Ceritasilat Novel Online

Ladang Pembantaian 2

Pendekar Rajawali Sakti 71 Ladang Pembantaian Bagian 2


begitu terik. "Kau kenali panah ini, Langgu?" tanya Dewi Bulan Hitam, seraya menyodorkan anak
panah yang berhasil
ditangkapnya tadi.
Anak panah itu berwarna hitam pekat yang bagian
matanya berwarna kuning keemasan. Pada bagian tengah batangnya, tergambar guratan berbentuk seekor
naga yang mengeluarkan api dari mulut. Ki Langgu
agak berkerut juga keningnya saat melihat guratan
gambar pada bagian tengah batang anak panah itu.
Kelopak matanya juga jadi menyipit. Sementara, empat orang tokoh persilatan
undangannya jadi memandang
laki-laki tua berjubah biru ini. Mereka juga melihat guratan gambar berbentuk
naga pada batang anak panah
yang masih berada di tangan Dewi Bulan Hitam.
"Kau kenali panah ini, Langgu?" Dewi Bulan Hitam melontarkan pertanyaan kembali.
"Ya...," sahut Ki Langgu, terdengar pelan suaranya.
"Siapa pemiliknya?" tanya Dewi Pedang Emas.
"Ki Jambak Gora," sahut Ki Langgu pelan. Begitu pelan suaranya, sehingga hampir
tidak terdengar di telinga empat orang tokoh persilatan undangan si Golok Setan
itu. Sementara, mereka tampak terkejut mendengar nama yang baru saja disebutkan
Ki Langgu. Bahkan sampai melempar pandangan, satu sama lain.
Sementara, wajah Ki Langgu seperti terselimut kabut tebal. Beberapa saat
lamanya, mereka semua terdiam.
*** "Kau tidak main-main, Langgu...?" ujar si Kipas Na-ga sambil menatap begitu
dalam, ke bola mata si Golok Setan itu.
"Kalian pasti masih ingat, lambang yang selalu digunakan Ki Jambak Gora...,"
tegas Ki Langgu. "Dialah Kepala Desa Jalakan ini yang telah kusingkirkan setahun yang lalu. Dan kini, anaknya menuntut haknya."
Dewa Pedang Emas, si Kipas Naga, Dewi Bulan Hitam, dan Setan Tongkat Putih hanya menganggukkan
kepala saja. Tentu saja mereka ingat. Tidak ada orang lain lagi di dunia ini
yang selalu menggunakan gambar naga sebagai lambang kekuatan dirinya, selain Ki
Jambak Gora. Dan mereka jadi ingat. Gambar naga
yang tergores pada batang anak panas berwarna hitam itu memang lambang
kebanggaan dan kekuatan tokoh
kosen yang sudah cukup lama menghilang dari rimba
persilatan. "Sudah lebih dari tiga puluh tahun aku tidak pernah lagi mendengar namanya. Dan
kupikir juga, dia
sudah menghilang dan tidak kembali lagi," kata Setan Tongkat Putih. Suaranya
setengah menggumam dan
hampir tidak terdengar, seakan-akan bicara dengan di-ri sendiri.
"Hm.... Jadi dia muncul lagi, dan ada hubungannya dengan semua ini...?" sambung
Dewa Pedang Emas.
Sedangkan Ki Langgu hanya diam saja. Perlahan
kemudian, kakinya terayun menuju beranda rumah
berukuran besar itu. Dia terus melangkah, sementara empat orang sahabatnya masih
tetap berdiri dengan
benak dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang tidak mudah cepat dijawab.
Ki Langgu terus melangkah masuk ke dalam rumah.
Kakinya terus terayun melintasi ruangan depan yang
berukuran cukup luas. Laki-laki setengah baya itu tidak berhenti melangkah,
begitu sampai di depan sebuah pintu yang tertutup rapat. Kakinya terus terayun, lalu tangan kanannya mendorong pintu itu. Ki Langgu baru berhenti setelah
berada di dalam sebuah ruangan berukuran cukup besar.
Di dalam ruangan itu terdapat sebuah pembaringan
besar, dan sebuah lemari kayu jati berukir yang terletak di dekat jendela. Juga,
ada dua buah kursi rotan mengapit sebuah meja kecil berbentuk bulat. Laki-laki
berjubah biru itu berdiri tegak di depan jendela yang terbuka lebar.
Pandangannya tertuju lurus ke depan, tanpa berkedip sedikit pun juga. Tapi,
mendadak saja dia memutar tubuhnya.
"Heh..."!"
Kedua bola mata si Golok Setan jadi terbeliak lebar, begitu tiba-tiba saja di
depannya kini ada seorang laki-laki tua yang berbaju putih panjang. Seluruh
rambut dan janggutnya yang panjang juga sudah berwarna putih. Ki Langgu begitu
terkejut, karena tadi sama sekali tidak tahu. Dan juga dia belum bisa melupakan
wajah tua yang bersinar bening di hadapannya ini.
"Ki Jambak Gora...," desis Ki Langgu pelan sekali, sehingga hampir tak terdengar
di telinga. Dia terus memandangi laki-laki tua berjubah putih
yang berdiri tegak di depannya ini dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya.
Seakan-akan, Ki Langgu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Ta-pi
cepat disadari kalau orang tua berjubah putih itu memang benar-benar ada, dan
sekarang ini berdiri tidak jauh di depannya.
"Kau terkejut melihat kedatanganku, Langgu...?"
terdengar tenang dan lembut sekali nada suara lakilaki tua berjubah putih yang dikenali Ki Langgu bernama Ki Jambak Gora itu.
"Untuk apa lagi kau datang ke sini, Ki Jambak Go-ra?" dengus Ki Langgu bertanya.
"Ingat janjimu!"
Jelas sekali kalau nada suaranya terdengar tidak
menyukai kehadiran Ki Jambak Gora di Desa Jalakan
ini. Sedangkan Ki Jambak Gora terlihat menyunggingkan senyuman tipis. Kakinya melangkah tiga tindak ke depan, namun sorot matanya
begitu tajam menusuk
langsung ke bola mata si Golok Setan yang sekarang
ini berada sekitar lima langkah lagi di depannya.
"Kau benar-benar sudah keterlaluan, Langgu. Kau rampas desa ini, lalu sekarang
mencoba membunuh
pewaris sah desa ini pula. Kau benar-benar manusia
serakah...!" desis Ki Jambak Gora, begitu dingin nada suaranya. "Kau sudah tidak
lagi mentaati janjimu sendiri."
"Jangan menuduhku sembarangan, Ki Jambak Gora!" sentak Ki Langgu geram.
"Aku tidak akan datang lagi ke sini, kalau kau tidak menganiaya Sutiningsih."
"Bicara apa kau ini, heh..."!"
"Jangan pura-pura tidak tahu, Langgu...! Sekarang juga kuminta, tinggalkan desa
ini. Aku sudah muak
melihat tingkahmu. Kau benar-benar sudah tak memandang kalau Sutiningsih masih terhitung keponakanmu!" "Edan...! Berani benar kau berkata begitu Ki Jambak Gora. Biar aku tokoh sesat,
tapi aku tidak sudi melukai keponakanku sendiri!"
"Tapi pada kenyataannya" Ah, sudahlah. Sekarang kuminta kau tinggalkan desa ini.
Biarkan mereka mendapat kembali rumah-rumahnya, dan semua ladang kehidupan yang kau rampas. Kau sudah tidak
berhak tinggal di sini, Golok Setan!"
"Phuih!" Ki Langgu menyemburkan ludahnya, sengit sekali.
Sorot mata Ki Langgu begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata laki-laki tua berjubah putih yang berdiri tegak di depannya.
Sementara itu, Ki Jambak Gora tampak sudah siap menghadapi segala kemungkinan
yang bakal terjadi. Dia tahu, orang yang dihadapinya ini memiliki kepandaian
yang tinggi, dan tak bisa dipandang sebelah mata saja. Terlebih lagi, sekarang
ini Ki Langgu didampingi empat orang sahabatnya
yang juga memiliki kepandaian tidak rendah.
Untuk beberapa saat, mereka terdiam dan hanya
saling pandang dengan sorot mata masing-masing terlihat begitu tajam. Ketegangan tersirat dari sorot mata mereka satu sama lain.
Perlahan Ki Langgu menggeser kakinya ke kanan. Sementara Ki Jambak Gora masih
tetap berdiri tegak memperhatikan setiap gerak kaki si Golok Setan itu. Dan
tiba-tiba saja....
"Hih!"
"Uts...!"
Cepat sekali tangan Ki Langgu bergerak mengibas
ke depan. Dan begitu terlihat secercah cahaya berkilat meluncur deras bagai
kilat, manis sekali Ki Jambak
Gora menarik tubuhnya ke samping. Sehingga, cahaya
berkilat yang melesat keluar dari telapak tangan si Golok Setan itu lewat di
samping tubuh Ki Jambak Gora.
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Ki Langgu tiba-tiba saja melompat
menerjang laki-laki tua berjubah putih itu sambil melontarkan satu pukulan keras
menggeledek, yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun dengan
satu gerakan manis dan cepat sekali, Ki Jambak Gora meliukkan tubuhnya. Sehingga
serangan yang dilepaskan si Golok Setan itu berhasil dielakkan.
"Hiyaaa...!"
Tapi, Ki Langgu rupanya tidak berhenti sampai di si-tu saja. Kembali
dilontarkannya serangan dengan pukulan-pukulan beruntun dan sangat cepat ke arah beberapa bagian yang mematikan pada tubuh Ki Jambak
Gora. Dan serangan ini membuat Ki Jambak Gora terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Di dalam
ruangan yang tidak begitu besar itu, pertarungan sengit pun tidak dapat
dihindari lagi.
Suara-suara ribut dari pertarungan itu rupanya terdengar empat orang sahabat si Golok Setan. Dan mereka langsung menerobos masuk dengan menjebol pintu ruangan itu. Keempat orang itu begitu terkejut melihat Ki Langgu tengah
menggempur seorang laki-laki tua berjubah putih, dengan pukulan-pukulan keras
menggeledek dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Pada saat itu, keadaan ruangan ini sudah demikian berantakan. Bahkan
beberapa dinding terlihat sudah hancur terkena pukulan Ki Langgu yang teramat keras. "Hup! Yeaaah...!"
