Ceritasilat Novel Online

Misteri Peramal Tua 2

Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua Bagian 2


"Apa dia juga meramalmu, Den Ayu?" tanya Ki Jantar.
"Iya, malam itu," sahut Pandan Wangi.
"O...!" Ki Jantar terkejut
Malam itu Ki Jantar memang melihat peramal tua itu bicara dengan Pandan Wangi.
Dan pada saat ditanyakan, tampaknya Pandan Wangi tidak ingin membicarakannya.
Tapi setelah beberapa hari tidak juga ada
kebenaran dari ramalan peramal tua itu, tampaknya Pandan Wangi tidak lagi
mempercayainya. Bahkan seperti melupakan semua yang dikatakan laki-laki tua
peramal kematian itu.
"Kalau begitu, Den Ayu harus hati-hati," tegas Ki Jantar memperingatkan.
"Kenapa aku harus hati-hati, Ki?" tanya Pandan Wangi memancing keingintahuannya.
"Ramalan peramal tua itu tidak pernah meleset Kalau dikatakan dua hari lagi
mati, pasti orang yang diramalkannya akan menemui ajal pada hari yang
ditentukan," jelas Ki Jantar.
"Sudah banyak korbannya, Ki."
"Bukan banyak lagi, Den Ayu."
"Apakah mereka mati dibunuh?" Pandan Wangi jadi teringat peristiwa malam itu.
Peristiwa serangan gelap itu terjadi setelah si Peramal Maut itu meramalkan
kematiannya. Tapi dia tidak yakin kalau serangan gelap itu ada hubungan-nya
dengan ramalan. Dugaannya, orang yang
menyerangnya pasti punya dendam padanya. Dan tentu saja dendam itu ingin
dilampiaskannya malam itu. Hanya saja Pandan Wangi menduga kalau bukan hanya
satu orang. Terbukti, penyerang itu tewas
bukan karenanya, tapi ada orang Iain yang sengaja membunuhnya secara licik.
Entah apa maksudnya, Pandan Wangi sendiri tidak tahu.
"Tidak semuanya, Den Ayu," sahut Ki Jantar.
"Maksudmu, Ki?"
"Macam-macam saja kematiannya, Den Ayu.
Bahkan ada juga yang mati mendadak tanpa
diketahui penyebabnya. Atau kecelakaan, dan ada juga dibunuh perampok. Pokoknya
mereka yang pernah diramal, pasti mati pada saat hari yang telah ditentukan.
Entah mati karena apa," jelas Ki Jantar.
"Tapi dia tidak menentukan kapan waktunya aku mati, Ki," kata Pandan Wangi.
"Apa yang dikatakannya padamu, Den Ayu" tanya Ki Jantar.
"Katanya aku akan mati dalam waktu beberapa hari ini saja," sahut Pandan Wangi.
"Dua hari lagi...."
Pandan Wangi terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara orang menyeletuk. Gadis
itu langsung berpaling. Begitu juga Ki Jantar. Entah kapan datangnya, tahu-tahu
di depan mereka sudah berdiri laki-laki tua yang telah memperkenalkan diri
dengan nama Ki Ramal. Sedangkan semua orang di desa ini
menjulukinya si Peramal Maut. Karena peramal tua ini selalu meramal kematian
orang dalam waktu yang tepat seperti apa yang telah dikatakannya.
"Aku melihat adanya bayangan gelap dan hawa kematian pada dirimu, Nisanak. Dua
hari lagi ajalmu akan datang. Kuharap kau berhati-hati, dan sebaiknya pergi jauh
dari sini melewati tiga gunung dan tiga sungai agar bisa terlepas dari
kematianmu," ujar si Peramal Maut itu.
Namun sebelum Pandan Wangi bisa mengatakan
sesuatu, laki-laki tua berbaju putih itu sudah berjalan meninggalkannya.
Jalannya ringan sambil mengayun-ayunkan tongkatnya. Pada saat itu, terlihat
sebuah kereta kuda yang cukup indah tengah bergerak cepat meninggalkan halaman
depan kedai ini. Di dalamnya terlihat Saudagar Kanta dengan wajah murung terselimut mendung. Mungkin dugaan Ki Jantar tadi memang benar kalau saudagar kaya
itu mendapat ramalan kematiannya dari si Peramal Maut.
"Peramal edan...! Seenaknya saja menentukan kematian orang!" dengus Pandan Wangi
geram. "Sebaiknya Den Ayu cepat pergj dari sini, seperti yang dikatakannya," kata Ki
Jantar. "Tidak! Aku ingjn tahu, apa memang dia bisa mengetahui kematianku," sahut Pandan
Wangi mantap. Ki Jantar tidak bisa lagi memaksa. Dia tahu kalau Pandan Wangi sudah berkata
demikian, tidak ada seorang pun yang bisa merubahnya. Terlebih lagi, gadis ini
memang sudah sering menghadapi
tantangan. Jadi, tidak mungkin merasa takut meskipun kematiannya sudah diramal
akan datang dua hari lagi.
*** Meskipun Pandan Wangi tidak ingjn mempercayai ramalan yang dianggapnya gila itu,
tapi dalam dua hari ini hatinya selalu gelisah. Terlebih lagi setelah mendengar
kematian Saudagar Kanta yang keretanya terbalik ke dalam jurang. Saudagar itu
memang diramalkan akan mati dalam dua hari ini, dan itu menjadi kenyataan.
Inilah yang membuat Pandan Wangi semakin gelisah saja.
Pandan Wangi sudah berusaha untuk tidak
menunjukkannya di depan siapa saja. Namun Rangga masih juga mengetahui
kegelisahan di dalam diri gadis itu. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu tahu kalau
Pandan Wangi telah diramal kematiannya dari seorang peramal tua yang dijuluki si
Peramal Maut. Rangga bisa mengetahui dari cerita Ki Jantar. Bahkan Cempaka juga sudah member!
tahukan padanya.
Saat itu Pandan Wangi tidak keluar dari kamamya.
Sejak pagi tadi, dia seialu mengurung diri di dalam kamar. Dan terpaksa Cempaka
meminta agar Padmi mengantarkan makanan ke kamar Pandan Wangi.
Tapi Padmi mengatakan kalau Pandan Wangi tidak menyentuh makanannya sama sekali.
Dan yang lebih membuat cemas lagj, Pandan Wangi tidak ingjn ditemui siapa pun.
Katanya, masa dua hari ramalan itu ingin dilewatkannya. Kalau sampai besok pagj
masih hidup, itu berarti ramalan peramal tua itu tidak bisa dipercaya.
"Bagaimana kalau ramalan itu benar, Kakang?"
tanya Cempaka yang jadi ikut gelisah di dalam kamarnya.
Saat itu malam sudah demikian larut. Sementara Rangga memang sengaja berada di
kamar Cempaka, karena kamar ini bersebelahan dengan kamar Pandan Wangi. Jadi
kalau terjadi sesuatu, bisa dketahui dengan pasti dan cepat. Sementara malam
terus bertambah semakin larut. Dan ketegangan semakin terasa menyelimuti seluruh
hati mereka. Bahkan Padmi sendiri yang biasanya sudah tidur, masih juga terjaga. Ketegangan
ini ikut dirasakannya pula.
Brak! Tiba-tiba saja terdengar suara seperti benda berat
yang jatuh ke lantai dari kamar Pandan Wangi.
Seketika itu juga Rangga melompat ke jendela. Pada saat itu, terlihat sebuah
bayangan berkelebat keluar dari jendela kamar Pandan Wangi. Dan sebelum Pendekar
Rajawali Sakti bisa melihat dengan pasti, kembali berkelebat sebuah bayangan
biru dari dalam kamar itu juga.
"Hup...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat keluar. Cempaka bergegas
melompat ke jendela, tapi tidak jadi mengikuti kakak tirinya itu. Dia ingat
dengan Padmi yang saat ini juga harus dijaga keselamatannya. Sementara Rangga
sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Cempaka bergegas berlari ke pintu dan
cepat membukanya. Dia bergegas berlari ke luar. Padmi yang sejak tadi duduk saja
di tepi pembaringan, mengikutinya. Dia merasa takut berada sendirian di dalam
kamar itu. Sementara Cempaka sudah berada di depan pintu kamar Pandan Wangi. Tanpa mengetuk
terlebih dahulu, gadis itu mencoba membuka pintu kamar itu.
Namun sepertinya terkunci dari dalam. Cempaka tak punya pilihan lain lagi.
Segera dikerahkannya kekuatan tenaga dalamnya. Dan....
Brak! Pintu kamar yang hanya terbuat dari kayu biasa itu hancur seketika. Cempaka
langsung menerobos masuk. Hatinya terkejut ketika melihat keadaan kamar yang
berantakan. Suara pintu yang hancur, membuat kegaduhan di malam yang sunyi ini.
Tak lama setelah Cempaka berada di dalam, Ki Jantar muncul. Laki-laki tua
pemilik rumah penginapan ini juga terkejut melihat keadaan kamar Pandan Wangi
yang berantakan bagai kapal pecah tersapu badai di
lautan. "Apa yang terjadi, Den Ayu...?" tanya Ki Jantar.
"Ramalan itu, Ki...," sahut Cempaka terputus suara nya.
"Jadi..."!" Ki Jantar juga tersedak suaranya di tenggorokan.
"Aku tidak tahu, apa yang terjadi pada Kak Pandan. Kamar ini sudah kosong,"
jelas Cempaka dengan nada suara setengah mengeluh.
Sementara di ambang pintu, Padmi hanya berdiri saja memandangi keadaan kamar
yang berantakan seperti baru saja terjadi pertarungan di sini.
Sedangkan Cempaka melangkah mendekati jendela.
Daun jendela itu sudah hancur berantakan tak berbentuk lagi. Gadis itu
melayangkan pandangannya ke luar, menembus kegelapan malam yang begitu pekat.
"Den Rangga di mana?" tanya Ki Jantar.
"Tidak tahu," sahut Cempaka tanpa berpaling.
"Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa pada Den Ayu Pandan Wangi...," desah Ki
Jantar perlahan.
