Ceritasilat Novel Online

Memperebutkan Bunga Wijaya 2

Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma Bagian 2


Dia tahu, Bunga Wijayakusuma Merah hanya ada
satu-satunya di dunia ini, dan sangat berarti sekali bagi Aria Kandaka. Bunga
itu memang didapatkannya dengan susah payah. Apalagi, keberadaannya hanya satu
kali dalam seratus tahun. Bunga itu bukan hanya bisa digunakan untuk
menyembuhkan segala macam penyakit, tapi juga bisa untuk menyempurnakan ilmu
tenaga dalam dan ilmu-ilmu kesaktian. Bahkan bunga itu bisa membuat tenaga dan
kesaktian seseorang berlipat ganda.
Orang yang membawa bunga itu dalam pertarungan, tubuhnya tak akan mempan oleh senjata apa pun juga. Kekebalannya tak
bisa ditembus, oleh senjata yang sakti sekalipun. Tidak heran jika Aria Kandaka
jadi lemas begini. Dengan hilangnya bunga itu, berarti hilang pula kekuatan
abadi yang dimiliki dan dibanggakannya.
"Di antara tamu-tamu undanganmu, apa ada yang mengetahui tentang bunga itu?"
tanya Pendeta Winaya lagi.
"Ya," sahut Aria Kandaka.
"Siapa saja?"
"Ki Gambang, Cambuk Naga, Dewi Kembar dari Utara, Elang Perak, Eyang Japahi
dan.... Masih banyak lagi yang tahu, Paman," sahut Aria Kandaka.
"Apa mereka semua ada di deretan bangku
undangan?"
"Tidak kuperhatikan, Paman."
"Hm...," Pendeta Winaya kembali menggumam perlahan.
Sementara Winarti hanya diam saja. Dikumpul-kannya senjata-senjata pusaka yang
berserakan di lantai gua ini dibantu Raseta. Tak ada orang lain lagi di dalam
gua ini, selain mereka berempat. Untuk beberapa saat, tak ada seorang pun yang
berbicara. Sedangkan Aria Kandaka masih kelihatan lesu, seperti tidak mempunyai gairah
hidup lagi. "Apa ada di antara mereka yang mengambil
kesempatan mencuri bunga itu, Paman?" tanya Aria Kandaka.
"Segala kemungkinan bisa saja terjadi, Aria Kandaka. Tapi kita tidak bisa
menuduh salah seorang dari mereka. Hal ini harus diselidiki lebih dahulu."
"Tapi, acara akan berakhir sampai besok sore, Paman. Apa kita punya kesempatan
untuk mengetahui, siapa pencuri itu...?"
"Aku tidak tahu. Tapi, sebaiknya hal ini jangan sampai tersebar dulu. Akan
kupikirkan, bagaimana caranya menjebak pencuri itu sebelum acara peringatan satu
tahun padepokanmu berakhir."
"Kalau mereka sudah bubar, habislah aku...,"
desah Aria Kandaka lesu.
"Jangan putus asa dulu, Aria Kandaka. Masih ada waktu untuk mencari si pencuri
itu," Pendeta Winaya membesarkan hati Ketua Padepokan Gunung Lawu ini
"Ya, masih ada waktu. Waktu yang sedikit..," desah Aria Kandaka.
*** 4 Sampai jauh malam, Aria Mandaka belum juga bisa mengetahui orang yang telah
membongkar gua tempat penyimpanan pusakanya. Semakin larut malam, Ketua
Padepokan Gunung Lawu itu semakin gelisah. Sama sekali matanya tidak bisa
dipicingkan barang sekejap pun. Hatinya begitu gelisah, berjalan hilir-mudik di
dalam kamarnya. Sesekali, dia berdiri di depan jendela sambil memandang jauh ke
dalam kegelapan.
Entah untuk yang keberapa kali, Aria Kandaka berdiri di depan jendela kamar ini.
Pada saat itu, matanya menangkap sebuah bayangan berkelebat menuju ke gua tempat
penyimpanan senjata. Dari jendela kamar ini ke gua tempat penyimpanan senjata
bisa langsung terlihat
"Heh..."! Siapa itu...?"
Tanpa berpikir panjang lagi, Aria Kandaka langsung melompat keluar dari jendela
yang terbuka lebar. Gerakannya ringan sekali, tanpa menimbulkan suara sedikit
pun juga. Begitu kakinya menjejak tanah, langsung dia berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sekilas bayangan hitam itu masih terlihat
menyelinap ke bagian belakang bangunan tempat beristirahat murid-murid
Padepokan Gunung Lawu ini.
"Hup...!"
Aria Kandaka cepat melompat ke atas atap
bangunan memanjang itu. Bagaikan seekor kucing, dia berlari ringan di atas atap
yang terbuat dari
rumbia itu. Kemudian, kembali melesat turun dengan gerakan ringan sekali. Tepat
pada saat itu, bayangan hitam terlihat berkelebat mendekati mulut gua
penyimpanan senjata.
"Berhenti...!" bentak Aria Kandaka lantang menggelegar.
Bentakan Aria Kandaka yang begitu keras, membuat sosok tubuh hitam itu terkejut
setengah mati Larinya dihentikan, dan cepat tubuhnya berbalik.
Pada saat yang bersamaan, tangan kanannya berkelebat cepat. Seketika itu juga
terlihat dua buah sinar keperakan melesat cepat ke arah Aria Kandaka.
"Hup! Yeaaah...!"
Aria Kandaka cepat-cepat melentingkan tubuhnya, menghindari kilatan cahaya
keperakan itu. Dua kali dia berputaran di udara, kemudian manis sekali mendarat
sekitar tiga langkah di depan sosok tubuh hitam itu. Secepat kilat,
dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi "Hiyaaa...!"
Hanya sedikit saja sosok tubuh hitam itu mengegoskan tubuhnya, sehingga pukulan
Aria Kandaka luput dari sasaran. Bahkan tanpa diduga sama sekail, orang berbaju
serba hitam itu membalas. Tangan kirinya menyodok ke arah lambung Ketua
Padepokan Gunung Lawu itu.
"Hait..!"
Aria Kandaka cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan, kemudian menggeser kakinya
ke kanan. Kembari dilepaskannya satu tendangan keras ke arah kepala yang terselubung kain
hitam. Tapi kali ini juga serangan Aria Kandaka manis sekali berhasil dielakkan. Orang berbaju serba hitam itu cepat melentingkan tubuhnya ke belakang,
berputaran beberapa kali sebelum menjejakkan kakinya sekitar dua batang tombak
dari Aria Kandaka. Kembali tangannya mengibas cepat ke depan, melepaskan senjata
keperakan berbentuk bulatan sebesar mata kucing.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Aria Kandaka terpaksa berjumpalitan menghindari benda-benda bulat kecil bersinar
keperakan itu. Dan begitu kembali menjejakkan kakinya di tanah, orang berbaju
serba hitam itu sudah tidak ada lagi. Aria Kandaka langsung mementang matanya
tajam-tajam, mencoba menembus kegelapan malam yang begitu pekat. Tapi orang
berbaju serba hitam itu sudah tidak terlihat lagi. Dia pergi di saat Ketua
Padepokan Gunung Lawu itu sedang sibuk menghindari senjata-senjata rahasianya.
Aria Kandaka membungkukkan tubuhnya sedikit, memungut senjata bulat sebesar mata
kucing yang berwarna perak dari tanah. Diamatinya benda bulat keperakan itu
beberapa saat. Keningnya jadi berkerut, dan matanya agak menyipit.
"Hm..., siapa dia..." Mau apa ke gua penyimpanan pusaka...?" Aria Kandaka
bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Perlahan kakinya terayun menuju ke mulut gua yang sudah tidak berpintu lagi.
