Ceritasilat Novel Online

Kembang Bukit Lontar 1

Pendekar Rajawali Sakti 70 Kembang Bukit Lontar Bagian 1


Seri P. Rajawali Sakti 70
Kembang Bunga Lontar
Djvu bu Syauggy_ar
TXT by Raynold www.tagtag.com/ taman bacaan/
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info
1 Malam sudah begitu larut, sampai-sampai tak ada orang
pun yang terlihat lagi di Desa Haruling. Keadaan di desa itu
sangat sunyi.' Hanya suara binatang malam saja yang
terdengar, mengusik kesunyian malam ini. Tapi kesunyian
itu tidak berlangsung lama. Sebentar kemudian, terdengar
alunan suara sumbang yang menembangkan sebuah lagu
yang tak menentu syairnya.
Suara itu datang dari seorang pemuda yang tengah
duduk mencangkung di sebuah bangku bambu di bawah
pohon beringin Sebentar mulutnya berhenti mendendangkan lagu-lagu yang bersyair tak menentu
Pandangannya terlihat nanar, merayapi sekitarnya yang
begitu sunyi senyap. Begitu sunyinya, sampai-sampai detak
jantungnya sendiri terdengar jelas di telinga. Kembali
mulutnya mendendangkan lagu-lagu yang tak jelas
maknanya, sambil beranjak bangkit dari bangku bambu di
bawah pohon beringin di pinggir jalan itu.
Perlahan-lahan pemuda itu mengayunkan kakinya
menuju sebuah rumah yang letaknya agak menyendiri dan
rumah-rumah lain di Desa Haruling ini. Sinar matanya
masih terlihat begitu nanar, tak berkedip sedikit pun
memandangi rumah yang hanya diterangi sebuah pelita pada berandanya Ayunan kakinya terhenti
setelah sampai di depan pintu rumah berukuran kecil, dan
berdinding bilik bambu itu.
"Aku si Kumbang Bukit Lontar.... Bukalah pintu.
Sambutlah kedatanganku, Putri Yang Cantik... ," terdengar
lagi nada-nada sumbang dari pemuda itu.
Perlahan-lahan kaki pemuda yang mengaku sebagai
Kumbang Bukit Lontar itu melangkah kembali, mendekati
pintu rumah yang masih tertutup rapat. Tangan kanannya
terulur ke depan. Tanpa menyentuh sedikit pun, daun pintu
dari kayu yang tampaknya sudah lapuk itu terbuka
perlahan-lahan,
memperdengarkan
suara berderit menyayat. Kembali kakinya terayun melangkah masuk ke
dalam rumah itu. Tak ada seorang pun terlihat di dalam
rumah yang hanya diterangi sebuah Pelita kecil saja.
Pemuda itu terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan
tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga.
Kembali Kumbang Bukit Lontar berhenti di depan
sebuah pintu kamar yang tertutup rapat. Kepalanya
bergerak menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu, tangannya
kembali terulur sedikit ke depan. Seperti ketika membuka
pintu depan tadi, dari ujung jari-jari tangannya keluar
sebaris sinar tipis yang hampir tak terlihat. Lalu, pintu itu
bergerak terbuka Perlahan-lahan dengan sendirinya,
mengikuti gerakan jari-jari tangan yang meregang kaku itu.
"Kau pasti sudah tidak sabar menunggu ku, Putriku
Manis...," gumam Pemuda itu perlahan.
Kumbang Bukit Lontar mengayunkan kakinya kembali
perlahan-lahan memasuki kamar yang hanya diterangi
sebuah pelita kecil menempel di dinding bilik bambu.
Sepasang bola matanya jadi berbinar saat menangkap
sesosok tubuh ramping tergolek di atas balai-balai bambu.
Tubuh ramping itu hanya ditutupi selembar kain saja.
Sedikit saja kain itu tersingkap, tapi udah cukup membuka
sepasang bentuk paha yang putih dan indah. Sehingga,
membuat bola mata pemuda itu semakin lebar memandanginya. "Ah..., kau cantik sekali... ," desah pemuda itu, agak
tertahan suaranya.
Perlahan Kumbang Bukit Lontar mendekati, dan berdiri
tegak memandangi sosok tubuh ramping tertutup selembar
kain yang terbaring lelap. Bibir pemuda itu menyunggingkan senyuman tipis, dengan mata merayapi
seraut wajah cukup cantik yang tampak lelap dalam buaian
mimpi. Perlahan tangannya terulur, dan mengusap wajah
wanita itu. Kemudian, kelopak mata wanita itu terbuka.
Namun, pandangannya begitu kosong. Sedikit pun tak ada
semangat kehidupan pada sinar matanya.
"Aku tahu, sebentar lagi kau akan melangsungkan
Pernikahan. Dan aku ingin membantumu mempercepat
malam Pengantinmu. Kau pasti akan. menyukainya,
Manis," ujar Pemuda itu lagi. "Dan kau pasti tidak akan
melupakan malam yang indah ini bersama Kumbang Bukit
Lontar." Wanita itu masih tetap diam tak bergeming sedikit pun.
Perlahan-lahan pemuda yang selalu menyebut dirinya si
Kumbang Bukit Lontar itu kembali mengusapkan tangan
kanannya ke wajah yang tampak cantik di bawah siraman
cahaya pelita yang begitu redup. Tampak dari sela-sela jari
tangan si Kumbang Bukit Lontar mengepulkan asap yang
menyebarkan bau harum menggelitik hidung.
"Ohhh.... "
*** Wanita itu merintih lirih sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Sebentar kelopak matanya dikerjapkan, lalu
bibirnya menyunggingkan senyuman yang begitu manis,
walaupun sinar matanya masih tetap terlihat kosong.
Senyuman manis itu disambut si Kumbang Bukit Lontar
dengan menyibakkan kain yang menutupi tubuh wanita ini.
Senyum di bibir pemuda itu semakin lebar terkembang,
saat mendapati sebentuk tubuh yang terbungkus kulit putih
tergolek di depannya. Dengan tangan yang agak bergetar,
merayapinya setiap lekuk tubuh wanita ini. Rintihan lirih
terdengar bersama geliatan tubuh wanita itu.
"Bersabarlah, Manis. Kau tidak akan bisa melupakan
malam yang indah ini bersama ku, " desis si Kumbang
Bukit Lontar, lembut sekali nada suaranya.
"Ahhh...," wanita itu hanya mendesah lirih.
Kepalanya mendongak, saat si Kumbang Bukit----cencored--- kain yang teronggok di ujung kakinya, lalu perlahanlahan tubuhnya yang polos diselimuti.
"Dewata Yang Agung..., kenapa hal ini harus terjadi
pada diriku...?" desah gadis itu lirih sekali.
Gadis itu cepat-cepat beranjak bangkit dari pembaringan.
Kemudian, bergegas pintu kamarnya yang terbuka lebar
ditutupnya. Lalu, cepat-cepat dia kembali naik ke
pembaringannya.
Di situ kembali dia menangis, menjatuhkan diri di pembaringan. Entah sudah berapa lama
dia menangis, meratapi dirinya yang sudah ternoda tanpa
disadari. Memang gadis itu tidak sadar ketika semua itu terjadi.
Tapi saat sadar kembali, semua yang terjadi langsung
teringat begitu saja. Seakan-akan, dia benar-benar sadar
telah melakukannya. Hal inilah yang membuatnya tidak
bisa lari dari penyesalan seumur hidup. Dia benar-benar
telah menyerahkan diri pada seorang pemuda yang sama
sekali tidak dikenalnya. Tapi, hal itu tidak kuasa
menolaknya. Bahkan menyambutnya dengan penuh gairah
yang begitu menggelora.
"Tidak ada gunanya lagi aku hidup. Oh, Hyang Batara
Agung.... Ampuni diriku, ampuni perbuatan terkutuk ini...,"
desah gadis itu lirih.
Perlahan gadis itu bangkit, dan duduk di tepi
pembaringannya. Dengan punggung tangan, dihapusnya air
mata yang berlinang membasahi pipi. Beberapa kali dia
menarik napas dalam-dalam, seakan mencari sisa kekuatan
yang ada pada dirinya. Pandangannya yang nanar tertuju
lurus pada kain angkin yang teronggok di atas meja, tidak
jauh dari pembaringan bambu ini.
Dia bangkit berdiri dan mengambil kain angkin itu
dengan tangan gemetar. Perlahan kepalanya mendongak
memandangi palang kayu yang melintang di langit-langit
kamarnya ini Sambil tersedak menahan tangis. dilemparkannya ujung kain angkin itu ke palang kayu lalu
diikatnya kuat-kuat.
Sementara, malam terus merayap semakin larut Tak ada
seorang pun yang menyaksikan semua peristiwa di dalam
kamar gadis itu. Hanya sepasang cecak yang menyaksikan
tertegun. tanpa mampu melakukan sesuatu untuk mencegah
perbuatan nekat gadis yang merasa sudah ternoda tanpa
disadari. *** Seluruh penduduk Desa Haruling jadi geger oleh
kematian seorang gadis yang gantung diri dalam kamarnya.
Padahal semua orang tahu kalau gadis itu tidak lama lagi
akan menikah dengan pemuda pilihannya. Nyi Karti, ibu
gadis itu yang pertama kali menemukan anaknya gantung
diri dalam kamarnya langsung pingsan. Dan wanita separuh
baya itu sampai matahari naik tinggi. baru bisa siuman dari
pingsannya. Wanita itu terus-menerus menangis meratapi kematian
anak gadisnya yang tidak wajar. Sementara, tetanggatetangganya sibuk menenangkan dan memberi ketabahan.
Tapi. memang sulit untuk bisa menenangkan hati wanita
separuh baya yang mendapati anak gadisnya mati secara
gantung diri dengan kain angkin dalam kamarnya sendiri.
Dan peristiwa itu langsung menjadi bahan pembicaraan di
seluruh pelosok desa itu. Tidak ada seorang pun yang tahu,
kenapa gadis yang dikenal begitu baik dan lembut bisa
memilih jalan senekat itu. Hidupnya disudahi dengan cara
menggantung diri di dalam kamar.
Peristiwa yang baru pertama kali terjadi di desa itu
membuat Ki Rampik, Kepala Desa Haruling ini harus
mengunjungi rumah Nyi Karti. Kedatangannya dampingi
Paman Walung, orang yang paling disegani di desa ini.
Memang, laki-laki berusia setengah baya dan bertubuh
tegap itu merupakan jawara yang tak tertandingi di Desa
Haruling ini. Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh
lima tahun yang merupakan putra satu-satunya Ki Rampik,
juga ikut mendampinginya. Dia bernama Goradi.
"Seumur hidupku, belum pernah ada peristiwa seperti
ini," gumam Ki Rampik saat meninggalkan rumah Nyi
Karti yang masih dipenuhi orang.
"Aku merasa ada sesuatu yang aneh, Ki," duga aman
Walung, juga terdengar menggumam nada suaranya.
"Maksudmu... ?" tanya Ki Rampik ingin penjelasan.
"Aku kenal betul, siapa Rawani. Dia gadis yang baik,
ramah, dan semua orang menyukainya. Rasanya tidak
mungkin kalau sampai memilih jalan seperti itu. Terlebih
lagi, kalau melihat keadaannya. Hmm... Kau melihat nodanoda di pembaringannya, Ki...?" ujar Paman Walung.
