Ceritasilat Novel Online

Dewi Goa Ular 2

Pendekar Rajawali Sakti 59 Dewi Goa Ular Bagian 2


Suara denting senjata kembali terdengar. Gadis bercadar merah muda itu cepatcepat melentingkan tubuh ke udara, dan melakukan beberapa kali putaran sebelum
menjejakkan kaki di tanah.
Sementara Jaran Kadung sudah berdiri di samping Banapati. Mereka sama-sama
melintangkan pedang di depan dada. Sorot mata mereka begitu tajam, menusuk
langsung ke bola mata gadis bercadar merah muda di depannya.
Bet! Wuk! Dewi Goa Ular melakukan beberapa gerakan
dengan pedangnya. Sementara tangan kirinya tertuju lurus ke depan dengan pedang
berada di atas kepala.
Tatapan matanya begitu tajam menusuk, memancarkan nafsu membunuh yang luar
biasa. Akibatnya, kedua laki-laki itu jadi agak bergetar jantungnya mendapati
sorot mata yang begitu tajam, seakan-akan hendak melumat habis tubuh mereka.
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali gadis bercadar merah muda itu menggerakkan kakinya bagai berlari.
Dan begitu dekat pedangnya langsung elibabatkan dengan kecepatan luar biasa
bagaikan kilat.
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Banapati cepat melompat berputar ke belakang.
Sedangkan Jaran Kadung tetap diam, sambil mengebutkan pedang menangkis tebasan
pedang Dewi Goa Ular.
Trang! "Heh..."!"
Bukan main terkejutnya Jaran Kadung melihat pedangnya terpenggal jadi dua
bagian. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba saja gadis bercadar
merah muda itu sudah kembali memberi serangan cepat, dahsyat luar biasa.
"Hiyaaat...!"
Bet! Begitu cepat pedang Dewi Goa Ular dikebutkan.
sehingga Jaran Kadung yang masih diliputi ketidak-percayaan dengan kejadian
barusan, tidak sempat lagi menghindari serangan susulan itu.
Bret! "Aaakh...!" Jaran Kadung menjerit keras melengking tinggi.
Ujung pedang Dewi Goa Ular tepat merobek dada laki-laki itu. Sesaat Jaran Kadung
masih bisa berdiri, kemualan jatuh menggelepar di tanah. Darah mengucur deras
sekali dari dadanya yang robek terbelah cukup panjang. Jaran Kadung menggelepar
dan mengarang meregang nyawa, sebentar kemudian mengejang kaku. Lalu, diam tak
berkutik lagi "Heh..."!" Banapati Jadi terbeliak melihat temannya tewas begitu cepat
Wajah Banapati jadi pucat pasi. Tanpa pikir panjang lagi, dia langsung melompat
cepat ke punggung kuda, dan cepat menggebahnya. Kuda itu meringkik keras, lalu
melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur.
"Jangan lari kau, Keparat! Hiyaaat...!"
Dewi Goa Ular cepat mengebutkan tangan
kanannya. Seketika itu juga, dari telapak tangannya meluncur sebuah benda
berwarna hitam berbentuk bintang yang ujung-ujungnya runcing. Benda itu melesat
cepat bagaikan kilat ke arah Banapati.
Wusss! Crab! "Aaakh.....!"
Banapati agak terlonjak begitu punggungnya tertembus bintang hitam yang
dilepaskan Dewi Goa Ular. Tapi dia masih tetap bertahan duduk di punggung
kudanya, dan terus saja menggebahnya dengan cepat
Sementara, wanita bercadar merah muda itu jadi mendengus melihat lawannya sudah
jauh pergi. Bahkan masih dapat bertahan, meskipun punggungnya sudah tertembus senjata
rahasianya. "Huh! Kau tidak akan mampu bertahan hidup.
Keparat!" dengus Dewi Goa Uar.
Cepat sekali Dewi Goa Ular melesat pergi dari jalan kecil itu. Dan pada saat
yang sama dalam jarak tidak terlalu jauh, tampak dua orang penunggang kuda
menuju tempat itu. Mereka mengendarai kudanya perlahan-lahan sambil berbicara.
Mereka belum tahu, tidak berapa jauh lagi di depan ada sesosok mayat tergeletak
di tengah jalan.
4 "Kakang, lihat...!" tunjuk gadis berbaju biru sambil menghentikan kudanya.
Dua orang penunggang kuda itu bergegas berlompatan turun. Gerakan mereka sungguh
indah dan ringan. Hanya sekali lesatan saja, mereka sudah sampai di dekat mayat
yang tergeletak di tengah jalan. Kening mereka jadi berkerut begitu mengenali
mayat ini. "Kakang, bukankah dia yang menggertak kita di kedai tadi...?" pelan sekali suara
gadis itu. "Hm...," pemuda berbaju rompi putih hanya menggumam perlahan saja.
"Kenapa dia bisa sampai mati di sini" Ke mana yang seorang lagi, ya...?" gadis
itu seperti bertanya pada diri sendiri.
"Tampaknya ada yang tidak beres di sini. Pandan,"
ujar pemuda berbaju rompi putih itu, agak menggumam suaranya.
Gadis yang dipanggil Pandan itu hanya menggumam saja. Dia memang Pandan Wangi,
yang lebih dikenal berjuluk si Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih
yang berdiri di sebelah kanannya adalah Pendekar Rajawali Sakti, yang nama
sebenarnya adalah Rangga. Beberapa saat mereka terdiam membisu.
Rangga menekuk lututnya hingga berjongkok di samping mayat Jaran Kadung.
Sebentar diperiksanya luka yang membelah dada laki-laki berusia sekitar
tiga puluhan ini. Agak berkerut juga keningnya melihat ada guratan biru
kehitaman di sekitar luka yang menganga cukup lebar di dada itu.
"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi setelah Rangga bangkit berdiri.
"Sepertinya, aku kenal dengan tanda luka seperti ini," ujar Rangga agak
menggumam. Pandan Wangi hanya memandangi saja wajah
Pendekar Rajawali Sakti yang keningnya jadi berkerut cukup dalam. Kemudian,
gadis itu ikut berjongkok dan memeriksa luka di dada Jaran Kadung. Namun
sebentar kemudian dia sudah berdiri lagi, dan langsung menatap wajah Rangga yang
masih kelihatan sedang berpikir keras.
"Luka itu dari Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa', Kakang," kata Pandan Wangi.
"Benar," sahut Rangga. "Tapi apakah mungkin...?"
"Aku tidak yakin kalau Pertapa Goa Ular yang melakukan ini, Kakang," tandas
Pandan Wangi, seperti bisa membaca jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku memang pernah datang ke tempatnya, Pandan," jelas Rangga, agak perlahan
suaranya. "Ya, aku tahu. Kau sudah menceritakannya padaku," sahut Pandan Wangi.
"Dia menginginkan aku agar menjadi muridnya.
Tapi kepandaian yang dimilikinya dapat kutandingi dengan jurus-jurus yang
kuperoleh dari Satria Naga Emas. Bahkan orang tua itu langsung menyatakan takluk
setelah kukatakan kalau ilmu-ilmu yang kumiliki sebagian berasal dari Satria
Naga Emas. Dia mengakui kalau semua yang dimilikinya belum seberapa besar
dibanding dengan ilmu-ilmu Satria Naga Emas. Bahkan aku diminta memberikan
beberapa jurus. Dan salah satunya adalah jurus
'Seribu Racun Ular Berbisa' Ini," Rangga menceritakan pertemuannya dengan
Pertapa Goa Ular, meskipun Pandan Wangi sudah mendengarnya.
"Apa tidak sebaiknya kita menemuinya, Kakang,"
saran Pandan Wangi.
Namun belum juga Rangga sempat menjawab,
tiba-tiba saja terdengar derap langkah kaki kuda menuju ke arahnya. Tak lama
kemudian, terlihat sekitar dua puluh orang berkuda mendatangi.
Tampak berkuda paling depan adalah seorang pemuda mengenakan baju warna kuning.