Sebentar dia berhenti di ambang mulut gua itu. Tangannya kemudian meraih
sebatang obor, lalu dinyalakan dengan pemantik api. Cahaya api obor segera
menerangi sekitarnya. Kembali kakinya terayun memasuki gua batu itu. Keadaan di
dalam gua ini tidak berubah, meskipun sudah kelihatan agak rapi. Kepingankepingan kayu bekas lemari penyimpanan pusaka masih terlihat berserakan di
lantai. Aria Kandaka kembali melangkah keluar gua batu ini. Obor itu dimatikan dan
ditaruhnya kembali pada tempatnya. Saat itu terlihat seseorang berjalan cepat
menghampiri. Aria Kandaka menunggu sambil memperhatikan. Ternyata dia seorang
laki-laki tua berjubah kuning gading dengan kepala gundul dan janggut putih
panjang hampir menutupi leher.
"Paman Pendeta..."
Aria Kandaka menjura memberi hormat begitu mengenali orang tua berjubah kuning
yang datang menghampiri.
"Aku lihat tadi kau bertarung di sini. Siapa orang itu, Kandaka...?" tanya
Pendeta Winaya ingin tahu.
"Entahlah. Wajahnya ditutupi kain hitam," sahut Aria Kandaka.
"Kau kenali jurus-jurusnya?" tanya Pendeta Winaya lagi.
"Tidak," sahut Aria Kandaka lagi. "Tapi dia menggunakan senjata ini."
Aria Kandaka menunjukkan benda bulat kecil keperakan pada orang tua berjubah
kuning itu. Pendeta Winaya mengambil benda di telapak tangan Ketua Padepokan Gunung Lawu
ini. Kemudian, di-amatinya dengan seksama. Aria Kandaka mengambil benda itu lagi
setelah disodorkan Pendeta Winaya.
Disimpannya benda bulat keperakan itu di dalam saku ikat pinggangnya.
"Kau kenali benda itu, Kandaka?" tanya Pendeta Winaya lagi.
"Tidak," sahut Aria Kandaka.
Dia memang tidak tahu benda kecil bulat
keperakan itu, dan baru kali ini melihatnya. Dari tadi,
Aria Kandaka memang sedang berusaha mengenali senjata rahasia itu. Tapi, sama
sekali dia tidak ingat
"Apa Paman mengenalnya...?" Aria Kandaka balik bertanya.
"Tidak ada orang lain yang menggunakan senjata seperti itu...," kata Pendeta
Winaya, agak bergumam suaranya, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.
"Siapa orangnya, Paman?" desak Aria Kandaka ingin tahu.
"Hanya Elang Perak yang menggunakan senjata dari perak. Tapi...."
"Tapi kenapa, Paman?"
"Apa mungkin Elang Perak muncul seperti itu, dan secara rahasia...?" nada suara
Pendeta Winaya seperti bertanya pada diri sendiri.
"Aku akan melihat ke kamarnya, Paman," kata Aria Kandaka.
"Untuk apa" Kalaupun dia orangnya, pasti
sekarang ini ada di dalam kamarnya. Cukup banyak waktu untuknya kembali ke kamar
dan mengganti pakaian. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa di sana, Kandaka,"
sergah Pendeta Winaya lagi.
Aria Kandaka jadi termenung. Memang, kata-kata yang diucapkan Pendeta Winaya
tidak bisa dibantah lagi. Perlahan Aria Kandaka mengayunkan kakinya meninggalkan
depan gua penyimpanan senjata itu.
Sementara Pendeta Winaya hanya memperhatikan saja. Laki-laki gundul itu masih
tetap berdiri di depan mulut gua, dengan mata tidak berkedip memandangi punggung
Aria Kandaka yang semakin jauh.
*** Aria Kandaka memandangi benda bulat kecil, sebesar mata kucing berwarna
keperakan di atas meja. Otaknya terus berputar memikirkan orang yang tadi
dipergoki hendak masuk ke gua penyimpanan senjata. Tidak mudah menemukan orang
aneh terselubung teka-teki itu. Terlalu banyak tamu yang diundangnya. Dan
kebanyakan dari mereka, mahir menggunakan senjata rahasia.
Bisa saja mereka menggunakan senjata rahasia yang tidak bisa dikenali, dan bukan
miliknya sendiri.
Ini yang membuat Aria Kandaka tidak bisa menentu-kan, siapa orang itu di antara
para tamu undangannya. Tapi ada satu keganjilan mengganjal di hatinya....
Belum lagi Ketua Padepokan Gunung Lawu itu sempat meneruskan dugaannya, tibatiba terdengar ketukan halus di pintu.
"Masuk...!" seru Aria Kandaka agak keras.
Pintu kamar ini terbuka perlahan. Muncul seraut wajah wanita berusia sekitar
empat puluh tahun yang masih kelihatan cantik. Wanita itu melangkah masuk dan
menutup pintunya kembali. Aria Kandaka berdiri saja membelakangi meja yang
menempel pada dinding. Diberikannya senyuman sedikit pada Winarti yang kini
sudah duduk di kursi dekat jendela.
"Kau belum tidur, Winarti?" tegur Aria Kandaka lebih dahulu.
"Aku tidak bisa tidur," sahut Winarti.
"Kenapa...?"
"Pikiranku tidak menentu, Kakang," sahut Winarti.
Wanita itu bangkit dari duduknya, lalu menghampiri kakaknya. Matanya langsung
tertumbuk pada benda bulat kecil keperakan di atas meja. Tangannya terulur
mengambil benda itu, lalu mengamatinya beberapa saat. Lalu, benda itu
diletakkannya kembali
di atas meja. Aria Kandaka hanya memperhatikan saja, tanpa mengucapkan sesuatu.
"Dari mana kau dapatkan ini, Kakang?" tanya Winarti tanpa berpaling sedikit pun.
Aria Kandaka menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya. Winarti kelihatan
terkejut mendengar ada orang yang berusaha masuk ke gua penyimpanan senjata.
Dipandanginya wajah Ketua Padepokan Gunung Lawu itu dalam-dalam, seakan-akan
hendak mencari kebenaran dari cerita yang didengarnya barusan.
Cukup lama juga mereka terdiam, meskipun Aria Kandaka telah menyelesaikan
ceritanya. Mereka sama-sama menghembuskan napas panjang, lalu melangkah
mendekati jendela yang terbuka lebar.
Mereka berdiri berdampingan di depan jendela, menghadap keluar. Tak seorang pun
membuka suara lebih dahulu. Entah apa yang ada di dalam kepala masing-masing
saat ini. Hilangnya Bunga Wijayakusuma Merah dari gua tempat penyimpanan
senjata, telah membuat mereka diliputi kegelisahan.
"Kau tidak merasakan ada sesuatu yang aneh dari peristiwa ini, Kakang...?" tanya
Winarti dengan suara perlahan, hampir tidak terdengar. Seakan-akan dia bicara
untuk diri sendiri.
"Maksudmu...?" Aria Kandaka balik bertanya.
Dia berpaling sedikit menatap wajah Winarti yang berdiri di sampingnya. Winarti
tidak langsung menjawab. Tubuhnya diputar, dan berjalan mendekati meja kembali.
Aria Kandaka memandangi saja tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sedangkan
Winarti kembali mengamati benda bulat kecil keperakan di atas meja itu, kemudian
duduk di kursi yang ada di samping meja.
"Bunga Wijayakusuma Merah telah hilang. Tapi, masih ada orang yang akan masuk ke
sana. Apa kau tidak merasa ada sesuatu kejanggalan, Kakang...?"
masih terdengar pelan suara Winarti.
"Hm...," Aria Kandaka hanya menggumam saja perlahan.
Sebelum Winarti masuk tadi, dia juga sebenarnya sudah berpikir ke sana. Memang
terlihat adanya satu kejanggalan dari peristiwa ini. Sesuatu yang belum sempat
diketahuinya tadi. Dan sekarang, Winarti sudah menemukan adanya kejanggalan itu.
