Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana Bagian 2
meninggal. Ah...! Dasar aku sudah tua...!"
Eyang Balung Gading menepuk keningnya
sendiri. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi jadi
tersenyum-senyum. Kini sudah jelas persoalannya.
Dewi Anjungan yang dikenal berjuluk Ratu Lembah Neraka, sebenarnya adalah bibi dari Cempaka
sendiri. Dan sebenarnya pula, dia berhak atas diri
Cempaka. Tapi bagaimanapun juga, cara yang dilakukan menyusahkan orang banyak.
Dewi Anjungan memang termasuk tokoh persilatan golongan hitam. Jadi tidak heran kalau
Cempaka sendiri tidak menyukainya. Bahkan sama sekali tidak menganggap wanita itu bibinya.
Itu bisa dimaklumi, karena Cempaka sejak masih
bayi mendapat bimbingan ilmu-ilmu putih dari
Eyang Balung Gading, yang telah mengangkatnya
sebagai anak. "Lantas, apa yang akan kita lakukan sekarang...?" tanya Pandan Wangi memecah kebisuan
yang terjadi di antara mereka.
"Itulah sulitnya, Pandan...," desah Eyang Balung Gading.
"Maksud, Eyang...?" tanya Pandan Wangi tidak mengerti.
"Terlalu sulit untuk bisa masuk ke dalam istana itu. Kau pasti tidak akan mengerti. Terlalu banyak hal yang tidak bisa kau pahami di sana. Istana itu benar-benar tempat iblis. Terlalu banyak
jebakan yang sulit dilalui, meskipun kau memiliki
ilmu kesaktian yang tinggi sekalipun. Aku sendiri
tidak akan mungkin bisa masuk ke sana hanya
seorang diri saja," kata Eyang Balung Gading
mencoba menjelaskan.
Pandan Wangi langsung melirik Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mencoba masuk ke dalam
istana itu. Dan semalam, Rangga memang sudah
menceritakan semua yang dialaminya di dalam Istana Neraka itu. Rangga sendiri baru bisa mencapai ruangan depannya saja. Dan itu pun sudah
mendapat halangan yang tidak mudah dilalui begitu saja. Bisa-bisa akan mati di sana, jika terus
bertindak nekat.
"Kalau tidak bisa masuk ke sana, lalu bagaimana bisa membebaskan Cempaka...?" Pandan
Wangi seperti bertanya pada diri sendiri.
Tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu. Terlebih lagi Eyang Balung Gading, yang sudah pernah menghadapi Ratu
Lembah Neraka di dalam Istana Neraka itu juga.
Dan dia sendiri tidak tahu, dengan cara apa bisa
masuk ke dalam sana. Meskipun, laki-laki tua itu
tahu betul seluk beluknya.
Kembali mereka semua terdiam membisu. Benak mereka terus berputar, mencari cara agar bisa
membebaskan Cempaka dari dalam Istana Neraka
itu. Dan tampaknya, mereka benar-benar menemui jalan buntu. Rangga sendiri yang sudah mencoba masuk ke sana, terpaksa harus keluar lagi.
Memang sulit sekali jika sudah berada di dalam
bangunan istana tua di Lembah Neraka itu.
*** 4 Malam sudah menyelimuti seluruh daerah
Lembah Neraka ini. Langit tampak gelap, karena
terselimut awan tebal yang menggumpal hitam.
Sehingga, rembulan sepertinya tak sanggup membagi cahayanya ke atas permukaan bumi ini.
Sementara itu, Rangga berdiri tegak di depan
mulut gua yang tampak terang oleh nyala api unggun. Dari depan gua ini, Pendekar Rajawali Sakti
bisa memandang jelas ke Lembah Neraka, tempat
sebuah bangunan istana tua berdiri di sana. Sementara, Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading
duduk menghadapi api unggun di dalam gua yang
tidak begitu besar ini.
Perlahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya
menuju ke jalan setapak yang penuh ditebari batu
kerikil. Dia terus melangkah dengan pandangan
tertuju lurus ke depan bangunan istana tua itu.
Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip. Seluruh perhatiannya tertumpah pada bangunan Istana Neraka itu, sehingga tidak menyadari kalau
kakinya melangkah menuju ke bangunan istana
tua di Lembah Neraka itu.
"Hmmm...."
Rangga baru berhenti melangkah, setelah berada dekat di depan pintu bangunan istana tua
itu. Tidak seperti pertama kali datang dulu, pintu
itu kini tertutup rapat, dan tampaknya sangat kokoh. Beberapa saat lamanya, bangunan yang sangat besar dan terbuat dari batu yang sudah berlumut itu diamati. Sunyi sekali keadaan sekitarnya. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar
Lembah Neraka ini.
"Untuk apa kau datang ke sini, Rangga...?"
Tiba-tiba saja terdengar suara yang menggema,
namun terasa begitu lembut di telinga. Rangga
agak tersentak sedikit, dan sempat menarik kakinya ke belakang satu langkah. Tak ada seorang
pun yang terlihat di sekitarnya. Tapi suara itu demikian jelas terdengar. Dan Rangga sadar kalau
tidak sedang bermimpi. Sebagai seorang pendekar
yang sudah malang melintang menjelajahi rimba
persilatan, Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau
suara tadi dikeluarkan lewat pengerahan tenaga
dalam tinggi. Sehingga tidak bisa diketahui dari
mana arah sumber suara itu datang.
"Siapa kau..."!" seru Rangga agak lantang suaranya.
"Kau tidak bisa melihatku, Rangga..." Aku ada
di sini," terdengar sahutan lembut.
Pendekar Rajawali Sakti cepat mendongakkan
kepala ke atas. Sungguh hatinya jadi terkejut, begitu melihat seorang wanita cantik tengah berdiri
di bagian atas bangunan yang berbentuk beranda
itu. Memang, tahu siapa wanita berwajah cantik
dan dengan tubuh indah menggiurkan itulah wanita yang bernama Dewi Anjungan, dan dikenal
berjuluk Ratu Lembah Neraka.
Julukan itu diberikan, karena istananya ini
berada di tengah-tengah Lembah Neraka.
"Aku tahu, kau pasti ingin masuk ke dalam istanaku ini. Naiklah ke sini, Rangga...," ujar Dewi Anjungan. Suaranya masih
tetap lembut, meskipun jelas sekali dikeluarkan menggunakan pengerahan tenaga dalam.
Pendekar Rajawali Sakti masih tetap diam
membisu memandangnya. Memang tidak sulit
mencapai beranda atas itu. Tapi dia berpikir kalau-kalau ini hanya sebuah jebakan saja. Rangga
teringat akan kata-kata Eyang Balung Gading, kalau Istana Neraka ini penuh berbagai bentuk jebakan yang sangat berbahaya dan mematikan. Dan
hal itu sendiri sudah pernah dialaminya, meskipun baru sampai di bagian ruangan depan saja.
"Kenapa kau diam saja, Rangga" Ayo naiklah
ke sini...!" seru Dewi Anjungan mengajak.
"Kenapa tidak kau saja yang turun ke sini...?"
balas Rangga. "Ha ha ha...! Kau ini aneh, Rangga. Kau datang
ke sini, itu berarti tamuku. Untuk apa aku harus
turun ke bawah menemuimu..." Seharusnya, kaulah yang naik ke sini menemuiku, Rangga."
Rangga terdiam beberapa saat. Kemudian....
"Hup!"
Ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas. Hanya sekali lompatan saja, sudah
sampai di beranda atas itu, tepat di depan Dewi
Anjungan. Wanita itu tersenyum manis sekali melihat cara Rangga yang melompat begitu indah dan
ringan, ke atas beranda bangunan istana ini. Dan
itu sudah menandakan kalau Rangga memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan.