Walaupun dia sebenarnya sibuk juga memikirkan keadaan kamar penginapannya yang
berantakan. Cempaka tidak menyahuti. Harapannya juga
begitu. Hatinya iba juga melihat Pandan Wangi begitu tersiksa selama dua hari
belakangan ini. Cempaka hanya bisa berharap saja, tanpa dapat melakukan sesuatu
yang berarti. *** Sementara itu, Rangga yang mengejar bayangan
hitam dan biru yang keluar dari dalam kamar Pandan Wangi, menjadi kehilangan
jejak di perbatasan
sebelah Selatan Desa Weru ini. Tadi memang masih sempat terlihat dua bayangan
itu melewati perbatasan desa yang langsung berhubungan dengan Rimba Tengkorak ini. Tapi
begitu tiba, bayangan itu lenyap seperti ditelan bumi saja.
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan larinya.
Matanya memandang tajam ke sekitarnya. Rangga tidak yakin kalau bayangan tadi
masuk ke dalam hutan itu. Dia tahu kalau hutan itu sangat berbahaya jika malam
hari. Tapi Pendekar Rajawali Sakti ingat betul kalau Pandan Wangi pernah merajai
hutan ini. Maka Rangga merasa yakin kalau bayangan biru yang diyakininya memang Pandan
Wangi telah masuk ke dalam hutan Rimba Tengkorak ini (Pandan Wangi memang pernah
mendiami Rimba Tengkorak ini cukup lama. Bagi para pembaca yang ingjn tahu lebih
jelas, silakan baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode "Perawan Rimba
Tengkorak").
Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu bisa menerobos masuk ke dalam hutan,
mendadak saja sebuah bayangan hitam berkelebat cepat keluar dari balik semak
yang tidak seberapa jauh di samping kanannya. Bayangan hitam itu langsung
menyambar Pendekar Rajawali Sakti.
"Uts...!"
Bergegas Rangga berkelit menghindar, namun terlambat sedikit Dan mendadak
bahunya terasa nyeri terkena benturan keras. Pendekar Rajawali Sakti berputaran
beberapa kali. Dengan cepat keseimbangan tubuhnya dikuasai meskipun agak
limbung. Pada saat itu, bayangan hitam tadi kembali melesat cepat ke arahnya. Tapi kali
ini Rangga sudah siap menghadapinya. Tubuhnya dimiringkan sedikit
ke kiri, lalu secepat kilat tangan kanannya dikibaskan menyambar bayangan hitam
itu. Deghk..! "Hughkkk..!"
Terdengar keluhan panjang agak tertahan ketika kibasan tangan Rangga menyentuh
sesuatu dengan keras. Tampak bayangan hitam itu terpental balik ke belakang, dan
bergulingan di tanah beberapa kali.
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat menerjang bayangan hitam itu
sebelum bisa berhenti bergulingan. Dan seketika itu juga Rangga memberi satu
tendangan keras menggeledek. Tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang keras itu
tak bisa terbendung lagi, tepat menghajar tubuh berbaju hitam itu dengan keras.
"Akh...!"
Terdengar pekikan keras tertahan. Maka tubuh berbaju hitam itu kembali
bergulingan di tanah.
Sebatang pohon yang terlanda, seketika hancur berkeping-keping memperdengarkan
suara meng-gemuruh yang keras. Akibatnya, tanah yang dipijak seakan-akan
bergetar bagai terjadi gempa. Cepat sekali Rangga melompat, dan langsung
mendarat di samping tubuh berbaju hitam yang tergeletak di tanah, di atas
pecahan pohon yang terlanda tubuhnya tadi. Pendekar Rajawali Sakti itu
menjejakkan sebelah kakinya tepat di atas dada orang itu.
Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti sempat melakukan sesuatu, mendadak saja
melesat sebuah benda merah ke arahnya. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti
terperangah, lalu cepat sekali melentingkan tubuhnya ke udara. Tapi dia jadi
terkejut bukan main, karena mendadak saja terdengar jeritan panjang
melengking tinggi
"Aaa...!"
"Heh..."!"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti ketika mengetahui kalau orang
berbaju hitam itu telah menggelepar sebentar, lalu diam tak bernyawa lagi.
Tampak dadanya tertembus benda berwarna merah berbentuk seperti mata tombak.
Darah mengucur deras dari dada yang berlubang cukup besar itu.
"Gila...! Permainan apa lagi ini..."!" desis Rangga tidak mengerti.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling, tapi tidak melihat
ada seorang pun di sekitarnya. Suasana malam ini begitu sunyi. Bahkan binatang
malam pun seakan-akan enggan memperdengarkan suaranya. Hanya desiran angin yang
terdengar mengusik telinga menebarkan udara dingin malam ini.
"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang.
Dihampirinya sosok berbaju hitam yang tergeletak tak bernyawa lagi. Darah masih
mengucur dari dada berlubang cukup dalam itu. Mata tombak yang menghunjam dada
orang itu sampai tembus ke punggung. Rangga melepaskan kain hitam yang
menyelubungi orang itu. Matanya agak menyipit mengamati wajah seorang anak muda
di balik selubung kain hitam ini.
"Aaa...!"
"Heh..."!" Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar jeritan melengking
tinggi. Suara itu jelas datangnya dari dalam hutan ini Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya masuk ke
dalam hutan itu. Begitu sempurnanya ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya. Tak heran kalau dalam waktu sekejap mata
saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan lebatnya Rimba Tengkorak ini.
Rangga terbeliak melihat Pandan Wangi tergeletak di tanah. Sedangkan
disampingnya berdiri seseorang berbaju serba hitam dengan kepala terselubung
kain hitam pula. Tangannya menggenggam sebilah golok besar yang diangkat tinggitinggi, siap dihujamkan ke dada si Kipas Maut itu. Tak ada kesempatan lagi bagi
Pendekar Rajawali Sakti untuk menyelamatkan gadis itu
"Hup!"
Tap...! Dengan ujung jari kakinya, Rangga menjentikkan sebuah batu kerikil. Dan ketika
kerikil itu berada di tangannya, cepat sekali dijentikkan dengan ujung jari.
Batu kerikil sebesar ibu jari itu meluncur deras, langsung menghantam
pergelangan tangan orang yang memegang golok itu.
Tak! "Akh...!" orang berbaju hitam itu memekik keras agak tertahan.
Golok yang sudah terangkat tinggi itu terlepas dari genggaman tangannya.
Seketika itu juga, Rangga melesat cepat bagaikan kilat sambil mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Hiyaaat..!"
Wus! Orang berbaju serba hitam itu cepat berkelit sehingga tendangan geledek Pendekar
Rajawali Sakti yang dialiri tenaga tinggi itu tidak mengenai sasaran sama
sekali. Rangga harus puas kalau hantaman
kakinya melanggar sebatang pohon yang langsung hancur berkeping-keping disertai
ledakan keras menggelegar.
Sementara orang berbaju hitam itu tampak sudah bersiap mengirimkan satu serangan
jarak jauhnya. Dan tiba-tiba saja tangan kanannya dihentakkan ke depan tepat saat Rangga baru
saja menjejakkan kakinya di tanah. Dari telapak tangan orang itu meluncur
seberkas sinar merah berbentuk bulat bagaikan bola api, yang langsung meluruk


Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Bergegas Rangga melompat ke samping, lalu
menjatuhkan dirinya hingga bergulingan beberapa kali di tanah berumput basah
oleh embun. Bola bercahaya merah sebesar kepala bayi itu menghantam pohon besar
di belakang Rangga tadi.
Kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar, membuat pohon itu hancur
berkeping-keping.
"Hap...!"
Rangga cepat bangkit berdiri, dan langsung bersiap menerima serangan berikut Dan
memang, bola merah itu kembali meluncur ke arahnya dengan keras sekali. Tepat
ketika bola api itu hampir menyambar tubuhnya, Rangga cepat sekali menarik
tubuhnya ke samping. Maka bola merah itu melesat lewat di samping tubuhnya,
membuat pancaran hawa panas yang menyengat kulit
Sebelum terdengar ledakan untuk kedua kahnya dari bola merah itu, Rangga sudah
melesat cepat ke arah tubuh berbaju hitam itu.
"Hiyaaat..!"
Bersamaan dengan terdengarnya ledakan dahsyat menggelegar, Pendekar Rajawali
Sakti melepaskan
satu pukulan keras ke arah orang berbaju hitam yang mengenakan sehibung kain
pada kepalanya. Hanya bagian matanya saja yang terlihat dari dua lubang kecil
penutup seluruh kepala itu. Serangan Rangga yang tiba-tiba dan tidak terduga itu
membuat orang berbaju hitam itu terkejut Dan selagi orang itu melompat
menghindar ke atas, pukulan Rangga sudah membentur tumitnya dengan telak.
Deghk! Seketika keseimbangan orang berselubung hitam itu goyah. Dan sebelum dia
sempat berdiri tegak, Rangga sudah kembali menyerangnya. Kali ini orang itu
mampu menghindari dua pukulan beruntun yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Rupanya Rangga tidak mau lagi memberi
kesempatan pada orang itu untuk berbuat sesuatu, sehingga terus mencecarnya
dengan pukulan pukulan keras beruntun yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi. Serangan-serangan Pendekar Rajawali Sakti rupanya membuat
orang berbaju hitam ini kewalahan juga. Beberapa kali tubuhnya terkena pukulan
dan tendangan bertenaga dalam tinggi yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.
Akibatnya dia benar-benar tidak mampu lagi memberi perlawanan.
''Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rangga memberi satu pukulan keras ke arah dada. Padahal, orang
berbaju hitam itu baru saja menerima tendangan keras pada perutnya, sehingga
tubuhnya sedikit membungkuk Namun sebelum pukulan keras Pendekar Rajawali Sakti
itu sampai,orang berbaju hitam itu cepat sekali mengibaskan tangannya. Seketika
itu juga melesat sebuah benda berbentuk mata tombak berwarna merah dari tangan
kanannya. "Uts...!"
Cepat Rangga menarik kembali serangannya, dan secepat itu pula tubuhnya berputar
di udara sehingga serangan orang berbaju hitam itu tidak mengenai sasaran. Namun
begitu menjejakkan kakinya di tanah, Rangga jadi terkejut sekali. Ternyata orang
berbaju hitam itu sudah lenyap, entah ke mana perginya.
"Setan...!" desis Rangga menggeram.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling. Namun orang
berbaju hitam dengan seluruh kepala berselubung kain hitam itu, tidak nampak
lagi bayangannya. Bergegas dihampirinya Pandan Wangi yang tergeletak tak
bergerak di tanah.