Melihat empat orang sahabat Ki Langgu berdatangan, tanpa membuang-buang waktu lagi Ki Jambak
Gora segera melesat cepat keluar dari ruangan itu dengan menjebol atap. Cepat
sekali gerakannya, hingga
membuat Ki Langgu dan empat orang yang baru saja
datang jadi terperangah sesaat. Namun mereka segera berlompatan ke atas,
mengikuti Ki Jambak Gora yang
sudah menjebol atap ruangan ini.
"Setan keparat...!" desis Ki Langgu begitu kakinya menjejak atap.
Ternyata sama sekali tidak lagi terlihat Ki Jambak
Gora berada di atas atap bangunan yang berukuran
besar ini. Bahkan bayangannya pun sama sekali tidak terlihat. Sungguh cepat
sekali Ki Jambak Gora menghilang, setelah berhasil keluar dari pertarungannya
dengan menjebol atap rumah ini. Sama sekali tidak terlihat ke mana arah
perginya. Dan ini membuat Ki Langgu jadi geram setengah mati.
Bahkan empat orang sahabat si Golok Setan itu juga jadi mengedarkan pandangannya berkeliling. Di
saat itu tiba-tiba saja mereka dikejutkan desingan suara yang membuat bola mata
jadi terbeliak lebar.
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Lima orang yang berada di atas atap itu langsung
berjumpalitan di udara, begitu tiba-tiba saja telah di-hujani puluhan batang
anak panah berwarna hitam
pekat. Bahkan Dewa Pedang Emas dan Setan Tongkat
Putih langsung meluruk turun dari atap. Dewi Bulan
Hitam dan si Kipas Naga pun segera mengikutinya.
Dengan gerakan manis dan ringan sekali, mereka menjejakkan kaki di bagian samping bangunan rumah ini.
Sementara Ki Langgu masih berjumpalitan di udara,
menghindari hujan panah yang datang bagai dari sega-la penjuru itu.
"Hup! Yeaaah...!"
Sret! Bet! Wuk...! Cepat sekali Ki Langgu melenting tinggi-tinggi ke
udara, sambil mencabut goloknya yang berukuran besar. Secepat itu pula goloknya dikebutkan, untuk menyampok setiap batang anak
panah yang meluruk deras menghujani dirinya. Sambil berjumpalitan di uda-ra, Ki Langgu berusaha
keluar dari sebuah anak panah berwarna hitam itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil cepat memutar goloknya, Ki Langgu meluruk
turun dan langsung bergulingan beberapa kali di atas tanah. Dan begitu bisa
bangkit berdiri, hujan anak panah itu tidak lagi terlihat menyerang dirinya. Ki
Langgu berdiri tegak dengan goloknya berukuran besar tersilang di depan dada.
Pandangannya sangat tajam, beredar berkeliling untuk mencari arah datangnya panah-panah hitam yang tadi menghujani tubuhnya.
"Jambak Gora, keluar kau...!" sentak Ki Langgu keras menggelegar suaranya.
Suara yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga
dalam tinggi itu sampai menggema ke sekeliling Bahkan membuat daun-daun berguguran dan tanah yang
dipijak jadi bergetar, bagai terlanda gempa.
Belum lagi bentakan Ki Langgu menghilang dari
pendengaran, tahu-tahu berkelebat sebuah bayangan
putih dari atas pohon beringin yang sangat besar. Cepat sekali bayangan putih
itu berkelebat, tahu-tahu sekitar dua batang tombak dari Ki Langgu sudah berdiri
seorang laki-laki tua berjubah putih yang dikenal bernama Ki Jambak Gora. Di
tangan kanannya kini ju-ga sudah tergenggam sebatang tombak yang berwarna
hitam pekat, yang ujungnya berbentuk segitiga berwarna kuning keemasan.
Pada saat itu, dari atap rumah-rumah yang berdekatan dengan rumah besar berhalaman cukup luas ini, bermunculan pemuda-pemuda
membawa anak panah
terpasang di busur. Bahkan dari atas pohon dan gerumbul semak belukar pun bermunculan orang-orang
yang masih berusia muda. Sekeliling halaman samping rumah itu kini sudah
terkepung puluhan orang pemuda yang sudah siap dengan senjata panah serta tombak terhunus. Dan mereka semua mengenakan baju
putih bersih, bagai sudah siap menghadapi pertempuran suci yang pasti tidak sedikit akan mengorbankan nyawa.
"Ha ha ha...! Rupanya kau sudah siap dengan murid-murid tololmu, Jambak Gora!"
lantang sekali suara Ki Langgu.
Sedikit pun tidak ada rasa gentar di hati Ki Langgu melihat sekelilingnya sudah
begitu rapat. Bahkan kelihatan semakin bertambah pongah saja. Dia terus tertawa terbahak-bahak dengan suara keras menggelegar.
Bahkan terasa mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Dan itu mengakibatkan pemuda-pemuda berbaju serba putih yang mengepung tempat ini jadi merasakan akibatnya.
Telinga mereka mendengung sakit, membuat mereka jadi seperti cacing yang kepanasan karena berusaha menahan gempuran suara
yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu. Beberapa orang pemuda
yang berada di atas pohon mulai terlihat berjatuhan, tak sanggup menahan
gempuran tenaga dalam yang
dikeluarkan lewat suara tawa itu.
Namun tiba-tiba saja....


Pendekar Rajawali Sakti 71 Ladang Pembantaian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Grhaaa...!"
*** Sambil mengangkat tombak tinggi-tinggi ke atas kepala, Ki Jambak Gora meraung keras bagai seekor harimau. Raungannya yang juga mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, membuat Ki Langgu terpaksa menghentikan tawanya yang
juga mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu. Dan pada saat tidak lagi
terdengar suara-suara keras bertenaga dalam tinggi, seketika itu juga....
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Bagaikan guntur di siang bolong, teriakan-teriakan
keras terdengar menggetarkan seluruh alam ini. Begitu tiba-tiba pemuda-pemuda
berbaju serba putih murid
Ki Jambak Gora ini berhamburan meluruk deras menyerang Ki Langgu dan empat orang sahabatnya. Bahkan puluhan anak panah pun langsung berhamburan
mendahului, membuat lawan terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.
Tepat di saat anak-anak panah berwarna hitam itu
berhenti, puluhan orang anak-anak muda sudah berhamburan menyerang dari segala arah. Dan kini teriakan-teriakan keras dan
jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, langsung berbaur menjadi satu dengan denting senjata beradu.
Dalam waktu sebentar saja,
sudah tidak terhitung lagi tubuh yang ambruk bergelimpangan bermandikan darah.
Jeritan-jeritan kematian terus terdengar di sekitarnya.
Tentu saja membuat Ki Langgu, Dewi Bulan Hitam,
Setan Tongkat Putih, Dewa Pedang Emas, dan si Kipas Naga jadi kelabakan juga
menghadapinya. Tapi mereka adalah tokoh-tokoh rimba persilatan yang berjuluk Lima Iblis dari Utara. Maka, tentu saja sudah berpenga-laman menghadapi segala
macam bentuk pertarungan.
Sehingga, sebentar saja mereka sudah bisa menghadapi penyerangan yang datang begitu cepat dari segala penjuru.
Teriakan-teriakan keras dan jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, langsung
berbaur menjadi satu dengan denting senjata beradu. Dalam waktu sebentar sa-ja,
sudah tidak terhitung lagi tubuh yang ambruk bergelimpangan bermandikan darah.
Jeritan-jeritan panjang berhawa kematian, semakin sering terdengar memenuhi udara sekitarnya. Sementara bau anyir darah
semakin keras tercium menyengat hidung.
Tubuh-tubuh berlumur darah terus berjatuhan, diiringi jeritan-jeritan panjang melengking tinggi dan teriakan-teriakan
pertempuran, serta denting senjata beradu. Sementara itu Ki Langgu dan empat
orang saha- batnya terus berlompatan sambil mengebutkan senjata masing-masing. Gerakangerakan mereka begitu cepat, sehingga terlalu sulit bagi murid-murid Ki Jambak
Go-ra untuk mendekatinya. Dan lagi, tingkat kepandaian Lima Iblis dari Utara
memang jauh lebih tinggi. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah lebih
dari setengah yang bergelimpangan tak bernyawa lagi.
"Munduuur...!"
Pada saat semua murid-murid Ki Jambak Gora sudah benar-benar tidak mampu lagi berbuat lebih banyak lagi, terdengar teriakan keras menggelegar yang mengalahkan suara-suara
pertarungan dan jeritan
panjang melengking. Dan pada saat itu, terlihat mere-ka yang masih bisa bertahan
hidup segera berlompatan keluar dari kancah pertempuran. Mereka semua
langsung menghilang ke balik rumah-rumah, pepohonan serta gerumbul semak belukar yang banyak terdapat di sekitar Desa Jalakan ini.
Sebentar saja, keadaan menjadi sunyi senyap. Sementara Ki Langgu dan empat orang sahabatnya tetap
berdiri tegak, menjaga segala kemungkinan yang
mungkin saja terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga. Tak ada seorang pun
yang melihat Ki Jambak Gora di sini. Laki-laki tua berjubah putih itu benarbenar sudah lenyap, bersama perginya pemuda-pemuda berbaju putih yang menyerang
lima orang tokoh rimba
persilatan yang berjuluk Lima Iblis dari Utara.
Sudah cukup lama kesunyian menyelimuti mereka
berlima. Tapi, tidak ada serangan yang muncul. Dewi Bulan Hitam melangkah
menghampiri Ki Langgu yang
masih berdiri tegak dengan golok tersilang di depan dada. Dewa Pedang Emas,
Setan Tongkat Putih, dan si Kipas Naga pun menghampiri si Golok Setan. Mereka
masih tetap diam, dengan sorot mata tajam beredar
berkeliling. Namun, hanya kesunyian mencekam yang
dihadapi. Tak terdengar satu suara apa pun. Hanya
desir angin saja yang terdengar mengusik gendang telinga, membawa bau anyir
darah dari tubuh-tubuh
bergelimpangan yang hampir memenuhi halaman
samping rumah ini.
Di saat kesunyian menyelimuti sekitarnya, tiba-tiba saja....
"Langgu, kau akan menyesal kalau tidak segera
angkat kaki dari desa ini...!"