"Hebat...! Tidak banyak orang yang bisa naik
ke sini hanya satu kali lompatan saja," puji Dewi Anjungan diiringi senyum
lebar. "Terima kasih," ucap Rangga.
"Kau ingin masuk ke dalam?" Dewi Anjungan
menawarkan dengan sikap manis.
Rangga hanya mengangkat bahu saja sedikit.
Sementara wanita cantik itu memutar tubuhnya
berbalik, kemudian melangkah masuk ke dalam.
Rangga mengikuti dari belakang. Pendekar Rajawali Sakti langsung berdecak kagum, begitu berada di dalam sebuah ruangan yang sangat besar
dan indah. Bangunan ini benar-benar sebuah istana. Mereka terus berjalan melewati beberapa
ruangan yang besar-besar dan indah, dan baru
berhenti setelah sampai pada salah satu ruangan
yang juga berukuran besar dan sangat indah juga
Rangga tahu, ini merupakan sebuah ruangan untuk menjamu para tamu. Mereka kemudian duduk
menghadapi sebuah meja berukuran besar dan
panjang, yang bagian atasnya berkilat penuh hidangan nikmat. Beberapa guci arak juga tersedia.
Dan semua perabotan yang memenuhi ruangan ini
terbuat dari perak yang sangat halus sekali buatannya. Tapi ada satu keanehan yang dirasakan Pendekar Rajawali Sakti. Sejak tadi, dia tidak melihat
ada seorang pun di sini. Tidak ada penjaga, atau
para pelayan. Keadaannya begitu sunyi. Dan di
dalam ruangan yang berukuran besar ini, hanya
ada dia dan Dewi Anjungan saja.
"Kau tinggal di sini sendiri?" tanya Rangga ingin tahu.
"Ya," sahut Dewi Anjungan singkat.
"Tidak ada yang menemanimu?"
Dewi Anjungan malah tertawa. Begitu renyah,
dan merdu sekali suaranya terdengar di telinga.
Rangga melihat kalau wanita ini tidaklah seperti
yang digambarkan Eyang Balung Gading. Sama
sekali tidak terlihat adanya kekejaman pada dirinya. Sorot matanya begitu indah dan wajahnya
cantik sekali. Ditambah lagi bentuk tubuhnya begitu indah, membuat mata siapa saja pasti tidak
akan berkedip memandangnya. Wanita ini benarbenar sempurna. Dan tak terlihat sedikit pun kalau memiliki hati kejam, sekejam hati iblis.
Rangga jadi bertanya-tanya sendiri, apa benar
wanita secantik dan periang seperti ini bisa melakukan perbuatan sekeji iblis" Tapi ketika pertama
kali bertemu di ruangan depan, sama sekali Rangga juga tidak melihat ada satu sorot kekejaman.
Dan yang dilakukan Dewi Anjungan ketika itu
memang sangat wajar bagi orang-orang yang hidup di dalam lingkungan rimba persilaian.
"Aku sengaja menunggu, dan menyediakan
semua ini untukmu, Rangga," kata Dewi Anjungan
lagi. "Untuk apa kau lakukan semua ini?" tanya Rangga masih bersikap curiga,
mengingat kata-kata Eyang Balung Gading mengenai wanita cantik
ini. "Aku suka melakukan sesuatu yang menyenangkan. Dan aku ingin menyenangkanmu, Rangga. Apakah berlebihan...?"
Lagi-lagi Rangga hanya mengangkat bahu saja.
Sikap Dewi Anjungan memang sungguh membuatnya bingung. Wanita ini begitu cantik dan
manis sikapnya, seperti wanita bangsawan saja.
Dan Rangga jadi tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Sementara Dewi Anjungan sudah mengajaknya untuk menikmati hidangan yang sudah
disediakan. Rangga sendiri tidak bisa lagi menolak
kebaikan hati wanita ini.
*** Malam itu, Dewi Anjungan menunjukkan seluruh bagian dari ruangan-ruangan yang ada di dalam istananya ini. Tak ada tanda-tanda sedikit
pun kalau istana ini memiliki jebakan maut yang
sangat berbahaya dan mematikan, seperti yang dikatakan Eyang Balung Gading. Meskipun dari luar
kelihatan begitu angker dan sudah tua, tapi Rangga melihat kalau istana ini begitu indah dan menyenangkan. Tidak jauh berbeda dengan istana
kerajaan lain, yang pernah dikunjunginya. Bahkan
Rangga merasa kalau keindahan dan kemegahan
istana ini lebih daripada Istana Karang Setra.
Kini mereka kembali ke teras depan di atas
bangunan istana ini, seperti pertama kali Rangga
datang tadi. Mereka duduk di sana menghadapi
seguci arak, sambil memandang bulan yang tengah mengintip dari balik awan. Begitu indah suasana malam ini. Dan Rangga harus jujur mengakui, kalau keindahan ini justru Dewi Anjungan
yang menciptakannya.
"Sekali lagi, aku minta maaf atas perlakuanku
waktu itu, Rangga," ucap Dewi Anjungan, mengingatkan kejadian kemarin.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Kenapa kau kemarin begitu memusuhiku?"
tanya Rangga ingin tahu sikap Dewi Anjungan
yang sangat jauh perbedaannya saat ini.
"Terus terang, aku masih diliputi ketegangan,
Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rangga. Belum ada satu tahun aku bisa menghirup udara segar kembali, dan bisa lagi melihat indahnya bulan. Selama bertahun-tahun aku terkurung. Aku tak memiliki kepastian, apakah sudah
mati atau hidup. Dan lagi..., belum juga hatiku
merasa tenang, sudah muncul gangguangangguan tidak menyenangkan yang membuatku
marah. Aku benar-benar merasa tegang waktu itu,
Rangga. Sampai-sampai aku tidak tahu lagi, apa
yang harus kulakukan, selain mengusir paksa siapa saja yang datang ke sini," jelas Dewi Anjungan.
"Lalu, apa sekarang kau sudah merasa tenang?" tanya Rangga ingin tahu.
"Sedikit," sahut Dewi Anjungan langsung me-neguk arak, hingga tandas tak bersisa
lagi. Rangga menuangkan arak dari guci ke dalam
gelas Dewi Anjungan yang sudah kosong. Dan dia
sendiri, sejak tadi belum juga habis satu gelas.
Sedangkan wanita itu, entah sudah berapa gelas
arak yang masuk ke dalam perutnya.
"Bibi Dewi, kau tahu maksud kedatanganku ke
sini...?" tanya Rangga lagi.
"Ya, aku tahu," sahut Dewi Anjungan perlahan.
"Kau mencari Cempaka, dan menyangka aku yang
menculiknya. Yaaa..., seperti yang lain. Mereka
langsung datang dan menuduhku menculik Cempaka. Padahal, sama sekali aku tidak melakukan
itu. Aku baru saja kembali, dan sekarang belum
punya pikiran untuk melakukan apa-apa. Aku harus membenahi istanaku dulu, setelah cukup lama terpenjara dalam tirai batin yang begitu kuat."
Rangga diam memandangi wajah cantik yang
duduk tidak jauh di depannya; Dia jadi teringat
cerita Eyang Balung Gading tentang wanita ini dan
Istananya. Langsung bisa dipahami kalau apa
yang dikatakan Eyang Balung Gading memang benar. Dan memang belum ada satu tahun Resi Wanapati meninggal. Dan itu berarti memang benar
kalau istana ini telah dilenyapkan selama puluhan
tahun, dan baru muncul kembali setelah Resi Wanapati meninggal dunia.
Tapi Rangga baru tahu kalau Dewi Anjungan
ternyata juga ikut lenyap bersama istananya ini.