Seutas cambuk hitam berduri tampak tergenggam di tangan kanannya.
"Siapa mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi seperti bertanya pada dirinya
sendiri. Rangga tidak menjawab pertanyaan itu. Sedangkan orang-orang yang berkuda itu
sudah demikian dekat, dan langsung berlompatan turun. Kedua pendekar muda dari
Karang Setra itu jadi tertegun melihat dua puluh orang ini langsung saja
mengepung rapat dengan senjata terhunus.
"Hati-hati, Pandan. Tampaknya mereka datang bukan untuk bersahabat," ujar Rangga
memperingat kan.
"Besar juga nyali kalian," desis pemuda berbaju kuning yang memegang cambuk.
Pemuda itu salah seorang pembantu utama Iblis Tombak Baja.
Namanya, Prabawa.
"Serang...!"
"Eh! Tunggu...!" sentak Rangga.
Tapi orang-orang itu tidak mempedulikan, dan seketika sudah berlompatan
menyerang. Rangga dan Pandan Wangi terpaksa berjumpalitan menghindari
serangan-serangan yang datang begitu cepat dari segala penjuru. Sedangkan
Prabawa hanya memperhatikan saja dari punggung kudanya.
"Lumpuhkan saja mereka, Pandan!" seru Rangga.
"Baik, Kakang!" sahut Pandan Wangi. "Hiya.....!"
Seketika itu juga Pandan Wangi melakukan
gerakan-gerakan yang begitu cepat luar biasa. Kedua tangannya bergerak
berkelebatan cepat, menyambar orang-orang yang mengeroyoknya. Rangga juga
melakukan hal yang sama. Tubuhnya berlompatan sambil mengebutkan kedua tangannya
dengan cepat. Keluhan-keluhan tertahan terdengar saling sambut, disusul bergelimpangannya
tubuh-tubuh yang lemas tertotok jalan darahnya. Rangga dan Pandan Wangi memang
sengaja membuat para pengeroyoknya lumpuh saja. Dan sebentar saja, dua puluh
orang itu sudah bergelimpangan semua tanpa mampu lagi melakukan serangan.
"Setan...!" desis Prabawa menggeram sengit.
Hampir tidak dipercayainya kalau dua puluh orang anak buahnya bisa ditaklukkan
begitu mudah. Mereka tidak tewas, tapi hanya dibuat pingsan dengan jalan darah tertotok untuk
waktu yang tidak terlalu lama.
Ctar! Prabawa mengebutkan cambuknya disertai
pengerahan tenaga dalam yang tinggi ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tapi pemuda
berbaju rompi putih itu tidak bergeming sedikit pun. Bahkan ketika ujung cambuk
hitam berduri itu hampir sampai di dada, cepat sekali Rangga mengebutkan tangan
kanannya menangkap ujung cambuk itu.
Rrrt! "Eh..."!"
Bukan main terkejutnya Prabawa begitu Rangga membetot cambuk yang berhasil
ditangkapnya. Dan Prabawa tak kuasa lagi bertahan, sehingga jatuh bergulingan
dari punggung kudanya. Tapi dia cepat bangkit berdiri dan langsung menyentakkan
cambuknya. Pada saat yang sama. Rangga melepaskan cekalan pada ujung cambuk
hitam berduri itu. Begitu kuatnya Prabawa menyentakkan cambuknya,
sehingga tidak bisa lagi menguasai diri.
"Akh.....!" Prabawa Jadi terpekik.
Tubuhnya terpental deras ke belakang akibat dorongan tenaganya sendiri yang
berbalik arah. Begitu kuatnya terpental, sehingga keras sekali punggungnya menghantam sebatang
pohon. Prabawa mengumpat dan memaki sambil bergegas bangun.
Pemuda berbaju kuning itu melompat beberapa tindak ke depan, dan menyemburkan
ludahnya sambil mengumpat geram. Sedangkan Pandan Wangi jadi tertawa terkikik
melihat muka Prabawa memerah geram dipermainkan begitu rupa.
"Setan belang...! Tunggu pembalasanku!" dengus Prabawa geram setengah mati.
Setelah berkata demikian, dia langsung saja melompat naik ke punggung kuda, dan
cepat menggebahnya. Kuda itu meringkik keras, lalu berlari kencang secepat
angin. Sedangkan Pandan Wangi jadi tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah
Prabawa seperti tikus kecebur got melihat kucing.
"Ayo, Pandan. Kita tinggalkan tempat ini," ajak Rangga.
"Kenapa tidak ditunggu saja, Kakang" Dia pasti datang lagi dengan kekuatan
besar," sergah Pandan Wangi
"Kita belum tahu permasalahannya. Pandan. Ayo,
jangan cari kesulitan dulu," ajak Rangga seraya menarik tangan gadis itu.
Pandan Wangi tidak berkata lagi, dituruti saja ajakan Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Sebentar saja kedua
pendekar muda itu sudah melaju di atas punggung kuda meninggalkan tempat itu.
Sementara, dua puluh orang yang menggeletak pingsan mulai siuman kembali begitu
Rangga dan Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi. Mereka bergegas menghampiri
kuda masing-masing, dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
*** Sementara itu, di sebelah Timur Bukit Menjangan, Eyang Gorak yang dikenal
berjuluk Iblis Tombak Baja jadi geram mendengar laporan Prabawa. Belum lama
mendapat laporan Banapati yang sekarang sudah tergeletak jadi mayat di depannya
karena tertembus bintang hitam beracun mematikan di punggungnya, sekarang datang
lagi laporan yang membuatnya jadi semakin bertambah geram.
"Dewi Goa Ular... Huh! Apa mungkin Pertapa Goa Ular masih hidup...?" desis Eyang
Gorak seakan-akan berbicara pada diri sendiri.
"Rasanya tidak mungkin, Eyang. Sulit untuk lolos.
Sedangkan tempat tinggalnya saja sudah hancur begitu," tegas Prabawa.
"Lalu, siapa Dewi Goa Ular itu?" bentak Eyang Gorak berang.
"Mungkin saja muridnya yang hendak menuntut balas, Eyang," selak seorang lakilaki separuh baya yang mengenakan baju warna merah menyala. Dia
menyandang sebuah gada besar berduri. Di dalam Partai Tombak Baja ini, dia
berjuluk si Gada Maut
"Tidak mungkin! Aku tahu, siapa itu Pertapa Goa Ular. Dia tidak punya murid
seorang pun," bantah Eyang Gorak sengit
"Tapi kenyataannya. Eyang. Banapati tewas dengan senjata rahasia Pertapa Goa
Ular. Tidak ada seorang pun yang memiliki senjata bintang hitam beracun seperti
itu. Hanya Pertapa Goa Ular saja yang memakainya." kata si Gada Maut sambil
menunjuk mayat Banapati.
Eyang Gorak jadi terdiam. Memang benar apa yang barusan dikatakan si Gada Maut.
Tidak ada seorang pun yang memakai senjata seperti itu, selain si Pertapa Goa
Ular. Tapi hatinya masih belum yakin, kalau pertapa tua itu yang menewaskan
Banapati dan Jaran Kadung. Sedangkan, baru saja Prabawa me-laporkan kalau telah
menemui dua orang pendekar muda tangguh di dekat mayat Jaran Kadung. Bahkan
dengan beberapa gebrakan saja, dua puluh anak buahnya berhati dilumpuhkan.
Banapati memang tidak bicara banyak, dan hanya menyebut nama Dewi Goa Ular
sebelum tewas. Hanya nama itu saja yang sempat diucapkan Banapati sebelum tewas.
Dan ini menjadikan si Iblis Tombak Baja jadi kebingungan.
"Prabawa, dan kalian semua. Siapkan semua kekuatan yang ada. Sekarang juga kita
ke Goa Ular!"
perintah Eyang Gorak.
"Untuk apa ke sana, Eyang?" tanya Prabawa terkejut mendengar perintah itu
"Aku ingin lihat sendiri, bagaimana keadaan di sana," sahut Eyang Gorak tegas.
