Ceritasilat Novel Online

Gelang Naga Soka 1

Pendekar Rajawali Sakti 49 Gelang Naga Soka Bagian 1


GELANG NAGA SOKA
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Gelang Naga Soka
128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Clickers
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
1 Malam ini bulan bersinar penuh, tampak indah
menggantung di langit kelam bermandikan
taburan bintang gemerlapan. Cahayanya yang keperakan begitu lembut menyirami permukaan
bumi yang seharian tadi terpanggang sang raja siang. Suasana malam ini benarbenar sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Namun semua keindahan itu terusik oleh suara-suara gaduh dari sebuah desa yang
terletak di kaki Bukit Parut.
Tampak api berkobar, seakan-akan hendak mengalahkan sinar rembulan yang
keemasan. Jeritan-jeritan melengking tinggi
disertai teriakan-teriakan
keras terdengar membahana. Itu pun juga masih diselingi oleh denting senjata beradu.
Memang tidak lama suara-suara gaduh itu mengusik kesunyian dan keindahan malam
ini. Dan kini suasana kembali sunyi tenang, bagai tak pernah terjadi sesuatu.
Tinggal cahaya api yang masih berkobar bersama kepulan asap tebal membumbung
tinggi ke angkasa. Semua ini menandakan kalau malam ini telah terjadi sesuatu.
Tampak mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah.
Angin yang berhembus menebarkan udara dingin, menyebarkan bau anyir darah, menambah rusaknya keindahan malam ini.
Tak berapa lama kemudian, terdengar derap langkah kaki kuda. Terlihat seorang
pemuda berbaju putih tanpa lengan tengah menunggang seekor kuda hitam yang
dipacu cepat menuju desa itu.
"Hup...!"
Dengan gerakan ringan dan indah sekali, pemuda itu
melompat turun dari punggung kudanya. Matanya agak menyipit memandangi keadaan
Desa Gandus yang porak poranda disertai kobaran api menghanguskan beberapa
rumah. Mayat bergelimpangan di mana-mana dalam keadaan bersimbah darah. Bau
anyir darah menyebar menusuk hidung, membuat perut serasa bergolak hendak
muntah. Pemuda berbaju rompi putih itu mengayunkan kakinya perlahan-lahan, namun
matanya tetap beredar berkeliling merayapi tubuh-tubuh berlumuran darah yang
berserakan di sekitarnya.
"Hiyaaat...!"
Pemuda itu terkejut ketika tiba-tiba terdengar teriakan keras melengking tinggi.
Dan sebelum keterkejutannya hilang, tahu-tahu dari arah samping meluncur
seseorang sambil mengayunkan golok berlumuran darah ke arahnya.
"Uts!"
Buru-buru pemuda itu memiringkan tubuhnya, sehingga tebasan golok hanya lewat di samping. Namun sebelum
tubuhnya sempat ditarik kembali, golok berlumuran darah itu berputar cepat mengarah ke perut.
Terpaksa pemuda berbaju rompi putih itu melompat mundur dua langkah ke belakang.
"Hei, tunggu...!" teriak pemuda itu.
"Mampus kau. Hiyaaat...!"
Namun penyerang gelap itu tidak memberi kesempatan lagi.
Kembali pemuda itu diserang dengan ganas. Serangan-serangannya
sungguh cepat luar biasa, membuat pemuda berbaju rompi putih itu harus berjumpalitan menghindarinya. Namun pada saat golok berlumuran darah itu hampir
menyambar dadanya, cepat sekali tangannya dikibaskan.
Plak! "Akh...!"
Terdengar pekikan keras agak tertahan. Pekikan itu jelas sekali kalau datangnya
dari seorang wanita. Tampak gadis yang menyerang dengan golok itu terhuyunghuyung ke belakang saat satu gedoran yang tidak terlalu keras
mendarat di dadanya. Golok berlumuran darah itu langsung terlepas dari
genggaman, setelah pergelangan tangannya juga terkena sampokan keras mengandung
sedikit pengerahan tenaga dalam.
"Hup...!"
Pemuda berbaju rompi putih itu melompat cepat, dan tahu-tahu sudah meringkus
penyerangnya. Dipegangnya tangan gadis itu kuat-kuat ke belakang, lalu ditekan
ke punggung. "Akh...!" gadis itu memekik merasakan sakit pada tangannya yang dipelintir ke
belakang. Dia berusaha memberontak melepaskan diri, tapi pegangan pemuda itu kuat sekali.
Dan semakin berusaha memberontak, tangannya semakin terasa sakit.
"Lepaskan...!" sentak gadis itu keras.
"Aku akan melepaskan jika kau tidak menyerangku lagi, Nisanak," tegas pemuda
itu. "Baik. Aku tidak akan menyerang lagi," janji gadis itu.
Pemuda berbaju rompi putih itu melepaskan ringkusannya. Buru-buru gadis yang pakaiannya serba kuning itu menjauh dan
langsung berbalik. Bibir yang berbentuk indah itu meringis, sedang tangan
kirinya mengurut-urut pergelangan tangan kanan yang terasa nyeri.
Sepertinya, tulang pergelangannya remuk tercengkeram tangan kekar tadi.
"Siapa kau, Nisanak" Mengapa tiba-tiba menyerangku?"
tanya pemuda itu.
"Huh! Kalau kau ingin membunuhku, bunuh saja
sekarang, Iblis!" dengus gadis itu ketus.
"Tidak semudah itu membunuh orang, Nisanak."
"Hhh! Bicara memang gampang. Tapi kenyataannya, kau bantai habis orang-orang
tidak berdosa!" rungut gadis itu dengan wajah memberengut dan mata menyorot
tajam menusuk. "Aku baru saja datang ke sini, dan tidak tahu apa yang terjadi terhadap mereka.
Ada apa sebenarnya?" tanya pemuda itu.
"Huh!" gadis itu hanya mendengus saja.
Tubuhnya kemudian berbalik dan terus melangkah cepat. Sedangkan pemuda berbaju
rompi putih itu jadi tertegun tidak mengerti. Sebentar dipandanginya mayat-mayat
yang bergelimpangan tak tentu arah. Kemudian pandangannya beralih pada gadis
berbaju kuning yang sudah cukup jauh meninggalkan tempat ini.
"Hei, tunggu...!" seru pemuda itu. "Hup...!"
Hanya sekali lesat saja, pemuda berbaju rompi putih itu sudah berhasil menyusul
gadis berbaju kuning, dan langsung memandangnya. Gadis yang cukup cantik dengan
rambut sebahu itu mendengus sambil membuang muka
ke samping. Seketika ayunan langkahnya dihentikan. "Mengapa kau mengejarku?" dengus gadis itu ketus.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Nisanak," sahut pemuda itu
"He..."!" gadis itu mendelik.
"Aku baru saja tiba, sedangkan keadaan di desa ini sudah begini. Lalu kau tibatiba saja muncul, langsung menyerang.
Seharusnya akulah yang menuduhmu melakukan semua ini, bukannya kau yang menuduhku demikian," tegas pemuda itu
dengan nada suara agak tertekan.
"Siapa kau sebenarnya...?"
tanya gadis itu jadi berkerenyut keningnya.
Dipandanginya pemuda tampan berbaju rompi putih di depannya, dari ujung kepala
hingga ke ujung kaki.
Matanya agak menyipit, seakan-akan ingin menegaskan kalau yang berdiri di
depannya ini adalah seorang pemuda berwajah tampan dan bertubuh tegap berotot.
"Namaku Rangga. Aku seorang pengembara yang
kebetulan lewat di sini," sahut pemuda itu memperkenalkan diri.
Pemuda berbaju rompi putih itu memang bernama
Rangga yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Terpaksa dirinya
diperkenalkan lebih dahulu, karena tatapan gadis itu demikian tajam penuh selidik.