Itu berarti, Dewi Anjungan berada di dalam istana
ini ketika dilenyapkan oleh tujuh orang tokoh sakti rimba persilatan. Dengan menggabungkan tujuh
macam ilmu kesaktian tingkat tinggi, dan menguncinya di dalam batin Resi Wanapati.
"Kau pasti sudah tahu, siapa aku ini sebenarnya, Rangga," kata Dewi Anjungan lagi.
"Ya," sahut Rangga singkat.
"Bagaimana pendapatmu, jika aku menginginkan untuk mengurus dan mengasuh keponakanku
sendiri...?" tanya Dewi Anjungan.
"Kau memang punya hak," sahut Rangga.
"Ya! Aku memang punya hak untuk mengurus
Cempaka. Tapi mereka selalu menghalangi, dan
tidak mengizinkan aku merawatnya. Mereka selalu
saja menyangka aku wanita...," Dewi Anjungan tidak melanjutkan.
Sedangkan Rangga hanya diam saja menatap
dalam-dalam wanita berwajah cantik dan menggairahkan ini. Ditunggunya lanjutan kata-kata si
Ratu Lembah Neraka itu. Tapi cukup lama juga
Dewi Anjungan terdiam, dengan mata lurus menatap rembulan yang mengintip dari balik awan.
"Sejak Cempaka lahir, aku sudah ingin merawatnya. Tapi mereka tidak pernah mengizinkan.
Berbagai macam cara sudah kutempuh. Sampaisampai, aku bertindak kasar. Dan hal itu semakin
menjauhkan aku dari Cempaka. Mereka lalu memenjarakan aku dan istana ini, dalam tirai batin
yang tidak bisa kutembus. Puluhan tahun aku berada dalam ketidakpastian antara hidup dan mati.
Tapi sekarang..., setelah aku kembali sendiri.
Hhh..., dunia ini benar-benar tidak adil. Selalu saja penderitaan yang kudapati. Sedikit pun aku tidak pernah merasa ada kebahagiaan menghampiri," nada suara Dewi Anjungan terdengar mengeluh. "Jadi, kau benar-benar tidak tahu di mana
Cempaka berada sekarang ini?" tanya Rangga ingin memastikan.
"Kau sudah lihat sendiri, Rangga. Seluruh
ruangan di istana ini sudah kau periksa. Tidak
ada lagi yang kusembunyikan di sini," tegas Dewi Anjungan. "Bertahun-tahun aku
tidak pernah lagi melihat Cempaka. Dan aku tidak tahu lagi, bagaimana rupanya
sekarang ini. Pasti dia sudah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik sekali."
"Ya, dia memang cantik. Dan aku sangat menyayanginya," sambut Rangga.
"Kau pantas menyayanginya, Rangga. Karena,
kau adalah kakaknya. Dan sudah sepantasnya kalau kau menjaga dan melindunginya."
"Aku sudah berusaha sebaik mungkin."
Kembali mereka terdiam beberapa saat lamanya. "Bibi Dewi! Beberapa orang di istanaku melihat, kau yang membawa Cempaka...," kata Rangga
bernada terputus suaranya.
"Hm...," Dewi Anjungan jadi tersenyum sinis.
Dan Rangga jadi terdiam.
"Aku sudah lenyap selama puluhan tahun bersama istanaku ini, Rangga. Kenapa kau begitu
mudah percaya pada omongan kosong seperti
itu..." Apa kau tidak pernah berpikir, seseorang
yang telah menghilang puluhan tahun bisa dengan
mudah dikenali begitu saja" Dan terakhir kali aku
melihat Cempaka, saat dia berumur sekitar.... Ah,
entahlah. Aku tidak ingat lagi. Dan aku juga sudah lupa, bagaimana rupanya sekarang ini."
"Kau sudah tahu keponakanmu hilang, tapi
kenapa diam saja, Bibi Dewi?"
"Aku tidak ingin lagi larut dengan segala macam urusan dunia, Rangga. Tapi, aku juga ikut
memikirkan keadaan Cempaka saat ini. Hanya saja, aku sekarang tidak bisa berbuat apa-apa dulu.
Penjara batin yang kuderita beberapa tahun telah
menguras hampir seluruh kekuatanku. Dan kekuatanku itu harus kupulihkan dulu, sebelum kembali ke dunia ramai. Aku sama sekali tidak bisa
melakukan apa-apa, sampai kekuatanku kembali
pulih seperti semula," ujar Dewi Anjungan menjelaskan. "Tidak lama lagi, seluruh
kekuatanku pulih kembali. Dan aku pasti akan mencari Cempaka. Tapi sekarang, aku tidak mau lagi memaksakan kehendakku. Aku akan menerima kalau Cempaka memang lebih senang tinggal di Karang Setra. Tapi, istana ini juga tidak tertutup baginya.
Juga untukmu, Rangga."
Lagi-lagi Rangga hanya diam saja. Macammacam pikiran langsung saja berkecamuk dalam
kepalanya. Memang, apa yang dilihat dan didengarnya sekarang ini tidak bisa lagi dibantah. Setiap sudut istana ini sudah dilihatnya. Tidak ada
satu ruangan pun yang terlewatkan, dan ternyata
Cempaka memang tidak ada di dalamnya. Bahkan
sikap Dewi Anjungan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda seperti yang dikatakan Eyang
Balung Gading. Rangga tidak bisa lagi menuduh, kalau wanita
ini yang menculik Cempaka. Kini semua persoalan
baginya jadi buntu. Sekarang Pendekar Rajawali
Sakti tidak tahu lagi di mana Cempaka berada,
dan siapa yang menculiknya. Kepala pendekar
muda itu jadi terasa pening memikirkannya. Memang, belum bisa dikatakan begitu saja kalau
orang-orang di Istana Karang Setra melihat Cempaka diculik. Namun Pendekar Rajawali Sakti juga
tidak menuduh kalau hal itu adalah dusta.
Tapi kalau dilihat lenyapnya Dewi Anjungan
yang sudah puluhan tahun, dan belum lama baru
muncul kembali, rasanya memang mustahil jika
ada orang yang langsung mengenalinya begitu saja. Dan memang, tidak mungkin kalau Dewi Anjungan masih bisa mengenali rupa Cempaka sekarang ini. Karena, terakhir kali melihat, Cempaka
masih terlalu kecil. Dan sekarang, Cempaka sadah
menjadi seorang gadis cantik. Bahkan merupakan
sekuntum bunga yang mengharumkan Istana Karang Setra. *** Lewat tengah malam, Rangga baru meninggalkan Istana Neraka itu. Memang aneh kalau bangunan itu dinamakan Istana Neraka. Karena, keadaannya begitu indah dan megah sekali. Sungguh
berlawanan jika dipandang dari luar, yang tampak
menyeramkan sekali.
Dewi Anjungan sendiri yang mengantarkan
Pendekar Rajawali Sakti sampai di pintu depan.
Dan Rangga terus berjalan meninggalkan istana
itu tanpa berpaling lagi ke belakang. Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti setelah tiba di jalan setapak yang menghubungkan lembah itu dengan
dunia luar. Rangga baru memutar tubuhnya, dan
memandang ke arah bangunan istana tua itu.
Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti berdiri
mematung, memandangi bangunan Istana Neraka.
Kemudian, dia kembali melangkah menuju gua
yang tidak seberapa jauh dari jalan setapak di sekitar Lembah Neraka ini. Di dalam gua itu, Rangga
meninggalkan Pandan Wangi dan Eyang Balung
Gading. Sementara malam terus merayap semakin
bertambah larut. Dan udara di sekitar lembah ini
terasa begitu dingin merasuk sampai ke tulang.
"Dari mana, Kakang...?"
"Oh..."!"