"Maksudmu noda-noda seperti darah?"
"Ya! Aku menduga dia habis diperkosa. Lalu dia
mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri, karena
tidak ingin menanggung malu. Terlebih lagi, tidak lama lagi
gadis itu akan melangsungkan perkawinannya."
"Belum pernah ada peristiwa perkosaan di desa ini,
Paman," selak Goradi yang berjalan di samping ayahnya,
dan sejak tadi diam saja.
"Rawani seorang gadis cantik. Bahkan merupakan
kembang di desa ini. Bukannya tidak mustahil kalau begitu
banyak pemuda yang menaruh hati padanya. Jadi, tidak
heran bila banyak yang kecewa terhadap rencana
perkawinannya itu...," kata Paman Walung membeberkan
dugaannya terhadap kematian Rawani yang sangat
menggegerkan. "Apa ada pendudukku yang bisa berbuat sekeji itu,
Paman Walung...?" Ki Rampik seakan membantah semua
dugaan Paman Walung.
"Kalau setan sudah merasuk dan menguasai hati
seseorang, tidak peduli apakah itu seorang raja sekali pun,"
sahut Paman Walung memperkuat dugaannya.
"Hm.... Kalau memang demikian, dia harus bertanggung
jawab dan mendapat hukuman berat, " desah Ki Rampik


Pendekar Rajawali Sakti 70 Kembang Bukit Lontar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agak menggumam. "Siapa pun orangnya! Dan kau harus
menyelidikinya, Paman. Aku tidak ingin desa ini kotor oleh
manusia terkutuk yang tega melakukan perbuatan sekeji
itu!" "Aku memang akan menyelidikinya, Ki. Dan aku harus
mendapatkannya sebelum jatuh korban lain," ujar Paman
Walung bertekad.
Ayunan langkah kaki Goradi terhenti, saat berada di
depan sebuah kedai yang kelihatan sepi. Tampak hanya ada
empat orang saja yang mengunjungi kedai itu. Ki Rampik
dan Paman Walung juga jadi menghentikan ayunan
langkahnya. Mereka sama-sama memandang pada Goradi.
"Maaf, aku akan mampir sebentar di kedai Ki Arung,"
kata Goradi meminta izin.
Paman Walung tersenyum, lalu menepuk pundak Ki
Rampik dan mengajaknya kembali berjalan. Sedangkan
Goradi bergegas melangkah memasuki kedai yang cukup
besar itu. Seorang laki-laki berusia lanjut segera menyambut
penuh hormat sekali terhadap Goradi. Sementara itu, Ki
Rampik sempat berpaling ke belakang. Tampak anaknya
sudah duduk di dalam kedai dekat jendela besar yang
menghadap langsung ke jalan.
"Kenapa anakku sekarang ini jadi sering ke kedai Ki
Arung...?" gumam Ki Rampik seperti bertanya pada diri
sendiri. "Kau seperti tidak pernah muda saja, Ki," ujar Paman
Walung. "Apa maksudmu, Paman?" tanya Ki Rampik tidak
mengerti. "Sudahlah..., nanti kuberitahu di rumah," sahut Paman
Walung. Sementara itu Goradi terus memandangi ayah dan
pamannya yang terus berjalan semakin jauh dari kedai ini.
Seguci arak sudah terhidang di mejanya, dengan beberapa
makanan kecil. Goradi baru mengalihkan pandangan saat
merasakan ada seseorang berdiri di seberang mejanya.
Langsung diberikannya senyuman yang dibuat begitu manis
sekali, saat melihat seorang gadis berwajah cantik sudah
berdiri di depan seberang mejanya.
"Ada yang kau lamunkan, Kakang?" tegur gadis itu
lembut sekali, sambil duduk di seberang meja itu.
"Tidak ada," sahut Goradi.
Sambil tetap menyunggingkan senyuman manis, gadis
itu menuangkan arak dari guci ke dalam gelas bambu yang
diserut halus. Goradi menerima gelas itu dari tangan yang
berjari lentik, dan langsung meneguknya hingga tandas tak
bersisa lagi. "Kau sudah dengar kejadian di rumah Nyi Karti,
Suryani...?" terdengar perlahan suara Goradi, seakan tidak
ingin terdengar orang lain.
"Ya, " sahut gadis yang dipanggil Suryani itu sambil
mengangguk. "Aku tadi ke sana bersama Ayah dan Paman Walung,"
kata Goradi, pelan se1i suaranya;, "Kau tahu kenapa
Rawani bisa sampai bunuh diri?"
"Mungkin dia tidak mau menikah, lalu bunuh diri, "
sahut Suryani seenaknya.
"Aku rasa bukan karena itu, Suryani. Aku yakin ada
sesuatu yang membuatnya gantung diri," bantah Goradi.
"Kakang.... Kau datang ke sini untuk bertemu denganku,
atau ingin menyelidiki kematian Rawani...?" rengek Suryani
langsung memberengut.
"Oh, maaf.... Tidak seharusnya aku membicarakan ini
padamu," ucap Goradi buru-buru.
Suryani hanya diam saja. Dan Goradi juga jadi terdiam.
Memang, kematian Rawani yang begitu menggemparkan
langsung mengubah suasana di Desa Haruling ini. Bahkan
sedikitnya, sudah mempengaruhi gadis-gadis desa itu.
Karena begitu banyak dugaan yang terlontar, tanpa
kenyataan yang jelas. Bukan hanya Paman Walung yang
menduga kalau Rawani diperkosa sebelum gantung diri.
Tapi, banyak orang yang menduga begitu. Dan ini
membuat mereka yang mempunyai anak gadis jadi merasa
cemas. Bahkan gadis-gadis di seluruh Desa Haruling ini
juga jadi dihinggapi perasaan cemas. Memang kabar
tentang adanya pemerkosa sudah tersebar begitu cepat.
2 Tiga hari sudah berlalu. Kini tidak ada lagi orang yang
membicarakan kematian Rawani yang begitu menyedihkan.
Bahkan sudah banyak orang yang melupakannya. Sehingga,
dugaan-dugaan kalau Rawani diperkosa sebelum gantung
diri pun sudah tidak lagi terdengar. Rasa takut dan
kecemasan yang semula menghinggapi gadis-gadis dan
orang-orang tua, kini sudah mulai berangsur hilang.
Sementara itu, malam kembali menyelimuti seluruh
Desa Haruling. Seperti pada malam-malam sebelumnya,
desa itu selalu sepi._ Tak terlihat seorang pun berada di luar
rumahnya. Begitu sunyinya, sehingga percakapan dari
sebuah rumah begitu jelas sekali terdengar sampai ke luar.
Padahal suara-suara itu sudah demikian perlahan.
Suara pembicaraan itu datang dari rumah Ki Manik,
yang tengah berbincang-bincang bersama istri dan anak
gadisnya yang berusia sekitar delapan belas tahun. Mereka
malam ini tidak bisa memejamkan mata, dan terus
berbincang-bincang di ruangan depan. Yang dibicarakan
adalah tentang lamaran untuk anak gadis mereka yang akan
berlangsung besok pagi.
"Kenapa begitu mendadak
kau tetapkan waktu melamarnya, Ki...?" terdengar suara Nyai Manik.
"Aku tidak ingin kejadian yang menimpa Rawani terjadi
pada Warni, anak kita," sahut Ki Manik.
"Ah! Ayah masih saja mengingat itu," selak Warni jadi
tersipu, dan pipinya langsung memerah.
"Aku hanya menjaga-jaga saja, Warni. Aku juga kan
menetapkan hari pernikahannya tidak terlalu lama, " kata
Ki Manik lagi. "Lagi pula, kau sudah cukup umur untuk
berumah tangga. Gadis seumurmu malah udah ada yang
punya anak dua."
"Terserah Ayah sajalah...," desah Warni, semakin
memerah wajahnya.
"Sudah malam. Sebaiknya, kau tidur saja. Besok
kesiangan," selak Nyi Manik.
"Aku ingin ke belakang dulu," pamit Warni.
"Mau apa ke belakang...?" tanya Nyi Manik.
"Aku tadi lupa mengambil air. Masih di perigi, " lalu
Warni seraya bergegas melangkah pergi ke belakang
meninggalkan kedua orang tuanya yang masih berada di
ruangan depan. Gadis itu bergegas membuka pintu belakang, dan terus
saja melangkah menuju ke perigi yang tidak seberapa jauh
dari rumahnya. Tapi ayunan langkah kaki gadis itu
mendadak saja terhenti, saat melihat seseorang berdiri di
dalam kegelapan, tidak jauh perigi.
"Siapa itu...?" tanya Waml sambil menyipitkan kelopak
matanya, mencoba melihat lebih jelas lagi.
"Aku...," sahut orang itu.
Suaranya terdengar lembut sekali, dan mengandung
suatu getaran nada aneh! Sementara Warni terus mencoba
melihat lebih Jelas lagi. Tapi, mendadak saja gadis itu
tersentak kaget begitu melihat sepasang bulatan merah
memancar seperti bola api. Dan belum juga keterkejutannya
hilang, tiba-tiba saja sepasang bola merah itu meluncur
deras ke arah Warni sebelum bisa melakukan sesuatu.
"Ah...!" Wami jadi terpekik tertahan.
Tepat ketika sepasang bola berwarna merah sebesar mata
kucing itu menghantam mata gadis itu, maka seketika itu
juga Warni berdiri terpaku seperti patung. Saat itu juga,
sinar matanya jadi hilang. Pandangannya pun begitu
kosong seperti tidak memiliki cahaya kehidupan lagi.
"Kemarilah, Manis.... Kau pasti sudah tidak sabar lagi
menungguku, " terdengar bisikan lembut di telinga Warni.
Perlahan-lahan gadis itu melangkah menghampiri sosok
tubuh tinggi tegap yang berdiri tegak di bawah pohon, tidak
jauh dari perigi. Namun belum juga Warni melangkah jauh,
tiba-tiba saja dari balik pintu belakang rumah muncul Ki
Manik bersama Istrinya.
"Warni...!" panggil Ki Manik.
Warni langsung berhenti melangkah, namun tidak
berbalik sedikit pun juga. Sementara, Ki Manik sudah
bergegas menghampiri anak gadisnya ini. Laki-laki tua itu
jadi terpaku, begitu melihat ada orang yang berdiri tegak di
bawah pohon dekat perigi.
"Siapa kau..."!" tegur Ki Manik.
"Aku Si Kumbang Bukit Lontar, " sahut orang yang tidak
kelihatan wajahnya itu, karena terlindungi kegelapan di
bawah pohon yang berdaun rimbun.
"Mau apa kau di situ?" tanya Ki Manik lagi.
"Hhh...! Aku paling tidak suka ada orang usil yang mau
tahu urusan orang!" dengus orang yang mengaku berjuluk si
Kumbang Bukit Lontar itu. "Kau patut menerima hadiah
atas keusilanmu, Orang Tua. Hih...!"
Bet! Wusss... ! "Heh... "!"
Ki Manik hanya mampu terbeliak saja, ketika tiba-tiba
saja si Kumbang Bukit Lontar mengebutkan tangannya
begitu cepat Dari balik lipatan lengan bajunya, seketika
meluncur sebuah benda kecil seperti batang ranting kering
berwarna kuning keemasan.