"Benar kau bukan salah seorang dari mereka...?" tanya gadis itu, ragu-ragu nada
suaranya. "Mereka siapa...?" Rangga malah balik bertanya.
Gadis yang memiliki wajah cantik dan berbaju agak ketat berwarna kuning itu
semakin dalam mengamati pemuda tampan di depannya. Sepertinya, benar-benar ingin
meyakinkan dirinya kalau pemuda itu hanya seorang pengembara yang kebetulan saja
lewat di desa ini.
*** Semalaman Rangga terpaksa harus menguburkan
mayat-mayat yang bergelimpangan. Rasanya memang tidak tega meninggalkan begitu
saja para penduduk yang tewas terbantai,
meskipun dia belum tahu, apa yang menyebabkan mereka mengalami penderitaan seperti ini.
Sedangkan gadis cantik berbaju kuning yang mengaku bernama Paranti itu hanya
diam saja. Dia mencangkung di beranda depan sebuah rumah yang tak sempat
terjilat api. Saat matahari menampakkan dirinya di balik bukit sebelah timur, Pendekar
Rajawali Sakti baru selesai menguburkan semua mayat penduduk Desa Gandus.
Dihampirinya Paranti yang masih duduk mencangkung sambil memeluk lututnya yang
tertekuk. Sambil menghembuskan
napas panjang, Pendekar
Rajawali Sakti itu menghempaskan diri di samping Paranti.
Tubuhnya disandarkan di dinding papan yang sebagian sudah keropos dimakan rayap.
Sementara gadis cantik berbaju kuning itu hanya melirik sedikit saja. Goloknya
diayun-ayunkan ke tepi balai-balai bambu yang diduduki.
"Capai....?" pelan sekali suara Paranti.
Rangga tidak menanggapi, dan hanya melirik saja sedikit Terdengar hembusan napas
panjang dan terasa berat sekali. Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri, lalu
mengambil air dari dalam tempayan tanah liat. Dengan air yang sejuk itu wajah
dan tangannya langsung dibasuh, untuk membersihkan tanah yang melekat bercampur
darah kering. Kemudian dia kembali duduk di balai-balai bambu itu.
"Kenapa kau bersusah payah menguburkan mereka?"
tanya Paranti. "Mereka bukan binatang," jawab Rangga singkat.
"Tapi mereka bukan saudaramu."
"Saudara atau bukan, aku tidak bisa melihat mayat bergelimpangan begitu saja
menjadi santapan anjing-anjing liar."
"Hebat..! Ada seribu orang sepertimu, pasti dunia ini akan aman. Tidak ada lagi
mayat bergelimpangan, tidak ada lagi pertikaian yang membawa korban nyawa."
Rangga memandangi gadis yang duduk agak jauh di sampingnya. Bicara gadis itu
selalu ketus dan bernada sinis. Tapi setiap kata yang terucapkan, langsung
menyentuh perasaan yang mendengarnya. Rangga jadi ingin tahu lebih banyak lagi
tentang gadis ini, juga keberadaannya di tempat yang semua penduduknya terbantai
semalam. Kalau dia penduduk desa ini, mengapa hanya dirinya sendiri saja yang
selamat..." Atau mungkin gadis
ini

Pendekar Rajawali Sakti 49 Gelang Naga Soka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga sama seperti dirinya yang sedang mengembara menjelajahi dunia yang ganas ini.
"Kenapa kau memandangiku begitu..."!" dengus Paranti ketus.
Rupanya, Paranti merasa jengah juga dipandangi dalam-dalam oleh seorang pemuda
tampan yang belum begitu
dikenalnya. Langsung wajahnya dipalingkan, memandang ke arah lain.
"Siapa kau sebenarnya, Nisanak?" Rangga malah
bertanya. Ada kesungguhan di dalam nada suara Pendekar Rajawali Sakti.
"Untuk apa bertanya seperti itu" Lagi pula, namaku bukan Nisanak. Tapi Paranti!"
ketus sekali nada suara Paranti.
"Aku tidak percaya kalau kau penduduk desa ini. Kalau memang benar kau salah
seorang penduduk desa ini, tentu bukan hanya kau sendiri yang selamat," pancing
Rangga. Nada suaranya jelas mengandung kecurigaan.
"Apa pedulimu...?" dengus Paranti ketus.
Paranti langsung saja bangkit berdiri, lalu berjalan meninggalkan
Pendekar Rajawali Sakti itu. Ayunan
kakinya begitu cepat dan ringan. Jelas kalau ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya cukup tinggi. Sebentar saja gadis itu sudah begitu jauh meninggalkan tempat ini. Sedangkan
Rangga masih diam, duduk di beranda depan sebuah rumah yang tak sempat tersentuh
api. Pandangannya tetap tertuju pada gadis yang semakin jauh berjalan pergi.
"Masa bodo, ah...!" dengus Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit berdiri, lalu berjalan menghampiri kudanya
yang tertambat tidak jauh di samping rumah berdinding papan itu. Seekor kuda
hitam yang tinggi dan tegap berotot kuat, telah menunggu sejak tadi di situ.
"Hup...!"
Sekali melompat saja, Rangga sudah
berada di punggung kuda yang bernama Dewa Bayu. Bibirnya memperdengarkan
suara berdecak, dan tangannya menghentakkan tali kekang kuda yang terbuat dari perak.
Dewa Bayu melangkah perlahan dengan kepala terangguk-angguk.
*** Siang ini matahari bersinar begitu terik, seakan-akan hendak menghanguskan semua
yang ada di mayapada ini.
Begitu teriknya, sehingga banyak pepohonan yang daunnya berguguran. Ditambah lagi, angin bertiup cukup kencang menimbulkan suara
menderu-deru. Di antara kepulan debu dan hempasan dedaunan
kering, tampak seorang gadis berbaju kuning tengah berjalan
perlahan-lahan.
Tangannya diangkat untuk melindungi wajahnya dari siraman debu yang beterbangan terhembus angin kencang.
Bajunya berkibar-kibar, dan tampaknya ayunan kakinya agak tertahan.
Langkahnya seketika berhenti, lalu memandang ke depan dengan kelopak mata agak
menyipit. Terdengar dengusan napas kencang dan terasa berat sekali. Kembali
kakinya terayun perlahan. Namun baru saja berjalan beberapa tindak, mendadak
saja sebatang pohon besar tumbang, tercabut sampai akar-akarnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali gadis itu melompat menghindari pohon yang roboh tepat di atas
kepalanya. Suara pohon tumbang itu demikian menggemuruh, dan langsung
menciptakan kepulan debu saat menghantam tanah dengan kerasnya.
"Sial...!" rutuk gadis itu sengit.
Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke atas, dan
langsung melewati pohon itu. Dengan manis sekali, kedua kakinya mendarat di
tanah. Namun sebelum sempat berdiri tegak, mendadak saja sebatang pohon lagi
tumbang ke arahnya.
"Edan! Hiyaaa...!"
Gerakan gadis itu sungguh cepat luar biasa. Tubuhnya langsung melompat ke depan,
dan bergulingan beberapa kali di tanah. Kembali bumi berguncang saat batang
pohon besar itu keras menghantam tanah. Suara bergemuruh seketika terjadi,
disertai gempa. Gadis berbaju kuning itu buru-buru melompat bangkit. Matanya
kontan terbeliak begitu melihat pohon yang baru tumbang tadi seluruh batangnya
hangus, dan daun-daunnya rontok berguguran.
Sebentar saja pohon itu bagaikan terbakar hangus menjadi arang.
"Ha ha ha....!" tiba-tiba saja terdengar tawa menggelegar. Seketika itu juga, angin berhenti berhembus. Gadis berbaju kuning itu menggeser
kakinya sedikit ke samping.
Suara tawa itu demikian keras, seakan-akan datang dari segala penjuru mata
angin. Kepala gadis itu menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu perlahan-lahan
tubuhnya bergerak memutar. Sementara, wajahnya tampak sedikit menegang.