Rangga agak tersentak, ketika mendengar teguran lembut. Kepalanya yang tertunduk langsung
terangkat. Di depannya, tahu-tahu sudah berdiri
Pandan Wangi. Sungguh sama sekali tidak disadarinya kalau sudah berada dekat dengan gua kecil
itu. Api unggun di dalam gua masih kelihatan menyala. Tampak Eyang Balung Gading duduk bersila, bersikap semadi. Sementara Pandan Wangi sudah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, dan
berdiri sekitar dua langkah lagi di depannya.
"Aku cari ke mana-mana, kau tidak ada. Ke
mana saja sih...?" Pandan Wangi agak memberengut. "Aku ke istana itu," sahut Rangga agak mendesah. "Ke sana..."!" Pandan
Wangi mendelik kaget.
"Iya," sahut Rangga lagi.
"Lalu...?" desak Pandan Wangi jadi ingin tahu.
Rangga hanya menghembuskan napas panjang
seraya mengangkat bahu sedikit. Kemudian tubuhnya dihempaskan di atas sebatang akar yang
menyembul keluar dari dalam tanah. Pandan
Wangi ikut duduk di samping Pendekar Rajawali
Sakti. Tampaknya, dia masih menunggu jawaban
Rangga. "Kau temukan Cempaka di sana, Kakang?"
tanya Pandan Wangi lagi tidak sabar.
"Tidak," sahut Rangga. "Cempaka tidak ada di sana."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang...."
"Ketika ke sana, aku disambut baik Dewi Anjungan. Bahkan diantar berkeliling, memeriksa seluruh istana itu. Tidak ada yang terlewat, dan
Cempaka memang tidak ada di sana," jelas Rangga. "Terus...?" desak Pandan Wangi.
"Ya.... Tampaknya Dewi Anjungan memang tidak menculik Cempaka, Pandan. Dan dia sama
sekali jauh berbeda dari yang dikatakan Eyang Balung Gading. Dia begitu ramah dan baik sekali. Tidak ada tanda-tanda kalau dirinya seorang wanita
kejam. Sama sekali tidak terlihat kejanggalan di
sana. Semuanya dalam keadaan wajar, dan tidak
ada satu jebakan pun kutemui. Bahkan Dewi Anjungan mengakui kalau dia dan istananya terkurung oleh tirai batin yang kuat," jelas Rangga panjang lebar.
"Tapi kata Eyang Balung Gading, dia wanita licik, Kakang. Dia itu ular berkepala dua," sergah Pandan Wangi, seakan-akan tidak
percaya atas cerita Rangga mengenai si Ratu Lembah Neraka dan
istananya itu. "Sekarang ini, aku belum bisa menentukannya
dengan pasti, Pandan."
Pandan Wangi jadi terdiam. Dan Rangga juga
diam membisu. Entah, berapa lama mereka berdiam diri. Berbagai macam pikiran berkecamuk di
dalam kepala masing-masing.
"Pandan, kau ingat siapa-siapa saja yang melihat Cempaka diculik waktu itu?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri
membisu. "Hampir semua orang yang ada di istana, Kakang," sahut Pandan Wangi.
"Di istana, hanya Ki Lintuk saja yang tertua.
Dan sama sekali Ki Lintuk tidak pernah berurusan
dengan Dewi Anjungan. Sedangkan yang lain, tidak pernah melihat sebelumnya. Hmmm...," Rangga jadi bergumam, bicara pada diri sendiri.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang...?"
tanya Pandan Wangi semakin bertambah bingung.
"Aku merasa ada sesuatu yang aneh, Pandan,"
gumam Rangga, masih seperti untuk diri sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aneh...?"
"Ya," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung bangkit berdiri. Sedangkan Pandan Wangi hanya bisa memandangi dengan sinar mata masih diliputi ketidakmengertian. "Aku akan ke Karang Setra dulu, Pandan. Kau
tetap di sini bersama Eyang Balung Gading. Dan
besok pagi-pagi sekali, aku sudah ada di sini lagi,"
kata Rangga buru-buru.
"Eh..."!"
Pandan Wangi tidak bisa berbuat apa-apa lagi,
karena Rangga sudah melesat begitu cepat. Sehingga dalam sekejap mata saja, bayangan tubuh
Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tak terlihat
lagi. Pandan Wangi jadi termangu sendiri, terus
menduga-duga dalam hati. Apa sebenarnya yang
sedang terjadi sekarang ini..."
*** 5 Kemunculan Rangga yang begitu tiba-tiba,
membuat seluruh penghuni Istana Karang Setra
jadi geger. Terlebih lagi, Rangga datang di tengah
malam buta seperti ini. Padahal, semua orang sedang terlelap dalam buaian mimpi. Dan memang,
Rangga tidak mengalami kesulitan sedikit pun,
meskipun harus menempuh perjalanan yang begitu jauh. Karena Pendekar Rajawali Sakti memang
menunggang Rajawali Putih. Sehingga, dia bisa
begitu cepat sampai di Istana Karang Setra dari
Lembah Neraka. Rangga langsung membawa Danupaksi, Ki Lintuk, Paman Bayan Sudira ke dalam kamar pribadinya. Dan siapa pun dilarang untuk masuk ke
dalam ruangan ini. Sikap yang aneh ini membuat
mereka jadi bertanya-tanya di dalam hati. Mereka
duduk melingkari sebuah meja bundar yang berada di tengah-tengah ruangan itu.
"Aku ingin bertanya pada kalian semua. Dan
aku ingin jawaban jujur, tanpa harus ada yang ditutupi," ujar Rangga begitu sungguh-sungguh nada suaranya. Danupaksi, Ki Lintuk, dan Paman Bayan Sudira hanya diam saja. Mereka saling melemparkan
pandang, satu sama lain.
"Aku ada di sini bukan sebagai raja. Dan kalian tidak perlu bersikap sungkan padaku," kata Rangga lagi mengingatkan.
Belum ada seorang pun yang membuka suara.
Dan untuk beberapa saat, keadaan menjadi sunyi.
Rangga sendiri terdiam membisu beberapa saat,
sambil merayapi wajah-wajah yang berada di depannya. "Siapa saja di antara kalian yang melihat penculik Cempaka?" tanya Rangga langsung, dengan
nada suara agak ditekan. Semua kepala bergerak
menggeleng. "Jadi tidak ada seorang pun yang melihat?"
"Aku datang, si penculik itu sudah pergi, Kakang," jelas Danupaksi.
"Jadi, siapa yang melihat?" tanya Rangga lagi.
"Tidak ada," Ki Lintuk yang menyahuti.
"Semua prajurit yang memergokinya tewas,"
sambung Paman Bayan Sudira.
"Tidak ada..." Lalu, kenapa kalian bisa menyangka kalau Ratu Lembah Neraka yang menculik Cempaka...?" agak tinggi nada suara Rangga.
Tidak ada yang menjawab seorang pun.
"Ki Lintuk..., kau pernah berurusan dengan
Ratu Lembah Neraka?" tanya Rangga seraya menatap tajam laki-laki tua itu.
"Tidak," sahut Ki Lintuk.
"Kau tahu, bagaimana rupa wanita itu?" tanya Rangga lagi.
Kali ini, jawaban Ki Lintuk hanya dengan gelengan kepala saja.
"Dan kau, Paman Bayan Sudira...?" Rangga beralih menatap Paman Bayan Sudira.
"Aku juga belum pernah bertemu dengannya.
Namanya saja baru kudengar kali ini," sahut Paman Bayan Sudira.
"Dewata Yang Agung...," desah Rangga. "Kalian semua tidak ada yang
mengetahuinya, tapi kenapa
bisa mengatakan penculik itu adalah Ratu Lembah
Neraka...?"
"Kakang...," selak Danupaksi. "Ya, ada apa...?"
