Ceritasilat Novel Online

Jaringan Hitam 2

Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam Bagian 2


berbicara, biasanya selalu menjadi kenyataan. Apakah mungkin..., Rangga tidak
dapat melanjutkan.
Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dari kursi yang didudukinya. Setelah
memberikan ucapan selamat malam, kakinya melangkah keluar dari kamar ini.
Tinggal Cempaka dan Pandan Wangi saja yang masih duduk diam di tepi pembaringan.
"Sebaiknya tidur saja, Cempaka. Besok pagi baru kita ke kota," ujar Pandan Wangi
seraya merebahkan diri.
"Duluan saja, Kak. Aku belum ngantuk."
*** 5 Pagi-pagi sekali Rangga, Pandan Wangi, dan Cempaka sudah meninggalkan rumah
penginapan yang hanya satu-satunya di Desa Batu Ceper. Mereka menunggang kuda
menuju Kotaraja Karang Setra.
Dari Desa Batu Ceper ini, mereka harus merintasi Rimba Tengkorak. Sebuah hutan
yang selalu dianggap angker oleh penduduk desa-desa sekitar hutan itu.
Walaupun ada jalan lain, tapi itu harus memutar dan memakan waktu yang cukup
panjang. Mereka berkuda demikian cepat setelah keluar dari Desa Batu Ceper. Dan
kini Rimba Tengkorak sudah menghadang di depan. Hutan yang begitu lebat, dan
tampak angker sekali. Tapi semua itu tidak membuat gentar hati ketiga anak muda
yang terus memacu kuda dengan kecepatan tinggi. Namun begitu memasuki hutan itu,
mendadak saja....
"Berhenti dulu...!" seru Rangga keras.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat dari atas punggung kudanya.
Begitu indah dan ringan gerakan pemuda berbaju rompi putih itu. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat manis sekali di atas tanah
berumput. Pandan Wangi dan Cempaka bergegas berlompatan turun dari punggung kuda
masing-masing. Mereka menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang berjongkok sambil
mengamati tanah berumput di depannya.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Pandan Wangi.
"Lihat," Rangga menujuk ke tanah berumput di
depannya. "Darah..."!" desis Pandan Wangi dan Cempaka hampir bersamaan.
Darah yang melekat di rerumputan ini memang tidak begitu jelas terlihat,
meskipun tampaknya masih baru. Darah itu menuju ke dalam hutan. Rangga bangkit
berdiri, lalu mengayunkan kakinya perlahan mengikuti ceceran darah yang melekat
di rerumputan. Matanya begitu tajam tidak berkedip, mengamati ceceran darah itu.
Pluk...! "Heh..."!"
Rangga tersentak kaget, dan langsung melompat ke belakang dua tindak ketika
tiba-tiba saja dari atas jatuh sebuah benda hitam bercampur putih. Bukan hanya
Rangga, tapi Cempaka dan Pandan Wangi pun tersentak kaget. Lebih terkejut lagi,
ternyata benda hitam bercampur putih itu adalah seekor kera besar yang tidak
lagi memiliki kepala. Tampak darah mengucur dari lehernya yang buntung.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga melesat ke angkasa, lalu tangan kananya bergerak cepat
mengibas mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti membabat batang pohon yang tinggi itu.
Kraaak...! Bruk! Tepat saat potongan pohon itu jatuh, berkelebat sebuah bayangan dari puncak
pohon yang terbabat buntung itu. Tepat ketika bayangan itu mendarat di tanah
berumput, Rangga juga menjejakkan kakinya tanpa bersuara sedikit pun. Kening
Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut ketika di depannya kini
berdiri seseorang yang mengenakan baju warna biru terang.
Dari sosok tubuh yang ramping, sudah dapat dipastikan kalau orang itu adalah
wanita. Tak terlihat sebuah senjata pun melekat di tubuhnya Seluruh wajahnya
tertutup selembar kain biru. Hanya sepasang bola matanya saja yang terlihat
menyorot tajam ke arah Rangga. Dia berdiri tegak sambil berkacak pinggang.
Sikapnya begitu angkuh dan menantang.
"Nisanak, apa maksudmu mencegah langkah
kami?" tanya Rangga, mencoba bersikap ramah.
"Aku ingin membunuhmu, Pendekar Rajawali Sakti!" sahut wanita berbaju biru itu
dingin. Suaranya terdengar agak parau dan berat sekali, namun Rangga tahu kalau suara
wanita ini dibuat-buat agar terdengar garang. Wanita yang wajahnya tertutup kain
biru itu, melirik Cempaka dan Pandan Wangi yang berada sekitar lima batang
tombak di belakang Rangga.
Dan wanita bercadar itu kembali memusatkan perhatiannya pada Rangga.
"Bersiaplah untuk mati, Pendekar Rajawali Sakti!
Hiyaaat..!"
"Hei...! Tunggu...!" sentak Rangga. Tapi wanita bercadar biru itu sudah keburu
melompat menyerang.
Cepat sekali dia melakukan serangan, sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti
terperangah. Namun hanya sesaat saja, karena tubuhnya cepat dimiringkan ke kanan begitu satu
pukulan yang mengandung seluruh pengerahan tenaga dalam meluncur deras ke arah
dada. Pukulan yang dilepaskan wanita bercadar biru itu sedikit saja lewat di depan
dada Pendekar Rajawali
Sakti. Namun sebelum Rangga sempat menegakkan kembali tubuhnya, wanita itu sudah
kembali menyerang. Kaki kirinya terayun cepat dengan lutut tertekuk. Tendangan
itu tertuju lurus ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti.
"Uts! Hup...!"
Bergegas Rangga melompat mundur dua tindak, menghindari serangan yang begitu
cepat luar biasa.
Tapi wanita bercadar biru itu seakan-akan tidak ingin memberikan kesempatan pada
Pendekar Rajawali Sakti untuk melakukan serangan. Kembali diserang-nya pemuda
berbaju rompi putih itu dengan dahsyat dan ganas sekali.
Pertarungan baru berjalan sebentar saja, tapi daerah sekitar pertarungan sudah
tidak karuan lagi bentuknya. Karena setiap pukulan maupun tendangan yang tidak
menemui sasaran, membuat pepohonan bertumbangan dan batu-batu hancur berkepingkeping. Sementara di tempat lain yang cukup aman Cempaka dan Pandan Wangi hanya
dapat menyaksikan saja. Rasanya memang tidak mungkin melakukan sesuatu untuk
mengeroyok wanita bercadar biru. Dan lagi, Rangga juga tidak akan suka jika
pertarungannya dicampuri orang lain.
"Lepas kepalamu. Hih...!" seru wanita bercadar biru itu tiba-tiba.
Dan seketika itu juga tangan kanannya dikibaskan cepat ke arah leher Rangga.
Namun manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menarik kepala ke belakang sehingga
tebasan tangan wanita bercadar biru itu hanya lewat sedikit di depan
tenggorokan. "Hup...!"
Rangga cepat melompat ke belakang sejauh batang tombak.
"Tunggu...!" sentak Rangga seraya menghentakkan tangan kanan ke depan.
Wanita bercadar biru itu tak jadi melakukan serangan, dan hanya berdiri tegak
berkacak pinggang. Tatapan matanya begitu tajam, menyorot langsung ke bola mata
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau menggunakan jurus 'Pukulan Tapak Maut'.
Apa hubunganmu dengan Pendeta Gurusinga?" tanya Rangga, mengenali jurus yang
tadi dikerahkan wanita bercadar biru itu.
"Dia kakakku!" dengus wanita bercadar biru itu ketus.
"Kakakmu..." Lalu, siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga lagi.
"Untuk apa ingin tahu" Aku hanya ingin agar kau mati, Pendekar Rajawali Sakti!"
Setelah berkata demikian, wanita bercadar biru itu langsung melompat cepat
menyerang kembali.
Namun kali ini semakin dahsyat dan berbahaya sekali. Jurus 'Pukulan Tapak Maut'
yang dikenali Rangga ketika bertarung melawan Pendeta
Gurusinga, membuatnya harus berhati-hati menghadapinya. Kelengahan sedikit saja,
akibatnya sangat berbahaya. Dan Pendekar Rajawali Sakti sudah merasakan ketika
bertarung melawan Pendeta Gurusinga (Untuk jelasnya, bacalah serial Pendekar
Rajawali Sakti dalam episode, "Api di Karang Setra").
Jurus 'Pukulan Tapak Maut' banyak mengandung gerak tipu yang dapat membuyarkan
perhatian lawan dalam bertarung. Apa lagi kedua telapak tangan pemilik jurus itu
berbahaya sekali. Bisa tajam melebihi tajamnya mata pedang. Juga, pukulannya
dapat menghancurkan sebongkah batu cadat sebusar kerbau. Dan ini sangat disadari
Rangga, sehingga
harus menghadapinya dengan hati-hati sekali. Dia selalu memperhatkan setiap
gerak yang dilakukan wanita bercadar biru itu.
"Pandan, Cempaka...! Cepat kalian pergi. Nanti aku menyusul!" teriak Rangga
menyuruh kedua gadis yang bersamanya meninggalkan tempat ini.
Rangga tahu, jurus 'Pukulan Tapak Maut' sangat berbahaya. Maka Pendekar Rajawali
Sakti tidak ingin kedua gadis itu menjadi sasaran dari wanita bercadar biru ini.
Dan memang, kalau tidak bisa mengenai sasaran yang dituju dalam dua puluh
gebrakan, wanita itu akan mencari sasaran lain secara membabi buta. Dan memang
itu salah satu sifat jurus 'Pukulan Tapak Maut'. Sifat yang sangat tidak
terpuji, dan sukar ditolak jika sudah merasuk dalam jiwa pemakainya.
Cempaka yang sudah tahu bahayanya jurus
'Pukulan Tapak Maut', segera menarik tangan Pandan Wangi. Mereka menjauh, lalu
melompat ke atas punggung kuda masing-masing.
"Ayo kita tinggalkan tempat ini," ajak Cempaka.
"Bagaimana dengan Kakang Rangga?" tanya
Pandan Wangi. "Dia pasti bisa mengatasi," sahut Cempaka.
"Tapi, kenapa Kakang Rangga meminta kita pergi?" tanya Pandan Wangi tidak
mengerti. "Nanti kujelaskan. Yang penting sekarang kita harus menjauhi tempat ini dulu."