Dicobanya mencari arah sumber suara tawa itu.
"Uh...!" gadis itu mengeluh pendek.
Telinganya mendadak saja terasa jadi sakit. Saat itu juga disadari kalau suara
tawa yang menggelegar itu mengandung pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Dan
sebelum gadis itu mengerahkan tenaga dalam, seketika aliran darahnya terasa
berguncang hebat, dan tubuhnya bergetar.
"Akh...!" gadis berbaju kuning itu memekik keras sambil menutup kedua
telinganya. Buru-buru kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan.
Namun semakin berusaha, semakin terasa kalau aliran darahnya seperti tidak
teratur. Tampak, darah mulai merembes keluar dari lubang hidung dan mulutnya.
Tubuhnya semakin keras menggeletar.
"Hih...!"
Gadis itu buru-buru mengibaskan tangannya beberapa kali di depan dada, membuat
gerakan-gerakan cepat.
Sebentar kemudian kedua tangannya merapat di depan dada. Perlahan-lahan tangan
kanannya diangkat hingga ibu jarinya sejajar dengan hidung. Sementara, telapak
tangan kirinya terbuka di depan dadanya.
"Ups! Hsss...!"
"Ha ha ha...!"
Seketika adu kekuatan tenaga dalam terjadi. Suatu pertarungan yang biasa
dilakukan tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi yang sudah menguasai ilmu tenaga
dalam secara sempurna. Tampak tubuh gadis itu mulai tenang.
Pikirannya dipusatkan, dan jiwanya dijernihkan untuk menahan gempuran tenaga
dalam yang dikeluarkan lewat pengerahan tawa menggelegar itu.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja gadis berbaju kuning itu berteriak keras
menggelegar. Bersamaan dengan itu tangannya menghentak ke
depan, lalu cepat merentang ke samping. Namun sesaat kemudian....
"Akh!" gadis itu memekik tertahan.
Entah kenapa, mendadak saja tubuh gadis itu terlontar
jauh ke belakang. Tubuhnya baru berhenti setelah
menghantam sebatang pohon yang cukup besar. Tepat saat tubuh ramping terbalut
baju kuning agak ketat itu ambruk, suara tawa menggelegar tadi langsung
berhenti. "Ugh! Hoeeek...!" gadis itu memuntahkan darah kental berwarna agak kehitaman.
"He he he...."
Bersamaan dengan terdengarnya suara tawa terkekeh, berkelebat sebuah bayangan
kehijauan. Dan tahu-tahu, di depan gadis itu sudah berdiri seorang laki-laki tua
bertubuh bungkuk dan berjubah panjang warna hijau daun. Sebatang tongkat yang
tidak beraturan bentuknya, tergenggam di tangan kanan untuk menyangga tubuhnya.
Sebuah tonjolan berada di punggungnya membuktikan kalau dia benar-benar bungkuk.
Perlahan-lahan gadis berbaju kuning bangkit berdiri.
Dipandanginya laki-laki tua yang terkekeh berdiri di depannya. Keriput pada
wajah laki-laki tua itu sudah nampak jelas. Sepasang matanya memerah masuk ke
dalam. Giginya yang hanya ada dua itu menyembul keluar saat dia terkekeh kering.
"Kau terlalu gegabah menggunakan aji 'Malih Jiwa', Paranti," kering sekali suara
laki-laki tua bungkuk itu.
"Terima sembahku, Eyang Congkok," ucap Paranti seraya membungkukkan tubuhnya
dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan dada.
"Bangun, jangan bersikap bodoh begitu di depanku!"
sentak laki-laki tua bungkuk yang dipanggil Eyang Congkok.
Paranti menegakkan tubuhnya kembali, namun kepalanya tetap tertunduk agak dalam. Punggung tangannya menyeka sisa darah yang masih mengalir di mulut.
"Kau terluka?" tanya Eyang Congkok.
"Sedikit," sahut Paranti pelan. "Hanya dada saja yang masih terasa sesak."
"Tidak apa. Kau bisa pulih kembali dengan sendirinya
nanti. Asal, jangan mengerahkan tenaga dalam dulu sampai sore nanti. Dan
nampaknya kepandaian yang kau miliki ada kemajuan. Itu tadi belum seberapa bila
dibanding lawan-lawan yang akan kau hadapi nanti.
Berlatihlah dengan tekun, Paranti," kata Eyang Congkok.
"Baik, Eyang," sahut Paranti.
Eyang Congkok menoleh ke kanan sedikit, kemudian menghampiri sebongkah batu yang
tidak begitu besar di samping kanannya. Kini laki-laki tua itu duduk di sana.
Sedangkan Paranti duduk bersila di depannya, dan kepalanya masih tetap
tertunduk. "Bagaimana dengan tugas yang diberikan pamanmu?"
tanya Eyang Congkok.
"Sampai sejauh ini masih lancar," sahut Paranti. "Hanya saja...."
"Apa?"
"Ada sedikit hambatan. Tapi itu tidak berarti, Eyang.
Aku masih bisa mengatasinya."
"Bagus. Kau memang harus mampu mengatasi segala hambatan yang dihadapi. Ingat!
Tugas ini masih belum selesai. Kau paham, Paranti?"
"Paham, Eyang."
Eyang Congkok memandangi gadis yang duduk bersila di depannya. Kening yang sudah
berkerut, semakin dalam berkerut dengan mata sedikit menyipit. Terasa ada
sesuatu yang sengaja disimpan gadis ini.
"Ada yang menyulitkanmu, Paranti?" tanya Eyang Congkok.
"Ah, tidak...," sahut Paranti buru-buru.
"Hm..., mengapa wajahmu murung?"
"Tidak, Eyang. Tidak ada apa-apa," Jawab Paranti cepat-cepat.
"Paranti, jika mengalami kesulitan, aku tidak ingin kau sendiri menghadapinya.
Kau tahu caranya memanggilku, bukan" Jadi, jangan
segan-segan memanggilku jika
menghadapi halangan yang sulit."
"Sampai saat ini belum, Eyang," sahut Paranti.
"Baiklah. Kalau begitu, aku pergi dulu."
Paranti bangkit berdiri pada saat laki-laki tua itu bangkit berdiri. Beberapa
saat lamanya Eyang Congkok memandangi seraut wajah yang kelihatan agak murung
dan tertunduk. Laki-laki tua itu yakin kalau Paranti menyembunyikan
sesuatu yang tidak mungkin diutarakannya. Tapi dia tidak bisa mendesak, selagi tugas yang dijalankan gadis
itu belum mendapatkan hambatan yang berarti.
"Kau sungguh tidak ada persoalan, Paranti?" desak Eyang Congkok.
"Tidak, Eyang," sahut Paranti.
"Baiklah, aku pergi dulu."
Paranti hanya menganggukkan kepalanya saja. Sementara, laki-laki tua bungkuk berjubah hijau itu langsung melesat pergi.
Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap.
"Hhh...!" Paranti menghembuskan napas panjang.
*** 2 "Sial...!" maki Rangga sambil memandangi kelinci yang sudah tenggelam masuk ke
dalam sarangnya di bawah tanah.
Perutnya sudah berkeruyuk minta diisi, tapi hanya satu kelinci yang ditemui. Dan
itu pun sudah kabur sebelum bisa didekati. Sekarang tak ada lagi yang bisa
dimakan untuk mengganjal perutnya.
Hari ini Rangga merasakan dirinya tertimpa sial terus.
Dengan ayunan langkah lesu, Pendekar Rajawali Sakti berjalan sambil menuntun
kuda hitamnya yang setia mengikuti. Namun belum begitu lama berjalan, ayunan
kakinya mendadak terhenti. Kepalanya sedikit terdongak.
Cuping hidungnya bergerak-gerak mencium bau sesuatu yang membuat perutnya
semakin melintir berkeruyuk.
"Hm..., harum sekali baunya," gumam Rangga.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu berjalan menuju arah bau harum yang tercium.