"Cempaka pernah cerita, dia punya seorang bibi yang sudah bertahun-tahun menghilang. Dan
Cempaka banyak cerita tentang bibinya memang
menginginkannya. Dan ketika Cempaka diculik,
aku langsung berpikir ke sana. Maka, kukirim beberapa orang telik sandi untuk menyelidiki Lembah Neraka. Mereka mengatakan, di sana memang
ada sebuah bangunan istana. Lalu aku langsung
mengirim beberapa jago istana, prajurit, dan beberapa panglima. Tapi mereka semua tidak ada yang
kembali lagi. Bahkan aku sempat pergi ke sana,
dan hampir saja tewas. Untung saja Paman Bayan
Sudira segera datang menolongku," jelas Danupaksi. "Kenapa kau sampai bisa berpikir ke sana,
Danupaksi?" tanya Rangga meminta penjelasan.
"Aku hanya berpikir, tidak ada orang lain lagi
yang menginginkan Cempaka selain Ratu Lembah
Neraka, Kakang. Karena dia, adalah bibinya Cempaka. Dan Cempaka sendiri yang mengatakan kalau bibinya sudah beberapa kali mencoba merebutnya dari Eyang Balung Gading. Dan itu sebelum Ratu Lembah Neraka menghilang, Kakang,"
jelas Danupaksi panjang lebar.
"Kau sudah melakukan tindakan yang sangat
ceroboh, Danupaksi," ujar Rangga tegas.
"Maafkan aku, Kakang," ucap Danupaksi menyesal. "Hhh..., sudahlah," desah Rangga seraya bangkit berdiri dari kursinya.
Sementara Danupaksi hanya tertunduk saja.
Ki Lintuk dan Paman Bayan Sudira juga terdiam,
tidak berkata-kata sedikit pun juga. Sementara
Rangga melangkah menghampiri jendela. Dibukanya jendela itu lebar-lebar, membuat angin malam yang dingin langsung menerobos masuk menerpa tubuhnya.
"Aku akan pergi lagi. Dan kuminta, jangan ada
seorang pun dari kalian bertiga yang meninggalkan istana," pesan Rangga.
Dan belum juga ada yang memberi jawaban,
Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat begitu cepat bagaikan kilat. Sehingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat
lagi. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar lenyap
seperti tertelan bumi.
*** Bukan hanya Rangga yang jadi bingung. Bahkan Eyang Balung Gading pun hampir tak percaya
setelah mendengar semua yang diketahui Pendekar Rajawali Sakti. Jalan yang ditempuh sekarang
ini benar-benar sudah buntu. Dan mereka tidak
tahu lagi, ke mana harus mencari Cempaka. Tuduhan kalau Dewi Anjungan yang membawa lari
Cempaka, hanya berdasar pada dugaan Danupaksi saja. Sedangkan adik tiri Pendekar Rajawali
Sakti itu, sama sekali tidak mengenal Dewi Anjungan yang dijuluki Ratu Lembah Neraka.
Danupaksi sendiri menduga begitu, karena
mendengar sendiri cerita dari Cempaka tentang dirinya. Maka dia langsung menuduh Dewi Anjungan, setelah mendapat berita dari telik sandi yang
dikirimnya untuk menyelidiki Ratu Lembah Neraka itu. Dan sekarang, tidak ada alasan lagi untuk
mencurigai Ratu Lembah Neraka, setelah Rangga
mengetahui sikap dan keadaan istana itu.
"Eyang.... Kau masih ingat saat mengadakan
sayembara di padepokan...?" ujar Rangga setelah cukup lama mereka berdiam diri.
Eyang Balung Gading mengangkat kepala perlahan-lahan. Pandangannya langsung tertuju pada
bola mata Pendekar Rajawali Sakti, lalu perlahan
kepalanya bergerak terangguk.
"Kau mengenal semua yang ikut sayembaramu" Terutama peserta laki-laki, Eyang," ujar
Rangga lagi. "Ya. Tapi tidak semua," sahut Eyang Balung Gading.
"Sekarang ini kita semua menghadapi jalan
buntu, Eyang. Dan tidak ada salahnya kalau penyelidikan dimulai lagi dari satu persatu peserta
sayembaramu waktu itu," kata Rangga.
"Maksudmu...?"
"Mereka semua menderita malu dan kekecewaan yang dalam, Eyang. Jadi bukan mustahil kalau mereka menyimpan dendam, dan ingin menguasai Cempaka dengan cara apa pun juga,"
Rangga menjelaskan jalan pikirannya.
"Hmm.... Ya, memang ada kemungkinan juga,
Rangga," gumam Eyang Balung Gading.
Sementara itu, Pandan Wangi yang tidak tahu
apa-apa tentang pembicaraan itu, hanya bisa berdiam diri saja. Gadis itu terus mendengarkan dan
mencoba bisa mengerti dari pembicaraan Eyang
Balung Gading dan Pendekar Rajawali Sakti.
Meskipun sulit, tapi sedikit demi sedikit bisa juga
memahaminya. Terlebih lagi setelah Rangga menjelaskan tentang sayembara yang diadakan Eyang
Balung Gading beberapa waktu yang lalu. Sehingga, Rangga bisa bertemu kedua adik tirinya. Kini
Pandan Wangi semakin bertambah mengerti.
"Tapi, bagaimana cara menyelidikinya, Kakang" Mereka kebanyakan orang pengembara
yang tidak jelas tempat tinggalnya," kata Pandan Wangi.
"Memang itulah kesulitannya, Pandan Wangi.
Hanya beberapa saja yang menetap," desah Rangga. "Dan lagi, memang tidak mungkin menyelidiki
mereka satu persatu, Rangga. Terlalu banyak yang
ikut sayembara waktu itu. Dan lagi, tidak semuanya kukenal. Mereka datang dari segala penjuru,"
sambung Eyang Balung Gading.
Mereka kembali terdiam, dan menemui jalan
buntu lagi. Memang tidak mudah menyelesaikan
persoalan ini. Terlebih lagi, sekarang mereka tidak
memiliki petunjuk sedikit pun juga. Sementara itu,
Eyang Balung Gading mengarahkan pandangan
pada bangunan tua Istana Neraka. Tatapan matanya begitu tajam dan tak berkedip sedikit pun
juga. Sementara, matahari sudah semakin condong
ke arah Barat. Sinarnya tidak lagi terik seperti tadi. Dan angin yang berhembus perlahan di sekitar
Lembah Neraka, sudah mulai terasa dingin. Tidak
lama lagi, malam pasti akan datang menyelimuti
seluruh daerah Lembah Neraka ini.
Saat itu, Pandan Wangi sudah kembali masuk
ke dalam gua. Sedangkan Rangga mencari rantingranting kering untuk dijadikan kayu bakar malam
nanti. Sementara, Eyang Balung Gading masih
berdiri tegak memandang ke arah Istana Neraka
yang berdiri angker di tengah-tengah Lembah Neraka itu. Matahari pun semakin jauh tenggelam di
belahan bumi Barat. Cahayanya semakin meredup
saja, mengiringi hembusan angin yang semakin terasa dingin. Entah disadari atau tidak, perlahan-lahan
Eyang Balung Gading melangkahkan kakinya menuju Istana Neraka itu. Sorot matanya masih tetap
tajam, tak berkedip sedikit pun juga. Sedangkan
Rangga dan Pandan Wangi sama sekali tidak tahu
kalau Eyang Balung Gading menghampiri istana
tua itu. Dan laki-laki tua berjubah kuning gading
dengan sulaman bergambar rantai hitam dan dua
bilah pedang bersilang di dadanya, semakin mendekati Istana Neraka saja.
Meskipun ayunan kakinya kelihatan begitu
perlahan, tapi Eyang Balung Gading sebenarnya
bergerak cepat. Dan itu berarti ilmu meringankan
tubuhnya dikerahkan. Sehingga, sebentar saja dia
sudah sampai di depan pintu bangunan megah
yang kelihatan angker di Lembah Neraka ini.