Benda kecil berwarna kuning keemasan itu meluncur
deras. Ki Manik hanya terbeliak, dan tak dapat
menghindarinya. Maka benda itu langsung menghantam
dada Ki Manik yang hanya bisa terlongong kaget, tak
mampu berbuat sesuatu. Apalagi menghindar.
Crab! "Aaakh...!" Ki Manik menjerit keras melengking.
"Ki...!" teriak Nyi Manik, begitu melihat suaminya
ambruk. Langsung ditubruknya Ki Manik, disertai
lolongannya yang menyayat.
"Mari kita cari tempat yang nyaman, manis...," ujar
Kumbang Bukit Lontar.
Orang yang masih belum juga kelihatan wajahnya itu,
tiba-tiba saja melesat cepat bagai kilat menyambar pinggang
Warni. Begitu cepat gerakannya sehingga dalam sekejap
saja sudah lenyap membawa gadis berusia delapan belas
tahun itu. Sementara Nyi Manik langsung pingsan begitu melihat
anak gadisnya dibawa kabur di depan matanya. Sedangkan
suaminya sudah menggelepar di tanah dengan sebuah
benda berbentuk paku bernama kuning keemasan menancap di dadanya.
*** Malam masih terus merayap semakin larut. Sementara
itu, tidak jauh dari perbatasan Desa Haruling sebelah
Selatan, tampak seorang laki-laki muda berusia sekitar tiga
puluh tahun berlari-lari cepat sambil memanggul sesosok
tubuh ramping di pundaknya. Larinya baru berhenti setelah
cukup jauh meninggalkan Desa Haruling.
Perlahan diturunkannya tubuh ramping yang ternyata
Warni. Sementara pemuda berbaju biru muda itu tersenyum
memandangi gadis yang tergolek di atas rerumputan itu.
Dengan lembut seka6, diusapnya wajah yang tampak cantik
di bawah siraman cahaya rembulan.
"Ohhh...," Wami merintih lirih sambil menggelenggelengkan kepala.
Perlahan gadis itu membuka kelopak matanya. Dan
bibirnya langsung tersenyum saat melihat seorang pemuda
berwajah cukup tampan berada dekat di atas -----cencored--- Tubuh Warni seketika mengejang kaku. Sementara
kedua bola matanya terbelalak lebar dengan mulut terbuka
menganga. Sedangkan si Kumbang Bukit Lontar juga
mengejang kaku, lalu mendesah panjang sambil menggelimpang ke samping dengan seluruh tubuh
bersimbah keringat. Tarikan napas mereka masih terdengar
keras memburu, seperti kuda yang baru saja berlari kencang
mendaki puncak gunung tinggi.
"Kau benar-benar gadis hebat, Manis. Aku yakin, kau
tidak akan bisa melupakan malam yang indah ini," bisik si
Kumbang Bukit Lontar seraya mengecup bibir gadis itu.
Kemudian pemuda itu bergegas mengenakan pakaiannya
kembali. Sebentar dipandanginya tubuh Warni yang masih
tergolek dengan mata terpejam tanpa mengenakan selembar
pakaian pun. Sambil menyunggingkan senyuman lebar
penuh kepuasan, pemuda itu segera melangkah meninggalkan Warni yang masih tergolek tanpa pakaian di
atas rerumputan.
Trek! Begitu pemuda yang menjuluki dirinya Si Kumbang
Bukit Lontar menjentikkan dua ujung jari tangan kanan,
cepat sekali tubuhnya melesat pergi. Begitu cepat


Pendekar Rajawali Sakti 70 Kembang Bukit Lontar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerakannya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah
lenyap tak berbekas. Seperti hilang begitu saja tertelan
bumi. Dan pada saat yang bersamaan, Warni mulai sadar
kembali. "Ohhh...," gadis itu merintih lirih sambil menggerakgerakkan kepalanya perlahan.
Dan perlahan pula, kelopak matanya mulai terbuka.
Lalu.... "Aaah... !"
Gadis itu langsung menangis begitu menyadari apa yang
telah terjadi terhadap dirinya. Cepat-cepat direnggutnya
pakaian yang teronggok di sampingnya, lalu bergegas
dikenakannya kembali. Sambil mengucurkan air mata,
Warni mencoba bangkit berdiri. Tapi mulutnya jadi
meringis, merasakan nyeri pada salah satu bagian
tubuhnya. Warni mengurut perutnya sambil meringis,
mencoba mengurangi rasa nyeri.
Sambil menahan rasa nyeri dan sakit yang amat sangat
pada bagian bawah perutnya, Warni mencoba berdiri. Dia
benar-benar terkejut begitu melihat darah membasahi
pahanya sampai ke betis. Kembali dia menjerit keras
melengking tinggi. Sedangkan air mata semakin banyak
bercucuran. Tidak dipedulikan lagi rasa nyeri yang menyerang bagian
bawah perutnya. Gadis itu terus berlari secepatnya
meninggalkan perbatasan sebelah Selatan Desa Haruling.
Tidak dipedulikan lagi keadaan malam yang begitu gelap
dan sunyi. Warni terus berlari sambil menangis dan
merintih, merasakan sakit yang amat sangat pada bagian
bawah perutnya.
Kegemparan kembali melanda seluruh penduduk Desa
Haruling. Mereka mendapati Warni tergeletak tak
bernyawa lagi di depan rumahnya. Bahkan Ki Manik juga
didapati tewas dengan sebuah paku emas tertancap di dada.
Sedangkan Nyi Manik tergolek pingsan di depan pintu
belakang rumahnya.
Tapi yang membuat semua penduduk desa itu gempar
adalah keadaan Warni yang begitu mengenaskan! Sebilah
golok tertancap di dadanya. Dan dari sela-sela pahanya,
terdapat darah yang sudah mengering. Peristiwa ini bukan
hanya membuat seluruh penduduk Desa Haruling marah,
tapi juga cemas kalau mengingat keadaan Warni yang
begitu mengenaskan.
Maka peristiwa yang menimpa Rawani kembali
terbayang di mata mereka.
"Sudah jelas sekarang. Ada orang gila berdarah dingin
yang masuk ke desa ini," desis Paman Walung geram.
Sejak semula Paman Walung memang sudah menduga,
kalau kematian Rawani bukan bunuh diri biasa. Dan
dugaannya itu kini semakin diperkuat oleh kematian Warni
dan ayahnya. Terlebih lagi, keadaan Warni yang sudah
jelas diperkosa sebelum nyawanya melayang di ujung golok
yang tertanam di dadanya.
Tapi kali ini tidak jelas, apakah Warni mati bunuh diri
atau dibunuh setelah diperkosa.
Paman Walung memandangi Nyi Manik yang masih
menangis sesenggukan ditemani dua orang wanita separuh
baya yang menjadi tetangga dekatnya. Sedangkan di
samping Paman Walung, berdiri Ki Rampik dan Goradi.
Mereka semua terdiam, menunggu sampai Nyi Manik
tenang dan bisa ditanyai. Karena memang, hanya
perempuan separuh baya itulah yang melihat semua
peristiwa berdarah pada keluarganya ini.
"Bisa kau kenali, siapa orang yang melakukan ini, Nyi?"
tanya Paman Walung setelah melihat Nyi Manik kelihatan
agak tenang Nyi Manik belum bisa menjawab. Dia masih senggukan
dan terus menghapus air matanya yang tidak mau berhenti
mengucur. Sedangkan Paman Walung harus sabar,
menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi. Kembali tidak
ada yang berbicara. Nyi Manik masih terisak sesenggukan.
Tampaknya memang sulit sekali bagi wanita separuh baya
itu untuk bisa bicara. Terlebih lagi menjawab pertanyaan
Paman Walung tadi.
"Nyi..., " lembut sekali suara Paman Walung. "Kau bisa
mengenali, siapa orang yang melakukan perbuatan keji
ini...?" "Aku..., aku tidak jelas melihatnya...," sahut Nyi Manik
di sela isak tangisnya.
"Apakah dia sempat menyebut namanya, Nyi?" selak Ki
Rampik bertanya buru-buru.
"Si... si Kumbang Bukit Lontar," sahut Nyi Manik
terbata-bata. "Kumbang Bukit Lontar...," desis Paman Walung seraya
memutar tubuhnya berbalik.
Tidak ada lagi yang berbicara. Sementara, Nyi Manik
kembali menangis sesenggukan di dalam pelukan seorang
wanita separuh baya bertubuh gemuk.
Perlahan Paman Walung melangkah keluar dari kamarr,
diikuti Ki Rampik dan Goradi. Mereka terus berjalan tanpa
berbicara lagi keluar dari rumah ini. Masih banyak orang
yang merubung seperti semut di dalam dan luar rumah ini.
Padahal, mayat Ki Manik dan Warni sudah sejak tadi
dikuburkan. Paman Walung, Ki Rampik, dan putranya terus
melangkah meninggalkan rumah itu Mereka berjalan
perlahan-lahan tanpa berbicara sedikit pun juga. Tak da
seorang pun dari para penduduk yang berpapasan menegur
mereka. Memang, semua orang di Desa Haruling ini sedang
diliputi perasaan marah dan cemas terhadap peristiwa
menggemparkan yang belum pernah terjadi selama ini.
"Kau tahu, siapa si Kumbang Bukit Lontar itu, Paman
Walung?" tanya Ki Rampik setelah cukup lama terdiam,
dan cukup jauh meninggalkan rumah Ki Manik.
"Aku tidak tahu, Ki. Tapi aku tahu, di mana letaknya
Bukit Lontar, tt sahut Paman Walung.
"Jauh dari sini?" tanya Ki Rampik lagi.
"Tiga hari perjalanan dengan berkuda," sahut Paman
Walung. Ki Rampik mengangguk-anggukkan kepala. Jarak yang
cukup jauh untuk ditempuh, jika harus memakan waktu
tiga hari dengan berkuda Dia memang percaya kalau
Paman Walung tahu tentang letaknya Bukit Lontar. Karena
sebelum menetap di desa kelahirannya ini, Paman Walung
merupakan seorang tokoh persilatan yang sering pergi
mengembara Dan sudah tentu tidak sedikit tempat-tempat
yang didatanginya. Jadi tidak aneh lagi kalau laki-laki.
separuh baya itu tahu letak Bukit Lontar.
"Apa di Bukit Lontar ada desanya, Paman?" selak
Goradi bertanya.
"Bukit Lontar tidak seperti bukit-bukit lainnya. Bukit itu
cukup tandus dan berbatu. Jadi, tidak ada satu desa pun
yang berdiri di sana. Bahkan tak ada satu desa pun di
sekitarnya. Hanya ada satu desa saja, tapi juga Jauh dari
Bukit Lontar. Letaknya juga di seberang sungai yang
membatasi bukit itu dengan daerah lain yang subur," jelas
Paman Walung. "Desa itu bukan desa sembarangan. Dan
sebenarnya desa itu merupakan sebuah padepokan besar,
sehingga berkembang menjadi sebuah desa. Semua
penduduknya, baik laki-laki maupun perempuan, menguasai ilmu olah kanuragan yang beraneka ragam
tingkatannya. Dan desa itu dikenal bernama Desa Lontar
walaupun tidak ada hubungannya sama sekali dengan Bukit
Lontar. Mungkin juga karena letaknya yang terdekat
dengan Bukit Lontar, sehingga dinamai Desa Lontar"
"Apa tidak mungkin manusia iblis si Kumbang Bukit
Lontar berasal dari sana, Paman... ?" tanya Goradi
menduga. "Aku rasa tidak, Goradi. Tapi aku tahu betul watakwatak seluruh penduduk Desa Lontar. Tidak ada seorang
pun yang berwatak jahat Bahkan desa itu begitu banyak
melahirkan pendekar-pendekar mulia yang tangguh dan
berkepandaian tinggi. Jadi, rasanya memang tidak mungkin
kalau si Kumbang Bukit Lontar berasal dari sana," bantah
Paman Walung. "Tapi julukannya menggunakan nama Bukit Lontar,
Paman," selak Goradi lagi.