Diterobosnya semak belukar yang berada di sebelah kanan. Namun begitu keluar
dari semak, mendadak saja matanya terbeliak
"Mau...?"
Rangga masih terpaku setengah tidak percaya melihat seorang gadis cantik
mengenakan baju kuning tengah duduk menghadapi daging kijang bakar yang
dipanggang di atas api unggun. Mereka memang sudah pernah bertemu sekali di Desa
Gandus. Tak pernah terpikirkan oleh Rangga kalau akan kembali bertemu gadis
ketus yang mengaku bernama Paranti itu.
"Kalau kau suka kijang panggang, silakan duduk di sini dan ambil sekerat. Tapi
kalau tidak suka, silakan pergi dan jangan ganggu selera makanku," ujar Paranti
tanpa sedikit pun memalingkan wajah.


Pendekar Rajawali Sakti 49 Gelang Naga Soka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga berjalan menghampiri, kemudian duduk di depan gadis itu. Tanpa
dipersilakan lagi, tangannya menjulur dan mengambil sekerat daging kijang yang
sudah masak. Digigitnya daging itu, dan dikunyah lumat-lumat.
Terasa nikmat sekali. Tapi yang penting, perutnya sudah terisi dan tidak lagi
menagih. "Dari mana kau dapatkan kijang ini?" tanya Rangga yang tahu betul kalau di
sekitar hutan Bukit Parut ini tidak ada seekor-kijang pun.
Itu sebabnya tidak ada pemburu yang suka datang ke sini, kecuali pemburu kelinci
dan ayam hutan. Atau kalau yang ingin lebih besar, bisa berburu babi hutan.
"Makan saja, tidak usah banyak tanya!" dengus Paranti.
"Aku harus tahu setiap makanan yang masuk ke dalam perutku. Dan kuharap kau
mendapatkannya tidak secara memaksa," sahut Rangga, enteng.
"Aku bukan pencuri!" sentak Paranti tersinggung.
"Tidak ada yang mengatakan kau pencuri."
"Huh! Tinggal makan saja cerewet!" dengus Paranti memberengut.
Paranti membuka ikatan buntalan kain lusuh di
sampingnya. Sedangkan Rangga hanya melirik saja.
Namun keningnya jadi berkerut, karena gadis itu mengeluarkan sebuah guci arak dari dalam buntalan kain itu.
"Mau...?" Paranti menawarkan. "Masih ada satu lagi kalau mau."
Rangga tidak menjawab, tapi Paranti sudah mengeluarkan satu guci arak lagi dan dilemparkan kepadanya. Terpaksa Rangga
menangkapnya. Kembali pemuda berbaju rompi putih itu terkejut saat Paranti
menenggak arak langsung dari mulut gucinya. Dan memang tidak ada tempat untuk
menuang arak. "Kenapa bengong..." Kau tidak suka minum arak?"
tegur Paranti seraya punggung tangannya menyeka bibirnya yang merah dan basah
oleh arak. "Kau pasti sudah biasa minum arak," tebak Rangga.
"Hanya masalah kecil," jawab Paranti, enak sekali.
Gadis itu kembali menenggak araknya tanpa mempedulikan Rangga yang terus memperhatikan terheran-heran. Baru kali ini disaksikannya ada seorang gadis bisa menenggak
arak begitu rupa. Tentu sekali tenggak, tidak sedikit cairan memabukkan itu
masuk ke dalam perutnya. Rangga masih memegangi guci, dan sedikit pun tidak
meminum araknya.
"Kalau kau tidak suka, bawa lagi ke sini. Sudah habis nih...," pinta Paranti
seraya membuang guci araknya.
Rangga semakin terpana. Hanya beberapa kali teguk saja, seguci arak sudah
berpindah ke dalam perut gadis itu. Tapi entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti
itu bangkit berdiri dan menghampiri Paranti. Diberikannya arak itu, namun
Paranti langsung merebut dan menenggaknya.
Sedangkan Rangga hanya memperhatikan saja.
"Glk...!" Rangga menelan ludahnya sendiri.
Betapa dia tidak heran..." Sekali tenggak saja, arak di dalam guci itu sudah
tandas. Dan kini berpindah ke dalam perut yang ramping itu. Paranti tidak peduli
dipandangi sedemikian rupa. Dan kini duduknya bergeser mendekati pohon. Sambil
menyeka mulutnya dengan punggung tangan, gadis itu menyandarkan punggungnya ke
pohon. Sedangkan Rangga hanya duduk dan memandangi saja di dekat api panggangan kijang.
Masih banyak juga sisa daging kijang panggang itu, tapi Rangga tak berniat
menyentuhnya. "Oaaahhh....!" Paranti menguap membuka mulutnya lebar-lebar.
Sekarang, matanya yang berbulu lentik itu terpejam.
Sama sekali tidak dipedulikan kalau ada seorang pemuda tampan di dekatnya. Tapi
sebenarnya tidak seluruhnya matanya terpejam. Dari sudut ekor mata, pemuda
tampan berbaju rompi putih itu selalu diperhatikannya. Entah apa yang ada di
dalam benak Rangga saat ini, yang jelas dirinya benar-benar heran pada Paranti
yang tampak mulai tertidur.
"Aneh..., juga liar," desis Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat Pandan Wangi.
Waktu pertama bertemu Pandan Wangi, juga punya pikiran yang sama dengan sekarang
ini. Pandan Wangi dulunya juga seorang gadis liar, nakal, dan keras kepala.
Rangga seperti melihat Pandan Wangi dalam perwujudan lain pada diri gadis ini.
*** Rangga melempar-lemparkan kerikil yang banyak di
sekitarnya ke tengah sungai. Entah, sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti
duduk di tepi sungai itu, dan sudah berapa banyak kerikil yang dilemparkan ke
dalam sungai. Pandangannya lurus tidak berkedip ke seberang sungai di depannya.
Wajahnya dipalingkan sedikit ketika mendengar langkah kaki halus mendekatinya.
Pemuda berbaju rompi putih itu hanya sedikit saja melirik seorang gadis cantik
mengenakan baju kuning yang ketat. Gadis itu berjalan melenggang menghampirinya,
dan tanpa bicara sedikit pun, duduk di samping Rangga.
Sebuah kerikil dilemparkan ke dalam sungai. Rangga hanya melirik saja sedikit.
"Kenapa kau tidak pergi, Paranti?" tanya Rangga tanpa berpaling sedikit pun
pada gadis yang berada di sampingnya. "Kau sendiri, kenapa belum juga pergi?" Paranti malah balik bertanya.
Rangga memalingkan wajahnya memandangi gadis
berbaju kuning di sampingnya. Paranti memang selalu saja begitu. Kalau ditanya,
dia tidak pernah mau menjawab, tapi malah balik bertanya. Sedangkan yang
dipandangi hanya tenang-tenang saja tidak peduli. Tangannya terus melemparkan
kerikil-kerikil ke dalam sungai.
"Aku yang bertanya padamu, Paranti," kata Rangga.
"Apa aku tidak berhak untuk bertanya juga?"
"Terserah kaulah," desah Rangga menyerah.
Pendekar Rajawali Sakti itu memang paling tidak suka berdebat. Maka, kini dia
bangkit berdiri dan melangkah menghampiri kuda hitamnya yang tinggi tegap, dan
otot-ototnya bersembulan. Rangga menepuk-nepuk leher kuda itu. Setelah mengambil
tali kekangnya, kemudian Pendekar Rajawali Sakti melompat naik. Sementara
Paranti juga sudah
beranjak berdiri, dan langsung memandangi pemuda yang sudah berada di punggung kudanya.
"Kau cepat sekali tersinggung, Rangga," ujar Paranti.
"Tidak. Tapi aku memang harus pergi," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti segera menghentakkan tali kekang kudanya sambil
berdecak. Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu berjalan perlahan-lahan setelah
memutar tubuhnya. Sementara Paranti masih berdiri sambil
memandangi saja. Dia masih tetap berdiri meskipun Rangga sudah jauh bersama kudanya.