Eyang Balung Gading berhenti tepat sekitar lima
langkah lagi di depan pintu berukuran sangat besar dan tampak tertutup rapat.
"Hmmm...," Eyang Balung Gading menggumam
perlahan. Kakinya kembali terayun melangkah mendekati pintu itu. Perlahan-lahan tangan kanannya
menjulur ke depan, dan mendorong pintu istana.
Keningnya jadi bertambah berkerut, ketika pintu
yang terbuat dari kayu jati tebal dan besar itu bergerak terdorong.
Kryieeet...! Suara bergerit terdengar menggiris, saat pintu
itu bergerak terbuka. Eyang Balung Gading melangkah memasuki istana itu, lalu berhenti sebentar di ambang pintu yang sudah terbuka cukup
lebar. Sebentar diamatinya keadaan di dalam yang
tampak terang benderang oleh beberapa pelita
Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menggantung. Perlahan-lahan kaki laki-laki
tua itu terayun melewati ambang pintu.
Kryieeet...!"
Brakkk! "Oh..."!"
Eyang Balung Gading agak terperanjat, ketika
tiba-tiba saja pintu di belakangnya bergerak menutup sendiri. Cepat dia melompat menghampiri
pintu itu, dan mencoba membukanya. Tapi, pintu
yang berukuran sangat besar itu tidak bisa lagi dibuka, seperti terkunci dari luar. Perlahan tubuhnya berputar berbalik, dan mengedarkan pandang
ke sekeliling ruangan yang berukuran sangat besar dan tampak megah ini.
"Aku harus hati-hati. Ini pasti awal jebakan Istana Neraka," gumam Eyang Balung
Gading. Perlahan-lahan laki-laki tua Ketua Padepokan
Baja Hitam itu melangkah menyeberangi lantai
ruangan yang luas dan berkilat bagai terbuat dari
batu permata itu. Pandangannya tertuju lurus pada tangga batu setengah melingkar yang ada di
seberang ruangan ini. Sikapnya begitu waspada,
tanpa mengedipkan kelopak mata sedikit pun. Kakinya terayun melangkah begitu ringan, sehingga
sedikit pun tak ada suara yang terdengar saat menapak lantai batu yang licin dan berkilat itu.
Eyang Balung Gading berhenti sebentar begitu
berada di ujung bawah tangga. Matanya menatap
tajam ke ujung tangga di atas. Tak ada yang dilihat, kecuali sebuah pintu yang tertutup rapat. Hati-hati sekali Eyang Balung Gading melangkah
meniti anak tangga pertama itu. Dengan tatapan
mata yang tetap tertuju ke pintu di ujung tangga,
kakinya terus melangkah satu persatu, meniti
anak-anak tangga itu.
Tapi ketika sampai di tengah-tengah, mendadak saja.... "Heh..."!"
*** Bukan main terkejutnya Eyang Balung Gading,
karena tiba-tiba saja undakan tangga yang dipijaknya mendadak jadi datar. Dan lebih terkejut lagi, lantai di ujung bawah tangga tampak terbenam
membentuk sebuah kolam lumpur yang bergolak
mendidih, menyemburkan api dan asap panas
berwarna kemerahan.
"Hap...!"
Eyang Balung Gading cepat-cepat menempelkan kedua telapak tangan pada tangga yang kini
sudah rata dan licin, sebelum merosot turun ke
dalam lumpur berapi di bawah sana.
Sungguh menakjubkan! Eyang Balung Gading
bisa meletakkan tangannya seperti cecak, sehingga tidak sampai melorot turun ke dalam kolam
lumpur yang bergolak mendidih mengeluarkan api
itu. "Phuih! Hampir saja...!" dengus Eyang Balung Gading seraya menghembuskan
napas panjang. Sebentar matanya menatap ke atas, pada pintu
yang masih tertutup rapat. Kemudian, perlahanlahan dia bergerak maju, sambil terus mengerahkan aji kesaktian yang bisa membuatnya berjalan
seperti cecak. Namun belum juga jauh, tiba-tiba
saja.... Slappp! Wusss! "Oh..."! Hup...!"
Lagi-lagi Eyang Balung Gading dibuat terkejut
setengah mati. Karena dari atas, tahu-tahu bermunculan puluhan anak panah yang meluncur
cepat bagai kilat ke arahnya. Terpaksa tubuhnya
melenting tinggi-tinggi ke udara, sebelum puluhan
anak panah itu mencapai tubuhnya. Lalu, manis
sekali Eyang Balung Gading meletakkan kedua telapak tangannya pada atap yang terbuat dari batu.
Lalu.... "Hup...!"
Kembali laki-laki tua itu melenting dengan gerakan begitu manis. Begitu cepat dan indahnya
gerakan tubuh Eyang Balung Gading di udara,
dan tahu-tahu sudah menjejakkan kakinya di lantai, tepat di depan pintu di ujung atas tangga batu
itu. Namun belum juga bisa menarik napas lega,
tiba-tiba saja pintu itu terbuka. Dan....
"Heh..."!"
Kedua bola mata Eyang Balung Gading jadi terbeliak lebar, begitu dari dalam pintu yang terbuka
tiba-tiba itu muncul seorang laki-laki bertubuh
tinggi besar berpakaian ketat warna merah menyala. Tombak yang tergenggam di tangan kanannya
langsung meluruk deras ke arah dada Ketua Padepokan Baja Hitam itu.
"Uts...!"
Cepat-cepat Eyang Balung Gading memiringkan tubuhnya ke kanan, sehingga ujung tombak
yang runcing itu lewat di depan dadanya. Dan pada saat itu juga, tangan kanan Eyang Balung Gading bergerak cepat menangkap bagian tengah batang tombak itu. Lalu sambil mengerahkan tenaga
dalam, tombak itu dihentakkan ke belakang.
"Whaaa...!" laki-laki bertubuh tinggi besar itu jadi menjerit.
Seperti daun kering tertiup angin, tubuhnya
meluncur deras karena tidak dapat menahan hentakan tenaga dalam Eyang Balung Gading yang
sudah mencapai tingkat tinggi itu. Begitu deras
tubuhnya meluncur ke bawah, sehingga langsung
tercebur kolam lumpur berapi yang menggolak
mendidih itu. "Hhh...!" Eyang Balung Gading menghembuskan napas panjang melihat laki-laki bertubuh
tinggi besar itu berteriak-teriak dan menggelepar
di dalam kolam lumpur berapi itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Eyang
Balung Gading bergegas menerobos masuk ke dalam pintu yang sudah terbuka lebar. Dan kini, dia
sudah berada di dalam sebuah ruangan yang juga
berukuran luas. Kepalanya langsung berpaling,
begitu pintu di belakangnya tertutup sendiri.
"Hmmm...," Eyang Balung Gading menggumam
perlahan. Perlahan-lahan Eyang Balung Gading mengayunkan kakinya ke tengah-tengah ruangan yang
begitu luas dan megah ini. Sikapnya masih begitu
hati-hati dan waspada. Ayunan kakinya sangat
ringan, karena memang mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Namun begitu sampai di tengah-tengah ruangan
ini, mendadak saja....
Blakkk! "Heh..."!"
Eyang Balung Gading tidak sempat lagi berbuat sesuatu, ketika tiba-tiba saja lantai yang dipijaknya membelah begitu cepat dan mendadak.
Sehingga, tubuh laki-laki tua itu langsung meluncur ke bawah tanpa dapat terkendali lagi. Pada
saat itu, lantai kembali cepat tertutup.