Memang, mereka sudah tahu kalau Bunga Wijayakusuma Merah telah hilang dari
tempatnya siang tadi. Tapi, kenapa masih ada orang yang ingin ke sana..." Untuk apa orang aneh itu ke gua penyimpanan senjata"
Pertanyaan inilah yang terus memenuhi kepala Aria Kandaka. Pertanyaan yang sulit
dijawab saat ini.
"Aku merasa, mereka datang ke sini punya tujuan tertentu, selain memenuhi
undanganmu, Kakang,"
duga Winarti lagi.
"Hanya beberapa saja dari mereka yang
mengetahui bunga itu, Winarti," sergah Aria Kandaka, membantah jalan pikiran
adiknya ini. "Memang tidak semua. Dan mereka yang tahu, harus kita perhatikan, Kakang. Aku
yakin, salah satu di antara mereka sekarang memiliki Bunga Wijayakusuma Merah.
Atau mungkin ada orang lain yang telah mengetahui, tapi kita sendiri tidak tahu
orangnya, Kakang," kembali Winarti menduga-duga.
"Sekarang ini memang kita hanya bisa menduga-duga. Aku...," tiba-tiba Aria
Kandaka menghentikan ucapannya. Dan....
"Awas...!"
Saat itu terlihat secercah cahaya merah melesat
masuk dari luar jendela. Winarti cepat melompat ke samping, dan menjatuhkan diri
ke lantai. Wanita itu bergulingan beberapa kali sebelum cepat melompat bangkit
berdiri. Pada saat itu, cahaya merah yang menerobos masuk telah menghantam tiang
penyangga kamar ini. Suara ledakan keras, terdengar dahsyat disusul hancurnya
tiang itu. "Hup!"
"Yeaaah...!"
Aria Kandaka dan Winarti cepat melompat keluar melalui jendela, sebelum atap
kamar ini runtuh.
Suara menggemuruh terdengar begitu atap kamar itu ambruk, karena tiang
penyangganya telah hancur terhantam sinar merah yang datang begitu tiba-tiba
dari luar tadi.
Beberapa kali Aria Kandaka dan Winarti berputaran di udara, lalu manis sekali
sama-sama menjejakkan kaki di tanah. Mereka saling
berpandangan sejenak, laki memperhatikan kamar yang telah runtuh atapnya. Di
dalam selimut kabut dan kegelapan malam, terlihat debu mengepul di dalam kamar
itu. Balok-balok kayu dan kepingan papan hampir memenuhi kamar itu. Untung saja


Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya atap kamar itu saja yang runtuh, dan tidak merembet ke bagian-bagian lain
bangunan berukuran cukup besar Ini.
"Edan...! Siapa lagi yang ingin main gila..."!"
dengus Aria Kandaka jadi geram setengah mati.
"Awas, Kakang...!" seru Winarti tiba-tiba.
"Hup!"
Aria Kandaka cepat membanting tubuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali
ketika secercah cahaya merah tiba-tiba melesat cepat menuju ke arahnya. Pada
saat yang bersamaan, Winarti melihat
adanya satu bayangan berkelebat cepat di atas atap.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Winarti langsung melesat mengejar bayangan yang
dilihatnya tadi.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Aria Kandaka juga cepat melompat ke atas atap begitu melihat Winarti melesat
cepat ke atap bangunan utama Padepokan Gunung Lawu ini. Begitu cepat dan
ringannya gerakan mereka, sehingga sekejap saja sudah berada di atas atap, dan
langsung melunak turun ke bagian belakang.
*** Winarti terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, mengejar
bayangan hitam yang berkelebat masuk ke dalam hutan di bagian belakang Padepokan
Gunung Lawu. Sekilas bayangan hitam itu masih sempat terlihat, sebelum lenyap di
balik pepohonan yang begitu rapat dan menghitam pekat
"Huh! Ke mana dia...?" dengus Winarti seraya menghentikan larinya.
Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi bayangan hitam yang
dikejarnya tidak juga kelihatan lagi. Pada saat itu, Aria Kandaka sudah sampai.
Dia berdiri dekat di samping adiknya. Ketua Padepokan Gunung Lawu itu juga
mengedarkan pandangan dengan tajam.
Wusss! Slap! Tiba-tiba saja sebuah benda hitam sepanjang lengan melesat cepat ke arah mereka.
Aria Kandaka cepat mengibaskan tangannya untuk menangkap benda hitam pekat itu.
Belum sempat benda yang
berada di dalam genggaman tangannya diperhatikan, mendadak saja dari atas pohon
di dekatnya meluncur dua sosok tubuh ramping.
"Hup...!"
Aria Kandaka dan Winarti cepat melompat ke belakang. Tahu-tahu saja di depan
mereka kini sudah berdiri dua orang gadis berpakaian ketat warna merah dan biru.
Masing-masing menyandang sebilah pedang. Wajah kedua gadis ini begitu serupa,
hampir tak ada bedanya sedikit pun.
"Dewi Kembar dari Utara...," desis Aria Kandaka langsung mengenali kedua gadis
itu. "Rupanya kalian biang onarnya," dengus Winarti langsung sengit
"Kami datang bukan untuk membuat keonaran, tapi hendak menuntut balas atas
perbuatanmu pada ibu kami!" dengus Randita dingin.
"Ibu kalian..." Apa yang telah kami lakukan...?"
sentak Aria Kandaka tidak mengerti.
"Kau jangan berpura-pura tidak tahu, Aria Kandaka! Karena ulahmu, maka ibu kami
sampai sekarang tidak bisa bangun dari pembaringannya!"
sentak Randini ketus.
Kening Aria Kandaka jadi berkerut mendengar tuduhan yang begitu ketus. Sungguh!
Dia tidak merasa telah berbuat sesuatu pada ibu kedua gadis ini, yang dikenal
berjuluk Dewi Kembar dari Utara.
Tapi, otaknya langsung bekerja cepat. Dan kini mulai bisa diduga, apa yang
dimaksud kedua gadis ini.
"Hm... Kalian menginginkan Bunga Wijayakusuma Merah...?" agak bergumam nada
suara Aria Kandaka.
"Kau sudah tahu apa yang kami inginkan, Aria Kandaka. Lebih baik, serahkan bunga
itu pada kami. Bunga itu sangat bermanfaat bagi kesembuhan ibu
kami," tegas Randita masih bernada sinis.
"Bunga itu tidak ada lagi padaku," sergah Aria Kandaka berterus terang.
"Setan...! Kau pikir mudah membodohi kami, heh..."!" dengus Randita menyentak.
"Aku tidak berdusta. Bunga itu hilang dari tempat penyimpanannya siang tadi,"
Aria Kandaka mencoba meyakinkan kedua gadis itu.
"Sudah kuduga, kau pasti akan mempertahankan bunga itu, Aria Kandaka," kata
Randini sinis. "Percuma menjelaskannya, Kakang. Sebaiknya tinggalkan saja anak-anak gendeng
ini," selak Winarti mulai muak.
"Jaga mulutmu, Winarti!" bentak Randita tersinggung.
"Kalau kau tidak suka dikatakan gendeng, sebaiknya cepat pergi dari sini. Aku
tidak sudi lagi melihat muka-muka kalian yang memuakkan!" balas Winarti berang.
"Keparat..! Jangan katakan kami kejam kalau mengirim kalian ke neraka!" rungut
Randita geram. Setelah berkata demikian, Randita langsung melompat cepat menerjang Winarti.
Satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, langsung dilepaskan
gadis kembar itu ke arah dada Winarti.
Tapi hanya sedikit saja Winarti mengegoskan tubuhnya, pukulan Randita melesat
dari sasaran. Bahkan cepat sekali Winarti menyodokkan tangan kirinya ke arah perut gadis
kembar itu. "Uts!"