Rangga memeriksa tubuh gadis itu. Segera dihembuskan napas panjang seraya
menghempaskan diri, duduk di samping Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti
merasa lega setelah mengetahui kalau Pandan Wangi masih bernapas, meskipun lemah
sekali. *** 6 Pandan Wangi merintih lirih sambil menggerakkan kepalanya lemah sekali. Dia
menggerinjang hendak bangkit berdiri, namun sebuah tangan halus berjari lentik,
telah menahannya. Pandan Wangi membuka matanya, dan langsung tertumbuk pada
seraut wajah cantik yang sudah amat dikenalnya.
"Oh..., apakah aku sudah mati...?" lirih sekali suara Pandan Wangi.
"Belum. Kak Pandan selamat," terdengar sahutan halus dan lembut
Pandan Wangi memandangi wajah cantik yang
menyunggingkan senyuman manis padanya,
kemudian pandangannya beredar ke sekeliling.
Memang..., dia belum mati. Dikenalinya betul wajah-wajah yang berada di
sekitamya. Juga dikenali betul ruangan yang kini ditempatinya. Kembali Pandan
Wangi menatap Cempaka yang duduk di sampingnya.
Di sebelah Cempaka, duduk Padmi. Sedangkan di dekat jendela, berdiri Rangga
bersama Ki Jantar serta Ki Sarumpat
Mereka adalah orang-orang yang sangat
dikenalnya. Pandan Wangi yakin kalau dia belum sempat dijemput ajal. Gadis itu
mencoba mengingat-ingat, apa yang terjadi hingga sampai tidak sadarkan diri.
Tapi terlalu sukar untuk bisa mengingatnya dengan jelas.
"Jelas sudah kalau peramal tua itu punya maksud tidak baik," tebak Ki Sarumpat,
agak bergumam nada suaranya.
"Apakah sudah banyak korbannya?" tanya Rangga yang masih belum mengerti tentang
peramal tua itu.
"Sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Mereka yang diramal kematiannya, selalu
menjadi kenyataan.
Terakhir, Saudagar Kanta yang mati karena kereta kuda yang ditumpanginya
terjerumus masuk ke dalam jurang. Tak ada yang hidup, semua pengawal dan
kusirnya mati," sahut Ki Sarumpat menjelaskan.
"Sudah lama aku selalu mencurigainya, tapi belum ada bukti yang jelas kalau dia
yang melakukan semua pembunuhan itu."
"Aku rasa dia hanya peramal saja yang kebetulan memang tepat ramalannya,"
sanggah Ki Jantar.
"Tapi perbuatannya mencurigakan sekali, Ki. Aku sering bertemu peramal-peramal
terkenal. Tapi tidak selamanya bisa tepat. Apalagi meramalkan kematian
seseorang. Tidak ada seorang pun yang bisa meramalkan kematian begitu tepat,"
bantak Ki Sarumpat gigih.
Sementara Rangga hanya diam saja mendengarkan. Saat itu Pandan Wangi sudah bisa
bangkit duduk. Dihabiskan minuman yang diberikan Padmi padanya. Rangga bergegas
menghampiri Pandan Wangi saat gadis itu memintanya mendekat Cempaka menggeser
duduknya memberi tempat pada
Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada apa, Pandan?" tanya Rangga setelah duduk di tepi pembaringan itu.
"Aku rasa bukan dia pelakunya, Kakang. Mungkin memang dia melihat dan
memperingatkan aku,"
tegas Pandan Wangi.
"Siapa pun orangnya, aku akan menyelidiki. Aku merasa ada sekelompok orang yang
sengaja menginginkan kematianmu. Dan orang itu tidak ingin
diketahui," tutur Rangga.
"Yaaah..., sayang sekali aku tidak bisa mengenalinya," desah Pandan Wangi agak
bergumam. "Aku pasti akan menemukan orangnya, Pandan,"
janji Rangga. Pandan Wangi tersenyum. Dia percaya kalau
Rangga pasti akan mengetahui rahasia di balik semua peristiwa ini. Ingin rasanya
Pandan Wangi berdua saja dengan Pendekar Rajawali Sakti, pada saat sedang
membutuhkan sekali perhatian dari seseorang yang sangat dicintainya. Tapi
keinginannya harus bisa dikekang, karena tidak mungkin meminta yang lain untuk
meninggalkan kamar ini.
"Istirahatlah dulu, Pandan. Pulihkan dulu
kesehatanmu," kata Rangga lembut.
Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Ditepuknya punggung tangan si Kipas
Maut itu dengan lembut, kemudian kakinya melangkah keluar diikuti Ki Jantar dan
Ki Sarumpat. Ingin sekali Pandan Wangi mencegah kepergian Pendekar Rajawali
Sakti. Dan sebelum bibirnya mengucapkan sesuatu, Rangga sudah menghilang di
balik pintu. Pandan Wangi hanya bisa mendesah dalam hati.
Memang sukar baginya punya kesempatan berdua dengan Pendekar Rajawali Sakti.
Tidak seperti dulu, di saat mereka masih sama-sama mengembara
mengarungi ganasnya rimba persilatan. Sekarang ini, setiap kali ada kesempatan
bertemu, selalu saja ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk berdua saja
walaupun hanya sejenak
"Ini makannya, Kak...," Padmi menyodorkan
makanan pada Pandan Wangi.
Si Kipas Maut itu tersenyum seraya menerima piring berisi makanan. Tapi saat ini
selera makannya
memang sedang tidak ada, meskipun makanan yang diberikan Padmi sungguh
mengundang selera.
"Aku yang membuatnya sendiri, Kak. Mungkin tidak enak," kata Padmi merendah.
"Bohong, Kak. Aku saja sampai nambah kok,"
selak Cempaka. Lagi-lagi Pandan Wangi hanya tersenyum saja, dan mulai menikmati makanan itu
sedikit. Memang rasanya enak juga. Mendadak saja Pandan Wangi jadi lapar,
sehingga akhimya makanan itu dilahapnya.
Bahkan sebentar saja piring makannya sudah licin tak bersisa. Bukan hanya Padmi
yang bengong, tapi juga Cempaka terlongong melihat nafsu makan Pandan Wangi
begitu besar. "Masih ada lagi, Padmi?"
"Yaaah.... Sudah habis, Kak," sahut Padmi menyesal.
"Ya, sudah."
"Aku buatkan lagi ya, Kak?" Padmi jadi bergairah.
"Nanti sore saja."
"Ini sudah sore kok, Kak," selak Cempaka.
Pandan Wangi terlongong. Sungguh tidak disangka kalau saat ini sudah sore. Itu
berarti dia tidak sadarkan diri selama hampir seharian. Pantas saja perutnya
begitu lapar. Apalagi selama dua hari ini memang belum terisi makanan sama
sekali. Dan, entah kenapa..., tahu-tahu gadis itu tertawa terbahak-bahak.
Mungkin karena geli menyadari kebodohannya yang begitu percaya pada ramalan edan
itu, sampai-sampai menyiksa diri begini. Melihat Pandan Wangi tertawa, Cempaka
dan Padmi jadi ikut tertawa juga.
Padahal mereka tidak tahu, apa yang ditertawa-kannya.
*** Rangga memandangi seorang laki-laki tua
berjubah putih yang membawa tongkat tak beraturan bentuknya. Usianya mungkin
sudah lebih dari delapan puluh tahun. Seluruh rambutnya sudah memutih.
Bahkan kumis dan jenggot yang menyatu, sudah putih semua warnanya. Dari Ki
Jantar, diketahuinya kalau orang tua itulah yang dijuluki si Peramal Maut.
Kini si Peramal Maut itu kelihatannya akan mendapat korban lagi. Dia seorang
pendatang yang kebetulan singgah di desa ini. Tampaknya pendatang itu seorang
putra bangsawan. Ini tampak jelas dari pakaiannya yang mewah, dengan beberapa
orang bertampang kasar mengelilingi. Pemuda itu tampak tidak senang, dan
langsung beranjak bangkit berdiri.
Bergegas ditinggalkan kedai Ki Jantar.
"Hati-hati, Raden. Aku melihat ada kabut hitam menyelimuti perjalananmu," kata
si Peramal Maut itu dengan suara keras memperingati.
Sedangkan pemuda berbaju indah yang diiringi sekitar delapan orang pengawalnya
itu tidak mempedulikan, dan terus keluar dari kedai ini. Mereka semua menunggang
kuda yang tinggi dan tegap. Saat itu Rangga bergegas bangkit hendak mengikuti
pemuda seperti putra bangsawan itu. Tapi sebelum beranjak pergj, Ki Jantar sudah
terlebih dahulu menghadangnya.
"Ada apa, Ki?" tanya Rangga.
"Yang tadi itu putra pembesar Kerajaan Karang Setra yang baru pulang dari
belajar di Padepokan Gantalaraja," sahut Ki Jantar memberi tahu.
Rangga mengerutkan keningnya. Dipandanginya rombongan yang terdiri dari sembilan
orang itu. Sudah cukup jauh mereka meninggalkan kedai ini.
Dan memang tujuan mereka ke arah Kerajaan
Karang Setra, dan yang pasti akan melewati Rimba Tengkorak lebih dahulu sebelum
sampai di kotaraja.
"Putra siapa itu, Ki?" tanya Rangga yang tidak tahu kalau ada putra seorang
pembesar kerajaannya menuntut ilmu di sebuah padepokan yang jauh dari Karang
Setra. "Putra Gusti Patih Lintuk, Den," sahut Ki Jantar.
Rangga bergumam pelan. Sungguh Pendekar
Rajawali Sakti tidak tahu kalau Ki Lintuk yang sekarang menjadi patih di Karang
Setra memiliki seorang putra yang mungkin sebaya dengannya. Tapi mengapa Ki
Lintuk tidak pernah cerita mengenai keluarganya" Dan Rangga sendiri tidak pernah
menanyakan. "Selamatkan dia, Den. Kalau sampai tewas, bisa kacau desa ini. Pasti jago-jago
Karang Setra bisa mengamuk di sini," kata Ki Jantar dengan nada penuh kecemasan.
Rangga tersenyum di dalam hati. Memang jago-jago Karang Setra sudah terkenal
ketangguhannya.