Tanpa membantah lagi, Prabawa, si Gada Maut,
dan tiga orang lagi segera beranjak pergi Eyang Gorak kemudian memerintahkan dua
orang pengikutnya yang ada di ruangan itu untuk menyingkirkan mayat Banapati.
Sedangkan dia sendiri bergegas melangkah keluar dari ruangan berukuran cukup
besar ini. Laki-laki tua berjubah biru tua itu berhenti melangkah setelah tiba
di depan beranda rumah berukuran besar yang dikelilingi pagar tinggi dari batu.
Bentuknya kokoh bagai sebuah benteng.
Di halaman depan yang luas itu tampak sekitar seratus orang sudah siap di atas
punggung kuda masing-masing. Tampak Prabawa, si Gada Maut, dan tiga orang
pembantu utama si Iblis Tombak Baja sudah berada pada barisan paling depan.
Eyang Gorak melompat naik ke punggung kudanya yang dipegangi seorang anak muda
bersenjata golok
"Pisau Terbang! Sebaiknya kau tinggl di sini. Aku tidak ingin tempat ini kosong
sama sekali!" perintah Iblis Tombak Baja.
"Baik, Eyang," sahut seorang pemuda yang di seluruh tubuhnya penuh menempel
pisau kecil yang tipis.
"Ayo. Jalan!"
*** Sepeninggal Eyang Gorak, Pisau Terbang mengatur penjagaan di sekitar rumah besar
yang dikelilingi pagar tinggi berbentuk benteng ini. Hanya ada sekitar dua puluh
orang saja yang tinggal. Sedangkan hampir semua pengikut Partai Tombak Baja
pergi bersama Eyang Gorak. Sementara malam terus merambat semakin larut. Udara
di sekitar Bukti Menjangan ini terasa begitu dingin, dihembus angin yang agak
kencang malam ini.


Pendekar Rajawali Sakti 59 Dewi Goa Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah mengatur dua puluh orang anggota Partai Tombak Baja yang tersisa, Pisau
Terbang melangkah hendak masuk ke dalam bangunan besar yang menjadi pusat
pertemuan para anggota Partai Tombak Baja ini. Tapi belum juga kakinya menginjak
lantai beranda depan, tiba-tiba saja berdesis angin dari arah belakang.
"Hup...!"
Tanpa berpaling lagi, si Pisau Terbang memiring-kan tubuhnya ke kanan. Tepat
ketika saat itu, berkelebat sebuah benda hitam berbentuk bintang di samping
tubuhnya. Bintang hitam itu langsung menancap di tiang beranda depan yang
berukuran cukup besar. Cepat-cepat tubuh si Pisau Terbang melenting, berputar ke
belakang beberapa kali.
Dengan manis sekali kakinya menjejak tanah berumput agak basah, tepat di bagian
depan halaman yang berukuran cukup luas ini.
Matanya langsung menangkap sebuah bayangan yang berkelebat cepat meluruk deras
ke arahnya dari atas pagar benteng. Begitu cepatnya, sehingga tahu-tahu di depan
si Pisau Terbang sudah berdiri seorang gadis berbaju merah muda dengan wajah
tertutup sehelai cadar agak tipis, juga berwarna merah muda.
"Siapa kau" Menyelinap seperti garong!" bentak si Pisau Terbang.
"Aku Dewi Goa Ular!" sahut gadis bercadar merah muda Itu, dingin nada suaranya.
"Oh..."!" si Pisau Terbang agak terhenyak begitu mendengar jawaban gadis
bercadar merah muda itu.
Sungguh tidak diduga kalau orang yang sempat menghebohkan ini ternyata hanya
seorang gadis bercadar merah muda. Sama sekali lain dari
gambaran yang diberikan Prabawa. Si Pisau Terbang melirik ke kanan dan ke kiri.
Tampak beberapa anak buahnya berlarian menghampiri, disusul yang lainnya.
Mereka langsung membentuk lingkaran mengepung tempat ini. Sementara, si Pisau
Terbang dan gadis bercadar merah muda yang mengaku bernama Dewi Goa Ular itu
tepat berada di tengah-tengah lingkaran dua puluh orang bersenjata golok
terhunus. "Kau tentu terkejut melihat kedatanganku, Pisau Terbang. Tapi sayang, aku tidak
bisa membiarkanmu terkejut begitu lama. Aku harus mencabut nyawamu sekarang
juga," terasa begitu dingin sekali nada suara si Dewi Goa Ular.
"Ha ha ha...! Kau boleh bangga bisa membunuh Jaran Kadung dan Banapati. Tapi,
tidak mudah untuk membunuhku, Nisanak!" keras suara si Pisau Terbang.
Tertawalah sepuasmu, Pisau Terbang. Tapi, ingat sebentar lagi kau akan meringkuk
di dalam kubur!"
desis Dewi Goa Ular.
"Tangkap dia! Hidup atau mati...!" seru si Pisau Terbang keras menggelegar.
Seketika itu juga dua puluh orang yang sudah siap menerima perintah, langsung
berlompatan sambil berteriak-teriak gegap gempita. Mereka meluruk, menyerang si
Dewi Goa Ular. Namun sungguh tidak diduga sama sekali, gerakan-gerakan yang
dilakukan gadis bercadar merah muda itu sangat luar biasa cepatnya. Kedua
tangannya berkelebatan cepat menyambar orang-orang yang meluruk menyerangnya.
Teriakan-teriakan pertempuran kini berubah menjadi jerit dan pekik melengking
berhawa kematian. Dalam beberapa gebrakan saja, sudah terlihat enam orang
bergelimpangan tak bernyawa
lagi. Sret! "Yeaaah...!"
Dewi Goa Ular terus bergerak cepat, bahkan segera mencabut pedangnya yang
langsung dikebutkan ke arah orang-orang yang berada dekat dengannya. Kembali
jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar saling sambut, disusul
bertumbangannya tubuh-tubuh berlumuran darah. Gadis bercadar merah muda itu
bagaikan banteng betina yang mengamuk tak terbendung lagi.
Setiap kali pedangnya berkelebat, satu dua nyawa melayang meninggalkan tubuh
yang bergelimpangan berlumuran darah. Sebentar saja sudah lebih dari separuh
jumlah lawan yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. Dan kini, tinggal lima orang
lagi yang masih bertahan hidup. Tapi tampaknya mereka sudah begitu gentar, tak
berani lagi mendekat
Dewi Goa Ular berdiri tegak melintangkan pedang di depan dada. Matanya menatap
tajam pada si Pisau Terbang yang tampak begitu geram melihat anak buahnya tak
sanggup menandingi gadis itu.
"Sekarang giliranmu. Pisau Terbang. Aku ingin tahu, sampai di mana kehebatan
pisau-pisaumu,"
dengus Dewi Goa Ular sinis.
"Phuih!" si Pisau Terbang menyemburkan ludahnya dengan sengit
Si Pisau Terbang menggeser kakinya beberapa langkah ke kanan. Tatapan matanya
begitu tajam menusuk langsung ke bola mata gadis bercadar merah muda, sekitar
tiga tombak di depannya. Sesaat dia terdiam, berdiri tegak bagai patung.
Kemudian, tiba-tiba saja....
"Hiyaaa...!"
Tepat saat tubuh si Pisau Terbang membungkuk agak doyong ke kanan, kedua
tangannya bergerak cepat melemparkan beberapa pisau berukuran kecil yang tipis
berkilat keperakan. Begitu cepat gerakannya sehingga Dewi Goa Ular agak sedikit
terperangah. Namun, pedangnya cepat dikebutkan beberapa kali sambil melentingkan tubuh
berputaran di udara.
Trang! Tring! Tangkas sekali Dewi Goa Ular menghalau pisau-pisau kecil itu, sehingga
berpentalan sebelum sempat menyentuh tubuhnya. Pisau-pisau itu jadi tak terkendali, dan menyambar sisa orang-orang yang masih hidup. Jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi kembali terdengar saling sambut
"Keparat..!" geram si Pisau Terbang gusar.