Pandan Wangi yang sudah berpengalaman dalam mengarungi kancah rimba persilatan,
tidak dapat membantah lagi. Apalagi, yang menyuruhnya pergi adalah Pendekar
Rajawali Sakti. Meskipun ada sedikit rasa khawatir di hatinya, tapi diikutinya
juga Cempaka. Sementara pertarungan antara Rangga
melawan wanita bercadar biru itu semakin terlihat sengit. Sudah lebih dari lima
belas gebrakan dari jurus 'Pukulan Tapak Maut', tapi Rangga masih mampu
bertahan. "Setan kau, Rangga! Hiya! Hiya! Hiyaaa...!" wanita bercadar biru itu tampak
gusar, karena belum juga mampu mendesak lawannya.
Wanita itu semakin sering melontarkan pukulan-pukulan mautnya, sehingga Rangga
terpaksa harus berpelantingan menghindari. Sementara Pandan Wangi dan Cempaka
sudah begitu jauh, bahkan sudah tidak terlihat lagi. Rangga merasa lega saat
mengetahui kalau kedua gadis itu sudah pergi.
*** "Maaf, aku tidak ada waktu untuk melayanimu.
Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, Rangga cepat melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu
bagaikan kilat, dia melesat pergi. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya,
sehingga dalam sekejap mata saja sudah tidak terlihat lagi. Bahkan wanita
bercadar biru itu sendiri belum sempat menyadari.
"Hei..."!" seru wanita bercadar biru itu terkejut.
Tapi dia tidak mampu lagi melakukan sesuatu, karena Rangga sudah menghilang
entah ke mana. Tampak kedua bola matanya berkilatan menyimpan amarah yang meledak-ledak. Kedua
tangannya terkepal, hingga otot-ototnya bersembulan.
"Keparat..! Hiyaaat..!"
Wanita bercadar biru itu melampiaskan kemarahan dengan melepaskan pukulanpukulan maut ke arah batu dan pepohonan. Suara-suara ledakan
terdengar menggelegar saling susul. Entah berapa puluh pohon dan bebatuan hancur
berkeping-keping terhantam pukulan wanita itu. Tingkahnya baru dihenti setelah
sekitarnya rata dengan tanah.
Wanita itu berdiri tegak memandang ke arah kepergian Pendekar Rajawali Sakti
tadi. Sambil mendengus kencang, cadar yang menutupi wajahnya dilepaskan. Tampak
seraut wajah cantik terlihat begitu cadar tipis berwarna biru terlepas. Namun
dari kecantikan wajahnya, tersirat suatu gambaran kemarahan dari dendam yang
bersemayam lekat dalam hatinya.
"Pengecut..! Tapi aku tidak akan berhenti sebelum kau mampus di tanganku,
Rangga! Apa pun akan kulakukan, dan kau akan merasakan betapa sengsara-nya hidup
dalam penderitaan," dengus wanita itu dingin.
Sebentar wanita itu berdiri mematung, lalu perlahan-lahan mengayunkan kakinya
meninggalkan tempat itu. Namun belum begitu lama melangkah, mendadak saja sebuah
bayangan berkelebat menghadang. Wanita berbaju biru itu cepat menghentikan
ayunan langkahnya. Sorot matanya langsung tajam begitu di depannya tahu-tahu
sudah berdiri seorang perempuan tua berjubah hitam. Dia memegang tongkat
berbentuk ular kobra di tangan kanannya.
"Nenek Jamping... Ada apa kau datang ke sini?"
dengus wanita itu, agak ketus nada suaranya.
"Kasihan sekali. Seharusnya kau memberitahuku dulu bila ingin keluar dari
pertapaan," ujar perempuan tua berjubah hitam yang dipanggil Nenek Jamping.
"Ini urusanku sendiri, Nek. Sebaiknya Nenek jangan ikut campur," ujar wanita
cantik berbaju biru
itu ketus. "Kau muridku, Mintarsih. Sudah sepatutnya kau memberi tahu bila ingin keluar
dari pertapaan," tetap kalem nada suara perempuan tua ini, mengulangi
perkataannya. "Hhh! Kalau memberitahu dulu, kau pasti tidak akan mengizinkan."
"He he he...! Kau belum pernah mencobanya, bukan" Kapan kau pernah mengatakannya
padaku?" Wanita cantik berbaju biru yang ternyata adalah Mintarsih, hanya diam saja.
Memang diakui, selama puluhan tahun bersama perempuan tua ini, belum pernah
sekali pun keinginannya diutarakan. Bahkan keinginannya yang terbesar pun, tidak
pernah dikatakan. Itu sebabnya, kenapa wanita itu nekat meninggalkan pertapaan
di Puncak Gunung Batur Gamping. Suatu tempat yang sangat terpencil dan jauh dari
pemukiman penduduk. Di puncak Gunung Batur Gamping itulah dirinya ditempa
puluhan tahun oleh Nenek Jamping. Bahkan meskipun usia sebenarnya hampir sebaya
dengan perempuan tua ini, tapi masih terlihat cantik. Itu semua berkat ramuanramuan yang selalu diminumnya dari Nenek Jamping. Mintarsih dijadikan kelinci
percobaan, dan hasilnya sungguh mengagumkan. Wajah dan bentuk tubuhnya tetap
muda seperti gadis saja. Padahal, usianya sudah di atas kepala enam.
"Aku tahu, kau menyimpan dendam yang sangat besar, Mintarsih. Tapi, apakah
keinginanmu untuk membalas dendam tidak bisa ditunda" Aku khawatir pembalasanmu
ini tidak mencapai hasil yang diinginkan," ujar Nenek Jamping.
"Aku tidak ingin berlarut-larut, Nek. Sampai saat ini, apa yang kurencanakan
harus bisa berjalan
lancar," sahut Mintarsih.
"Dengan memperalat murid Pendeta Pohaji..."'
Nenek Jamping menggeleng-gelengkan kepalanya
"Apa kau yakin, anak muda yang masih hijau begitu mampu mengalahkan Pendekar
Rajawali Sakti" Ilmu yang dimilikinya masih terlalu jauh, Mintarsih. Bahkan
berada jauh di bawahmu. Malah kau sendiri belum tentu mampu menandingi kesaktian
Pendekar Rajawali Sakti. Kusarankan, sebaiknya tunda dulu pembalasan dendam ini,
Mintarsih. Masih banyak yang harus dipersiapkan. Dan kau belum betul-betul siap
untul pekerjaan ini. Percayalah padaku, Mintarsih. Suatu saat kelak,
pembalasanmu akan berjalan lebih baik."
"Rasanya tidak mungkin dihentikan, Nek. Musuh bebuyutanku sudah berada di depan
mata, dan tidak mungkin kulepaskan kembali," Mintarsih tetap menolak.
"Aku yakin, kakakmu, Pendeta Gurusinga tidak menyetujui semua tindakanmu
sekarang ini. Akan sia-sia saja, Mintarsih. Dan kau sendiri akan mengalami
kekecewaan besar. Bahkan kakakmu di alam sana akan kecewa kalau kau gagal."
"Kalaupun gagal, aku akan mencobanya terus, Nek," ujar Mintarsih mantap.
"Itu kalau kau tidak tewas, Mintarsih. Lalu kalau kau sampai tewas, siapa yang
meneruskan...?"
Mintarsih belum menjawab.
"Pokoknya aku tidak akan berhenti, Nek. Kau sudi membantu atau tidak, itu
urusanmu!" agak tinggi nada suara Mintarsih.
"Kau sama keras kepalanya dengan Pendeta Gurusinga. Dulu, aku juga sudah
memperingatkan padanya agar tidak ikut mencampuri urusan di
Karang Setra. Tapi dia keras kepala, dan akhirnya tewas di tangan pewaris
tunggal Karang Setra. Dan sekarang, kau juga akan berhadapan dengannya.
Hhh...," pelan sekali suara Nenek Jamping, bernada mengeluh.
"Maaf, Nek. Bukannya ingin membuat kau sakit hati. Semua yang kulakukan ini demi
kau juga, Nek. Demi keluarga kita," ujar Mintarsih, melemah suaranya.


Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nenek Jamping terdiam. Tubuhnya diputar lalu melangkah perlahan sambil
menundukkan kepala.
Mintarsih memperhatikan dengan mata agak menyipit. Dia tahu kalau perempuan tua
itu pasti terkenang pada suami dan anak-anaknya. Suaminya tewas di tiang
gantungan, karena dihukum oleh Adipata Arya Permadi. Saat itu Karang Setra belum
tumbuh menjadi sebuah kerajaan seperti sekarang ini, dan masih berbentuk sebuah
kadipaten. Yang menjadi adipati waktu itu adalah ayah kandung Rangga si Pendekar
Rajawali Sakti, yang bernama Arya Permadi.
Sementara itu, anak lelaki Nenek Jamping satu-satunya, juga tewas di tangan
adipati itu. Dia telah menantang Adipati Arya Permadi untuk membalas dendam atas
kematian ayahnya, suami Nenek Jamping. Tapi kepandaian yang dimilikinya masih
rendah, sehingga harus tewas dalam pertempuran yang jujur. Mendapat kenyataan
ini, kemudian Nenek Jamping meninggalkan Karang Setra, dan menyepi di Puncak
Gunung Batur Gamping. Di situlah semua ilmu-ilmu yang dimilikinya diperdalam.
Hingga pada suatu saat, mereka bertemu.
Mintarsih pada waktu terjadi kemelut di Karang Setra ikut pula membantu
kakaknya, Pendeta
Gurusinga. Dia ikut bertarung melawan prajurit-prajurit Karang Setra, sehingga
terluka sangat parah.
Dalam keadaan luka parah, Mintarsih pergi ke Puncak Gunung Batur Gamping. Di
sana, dia ber-jumpa Nenek Jamping yang akhirnya cepat mem-bantunya.
Sebagai ungkapan balas jasa, Mintarsih bersedia menjadi kelinci percobaan
perempuan tua itu. Maka kemudian dia harus tinggal selama bertahun-tahun di
puncak gunung yang sunyi dan terpencil itu.