"Hm...," Ki Langgu menggumam kecil, begitu tiba-tiba terdengar suara keras
menggema. Jelas sekali kalau suara itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sulit
mencari arah sumber suara
itu, karena terdengar menggema. Seakan-akan datangnya dari segala penjuru mata angin. Dan suara
bernada ancaman itu tidak lagi terdengar. Kesunyian kembali menyelimuti seluruh
Desa Jalakan ini. Sementara, Ki Langgu dan empat orang sahabat masih tetap diam,
berdiri tegak di antara mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.
*** Sementara itu jauh dari Desa Jalakan, tepatnya di
sebuah bangunan besar yang dikelilingi pagar tinggi berbentuk benteng, tampak
Rangga dan Pandan Wangi
duduk bersila di depan seorang gadis cantik yang tengah bersemadi. Di samping
Pendekar Rajawali Sakti,
duduk bersila seorang pemuda berwajah tampan yang
tidak berkedip memandangi gadis cantik berbaju putih di depannya. Dialah Jaka
Umbaran, putra sulung Ki
Jambak Gora. Sedangkan gadis berbaju putih itu adalah Sutiningsih, yang telah diselamatkan Pendekar Rajawali Sakti atas keroyokan
empat dari Lima Iblis dari Utara. Sutiningsih memang harus melakukan semadi
beberapa kali, agar kesehatannya pulih kembali.
Hanya saja, kali ini dia sudah boleh mengenakan baju.
Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Di dalam ruangan berukuran tidak begitu besar itu terasa sangat sunyi.
Setelah cukup lama Sutiningsih melakukan semadi,
lalu perlahan-lahan kemudian membuka kelopak matanya sedikit demi sedikit. Kemudian matanya dikerjapkan beberapa kali. Pandangannya langsung bertemu tatapan mata Rangga yang duduk di samping Pandan Wangi. Sementara, Jaka Umbaran langsung merangkak menghampiri adiknya itu. Beberapa saat mereka saling berpandangan tanpa mengucapkan satu
kata pun juga. Rangga dan Pandan Wangi juga mendekati gadis itu.
Tampak sekali raut wajah Sutiningsih sudah kelihatan segar. Bahkan senyuman
manis pun tersungging di bibirnya yang selalu memerah. Namun, kelopak matanya
jadi berkerut begitu menatap Rangga dan Pandan
Wangi. Dia teringat kalau pemuda berbaju rompi putih itulah yang
menyelamatkannya dari keroyokan empat
orang tokoh persilatan undangan si Golok Setan.
"Bagaimana..." Sudah membaik?" tanya Rangga, sambil memberikan senyuman.
"Terima kasih atas pertolonganmu," ucap Sutiningsih, juga tersenyum.
Gadis itu kemudian menatap Pandan Wangi sebentar, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling
ruangan ini. Lalu, ditatapnya Jaka Umbaran.
"Mana ayah?" tanya Sutiningsih, terus menatap Ja-ka Umbaran.
Sedangkan Jaka Umbaran hanya diam saja, dengan
kepala sedikit tertunduk. Entah kenapa, pemuda itu
tidak bisa menjawab pertanyaan adiknya ini. Dan
Rangga juga tidak bisa menjawab. Demikian pula Pandan Wangi hanya diam saja, sambil memandangi Jaka
Umbaran. Pandan Wangi sendiri tidak tahu, ke mana
perginya Ki Jambak Gora setelah Sutiningsih dibawa ke sini oleh Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kakang Umbaran..., mana ayah?" Sutiningsih men-gulangi pertanyaannya yang belum
terjawab. "Pergi," sahut Jaka Umbaran pelan.
Begitu pelannya, hampir saja tidak terdengar suara
pemuda itu. Sedangkan Sutiningsih semakin dalam
memandanginya. Dan Jaka Umbaran terus tertunduk,
lalu perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Dibalasnya tatapan adik perempuannya ini. Sebentar kemudian dia bangkit berdiri, dan melangkah mendekati
jendela yang sejak tadi tertutup rapat.
Begitu tangannya membuka jendela, sinar matahari
langsung menerobos masuk menerangi ruangan ini.
Pemuda itu terus berdiri di depan jendela memandang keluar. Seakan-akan ada
sesuatu yang mengganjal,
yang membuat hatinya begitu berat untuk mengatakan
tentang perginya Ki Jambak Gora. Sedangkan Sutiningsih, Rangga, dan Pandan Wangi terus memandanginya. Sepertinya, mereka mengharapkan Jaka Umbaran mengatakan ke mana perginya Ki Jambak Gora.
"Ayah pergi ke Desa Jalakan...," jelas Jaka Umbaran
pelan sekali, sambil memutar tubuhnya membelakangi
jendela yang kini sudah terbuka lebar.
"Ke mana..."!" Sutiningsih tampak begitu terperanjat sekali mendengar kata-kata
Jaka Umbaran barusan.
Gadis itu langsung melompat bangkit dari duduknya. Bergegas dihampirinya Jaka Umbaran yang masih
tetap berdiri membelakangi jendela. Sementara itu,
Rangga dan Pandan Wangi juga sudah berdiri. Mereka
melangkah menghampiri Jaka Umbaran. Beberapa
saat mereka semua terdiam. Sedangkan Jaka Umbaran sendiri kini sudah tertunduk, seakan tidak kuasa menerima tiga pasang sorot
mata yang seperti tengah mengadilinya. Dia merasa bersalah karena membiarkan Ki
Jambak Gora pergi ke Desa Jalakan, yang sekarang dikuasai si Golok Setan.
Terlebih lagi, sekarang ini di sana ada Dewi Bulan Hitam, Dewa Pedang Emas,
Setan Tongkat Putih, dan Kipas Naga. Empat tokoh
persilatan yang sudah ternama, dan tidak bisa dipandang rendah tingkat
kepandaiannya. "Kenapa kau biarkan ayah pergi ke sana, Kakang...?" ujar Sutiningsih bernada menyesal atas kepergian ayahnya ke Desa
Jalakan. "Ayah sendiri yang menginginkannya begitu. Ayah juga membawa semua muridnya,"
sahut Jaka Umbaran tidak mau disalahkan.
"Oh, celaka...," desah Sutiningsih.
"Sudah lama perginya?" selak Rangga, bertanya.
Jaka Umbaran hanya mengangguk saja.
"Berapa orang semua muridnya?" tanya Rangga lagi.
"Lima puluh orang," sahut Jaka Umbaran.
Rangga menatap Pandan Wangi sebentar, kemudian
melangkah mendekati jendela Jaka Umbaran menggeser ke samping, seakan-akan memberi tempat bagi
Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar saja Rangga menatap keluar dari jendela yang dibiarkan terbuka lebar.
Kemudian, pandangannya beredar merayapi wajahwajah yang berada di dekatnya.
"Kalian di sini saja. Biar aku yang mencari ayahmu,"
ujar Rangga sambil menatap Sutiningsih dan Jaka
Umbaran bergantian.
"Aku ikut, Kakang," selak Pandan Wangi cepat.
Tapi pada saat itu, Rangga sudah melompat cepat
bagai kilat keluar dan ruangan ini melalui jendela yang terbuka lebar. Dan tanpa
membuang-buang waktu la-gi, Pandan Wangi segera mengerahkan seluruh kekuatan ilmu meringankan tubuhnya. Tubuhnya langsung
melesat menyusul Pendekar Rajawali Sakti yang sudah tidak terlihat lagi.
Kini di dalam ruangan itu tinggal ada Sutiningsih
dan Jaka Umbaran. Mereka sama-sama berdiri di depan jendela, tapi tidak melihat Rangga maupun Pandan Wangi yang sudah begitu cepat sekali menghilang.
Hal itu sudah menandakan kalau ilmu meringankan
tubuh yang mereka miliki sudah mencapai tingkat
yang tinggi. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Il-mu meringankan tubuhnya
memang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan.
*** Sementara itu Rangga terus berlari cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Sementara kepalanya berpaling ke belakang, melihat Pandan Wangi yang juga berlari cepat dan
berusaha menyusulnya.
Gadis itu sudah mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, tapi masih terlalu sulit untuk bisa mengejar Pendekar
Rajawali Sakti. Memang, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar
Rajawali Sakti jauh lebih sempurna daripada yang dimilikinya.
Melihat Pandang Wangi terus membuntuti dan berusaha mengejar, Rangga memperlambat larinya. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti berhenti dan menunggu gadis berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Hanya
sebentar saja menunggu, kini Pandan Wangi sudah sampai di depannya. Kemudian,
mereka berjalan agak cepat menembus lebatnya hutan
ini, menuju Desa Jalakan.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada Ki Jambak Gora dan desanya, Kakang?" tanya
Pandan Wangi sambil terus melangkah mengikuti ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti. "Persisnya aku sendiri tidak tahu, Pandan. Aku mengajak mu ke desa itu hanya
untuk menemaniku
dalam menyampaikan amanat dari Ki Lintuk untuk Ki
Jambak Gora. Tapi, kau tahu sendiri. Desa itu sekarang sudah dikuasai Ki Langgu. Aku tidak tahu, apa
maksudnya Ki Langgu merebut desa itu dari Ki Jambak Gora. Bahkan mengusir seluruh penduduknya keluar dari sana," sahut Rangga.
"Kelihatannya desa itu tidak memiliki keistimewaan, Kakang. Sama seperti desadesa lain," ujar Pandan Wangi.
Mereka memang pernah masuk ke desa itu, sebelum bertemu Ki Jambak Gora di bangunan berbentuk benteng yang sekarang menjadi tempat tinggal Ki Jambak Gora dan seluruh
warga desanya. Dan memang, tampaknya Desa Jalakan tidak memiliki satu
keistimewaan apa pun juga. Tapi, kenapa Ki Langgu
begitu ingin menguasainya..." Bahkan mengusir semua orang dari desa itu, dan tidak seorang pun yang boleh memasukinya. Hal
itulah yang membuat Rangga,


Pendekar Rajawali Sakti 71 Ladang Pembantaian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlebih Pandan Wangi, jadi bertanya-tanya.
"Aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi di sana, Kakang. Rasanya tidak mungkin
Ki Langgu mau menguasai desa itu tanpa ada sesuatu yang menarik hatinya," duga Pandan Wangi lagi.