Eyang Balung Gading segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sehingga ketika sampai di
dasar dapat mengendalikan dirinya. Hingga, dia
bisa mendarat manis sekali dengan kedua kakinya. Eyang Balung Gading jadi terperanjat setengah mati. Ternyata kini dia berada pada sebuah
ruangan berukuran tidak terlalu besar, dan tampak kotor sekali. Hampir seluruh lantainya dipenuhi rerumputan kering. Bahkan baunya sungguh
tidak sedap. Keadaannya pun tidak begitu terang,
karena hanya sebuah api obor kecil saja yang ada
di dalam ruangan ini.
Eyang Balung Gading melangkah mendekati
sebuah pintu yang tampaknya terbuat dari besi
baja berukuran cukup tebal. Tangannya terulur,
mencoba membuka pintu itu. Keningnya jadi berkerut, karena pintu itu tidak terkunci sama sekali.
Sehingga, pintu itu mudah bisa dibukanya. Perlahan-lahan Eyang Balung Gading menjulurkan kepala keluar. "Oh..."!"
Lagi-lagi matanya jadi terbeliak lebar, begitu
kepalanya menjulur dari ruangan pengap dan kotor ini. Hampir dia tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Tapi semua itu memang bukan mimpi.
"Cempaka...," desis Eyang Balung Gading.
Bergegas Eyang Balung Gading menerobos
masuk ke dalam ruangan yang berukuran tidak
begitu besar ini, tapi tampak lebih bersih dan rapi
daripada ruangan di balik pintu baja itu. Eyang
Balung Gading tidak peduli dengan pintu yang
kembali tertutup. Kakinya terus melangkah cepat
menghampiri seorang gadis yang terbaring di atas
kayu, beralaskan dari kain halus berwarna biru
muda, dan dalam keadaan seperti tidak sadar.
Tak ada gerakan sedikit pun dari gadis yang
mengenakan baju merah muda itu. Hanya gerakan
halus pada dadanya saja yang menandakan kalau
gadis itu masih hidup. Sesaat Eyang Balung Gading memandangi wajah yang cantik, dan seperti
sedang tertidur pulas itu.
"Cempaka...," panggil Eyang Balung Gading, seraya menyentuh pundak gadis itu.
Tapi, gadis cantik yang terbaring itu tetap diam. Memang dia adalah Cempaka, adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang selama ini menghilang diculik seseorang dari Istana Karang Setra. Melihat
Cempaka hanya diam saja, Eyang Balung Gading
bergegas memeriksa seluruh tubuh gadis ini. Dan
dia jadi melenguh panjang, begitu mengetahui kalau seluruh aliran jalan darah Dewi Cempaka sudah tertutup. Sehingga, gadis ini benar-benar tak
berdaya lagi seperti sudah mati.
"Bertahanlah, Anakku. Aku akan mencoba
membebaskanmu dari belenggu ini," ujar Eyang
Balung Gading perlahan.
Laki-laki tua berjubah kuning gading itu kemudian naik ke atas pembaringan ini. Lalu, dia
duduk bersila, bersikap bersemadi. Kelopak matanya langsung terpejam, dan bibirnya bergerakgerak bagai menggeletar kedinginan. Sedangkan
Cempaka masih tetap diam terbaring di depannya
dengan mata terpejam rapat.
"Hesss...! Hep...!"
Tiba-tiba saja kedua tangan Eyang Balung
Gading bergerak cepat. Jemari tangannya begitu
lincah memberi totokan berkali-kali ke sekujur tubuh Dewi Cempaka. Tubuh gadis itu tampak jadi
kejang-kejang menerima totokan yang berkali-kali
dari Eyang Balung Gading. Dan ketika ujung jari
telunjuk laki-laki tua itu menotok tepat di bagian
tengah dada yang membusung indah itu, mendadak saja.... "Ugkh! Hoekkk...!"
Tubuh Cempaka terangkat naik, dan seketika
itu juga memuntahkan gumpalan darah hitam dari
mulutnya. Kemudian, sekujur tubuhnya langsung
bersimbah keringat. Gadis itu tampak letih sekali,
seperti baru saja melakukan sesuatu yang sangat
melelahkan. Sementara Eyang Balung Gading
langsung menyandarkan punggungnya ke dinding
batu, dengan napas memburu. Keringat bercucuran membasahi seluruh tubuh laki-laki tua itu.
"Ohhh...."
"Oh, cempaka...."
*** 6 Eyang Balung Gading jadi gembira melihat
Cempaka mulai merintih lirih dan menggerakgerakkan kepalanya. Perlahan-lahan kelopak mata
gadis itu mengerjap terbuka. Sementara Eyang Balung Gading sudah menghampirinya, dan kini berdiri di samping pembaringan.
Cempaka masih merintih lirih, namun matanya kembali terpejam. Kepalanya terus bergerak
perlahan. Beberapa saat kemudian, gadis itu
membuka kelopak matanya kembali. Sebentar dikerjapkannya, lalu....
"Oh, Ayah...," desisnya tampak terkejut.
Bergegas Cempaka bangkit dari pembaringan,
begitu melihat Eyang Balung Gading berada di dalam ruangan ini. Cempaka langsung berlutut dan
memeluk kaki laki-laki tua berjubah kuning gading itu. Kedua bola mata Eyang Balung Gading jadi berkaca-kaca gembira mendapatkan kembali
anak angkatnya yang dalam keadaan selamat.
Meskipun tampaknya gadis itu masih kelihatan lelah sekali, setelah seluruh totokan yang menyumbat semua jalan darahnya terbebaskan.
"Bangunlah, Anakku," ujar Eyang Balung Gading sambil membangunkan Cempaka.
Perlahan gadis itu bangkit berdiri. Sementara
Eyang Balung Gading melangkah mendekati sebuah kursi yang berada tidak jauh dari sebuah
jendela kecil yang tertutup rapat. Letaknya cukup
tinggi, jauh dari jangkauannya. Sedangkan Cempaka sudah duduk di pinggir pembaringan. Eyang
Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Balung Gading mengedarkan pandangan berkeliling. Kini baru sempat diperhatikannya keadaan
kamar ini. Tidak terlalu buruk, tapi tidak memungkinkan cahaya matahari bisa masuk ke dalam. Karena, satu-satunya jendela kecil dalam
keadaan tertutup. Dan lagi, belum tentu seluruh
dinding dan atap serta lantainya berhubungan
langsung dengan luar. Eyang Balung Gading kemudian menatap Cempaka yang juga masih tetap
diam memandangnya.
"Kau tahu, apa yang terjadi pada dirimu, Cempaka?" tanya Eyang Balung Gading.
"Aku.... Aku tidak tahu, Ayah," sahut Cempaka yang masih juga memanggil Eyang
Balung Gading dengan panggilan ayah.
"Bagaimana kau bisa berada di tempat ini,
Cempaka?" tanya Eyang Balung Gading lagi
Cempaka terdiam, tidak langsung menjawab
pertanyaan laki-laki tua itu. Keningnya jadi sedikit berkerut, mencoba
mengingat-ingat apa yang telah
terjadi pada dirinya. Perlahan-lahan kepalanya
yang tadi tertunduk diangkat kembali, dan langsung pandangannya bertemu tatapan mata ayah
angkatnya ini. Beberapa saat Cempaka masih terdiam, tidak menjawab pertanyaan Eyang Balung
Gading. "Bibi Anjungan, Ayah...," desis Cempaka tiba-tiba, "Oh..."
Cempaka langsung menghambur, dan berlutut
di dekat kaki Eyang Balung Gading. Gadis itu
langsung merebahkan kepalanya di pangkuan laki-laki tua berjubah kuning gading ini. Entah kenapa, tahu-tahu bahu gadis itu berguncang. Seketika terdengar isak tangisnya yang begitu perlahan. Jelas, Cempaka berusaha keras agar tidak
menangis di depan laki-laki tua yang selama ini
selalu dianggap ayahnya. Meskipun, dia tahu kalau Eyang Balung Gading bukanlah ayah kandungnya sendiri.