Tapi rasanya Rangga tidak akan membiarkan mereka mengobrak-abrik sebuah desa
hanya karena kematian seorang putra pembesar. Pendekar
Rajawali Sakti selalu menganjurkan agar menye-lesaikan persoalan, tidak
menyengsarakan rakyat kecil. Karena rakyat kecil bisa membantu dengan baik jika
dimintai bantuan secara layak. Semua persoalan akan bisa diselesaikan dengan
baik dan cepat tanpa melalui kekerasan yang brutal.
"Aku pergi dulu, Ki," ujar Rangga bergegas melangkah.
Pendekar Rajawali Sakti sempat melirik si Peramal
Maut yang memang setiap hari berada di kedai ini Namun, pendekar digdaya itu
tidak punya waktu lama-lama lagi. Dia langsung melompat ke punggung kudanya
begitu berada di luar. Seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap, bernama Dewa
Bayu. Kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya, lalu
melesat cepat meninggatkan debu yang mengepul tinggi ke udara.
Sungguh cepat sekali larinya, bagai anak panah lepas dari busur. Sebentar saja
Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh meninggalkan kedai itu.
Sementara itu Ki Jantar hanya memandangi saja dari ambang pintu kedainya.
Berdirinya bergeser sedikit saat si Peramal Maut itu melangkah ke luar. Ki
Jantar hanya menganggukkan kepalanya sedikit saja saat si Peramal Maut itu
melewatinya. "Ada awan hitam menyelimuti tubuhmu, Ki," bisik peramal tua itu.
"Hah..."!" Ki Jantar terbengong mendengar bisikan yang membuat jantungnya terasa
berhenti berdetak seketika itu juga.
Tapi peramal tua itu sudah jauh meninggalkannya dengan ayunan kaki ringan. Lakilaki tua itu seperti berjalan biasa saja. Namun kedua telapak kakinya bagaikan
tidak menyentuh tanah, dan sebentar saja sudah jauh pergi ke arah Selatan.
Sementara Ki Jantar masih terbengong di ambang pintu. Kata-kata si Peramal Maut
yang hanya satu kalimat itu merupakan peringatan baginya.
"Oh, Jagat Dewa Batara.... Apakah ajalku sudah dekat..?" keluh Ki Jantar lirih.
Sementara itu Rangga sudah dekat dengan
rombongan putra Ki Lintuk yang baru diketahuinya tadi dari Ki Jantar. Pendekar
Rajawali Sakti itu
melompat turun dari kudanya. Dibiarkannya Dewa Bayu menyingkir ke tepi hutan
yang kelihatan angker.
Sedangkan dirinya sendiri langsung melentingkan tubuhnya ke atas pohon. Ringan
sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga tubuhnya bagai kapas
tertiup angin. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia berlompatan dari satu
pohon ke pohon lain.
Rangga sengaja menjaga jarak agar tidak
diketahui kalau tengah membuntuti rombongan itu.
Sementara rombongan kecil yang berjumlah sembilan orang dan semuanya berkuda itu
sudah mulai memasuki Rimba Tengkorak Dan belum juga jauh memasuki hutan,
mendadak saja....
Slap! Swing...! Puluhan anak panah mendadak bertebaran ke
arah rombongan kecil itu. Seketika itu juga terdengar jeritan-jeritan melengking
tinggi, disusul ambruknya lima orang yang mengiringi pemuda itu. Sedangkan yang
lain sudah kerepotan berjumpalitan menghindari hujan anak panah yang datang dari
segala penjuru.
Dan begitu hujan anak panah itu berhenti, ber-munculan sekitar dua puluh orang


Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian serba hitam yang seluruh kepalanya berselimut kain hitam pula. Hanya
dua lubang kecil pada mata yang terlihat.
Mereka langsung berlompatan sambil mengacung-acungkan golok, menyerang rombongan
yang sudah berkurang lima orang itu.
Sementara Rangga yang berada di atas pohon, masih berusaha menahan diri. Namun
begitu melihat orang-orang berpakaian hitam itu semakin mendesak, Pendekar
Rajawali Sakti tidak bisa lagi membiarkan.
Terlebih lagi dua orang yang mengawal pemuda putra
pembesar Kerajaan Karang Setra itu terlihat roboh bersimbah darah.
"Hiyaaat..!"
Bagaikan seekor burung rajawali, Rangga meluruk deras ke arah pertarungan itu.
Beberapa kali tangannya yang terkembang lebar dikibaskan. Saat itu Rangga
mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Salah satu jurus dari
Rangkaian Lima Jurus Rajawali Sakti yang sangat dahsyat dan sukar dicari
tandingannya saat ini.
Sebentar saja, beberapa orang sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar
menyayat. Bukan saja pemuda putra pembesar Karang Setara itu yang terkejut.
Bahkan orang-orang berpakaian serba hitam itu juga tersentak kaget dengan
munculnya Pendekar Rajawali Sakti. Dalam beberapa gebrak saja, sudah lebih dari
delapan orang yang tewas terkena sabetan tangan Rangga yang bagaikan mata pedang
saja tajamnya. "Mundur...!" tiba-tiba terdengar teriakan keras.
Sisa-sisa orang berbaju hitam yang tinggal beberapa orang lagi, dengan cepat
berlompatan kabur.
Gerakan mereka cukup ringan dan cepat juga.
Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, semuanya sudah menghilang di dalam
hutan. "Biarkan! Jangan dikejar!" sentak Rangga mencegah pemuda yang wajahnya cukup
tampan itu mengejar.
Pemuda berpakaian mewah itu mengurungkan
niatnya. Namun dia jadi mendesis geram tatkala melihat tujuh orang pengawalnya
sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Tidak sedikit pula dari orang-orang berbaju
hitam yang tergeletak berlumuran darah. Tak
ada lagi yang bernyawa di antara mereka. Pemuda itu memandangi Pendekar Rajawali
Sakti yang berdiri tegak di antara mayat-mayat bergelimpangan.
"Siapakah kau, Kisanak?" tanya pemuda itu seraya menatap Rangga dalam-dalam Dia
memang tidak tahu kalau yang ada di hadapannya kini adalah orang yang harus
dijunjungnya. Memang, pemuda itu sejak kecil berada di padepokan.
"Rangga," sahut Rangga singkat.
'Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," ucap pemuda itu.
Rangga tersenyum saja, kemudian memutar
tubuhnya dan melangkah pergi. Pemuda berbaju mewah itu bergegas mengikuti sambil
menyambar tali kekang kudanya, dan menuntun kuda berwarna coklat belang putih
itu. Disejajarkan ayunan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti yang menuju
keluar dari Rimba Tengkorak ini.
"Namaku Landara. Siapa tadi namamu,
Kisanak...?" pemuda itu memperkenalkan diri.
"Rangga," sahut Rangga tanpa berpaling. Dia tetap saja melangkah keluar dari
hutan ini. "Apakah kau tahu, siapa orang-orang itu?" tanya Landara lagi.
'Tidak," sahut Rangga singkat
"Tapi, kenapa kau menolongku?"
"Karena kau perlu pertolongan. Maaf, aku harus pergi. Dan kalau hendak ke Karang
Setra, ambil saja jalan memutar melewati Gunung Rangkas. Dari sana kau harus
melewati Desa Palung. Dari desa itu kau tinggal meneruskan perjalanan ke Selatan
sedikit, sudah sampai di Karang Setra," Rangga memberi tahu jalan yang teraman
dan cepat Landara tertegun mendengar penjelasan yang lengkap itu. Sepertinya pemuda ini
tahu jelas jalan-jalan yang bisa menuju ke Karang Setra. Dia sampai berhenti
melangkah dan memandangi Rangga yang terus saja berjalan dengan ayunan kaki yang
tetap. Dia tidak tahu kalau pemuda itu adalah rajanya. Raja Karang Setra yang
berkelana. "Kisanak, terima kasih...!" ucap Landara, agak keras suaranya.
Rangga hanya mengangkat tangannya saja tanpa sedikit pun menoleh. Tak lama
kemudian, terdengar langkah kaki kuda yang dipacu cepat Rangga baru menghentikan
ayunan kakinya, dan memutar tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum
ketika melihat Landara mengikuti petunjuknya. Tidak lagi harus menerobos Rimba
Tengkorak lagi, tapi memutarinya menuju Gunung Rangkas. Dan
sebenarnya agak jauh sedikit apabila melewati Gunung Rangkas, tapi jalan itulah
yang teraman dari incaran orang-orang berbaju hitam yang masih belum jelas ini
Rangga kembali memutar tubuhnya dan berjalan perlahan lahan menuju kembali ke
Desa Weru. Ayunan kakinya begitu ringan dan tak ada suara sedikit pun yang ditimbulkan,
meskipun berjalan melalui tumpukan daun-daun kering dan rerumputan yang
meranggas tersengat sinar matahari.
"Hm..., aku harus mengawasi peramal tua itu.
Tampaknya ada hubungan antara peramal itu dengan orang-orang berbaju hitam ini,"
tebak Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat naik ke punggung kudanya. Seketika itu
juga kuda hitam itu digebah cepat. Bagai anak panah lepas dari busurnya, Dewa Bayu berpacu cepat meninggalkan tepian hutan ini. Sebentar saja
kuda itu sudah jauh menuju Desa Weru yang tampaknya tenang-tenang saja seperti
tidak pernah terjadi sesuatu.
*** 7 Rangga mendadak menghentikan lari kudanya.
Kelopak matanya agak menyipit memandangi orang-orang berbaju hitam pekat telah
berdiri berjajar di mulut Desa Weru. Jumlah mereka begitu banyak, dan lebih
besar daripada satu pasukan prajurit. Pendekar Rajawali Sakti melompat turun
dari punggung kudanya. Jelas sekali kalau orang-orang berbaju hitam itu sengaja
menunggunya di tempat ini.
Rangga melangkah ke depan beberapa tindak, dan baru berhenti setelah jaraknya
tinggal sekitar tiga batang tombak lagi di depan mereka. Sebelum Pendekar
Rajawali Sakti bisa membuka suara, mendadak berkelebat sebuah bayangan merah.
Dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar enam
puluh tahun. Pakaiannya ketat, berwarna merah menyala. Sebilah pedang panjang
tergantung di pinggangnya. Dia juga menggenggam sebatang tombak berbatangkan
seperti keris berkeluk tujuh.