"Apa perkiraanmu, Pandan?" tanya Rangga.
"Entahlah...," desah Pandan Wangi.
Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi. Sementara itu, Desa Jalakan sudah terlihat di depan. Begitu sunyi kelihatannya. Dan
memang, desa itu sudah ditinggalkan penduduknya, setelah dikuasai Ki Langgu,
seorang tokoh persilatan golongan hitam yang berjuluk si Golok Setan.
Kedua pendekar muda itu baru berhenti setelah
sampai di perbatasan desa. Tak ada seorang pun yang terlihat di sana. Keadaan
Desa Jalakan begitu sunyi senyap. Sebentar mereka saling melempar pandang,
kemudian perlahan-lahan melangkah memasuki desa
yang tampak begitu sunyi. Tanpa seorang pun terlihat.
Benar-benar sebuah desa mati yang tidak berpenghuni lagi. Mereka berjalan
perlahan-lahan, bersikap penuh kewaspadaan. Mereka menyadari, memasuki desa ini
sama juga menantang maut yang menghadang di depan. "Hati-hati, Pandan. Aku mendengar banyak desah napas di sekitar sini," ujar
Rangga berbisik, begitu sudah berada di tengah-tengah desa ini.
Di kiri dan kanan mereka memang hanya rumah saja yang terlihat. Dan kedua pendekar muda itu melangkah perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah desa ini bagai menjadi dua bagian.
Apa yang dirasakan Rangga, juga dirasakan Pandan
Wangi. Gadis itu juga mendengar tarikan-tarikan napas halus di sekelilingnya.
Dia, tahu kalau di sekeliling
mereka sudah banyak terdapat orang-orang yang bersembunyi. Dan....
Slap! Tiba-tiba saja sebatang tombak panjang meluncur
cepat dari arah depan. Tombak itu tepat menancap di depan kaki Rangga. Maka
seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah. Namun belum lagi
mereka bisa berpikir lebih jauh, tahu-tahu dari balik dinding rumah dan atap
bermunculan puluhan orang
yang sudah siap dengan senjata berupa golok terhunus di tangan.
Pada saat itu, dari atas atap sebuah rumah melesat
turun seorang laki-laki tua berjubah biru, diikuti empat orang yang semuanya
menyandang senjata yang
berlainan bentuknya. Mereka tepat mendarat sekitar satu batang tombak di depan
Rangga dan Pandan
Wangi. Memang, Pendekar Rajawali Sakti sudah mengenali
lima orang yang kini berada di depannya. Mereka adalah Ki Langgu, Dewi Bulan
Hitam, Dewa Pedang Emas,
Setan Tongkat Putih, dan si Kipas Naga yang semua
berjuluk Lima Iblis dari Utara.
"Anak muda itu yang menolong Gadis berbaju Putih, Langgu," bisik Dewi Bulan
Hitam, langsung mengenali Rangga.
"Hm...," Ki Langgu hanya menggumam saja.
Ki Langgu juga sudah mengenali Rangga dan Pandan Wangi, ketika pertama kali kedua pendekar muda
itu datang ke desa ini untuk bertemu Ki Jambak Gora.
Tapi, waktu itu memang tidak terjadi sesuatu. Karena, Rangga dan Pandan Wangi
langsung pergi begitu Ki
Langgu mengatakan kalau Ki Jambak Gora tidak lagi
tinggal di desa ini.
"Mau apa kalian datang lagi ke sini, Anak Muda?"
tanya Ki Langgu, langsung menegur dengan nada yang
dingin dan datar sekali.
"Kami mencari Ki Jambak Gora," sahut Rangga.
"Bukankah sudah kukatakan, Ki Jambak Gora tidak tinggal di sini..." Kenapa masih
juga mencarinya ke si-ni, Anak Muda?" terasa agak ketus nada suara Ki Langgu.
Jelas sekali kalau Ki Langgu tidak menghendaki kehadiran Rangga dan Pandan Wangi di Desa Jalakan
ini. Dan dari sorot matanya. sudah terlihat jelas kalau dia menginginkan kedua
pendekar itu pergi. Tapi tampaknya, Rangga dan Pandan Wangi tidak mau pergi
sebelum bertemu Ki Jambak Gora.
Sementara itu, puluhan orang yang berada di atas
atap rumah sudah siap dengan panah terpasang di
busur, dan terarah pada kedua pendekar muda itu.
Sedangkan mereka yang berada di bawah, sudah siap
dengan senjata golok terhunus. Tampak jelas kalau
mereka tinggal menunggu perintah saja. Dan itu disadari Rangga maupun Pandan Wangi, yang jelas tadi
selalu memperhatikan keadaan sekelilingnya.
"Anak muda! Sebaiknya kau segera angkat kaki dari sini. Aku tidak mau melihat
pertumpahan darah la-gi...!" kata Ki Langgu tegas-tegas mengusir.
"Maaf! Aku tidak bisa pergi sebelum bertemu Ki Jambak Gora," Rangga kalem, juga
terdengar tegas na-da suaranya.
Ki Langgu menggereng tertahan, mendengar jawaban tegas Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Setan Tongkat Putih, si Kipas
Naga, Dewa Pedang Emas, dan Dewi Bulan Hitam sudah terlihat tidak sabar lagi.
Mereka memang masih merasa penasaran oleh pemuda berbaju rompi putih itu, ketika berhasil membawa lari Gadis Baju Putih yang
sudah tidak berdaya lagi di
tangan mereka berempat.
"Biar aku yang mengusirnya, Ki," selak Dewi Bulan Hitam, tidak dapat lagi
menahan kesabarannya.
Belum juga Ki Langgu bisa mencegah, tahu-tahu....
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali Dewi Bulan Hitam melompat sambil
berteriak keras menggelegar. Satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi, dilepaskan tepat mengarah dada Rangga. Namun hanya menarik
sedikit tubuhnya ke samping kanan, pukulan yang dilepaskan Dewi Bulan Hitam manis sekali berhasil dielakkan. Bahkan tanpa diduga sama sekali, Rangga
mengebutkan tangannya ke depan hendak menyodok
perut wanita yang mengenakan baju serba hitam itu.
Dan serangan ini membuat Dewi Bulan Hitam jadi terperangah setengah mati.
"Setan! Hup...!"
Cepat-cepat Dewi Bulan Hitam melenting ke belakang, berputaran dua kali menghindari sodokan yang
dilakukan Pendekar Rajawali Sakti. Dan begitu kakinya menjejak tanah, bagaikan kilat sebuah bayangan putih berkelebat cepat dari
arah belakang. Tahu-tahu, Setan Tongkat Putih sudah melesat cepat bagai kilat
menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki berbaju putih yang masih muda
usianya itu langsung mengebutkan tongkatnya ke arah kepala Rangga.
"Yeaah...!"
Wuk! "Uts...!"
Kembali Rangga hanya bergerak sedikit, dengan merundukkan kepala. Maka kebutan tongkat itu lewat di atas kepalanya. Namun,
Pendekar Rajawali Sakti jadi terkejut. Ternyata dirasakan adanya sambaran angin
yang begitu kuat di atas kepalanya. Langsung disadari
kalau kebutan tongkat itu mengandung pengerahan
tenaga dalam sangat tinggi. Maka cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke
belakang beberapa
tindak. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, Setan
Tongkat Putih sudah kembali menyodokkan ujung
tongkatnya ke arah dada. Dan ini tidak mungkin lagi dihindari Rangga. Cepatcepat Pendekar Rajawali Sakti mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada,
tepat di saat ujung tongkat itu hampir menyentuh dadanya yang bidang dan terbuka
lebar. Tap! "Hih...!"
Setan Tongkat Putih jadi terkejut setengah mati.
Cepat-cepat tongkatnya dihentakkan. Tapi, tongkat
yang kini terjepit di kedua telapak tangan Rangga sa-ma sekali tidak bergeming
sedikit pun. Bahkan meskipun sudah mengerahkan kekuatan tenaga dalam,
tongkatnya tidak bisa dilepaskan dari jepitan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaah...!"
*** 7 Cepat sekali Setan Tongkat Putih melentingkan tubuh ke udara. Dan secepat itu pula kakinya menghentak deras, memberi satu tendangan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam
tingkat tinggi yang mengarah ke kepala Rangga. Namun tanpa diduga sama
sekali, Pendekar Rajawali Sakti mengangkat kedua
tangannya yang menjepit tongkat itu. Dan....
"Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna, Rangga
menghentakkan tangannya begitu cepat. Dan tak pelak lagi, tubuh Setan Tongkat
Putih malah terangkat tinggi ke udara. Lalu begitu Rangga melepaskan jepitan
tangannya, seketika itu juga tubuh Setan Tongkat Putih melayang deras ke udara.
Dan dengan keras sekali,
tubuhnya jatuh menghantam atap.
Kejadian yang sangat cepat dan tak terduga, tentu
saja membuat semua orang yang mengepung tempat
itu jadi terlongong bengong. Seakan-akan mereka semua tidak percaya kalau seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun
itu mampu mengangkat
Setan Tongkat Putih, saat tengah melakukan serangan. Bahkan Setan Tongkat Putih sampai terbanting
keras menjebol atap sebuah rumah hingga hancur berantakan. Brolll...! Semua pandangan mata langsung tertuju ke arah
rumah yang tadi tertimpa tubuh Setan Tongkat Putih.
Tampak dinding rumah itu hancur berkeping-keping,
bersamaan munculnya Setan Tongkat Putih. Tampak
jelas sekali kalau wajahnya menyemburkan rona merah, yang menandakan kalau hatinya begitu berang
atas tindakan Rangga padanya tadi. Dan memang, dia
merasa malu karena berhasil dijatuhkan dengan mudahnya. "Setan keparat! Kubunuh kau...!" geram Setan Tongkat Putih.
"Hiyaaat...!"
Bet! Wuk! Cepat sekali pemuda berbaju serba putih itu melompat, sambil mengebutkan tongkatnya beberapa kali ke bagian-bagian tubuh
Rangga yang mematikan. Namun dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah
Ajaib', Pendekar Rajawali Sakti berhasil mementahkan semua serangan yang
dilakukan Setan Tongkat Putih.
Beberapa kali Setan Tongkat Putih mengebutkan tongkatnya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun, tak satu pun serangannya berhasil mendarat di
tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan hal itu membuat
Setan Tongkat Putih semakin bertambah berang.