Randita melompat mundur, menghindari sodokan tangan kiri adik perempuan Ketua
Padepokan Gunung Lawu itu. Cepat pedangnya ditarik keluar, dan langsung
dikebutkan ke arah dada Winarti yang
sedikit kosong. Tapi, rupanya Winarti memang sengaja membuka dadanya agar
diserang. Dan begitu ujung pedang hampir membabat dadanya, cepat sekali tubuhnya
ditarik ke belakang. Lalu pada saat yang sama, Winarti cepat mengebutkan tangan
kanannya ke depan.
"Hiyaaa...!"
Dari telapak tangan kanannya, melesat sebuah benda berwarna keperakan yang
meluncur deras ke arah Randita. Serangan balasan Winarti yang begitu cepat,
membuat Randita jadi terperangah tidak menyangka. Kelihatannya, tak ada lagi
kesempatan baginya untuk menghindar. Tapi mendadak saja....
Trang! Secercah kilatan benda keperakan berkelebat cepat di depan dada Randita,
menyampok benda keperakan yang dilepaskan Winarti. Benda keperakan itu terpental
ke samping, dan menghantam pohon.
Ledakan keras seketika terdengar menggelegar, membuat pohon yang cukup besar itu
tumbang seketika. Randita cepat melompat mundur beberapa tindak. Bibirnya
tersenyum pada Randini yang telah menyelamatkan nyawanya pada saat yang tepat.
Entah apa jadinya jika benda keperakan itu tadi menghantam tubuhnya. Pohon yang
begitu besar dan kokoh saja bisa tumbang terhantam benda
keperakan itu. Apalagi tubuhnya yang lunak..."
Randita menghembuskan napas panjang, karena masih bisa bernapas. Dan itu berkat
kecekatan saudara kembarnya yang bertindak tepat di saat gawat tadi.
"Kalian belum cukup mampu menandingiku,"
dengus Winarti sinis.
Kedua gadis yang berjuluk Dewi Kembar dari Utara
itu saling berpandangan. Dalam beberapa gebrakan saja, memang sudah dapat
dilihat kalau kepandaian mereka masih berada di bawah adik perempuan Ketua
Padepokan Gunung Lawu ini. Tapi mereka datang ke Gunung Lawu ini bukan untuk
menerima kegagalan begitu saja. Kedatangan mereka bukan hanya karena mendapat
undangan. Tapi yang lebih penting lagi untuk mendapatkan Bunga Wijayakusuma
Merah. Hanya bunga itu yang bisa
menyembuhkan ibu mereka dari kelumpuhan selama beberapa tahun ini.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Tanpa bicara apa pun juga, si Dewi Kembar dari Utara melesat cepat menyerang
Winarti yang memang sejak tadi sudah siap menerima serangan.
Begitu kedua gadis kembar itu melesat, Winarti cepat menarik kaki sedikit ke
kanan. Dan pada saat pedang Randita berkelebat ke arah kepala, manis sekali
Winarti menarik kepala ke belakang. Sehingga, tebasan pedang Randita tidak
sampai mengenai sasaran.
Tapi belum juga Winarti bisa menarik pulang kepalanya, Randini sudah menyerang
cepat bagaikan kilat Pedang gadis kembar itu berkelebat cepat membabat ke arah
pinggang. Tak ada waktu lagi bagi Winarti untuk berkelit menghindar. Cepat-cepat
kakinya ditarik ke samping, menghindari tebasan pedang yang mengarah ke
pinggangnya. "Gila...!" dengus Winarti dalam hati. Sungguh tidak disangka kalau kebutan
pedang Randini begitu dahsyat, sehingga terasa adanya aliran hawa panas dari
tebasan pedang itu. Bergegas Winarti melompat mundur beberapa langkah.
Sementara, Dewi Kembar
dari Utara sudah bersiap untuk melakukan serangan kembali. Mereka berada di
sebelah kanan dan kiri wanita separuh baya adik Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
Perlahan kedua gadis kembar itu menggeser kakinya memutari Winarti yang terus
memperhatikan tanpa berkedip sedikit pun. Dengan gerakan-gerakan yang sama dan
beraturan, kedua gadis kembar itu memainkan pedang di depan dada. Sesaat
kemudian... "Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Hampir bersamaan Dewi Kembar dari Utara
melompat cepat sambil mengebutkan pedang ke arah kepala dan kaki Winarti. Begitu
cepatnya serangan mereka, sehingga membuat Winarti sempat terperangah sedikit.
Tapi cepat-cepat dia melakukan gerakan indah, mengangkat kaki kanannya sambil
membungkuk menghindari dua serangan yang datang sekaligus bagaikan kilat itu.
Gagal dengan serangan pertama, Dewi Kembar dari Utara kembali melakukan
serangan-serangan secara cepat dan bergantian. Pedang mereka berkelebat cepat
bagaikan kilat, mengurung semua ruang gerak Winarti. Akibatnya, wanita hampir
separuh baya itu harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang.
Sedikit pun tidak ada kesempatan baginya untuk melakukan serangan balasan. Satu
serangan belum lagi berakhir, datang lagi serangan berikut dari arah lain
Sehingga, Winarti benar-benar tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk balas
menyerang. "Setan...!" dengus Winarti geram setengah mati.
Sementara tidak seberapa jauh dari tempat pertarungan itu, Aria Kandaka hanya diam menyaksikan tanpa berbuat sesuatu.
Meskipun adiknya kelihatan begitu kelabakan menghindari serangan kedua gadis
kembar ini, tapi Aria Kandaka masih bisa melihat kalau Winarti masih bisa
meladeni serangan-serangan kedua gadis kembar ini. Tak ada sedikit pun rasa
khawatir di hatinya. Dia percaya kalau Winarti mampu menundukkan si Dewi Kembar
dari Utara. *** 5 Pertarungan antara Winarti melawan dua gadis kembar yang berjuluk Dewi Kembar
dari Utara terus berlangsung semakin sengit. Jurus-jurus berlalu cepat. Dan
tampaknya, Dewi Kembar dari Utara sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan.
Sementara Winarti masih melayaninya dengan jurus-jurus ringan, tapi sangat
berbahaya dan tidak bisa dianggap enteng.
Meskipun Winarti belum mengeluarkan jurus-jurus andalan, tapi beberapa kali
sempat melakukan serangan balasan yang membuat kedua gadis kembar itu terpaksa
harus berjumpalitan menghindarinya. Bahkan beberapa pukulan yang dilepaskan
Winarti sudah mendarat di tubuh kedua gadis kembar itu. Sementara itu, belum ada
satu serangan pun yang berhasil disarangkan Dewi Kembar dari Utara ke tubuh
wanita hampir separuh baya ini.
Padahal, serangan-serangan yang mereka lakukan bagitu dahsyat dan berbahaya.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Winarti melentingkan tubuh ke udara, dan cepat sekali melakukan
putaran di udara.
Lalu, kedua kakinya menghentak ke samping cepat sekali. Begitu cepat gerakannya,
sehingga membuat kedua gadis kembar lawannya ini jadi terperangah.
Parahnya, mereka tidak sempat lagi berkelit menghindar.
Dugkh! Begkh! "Akh!"
"Aduh...!"
Kedua gadis kembar itu mengeluh saat telapak kaki Winarti tepat mendarat di
dadanya. Tak pelak lagi, mereka terpelanting ke belakang, lalu bergulingan
beberapa kali. Sementara, Winarti manis sekali menjejakkan kakinya di tanah
kembali. Dia berdiri tegak, memperhatikan kedua gadis kembar itu yang merintih
sambil memegangi dada sambil berusaha bangkit berdiri.
Tampak dari sudut bibir masing-masing mengucur-kan darah segar agak kental, dan
berwarna sedikit kehitaman. Tendangan yang dilancarkan Winarti tadi rupanya
mengandung pengerahan tenaga dalam, meskipun tidak dikeluarkan secara penuh.