Entah apa yang ada dalam benaknya saat itu. Yang jelas, Paranti mengangkat
pundaknya diiringi desahan napas panjang dan terasa berat sekali. Kemudian
kakinya terayun perlahan-lahan ke arah yang berlawanan dengan kepergian Rangga.
Tapi baru beberapa langkah berjalan, mendadak saja ayunan kakinya terhenti.
"Bodo, ah...!" dengus Paranti.
Gadis itu membalikkan tubuhnya, kemudian berlari cepat ke arah Pendekar Rajawali
Sakti tadi pergi. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki gadis itu memang sudah
cukup tinggi, sehingga bisa berlari cepat bagai bergerak di atas angin. Begitu
cepatnya berlari, sehingga yang terlihat hanyalah bayangan kuning yang
berkelebat di antara pepohonan.
Namun setelah tiba di sebuah jalan setapak yang melingkari Bukit Parut, mendadak
saja larinya terhenti.
Pendengaran Paranti yang tajam, langsung dapat mendengar suara orang bercakap-cakap, bercampur suara langkah kaki kuda yang
berjalan perlahan. Tampaknya suara itu datangnya dari sebelah kanan jalan.
Sebentar Paranti menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan,
kemudian ringan sekali melesat ke atas.
"Hup!"
Ringan sekali lesatan gadis itu. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia sudah
hinggap di atas sebatang dahan pohon yang cukup lebat daunnya. Tak berapa lama
kemudian, dari tikungan jalan setapak ini, terlihat sekitar enam orang
berpakaian serba merah tengah menunggang kuda. Mereka berbicara sambil tertawa
terbahak-bahak.
Sesekali arak dari guci yang dibawa, ditenggak ke mulut.
"Hm..., orang-orang Siluman Kera...," gumam Paranti yang berada di atas pohon,
dalam hati. Gadis itu mendengarkan semua pembicaraan orang-orang berbaju merah itu. Wajahnya
seketika berubah ketika mendengar satu nama disebut-sebut. Namun Paranti mencoba
menahan diri. Sayangnya, gadis itu tidak bisa lagi menahan diri ketika mendengar
percakapan salah seorang yang menyinggung perasaannya.
"Kalau saja bukan karena perempuan liar itu, sudah kubabat leher si tua
bongkok!" "Benar! Seharusnya kita tidak mengalah. Lebih baik aku tadi mati bertarung
daripada harus mengalah pada si tua bongkok itu."
"Ah, sudahlah. Yang penting sekarang, si tua bongkok itu sekarang berada dalam
pelukan si Mawar Beracun. Aku yakin, sekarang dia sudah mampus dalam
pelukannya."
"Ha ha ha...!"
"Keparat...!" geram Paranti tanpa sadar.
Geraman Paranti yang pelan dan tanpa disadari itu, rupanya terdengar juga oleh
enam orang berpakaian merah. Mereka langsung saja menghentikan langkah kudanya,
dan langsung saling berpandangan beberapa saat. Kemudian salah seorang
menghentakkan tangannya ke arah atas pohon, tempat Paranti berada di sana. Guci
yang berada di dalam genggaman tangannya, melesat bagaikan kilat.
Prak! Bersamaan dengan hancurnya guci itu, dari atas pohon
Paranti meluncur turun. Gerakan tubuhnya ringan dan cepat sekali. Tahu-tahu
gadis berbaju kuning itu sudah berdiri tegak di depan enam orang berbaju merah
yang masih berada di punggung kudanya.
Keenam orang berbaju merah
itu langsung saja
melompat turun dari punggung kudanya masing-masing, dan membiarkan kudanya
berjalan menyingkir ke tepi.
Bibir mereka menyeringai disertai tatapan mata liar seperti tidak percaya
melihat ada seorang gadis cantik tahu-tahu muncul di depan.
"He he he.... Hari ini kita benar-benar beruntung, sobat.
Hilang satu gadis, sekarang muncul lagi yang tidak kalah cantiknya. He he
he...," salah seorang mengumbar tawa yang terkekeh.
"Benar-benar cantik! Bagai bidadari baru turun dari kahyangan," sambung yang
lain. "Kalian tentu ingin bersenang-senang, bukan..." Mari, kalian akan kubuat senang
untuk selamanya," ledek Paranti dengan bibir menyunggingkan senyuman tipis.
Mendengar kata-kata Paranti, enam orang berbaju merah itu tertawa terbahakbahak. Mereka langsung saja berhamburan hendak menyergap gadis berbaju kuning
itu. Namun tiba-tiba saja, Paranti bergerak cepat bagai kilat.
Dan entah kapan mulainya, tahu-tahu pedang gadis itu sudah tercabut. Langsung
pedang itu ditebaskan pada tiga orang yang berada paling depan.
Tebasan Paranti yang cepat dan tidak terduga itu tak bisa dihindari lagi. Ketiga
orang berbaju merah itu hanya bisa terperangah dengan mata mendelik lebar.
Cras! Cras! Cras!
Tiga kali jeritan terdengar saling susul, kemudian tiga orang
ambruk ke tanah. Dada mereka terbelah mengucurkan darah segar. Melihat kejadian yang tidak terduga itu, tiga orang
lainnya jadi terbeliak. Mereka seperti tidak percaya melihat tiga orang temannya
kini tergeletak tak bernyawa lagi dengan dada terbelah cukup lebar.
Sedangkan Paranti hanya berdiri tegak. Pedangnya yang berlumuran darah kini
menyilang di depan dada. Gadis itu menyunggingkan senyuman tipis, namun sinar
matanya begitu tajam menusuk. Sementara tiga orang berbaju merah lainnya, masih
terpaku seperti tidak percaya pada apa yang baru saja terjadi. Dan sebelum ada
yang menyadari,
Paranti sudah melompat cepat sambil mengibaskan pedangnya.
"Hiyaaat..!"
Trang! "Heh..."!"
*** Paranti terkejut bukan main ketika pedangnya terasa membentur sesuatu yang
keras. Seketika senjatanya terpental balik. Buru-buru gadis itu melompat ke
belakang, lalu berputaran beberapa kali. Dengan gerakan manis sekali, kakinya
mendarat ringan di tanah. Paranti semakin terbeliak ketika tiba-tiba saja di
depan ketiga orang berbaju merah itu sudah berdiri....
"Oh..., apakah aku bermimpi...?" desis Paranti tidak percaya pada apa yang
dilihatnya. Memang sukar untuk diungkapkan. Apakah yang
berdiri di depannya itu manusia, atau binatang. Makhluk itu bentuknya memang
seperti manusia biasa. Hanya saja, wajahnya mirip sekali dengan seekor kera.
Seluruh tangan, kaki, serta lehernya berbulu hitam. Bajunya merah, namun bagian
lehernya berwarna kuning keemasan.
Sebatang tongkat seperti bambu tergenggam di tangannya.
Terlalu sukar bagi Paranti untuk menentukan, apakah yang berdiri di depannya ini
manusia atau kera. Mungkin juga
setengah manusia

Pendekar Rajawali Sakti 49 Gelang Naga Soka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan setengah kera. Dan sebenarnya, makhluk itu adalah orang biasa yang menganut ilmu kesaktian
'Siluman Kera'. Ilmu ini
merupakan ilmu hitam yang sulit dicari tandingannya.
Hanya saja, siapa saja yang menganut ilmu ini, jiwanya dipenggal menjadi dua.
Satu dalam jasadnya, dan satu lagi
harus dicarinya sendiri berdasarkan wangsit. Dan jika jiwa yang satu lagi bisa
ditemukan, maka kekuatan dan kesaktiannya akan berlipat ganda. Namun walaupun
demikian, dia sudah berhak menyandang julukan Siluman Kera. Untuk beberapa saat
gadis itu hanya bisa bengong dengan mulut sedikit terbuka. Pancaran sinar
matanya mengandung ketidakpercayaan dengan apa yang dilihatnya kini.
