Ceritasilat Novel Online

Seruling Perak 1

Pendekar Rajawali Sakti 35 Seruling Perak Bagian 1


SERULING PERAK Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Sending Perak 128 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Alunan seruling terdengar merdu ditiup seorang bocah gembala di Kaki Bukit
Paderesan. Alunan merdu itu terbawa
hembusan angin pagi, terus menyelusup ke dalam lembah, dan terpantul dinding
tebing membawa keindahan tersendiri bagi yang mendengarnya. Suara merdu itu
terus menembus jauh sampai ke sebuah tempat yang dikenal bernama Kadipaten Panjawi.
Sebuah kadipaten yang tidak begitu besar, ter-letak di sebelah Utara Bukit
Paderesan. Semua orang di kadipaten itu selalu
men-dengar alunan suling yang merdu itu, setiap kali fajar menyingsing. Bahkan
alunan sending itu menjadikan tanda
datangnya fajar, yang selalu ditunggutunggu untuk memulai kegiatan rutin setiap
hari. Entah kapan dimulainya, yang jelas sebelum terdengar suara seruling itu,
tak ada seorang pun yang keluar dari dalam rumahnya.
"Gusti Ayu, suara seruling itu sudah ter-dengar," ujar seorang wanita bertubuh
gemuk yang duduk bersimpuh di samping sebuah pembaringan besar.
Tampak sosok tubuh ramping tergolek di pembaringan beralaskan kain sutra halus
berwarna merah muda. Tubuh itu menggeliat dan bangkit berdiri, kemudian duduk di
tepi pembaringan sambil mendengarkan
alunan suara se-ruling yang menyusup ke
dalam kamar berukuran cukup besar dan indah ini.
"Buka jendelanya, Emban Giri," lembut terdengar suara wanita muda berwajah
cantik itu. Perempuan gemuk yang mengenakan kemben sebatas dada itu beranjak bangkit setelah
memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangannya didepan hidung.
Kemudian, dibukanya jendela lebar-lebar, dan dibiarkan cahaya matahari pagi
menerobos masuk menghangatkan ruangan besar ini. Dan kini wanita gemuk itu
kembali lagi dan duduk bersimpuh di lantai.
"Sudah disiapkan air hangat untuk mandiku, Emban?" masih terdengar lembut suara
wanita itu. "Semuanya sudah siap, Gusti Ayu Nila Kumala!" sahut Emban Giri seraya memberi
hormat. Wanita yang dipanggil Gusti Ayu Nila
Komala itu tersenyum manis, kemudian
beranjak turun dari pembaringannya. Ayunan kakinya lembut dan gemulai menuju
sebuah pintu kamar pesiraman yang terbuka lebar.
Dia masuk melewati pintu itu dan
menutupnya kembali. Sedangkan Emban Giri tetap duduk bersimpuh di lantai
menunggu junjungannya membersihkan diri.
Pada saat itu terdengar suara ketukan di pintu. Bergegas Emban Giri bangkit dan
berjalan ke pintu kamar ini. Dibukanya sedikit, diintip keluar. Begitu yang
dilihatnya seorang laki-laki berusia
setengah baya dan dikawal empat orang berseragam prajurit berdiri di ambang
pintu, bergegas Emban Giri membuka pintu kamar itu lebar-lebar. Laki-laki
setengah baya itu melangkah masuk ke dalam. Wanita gemuk itu menutup pintu,
sedangkan empat orang pengawal memegang tombak panjang, menjaga di depan pintu.
"Katakan pada putriku, hari ini aku akan mengajaknya berburu," kata laki-laki
setengah baya itu.
"Hamba, Gusti Adipati," sahut Emban Giri.
Laki-laki setengah baya yang ternyata ada-lah Adipati Panjawi itu memutar
tubuhnya dan berjalan keluar. Emban Giri bergegas membuka pintu dan memberi
hormat Ditutupnya pintu kamar itu kembali setelah Adipati Panjawi jauh
meninggalkan kamar ini diiringi empat orang pengawal
bersenjata tombak.
"Ada siapa tadi, Emban?" tiba-tiba saja Gusti Ayu Nila Komala muncul.
"Oh, Gusti Ayu.... Itu tadi Gusti Adipati," sahut Emban Giri langsung berlutut
memberi hormat.
"Ada apa Ayah ke sini?" Tanya Nila Komala.
"Gusti Adipati ingin mengajak Gusti Ayu berburu. Katanya agar bergegas, sebentar
lagi berangkat," Emban Giri menyampaikan pesan Adipati Panjawi.
"Tidak biasanya...?" Nila Komala mengerutkan keningnya.
Belum pernah ayahnya mengajak berburu begitu mendadak. Kalau pun mereka akan
berburu, pasti sudah direncanakan satu pekan sebelumnya. Tapi ini.... Nila
Komala menatap dalam-dalam wanita gemuk yang berlutut di lantai, di samping
pintu kamar ini. Nila Komala membalik-kan tubuhnya, lalu melangkah menuju
jendela. Dilayangkan pandangannya keluar, sebentar kemudian kembali menatap
wanita tua gemuk itu.
"Siapkan perlengkapanku, Emban," perintah Nila Komala.
"Baik, Gusti Ayu."
*** Semua orang yang berdiri di sepanjang jalan Kota Kadipaten Panjawi membungkukkan
tubuh saat rombongan berkuda melintasi jalan itu. Tampak di atas seekor kuda
putih yang tinggi tegap, Nila Komala duduk didampingi ayahnya yang berkuda di
sampingnya. Di punggung gadis itu tersampir anak-anak panah. Sebuah busur yang
sangat indah tersimpang di dadanya. Cantik sekali, namun juga terlihat gagah
bagai seorang pendekar wanita.
Rombongan berkuda itu terus bergerak
cepat memasuki hutan yang berada di
sebelah Barat Kadipaten Panjawi. Mereka terus memacu kudanya semakin masuk ke
dalam hutan, dan baru berhenti setelah senja mulai merayap turun. Orang-orang
yang mengenakan seragam prajurit, dengan
cekatan mendirikan tenda-tenda untuk
bermalam di tepi sungai kecil berair
jernih. Nila Komala menempati tenda yang cukup besar di samping tenda ayahnya.
Delapan buah tenda lain berdiri
mengelilingi kedua tenda yang cukup besar itu. Masing-masing pintu tenda dijaga
dua orang prajurit.
"Tidak ada hewan buruan yang baik di
hutan ini," ujar Adipati Panjawi sambil memandang ke sekeliling dari depan
tendanya. "Mungkin mereka takut, Ayahanda," sahut Nila Komala.
"Takut! Takut pada siapa?" Adipati Panjawi menoleh menatap putrinya yang berdiri
di sampingnya. "Yaaa..., sama kita semua."
"Kau bicara seperti seorang pendeta saja, Nila."
"Mungkin karena aku cukup lama tinggal di Pertapaan Sokapura. Eyang Brantapati
selalu menjejaliku dengan norma-norma kehidupan. Bah-kan sampai lupa memberiku
ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian,"
terlalu ringan suara Nila Komala.
"Tapi kepandaian yang kau miliki
sekarang ini tidak ada bandingannya di Kadipaten Panjawi, Anakku. Bahkan
panglima kerajaan sendiri rasanya harus berpikir seribu kali jika berhadapan
denganmu,"
ujar Adipati Panjawi bernada bangga.
"Ayahanda terlalu berlebihan memujiku,"
Nila Komala tersipu.
"Tidak. Eyang Brantapati juga berkata demikian. Bahkan katanya kau hampir
menyamai ilmu-nya sendiri."
Nila Komala hanya
tersenyum saja.
Rasanya terlalu sering mendapat pujian seperti itu dari ayahnya. Dan memang
hanya dialah satu-satunya putri Adipati Panjawi.