Ketika mendapat kabar kalau Pendeta Gurusinga tewas, Mintarsih semakin meluapluap rasa bencinya terhadap Karang Setra. Untuk itu dia berkewajiban membalas
kematian kakaknya itu kepada Pendekar Rajawali Sakti, penguasa Karang Setra
sekarang ini Di antara Mintarsih dan Nenek Jamping, memang terjadi persamaan
nasib. Hanya bedanya, Nenek Jamping mempunyai dendam pada Arya Permadi, ayah
Rangga. Sedangkan Mintarsih mempunyai dendam pada Rangga, atau Pendekar Rajawali
Sakti. Hubungan dendam yang saling terkait ini membentuk jaringan-jaringan yang akan
menjerat orang yang terlibat di dalamnya. Sebuah jaringan hitam yang akan
menjerat siapa saja. Bahkan orang yang tak terlibat sekalipun, akan ikut
terjerat. Seperti layaknya Sangkala.
Pemuda itu telah terpedaya oleh Mintarsih, dengan menciptakan dendam. Kematian
Pendeta Pohaji oleh Mintarsih dikatakan oleh wanita itu atas perbuatan Pandan
Wangi. Sedangkan Pandan Wangi adalah kekasih Rangga. Sebagai murid Pendeta
Pohaji, tentu saja Sangkala harus membalas kematian itu. Apalagi, Mintarsih
telah membuka rahasia kalau ayah dan ibu Sangkala juga telah dihukum mati oleh
Pendekar Rajawali Sakti karena mereka terlibat dalam makar.
Maka semakin lengkaplah dendam-dendam yang jalin menjadi sebuah jaringan hitam
di Kerajaan Kara Setra.
Bagi Nenek Jamping dan Mintarsih, Karang Setra merupakan musuh utama yang harus
dihancurkan. Berbagai macam cara telah ditempuh, tapi tak ada hasil yang memuaskan. Bahkan,
mereka banyak kehilangan anggota keluarga. Apakah sekarang juga harus gagal
lagi..." "Nek...! Mau ke mana kau...?" teriak Mintarsih seraya berlari mengejar perempuan
tua yang sudah berjalan cukup jauh.
"Aku hanya akan menenangkan pikiran," sahut Nenek Jamping sambil terus melangkah
perlahan. Mintarsih mensejajarkan langkahnya di samping kanan perempuan tua itu.
"Maafkan atas kekasaranku tadi, Nek," ucap Mintarsih.
"Tidak mengapa. Malah, seharusnya aku bangga.
Hhh..., sudahlah. Kita berdua memang sudah ber-tekad untuk menghancurkan Karang
Setra. Hanya tinggal kita berdua, Mintarsih."
"Jadi Nenek menyetujui apa yang kulakukan?"
"Sebenarnya tidak, bila dilakukan sekarang. Tapi kau sudah melangkah cukup jauh.
Aku tidak ingin mengecewakanmu, Mintarsih."
"Tapi aku telah mengecewakanmu, Nek."
"Kekecewaanku terobati dengan tujuanmu."
"Terima kasih, Nek. Aku janji, tidak akan mengecewakanmu lagi."
Nenek Jamping tersenyum. Mereka terus berjalan menembus lebatnya Rimba
Tengkorak. Tanpa disadari, arah yang dituju, justru Karang Setra.
*** Sementara itu, Rangga yang meninggalkan pertarungan sudah sangat jauh berlari.
Larinya dihentikan ketika tiba di sebuah sungai kecil, namun berair sangat
jernih. Pendekar Rajawali Sakti mem-basuh muka dan angannya. Dibersihkannya
kotoran yang melekat akibat pertarungannya tadi dengan wanita bercadar biru. Dia
bangkit berdiri ketika telinganya mendengar ringkikan kuda.
Perlahan Rangga memutar tubuhnya. Tampak dari kejauhan terlihat debu mengepul di
udara. Kemudian terdengar suara kuda yang dipacu cepat. Tak berapa lama,
terlihat dua ekor kuda dipacu cepat menuju ke arah sungai kecil itu. Rangga
tersenyum begitu mengenali penunggang kuda yang ternyata Pandan Wangi dan
Cempaka. Kedua gadis itu langsung melompat turun dari punggung kuda setelah dekat dengan
Rangga. Mereka bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Sementara kuda-kuda mereka
menghilangkan dahaga dengan mereguk air sungai sebanyak-banyaknya.
"Mana kudamu, Kakang?" tanya Pandan Wai
langsung. "Mungkin tertinggal," sahut Rangga seenaknya.
Pendekar Rajawali Sakti memang tidak memikirkan kudanya. Kalau dalam keadaan
terpaksa kudanya memang selalu ditinggalkan begitu saja. Rangga tahu, tidak lama
lagi kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu pasti akan datang menyusul. Dan
dugaannya memang tepat. Belum lagi Cempaka atau Pandan Wangi membuka mulutnya,
terdengar ringkikan yang disusul munculnya seekor kuda hitam dari dalam
semak belukar. Kuda hitam itu langsung menghampiri Rangga.
"Sukar mencari kuda seperti ini, Kakang," puji Pandan Wangi, tulus.
Rangga hanya tersenyum saja, seraya menepuk leher dan bokong kuda hitam itu tiga
kali. Maka kuda hitam itu segera melenggang mendekati kuda-kuda yang kini tengah
merumput di pinggir sungai. Tampak sekali perbedaan ketiga ekor kuda itu. Jelas
Dewa Bayu lebih tinggi dan gagah dari yang lainnya.
"Bagaimana pertarunganmu, Kakang" Apa sudah tahu, siapa wanita itu?" tanya
Pandan Wangi lagi.
"Aku tidak tahu siapa dia. Tapi yang jelas, dia mempunyai jurus-jurus yang sama
dengan Pendeta Gurusinga," sahut Rangga.
"Pendeta Gurusinga...?" Cempaka terbeliak.
"Kau tahu siapa dia, Cempaka?" tanya Pandan Wangi yang tidak mengenal orang yang
bernama Pendeta Gurusinga.
"Tentu saja aku tahu," sahut Cempaka. "Kakang!
Apa tidak mungkin dia muridnya, atau barangkali anaknya?" Cempaka menduga-duga.
"Dia mengaku adiknya," sahut Rangga.
"Adiknya..." Rasanya Pendeta Gurusinga tidak punya adik, Kakang."
"Aku yakin Ki Lintuk bisa menjelaskannya, Cempaka."
"Benar, Kakang. Aku yakin kalau Ki Lintuk mengetahui semua ini. Dia tidak pernah
meninggalkan Karang Setra, semasa masih sebuah kadipaten.
Bahkan selagi masih menjadi sebuah desa, dia sudah tinggal di sana."
"Kalau begitu, kenapa tidak segera saja ke Karang Setra...?" selak Pandan Wangi.
"Istirahat saja dulu di sini, Pandan. Besok saja kita lanjutkan perjalanan,"
ujar Rangga. "Masih terlalu siang, Kakang. Aku yakin, masih cukup waktu untuk ke Karang
Setra. Senja nanti, pasti sudah sampai di perbatasan," serga Pandan Wangi lagi.
"Bagaimana, Cempaka?" Rangga meminta
pendapat adiknya.
"Aku rasa, Kak Pandan benar, Kakang," sahut Cempaka. "Hanya setengah hari
perjalanan, dan ini masih terlalu siang."
Rangga tersenyum. Sebenarnya tadi Pendekar Rajawali Sakti hanya menguji saja.
Dan ternyata, kedua gadis ini begitu bersemangat dan tidak ingin berlarut-larut.
Tak lama kemudian, mereka bertiga sudah berkuda lagi menuju Karang Setra yang
tinggal setengah hari lagi perjalanan menunggang kuda.
*** 6 Seperti yang telah diperkirakan Pandan Wangi, mereka tiba di gerbang perbatasan
Kotaraja Karang Setra tepat ketika matahari tenggelam di balik belahan bumi
sebelah Barat. Mereka terus memacu kuda memasuki kota yang selalu ramai dan
tidak pernah sepi. Namun mereka mengendalikan kuda tidak secepat tadi, karena
tidak ingin menarik perhatian penduduk yang memadati jalan.
Pendekar Rajawali Sakti, Pandan Wangi, dan Cempaka terus mengendalikan kuda
menuju Istana Karang Setra. Tak ada seorang pun yang mengenali, karena mereka
berpakaian bak layaknya orang persilatan. Dan memang, seluruh rakyat Karang
Setra hanya mengenali, bila rajanya berpakaian kerajaan.
Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengenali Rangga dalam keadaan seperti
ini. Bahkan tidak semua prajurit mengetahuinya.
Malah, dua orang prajurit penjaga pintu gerbang istana pun tidak mengenalinya.
Mereka hanya mengenal Cempaka. Bahkan kedua prajurit itu memandang curiga
terhadap Rangga dan Pandan Wangi. Tapi mereka tidak bisa bertanya. Mungkin
karena Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi datang bersama Cempaka.
"Mereka tidak mengenalmu, Kakang," bisik Cempaka pelan setelah melewati pintu
gerbang istana.
"Itu lebih baik," sahut Rangga sambil tersenyum.
"Soalnya Kakang kalau pergi selalu lewat
belakang, sih."
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi
yang juga tersenyum saja. Memang, Rangga dan Pandan Wangi tidak dikenal di
lingkungan istana ini. Dan itu memang disengaja, karena tidak ingin semua orang
tahu siapa mereka sebenarnya.
Tiga orang prajurit bergegas menghampiri ketika Rangga, Cempaka, dan Pandan
Wangi tiba di tangga masuk istana. Mereka turun dari kuda masing-masing. Ketiga
prajurit itu membungkuk, memberi hormat pada Cempaka. Sama sekali, Rangga dan
Pandan Wangi tidak dipedulikan. Ketiga prajurit itu membawa kuda-kuda itu ke
tempat penambatan kuda.
"Kau masih ingat seluk-beluk istana ini, Kakang?"
tanya Cempaka. "Tidak pernah kulupakan, Cempaka. Selama belum ada perubahan yang mendalam,"
sahut Rangga. "Sedikit pun tidak berubah."
Mereka terus berjalan menaiki anak-anak tangga, dan terus masuk ke da lam
bangunan istana yang megah ini. Setiap pintu selalu dijaga prajurit, sedikit-nya
dua orang. Dan para prajurit itu selalu membungkuk memberi hormat pada Cempaka.
Ketiga orang itu kemudian langsung menuju Balai Sema Agung.
Danupaksi dan para pembesar istana yang tengah berada di ruangan itu terkejut
melihat kedatangan Cempaka bersama Rangga dan Pandan Wangi.