Kini tak ada lagi yang tersisa hidup. Si Pisau Terbang cepat menyadari kalau
keutuhan Partai Tombak Baja tergantung dari dirinya dalam menghadapi si Dewi Goa
Ular. Jelas, kehadiran wanita itu telah mengguncangkan Partai Tombak Baja ini.
"Tahan serangan 'Seribu Pisau Terbang'ku...! Hiya.
hiya, hiyaaa...!"
Seperti kesetanan, si Pisau Tertang berlompatan mengelilingi Dewi Goa Ular
sambil melontarkan pisau-pisau kecilnya. Menghadapi serangan yang begitu cepat
dan beruntun seperti itu, Dewi Goa Ular terpaksa harus berjumpalitan. Bahkan
tubuhnya harus berputaran di udara sambil mengebutkan pedang dengan kecepatan
penuh. Suara-suara senjata beradu terdengar secara beruntun dan saling sambut
Pisau-pisau kecil itu bagaikan tak ada habisnya, terus berhamburan di sekitar
tubuh Dewi Goa Ular.
Bahkan beberapa kali si Pisau Terbang melenting ke
udara, dan menyerang dari atas kepala gadis bercadar merah muda itu. Tapi sampai
sejauh ini, tak ada satu pisau pun yang berhasil menembus tubuh si Dewi Goa
Ular. Gerakan-gerakan yang dilakukan gadis bercadar merah muda itu sungguh cepat
dan tangkas luar biasa. Bahkan sulit diikuti pandangan mata biasa. Sehingga,
yang terlihat hanyalah bayangan merah muda berkelebatan cepat di antara desingan
pisau-pisau tipis yang berhamburan di sekitarnya.
"Setan..!" geram si Pisau Terbang berang.
Belum pernah lawan setangguh ini didapatinya.
Sampai semua senjatanya habis, lawan belum juga mampu didesak. Kini tak ada lagi
pisau yang tersisa melekat di tubuhnya. Dan serangannya pun jadi terhenti. Dia
berdiri tegak, menatap tajam penuh kemarahan ke arah gadis bercadar merah muda
itu. "Siapa kau sebenarnya, Nisanak?" tanya si Pisau Terbang jadi penasaran.
Dewi Goa Ular tidak menyahut. Perlahan tangan kirinya diangkat, kemudian cadar
yang menutupi wajahnya dibuka. Si Pisau Terbang jadi terbeliak begitu melihat
seraut wajah cantik tersembunyi di balik cadar berwarna merah muda itu.
"Kau...?" agak tercekat suara si Pisau Terbang.
"Ya! Aku datang untuk membalas perbuatan kalian semua," desis gadis itu dingin.
Wuk! Seketika itu juga pedangnya dikebutkan ke depan.
Dan bagaikan kilat. Dewi Goa Ular melompat menerjang sambil mengebutkan pedang
beberapa kali. "Uts! Hup...!"
Si Pisau Terbang terpaksa harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang
datang meng- ancam dirinya. Beberapa kali tubuhnya terpaksa harus dibanting ke tanah dan
bergulingan beberapa kali. Tapi, serangan-serangan gadis itu tidak juga
berhenti. Setelah lewat sepuluh jurus, Dewi Goa Ular menghentikan serangannya. Dia berdiri
tegak, sambil melintangkan pedang di depan dada. Perlahan kemudian, kaki
kanannya ditarik ke depan, dan tangan kirinya direntangkan lurus ke depan. Lalu,
pedangnya diangkat hingga berada di atas kepala.
Ujung pedangnya tertuju lurus ke depan, mengarah ke dada si Pisau Terbang. Gadis
itu merendahkan tubuhnya perlahan, lalu....
"Hiyaaat..!"
"Oh..."!"
*** 5 Cepat-cepat si Pisau Terbang menarik tubuhnya ke samping ketika pedang Dewi Goa
Ular menusuk cepat ke arah dada. Dan begitu pedang itu lewat di samping
tubuhnya, segera tangannya dihentakkan menyodok ke arah lambung. Tapi tanpa
diduga sama sekali, Dewi Goa Ular lebih cepat lagi mengebutkan pedangnya tanpa
sedikit pun berusaha menghindari sodokan lawan.
"Yeaaah...!"
Bet! Cras! "Aaa...!"
Si Pisau Terbang jadi terbeliak lebar. Sungguh tidak disangka kalau gadis cantik
berbaju merah muda yang mengaku bernama Dewi Goa Ular itu bisa memutar pedangnya
begitu cepat, dan langsung menebas tangan kirinya yang menjulur hendak melakukan
sodokan ke arah lambung. Tangan kiri si Pisau Terbang seketika itu juga buntung,
dan darah muncrat keluar dari tangan yang terpenggal sebatas siku.
"Mampus kau sekarang, Keparat..! Hiyaaat..!"
Wuk! Bagaikan kilat, Dewi Goa Ular menebaskan
pedangnya ke dada si Pisau Terbang. Begitu cepat tebasannya, sehingga si Pisau
Terbang tak mampu lagi menghindar. Terlebih lagi, dia masih merasakan perih pada
tangan kirinya yang buntung terbabat pedang itu. Dan...
Cras! "Aaa...!" kembali si Pisau Terbang menjerit keras.
Tubuh si Pisau Terbang terhuyung-huyung ke belakang. Darah kembali membanjiri
dari dadanya yang terbelah cukup lebar dan panjang. Sebentar dia masih mampu
berciri, kemudian ambruk terguling dan menggelepar di tanah. Sementara Dewi Goa
Ular memandangi disertai senyuman sinis tersungging di bibir. Kembali cadarnya
yang terbuat dari kain agak tipis berwarna merah muda dikenakan.
Agak lama juga si Pisau Terbang meregang nyawa, tapi akhirnya diam kaku tak
bernyawa lagi. Guratan biru terlihat dari luka di dada dan tangan kirinya yang
buntung. Si Pisau Terbang tewas dengan mata terbalak lebar dan mulut ternganga
"Kalian harus merasakan, bagaimana kehilangan tempat tinggal" desis Dewi Goa
Ular dingin. Sebentar wanita itu menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu cepat melompat
menghampiri sebuah obor yang terpancang di tiang. Tangannya cepat mencabut obor
itu, dan melemparkannya ke atas atap bangunan yang berukuran cukup besar ini.
Kembali diambilnya obor, dan dilemparkannya ke dalam rumah. Lima obor
dilemparkannya ke rumah besar yang megah itu, sehingga membuat api membesar
melahap semua yang ada di dalam bangunan itu.
Dewi Goa Ular berdiri tegak memandangi api yang semakin besar berkobar, melahap
bangunan itu. Kemudian tubuhnya diputar perlahan. Dan sambil berteriak nyaring melengking
tinggi, beberapa pukulan jarak jauh yang sangat dahsyat dilontarkan ke arah
tembok banteng. Suara-suara ledakan terdengar dahsyat menggelegar, bersamaan
hancur-nya banteng itu. Lalu, beberapa pukulan lagi dilontarkan ke arah bangunan di depannya.
"Tunggulah pembalasanku. Iblis Tombak Baja...!"
desis Dewi Goa Ular dingin menggetarkan
Setelah puas menghancurkan sarang Partai
Tombak Baja, Dewi Goa Ular cepat melesat pergi.
Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sekejap
mata saja dia sudah lenyap tertelan kegelapan malam. Sementara api semakin
membesar menghanguskan sarang Partai Tombak Baja. Malam yang semula dingin, kini
jadi hangat oleh kobaran api yang semakin bertambah besar saja.
Tanpa setahu gadis bercadar merah muda itu, dari tempat yang cukup tersembunyi
mengintai dua pasang mata, memperhatikan semua kejadian di sarang Partai Tombak
Baja. Mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi yang langsung ke tempat ini setelah
mengetahui keadaan tempat tinggal Pertapa Goa Ular yang sudah hancur berentakan
"Kau mengenalnya. Kakang?" tanya Pandan Wangi, agak berbisik suaranya.