Namun Nila Komala bukan gadis manja yang lemah. Sejak kecil kepribadiannya
selalu ditempa berbagai pelajaran keras
dan dijejali norma-norma kehidupan di
Pertapaan Sokapura. Memang bukan hanya ayahnya saja yang selalu memuji, tapi
hampir semua orang selalu memujinya.
Bahkan begitu menghormatinya, melebihi rasa hormatnya pada Adipati Panjawi
sendiri. Pelahan-lahan gadis
itu melangkah mendekati sungai kecil yang berada tidak Jauh dari tem-pat perkemahan ini.
Adipati Panjawi mengikuti-nya dari belakang.
Demikian pula empat orang pengawal yang selalu setia menjaga junjungan-nya. Nila
Komala melompat ke atas batu yang cukup besar dan tinggi. Gerakannya begitu
ringan dan indah. Tak ada suara desiran angin sedikit pun saat melompat. Gadis
itu memandang berkeliling.
"Apakah Ayahanda tidak salah memilih jika tempat ini dijadikan tempat berburu?"
Tanya Nila Komala seraya melompat turun dari batu besar hitam itu. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat lunak di depan ayahnya.
"Tidak. Kenapa?" sahut Adipati Panjawi.
"Hutan ini sering didatangi orang.
Rasanya tidak mungkin ada hewan buruan di sini. Aku melihat adanya bekas-bekas
tebangan pencari kayu," kata Nila Komala.
"Ha ha ha...!" Adipati Panjawi tertawa terbahak-bahak.
Nila Komala berkerut keningnya, lalu
menatap dalam-dalam wajah ayahnya. Sudah diduga kalau maksud sebenarnya bukan
untuk berburu. Hanya saja sampai saat ini belum bisa ditebak, apa maksud ayahnya
sebenarnya membawa ke hutan ini. Hutan yang tidak begitu lebat yang selalu
menjadi tempat untuk mencari kayu bakar. Nila Komala bisa mengetahui dari
banyaknya pohon bekas tebangan. Juga rerumputan di sini, sepertinya sering
diinjak kaki manusia. Bukan kaki binatang buruan, atau binatang lainnya.
"Sudah kuduga, kau pasti bisa cepat mengetahui," ujar Adipati Panjawi setelah
berhenti tawanya.
"Cukup lama aku tidak pergi berburu, tapi bukan berarti lupa terhadap
pengetahuanku di dalam hutan," kata Nila Komala.
"Itulah yang kuharapkan darimu, Nila,"
pelan suara Adipati Panjawi
"Ayahanda punya maksud tertentu?" tebak Nila Komala langsung.
Adipati Panjawi tidak segera menjawab, tapi malah menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat. Pelahan
kakinya terayun melangkah kembali ke
tendanya. Nila Komala mengikuti dan
mensejajarkan langkahnya di samping laki-laki setengah baya itu. Untuk sesaat
tidak ada yang berbicara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
Mereka masuk ke dalam tenda paling
besar, yang digunakan untuk Adipati
Panjawi sendiri. Empat orang pengawal yang mengikuti, hanya menjaga di depan
tenda, bergabung bersama dua penjaga yang tidak bergerak dari tempat tugas-nya.
Adipati Panjawi duduk bersila beralaskan permadani tebal dari bulu domba.
Sedangkan Nila Komala mengambil tempat di depan laki-laki setengah baya itu.
Adipati Panjawi masih juga belum membuka suara, meskipun Nila Komala ingin
sekali mengetahui jawaban dari pertanyaannya tadi.
"Sejak ibumu meninggal, tidak ada yang bisa kulakukan selain menjaga dan
mempersiapkanmu untuk mewarisi Kadipaten Panjawi ini." ujar Adipati Panjawi
pelan, seakan-akan berbicara kepada dirinya
sendiri. "Ayahanda.... Janganlah mengingat-ingat mendiang Bunda lagi. Biarkan Bunda
tenang di Taman Nirwana bersama para bidadari,"
kata Nila Komala ikut terkenang akan
mendiang ibunya.
"Kau begitu tabah, Anakku. Ketabahanmu itulah yang membuatku bertahan untuk
tidak mencari pengganti ibumu," agak terbata nada suara Adipati Panjawi Nila
Komala hanya diam saja. Dia memang tahu. Sejak ibunya meninggal, ayahnya selalu menyendiri dan berubah jauh dari sebelumnya.
Tapi yang paling dirasakan, Adipati
Panjawi itu selalu mendesak agar putrinya mempelajari ilmu olah kanuragan dan
ilmu-ilmu kesaktian. Itu sebabnya sebelum Nila Komala dikirim ke Pertapaan
Sokapura, gadis itu telah digembleng oleh berbagai ilmu olah kanuragan dan ilmu
keprajuritan. Dan kini Nila Komala menjadi seorang
Wanita tegar berhati singa.
Tidak pernah gadis itu berpikiran lain, tapi tiba-tiba saja mempunyai pikiran
yang selalu dibantahnya sendiri. Jelas maksud suci ayahnya tidak ingin dinodai,
yang diyakininya memiliki alasan tertentu bagi kebaikan dirinya. Satu niatan
yang suci di mata Nila Komala.
"Berapa usiamu ketika Ibu meninggal?"
Tanya Adipati Panjawi setelah cukup lama berdiam diri.
"Lebih kurang
lima belas tahun,
Ayahanda," sahut Nila Komala dengan kening agak berkerut.
Pertanyaan ayahnya itu
terasa aneh di telinga-nya. Hanya saja, Nila Komala tidak ingin menyelak lebih
dahulu. "Tentu kau masih ingat, Nila...," kata Adipati Panjawi lagi.
"Maksud, Ayahanda...?" jantung Nila Komala mulai terasa lebih cepat berdetak.
"Peristiwa itu yang membuat ibumu meninggalkan kita semua."
Nila Komala tidak berkata-kata.
Digigit-gigit bibirnya sendiri dan
kepalanya bergerak tertunduk. Tentu saja ingatannya tidak akan terlupa, meskipun
sudah berusaha melupakannya. Namun bayang-bayang peristiwa itu masih tetap
melekat di benaknya. Pelahan Nila Komala
mengangkat kepalanya, langsung menatap sepasang bola mata ayahnya. Tampak jelas
kalau bola mata Adipati Panjawi berkaca-kaca.
"Kalau saja aku mampu, dan tidak bodoh, tentu kejadian itu tidak perlu sampai
seperti itu. Bertahun-tahun aku selalu menyesali kebodohanku, Nila. Itu sebabnya
aku tidak ingin kau bodoh dan lemah
seperti ayahmu ini. Aku ingin kau tegar, berhati baja, dan sanggup me-lakukan
apa saja, meskipun hanya seorang wanita," agak tersendat suara Adipati Panjawi.
"Aku selalu berusaha untuk tidak mengecewakan Ayahanda," ucap Nila Komala.
"Sedikit pun kau tidak pernah
mengecewakanku, Nila. Bahkan aku begitu bangga kepadamu," Adipati Panjawi
mencoba tersenyum, namun terasa hambar senyuman laki-laki setengah baya itu.
Kembali mereka terdiam untuk beberapa saat lamanya. Tak ada yang bersuara.
Bahkan suara binatang malam pun seakanakan terhenti secara tiba-tiba. Dua kali
Nila Komala menarik napas panjang.
Dicobanya untuk bisa memahami dan menebak maksud ayahnya membawa ke hutan ini
Yang pasti, Nila Komala sudah menebak kalau ayahnya mengajak ke hutan ini bukan untuk
berburu, melainkan ada alasan tertentu yang belum diungkapkan. Tapi dari sikap
ayahnya, Nila Komala sudah bisa menarik kesimpulan, meskipun masih belum
diyakini kebenarannya.