Danupaksi bergegas menyongsong. Dia kemudian berlutut memberi hormat dengan
merapatkan kedua telapak dengan di depan hidung, tepat di depan
Rangga. Pendekar Rajawali Sakti menepuk pundak adik tirinya ini, dan memintanya
bangun. Semua orang yang berada di ruangan itu memberi hormat.
Mereka tahu, kalau penguasa kerajaan ini sudah hadir.
"Kami semua selalu menunggu di sini, Kanda Prabu," ujar Danupaksi.
"Apa sebenarnya yang terjadi, Danupaksi?" tanya Rangga dengan bibir
menyunggingkan senyum.
Pendekar Rajawali Sakti selalu merasa jengah bila adik-adiknya memanggil dengan
sebutan Kanda Prabu. Dan itu memang sudah menjadi kewajiban Cempaka dan
Danupaksi untuk menyebut Rangga dengan sebutan itu. Tapi Rangga tidak pernah
suka disebut begitu jika tidak di depan para pembesar.
Pendekar Rajawali Sakti lebih senang dipanggil kakang saja.
"Sebenarnya tidak ada kegawatan di sini, Kanda Prabu. Tapi kami semua selalu
waspada," ujar Danupaksi.
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja.
Pandangannya beredar ke sekeliling, merayapi para pembesar yang berada di
sekitarnya. Sikap mereka hormat. Semua kepala tertunduk menekuri lantai.
Pandangan Rangga tertumbuk pada Ki Lintuk, laki-laki tua yang mengenakan jubah
putih panjang tongkat kayu berkeluk tergenggam di tangan.
"Kalian semua boleh beristirahat," ujar Rangga.
Nada suaranya begitu berwibawa.
Semua orang membungkuk dan merapatkan dua tangan di depan hidung. Tanpa menunggu
perintah dua kali, mereka bergerak meninggalkan ruangan ini.
"Ki Lintuk...," panggil Rangga ketika melihat Ki Lintuk beranjak bangun hendak
pergi. "Hamba, Gusti Prabu," sahut Ki Untuk seraya memberi hormat.
"Kau tetap di sini."
"Hamba, Gusti Prabu."
Dengan sikap agung, Pendekar Rajawali Sakti duduk di sebuah kursi berukir yang
sangat indah. Cempaka, Danupaksi, dan Pandan Wangi mengambil tempat di samping Raja Karang
Setra itu. Sedangkan Ki Lintuk tetap berdiri di depan mereka.
"Duduklah di sini, Ki Lintuk," ujar Rangga seraya menepuk kursi di sebelahnya.
"Maaf, Gusti Prabu. Hamba..."
"Di sini aku memang raja. Tapi aku tidak pernah melupakan sejarah, Ki Lintuk.
Duduklah di sini, dan jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi," ujar Rangga
lembut Ki Lintuk tersenyum tersipu. Memang di ruangan ini tidak ada pembesar lain lagi,
kecuali Danupaksi dan Cempaka. Bahkan tak ada prajurit penjaga.
Dengan sikap yang masih menujukkan rasa hormat, laki-laki tua yang sudah berusia
lebih dari delapan puluh tahun itu duduk di kursi yang diminta Rangga.
"Ada yang ingin kutanyakan padamu, Ki," ujar Rangga langsung.
"Tentang apa itu...?" tanya Ki Lintuk hampir lupa dengan permintaan Rangga untuk
tidak memanggil-nya dengan sebutan Gusti Prabu lagi.
"Pendeta Pohaji."
Ki Lintuk memandang Pendekar Rajawali Sakti tidak mengerti. Semua orang, baik
patih, panglima, punggawa dan pembesar lain di istana ini memang sedang diliputi
kewaspadaan atas kematian Pendeta Pohaji yang masih menjadi teka-teki bagi
mereka semua. Dan sekarang Rangga ingin menanyakan
sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa itu.
Ki Lintuk hanya dapat menduga-duga saja tanpa mendapat jawaban pasti.
"Kakang, boleh aku bicara...?" selak Danupaksi.
"Silakan, Danupaksi," sahut Rangga.
"Jika Kakang ingin menanyakan tentang kematian Pendeta Pohaji, terus terang,
kami semua masih belum tahu tentang pembunuhnya. Semuanya masih teka-teki, penuh
kabut kegelapan," ujar Danupaksi mendahului.
"Ya, aku tahu. Cempaka sudah banyak cerita,"
sambut Rangga seraya tersenyum.
"Lalu, apa yang Kakang ingin ketahui lagi?" tanya Danupaksi.
"Masa lalu Pendeta Pohaji," sahut Rangga seraya menatap Ki Lintuk lagi.
"Maksud, Kakang...?" Danupaksi jadi tidak mengerti.
Apa yang sejak tadi menjadi dugaan di kepalanya, ternyata tidak terbukti sama
sekali. Dan selama ini Danupaksi tidak pernah memikirkan tentang masa lalu
Pendeta Pohaji. Tapi masa lalu itulah yang ingin diketahui Rangga. Danupaksi
hanya bisa bertanya dalam hati, apa hubungannya dengan masa lalu..."
Mungkinkah dari masa lalu bisa terungkap, siapa pembunuh Pendeta Pohaji..."
Bukan hanya Danupaksi yang keheranan atas pertanyaan Rangga. Bahkan Ki Lintuk,
orang yang dianggap tertua merasa heran mendengar pertanyaan itu. Hingga matanya
memandangi Rangga begitu dalam. Entah, apa yang ada di kepala Ki Lintuk saat
ini. Mungkin sedang menduga-duga, apa sebenarnya yang diinginkan Pendekar
Rajawali Sakti hingga menanyakan tentang masa lalu Pendeta
Pohaji. "Yang aku tahu, Pendeta Pohaji sudah lama mengabdi di Karang Setra, Anakku.
Beliau sudah mengabdi sejak ayahandamu kecil," jelas Ki Lintuk membeberkan apa
yang diketahui tentang diri Pendeta Pohaji.
"Ki Lintuk juga sudah mengabdi pada ayah sejak dulu, kan...?" tanya Cempaka yang
sejak tadi diam saja.
"Benar. Tapi, lebih lama tiga tahun daripada Pendeta Pohaji"
"Dan selama itu, apakah Pendeta Pohaji mempunyai musuh?" tanya Rangga lagi.
"Musuh...?" Ki Lintuk tampak kebingungan.
"Rasanya..., beliau tidak punya musuh seorang pun juga. Bahkan ketika Gusti Wira
Permadi berkuasa di Karang Setra dia memilih tetap berada di istana ini.
Padahal, aku dan yang lainnya mengundurkan diri.
Kuakui, pandangannya memang luas. Dan dia tetap menjaga keutuhan istana ini,


Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meskipun seharusnya ditinggalkan."
"Tentang kehidupan pribadinya, Ki. Apakah dia pernah menikah, atau pernah
mencintai seseorang?"
desak Rangga lagi.
"Ya, pernah sekali. Tapi rasa cintanya bukan antara sepasang kekasih. Pendeta
Pohaji mencintai seorang wanita yang dianggapnya adik. Tidak lebih dari itu.
Tapi, wanita itu menganggapnya lain. Maka dia jadi membenci Pendeta Pohaji."
"Siapa nama wanita itu, Ki?" tanya Pandan Wangi.
Ki Lintuk tidak langsung menjawab. Kening yang sudah berkerut, semakin dalam
kerutannya saat berpikir keras. Ki Lintuk mencoba mengingat-ingat nama, wanita
yang pernah mencintai Pendeta Pohaji.
Namun, cintanya hanya dibalas dengan rasa kasih sayang sebagai saudara.
"Kalau tidak salah, namanya Mintarsih.... Ya benar.
Mintarsih," jelas Ki Lintuk.
"Mintarsih...," gumam Rangga.
Sementara Cempaka dan Pandan Wangi saling berpandangan. Mereka jadi teringat
wanita yang bertarung melawan Rangga di Rimba Tengkorak.
Wanita itu mengenakan cadar biru, sehingga sukar dikenali wajahnya. Apakah
wanita itu yang bernama Mintarsih..." Pikiran seperti itulah yang langsung
tersirat di dalam kepala Cempaka dan Pandan Wangi.
Namun kedua gadis itu hanya dapat bertanya, tanpa tahu jawabannya.
"Sebentar, Kakang...!" selak Danupaksi tiba-tiba.
Semua yang ada di ruangan Balai Sema Agung ini seketika menatap Danupaksi.
Sedangkan yang ditatap seakan-akan sedang berpikir, atau mungkin sedang teringat
sesuatu. "Ada apa, Danupaksi?" tanya Rangga melihat Danupaksi hanya diam saja.
"Rasanya aku pernah mendengar nama itu,
Kakang," ujar Danupaksi
"Di mana kau mendengar nama itu, Danupaksi,"
tanya Rangga lagi.
"Sangkala.... Ya...! Sangkala pernah bercerita kalau punya kekasih yang bernama
Mintarsih. Dia ingin menceritakannya pada Pendeta Pohaji, tapi tidak berani. Dia
takut kalau-kalau Pendeta Pohaji tidak menyetujui hubungannya," ujar Danupaksi.
"Itu mustahil, Anakku Danupaksi," bantah Ki Lintuk.
"Apanya yang tidak mungkin, Ki...?" tanya Danupaksi tidak mengerti.
"Orang yang bernama Mintarsih itu sudah hidup puluhan tahun yang lalu. Sejak kau
masih kecil, dia sudah menjadi gadis remaja. Dia meninggalkan Karang Setra
setelah ayahnya dihukum gantung, karena keterlibatannya dalam usaha
pemberontakan. Sedangkan kakak laki-lakinya yang bernama Pendeta Gurusinga tewas dalam
pertarungan melawan Gusti Rangga. Jadi kalaupun wanita itu kembali lagi, pasti
sudah sangat tua. Setua aku ini."
"Tapi Sangkala menyebutkan nama itu, Ki Lintuk."
"Mungkin saja namanya saja," Ki Lintuk tetap tidak percaya.
"Aku rasa ada benarnya, Ki," selak Cempaka.
"Saat ini Sangkala sedang menuju Selatan. Aku menugaskan Patih Rakatala untuk
membuntutinya."
"Eh...! Untuk apa dia pergi ke Selatan...?" sentak Ki Lintuk terkejut
"Kakang, bukankah kemarin ini kau berada di selatan?" tanya Danupaksi.
Saat itu, mendadak saja semuanya terdiam.