"Hiyaaa...!"
Tanpa ada rasa sungkan sedikit pun juga, Setan
Tongkat Putih langsung mengerahkan jurus-jurus
tingkat tingginya yang sangat dahsyat. Bahkan bentuk tongkatnya sudah tidak
dapat dilihat lagi. Begitu cepatnya berkelebat, sehingga yang terlihat hanya
bayangannya saja yang menggulung tubuh Pendekar
Rajawali Sakti.
Bahkan pemuda berbaju rompi putih itu pun sudah
tidak terlihat lagi bentuk tubuhnya. Yang terlihat
hanya bayangan putih berkelebatan di antara kebutan-kebutan bayangan tongkat
Setan Tongkat Putih yang
sangat cepat luar biasa. Sungguh suatu pertarungan
tingkat tinggi yang sukar diikuti pandangan mata biasa. Sementara agak jauh dari
pertarungan itu, tampak Pandan Wangi terus memperhatikan sekelilingnya.
Dan tampaknya, semua orang begitu terpusat perhatiannya pada pertarungan yang sudah menegangkan
itu. Sehingga tak ada seorang pun yang memperhatikan Pandan Wangi. Mereka seperti lupa kalau di situ ada seorang gadis cantik
berbaju biru yang datang ke desa ini bersama Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar.
Dan tahu-tahu, terlihat Rangga melentingkan ke udara. Lalu dengan kecepatan sangat cepat, Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras ke
arah kepala Setan
Tongkat Putih. Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti
bergerak cepat, bagai membuat lingkaran. Saat itu,
Rangga sudah mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa', yang sangat dahsyat dan sangat
sukar dicari tandingannya.
"Hait...!"
Wuk! Namun Setan Tongkat Putih cepat mengebutkan
tongkat ke atas kepala, begitu kaki Rangga hampir
menghantam kepalanya. Dan tepat pada saat itu pula, Pendekar Rajawali Sakti
memutar tubuhnya hingga
kedua kakinya berada di atas. Pada saat kepalanya
menjuntai ke bawah, tanpa diduga sama sekali dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
"Hiyaaa...!"
Begitu cepatnya pukulan yang dilepaskan Rangga,
sehingga Setan Tongkat Putih tidak mungkin bisa
menghindarinya lagi. Sementara tangan Rangga yang
sudah berwarna merah bagai terbakar itu langsung
menghantam dada Setan Tongkat Putih yang sudah tidak terlindung lagi.
Begkh! "Aaakh...!"
Sambil menjerit melengking tinggi, Setan Tongkat Putih terpental ke belakang
sejauh dua batang tombak.
Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Tampak dadanya melesak masuk
ke dalam, berwarna merah menyala bagai terbakar.
Dari mulut dan hidung mengeluarkan darah kental
agak kehitaman. Hanya sebentar saja pemuda berbaju
putih itu masih mampu menggeliat, kemudian diam
tak bergerak-gerak lagi.
Sementara Rangga sudah berdiri tegak sambil memandangi Setan Tongkat Putih. Sedikit pun tak ada
gerakan pada tubuh Setan Tongkat Putih. Dan itu sudah menandakan kalau pemuda berbaju putih yang
tongkat mautnya sudah terkenal itu sudah tidak bernyawa lagi, akibat dadanya terkena pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Beberapa saat
semua orang yang ada di sekitar tempat "itu jadi terlongong bengong, seakan-akan


Pendekar Rajawali Sakti 71 Ladang Pembantaian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak percaya kalau Setan Tongkat Putih sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
"Seraaang...!"
Tiba-tiba saja Ki Langgu berteriak keras menggelegar, memerintahkan semua murid-muridnya menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Kemarahannya langsung meluap, begitu menyadari
kalau salah seorang sahabatnya sudah tewas di tangan pemuda berbaju rompi
putih itu. Dan belum lagi teriakannya menghilang, ta-hu-tahu Rangga dan Pandan
Wangi sudah sibuk
menghindari hujan panah yang menghambur deras dari atas atap rumah-rumah di sekelilingnya.
Tampak Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut
terpaksa berjumpalitan di udara, menghindari setiap serangan panah yang
menghujani. Berpuluh-puluh
anak panah berdesingan di sekitar tubuh sepasang
pendekar muda itu. Namun sebatang pun tak ada yang
berhasil mengenai tubuhnya. Gerakan-gerakan yang
dilakukan mereka memang sungguh cepat luar biasa.
Dan mereka memang bukan orang-orang sembarangan, yang dengan mudah bisa dihalau oleh puluhan
batang anak panah.
Bahkan puluhan batang anak panah yang menghujani mereka, tak satu pun yang sampai pada sasaran.
Dan tidak sedikit pula yang berhasil dihalau, hanya dengan kibasan tangan saja.
Melihat ketangguhan kedua pendekar muda itu, Ki Langgu jadi berkerut juga
keningnya. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah berhasil menewaskan
Setan Tongkat Putih, salah
seorang tokoh persilatan sahabatnya.
"Seraaang...!" seru Ki Langgu tiba-tiba, dengan suara keras menggelegar.
Dan seketika itu juga, puluhan orang muridnya
yang memang sudah sejak tadi menunggu perintah itu, langsung berteriak-teriak
sambil menghambur menyerang Rangga dan Pandan Wangi. Bersamaan dengan
itu, mereka yang menghujani kedua pendekar muda
itu langsung menghentikan panahnya. Tapi hal itu tidak membuat Rangga dan Pandan
Wangi bisa menarik
napas lega. Karena bersamaan dengan berhentinya hujan panah, puluhan orang bersenjata golok dan tombak sudah meluruk deras menyerang.
"Pandan, cepat pergi dari sini!" seru Rangga.
Namun Pandan Wangi sudah tidak bisa lagi memperhatikan seruan Pendekar Rajawali Sakti. Kipas
Maut itu sudah sibuk menghadapi keroyokan puluhan
orang yang semuanya bersenjata golok. Sedangkan
Rangga sendiri terpaksa harus berjumpalitan, menghindari setiap serangan yang datang dari segala arah.
Puluhan golok yang berkilat, berkelebat di sekitar tubuhnya yang meliuk-liuk
menghindari setiap kebutan
golok-golok itu.
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, tiba-tiba saja Rangga melenting ke
udara. Namun pada saat yang bersamaan, secercah
cahaya kuning keemasan berkelebat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan ini membuat
Rangga jadi terperangah juga. Namun dengan gerakan
yang sangat manis, Pendekar Rajawali Sakti merundukkan kepala, menghindari sinar kuning keemasan
yang datang dari sebuah pedang berwarna kuning
emas. "Hap! Hiyaaa...!"
Rangga cepat-cepat melesat ke arah Pandan Wangi
yang masih disibuki oleh serangan-serangan puluhan
orang yang semuanya menggunakan senjata golok. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melepaskan pukulan keras beruntun, yang
disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna. Saat itu juga, terdengar
jeritan-jeritan keras melengking tinggi yang kemudian
disusul bertumbangannya beberapa orang yang mengeroyok gadis berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut.
"Cepat kau pergi, Pandan...!" seru Rangga begitu berhasil mendekati Pandan
Wangi. "Kau sendiri...?" tanya Pandan Wangi sambil berkelit, meliukkan tubuhnya untuk
menghindari satu tebasan golok yang mengarah ke pinggang.
"Aku nanti menyusul. Cepaaat...!" sahut Rangga agak keras suaranya.
Pandan Wangi tidak bisa menjawab lagi. Dengan cepat sekali senjatanya, yang berupa sebuah kipas dari baja putih dicabut. Secepat
itu pula, kipasnya dikebutkan ke arah sebuah golok yang berkelebat mengarah ke dada. "Hiyaaa...!"
Bet! Tring! Cras! "Aaa...!"
*** Sekali kebut saja, Pandan Wangi sudah berhasil melemparkan sebuah golok yang kemudian disusul robeknya dada salah seorang penyerangnya. Darah seketika muncrat keluar dari dada yang terobek ujung kipas Pandan Wangi yang
berbentuk runcing seperti
anak panah. Dan pada saat yang bersamaan, Pandan
Wangi segera melenting tinggi-tinggi ke udara, sambil mengebutkan kipas baja
putihnya beberapa kali.
Namun tanpa diduga sama sekali, puluhan golok
langsung beterbangan mengejar gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu. Maka Pandan
Wangi terpaksa berjumpalitan di udara, sambil mengebutkan kipasnya cepat
beberapa kali untuk menyampok setiap golok yang meluruk deras ke arahnya.
Beberapa kali kipas baja putih itu menghantam golok-golok yang beterbangan ke
arah si Kipas Maut itu. Percikan bunga api memijar, setiap kali kipas putih
keperakan itu menghantam golok-golok yang berhamburan.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras beberapa kali, Pandan Wangi
cepat-cepat meluruk sambil mengebutkan kipasnya
beberapa kali ke arah orang-orang yang masih tetap
memburu dan rapat mengepungnya. Gadis berjuluk si
Kipas Maut itu juga melontarkan beberapa pukulan
tangan kiri, sambil mengerahkan tenaga dalam yang
sudah mencapai tingkat tinggi. Bahkan sudah hampir
mencapai tingkat kesempurnaan. Sehingga, tak seorang pun yang berhasil menahan gempuran si Kipas
Maut itu. "Hup! Yeaaah...!"
Setelah berhasil menumbangkan beberapa orang
pengeroyoknya, Pandan Wangi langsung melenting,
sambil mengebutkan kipas mautnya beberapa kali.
Dan begitu berhasil keluar dari kepungan orang-orang bersenjata golok itu,
secepat kilat melesat mempergu-nakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkat hampir sempurna. Cepat sekali gerakannya.
Sehingga belum sampai ada yang menyadari, bayangan
tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi bagaikan ditelan bumi.
Sementara itu, Rangga masih sibuk menghadapi keroyokan murid-murid Ki Langgu yang semuanya
menggenggam senjata berupa golok. Entah sudah berapa orang yang berhasil ditumbangkan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi mereka tetap saja merangsek maju, seakan-akan tidak memiliki
rasa gentar sedikit pun.
Padahal, tidak sedikit dari mereka yang sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi,
terkena pukulan maupun tendangan menggeledek yang dilepaskannya.