"Ya! Aku pun tahu, di mana bisa bertemu dengannya," sahut Rangga, agak menggumam
suaranya. "Sebaiknya kita temui, Kakang. Kita tanyakan, dari mana jurus 'Seribu Racun Ular
Berbisa' itu diperoleh-nya. Kalau didapatkannya dari Pertapa Goa Ular, dia pasti
tahu keberadaan pertapa tua Itu."
"Dia belum sempurna menguasai jurus itu. Tapi sudah cukup dahsyat. Hm.... Dengan
jurus yang dimilikinya sekarang ini, rasanya dia belum cukup menandingi Iblis
Tombak Baja," gumam Rangga.
"Ayo, Kakang. Sebelum dia pergi jauh," ajak Pandan Wangi lagi.
"Percuma, Pandan. Sebaiknya besok siang saja
kita menemuinya," kata Rangga
"Tapi, setidaknya kita segera meninggalkan tempat ini, Kakang. Iblis Tombak Baja
dan begundal-begundalnya pasti sedang menuju ke sini."
"Baiklah. Ayo..."
Tanpa bicara lagi, mereka bergegas meninggalkan tempat persembunyian. Mereka
lalu melompat naik ke punggung kuda masing-masing, dan cepat menggebahnya.
Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi tadi memang sempat melihat Iblis Tombak
Baja dan para pengikutnya di sekitar Hutan Goa Ular.
Itu sebabnya, kedua pendekar muda itu langsung ke tempat ini. Dan ternyata,
dugaan Rangga memang benar. Orang yang mengaku bernama Dewi Goa Ular itu sudah
memporakporandakan sarang Partai Tombak Baja. Bahkan membunuh si Pisau Terbang
serta dua puluh orang anak buahnya.
*** Siang ini langit tampak cerah, tanpa awan sedikit pun yang menggantung. Matahari
bersinar terik Cahayanya terasa begitu terik membakar. Di sebuah lembah yang
tidak begitu besar, tampak seorang gadis berparas cantik tengah berdiri tegak di
depan sebuah pusara yang dilingkari bebatuan. Bajunya agak ketat warna merah
muda. Ada lebih dari lima puluh makam lagi di sekitarnya.
Dan tak jauh dari pusara-pusara itu, terlihat puing-puing bangunan yang sudah
hangus akibat terbakar.
Itulah puing bangunan Padepokan Pedang Perak. Dan gadis berbaju merah muda itu
adalah Swani, putri tunggal Ketua Padepokan Pedang Perak.
"Tenanglah kau di sana, Ayah. Aku bersumpah
akan membalas kematianmu, dan kematian semua muridmu," desis Swani perlahan.
Swani cepat berpaling ketika mendengar langkah kaki kuda menghampiri. Kelopak
mata gadis itu jadi menyipit begitu melihat dua orang penunggang kuda.
Seorang gadis cantik sebayanya berbaju biru muda, dan seorang pemuda berbaju
rompi putih yang tampan dan tegap. Perlahan Swani memutar tubuhnya, di saat
kedua penunggang kuda yang tak lain adalah Rangga dan Pandan Wangi turun dari
punggung kuda masing-masing. Mereka kini berjalan menghampiri putri tunggal
Ketua Padepokan Pedang Perak itu.
"Kau masih mengenalku, Swani..?" lembut sekali suara Rangga.
"Kakang...." desah Swani.
Gadis itu langsung berlari dan menjatuhkan diri ke dalam pelukan Pendekar
Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi jadi bengong menyaksikannya. Dia sungguh
tidak tahu kalau Rangga sudah mengenal gadis ini. Bahkan Swani tidak malu-malu
lagi meng-hambur ke dalam pelukan Rangga sambil menangis terisak. Lembut sekali
Pendekar Rajawai Sakti menepuk-nepuk punggung Swani, dan melepaskan palukan
gadis itu. "Tenangkan dirimu, Swani. Ceritakan, apa yang terjadi sebenarnya," ujar Rangga,
tetap lembut suaranya.
Swani menarik napas dalam-dalam, mencoba
menenangkan dri. Baru sekarang gadis ini bisa menangis sejak menguburkan
ayahnya, dan semua murid Padepokan Pedang Perak. Dengan punggung tangannya,
gadis itu menyusut air mata yang mem-basahi pipi. Sedangkan Pandan Wangi hanya
mem- perhatikan saja dengan sejuta pertanyaan di dalam benaknya.


Pendekar Rajawali Sakti 59 Dewi Goa Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ceritakan semuanya, Swani. Mungkin aku bisa membantu menyelesaikan
persoalanmu." pinta Rangga lagi masih tetap lembut suaranya.
"Ceritanya panjang, Kakang." kata "Swani masih agak tersendat
"Ayo,. kita cari tempat yang lebih nyaman," ajak Rangga.
Swani menatap Pandan Wangi yang, juga tengah memperhatikannya sejak tadi
"Oh...ya Kalian tentu belum saling mengenal. Ini Pandan Wangi," Rangga cepatcepat. Memperkenal-kan kedua gadis itu.
Mereka saling berjabaran tangan dan sama-sama menyebutkan nama, kemudian
melangkah meninggal-kan lembah itu. Swani masih tetap diam berjalan di samping kiri
Rangga. Sedangkan Pandan Wangi berjalan di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti
sambil menuntun kuda mereka.
Sambil berjalan, Rangga meminta Swani menceritakan semua peristiwa yang terjadi
di Padepokan Pedang Perak. Juga ditanyakannya keadaan ayah gadis itu. Tentu saja
Rangga terkejut setelah mengetahui kalau ayah gadis ini sudah tewas di tangan
Iblis Tombak Baja. Dan Swani memang menceritakan semua yang terjadi. Bahkan juga
menceritakan pertemuannya dengan Pertapa Goa Ular yang kemudian mengangkatnya
jadi murid. Tapi, baru beberapa pekan saja mempelajari beberapa ilmu, orangorang Iblis Tombak Baja sudah menghancurkan Goa Ular. Dan sampai saat ini Swani
tidak tahu di mana Pertapa Goa Ular berada.
Bersamaan dengan selesainya cerita Swani,
mereka sampai d tepi sebuah sungai kecil yang berair jernih. Mereka segera
beristirahat di tepi sungai itu.
Sementara Pandan Wangi menyiapkan bekal
makanan yang dibawanya. Perjalanan dengan menunggang kuda begini, memang bisa
membawa bekal yang cukup dalam perjalanan. Mereka kemudian mengisi perut sambil
terus berbicara. Dan kebanyakan, Swani yang berbicara menceritakan keadaan
dirinya setelah padepokan ayahnya dhancur-kan Partai Tombak Baja.
"Sudah berapa jurus yang kau pelajari dari Pertapa Goa Ular?" tanya Rangga
sambil mencuci tangannya di sungai, kemudian kembali duduk di samping Swani.
"Baru tiga, tapi hanya satu yang bisa diandalkan,"
sahut Swani. "Dan itu juga rasanya belum cukup untuk menandingi Iblis Tombak
Baja." "Kau beruntung, Swani. Bisa mendapatkan ilmu dari Pertapa Goa Ular, meskipun
baru tiga jurus. Tidak sembarang orang bisa mendapatkan ilmu darinya,"
selak Pandan Wangi.
"Tapi apa yang kudapatkan, belum cukup untuk membalas kematian ayah," kilah
Swani. "Dendam memang tidak ada habisnya, Swani,"
tandas Rangga, tetap lembut nada suaranya.
"Tapi, aku sudah janji. Aku harus menuntut balas, meskipun harus mati," tegas
Swani. "Aku bisa mengerti perasaanmu, Swani. Itu sebabnya aku dan Pandan Wangi cepatcepat ke sini menemuimu, setelah melihat sarang mereka kau hancurkan," kata
Rangga lagi. "Kakang melihatku...?" Swani agak terkejut juga.