*** Pagi ini udara terasa begitu cerah.
Burung-burung berkicau ramai, menyambut datangnya cahaya kehidupan bagi seluruh
makhluk di permukaan bumi ini. Kicauan burung itu semakin semarak, karena
ditimpali oleh suara alunan seruling yang selalu terdengar di saat fajar


Pendekar Rajawali Sakti 35 Seruling Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyingsing. Nila Komala terjaga dari tidurnya.
Tubuhnya menggerinjang bangkit, dan duduk di pembaringan yang hanya beralaskan
permadani tebal berbulu halus. Gadis itu bangkit berdiri dan melangkah keluar.
Dua orang prajurit yang menjaga pintu tenda segera membungkuk memberi hormat.
Nila Komala mengayunkan kakinya mendekati tenda ayahnya, tapi mendadak saja
langkahnya berhenti.
"Kau sudah bangun, Nila...?" terdengar teguran dari arah belakang.
Nila Komala segera membalikkan tubuhnya, dan lantas tersenyum begitu melihat ayahnya sudah berada di depannya. Gadis
itu memandang ke sekeliling. Hatinya agak
heran juga, karena prajurit-prajurit
ayahnya tidak membongkar tenda. Biasanya tempat ini hanya untuk persinggahan
saja sambil menunggu malam, kemudian
melanjutkan perjalanan kembali menjelang fajar.
"Kenapa mereka tidak segera berkemas...?" Tanya Nila Komala setengah bergumam. Nada suaranya seolah-olah
bertanya pada dirinya sendiri.
"Masih beberapa hari lagi kita di sini," jawab Adipati Panjawi seraya mengajak
jalan Nila Komala.
Mereka kemudian melangkah pelahan-lahan sambil menghirup udara pagi yang segar.
Suara alunan seruling masih terdengar merdu, mengiringi kicauan burung yang
bernyanyi riang. Suara itu seperti datang dari segala penjuru, mengalun
merdu terbawa hembusan angin pagi.
"Ayahanda...."
"Ada apa, Anakku?"
"Boleh bertanya sesuatu?" terdengar ragu-ragu suara Nila Komala.
"Tanyakanlah," desah Adipati Panjawi.
"Siapa peniup seruling itu?" Tanya Nila Komala, setelah menarik napas sebentar.
"Kenapa..." Kau tertarik dengan irama-nya?" Adipati Panjawi malah balik
bertanya. "Sepertinya sejak kecil aku sudah mendengar suara seruling itu, sehingga begitu
akrab di telinga. Bahkan seluruh rakyat kadipaten jadi tergantung pada
suara itu," Nila Komala berkata sangat hati-hati sekali.
"Hhh...!" Adipati Panjawi mendesah panjang.
Laki-laki setengah baya itu berhenti
me-langkah, lalu menyandarkan punggungnya pada sebatang pohon jati. Nila Komala
juga ikut berhenti melangkah, kemudian memandangi wajah ayahnya yang mendadak
saja berubah murung.
"Maaf, Ayahanda. Bukannya aku hendak membuat kesedihan hatimu," ucap Nila Komala
menyesal. "Ahhh.... Tidak, Anakku," sahut Adipati Panjawi mendesah panjang.
Nila Komala menghampiri sebatang pohon yang tumbang, lalu duduk di sana. Alunan
suara seruling itu sudah tidak lagi
terdengar, dan kicauan burung pun berhenti. Hanya desiran angin saja yang
mengusik gendang telinga.
Baru saja Nila Komala hendak membuka
suara kembali, mendadak terdengar jeritan melengking tinggi. Dan belum lagi
hilang jeritan itu, kembali muncul jeritan yang saling susul. Gadis itu
tersentak kaget, karena para prajurit yang berada di
sekitar tenda bertumbangan dan bergelimpangan di tanah. Belum lagi gadis itu
sempat menyadari apa yang terjadi,
mendadak saja dari segala penjuru bertebaran anak panah mengarah tubuhnya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Nila Komala langsung melompat dan
berputaran di udara, menghindari hujan anak panah yang datang tidak ada
hentinya. Dalam keadaan sibuk seperti ini, gadis itu masih sempat melihat ayahnya yang
juga sedang menghalau anak-anak panah dengan pedang. Tapi mendadak saja sebatang
anak panah luput, dan langsung menancap dalam di bahu laki-laki setengah baya
itu. "Akh...!" Adipati Panjawi memekik tertahan.
"Ayah...!" seru Nila Komala terkejut Darah langsung merembes dari bahu yang tertembus panah. Nila Komala bergegas melompat sambil menjambret sebatang
ranting. Dengan ranting itu dihalaunya anak
anak panah yang masih ganas
menghujaninya. Hanya dalam sekali lesatan saja, gadis itu sudah sampai di tempat
ayahnya. Pada saat yang sama, sebatang panah meluruk deras tak dapat dibendung
lagi oleh Adipati Panjawi.
"Hiyaaat..!"
Wut! Trak! Hanya menggunakan ranting rapuh, Nila Komala berhasil membabat panah yang hampir
menembus leher ayahnya. Dan dengan
kecepatan yang luar biasa, gadis itu
menyambar tubuh ayahnya, langsung melesat membawa pergi dari tempat ini. Sungguh
tinggi ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya. Dalam waktu singkat saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak
terlihat lagi. "Bunuh mereka semua..! Jangan ada yang
dibiarkan hidup!" tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar.
Dan belum lagi hilang suara teriakan
bernada perintah itu, dari balik semak belukar dan puncak pohon
berlompatan sosok-sosok tubuh yang langsung menyerbu para prajurit Kadipaten Panjawi. Mereka
bergerak bagaikan setan saja. Begitu
cepatnya mereka membantai habis para
prajurit itu. Dalam waktu singkat, tidak ada seorang pun yang tersisa hidup.
"Cepat! Tinggalkan tempat ini...!"
kembali terdengar suara teriakan keras menggelegar.
Sosok-sosok tubuh itu berlompatan
meninggalkan tempat di tepian sungai kecil itu. Dalam waktu sebentar saja,
tempat ini kembali sunyi. Suasana menggiris terlihat Mayat-mayat bergelimpangan
berlumuran darah. Tenda-tenda porak-poranda, dan pepohonan bertumbangan tidak
tentu arah. Kesunyian begitu mencekam. Namun hanya sesaat kesunyian itu terjadi, karena
sebentar saja terdengar alunan suara
seruling. Tapi kali ini nadanya jauh
berbeda. Suaranya bagai jeritan hati
seorang gadis belia yang tidak kuat
menanggung beban kehidupan.
*** 2 Nila Komala menghentikan larinya
setelah cukup jauh meninggalkan tepian sungai. Diturunkan ayahnya yang berada di
punggungnya. Dibaringkan laki-laki setengah baya itu di bawah pohon rindang.
Sebatang panah masih menancap di bahu Adipati Panjawi itu.
"Ayah...," panggil Nila Komala.
Adipati Panjawi tersenyum tipis.
Wajahnya mulai memucat dan membiru. Nila Komala memeriksa daerah bahu di sekitar
luka, kemudian tersentak kaget saat
melihat bahu ayahnya membiru kehitaman.
Buru-buru ditotoknya bagian yang belum terjalar warna biru kehitaman itu.
"Kita harus cepat cari tabib. Panah ini beracun," kata Nila Komala.
"Terlambat..!" tiba-tiba saja terdengar suara menggema.
"Eh...!" Nila Komala terkejut, dan langsung bangkit berdiri.
Belum lagi gadis itu dapat berbuat
sesuatu, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat menerjangnya. Bergegas
Nila Komala membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Gadis
itu bergegas melompat bangkit, namun bayangan itu telah cepat kembali
menyerangnya. "Hup! Hiyaaa...!"