Meskipun sudah berusia lebih dari setengah abad tapi wajahnya masih mencerminkan
kegagahan. Hanya sorot matanya saja yang tajam memancarkan sinar kekejaman. Rangga
memperhatikan orang berbaju merah itu lekat-lekat. Diyakini kalau orang ini
adalah pemimpin dari orang-orang berbaju serba hitam. Sebentar Pendekar Rajawali
Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Hm...," terdengar gumaman kecil dari bibir Rangga yang terkatup rapat
Pendekar Rajawali Sakti mencari si Peramal Maut Tapi laki-laki tua yang selalu
meramalkan kematian orang itu, tidak nampak di sekitar tempat ini.
Meskipun begitu, Rangga yakin kalau antara peramal itu dengan orang-orang ini
memiliki hubungan erat
"Anak muda! Kau hanya kuberi peringatan sekali ini saja! Jika kau tetap keras
kepala, aku tidak segan-segan mengirimmu ke neraka sekarang juga!" agak berat
dan besar suara laki-laki berbaju merah ketat itu.
"Rasanya aku tidak kenal denganmu. Lalu, kenapa kau memberi peringatan?" tanya
Rangga. "Jangan banyak omong, Bocah! Kau berhadapan dengan Setan Merah Lembah Neraka!"
bentak orang berbaju merah yang menyebut dirinya Setan Merah Lembah Neraka.
"Lembah Neraka terlalu jauh dari sini. Lantas, apa urusannya sampai kesasar ke
wilayah kulon ini, Kisanak?" agak bergumam suara Rangga.
"Itu urusanku, Bocah!" bentak Setan Merah
Lembah Neraka kasar.
"Kalau begitu, kau tidak punya hak untuk memperingatkan padaku, Kisanak," tenang
sekali kata kata Rangga.
"Sudah kuduga, kau pasti akan membandel...!"
desis Setan Merah Lembah Neraka gusar.
"Aku memang tidak akan menuruti kalau persoalannya tidak dijelaskan," kata Rangga lagi. Kali ini kata-katanya bernada
memancing. "Rupanya kau bukan hanya keras kepala, tapi banyak omong juga...," kata Setan
Merah Lembah Neraka sinis.
"Mulutku memang digunakan untuk bicara,
Kisanak. Dan aku perlu tahu, untuk apa kau memberi
peringatan padaku. Lagi pula, aku tidak tahu, apa yang kau peringatkan...," kata
Rangga lagi dengan suara masih terdengar tenang.
Tapi mata Pendekar Rajawali Sakti tajam sekali merayapi orang-orang berbaju
hitam yang berdiri berjajar di depannya, dalam jumlah yang cukup besar.
Kekuatan seperti ini sudah cukup untuk menggempur sebuah kadipaten. Dan Rangga
ingin sekali mengetahui keberadaan mereka di sekitar Desa Weru dan Rimba Tengkorak ini.
Karena mustahil jauh-jauh datang dari wilayah wetan ke kulon ini kalau tidak
mempunyai tujuan pasti.
"Anak muda, untuk terakhir kalinya aku mem-peringatkanmu. Sebaiknya cepat
tinggalkan Desa Weru ini, atau kau akan mati tergantung menjadi santapan
serigala liar," dingin sekali suara si Setan Merah Lembah Neraka itu.
"Untuk apa aku harus pergi?" tanya Rangga.
"Kau tidak ada urusannya di sini!" bentak Setan Merah Lembah Neraka berang.
"Aku masih banyak urusan di desa ini. Terutama mengusir kalian yang telah
membunuh banyak orang!" tegas sekali kata-kata Rangga.
"Setan keparat..! Rupanya kau lebih memilih mati.
Bocah!" geram Setan Merah Lembah Neraka semakin gusar.
"Hidup dan matiku bukan di tanganmu, Kisanak.
Aku khawatir malah kau sendiri yang justru benar-benar ke neraka," sambut Rangga
dingin. "Keparat..!" Setan Merah Lembah Neraka tidak bisa lagi menahan kegusarannya.
Kata-kata Rangga yang kalem itu menusuk sekali.
Tak perlu dijelaskan lagi kalau Rangga tidak ingin menyerah begitu saja. Setan
Merah Lembah Neraka
langsung menghentakkan tombaknya ke tanah
sambil menggeram. Seluruh wajahnya memerah bagai terbakar. Dan begitu tombaknya
terhentak untuk ketiga kalinya, seketika itu juga dari belakangnya berlarian
orang-orang berbaju hitam.
Mereka langsung saja mencabut senjatanya, lalu berteriak-teriak sambil berlarian
mengacung-acungkan goloknya. Sementara Rangga sempat melompat mundur beberapa
tindak. Disadari kalau tidak akan mungkin menghadapi begini banyak orang,
maka.... "Suiiit..!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti bersiul nyaring melengking tinggi sambil
mendongakkan kepalanya sedikit. Pada saat itu, sebuah golok berkeiebat cepat di
depan dadanya. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti menarik tubuhnya ke belakang,
sehingga tebasan golok itu hanya lewat di depan dadanya.
Pendekar Rajawali Sakti sengaja tidak mengerahkan aji 'Bayu Bajra' yang bisa
mendatangkan angin topan. Ini karena dia tidak ingin para penyerangnya mati
semua. Dan kalau hal ini terjadi, akan sulit mencari keterangan tentang si
Peramal Maut dan si Setan Merah Lembah Neraka.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Rangga menghentakkan kakinya ke depan disertai
pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Des! Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tak bisa dibendung lagi dan tepat menghantam
dada salah seorang penyerangnya yang berada tepat di depan.
"Aaakh...!" orang berbaju hitam itu memekik keras melengking tinggi.
Pada saat yang hampir bersamaan, sebuah golok berkelebat memperdengarkan suara
mendesing ke arah kepala Rangga. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti merundukkan
kepalanya, sehingga golok itu lewat sedikit di atas kepalanya. Seketika itu juga
dilontarkan satu pukulan keras menggeledek bertenaga dalam sempurna.
Deghk! "Aaa...!"
Kembali satu orang terpental terkena pukulan keras yang dilontarkan Pendekar
Rajawali Sakti.
Namun sebelum Rangga sempat memperbaiki posisi tubuhnya, datang lagi serangan
cepat dari arah lain.
Meskipun beberapa kali Rangga bisa menghindari serangan-serangan itu, namun
dirinya merasa tidak mampu menghadapi begini banyak pengeroyok yang rata-rata
memiliki kemampuan cukup tinggi Ini bisa dilihat dari serangan-serangan mereka
yang cepat dan mengandung tenaga dalam cukup tinggi.
Setinggi apa pun kemampuannya, tetap saja
Pendekar Rajawali Sakti manusia biasa yang masih banyak memiliki kekurangan dan
keterbatasan. Menghadapi keroyokan begini banyak, Rangga benar-benar kewalahan juga. Mau tidak
mau dia terus mengeluarkan tenaga lebih bila dibanding bertarung satu lawan
satu. "Bedebah...!" geram Rangga ketika satu
tendangan dari pengeroyoknya hampir membedol perutnya. Untung saja Pendekar
RajawaB Sakti masih mampu berkelit menghindar.
Kembali datang serangan yang lebih cepat,
sebelum Pendekar Rajawali Sakti menguasai
keseimbangan tubuhnya yang agak goyah.
Beghk! "Setan...!" umpat Rangga begitu punggungnya terkena hantaman keras bertenaga
dalam cukup tinggi.
Beberapa bilah golok berdatangan dengan cepat hendak merajamnya. Pada saat itu,
Rangga benar-benar dalam keadaan yang sulit sekali. Ruang gerak-nya benar-benar
telah terpatahkan.
*** "Khraghk..!"
Tepat di saat Rangga hampir sedang terdesak, mendadak saja terdengar suara serak
menggelegar memecahkan udara. Dan tiba-tiba saja dari angkasa meluruk sesuatu
yang besar berwarna hitam pekat berkilat. Orang-orang berbaju hitam itu terpekik
kaget Dan sebelum disadari apa yang terjadi, mendadak saja tubuh-tubuh mereka
berpentalan. Jerit dan pekikan melengking tinggi terdengar menyayat saling
sambut. Belum ada yang bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak saja makhluk hitam
besar itu menyambar tubuh Rangga yang baru saja bisa bangkit berdiri.
Kemudian bagaikan kilat, bayangan hitam besar berkilatan itu melesat cepat ke
angkasa sambil memperdengarkan suara keras memekakkan telinga.
"Khraaaghk..!"
"Hieeeghk..!"
Pada saat yang sama, kuda hitam Dewa Bayu yang tertinggal, meringkik keras
sambil mengangkat kedua kakinya. Seketika itu juga Dewa Bayu melesat bagai kilat
ke arah yang sama dengan makhluk hitam besar yang membawa Pendekar Rajawali
Sakti. Sebelum para pengeroyok itu menyadari apa yang terjadi, mendadak tubuh mereka
telah berpentalan!
Tampak orang-orang berbaju serba hitam, hanya bisa terbengong tidak mengerti
dengan apa yang baru saja terjadi. Dalam waktu yang singkat saja Rangga sudah
lenyap entah ke mana dibawa bayangan hitam besar bersuara nyaring memekakkan
telinga. "Keparat..!" geram Setan Merah Lembah Neraka melihat penghalang terbesarnya
lolos dari kematian yang hampir menjemput
Setan Merah Lembah Neraka bergegas memerintahkan anak buahnya meninggalkan tempat ini.
Mereka langsung bergerak cepat, dan menghilang di dalam kelebatan Rimba
Tengkorak. Suasana di dekat perbatasan sebelah Selatan Desa Weru seketika jadi
hening, seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Hanya mayat-mayat bergelimpangan
saja yang menandakan kalau di sini baru saja terjadi pertarungan.
"Hm...," tiba-tiba saja terdengar suara meng-gumam.
Gumaman itu datang dari sebuah semak belukar yang tidak seberapa jauh dari
tempat pertarungan tadi. Terlihat sebuah kepala menyembul menengadah ke atas.
Matanya tidak berkedip memandang ke arah Rangga yang melayang dibawa sesuatu


Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang hitam dan besar tadi. Tak berapa lama kemudian, orang itu melesat, langsung
menghilang bagai ditelan bumi
*** Bruk! "Akh...!" Rangga memekik tertahan ketika tubuhnya terbanting di tanah.
Pendekar Rajawali Sakti menggeliat bangkit
berdiri. Seketika matanya terbeliak melihat seekor burung rajawali raksasa
berbutu hitam pekat dan berkilat. Di depan burung raksasa itu berdiri seorang
gadis berparas cantik mengenakan pakaian serba hitam yang pekat. Selembar pita
berwarna hitam, mengikat kepalanya.