"Ya," Rangga mengangguk.
"Kakang tidak mencegah..." Kenapa tidak
menemuiku di sana?"
"Tidak ada gunanya, Swani. Lagi pula, aku belum tahu permasalahannya. Meskipun
dicegah, kau tidak mungkin bersedia, bukan..." Kau pasti tetap menghancurkan
tempat itu." elak Rangga, selalu lembut suaranya.
Swani terdiam. Memang benar yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti barusan.
Tidak mungkin dia bisa dicegah waktu itu. Bara api dendam yang menyala di dalam
dadanya begitu besar. Dan dia baru merasa sedikit puas setelah bisa
menghancurkan sarang Partai Tombak Baja. Hatinya baru akan benar-benar puas
setelah melihat kematian si Iblis Tombak Baja itu sendiri. Tapi, apakah mungkin
dia bisa menyaksikan Kematian si Iblis Tombak Baja..." Swani jadi ragu-ragu
sendiri. Maka ditatapnya Rangga dengan sinar mata yang sukar diartikan.
"Ayah pasti akan bahagia jika Kakang bersedia membantuku menumpas mereka," pinta
Swani penuh harap.
"Ayahku dan ayahmu adalah sahabat dekat. Dan ayahmu sudah mengangkatku sebagai
anak. Rasanya, tidak mungkin kalau aku berdiam diri begitu saja, Swani. Aku juga ingin
berbakti pada ayah angkatku," tegas Rangga diiringi senyumnya.
"Oh.... Terima kasih, Kakang," ucap Swani.
*** Malam sudah cukup larut menyelimuti sebagian permukaan mayapada ini. Di tengahtengah hutan yang cukup lebat Rangga, Pandan Wangi, dan Swani terpaksa bermalam.
Mereka tentu tidak mungkin bermalam di Desa Menjangan yang tidak seberapa
jauh dari hutan ini, karena terlalu banyak pengikut Iblis Tombak Baja
berkeliaran di sana.
Sementara, Swani sudah melingkar di dekat api unggun. Sedangkan diam-diam,
Pandan Wangi mendekati Rangga yang duduk bersandar pada sebuah batu cukup besar.
Pendekar Rajawali Sakti melirik sedikit pada saat Pandan Wangi sudah berada di
sampingnya. Gadis itu berpindah, dan duduk di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa waktu itu kau tidak mengatakan kalau sudah mengenalnya, Kakang...?"
tegur Pandan Wangi langsung atas sikap Rangga yang tidak berterus terang ketika
malam itu mereka melihat Swani menghancurkan sarang Partai Tombak Baja.
"Terus terang, waktu itu hatiku belum yakin benar kalau dia Swani, Pandan. Kau
kan tahu, dia mengaku bernama Dewi Goa Ular. Apalagi, jarak kita terlalu jauh
untuk bisa melihat jelas." sahut Rangga beralasan.
"Jangan bohongi aku, Kakang. Kau menggunakan aji 'Tatar Netra'. Kau pasti bisa
melihat jelas walau jarak jauh sekalipun," agak mendengus nada suara Pandan
Wangi. Rangga hanya tersenyum saja. Dia tahu, Pandan Wangi cemburu. Tapi, tidak ada
alasan bagi gadis itu untuk mencemburui Swani. Rangga tadi sudah menjelaskan
kalau antara dirinya dan Swani hanya ada hubungan kakak dan adik. Tidak lebih
dari itu. Dan lagi ayah Swani sudah mengangkatnya anak. Jadi, tidak mungkin ada
hubungan yang lebih selain antara kakak dan adik.
"Kau cemburu. Pandan...?" goda Rangga.
"Tidak!" dengus Pandan Wangi memasang wajah memberengut.
"Lalu, kenapa kau tanya begitu?"
"Tidak apa-apa."
"Pertemuanku dengan Swani waktu itu memang tidak sengaja. Aku menolongnya ketika
dia hampir diterkam harimau. Lalu, aku mengantarkannya pulang, dan tidak bisa
menolak permintaan ayahnya untuk tinggal beberapa hari di padepokannya.
Bahkan secara resmi, beliau mengangkatku menjadi anak, setelah tahu kalau ayahku
adalah teman baiknya. Tentu saja anugerah itu tidak bisa kutolak, Pandan. Dan
antara aku dan Swani, sama sekali tidak ada hubungan yang istimewa selain
hubungan antara kakak dan adik," dengan lembut Rangga menjelaskan hubungannya
dengan Swani "Kau menganggapnya begitu, Kakang. Tapi, tidak demikian dengannya, bukan..."
Bisa saja dia meng-artikannya lain," kejar Pandan Wangi, masih terasa jelas
kecemburuannya.
"Itu tidak mungkin, Pandan. Kami sudah mengikat sumpah. Jadi. tak ada hubungan
yang lebih, selain kakak beradik," tegas Rangga
"Kakang Rangga benar, Kak Pandan," tiba-tiba saja Swani sudah bangun.
Pandan Wangi terkejut juga, dan cepat berpaling.
Swani bangkit berdiri dan melangkah menghampiri, kemudian duduk di samping
Pandan Wangi yang jadi agak memerah wajahnya. Sungguh tidak disangka kalau Swani
mendengarkan percakapan ini. Dan dia jadi malu, karena kecemburuannya ketahuan.
"Aku sendiri sebenarnya sudah mempunyai tunangan. Tapi, dia tewas bersama ayah
ketika kelompok Iblis Tombak Baja menyerang padepokan,"
jelas Swani. "Jadi antara aku dan Kakang Rangga tidak ada hubungan apa-apa. Kami
bersahabat, dan
saling menyayangi seperti kakak dan adik. Tidak lebih dari itu."
"Ah, sudahlah. Aku hanya ingin tahu saja awal pertemuan kalian berdua." selak
Pandan Wangi, tidak ingin melanjutkan. "Aku tidur dulu. Kakang, Swani..."
Pandan Wangi tidak menunggu jawaban, dan
segera menjauh. Tubuhnya direbahkan di bawah pohon yang cukup besar, sehingga
terlindung dari terpaan angin yang cukup dingin malam ini. Api unggun yang
dibuatnya tidak cukup mengusir dinginnya udara malam ini. Sementara Rangga dan
Swani masih duduk berhadapan. Mereka sama-sama melemparkan senyum melihat Pandan
Wangi jadi kikuk begitu.
"Swani, apa rencanamu setelah ini?" tanya Rangga ingin tahu.
"Yang jelas, aku akan menuntaskan urusan dengan Iblis Tombak Baja dulu." sahut
Swani. "Lalu?"
"Mungkin aku akan mencari Eyang Pertapa Goa Ular. Aku ingin menguasai semua
ilmunya. Rasanya, aku cocok menggunakan ilmu-ilmunya, Kakang,"
lanjut Swani. "Mudah-mudahan saja keinginanmu bisa terlaksana, Swani. Harapanku, kau bisa
bertemu lagi dengan Pertapa Goa Ular," ujar Rangga membesarkan hati gadis ini.
"Tapi, Kakang...."
"Ada apa lagi?"
"Eyang Pertapa selalu saja menceritakan orang pertama yang datang ke tempatnya.
Dan dia seperti menyesal tidak bisa mewariskan ilmu-ilmunya pada orang itu. Aku
tidak ingin ilmu-ilmunya diturunkan padaku hanya karena terpaksa. Beliau pasti
kecewa, karena tidak bisa tepat menentukan pilihannya sendiri.
"Itu tidak akan terjadi, Swani. Percayalah, Pertapa Goa Ular pasti senang
mempunyai murid secerdas-mu," lagi-lagi Rangga membesarkan hati gadis ini Tentu
saja Rangga tidak mengatakan kalau orang pertama yang dimaksudkan tadi adalah
dirinya sendiri. Dia memang pernah datang ke Goa Ular tanpa disengaja. Bahkan
sempat bertarung dengan Pertapa Goa Ular. Tapi, Rangga bisa menandingi ilmu-ilmu
yang dimiliki Pertapa Goa Ular dengan ilmu-ilmu yang diperoleh dari Satria Naga
Emas. Dan Pertapa Goa Ular langsung tunduk, mengaku kalah begitu mengenali salah
satu ilmu yang dikeluarkan Rangga.