"Benar, Paman Walung," sambung Ki Rampik.
"Seseorang
biasanya menggunakan julukan dengan mengikutsertakan tempat asalnya. Aku rasa ada baiknya
juga jika ditanyakan ke. sana, apakah ada salah seorang
penduduk desa itu yang berbuat jahat, dan lari dari sana.
Lalu, dia membuat kerusuhan di luar desanya dengan
menggunakan nama Bukit Lontar."
"Hm.... Tampaknya aku memang harus menyelidiki hal
ini," gumam Paman Walung, seakan bicara pada diri
sendiri. "Siapa pun orangnya, perbuatan ini tidak bisa didiamkan
begitu saja. Harus dicari penyelesaian secepatnya, Paman
Walung," tegas Ki Rampik.
"Hm.... Tampaknya ini satu tantangan pertama setelah
aku kembali ke desa ini," lagi-lagi Paman Walung
menggumam perlahan, seperti untuk diri sendiri.
Tak ada lagi yang bicara. Mereka terus melangkah
menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah Desa
Haruling ini seperti menjadi dua bagian. Goradi
menghentikan langkahnya setelah sampai di sebuah kedai
yang tampak sunyi. Sebentar ditatapnya ke arah kedai itu,
lalu pandangannya dialihkan pada Ki Rampik dan Paman
Walung. Tanpa bicara apa pun juga, Ki Rampik dan Paman
Walung terus saja melanjutkan perjalanannya. Sedangkan
Goradi tetap berdiri diam di depan kedai itu. Dan dia baru
melangkah masuk ke dalam kedai setelah ayah dan
pamannya cukup jauh meninggalkannya.
Hanya ada dua orang saja di dalam kedai itu yang
menempati satu meja. Seorang pemuda berwajah tampan
dan seorang gadis cantik. Di punggung mereka masingmasing tampak tersandang pedang bergagang kepala burung
dan kepala naga berwarna hitam.
Tapi Goradi tidak mempedulikannya, dan terus saja
mengambil tempat di dekat jendela. Seorang gadis cantik
menghampiri sambil membawa baki berisi dua buah gelas
dan seguci arak serta beberapa makanan kecil. Gadis itu
langsung duduk di seberang meja yang ditempati Goradi,
tanpa berbicara lagi. Dan memang, tak ada yang berbicara.
Sehingga, suasana di kedai ini begitu sunyi.
*** 3 "Kenapa kau diam saja, Kakang?" tegur Suryani lembut,
seraya mengambil tangan Goradi dan menggenggamnya
erat-erat. "Hhh...!" Goradi hanya mendesah panjang.
Perlahan sekali pemuda itu melepaskan genggaman
tangan Suryani. Sebentar ditatapnya dua orang pengunjung
kedai Ki Arung ini. Hanya sepasang pengunjung itu saja
yang ada di kedai ini, selain Goradi.
Dan tampaknya, mereka sepasang pendekar muda. Ini
bisa dilihat dari pedang yang tersandang di punggung
masing-masing. "Sudah lama mereka di sini?" tanya Goradi tanpa
mengalihkan pandangan dari sepasang anak muda itu.
"Sejak tadi pagi," sahut Suryani sambil melirik ke arah
pengunjung kedai ayahnya ini.
"Mereka datang dari mana?" tanya Goradi menyelidik.
"Aku tidak tahu. Kedai ini bebas untuk siapa saja yang
datang," sahut Suryani. "Kenapa kau tanyakan itu,
Kakang...?"
"Kau tahu Suryani. Sejak terjadi pemerkosaan dan
pembunuhan di sini, aku harus selalu mencurigai siapa saja
yang datang ke desa ini. Terutama, mereka yang membawa
senjata," terdengar pelan dan agak ditekan nada suara
Goradi. Dan matanya kembali melirik pada dua orang yang
duduk tidak jauh dan tempatnya.
"Tapi kelihatannya mereka orang baik-baik, Kakang,"
sanggah Suryani.
"Aku akan mengawasinya terus," desis Goradi
"Ka kang... ," jelas sekali kalau nada suara Suryani
terdengar begitu khawatir.
"Jangan cemas, Suryani," bisik Goradi menenangkan.
"Aku khawatir akan terjadi sesuatu padamu, " Suryani
tidak bisa lagi menyembunyikan kecemasannya.
"Tidak akan terjadi apa-apa pada diriku, Suryani. "Aku
hanya merasa bertanggung jawab atas keselamatan seluruh
warga desa ini. Kau harus bisa mengerti kedudukan ku di
sini, Suryani. Aku tidak bisa berpangku tangan saja
terhadap peristiwa-peristiwa keji yang terjadi di depan
mataku, " tegas Goradi.
"Aku mengerti, Kakang. Hati-hatilah..., jaga dirimu,"
ujar Suryani. Goradi hanya tersenyum saja. Kemudian diambilnya
tangan gadis itu, dan digenggamnya erat-erat, penuh
kehangatan cinta. Tidak ada lagi yang bicara.
Mereka hanya saling pandang, saling bergenggaman
tangan erat, dan saling meremas. Hangat sekali. Serasa
cinta mereka semakin berkobar saat ini, bagai api yang
sudah begitu lama terpendam dalam sekam. Sepertinya
tidak ada lagi yang dapat memisahkan mereka.
"Kedai ini sepi. Kau pasti punya waktu untukku,
Suryani," ujarr Goradi.
"Maksudmu...?" Suryani tidak mengerti.
"Aku ingin mengajakmu jalan-jalan," bisik Goradi. "Kau


Pendekar Rajawali Sakti 70 Kembang Bukit Lontar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau.... ?"
"Aku izin pada ayah dulu, ya?"
Goradi mengangguk. Sedangkan Suryani belakang
bergegas bangkit dan melangkah cepat-cepat ke belakang
kedai ini. Sementara, Goradi menunggu sambil terus
mengamati sepasang pengunjung kedai Ki Arung ini.
Hanya dua meja saja yang membatasi mereka. Dan kini
Suryani muncul lagi. Wajahnya tampak begitu cerah.
"Bagaimana?" tanya Goradi langsung, seraya bangkit
berdiri. "Tapi jangan sampai malam," sahut Suryani.
"Sebelum matahari tenggelam, aku akan mengan
tarkanmu pulang," janji Goradi
Sambil bergandengan tangan, mereka kemudian melangkah meninggalkan kedai itu. Tanpa disadari
kepergian mereka terus diawasi sepasang bola mata tua dari
balik pintu yang membatasi ruangan depan kedai ini dengan
ruangan belakang. Dia adalah seorang laki-laki tua
bertubuh agak bungkuk. Laki-laki tua itu baru muncul dari
balik pintu, setelah Goradi dan Suryani tidak terlihat lagi
dari kedai ini. Bergegas dihampirinya dua orang
pengunjung kedainya, saat melihat pemuda berbaju rompi
putih itu melambaikan tangan memanggil.
"Ki, apa ada rumah penginapan di desa ini?" tanya
pemuda berwajah tampan itu sopan.
Selain kedai, di sini juga menyediakan kamar untuk
bermalam, Den. Tidak ada lagi tempat bermalam di desa
ini, selain di rumah ku, " sahut laki-laki tua yang dikenal
bernama Ki Arung itu.
"Kalau begitu, siapkan dua kamar Ki," pinta pemuda itu
lagi. "Dua kamar..." P" kening Ki Arung jadi berkerut.
"Benar, KI. Satu untukku, dan satu lagi untuk adikku ini,
sahut pemuda itu.
"Ooo... "
Ki Arung mengangguk-anggukkan kepala. Sedangkan
pemuda tampan berbaju putih itu hanya tersenyum saja,
sambil melirik pada gadis cantik berbaju biru muda yang
duduk di depannya. Gadis itu juga tersenyum, dengan
wajah tertunduk agak memerah.
"Sebentar, Den. Aku siapkan dulu kamar untuk kalian,"
kata Ki Arung. Bergegas laki-laki tua itu meninggalkan tamunya ini. Dia
kembali masuk ke bagian belakang dari kedai yang cukup
besar ini. Sedangkan sepasang anak muda itu hanya saling
melempar pandangan dan tersenyum saja melihat KI Arung
terkejut oleh penjelasan tadi.
*** Waktu terasa begitu cepat berjalan. Siang pun telah
berganti malam. Dan suasana di Desa Haruling ini terasa
begitu sunyi, hingga hanya suara binatang malam saja yang
terdengar mengusik kesunyian malam.
Di dalam salah satu kamar di rumah penginapan milik
Ki Arung, tampak pemuda tampan berbaju rompi putih itu
tengah berdiri mematung di depan jendela yang dibiarkan
terbuka lebar. Pandangannya tidak berkedip, merayapi jalan
desa yang tampak lengang dan sunyi sekali. Tak ada
seorang pun yang terlihat di sepanjang jalan itu. Bahkan
semua rumah yang berdiri di desa ini, hanya menyalakan
satu pelita saja pada beranda depannya.
"Hm.... Sunyi sekali desa ini kalau malam hari," gumam
pemuda itu perlahan, bicara pada diri sendiri.
Kembali matanya merayapi keadaan sekitarnya yang
masih tetap begitu sunyi. Perlahan jendelanya ditutup. Tapi
belum juga jendela itu tertutup sempurna, mendadak saja
keningnya jadi berkerut Dan dia jadi tertegun beberapa saat.
Kesunyian yang terjadi begitu terasa sehingga suara sekecil
apa pun dapat terdengar jelas sekali.
"Seperti ada suara langkah," gumam pemuda itu dalam
hati. "Hm.... Ringan sekali, dan dekat di sini...." Perlahanlahan pemuda berbaju rompi putih itu kembali membuka
jendela. Pandangannya langsung beredar ke sekitarnya. Tak
ada seorang pun yang terlihat. Tapi, suara langkah kaki itu
masih jelas sekali terdengar, walaupun begitu ringan dan
halus. "Hm.... Suara itu datang dari arah belakang rumah ini.
Coba akan kulihat. ..," gumam pemuda itu lagi dalam hati.
Begitu ringan gerakan pemuda itu saat melompat keluar
melalui jendela kamar penginapan ini. Dan begitu ujung jari
kakinya menyentuh tanah, kembali tubuhnya melenting
ringan sekali, seperti sehelai daun kering yang tertiup angin.
Hanya sekali lesat saja, kakinya sudah bisa hinggap di atas
atap rumah berukuran cukup besar ini. Tak ada suara
sedikit pun yang ditimbulkan, saat kakinya menjejak atap.
"Hm.... "
Cepat-cepat pemuda itu merapatkan tubuhnya ke atap,
ketika melihat seseorang bergerak perlahan dan ringan
sekali mendekati sebuah jendela kamar yang tampak cukup
terang oleh nyala api lampu pelita.
Dengan telinga terpasang tajam dan tanpa berkedip,
terus diamatinya sesuatu yang begitu mencurigakan.