Tapi, itu sudah membuat si Dewi Kembar dari Utara sudah tidak sanggup lagi
meneruskan pertarungan.
"Sudah kuperingatkan, kalian bukanlah tandingan-ku...," ujar Winarti, agak sinis
nada suaranya. Kedua gadis kembar itu hanya diam saja. Sejak semula, mereka memang sudah
menyadari kalau tidak bakal unggul menghadapi Winarti. Apalagi, untuk menghadapi
Aria Kandaka yang tingkat kepandaiannya di atas Winarti. Tapi tekad yang ada di
hati untuk membawa pulang Bunga Wijayakusuma Merah, membuat mata kedua gadis
kembar ini buta.
Padahal, mereka tahu tidak akan mampu menghadapi kepandaian Winarti maupun Aria
Kandaka. "Dengar...! Aku tidak akan segan-segan mengirim ke neraka, jika kalian masih
tetap membandel membuat keonaran di sini!" ancam Winarti lagi.
Dan ancaman yang dilontarkan Winarti memang tidak bisa dianggap main-main.
Wanita ini memang lebih tegas dari kakaknya, bila sudah mengambil keputusan.
Bahkan terkadang tindakannya bisa
dikatakan kejam. Apalagi kalau dalam keadaan seperti ini. Aria Kandaka yang
berada tidak seberapa jauh, melangkah perlahan menghampiri. Sementara Dewi
Kembar dari Utara sudah bisa bangkit berdiri.
Mereka berdiri berdampingan dengan tubuh nyeri.
Seluruh tulang-tulang di dalam tubuh mereka terasa remuk.
"Sebaiknya kalian tinggalkan tempat ini, sebelum adikku berubah pikiran," kata
Aria Kandaka, lembut suaranya.
Randita dan Randini saling berpandangan sejenak.
Mereka masih berdiri di tempatnya tanpa bergeming sedikit pun, meski Aria
Kandaka sudah meminta pergi dengan suara lembut. Kedua gadis kembar itu malah
menatap Aria Kandaka dan Winarti tajam-tajam. Sinar mata mereka memancarkan
ketidakpuasan. Tapi, mereka harus menyadari kalau tidak akan mungkin bisa
bernapas lagi jika pertarungan ini diteruskan.
Terlebih lagi, Winarti sudah mengeluarkan kata-kata bernada ancaman yang tidak
bisa dipandang ringan.
"Aku tahu, bunga itu sangat berarti bagi
kesembuhan ibu kalian. Tapi, saat ini bunga itu tidak berada lagi di tanganku.
Percayalah. Jika bunga itu bisa kudapatkan lagi, aku akan membawakannya untuk
ibu kalian," kata Aria Kandaka berjanji.
"Terima kasih. Tapi kami akan mendapatkannya sendiri," sahut Randita yang tidak
ingin diberi belas kasihan.
Setelah berkata demikian, Randita mengajak saudara kembarnya meninggalkan tempat
ini. Mereka berjalan cepat, dan sebentar saja sudah lenyap ditelan lebatnya
hutan yang begitu pekat tanpa mendapat siraman cahaya bulan. Sementara Aria
Kandaka dan Winarti masih tetap berdiri di sana,
memandangi kepergian Dewi Kembar dari Utara.
"Kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu tadi, Kakang?" tanya Winarti ingin
memastikan kesung-guhan janji kakaknya tadi pada si Dewi Kembar dari Utara.
"Ya," sahut Aria Kandaka agak mendesah.
Perlahan kaki Aria Kandaka terayun melangkah meninggalkan tempat ini. Winarti
masih berdiri beberapa saat di tempatnya, kemudian bergegas mengayunkan kakinya
menyusul Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Sebentar saja, dia sudah berjalan
sejajar di samping kanan Aria Kandaka.
"Kenapa kau cepat sekali berubah, Kakang...?"
Winarti masih penasaran atas sikap kakaknya.
Aria Kandaka tidak menjawab. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Mengapa tibatiba hatinya begitu terbuka, sehingga berjanji akan menyerahkan Bunga
Wijayakusuma Merah kepada Dewi Kembar dari Utara" Seakan-akan, kedigdayaan tak
ada artinya bila dibanding keluhuran budi. Menolong orang
kesusahan dengan bunga itu memang lebih berarti daripada kedigdayaan yang
didapat dari bunga itu.


Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Inilah yang jadi pertimbangan Aria Kandaka.
Kakinya terus terayun, melangkah menuju ke padepokannya. Sedangkan Winarti masih
menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi. Tapi setelah lama ditunggu tidak juga
ada jawaban, akhirnya dia diam saja. Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata
lagi menuju Padepokan Gunung Lawu yang tampak
tenang dan damai. Tapi di balik kedamaian itu, sebenarnya tersimpan bara yang
sewaktu-waktu bisa berkobar.
*** Burung-burung berkicauan riang, menyambut datangnya sang mentari yang menyembul
dari balik Gunung Lawu. Kabut tebal masih menyelimuti sekitar puncak gunung itu.
Suasana di Padepokan Gunung Lawu masih kelihatan tenang dan damai. Baru beberapa
orang yang kelihatan keluar dari kamarnya.
Sementara agak jauh dari padepokan itu, terlihat dua orang gadis berwajah kembar
tengah berjalan tertatih-tatih menembus lebatnya hutan. Wajah mereka tampak
diselimuti mendung. Kedua gadis ini adalah si Dewi Kembar dari Utara. Sejak
kekalahan semalam dari Winarti, mereka memang tidak langsung meninggalkan puncak
Gunung Lawu ini.
Dan, baru pagi ini mereka mulai berjalan hendak meninggalkan Gunung Lawu.
"Apa yang akan kita katakan pada Kanjeng Ibu nanti, Randita?" tanya Randini,
pelan suaranya.
"Aku tidak tahu. Tapi tampaknya kita bisa memegang janji Aria Kandaka," sahut
Randita. "Kau percaya pada janjinya, Randita...?"
"Tampaknya dia bisa dipercaya. Tapi, entahlah kalau adiknya," sahut Randita
lagi. Kali ini suaranya agak mendesah.
"Kau juga percaya kalau Bunga Wijayakusuma Merah tidak ada lagi padanya?" tanya
Randini lagi. "Tampaknya Aria Kandaka tidak main-main,
Randita. Kita sudah melihat kalau gua tempat penyimpanan pusaka sudah diobrakabrik orang. Aku yakin, ada orang lain yang menginginkan bunga itu.
Dan tampaknya dia lebih beruntung dari kita," jelas Randita.
"Kalau memang benar, rasanya tidak ada harapan bagi kita untuk mendapatkannya,"
desah Randini jadi lesu.
"Justru itu harapannya, Randini."
"Maksudmu...?" Randini jadi tidak mengerti.
Belum juga Randita menjawab pertanyaan saudara kembarnya, mendadak saja
dikejutkan suara tawa keras menggelegar yang memekakkan telinga. Begitu
kerasnya, sehingga membuat gendang telinga kedua gadis kembar ini terasa begitu
sakit. Mereka menutupi telinga dengan kedua telapak tangan, tapi suara tawa itu
semakin terdengar keras dan menyakitkan.
"Kerahkan tenaga dalam, Randini," desis Randita memberi tahu.
"Baik," sahut Randini.
Mereka segera berpegangan tangan, dan sama-sama mengerahkan tenaga dalam untuk
melawan suara tawa yang begitu keras menggelegar dan menyakitkan telinga. Tubuh
kedua gadis kembar ini mulai menggeletar. Dan perlahan, darah terlihat merembes
dari lubang hidung dan telinga. Mereka sama-sama sudah mengerahkan seluruh
kemampuan tenaga dalam, tapi tampaknya masih begitu sulit membendung arus tenaga
dalam yang disalurkan melalui suara tawa itu.