Nila Komala menghentakkan tangannya ke depan, menyambut bayangan itu. Satu
benturan keras terjadi disertai
terdengarnya ledakan menggelegar. Nampak Nila Komala terdorong dua langkah ke
belakang, sedangkan bayangan itu terpental balik begitu keras hingga menabrak
sebatang pohon besar sampai tumbang.
"Hiyaaa...!"
Nila Komala melentingkan tubuhnya dan berputaran dua kali di udara, Gadis itu
tepat mendarat di samping sesosok tubuh terbalut baju merah yang wajahnya
ditutupi topeng berbentuk kera berwarna perak. Nila Komala menjejak-kan kakinya
di dada orang itu. Seketika keningnya jadi berkerut, karena orang itu tidak
bergerak sama sekali. Cepat-cepat Nila Komala memeriksa, dan semakin terkejut. Ternyata orang itu
sudah tewas. Nila Komala membuka topeng yang menutupi wajah orang berbaju merah
itu. Dibaliknya, tampak seraut wajah pemuda cukup tampan. Tapi yang membuat gadis itu
terkejut, ternyata orang itu membunuh dirinya sendiri dengan meminum pil
beracun. Mulutnya berbuih berwarna kuning kehijauan. Ada bekas pukulan di dadanya. Nila Komala tahu, itu adalah bekas
pukulannya. Gadis itu tahu bahwa
sebenarnya pukulannya tadi tidak membahayakan. Jelas tidak mungkin orang itu sampai tewas. Paling tidak hanya
pingsan. Itu pun kalau yang terkena
pukulan tidak memiliki daya tahan tubuh sama sekali.
"Nilaaa...," terdengar panggilan lirih.
"Oh, Ayah...!" Nila Komala tersentak.
Gadis itu bergegas menghampiri ayahnya yang masih terbaring di bawah pohon.
Wajah laki-laki setengah baya itu semakin pucat membiru. Napasnya terlihat
lemah, dan dadanya hampir tidak bergerak. Nila Komala kelihatan cemas. Dia tidak
tahu lagi, harus berbuat apa untuk menolong ayahnya.
Racun dari panah itu sudah merasuk ke aliran darah Adipati Panjawi. Lambat, tapi
sangat mematikan.
"Bertahanlah sebentar, Ayah. Aku akan membawamu pada tabib istana," kata Nila
Komala. "Percuma, Anakku. Tidak ada
gunanya...," Lirih suara Adipati Panjawi.
"Tidak, Ayah. Bagaimanapun juga kau harus sembuh. Bertahanlah sebentar."
Adipati Panjawi lemah menggelenggelengkan kepalanya. Tatapan matanya
semakin terlihat sayu. Seluruh wajah laki-laki setengah baya itu sudah pucat
membiru. Totokan yang dilakukan Nila
Komala rupanya sia-sia belaka. Racun itu sangat kuat, dan telah merambat
menguasai jalan darah di tubuh Adipati Panjawi.
Nila Komala jadi kebingungan. Hatinya se-makin cemas melihat keadaan ayahnya.
Gadis itu mengangkat kepala ketika
mendengar suara siul-an yang berirama tak beraturan. Suara siulan itu semakin
lama semakin jelas terdengar. Nila Komala
menatap semak yang bergerak-gerak.
Sikapnya begitu waspada. Tangannya
seketika meraba gagang pedang di pinggang.
"Oh...!" Nila Komala terkejut begitu dari dalam semak keluar seorang laki-laki
muda berwajah cukup tampan.
Pemuda itu rupanya juga terkejut
melihat ada seorang gadis berlutut di samping sesosok tubuh dengan bahu
tertancap sebatang anak pa-nah. Siulannya langsung berhenti seketika, kemudian
terpaku sesaat.
Bergegas dihampirinya
gadis itu. Nila Komala hanya memandangi saja, bahkan sedikit pun tidak berbuat
apa-apa saat pemuda yang mengenakan baju rompi putih itu memeriksa tubuh Adipati
Panjawi. "Ck ck ck...!" Pemuda itu berdecak sambil menggelengkan kepala beberapa kali.
Sejenak diangkat wajahnya, langsung
menatap Nila Komala. Kemudian jari-jari tangannya bergerak membuat beberapa
pijatan di tubuh Adipati Panjawi. Pemuda itu segera duduk bersila, dan tangan
kanannya memegang panah yang tertancap di bahu laki-laki setengah baya itu,
lalu.... "Akh!" Adipati Panjawi memekik tertahan.
Panah beracun di bahunya tercabut dan kini berada di tangan pemuda tampan
berbaju rompi putih itu. Sebentar
dipandangi, lalu dibuangnya jauh-jauh.
Jari-jari tangannya bergerak cepat dan lembut di sekitar luka di bahu Adipati
Panjawi. "Cukup parah...," gumam pemuda itu mendesah.
Pemuda itu menempelkan kedua telapak
tangannya di dada Adipati Panjawi.
Sebentar kemudian, matanya terpejam, lalu tubuhnya bergetar. Tampak asap tipis
mengepul dari sela-sela jari tangannya.
Sebentar kemudian Adipati Panjawi
berdahak, lalu memuntahkan darah kental kehijauan beberapa kali. Seluruh tubuh
laki-laki setengah baya itu terlihat
lemah, dan wajahnya semakin memucat pasi.
Namun tidak lagi membiru seperti tadi.
"Hhh...!" pemuda berbaju rompi putih itu menarik napas panjang sambil menarik
tangan-nya. Adipati Panjawi memejamkan matanya
pelahan-lahan. Tarikan napasnya berangsur teratur. Pemuda itu menyobek baju
Adipati Panjawi dan membalut luka di bahunya.
Sebentar diperiksa tubuh laki-laki
setengah baya itu, kemudian dihenyakkan tubuhnya sendiri bersandar pada pohon
yang menaungi mereka dari sengatan sinar
matahari. "Tidak lama lagi akan sadar. Kau harus cepat mencari tabib yang ahli mengobati
racun. Aku rasa racun itu tidak asing lagi, dan banyak penawarnya," kata pemuda
berbaju rompi putih itu seraya bangkit berdiri.
"Tunggu...!" cegah Nila Komala seraya bergegas bangkit berdiri.
Pemuda berbaju rompi putih itu
mengurungkan langkahnya. Tubuhnya
berputar, dan kembali menghadap pada Nila Komala. Sesaat mereka saling tatap.
Jelas sekali kalau sikap Nila Komala terlihat kaku. Bibirnya terbuka, tapi tak
ada suara yang terdengar.
"Ada apa...?" Tanya pemuda itu.
"Oh,..! Eh, terima kasih," hanya itu yang keluar dari bibir mungil memerah.
Pemuda itu hanya tersenyum saja,
kemudian melangkah mundur beberapa tindak.
Tapi belum juga membalikkan tubuhnya, Nila Komala sudah memanggil lagi walaupun
suaranya agak bergetar. Entah kenapa, gadis itu sendiri tidak mengerti. Tibatiba saja sikapnya jadi kaku, terlebih lagi saat menatap pada bola mata bening
yang mengandung kekuatan aneh.
"Ada yang ingin kau katakan?" lembut suara pemuda itu.
"Ehm..., aku... Aku...," Nila Komala tergagap.
"Edan! Kenapa jadi gugup
begitu...?" Nila Komala memaki dalam hati.
Sungguh tidak mengerti akan sikapnya
sendiri yang mendadak saja jadi gugup.
Apakah karena terpaku pada ketampanan pemuda itu" Atau karena pemuda berbaju
rompi putih itu memiliki satu daya tarik yang luar biasa" Nila Komala menarik
napas dalam-dalam, berusaha untuk bisa
menenangkan diri.