Terlebih lagi, setelah Pendekar Rajawali Sakti mengatakan, dari mana ilmunya
diperoleh. Pertapa Goa Ular sendiri mengatakan kalau ilmu-ilmu yang dimiliki sebagian kecil
dari penggalan ilmu-ilmu Satria Naga Emas. Dan dia selalu menganggap Satria Naga
Emas adalah gurunya, meskipun belum pernah berjumpa. Ilmu pertapa itu didapatkan
dari sebuah kitab yang ditemukannya di Goa Ular.
Sehingga, ular-ular yang hidup di bumi ini bisa dikuasainya.
Kedatangan Pertapa Goa Ular ke goa itu memang tidak disengaja. Ketika itu, dia
menjadi buronan prajurit kadipaten karena dituduh membunuh putra seorang
pembesar kadipaten. Padahal, itu semua hanya kecelakaan. Tapi pihak kadipaten
tidak mau tahu, dan terus mengejarnya. Akhirnya, laki-laki tua itu sampai di Goa
Ular, dan bersembunyi di sana.
Maka, di sanalah ilmu-ilmunya didapatkan.
Dan tentu saja Rangga tidak menceritakan hal itu pada Swani. Pendekar Rajawali
Sakti tetap merahasiakannya. Hanya Pandan Wangi yang tahu tentang semua itu. Dan Rangga yakin,
Pandan Wangi bisa menutup rahasia ini sampai kapan pun juga.
"Sudah terlalu larut. Tidurlah. Masih banyak yang harus kau kerjakan. Kau harus
siap menghadapi segala bahaya dan rintangan yang akan dihadapi,"
ujar Rangga lembut
"Baik, Kakang." sahut Swani. Swani beranjak bangkit, lalu melangkah ke tempatnya
semula ketika tidur tadi. Gadis itu kembali membaringkan tubuhnya.
Sekias ditatapnya Pandan Wangi yang sudah men-dengkur halus di bawah pohon. Di
hatinya, terbersit rasa iri melihat Pandan Wangi bisa menjadi gadis pilihan
Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar muda yang gagah dan tampan, juga berkepandaian
tinggi yang sukar dicari tandingannya saat ini.
"Berbahagialah kau. Kak Pandan..." desah Swani seraya memejamkan mata
*** 6 Rangga cepat menggerinjang bangkit begitu cahaya matahari menghangati raganya.
Pandangannya langsung diarahkan ke tempat Swani tidur semalam. Tapi Pendekar
Rajawali Sakti jadi terkejut, karena tidak mendapati Swani di sana lagi.
Bergegas kakinya melangkah mendekati Pandan Wangi yang masih tidur di bawah
pohon. "Pandan...," Rangga mengguncang bahu Pandan Wangi.
Sebentar Pandan Wangi menggeliat, lalu menggerinjang bangun.
"Kau tidak melihat Swani?" tanya Rangga langsung.
"Swani...?"
Pandan Wangi segera melayangkan pandangan ke tempat Swani tidur. Tapi putri
tunggal Ketua Padepokan Pedang Perak itu sudah tidak ada lagi di sana. Pandangan
Pandan Wangi beralih ke wajah Rangga.
"Maaf, Kakang. Aku terlalu lelap...," ucap Pandan Wangi.
''Sudahlah, Pandan. Aku juga ketiduran," selak Rangga cepat
"Lalu, ke mana dia pergi, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Hhh...! Swarri mengalami guncangan berat. Dia bisa saja berbuat nekat seperti
kemarin." desah Rangga agak mengeluh.
"Apa tidak mungkin kembali ke tempat Iblis Tombak Baja...?" lagi-lagi Pandan
Wangi bertanya seperti untuk diri sendiri.
"Dia sudah menghancurkannya. Pandan. Jadi, tidak mungkin ke sana lagi," bantah
Rangga. "Kalau tidak ke sana. lalu ke mana perginya....?"
"Desa Menjangan."
"Terlalu nekat kalau ke sana, Kakang."
"Swarni bisa berbuat apa saja untuk melampias-kan dendamnya, Pandan. Bahkan bisa
membantai satu persatu orang yang terlibat dalam menghancurkan padepokan
ayahnya." "Hm... Bisa-bisa dia dianggap pembunuh tak ber-perikemanusiaan, dan dimusuhi
banyak pendekar, Kakang."
"Itulah yang tidak kuinginkan, Pandan. Tidak semua pendekar bisa menelaah dengan
benar. Bahkan bukannya tidak mustahil langsung main tuduh saja, tanpa menyelidiki lagi
sebabnya."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan...?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Kita harus segera menemuinya, sebelum dia bertindak sesuatu yang dapat
merugikan diri sendiri."
"Ke mana kita mencarinya, Kakang?"
"Kita lihat dulu ke Goa Ular. Kalau dia tidak ada di sana, lalu langsung ke Desa
Menjangan," Rangga cepat memutuskan.
"Ayo, Kakang. Jangan buang-buang waktu lagi,"
ajak Pandan Wangi
Mereka bergegas berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Tapi belum juga
kuda mereka digebah, mendadak saja dari balik pepohonan bermunculan orang-orang
bersenjata panah yang siap dilepaskan dari busur. Rangga dan Pandan Wangi jadi
saling berpandangan. Sebentar saja, tempat ini sudah terkepung begitu banyak
orang bersenjata terhunus.
Pandangan mereka kemudian tertumbuk pada
seorang laki-laki tua berjubah biru. Dia juga didampingi empat orang bersenjata
yang beraneka macam bentuknya. Sedangkan orang tua berjubah biru itu menggenggam
tombak pendek bermata dua pada kedua ujungnya. Melihat senjata di tangan lakilaki tua itu, Rangga langsung bisa mengenali. Terlebih lagi, di antara mereka
terlihat Prabawa yang sempat bertarung sebentar dengan Pendekar Rajawali Sakti.
"Mereka itu orangnya, Eyang." bisik Prabawa seraya menatap tajam, penuh dendam
pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm...," laki laki berjubah biru itu hanya menggumam saja.
Laki-laki tua itu mengayunkan kakinya beberapa tindak ke depan. Sinar matanya
begitu tajam, menyorot langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang masih
tetap duduk di punggung kuda hitamnya yang tinggi dan tegap berotot. Rangga
turun dari punggung kudanya, diikuti Pandan Wangi.
Kakinya melangkah beberapa tindak ke depan.
Sedangkan Pandan Wangi masih tetap berdiri di depan kudanya yang berbulu putih
bersih bagai kapas.
"Tindakanmu sudah melewati batas, Anak Muda.
Untuk apa membunuh orang-orangku, dan membakar habis tempat tinggalku..."!" terasa
dingin sekali nada suara Eyang Gorak yang lebih dikenal dengan sebutan Iblis
Tombak Baja. "Maaf, aku tidak mengerti maksudmu, Kisanak,"
sergah Rangga mencoba ramah.
"Jangan berlagak bodoh kau, Bocah!" sentak Eyang
Gorak sengit. "Aku rasa di antara kita tidak ada persoalan," elak Rangga masih dengan suara


Pendekar Rajawali Sakti 59 Dewi Goa Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalem. "Kau telah membuat persoalan denganku, Bocah!
Sayang, aku tidak bisa lagi memberimu peng-ampunan. Kau harus mati karena telah
mencampuri urusanku. Dan aku tidak suka pada orang yang senang mencampuri
urusanku! Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti...!" terdengar lantang suara
Eyang Gorak. Setelah berkata demikian. Eyang Gorak menjentik-kan ujung jarinya, dan secepat
itu pula melompat ke belakang. Maka sekitar dua puluh orang yang sudah mementang
panah pada busurnya, melepaskan anak-anak panah ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Pandan, lepaskan kuda-kuda...! Hup.... Yeah...!"