Pikiran mereka kini jadi terpusat pada Sangkala yang tengah menuju daerah
Selatan, seperti yang baru saja dituturkan Cempaka. Dan memang selama ini,
Rangga berada di daerah Selatan bersama Pandan Wangi. Tapi hanya satu hari saja
di sana. Selama ini Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan, dan baru kemarin
menginap di Desa Baru Ceper.
Rangga juga bertanya-tanya, untuk apa Sangkala pergi ke Selatan" Padahal di sana
tidak ada satu pun sanak keluarganya. Dan ini tentu saja membuat Rangga jadi
bertanya-tanya dalam hati. Cukup lama juga tidak ada yang membuka suara. Semua
sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Dan beberapa kali mereka saling
melempar pandang. Pada saat semua
terdiam, mendadak saja...
"Hup...!"
Tiba-tiba Rangga melompat cepat bagaikan kilat, melewati kepala Danupaksi. Semua
yang ada di ruangan ini jadi terkejut. Namun belum lagi keterkejutan mereka
hilang, Rangga sudah kembali duduk di kursinya. Di tangan kiri Pendekar Rajawali
Sakti sudah tergenggam sebuah bungkusan kain putih yang kotor oleh tanah dan
darah kering. Begitu bungkusan kain putih itu dibuka, semua mata jadi terbeliak
lebar dengan mulut temganga.
Rangga sendiri sampai terlonjak kaget. Kursi yang didudukinya terguling. Kedua
matanya terbeliak menatap bungkusan kain yang sudah terbuka.
Bungkusan kain itu ternyata berisi kepala Pendeta Pohaji!
"Biadab...!" desis Pandan Wangi geram.
Rangga bergegas membungkus kembali kain putih berisi kepala Pendeta Pohaji, lalu
meletakkannya di atas meja kecil. Ki Lintuk membetulkan kembali kursi yang
terguling. Untuk beberapa saat, tidak ada yang bicara.
"Kakang, dari mana kau dapatkan itu?" tanya Pandan Wangi setengah berbisik.
"Aku mencium bau yang lain, dan berasal dari langt-langit atap ruangan ini,"
sahut Rangga perlahan.
"Siapa pun orangnya, perbuatan ini tidak bisa didiamkan lagi, Kakang," celetuk
Danupaksi. "Aku akan mengerahkan para prajurit untuk mencari manusia keparat
itu...!" "Kau gegabah kalau melakukan itu, Danupaksi,"
cegah Rangga. "Tapi, Kakang... Ini sudah keterlaluan. Seenaknya saja kepala Pendeta Pohaji
diletakkan di sini!" dengus
Danupaksi tidak suka.
"Biar aku yang menyelesaikannya, Danupaksi. Dan kuminta, sebaiknya semua
berjalan seperti biasa,"
ujar Rangga. "Ki Lintuk.. ."
"Hamba, Gusti Prabu," cahut Ki Lintuk jadi terlupa, dan kembali memanggil Rangga
dengan sebutan Gusti Prabu lagi.
"Kuburkan kepala ini, tapi jangan sampai ada seorang pun yang tahu. Ingat, aku
ingin semua ini menjadi rahasia kerajaan. Kalian tahu, kenapa harus
dirahasiakan...?"
Semua menggelengkan kepala. Dan memang
mereka tidak tahu, kenapa Rangga meminta hal ini dirahasiakan..." Dan
ketidakmengertian mereka juga diketahui Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku hanya tidak ingin kalian kehilangan muka di mata rakyat. Terutama kau,
Danupaksi. Sebuah istana yang bisa dimasuki seseorang tanpa diketahui, merupakan
aib besar. Maka rakyat akan menganggap kalian tidak mampu menjadi pemimpin. Jadi
kuminta, hal ini tetap dirahasiakan,'' jelas Rangga.
"Maafkan aku, Kakang," ucap Danupaksi
menyesal. "Tidak ada yang bersalah, Danupaksi. Orang ini memang berkemampuan tinggi,"
sambut Rangga seraya menepuk pundak adik tirinya ini.
"Aku janji, akan lebih memperhatikan penjagaan."
"Penjagaan sudah cukup ketat, Danupaksi. Jika kau langsung merubahnya, akan
menimbulkan kecurigaan. Sebaiknya tetap seperti sekarang ini."
Danupaksi hanya menganggukkan kepala saja.
Memang diakui, dalam hal tata pemerintahan, dia masih kalah jauh dibandingkan
Rangga. Bahkan dalam segala hal, selalu merasa kalah. Tapi hal itu
dianggapnya sebagai pelajaran berharga yang sulit diperoleh.
"Ki Lintuk, sebaiknya kuburkan sekarang," kata Rangga memerintah dengan halus.
"Hamba laksanakan, Gusti Prabu."
"Dan kalian sebaiknya beristirahat."
Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi tidak membantah. Setelah Ki Lintuk
meninggalkan ruangan ini, mereka juga beranjak pergi. Hanya Rangga yang masih
tetap tinggal di ruangan besar dan megah ini, sambil duduk bertopang dagu.
*** Sudah lewat tengah malam, tapi Rangga belum juga dapat memejamkan mata. Begitu
banyak yang bersemayam di kepalanya. Sulit untuk menduga-duga, apa yang sedang
terjadi. Keadaan yang tenang seperti ini, biasanya yang paling berbahaya.
Nalurinya mengatakan, kalau ada bahaya yang sedang mengincar. Tapi sulit didugaduga, apa yang akan terjadi terhadap dirinya.
Selagi Rangga membuka jendela kamarnya, mendadak saja terdengar teriakan keras,
lalu disusul memijarnya cahaya terang dari arah Selatan.
"Kebakaran...! Kebakaran...!"
Teriakan-teriakan itu semakin keras dan ramai.
Belum juga Rangga berbuat sesuatu, tampak dari arah Utara juga terlihat cahaya
api membumbung tinggi ke angkasa. Malam yang semula hening, seketika berubah
hiruk pikuk oleh orang-orang berteriak-teriak.
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat
ke luar melalui jendela kamarnya. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya, sehingga dalam waktu sekejap saja sudah ienyap ditelan kegelapan
malam. Rangga terus berlompatan keluar dari benteng istana. Ringan dan indah sekali
gerakannya saat melompati tembok benteng yang tinggi dan kokoh.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya mendarat manis di luar tembok
benteng yang mengelilingi bangunan istana ini. Rangga terus berlari menuju arah
kobaran api di Selatan.
Tampak orang-orang berlarian sambil berteriak-teriak ketakutan. Para prajurit
terlihat sibuk, berusaha memadamkan api yang membakar beberapa rumah penduduk
yang berdekatan di sekitar istana Rangga jadi tertegun menyaksikan kobaran api
yang begitu besar.
"Kakang...!"
Rangga berpaling begitu merdengar panggilan dari arah belakang. Tampak Pandan
Wangi dan Cempaka berlari-lari menghampiri. Keringat tampak mengucur deras di
seluruh tubuh kedua gadis itu. Napas mereka juga tersengal, seperti baru saja
berlari jauh. "Dari mana kalian?" tanya Rangga.
"Dari Utara. Di sana lebih gawat lagi," sahut Pandan Wangi agak tersengal.
"Banyak penduduk yang mati terbunuh," sambung Cempaka.
"Terbunuh..."!" Rangga tersentak kaget
"Benar, Kakang. Menurut beberapa orang
penduduk, ada dua orang perempuan tengah mengamuk membantai penduduk, kemudian
membakar rumah-rumah mereka," jelas Pandan Wangi lagi.
Baru juga Rangga hendak membuka mulut
kembali, muncul Danupaksi yang menunggang kuda.
Pemuda itu cepat melompat turun dari punggung kuda, begitu berhenti. Bergegas
dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang! Di sebelah Barat, beberapa prajurit dan panglima tengah bertarung
melawan dua orang perempuan," lapor Danupaksi.
Tanpa menunggu Danupaksi selesai memberi laporan, Rangga langsung melompat cepat
ke arah Barat. Begitu cepatnya, sehingga membuat Danupaksi dan kedua gadis itu
sempat terlongong kagum. Cepat sekali lesatan Pendekar Rajawali Sakti.
Sehingga dalam sekejap saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi.
"Ayo, kita ke sana...!" ajak Danupaksi.
Cepat sekali Danupaksi melompat naik ke
punggung kuda, lalu menggebahnya agar berlari mungkin. Sebentar Cempaka dan
Pandan Wangi pandangan, kemudian bersamaan berlari ke Barat, mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Sementara api terus berkobar besar. Puluhan prajurit di-bantu
penduduk sibuk memadamkan api. Sedangkan tidak sedikit yang meratap dan
berteriak-teriak ketakutan.
*** 7 Sementara itu di sebelah Barat, tampak sekitar tiga puluh prajurit dan dua orang
panglima tengah sibuk bertarung menghadapi dua orang perempuan yang ternyata
adalah Mintarsih dan Nenek Jamping. Di sekitar pertarungan terlihat tidak
sedikit mayat bergelimpangan bermandikan darah. Dan tampaknya, para prajurit
Karang Setra tidak sanggup mem-bendung amukan dua orang wanita yang berkepandaian sangat tinggi.
Jerit dan pekik melengking tinggi terus terdengar sating susul. Sedangkan tubuhtubuh bersimbah darah terus bergelimpangan tanpa henti. Nampaknya, jumlah
prajurit semakin berkurang saja. Setiap kali kedua orang wanita itu bergerak,
selalu disusul jeritan panjang menyayat dan ambruknya dua atau tiga prajurit
tanpa nyawa lagi.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar. Begitu kerasnya, sehingga
membuat pertarungan itu seketika terhenti. Para prajurit berlompatan mundur.
Saat itu berkelebat sebuah bayangan putih ke arah mereka. Dan tahu-tahu, di
depan kedua wanita itu sudah berdiri seorang pemuda berpakaian putih tanpa
lengan. Tampak pedangnya yang berga kepala burung tersampir di punggung.
"Pendekar Rajawali Sakti.... Hhh! Akhirnya muncul juga," dengus Mintarsih sinis.
"Siapa kalian"! Apa maksudnya mengacau sini?"
tanya Rangga. "Mereka hendak menuntut balas, Gusti Prabu..., terdengar suara dari arah kanan.
Rangga berpaling ke kanan. Tampak Ki Lintuk membungkuk sedikit memberi hormat
dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Laki-laki tua itu perlahan menghampiri Rangga.