"Tidak jauh dari sini ada sebuah
kadipaten. Disana kau bisa mencari tabib yang ahli dalam hal racun," jelas
pemuda itu mengisi kekakuan yang terjadi di
antara mereka.

Pendekar Rajawali Sakti 35 Seruling Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, aku tahu," desah Nila Komala.
"Kalau begitu, cepatlah. Sebelum terlambat Aku tadi hanya bisa memperlambat
penjalaran racun ke dalam jantungnya...,"
kata pemuda itu lagi.
"Ng..., tapi..," suara Nila Komala terputus. Pemuda itu mengerutkan
keningnya, sedangkan matanya agak menyipit memandang gadis itu. Kemudian
diangkat bahunya sedikit, lalu mendekati Adipati Panjawi. Tanpa berkata apa-apa
lagi, pemuda itu memondong tubuh laki-laki setengah baya yang masih tidak sadarkan
diri. Segera diayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Tapi Nila Komala masih
berdiri terpaku.
"Ayolah! Sebentar lagi malam," ajak pemuda itu.
"Oh! Eh..., iya."
Bergegas Nila Komala mengayunkan kaki, dan
mensejajarkan langkah di samping
pemuda itu. Mereka berjalan agak cepat tanpa berbicara lagi. Sesekali Komala
melirik wajah ayahnya yang masih terlihat pucat, dan beberapa kali pula melirik
pemuda tampan di sampingnya.
"Uh! Kenapa sikapku jadi gugup begini"
Apa sih kelebihan pemuda ini?" Nila Komala berbicara dalam hatinya sendiri,
"Tapi, kelihatannya dia bukan pemuda sembarangan.
Dan..., ah! Tidak! Aku tidak boleh....
Setan! Kenapa ada pikiran seperti itu"
Gila...!" Nila Komala menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan dia tidak lagi
mencuri-curi pandang pada pemuda di sampingnya.
Mereka terus saja berjalan tanpa
berkata-kata. Memang tidak enak, tapi hanya itu yang bisa dilakukan. Terlebih
lagi Nila Komala yang sedang berperang melawan batinnya sendiri. Sementara
Adipati Panjawi tetap belum sadarkan diri juga, dan masih berada dalam pondongan
pemuda berbaju rompi putih itu.
*** Nila Komala duduk memeluk lutut didepan pondok kecil beratapkan daun rumbia.
Hanya ada sebuah pelita yang menyala redup, menerangi bagian dalam pondok itu.
Beberapa lubang terlihat di dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Gadis itu
hanya menoleh sedikit saat mendengar pintu pondok terbuka. Muncul seorang lakilaki muda mengenakan baju rompi berwarna putih, yang kemudian menghenyakkan
tubuhnya di samping gadis itu.
"Untung belum tertambat. Eyang Jayanggu masih bisa mengatasinya...," ujar pemuda
itu setengah mendesah.
"Apa bisa sembuh?" Tanya Nila Komala.
"Mudah-mudahan," sahut pemuda itu.
Nila Komala menggeser duduknya agak
menjauh, kemudian berpaling menatap pemuda itu. Sesaat mereka terdiam, hanya
saling tatap saja. Sementara malam sudah beranjak
larut. Tak ada yang bisa didengar, kecuali jerit binatang malam mengusik
keheningan malam ini.
"Aku tidak tahu lagi harus berkata apa kepadamu...," pelan suara Nila Komala.
"Katakan saja apa yang ingin kau katakan," sahut pemuda itu ringan.
Nila Komala mengulas senyuman tipis.
Sebentar ditarik napasnya dalam-dalam.
"Kita sudah banyak bicara, tapi belum saling mengenal," ungkap Nila Komala
menyadari kalau belum mengenal nama pemuda itu.
"Seharusnya aku yang lebih dahulu memperkenalkan diri padamu. Kau telah berbuat
banyak menolong ayahku."
"O..., jadi itu ayahmu?" Pemuda itu baru tahu.
"Benar. Ayahku seorang adipati di kadipaten ini. Sebenarnya ayahku bernama Indra
Nata, tapi lebih sering dipanggil Adipati Panjawi. Dan aku sendiri bernama Nila
Komala." "Aku Rangga," pemuda itu juga mengenalkan diri. Mereka saling melemparkan
senyuman, dan secara bersamaan menarik napas panjang. Untuk beberapa saat tak
ada yang bicara lagi. Hanya pandangan mata mereka saja yang lebih banyak
mengucapkan kata-kata. Nila Komala memalingkan
mukanya, menatap arah lain. Rasanya tak sanggup terus menerus membalas pandangan
mata pemuda itu. Entah kenapa, dadanya selalu berdebar jika memandang sepasang
bola mata yang bening penuh ketegasan dan kekerasan hidup itu.
"Kenapa ayahmu sampai terluka?" Tanya Rangga yang lebih dikenal berjulukan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Entahlah..., aku tidak tahu," sahut Nila Komala mendesah pelahan.
Rangga menatap dalam-dalam wajah cantik di sampingnya. Agak aneh juga jawaban
Nila Komala tadi. Sudah jelas ayahnya terluka kena panah beracun, tapi gadis ini
sepertinya tidak tahu menahu.
"Jangan pandangi aku seperti itu, Kakang...," ujar Nila Komala agak tertahan
suaranya kala menyebut kakang pada Rangga.
"Kenapa?" Rangga tersenyum dikulum.
"Tidak apa-apa. Hanya saja..., jengah."
Rasanya Rangga ingin tertawa mendengar jawaban polos itu, tapi hanya senyum saja
yang keluar. Pemuda yang selalu mengenakan baju rompi berwarna putih itu
memalingkan mukanya ke arah lain, tapi sempat
dilihatnya rona wajah Nila Komala yang menyemburat merah dadu. Memang diakui,
sejak siang tadi suasana di antara mereka begitu kaku. Bahkan Nila Komala jarang
mengeluarkan suara kalau tidak ditanya.
Rangga sendiri tidak merasa aneh
setelah tahu kalau gadis ini putri seorang adipati yang kini sedang terbaring di
dalam, dirawat seorang tabib ahli dalam hal racun. Seorang gadis berdarah biru
memang berbeda dengan gadis-gadis biasa.
Dan Pendekar Rajawali Sakti itu bisa
memaklumi sikap Nila Komala.
Saat mereka tengah terdiam, tiba-tiba saja terdengar suara desingan halus dari
arah samping. Rangga menoleh, dan langsung mengebutkan tangan kanannya begitu
menangkap sebuah benda meluncur bagai kilat ke arah Nila Komala.
Tap! Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas
melompat berdiri. Di tangan kanannya sudah tergenggam sebatang anak panah
berwarna hitam pekat.
Secepat kilat Pendekar
Rajawali Sakti itu melemparkan panah ke arah datangnya tadi. Begitu cepat
kejadiannya, sehingga Nila Komala belum sempat menyadari. Gadis itu tersentak
kaget begitu mendengar jeritan melengking tinggi.
Tepat pada saat Nila Komala melompat bangkit, dari balik pohon di samping
pondok kecil ini keluar sesosok tubuh limbung, dan langsung ambruk Pada lehernya
tertancap sebatang anak panah hitam. Dan belum lagi mereka sempat berbuat
sesuatu, mendadak saja....
"Aaa...!" terdengar jeritan melengking dari dalam pondok.
"Ayah,..," desis Nila Komala.
"Eyang Jayanggu...," Rangga mendesis.
Tanpa berkata apa-apa lagi mereka
berlompatan masuk menerobos pintu pondok itu. Pada saat yang sama, terlihat
sesosok tubuh melesat cepat menerobos atap pondok hingga jebol berantakan.
Rangga dan Nila
Komala tidak sempat lagi mengejar, karena perhatiannya tertumpah pada dua sosok
tubuh yang tergeletak di pembaringan
bambu. Tiga anak panah tertancap di
masing-masing dada dua orang yang
tergeletak itu.