Rangga langsung berlompatan di udara menghindari hujan anak panah yang meluruk
deras ke arahnya. Sementara Pandan Wangi menggebah kudanya, agar pergi jauh dari
tempat ini. Kedua kuda itu meringkik keras. Lalu berlari cepat menerjang
kepungan beberapa orang. Tampak kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti
yang bernama Dewa Bayu sempat menerjang tiga orang sekaligus, hingga
berpelantingan dan tak mampu bangun lagi.
Sementara Rangga terus berjumpalitan menghindari serbuan panah yang datang
bagaikan hujan di sekitar tubuhnya. Meskipun tidak menggunakan senjata, tapi
kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti bagaikan sepasang senjata yang sangat ampuh
dan sukar dicari tandingannya. Dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega',
Pendekar Rajawali Sakti berhasil merontokkan panah-panah yang menghujani-nya.
Pada saat yang bersamaan, tampak empat orang bersenjata golok mencoba meringkus
Pandan Wangi. Tapi gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu bukanlah gadis sembarangan
yang bisa mudah diringkus begitu saja. Sebelum empat orang bersenjata golok itu
bisa menyentuhnya, si Kipas Maut sudah bergerak cepat melepaskan beberapa
pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar, disusul ambruknya empat
orang yang mencoba meringkus Pandan Wangi. Mereka
bergelimpangan dan tak mampu bangkit kembali.
Mendengar jeritan-jeritan itu. Rangga sempat melirik ke arah kekasihnya. Maka
cepat dia melompat ke arah gadis itu, dan langsung menyambar pinggangnya.
"Auwh...!" Pandan Wangi terpekik kaget Dan sebelum Pandan Wangi sempat menyadari
apa yang terjadi. Rangga sudah melesat cepat bagaikan kilat melewati beberapa
kepala yang mengepung tempat ini. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Rangga, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan.
"Setan...! Kejar mereka..!" perintah Eyang Gorak lantang menggelegar.
*** Rangga baru berhenti berlari setelah dirasakan cukup aman. Kemudian Pandan Wangi
yang berada di atas pundaknya diturunkan. Gadis itu memberengut kesal dengan
tindakan Rangga yang begitu tiba-tiba.
"Maaf, aku terpaksa." ucap Rangga mendahului sebelum Pandan Wangi membuka
mulutnya. "Kenapa kau menyambarku" Kau kan bisa saja mengatakannya, Kakang...?" rungut
Pandan Wangi. "Kenapa..." Apa kau tidak bisa melihat jumlah mereka, Pandan" Setangguh apa pun
ilmu yang kumiliki, tidak akan mungkin bisa melawan mereka semua. Jumlah mereka
sama besarnya dengan satu pasukan prajurit. Dan lagi, mereka orang-orang yang
berpengalaman dalam pertarungan seperti itu. Dan aku tidak sudi mati konyol
tanpa menggunakan otak!"
Pandan Wangi jadi terdiam melihat Rangga
tampak begitu berang. Padahal, Rangga belum pernah terlihat seberang ini.
Sungguh sulit dimengerti, apa yang membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi berang
seperti ini. "Maafkan, Pandan. Tidak seharusnya aku berkata kasar padamu," ucap Rangga
menyesali kekasaran-nya barusan.
"Apa sebenarnya yang terjadi padamu. Kakang?"
tanya Pandan Wangi.
"Ayo kita pergi dari sini," ajak Rangga menghindari pertanyaan Pandan Wangi.
Pandan Wangi bergegas melangkah mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang sudah
berjalan lebih dahulu. Ayunan kakinya disejajarkan di samping pemuda itu. Pandan
Wangi merasa ada sesuatu yang terjadi dalam diri Rangga, sehingga jadi begitu
berang tampaknya. Tapi, Rangga sendiri sepertinya tidak ingin membicarakan.
Sedangkan Pandan Wangi tidak mau Rangga berubah tanpa diketahui sebabnya.
"Kakang...," Pandan Wangi mencoba bicara lagi.
Rangga menghentikan ayunan kakinya. Dipandanginya Pandan Wangi dalam-dalam. Sedangkan
gadis itu jadi diam dan balas memandang mata Pendekar Rajawali Sakti dengan
sinar mata kecemasan. Entah apa yang dicemaskannya.
"Kita harus secepatnya menemui Swani, Pandan.
Sebelum Iblis Tombak Baja berhasil menemukannya, atau Swani yang mendatanginya,"
ujar Rangga, agak dalam suaranya.
"Kau mencemaskannya. Kakang...?" agak tertahan suara Pandan Wangi
"Ya," sahut Rangga tegas.
"Kenapa...?"
"Karena dia selalu menggunakan Jurus "Seribu Racun Ular Berbisa' yang belum
sempurna. Dan itu sangat membahayakan dirinya sendiri," Rangga mencoba
menjelaskan. "Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang..."
"Aku tahu. Jurus itu bersumber dari Satria Naga Emas. Tapi, sangat berbahaya
bagi siapa saja yang menggunakan sebelum bisa menyempurnakannya pada tingkat
terakhir. Paling tidak dibutuhkan kekuatan tenaga dalam yang sangat besar, dan
harus sempurna. Dan bila hal ini tidak dimiliki Swani, sedikit demi sedikit
tenaga dalamnya akan dimakan jurus itu.
Bahkan bukan tidak mungkin seluruh kepandaian yang dimilikinya akan terkuras
habis. Lain halnya kalau Swani sudah menyempurnakannya. Maka jurus itu bisa
membuat kekuatan dan kepandaiannya menjadi berlipat ganda. Itu sebabnya, kenapa
Satria Naga Emas tidak mau menurunkannya padaku.
Karena jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' sangat berbahaya. Bukan saja untuk
lawan, tapi juga untuk diri sendiri. Hanya orang yang memiliki tenaga dalam
tingkat sempurna saja yang bisa menguasainya.
Sedangkan Swani, masih beberapa tingkat lagi untuk
mencapai kesempurnaan." panjang lebar Rangga menjelaskan tentang jurus 'Seribu
Racun Ular Berbisa' yang sekarang ini sering digunakan Swani, dalam setiap
pertarungannya dalam membalas kematian ayahnya.
Pandan Wangi jadi terdiam. Sungguh tidak
disangka kalau hal itu yang menjadi beban pikiran Rangga.
"Kau tadi dengar sendiri. Pandan, Si Iblis Tombak Baja sudah mengenalku. Dan
yang pasti, dia sudah tahu tentang jurus yang sekarang dimiliki Swani. Dan dia
juga tahu kelemahan jurus itu. Kalau Swani, sampai bertemu dengannya, pasti
Swani akan dipaksa untuk mengerahkan seluruh kemampuan jurus 'Seribu Racun Ular
Berbisa'. Dan itu akan membahayakan jiwa Swani sendiri. Dia bisa mati tak
bertenaga lagi, karena jurus itu menyedot habis seluruh tenaga dan
kepandaiannya," sambung Rangga menjelaskan lagi
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang...?"
tanya Pandan Wangi sudah bisa mengerti
kekhawatiran yang ada di hati Pendekar Rajawali Sakti.
"Seharusnya, tawaran Pertapa Goa Ular waktu itu kuterima saja. Kalau ilmuilmunya diturunkan padaku, tentu bisa kusimpan dan tidak kugunakan sama sekali.
Atau mungkin bisa kusempurnakan. Jadi, dia tidak perlu menurunkannya pada orang
lain secara tanggung seperti itu," nada suara Rangga terdengar mengeluh.
"Aku yakin, Pertapa Goa Ular tidak bermaksud mencelakakan Swani, Kakang. Mungkin
karena serangan anak buah Iblis Tombak Baja saja yang membuatnya terpaksa harus
Pengejaran Ke Cina 2 Pendekar Naga Putih 07 Raja Iblis Dari Utara Perawan Lembah Wilis 8

Cari Blog Ini