"Hamba kenal perempuan tua itu, Gusti Prabu. Dia adalah Nenek Jamping. Suaminya
pernah menduduki jabatan penting di Kadipatan Karang Setra, tapi menyalahgunakan
jabatannya. Maka Gusti Adipati Arya Permadi memberikan hukuman mati," ujar Ki
Lintuk memberi tahu. "Tapi yang seorang lagi...
Hamba tidak kenal, Gusti," kali ini nada suara Ki Untuk terdengar ragu-ragu.
"Lihat aku baik-baik, Lintuk," selak Mintarsih, jumawa.
"Wajahmu mirip Mintarsih. Tapi..," Ki Lintuk tidak melanjutkan kata-katanya.
"Aku memang Mintarsih. Kedatanganku seperti yang telah kujanjikan. Karang Setra
harus hancur di tanganku!" keras dan lantang sekali suara Mintarsih.
"Bagaimana mungkin kau masih tetap muda, Mintarsih?" tanya Ki Lintuk.
"Ha ha ha...!" Mintarsih hanya tertawa terbahak-bahak saja.
Dari cerita Ki Lintuk, Rangga sudah tahu kalau wanita yang bernama Mintarsih
seharusnya sudah tua. Dan paling tidak sudah berumur lebih dari enam puluh
tahun. Tapi wanita ini..., masih terlihat muda dan cantik sekali. Dan bagi
Rangga itu suatu hal yang tidak aneh lagi. Dia pernah menemukan hal seperti ini.
Memang ada satu ilmu yang bisa membuat orang tetap muda. Dan itu merupakan ilmu
yang sangat langka. Tidak sembarang orang bisa memilikinya, karena terlalu berat syarat yang
harus dipenuhi.
Hanya saja itu merupakan ilmu sesat karena menentang kodrat
"Jadi kau yang membunuh Pendeta Pohaji?" tanya Rangga dingin, ingin memastikan.
"Kau cukup tanggap, Pendekar Rajawali Sakti.
Sayang sekali orang secerdas dirimu harus mati malam ini juga," sambut Mintarsih
sinis. Setelah berkata demikian, Mintarsih cepat melompat menyerang Rangga lewat jurus
dahsyat. Satu pukulan bertenaga dalam tinggi dilepaskan tepat mengarah ke dada Pendekar
Rajawali Sakti.
Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga memiringkan tubuhnya. Maka, pukulan
Mintarsih lewat di samping tubuh pemuda berbaju rompi putih itu.
Sebelum Mintarsih bisa menarik pulang tangannya, Rangga sudah memberi satu
sodokan tangan kiri ke arah lambung. Mintarsih mendelik, lalu tubuhnya melenting
berputar ke belakang. Sehingga, sodokan tangan Rangga tak sempat mengenai
sasaran. "Hiyaaa...!" Mintarsih kembali menyerang Pendekar Rajawali Sakti, begitu kakinya
menjejak tanah.
Sementara, Ki Lintuk menarik kakinya mundur sejauh tiga batang tombak. Pada saat
itu, Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi telah tiba. Mereka hanya dapat
menyaksikan pertarungan antara Rangga dan Mintarsih. Dari pakaian Mintarsih,
Pandan Wangi dan Cempaka sudah dapat memastikan kalau wanita itu adalah yang
kemarin bertarung melawan Rangga.
"Apakah itu yang bernama Mintarsih, Ki Lintuk?"
tanya Pandan Wangi.
"Benar," sahut Ki Lintuk.
"Lalu, yang seorang lagi?" tanya Pandan Wangi lagi seraya menatap tajam Nenek
Jamping. "Dia Nenek Jamping. Suaminya mendapat
hukuman mati ketika Karang Setra masih berbentuk kadipaten. Dia dan Mintarsih
ingin membalas dendam, dan hendak menghancurkan Karang Setra."
"Hanya berdua..." Edan...!" desis Cempaka.


Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku yakin, bukan hanya mereka berdua saja.
Pasti ada yang lainnya. Aku akan memeriksa di sekitar istana," selak Danupaksi
Belum ada yang membuka suara, Danupaksi
sudah cepat meninggalkan tempat itu. Kudanya dipacu cepat bagaikan dikejar
setan. Ki Lintuk memerintahkan sepuluh orang prajurit untuk mengikuti pemuda
itu. Sementara pertarungan antara Rangga dan
Mintarsih terus berlangsung semakin sengit. Mereka bertarung hanya menggunakan
tangan kosong saja.
Namuun begitu, angin pukulan yang dilepaskan, terasa sekali. Tentu saja hal ini
membuat para prajurit terus menyingkir menjauh. Pertarungan itu berjalan dalam
tingkatan yang tinggi, membuat debu berhamburan ke udara. Beberapa kali
terdengar ledakan keras disertai ppercikan bunga api, setiap kali pukulan mereka
beradu. *** Entah sudah berapa jurus pertarungan itu berlangsung, tapi belum ada tanda-tanda
akan berakhir. Namun suatu ketika....
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak nyaring, mendadak saja Rangga melesat tinggi ke udara. Lalu
tubuhnya menukik deras sekali dengan tangan lurus ke depan mengarah ke kepala
Mintarsih. Sejenak wanita cantik berbaju biru itu terpana, lalu cepat membanting
tubuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Serangan Rangga tidak membawa
hasil. Dan kini pukulannya malah menghantam tanah, membuat ledakan
dahsyat terdengar menggelegar. Seketika tanah berguncang bagai terjadi gempa.
Cepat Rangga melentingkan tubuh berdiri, dan langsung melompat seraya memberi
satu tendangan keras menggeledek. Pada saat itu, Mintarsih baru bisa berdiri.
"Uts!"
Bergegas Mintarsih memiringkan tubuh ke kanan menghindari tendangan keras yang
dilepaskan Rangga. Tapi wanita itu jadi tersentak. Ternyata pada saat yang sama,
Rangga cepat melepaskan satu pukulan tangan kiri yang keras dan mengandung
pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Yeaaah...!"
Dieghk! "Akh...!"
Mintarsih tak dapat lagi berkelit. Tubuhnya terpental ke belakang sejauh tiga
batang tombak dadanya terkena pukulan keras Pendekar Rajawali Sakti. Selagi
wanita itu terjajar menggeletak di tanah, Rangga melompat memburu. Namun sebelum
sampai, Nenek Jamping sudah melesat cepat menghadang. Seketika wanita tua itu
mengibaskan tongkat ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Bet! "Hup...!"
Cepat Rangga memutar balik tubuhnya ke
belakang, sehingga sabetan tongkat wanita tua itu tidak mengenai tubuhnya. Dua
kali Rangga melakukan putaran di udara, lalu manis sekali kakinya menjejak
tanah. Pada saat itu, Nenek Jamping sudah meluruk deras dengan tongkat
berputaran cepat di depan tubuhnya.
"Hiyaaat..!"
"Hep! Yeaaah...!"
Rangga cepat melompat ke atas sampai melewati kepala Nenek Jamping. Seketika,
cepat sekali kakinya bergerak menyepak punggung wanita itu. Nenek Jamping yang
sudah dikuasai nafsu, sampai tidak lagi menghiraukan pertahanan diri.
Akibatnya.... Buk! "Akh...!"
Telak sekali kaki kanan Rangga mendupak
punggung Nenek Jamping. Akibatnya wanita tua itu tersungkur mencium tanah, tapi
cepat bangkit kembali dan menggeram marah. Tongkatnya diputar cepat bagai
baling-baling, hingga menimbulkan deru angin yang keras bagai topan.
Rangga menggeser kakinya ke kanan perlahan tiga tindak. Tatapan matanya begitu
tajam memperhatikan perempuan tua itu. Sementara Nenek Jamping menggeser kakinya
perlahan ke depan. Sorot matanya begitu tajam, menyiratkan amarah dan dendam
yang meluap-luap. Perempuan tua itu memang sudah bersumpah akan membunuh semua
keturunan Adipati Arya Permadi. Mati pun rasanya tidak puas jika belum mengotori
tangannya dengan darah keturunan Adipati Arya Permadi, ayah kandung Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak, Nenek Jamping meluruk deras dengan kaki menyusur tanah.
Tongkatnya dikebutkan beberapa kali, mengincar tubuh Rangga yang sangat
mematikan. "Hap! Yeaaah...!"
Rangga yang memang sudah siap sejak tadi, segera melayani serangan perempuan tua
ini. Maka pertarungan pun kembali berlangsung sengit sekali.
Masing-masing berusaha saling menjatuhkan lawan.
Pertarungan itu berjalan cepat, dalam tingkatan yang sangat tinggi. Sehingga
tubuh mereka seperti lenyap.
Yang terlihat hanya dua bayangan saja yang berkelebat saling sambar.
Sementara itu Mintarsih sudah bisa bangkit, meskipun hanya bisa duduk. Tampak
darah menetes keluar dari sudut bibirnya. Dengan punggung tangan, disekanya
darah yang mengucur dari sudut bibirnya.
Mulutnya meringis merasakan dadanya begitu sesak dan sukar bemapas. Cepat dia
melakukan semadi, untuk menyalurkan hawa murni ke dadanya.
"Ugkh...!"
Mintarsih memuntahkan darah kental kehitaman.
Seluruh tubuhnya menggigil bagai terserang demam.
Sedangkan kepalanya terasa begitu pening dengan mata berkunang-kunang. Kembali
Mintarsih melakukan semadi untuk memulihkan kekuatannya kembali.
Untung saja, Rangga hanya memukul dadanya tanpa disertai ajian. Maka dengan
bersemadi dan penyaluran hawa murni, kekuatan Mintarsih dapat pulih kembali.
Namun demikian, hal itu memerlukan waktu juga.
Dan Mintarsih tidak sempat lagi memperhatikan pertarungan yang berlangsung
antara Rangga melawan Nenek Jamping.
*** Glarrr...! Tiba-tiba saja terdengar ledakan keras menggelegar. Semua orang yang berada di
tempat itu jadi tersentak kaget Tampak Rangga dan Nenek Jamping terpental ke
belakang, dan sama-sama jatuh bergulingan beberapa kali di tanah. Namun mereka
cepat bangkit berdiri dan kembali berhadapan untuk melakukan pertarungan lagi.
"Kau hebat, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi cobalah tahan aji pamungkasku ini,"
desis Nenek Jamping.
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil.
Pertarungan memang sudah berjalan sampai menggunakan aji kesaktian. Dan tadi
saja mereka sama-sama melepaskan aji kesaktian, hingga terpental jatuh
bergulingan di tanah. Sekarang Nenek Jamping sudah mempersiapkan ajian
pamungkasnya. Tampak tongkat hitam berbentuk ular kobra yang digenggam erat dengan kedua
tangannya berubah menyala bagai terbakar. Hebatnya lagi, seluruh tubuh perempuan
tua itu juga merah membara seperti besi panas.
"Terpaksa, aji 'Cakra Buana Sukma' harus kugunakan," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian merentangkan kakinya melebar ke samping.
Sementara, kedua tangannya merapat di depan dada. Perlahan tubuhnya ditarik ke
kanan, lalu dimiringkan ke kiri.
Sebentar kemudian tubuhnya sudah tegak kembali.
Saat telapak tangannya dibuka perlahan,
menyemburat cahaya biru terang menyilaukan mata
dari kedua telapak tangannya. Tepat ketika tangan Pendekar Rajawali Sakti
sejajar dada, Nenek Jamping melompat cepat
"Hiyaaat..!"
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!"
Glarrr...! Satu ledakan keras terdengar menggelegar ketika telapak tangan Rangga menghantam
bagian tengah tongkat Nenek Jamping. Seketika itu juga, cahaya biru yang
memancar di kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti melibat seluruh tongkat
ular kobra hitam perempuan tua itu.
Nenek Jamping mencoba menarik tongkatnya, namun sedikit pun tidak bergeming.
Saat itu juga terasa ada sesuatu yang bergolak di dalam tubuhnya.
Nenek Jamping tersentak ketika menyadari apa yang telah terjadi pada dirinya.
Cepat tenaga dalamnya dikerahkan untuk melepaskan diri dari pengaruh ajian yang
dikerahkan Rangga.
"Ikh...!"
Namun semakin kuat mengerahkan tenaga,
semakin deras kekuatan yang mengalir keluar.
Hingga akhirnya Nenek Jamping tidak dapat lagi menahan kekuatannya yang terus
tersedot keluar.
Sementara cahaya biru mulai menyelimuti tangan Nenek Jamping.
"Akh...!" Nenek Jamping mulai berteriak-teriak dengan tubuh menggeliat dan
menggelepar. Tampak darah kental mengalir dari sudut bibirnya. Sedangkan sinar
biru yang memancar di kedua telapak tangan Rangga, terus menyelimuti tubuh Nenek
Jamping. Perlahan gerakan tubuh Nenek Jamping mulai melemah. Memang kekuatan perempuan
tua itu terus mengalir, tersedot. Hingga pada akhirnya tubuhnya
lemas lunglai tak bertenaga lagi. Seluruh wajahnya memucat bagai tak pernah
teralirkan darah.
"Hih! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga menghentakkan kedua tangannya. Seketika tubuh Nenek
Jamping terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali tubuh tua
renta itu terbanting ke tanah. Tak ada gerakan sedikit pun. Nenek Jamping
ternyata tewas seketika begitu tubuhnya menghantam tanah.
"Maaf. Seharusnya kau tidak terlalu menguras tenaga," ujar Rangga agak bergumam.
*** 8 Rangga mengalihkan perhatian pada Mintarsih yang saat itu sudah selesai
bersemadi. Mintarsih terkejut setengah mati begitu melihat Nenek Jamping sudah
tergeletak tak bernyawa lagi. Bergegas diburunya perempuan tua itu. Dan begitu
tangannya menyentuh tubuh tua renta itu, mendadak tangannya kembali ditarik
kembali. "Ah...!" Mintarsih terpekik kecil.
Tubuh Nenek Jamping langsung hancur begitu tersentuh tangan Mintarsih. Wanita
cantik berbaju biru muda itu hampir tidak percaya pada peng-lihatannya sendiri.
Tubuh Nenek Jamping seketika hancur jadi debu!
"Nek..., oh...! Keparat..!" desis Mintarsih menggeram.
Wanita itu cepat bangkit berdiri dan memutar tubuhnya, menghadap Pendekar
Rajawali Sakti.
Sepasang bola matanya merah berapi-api. Geraham-nya terdengar bergelemetuk
menahan amarah yang hampir tidak tertampung lagi. Perlahan kakinya melangkah
mendekati Rangga. Tangan kanannya meraba pinggang, lalu menarik sabuk yang
melilit pinggangnya.
Cring! Ctar...!" Begitu sabuk berwarna kuning keemasan itu dikebutkan, seketika langsung menegang
kaku menjadi sebatang pedang. Cahaya kuning keemasan tampak berkilatan tertimpa
sinar rembulan. Mintarsih
mendesis bagai seekor ular. Kedua bola matanya menyorot tajam dan merah. Jika
orang lain yang melihatnya, pasti akan bergidik ngeri. Tapi Rangga malah
membalas tatapan wanita itu tidak kalah tajamnya.
"Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti...!"
desis Mintarsih dingin.
Mintarsih menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Tatapan matanya begitu
tajam, menusuk langsung kedua bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
Dendam yang sudah lama terpendam, ditambah lagi kemarahan akibat tewasnya Nenek
Jamping di tangan pemuda berbaju rompi putih itu, membuat Mintarsih tak dapat
lagi menahan kemarahannya.
"Mampus kau! Hiyaaat...!" teriak Mintarsih melengking tinggi.
Bagaikan kilat, wanita berwajah cantik dan berbaju biru itu melompat menerjang
Rangga. Serangan yang dilakukan Mintarsih begitu cepat dan dahsyat luar biasa.
Namun Rangga yang sudah bersiap sejak tadi, segera dapat menghindari serangan
itu dengan memiringankan tubuh ke kiri hingga doyong, seolah-olah akan jatuh.
Pukulan yang dilepaskan Mintarsih hanya lewat sedikit saja di samping tubuh
Pendekar Rajawali Sakti.
Namun Rangga terkejut bukan main. Ternyata angin pukulan itu mengandung hawa
yang sangat panas menyengat. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke samping, menjauhi
wanita itu. Dua kali Rangga melakukan putaran di udara, lalu manis sekali
menjejakkan kakinya di tanah sejauh dua batang tombak dari wanita cantik berbaju
biru itu. Baru saja Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah, mendadak saja
Mintarsih mengebutkan sabuk yang telah menjadi pedang. Senjata kuning keemasan itu telah
berubah warnanya menjadi merah membara. Bahkan kini telah mengeluarkan api yang
berkobar-kobar.
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Mintarsih melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Sabuk yang
sudah berubah menjadi pedang api, berkelebat mengurung pendekar berbaju rompi
putih itu. Sungguh dahsyat ilmu yang dikerahkan Mintarsih. Seluruh tubuh Rangga
bagai terkurung api. Hanya kelebatan bayangan putih saja yang terlihat di antara
pijaran api yang memancar dari sabuk di tangan Mintarsih.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar. Tak berapa lama kemudian,
Mintarsih tampak terpental ke belakang sambil memekik tinggi.
Tampak Rangga merentangkan tangannya lurus ke depan dengan jari-jari tangan
terbuka lebar. Mintarsih jatuh bergulingan beberapa kali. Dia mencoba bangkit berdiri, namun
darah kental meluncur keluar dari mulutnya. Tangannya memegangi dada yang terasa
begitu sesak. Pandangannya jadi nanar, namun masih terlihat tajam menatap Rangga yang berdiri
tegak sambil terus menatapnya.
"Kau memang tangguh, Rangga. Tapi kau harus mati di tanganku...!" desis
Mintarsih seraya bangkit berdiri. "Aku bersumpah! Demi arwah leluhurku, kau dan
keturunanmu harus mati di tanganku, Pendekar Rajawali Sakti!"
Cras...! Glarrr...! Begitu Mintarsih mengucapkan sumpah, kilat
seketika menyambar di angkasa. Akibatnya semua orang yang berada di tempat itu
tersentak kaget.
Begitu keras suara kilat itu, seakan-akan telinga terasa pekak mendengung.
"Hiyaaat..!"
Mintarsih bergegas lari meninggalkan tempat itu.
Melihat wanita itu kabur, Pandan Wangi hendak mengejar. Tapi, Rangga keburu
mencegah. "Jangan dikejar, Pandan!"
Pandan Wangi mengurungkan niatnya hendak mengejar.
"Kau membiarkannya pergi begitu saja, Kakang?"
tanya Pandan Wangi, seakan-akan tidak percaya.
Rangga hanya tersenyum saja, lalu melangkah menghampiri Pandan Wangi yang kini
sudah didampingi Cempaka kembali. Pendekar Rajawali Sakti memandangi mayat-mayat
yang bergelimpangan di sekitarnya. Suasana malam yang hiruk pikuk dan cahaya api
yang semula berkobar bagai hendak menghanguskan seluruh Kotaraja Karang Setra
ini, sekarang mulai mereda. Namun malam terus merambat semakin larut. Sebentar
lagi pagi akan datang menjelang.
"Tidak ada gunanya mengejar, Pandan. Dia sudah terluka cukup parah. Kupikir dia
tidak akan berani mengganggu kita lagi," kata Rangga dengan suara lembut.
"Tapi dia bisa menjadi ancaman besar, Kakang,"
sergah Pandan Wangi, tak mau kalah.
Rangga ingin berkata lagi, tapi tidak jadi. Sebab, Pendekar Rajawali Sakti
melihat Danupaksi datang menghampiri membawa Sangkala. Pemuda murid Pendeta
Pohaji itu dalam keadaan tak berdaya, dengan tangan terikat ke belakang.
Danupaksi mendorong pemuda itu dengan kasar, sehingga jatuh tersuruk di depan Pendekar
Rajawali Sakti.
Tampak darah menetes keluar dari sudut bibir dan hidungnya. Seluruh wajahnya


Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga biru lebam dan pakaiannya robek di sana-sini. Sepertinya Sangkala baru saja melakukan pertarungan hebat.
"Aku menemukannya sedang menyelusup di
belakang istana, Kakang. Tepatnya di bawah jendela kamarmu," jelas Danupaksi
memberi tahu. Rangga menatap tajam Sangkala. Dia tahu betul, siapa pemuda ini. Apalagi
sekarang ini Sangkala sedang menjadi buah bibir dalam lingkungan istana, karena
sikapnya yang aneh sejak Pendeta Pohaji ditemukan tewas terbunuh dengan kepala
hilang. Agak lama juga Rangga terdiam menatap tajam Sangkala. Sementara yang ditatap
hanya menunduk, seakan-akan tak sanggup membalas tatapan tajam pemuda berbaju
rompi putih ini.