"Bukalah jendela kamarmu, Putriku Manis...."
Terdengar suara yang begitu halus dan lembut, terbawa
hembusan angin malam. Tampak jelas di dalam kegelapan
malam yang menyelimuti seluruh Desa Haruling ini, sosok
tinggi tegap. Wajahnya cukup tampan. Dia berdiri tegak
sekitar lima langkah lagi di depan jendela kamar yang
tampak terang itu.
Perlahan-lahan tangan kanannya menjulur. Seluruh jarijari tangannya terkembang terbuka lebar.
Tampak dari jari-jari tangan itu memancarkan cahaya
yang begitu halus, sehingga hampir tak terlihat cahaya tipis
yang sangat halus itu sebentar kemudian langsung
menghantam daun jendela. Tampak Perlahan-lahan,
jendela itu terbuka sendiri sampai lebar.
"Kau pasti sudah tidak sabar lagi menemuiku, Manis.
Aku segera datang untuk memberi kebahagiaan padamu
malam ini," ujar pemuda itu lagi. Suaranya masih tetap
pelan dan lembut sekali.
Perlahan-lahan kakinya terayun mendekati jendela itu.
Tepat ketika itu, seorang gadis berwajah cantik muncul dari
jendela. Gadis itu yang tak lain adalah Suryani dan satusatunya putri Ki Arung mengulurkan tangannya. Disambutnya uluran tangan pemuda yang berdiri di depan
jendela kamarnya.
"Hup...!"
Dengan sekali sentak saja, pemuda itu berhasil menarik
keluar gadis berbaju merah muda dan agak longgar itu.
Sebentar mereka berdiri saling berpandangan. Kedua
tangan mereka berpegangan erat. Tak ada seorang pun yang
menyadari kalau semua itu disaksikan sepasang mata yang
tersembunyi di atas atap.
"Mari, akan kutunjukkan suatu tempat yang indah. Kau
pasti akan menyukai dan tidak akan melupakannya seumur
hidupmu," kata pemuda itu lagi. "Kau tidak akan pernah
lagi melupakan Si Kumbang Bukit Lontar Manisku. ... "
Suryani tidak berkata apa-apa sedikit pun. Diikutinya
saja ketika pemuda yang mengaku bernama si Kumbang
Bukit Lontar itu membawanya pergi. Mereka terus berjalan
sambil bergandengan tangan begitu mesra, seperti sepasang
kekasih yang hendak memadu cinta. Sementara itu di atas
atap, pemuda berbaju rompi putih terus mengamati mereka
pergi. "Hm.... Aku tahu kalau gadis itu putri Ki Arung, pemilik
kedai dan rumah penginapan ini. Tapi, siapa laki-laki yang
mengajaknya pergi itu" Aku tidak mengenalnya sama
sekali. Kalau memang dia kekasihnya, mengapa harus
memanggil Suryani seperti itu. Kenapa mesti lewat jendela"
Rasanya benar-benar mencurigakan! Hm.... Aku merasa
ada kelainan pada diri Suryani. Akan kuikuti mereka,"
gumam pemuda tampan berbaju rompi putih itu, berbicara
sendiri dalam hati.
Sebentar diamatinya keadaan sekitarnya yang masih
tetap kelihatan begitu sunyi. Tak ada seorang pun yang
terlihat lagi. Sementara itu, Suryani dan si Kumbang Bukit
Lontar sudah jauh pergi. Dan mereka menembus
pepohonan yang cukup lebat, hingga tak terlihat lagi dan
rumah penginapan Ki Arung ini
"Hup...! "
Dengan gerakan cepat dan ringan sekali, pemuda berbaju
rompi putih itu melompat ke arah Suryani yang pergi
mengikuti si Kumbang Bukit Lontar. Begitu cepat dan
ringan gerakannya. Jelas, ilmu meringankan tubuhnya
sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Bahkan tak ada sedikit
pun suara yang ditimbulkannya. Hingga dalam waktu
sebentar saja, dia sudah kembali bisa melihat Suryani yang
mengikuti perginya si Kumbang Bukit Lontar.
*** Sementara itu, Suryani dan si Kumbang Bukit lontar
sudah sampai di pinggir hutan yang berbatasan dengan
Desa Haruling. Mereka berhenti di depan buah pondok
kecil Sebentar mereka memandangi pondok itu. Si
Kumbang Bukit Lontar kemudian membuka pintunya, dan
mengajak Suryani masuk ke dalam pondok itu. Tiga buah
pelita yang berada di dalam pondok membuat keadaan
menjadi terang benderang.
"Kita akan melewati malam yang indah ini bersamasama, Manis. Aku akan membawamu ke alam yang sangat
indah dan tak akan bisa terlupa kan, " bisik Si Kumbang
Bukit Lontar lembut sekali di telinga Suryani.
Sedangkan gadis itu hanya diam saja membisu. Bahkan
sama sekali tidak menolak saat pemuda bertubuh tinggi
tegap itu membawanya ke pembaringan.
Suryani masih tetap diam tak menolak saat tubuhnya
perlahan-lahan dibaringkan di atas tempat tidur bambu ini.
"Ohhh.... "
Suryani menggumam lirih saat bibir si Kumbang Bukit
Lontar melumat bibirnya yang memerah dan begitu ranum.
Mulutnya hanya bisa menggumam dan merintih perlahan.
Tubuhnya menggeliat, merasakan jari-jari tangan si
Kumbang Bukit Lontar yang mulai menggerayang dan
menjelajahi tubuhnya.
"Ohhh.... "
Suryani kembali menggeliat dan merintih lirih, begitu
merasakan jari-jari tangan si Kumbang Bukit Lontar mulai
melepaskan pakaiannya. Gadis itu benar-benar seperti
berada di alam mimpi. Sama sekali tidak disadari kalau
pemuda yang melepaskan seluruh pakaiannya ini tidak
dikenalnya. Bahkan sama sekali tidak menolak. Seperti ada
suatu kekuatan yang menguasai seluruh tubuh dan jiwanya.
Sehingga, yang ada hanya sebuah rangsangan yang
membangkitkan gairah.
Suryani hanya bisa menggeliat, dan merintih lirih sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Kedua kelopak matanya
langsung terpejam begitu merasakan adanya beban berat
yang menghimpit tubuhnya. Tapi mendadak saja....
Brak! "Heh... "!"
Si Kumbang Bukit Lontar jadi terperanjat setengah mati
begitu tiba-tiba saja pintu pondok itu terdobrak dari luar.
Cepat dia melompat dari atas tubuh Suryani yang masih
tergolek di pembaringan bambu itu. Cepat-cepat pula
pakaiannya dikenakan kembali. Si Kumbang Bukit Lontar
jadi menggeram begitu melihat di ambang pintu berdiri
seorang pemuda bertubuh tinggi tegap. Wajahnya yang
tampan, dan mengenakan baju rompi putih.
"Biadab...! Apa yang kau lakukan pada gadis itu,
heh..."!" desis pemuda berbaju rompi putih itu menggeram.
"Siapa kau"!" tanya si Kumbang Bukit Lontar
mendengus. "Aku Rangga, " sahut pemuda berbaju rompi putih itu.
"Berani kau mencampuri urusanku! Mampus kau!
Hiyaaa...! "
Si Kumbang Bukit Lontar tidak bisa menahan
kemarahannya lagi. Bagaikan kilat, tubuhnya melompat
cepat menerjang pemuda berbaju rompi putih itu.
Beberapa pukulan keras menggeledek, langsung dilepaskan secara beruntun.
"Uts!"
Tapi dengan gerakan meliuk-liuk indah, pemuda berbaju
rompi putih itu yang ternyata Rangga itu berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti itu berhasil menghindari semua serangan
yang dilancarkan si Kumbang Bukit Lontar. Bahkan tanpa
diduga sama sekali tiba-tiba saja tangannya mengebut ke
depan, memberi satu sodokan yang begitu cepat bagai kilat.
Sehingga, tidak ada lagi kesempatan bagi si Kumbang Bukit
Lontar untuk menghindarinya.
Desss! "Hugkh...! "
Brak...! Dinding pondok yang terbuat dari belahan kayu itu
seketika hancur terlanda tubuh Si Kumbang Bukit Lontar
yang tinggi besar dan kekar itu. Pada saat yang bersamaan,


Pendekar Rajawali Sakti 70 Kembang Bukit Lontar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Rajawali Sakti melenting keluar. Diterjangnya
atap pondok ini, mengejar Si Kumbang Bukit Lontar yang
tadi hampir saja menodai Suryani putri tunggal Ki Arung.
"Hiyaaa. .. ! "
Jlegk! Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya di tanah,
sekitar enam langkah lagi di depan Kumbang Bukit Lontar.
Namun belum juga bisa melakukan sesuatu, tiba-tiba saja
tangan kanan si Kumbang Bukit Lontar bergerak cepat
mengibas ke depan
"Yeaaah...!"
Slap! "Uts! Haaait...!"
Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat
melenting berputaran ke udara. Sehingga, beberapa benda
kecil panjang berwarna kuning keemasan yang melesat
cepat dari balik lengan baju si Kumbang Bukit Lontar itu
bisa dihindari. Tapi begitu kakinya kembali menjejak tanah,
laki-laki muda yang mengaku bernama si Kumbang Bukit
Lontar itu sudah tidak terlihat lagi.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling, mencari si Kumbang Bukit
Lontar. Lalu, bergegas masuk kembali ke dalam pondok
kecil di pinggiran hutan ini. Tampak Suryani masih tetap
tergolek tak sadarkan diri, dalam keadaan tubuh polos
tanpa pakaian selembar pun. Tanpa banyak bicara lagi,
Rangga cepat-cepat menyambar tubuh Suryani dan
membawanya pergi dari pondok kecil itu.
Hanya sekali lompatan saja, Rangga sudah tidak terlihat
lagi. Tubuhnya telah lenyap ditelan gelapnya malam yang
begitu pekat, tanpa cahaya bulan sedikit pun. Dan memang
malam ini awan begitu tebal menggantung di angkasa.
Sehingga sinar sang rembulan yang keperakan terhalang
untuk menerangi mayapada ini.
Tepat ketika itu, dari balik sebatang pohon yang cukup
besar keluar seorang pemuda berwajah cukup tampan. Dia
yang selalu menamakan dirinya si Kumbang Bukit Lontar
itu berdiri tegak memandang ke arah pemuda berbaju rompi
putih tadi menghilang bersama Suryani.
"Hm..., tangguh sekali dia. Siapa dia sebenarnya..."
Kenapa ada di Desa Haruling ini...?" gumam Si Kumbang
Bukit Lontar bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Pemuda itu masih tetap berdiri tegak, dengan pandangan
lurus ke depan tak berkedip sedikit pun. Cukup lama juga si
Kumbang Bukit Lontar berdiri tegak mematung. Kemudian, perlahan-lahan kakinya terayun melangkah
menuju ke Desa Haruling kembali. Tampak sekali kalau
pikirannya masih digayuti tentang pemuda berbaju rompi
putih yang baru saja menggagalkan perbuatannya menodai
Suryani. "Dia Pasti menginap di rumah Ki Arung. Hhh.... Dia
tidak boleh lama-lama tinggal di sini. Aku harus mencari
jalan untuk mengusirnya, " kembali si Kumbang Bukit
Lontar menggumam perlahan, bicara pada diri sendiri.