"Kau yang membunuh ketiga muridku ini...?" terdengar suara dingin dan berat.
Paranti semakin terpana. Sungguh tidak disangka kalau manusia kera itu dapat
berbicara seperti manusia, meskipun gerakan mulutnya lebar, tidak begitu jelas.
Gadis itu sampai lupa menjawab, karena masih memperhatikan makhluk setengah manusia dan kera itu dari ujung kepala hingga ke
ujung kaki. "Perempuan...! Selalu saja bikin gara-gara. Aku benci perempuan, huh!" dengus
Siluman Kera itu dingin.
Tiba-tiba saja, Siluman Kera melompat cepat bagai kilat menerjang Paranti yang
masih terpana. Gadis itu tersentak ketika ujung tongkat manusia setengah kera
itu menyodok ke arah dadanya.
"Uts...!"
Buru-buru Paranti memiringkan tubuhnya ke kanan, sehingga sodokan tongkat kayu
itu lewat di depan dadanya. Namun sebelum gadis itu bisa menyadari penuh apa
yang terjadi, si Siluman Kera itu sudah memberi satu pukulan keras cepat luar
biasa. Des! "Akh...!" Paranti terpekik.
Pukulan manusia kera itu tepat menghantam bahu kiri Paranti.
Akibatnya gadis itu terhuyung-huyung
ke belakang sedikit berputar. Namun dengan cepat sekali, Paranti bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya. Segera dia melompat ke samping begitu tongkat kayu si
Siluman Kera kembali berkelebat mengarah ke tubuhnya.
"Hap! Yeaaah...!"
Wut! Pedang Paranti langsung dikebutkan begitu tongkat si Siluman Kera itu lewat di
depan dadanya. Namun sungguh sukar dipercaya, si Siluman Kera itu menggerakkan
tangan kirinya. Dan tiba-tiba saja, ujung pedang Paranti sudah terjepit di
antara dua jari tangan kiri si Siluman Kera.
"Ihk...!"
Sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam, Paranti berusaha
menarik pedangnya. Namun sedikit pun pedangnya tidak bergeming. Dan sebelum gadis itu bisa melepaskan pedangnya,
mendadak si Siluman Kera itu melenting ke atas. Dan....
"Yeaaah...!"
Beghk! "Akh...!" untuk kedua kalinya, Paranti menjerit keras agak tertahan.
Sambil melentingkan
tubuhnya, si Siluman
Kera melayangkan satu tendangan keras mengandung tenaga dalam tinggi. Paranti tak
bisa lagi menguasai tubuhnya ketika
tendangan itu telak menghantam dadanya. Tubuhnya terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak, lalu tersuruk jatuh ke
tanah. Brak! "Akh...!"
kembali Paranti memekik keras ketika kepalanya membentur sebatang pohon.
Gadis itu menggelepar, menggeliat-geliatkan tubuhnya sambil mengerang. Dada dan
kepalanya terasakan sakit yang amat sangat. Dia tidak tahu lagi, ke mana
pedangnya. Yang jelas, pada saat itu si Siluman Kera sudah melompat sambil berteriak
nyaring. Teriakannya bagaikan suara seekor monyet.
"Ghraaaghk...!"
Bet! Wut! Dua kali si Siluman
Kera mengebutkan
tongkat kayunya ke arah kepala Paranti. Namun sebelum tongkat yang tampaknya hanya
terbuat dari sepotong kayu biasa
itu hampir mengenai kepala Paranti, mendadak saja sebuah bayangan putih
berkelebat cepat bagai kilat.
Slap! "Heh..."!"
Betapa terkejutnya si Siluman Kera itu. Ternyata tiba-tiba saja tubuh Paranti
sudah lenyap, tepat saat bayangan putih berkelebat menyambar tubuh gadis itu.
Dan tongkat kayunya
hanya menghantam
pohon hingga hancur berkeping-keping.
Seketika terdengar ledakan yang dahsyat menggelegar.
"Setan....!" maki si Siluman Kera itu.
Pandangan si Siluman Kera beredar ke sekeliling, tapi tak ada seorang pun yang
bisa dijadikan alasan atas hilangnya Paranti. Sedangkan tiga orang berbaju merah
masih terbengong tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Mereka juga
melihat adanya bayangan putih berkelebat menyambar tubuh gadis itu. Dan yang
kini mereka ketahui, tiba-tiba saja gadis itu lenyap tak berbekas.
"Huh...!" si Siluman Kera mendengus kesal.
Trang! Dibuangnya pedang Paranti yang terampas di tangannya. Kemudian pandangan matanya tajam tertuju pada tiga orang laki-laki
berwajah kasar, mengenakan baju merah menyala. Sepasang bola matanya memerah
tajam, seakan-akan bagaikan sepasang bola api yang hendak melumat hangus ketiga
orang itu. "Kalian harus kembali secepatnya!" dingin dan datar sekali suara si Siluman Kera
itu. Setelah berkata demikian, si Siluman Kera langsung melesat pergi. Begitu
cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap.
Ketiga orang laki-laki
berbaju merah itu saling berpandangan, kemudian merayapi tiga mayat temannya yang tergeletak berlumuran darah.
Tanpa ada yang berkata sedikit pun, ketiga orang berbaju merah itu melompat naik
ke punggung kuda
masing-masing. Kemudian mereka menggebah cepat kudanya. Meninggalkan tiga mayat temannya yang tergeletak begitu saja. Debu langsung mengepul begitu tiga ekor kuda berpacu
cepat menyusuri jalan tanah yang berdebu dan berkerikil.
*** 3 Pagi ini udara begitu cerah. Langit tampak jernih dihiasi awan tipis berarak di
langit. Sengatan sinar matahari menjadi tak terasa karena diusir oleh angin yang
lembut membuai. Namun keindahan hari ini, tidak dinikmati oleh satu keluarga
yang tinggal di sebuah desa di kaki Gunung Panjakan.
Di dalam ru mah yang cukup besar itu, hanya ada seorang perempuan berusia
sekitar empat puluh lima tahun yang tengah duduk di kursi rotan. Dia ditemani
seorang gadis muda mengenakan baju warna merah muda.
Gadis itu juga duduk di kursi rotan di samping kanan perempuan setengah baya
itu. Sedangkan di depan mereka, ada dua orang laki-laki yang duduk bersila di
lantai. Tampak gagang golok menyembul keluar dari balik pinggangnya.
"Aku benar-benar menyesali sikap ayahmu yang keras kepala. Seharusnya hal ini
tidak perlu terjadi jika saja dia bersedia
mengalah sedikit," terdengar lirih suara perempuan setengah baya itu.
"Sudahlah, Bu. Tidak perlu disesali lagi. Ayah benar, dan aku bangga," gadis di
sebelahnya menyahuti.
Perempuan setengah baya yang usianya kelihatan lebih muda dari sebenarnya itu
menarik napas dalam-dalam.
Anak gadisnya dipandangi lekat-lekat, sepertinya tidak tampak adanya kesedihan
di wajah gadis itu. Padahal baru dua hari yang lalu mereka ditinggal pergi
selama-lamanya oleh orang yang selama ini dicintai dan selalu melindungi.
Ayah gadis itu baru saja meninggal, tapi gadis itu tidak berduka sama sekali.
"Entah kapan waktunya, mereka pasti datang lagi ke
sini. Mereka belum mendapatkan apa yang diinginkan, Murasi," tegas perempuan
setengah baya itu lagi.
"Aku akan menghadapinya, Bu," tekad gadis yang bernama Murasi mantap.
"Tidak, Anakku. Kau tidak boleh menghadapi mereka, karena
tidak akan mampu. Apa yang akan kau andalkan...?" ada nada kecemasan pada suaranya.