"Ayah...!" jerit Nila Komala langsung menubruk salah satu sosok tubuh laki-laki
setengah baya. Sedangkan Rangga menghampiri seorang
laki-laki tua yang tergeletak di samping Adipati Panjawi. Pendekar Rajawali
Sakti itu segera memeriksanya. Kepalanya
seketika tertunduk saat mengetahui Eyang Jayanggu sudah tidak bernyawa lagi. Dia
melirik Nila Komala
yang merintih menangisi ayahnya. Laki-laki setengah baya itu sudah tewas dengan tiga batang
panah tertanam dalam di dada.
"Nila...," Rangga menepuk lembut pundak gadis itu.
Perlahan-lahan Nila Komala mengangkat kepala-nya. Sepasang bola mata bersimbah
air mata itu menatap lurus bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian dirayapi
seluruh tubuh ayahnya yang terbaring kaku tak bernyawa lagi. Nila Komala
menggeser tubuhnya menjauh sambil menghapus air matanya yang membasahi pipinya.
Rangga mencabut panah-panah yang
tertanam di dada Adipati Panjawi maupun Eyang Jayanggu. Segera dibetulkan posisi
kedua laki-laki itu agar terbaring
sempurna. Sebentar kemudian, Rangga
menghampiri Nila Komala, yang tengah duduk di tepi pembaringan bambu ini. Rangga
berdiri di depannya sambil menepuk-nepuk lembut pundak gadis itu.
"Sepertinya...."
Belum juga Rangga menyelesaikan
ucapannya, mendadak saja atap pondok ini terbakar. Api seketika membesar. Dengan
cepat Pendekar Rajawali Sakti itu
menyambar tubuh Nila Komala, dan melesat keluar menerobos dinding pondok ini.
Sungguh di luar dugaan, sebentar saja api sudah membesar melahap pondok kecil
dari kayu dan anyaman bambu itu.
"Ayah..." Desis Nila Komala memandangi pondok yang terbakar demikian cepatnya.
Tak ada yang sempat menyelamatkan dua sosok mayat di dalam pondok itu. Api
semakin membesar melahap pondok itu.
Seketika saja suasana malam yang gelap dan dingin ini menjadi terang benderang
dan terasa hangat.
Rangga mengedarkan
pandangannya berkeliling, tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tidak melihat apaapa. Tak ada seorang pun yang nampak, kecuali mereka berdua.
Sementara Nila Komala hanya bisa
memandang pondok itu disertai linangan air mata yang membasahi pipinya. Gadis
itu melorot turun, jatuh berlutut di tanah.
Lemas seluruh tubuh-nya menyaksikan
kematian ayahnya yang begitu tragis,
terbakar dalam pondok tanpa dapat melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya.
*** 3 Nila Komala berdiri mematung sambil
memandangi gundukan tanah merah yang masih baru di depannya. Mereka baru pagi
ini dapat menguburkan mayat Adipati Panjawi yang sudah hangus terbakar.
Sementara Rangga masih merapikan kuburan Eyang
Jayanggu yang ikut terbakar dalam
pondoknya. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah menghampiri
Nila Komala, dan menepuk
pundaknya dengan lembut Gadis itu
berpaling. Tak ada lagi air mata terlihat di pipinya, meskipun kedua mata gadis
itu masih merembang. Dua kali dalam hidupnya disaksikan kematian tragis seperti
ini. Pertama, saat masih kecil. Ibunya tewas terbakar dalam pondok peristirahatan.
Dan se-karang ayahnya pun tewas dengan cara yang sama. Terbakar dalam pondok
setelah terlebih dahulu ditembus tiga batang panah berwarna hitam.
"Aku yakin..., pasti mereka yang melakukan...," desis Nila Komala tanpa sadar.
"Nila...," tegur Rangga lembut
"Hhh...," Nila Komala menarik napas panjang, kemudian memutar tubuhnya dan
melangkah pelahan-lahan.
Rangga mengikuti, dan mensejajarkan
langkahnya di samping gadis itu. Mereka terus berjalan pelahan-lahan tanpa
berkata sedikit pun, sepertinya tanpa tujuan yang pasti. Tak terasa, mereka
sudah demikian jauh.
Tiba-tiba Nila Komala berhenti
melangkah begitu di depannya terlihat sebuah bangunan batu yang merupakan tanda
dari Kota Kadipaten Panjawi.
Pandangan gadis itu beralih pada
seseorang yang duduk di bawah sebatang pohon rindang. Tidak jauh darinya
terlihat beberapa ekor domba tengah merumput Orang itu sama sekali tidak
menyadari kalau dirinya tengah diperhatikan, dan terus asyik meniup serulingnya
yang berwarna keperakan.
Pelahan-lahan Nila Komala
melangkah menghampiri, lalu berhenti
sekitar tiga langkah lagi di depan orang yang bertubuh kecil dan berperut buncit
itu. Orang yang tingginya sebaya dengan anak berumur dua belas tahun itu mengenakan
baju putih dan celana hitam sebatas lutut.
Walaupun tubuhnya kecil, tapi wajahnya sudah tua dengan janggut dan kumis putih
panjang. Kepalanya yang ditumbuhi rambut putih, terikat kain lusuh berwarna
hitam pekat. Seketika dihentikan tiupan serulingnya, dan diangkat kepala menatap
Nila Komala. Di belakang gadis itu berdiri Pendekar Rajawali Sakti.
"He he he..., kau tertarik oleh suara serulingku?" suara laki-laki kecil tua itu
terdengar serak dan kering.
"Indah sekali," ucap Nila Komala.
"Kalau begitu, duduklah di sampingku,"
wajah laki-laki tua seperti anak kecil itu berseri-seri.
Nila Komala menempatkan dirinya di
samping laki-laki tua itu, sedangkan
Rangga duduk bersila didepannya. Tanpa diminta, laki-laki bertubuh kecil itu
meniup serulingnya kembali. Terdengar alunan lembut yang menghanyutkan. Sungguh
indah tiupan seruling perak itu, se-hingga membuat Nila Komala tertegun.
Tapi tidak demikian halnya Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu bisa merasakan adanya pengerahan tenaga dalam dari
tiupan seruling itu, dan terasakan semakin kuat.
Rangga melirik Nila Komala yang nampak mengantuk. Kelopak matanya mulai turun,
dan akhirnya jatuh tertidur. Rangga
berpaling menatap laki-laki bertubuh kecil namun sudah berumur itu.
"He he he...," laki-laki itu terkekeh setelah menghentikan tiupan serulingnya.
Dielus-elus serulingnya bagai mengelus sesuatu yang amat berharga dan disayanginya. Kemudian diselipkan seruling berwarna perak itu di balik ikat pinggangnya.
Rangga masih memandangi tidak berkedip.
Masih terasa kekuatan dari irama tiupan seruling tadi.
"Biarkan dia tidur. Jiwanya begitu lelah...," ujar laki-laki tua itu.
"Hmmm...," Rangga hanya bergumam saja.
Sedikit dilirik nya Nila Komala yang
tertidur pulas di samping laki-laki
bertubuh kecil bagai seorang bocah berusia dua belas tahun itu.
"Dia adikmu..." Atau kekasihmu?" Tanya laki-laki tua itu.
"Bukan," sahut Rangga kembali menatap agak dalam.
"Aku merasakan adanya goncangan berat pada jiwanya. Begitu lelah, seperti
mendapat tekanan berat," tebak laki-laki tua bertubuh kecil itu seraya menatap
Nila Komala. "Kisanak, siapa kau sebenarnya?" Tanya Rangga, agak heran juga dengan tebakan
laki-laki di depannya yang begitu tepat.
Nila Komala memang baru saja mendapat guncangan jiwa yang sangat hebat Dan.
Rangga jadi curiga, karena laki-laki tua ini seperti sudah tahu semuanya. Lakilaki tua itu terkekeh, dan kembali menatap pemuda di depannya.
"Belum ada seorang pun yang bertanya begitu padaku. Biasanya mereka hanya
memandang tidak peduli, meskipun aku sudah berbuat banyak untuk mereka," ungkap
laki-laki tua itu. Ada nada keluhan dalam
suaranya. "Boleh aku tahu namamu, Kisanak?" Tanya Rangga lembut
"He he he...! Entahlah, Anak Muda. Aku sendiri sudah lupa siapa namaku. Tapi
orang-orang selalu memanggilku si Seruling Perak Yaaah..., mungkin karena setiap
hari selalu meniup seruling ini," laki-laki itu menepuk-nepuk seruling perak yang
terselip di pinggang.
Rangga melirik Nila Komala yang masih tertidur lelap.


Pendekar Rajawali Sakti 35 Seruling Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku hanya memberinya sedikit kete-nangan jiwa. Sepertinya dia butuh
istirahat banyak," kata si Seruling Perak, seolah-olah bisa me-ngerti arti
lirikan Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf, Kisanak Tadinya aku..."
"He he he... Sudahlah, Anak Muda. Aku bias memahami," potong si Sending Perak
cepat. "Kau bukan saudaranya, juga bukan kekasihnya. Lantas, kau ini apanya?"
"Hanya teman yang kebetulan bertemu di jalan. Hhh.. Namaku Rangga, Kisanak,"
sahut Rangga seraya memperkenalkan diri.
"Aku tahu," ringan sekali suara Seruling Perak.
"Kau tahu..?" Rangga heran juga.
"Tentu. Sejak melihatmu, aku sudah tahu siapa dirimu. Itu sebabnya aku bertanya,
apakah wanita ini saudaramu atau
kekasihmu. Sebab yang kudengar, kau
biasanya berjalan bersama kekasihmu.
Hmmm.... Siapa ya, namanya..." Oh, iya!
Pandan Wangi.... Benar?"
Rangga tersenyum seraya mengangguk.
Tapi dari sorot matanya masih terpancar keheranan, karena si Seruling Perak bisa
mengetahui persis tentang dirinya.
"Wanita ini pasti bukan Pandan Wangi, karena tidak membawa kipas yang menjadi
senjata utamanya," tegas Seruling Perak.
"Memang benar, Ki. Dia bernama Nila Komala, putri Adipati Panjawi," jelas
Rangga. "Oh..., penguasa kadipaten ini?"
"Benar."
"Kenapa bisa berada di sini bersamamu"
Bukankah Adipati Panjawi dan putrinya sedang berburu?" Tanya Seruling Perak.
"Sukar untuk dijelaskan, Kisanak. Tapi aku yakin kau sudah bisa menduga," sahut
Rangga. "He he he.... Kau begitu cepat sekali menangkapku, Pendekar Rajawali Sakti.
Tidak percuma kau menjadi tokoh nomor satu saat ini," ujar Seruling Perak seraya
terkekeh. Rangga hanya tersenyum saja.
"Gadismu sudah bangun," kata Seruling Perak seraya melirik Nila Komala.
"Hanya teman," Rangga meralat.
"He he he...."
*** Nila Komala memandangi istana kadipaten yang porak poranda. Sebagian besar
hangus ter-bakar. Tinggal puing-puing saja yang berserakan. Mayat-mayat
bergelimpangan tak tentu arah. Sebagian besar adalah para prajurit, dan beberapa
di antaranya adalah orang berbaju me-rah yang terdapat gambar tengkorak pada
bagian dada. Nila Komala melangkah pelahan-lahan memasuki bangunan
besar yang tinggal puing-puing saja.
Setiap kakinya melangkah, selalu menemukan mayat teronggok berlumuran darah.
"Ohhh...," terdengar suara rintihan lirih.
"Oh, Paman...," desis Nila Komala begitu menoleh.
Tampak seorang laki-laki setengah baya duduk bersandar di dinding hitam bekas
terbakar. Seluruh tubuhnya kotor, dan berlumur darah. Bajunya compang-camping
tak karuan lagi. Nila Komala bergegas menghampiri. Sementara di belakang gadis
itu berdiri Pendekar Rajawali Sakti
bersama laki-laki bertubuh kecil dan
berwajah tua. Rambut dan janggutnya juga telah putih.
"Paman..., Paman Mataun..., apa yang ter-jadi?" Tanya Nila Komala.
"Oh..., Gusti Ayu...," hanya itu yang bisa terucapkan laki-laki setengah baya
itu, karena langsung tidak sadarkan diri.
"Paman..., Paman Mataun...!" panggil Nila Komala seraya mengguncang tubuh lakilaki itu. Tapi Paman Mataun tetap diam dengan
mata terpejam. Nila Komala menoleh menatap dua orang yang berdiri saja di
belakangnya. Gadis itu kemudian berdiri dan melangkah mundur. Sebentar Rangga
menatap si Seruling Perak, atau Ki
Garatala. Rangga dan Nila Komala baru tahu nama laki-laki tua yang sebenarnya
ketika memasuki gerbang kadipaten. Laki-laki tua
itu sendirilah yang menyebutkannya.
Rangga menghampiri Paman Mataun.
Sebentar diperiksa laki-laki setengah baya itu, kemudian dipondongnya. Sejenak
Pendekar Rajawali Sakti itu memandang berkeliling, kemudian membawa Paman Mataun
ke tempat yang lebih bersih. Laki-laki setengah baya itu dibaringkan di atas
dipan bambu. Dipan yang biasa digunakan Nila Komala bercengkerama bersama
ayahnya ketika masih hidup.
"Hanya pingsan," kata Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu menatap
Nila Komala, tapi yang ditatap hanya
tertunduk saja di samping Ki Garatala.
Sebentar Rangga menarik napas panjang, dan matanya beredar berkeliling.
Sunyi...! Tak ada suara terdengar sedikit pun. Hanya desir angin yang mengusik
gendang telinga, membawa bau anyir darah.
Suasana di Kadipaten Panjawi ini memang sudah terasa aneh saat mereka memasuki
batas gerbang yang berada di Kaki Bukit Paderesan. Banyak rumah yang hangus
terbakar. Juga, tidak sedikit
mayat bergelimpangan di sepanjang jalan.
Pandangan Pendekar Rajawali Sakti itu kembali terarah pada Nila Komala.
"Apa sebenarnya yang terjadi di sini, Nila?" Tanya Rangga ingin tahu.
"Aku..., aku tidak tahu," sahut Nila Komala.
"Hm.... Sejak bertemu denganmu, aku sudah merasakan ada sesuatu yang terjadi,"
gumam Rangga sambil menatap tajam pada Nila Komala.
"Sudahlah, Rangga. Jangan mendesak terus. Aku yakin Nila Komala tidak tahu apaapa," Ki Garatala menengahi.
Rangga menarik napas panjang. Mereka
semua menoleh ketika mendengar erangan lirih. Tampak Paman Mataun mulai siuman
kembali. Ketiga orang itu bergegas
menghampiri. Laki-laki setengah baya itu memandangi wajah-wajah di dekatnya satu
persatu, kemudian menatap Nila Komala dengan bibir bergetar.
"Gusti Ayu...," lemah sekali suara Paman Mataun.
"Paman..., apa yang terjadi?" Tanya Nila Komala seraya melirik Rangga.
"Mereka, Gusti Ayu. Mereka benar-benar menghancurkan Kadipaten Panjawi ini.
Oh...!" tersendat dan lirih sekali suara Paman Mataun.
"Mereka siapa, Paman?" desak Nila Komala seraya menggigit bibirnya.
"Mereka..., oh! Orang-orang dari Seruling Perak.... Akh.'"
"Paman...!" sentak Nila Komala. Tapi laki-laki setengah baya itu sudah
mengejang kaku. Dari mulutnya menyembur darah berwarna
hitam kehijauan. Kedua
matanya membeliak lebar dan mulutnya
ternganga. Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya setelah memeriksa bagian bawah
leher Paman Mataun. Sedangkan Nila Komala menatap tajam orang tua bertubuh kecil
berperut buncit Sedangkan yang dipandang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
saja sambil berdecak pelahan hampir tidak
terdengar. "Bajingan...!" desis Nila Komala menggeram.
Gadis itu tiba-tiba saja melompat
menerjang si Seruling Perak dengan
kecepatan luar biasa. Tentu saja hal ini membuat laki-laki tua itu jadi
terkejut, dan buru-buru melompat mundur. Tapi tak urung satu pukulan tangan dari
Nila Komala berhasil mendarat di pundak kanannya.
"Akh!" Garatala terpekik tertahan.
Nila Komala kembali melompat selagi
tubuh tua kecil itu limbung ke belakang.
Dua pukulan beruntun dilepaskan gadis itu.
Tapi kali ini si Seruling Perak berhasil menghindari dengan manis. Sementara
Rangga hanya diam terpaku tidak mengerti. Memang tadi sempat didengar ketika
Paman Mataun menyebut nama Seruling Perak yang
melakukan semua penghancuran di Kadipaten Panjawi ini. Sementara itu Nila Komala
semakin ganas menyerang laki-laki tua bertubuh kecil bagai bocah berusia dua
belas tahun. "Nila, tunggu...!" seru Garatala sambil berkelit menghindari serangan Nila
Komala yang dahsyat dan sangat mematikan.
"Kau harus mampus, keparat! Hiyaaat..!"
seru Nila Komala.
Sret! Tring...!
Secepat gadis itu mencabut pedangnya,
secepat itu pula dikibaskan ke arah dada Garatala. Tapi laki-laki tua kecil itu
cepat berkelit, sehingga pedang Nila
Komala membabat sebuah pilar yang hangus menghitam. Sungguh dahsyat pedang gadis
itu. Pilar besar tumbang terbabat
pedangnya. "Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras melengking
tinggi, Nila Komala melompat Secepat kilat dikibaskan pedangnya ke arah leher
Garatala. Tapi belum juga mata pedang itu sampai pada sasarannya, mendadak
secercah cahaya biru berkelebat memapak pedang itu.
Trang! "Ikh!" Nila Komala terpekik tertahan.
Buru-buru gadis itu melompat mundur.
Mulut-nya meringis merasakan nyeri pada pergelangan tangan kanannya ketika
pedangnya membentur sebuah benda keras bercahaya biru berkilau tadi. Tatapan
gadis itu langsung tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti yang tahu-tahu sudah
berdiri di tengah-tengah antara dirinya dengan Garatala.
"Minggir, Kakang. Biar kupenggal leher manusia keparat itu!" desis Nila Komala
menggeram. "Tahan, Nila. Kendalikan dirimu," kata Rangga coba menenangkan. .
"Kau dengar apa yang dikatakan Paman Mataun tadi, Kakang" Tua bangka keparat ini
biang keladi semuanya! Dialah yang membunuh ibuku, ayahku, dan menghancurkan
semua yang ada di sini! Lihat, Kakang...!
Mereka semua. tewas!" keras suara Nila Komala.
"Aku tahu, Nila. Aku juga dengar, bahkan Ki Garatala pasti mendengar. Aku tidak
yakin kalau semua ini Ki Garatala yang melakukan," sergah Rangga tetap kalem dan
lembut suaranya.
"Bukan dia..."! Huh! Kau jangan coba-coba membelanya, Kakang. Atau..., barangkali kau memang bersekongkol dengannya?"
Nila Komala jadi balik menuduh.
"Jangan turuti napsu, Nila," desis Rangga kurang senang juga dituduh
demikian. "Kalau tidak bersekongkol, kenapa membelanya?" Nila Komala menunjuk Garatala.
"Sudah..., Sudah. Tidak ada gunanya kalian bertengkar. Sejak semula sudah kuduga
akan begini kejadiannya. Yaaah..., memang tidak mudah untuk menjelaskannya.
Tapi aku sama sekali tidak bersalah!
Kehadiranku di sini justru ingin mencegah.
Tapi, yaaah.... Semuanya sudah terlambat.
Bahkan sekarang aku kena fitnah," kata Garatala.
"Huh! Mau cuci tangan!" dengus Nila Komala.
Pendekar Rajawali Sakti menghampiri si Seruling Perak. Diliriknya Nila Komala
yang kelihatan masih berang sambil
menghunus pedang melintang di depan dada.
"Sebaiknya kau pergi saja dulu, Ki.
Percayalah, akan ku coba menyelesaikan persoalan ini. Aku yakin kau tidak
bersalah," ujar Rangga lembut penuh pengertian.
"Aku percaya padamu, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Garatala seraya
mengembangkan senyum.
Setelah berkata demikian, si Seruling Perak itu langsung melesat pergi. Dalam
sekejap saja, bayangannya sudah lenyap dari pandangan mata.
"Hei...!" Nila Komala tersentak kaget begitu menyadari si Seruling Perak sudah
pergi. "Biarkan dia pergi, Nila," selak Rangga.
"Huh! Kenapa kau biarkan pergi"!"
Dengus Nila Komala memberengut.
"Karena aku yakin dia tidak bersalah.
Bah-kan aku rasa dia ingin menolongmu,"
sahut Pendekar Rajawali Sakti kalem.
"Dan sebaiknya kau juga pergi!" Kata Nila Komala tandas.
"Nila...!" Rangga terkejut.
"Aku memang berhutang padamu. Tapi saat ini, sulit rasanya untuk mempercayaimu,"
tetap tegas nada suara Nila Komala.
"Kau terlalu terbawa napsu, Nila,"
Rangga masih berusaha menenangkan gadis itu.
"Kalau kau tidak pergi, aku yang akan pergi!" ujar Nila Komala berusaha menahan
kemarahannya terhadap tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Nila...!"
Tapi Nila Komala sudah lebih cepat
melesat pergi. Rangga jadi bengong
memandangi arah kepergian gadis itu. Sungguh cepat lesatannya, sehingga Pendekar
Rajawali Sakti itu hampir tidak mengetahui arahnya.
"Hhh...," Rangga menarik napas panjang, lalu melangkah hendak meninggalkan
istana yang porak poranda ini.
Tapi baru saja berjalan beberapa
langkah, tiba-tiba saja....
"Ha ha ha...!"
"Eh!"
*** Rangga terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja di depannya muncul seorang
laki-laki bertubuh tinggi besar dan berwajah penuh berewok. Pakaiannya berwarna
merah menyala yang bagian dadanya bergambar tengkorak dan menggenggam senjata
berupa tongkat putih, yang ujungnya berbentuk kepala tengkorak manusia berwarna
merah. Dan belum lagi hilang terkejutnya,
tiba-tiba saja muncul lagi tiga orang berpakaian sama, memegang senjata yang
sama pula. Jumlah mereka kini empat orang, dan telah mengepung dari empat
jurusan. Rangga bergumam pelan, sambil mempelajari keadaan yang tidak menguntungkan ini.
Dia tidak tahu, siapa mereka. Tapi dari sorot mata dan caranya muncul, sudah
dapat diduga kalau keempat orang ini tidak
bermaksud baik padanya.
"Bocah, siapa kau" Apa maksudmu datang ke sini?" Tanya orang yang pertama
muncul. Suara-nya besar dan terdengar berat
"Kalian sendiri siapa?" Rangga malah balik bertanya.
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 18 Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Tiga Dara Pendekar 21

Cari Blog Ini