Tapi di saat kedua gadis ini hampir saja tak kuat lagi menahan gelombang suara
tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, mendadak saja bertiup angin yang
begitu kencang bagai terjadi badai topan. Begitu kuatnya angin topan itu
bertiup, membuat sikap berdiri si Dewi Kembar dari Utara jadi bergeser. Mereka
benar-benar kewalahan mendapat gempuran yang begitu dahsyat.
Dan pada saat benar-benar tidak dapat tertahankan lagi, tiba-tiba saja melesat
sebuah bayangan putih ke arah kedua gadis kembar ini.
"Pegang tanganku...!"
Dewi Kembar dari Utara jadi terlongong begitu tiba-tiba di depan mereka sudah
berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Pedangnya yang bergagang
kepala burung tampak tersampir di punggung.
Belum juga kedua gadis kembar itu berbuat sesuatu, tiba-tiba saja pemuda berbaju
rompi putih itu sudah mencekal pergelangan tangan mereka.
Saat itu juga, kedua gadis kembar itu merasakan adanya aliran hawa hangat
merambat dari pergelangan tangan, dan terus menyelusup ke seluruh aliran darah.
Mereka tidak tahu, apa yang dilakukan pemuda tampan berbaju rompi putih ini.
Tapi suara tawa yang begitu keras dan menggelegar mulai tak terasa lagi
menyengat telinga. Bahkan sama sekali tidak merasakan adanya hembusan angin
topan, meskipun pepohonan di sekitarnya mulai bertumbangan, dan batu-batuan
berpentalan. Bahkan banyak yang pecah berkeping-keping terhempas hembusan angin
yang entah dari mana datangnya.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja pemuda berbaju rompi putih itu melepaskan cekalan pada tangan
kedua gadis kembar ini. Lalu, cepat sekali tangan kanannya dihentakkan ke depan,
sambil menaruh tangan kiri di samping pinggang. Saat itu juga, sinar merah
melesat bagaikan kilat dari telapak tangan kanan yang terbuka lebar. Sinar merah
itu langsung menghantam sebongkah batu sebesar kerbau hingga hancur berantakan.
Glarrr...! Ledakan keras menggelegar terdengar bersamaan dengan hancurnya batu itu. Pada
saat yang sama, terlihat sebuah bayangan berkelebat keluar dari kepulan debu dan pecahan batu yang
berhamburan ke segala arah.
"Phuih...!"
Suara semburan terdengar bersamaan dengan mendaratnya seorang laki-laki berusia
sekitar empat puluh tahun. Wajahnya kelihatan tampan, meskipun rambutnya sudah
mulai berwarna dua. Bajunya berwarna perak dan ketat. Sebilah pedang berukuran
pendek, tampak terselip di pinggangnya yang ramping dan tegap. Dia berdiri
sekitar tiga batang tombak di depan Dewi Kembar dari Utara, dan pemuda berbaju
rompi putih. Suara tawa menggelegar dan angin topan, saat itu menghilang tibatiba. "Bedebah! Untuk apa kau menolong gadis-gadis liar itu, heh..."!" sentak lakilaki berbaju perak itu sengit
Sorot matanya begitu tajam, menembus langsung ke bola mata pemuda berbaju rompi
putih di depannya. Sedangkan pemuda tampan yang mengenakan baju putih tanpa
lengan itu hanya tersenyum saja.
Hanya sedikit matanya melirik ke arah dua gadis kembar yang berada di samping
kanan dan kirinya.
"Elang Perak...," desis Randita cepat mengenali laki-laki berbaju serba perak
yang baru muncul itu.
"Sayang sekali. Aku paling tidak suka melihat ada serangan gelap dan pengecut,"
terdengar tenang sekali suara pemuda berbaju rompi putih itu.
"Siapa kau sebenarnya, Bocah" Apa hubungannya dengan gadis liar itu?" tanya
Elang Perak, agak menyentak suaranya.
"Apakah salah jika membantu orang yang meng-alami kesulitan?" pemuda berbaju
rompi putih itu malah balik bertanya.
"Jawab saja pertanyaanku, Bocah Setan!" bentak si Elang Perak jadi berang.
"Hm.... Kalau kau ingin tahu, baiklah.... Aku Rangga, dan tidak ada hubungan
sama sekali dengan mereka. Aku hanya menghentikan serangan gelapmu saja. Tidak
pantas menyerang dengan cara seperti itu," masih terdengar tenang suara pemuda
berbaju rompi putih ini.
Dan memang, pemuda itu adalah Rangga, yang di kalangan persilatan lebih dikenal
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Rangga muncul pada saat yang benar-benar tepat
bagi si Dewi Kembar dari Utara. Tapi tindakannya membuat si Elang Perak jadi
berang, karena serangannya dapat dipatahkan begitu mudah.
Bahkan hampir saja mati kalau tidak segera keluar dari balik batu yang
dihancurkan Rangga tadi.
"Kau mampu menandingi aji 'Suara Dewa'. Apa julukanmu, Bocah?" tanya Elang
Perak. Kali ini suaranya terdengar agak lunak.
"Apakah itu perlu...?" Rangga kembali balik bertanya.
"Jawab saja pertanyaanku, Bocah!" kembali si Elang Perak membentak kasar.
"Baik kalau itu bisa memuaskanmu. Aku digelari Pendekar Rajawali Sakti," sahut
Rangga, tanpa ada maksud menyombongkan diri.
"Pendekar Rajawali Sakti..."!"
*** Bukan hanya Elang Perak saja yang terkejut begitu mengetahui kalau pemuda
berbaju rompi putih ini adalah Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan si gadis kembar
yang berjuluk Dewi Kembar dari Utara juga
terlongong mendengarnya. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau pemuda tampan
berbaju rompi putih itu adalah Pendekar Rajawali Sakti yang selalu menggemparkan
setiap kali muncul di rimba persilatan.
Mereka sering mendengar nama Pendekar
Rajawali Sakti, tapi baru kali ini bisa bertemu orangnya langsung. Dan tentu
saja mereka terkejut, karena tidak menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti yang
begitu ternama dan terkenal kedigdayaannya masih begitu muda dan tampan.
Terlebih lagi, si Elang Perak. Dia tadi tidak memperhatikan sama sekali kalau
Ranggalah yang menimbulkan angin topan dari aji 'Bayu Bajra', sebelum melepaskan
satu pukulan dahsyat yang dikeluarkan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
tingkat terakhir. Satu jurus pukulan jarak jauh yang begitu dahsyat luar biasa.
"Aku sering mendengar nama besarmu, Pendekar Rajawali Sakti. Pantas saja kau
mampu membuyar-kan aji 'Suara Dewa'," puji Elang Perak tulus. "Tapi kuharap, kau
tidak mencampuri urusanku dengan kedua gadis liar itu."
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja perlahan.
Sedikit Pendekar Rajawali Sakti melirik dua gadis kembar yang berada di sebe'ah
kanan dan kirinya.
Sedangkan kedua gadis kembar ini hanya menatap tajam saja pada si Elang Perak.
Disadari, Elang Perak bukanlah tandingan mereka. Tingkat kepandaian yang
dimiliki mereka masih jauh dari laki-laki berbaju serba perak itu.
"Elang Perak! Ada apa kau mencegat jalan kami"
Bukankah kau seharusnya ada di Padepokan Gunung Lawu...?" tanya Randita
menyelak. "He he he.... Kau pikir aku bodoh"! Kau sendiri,
mengapa meninggalkan Padepokan Gunung Lawu sebelum waktunya...?" sinis sekali
nada suara Elang Perak.
"Apa maksudmu?" sentak Randita.
"Sebaiknya tidak perlu berpura-pura, Bocah.
Serahkan saja Bunga Wijayakusuma Merah kepada-ku. Aku jamin, kau akan selamat,"
kali ini nada suara Elang Perak terdengar mengancam.
"Edan...!" rungut Randita kesal.
Gadis itu sendiri tidak tahu, di mana Bunga Wijayakusuma Merah berada sekarang.