"Kami semua akan menghadapinya, Nyi Enoh," celetuk salah seorang yang duduk di
lantai. Perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik itu seketika memandang dua
orang laki-laki bertubuh tegap yang duduk bersila di lantai. Kedua orang itu
memang sudah lama ikut bersama suaminya, sebelum Murasi lahir. Mereka begitu
setia mengikuti ke mana saja Ki Enoh pergi. Bahkan rela mempertaruhkan jiwa dan
raga bagi keutuhan keluarga ini.
"Mungkin kami memang tidak bisa mengalahkan orang-orang
Siluman Kera itu. Tapi kami yakin bisa menyelamatkan Nyi dan Ni Murasi dari ancaman mereka,"
tegas salah seorang yang memiliki ku mis tebal seperti sapu ijuk.
"Tidak! Kalian tidak boleh mati. Aku tidak ingin kehilangan lagi. Sudah cukup
banyak korban, dan aku tidak ingin jatuh korban lagi," sergah Nyi Enoh tegas.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Murasi tidak mengerti atas sikap
ibunya. "Memberikan apa yang mereka inginkan," sahut Nyi Enoh.
"Bu..."!" Murasi terkejut.
Gadis itu memandangi ibunya dalam-dalam. Sungguh tidak diduga kalau ibunya akan
mengambil keputusan seperti itu. Selama ini Murasi mengenal ibunya sebagai
wanita yang tegar dan tabah, serta kuat dalam menghadapi segala macam peristiwa.
Tapi sekarang ini..., Murasi seperti
kehilangan sosok wanita yang selama ini didambakan dan dikaguminya. Sosok yang menjadi
panutan dan pedoman dalam hidupnya.
"Bu! Kita tidak tahu apa yang mereka inginkan dari Ayah. Bagaimana ibu bisa
mengatakan akan memberikan yang mereka inginkan?" tanya Murasi, agak lunak
suaranya. "Mereka menginginkan Gelang Naga Soka," sahut Nyi Enoh, terdengar pelan
suaranya. "Gelang Naga Soka...?" Murasi mengerutkan keningnya.
Murasi tahu gelang yang dimaksudkan ibunya. Gelang itu memang selalu dikenakan
ayahnya tanpa pernah lepas, meskipun hanya sebentar saja. Namun, tentu saja ada
pengecualian. Ketika si siluman akan datang menyerbu, Ki Enoh
segera memerintahkan anak

Pendekar Rajawali Sakti 49 Gelang Naga Soka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

istrinya untuk mengungsi. Dan tentu saja sambil menyelamatkan Gelang Naga Soka. Hal ini
dilakukan agar si Siluman Kera jangan sampai mendapatkan sebelah jiwanya yang
tersimpan dalam gelang itu. Karena berdasarkan wangsit, sebagian jiwanya berada
di situ. Bentuknya cukup indah, dihiasi oleh ukiran seekor ular yang melingkar
berwarna hitam pekat. Pada bagian ekornya yang melilit kepala, berwarna kuning
keemasan. Gelang itu sekarang memang berhasil diselamatkan Nyi Enoh setelah suaminya tewas
dalam pertarungan melawan Siluman Kera yang datang bersama muridnya dalam jumlah
cukup banyak. Semua murid-murid Ki Enoh tewas, dan hanya tinggal mereka berempat
saja yang masih bisa selamat karena telah berhasil mengungsi lebih dulu. Dan
sampai sekarang, Murasi tidak tahu, kenapa si Siluman Kera itu menginginkan
Gelang Naga Soka. Apakah ada sesuatu
yang tersembunyi di dalam gelang itu" Pertanyaan-pertanyaan itu menggaluti benak Murasi.
"Mengapa mereka menginginkan gelang itu, Bu?" tanya Murasi yang tidak bisa
menahan rasa keingintahuannya.
"Gelang itu menyimpan sebagian jiwa asli si Siluman Kera. Dengan gelang itu, dia
bisa merubah ujudnya kembali menjadi manusia biasa. Dan ilmu kesaktiannya akan
menjadi berlipat ganda jika gelang itu dikenakan,"
jelas Nyi Enoh.
"Kenapa ayah sampai bisa menyimpannya, Bu?" tanya Murasi lagi.
"Sebenarnya ayahmu hanya menjalankan amanat saja.
Sepuluh tahun yang lalu, gelang itu milik seorang pertapa yang dicuri orang.
Oleh orang itu, kemudian digunakan untuk melakukan kejahatan. Namun akhirnya,
orang itu sadar dan menitipkannya pada ayahmu untuk diserahkan pada pertapa
tadi. Dan pada kenyataannya, pertapa itu telah meninggal dunia."
Nyi Enoh berhenti bercerita sebentar. Suasana kemudian menjadi hening, seperti menunggu perempuan setengah baya itu untuk
melanjutkan ceritanya.
"Pada suatu malam, ayahmu bermimpi didatangi oleh pertapa yang memiliki gelang
itu. Katanya, gelang itu telah dimasuki sebagian jiwa seseorang yang telah
menganut ilmu hitam 'Siluman Kera'. Maka, tentu saja orang itu akan merampasnya
dari tangan ayahmu."
Kembali suasana menjadi hening ketika Nyi Enoh menghentikan ceritanya sebentar.
"Dan sebenarnya, si Siluman Kera itu sudah tewas tiga puluh tahun yang lalu di
tangan kakekmu, Murasi. Tapi rupanya, kematiannya tidak dalam arti yang
sebenarnya. Ternyata sebagian jiwanya sempat dipindahkan ke dalam tubuh seekor kera, yang
kemudian menjelma menjadi manusia kera. Sedangkan jiwanya yang lain masuk ke
Gelang Naga Soka. Selama gelang itu tidak jatuh ke tangan si Siluman Kera,
selamanya dia akan berujud setengah manusia dan setengah kera. Dia tidak akan
bisa menjelma kembali menjadi manusia, selama sebagian jiwa yang berada di dalam
gelang itu tidak menyatu bersama raganya yang sekarang," tutur Nyi Enoh.
"Aneh...," gumam Mu rasi.
"Di dalam dunia persilatan, tidak ada yang bisa dikatakan aneh, Murasi.
Segalanya bisa terjadi tanpa dapat dimengerti akal sehat. Memang, hal itu bagimu
terasa aneh. Tapi bagi kalangan rimba persilatan, sudah menjadi sesuatu yang
wajar dan sering terjadi. Bahkan
tidak jarang seorang tokoh rimba persilatan meninggalkan raganya yang sudah
mati, dan masuk ke dalam tubuh seseorang, binatang atau ke sebuah benda. Bisa
juga mereka menyusup masuk ke dalam tubuh muridnya. Tapi banyak juga yang
menerima kodratnya sebagai manusia, dan
kembali ke swargaloka,"
kembali Nyi Enoh menjelaskan. Meskipun sukar dimengerti, namun Murasi mencoba untuk bisa memahami. Dia memang
sering mendengar cerita
ayahnya tentang dunia persilatan. Baginya, menggeluti dunia persilatan adalah sesuatu yang unik dan sukar dimengerti. Tapi,
itulah kenyataan salah satu sisi dunia kehidupan yang nyata. Sesuatu yang
dianggap konyol bagi orang biasa, tapi kenyataannya memang ada dalam kalangan
persilatan. "Ibu yakin kalau si Siluman Kera itu akan kembali lagi ke sini?" tanya Murasi
lagi. "Pasti, sebelum mereka mendapatkan apa yang diinginkannya," sahut Nyi Enoh.
"Dan Ibu akan menyerahkan gelang itu?"
"Ibu tidak punya pilihan lain lagi, anakku."
"Itu berarti Ibu memberikan kesempatan padanya untuk merajalela menghancurkan
dunia ini!" agak ketus nada suara Murasi.
"Kau tidak mengerti, anakku. Siluman Kera bisa berbuat apa saja pada kita...,"
Nyi Enoh meminta pengertian anaknya.