Dan memang, setiap pukulan maupun tendangan
Rangga selalu mengandung pengerahan tenaga dalam
tingkat sempurna. Sehingga, tak ada seorang pun yang bisa menahan lagi.
"Hm..., Pandan Wangi sudah pergi dari sini," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti masih juga sempat memperhatikan Pandan Wangi yang sudah berhasil meloloskan diri dari kancah pertarungan. Dan pada saat
itu, Rangga segera merentangkan kedua tangannya lebar-lebar ke samping. Tetapi ketika tubuhnya melenting ke udara, langsung kedua
telapak tangannya dirapatkan di depan dada. Pada saat kakinya kembali
menjejak tanah, secepat kilat tangannya direntangkan kembali hingga terpentang
lebar seperti sayap seekor burung yang sedang mengembang.
"Aji 'Bayu Bajra'...! Yeaaah...!"
Bersamaan terdengarnya teriakan Rangga yang
amat keras menggelegar, dan bersamaan dengan merentangkan kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti, seketika itu juga bertiup angin
badai yang sangat dahsyat luar biasa. Bahkan awan yang sejak tadi tenang
berarak, jadi bergulung-gulung terhempas badai topan yang diciptakan Rangga
lewat aji 'Bayu Bajra'nya. Sebuah aji kesaktian yang kerap kali digunakan Rangga
jika menghadapi keroyokan begitu banyak seperti ini.
Deru angin berhembus kencang, menggetarkan bumi yang dipijak. Hempasan angin yang teramat kuat
ini tidak dapat lagi ditahan. Seketika itu juga, mereka yang mengepung Rangga
jadi berhamburan bagai
daun-daun kering yang tertiup angin. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi
terdengar menyayat, seakan-akan ingin mengalahkan deru angin topan yang
terjadi tiba-tiba.
Tak ada lagi yang bisa bertahan, menghadapi gempuran aji 'Bayu Bajra'. Bahkan pohon-pohon pun bertumbangan, dan rumah-rumah roboh terkena terjangan badai topan ciptaan Pendekar Rajawali Sakti.
Awan semakin banyak bergulung-gulung, membuat
langit yang semula cerah kini berubah menghitam pekat. Sehingga, sang mentari tak sanggup lagi memancarkan sinarnya ke atas permukaan bumi ini. Jeritan-jeritan panjang melengking
tinggi masih terus terdengar menyayat, bercampur baur deru angin badai topan
ciptaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap!"
Dan begitu Rangga merapatkan kedua telapak tangan kembali di depan dada, seketika itu juga badai topan yang terjadi melanda
Desa Jalakan ini langsung
berhenti mendadak. Bahkan sedikit pun tidak ada lagi hembusan angin. Dan pada
saat yang bersamaan,
awan hitam yang tadi bergulung-gulung di angkasa,
langsung memudar lenyap. Dan kini sang mentari
kembali memancarkan sinarnya yang terik membakar
kulit. Sementara, Rangga berdiri tegak sambil meraya-pi sekitarnya yang sudah
porak-poranda akibat gempuran dari aji 'Bayu Bajra' yang dikeluarkannya tadi.
"Hm...," Rangga menggumam pelan.
Sebentar pandangannya beredar berkeliling, merayapi sekitarnya yang sudah hancur porak-poranda.
Ada, terbersit kesenduan pada sinar matanya, melihat akibat aji 'Bayu Bajra'
yang dikerahkan tadi. Ajian itu memang bukan hanya berakibat parah pada lawanlawannya saja, tapi juga terhadap lingkungan sekeliling. Dan itu membuat Rangga
selalu enggan menggunakannya, jika tidak dalam keadaan sangat terpaksa.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan
kakinya, melangkah meninggalkan Desa Jalakan yang
kini sudah hancur porak-poranda akibat serangan badai topan dari aji 'Bayu Bajra' tadi. Tak ada satu rumah pun yang masih
kelihatan berdiri tegak. Bahkan
tidak terlihat seorang pun yang ada. Mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang
tindih di mana-mana.
Bau anyir darah langsung merasuk ke dalam hidung
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Begitu menggenjot tubuhnya, seketika itu juga
Rangga melesat cepat bagai kilat. Begitu cepat dan
sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi.
Pendekar Rajawali Sakti menghilang bagaikan tertelan bumi. Dan pada saat itu,
terlihat Ki Langgu, Dewi Bulan Hitam, Dewa Pedang Emas, dan si Kipas Naga keluar dari balik sebatang pohon besar, yang sudah
tumbang akibat gempuran aji 'Bayu Bajra' tadi. Mereka memandang ke arah
kepergian Pendekar Rajawali Sakti tadi. Tak ada seorang pun yang berbicara. Seakanakan mereka masih tercekam
oleh peristiwa yang begi-tu dahsyat dan sangat mengerikan tadi di depan mata
mereka. *** "Siapa anak muda itu, Langgu?" tanya Dewi Bulan Hitam.
Pandangan Dewi Bulan Hitam terus tertuju ke arah
lenyapnya Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Ki
Langgu masih tetap diam, dengan pandangan lurus ke
depan. Sementara Dewa Pedang Emas, dan si Kipas
Naga mengedarkan pandangannya, merayapi sekelilingnya yang sudah porak-poranda akibat terkena
gempuran aji kesaktian yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti. Memang sungguh dahsyat aji 'Bayu Bajra' dari Pendekar Rajawali Sakti. Dan tentu saja keperkasaan pemuda berbaju rompi putih itu
membuat hati mereka
jadi agak bergetar juga.
"Sungguh dahsyat ilmu kesaktiannya. Seumur hidupku, baru kali ini melihat aji kesaktian yang begitu dahsyat luar biasa,"
desah si Kipas Naga menggumam, seakan bicara untuk diri sendiri.
"Aku seperti pernah melihat pemuda itu...," Dewa Pedang Emas juga menggumam
perlahan. "Hm..., dia seperti.... Pendekar Rajawali Sakti...."
Terdengar ragu-ragu nada suara Dewa Pedang Emas
dalam gumamnya. Sedangkan pandangannya tertuju
lurus tanpa berkedip pada Ki Langgu yang masih tetap diam membisu, menatap lurus
ke depan. Sementara
Dewi Bulan Hitam dan si Kipas Naga mengalihkan
pandangan pada Dewa Pedang Emas. Mereka tampak
agak terkejut mendengar gumam yang menyebutkan
nama Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku juga pernah mendengar ada seorang pendekar muda yang ciri-cirinya sama
dengan anak muda itu.
Apa mungkin dia Pendekar Rajawali Sakti...?" sambung Dewi Bulan Hitam juga
bernada menggumam.
Sepertinya, dia tidak yakin atas ucapannya sendiri.
"Dia memang Pendekar Rajawali Sakti," ujar Ki Langgu pelan.
Begitu perlahannya, sehingga hampir tidak terdengar mereka semua. Tapi gumaman yang sangat perlahan itu sempat mengejutkan tiga tokoh persilatan yang berdiri di samping si
Golok Setan. Mereka benar-benar terkejut, karena sama sekali tidak menyangka
kalau pemuda berbaju rompi putih yang tadi sempat membuat hati tercengang, adalah benar-benar Pendekar
Rajawali Sakti. Seorang pendekar muda yang sangat
digdaya, dan saat ini sangat sulit dicari tandingannya.
Belum ada seorang pun yang mampu menandingi tingkat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti.
Kata-kata menggumam yang keluar dari mulut Ki
Langgu tadi, tentu saja sangat mengejutkan. Sehingga mereka semua langsung


Pendekar Rajawali Sakti 71 Ladang Pembantaian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdiam membisu. Tak terdengar lagi pembicaraan sepatah kata pun juga. Langsung
disadari kalau mereka sedang berhadapan dengan seorang pendekar muda yang berkepandaian sangat tinggi. Bahkan sampai saat ini belum ada tandingannya. Dan yang barusan
mereka lihat tadi, hanya
salah satu dari aji kesaktian Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka langsung merasa yakin, kalau masih banyak
aji kesaktian yang dimilikinya. Dan tentunya, aji-aji kesaktian itu lebih
dahsyat lagi daripada yang barusan disaksikan.
Malam sudah datang menyelimuti seluruh wilayah
Desa Jalakan. Kesunyian begitu terasa di desa yang
sudah hancur porak-poranda itu. Tak ada satu rumah
pun yang masih tetap berdiri utuh. Bahkan rumah
yang biasanya ditempati Ki Langgu pun sudah porakporanda diterjang badai topan ciptaan Pendekar Rajawali Sakti siang tadi.
Di dalam ruangan depan yang berantakan, tampak
Ki Langgu berdiri mematung memandang bulan dari
jendela yang sengaja dibiarkan terbuka lebar. Kejadian siang tadi membuat lakilaki tua itu tampak kelihatan gundah sekali. Ilmu kesaktian yang diperlihatkan
Rangga tadi membuatnya harus berpikir banyak untuk
menghadapi pemuda berbaju rompi putih yang dikenal
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan tiga orang tokoh persilatan undangannya
pun tidak lagi banyak
bicara. Mereka sama-sama merasakan kegundahan
hati si Golok Setan itu dalam menghadapi Pendekar
Rajawali Sakti, yang sudah nyata sekali berpihak pada Ki Jambak Gora, bekas
Kepala Desa Jalakan ini. Namun, Ki Jambak Gora sekarang entah berada di mana
bersama para pembantunya. Tak ada seorang pun
yang tahu. "Sebaiknya kita tinggalkan saja desa ini, Langgu. Tidak ada gunanya tetap
bertahan di sini, kalau harus menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda itu
bukan tandingan kita semua," ujar Dewa Pedang Emas, memecah kesunyian yang
terjadi malam itu di antara
mereka berempat.
Dan memang, tinggal mereka berempat saja yang
masih tetap hidup, setelah Rangga mengerahkan aji
'Bayu Bajra' yang begitu dahsyat. Semua murid si Golok Setan itu sudah tewas,
tidak mampu membendung
gempuran dari aji kesaktian yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak akan meninggalkan desa ini sebelum ladang emas itu berhasil kutemukan," ujar Ki Langgu tegas.
"Tapi tidak mungkin kau bisa menemukannya,
Langgu. Sedangkan, kau tidak punya lagi kekuatan.