"Intan...," desis Rangga mengenali gadis itu.
Gadis berbaju serba hitam itu tersenyum manis.
Kemudian kakinya melangkah menghampiri Rangga yang seperti tidak percaya dengan
penglihatannya.
Gadis itu memang Intan Kemuning, putri Patih Giling Wesi dari Kerajaan Galuh.
Dia juga berjuluk Putri Rajawali Hitam (Untuk mengetahui teniang Putri Rajawali
Hitam, baca kisah Pendekar Rajawali Sakti dalam episode "Sepasang Rajawali" dan
"Sabuk Penawar Racun").
"Bagaimana kau bisa cepat datang pada saat yang tepat, Intan?" tanya Rangga
setelah bisa menguasai diri.
"Kau yang memanggilku," sahut intan Kemuning kalem.
"Aku memanggil Rajawali Putih," sergah Rangga karena tidak merasa memanggil
gadis ini yang selalu muncul bersama Rajawali Hitam.
"Yaaah..., kebetulan saja Rajawali Hitam mendengar panggilanmu," sahut Intan
Kemuning lagi dengan ringan sekali.
Sebenarnya Rajawali Putih mendengar siulan Pendekar Rajawali Sakti. Dan ketika
burung itu berangkat Rajawali Hitam telah memberi isyarat untuk tidak pergi
menolong Pendekar Rajawali Sakti.
Karena, Rajawali Hitam kebetulan berada di dekat pertarungan, dan bisa lebih
cepat menolong Rangga.
Rangga sudah membuka mulutnya kembali, tapi
tidak jadi bersuara karena mendengar langkah kaki kuda menuju tempat ini.
Bersamaan dengan ber-palingnya kepala Pendekar Rajawali Sakti, muncul seekor
kuda hitam yang tinggi dan tegap. Kuda itu meringkik keras sambil mengangkat
kedua kaki depannya tinggi -tinggi
Rangga melambaikan tangannya, memanggil kuda itu. Kuda hitam yang bernama Dewa
Bayu melangkah menghampiri sambil mendengus-dengus. Kepalanya terangguk-angguk
dengan kaki menghentak ke tanah beberapa kali.
"Dewa Bayu, ini temanku. Namanya Intan
Kemuning. Dan itu juga sahabat kita. Namanya Rajawali Hitam," Rangga
memperkenalkan Dewa Bayu pada Intan Kemuning dan Rajawali Hitam.
"Khraghk..!
Rajawali Hitam menyambut baik perkenalan ini.
Dan Intan Kemuning menepuk-nepuk leher kuda itu diiringi senyuman manis. Dewa
Bayu juga merasa senang dengan perkenalan ini. Kepalanya diangguk-anggukkan
sambil mengangkat sebelah kaki depannya sedikit
"Kakang, sebenarnya aku sudah datang ke Karang Setra. Tapi aku tidak sabar
menunggumu di sana.
Jadi aku cari sendiri saja. Kebetulan, kudengar kau ada di Desa Weru," kata
Intan Kemuning, agak pelan suaranya.
"Oh, ya...?"" kening Rangga agak berkerut
"Adik dan tunanganmu yang mencari. Aku tidak tahu, apakah mereka sudah bertemu
denganmu atau belum," Intan Kemuning memberi tahu.
"Sudah," sahut Rangga.
"Mereka sudah mengatakan tentang diriku?" tanya Intan Kemuning ingin tahu.
"Belum," sahut Rangga terus terang. "Belum...?"
"Tidak ada waktu, Intan. Dan mungkin juga Pandan Wangi maupun Cempaka menunggu
waktu yang tepat" "Hhh.... Kalau aku terus menunggu di Karang Setra, pasti sudah terlambat" keluh
Intan Kemuning.
"Ada persoalan apa, Intan?"
"Sedikit," sahut Intan Kemuning agak mendesah.
"Katakan saja, barangkali aku bisa membantumu."
"Sebenarnya aku bisa mengatasi sendiri, Kakang.
Tapi ini termasuk wilayah kekuasanmu. Dan aku tidak bisa bertindak begitu saja
tanpa sepengetahuanmu.
Makanya aku mencarimu, Kakang," jelas Intan Kemuning.
"Kau mengejar seseorang?" tebak Rangga.
"Benar."
"Siapa?"
"Si Peramal Maut dan adiknya si Setan Merah Lembah Neraka," sahut Intan
Kemuning. "Siapa..."!" Rangga tersentak kaget mendengar dua nama disebutkan Intan Kemuning
barusan. Betapa tidak terkejut" Karena, kedua nama itulah yang kini menjadi permasalahan
baginya. Bahkan bukan saja dirinya, tapi juga bagi Pandan Wangi dan seluruh
penduduk di Desa Weru. Kedua nama itu memang masih diliputi kabut misteri yang
cukup tebal dan sukar disingkapkan.
Kedatangan Intan Kemuning dengan menyebutkan dua nama itu, seakan-akan membawa
sinar terang untuk menyingkap tabir dari si Peramal Maut dan Setan Merah Lembah
Neraka. Keterkejutan Rangga yang begitu tiba-tiba, membuat Intan Kemuning jadi
mengerutkan keningnya juga. Tidak diduga kalau kedua nama itu membuat Pendekar
Rajawali Sakti jadi terkejut setengah mati.
"Kau kenal dengan mereka, Kakang?" tanya Intan Kemuning.
"Bukan hanya kenal, tapi aku memang sedang ada persoalan dengan mereka," sahut
Rangga mencoba memberi senyum, tapi sebenarnya hendak
menenangkan dirinya sendiri.
"Kebetulan sekali. Sudah lama aku memburu
keparat-keparat itu, Kakang," Intan Kemuning jadi gembira.
"Boleh aku tahu, mengapa kau memburu mereka, Intan?" tanya Rangga ingjn tahu.
"Mereka sudah membuat kekacauan di Kerajaan Galuh. Tidak sedikit pembesar dan
anggota keluarga istana jadi korban ramalan mautnya. Tidak ada yang sanggup
menandingi mereka. Maka aku punya
tanggung jawab untuk memberantas mereka,
Kakang," tegas kata kata Intan Kemuning.
"Lalu, kenapa mereka bisa sampai lari ke sini?"
tanya Rangga. "Ke mana pun mereka ada, aku selalu mengejar-nya. Dan pengejaranku sampai ke
sini." "O... Jadi kau ingin bertemu denganku hanya untuk minta izin. Begitu...?"
"Jika Kakang tidak berkeberatan, aku ingin me minta bantuan juga. Ilmu mereka
tinggi sekali. Terus terang, aku sendiri tidak akan sanggup menghadapi mereka
berdua. Apa lagi anak buah si Setan Merah Lembah Neraka begitu banyak, seperti
satu pasukan prajurit saja."
"Aku tahu, tadi juga aku hampir mati oleh mereka."
"Tadi..."!" Intan Kemuning tampak terkejut
"Iya! Tadi itu orang-orangnya si Setan Merah Lembah Neraka."
"Benar-benar gila manusia keparat itu!" desis Intan Kemuning menggeram. "Setiap
tempat seialu meng-ganti seragam anak buahnya! Huh...! Ingin rasanya aku cepatcepat menghabisinya...!"
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar geraman kemarahan gadis ini. Tapi bisa dimaklumi kalau kemarahan yang
melanda diri Intan Kemuning begitu hebat. Karena Putri Rajawali Hitam ini sudah
lama juga memburu si Peramal Maut dan Setan Merah Lembah Neraka. Tampaknya gadis
ini kewalahan juga. Karena pada setiap tempat yang didatangj, mereka seialu
mengubah ciri dan penampilan. Terutama pakaian para pengikutnya, sehingga sukar
bagi orang lain untuk bisa cepat mengenalinya.
"Lantas, apa yang akan kau lakukan, Intan?" tanya Rangga ingin tahu tindakan
gadis itu. "Apa lagi..." Selagi mereka ada di sini, aku tidak akan membiarkannya lolos
lagi!" tegas Intan Kemuning.
"Apa kau akan membawa mereka ke Kerajaan
Galuh, Intan?"
"Tidak! Gusti Prabu sudah menyerahkan pelak-sanaan hukumannya padaku. Jadi
mereka harus mati di tempat," sahut Intan Kemuning tetap tegas.
Rangga hanya mengangkat bahunya saja.
Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa melarang Intan Kemuning untuk menghukum mati
mereka. Terlebih lagi putri Patih Kerajaan Galuh ini sudah mendapatkan perintah
dari rajanya untuk menghukum kedua orang itu di tempat. Dan memang, mereka sudah
sepantasnya mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya.
"Intan. Kau tahu, kenapa mereka berbuat begitu?"
tanya Rangga yang merasa kalau mereka melakukan semua itu tentu ada alasan yang
tepat "Di samping ingin dikenal, mereka juga mempunyai dendam pada Gusti Prabu," sahut
Intan Kemuning.
"Hanya ingin dikenal...?" Rangga seperti tidak percaya dengan jawaban Putri
Rajawali Hitam itu.
"Benar. Si Peramal Maut itu ingin namanya
terkenal sebagai peramal sakti yang tidak pernah meleset ramalannya. Dan
bodohnya lagi, adiknya malah membantu kegilaan itu. Dasar saja si Setan Merah
Lembah Neraka haus darah. Dia memang sudah terkenal kekejamannya di daerah
wetan." "Lalu, dendamnya pada Prabu Galuh?" tanya
Rangga lagi. "Anak si Peramal Maut pernah dihukum mati oleh Gusti Prabu, karena telah
memperkosa dan membunuh istri pembesar istana. Kemudian dengan berpura-pura
menjadi ahli nujum, peramal itu melakukan aksinya, membunuhi para pembesar
istana. Dan pada suatu saat, rahasianya terbongkar lalu dia kabur daerah ini,"
jelas putri Patih Kerajaan Galuh ini.
"Kalau memang begitu, tidak ada alasan lagi untuk menunda menghentikan mereka,"
tegas Rangga. "Tunggu apa lagi, Kakang" Selagi mereka belum kabur dari sini."