Tapi sekarang malah dituduh telah menguasai bunga itu.
Tentu saja Randita jadi geram, karena tidak merasa telah memiliki Bunga
Wijayakusuma Merah yang menjadi pangkal dari segala persoalan ini. Randita
sendiri sebenarnya sudah merasa, kalau tidak akan mudah mendapatkan bunga itu.
Dia dan saudara kembarnya datang ke Gunung Lawu juga hanya mengandalkan nasib
baik saja. Tapi sebelum segala rencana mereka terlaksana, sudah terbentur
sandungan yang begitu berat
Dan sekarang, di depannya berdiri seorang laki-laki berjuluk Elang Perak. Bukan
karena kemunculannya yang tadi begitu tiba-tiba dan langsung menyerang
menggunakan aji kesaktian, tapi tuduhannya yang membuat Randita jadi berang
setengah mati. Tapi sungguh disadari kalau kemampuannya berada jauh di bawah
laki-laki ini. Jadi, Randita hanya bisa meng-gerutu dalam hati. Dia harus
berpikir seribu kali untuk melabraknya.
"Aku tidak punya banyak waktu, Bocah Setan!
Serahkan bunga itu padaku, atau terpaksa kulakukan kekerasan!" ancam Elang Perak
mendesis dingin.
"Bunga itu tidak ada pada kami!" sentak Randita
sengit. "Jangan membuat kesabaranku habis, Bocah!"
desis Elang Perak menggeram.
"Terserah apa keinginanmu. Aku mengatakan yang sebenarnya. Bunga itu tidak ada
pada kami...!" sentak Randini yang sejak tadi diam saja.
"Keparat..! Jangan harap bisa mempermainkan aku, Bocah Setan...!"
Kemarahan Elang Perak sudah tidak bisa ditakar lagi. Dia merasa dirinya
dipermainkan kedua gadis kembar ini Sambil mendesis menahan geram, tiba-tiba
saja tangannya bergerak cepat mengibas ke depan. Saat itu, dari telapak
tangannya meluncur secercah sinar keperakan yang meluruk deras ke arah Randita.
"Tahan...!" seru Rangga.
Tapi terlambat Elang Perak sudah melancarkan serangan cepat sekali. Tak ada
kesempatan menghindar bagi Randita. Apalagi, saat itu dia sama sekali tidak siap
menerima serangan. Tapi begitu ujung sinar keperakan itu hampir menghantam
dadanya, mendadak saja Rangga mengibaskan tangan kirinya dengan kecepatan kilat.
Langsung ditangkisnya serangan cahaya perak itu.
Glarrr...! Satu ledakan keras menggelegar terjadi ketika sinar merah yang keluar dari
telapak tangan kiri Rangga menghantam ujung cahaya keperakan di depan dada
Randita. Begitu keras ledakan itu, sehingga membuat Randita sampai terpental ke
belakang. Beberapa kali gadis itu berputaran di udara, kemudian mendarat dengan
tubuh limbung. Buru-buru tubuhnya disandarkan ke pohon, sebelum jatuh terguling.
Hempasan dari dua kekuatan tenaga yang begitu dahsyat, membuat dada Randita jadi
terasa sesak. Padahal pukulan jarak jauh yang dilepaskan Elang Perak tadi, tidak sampai
mengenai tubuhnya. Tapi, dari dorongan ledakan tadi sudah membuat dadanya begitu
sesak. Bahkan keseimbangan tubuhnya pun jadi terganggu.
"Setan...!" geram Randita menggeretak.
"Keparat..! Dua kali kau menghalangiku, Pendekar Rajawali Sakti!" desis Elang
Perak menggeram marah.
"Aku akan diam jika kau tidak bertangan besi,"
tegas Rangga. "Itu bukan urusanmu!" bentak Elang Perak
semakin gusar. "Maaf. Selama aku melihat tindak kekerasan secara brutal, maka itu selalu
menjadi urusanku.
Suka atau tidak, aku tetap akan melindungi kedua gadis ini dari kebrutalanmu,"
lagi-lagi Rangga berkata tegas.
"Setan...!" rungut Elang Perak tidak dapat lagi menahan kegeramannya.
Tiba-tiba saja Elang Perak melentingkan tubuh ke udara, dan cepat sekali
melepaskan dua pukulan jarak jauh secara beruntun. Sinar-sinar keperakan
berkelebatan cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi hanya dengan menggeser kaki sedikit ke kanan dan ke kiri, Rangga berhasil
mengelakkan serangan-serangan itu.
Pada saat yang hampir bersamaan, Elang Perak meluruk deras sambil melepaskan
beberapa pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Rangga sempat terkejut. Ternyata jurus yang digunakan Elang Perak, hampir mirip
jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Hanya saja Elang
Perak memusatkan seluruh serangan pada kekuatan tangan, sedangkan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikuasai Rangga terpusat pada kedua
kaki. Menghadapi jurus yang hampir mirip, Rangga cepat-cepat melompat mundur. Dan
begitu kaki Elang Perak mendarat di tanah, cepat dilepaskannya satu sodokan
tangan kiri yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepatnya
serangan balasan yang dilakukan, sehingga membuat Elang Perak jadi terperangah.
Tak ada lagi kesempatan baginya untuk berkelit menghindar, karena jarak mereka
memang terlalu dekat. Cepat-cepat Elang Perak mengibaskan tangan kanan,
menangkis sodokan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang mengarah ke perut
Plak! "Ikh...!" Elang Perak terpekik agak tertahan. Cepat dia melompat mundur sambil
memegangi pergelangan tangan kanannya. Sungguh tidak disangka sama sekali kalau
tenaga dalam yang dimiliki pemuda berbaju rompi putih itu luar biasa sekali.
Tulang pergelangan tangannya seperti remuk ketika ber-benturan dengan tangan
Pendekar Rajawali Sakti barusan. Elang Perak cepat-cepat mengebutkan tangan
kanan beberapa kali. Disalurkannya hawa murni ke tangan untuk menghilangkan
getaran yang merambat di seluruh tangan kanannya.
"Edan...!" dengus Elang Perak dalam hati.
*** 6 Sudah seringkali Elang Perak mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti,
dan kedigdayaannya dalam mengatasi lawan-lawan. Dan sekarang dia benar-benar
berhadapan dengan pendekar muda digdaya berkepandaian tinggi itu. Rasa penasaran
membuatnya tidak peduli. Padahal dari benturan tangan tadi, sudah bisa diketahui


Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau tingkat tenaga dalam yang dimilikinya masih berada di bawah Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kau akan menyesal mencampuri urusanku,
Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"
Elang Perak kembali melompat menerjang cepat.
Beberapa pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, cepat
dilepaskan. Rangga segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Tubuhnya meliuk-liuk indah, diimbangi gerakan kaki yang ringan dan lincah
sekali. Sehingga, membuat setiap serangan yang dilancarkan Elang Perak tidak
membawa hasil sama sekali.
Beberapa kali Elang Perak merubah jurus, tapi tak satu pun serangannya yang
berhasil menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan-gerakan yang dilakukan
Rangga begitu cepat dan ringan.
Bahkan terkadang seperti tidak sedang bertarung.
Tapi, tidak mudah bagi Elang Perak untuk
memasukkan serangannya. Setiap kali pukulannya hampir mengena, manis sekali
Rangga selalu berhasil menghindar tanpa diduga sama sekali. Bahkan
beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melancarkan serangan balasan yang membuat
Elang Perak jadi kelabakan menghindarinya. Padahal, serangan-serangan yang
dilakukan Rangga hanya bersifat menguji dan menjajaki tingkat kepandaian lawan
saja. "Setan...!" geram Elang Perak semakin sengit dan penasaran.
Tiba-tiba saja Elang Perak melentingkan tubuh ke belakang, lalu melakukan
putaran beberapa kali.