Agak lama juga Cempaka terisak. Sementara
Eyang Balung Gading membiarkan saja gadis itu
menangis di atas pangkuannya, meskipun Cempaka sendiri berusaha keras agar isak tangisnya
tidak terdengar. Dengan ujung lengan baju, disekanya air mata yang membasahi pipinya. Kemudian perlahan kepalanya diangkat, langsung menatap wajah Eyang Balung Gading. Senyuman tipis terlihat tersungging di bibir laki-laki tua berjubah kuning gading itu.
"Bibi Anjungan membawaku dari istana, Ayah.
Dia datang begitu tiba-tiba. Aku langsung dilumpuhkan, sebelum bisa berbuat sesuatu, Ayah...,"
agak tersentak suara Cempaka.
"Hmmm.... Jadi, benar-benar dia yang menculikmu, Cempaka...," gumam Eyang Balung Gading
pelan sekali suaranya. Hampir tak terdengar di telinga Cempaka. "Dia memaksa agar aku mengikutinya, Ayah.
Aku tidak mau, lalu dia marah. Kemudian aku dilumpuhkannya, sehingga seperti mati saja rasanya," sambung Cempaka lagi.
"Apa yang dikehendakinya darimu, Cempaka?"
tanya Eyang Balung Gading.
"Dia ingin mewariskan ilmu-ilmu setannya padaku. Bahkan diharuskan menikah dengan lakilaki pilihannya. Aku tidak menyukainya, Ayah. Dia
begitu kasar dan mengerikan. Dia tidak lebih dari
iblis...!" agak mendesis nada suara Cempaka.
"Siapa laki-laki itu, Cempaka?" tanya Eyang Balung Gading lagi.
"Naga Ireng," sahut Cempaka.
"Naga Ireng...," desis Eyang Balung Gading agak menggeram suaranya.
"Ayah mengenalnya?"
Eyang Balung Gading tidak langsung menjawab, tapi malah bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang. Perlahan kakinya melangkah mendekati pintu dari besi baja yang tertutup
rapat. Tangannya terulur, mencoba membuka pintu itu. Tapi pintu sudah terkunci, dan tidak bisa
dibuka lagi. Perlahan Eyang Balung Gading memutar tubuhnya, memandang Cempaka yang sudah berdiri memandanginya juga. Eyang Balung
Gading kembali melangkah, sambil mengamati setiap sudut dari dinding ruangan ini.
Pada saat itu, tiba-tiba saja....
"Ha ha ha...!"
"Heh..."!"
"Oh..."!"
*** Suara tawa yang begitu keras menggema dan
tiba-tiba, membuat Eyang Balung Gading dan
Cempaka jadi terkejut. Cepat-cepat Cempaka melompat menghampiri ayah angkatnya ini. Pada
saat itu pintu besi baja terbuka lebar, menimbulkan suara bergerit yang menggiris hati. Dan dari
balik pintu, muncul seorang wanita berwajah cantik. Dia mengenakan baju warna merah muda
yang begitu tipis, sehingga membayangkan lekuklekuk tubuhnya yang indah dan menggairahkan.
"Dewi Anjungan...," desis Eyang Balung Gading langsung mengenali.
"Sungguh pertemuan yang sangat mengharukan sekali," ucap Dewi Anjungan yang dikenal berjuluk Ratu Lembah Neraka.
"Selamat datang kembali di istanaku ini, Balung Gading."
"Kenapa kau tidak pernah jera mengganggu
ketenteraman kami, Dewi Anjungan?" dengus
Eyang Balung Gading ketus.
"Aku tidak akan merasa jera sedikit pun untuk
menuntut hakku, Balung Gading," sahut Dewi Anjungan kalem. "Kau tidak punya hak sama sekali!" sentak
Eyang Balung Gading semakin ketus.
"O, begitukah..." Lalu, apa kau yang lebih berhak untuk mengurus Cempaka" Kau bukan apaapa, Balung Gading. Bahkan tidak ada setetes darahmu yang mengalir di tubuhnya. Sedangkan
aku.... Aku adalah bibinya, yang paling berhak untuk mengurus Cempaka!" tegas Dewi Anjungan.
"Kalau saja kau melakukannya dengan cara
baik, dan tidak memaksakan kehendakmu pada
Cempaka untuk maksud-maksud busukmu, tentu
aku tidak akan keberatan. Tapi apa yang kau lakukan pada Cempaka, memaksaku untuk tidak
memberikannya padamu!" balas Eyang Balung
Gading semakin dingin.
"Lagakmu seperti manusia yang paling suci di
jagad ini saja, Balung Gading. Aku rasa, kau tidak
lebih kotor dariku!" dengus Dewi Anjungan ketus.
"Semua manusia memang tidak luput dari dosa, Dewi Anjungan. Tapi, aku berusaha untuk
memperkecil dosa. Dan Cempaka tetap tidak akan
kuserahkan padamu, jika kau masih tetap mempunyai maksud busuk padanya!"
"Ha ha ha...! Seharusnya kau sadar berada di
mana sekarang ini, Balung Gading...?" lantang sekali suara Dewi Anjungan.
Eyang Balung Gading jadi terdiam. Disadari
kalau sekarang ini berada di dalam Istana Neraka,
tempat tinggal Dewi Anjungan. Sebuah istana yang
penuh berbagai macam jebakan maut dan sangat
mematikan. Dan berada di dalam istana ini, itu
berarti sebagian besar nyawanya hampir melayang. Jadi hanya tinggal menunggu saat kematian saja. "Ha ha ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, Dewi Anjungan memutar tubuhnya berbalik. Dan dengan tenang sekali wanita itu melangkah keluar dari
ruangan itu. Pintu yang terbuat dari besi baja kokoh itu langsung tertutup saat Dewi Anjungan melewatinya. Suara tawa Ratu Lembah Neraka itu
masih terdengar beberapa saat, kemudian suasana kembali jadi sunyi sekali.
"Ayah! Apa kita bisa keluar dari sini?" tanya Cempaka seperti anak kecil.
"Apa pun yang terjadi, kita harus berusaha keluar dari sini, Cempaka," sahut Eyang Balung
Gading mantap. *** Sementara Eyang Balung Gading memikirkan
cara untuk bisa keluar dari Istana Neraka Itu, di
ruangan lain yang begitu besar dan megah Dewi
Anjungan tampak tengah berbaring. Tubuhnya
yang ramping tampak pasrah di lantai yang beralaskan permadani berbulu tebal, bercorak indah.
Kepalanya disandarkan pada bantal yang berbentuk bulat, terbuat dari bahan berbulu halus berwarna merah muda.
Dia merubah berbaringnya, ketika mendengar
ketukan di pintu. Tak lama kemudian, pintu yang
terbuat dari kayu jadi berukir itu terlihat bergerak terbuka. Lalu, muncul
seorang laki-laki bertubuh
tinggi besar. Dia mengenakan baju berwarna merah menyala. Laki-laki berperawakan dua kali dari
manusia biasa itu membungkukkan tubuh dengan
sikap begitu hormat.
"Ada apa kau ke sini?" tegur Dewi Anjungan.
"Ada orang datang ke sini, Gusti Ratu," sahut la-ki-laki bertubuh tinggi besar
itu. "Siapa?"
"Seorang pemuda yang pernah datang ke sini,
Gusti Ratu."
"Rangga...," desah Dewi Anjungan langsung
berbinar-binar matanya.
Dewi Anjungan begitu yakin kalau yang datang
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 6 Istana Tanpa Bayangan Karya Efenan Pedang Bengis Sutra Merah 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama