergelimpangan bersimbah darah.
Rajawali Hitam mengamuk, mencakar, mengoyak, dan
mematuk orang-orang itu. Sementara Rangga semakin
terkesiap melihat di punggung burung raksasa berwarna hitam pekat itu, duduk
seseorang yang juga memakai baju warna hitam pekat dan sangat ketat. Orang itu
menghunus sebuah pedang hitam panjang yang selalu mengepulkan
asap merah tipis.
Pedang itu berkelebatan cepat membabat setiap orang
yang dekat dalam jangkauannya. Sukar dipercaya! Dalam waktu sebentar saja, tidak
ada lagi yang hidup. Dan burung raksasa berwarna hitam itu pun langsung melesat
ke angkasa. "Hey! Tunggu...!" seru Rangga keras.
"Khraghk...!"
Burung raksasa itu berputar rendah di atas kepala
Rangga, kemudian membumbung tinggi ke angkasa.
Dengan gerakan cepat bagai kilat, Rangga melompat ke
udara. Dengan mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega', dikejarnya burung raksasa itu.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti berhasil menangkap sebelah
kaki burung raksasa itu, dan memeluknya erat-erat. Burung raksasa itu
menghentakkan kakinya berusaha melepaskan rangkulan Rangga yang sangat kuat.
Merasa sukar untuk melepaskan rangkulan itu, Rajawali Hitam itu menukik
deras, lalu menyambar sebatang pohon besar dengan
kakinya. "Akh...!" Rangga memekik keras begitu tubuhnya membentur batang pohon itu.
Namun dia tetap bertahan, berpegangan erat pada kaki
sebesar batang pohon kelapa itu. Burung raksasa itu
kembali membumbung tinggi ke angkasa, dan kembali
menukik deras ke bawah. Sebongkah batu cadas yang
besar dihajar dengan kakinya. Batu itu hancur berkeping-keping. Namun Rangga
tetap bertahan tidak melepaskan
rangkulannya. "Khraghk...!"
"Cukup, Rajawali Hitam. Bawa dia turun!" terdengar suara kecil namun tegas
nadanya. "Khraghk!"
Burung Rajawali Hitam meluruk turun. Dan mendarat
lunak di hamparan padang rumput yang luas. Rangga
langsung melompat menjauh, lalu berdiri tegak memandang burung rajawali raksasa berwarna hitam
pekat itu. Dan kini pandangannya tertumpu pada orang
yang berada di punggung rajawali hitam itu, yang kemudian melompat turun.
Gerakannya begitu indah dan ringan,
pertanda memiliki kepandaian yang tinggi.
Bola mata Rangga agak menyipit, berusaha melihat
jelas wajah yang terselubung cadar biru pekat yang tipis.
Dari bayang-bayang cadar itu, dapat dipastikan kalau orang itu adalah wanita.
Bentuk tubuhnya pun ramping dengan tonjolan indah pada dadanya. Orang itu
berdiri tegak di depan burung Rajawali Hitamnya.
"Aku tahu siapa dirimu. Aku minta, jangan campuri urusan Kerajaan Galung. Itu
urusanku sendiri!" tegas kata-kata orang itu.
"Siapa kau?" tanya Rangga.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku."
Orang itu segera melesat naik ke punggung Rajawali
Hitam. "Tunggu dulu!" seru Rangga cepat.
"Aku percaya kau mampu dan memiliki kepandaian
yang sangat tinggi, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi itu bukan urusanmu! Aku masih
mampu menghancurkan mereka!"
"Hey...!"
Rangga ingin berkata lagi, tapi burung hitam raksasa itu sudah keburu melesat
tinggi. Rangga hanya bisa
memandangi dengan benak diliputi berbagai macam
pertanyaan yang sulit terjawab saat ini.
"Siapa dia" Dalam buku milik Pendekar Rajawali yang hidup seratus tahun lalu,
dituliskan kalau Rajawali Hitam ada yang memiliki. Aneh..." Dia mengatakan
urusan Kerajaan Galung adalah urusannya sendiri. Siapa dia
sebenarnya?" Rangga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri mematung,
namun hatinya berbicara sendiri. Kini persoalan yang
dihadapinya semakin pelik. Di satu pihak, tidak bisa
membiarkan orang-orang berhati iblis menguasai Kerajaan Galung. Di pihak lain,
dia pun harus mengetahui orang yang kini menguasai Rajawali Hitam, sekaligus
ingin menentramkan hati Rajawali Putih-nya.
Memang ada resiko yang sangat besar bila Rangga
berhasil mempertemukan kedua burung rajawali raksasa
itu. Tapi ini yang tidak diinginkannya. Rajawali Putih bakal kembali ke Nirwana
untuk selama-lamanya. Bukan hanya
dua persoalan yang kini dihadapi Rangga, tapi juga harus berhadapan dengan dua
pilihan yang amat sulit Dan dia harus menentukan pilihan itu. Namun tidak mudah
untuk menentukannya. Persoalannya, kedua pilihan itu tidak
di nginkannya sama sekali! Jelas, ini mengandung resiko yang amat besar. Bukan
hanya bagi dirinya, tapi juga bagi Rajawali Putih yang amat disayangi, melebihi
pada dirinya sendiri.
"Oh, Dewata Yang Agung.... Apa yang harus kulakukan sekarang...?" keluh Rangga.
Rangga berjalan pelahan-lahan menuju Gunung Kilasan.
Kepalanya tertunduk dalam, dan sesekali terdengar tarikan napasnya yang panjang
dan berat. Saat ini dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan. Persoalan
yang dihadapi sungguh luar biasa, dan membuatnya bingung untuk
mencari pemecahannya. Otaknya serasa buntu, tidak
mampu lagi diajak berpikir.
Sementara malam merayap bertambah larut. Udara di
sekitarnya semakin dingin. Kabut tebal pun turun
menghalangi pandangan mata. Namun Pendekar Rajawali
Sakti tetap melangkah. Hanya saja, kini dia tidak tahu lagi arah yang dituju.
Sepanjang mata memandang, hanya
ketebalan kabut yang pekat. Entah sudah berapa jauh
berjalan. Rangga baru menyadari kakinya menyentuh bibir Lembah Ular Berbisa.
Satu daerah .yang tidak pernah
di njak manusia.
"Kenapa aku sampai di sini...?" Rangga jadi heran sendiri. "Sepertinya tadi aku
menuju ke Gunung Kilasan.
Tapi kenapa bisa sampai di sini...?"
Arah yang dituju memang jauh berlawanan. Gunung
Kilasan berada di sebelah Utara Lembah Ular Berbisa, yang letaknya berada di
sebelah T imur Kerajaan Galung. Dan ini berarti dia harus kembali lagi melintasi
Hutan Krambang.
Tapi dalam cuaca yang berkabut seperti ini, memang sukar mencari arah. Bisa-bisa
malah semakin jauh tersesat.
Rangga mendongakkan kepalanya ke atas, ber-siap-siap
memanggil Rajawali Putih. Tapi niatnya itu diurungkan karena kabut yang demikian
tebal. Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Dikerahkan aji 'Tatar Netra' untuk mengatasi kabut yang tebal. Dengan aji 'Tatar
Netra, kabut setebal apa pun tidak menjadi halangan bagi penglihatannya.
"Ada api," gumam Rangga saat memandang ke arah Hutan Krambang.
Bergegas Rangga melangkah ke arah api yang
dilihatnya. Jarak yang harus ditempuh cukup jauh. Tapi dengan aji 'Tatar Netra',
dia tidak lagi mengalami kesulitan dengan penglihatannya. Bahkan Pendekar
Rajawali Sakti itu mampu mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk
mempercepat langkahnya.
* ** Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar
Rajawali Sakti sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Sehingga dalam waktu sebentar saja, sudah sampai di
tempat api yang dilihatnya tadi. Tampak seorang laki-laki bertubuh gemuk, duduk
dekat api itu. Dan dia menoleh
begitu merasa ada orang lain menghampirinya.
"Paman Patih...," desis Rangga begitu orang gemuk itu memalingkan mukanya.
"Rangga...!" Patih Giling Wesi terkejut bercampur gembira melihat kedatangan
Rangga. Rangga menghampiri dan duduk di depan Patih Giling
Wesi. Sesaat mereka terdiam dan hanya saling pandang
saja. Keadaan Patih Giling Wesi begitu kumuh. Pakaiannya koyak di beberapa
Rahasia Bayangan Setan 2 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Raja Naga 7 Bintang 3

Cari Blog Ini