*** 8 Seharian Rangga menjelajahi Rimba Tengkorak, mencari Setan Merah Lembah Neraka
dan orang-orangnya, serta si Peramal Maut yang menjadi biang keladi semua
kerusuhan ini. Tapi sampai senja datang mengunjungi mayapada ini, belum juga
bisa menemukan orang-orang itu. Bahkan Intan Kemuning yang mencari lewat udara
pun, tidak melihat adanya tanda-tanda tempat persembunyian mereka di dalam hutan
yang cukup ganas dan angker ini.
Bahkan Rangga sendiri meminta bantuan ular-ular penghuni hutan ini. Tapi
usahanya tetap tidak membawa hasil yang menggembirakan. Pendekar Rajawali Sakti
terpaksa kembali ke Desa Weru. Dia tidak ingin bermalam di hutan yang cukup
ganas ini. Sedangkan Intan Kemuning masih terus mencari tanpa mengenal lelah. Mereka akan
saling memberi tahu jika menemukan tempat persembunyian orang-orang itu.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menghempas kan tubuhnya di bangku begitu berada
di dalam kedai Ki Jantar. Laki-laki tua pemilik kedai ini bergegas menghampiri
sambil membawa seguci arak manis.
Rangga langsung meneguknya, membasahi tenggorok an yang terasa kering. Sedangkan
Ki Jantar duduk di depannya. Hanya sebuah meja yang menghalangi mereka.
"Lihat peramal tua itu, Ki?" tanya Rangga seraya meletakkan guci arak ke meja di
depannya. "Tadi dia ada di sini, lalu pergi lagi," sahut Ki
Jantar. "Ke mana perginya?" tanya Rangga.
"Tidak tahu, Den. Tidak ada yang tahu tempat tinggalnya. Dia seperti hidup di
atas pohon saja,"
sahut Ki Jantar.
Rangga mendesah panjang. Memang tidak mudah untuk mencari seseorang yang begitu
tertutup. Apalagi semua orang di desa ini tidak tahu pasti asal-usulnya. Bahkan tidak ada
yang tahu, di mana tempat tinggalnya. Pendekar Rajawali Sakti memandangi Ki
Jantar yang kelihatannya murung. Tidak seperti biasanya laki-laki tua pemilik
kedai ini begitu murung.
"Ada persoalan, Ki?" tanya Rangga memperhatikan kemurungan pemilik kedai itu.
"Dia meramalkan kematianku," sahut Ki Jantar lesu.
"Jangan percaya, Ki," tegas Ranggga.
"Bagaimana tidak percaya, Den. Sudah banyak buktinya kalau ramalannya selalu
menjadi kenyataan," ada nada keluhan pada suara Ki Jantar.
"Hal itu tidak akan terjadi, Ki. Percayalah padaku.
Dia itu hanya penipu. Tidak ada orang yang bisa mengetahui datangnya kematian,"
Rangga meyakinkan Ki Jantar.
"Malam nanti katanya aku akan mati, Den," kata Ki Jantar lirih.
"Percayalah, Ki. Aku akan menjagamu sepanjang malam. Tidak ada yang bisa
meramalkan kematianmu. Itu hanya kebohongan saja, Ki," Rangga terus meyakinkan
Ki Jantar yang sudah kehilangan semangat hidupnya lagi.
"Den Rangga bisa menjamin kalau aku masih bisa tetap hidup?"
"Tidak, Ki. Aku tidak bisa mengatakan itu. Hidup
dan mati seseorang bukan manusia yang menentukan Tapi Hyang Widi-lah yang
menciptakan seluruh mayapada ini. Tidak ada seorang pun yang bisa meramalkan
datangnya ajal. Ki Jantar harus yakin itu.
Jangan percaya pada ramalan kosong. Percayalah, Ki.
Si Peramal Maut itu hanya omong kosong saja,"
Rangga terus memompa semangat Ki Jantar yang sudah rapuh.
Pada saat itu Pandan Wangi, Cempaka, dan Padmi masuk ke dalam kedai ini. Mereka
tampak heran, karena kedai ini sepi sekali. Tak ada satu pun pengunjung yang
datang. Bahkan pintu dan jendela nya tertutup rapat. Mereka menghampiri Rangga
yang duduk satu meja dengan Ki Jantar, lalu menarik kursi masing-masing dan
duduk melingkari meja.
"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi seraya memandangi Rangga dan Ki Jantar
bergantian. "Ini..., Ki Jantar dapat ramalan," sahut Rangga.
"Kurang ajar...!" desis Pandan Wangi, geram.
"Ini tidak bisa didiamkan terus, Kakang. Jelas kalau peramal tua itu punya
maksud tertentu,"
sambung Cempaka.
"Coba Ki Jantar melihat kejadian yang dialami Pandan Wangi. Bukan secara
kebetulan Pandan Wangi diserang malam itu. Semua itu sudah diatur si Peramal
Maut," jelas Rangga, memberi contoh pada peristiwa yang menimpa si Kipas Maut
setelah mendapat ramalan kematiannya.
"Iya, Ki. Jangan percaya pada ramalan kosong itu.
Buktinya Kak Pandan masih tetap hidup," selak Cempaka.
"Apakah aku bisa selamat nanti?" tanya Ki Jantar tidak yakin
"Pasti, Ki," sahut Cempaka cepat
"Kalian akan membantuku melawan ramalan itu?"
ujar Ki Jantar berharap.
"Tanpa diminta pun, kami akan melawan, Ki,"
sahut Cempaka lagi.
'"Terima kasih. Tapi kalaupun aku tetap mati, kuharap kematianku bukan karena
ramalan maut itu."
"Jangan khawatir, Ki," Cempaka memberi
keyakinan. "Kapan ramalan itu datangnya, Ki?" tanya Pandan Wangi menyelak.
"Tadi," sahut Ki Jantar mulai agak tenang.
"Waktunya?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Nanti malam."
"Kalau begitu, kita tunggu mereka di sini," tegas Cempaka penuh semangat.
"Benar, Kakang. Malam nanti sebaiknya kita tidak tidur," sambung Pandan Wangi.
Rangga hanya menganggukkan kepalanya saja
menyetujui usul kedua gadis itu. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti beranjak
bangkit berdiri dan melangkah mendekati pintu kedai yang setengah tertutup.
"Mau ke mana, Kakang?" tanya Cempaka, agak keras suaranya.
"Keluar sebentar. Kalian jangan ke mana-mana, dan tetap saja di kedai ini,"
sahut Rangga seraya berpesan.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menghilang di balik pintu kedai yang kembali


Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertutup. Sementara Pandan Wangi dan Cempaka tetap duduk menemani Ki Jantar.
Laki-laki tua pemilik kedai itu masih kelihatan murung, meskipun sudah agak
tenang. Sementara Padmi sudah sibuk mempersiapkan
makanan. Memang tidak ada orang lain di kedai ini.
Ki Jantar sudah menutup kedainya begitu mendapat ramalan maut. Bahkan dia juga
memberhentikan para pembantunya.
*** Malam sudah larut. Di dalam kedai yang sepi,
hanya ada satu pelita yang menerangi seluruh ruangan.
Cahaya api pelita itu demikian redup, sehingga tidak mungkin bisa menerangi
seluruh sudut ruangan kedai ini. Tampak Ki Jantar duduk saja di kursinya sejak
siang tadi. Pandan Wangi dan Cempaka masih menemaninya. Sedangkan Rangga duduk
di sudut dengan tenangnya. Padmi masih terlihat duduk memeluk lutut di atas
balai-balai bambu tidak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti.
Ketegangan menyelimuti seluruh ruangan kedai ini. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara.
Masing-masing sibuk mengusir ketegangan yang melanda hari. Betapa tidak.."
Mereka seperti sedang menanti datangnya maut yang akan menjemput Ki Jantar.
Beberapa kali laki-laki tua pemilik kedai itu menyeka keringat yang mengucur
deras membasahi wajah dan lehernya. Seluruh baju yang dikenakan sudah dibasahi
keringat yang membanjir tak terbendung lagi.
Namun suasana sunyi berselimut ketegangan itu, mendadak dipecahkan suara
Pendekar Rajawali Sakti yang keras dan tiba-tiba sekali.
"Awas...!"
Bersamaan dengan terlihatnya sebuah benda
merah yang melesat cepat ke arah Ki Jantar, seketika
itu juga Rangga menjentikkan jari tangannya. Tampak sebilah bambu kecil melesat
cepat memapak benda berwarna merah itu.
Trak! Benda merah itu langsung rontok, jatuh di lantai kedai sebelum sempat menyentuh
kulit Ki Jantar.
Saat itu juga, Pandan Wangi melompat cepat menerjang melalui jendela yang
sebelumnya sengaja dibuka lebar. Lesatan si Kipas Maut itu sungguh cepat luar
biasa. Sehingga dalam sekejap mata saja, sudah lenyap dari pandangan.
Trang! "Aaa...!"
Tak berapa lama kemudian, terdengar bunyi
senjata beradu yang keras sekali. Itu pun masih disusul jeritan panjang
melengking tinggi. Sementara itu Cempaka yang masih mendampingi Ki Jantar,
sempat melirik ke tempat Rangga tadi duduk. Tapi Pendekar Rajawali Sakti
ternyata sudah lenyap tanpa diketahui kapan perginya.
"Ayo, Ki. Kita keluar," ajak Cempaka.
Ki Jantar dan Padmi bergegas melangkah ke luar mengikuti Cempaka yang sudah
lebih dahulu berjalan. Setibanya di luar kedai, mata mereka langsung terbeliak melihat
pertarungan sengit bagaikan sebuah peperangan kecil yang berlangsung di halaman
depan kedai ini.
Tampak Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat berkelebat menyambar orang-orang
berbaju serba hitam pekat. Sedangkan Pandan Wangi mempergunakan kipas mautnya
menyambar siapa saja yang dekat dengannya. Jerit dan pekikan melengking terus
terdengar saling susul tanpa mengenal kata berhenti.
Entah, sudah berapa jumlahnya mayat-mayat berbaju
hitam bergelimpangan di tanah berumput cukup tebal ini.
"Khraaaghk...!"