Kaki si Kumbang Bukit Lontar terus terayun melangkah
perlahan. Pandangannya tetap lurus tak berkedip ke depan.
Sementara, malam terus merayap semakin bertambah larut.
Dan pemuda itu terus melangkah perlahan-lahan,
mendekati Desa Haruling yang masih tampak sunyi, bagai
tak berpenghuni.
*** 4 Pendekar Rajawali Sakti bergegas melangkah, begitu
seorang gadis cantik berbaju biru muda agak ketat keluar
dari kamar Suryani. Di balik punggung gadis itu tersembul
sebilah pedang bergagang kepala naga, berwarna hitam.
Tampak di balik ikat pinggangnya yang berwarna kuning
keemasan, terselip sebuah kipas berwarna putih keperakan
"Bagaimana keadaannya, Pandan?" tanya Rangga
langsung. "Masih lemah, dan belum bisa diajak bicara," sahut gadis
berbaju biru yang dipanggil Pandan itu.
Dia memang Pandan Wangi. Dalam rimba persilatan
gadis itu lebih dikenal sebagai si Kipas Maut.
"Aku harap tidak terlambat menolongnya...," desah
Rangga. "Kau cepat bertindak, Kakang. Dia belum sempat
ternoda," ujar Pandan Wangi memberi tahu.
"Ohhh...," Rangga mendesah lega.
Pada saat itu muncul Ki Arung dari dalam kamar
tidurnya. Laki-laki tua itu bergegas menghampiri Rangga
dan Pandan Wangi yang masih berdiri tidak jauh dari pintu
kamar Suryani. Sebentar Ki Arung menatap kedua
pendekar muda itu, lalu melangkah melewatinya tanpa
bicara sedikit pun juga. Rangga dan Pandan Wangi saling
berpandangan sejenak, kemudian bergegas mengikuti lakilaki tua itu. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan yang berukuran
cukup besar. Kemudian, mereka sama-sama duduk
melingkari sebuah meja bundar berukuran cukup besar.
Alas meja itu terbuat dari batu pualam putih yang berkilat.
Sebuah lampu pelita yang tergantung tepat di bagian tengah
atas meja, cukup menerangi seluruh sudut ruangan ini.
"Aku tidak tahu, harus mengatakan apa untuk berterima
kasih padamu, Anak Muda. Kalau saja kau tidak
menyelamatkannya, tentu besok pagi anakku sudah jadi
mayat, seperti gadis-gadis lainnya," ujar Ki Arung seraya
menatap Rangga. Sinar matanya penuh dengan sejuta arti
yang begitu dalam.
"Gadis lain..."! Apa maksudmu dengan gadis lain, Ki...?"
selak Pandan Wangi, bertanya.
"Sudah dua orang gadis tewas setelah diperkosa. Untung
saja Suryani bisa kau selamatkan, Anak Muda. Sehingga,
dia tidak sampai menjadi korban ketiga," sahut Ki Arung
mencoba menjelaskan.
"Dia sempat menyebutkan namanya, Ki," kata Rangga
memberi tahu. "Kau melihat wajahnya, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Keadaan begitu gelap. Sulit untuk mengenalinya," sahut
Rangga. "Apakah dia menyebut julukannya sebagai si Kumbang
Bukit Lontar?" tanya Ki Arung menyelak.
"Benar, Ki," sahut Rangga.
"Ohhh.... Dialah yang juga membunuh Warni dan
ayahnya. Warni juga diperkosa sebelum tewas tertikam
golok di dadanya," desah Ki Arung lirih. Begitu pelan sekali
suaranya, sehingga hampir tak terdengar.
Rangga dan Pandan Wangi jadi saling berpandangan.
Sungguh tidak disangka kalau di Desa Haruling ini sedang
menghadapi seorang yang mencari gadis untuk diperkosa!
Dan sudah dua orang gadis yang menjadi korban. Baru saja
tadi, hampir Suryani menjadi korban ketiga. Untung saja
Pendekar Rajawali Sakti cepat datang menolong.
"Aku banyak kenal orang dari Desa Haruling. Rasanya,
tidak mungkin kalau salah satu dari mereka bisa melakukan
perbuatan sekeji ini," gumam Rangga perlahan, seakan
bicara pada diri sendiri.
"Memang hanya ada satu desa yang terdekat dengan
Bukit Lontar. Dan setahuku juga, tidak ada orang pun yang
bisa hidup di bukit gersang itu," sambung Pandan Wangi
yang juga tahu betul keadaan Bukit Lontar.
"Ada kalanya bagi kebanyakan orang, tidak mungkin
bisa hidup. Tapi ada juga yang mampu bertahan hidup,
meskipun di tempat yang sangat gersang. Aku yakin, dia
memang berasal dari Bukit Lontar," kata Rangga,
membantah pandangan yang dikemukakan Pandan Wangi.
"Hanya saja, untuk apa semua ini dilakukannya..." Dan
siapa dia sebenarnya?"
Tentu saja tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan
Pendekar Rajawali Sakti Mereka semua sekarang ini
memang belum tahu, siapa sebenarnya si Kumbang Bukit
Lontar itu. Terlebih lagi Rangga dan Pandan Wangi, yang
baru tahu keadaan di Desa Haruling malam ini. Dan itu
juga setelah Rangga menyelamatkan Suryani dari kerakusan
si Kumbang Bukit Lontar, yang bisa menghancurkan
seluruh hidup gadis itu.
Rangga jadi teringat seseorang yang perbuatannya persis
dengan si Kumbang Bukit Lontar. Dia berjuluk Durjana
Pemetik Bunga. Tapi bedanya, si Kumbang Bukit Lontar
menggunakan suatu ilmu yang membuat gadis korbannya
tidak sadar akan dirinya, dan menuruti semua keinginannya. Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, ilmu apa
yang digunakan si Kumbang Bukit Lontar. Sehingga gadisgadis yang dijadikan korbannya sama sekali tidak berdaya!
Bahkan tidak menyadari akan dirinya sendiri lagi, sehingga
begitu pasrah menyerahkan tubuh dan kehormatannya.
"Pandan, aku akan bicara padamu sebentar," kata
Rangga sambil bangkit berdiri.
Pandan Wangi menatap Ki Arung sejenak, kemudian
melangkah mengikuti Rangga yang sudah berjalan lebih
dahulu menjauhi Ki Arung yang masih tetap duduk di
kursinya. Kedua pendekar itu berhenti setelah berada di
dekat pintu, sehingga apa yang dibicarakan tidak mungkin
lagi bisa didengar laki-laki tua pemilik kedai dan rumah
penginapan di Desa Haruling itu.
"Ada apa...?" tanya Pandan Wangi setengah berbisik.
"Aku akan ke Desa Lontar. Kau tetap di sini sampai aku
kembali," kata Rangga juga berbisik pelan suaranya
"Berapa lama?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Besok aku sudah kembali," sahut Rangga Pandan
Wangi hanya mengangguk saja. Dia tahu, Rangga pasti
akan menggunakan Rajawali Putih. Seekor burung rajawali
raksasa yang menjadi tunggangan pemuda berbaju rompi
putih itu. Memang dengan menunggang Rajawali Putih,
jarak yang begitu jauh bisa ditempuh dalam waktu singkat.
Bahkan dari Desa Haruling ke Desa Lontar, seharusnya
ditempuh tiga hari perjalanan berkuda. Tapi jika
menunggang Rajawali Putih, bisa ditempuh hanya setengah
hari saja pulang pergi.
"Apa yang akan kau lakukan di sana?" tanya Pandan
Wangi lagi. "Aku hanya mencari keterangan. Barangkali saja ada
salah seorang dari penduduk desa itu yang mengenali Si
Kumbang Bukit Lontar," sahut Rangga
"Lalu?"
"Bisa lebih mudah mendapatkannya, kalau sudah tahu
siapa dia sebenarnya," jelas Rangga.
"Baiklah. Aku akan menunggumu di sini," ujar Pandan
Wangi. "Tapi kau harus hati-hati, Pandan. Aku tidak ingin kau
menjadi korbannya," seloroh Rangga.
"Aku bukan anak kecil lagi, Kakang!" rungut Pandan
Wangi. "Justru kau bukan anak kecil lagi, makanya aku
khawatir."
"Huuu...!" Pandan Wangi hanya mencibir saja.
*** Pandan Wangi berdiri tegak merayapi jalan yang tampak
cukup ramai dari jendela kamar Suryani. Sesekali kepalanya
berpaling, menoleh pada Suryani yang masih terbaring di
atas ranjangnya. Gadis itu masih kelihatan lemah, akibat
peristiwa yang dialaminya semalam. Si Kipas Maut itu
bergegas melangkah meninggalkan jendela, ketika terdengar
ketukan di pintu. Saat itu, Suryani juga sudah bangkit dan
duduk di tepi pembaringan.
Kening Pandan Wangi jadi berkerut, begitu membuka
pintu. Di depan pintu kamar ini berdiri seorang pemuda
yang cukup tampan dan gagah. Dia berbaju biru agak ketat,
sehingga membentuk tubuhnya yang ketat dan berotot. Dan
tampaknya, pemuda itu juga terkejut melihat Pandan
Wangi yang membuka pintu kamar ini.
"Siapa kau?" tanya Pandan Wangi curiga.
"Aku Goradi. Dan kau siapa...?" sahut pemuda itu
langsung balik bertanya lagi
"Pandan Wangi."
"Kenapa kau berada di kamar Suryani?" tanya Goradi
juga bernada curiga.
"Aku..."
Belum juga Pandan Wangi selesai menjawab pertanyaan
Goradi, Suryani sudah menyelak cepat.
"Masuklah, Kakang...."
Sebentar Pandan Wangi berpaling menatap Pandan
Wangi yang duduk di tepi pembaringan, kemudian
menggeser kakinya untuk memberi jalan Goradi masuk ke
dalam kamar ini. Bergegas Goradi menerobos masuk, dan
langsung menghampiri Suryani yang masih kelihatan letih,
dan sinar matanya begitu redup.
Sedangkan Pandan Wangi sudah kembali berdiri di
depan jendela, memandang ke luar.
"Siapa dia?" tanya Goradi berbisik pelan sambil melirik
Pandan Wangi. "Aku seperti pernah melihatnya."
"Dia Pandan Wangi. Kakaknya telah menyelamatkan
aku dari si Kumbang Bukit Lontar," jelas Suryani. "Kau
pasti sudah mengenalnya siang tadi di kedai Ayah."
Goradi mengangguk-anggukkan kepala.


Pendekar Rajawali Sakti 70 Kembang Bukit Lontar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang ke mana kakaknya itu?"
"Pergi. Aku tidak tahu ke mana. Tapi, katanya bentar
lagi juga kembali," sahut Suryani lagi.
Goradi terdiam lagi sambil mengangguk-anggukkan
kepala. Kembali matanya melirik Pandan Wangi yang
masih tetap berdiri di depan jendela, memandang ke luar. Si
Kipas Maut itu seperti tidak peduli kehadiran Goradi di
kamar ini. "Ayahmu tadi sudah bercerita banyak. Aku menyesal,
seharusnya tidak meninggalkanmu semalam," kata Goradi
lagi. "Aku mengerti, Kakang. Tugasmu lebih penting daripada
harus terus-menerus menjagaku, " kata Suryani lembut
Goradi menepuk punggung tangan gadis itu, kemudian
bangkit berdiri dan melangkah menghampiri Pandan
Wangi. Hanya sedikit saja si Kipas Maut itu melirik, saat
merasakan kalau Goradi sudah berada di dekatnya.