Semua muridmu sudah tewas. Tidak ada lagi yang tersisa hidup," kata Dewa Pedang Emas mengingatkan.
"Aku rasa, ladang emas itu tidak ada, Langgu. Aku tidak melihat tanda-tanda
adanya sebuah ladang di
desa ini, seperti yang kau katakan," sambung si Kipas Naga.
Ki Langgu memutar tubuhnya, menghadapi tiga
orang sahabatnya. Perlahan saku jubahnya yang panjang dirogoh. Dan dari saku jubah itu dikeluarkan sebuah bungkusan kain hitam.
Dari bungkusan itu,
tampak sebongkah batu berwarna kuning yang memancarkan cahaya kemilau. Bukan hanya Dewa Pedang Emas saja yang terbeliak setengah tidak percaya.
Tapi juga Dewi Bulan Hitam dan si Kipas Naga jadi
terbeliak lebar, melihat bongkahan emas sebesar kepalan tangan di atas telapak
tangan Ki Langgu. Mereka jadi tidak berkedip memandangi bongkahan emas yang
berkilauan memancarkan cahaya menakjubkan itu.
"Di mana kau temukan itu, Langgu?" tanya Dewa Pedang Emas, yang memang sangat
menyukai benda bernama emas itu.
"Aku tidak akan sampai menjarah ke sini, kalau tidak karena benda berharga ini.
Kalian tahu, aku menemukannya di Desa Jalakan ini. Dan aku yakin, desa ini memiliki ladang emas
yang tidak ternilai," tegas Ki Langgu bersemangat.
"Kau yakin itu, Langgu?" tanya Dewa Pedang Emas semakin berbinar bola matanya.
"Ya, aku yakin!" sahut Ki Langgu mantap.
"Tapi, apa kau sudah menemukan ladangnya?"
tanya Dewi Bulan Hitam, langsung tertarik akan bongkahan emas yang diperlihatkan
Ki Langgu. Ki Langgu hanya menggelengkan kepala saja. Kembali disimpannya bongkahan emas itu ke dalam saku
jubahnya yang panjang dan berwarna biru. Kembali
tubuhnya . diputar, memandang keluar melalui jendela yang terbuka lebar.
Sementara, Dewa Pedang Emas,
Dewi Bulan Hitam, dan si Kipas Naga terus memandangi dengan sinar wajah memancarkan satu harapan
setelah melihat bongkahan emas sebesar kepalan tangan itu tadi. "Sampai saat itu, aku belum berhasil menemukan ladang emas itu. Padahal, sudah
setiap jengkal daerah Desa Jalakan ini diperiksa. Tapi aku belum juga bisa
menemukan ladang emas itu," kata Ki Langgu agak perlahan nada suaranya. "Tapi
aku yakin, pasti berhasil kutemukan...!"
"Kau tidak akan mendapatkannya, Langgu...!"
"Heh..."!"
Ki Langgu jadi terkejut setengah mati, begitu tibatiba saja terdengar suara keras menggema. Bahkan ti-ga orang tokoh persilatan
undangannya pun jadi terlonjak kaget. Seperti ada yang memberi perintah saja, mereka langsung
berlompatan keluar melalui jendela juga begitu Ki Langgu cepat melompat keluar
melalui jendela itu. Sebentar saja, mereka sudah berada di
luar rumah besar yang sudah kelihatan porak-poranda itu.
*** Belum lagi hilang rasa terkejut, tiba-tiba saja mere-ka kembali dikejutkan
munculnya Ki Jambak Gora dari balik kegelapan malam. Laki-laki tua berjubah putih itu berdiri tegak sekitar
dua batang tombak di depan Ki Langgu dan tiga orang tokoh persilatan
undangannya. Tak lama kemudian, muncul seorang gadis cantik berbaju biru muda. Mereka langsung mengenali, kalau
gadis itulah yang bersama-sama Pendekar Rajawali
Sakti tadi. Dan memang, gadis cantik berbaju biru itu adalah Pandan Wangi yang
lebih dikenal berjuluk si
Kipas Maut. Pandan Wangi menempatkan diri, begitu dekat di
samping kanan Ki Jambak Gora. Pandangannya lurus
tak berkedip, pada Ki Langgu yang selalu didampingi tiga orang tokoh persilatan
sahabatnya. Mereka sama-sama menyadari akan tingkat kepandaian masingmasing. Hingga, mereka harus bertindak hati-hati. Ke-salahan sedikit saja, bisa
berakibat parah bagi diri sendiri.
"Masih ada waktu untuk angkat kaki dari desa ini, Golok Setan," terdengar begitu
dingin nada suara Ki Jambak Gora.
"Phuih! Kau tidak bisa menggertak ku, Jambak Go-ra. Menyesal aku tidak langsung
membunuhmu, dan
semua penduduk desa ini!" dengus Ki Langgu, sengit.
"Kedatanganmu ke sini hanya sia-sia saja, Langgu.
Tidak ada yang bisa kau dapatkan di sini. Sebaiknya segeralah angkat kaki,
sebelum menyesal nantinya,"
tegas Ki Jambak Gora lagi.
"Hm, kita memang satu darah walaupun lain ibu.
Tapi, itu tidak membuatku harus mundur dari sini.
Kau tahu, desa ini sebenarnya mempunyai ladang
emas. Tapi karena kebodohanmu, penduduk desa ini
tidak bisa menikmatinya. Jadi, apa salahnya. kalau
desa ini kurebut?" kata Ki Langgu, enteng.
"Matamu memang sudah tertutup harta, hingga bertahun-tahun ayah mendidikmu untuk menjadi kesatria pembela kebenaran, ternyata kau sudah menjadi
pencipta keangkaramurkaan. Aku malu pada penduduk desa ini, sehingga aku terpaksa mengalah dengan terusir dari sini. Ku
relakan desa ini kau kuasai, tapi nyatanya kau tetap mengingkari janji," kata Ki
Jambak Gora. "Dia yang mengganggu kehidupanku!" sergah Ki Langgu.
"Dia tidak akan mengganggu bila kau mau mengembalikan surat wasiat miliknya yang diberikan ayah kita!" sentak Ki Jambak
Gora. "Itu sama saja mengembalikan seluruh tanah desa ini kepadamu, Jambak!"
"Dan itu berarti kita memang harus berperang!"
Baru jelas sekarang, mengapa Ki Langgu tidak menginginkan kematian Sutiningsih lebih awal. Hal ini karena, Sutiningsih masih
keponakannya juga. Biar bagaimanapun, dia harus bisa menghindari agar Sutiningsih tidak sampai terbunuh. Apalagi untuk mengganggunya. Tapi kenyataannya menjadi lain. Sebagai pewaris
Desa Jalakan, yang merupakan wasiat orang tua Ki
Langgu dan Ki Jambak Naga, Sutiningsih memang
berhak atas tanah desa itu. Apalagi, Ki Jambak Gora telah memerintah semuanya
pada anak perempuan
itu. Jadi, betapa menyesalnya Ki Langgu, karena tidak menangkap dan membunuh
gadis itu. Tapi semuanya
sudah terlambat. Sutiningsih telah tahu semuanya.
Maka, kemarahan Ki Langgu makin berkobar saja.
"Setan...! Hiyaaat...!
Ki Langgu benar-benar berang, karena terusmenerus mendapat tekanan dan ancaman kata-kata Ki
Jambak Gora. Maka sambil berteriak keras menggelegar, dia melompat cepat bagai kilat sambil mengebutkan goloknya yang sudah terhunus di tangan kanan. Cepat sekali kebutan goloknya yang mengarah ke kepala. Namun hanya sedikit
saja Ki Jambak Gora
menarik kepala ke belakang, tebasan golok itu hanya lewat sedikit di depan
wajahnya. "Hiyaaa...!"
Pada saat yang bersamaan, Dewi Bulan Hitam melompat cepat menyerang Pandang Wangi. Sementara,
Dewa Pedang Emas dan si Kipas Naga yang baru saja
hendak bergerak membantu Ki Langgu menyerang Ki
Jambak Gora, jadi terhalang langkahnya. Karena tiba-tiba saja, sebuah bayangan
putih berkelebat cepat.
Dan tahu-tahu, di depan mereka sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi
putih. Tampak gagang pedangnya yang berbentuk kepala
burung, menyembul dari punggungnya.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Dewa Pedang Emas dan Kipas Naga berbarengan.
Belum juga hilang rasa keterkejutan mereka atas
munculnya Rangga yang begitu tiba-tiba, kembali mereka dikejutkan suara-suara gegap gempita memasuki
Desa Jalakan ini. Teriakan-teriakan yang gegap gempi-ta itu semakin terdengar
keras, bagai hendak mengguncangkan bumi Desa Jalakan ini.
Bukan hanya Dewa Pedang Emas dan si Kipas Naga
saja yang terkejut. Bahkan Ki Langgu dan Dewi Bulan Hitam hampir terlonjak,
begitu mengetahui para penduduk Desa Jalakan yang selama ini menghilang sekarang berdatangan kembali. Mereka dipimpin oleh seorang gadis cantik bertubuh kecil mungil yang mengenakan baju warna putih bersih agak ketat. Gadis itu adalah Sutiningsih, putri Ki
Jambak Gora, yang beberapa waktu lalu sempat membuat Ki Langgu jadi kelabakan menghadapinya.
"Bagaimana, Pedang Emas...?" bisik si Kipas Naga
"Aku tidak sudi mati sia-sia di sini," sahut Dewa Pedang Emas juga berbisik.
"Lalu...?"
Dewa Pedang Emas tidak menjawab dengan katakata lagi. Dan tanpa mengeluarkan satu patah kata
pun, dia langsung melesat cepat meninggalkan tempat itu. Si Kipas Naga pun tidak
sudi mati konyol secara sia-sia begitu saja. Tanpa menghiraukan Ki Langgu
dan Dewi Bulan Hitam yang masih bertarung dengan
lawan masing-masing, dan langsung melesat pergi. Sedangkan Rangga yang
menghadang mereka, sama sekali tidak berusaha mengejar. Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja
memandangi kepergian Dewa
Pedang Emas dan si Kipas Naga dari Desa Jalakan ini.
"Edan...! Mereka semua pergi...," desis Dewi Bulan Hitam, langsung bisa
mengetahui kepergian Dewa Pedang Emas dan si Kipas Naga.