*** Semua orang yang berada di halaman kedai itu
terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara keras menggelegar agak serak. Dan
sebelum keterkejutan mereka lenyap, tiba-tiba saja dari angkasa meluncur sesuatu
yang besar berwarna hitam pekat. Hanya Rangga yang tidak terkejut, tapi malah
tersenyum mendengar suara itu.
Sebelum ada yang menyadari apa yang datang itu, mendadak saja tubuh-tubuh
berbaju hitam ber-pelantingan di udara. Jeritan dan pekikan melengking tinggi
terdengar saling susul tanpa ada henti-hentinya. Saat itu Rangga mengangkat
tangannya ke atas kepala. Dan dari punggung makhluk hitam besar yang ternyata
Rajawali Hitam itu, melesat Putri Rajawali Hitam. Gadis yang sebenarnya bernama
Intan Kemuning itu langsung menyerang orang-orang berbaju hitam yang jadi kalang
kabut. "Intan, lawanmu di sebelah kiri...!" teriak Rangga memberi tahu.
Intan Kemuning langsung menoleh. Seketika itu juga tubuhnya melesat ke kiri
begitu melihat si Peramal Maut berada tidak jauh dari sebelah kirinya.
"Peramal keparat! Sudah terbuka kedokmu
sekarang!" geram Intan Kemuning. "Kau bukanlah peramal ulung yang patut
dipercayai. Kau hanya meramalkan kematian setiap orang yang akhimya kau bunuh
sendiri melalui kaki tanganmu!"
"He he he...," peramal tua itu hanya terkekehkekeh. "Kalau sudah tahu, ya jangan marah-marah begitu, Putri Rajawali Hitam."
"Bersiaplah untuk meramalkan kematianmu
sendiri, Peramal Keparat!"
Intan Kemuning langsung saja memberi serangan gencar, membuat laki-laki tua
peramal itu jadi mau tidak mau menghindari serangan Putri Rajawali Hitam.
Sementara Rangga sudah bertarung dengan si Setan Merah Lembah Neraka. Sedangkan
Pandan Wangi tetap menghadapi orang-orang berbaju hitam yang semuanya
bersenjatakan golok. Pada saat itu, Cempaka sudah melompat terjun ke dalam
kancah pertempuran. Dia tidak mau ketinggalan dengan yang lain. Gadis itu
mengeluarkan pedangnya, langsung mengibaskan cepat pedangnya. Kedua gadis itu
baru menyadari kalau lawan mereka ini adalah orang-orang yang pernah
mengeroyoknya di hutan menuju Desa Weru. Orang-orang berbaju hitam itu pernah
menyerang mereka, ketika Cempaka baru saja mengajak Padmi pergi dari rumahnya.
Gerombolan ini memang selalu membuat onar di mana-mana. Orang tua Padmi juga
dibunuh oleh mereka!
Jeritan-jeritan melengking tinggi terus terdengar ditingkahi suara denting
senjata beradu. Sementara Rangga terus menggiring Setan Merah Lembah Neraka
menjauhi anak buahnya. Laki-laki setengah baya berbaju merah itu benar-benar
kewalahan menghadapi gempuran Pendekar Rajawali Sakti yang cepat dan dahsyat
bukan main. "Keparat..!" geram Setan Merah Lembah Neraka ketika satu pukulan menggeledek
yang dilepaskan Rangga hampir saja menghancurkan dadanya.
Sret! Setan Merah Lembah Neraka seketika mengeluarkan pedangnya setelah berhasil
mengelakkan pukulan Pendekar Rajawafi Sakti. Langsung pedangnya dikebutkan ke
leher Pendekar Rajawali Sakti, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tap! "Heh..."!"
Setan Merah Lembah Neraka terkejut bukan main ketika ujung pedangnya terjepit
kedua telapak tangan Rangga yang merapat seperti penjepit baja. Sambil
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, Setan Merah Lembah Neraka mencoba
menarik pedangnya. Namun sedikit pun pedang itu tidak bergeming. Bahkan mendadak
saja.... "Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga cepat menghentakkan kakinya disertai
pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang cepat dan tiba-tiba itu tak bisa lagi
terelakkan. Terlebih, jarak mereka begitu rapat. Tendangan Rangga langsung
mendarat di perut Setan Merah Lembah Neraka.
Des! "Heghk..!"
Tubuh Setan Merah Lembah Neraka itu terdorong ke belakang sekitar lima langkah.
Pegangan pedangnya pun terlepas. Saat itu, dengan kecepatan yang mengagumkan,
Rangga memutar pedang lawan.
Langsung dibabatkannya ke tubuh Setan Merah Lembah Neraka sambil melompat
secepat kilat. "Yeaaah...!"
Cras! "Aaa...!" Setan Merah Lembah Neraka menjerit melengking tinggi.
Sebentar dia masih mampu berdiri. Dan ketika Rangga memberi satu tendangan keras
ke dada, seketika itu juga laki-laki berbaju merah itu ambruk ke tanah. Darah
mengalir keluar dengan deras sekali.
Rangga membuang pedang Setan Merah Lembah
Neraka yang berlumuran darah, yang telah menewaskan pemiliknya sendiri.
*** Kematian Setan Merah Lembah Neraka, membuat
si Peramal Maut jadi kelabakan. Perlawanannya pada Putri Rajawali Hitam jadi
kacau. Jurus-jurusnya tidak lagi beraturan. Jelas kalau si Peramal Maut jadi
kehilangan kepercayaan dirinya. Hal ini benar-benar dimanfaatkan Putri Rajawali
Hitam sebaik-baiknya.
Gadis berbaju hitam ketat itu langsung meningkat-kan serangannya, membuat
peramal tua itu semakin kewalahan tidak menentu. Beberapa kali sudah, pukulan,
dan tendangan yang bertenaga dalam tinggi bersarang di tubuhnya. Dan peramal tua
itu semakin tidak bisa lagi menguasai dirinya. Hingga pada suatu saat...
"Mampus kau...! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, Putri Rajawali Hitam melontarkan satu pukulan
menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi.
Pukulan cepat itu tak bisa lagi terbendung, dan tepat mendarat di dada si
Peramal Maut Deghk! "Akh...!" si Peramal Maut menjerit keras.
Selagi tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, Putri Rajawali Hitam melompat
cepat ke sambil berteriak keras melengking tinggi. Sementara, kedua
tangannya diarahkan ke kepala si Peramal Maut
"Hiyaat..!"
Prak! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking, mengakhiri kehidupan si Peramal Maut. Beberapa
saat laki-laki tua peramal itu masih bisa berdiri limbung, kemudian ambruk
menggelepar di tanah dengan kepala pecah berantakan. Darah langsung menggenang
membasahi tanah berumput.
Putri Rajawali Hitam berdiri tegak memandangi lawannya yang sudah tewas seketika
begitu menyentuh tanah. Segera ditarik napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Satu
tugas yang dirasakan paling berat, sudah terselesaikan. Gadis itu mengangkat
kepalanya ketika merasakan ada
seseorang berdiri di depannya. Bibirnya langsung tersenyum melihat Rangga sudah
berdiri di depannya sambil tersenyum juga.
"Aku harus pergi sekarang, Kakang," kata Putri Rajawali Hitam.
"Tidak ingin kenal lebih dekat dengan adikku, Intan?" ujar Rangga mencoba
mencegah dengan halus.
"Lain kali saja," sahut Intan Kemuning yang juga berjuluk Putri Rajawali Hitam.
Secepat kilat Intan Kemuning melesat ke atas, langsung hinggap di punggung
rajawali hitam raksasa. Rangga memandangi burung raksasa yang melesat cepat
membelah angkasa. Saat itu juga pertarungan berhenti. Orang-orang berbaju hitam
yang sudah kehilangan pemimpin, langsung
menyerah, menjatuhkan senjatanya. Mereka
menyatakan penyesalan atas kelakuannya selama ini.
Dan bersedia dihukum atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.
Sama sekali Rangga tidak menyadari kalau
penduduk Desa Weru ini sudah berdatangan.
Sementara itu Ki Sarumpat memerintahkan para pembantunya meringkus para
pengacau. Sedangkan Pandan Wangi, Cempaka, dan Padmi serta Ki Jantar sudah
berada di dekat Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang, ada yang ingin aku katakan padamu,"
kata Cempaka setengah berbisik dekat telinga Pendekar Rajawafi Sakti.
Rangga menoleh menatap adik tirinya ini.
"Boleh aku mengangkat Padmi menjadi muridku, Kakang?" Cempaka meminta izin
dengan ragu-ragu.
"Kalau kau sudah mampu, silakan. Aku tidak akan melarang," Rangga mengizinkan.
"Terima kasih, Kakang," ucap Cempaka gembira.
Rangga hanya tersenyum saja. Dan Pendekar
Rajawali Sakti meminta agar Cempaka besok kembali ke Karang Setra, tapi gadis
itu minta izin untuk tinggal beberapa hari di desa ini. Kembali Rangga tidak
bisa menolak keinginan gadis itu. Hari ini Cempaka benar-benar gembira, karena
Rangga tidak menolak sedikit pun semua permintaannya.
Sementara para penduduk desa membenahi
mayat-mayat yang bergelimpangan, Rangga sudah menarik tangan Pandan Wangi ke
dalam kedai. Tentu saja Pandan Wangi tidak menolak sedikit pun.
Bahkan juga tidak menolak ketika Pendekar Rajawali Sakti melumat bibirnya. Di
luar dugaan, gadis itu membalasnya dengan kerinduan dan rasa cinta yang dalam.
"Oh, Kakang...," desah Pandan Wangi begitu Rangga melepaskan pagutannya.
"Kita akan bersama-sama lagi, Pandan," bisik Rangga lembut di telinga Pandan
Wangi. "Oh, sungguhkah...?"
"Ya! Kita akan mengembara bersama-sama lagi.
Seperti dulu."
Pandan Wangi tidak bisa lagi menyembunyikan kegembiraannya. Langsung dipeluknya
Pendekar Rajawali Sakti erat-erat. Sesaat kemudian, mereka sudah kembali menyatu
rapat dalam gelora cinta dan kerinduan yang mendalam. Tidak dipedulikan lagi
suara-suara di luar yang mencari-cari mereka. Pandan Wangi seakan-akan ingin
menumpahkan seluruh cintanya yang selama ini terpendam di dalam dada.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (molan150)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Playboy Dari Nanking 1 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Harimau Mendekam Naga Sembunyi 14

Cari Blog Ini