Kemudian perhatiannya kembali diarahkan ke jalan,
melalui jendela kamar yang sengaja dibuka lebar ini.
"Maaf. Tadi aku sempat kasar padamu, " ucap Goradio
"Lupakan saja," sambut Pandan Wangi seraya berpaling
menatap pemuda itu.
"Kalau boleh kutahu, kau dari mana?" tanya Goradi
ingin tahu. "Karang Setra," sahut Pandan Wangi.
"Karang Setra..." Di mana itu?"
"Jauh sekali dari sini."
"Lalu, ke mana tujuanmu?"
Pandan Wangi mengangkat bahu saja sebagai jawabannya. Kepergiannya bersama Rangga memang tidak
punya tujuan pasti. Memang, mereka adalah pendekarpendekar kelana yang selalu mengembara dari satu tempat
ke tempat lain. Tentu saja mereka berkelana sambil
menegakkan keadilan dan memberantas keangkaramurkaan. Dan itu semua memang lugas kaum
pendekar. "Aku akan mengucapkan terima kasih, karena kau telah
menyelamatkan Suryani dan tangan si Kumbang Bukit
Lontar," kata Goradi lagi.
"Bukan aku, tapi Kakang Rangga yang menyelamatkannya," sahut Pandan Wangi terus terang.
"Lalu, ke mana dia?"
Pandan Wangi tidak langsung menjawab. Kembali
dipandanginya pemuda ini dengan sinar mata yang sukar
diartikan. Goradi jadi salah tingkah sendiri, mendapat
tatapan mata yang begitu tajam dari gadis cantik ini.
"Maaf. Tidak seharusnya aku terlalu banyak bertanya,"
ucap Goradi buru-buru, untuk menutupi kecanggungannya.
Pandan Wangi melirik sedikit pada Suryani, kemudian
melangkah menjauhi jendela itu. Sebentar langkahnya
dihentikan di depan pintu kamar yang masih tetap
dibiarkan terbuka lebar. Pandan Wangi menatap Suryani
sebentar, lalu beralih memandang Goradi yang masih
berdiri membelakangi jendela.
"Kau tentu ingin bicara berdua. Aku ada di kedai kalau
dibutuhkan," kata Pandan Wangi pada Suryani.
Setelah berkata begitu, gadis berbaju biru yang dijuluki si
Kipas Maut itu langsung melangkah keluar dari kamar ini.
Ditutupnya pintu rapat-rapat, dan ditinggalkannya Suryani
dan Goradi berdua saja di dalam kamar.
"Angkuh sekali sikapnya...," dengus Goradi.
"Aku kira tidak, Kakang. Mungkin kau belum
mengenalnya. Dia baik dan lembut sekali. Seperti bukan
seorang pendekar," bantah Suryani.
Goradi tidak berkata apa-apa lagi. Kakinya lalu
melangkah menghampiri gadis itu, dan duduk di
sampingnya. Tak ada lagi yang terdengar dari kamar itu.
Keadaan begitu hening, seakan-akan tak ada seorang pun
yang tinggal di rumah penginapan ini.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah berada di dalam
kedai. Dan dia menunggu Rangga kembali dari Desa
Lontar di kedai ini, ditemani Ki Arung.
*** Saat matahari hampir tenggelam, Rangga baru kembali
ke kedai Kl Arung. Laki-laki tua pemilik kedai itu langsung
menyambutnya, dan menyediakan seguci arak manis
Pandan Wangi pun segera menemani, duduk di seberang
meja. Tak ada orang lain lagi di dalam kedai ini. Sementara
di luar sana, keadaan sudah begitu meremang. Sebentar lagi
malam pasti akan turun menyelimuti seluruh Desa Haruling
ini. "Aku tinggal dulu ke belakang," pamit Ki Arung. Tanpa
menunggu jawaban lagi, laki-laki tua pemilik kedai dan
rumah penginapan itu bergegas meninggalkan Rangga dan
Pandan Wangi di dalam kedainya Sampai Ki Arung tidak
terlihat lagi, Rangga belum juga membuka suara.
Sedangkan Pandan Wangi juga hanya diam saja sambil
memain-mainkan ujung jarinya di bibir gelas bambu yang
diserut halus. "Kau dapatkan sesuatu di Desa Lontar, Kakang?" tanya
Pandan Wangi tidak sabar lagi, karena sudah terlalu lama
menunggu. "Tidak ada seorang pun yang mengenal Kumbang Bukit
Lontar," sahut Rangga dengan suara mendesah panjang.
"Lalu...?" desah Pandan Wangi ingin tahu.
"Kita akan menghadapi seseorang yang penuh teka-teki,
Pandan. Seseorang yang tidak dikenal, dan hanya
menggunakan julukan si Kumbang Bukit Lontar saja. Kita
juga tidak tahu, apa maksudnya memperkosa gadis-gadis
desa ini," kata Rangga lagi, masih terdengar perlahan sekali
suaranya. "Hhh...! itu berarti kita akan tetap tinggal di sini,
Kakang...?" desah Pandan Wangi seperti mengeluh.
"Kenapa" Kau seperti kurang senang di sini Pandan?"
tanya Rangga. "Bukannya tidak senang. Aku selalu suka berada di
manapun juga. Tapi perjalanan kita jadi tertunda lagi,
Kakang." "Kau seperti baru saja melakukan perjalanan jauh,
Pandan. Setiap kali kita melakukan perjalanan, selalu ada
saja persoalan yang tidak bisa dihindari. Dan lagi, aku tidak
bisa tinggal diam dan berlalu begitu saja jika menemukan
sesuatu yang membuat orang banyak jadi sengsara. Aku
harus bisa menemukan manusia iblis itu, sebelum jatuh
korban lebih banyak lagi," mantap sekali nada terakhir
suara Rangga. "Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Pandan
Wangi. "Seperti biasa. Aku akan mencari banyak keterangan,
dan meronda setiap malam," sahut Rangga kalem.
"itu tidak mungkin, Kakang. Bisa-bisa, malah kaulah
yang disangka sebagai si Kumbang Bukit Lontar.
Sedangkan kau tahu sendiri, tak ada seorang pun yang
keluar malam hari di sini."
Rangga hanya tersenyum saja, tanpa ada maksud
meremehkan kekhawatiran gadis itu. Kembali gelasnya
yang kosong diisi dengan arak manis dari dalam guci, lalu
diteguknya hingga tandas tak bersisa lagi. Tapi dalam
masalah ini, sebenarnya bukan Pandan Wangi yang
mengkhawatirkan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, justru
kebalikannya. Rangga-lah yang justru malah mengkhawatirkan Pandan Wangi.
Karena memang sudah jelas, si Kumbang Bukit Lontar
selalu mengincar gadis-gadis untuk dijadikan korban
nafsunya. Sedangkan dan keterangan yang diperoleh, sudah
dua orang gadis yang menjadi korban. Dan Suryani hampir
saja menjadi korban ketiga kalau saja tidak ditolong
Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga jadi teringat satu
peristiwa, ketika terpaksa mengirim si Durjana Pemetik
Bunga ke neraka untuk menghentikan perbuatannya yang
mengumbar nafsu pada gadis-gadis.
"Sebaiknya, kau kembali ke kamar Suryani, Pandan,"
pinta Rangga, "Aku merasa kalau si Kumbang Bukit Lontar
akan kembali lagi. Dan itu tugasmu untuk melindungi
Suryani." "Dia sudah ada yang menjaganya, Kakang," sahut
Pandan Wangi. "Siapa..."!" tanya Rangga agak terkejut.
Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut, mendengar Suryani sudah ada yang menjaga. Dipandanginya wajah Pandan Wangi dalam-dalam,
seakan-akan hendak mencari jawaban dari keterkejutannya
tadi. "Kekasihnya... Goradi, " sahut Pandan Wangi memberi
tahu. "Siapa itu Goradi?" tanya Rangga yang memang belum
mengenal. "Kata Ki Arung, dia putra Ki Rampik yang merupakan
Kepala Desa Haruling ini," sahut Panda
Wangi menjelaskan lagi. "Sudah sejak siang tadi mereka berdua di
dalam kamar. Aku tidak mungkin menungguinya terus,
Kakang. Jadi, aku menunggumu saja sini bersama Ki
Arung." "Dari mana dia tahu kalau Suryani hampir saja tertimpa
musibah?" tanya Rangga bernada menyelidik.
"Ki Arung yang mengatakannya," sahut Pandan Wangi.
"Kalau begitu, kau kembali saja ke kamarmu," kata
Rangga. "Kau sendiri...?" tanya Pandan Wangi yang sepertinya
enggan untuk kembali ke kamarnya lagi.
"Aku akan melihat-lihat keadaan desa ini," sahut
Rangga. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri.
Sedangkan Pandan Wangi masih tetap duduk memandanginya. Rangga tahu, gadis itu ingin ikut
bersamanya mengeliling Desa Haruling ini sambil mencari
keterangan tentang si Kumbang Bukit Lontar.
Si Kumbang Bukit Lontar memang telah menghebohkan
dan membuat resah seluruh penduduk desa ini. Bukan
hanya gadis-gadisnya saja yang resah. Tapi para orangorang tua juga khawatir kalau-kalau anak gadis mereka
menjadi korban kebiadaban si Kumbang Bukit Lontar.
Sementara itu, Rangga sudah melangkah keluar dari kedai
ini. Sedangkan Pandan Wangi masih tetap duduk diam
memandangi, sampai punggung Pendekar Rajawali Sakti
lenyap. Di luar sana, malam sudah jatuh menyelimuti
seluruh permukaan bumi Desa Haruling. Kegelapan sudah
begitu terasa menyelimuti sekitarnya.
Pandan Wangi ingin beranjak dari kursinya, tapi tidak
jadi begitu melihat Ki Arung datang lagi ke kedai ini Lakilaki tua itu langsung duduk di depan Pandan Wangi. Lalu,
diletakkannya satu guci arak manis ke atas meja di depan
mereka. Dan memang, satu guci yang disediakannya tadi
sudah tidak ada lagi isinya.
Hampir semuanya berpindah ke dalam perut Pendekar
Rajawali Sakti.
"Dia sudah pulang, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Siapa...?" Ki Arung malah balik bertanya.
"Goradi. "
"Sudah tadi."
"Sudah... "! "
"Lewat belakang. Aku tidak ingin pembicaraanmu
terganggu. Jadi, aku menyuruhnya lewat belakang."
"Sebaiknya aku kembali ke kamar Suryani, Ki" ujar
Pandan Wangi seraya bangkit berdiri.
Tanpa menunggu jawaban lagi, si Kipas Maut langsung
meninggalkan kedai ini menuju rumah penginapan yang
berada di bagian belakang kedai ini.
Sedangkan Ki Arung tetap duduk saja di kedainya yang
begitu sepi. Memang, kedai ini jadi sepi kekurangan
pengunjung sejak terjadi peristiwa-peristiwa keji itu.