*** "Kau yang bernama Sangkala?" tanya Rangga
dengan suara berwibawa.
"Benar! Hamba Sangkala," sahut Sangkala pelan tanpa mengangkat kepalanya.
"Hm.... Kenapa kau berada di dekat kamarku malam-malam begini?" tanya Rangga
lagi. "Hamba ingin membunuhmu," sahut Sangkala, agak bergetar suaranya.
Baru Sangkala mengangkat kepalanya, dan
langsung menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.
Bukan hanya Rangga yang terkejut mendengar jawaban Sangkala. Bahkan juga Ki
Lintuk, Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi, dan semua orang yang
berada di tempat ini. Mereka seakan-akan tidak percaya kalau Sangkala punya
maksud ingin membunuh Pendekar Rajawali Sakti yang juga penguasa tunggal di
kerajaan ini. "Benar kau ingin membunuhku, Sangkala"
Kenapa...?" tanya Rangga setelah bisa menenangkan kembali.
"Karena kau yang membunuh kedua orang tuaku!"
sahut Sangkala tajam.
Rangga tersenyum. Kini baru jelas, kenapa Sangkala ingin membunuhnya. Rupanya
kepergian Sangkala ke Selatan juga bermaksud mencari dan membunuh Pendekar
Rajawali Sakti. Tapi begitu mendengar kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah berada
di Karang Setra, dia cepat kembali. Dan malam ini, Sangkala merasa punya
kesempatan. Apa lagi dalam keadaan yang kacau seperti ini. Namun belum juga
maksudnya terlaksana, sudah keburu dipergoki Danupaksi.
Sangkala mencoba melawan, tapi kepandaian yang dimilikinya masih di bawah
Danupaksi. Dan kini pemuda itu dapat diringkus, bahkan tak berdaya terikat di
depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang, aku menyuruh seorang patih untuk mengikutinya ke Selatan. Tapi...,"
bisik Cempaka. "Manusia tolol itu sudah mampus!" selak Sangkala mendengus.
"Heh..."! Kau telah membunuhnya..."!" Cempaka terkejut.
Sangkala hanya mencibir saja.
"Keparat...!"
Hampir saja Cempaka melayangkan pukulan kalau tidak cepat ditangkap Rangga.
Padahal, tangan gadis itu sudah melayang ke atas. Cempaka menatap
Pendekar Rajawali Sakti sebentar, kemudian me-nurunkan tangannya kembali. Dia
mendengus kesal melihat Sangkala menyeringai penuh ejekan.
"Kesalahanmu sudah cukup berat, Sangkala.
Kenapa kau lakukan semua itu?" tanya Rangga masih dengan nada suara lembut
"Karena aku ingin membunuhmu. Dan siapa saja yang mencoba menghalangiku, harus
mati!" sahut Sangkala dingin.
"Ketahuilah, Sangkala. Ayahmu mendapat
hukuman mati karena mencoba melakukan makar.
Dan itu sudah menjadi keputusan pengadilan. Jadi bukan aku yang membunuhnya,"
Rangga mencoba menjelaskan.
"Aku tahu! Tapi kalau kau tidak memutuskan hukuman itu, ayahku tidak akan mati
di tiang gantungan!"
"Bukan aku yang memutuskan, tapi sidang
pengadilan. Dan itu cukup adil, Sangkala. Seseorang atau sekelompok orang yang
mencoba melakukan makar, harus dihukum mati. Itu sudah menjadi keputusan yang
tidak bisa dirubah lagi. Dengan tindakanmu seperti ini saja, kau sudah
digolongkan hendak melakukan makar. Dan hukumannya sangat berat, Sangkala.
Kecuali bila kau sudi bekerja sama memberi tahu orang yang menghasutmu," kata
Rangga lagi. Masih dengan suara lembut.
"Mintarsih. Dan masih banyak lagi orang yang ingin membalas dendam padamu!"
sahut Sangkala ketus.
"Mintarsih...," desis Cempaka.
"Perempuan keparat itu harus dibunuh, Kakang!"
sambung Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja, seakan-akan tidak mendengarkan celotehan kedua
gadis itu. Kembali
ditatapnya Sangkala penuh wibawa. Sedangkan Sangkala membalasnya dengan tajam,
dan masih penuh dendam.
"Dia juga yang membunuh gurumu, Sangkala?"
tanya Rangga. "Aku tidak peduli!" dengus Sangkala.
"Keparat..! Kubunuh kau, Sangkala," desis Cempaka menggeram.
Sret! "Cempaka...!"
Pedang Cempaka sudah keluar dari warangka, tapi Rangga cepat bertindak
mencegahnya agar tidak main hakim sendiri. Sambil menggerutu kesal, Cempaka
kembali memasukkan pedangnya ke dalam warangka di pinggang. Rangga mengerdipkan
matanya pada Danupaksi. Tanpa diperintah, Danupaksi sudah bisa menangkap isyarat
itu. Cepat dibawanya Cempaka meninggalkan tempat itu.
"Sangkala! Kau tahu, siapa Mintarsih itu sesungguhnya?"tanya Rangga.
"Dia adalah seorang gadis cantik berotak cerdas!"
sahut Sangkala seenaknya. Pemuda ini memang tidak tahu tentang diri Mintarsih
sebenarnya. "Gadis! Kau katakan dia gadis" Ketahuilah, Sangkala. Mintarsih yang kau sangka
gadis itu, usianya hampir sama dengan gurumu. Pendeta Pohaji!"
"Jangan dikira aku percaya bualanmu, Pendekar Rajawali Sakti!"
"Kalau kau tak percaya, baiklah."
Pendekar Rajawali Sakti kemudian melangkah, memutari Sangkala. Dia berhenti di
belakang pemuda itu. Sementara Danupaksi, Cempaka, Pandan Wangi dan beberapa
prajurit hanya memandang tak
mengerti atas sikap Rangga.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memejamkan mata, seperti tengah memusatkan
pikirannya. Kemudian, kakinya dipentang lebar-lebar. Kedua tangannya diangkat ke atas,
dengan telapak tangan terbuka lebar. Ketika kedua mata Rangga terbuka, kedua
tangannya cepat bergerak ke bawah. Langsung dicengkeramnya kepala Sangkala.
"Aaa...!"
Sangkala berteriak kesakitan. Tampak dari kepalanya keluar asap tipis berbau
busuk. Sedangkan Ki Lintuk, Danupaksi, Cempaka dan Pandan Wangi hanya menahan
napas, sambil memandang takjub.
Sebentar kemudian, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan cengkeramannya di kepala
Sangkala. Baru saja dilepaskan, tubuh Sangkala langsung terkulai.
Asap tipis yang keluar dari kepalanya telah hilang sama sekali. Tubuh pemuda itu
seperti pingsan, namun sebentar kemudian mulai bergerak-gerak.
"Oooh...!" Sangkala merintih lirih.
"Nah, Sangkala. Bangunlah," ujar Rangga lembut
"Gusti Prabu, ada apa dengan hamba?"
"Kekuatan batin seseorang telah menguasai jiwamu, Sangkala. Tanpa disadari, kau
telah dikendalikan seseorang. Dan seseorang yang kau anggap muda itu, ternyata
berusia sebaya dengan gurumu. Kau telah terjerat oleh jaring-jaring hitam yang
dilemparkan Mintarsih. Dendam yang ada dalam dirinya, telah dijalin menjadi
sebuah jaring. Kemudian dengan kekuatan batin dia telah menguasai dirimu,"
jelas Rangga. "Oh! Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hamba akui, hamba memang dendam pada Gusti
Prabu. Tapi, entah kenapa hamba seperti lupa diri. Hamba seperti
lupa, dengan siapa hamba berhadapan. Keparat Mintarsih itu! Sekali lagi,
ampunkan hamba, Gusti Prabu."
Rangga hanya tersenyum. Sedangkan Pandan Wangi segera menghampirinya.
"Kakang, dari mana kau tahu kalau Sangkala telah dikuasai oleh kekuatan batin?"
tanya Pandan Wangi.
"Pandan, orang yang memiliki ilmu awet muda, sudah pasti memiliki kekuatan batin
yang tinggi. Dan dia mampu menguasai orang yang ilmunya lebih rendah. Apalagi,
orang yang dikuasai mempunyai dendam. Jika orang memiliki dendam, nalarnya akan
tertutup. Dengan demikian kekuatan batin seseorang akan mudah menguasainya,"
jelas Rangga. "Lalu, mengapa kau mampu memusnahkannya?"
tanya Pandan Wangi lagi, kurang puas.
"Untung-untungan," jawab Rangga seenaknya.
"Untung-untungan?" Pandan Wangi tidak mengerti.
"Aku hanya menyalurkan hawa murni. Yaaah, mungkin saja usahaku berhasil. Dan
ternyata, seperti apa yang kau lihat tadi," jawab Rangga lagi.
Kemudian Pandan Wangi menatap Sangkala.
Sedangkan yang ditatap hanya menundukkan kepalanya saja.
"Hukumlah hamba yang seberat-beratnya, Gusti Prabu," ujar Sangkala.
"Pengadilan yang akan menentukan, Sangkala,"
kata Rangga. "Danupaksi, bawa Sangkala ke istana."
Danupaksi segera membungkuk, memberi hormat.
Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu segera membawa Sangkala seperti yang
diperintah Rangga.
"Kita langsung ke istana, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
Rangga mengangguk. Dan mereka terus berjalan
menuju Istana Karang Setra, mengikuti Danupaksi yang telah berjalan lebih dulu.
Sementara di belakang mereka api masih terus berkobar, meskipun tidak lagi besar
seperti tadi. Bagaimanakah nasib Sangkala dalam penjara di Karang Setra" Dan ke mana Mintarsih
pergi membawa lukanya" Benarkah dia akan melaksanakan sumpahnya untuk membunuh
Pendekar Rajawali Sakti" Siapa saja yang akan diajak bekerja sama"
Untuk jelasnya silakan para pembaca yang budiman mengikuti serial Pendekar
Rajawali Sakti dalam episode "Pembalasan Mintarsih".
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pedang Sinar Emas 14 Dewi Sri Tanjung 9 Terkurung Di Perut Gunung Pendekar Gunung Bromo 1

Cari Blog Ini