Dewi Bulan Hitam sudah begitu kewalahan menghadapi serangan-serangan gencar yang dilancarkan
Pandan Wangi. Beberapa kali ujung kipas yang berbentuk runcing di tangan Pandan
Wangi hampir merobek
kulit tubuhnya. Namun sampai saat ini, Dewi Bulan
Hitam masih mampu bertahan. Tubuhnya terpaksa
harus berjumpalitan menghindari setiap serangan
yang datang dari gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu.
Sementara di lain tempat, Ki Jambak Gora masih
terus bertarung sengit menghadapi Ki Langgu yang dijuluki si Golok Setan itu.
Dan tampaknya, Ki Langgu memang tidak mempunyai pilihan lain lagi. Dia harus
bertarung mempertahankan diri menghadapi laki-laki
tua berjubah putih yang tadinya menjadi Kepala Desa Jalakan ini. Meskipun tahu
kalau sangat kecil kemungkinannya untuk bisa selamat dan keluar dari
tempat ini, namun semua itu harus di hadapinya.
*** "Hup! Hiyaaa...!"
Saat itu terdengar teriakan keras menggelegar.
Tampak Pandan Wangi melenting ke udara sambil
mengebutkan kipas mautnya beberapa kali. Dan cepat
sekali, gadis itu meluruk deras sambil mencabut pedangnya yang tersampir di punggung.
Sret! "Yeaaah.,.!"
Bet! Secepat kilat pula Pandan Wangi mengebutkan pedangnya ke arah dada Dewi Bulan Hitam, begitu kakinya menjejak tanah. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Dewi Bulan Hitam jadi terperangah
dengan kedua mata terbeliak lebar dan mulut terngan-ga. Namun, begitu ujung
pedang berwarna hitam yang
tergenggam erat di tangan Pandan Wangi hampir merobek dada, cepat sekali Dewi Bulan Hitam mengebutkan satu tongkat pendeknya di tangan kiri ke depan dada. "Hait...!"
Trang! Bunga api langsung memercik begitu dua senjata
beradu keras di depan dada Dewi Bulan Hitam. Dan
pada saat yang bersamaan, tangan kiri Pandan Wangi
bergerak mengibas ke depan, sambil membuka kipas
mautnya. Cepat sekali gerakan tangan kiri gadis berbaju biru muda itu, sehingga
Dewi Bulan Hitam tidak
sempat lagi berkelit. Dan....


Pendekar Rajawali Sakti 71 Ladang Pembantaian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bret! "Aaakh...!"
Dewi Bulan Hitam menjerit keras agak tertahan begitu ujung kipas Pandan Wangi merobek perutnya. Darah langsung mengucur keluar deras sekali. Dewi Bulan Hitam terhuyung-huyung sambil mendekap perutnya yang robek mengucurkan darah. Dan pada saat
itu, Pandan Wangi sudah melompat cepat sambil berteriak keras. Pedangnya langsung dikebutkan ke arah leher wanita berbaju serba
hitam yang sedang terhuyung-huyung itu.
"Hiaaat...!"
Bet! Cras! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar
menyayat sekali, ketika pedang di tangan kanan Pandan Wangi membabat leher Dewi
Bulan Hitam. Dan
bersamaan berputarnya tubuh Pandan Wangi ke belakang, tampak Dewi Bulan Hitam jadi limbung. Lalu begitu kaki Pandan Wangi
menjejak tanah, Dewi Bulan
Hitam langsung ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher. Darah seketika itu juga muncrat keluar dari leher yang buntung.
Hanya sebentar saja Dewi
Bulan Hitam masih mampu berkelojot, sesaat kemudian sudah diam tak bergerak-gerak lagi.
Sementara itu di tempat lain, pertarungan antara Ki Langgu dan Ki Jambak Gora
masih terus berlangsung.
Tampak jelas kalau Ki Langgu sudah berhasil mendesak hebat Ki Jambak Gora. Beberapa kali Ki Jambak
Gora terpaksa harus membanting tubuhnya, bergulingan di tanah menghindari tebasan-tebasan golok berukuran besar di tangan Ki
Langgu. "Hiyaaa...!"
Bet! Bagaikan kilat, Ki Langgu mengebutkan golok yang
berukuran besar itu ke arah dada Ki Jambak Gora.
Namun dengan sedikit menarik tubuhnya ke belakang,
tebasan golok itu berhasil dihindari. Dan pada saat yang bersamaan, tanpa diduga
sama sekali Ki Langgu
melepaskan satu tendangan keras menggeledek ke
arah perut Ki Jambak Gora. Begitu cepat tendangannya, sehingga Ki Jambak Gora tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan....
Des! "Ugkh...!"
Ki Jambak Gora langsung terhuyung-huyung ke belakang, dengan tubuh terbungkuk. Pada saat itu juga, Ki Langgu melompat cepat
sambil menebaskan golok
berukuran besar itu ke arah leher yang sudah tidak
terlindung. Tapi sedikit lagi mata golok yang berkilat menyentuh kulit leher Ki
Jambak Gora, mendadak sa-ja...
Tring! "Heh..."!"
Ki Langgu jadi terkejut setengah mati, begitu tibatiba sebuah bayangan putih menepak goloknya dengan
keras sekali. Hampir saja golok itu terlepas dari geng-gamannya, kalau saja
tubuhnya tidak cepat-cepat melenting ke belakang. Ki Langgu jadi mendesis geram, begitu melihat Rangga tahutahu sudah berdiri melindungi Ki Jambak Gora.
"Setan keparat...! Kubunuh kau, Bocah Edan!
Hiyaaat...!"
Kemarahan Ki Langgu memang tidak bisa lagi terbendung. Sedangkan Rangga sendiri sudah muak melihat tingkah laki-laki berjubah biru itu. Dia tetap berdiri tegak menanti
datangnya serangan si Golok Setan itu. Dan begitu Ki Langgu mengebutkan goloknya
cepat ke arah dada, secepat kilat pula Rangga merapatkan
kedua telapak tangannya ke depan dada. Hingga....
Tap! "Ukh...!"
Cepat-cepat Ki Langgu menarik goloknya yang tahutahu sudah terjepit di kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti itu. Tapi
pada saat itu pula, Rangga menghentakkan tangannya ke depan. Dan sambil
membungkukkan tubuhnya sedikit, tangan kanannya
dikebutkan ke arah perut si Golok Setan itu. Begitu cepat sekali gerakan yang
dilakukan Rangga, sehingga Ki Langgu yang memang sedang terkejut akibat sentakan pada goloknya tadi, tidak sempat lagi menghinda-ri. "Hiyaaa...!"
Bret! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi terdengar keras
dan menyayat. Jari-jari tangan Rangga yang meregang kaku cepat sekali merobek
perut Ki Langgu hingga seluruh isi perutnya terburai. Memang sungguh dahsyat
jurus 'Cakar Rajawali' yang dikeluarkan Rangga barusan.
Ki Langgu jadi terhuyung-huyung sambil mendekap
perutnya yang robek cukup besar, sampai ususnya
terburai. Darah mengucur deras dari perutnya yang
sobek. Sementara itu, Rangga berdiri tegak dengan sorot mata tajam sekali
memandangi Ki Langgu yang masih terhuyung-huyung ke belakang, sambil memegangi
perutnya. "Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan panjang melengking tinggi. Dan belum lagi teriakan itu menghilang dari pendengaran, tahu-tahu
berkelebat sebuah bayangan
putih yang begitu cepat melewati atas kepala Pendekar
Rajawali Sakti. Bayangan putih itu langsung meluruk deras ke arah Ki Langgu.
Begitu cepatnya, sehingga sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Rangga
sendiri jadi terkejut, dan tidak sempat lagi bertindak mencegah. Karena....
"Aaa...!"
Ki Langgu sudah menjerit keras melengking, lalu
ambruk menggelepar di tanah dengan dada sobek dan
leher terkoyak hampir buntung. Darah mengucur deras dari dada, perut, dan lehernya yang terkoyak. Dan tidak jauh dari tubuh Ki
Langgu, terlihat Sutiningsih berdiri tegak dengan pedang berlumur darah
tergenggam di tangan kanan. Sementara itu, Ki Langgu hanya sebentar saja
menggelepar meregang nyawa, kemudian
diam kaku tak bergerak-gerak lagi.
Kematian Ki Langgu langsung disambut gegap gempita seluruh penduduk yang sudah memadati tempat
ini. Mereka semua memang datang bersama Sutiningsih dan Jaka Umbaran, yang sudah berdiri di samping ayahnya, Ki Jambak Gora.
Sementara Sutiningsih
menghampiri laki-laki tua berjubah putih itu, Rangga kini melangkah mendekati
Pandan Wangi. "Ayo kita pergi dari sini, Pandan," ajak Rangga.
Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala saja.
Kemudian kakinya terayun, mengikuti langkah kaki
Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada seorang pun yang
sempat memperhatikan kepergian kedua pendekar
muda itu. Bahkan Ki Jambak Gora dan kedua anaknya
juga tidak sempat lagi memperhatikan. Karena terlalu larut dalam kegembiraan,
karena berhasil membe-baskan Desa Jalakan dari cengkeraman tangan si Golok Setan dan teman-temannya.
Namun di balik itu, Ki Jambak Gora dan kedua
anaknya sebenarnya merasa terpukul oleh kematian Ki
Langgu. Karena biar seburuk-buruknya Ki Langgu, tetap saja masih ada hubungan darah dengan mereka.
Ki Langgu memang adik tiri Ki Jambak Gora, dan berarti paman Sutiningsih dan Jaka Umbaran. Namun
biar bagaimanapun juga, keadilan memang harus ditegakkan, tanpa memandang saudara. Buat Jaka Umbaran dan Sutiningsih, mereka baru tahu kalau sebenarnya Ki Langgu adalah paman
mereka juga. Hal itu diceritakan Ki Jambak Gora ketika kembali ke pengasingan setelah mengadakan
serangan bersama pemudapemuda asuhannya ke rumah Ki Langgu. Setelah hati
anak-anaknya mantap, barulah dia dan Pandan Wangi
pergi ke rumah Ki Langgu kembali untuk melaksanakan rencananya. Merebut kembali Desa Jalakan.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
Suling Naga 24 Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam Jodoh Rajawali 25

Cari Blog Ini