Tepat ketika kakinya menjejak tanah, kedua tangannya bergerak cepat mengibas.
Langsung dilontarkannya puluhan benda-benda kecil berwarna keperakan ke arah
Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaah...!"
Rangga terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan gencar yang
dilancarkan Elang Perak. Suara ledakan-ledakan keras menggelegar terdengar di
sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Setiap benda keperakan yang dilepaskan Elang Perak, selalu menimbulkan ledakan
di saat menghantam tanah atau pohon dan bebatuan yang berada di sekitar
pertarungan. Debu dan kepingan bebatuan serta serpihan dari pepohonan yang
hancur terhantam benda keperakan itu, membuat pandangan jadi terhalang.
Sehingga, tubuh Rangga benar-benar tak terlihat lagi. Yang terlihat hanyalah
bayangan putih saja yang berkelebat cepat menghindari setiap serangan yang
datang. "Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga merentangkan kedua tangan ke samping, lalu cepat sekali
dihentakkan ke depan dengan kedua telapak tangan terbuka lebar-lebar.
Pada saat itu, dua cahaya merah melesat cepat ke
arah Elang Perak.
"Heh..."!" Elang Perak terkejut setengah mati.
"Hup! Yeaaah...!"
Bergegas tubuhnya melenting ke udara, dan melakukan putaran beberapa kali untuk
menghindari sinar-sinar merah yang dilepaskan Rangga dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tahap terakhir.
Dan begitu kaki Elang Perak menjejak tanah, tanpa diduga sama sekali Pendekar
Rajawali Sakti sudah meluruk cepat bagaikan kilat. Langsung dilepaskannya satu
pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat
kesempurnaan. Begitu cepat serangannya sehingga Elang Perak tidak sempat lagi
berkelit. Desss! "Akh...!" Elang Perak memekik keras agak tertahan.
Pukulan Rangga yang begitu keras tepat menghantam dadanya. Akibatnya Elang Perak
terpental cukup jauh ke belakang, dan baru berhenti setelah menghantam sebongkah
batu yang cukup besar.
"Hoek...!"
Elang Perak memuntahkan darah kental agak kehitaman dari mulutnya yang penuh
berlumur darah.
Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Rangga, membuat Elang Perak terpaksa
harus menderita luka dalam yang cukup parah di dada.
Sementara Rangga berdiri tegak memandangi Elang Perak yang mencoba bangkit
berdiri. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang mengucur dari mulut
Meskipun bisa bangkit berdiri, tapi sepasang kakinya seakan-akan tidak sanggup
lagi menahan berat tubuhnya. Limbung. Elang Perak terpaksa menyangga tubuh
dengan berpegangan
pada pohon di sampingnya. Dipandanginya Rangga dengan sinar mata redup.
"Kau benar-benar tangguh, Pendekar Rajawali Sakti," puji Elang Perak, tulus.
"Sebaiknya bersemadilah, Kisanak. Aku yakin, kau menderita luka dalam cukup
parah," jelas Rangga.
"Aku tidak menyesal kau tundukkan, Pendekar Rajawali Sakti. Aku bangga bisa
dikalahkan pendekar digdaya dan ternama sepertimu," kata Elang Perak lagi
diiringi senyum kebanggaan menghias bibirnya.
"Hanya satu pesanku, Pendekar Rajawali Sakti. Hati-hatilah pada kedua gadis liar
itu. Jangan sampai kau diperalat mereka...."
Setelah berkata demikian, Elang Perak membalik-kan tubuhnya. Dia kemudian
berjalan tertatih-tatih meninggalkan tempat ini. Beberapa saat Rangga masih
berdiri memandangi kepergian Elang Perak, sampai tidak terlihat lagi bayangan
tubuhnya. Perlahan Rangga baru memutar tubuhnya, dan langsung memandang kedua gadis kembar
yang berdiri berdampingan.
Rangga mengayunkan kakinya perlahan mendekati kedua gadis kembar yang dikenal
berjuluk Dewi Kembar dari Utara. Dia baru berhenti setelah jaraknya tinggal
sekitar lima langkah lagi di depan mereka.
"Kaliankah yang berjuluk Dewi Kembar dari Utara?" tanya Rangga seakan-akan ingin
memastikan. "Benar," sahut Randita seraya berkerut keningnya.
"Bagaimana kau bisa tahu tentang diri kami?"
Randini balik bertanya.
Rangga hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan salah satu dari gadis kembar
itu. Memang diakui dalam hati, tidak mudah membedakan kedua
gadis ini jika mengenakan pakaian yang potongan dan warnanya sama. Wajah mereka
begitu serupa, hampir tak ada bedanya. Hanya warna baju yang dikenakan saja yang
membedakan. Kedua gadis itu masih keheranan, karena Rangga bisa mengetahui tentang diri
mereka. Padahal mereka tidak pernah saling berjumpa sebelum ini.
Dan memang diakui, kalau nama Pendekar Rajawali Sakti sering didengar. Tapi baru
kali ini mereka bisa berjumpa.
"Rasanya tidak ada lagi di jagat raya ini ada dua gadis kembar berkepandaian
tinggi yang begitu serupa, dan hampir tak ada bedanya," kata Rangga diiringi
senyuman menghias di bibir. "Kalau penilaian-ku tidak salah, benarkah dugaanku
itu...?" "Benar, kami memang dijuluki Dewi Kembar dari Utara," sahut Randita membenarkan
dugaan Rangga. "Ah.... Beruntung sekali bisa bertemu dengan kalian di sini," desah Rangga.
"Kau sengaja datang ke sini mencari kami...?"
tanya Randita mulai diliputi kecurigaan.
"Ya," sahut Rangga singkat
"Untuk apa mencari kami?" sambung Randini bertanya.
"Rasanya tempat ini kurang cocok untuk berbicara.
Sebaiknya, kita cari tempat yang lebih nyaman," kata Rangga tanpa menjawab
pertanyaan kedua gadis itu.
Rangga langsung saja mengayunkan kakinya
meninggalkan tempat yang sudah hancur porak-poranda ini. Sementara, si Dewi
Kembar dari Utara saling berpandangan. Sebentar kemudian, mereka menatap
punggung Rangga yang terus saja
melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Kedua gadis kembar itu kemudian mengayunkan
kaki mengikuti Pendekar Rajawali Sakti, setelah saling melemparkan pandangan sebentar.
*** "Aku memang sengaja datang ke Gunung Lawu ini untuk mencari kalian berdua...,"
jelas Rangga, memulai.
Pendekar Rajawali Sakti duduk bersandar di bawah pohon. Sedangkan Randita dan
Randini duduk berdampingan sekitar setengah tombak di depan pemuda berbaju rompi
putih ini. Mereka terdiam saja, memandangi wajah tampan di depannya.
"Kenapa kau mencari kami?" tanya Randita.
"Ada pesan yang harus kusampaikan," sahut Rangga.
"Pesan..." Dari siapa?"
"Nyai Karti," sahut Rangga.
Dewi Kembar dari Utara terkejut mendengar jawaban Rangga barusan. Mereka sampai
terlonjak bangkit, seperti disengat kala beracun. Sedangkan Rangga hanya
memandangi saja dengan bibir tetap mengulas senyum. Kelihatan tenang sekali,
seakan-akan tidak terpengaruh oleh keterkejutan kedua gadis kembar itu atas
jawabannya barusan.
"Di sini bukan tempatnya bermain-main, Kisanak.
Kami berterima kasih, karena kau telah menyelamatkan kami dari Elang Perak. Tapi
jangan harap semudah itu bisa mempermainkan kami!" dengus Randita. Begitu dingin
sekali nada suaranya.
Tatapan mata Randita juga tajam, menusuk
langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Randini sudah meraba ujung pedang yang menyembul ke pinggang belakang.
Seruling Samber Nyawa 7 Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa Pendekar Cengeng 9

Cari Blog Ini