Terlebih lagi bila malam hari. Ki Arung terpaksa
menutupnya sebelum tengah malam. Bahkan matahari baru
saja tenggelam pun, sudah tidak ada lagi yang datang
mengunjungi kedainya ini. Tapi sedikit pun laki-laki tua itu
tidak mengeluh. Dia Percaya kalau semua ini pasti akan


Pendekar Rajawali Sakti 70 Kembang Bukit Lontar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berakhir. Hanya saja, dia tidak bisa meramalkan, kapan
semua ini akan berakhir. Tapi keyakinannya itu semakin
tebal, oleh adanya dua orang Pendekar yang menginap di
rumah Penginapannya. Walaupun dia tidak tahu persis
tentang dua orang pendekar tamunya itu.
*** 5 Malam masih terus
merambat bertambah larut Kesunyian begitu terasa menyelimuti seluruh Desa
Haruling. Di antara kegelapan bayang-bayang rumah dan
pepohonan, terlihat Rangga bergerak ringan dan cepat
sekali mempelajari keadaan desa ini. Dan gerakannya baru
berhenti setelah berada kembali di depan kedai yang
sekaligus rumah penginapan milik Ki Arung.
"Sepi sekali. Tak seorang pun peronda kutemui...,"
gumam Rangga, berbicara sendiri dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan
berkeliling. Tapi, mendadak saja keningnya jadi berkerut
begitu melihat seseorang berdiri di ujung jalan ini. Memang
sukar mengenalinya, karena malam begitu gelap. Orang itu
tetap berdiri tegak di tengah-tengah ujung jalan desa ini,
seakan-akan menanti Pendekar Rajawali Sakti untuk
menghampiri. "Hm..., siapa dia?" gumam Rangga bertanya sendiri
dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti jadi penasaran ingin tahu.
Perlahan-lahan kakinya terayun dengan pandangan mata
tak berkedip. Sorot matanya tajam pada sosok tubuh yang
berdiri tegak di tengah-tengah ujung jalan ini Kaki Rangga
terus terayun ringan sekali. Memang, kelihatannya
melangkah perlahan dan biasa saja. Tapi sebenarnya
Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan ilmu meringankan
tubuh. Sehingga, sebentar saja sudah berada sekitar
setengah batang tombak dari orang yang berdiri tegak di
tengah jalan itu.
Beberapa saat Rangga mengamati orang yang mengenakan baju jubah panjang berwarna hitam pekat itu.
Hembusan angin yang agak kencang, membuat jubah yang
dikenakannya berkibar-kibar. Di tangan kanannya tampak
tergenggam sebatang tongkat yang tidak beraturan
bentuknya. Tongkat itu juga berwarna hitam pekat, dan
bagian ujung kepalanya berbentuk bulat berwarna kuning
keemasan. Cukup sulit bisa mengenali wajahnya, karena
kepalanya tertutup kain yang menyatu dengan jubahnya.
Bentuknya kerucut dan hampir menutupi seluruh wajahnya.
Hanya bagian bibir dan dagunya saja yang terlihat.
"Kau yang bernama Rangga" " tanya orang itu
mendahului. Suaranya terdengar besar dan berat sekali,
seperti disengaja untuk mengurangi tekanan pada nadanya.
Sementara Rangga masih terdiam belum menjawab
pertanyaan itu. Kelopak matanya agak menyipit, memperhatikan wajah yang tertutup kain kerudung hitam
yang menutupi seluruh kepala dan sebagian wajahnya.
Saat ini malam memang begitu gelap. Sedikit pun tak
ada cahaya bulan yang menerangi, karena langit tertutup
awan tebal yang menggumpal hitam.
"Benar," sahut Rangga datar. "Dan kau siapa...?"
"Orang-orang menyebutku Iblis Pencabut Nyawa dari
Bukit Lontar," sahut orang berjubah hitam itu memperkenalkan julukannya
"Hm...," Rangga menggumam dengan kening agak
berkerut. Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengamati orang
berjubah hitam yang mengaku sebagai Iblis Pencabut
Nyawa dari Bukit Lontar. Dan untuk beberapa saat, mereka
terdiam tidak berkata-kata lagi.
"Kau sudah tahu lebih dulu namaku. Lalu, apa
maksudmu datang jauh-jauh dari Bukit Lontar ke sini?"
tanya Rangga menyelidik.
"Aku memang tidak bisa berbasa-basi, Rangga Asal kau
tahu saja. Aku tidak suka kehadiranmu sini. Dan kuharap,
kau segera pergi dari Desa Haruling ini," tegas sekali nada
suara si Iblis Pencabut Nyawa dari Bukit Lontar itu.
"Aku memang hanya singgah saja di sini. Tak diminta
pun, aku pasti pergi," sahut Rangga dingin nada suaranya.
"Bagus! Kuharap, besok pagi sudah tidak lagi melihatmu
berada di sini," sambut Iblis Pencabut Nyawa dari Bukit
Lontar dingin. "Tapi, kenapa kau menginginkan aku cepat-cepat pergi
dari sini?" tanya Rangga kembali menyelidik.
"Karena kau sudah mengganggu muridku, Rangga,"
sahut si Iblis Pencabut Nyawa dari Bukit Lontar tegas
"Mengganggu muridmu..."! Aku tidak pernah merasa
mengganggu siapa pun di sini," ujar Rangga jadi terkejut.
"Tapi kenyataannya kau sudah menggagalkan tugas
muridku, Pendekar Rajawali Sakti! Dan aku tidak ingin kau
menjadi penghalang bagi muridku! " tegas Iblis Pencabut
Nyawa dari Bukit Lontar.
"Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam perlahan.
"Aku sudah tahu tentang dirimu, Rangga. Dan Jangan
campuri urusanku dengan muridku di sini. Di antara kita
tidak pernah terjadi permusuhan. Dan aku tidak ingin
menggali jurang permusuhan. Untuk itu, kuminta kau
segera tinggalkan desa ini sebelum terjadi suatu yang pasti
tidak diharapkan!"
"Kau mengancam ku, Kisanak..?" desis Rangga kurang
senang. "itu hanya peringatan saja, Rangga. Dan aku bisa lebih
keras lagi memberimu peringatan, kalau tetap berkeras
kepala tidak mau memenuhi permintaanku!" sahut si Iblis
Pencabut Nyawa dari Bukit Lontar tegas.
"Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja laki-laki
berjubah hitam yang mengaku berjuluk Iblis Pencabut
Nyawa dari Bukit Lontar itu melesat cepat bagai kilat.
Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah
lenyap dari pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak.
Tidak ada gunanya lagi mengejar, karena Iblis Pencabut
Nyawa dari Bukit Lontar itu sudah menghilang entah ke
mana. "Hm.... Siapa pun dia, pasti ada. hubungannya dengan si
Kumbang Bukit Lontar," gumam Rangga perlahan,
berbicara pada diri sendiri. "Hhh! Aku jadi ingin tahu,
apakah ancamannya itu hanya gertakan saja?"
*** Rangga memang tidak meninggalkan Desa Haruling ini.
Dan dia juga tidak menceritakan tentang laki-laki berjubah
hitam yang berjuluk Iblis Pencabut Nyawa dari Bukit
Lontar pada siapa pun juga. Tapi Pendiriannya itu harus
dibayar mahal. Dua hari setelah bertemu Iblis Pencabut
Nyawa dari Bukit Lontar, terjadi Perkosaan terhadap para
gadis-gadis desa.
Bahkan sekarang diiringi dengan Pembunuhan! Kalau
sebelumnya gadis itu diperkosa mati karena bunuh diri,
maka sekarang dibunuh langsung oleh si pemerkosa. Dan
bukan hanya malam hari saja dilakukan, tapi juga siang hari
si Kumbang Bukit Lontar berani mengambil korbannya.
Dan selama dua hari itu, sudah enam orang gadis yang
ditemukan tewas setelah terlebih dahulu dinodai. Semuanya
adalah gadis suci yang belum tersentuh laki-laki sedikit pun
Hal ini tentu saja membuat keadaan Desa Haruling semakin
resah. Semua orang jadi takut meninggalkan rumahnya.
Terutama sekali, gadis-gadis dan orang-orang tua yang
memiliki anak gadis.
"Iblis itu semakin biadab saja, Kakang...," desis Pandan
Wangi menggeram.
Rangga hanya diam saja dan terus melangkah disertai
pandangan lurus ke depan. Mereka baru saja melihat satu
korban lagi di salah satu rumah. Bahkan bukan hanya anak
gadis itu saja yang menjadi korban, melainkan juga seluruh
keluarganya tewas tak tersisa lagi. Padahal, ini siang hari!
"Dia sudah berani terang-terangan, berbuat di siang hari.
Bahkan membantai satu keluarga. Hhh...! Kalau saja aku
bisa bertemu dengannya, akan kuremukkan batok
kepalanya!" geram Pandan Wangi jadi berang setengah
mati Rangga masih tetap diam membisu, sampai mereka tiba
di kedai Ki Arung. Ternyata, di dalam kedai sudah
menunggu Ki Arung, Goradi, Ki Rampik, dan Paman
Walung. Ki Arung langsung memperkenalkan Pendekar
Rajawali Sakti dan si Kipas Maut pada tamu-tamunya. Dan
memang, baru kali ini Rangga bisa bertemu Ki Rampik,.
Kepala Desa Haruling ini.
"Aku sudah mendengar banyak tentang dirimu dari Ki
Arung, Anak Muda. Rasanya kebetulan sekali keberadaanmu di sini. Karena, kami memang membutuhkan seorang Pendekar tangguh untuk menghentikan semua kebiadaban yang terjadi di desa ini,"
kata Ki Rampik, setelah Rangga dan Pandan Wangi duduk
dalam satu meja bersama mereka semua.
Hanya Ki Arung saja yang terpisah bersama Suryani,
anak gadisnya yang hampir saja menjadi korban kebuasan
nafsu si Kumbang Bukit Lontar. Mereka duduk hanya
terpaut satu meja saja. Dan, tidak ada lagi orang lain di
dalam kedai kecuali mereka Ini.
"Paman Walung sudah ke Desa Lontar. Bahkan mereka
jadi marah, karena nama desanya dicemarkan. Memang,
tak ada seorang pun dari mereka yang melakukan perbuatan
sekeji itu," sambung Ki Rampik lagi.
Rangga melirik sedikit pada Paman Walung yang duduk
di samping kanan Kepala Desa Haruling itu. Sedangkan di
sebelah kiri Ki Rampik, duduk Goradi yang terus-menerus
memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian.
Antara Goradi dan Pandan Wangi memang sudah saling
mengenal. Tapi, Rangga memang belum mengenal ketiga
orang utama di Desa Haruling ini.
"Kapan Paman Walung pergi ke Desa Lontar?" tanya
Rangga terus menatap laki-laki separuh baya itu.
"Sehari setelah terjadi peristiwa kedua," Ki Rampik yang
menyahuti. "Dua hari," sahut Paman Walung singkat
Rangga mengangguk-anggukkan
kepala, kemudian melirik Ki Arung dan Suryani yang duduk terpisah dari
meja ini. Pendekar Rajawali Sakti kemudian berpindah
menatap Pandan Wangi sebentar, lalu kembali memandang
ketiga orang yang duduk di depannya.
"Apa yang terjadi pada Suryani, aku sudah mendengarnya. Dan aku berharap, kau bisa menyelamatkan gadis-gadis lainnya dari kebuasan nafsu
Kakek Sakti Gunung Muria 2 Pendekar Naga Putih 60 Goa Larangan Suramnya Bayang Bayang 5

Cari Blog Ini