"Meskipun telah memperoleh gelang itu, dia pasti akan membunuh kita juga, Bu.
Apakah Ibu rela mati sebagai pengecut..."!" dingin sekali suara Murasi.
"Ibu tidak berpikir ke
situ, anakku. Ibu hanya
memikirkan keselamatanmu saja."
"Dia harus melangkahi mayatku dulu kalau ingin merebut gelang itu!" tegas
Murasi. "Murasi..."!" sentak Nyi Enoh terkejut. "Kau harus hati-hati bicara. Kalau dia
tahu, kau akan celaka."
"Jangan khawatir, Bu. Seandainya tidak mampu
menghadapi mereka, kita bisa meninggalkan desa ini."
"Kau tidak tahu, siapa si Siluman Kera itu, anakku."
"Sudahlah, Bu. Sebaiknya aku saja yang mengenakan gelang itu, dan aku akan
bertanggung jawab," tegas Murasi, mantap suaranya.
Nyi Enoh begitu terharu sekali atas ketegasan sikap anaknya. Tapi hatinya juga
khawatir. Kekerasan hati Murasi bisa mendatangkan bencana yang lebih besar lagi.
Bukan saja akan mati terbunuh oleh anak buah si Siluman Kera, tapi desa ini akan
hancur. Maka sudah dapat dibayangkan, tak ada seorang penduduk pun yang bisa
hidup. Nyi Enoh jadi teringat cerita mendiang suaminya sebelum mereka kedatangan si
Siluman Kera. Suaminya itu hendak mengunjungi sahabatnya di Desa Gandus. Tapi
kenyataan yang didapati, desa itu telah hancur. Saat itu juga Ki Enoh menduga
apa yang bakal terjadi, karena tidak menemukan
tongkat kayu putih yang disimpan sahabatnya itu di rumahnya. Ternyata tongkat kayu putih yang menjadi senjata
maut si Siluman Kera sudah lenyap.
Dan Ki Enoh sudah menduga kalau Siluman Kera sedikit demi sedikit akan
menyempurnakan kembali dirinya seperti dulu lagi. Dan Jika itu terlaksana...,
tidak dapat dikatakan lagi, apa jadinya dunia ini.
*** Murasi memandangi gelang hitam berbentuk ular yang ekornya berwarna keemasan
membelit kepala. Gelang itu melingkar di tangan kanannya. Murasi merasakan
adanya sesuatu di dalam dirinya ketika pertama kali menggunakan gelang ini. Tapi
terlalu sulit untuk mengetahuinya. Yang jelas, ada hawa sejuk yang terasa
merasuk menyebar ke seluruh tubuhnya. Dan Murasi juga merasakan kalau batinnya
jadi tenang. Bahkan tidak mudah tersinggung.
Sesuatu yang belum pernah dirasakan selama ini dalam dirinya.
"Murasi...."
"Heh..."!" Murasi terperanjat ketika tiba-tiba ada yang memanggilnya.
Gadis itu langsung beranjak bangkit dari kursi, lalu memutar tubuhnya. Kelopak
mata gadis itu membelalak begitu melihat seorang laki-laki tua berjubah hijau
tahu-tahu sudah ada di dalam taman belakang rumahnya ini.
Tubuhnya yang bungkuk, tersangga tongkat yang tak beraturan bentuknya. Tampak
pada punggungnya terdapat tonjolan seperti unta.
"Siapa kau"! Bagaimana bisa masuk ke sini" Apa maksudmu ke sini" Dari mana kau
tahu namaku...?"
Murasi langsung memberondong dengan berbagai macam pertanyaan.
"Ck ck ck.... Kalau pertanyaanmu begitu, bagaimana menjawabnya...?" laki-laki
tua bungkuk berjubah hijau itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Murasi jadi tercenung. Baru disadari kalau tadi telah memberondong dengan
pertanyaan yang banyak sekali.
Gadis itu jadi heran juga. Padahal, beberapa hari ini hatinya bisa tenang. Namun
begitu melihat kedatangan laki-laki tua bungkuk yang mengejutkan itu, watak
aslinya langsung timbul kembali. Apakah ini juga pengaruh Gelang Naga Soka yang
dipakainya..."
"Siapa kau, Orang Tua?" tanya Murasi dengan nada suara yang lunak.
"He he he.... Kalau pertanyaanmu begitu, aku juga bisa tenang menjawabnya.
Namaku Eyang Congkok," laki-laki tua bungkuk berjubah hijau itu menjawab
pertanyaan Murasi sambil terkekeh-kekeh.
"Lalu, apa maksudmu datang ke sini?" Murasi mengulangi pertanyaannya yang pertama tadi.
"He he he..., aku ingin bertemu ayahmu," sahut Eyang Congkok.
"Ayahku sudah meninggal," Murasi memberi tahu.
"Meninggal..."!" Eyang Congkok tampak terkejut.
Kedua mata laki-laki tua bungkuk itu berputar
merayapi wajah gadis cantik di depannya, seakan-akan
hendak meminta kepastian dengan apa yang baru saja didengarnya. Masih belum bisa
dipercayai pendengarannya tadi. Sedangkan Murasi jadi keheranan juga melihat
sikap Eyang Congkok yang tampak begitu terkejut mendengar kematian ayahnya.
Hingga beberapa saat lamanya, mereka hanya berdiam diri saja.
"Kapan meninggalnya?" tanya Eyang Congkok setelah bisa menguasai dirinya
kembali. "Sekitar enam hari yang lalu," sahut Murasi.
"Enam hari
yang lalu.... Ah...,"
Eyang Congkok menggumam dan mendesah panjang.
"Apakah kau kenal ayahku...?" tanya Murasi bernada menyelidik.
"Aku kenal ayahmu sebelum kau lahir, Murasi. Aku dan ayahmu sahabat baik.
Ahhh.... Aku tidak mengerti, bencana apa lagi yang akan menimpa dunia ini?" nada
suara Eyang Congkok terdengar mengeluh.
Murasi tertegun. Laki-laki tua ini tidak dikenalnya sama sekali, tapi mengaku
sahabat ayahnya. Memang, Ki Enoh punya banyak sahabat yang tidak bisa dikenal
Murasi seluruhnya. Hanya beberapa saja yang dikenal. Dan itu juga sahabatsahabat yang sering datang berkunjung ke sini.
Kembali mereka terdiam membisu. Masing-masing
disibukkan oleh pikirannya sendiri. Beberapa kali Eyang Congkok menarik napas
panjang. Sedangkan Murasi tidak pernah
lepas mengawasinya. Meskipun
laki-laki tua bungkuk ini telah mengaku sahabat ayahnya, tapi gadis itu tidak akan mempercayai
begitu saja. Dan dalam keadaan seperti ini, kecurigaan itu sangat perlu.
"Kau tadi bilang akan terjadi bencana. Apa maksudnya, Eyang Congkok?" tanya
Murasi setelah cukup lama berdiam diri dengan benak dipenuhi tanda tanya.
"Ah! Aku hanya menduga-duga saja. Tapi...," Eyang Congkok berhenti, namun
keningnya berkerut dalam.
"Tapi kenapa?" desak Murasi.
"Murasi, apakah ayahmu mengatakan atau meninggalkan sesuatu sebelum meninggal?"
Eyang Congkok malah balik bertanya.
Murasi tidak langsung menjawab. Kembali dipandanginya laki-laki tua bungkuk yang mengenakan jubah hijau itu. Pertanyaan
Eyang Congkok barusan, membuatnya
semakin curiga. Ayahnya memang meninggalkan sesuatu, tapi tidak pernah mengatakan apa-apa sebelum menghembuskan
napas terakhirnya. Yang membuat gadis itu semakin curiga, ayahnya tidak pernah
menyebut-nyebut
Pendekar Pendekar Negeri Tayli 10 Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga Bara Naga 9

Cari Blog Ini